ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIBAKTERI EKSTRAK
DAUN LEILEM (Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.) SERTA
UJI AKTIVITAS EKSTRAK TERHADAP BEBERAPA BAKTERI
PATOGEN
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF ANTIBACTERIAL COMPOUNDS
FROM LEILEM LEAVES EXTRACT (Clerodendrum minahassae Teijsm.
and Binn.) AND THEIR INHIBITORY ACTIVITY TOWARD SEVERAL
PATHOGENIC BACTERIA
WIWIT ZURIATI UNO
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIBAKTERI EKSTRAK
DAUN LEILEM (Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.) SERTA
UJI AKTIVITAS EKSTRAK TERHADAP BEBERAPA BAKTERI
PATOGEN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Farmasi
Disusun dan diajukan oleh
WIWIT ZURIATI UNO
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Wiwit Zuriati Uno
Nomor Mahasiswa : P2500215001
Program Studi : Sains
Fakultas : Farmasi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilan tulisan atau pemilikan orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya sendiri siap menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 20 Oktober 2017
Yang menyatakan
Wiwit Zuriati Uno
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
S.W.T atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat
merampungkan penyusunan tesis dengan judul “Isolasi dan Identifikasi
Senyawa Antibakteri Ekstrak Daun Leilem (Clerodendrum minahassae
teijsm. Dan binn.) Serta Uji Aktivitas Ekstrak Terhadap Beberapa Bakteri
Patogen”. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
mencapai gelar Magister di Program Studi Farmasi Konsentrasi Farmasi
Sains di Universitas Hasanuddin Makassar.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih
terdapat banyak kelemahan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati
penulis mengharapkan saran dan koreksi untuk melengkapi kelemahan
tersebut. Selain itu, penulis megucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada Yth. Ibu Dr. Mufidah, S.Si., M.Si., Apt dan Yth. Ibu Dr. Herlina
Rante, S.Si., M.Si., Apt selaku Tim Komisi Penasehat Tesis yang telah
berkenan meluangkan waktu membimbing, memberikan arahan dan
masukan dalam penyusunan tesis ini hingga layak untuk disajikan. Penulis
juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
2. Ketua Program Studi Pascarsarjana Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Dr. Hj. Sartini, M.Si., Apt., Bapak Subehan, M. Pharm. Sc., Ph. D.,
Apt., dan Ibu Prof. Dr. Hj. Asnah Marzuki, M.Si., Apt. atas masukan
dan saran selama menjadi Komisi Penguji.
4. Bapak/ Ibu dosen program studi Farmasi Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
5. Seluruh staf pegawai Program Studi Farmasi Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar.
6. Teman – teman angkatan 2015 Genome Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar atas segala bantuan dan semangatnya selama
menjalani pendidikan.
7. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih yang
tak terhingga kepada Orangtua tercinta papa (Prof. Dr. H. Hamzah Uno,
M.Pd) dan mama (Dr. Hj. Nina Lamatenggo, M.Pd) yang menjadi sumber
inspirasi dan semangat yang senantiasa menyebut nama penulis disetiap
doa-doa beliau dan tak pernah lelah dengan doa dan restunya.
Terimakasih kepada adik-adikku tercinta Djamal Adi Nugroho Uno dan
Muammar Zaqi Uno, atas segala dukungan cinta, pertolongan, dan
motivasinya. Terimakasih untuk keluarga besar yang selalu memberikan
dukungan moril dan materil bagi penyusun selama menempuh
pendidikan. Kak marwah, kak abdi, kak lia, kak yayu dan kak ile atas ilmu
yang telah dibagi selama penelitian di laboratorium. Teman-teman dari
Gorontalo wawan, iya, nur, mamat, tiwi dan rezky atas semangat dan
kebersamaannya selama ini di tanah rantau, kebersamaan selama ini
takkan pernah terlupakan dan akan menjadi kenangan indah di masa
depan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tentunya masih jauh dari
kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah AWT. Semoga
Allah SWT senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya. Akhir kata
penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang mikrobiologi dan bahan alam,
sekarang maupun di masa yang akan datang.
Makassar, 20 Oktober 2017
Wiwit Zuriati Uno
ABSTRAK
WIWIT ZURIATI UNO. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Antibakteri Ekstrak
Daun Leilem (Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.) Serta Uji
Aktivitas Ekstrak Terhadap Beberapa Bakteri Patogen (Dibimbing oleh
Mufidah dan Herlina Rante)
Penelitian mengenai isolasi dan identifikasi senyawa antibakteri
ekstrak daun leilem serta uji aktivitas ekstrak terhadap beberapa bakteri
patogen telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengisolasi senyawa
antibakteri dari ekstrak daun leilem terhadap beberapa bakteri uji.
Penelitian ini berdasarkan bioassay guided isolation dan aktivitas
antibakterinya diamati pada setiap tahap pengerjaannya. Karakterisasi
senyawa aktif antibakteri berdasarkan data spektroskopi UV-VIS, IR, dan
GC-MS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan, ekstrak etil
asetat, dan ekstrak etanol 70% daun leilem memiliki aktivitas antibakteri
terhadap bakteri Escherichia coli ATCC 25922 dan Staphylococcus aureus
ATCC 25923. Ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi
dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Ekstrak etil asetat difraksinasi
dengan KCV hasil menunjukkan bahwa fraksi B merupakan fraksi teraktif
sebagai antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli ATCC 25922 dan
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dengan diameter hambatan masing-
masing 11.83 mm dan 11.80 mm. Fraksi B dimurnikan dengan
kromatografi lapis tipis preparatif kemudian dilanjutkan dengan KLT 2
dimensi dan diperoleh satu isolat senyawa aktif antibakteri yaitu isolat
FB9. Hasil pengujian dengan metode difusi agar terhadap bakteri Isolat
FB9 menghambat bakteri Escherichia coli ATCC 25922 dengan daerah
hambatan 11.85 mm dengan spot Rf 0.8 menunjukkan zona hambatan.
Isolat FB9 diduga senyawa golongan alkaloid. Karakterisasi dengan
spektrofotometer UV-VIS terhadap isolat FB9 diperoleh serapan
maksimum 274 nm. Karakterisasi dengan spektrofotometer inframerah
terhadap isolat FB9 menunjukkan adanya gugus C-H, N-H, C=C dan C-N.
Karakterisasi dengan GC-MS menunjukkan berat molekul senyawa yang
diisolasi sebesar 83 g/mol.
Kata kunci : Isolasi dan Identifikasi, senyawa antibakteri, Ekstrak Daun
Leilem, Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.
