Transcript
Page 1: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN
Page 2: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

ISBN 978-602-99218-6-1

PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012 Terbit Tahun 2013 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir. Murniati Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Page 3: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2013 ISBN : 978-602-99218-6-1 Foto Sampul : Eko Priyanto Farika Dian Nuralexa Desain Sampul : Tommy Kusuma AP © P3KR 2013 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) 8633234 Fax : (0251) 8638111 E-mail: [email protected] Website: http://www.p3kr.com Dicetak oleh : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Page 4: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

iii

Tim Penyunting

Penanggung Jawab Redaktur

: :

Ir. Bambang Sugiarto, M.P Ir. Didik Purwito, M.Sc

Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc

Dr. Ir. Murniati Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr

Sekretariat : Ir. Hariono Retisa Mutiaradevi, S.Kom, MCA

Rara Retno Kusumastuti R, S.H, M.Hum

Eko Priyanto, SP Farika Dian Nuralexa, Shut

Zamal Wildan, S.Kom Wahyu Budiarso, S.P Tommy Kusuma AP

Page 5: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

iv

KATA PENGANTAR Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS harus ditingkatkan sebagai akibat dari terjadinya penurunan daya dukung DAS yang ditandai dengan banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Daerah aliran sungai termasuk kategori dipertahankan atau dipulihkan daya dukungnya tergantung dari kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Untuk itu maka pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Dengan terbitnya PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, maka Indonesia memiliki acuan sehingga pengelolaan DAS secara terpadu dapat dilaksanakan dan daya dukung DAS dapat dipertahankan. Selain itu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS diperlukan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran dan dukungan dalam pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012. Penyelenggaraan tersebut

Page 6: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

v

Bogor, Agustus 2013 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002

adalah sebagai bentuk tanggung jawab BPTKPDAS sebagai lembaga litbang yang bergerak di bidang pengelolaan DAS. Penyelenggaraan Kegiatan Seminar Nasional dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain kepada pengguna. Semoga hasil-hasil tersebut dapat dicermati dan dimanfaatkan oleh parapihak terkait dan diharapkan kegiatan penelitian bidang pengelolaan DAS ke depan dapat ditingkatkan. Dengan demikian Penyelenggaraan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 adalah menyampaikan hasil-hasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain agar memperoleh umpan balik dari pengguna. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 ini memuat 14 judul materi yang dibahas, serta rumusan seminar yang merangkum keseluruhan dari hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihak-pihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat.

Page 7: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………….......................... v DAFTAR ISI……………………………………………....................... vi PENGARAHAN

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan............... viii

RUMUSAN Rumusan Seminar........................…………………………............... xii

MAKALAH-MAKALAH

1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai / Paimin, Ugro Hari Murtiono, Agus Wuryanta (BPKTPDAS)....................................................... 1

2. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang / Pamungkas Buana Putra, Irfan Budi Pramono(BPKTPDAS)....... 18

3. Revisi Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Lusi Dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan Sistem Informasi Geografis / Agus Wuryanta, Aris Budiyono, Beny Harjadi (BPKTPDAS).................................................................................. 43

4. Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati / Evi Irawan (BPKTPDAS).................................................................................. 56

5. Partisipasi Masyarakat Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah / C. Yudilastiantoro (BPKTPDAS)................................................... 78

6. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Hasil Air: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Bajulmati / Purwanto, Irfan Budi Pramono (BPKTPDAS).................................................................. 92

7. Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu / Agung Budi Supangat, Pamungkas Buana Putra (BPKTPDAS).................................................................................. 110

8. Analisis Kualitas Air pada Tanaman Kayuputih di Mikro DAS Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta / Ugro Hari Murtiono (BPKTPDAS).......................... 132

Page 8: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

vii

9. Perubahan Tingkat Sedimen Terlarut di Sungai Keduang Periode 1994-2010 / Gunardjo Tjakrawarsa, Irfan Budi Pramono (BPKTPDAS).................................................................. 146

10. Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut Di Segara Anakan Cilacap / Ugro Hari Murtiono, Gunardjo Tjakrawarsa, Uchu Waluya Heri Pahlana (BPKTPDAS) ................................................................................. 164

11. Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis di Gunung Batur, Bangli (Hasil Awal) / Gunardjo Tjakrawarsa, Budi Hadi Narendra (BPK Mataram) ........................................................... 177

12. Komposisi Dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bali Barat / Arina Miardini, Agung Budi Supangat (BPKTPDAS) ................................................................................. 203

13. Penanganan Lahan Pantai Berpasir Dengan Tanaman Tanggul Angin Cemara Laut / Beny Harjadi (BPKTPDAS)......................... 221

14. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub Daerah Aliran Sungai Tulis / S. Andy Cahyono, Purwanto (Mahasiswa S3 UGM) ....................................................................................... 239

LAMPIRAN

Jadwal Acara....................................................................................... 268

Daftar Peserta..................................................................................... 272 Hasil Diskusi......................................................................................... 277

Page 9: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

viii

PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Dalam Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan

Pengelolaan DAS 2012

Yth. Para Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten atau yang mewakili Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai,

Kepala Pusat/Kepala Balai Besar/ Kepala Balai Lingkup Badan Litbang Kehutanan khususnya dan Kementerian kehutanan Umumnya,

Bapak/Ibu peserta seminar (peneliti, praktisi, penentu kebijakan, dll) yang berbahagia

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia kepada kita, serta atas perkenaan-Nya pulalah kita bisa hadir pada acara seminar dalam keadaan sehat wal afiat dan suasana yang penuh kebahagiaan. Bapak Ibu peserta seminar yang kami hormati, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia patut disyukuri, dilindungi dan diurus dengan sebaik-baiknya. DAS memiliki persoalan yang sangat komplek tetapi diantaranya juga mempunyai potensi yang besar untuk pembangunan, oleh karena itu perlu dikelola dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan sehingga masyarakat memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan pula.

Page 10: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

ix

Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Bencana banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat adalah merupakan tanda-tanda penurunan daya dukung DAS. Amanah UU No. 41 tahun 1999 salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolan DAS yang obyektif dan rasional untuk mengatasi permasalahan pengelolaan DAS tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Sebagai landasan penyelenggaraan pengelolaan Pengelolaan DAS, telah terbit PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Untuk mengimplementasikan PP tersebut, masih diperlukan pemahaman bersama oleh parapihak terkait sehingga dapat dilaksanakan dengan selaras dan terpadu. Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS diperlukan serangkaian IPTEK di bidang pengelolaan DAS yang adoptif sebagai dasar untuk menjawab permasalahan / dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang kian berkembang. Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS. Sasaran Seminar untuk menyampaikan hasil penelitian dan menjaring masukan untuk penyempurnaan dan tindaklanjut.

Page 11: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

x

Luaran yang ingin dicapai hasil-hasil penelitian cepat sampai kepada pengguna (praktisi, penentu kebijakan) dan dimanfaatkan. Seminar ini juga merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Nomor NK.3/VIII-SET/2011 dan Nomor NK.2/V-SET/2011 tanggal 27 Juni 2011 Tentang IPTEK Pengelolaan DAS sebagai Landasan Kebijakan Operasional. Untuk meningkatkan sinergitas kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan sebagai penyedia IPTEK dengan pengguna IPTEK, terutama Ditjen BPDASPS, maka perlu Kehadiran Direktur PEPDAS Ditjen BPDASPS sebagai keynote speech untuk menyampaikan ”Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS Dalam Mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012” . Dalam melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan, telah dijalin pula kerjasama dengan Perum Perhutani. Maksud kerjasama adalah untuk mendayagunakan dan mensinergikan sumberdaya antara Perum Perhutani dan Badan Litbang dalam rangka penelitian dan pengembangan, pemanfaatan dan penerapan hasil-hasilnya. Ruang lingkup kerjasama meliputi litbang di bidang kehutanan, sosialisasi dan diseminasi hasil, penerapan dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Langkah awal telah disepakati Bersama (Memorandum of Understanding) antara Badan Litbang Kehutanan dengan Perum Perhutani Tentang Kesepakatan Bersama Melaksanakan Kerjasama Penelitian dan Pengembangan serta Penerapan dan Pemanfaatan Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Nomor NK. 1/VIII-SET/2012 dan Nomor 034/SJ/DIR/2012, tanggal 23 April 2012.

Page 12: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xi

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama tersebut, telah diupayakan perjanjian kerjasama (PKS) litbang yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan Hutan Penelitian yang berada di wilayah Perum Perhutani Unit I dan II, dan oleh karena itu pada kesempatan ini akan dilakukan penandatanganan PKS lingkup badan Litbang Kehutanan yaitu antara BPTKPDAS Solo dan PUSKONSER Bogor dengan Puslitbang Perum Perhutani Cepu. Maksud PKS tersebut adalah untuk meningkatkan sinergitas dan efisiensi penelitian dan atau pengembangan serta pengelolaan KHDTK secara kolaboratif sehingga diperoleh peningkatan nilai hutan dan lingkungan. Saudara-saudara hadirin yang berbahagia, Penyelenggaraaan seminar ini sangat penting bagi kita bersama. Oleh karena itu kami mohon agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam diskusi, sehingga nantinya dapat diperoleh nilai manfaat secara maksimal. Demikian sedikit pengantar kami tentang latar belakang pentingnya penyelenggaraan seminar ini. Semoga pada akhir acara nanti dapat dirumuskan temuan-temuan penting untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan pimpinan dalam menghadapi tantangan pengelolaan DAS terkini. Akhir kata, semoga kegiatan ini bermanfaat bagi semua institusi yang terkait di bidang Pengelolaan DAS maupun para pengguna sehingga terjalin hubungan timbal balik yang bermanfaat bagi kemaslahatan negara, pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirochim, Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 kami nyatakan “dibuka” secara resmi. Wassalamualaikum Wr. Wb. Kepala Badan Litbang Kehutanan,

Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc.

Page 13: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xii

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL

“Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012” (5 September 2012)

Berdasarkan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; keynote speech: Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012 oleh Direktur Perencanaan & Evaluasi Pengelolaan DAS – Ditjen BPDASPS; paparan narasumber komisi; serta hasil diskusi, maka seminar ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Hasil Rumusan Sidang Komisi I 1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya

Dukung Daerah Aliran Sungai (Ir. Paimin MSc,dkk) a. Berdasarkan tingkat kerentanan lahan terhadap erosi, Sub

DAS Tuntang Hulu, merupakan wilayah yang harus mendapat prioritas penanganan.

b. Berdasarkan analisis untuk karaterisasi DAS, DAS Tuntang memiliki potensi pasokan air banjir yang tinggi, maka berdasarkan klasifikasi DAS menurut PP 37 Tahun 2012, DAS Tuntang termasuk pada kategori dipulihkan.

c. Sedangkan berdasarkan karakteristik/tipologi lahan dan pasokan air banjir maka urutan penangan DAS Tuntang adalah hulu, tengah kemudian hilir.

d. Hasil identifikasi ini diharapkan bias digunakan sebagai penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya khususnya di Kabupaten Demak.

- Berdasarkan tingkat kerentanannya, karakteristik lahan dan pasokan air banjir maka DAS Tuntang dikategorikan sebagai DAS yang dipulihkan, dan prioritas penanganan dilakukan di bagian hulu DAS.

Page 14: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xiii

- Penyusunan kriteria DAS sebaiknya menggunakan parameter yang workable. Termasuk penentuan actor perusak DAS, dan siapa dan apa yang sebaiknya ditangani.

- Buku Perencanaan Pengelolaan DAS telah memberikan arahan parameter mana yang bias digunakan untuk menganalisis kondisi DAS lingkup kabupaten, lintas kabupaten dan lintas popinsi.

2. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang (Pamungkas BPS.Hut, dkk)

a. Mempertimbangkan luas kawasan hutan di DAS Serang yang 14,96% merupakan wilayah Unit I Jawa Tengah, dan sebesar 45% KPH (terdiri dari 9 KPH) dari Unit I Jawa Tengah. Dengan demikian KPH Unit I Jawa Tengah merupakan stakeholders utama yang mengelola DAS Serang.

b. Terkait dengan sinkronisasi system perencanaan hutan dan sistem perencanaan pengelolaan DAS, Bagian Hutan menjadi wadah dalam sinkronisasi-kolaborasi kedua system perencanaan tersebut.

c. Pada pengelolaan DAS, setiap unit pengelolaan hutan dalam melaksanakan pengelolaan hutan hendaknya mengacu pada karakteristik dari DAS yang bersangkutan (ayat 3 pasal 32 PP No. 44 tahun 2004).

d. Sinergitas antara sistem perencanaan DAS terhadap sistem perencanaan kehutanan dilakukan melalui penyusunan Rencana Pengelolaan hutan yang berdasar/mengacu pada Rencana Pengelolaan DAS. Penyusunan Rencana pengelolaan hutan (baik konservasi maupun lindung dan produksi) yang telah dilaksanakan selama ini juga telah mengaitkan antara keberadaan kawasan hutan dengan DAS. Di dalam menyusun rencana pengelolaan hutan konservasi, faktor kondisi Daerah Aliran Sungai dan sumber daya air menjadi salah satu unsur ekologi yang mendasari penyusunan rencana pengelolaan hutan (pasal 8 Permenhut No. 41/Menhut-II/2008).

e. Demikian juga perencanaan hutan untuk hutan lindung dan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani telah

Page 15: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xiv

mengaitkan unsur pengelolaan DAS. Unsur pengelolaan DAS menjadi salah satu unsur agenda tujuan pengelolaan hutan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai contoh adalah RPKH (Revisi) KPH Cepu Jangka 2009-2013. Sasaran dan strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan aktivitas kelola lingkungan di kawasan hutan berupa penataan KPS; penerapan teknik KTA, monitoring tata air, erosi dan sedimentasi; monitoring tingkat kesuburan. (SPH IV, 2009).

f. Perencanaan makro dari Perencanaan Pengelolaan DAS diadopsi melalui RPKH lingkup Bagian Hutan (BH) untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi (baik CA, SM, TN dan Tahura). - Sinkronisasi perencanaan kehutanan di lingkup Perhutani

dalam upaya mendukung pengelolaan DAS dilakukan melalui Bagian Hutan untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi.