ABSTRACT
WIWIT ZURIATI UNO. Isolation and identification of antibacterial
compounds from Leilem leaves extract (Clerodendrum minahassae
Teijsm. And Binn.) and their inhibitory activity toward several pathogenic
bacteria (Supervised by Mufidah and Herlina Rante)
A study about isolation and identification of antibacterial compounds
from Leilem leaves extract and their inhibitory activity toward several
pathogenic bacteria has been conducted. This study aimed to isolate
antibacterial compounds from Leilem leaves extract and to perform
inhibitory activity test against some pathogenic bacteria. The study was
based on the bioassay-guided isolation, while antibacterial potency was
observed in every processing step. The active compound obtained was
characterized using several instruments such as UV-Vis, IR and GC-MS
spectroscopy.
The result showed that n-hexane, ethyl acetate, and ethanol extract
of Leilem leaves inhibited the growth of Escherichia coli ATCC 25922 and
Staphylococcus aureus ATCC 25923 and the best performance was
exhibited by ethyl acetate extract. Further fractionation of ethyl acetate
extract utilizing KCV method obtained an active fraction “fraction B” which
potentially inhibited the growth of both Escherichia coli ATCC 25922 and
Staphylococcus aureus ATCC 25923 with inhibitory zone were 11.83 mm
and 11.80 mm respectively, determined by agar diffusion method.
Subsequently, fraction B was further fractionated by 2-dimentional TLC to
generate isolated compound “FB9”. The isolated compound was likely an
alkaloid that absorbed UV light at 274 nm, consisted of N-H, C-H, C=C
and C-N bonds, and its molecular weight was 83 g/mol. Inhibitory
evaluation toward Escherichia coli ATCC 25922 using agar diffusion
method (diameter of inhibitory zone was 11.85 mm) indicated that the
isolated compound potentially to be used as antibacterial.
Keywords: Isolation and identification, antibacterial compound, Leilem
leave extract, Clerodendrum minahassae Teijsm. and Binn.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv
PRAKATA v
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah. 3
C. Tujuan penelitian 4
D. Manfaat penelitian 4
BAB II TINJAUANPUSTAKA 5
A. Uraian Tumbuhan Leilem (Clerodendrum minahassae
Teijsm. Dan Binn.) 5
B. Ekstraksi dan Isolasi Komponen Kimia 11
C. Antimikroba 22
D. Metode Uji Antimikroba 26
E. Uraian bakteri Uji 30
F. Kerangka teori 32
G. Kerangka konsep 33
H. Hipotesis 33
BAB III Metode Penelitian 34
A. Rencana Penelitian 34
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 34
C. Alat dan bahan 34
D. Cara Kerja 35
1. Pengambilan dan Pengolahan Sampel 35
2. Penyiapan Ekstrak 35
3. Skrining Komponen Senyawa 36
4. Sterilisasi Alat 37
5. Penyiapan bakteri Uji 38
6. Larutan Standar Mc Farland 0,5 38
7. Pembuatan Suspensi Bakteri 38
8. Pembuatan Medium 38
9. Uji Aktivitas Antibakteri Metode Difusi Agar 39
10. Fraksinasi dengan Kromatografi Cair Vakum 39
11. KLT-Bioautografi 39
12. Pemurnian Senyawa Aktif 40
13. Uji Aktivitas Ekstrak, Fraksi, dan Isolat 41
14. Karakterisasi Senyawa 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 44
A. Pengolahan Sampel dan Penyiapan Ekstrak 44
B. Identifikasi Komponen Senyawa pada Ekstrak 47
C. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak dengan Metode Difusi Agar 51
D. Fraksinasi dengan Kromatografi Cair vakum serta Uji Aktivitas Antibakteri pada Fraksi 56 1. Kromatografi Cair Vakum 56
2. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi dengan Metode Difusi Agar 57
3. KLT-Bioautografi pada Fraksi 59
E. KLT-Preparatif 60
1. Hasil Kromatografi Lapis Tipis Preparatif dan Uji Aktivitas Subfraksi B dengan Metode Difusi agar 61
2. KLT Bio-autografi Isolat FB9 64
F. KLT- 2 Dimensi 64
G. Uji Aktivitas Ekstrak Etil asetat, Fraksi Aktif B, dan isolat Aktif
FB9 65
H. Karakterisasi Isolat FB9 68
1. Spektoskopi UV-VIS 68
2. Spektroskopi IR 69
3. GC-MS 70
4. Reagen Kimia 73
BAB V PENUTUP 74
A. Kesimpulan 74
B. Saran 75
DAFTAR PUSTAKA 76
LAMPIRAN 82
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Senyawa fenolik yang diisolasi dari genus Clerodendrum 8
2. Flavonoid yang diisolasi dari genus Clerodendrum 9
3. Senyawa terpen yang diisolasi dari genus Clerodendrum 10
4. Hasil ekstrak Clerodendrum minahassae 46
5. Hasil Identifikasi Komponen Senyawa Ekstrak n-Heksan ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol 70% Daun
Leilem 48
6. Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Clerodendrum minahassae 53
7. Hasil kromatografi kolom cair vakum dari ekstrak etil asetat
Clerodendrum minahassae 56
8. Hasil pengujian antibakteri fraksi dari ekstrak etil asetat
Clerodendrum minahassae 57
9. Hasil KLT-Preparatif subfraksi B ekstrak etil asetat
Clerodendrum minahassae serta pengujian antibakteri 62
10. Hasil pengujian antibakteri ekstrak etil asetat, fraksi B, dan
Isolat FB9 66
11. Data spektrum UV-VIS Isolat FB9 68
12. Data spektrum IR Isolat FB9 Clerodendrum minahassae 69
13. Hasil analisis GC-MS komposisi Isolat FB9 71
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tumbuhan Leilem (Clerodendrum minahassae) 5
2. Clerodendrum inerme 6
3. Clerodendrum phlomidis 6
4. Clerodendrum serratum (L.) Moon 6
5. Visualisasi profil KLT 47
6. Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak Clerodendrum
minahassae 53
7. Profil KLT vial 1-19 56
8. Profil KLT Fraksi 1-5 (A-E) 57
9. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Fraksi 1-5 (A-E) etil
asetat Clerodendrum minahassae 58
10. Hasil Pengujian KLT-Bioautografi Fraksi B 60
11. Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri Isolat FB Clerodendrum
minahassae Teijsm. dan Binn. terhadap bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus 62
12. Hasil pengujian KLT-Bioautografi isolat FB9 aktif pada bakteri
E.coli 64
13. Hasil KLT 2 Dimensi isolat FB9 Clerodendrum minahassae 65
14. Hasil Pengujian Aktivitas Ekstrak etil asetat, Fraksi B, dan
Isolat FB9 terhadap bakteri Escherichia coli 66
15. Data spektrum UV-VIS isolat FB9 Clerodendrum minahassae 68
16. Data spektrum IR isolat FB9 Clerodendrum minahassae 70
17. Data Kromatogram GC-MS 72
18. Spektrogram peak 23 72
19. Hasil identifikasi Komponen kimia isolat FB9 dengan pereaksi
semprot 73
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Skema kerja 82
2. Uji Aktivitas Ekstrak Antibakteri Metode Difusi Agar 83
3. Uji Aktivitas Isolat dengan Metode Difusi Agar 84
4. Komposisi Medium NA 85
5. Hasil Determinasi Tumbuhan Leilem 86
6. Morfologi Leilem 89
7. Simplisia & Ekstrak Daun Leilem 90
8. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak menggunakan Metode Difusi agar 91
9. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi (Clerodendrum minahassae) 92
10. KLT bioautografi fraksi Leilem (Clerodendrum minahassae) pada bakteri Escherichia coli 93
11. KLT bioautografi fraksi Leilem (Clerodendrum minahassae)
pada bakteri Staphylococcus aureus 94
12. KLTP fraksi 2 95
13. Uji Aktivitas Antibakteri Isolat FB 1-9 Clerodendrum minahassae 96
14. Data Spektrum UV-Vis Isolat FB9 97
15. Data Spektrum IR Isolat FB9 98
16. Uji Penegasan Isolat 99
17. Data Kromatogram GC-MS 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang
kesehatan yang banyak diderita oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu
yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Menurut WHO, sebanyak 25
juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2011, sepertiganya disebabkan
oleh penyakit infeksi (Dehgani et al., 2012). Penyakit infeksi yang banyak
diderita masyarakat disebabkan oleh beberapa bakteri diantaranya
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella
thyphi, Pseudomonas aeruginosa, Shigella dysenteriae, Vibrio choler,
Streptococcus mutans.
Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam
penatalaksanaan penyakit infeksi. Manfaat penggunaan antibiotik tidak
perlu diragukan lagi, akan tetapi penggunaan yang berlebihan dapat
menyebabkan munculnya kuman yang resisten terhadap antibiotik,
sehingga manfaatnya akan berkurang. Kuman-kuman yang resisten
terhadap antibiotik telah menjadi masalah kesehatan yang sangat besar.
Infeksi oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik akan menyebabkan
meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian sehingga diperlukan
pencarian sumber molekul bioaktif baru yang berpotensi sebagai
antibakteri (Riana, 2016).
Leilem (Clerodendrum minahassae Teijsm. Dan Binn.) adalah
salah satu spesies dari genus Clerodendrum. Genus Clerodendrum
banyak tersebar diseluruh dunia dan memiliki lebih dari 500 spesies.
Banyak dari genus ini digunakan sebagai obat tradisional dan sebagai
pengobatan secara turun temurun untuk mengobati berbagai macam
penyakit (Patel dan Shrivastava, 2007).
Leilem (Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.) merupakan
tumbuhan khas yang banyak tumbuh di daerah Minahasa yang tumbuh di
daerah yang ketinggiannya 0 sampai dengan 800 m di atas permukaan
laut. Masyarakat Minahasa umumnya memanfaatkan daun leilem sebagai
bumbu masakan dan digunakan untuk mengobati penyakit seperti sakit
perut, kecacingan dan penyakit paru-paru. Kandungan kimia yang
terkandung didalam daun leilem antara lain flavonoid, terpenoid dan
steroid, dan alkaloid. (Patel dan Shrivastava, 2007 ; Sangi dkk., 2008).
Berdasarkan pendekatan etnofarmakologi diketahui bahwa genus
Clerodendrum memiliki berbagai peranan penting dalam perkembangan
pengobatan diantaranya sebagai anti inflamasi, antidiabetes dan
antibakteri (Patel & Shrivastava, 2007). Namun penelitian tentang daun
leilem yang merupakan salah satu genus Clerodendrum masih sangat
terbatas. Senyawa fenolik yang ada pada daun leilem merupakan jenis
polifenol dengan aktivitas antioksidan yang berpotensi sebagai terminator
radikal bebas (Emor, 2006). Adam dkk. (2013) melaporkan bahwa ekstrak
metanol daun leilem memiliki aktivitas antioksidan berkisar antara 64,83 -
70,12 %. Bontjura dkk., (2015) meneliti bahwa senyawa fenol dalam
ekstrak daun leilem memiliki efek antibakteri terhadap bakteri
Streptococcus mutans. Daun leilem dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 5 %, 10 % dan 15 % karena
flavonoid yang terdapat di dalamnya dapat merusak membran sel bakteri
(Lomboan, 2015).
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang isolasi
senyawa aktif antibakteri dari ekstrak Clerodendrum minahassae Teijsm.
dan Binn.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah ekstrak daun Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.
memiliki aktivitas antibakteri?
2. Seberapa besar aktivitas antibakteri senyawa yang diisolasi dari
ekstrak daun Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn. ?
3. Bagaimana karakteristik senyawa aktif antibakteri yang diisolasi dari
ekstrak daun Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak daun Clerodendrum
minahassae Teijsm. dan Binn.
2. Mengetahui aktivitas antibakteri senyawa aktif yang diisolasi dari
ekstrak daun Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn. terhadap
bakteri
3. Menentukan karakteristik senyawa aktif antimikroba dari ekstrak daun
Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn. Terhadap beberapa
mikroba uji
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
terutama dibidang mikrobiologi dan eksplorasi bahan obat alami untuk
pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi sediaan fitofarmaka,
khususnya obat yang berkhasiat sebagai antibakteri di masa yang akan
datang.
Secara khusus penelitian ini diharapkan diperoleh senyawa yang
memiliki aktivitas antibakteri yang dapat dikembangkan di masa yang akan
datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Tumbuhan
1. Uraian Tumbuhan Leilem (Clerodendrum minahassae Teijsm. dan
Binn.)
Gambar 1. Tumbuhan Leilem (Clerodendrum minahassae)
Leilem (Clerodendrum minahassae) merupakan tanaman yang
banyak tumbuh di Sulawesi Utara. Daun leilem mudah ditemui di
pekarangan rumah karena sangat digemari oleh masyarakat sekitarnya.
Masyarakat Minahasa umumnya memanfaatkan daun leilem sebagai
sayuran serta bumbu masakan dan juga digunakan untuk mengobati
penyakit seperti sakit perut, kecacingan dan penyakit paru-paru.
Beberapa spesies lain dari genus Clerodendrum yang bisa ditemui di
berbagai dunia dapat dilihat pada gambar ini.
Gambar 2. Clerodendrum inerme (Patel dan Shrivastava, 2007)
Gambar 3. Clerodendrum phlomidis (Patel dan Shrivastava, 2007)
Gambar 4. Clerodendrum serratum (L.) Moon (Indriani, 2007)
2. Klasifikasi Tanaman (Gembong, 1994)
Kerajaan : Plantae
Kelas : Equisetopsida
Bangsa : Lamiales
Keluarga : Lamiaceae
Marga : Clerodendrum
Jenis : Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.