- Hutan merupakan bagian dari ekosistem DAS, oleh karena itu rencana pengelolaan kehutanan hendaknya mengacu pada rencana pengelolaan DAS.

3. Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG (Ir. AgusWuryanta, MSc) Telah terjadi perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan di DAS Lusi, seperti Sawah Irigasi pada peta RBI seluas 11.941,65 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra SPOT 2 menjadi seluas 1.797,85 ha atau berkurang 10.143,8 ha. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada saat perekaman citra yaitu tanggal 19 Juni 2006 (musim kemarau) sebagian areal tersebut tidak ada vegetasi (setelah musim panen) sehingga terklasifikasi pada citra sebagai lahan kosong. Jenis penutupan/penggunaan lahan Sawah Tadah Hujan pada peta RBI seluas 39.796,25 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra pada areal tersebut terdapat berbagai jenis penutupan vegetasi seperti mahoni, jati, dan belukar/semak.

- Revisi citra SPOT bias dilakukan pada peta RBI suatu lokasi untuk mendapatkan gambaran mutakhir keadaan suatu wilayah.

Page 16: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xv

- Citra dengan resolusi besar akan memberikan hasil dan akurasi yang lebih baik.

4. Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati (Dr. Evi Irawan)

a. Sistem PHBM ternyata tidak banyak merubah karakteristik property rights Perhutani, tetapi merubah karakteristik property rights masyarakat desa hutan, khususnya LMDH, ke arah yang lebih baik meskipun belum ideal. Namun demikian, beberapa hal yang perlu disadari adalah bahwa sistem PHBM ternyata belum mampu meningkatkan derajat eksklusivitas pemegang hak atas sumber daya hutan yang ada di dalam kawasan hutan pangkuan desa, kecuali pohon jati. Pihak-pihak luar yang bukan merupakan anggota LMDH dapat dengan mudah mengakses dan sekaligus mengambil kayu bakar, hijauan makanan ternak, dan lain-lain.

b. Rendahnya derajat eksklusivitas dan fleksibilitas property rights yang dikuasai LMDH pada sistem PHBM dapat berimplikasi pada melemahnya dorongan LMDH dalam melestarikan sumberdaya hutan tanaman jati, kecuali tegakan jati, di kawasan hutan pangkuan desa. Dengan kata lain, sistem PHBM kurang dapat mendorong LMDH memanfaatkan sumberdaya hutan secara optimal sehingga dapat menjadi sumber aliran pendapatan regular bagi LMDH maupun masyarakat desa hutan.

c. PHBM tampaknya perlu dirombak sedemikian rupa sehingga dapat memberikan suatu struktur property rights yang mampu memberikan insentif bagi masyarakat desa atau LMDH untukturutsertadalam pelestarian sumberdaya hutan. - Perombakan PHBM yang memberikan kepastian dan

insentif kepada masyarakat untuk turut serta melestarikan sumberdaya hutan. Hal ini pada hakekatnya akan membawa dampak positif pada peningkatan kesehatan DAS.

- Perlu difikirkan upaya menciptakan watershed governance untuk meningkatkan tata kelola DAS melalui penelitian tentang property right.

Page 17: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xvi

5. Tingkat Partisipasi Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah (Ir. YudiLastiantoro, MP)

a. Rata-rata tingkat partisipasi responden terhadap usaha konservasi tanah dan air adalah rendah sampai sedang.

b. Kenyataan di lapangan, para petani di Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu sudah menerapkan kaidah konservasi tanah di lahannya. Terdapat dua metode konservasi tanah yang telah dilaksanakan, yaitu metode vegetative dan teknik sipil. Metode vegetative yang dilakukan petani adalah menanam tanaman keras di tebing jurang, menanam rumput di gulud dan agroforestry. Metode teknik sipil yang diterapkan dalam melaksanakan konservasi tanah berupa: pembuatan saluran pembuangan air dan pembuatan dam kecil penahan sedimen di badan sungai.

c. Karakteristik tipologi partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari adalah partisipasi fungsional, yaitu masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari kegiatan, setelah ada keputusan-keputusan yang telah disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung dari pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukan kemandiriannya.

d. Tujuan partisipasi (1) Meningkatkan penghasilan masyarakat dari kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berkaidah konservasi tanah dan air. (2) Melestarikan hutan, tanah dan alam sekitarnya termasuk mengurangi bahaya erosi (3) Melestarikan sumberdaya air, khususnya air bersih untuk keperluan seluruh warga desa. - Partisipasi masyarakat sangat penting sebagai upaya

meningkatkan kesehatan DAS. Partisipasi dilakukan masyarakat petani dalam bentuk pembuatan bangunan konservasi seperti teras, gulud, dan SPA serta perlakuan vegetatif berupa penanaman tanaman keras.

Page 18: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xvii

Hasil Rumusan Sidang Komisi II 1. DAS dapat dipandang sebagai sistem hidrologis yang dipengaruhi

oleh peubah curah hujan yang masuk ke dalam sistem. DAS merupakan suatu kesatuan pengelolaan lingkungan dengan menyatukan berbagai tipe ekosistem di daratan antara wilayah hulu sampai hilir yang terhubung melalui siklus/daur hidrologi. Dalam hal ini, tiga aspek utama dalam pengelolaan DAS yang perlu diperhatikan meliputi jumlah/hasil air (water yield), waktu penyediaan (water regime) dan sedimen.

2. Perubahan iklim yang disebabkan oleh faktor alami dan perilaku manusia dapat menyebabkan meningkatnya rerata suhu udara maksimum pada jangka panjang yang pada akhirnya dapat meningkatkan laju evapotranspirasi dan mempengaruhi hasil air pada ekosistem DAS. Terkait dengan siklus hidrologi, perubahan iklim mempengaruhi anomali distribusi curah hujan baik secara spasial maupun temporal. Namun demikian pada skala kecil, pola curah hujan tahunan, debit sungai dan hasil air cenderung tidak terpengaruh oleh adanya perubahan iklim, meskipun ada kecenderungan menurunnya jumlah air tersedia untuk keperluan rumah tangga maupun budidaya pertanian. Untuk menyikapi kelangkaan air untuk budidaya pertanian, khususnya pada musim kemarau, masyarakat perlu menerapkan pola tanam tumpang gilir.

3. Informasi kondisi neraca air pada suatu wilayah diperlukan dalam perencanaan pengelolaan kawasan, terutama pada daerah kering, termasuk dalam pengembangan komoditas pertanian dan kehutanan beserta pola tanamnya. Pada kawasan hutan jati, potensi defisit air pada bulan-bulan kering dalam satu tahun relatif tinggi namun potensi pasokan air ke dalam tanah di bulan-bulan basah sebagai simpanan air tanah sangat kecil. Sehingga pada kawasan tersebut ada kecenderungan bahwa curah hujan yang dapat dimanfaatkan tidak mencukupi besarnya kebutuhan air oleh tanaman. Dengan demikian, perlu adanya tambahan air dari irigasi, khususnya untuk tanaman budidaya pertanian di sekitar hutan jati.

Page 19: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xviii

4. Kuantitas dan kualitas air merupakan permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air DAS, baik pada daerah hulu maupun hilir. Penurunan kualitas air berdampak buruk pada kesinambungan ekosistem DAS. Pada daerah hulu, penurunan kualitas air lebih disebabkan oleh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman melalui sedimentasi, penumpukan hara dan pencemaran bahan kimia pestisida. Pada kawasan hutan dengan tanaman kayu putih, permasalahan utama yang dihadapi adalah terkait dengan ketersedian air tanah maupun air permukaan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, di mana masyarakat sekitar kawasan sering mengalami kelangkaan air untuk kebutuhan domestik maupun untuk bercocok tanam. Sementara itu, berdasarkan beberapa parameter penentuan kelas kualitas air menurut peraturan yang berlaku, diperoleh informasi bahwa air pada kawasan hutan kayu putih secara umum masih dapat digunakan sebagai bahan baku air minum dan untuk pengairan tanaman.

5. Tingginya laju sedimentasi karena erosi yang disebabkan oleh perubahan penutupan lahan, terutama berkurangnya luasan penutupan hutan dan bertambahnya luasan areal pemukiman, dapat menyebabkan terganggunya fungsi waduk dalam pengaturan penampungan, penyimpanan dan pendistribusian air. Pada jangka panjang, meningkatnya jumlah sedimen terlarut yang masuk ke dalam waduk dapat memperpendek umur teknis waduk. Upaya penurunan laju sedimentasi melalui kegiatan konservasi tanah dengan penanaman pohon dan pembuatan bangunan sipil teknis perlu dilakukan dengan melibatkan secara aktif masyarakat setempat untuk menyelaraskan antara kebutuhan masyarakat dan kelestarian lingkungan DAS, khususnya pada daerah tangkapan waduk. Pola agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan lahan pada daerah hulu yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat sekaligus memberikan manfaat perlindungan bagi ekosistem hulu DAS.

6. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peran yang sangat penting, baik secara ekologis, ekonomis maupun social budaya. Terkait dengan proses erosi dan sedimentasi, vegetasi pada

Page 20: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xix

hutan mangrove mempunyai kemampuan dalam menjerat sedimen terlarut sebelum masuk ke laut. Dalam hal ini, komunitas tanaman bakau (Rhizophora spp.) mempunyai kemampuan menjerat sedimen terlarut yang terendah dibandingkan dengan komunitas tanaman api-api (Avicenna spp.) dan bogem (Sonneratia spp.). Dengan demikian, jenis bakau (Rhizophora spp.) sangat cocok dikembangkan untuk rehabilitasi kawasan hutan mangrove terdegradasi yang ditujukan untuk mengurangi pendangkalan sungai pada daerah hulunya yang pada akhirnya dapat potensi banjir.

7. Perlu adanya tindak lanjut penelitian dengan menambahkan komponen-komponen yang diteliti maupun memperbaiki metode penelitian yang dipakai, sehingga pada akhirnya hasil penelitian yang dihasilkan lebih berkualitas dan bermanfaat bagi praktisi lapangan.

Seminar merupakan media komunikasi interaktif antara peneliti dan praktisi untuk menyampaikan/mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan, mendapatkan umpan balik dari pengguna hasil penelitian dan menyinergikan hasil-hasil penelitian antar lembaga penelitian yang terkait. Dengan demikian, kegiatan seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan baik peneliti maupun praktisi.

Hasil Rumusan Sidang Komisi III 1. Salah satu penyebab meluasnya lahan kritis di Pulau Bali adalah

akibat letusan gunung berapi. Lahan kritis tersebut berupa batu vulkanis beku dan pasir dari letusan Gunung Batur. Karena mempunyai tingkat kesuburan tanah dan curah hujan rendah maka lahan tersebut perlu segera direhabilitasi. Salah satu upaya rehabilitasi tersebut dapat dilakukan penamanan cemara pandak (Dacricarpus umbricarpus), rasamala (Altingia excelsa), dan Kepelan (Manglietia glauca) dengan perlakuan pemberian top soil, pupuk kandang dan penyiraman sistem tetes. Namun demikian hasil penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk memperoleh hasil yang signifikan.

Page 21: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xx

2. Tumbuhan bawah merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan. Adanya komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekologis hutan. Telah ditemukan 29 jenis tumbuhan bawah di Taman Nasional Bali Barat yang mempunyai potensi a) sebagai penutup lantai hutan, b) sebagai tanaman hias, c) tumbuhan obat, d) tumbuhan penghasil pakan satwa, e) penghasil sayuran, f) penghasil minyak atsiri, g) tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan, dan h) tumbuhan sakral. Nilai keanekaragaman masing masing tipe ekosistem hutan tersebut tergolong yang menandakan penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas juga sedang.

3. Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) sempadan sungai

merupakan kawasan perlindungan untuk mendukung fungsi lingkungan yaitu konservasi tanah dan hidroorologi serta mempertahankan biodiversitas ekosistemnya, Permudaan KPS melalui enrichment planting yang harus mempertimbangkan toleran atau intoleran jenis tanaman yang dikembangkan. Untuk mendukung hal tersebut dilakukan penelitian intensitas cahaya pada jenis penutupan hutan jati dan johar. Hasil penelitian ini masih perlu diperluas dengan pengamatan tingkat pertumbuahn tumbuhan bawah dibawah jenis-jenis tersebut dan jenis lain yang berkaitan dengan fungsi konservasi KPS.

4. Permasalahan yang sering timbul pada lahan pantai antara lain adalah abrasi (pengurangan daratan), air pasang , kecepatan angin tinggi, uap air yang mengandung garam, iklim mikro ekstrim panas dan kering, dan unsur hara yang rendah. Untuk mengeliminir masalah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan penambahan pupuk kandang dan mikoriza, penyediaan sumur renteng dan pemberian mulsa, sedangkan untuk kondisi iklim ekstrim dengan penghijauan cemara laut sebagai tanggul angin.

Langkah awal untuk menuju pertanian yang efisien adalah penentuan komoditas unggulan yang diusahakan sehingga diperoleh komoditas yang memiliki keunggulan komparatif sehingga

Page 22: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

xxi

mampu meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). Komoditas unggulan harus layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani baik secara biofisik, sosial, dan ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak secara biofisik jika sesuai dengan agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberi peluang berusaha, bisa dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Hasil penelitian di Sub DAS Tulis menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang banyak diusahakan yaitu padi, dan jagung (tanaman pangan), kentang dan kubis (hortikultura), salak (buah-buahan), sengon (kehutanan), kambing dan sapi (ternak ruminansia) dan ayam (ternak non ruminansia). Informasi desa yang memiliki keunggulan atas suatu komoditas perlu diketahui karena mencerminkan pewilayahan komoditas. Desa yang memiliki banyak komoditas unggulan akan menjadi pemasok bagi daerah non basis dan desa dengan banyak komoditi unggulan akan lebih maju dibandingkan dengan daerah yang sedikit memiliki komoditi unggulan. Penggantian komoditas unggulan komparatif (kentang) tidak dapat serta merta dilakukan dengan tanaman kehutanan. Rekomendasi teknik penanaman kentang dengan menerapkan teknik konservasi tanah perlu diberikan agar memberikan manfaat ekonomi dan ekologi.

Surakarta, 5 September 2012 Tim Perumus

1. Nana Haryanti, S.Sos, M.Sc 2. Nunung Pujinugroho, S.Hut, M.Sc 3. Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc

Page 23: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

56

STRUKTUR PROPERTY RIGHTS SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN (PHBM)

PADA HUTAN TANAMAN JATI1

Oleh : Evi Irawan

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: [email protected]

ABSTRAK

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan salah bentuk upaya pengelolaan sumberdaya hutan kolaboratif antara masyarakat sekitar hutan dan Perum Perhutani. Meskipun telah diterapkan sejak tahun 2001, PHBM di sejumlah tempat belum mampu berjalan seperti yang diharapkan. Penulisan makalah ini bertujuan untuk melakukan telaah kritis atas sistem PHBM dengan menggunakan kerangka teori property rights. Hasil analisis karakteristik property rights yang dikuasai aktor kunci PHBM, yakni Perhutani dan masyarakat desa sekitar hutan/LMDH, memberikan gambaran bahwa sistem PHBM ternyata tidak banyak merubah karakteristik property rights Perhutani, tetapi merubah karakteristik property rights masyarakat desa hutan, khususnya LMDH, ke arah yang lebih baik meskipun belum ideal. Kata kunci: Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat,

property rights, common-pool resources, hutan tanaman jati

1 Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012.

Page 24: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

57

I. PENDAHULUAN

Pelibatan masyarakat desa sekitar hutan dalam kegiatan produksi kehutanan, khususnya hutan tanaman jati di pulau Jawa, telah berlangsung sejak masa kolonial Belanda. Berbagai program telah diluncurkan. Jika pada masa kolonial Belanda program pelibatan masyarakat desa (misalnya: tumpangsari) dapat dipandang sebagai suatu bentuk strategi minimalisasi biaya produksi, pada masa setelah kemerdekaan program-program pelibatan masyarakat yang dikembangkan Perhutani ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, efisiensi biaya produksi dan perlindungan kelestarian hutan dan kawasan hutan. Beberapa program pelibatan masyarakat desa hutan yang pernah dan sedang dikembangkan Perhutani diantaranya adalah Program Pendekatan Kesejahteraan (Prosperity Approach), Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT), Perhutanan Sosial (PS) dan yang terakhir Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM sendiri sejak diterapkan pada tahun 2001 setidaknya telah mengalami dua kali penyempurnaan. Pada tahun 2007, pada kata PHBM ditambahkan kata ‘plus’ sehingga menjadi PHBM-Plus. Pemberian kata plus di sini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa penerapan sistem PHBM juga ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang tercermin dari peningkatan nilai indeks pembangunan manusia (IPM). Namun demikian, pada tahun 2009 kata plus dihapuskan sehingga penyebutannya pun kembali menjadi PHBM. Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa perubahan nama tersebut tidak berimplikasi pada prinsip dasar atau ‘aturan main’ sistem PHBM. Terlepas dari berbagai hal yang melatarbelakangi kemunculannya, PHBM merupakan program pelibatan masyarakat desa sekitar hutan yang relatif radikal jika dibandingkan program-program sebelumnya. PHBM tidak sekadar membuka kesempatan kerja di bidang kehutanan kepada masyarakat desa sekitar hutan, tetapi juga memberi hak kelola (management right) atas kawasan hutan pangkuan desa dan sekaligus memberi insentif bagi hasil atas hasil kayu jati yang dikembangkan di dalam kawasan hutan pangkuan desa. Meskipun demikian, beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa perkembangan implementasi

Page 25: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

58

PHBM belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Di beberapa tempat PHBM tidak lebih dari sekadar distribusi profit sharing, sementara kegiatan produktif yang diharapkan dapat menjadi sumber penghidupan anggota LMDH dan warga masyarakat pada umumnya belum berkembang sesuai dengan tujuan PHBM. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan telaah kritis atas tata kelola kelembagaan PHBM ditinjau dari sudut pandang teori property rights.

II. HUTAN TANAMAN JATI SEBAGAI COMON-POOL RESOURCES Kayu Jati (Tectona grandis) merupakan produk unggulan Perhutani. Sampai saat ini, sekitar 50% pendapatan Pehutani berasal dari kayu jati2. Peran penting kayu jati bagi Perhutani juga dapat dilihat dari luas kawasan hutan produksi pangkuan Perhutani. Dari ± 2,4 juta hektar kawasan hutan negara yang menjadi pangkuan Perhutani, 54%-nya merupakan kawasan hutan produksi jati (Soedomo, 2010). Informasi tersebut paling tidak mengilustrasikan bahwa hutan produksi jati berperan penting dalam memastikan kelangsungan hidup perusahaan negara kehutanan tersebut. Meskipun hutan jati Perhutani dapat dikategorikan sebagai hutan tanaman yang sengaja dibangun untuk kepentingan komersial, khususnya untuk diambil hasil kayunya, sejumlah hasil hutan non-kayu juga dapat dihasilkan dari kawasan hutan tanaman jati, seperti kayu bakar, daun jati, hijauan makanan ternak, rempah-rempah (empon-empon), hasil tanaman musiman yang dikembangkan pada lahan di bawah tegakan dan bahkan serangga seperti belalang dan kepompong ulat daun jati. Bagi sebagian masyarakat desa sekitar hutan, belalang dan kepompong ulat daun jati merupakan sumber asupan protein, terutama pada saat musim kemarau. Selain sejumlah manfaat langsung tersebut, keberadaan hutan tanaman jati juga turut menyumbang sejumlah perbaikan kualitas lingkungan, seperti penyerapan karbon, pengendalian tata air, pengaturan iklim mikro dan

2 Sumber: http://perumperhutani.com/produk-layanan/kayu-bundar-olahan/kayu-bundar/ diakses pada tanggal 20 Juli 2012.

Page 26: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

59

lain sebagainya. Secara garis besar, hutan tanaman jati merupakan suatu multi-attribute resource. Selain sebagai sumberdaya alam yang dapat menghasilkan berbagai barang dan jasa, hutan tanaman jati juga dapat dikarakterisasikan menurut derajat rivalitas dan eksklusivitasnya (Ostrom, 2003, 2005, 2008, 2010). Rivalitas (substraktabilitas) dalam hal ini diartikan sebagai suatu kondisi yang menggambarkan bahwa pemanfataan suatu sumberdaya oleh satu pihak akan mengurangi jatah atau kesempatan pihak lain untuk memanfaatkan sumberdaya yang sama. Eksklusivitas, sementara itu, merujuk pada upaya pencegahan pihak-pihak yang tidak berkontribusi untuk turut serta memanfaatkan sumberdaya yang bersangkutan. Tinggi atau rendahnya tingkat eksklusivitas suatu sumberdaya sangat tergantung pada karakteristik fisik sumberdaya tersebut (Ostrom, 2003, 2005, 2008, 2010). Kombinasi antara derajat rivalitas dan ekslusivitas suatu sumberdaya dapat menghasilkan empat tipologi barang dan jasa, yaitu barang publik, barang privat, barang toll atau club dan yang terakhir common-pool resources. Tipologi sumberdaya yang terdapat pada suatu hutan tanaman jati dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1. Tipologi Sumberdaya Hutan Tanaman Jati

Eksklusivitas Rendah Tinggi

Riva

litas

(Sub

stra

ktab

ilita

s)

Rend

ah Barang Publik

Jasa lingkungan hutan

tanaman jati

Barang Tol

Tidak ada

Ting

gi

Common-pool resources

Lahan bawah tegakan (sanggeman) Kayu bakar

Hijauan makanan ternak Sumber air Daun jati

Kepompong ulat Belalang

Barang Privat

Pohon jati Hasil usahatani lahan pesanggem (rempah-

rempah, jagung, palawija, padi gogo)

Page 27: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

60

Tampak pada Tabel 1 bahwa sebagian besar sumberdaya hutan tanaman jati termasuk dalam kategori common-pool resources. Sebagai implikasinya, semua pemangku kepentingan memiliki kebebasan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya hutan dengan caranya sendiri. Sebagian masyarakat mengelola hutan dengan arif, tetapi tidak sedikit yang mengeksplotasinya dengan tidak bijaksana dan kemudian berimbas pada degradasi sumberdaya hutan. Hardin (1968) melukiskan bahwa tanpa kehadiran institusi yang mampu memaksakan pengendalian pemanfaatan common-pool resources, maka kehancuran adalah hasil akhirnya. Hardin (1968) mengistilahkannya dengan “Tragedy of the commons”. Penjelasannya adalah bahwa ketika sumberdaya tersedia secara terbatas dan terbuka bagi semua orang untuk memanfaatkannya, maka dengan sendirinya tercipta insentif bagi semua pihak untuk memaksimalkan eksploitasi demi kepentingan pribadi meskipun hal tersebut pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi semua pihak (Tragedy of the commons). Hardin (1968) menawarkan dua solusi, yakni pengalihan sumberdaya tersebut menjadi milik pribadi atau privatisasi atau menyerahkan sepenuhnya pengelolaan sumberdaya bersangkutan kepada pemerintah. Sampai dengan tahun 1980-an sebagian besar peneliti dan pemerhati pengelolaan sumberdaya alam sepakat dengan pendapat Hardin tersebut. Namun demikian, berbagai bukti empiris di banyak negara termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan baik yang dilakukan oleh perorangan (privat), terutama sistem hak pengusahaan hutan (HPH) atau negara, masing-masing meninggalkan jejak yang hampir sama, yaitu kerusakan lingkungan dan peminggiran masyarakat lokal. Konflik di tingkat lokal yang sering terjadi antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola hutan negara diduga berkaitan erat dengan praktik-praktik pengelolaan hutan yang mengabaikan partisipasi masyarakat lokal (Peluso, 1993). Beberapa tahun terakhir para peneliti dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam (seperti McCay dan Acheson, 1987; Pinkerton, 1989; Ostrom, 1990, Bromley, 1992; Peluso, 1993; Simon, 2000) mengamati bahwa tidak semua common-pool resources berakhir dengan kerusakan dan bahkan di banyak tempat masyarakat lokal mampu