3. Nama Daerah
Leilem (Minahasa-Sulawesi Utara), deilem (Bali) dan silakurung (Sulawesi
Selatan) (Palobo dkk., 2012).
4. Morfologi Tumbuhan
Ketinggian tanaman leilem rata – rata mencapai 2 meter. Bentuk daunnya
bundar telur, berwarna hijau tua mengkilap, rasanya agak sepat dan sedikit pahit.
Kelopak berwarna putih, berjumlah 5. Benang sari berwarna kemerahan,
umumnya tumbuh di semak dan hutan sekunder di pulau Sulawesi, Indonesia
(Jarret, 2003).
5. Kandungan Kimia
Kandungan kimia yang terkandung dalam leilem antara lain fenol,
flavonoid, terpenoid, steroid, alkaloid dan flavonoid (Patel dan Shrivastava, 2007;
Sangi dkk., 2008).
Beberapa kandungan senyawa dari spesies yang berbeda dengan genus
clerodendrum yang diisolasi diantaranya:
Tabel 1. Senyawa fenolik yang diisolasi dari genus Clerodendrum.
Spesies Senyawa Bagian tanaman
C. aculeatum Cistanoside D, acteoside Seluruh tanaman
C. bungei Asam anisat, asam vanilat,
maltol, acteoside,
leucosceptoside A, isoacteoside,
jinoside
Seluruh tanaman
C. calmitosum Senyawa – senyawa kerabat
pheophorbide
Seluruh tanaman
C.
cryptophyllum
Senyawa – senyawa kerabat
pheophorbide
Seluruh tanaman
C. fragrans Acteoside, leucosceptoside A,
isoacteoside, ester metil dan etil
dari asam kafeat, jnoside
Seluruh tanaman
C. grayi Lucumin, prunasin Seluruh tanaman
C. inerme (3-metoksi-4-hidroksil fenil) etil-
O-2”, 3” –diasetil-a-L-
rhanopiranosil-(1-3)-4-O-(E)-
fernloil-β-D-glukuropiranosida,
verbacosida, isoverbacosida,
Neolignans (I - III)
Seluruh tanaman
C. indicum Cleroindicin A-F Bagian yang berada di
udara/di atas tanah
C. infortunatum Acteoside, asam fumarat, ester
metil dan etil dari asam kafeat
Seluruh tanaman, bunga
C. myricoides Myricoide, acteoside Akar
C. trichotomum Kusagenin, indolizino[8,7 –β]
indole 5-asam karboksilat,
acteoside, isomer acteoside,
leucosceptoside A, martynosida,
isomartynosida, isoacteosida,
jinosida, trichotomoside.
Seluruh tanaman
(Sumber: Patel dan Shrivastava, 2007).
Tabel 2. Flavonoid yang diisolasi dari genus Clerodendrum
Spesies Senyawa Bagian tanaman
C. fragrans Kaempferol Daun
C. indicum Hispidulin, scutellarein, scutellarein-
7-O-β-D-glucuronide
Bunga
C. inerme Apigenin, acacetin, cosmosin,
luteolin, cynaroside, salvigenin,
5-hydroxy-4’-7-dimethoxy-6-flavone,
5-hydroxy-4’-7-
dimethoxy flavone, 4’-
methylscutellarein
Bagian yang
berada di atas
tanah (aerial),
batang, daun
C. infortunatum Apigenin, acacetin and methyl esters
of acacetin-7-O-
glucuronide, cabruvin, quercetin,
scutellarein, scutellarein-7-
O, D-glucuronide, Hispidulin
Apigenin, acacetin dan ester metil
dari acacetin-7-O-
glucuronide, cabruvin, quercetin,
scutellarein, scutellarein-7-
O-β-D-glucuronide, Hispidulin
Bunga, akar
C.mandarinoru
m
Cirsimartin, cirsimartin 4’-glucoside,
quercetin-3-methyl ether
Akar
C.nerrifolium Cleroflavone Daun
C. petasites Hispidulin Bunga
C. phlomidis Apigenin, pectolinerngenin,
chalconeglucoside, 2’-4-4’-
trihydroxy-6’-methylchalcone, 7-
hydroxyflavanone, suatu β -D-
glukosida dari 7-hydroxyflavanone,
naringin-4’-O-α-glucopyranoside
Bunga, daun,
seluruh tanaman
C.siphonenthus Pectolinerngenin Bunga
C.tomentosum 5-hydroxy-4’-7-dimethoxy flavone Batang
C. trichotomum Apigenin Seluruh bagian
tanaman
(Sumber: Patel dan Shrivastava, 2007).
Tabel 3. Senyawa terpen yang diisolasi dari genus Clerodendrum Spesies Senyawa Bagian tanaman
C. chinense Monomelittoside, melittoside,
harpagide, 5-O-β-glucopyranosyl-
harpagide, 8-O-acetylharpagide
Bagian yang berada di
atas tanah (aerial)
C.colebrookianum Triacatane, clerodin, clerodendrin A Seluruh bagian tanaman
C. incisum 8-O-foliamenthoyleuphroside, 2’-O,8-
O-difoliameuthoyleuphroside,
plantarenaloside, euphroside
Seluruh bagian tanaman
C. inerme α dan β-amyrin, royleanone
dehydroroyleanone, caryoptin, 3-
epicaryoptin, 14,15-dihydro-15β-
methoxy-3-epicaryoptin, clerodermic
acid, glutinol, gramisterol, senyawa
Iridoid seperti (inerminoside A-1, B,
C,D), clerodendrins (A-H),
clerodendrin B acetate,
monomelittoside, inermes A, B,
sammangaoside A-C,
betulin, clerodermic acid
Daun, bagian yang
berada di atas tanah
C. mandarinorum Friedelanone, lupeol, asam betulinat Akar
C. neriifolium (-)-Hardwickic acid Daun
C. paniculatum Triacatane, clerodin, clerodendrin A,
3β-acetyloleanolic acid, 3 β
acetyloleanolic aldehyde, glutinol
Daun
C. phlomidis Triacatane, clerodin, clerodendrin A Seluruh bagian tanaman
C. serratum Queretaroic acid, serratagenic acid Seluruh bagian tanaman
C. siphonenthus Unicinatone Akar
C. thomsonae Monomelittoside, melittoside,
harpagide, 5-O-β-glucopyranosyl-
harpagide, 8-O-acetylharpagide,
aucubin, reptoside, ajugoside, 8-
O-acetylmioporoside
Bagian yang berada di
atas tanah
C. trichotomum Clerodendrins (A-H) Seluruh bagian tanaman
C. ugandenese Ugandoside Daun
C. uncinatum Unicinatone Akar
C. wildii Mi-saponin A Akar
(Sumber: Patel dan Shrivastava, 2007).