Page 28: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

61

mengelola sumberdaya alam secara lestari. Di lain pihak, sumberdaya alam yang dikelola baik oleh negara maupun perorangan tidak sedikit yang mengalami kerusakan. Hal ini menimbulkan wacana baru bahwa yang sebenarnya menjadi masalah adalah rezim pengelolaan atas sumberdaya alam, bukannya karakteristik sumberdaya alam tersebut. Berangkat dari motivasi ini, berbagai konsep pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif mulai mendapat perhatian berbagai pihak yang berkepentingan dengan kelestarian hutan. Salah satu model pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif adalah PHBM. III. TEORI PROPERTY RIGHTS Pada Bab II dijelaskan bahwa hutan tanaman jati merupakan suatu sumberdaya multi-attribute dan juga common-pool resources. Sebagai sumberdaya multi-attribute, hutan tanaman jati dapat menghasilkan sejumlah manfaat. Sebagai common-pool resources hutan tanaman jati sangat rentan terdegradasi, kecuali jika dikelola dengan menggunakan rezim property rights yang tepat. Rezim property rights yang tepat umumnya bersesuaian dengan karakteristik sumberdaya yang diaturnya, karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang terlibat dan sekaligus mampu memberikan insentif bagi semua pihak untuk melestarikan sumberdaya bersangkutan (Libecap, 1989; Hanna et al., 1996; Bac, 1998; Vatn, 2005). Rezim property rights secara teoretis dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu private property rights, state property rights, common property rights dan open access property rights (Bromley, 1991; Vatn, 2005; Ostrom 2008). Batas-batas rezim property rights tersebut pada tataran praktis biasanya sangat kabur karena pengelolaan sumberdaya, termasuk hutan tanaman jati, umumnya melibatkan sejumlah rezim property rights, termasuk juga rezim property rights yang bersifat hybrid seperti PHBM (Bromley, 1991). Property rights secara teoretis dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk institusi sosial yang mengatur hubungan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain terhadap pemanfataan suatu sumberdaya (Bromley, 1991; Hanna et al., 1996; Vatn, 2005). Dari definisi tersebut secara eksplisit dapat dipahami bahwa yang menjadi perhatian dalam suatu property rights adalah relasi sosial antara pihak satu dengan

Page 29: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

62

pihak lain terhadap sumberdaya, bukan hubungan antara individu atau suatu kelompok dengan sumberdaya. Terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam memahami suatu rezim property rights, yakni (1) bahwa jika tidak ada suatu rezim property rights yang mengatur pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam, maka hampir dapat dipastikan bahwa sumberdaya tersebut akan terdegradasi, rusak atau bahkan punah (lihat Gordon, 1954; Scott, 1955); (2) bahwa rezim property rights dapat dibentuk baik oleh masyarakat pengguna sumberdaya tersebut secara mandiri (Libecap, 1989) atau oleh pemerintah melalui suatu proses pengalihan atau pendelegasian hak-hak tertentu kepada pengguna sumberdaya (Raymond, 2003); dan (3) bahwa property rights perlu dipahami sebagai suatu bundel yang terdiri dari sejumlah hak yang dapat dipisahkan, dialihkan atau dibagi dengan menggunakan berbagai cara (Schlager dan Ostrom, 1992). Pada sejumlah pustaka ekonomi kelembagaan (Ostrom, 2008; Hanna et al., 1996; Bromley, 1991) disebutkan bahwa property rights sangat memengaruhi perilaku dan kesempatan pihak yang menguasainya. Jika property rights terjamin keamanannya dan diakui eksistensinya, maka secara teoretis dapat diduga bahwa pemegang hak tersebut tidak akan mengeksploitasi sumberdaya yang dikuasainya secara berlebihan dan bahkan akan melakukan upaya-upaya pelestariannya. Ostrom dan Schlager (1996) menggambarkan property rights sebagai suatu bundel yang terdiri dari lima hak operasional. Hak-hak tersebut adalah (1) hak akses adalah hak untuk memasuki suatu kawasan, (2) hak ambil adalah hak untuk mengambil atau memanfaatkan suatu output yang dihasilkan oleh suatu sumberdaya, (3) hak kelola adalah hak untuk mengatur pemanfaatan, pelestarian dan peningkatan kualitas dan kuantitas suatu sumberdaya, (4) hak eksklusi adalah hak untuk menentukan pihak-pihak yang dapat memperoleh hak akses, hak ambil atau hak kelola, dan (5) hak alienasi adalah hak untuk menjual, menyewakan atau mengalihkan hak eksklusi tersebut kepada pihak lain. Konsepsi property rights yang ditawarkan oleh Ostrom dan Schlager (1996) tersebut dapat digunakan sebagai alat analisis untuk memahami keterkaitan antara distribusi hak-hak tersebut pada masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) dengan perilaku setiap pemangku kepentingan dalam pelestarian sumberdaya, misalnya hutan tanaman jati.

Page 30: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

63

Namun demikian, selain konsep property rights seperti yang dikemukakan oleh Ostrom dan Schlager (1996), karakteristik property rights, menurut (Devlin dan Grafton, 1998) juga dapat ditinjau dari enam dimensi, yakni eksklusitivas, transferabilitas, durasi, kualitas, divisibilitas, dan fleksibilitas. Grafton et al. (2004) menyatakan bahwa karakateristik eksklusivitas merupakan karakteristik yang paling penting. Alasannya adalah bahwa tanpa adanya kemampuan mencegah pihak-pihak lain mengambil manfaat dari suatu sumberdaya yang sebenarnya bukan hak mereka, maka sumberdaya tersebut berada dalam situasi akses terbuka (open access). Pihak-pihak yang sebenarnya berhak atas sumberdaya tersebut, sebaliknya, tidak dapat memanfaatkannya secara optimal. Transferabilitas merujuk pada kemampuan pihak pemegang hak atas sumber daya tertentu dapat mengalihkan atau mengalienasi sumberdaya tersebut kepada pihak lain. Sebagai contoh, jika seseorang yang mendapatkan atau memiliki hak atas sebidang lahan dan kemudian dia dapat mengalihkan haknya atas lahan tersebut kepada pihak lain baik dalam jual-beli atau penyewaan, maka derajat transferabilitas hak yang dipegang orang tersebut tinggi. Karakteristik durasi pada suatu property right mencerminkan rentang waktu pengunaan hak yang dipegang seseorang atas suatu sumberdaya. Karakteristik kualitas suatu property right mengindikasikan kekuatan hukum yang dimiliki oleh pemegang hak. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki sertifikat hak milik atas sebidang lahan, memiliki derajat kualitas hak atas sumberdaya yang lebih tinggi dibandingan dengan yang tidak memiliki. Karakteristik divisibilitas pada suatu property right mengindikasikan kemampuan pemegang hak untuk dapat membagi atau memecah sumberdaya dan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya yang menjadi haknya. Karakteristik yang terakhir adalah fleksibilitas yang dapat diartikan sebagai suatu kewajiban dan keterbatasan yang melekat pada suatu hak yang dipegang oleh seseorang dan belum tercakup dalam lima karakteristik property rights yang telah disebutkan sebelumnya. Sebagai contoh, seorang pemegang hak atas tanah tidak dapat menggunakan haknya atas lahan secara mutlak karena adanya sejumlah kewajiban dan pembatasan yang ditetapkan oleh rencana tata ruang pemerintah daerah.

Page 31: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

64

Sebagai suatu bentuk rezim property rights yang bersifat kolaboratif, efisiensi sistem PHBM sangat ditentukan oleh alokasi property rights yang disepakati oleh pihak-pihak terkait. Terdapat dua hal yang mendasarinya. Pertama, alokasi property rights berimplikasi pada insentif yang dihadapi masing-masing pihak untuk berkontribusi pengelolaan sumberdaya hutan. Struktur property rights yang timpang dengan sendirinya membentuk sistem insentif yang timpang pula dan kemudian berimplikasi pada tidak tercapainya tujuan pengelolaan sumberdaya hutan kolaboratif seperti yang diharapkan karena alokasi property rights tersebut tidak dapat membuat salah satu pihak menjadi lebih baik (better off) dari kondisi sebelumnya. Kedua, alokasi property rights pada suatu rezim kolaboratif seperti PHBM dapat berimplikasi pada biaya transaksi (transaction costs). Menurut sejumlah ekonom kelembagaan (seperti Williamson, 2000; Beckmann, 2000) besarnya biaya transaksi salah satunya ditentukan oleh struktur property rights. Ketika alokasi property rights tidak tepat atau kurang sejalan, maka dapat dipastikan biaya transaksi dari pelaksanaan suatu sistem tata-kelola (governance) akan demikian besar sedemikian rupa sehingga menghambat jalannya sistem tersebut. Makalah ini akan menggunakan konsep karakteristik property rights yang ditawarkan oleh Ostrom dan Schlager (1996) dan Devlin dan Grafton (1998) sebagai dasar untuk menganalisis struktur property rights sistem PHBM di kawasan hutan tanaman jati. Sebagai pertimbangannya adalah bahwa kedua konsep tersebut mampu menggambarkan distribusi property rights di antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan PHBM. IV. KONSTRUKSI SISTEM PHBM PADA HUTAN TANAMAN JATI Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu bentuk kerjasama antara Perhutani dan masyarakat desa sekitar hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan yang berada di dalam kawasan hutan pangkuan desa. Perhutani secara resmi memahami PHBM sebagai suatu bentuk sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang ada di dalam kawasan

Page 32: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

65

hutan negara yang menjadi pangkuannya3. Sistem PHBM terdiri dari empat komponen utama, yakni (1) kawasan hutan pangkuan desa (KHPD), (2) LMDH, (3) pembagian tugas dan tanggung jawab, dan (4) pembagian keuntungan atau biasa disebut dengan bagi hasil (profit sharing). Kawasan hutan pangkuan desa adalah kawasan hutan negara yang secara administrasi termasuk dalam wilayah desa. Namun demikian, batas-batas KHPD biasanya tidak bertepatan dengan batas administrasi desa yang berada di dalam kawasan hutan negara karena penetapannya melalui suatu proses pemufakatan yang melibatkan masyarakat desa bersangkutan, Perhutani dan masyarakat desa lain yang secara geografis berdampingan. Terdapat sejumlah desa yang mendapatkan luas hutan pangkuan mencapai ribuan ha, sementara itu tidak sedikit yang mendapatkan kurang dari 50 hektar4. Menurut pedoman pelaksanaan PHBM yang dikeluarkan Perhutani, kerjasama antara Perhutani, dalam hal ini Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), dengan masyarakat desa hutan hanya mungkin dilaksanakan jika di desa tersebut telah terbentuk LMDH yang telah

3 Pendapat ini merujuk pada SK Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/DIR/2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, Bab I Pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan …[dan seterusnya]. 4 Informasi ini diperoleh berdasarkan data statistik PHBM di Perhutani.

Page 33: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

66

berstatus hukum. LMDH adalah suatu organisasi masyarakat desa yang beranggota seluruh warga masyarakat desa. Mengingat LMDH merupakan salah satu komponen utama PHBM, maka pembentukkannya pun lebih banyak diprakarsai Perhutani daripada inisiatif warga masyarakat desa. Struktur kepengurusan LMDH biasanya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan dibantu sejumlah seksi atau kelompok kerja yang jumlah dan spesifikasi bidang tugasnya tergantung pada kondisi desa setempat. Namun demikian, hampir semua LMDH memiliki seksi keamanan hutan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengamanan kawasan hutan pangkuan desa merupakan tugas utama LMDH.

Gambar 1. Konstruksi Sistem PHBM

Kaw

asan

hut

an

pang

kuan

des

a

Lem

baga

Mas

yara

kat

Des

a H

utan

(LM

DH

)

Skem

a Ba

gi H

asil

Jiwa dan Prinsip PHBM

Kelestarian sumberdaya hutan, Keuntungan Perhutani dan Kesejahteraan

masyarakat desa hutan

Jiwa PHBM adalah kesediaan Perhutani dan masyarakat desa hutan berbagi dalam PHBM sesuai dengan kaidah keseimbangan, kesesuaian, keselarasan, keberlanjutan dan kesetaraan.

Prinsip PHBM meliputi prinsip keadilan dan demokratis, keterbukaan dan kebersamaan, pembelajaran bersama dan saling memahami, kejelasan hak dan kewajiban, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, kerjasama kelembagaan, perencanaan partisipatif, kesederhanaan sistem dan prosedur, perusahaan sebagai fasilitator, dan kesesuaian pengelolaan dan karakteristik wilayah

Pem

bagi

an t

ugas

dan

ta

nggu

ng ja

wab

Page 34: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

67

Sistem PHBM secara eksplisit mencakup pembagian tugas dan tanggung jawab antara Perhutani dan LMDH yang dituangkan dalam bentuk kontrak kerjasama. Ikatan kerjasama tersebut diperkuat secara hukum melalui pengesahan notaris dan oleh karena itu setiap sengketa yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan melalui proses musyawarah dan pemufakatan dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Pada tataran praktis, pembagian tugas dan tanggung jawab antara Perhutani dan LMDH cenderung mengikuti pola baku yang telah berkembang sebelumnya, seperti yang terjadi pada program PMDH atau PMDHT. Tugas-tugas yang terkait langsung dengan tanaman pokok kehutanan sepenuhnya dikendalikan oleh Perhutani. LMDH, sementara itu, mendapatkan tugas dan tanggung jawab mengorganisasikan masyarakat desa untuk mendukung sejumlah kegiatan yang telah direncanakan Perhutani. Tampak jelas terlihat bahwa Komponen ke-empat sistem PHBM adalah bagi hasil. Bagi hasil (profit sharing) merupakan salah satu ciri khas program PHBM yang membedakannya dengan program-program yang telah dikembangkan Perhutani sebelumnya. Skema bagi hasil dirancang dan dikendalikan sepenuhnya oleh Perhutani. LMDH sementara itu hanya pada posisi menerima skema tersebut dan tidak memiliki hak untuk merubah atau menegosiasikan skema bagi hasil tersebut. Konstruksi sistem PHBM secara konseptual diilustrasikan pada Gambar 1. Tujuan utama sistem PHBM terdiri dari tiga hal, yakni kelestarian hutan tanaman jati, keuntungan Perhutani dan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Perhutani menggunakan sistem PHBM. Dalam hal ini, sistem PHBM dibangun dengan menggunakan empat pilar utama yakni, kawasan hutan pangkuan desa, LMDH, pembagian tanggung jawab dan skema bagi hasil yang ditopang oleh prinsip dan jiwa sistem PHBM sebagai pondasinya5. Namun demikian, sebagai suatu sistem kolaboratif, penerapan sistem PHBM berimplikasi pada perubahan struktur property rights pengelolaan hutan tanaman jati. Jika sebelumnya, Perhutani merupakan pengelola tunggal hutan tanaman jati (meskipun 5 Jiwa dan prinsip PHBM secara terperinci dijelaskan pada Bab II Pasal 2 SK Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/DIR/2009.

Page 35: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

68

baru pada tataran de jure), setelah diberlakukannya sistem PHBM, masyarakat desa sekitar hutan yang tergabung dalam LMDH pun memiliki hak yang setara dengan Perhutani, khususnya pada kawasan hutan pangkuan desa.

V. STRUKTUR PROPERTY RIGHTS PHBM Sebelum menelisik lebih jauh struktur property rights sistem PHBM, hal pertama yang perlu dilakukan adalah identifikasi pemangku kepentingan atau aktor yang terlibat dalam sistem PHBM. Seperti yang telah dikemukakan pada Bab IV, aktor inti yang terlibat dalam PHBM adalah LMDH dan Perhutani. Memang, dalam peraturan PHBM dimungkinkan keterlibatan pihak ketiga. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan pihak ketiga adalah pihak yang secara resmi terikat kontrak kerjasama dengan Perhutani dan LMDH. Karena keterlibatan pihak ketiga dalam PHBM masih jarang ditemui di lapangan, maka dalam makalah ini pihak ketiga diabaikan dalam analisis. Hubungan antara aktor kunci, yakni Perhutani dan LMDH, secara konseptual merupakan hubungan kesetaraan, bukan merupakan hubungan antara pemilik dengan penyewa atau suatu hubungan yang mirip dengan itu. Dengan demikian, LMDH secara teoretis memiliki posisi tawar yang memberinya kemampuan menolak atau menerima setiap usulan yang disampaikan Perhutani. Hal yang sama juga berlaku jika sebaliknya terjadi, yakni Perhutani pun memiliki posisi tawar yang memberinya kemampuan untuk menolak atau menerima setiap usulan yang disampaikan LMDH. Meskipun, kesetaraan pada kondisi tertentu dapat mendukung keberlanjutan suatu kerjasama antara dua pihak atau lebih, jika tidak dikelola dengan baik dapat berpotensi memicu konflik akibat masing-masing pihak kukuh pada kepentingannya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu insentif yang mendorong kedua belah pihak, yakni LMDH dan Perhutani, bersedia berkolaborasi. Dengan kata lain, masing-masing pihak melihat bahwa berkolaborasi lebih menguntungkan daripada tidak melakukannya. Seperti dinyatakan pada Bab III bahwa setiap rezim property rights mengandung insentif tertentu. Hal tersebut berarti bahwa struktur property rights yang ditawarkan oleh sistem PHBM dapat berimplikasi pada besarnya

Page 36: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

69

peluang keberlanjutan atau kestabilan kolaborasi pengelolaan sumberdaya hutan antara Perhutani dan LMDH. Tabel 2 memaparkan distribusi property rights terhadap sumberdaya hutan tanaman jati, sebelum dan sesudah diterapkannya sistem PHBM. Karena LMDH baru dibentuk saat diberlakukannya sistem PHBM, maka aktor kunci yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya hutan tanaman jati pada periode sebelum penerapan PHBM adalah Perhutani dan masyarakat desa sekitar hutan. Pada periode setelah penerapan PHBM, aktor kunci pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya sumberdaya hutan pada kawasan hutan pangkuan desa, adalah Perhutani dan LMDH. Analisis karakteristik property rights tersebut didasarkan pada kondisi de facto atau kondisi yang terjadi di lapangan. Tabel 2. Distribusi Hak Antara Perhutani dan LMDH dalam Konteks PHBM

Karakteristik Property Rights

Aktor Kunci PHBM

Perhutani Masyarakat Desa Hutan

(Pesanggem) Perhutani

Lembaga Masyarakat Desa Hutan

(LMDH) Bundel Hak (Ostrom &

Schalger, 1996) Sebelum PHBM Sesudah PHBM

1. Akses xxxxx xxxxx xxxxx xxxxx 2. Ambil xxxxx xx xxxxx xxx 3. Kelola xxxxx x xxxxx xxx 4. Eksklusi xxx x xxxxx xxx 5. Alienasi xx x xx

Dimensi Hak (Devlin &

Grafton, 1998) Sebelum PHBM Sesudah PHBM

1. Eksklusivitas xxx x xxxxx xxx 2. Transferabilitas xx x xx 3. Durasi xxxxx xx xxxxx xxxxx 4. Kualitas xxxxx x xxxxx xxxxx 5. Divisibilitas xxxx xxxx xxxx 6. Fleksibilitas xx xxxx x

Page 37: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

70

Keterangan: x bernilai 1, misalkan xx =2, xxx = 3 Nilai 0 merepresentasikan terendah, nilai 5

merepresentasikan tertinggi Pemberian nilai tersebut didasarkan pada analisis

peraturan PHBM, wawancara dan pengamatan praktik PHBM di lapangan

Dengan menggunakan kerangka karakteristik property rights yang ditawarkan Ostrom dan Schlager (1996), tampak bahwa pada periode sebelum penerapan PHBM, property rights yang dipegang Perhutani hampir mendekati ideal. Dari lima karakteristik, property rights yang dikuasai Perhutani hanya lemah dalam dua hal, yakni hak alienasi dan eksklusi. Lemahnya karakteristik alienasi disebabkan oleh adanya sejumlah undang-undang serta peraturan yang membatasi Perhutani untuk mengalihkan, menyewakan, atau menjual kawasan hutan negara kepada pihak lain, kecuali penjualan sejumlah hasil hutan, seperti kayu, getah, dan lain sebagainya, yang memang merupakan bisnis utama Perhutani. Kelemahan karakteristik eksklusi property rights Perhutani terletak pada masih lemahnya kemampuan Perhutani dalam melindungi asetnya dari “pengguna gelap”6. Hal tersebut terlihat dari masih adanya sejumlah kasus pencurian kayu, penggembalaan liar, perencekan kayu bakar, penyeborotan lahan hutan untuk kepentingan lain tanpa melalui proses perijinan yang berlaku. Oleh karena itu, meskipun secara de jure Perhutani memiliki kekuasaan penuh atas sumberdaya yang berada di dalam kawasan hutan negara, secara de facto property rights yang dipegangnya tidak dapat sepenuhnya ditegakkan. Ditinjau dari konsep property right (Devlin & Grafton, 1998), karakteristik struktur property rights Perhutani pada periode sebelum diterapkannya PHBM juga belum mendekati ideal, kecuali untuk dimensi divisibilitas, kualitas dan durasi. Alasan yang mendasari rendahnya nilai dimensi eksklusivitas dan transferabilitas berturut-turut sama dengan alasan yang mendasari rendahnya nilai hak eksklusi 6 Istilah free rider dalam khasanah ekonomi politik atau kelembagaan mengacu pada pihak-pihak yang dapat memanfaatkan atau menikmati suatu sumberdaya tanpa perlu mengeluarkan biaya atau mengorbankan sesuatu. Free rider umumnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “penumpang gelap”. Pada naskah ini digunakan istilah “pengguna gelap” untuk menyesuaikan dengan tema bahasan.

Page 38: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

71

dan alienasi menurut konsep property rights yang dikembangkan oleh Ostrom dan Schlager (1996). Karakteristik struktur property rights Perhutani secara umum mulai menunjukkan perbaikan dengan diterapkannya PHBM. Perubahan karakteristik property rights yang dipegang Perhutani, pada periode sebelum dan setelah pelaksanaan PHBM, dapat dilihat pada Tabel 2. Karakteristik property rights Perhutani tidak banyak mengalami perubahan jika menggunakan konsep bundel hak yang ditawarkan Ostrom dan Schlager (1996), kecuali untuk hak eksklusi. Perubahan hak eksklusi ke arah yang lebih baik tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh sistem PHBM yang memberikan sebagian hak pengelolaan atas kawasan hutan pangkuan desa kepada LMDH. Hak tersebut setidaknya memberi insentif kepada masyarakat desa hutan untuk turut serta dalam pengamanan aset Perhutani sehingga memperkuat penguasaan hak eksklusi Perhutani atas kawasan dan sumberdaya hutan. Lebih dari itu, sistem PHBM juga membuka peluang bagi LMDH untuk mendapatkan hak atas sebagian hasil produksi tanaman hutan yang dihitung berdasarkan kontribusinya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Namun demikian perlu untuk dicatat bahwa peningkatan hak ekslusi tersebut dalam banyak kasus baru mencakup hak eksklusi atas tanaman hutan, khususnya tanaman jati, yang merupakan bisnis utama Perhutani. Sumberdaya hutan lainya, sementara itu, dapat dikatakan masih berada dalam situasi rezim akses terbuka (open access). Dengan kata lain, pemberian batas atau delineasi kawasan hutan pangkuan desa lebih difokusakan pada perlindungan tanaman pokok kehutanan daripada perlindungan sumberdaya hutan dalam arti luas. Dengan menggunakan konsep property rights Devlin dan Grafton (1998) terlihat bahwa penerapan sistem PHBM juga menunjukkan adanya perubahan karakteristik property rights yang dikuasai Perhutani. Perubahan yang paling nyata terjadi pada dimensi ekslusivitas dan fleksibilitas. Keduanya berubah ke arah yang lebih baik yang ditunjukkan dari peningkatan nilai pada kedua dimensi property rights tersebut. Alasan yang mendasari perubahan nilai dimensi eksklusivitas sama halnya dengan alasan yang mendasari perubahan nilai hak eksklusi pada konsep property rights Ostrom dan Schlager

Page 39: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

72

(1996). Perbaikan dimensi fleksibilitas kemungkinan besar terkait dengan aturan main yang terkandung dalam sistem PHBM, dimana KPH mendapat peluang besar untuk berinovasi dalam pengelolaan kawasan hutan, khususnya hutan pangkuan desa, sesuai dengan kondisi sosial ekonomi setempat tanpa mengabaikan kepentingan perusahaan. Hal tersebut secara implisit menunjukkan bahwa sistem PHBM membawa perubahan signifikan pada struktur property rights Perhutani terhadap sumberdaya hutan tanaman jati. Pada Tabel 2 juga dipaparkan karakteristik struktur property rights masyarakat desa hutan dan LMDH. Ditinjau dari konsep property rights Ostrom dan Schlager (1996) dan Devlin dan Grafton (1998), tampak bahwa karakteristik property rights masyarakat desa hutan mengalami perubahan yang signifikan dengan diterapkannya sistem PHBM. Jika ditinjau dari konsep property rights Ostrom dan Schlager (1996), perubahan tampak terlihat pada seluruh karakteristik struktur property rights, kecuali hak akses. Sistem PHBM tampaknya tidak meningkatkan atau mengurangi akses masyarakat desa sekitar terhadap sumberdaya dan kawasan hutan negara pangkuan Perhutani. Untuk karakteristik property rights lainnya, yaitu hak ambil, kelola dan eksklusi, tampak terjadi perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik. Hal ini secara implisit mengindikasikan bahwa sistem PHBM sebenar memperbaiki struktur property rights masyarakat desa sekitar hutan. Penerapan sistem PHBM juga berdampak pada hilangnya atau setidaknya berkurangnya praktik-praktik penyewaan atau bahkan ’pengalihan’ lahan pada kawasan hutan negara secara ilegal oleh sebagian kecil warga desa yang mendapat keistimewaan dari oknum-oknum Perhutani untuk memperoleh lahan ’andil’ atau lahan ’tumpang sari’. Dengan dialokasikannya sebagian hak kelola dan hak bagi hasil kepada LMDH, maka ada insentif positif bagi masyarakat desa untuk turut mengontrol dan mengawasi praktik ’jual-beli’ lahan ’andil’ secara ilegal yang dilakukan oleh sebagian kecil warga desa. Perbaikan struktur property rights masyarakat desa sekitar hutan juga terlihat nyata jika ditinjau dari . karakteristik property rights yang dibangun oleh Devlin dan Grafton (1998). Seluruh dimensi property rights mengalami perubahan dengan nilai bervariasi. Dimensi eklusivitas, durasi, kualitas, dan divisibilitas mengalami perubahan