6. Khasiat Daun
Daun Leilem digunakan untuk mengobati sakit perut, cacingan,
antiinflamasi, antimikroba, antioksidan dan antidiabetes (Arini dan Kinho, 2015 ;
Patel dan Shrivastava, 2007).
Beberapa spesis dari genus ini seperti Clerodendrum inderme, C.
thomosonae, C. indicum, dan C. speciosum, merupakan tanaman -tanaman hias
dan dibiakkan dengan tujuan estetik. Bentuk serbuk/pasta dari dan berbagai
ekstrak dari akar, batang, dan daun telah dilaporkan digunakan sebagai obat
untuk terapi asma, piretikosis, katarak, malaria dan penyakit - penyakit darah,
kulit dan paru. Senyawa kimia terbanyak yang dilaporkan dari genus ini adalah
senyawa - senyawa fenolik, steroid, di – dan triterpene, flavonoid, minyak
menguap.
B. Ekstraksi dan Isolasi Komponen Kimia
1. Ekstraksi
Proses untuk mendapatkan ekstrak disebut ekstraksi, merupakan
penyarian zat berkhasiat atau zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan
dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut (Dirjen POM, 1986).
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman obat.
Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut
organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel,
maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan
berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat
aktif di dalam dan di luar sel.
a. Tujuan Ekstraksi
Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia
yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan
massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai
terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam
pelarut (Adrian, 2000).
b. Jenis-Jenis Ekstraksi
Proses ekstraksi dapat dilakukan secara panas dan secara
dingin.Ekstraksi secara dingin yaitu dengan metode maserasi, metode
perkolasi, dan metode sokletasi, sedangkan ekstraksi secara panas yaitu
dengan menggunakan metode infudasi, metode refluks dan destilasi uap
air.
c. Ekstraksi Secara Maserasi
Salah satu metode ekstraksi yang digunakan yaitu maserasi.
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang
cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan cairan penyari 75
bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil
sesekali diaduk (Dirjen POM, 1986)
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam
cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk
kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, isi sel akan larut karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan di luar sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang
mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan
penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air dan etanol atau
pelarut lain.
Maserasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini
relatif sederhana, yaitu dapat menghindari rusaknya komponen senyawa
akibat panas, tidak memerlukan alat-alat rumit, relatif mudah dan murah.
Kelemahan metode ini diantaranya waktu yang diperlukan relatif lama dan
penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien (Pebriyanthi dan Nidia,
2010).
d. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan bentuk kering, kental atau cair yang dibuat
dengan cara mengambil sari (menyari) simplisia menurut cara yang cocok,
diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Sebagai cairan penyari
digunakan air, etanol, atau campuran etanol dan air (BPOM RI., 2011).
Ekstrak terbagi atas tiga yakni ekstrak cair, ekstrak kental dan
ekstrak kering. Ekstrak cair biasanya memiliki kadar air lebih dari 30 %,
ekstrak kental memiliki kadar air antara 5-30 % dan ekstrak kering
memiliki kadar air kurang dari 5 % (Voight, 1994).
2. Metode Pemisahan
Pemisahan kandungan tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik kromatografi. Pemisahan teknik kromatografi bergantung pada sifat
kelarutan senyawa yang akan dipisah (Sudjadi, 1988).
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik pemisahan
tertentu. Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase yaitu
fase diam dan fase gerak. Pemisahan-pemisahan ini bergantung pada gerakan
relatif dari dua fase ini. Prinsip dari pemisahan adalah adanya perbedaan sifat
fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecenderungan dari molekul untuk melarut
dalam cairan (kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian),
kecenderungan mungkin molekul untuk melekat pada permukaan (adsorpsi,
penjerapan) (Sastrohamidjojo, 2007).
a. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode kromatografi cair yang
paling sederhana, pengunannya meluas dan diakui merupakan cara pemisahan
yang baik, khususnya untuk kegunaan analisis kualitatif KLT dapat digunakan
untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion-ion anorganik, kompleks
senyawa-senyawa organik dan anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik
yang terdapat di alam dan senyawa-senyawa organik sintetik (Gritter, 1991 ;
Adnan, 1997).
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis ialah karena dapat
dihasilkan pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, cepat
dan mudah dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan dapat
dilaksanakan lebih cepat. Kromatografi ini mengunakan lempeng kaca atau
plastik yang dilapisi dengan adsorben berupa serbuk halus dengan ketebalan
0,1-0,25 mm (Gritter, 1991), (Sastrohamidjojo, 2007). Dalam semua teknik
kromatografi, zat-zat terlarut yang dipisahkan bermigrasi sepanjang kolom, dan
tentu saja dasar pemisahan terletak dalam laju perpindahan sebuah zat terlarut
sebagai hasil dua faktor, yang satu cenderung menggerakkan zat terlarut itu, dan
yang lain menahannya (Day dan Underwood, 2002).
Prinsip penampakan noda pada lempeng kromatorafi melalui tiga
cara yaitu: Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan
sampel akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV
254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan
indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya
yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen
tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke
tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali keadaan semula sambil
melepaskan energi.
Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan
berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah
karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor
yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi
cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh
komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi
dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan
semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada
lampu UV 366 nm terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak
berfluororesensi pada sinar UV 366 nm (Sumarno, 2001 ; Qadri, 2010).
Prinsip penampakan noda pereaksi semprot H2SO4 10% adalah
berdasarkan kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam
merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang
gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi
VIS) sehingga noda menjadi tampak oleh mata (Sthal, 2001).
Harga Rf ( Retension Factor)
Perpindahan komponen atau senyawa pada kromatografi ini tergantung
pada jenis pelarut, zat penyerap dan sifat daya serapnya terhadap masing-
masing komponen.Komponen yang larut terbawa oleh fase gerak (cairan
pengelusi) melalui adsorben (fase diam) dengan kecepatan perpindahan yang
berbeda. Perbedaan kecepatan ini dinyatakan dengan Rf (faktor retensi), yaitu
perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dan jarak yang
ditempuh oleh pelarut (Hostetmann, 1985), (Sastrohamidjojo, 2001).
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis
lebih baik dikerjakan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi warna.
Lazimnya identifikasi menggunakan harga Rf meskipun harga-harga Rf
dalam lapisan tipis kurang tepat bila dibandingkan pada kertas.