Page 40: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

73

yang sangat nyata ke arah yang lebih baik, kecuali dimensi fleksibilitas yang hanya berubah sedikit. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa sistem PHBM pada prinsipnya membawa perbaikan struktur property rights masyarakat desa hutan. Masih rendahnya nilai dimensi fleksibilitas menunjukkan bahwa penerapan sistem PHBM secara implisit belum banyak memberikan ruang diskresi bagi masyarakat desa, khususnya LMDH, dalam mengelola kawasan hutan pangkuan desa. Dalam banyak hal, pengelolaan kawasan hutan pangkuan desa masih banyak dikendalikan oleh Perhutani. LMDH dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan dalam banyak hal hanya sebatas pada memberikan usulan strategi pengelolan, sedangkan keputusan penerapan strategi pengelolaan sepenuhnya berada di tangan Perhutani. Tampak di sini terdapat asimetri kewenangan. Hal tersebut kemungkinan besar terkait dengan adanya keraguan Perhutani atas kapasitas LMDH dalam mengelola kawasan hutan pangkuan desa. Sebagai pihak yang mendapat mandat pengelolaan kawasan hutan negara, khususnya hutan produksi dan hutan lindung di pulau Jawa, Perhutani sangat berkepentingan atas keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan yang dapat berimplikasi pada keberlangsungan perusahaan. Tanpa adanya perbaikan kapasitas LMDH dalam pengelolaan sumberdaya hutan, maka asimetri kewenangan pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan pangkuan desa kemungkinan besar akan terus berlanjut. Dalam jangka panjang hal tersebut dapat menjadi disinsentif bagi LMDH untuk aktif dalam kegiatan pelestarian sumberdaya hutan karena tidak adanya ruang diskresi bagi LMDH untuk berinovasi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi sumber aliran pendapatan reguler bagi LMDH dan masyarakat desa sekitar hutan. Implikasi negatif dari rendahnya dimensi fleksibilitas struktur property rights sistem PHBM sangat terlihat nyata pada kawasan-kawasan hutan produksi jati yang masih didominasi oleh tegakan muda. VI. PENUTUP Hasil analisis karakteristik property rights yang dikuasai aktor kunci PHBM, yakni Perhutani dan masyarakat desa sekitar hutan/LMDH, memberikan gambaran bahwa sistem PHBM ternyata membawa perubahan karakteristik struktur property rights Perhutani dan

Page 41: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

74

masyarakat desa hutan, khususnya LMDH, ke arah yang lebih baik meskipun belum ideal. Namun demikian, beberapa hal yang perlu diketahui adalah bahwa sistem PHBM ternyata belum mampu meningkatkan derajat eklsklusivitas pemegang hak atas sumberdaya hutan yang ada di dalam kawasan hutan pangkuan desa, kecuali pohon jati. Pihak-pihak luar yang bukan merupakan anggota LMDH dapat dengan mudah mengakses dan sekaligus mengambil kayu bakar, hijauan makanan ternak, dan lain-lain. Demikian pula dengan lahan bawah tegakan yang pada saat-saat awal pertumbuhan tanaman jati dapat dimanfaatkan untuk usahatani tanaman semusim, ternyata juga dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat meskipun mereka bukan anggota LMDH. Singkatnya, pemberian batas atau delineasi kawasan hutan pangkuan desa hanya bermanfaat untuk pembagian keuntungan hasil hutan berupa kayu jati. Rendahnya derajat eksklusivitas dan fleksibilitas property rights yang dikuasai LMDH pada sistem PHBM dapat berimplikasi pada melemahnya dorongan LMDH dalam melestarikan sumberdaya hutan tanaman jati, kecuali tegakan jati, di kawasan hutan pangkuan desa. Dengan kata lain, sistem PHBM kurang dapat mendorong LMDH memanfaatkan sumberdaya hutan secara optimal sehingga dapat menjadi sumber aliran pendapatan reguler bagi LMDH maupun masyarakat desa hutan. Meskipun di satu sisi, hal tersebut dapat menguntungkan Perhutani, karena aset utama Perhutani berupa tegakan jati dapat terjaga, pada sisi lain sistem PHBM kemungkinan besar tidak akan berjalan dengan baik atau bahkan tidak memberikan manfaat pada desa-desa yang tegakan jati pada hutan pangkuannya masih berumur muda atau belum layak tebang. Akibatnya adalah kelestarian hutan tanaman jati khususnya yang berumur muda sangat rentan terdegradasi. Hasil analisis juga menunjukkan adanya ketimpangan property rights antara Perhutani dan LMDH. Prinsip dan jiwa sistem PHBM yang memberi ruang kesetaraan bagi LMDH sebagai kolaborator, ternyata belum mewujud dalam implementasi sistem PHBM di lapangan. Dominasi Perhutani dalam pengelolaan hutan tanaman jati, khususnya pada pengelolaan tegakan jati, menjadikan peran LMDH hanya menonjol pada bidang pengamanan tegakan dibandingkan dengan

Page 42: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

75

pengelolaan hutan secara keseluruhan mulai dari perencanaan hingga pemasaran. Berdasarkan hasil analisis karakteristik property rights tersebut, sistem PHBM tampaknya perlu dirombak sedemikian rupa sehingga dapat memberikan suatu struktur property rights yang mampu memberikan insentif bagi masyarakat desa atau LMDH untuk turut serta dalam pelestarian sumberdaya hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Bac, M. 1998. Property Rights Regimes and the Management of Resources. Natural Resources Forum, 22(4): 263-269.

Beckmann, V. 2000. Transaktionskosten und Institutionalle Wahl in der

Landwirtschaft Zwischen Markt, Hierarchie und Kooperation. Berliner Schriften zur Kooperationsforchung, Band 5, Edition Sigma, Berlin. 395 p.

Bromley, D.W. 1991. Environment and Economy: Property Rights and

Public Policy. Cambridge, Massachusetts: Wiley-Blackwell. 250 p.

Bromley, D.W. 1992. The Commons, Common Property, and

Environmental Policy. Environmental and Resource Economics, 2: 1-17.

Devlin, R.A. & Grafton, R.Q. 1998. Economic Rights and Environmental

Wrongs: Property Rights for The Common Good, Cheltenham: Edward Elgar. 189 p.

Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of a Common-Property

Resource: The Fishery. Journal of Political Economy, 62(2): 124-142

Page 43: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

76

Grafton, R.Q., Adamowics, W., Dupont, D., Nelson, H., Hill, R.J., and Renzetti, S. 2004. Economics of the Environment and Natural Resources. Malden: Blackwell Publishing. 503 pp.

Hanna, S., Folke C., and Maeler, K.G., editors. 1996. Rights to Nature:

Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment. Washington, DC: Island Press. 313 p.

Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science, 162, 1243-1248. Libecap, G. 1989. Contracting for Property Rights. Cambridge:

Cambridge University Press. 132 p. McCay, B., & Acheson, J (ed). 1987. The Questions of the Commons: The

Culture and Ecology of Communal Resources. Tucson, USA: University of Arizona Press. 439 p.

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of

Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press. 280 p.

Ostrom, E. & Schlager, E. 1996. The Formation of Property Rights.

Pages 127-156 in S. Hanna, C. Folke, and K.G. Maeler, editors. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for The Environment. Washington, DC: Island Press. 313 p.

Ostrom, E. 2003. How Types of Goods and Property Rights Jointly

Affect Collective Action. Journal of Theoretical Politics, 15(3):239-270.

Ostrom, E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princenton:

Princenton University Press. 376 p. Ostrom, E. 2008. The Challenge of Common-Pool Resources.

Environment, 50(4): 9-20.

Page 44: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

77

Ostrom, E. 2010. Institutional Analysis and Development Framework and the Commons. Cornell Law Review, 95(4): 807-815.

Peluso, N. L. 1993. 'Traditions' of Forest Control in Java: Implications

for Social Forestry and Sustainability. Global Ecology and Biogeography Letters, 3(4/6), 138-157.

Pinkerton, E. 1989. Co-operative Management of Local Fisheries: New

Directions for Improved Management and Community Development. Vancouver: University of British Columbia Press. 312 p.

Raymond, L. 2003. Private Rights in Public Resources: Equity and

Property Allocation in Market-Based Environmental Policy. Washington, DC: RFF Press. 244 p.

Schlager, E., & Ostrom, E. 1992. Property Rights Regimes and Natural

Resources: A Conceptual Analysis. Land Economics, 68(3): 249 – 262.

Scott, A.D. 1955. The Fishery: The Objective of Sole Ownership. Journal

of Political Economy, 63: 116-124. Simon, H. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan

Strategi Pemecahannya. Cetakan II, Yogyakarta: Penerbit Bigraf. 200 p.

Soedomo, S. 2010. Kelestarian Hutan: Tinjauan Ekonomi. Makalah

Workshop FOReTIKA, 19 – 20 Juni 2010 di Pekanbaru Riau. Vatn, A., 2005. Institutions and the Environment. Cheltenham: Edward

Elgar. 496 p. Williamson, O.E., 2000. The New Institutional Economics: Taking Stock,

Looking Ahead. Journal of Economic Literature, 38(3): 595 -613.

Page 45: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

268

Lampiran 1. Jadwal Acara

JADWAL ACARA EKSPOSE “Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPKTPDAS 2012”

Surakarta, 5 September 2012

Waktu Acara Perangkat Sidang A. REGISTRASI 8.00 – 8.30 Pendaftaran ulang Panitia B. PLENO – PEMBUKAAN 8.30 – 8.35 Doa Panitia 8.35 – 8.40 Menyanyikan lagu Indonesia Raya Panitia 8.40 – 8.50 Laporan Panitia Penyelenggara Kepala BPTKPDAS 8.50 – 9.20 1. Keynote Speech : Arahan dan

Pembukaan Kepala Badan Litbang Kehutanan

9.20 – 9.50 2. Keynote Speech : Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012

Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM. (Direktur Perencanaan & evaluasi Pengelolaan DAS – Ditjen BPDASPS)

9.50 – 10.00 3. Penandatanganan PKS antara BPTKPDAS dengan Pusat Litbang Perum Perhutani Tentang Penelitian, Pengembangan, dan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Penelitian Cemoro Modang di Kabupaten Blora dan KHDTK Hutan Penelitian Gombong di Kabupaten Kebumen

Kepala BPTKPDAS, Kepala Puslitbang Perum Perhutani

10.00 – 10.15 REHAT KOPI C. SIDANG KOMISI SIDANG KOMISI I

Perencanaan Fasilitator : Drs. C. Kukuh Sutoto, M.Si Perumus : Nana Haryanti Notulis : Wiwin Budiarti

10.15 – 10.25 1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai

Pembicara: Paimin

Page 46: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

269

Waktu Acara Perangkat Sidang 10.25 – 10.35 2. Sistem Perencanaan Kehutanan

sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang

Pembicara: Pamungkas Buana Putra

10.35 – 10.45 3. Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG

Pembicara: Agus Wuryanta

10.45 – 11.45 Diskusi 11.45 – 11.55 4. Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat Pembicara: Evi Irawan

11.55 – 12.05 5. Tingkat Partisipasi dan Kelembagaan Pada Kegiatan Rehabilitasi Lahan

Pembicara: Yudi Lastiantoro

12.05 – 12.45 Diskusi SIDANG KOMISI II

Hidrologi Fasilitator : Ir. Bambang S., MP Perumus : Nunung Puji Nugraha Notulis : Mesri Ferdian

10.00 – 10.10 6. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Hasil Air: Studi Kasus Di Daerah Aliran Sungai Bajulmati

Pembicara: Purwanto

10.10 – 10.20 7. Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu

Pembicara: Agung Budi Supangat

10.20 – 10.30 8. Analisis Kualitas Air pada Tanaman Kayu Putih di Mikro DAS Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, DIY

Pembicara: Ugro Hari Murtiono

10.30 – 11.15 9. Diskusi 11.15 – 11.25 10. Perubahan Tingkat Sedimentasi di

Sungai Keduang (1994-2011) Pembicara: Irfan Budi Pramono

11.25 – 11.35 11. Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjerapan Sedimen Terlarut di Segara Anakan Cilacap

Pembicara: Uchu Waluya Heri Pahlana

11.35 – 12.05 Diskusi

Page 47: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

270

Waktu Acara Perangkat Sidang SIDANG KOMISI III

Konservasi Tanah, Sosek, dan Manajemen Hutan

Fasilitator : Dr. Tyas M.Basuki Perumus : Nining Wahyuningrum Notulis: Endah Rusnaryati

10.00 – 10.10 12. Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Di Gunung Batur, Bangli

Pembicara: Gunardjo Tjakrawarsa

10.10 – 10.20 13. Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di TN Bali Barat

Pembicara: Arina Miardini

10.20 – 10.30 14. Intensitas Cahaya dalam Kawasan Perlindungan Setempat Hutan Jati

Pembicara: Heru Dwi Riyanto

10.30 – 11.15 Diskusi 11.15 – 11.25 15. Penanganan Lahan Bermasalah

Pantai Berpasir dengan Tanaman Tanggul Angin Cemara Laut

Pembicara: Beny Harjadi

11.25 – 11.35 16. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub DAS Tulis

Pembicara: S. Andy Cahyono

11.35 – 12.05 Diskusi 12.45 – 13.45 ISHOMA D. PLENO – PRESENTASI SUMMARY

HASIL SIDANG KOMISI

13.45 – 14.00 Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi I

Fasilitator I : Drs. C. Kukuh Sutoto, M.Si Fasilitator II: Ir. Bambang Sugiarto, MP Fasilitator III: Dr. Tyas Mutiara Basuki Fasilitator pleno: Ir. Adi Susmianto, M.Sc. (Kepala Puslitbang Konservasi & Rehabilitasi) Perumus : Nining W., Nana H., Nunung P.N. Notulis: Wahyu W.W., Wiwin B., Endah R., Mesri F.