Dapat didefenisikan sbb :
Faktor-faktor yang memepengaruhi gerakan noda dalam
kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf :
1). Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan
2). Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya
3). Tebal keraataan dari lapisan penyerap
4). Pelarut (dan derajat kemurniannya) fasa gerak
5). Derajat kejenuhan dari uap
6). Jumlah cuplikan yang digunakan
7). Suhu
8). Kesetimbangan
9). Teknik percobaan (Hostetmann, 1985).
b. Fraksinasi
Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan
memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari kandungan yang
lain. Senyawa yang bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan
senyawa non polar akan masuk ke pelarut non polar (Harborne, 1987)
Metode fraksinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan kromatografi kolom. Kolom diisi dengan penyerap padat
sebagai fase tetap dan dialiri dengan pelarut sebagai fase gerak. Cuplikan
yang akan difraksi dimasukan ke dalam kolom dan dialiri fase gerak yang
akan membentuk jalur-jalur serapan dari senyawa. Bila pelarut dibiarkan
mengalir melalui kolom, ia akan mengangkut senyawa-senyawa yang
merupakan komponen-komponen dari campuran. Pemisahan komponen
suatu campuran tergantung pada tingkat kepolaran dari fase gerak dan
senyawa yang terkandung dalam campuran tersebut (Sastrohamidjojo,
2004). Kromatografi kolom yang digunakan dalam fraksinasi ini adalah
kromatografi kolom cair vakum (KCV). Metode ini merupakan modifikasi
dari kromatografi kolom gravitasi dengan menambahkan vakum (penarik
udara) pada bawah kolom. Dapat digunakan untuk fraksinasi atau
memurnikan fraksi (Muhtadi, 2008).
Kromatografi cair vakum (KCV) pertama kali diperkenalkan oleh
para ilmuwan dari Australia untuk mengatasi lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk separasi menggunakan kolom kromatografi klasik. Pada
dasarnya metode ini adalah kromatografi lapis tipis preparatif yang
berbentuk kolom. Aliran fase gerak dalam metode ini diaktifkan dengan
bantuan kondisi vakum (Coll and Bowden, 1986). Kromatografi cair vakum
pada awalnya digunakan untuk separasi senyawaan steroid dan produk-
produk natural dari laut (Targett et al., 1979).
Kromatografi cair vakum terdiri dari suatu corong Buchner yang
memiliki kaca masir. Corong Buchner ini diiisi dengan fase diam yang
tingkat kehalusannya seperti yang umumnya dipakai dalam kromatografi
lapis tipis (70-230 mesh). Corong Buchner yang berisi fase diam ini
digunakan dalam kondisi vakum/bertekanan, yang berakibat pada
kemampuan yang dihasilkan oleh kromatografi cair vakum akan sama
dengan kromatografi gravitasi namun diperlukan waktu yang lebih singkat
(Targett et al., 1979). Cara asli yang diperkenalkan oleh Coll
menggunakan corong Buchner kaca masir atau kolom pendek, sedangkan
Targett menggunakan kolom yang lebih panjang untuk meningkatkan
daya pisah (Hostettman et al., 1986).
Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar
diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang
kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan
lagi. Kolom dihisap sampai kering dan sekarang siap dipakai. Cuplikan,
dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian
atas kolom atau pada lapisan prapenjerap dan dihisap perlahan-lahan ke
dalam kemasan dengan memvakumkannya. Kolom, dielusi dengan
campuran pelarut yang cocok, mulai dengan pelarut yang kepolarannya
rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap sampai
kering pada setiap pengumpulan fraksi. Berbeda dengan metode yang
menggunakan tekanan pada bagian atas kolom untuk meningkatkan laju
aliran, mengotakatik kolom (mengubah pelarut dan sebagainya) mudah
karena kepala kolom berada dalam tekanan atmosfer (Hostettman et al.,
1986).
Fasa diam yang digunakan dikemas dalam kolom yang digunakan
dalam KCV. Proses penyiapan fasa diam dalam kolom terbagi menjadi
dua macam, yaitu:
a. Cara Basah
Preparasi fasa diam dengan cara basah dilakukan dengan
melarutkan fasa diam dalam fase gerak yang akan digunakan. Campuran
kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan dibuat merata. Fase gerak
dibiarkan mengalir hingga terbentuk lapisan fase diam yang tetap dan
rata, kemudian aliran dihentikan (Sarker et al., 2006).
b. Cara kering
Preparasi fasa diam dengan cara kering dilakukan dengan cara
memasukkan fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi.
Fase diam tersebut selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan
digunakan (Sarker et al., 2006).
Preparasi sampel saat akan dielusi dengan KCV juga memiliki
berbagai metode seperti preparasi fasa diam. Metode tersebut yaitu cara
basah dan cara kering (Canell, 1998). Preparasi sampel cara basah
dilakukan dengan melarutkan sampel dalam pelarut yang akan digunakan
sebagai fasa gerak dalam KCV. Larutan dimasukkan dalam kolom
kromatografi yang telah terisi fasa diam. Bagian atas dari sampel ditutupi
kembali dengan fasa diam yang sama. Sedangkan cara kering dilakukan
dengan mencampurkan sampel dengan sebagian kecil fase diam yang
akan digunakan hingga terbentuk serbuk. Campuran tersebut diletakkan
dalam kolom yang telah terisi dengan fasa diam dan ditutup kembali
dengan fase diam yang sama (Canell, 1998; Sarker et al., 2006).
c. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif adalah cara yang ideal untuk
pemisahan cuplikan kecil (50 mg sampai 1 g) dari senyawa. Tebal lapisan
adsorben dibuat sekitar 0,5-2 cm, ukuran pelat kromatografi biasanya 20x20 cm
atau 20x40 cm, setelah adsorben dilapiskan, pelat harus dikeringkan pada suhu
kamar sebelum diaktifkan, untuk mencegah keretakan pada lapisan absorben
(Gritter, 1991 ; Hostetmann, 1985).
Pada KLT preparatif, cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan berupa
garis pada salah satu sisi pelat lapisan besar dan dikembangkan secara tegak
lurus pada cuplikan sehingga campuran akan terpisah menjadi beberapa pita.
Pita yang kedudukannya telah diketahui melalui KLT, dikerok dari pelat dengan
menggunakan spatula. Hasil kerokan tersebut dikumpulkan diatas corong
dengan kertas filter. Kemudian diekstrak dengan pelarut, yang polaritasnya
cukup untuk melarutkan secara kuantitatif. KLT preparatif harus dikerjakan
secepat mungkin untuk tidak terjadi kerusakan pada masing-masing komponen
penyusun (Gritter, 1991 ; Adnan, 1997).
Penampakan pita yang mengandung cuplikan pada KLT Preparatif dapat
dilakukan dengan menggunakan sinar UV dan pereaksi semprot (Adnan, 1997).
3. Metode Identifikasi
Pada identifikasi suatu kandungan bahan alam, setelah kandungan itu diisolasi
dan dimurnikan, pertama-tama harus ditentukan dahulu golongannya kemudian
barulah ditentukan jenis senyawa dalam golongan tersebut. Golongan senyawa
biasanya dapat ditentukan dengan uji warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf,
dan ciri spektrum UV, IR, dan GC-MS. Identifikasi lengkap dalam golongan
senyawa bergantung pada pengukuran sifat atau ciri lain, yang kemudian akan
dibandingkan dengan data dalam pustaka (Harbone, 1987).