14.00 – 14.15 Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi II

14.15 – 14.30 Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi III

14.30 – 15.15 Diskusi Summary Hasil Sidang Komisi I, II, dan III

Page 48: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

271

Waktu Acara Perangkat Sidang E. PENUTUPAN 15.15 – 15.25 Laporan penyelenggaraan Kepala BPTKPDAS 15.25 – 15.35 Penutupan Ir. Adi Susmianto,

M.Sc. 15.35 – 16.00 REHAT KOPI

Page 49: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

272

Lampiran 2. Daftar Peserta

DAFTAR PESERTA EKSPOSE Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPKTPDAS 2012”

Surakarta, 5 September 2012

No Nama Instansi

1. Bambang Subandrio BPTKPDAS 2. Adi Susmianto P3KR 3. Dr. Corryanti Puslibang Perhutani 4. Wawang R. Oesman BPDAS Musi 5. Hartanto KPH Kedu Selatan 6. Lukman Hakim P3KR 7. Sajiman, S.P, M.Sc Perum Perhutani 8. Emi Arifatun Puslitbang Perhutani 9. Gunardjo Tjakrawarsa BPTKPDAS 10. Beny Harjadi BPTKPDAS 11. C. Yudilastiantoro BPTKPDAS 12. Tyas Mutiara Basuki BPTKPDAS 13. Irfan BP BPTKPDAS 14. Asep Hermawan BPTKPDAS 15. Siti Utami 16. Nur Semedi BKSDA 17. Gunarti BPTKPDAS 18. Dewi Subaktini BPTKPDAS 19. Sudarso BPTKPDAS 20. Nining Wahyuningrum BPTKPDAS 21. Susmiyadi BTN Karimunjawa 22. Agung N BK Kadipaten 23. Kinasih Citra Arumi BPDAS Kapuas 24. Irfan Cahyadi BPDAS Kapuas 25. Nunung P Nugroho BPTKPDAS 26. Paimin BPTKPDAS 27. Nurhadi BPDAS CTW 28. Dian Handiana BPDAS Alo Malambo 29. Arina Miardini BPTKPDAS 30. Wiwin Budiarti BPTKPDAS

Page 50: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

273

No Nama Instansi

31. Agus Wuryanta BPTKPDAS 32. Dewi Retna I UGM 33. Teguh SMA N 1 SKA 34. Santoso Sandy Putra Balai Sabo 35. Pamungkas BP BPTKPDAS 36. Bambang DA BPTKPDAS 37. Dody Yuliantoro BPTKPDAS 38. Heru Dwi R BPTKPDAS 39. T Wayan Susi P3KR 40. Agus Tambubolon P3KR 41. Susi Abdiyani BPTKPDAS 42. UW Heri Pahlana BPTKPDAS 43. Haryono P3KR 44. Agung BS BPTKPDAS 45. Nana Haryanti BPTKPDAS 46. Johni Perhutani 47. Aris Suhaendy Distanhut 48. Evi Irawan BPTKPDAS 49. Purwanto BPTKPDAS 50. Endang Savitri BPK Banjarbaru 51. Peni Rahayu Dinas Kehutanan Jawa Tengah 52. Kartika Atyasari Dinas Kehutanan Jawa Tengah 53. Wahyu Wisnu Wijaya BPTKPDAS 54. Aris Budiyono BPTKPDAS 55. Agus Sugianto BPTKPDAS 56. Bambang Uripno Pusdiklat Kadipaten 57. C. Nugroho SP Setbadan Litbang 58. Tri Widadi BBWS Bengawan Solo 59. Gatot Yadi N BBWS Bengawan Solo 60. Yonky I BPTA Ciamis 61. Aziz BPDAS Brantas 62. Salamah Retnowati BPTKPDAS 63. Agung Y Bappea Jawa Tengah 64. Ugro Hari M BPTKPDAS 65. Rohman Hakim BPDAS Solo

Page 51: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

274

No Nama Instansi

66. Dwi Anto Teguh TN Gn. Merbabu 67. Edy Junaidi BPTA Ciamis 68. Samanhudi FP UNS 69. Didik Purwito P3KR 70. Sigit Pudjo BPDAS Barito 71. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli 72. Iton B BPK Aek Nauli 73. Maskulino BPK Aek Nauli 74. Asep Sukmana BPK Aek Nauli 75. Agus Budhi Prasetyo BPDAS Palu Poso 76. Rudi Antara Humas 77. Dodi Garnadi BBPBPTH Yogya 78. S. Andy Cahyono UGM 79. Murdoko BPHM I 80. Lucy Sutami H Perhutani 81. Amir Wardhana BBPBPTH Yogya 82. Irda Hayani BPDAS Ketahun 83. Agatha S Setbadanlitbang 84. Muswir Ayub BPDAS WSS 85. Bambang Priyono BPDAS Brantas 86. Alrasyid BPDAS Remu Rensiki 87. Misran BPDAS Solo 88. Syaiful Anwar PEP DAS 89. C. Kukuh Sutoto BPDAS SOP 90. Yudi M Litbang 91. Siswo BPTKPDAS 92. Joko Sismanto Perhutani 93. Muh. Marzuki BPDAS Solo 94. Adi Kuncoro BPK Palembang 95. Siswo BPDAS Solo 96. Y. Gunawan BPTKPDAS 97. Budi Sutomo Perhutani KPH Surakarta 98. Dirgaini BPDAS SOP 99. Eka BPDAS SOP 100. C. Narni W BPDAS SOP

Page 52: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

275

No Nama Instansi

101. Bambang Perhutani SKA 102. Yularto SP Dit Bina RHL 103. Sukirno FTP UGM 104. Sunarto Gunadi FTP UGM 105. Rustan Masinai FTP UGM 106. Tony HW PEP DAS 107. Devi Purnomodani FTP UGM 108. Visnu Pradika FP UNS 109. Ilham Hermiansyah FP UNS 110. Muh Khoirul Anwar FP UNS 111. Teuku Zulqarnain FP UNS 112. Achmad KS KPH Cepu 113. Rahardyan BPK Banjarbaru 114. Pranatasai Dyah S BPK Banjarbaru 115. Wuri Handayani BPT Ciamis 116. Nur Sihmiati BPDAS Solo 117. Puspitarina UGM Fahutan 118. Yuli Malina Kehutanan UGM 119. Aditya Hari Kehutanan UGM 120. Age Nursabdo Kehutanan UGM 121. Nur Ainun Jariyah BPTKPDAS 122. Edi S 123. Tri Risandewi Balitbang Prov Jateng 124. Djoko Sukrisno Perhutani Unit I

125. Sugeng Santoso Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta

126. Firmansyah Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta

127. Kristina Dewi TN Merbabu 128. Ekawati Murtiningsih TN Merbabu 129. Hasto Prasojo TN Merbabu 130. Endah Retnaningrum TN Merbabu 131. Fadel TN Merbabu 132. Eka Widyastuti BPDAS Sampean 133. Marsudi BPDAS SOP

Page 53: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

276

No Nama Instansi

134. Edi M Rais Cilegon 135. Dr. Ir. Ambar K Fak Kehutanan UGM 136. Frida Purwono Puslitbang Perhutani 137. Purwanto Puslitbang Perhutani 138. Muhadi Puslitbang Perhutani 139. Rumchani Agus S Pusdal II 140. Zarnigusti Pusdal II 141. Dadang Sriyono Pusdal II 142. Wahyu Budiarso BPTKPDAS 143. Agus Munawar BPTKPDAS 144. M. Fajrin Universitas Bengkulu 145. Sri Baruni BPTKPDAS 146. Anung Wijayanti BPTKPDAS 147. Ana Pangaribuan BPTKPDAS 148. Nardi BPTKPDAS 149. Farika Dian N BPTKPDAS 150. Tommy Kusuma AP BPTKPDAS 151. Iman Santoso Ka Balitbanghut Kemenhut 152. Eka WS Dir PEP DAS 153. Wisnu Prastowo Sekbadan Litbang 154. Bambang Sugiarto BPTKPDAS 155. Kus Wardani BPTKPDAS 156. Mesri Ferdian BPTKPDAS 157. Eko Priyanto BPTKPDAS

Page 54: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

277

Lampiran 3. Hasil Diskusi Komisi I : Sistem Pengelolaan DAS: Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas

Propinsi Fasilitator : Ir. Paimin, M.Sc Notulen : Endah R., B. Wirid A. SESI I : 1. Aplikasi sidik cepat degradasi sub DAS dengan monitoring dan

evaluasi kinerja sub DAS (Nur Ainun J, S. Hut, MSc) Mampu menjawab hubungan aspek biofisik dan sosial-

ekonomi-kelembagaan (soseklem) dalam pengelolaan DAS ( hubungan aspek biofisik dan soseklem dalam pengelolaan Sub DAS Padas sedang s/d rentan sedangkan pada Sub DAS Pengkol rentan).

DAS Pengkol sudah dapat melaksanakan kegiatan gotong royong sedangkan Sub DAS Padas belum.

Aspek kelembagaan Sub DAS padas tinggi , Sub DAS Pengkol rendah.

2. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan : kasus DAS Grindulu,

kabupaten Pacitan (S. Andy Cahyono) Ketidaktepatan pengelolaan DAS adalah DAS kritis semakin

meningkat. Untuk menjawab pengalokasian sumber daya lahan yang

optimal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kendala: perlindungan tata air, erosi tanah, tenaga kerja, dan

lahan. Pendapatan optimal di DAS Gridulu 570 milyar/ tahun. Tanaman yang tidak optimal bila dipaksakan ditanam maka

akan mengurangi pendapatan optimalnya. Dengan model optimalisasi ini dapat diketahui kelangkaan

dengan mengunakan harga bayangan (shadow price). Bila harga bayangan semakin tinggi maka makin langka.

Tanaman unggulan di DAS Grindulu adalah padi dan kopi.

Page 55: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

278

3. Identifikasi kerentanan sosial ekonomi kelembagaan sebagai dasar perencanaan Sub DAS Progo Hulu (Nana Haryanti, S.Sos, MSc) Lokasi meliputi kabupaten dominan dan lintas kabupaten lain Latar belakang: DAS menghasilkan air dan barang & jasa

(karena aktifitas manusia) terdapat dampak sampingan dari aktifitas dalam pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS menjadi penting karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Metode dengan sidik cepat degradasi lahan. Bagian hulu digunakan untuk menanam tembakau dan sayur,

bagian hulu kegiatan konservasinya masih rendah terlihat dari banyaknya lahan terbuka.

Pendapatan masyarakat tinggi dari hasil tembakau. Kelembagaan di bagian hulu sangat rendah, di bagian bawah

sudah baik karena terdapat agroforestry Penghambat kelembagaan DAS Progo:

a. Banyaknya organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan dalam mengelola DAS Progo (BPDAS SOP, PU, dan Perum Perhutani);

b. Rendahnya tingkat kerjasama dan kordinasi antar instansi; c. Tidak adanya kebijakan pemberian insentif konservasi

sangat rendah (sangat minim, insentif diberikan bila ada proyek)

Bagaimana DAS Progo harus dikelola: a. Mencari indikator sosial ( tingkat kesadaran, kendala yang

masyarakat hadapi, nilai, kepercayaan); b. Tahapan perbaikan DAS (mengidentifikasi sumber polusi

sperti pertanian sayur dan tembakau, lokasi, stakeholder, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan);

c. Pembentukan dewan air (berbeda dengan forum DAS) Kesimpulan:

a. Organisasi pemerintah belum efektif dalam pengelolaan DAS

b. Perlunya dibentuk dewan air

Page 56: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

279

4. Kelembagaan pengelolaan mikro DAS Wonosari Kabupaten Temanggung ( Ir. Purwanto, MSi) Areal 1.000 ha cukup untuk dilakukan implementasi DAS mikro Mikro DAS merupakan derivat sub-sub das, sub das dan das

(peraturan dirjen RLPS No. P.15/V/2009) Tujuan : mengkaji kelembagaan di mikro DAS Metode : deskriptif, desk analysis (penggunaan lahan, peraturan

) Hasil: sifat dasar SDA mikro DAS Wonosari; sda mikro DAS

merupakan common pool resources; selama UU konservasi tanah belum dibuat maka belum dapat melakukan kegiatan.