C. Antimikroba
1. Pengertian Antimikroba
Bahan-bahan atau obat-obatan yang digunakan untuk
memberantas infeksi mikroba pada manusia termasuk diantaranya
antibiotika, antiseptika, desinfektan, dan preservatif.
Obat-obat yang digunakan untuk membasmi mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi pada manusia, hewan, ataupun tumbuhan harus
bersifat toksisitas selektif artinya obat atau zat tersebut harus bersifat
toksik terhadap mikroorganisme penyebab penyakit tetapi relatif tidak
toksik terhadap jasad inang atau hospes (Djide dan Sartini, 2008).
2. Sifat Antimikroba
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat
menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas
bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai
aktivitas bakterisid.
a. Bakteriostatik
Zat atau bahan yang dapat menghambat atau menghentikan
pertumbuhan mikroorganusme (bakteri). Dalam keadaan seperti ini jumlah
mikroorganisme menjadi stasioner, tidak dapat lagi bermultiplikasi dan
berkembang biak. Contoh sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
eritromisin.
b. Bakterisid
Zat atau bahan yang dapat membunuh mikroorganisme (bakteri).
Dalam hal ini jumlah mikroorganisme (bakteri) akan berkurang atau
bahkan akan habis, tidak dapat lagi melakukan multiplikasi atau
berkembang biak. Contoh penisilin, sefalosporin, dan neomisin (Djide dan
Sartini, 2008).
3. Prinsip Kerja Antimikroba
Antimikroba memperlihatkan toksisitas yang selektif, dimana
obatnya lebih toksik terhadap mikroorganismenya dibandingkan pada sel
hospes. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh obat yang selektif terhadap
mikroorganisme atau karena obat pada reaksi-reaksi biokimia yang
penting dalam sel parasit lebih unggul dari pada pengaruhnya terhadap
hospes. Disamping itu struktur sel mikroorganisme berbeda dengan
struktur sel manusia (hospes, inang) (Djide dan sartini, 2008).
2. Mekanisme Antimikroba
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima
kelompok, yaitu:
a. Mengganggu metabolisme sel mikroba.
Pada umumnya bakteri memerlukan para amino benzoic acid
(PABA) untuk mensintesis purin dan piriidin (prekursor DNA dan RNA),
bila asam folat tidak ada, sel-sel tidak dapat tumbuh atau membelah
(Mycek, 2001).
Antimikroba bekerja memblok terhadap metabolit spesifik mikroba,
seperti sulfonamida. Sulfonamida menghambat pertumbuhan sel dengan
menghambat sintesis asam folat, para amino benzoic acid (PABA), dan
bekerja secara kompetitif untuk enzim-enzim yang langsung
mempersatukan PABA dan sebagian pteridin menjadi asam dihidraptroat
(Djide dan Sartini, 2008).
b. Menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Dinding sel mikroba secara kimia adalah peptidoglikan yaitu suatu
kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Struktur dinding sel dapat
rusak dengan cara menghambat reaksi pembentukannya atau
mengubahnya setelah dinding sel tersebut selesai dibentuk.
Antimikroba ini dapat menghambat sintesis atau menghambat
aktivitas enzim seperti enzim transpeptidase yang dapat menimbulkan
kerusakan dinding sel yang berakibat sel mengalami lisis. Contohnya:
Basitrasin, Sefalosporin, Sikloserin, Penisilin, Vankomisin (Ganiswarna,
1995 dan Jawetz dkk., 2008).
c. Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba.
Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu
didalam sel dan mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain.
Membran sel memelihara integritas komponen-komponen seluler.
Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan menghambatnya
pertumbuhan sel atau matinya sel, akibatnya mikroba akan mati. Jika
fungsi integritas membran sitoplasma dirusak, dalam hal ini antimikroba
dapat berinteraksi dengan sterol sitoplasma pada jamur, dan merusak
membran sel bakteri gram negatif. Contohnya: Amfoterisin β, kolistin,
imidasol, polien, polimiksin (Ganiswarna, 1995 dan Jawetz dkk., 2008).
d. Menghambat sintesis protein sel mikroba.
Hidupnya suatu sel tergantung pada terpeliharanya molekul-
molekul dalam keadaan alamiah. Suatu kondisi atau substansi mengubah
keadaan ini yaitu mendenaturasi protein dengan merusak sel tanpa dapat
diperbaiki kembali. Suhu tinggi atau konsentrasi beberapa zat dapat
mengakibatkan koagulasi irreversibel komponen-komponen seluler yang
vital ini.
Antimikroba mempunyai fungsi pada ribosom pada mikroorganisme
yang menyebabkan sintesis protein terlambat. Dimana dapat berikatan
dengan ribosom 30S yang dapat menyebabkan akumulasi sintesis protein
awal yang kompleks, sehingga salah dalam menerjemahkan tanda mRNA
dan menghasilkan polipeptida yang abnormal. Selain itu juga dapat
berikatan dengan ribosom 50S yang dapat menghambat ikatan asam
amino baru pada rantai peptida yang memanjang. Contohnya:
aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, dan linkomisin
(Ganiswarna, 1995).
e. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
DNA dan RNA merupakan suatu proses kehidupan sel yang sangat
penting. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada
pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan total pada sel. Dalam hal ini mempengaruhi metabolisme asam
nukleat, seperti berikatan dengan enzim DNA dependen RNA-polymerase
bakteri, memblokir helix DNA. Contoh: quinolon, pyrimethamin,
sulfonamida, trimethoprim, dan trimetrexat (Pelczar et al., 2008).
D. Metode Uji Antimikroba
Pengujian antimikroba merupakan teknik yang penting dalam ilmu
biologi modern. Hal ini dilakukan untuk menentukan resistensi strain
mikroba terhadap agen antimikroba yang berbeda, dalam penelitian
farmakologi dapat digunakan untuk menentukan sensitivitas antimikroba
baru dari ekstrak biologis terhadap mikroorganisme. Pengujia kerentanan
antimikroba juga digunakan untuk menyaring ekstrak tanaman yang
memiliki aktivitas antimikroba (Das dkk., 2010). Menurut pratiwi 2008,
terdapat beberapa metode pengujian antimikroba, yaitu:
a. Metode Difusi
Metode difusi agar merupakan uji antimikroba yang banyak
digunakan hingga saat ini, metode ini telah dijelaskan oleh Bauer, Kirby,
Sherris dan Truck umumnya dikenal dengan tes Kirby-Bauer.
Difusi adalah proses perpindahan molekul secara acak dari satu
posisi ke posisi lain. Pada pengujian potensi suatu antibiotik dengan difusi
agar menggunakan media padat yang pada permukaanya telah
diinokulasikan mikroorganisme uji yang sensitif terhadap antibiotik yang
secara merata. Paper disk diletakkan pada permukaan media tersebut
yang sebelumnya telah direndam dalam larutan antibiotika atau sampel
yang akan diuji (Djide dan Sartini, 2008).
Metode ini menggunakan cakram uji untuk menyerap konsentrasi
ekstrak tumbuhan yang diinginkan. Cakram tersebut kemudian diletakkan
pada permukaan media agar padat yang cocok seperti Mueller Hinton
Agar, Tryptone Soy Agar atau Nutrient Agar setelah media diinokulasi
dengan mikoorganisme uji. Cakram kemudian diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37ο C untuk bakteri dan 48 jam pada suhu 25ο C untuk fungi,
setelah diinkubasi diameter zona hambat yang ada disekitar cakram
diukur (Das dkk., 2010).
b. Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution)
dan dilusi padat (solid dilution). Metode ini digunakan untuk mengukur
Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Prinsip
dari metode ini adalah dengan membuat seri pengenceran antimikroba
pada medium cair yang telah ditambahkan mikroba uji. Ekstrak dikatakan
aktif jika pada konsentrasi ≤ 1000 µg/ml mampu membunuh/ menghambat
pertumbuhan mikroba uji dengan tidak adanya pertumbuhan mikroba
pada permukaan media pertumbuhan (Hoffmann et al., 1993).
1. Metode dilusi cair (broth dilution)
Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau
kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan
membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang
ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar
terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji
ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut
selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji
ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair
yang tetap terihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM.
2. Metode dilusi padat (solid dilution)
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan
media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen
antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba
uji (Pratiwi, 2008).
c. Metode Turbidimetri (Dilusi)
Prinsip pengujian dengan metode ini adalah membandingkan
derajat hambatan pertumbuhan mikroorganisme uji oleh dosis antibiotika
yang diuji terhadap hambatan yang sama oleh dosis antibiotika baku
pembanding dalam media cair. Salah satu hal yang mempengaruhi
keberhasilan metode ini adalah lama waktu inkubasi dan keseragaman
suhu selama waktu inkubasi (Djide, 2008).
d. Metode KLT-Bioautografi
Metode KLT-Bioautografi dapat digunakan untuk mengisolasi
senyawa aktif yang telah diuji. KLT bioautografi memiliki keuntungan
antara lain cepat, mudah disiapkan, relatif murah, tidak memerlukan
peralatan yang rumit, hanya diperlukan beberapa mikrogram senyawa uji,
dan hasilnya mudah untuk diinterpretasikan. Pemisahan senyawa dalam
ekstrak tanaman dengan KLT yang dipadukan dengan bioautografi dapat
digunakan sebagai metedo isolasi yang mengacu pada pengujian hayati
(bioassay-guided isolation method) untuk mengamati dan mengidentifikasi
senyawa dengan memanfaatkan aktivitas biologis pada ekstrak sampel
yang diuji. Pada bioautografi ini didasarkan atas efek biologi berupa
antibakteri, anti protozoa, antitumor, dan lain-lain dari substansi yang
diteliti.
Ciri khas dari prosedur bioautografi adalah didasarkan atas teknik
difusi agar, dimana senyawa antimikrobanya dipindahkan dari lapisan KLT
ke medium agar yang telah diinokulasikan dengan merata bakteri uji yang
peka. Dari hasil inkubasi pada suhu dan waktu tertentu akan terlihat zona
hambatan di sekeliling dari spot dari KLT yang telah ditempelkan pada
media agar. Zona hambatan ditampakkan oleh aktivitas senyawa aktif
yang terdapat di dalam bahan yang diperiksa terhadap pertumbuhan
mikroorganisme uji (Hamburger, 1987; Djide dan Sartini, 2008).
E. Uraian Bakteri Uji
1. Escherichia coli (Garrity et al., 2004)
a. Klasifikasi
Domain : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gammaproteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
b. Sifat dan Morfologi
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang lurus,
1,1 -1,5 µm, motil dengan flagellum peritrikum atau non motil dan tidak
mempunyai kapsul. E. Coli tumbuh optimal pada suhu 22οC dan 37οC
membentuk koloni yang sirkular, konveks dan halus dengan tepi yang
tegas. Tumbuh dengan mudah pada medium nutrien sederhana. Laktosa
difermentasi oleh sebagian besar galur dengan produksi asam dan gas
(Pelczar et al., 2008).
2. Staphylococcus aureus (Garrity et al., 2004)
a. Klasifikasi
Domain : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Ordo : Bacillales
Familia : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
b. Sifat dan Morfologi
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
seperti bola, berdiameter 0,5 – 1,5 µm, terdapat dalam tunggal dan
berpasangan dan secara khas membelah diri pada lebih dari satu bidang
sehinggan membentuk gerombolan yang tak teratur. Non motil. Bakteri ini
hidup dalam saluran pengeluaran lendir dari tubuh matidak diketahui
adanya stadium istirahat. Manusia dan hewan seperti hidung, mulut
tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Dinding
sel mengandung dua komponen utama yaitu peptidoglikan dan asam
teikoat yang berkaitan dengannya. Kemoorganotrof. Metabolisme dengan
respirasi dan fermentatif. Anaerob fakultatif, tumbuh lebih cepat dan lebih
banyak dalam keadaan aerobik. Suhu optimum 35 – 40οC. Kisaran
inangnya luas, dan banyak galur merupakan patogen potensial (Pelczar et
al., 2008). S. aureus memiliki kemampuan untuk mensintesis lipase yang
dapat mengubah sebum trigliserida menjadi asam lemak bebas yang
dapat merangsang inflamasi (Sukatta dkk, 2008 ; Aziz, 2
F. Kerangka Teori
G. Kerangka konsep
(Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.)
Metabolit primer Metabolit sekunder
Alkaloid Flavonoid
Fenol Terpenoid Steroid
Senyawa antibakteri dari Clerodendrum minahassae Teijsm. dan Binn.
G. Kerangka Konsep
Keterangan: = Variabel bebas
= Variabel antara
= Variabel terikat
= Variabel terkendali
= Hubungan variabel bebas
= hubungan variabel terikat
= Hubungan variabel kendali
H. Hipotesis
1. Ekstrak Clerodendrum minahassae memiliki aktivitas sebagai
antibakteri.
2. Senyawa Clerodendrum minahassae memiliki aktivitas antibakteri
terhadap beberapa bakteri uji.
Lokasi Pengambilan
Sampel
Pembuatan
simplisia
Metode ekstraksi
Aktivitas Antibakteri
Bakteri uji:
Escherichia coli
Staphylococcus
aureus
Komposisi medium
Suhu dan lama
inkubasi
pH medium
Clerodendrum minahassae
Teijsm. Dan Binn.
Metabolit Primer
dan Sekunder