Banyak organisasi yang melakukan penanaman seperti Bappeda (perencanaan), BPDAS, Din Pu, kecamatan Bulu, Desa, BLH, Gapoktan, lembaga lain Koramil, lambaga masyarakat, lembaga swasta, lembaga keuangan

Sebagian besar tanamannya di wonosari adalah tembakau untuk kegiatan konservasi tanah dan air dapat dilaksansakan sepanjang tidak merugikan produktifitas petani tembakau

Hubungan antar lenmbaga bersifat keproyekan sehingga ada koordinasi antar lembaga

SESI II 5. Tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai variasai luas hutan

pinus di sub DAS kedungbulus, Gombong (Drs. Irfan BP, MSc) Mengetahui tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai luas

hutan pinus justifikasi UU 41. Luas hutan optimal masih perdebatan, 30% belum didukung

penelitian. DAS yang sehat salah satu dicirikan dengan sedimentasi rendah,

namun belum tentu karena sedimentasi rendah tetap harus dilihat hidrologinya.

Pengukuran debit dan sedimentasi diambil pada saat bersamaan.

Semakin luas tutup hutan maka debit dan sedimentasinya rendah

Page 57: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

280

Perubahan luas hutan terhadap perubahan tingkat kekeruhan air mencapai titik hampir konstan pada sekitar luas hutan 31-35 %

6. Tipologi DAS untuk pengelolaan DAS kedepan (S. Andy Cahyono)

Tipologi dapat menggambarkan DAS berdasarkan kelompok / unsur tertentu/ karakter tertentu.

Karakteristik DAS: SDA, SDM, sumber sosial,sumber finansial Tedapat 4 tipologi bila dikaitkan dengan kerawanan bencana:

(hal 5) Skala DAS menentukan keefektifan dan efisiensi pengelolaan

DAS, mempengaruhi karakterisasi DAS, mungkin tepat untuk skala tertentu tapi untuk skala yang lebih besar belum tentu perlu kajian.

DAS dengan tipologi terntentu membutuhkan teknologi, pendekatan, kebijakan tertentu

7. Sistem Perencanaan kehutanan dalam perspektif sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS-studi kasus di Sub DAS Progo Hulu (Pamungkas) Peran sektor kehutanan dalam daya dukung DAS (permenhut

No.39/ Menhut–II/2009 Alasan pemilihan lokasi di DAS Progo Hulu: potensi kerentanan

degradsi lahan tinggi dan berada pada satu kabupaten dominan yaitu kabupaten Temanggung.

Unit pengelolaan hutan kesatuan pemangkuan hutan (KPH) di Perum Perhutani kalau di pemerintah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)

Karakteristik DAS hulu : dominan kawasan hutan berada di BH Temanggung. Di Sindoro merupakan hutan lindung.

Sinergitas perencanan kehutanan dengan perencanaan pengelolaan DAS: harus memperhatikan fungsi hutan dan klas perusahaan dan klas hutannya.

DAS Progo Hulu ternyata dominan pada BKPH Temanggung dengan sistem perencanaan dipegang oleh KPH.

Kewenangan pengelolaan DAS dipegang oleh pemerintah

Page 58: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

281

Usulan Rencana pengelolaan DAS disusun pusat dan dapat disahkan oleh bupati supaya mudah diadopsi daerah dan dimasukkan dalam penyusunan perencanaan daerah.

Sektor kehutanan mempunyai peran dalam penyusunan perencanaan pengelolaan DAS.

HASIL DISKUSI SESI I

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

1. Bp. Suwito (Kemitraan)

Untuk Ibu Nana : 1. Tertarik dewan air,

karena lebih powerfull daripada forum DAS.

2. Bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi agar dapat dikomunikasikan pada stakeholder

Untuk Bp Purwanto : 3. Belum melihat

organisasi yang mampu melakukan pengelolaan (walaupun menurut UU adalah Perhutani). PHBM merupakan tolok ukur keberhasilan.

Ibu Nana : 1. Sulitnya komunikasi di

negeri ini. Kalau pengelola DAS sepakat untuk membentuk Dewan Air maka perlu merencanakan dari awal sampai akhir.

2. Masyarakat sebenarnya tahu konservasi namun keengganan untuk melakukan

Bp Purwanto: 3. Pengelolaan hak

perhutani, namun tidak didiamkan oleh perhutani

2. Bp. Herudoyo Untuk Bp Purwanto 1. Penelitian DAS mikro

diharapkan dapat digunakan untuk membuat prosedur

Bp Purwanto: 1. Yang paling berperan

adalah dinas pertanian dan perkebunan, penyuluh

Page 59: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

282

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

dalam DAS Mikro. 2. Organisasi yang

mengarah ke mikro DAS masih kecil, mungkin perlu di buat diagram untuk mengetahui organisasi mana yang potensial

3. Perlu dibuat kelembagaan DAS mikro untuk mengetahui siapa melakukan apa?

4. Apakah mungkin dilakukan DAS mikro dianggarkan di tingkat desa?

2. Diagram ven akan dilakukan dengan analisis yang lebih baik

3. Desentraslisasi ada di unit terkecil. Harapan anggaran dari manapun bukan di desa namun desa dan kecamatan mengetahui dan berperan

3. Bu Nining 1. BPDAS Solo melakukan monev kinerja untuk keseluruhan DAS di wilayah kerja.

2. Lokasi penelitian untuk penerapan menggunakan peta apa?

3. Bagaimana menetapkan batas wilayah das hulu, hilir mengingat penelitian dilakukaan di sub das dengan wilayah sekitar 3000 Ha apa sebaiknya tidak menggunakan peta

Bp Purwanto: 1. Sebagian lahan di

pronggo adalah kritis yang peruntukannya untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti jagung

2. Di KBR belum bisa mengecambahkan. Penentuan jenis sejak awal seharusnya didiskusikan ke masyarakat

3. Mikro DAS merupakan perencanaan jangka menengah. Lima tahun sudah bisa dijadikan contoh pengelolaan

Page 60: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

283

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

wilayah? 4. Penetapan bobot

rawan banjir dan rawan longsor, apakah cukup mewakili bila dilakukan sekali apa tidak times series

5. BPDAS Solo punya 4 MDM dengan luasan sampai 1500ha (karanganyar, kali samin)

DAS Ibu Ainun 4. Lokasi dipilih dengan

menggunakan data sekunder apa yang dominan, menggunakan peta penggunaan lahan, peta RBI, peta rawan longsor, peta rawan banjir. Untuk rawan banjir menggunakan siskardasnya pak paimin

5. Data sosek menggunakan times series 5 tahun, untuk budaya tidak bisa menggunakan times series karena harus interview dengan petani di sana (data primer). Data hidrologi berusaha menggunakan data times series 10 tahun

Bp Irfan BP : 6. Lokasi menggunakan

peta RBI 7. Skala dan bobot

menggunakan buku sidik cepat degradasi lahan

Page 61: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

284

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

Ibu Nana : 8. Sampling

menggunakan peta RBI. Untuk tegalan diambil dari desa yang dominan. Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan masing-masing dari desa dominan diambil 30 sampel karena waktu terbatas.

4. Bp. Pramono Untuk Bp Purwanto : 1. DAS Mikro bukan

berdasar luasan namun kehomogenan. DAS Mikro merupakan perkembangan dari plot.

Bp Purwanto: 1. Unit yang seragam

akan ditampung. Namun kami lebih memilih ke penyelesaian permasalahan bagaimana perencanaan mikro DAS kedepan.

Bp. Paimin: 2. Mikro DAS sudah

integrated process bukan sekedar perkembangan plot. Karena mikro DAS merupakan derivat dari Sub DAS. Kehomogenan dapat diambil dari karakter sub DAS untuk membangun mikro

Page 62: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

285

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

DAS. HASIL DISKUSI SESI II

NO. NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

5. Bp Dibyo Untuk Bp Irfan : 1. Bukan hanya

kekeruhan saja tapi juga kualitas air tersebut. Badan internasional sudah studi kualitas air sungai di DAS Citarum (Citarum panjang sungainya dari Garut s/d Indramayu, terdapat PLTA jatiluhur dan siguling. Studi lebih pada kualitas air sungai Citarum. Ternyata air sungai Citarum sudah tercemar mulai dari hulu (pusat industri). Kualitas air pada bendungan I Saguling 6 meter kebawah sudah tidak ada oksigen. Air citarum ikut mempercepat umur kincir angin. Citarum sebagai sumber pengairan untuk padi jadi mempengaruhi produktifitas.

Bp Irfan: 1. Analisa sebenarnya

tidak hanya kekeruhan tapi juga kualitas airnya

Page 63: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

286

Bagaimana mengkaitkan kualitas air dengan tingkat kecemaran.

2. Hubungan antar pemanfaatan sungai dengan keanekaragaman hayati. Penelitian di Cinimang ternyata diketemukan berbagai jenis ikan yang tadinya berada di situ ternyata menjadi hilang.

6. Bp Herudoyo

Untuk Bp Irfan : 1. Data tentang curah

hujan belum ditampilkan

2. Tanaman bawah perlu disinggung dominasi tanaman bawah perlu dikaji karena dapat mempengaruhi kekeruhan.

Untuk Bp Andi : 3. Lebih baik dalam

perencanaan menggunakan karakterisasi DAS atau tipologi DAS ?

4. Atau kedepan dengan tipologi begini maka perlakuannya

Bp Irfan : 1. Pengaruh tanaman

bawah memang sangat berpengaruh, nanti akan kami lengkapi.

2. Tingkat kekeruhan di Kedung Pane tinggi karena di atas dibuat bendung sementara dari kayu dan daun kelapa dengan tujuan untuk menyaring pasir.

Bp Andi : 3. Dengan 2 unsur

dominan (hujan dan kepadatan penduduk) sudah didapat 4 tipologi

4. Karakteristik dan tipologi dapat digunakan. Seperti DAS tertentu yang

Page 64: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

287

seharusnya demikian

cenderung ke tipologi 1 agar lebih detil dapat dikombinasikan dengan karakteristik. Tipologi dapat membantu dalam menyederhanakan membuat kesimpulan.

7. Bp.Wanda (Aek Nauli)

Untuk Bp Pamungkas : 1. Tipologi DAS berbeda

seperti di Jawa dan Sumatara. Apakah terdapat strategi untuk menyusun perencanaan pengelolaan DAS untuk hutan konservasi.

2. Penyebab kerusakan DAS karena ketergantungan masyarakat tinggi dan ekonomi rendah. Sebenarnya apa yang mendasari kerusakan DAS kemiskinan, kebutuhan lahan atau kesadaran masyarakat

Untuk Bp Andi : 3. Dalam penyusunan

persamaan apakah telah dilakukan uji sebelumnya (mengingat terdapat banyak parameter). Adakah studi pendahuluan sebelum

Bp. Pamungkas: 1. Kalau konservasi maka

dapat disinergikan dengan kawasan di bawahnya

2. BPK Solo belum melakukan pada DAS konservasi

Page 65: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

288

menerapkan parameter sesi i

8. Ibu Triwilaida

Untuk Bp Andi : 1. Karakter keragaman

di DAS hulu 2. Tipologi 3 terdapat

penjelasan dengan penduduk kurang tapi terdapat konflik. Konflik yang bagaimana?

Bp Andi : 1. Daerah hulu biasanya

suku lebih serderhana namun jumlah suku banyak dalam jumlah anggota kecil.

9. Ibu Sri (Pusdal)

Untuk Bp Pamungkas : 1. Pengelolaan DAS yang

disampaikan merupakan lintas sektoral. Jadi kelembagaan lain ikut berperan dalam keberhasilan pengelolaan DAS. Ketika perencanaan dibuat apakah sudah melibatkan/partisipatif antar pihak karena sering terjadi perbedaan kepentingan antar pihak yang akhirnya menjadi konflik dan membuat malas berkoordinasi. Karena masalah koordinasi selalu menjadi kendala, sebaiknya

Bp Pamungkas: 1. Sepakat untuk

penyusunan partisipatif. Namun perlu pihak yang powerfull untuk dapat memaksa dalam implementasi bukan hanya partisipatif dalam perencanaan tapi lebih penting dalam implementasi.

2. Perencanaan diusulkan untuk disahkan Gubernur, namun berasarkan hirarki lebih cenderung ke Bupati.

Page 66: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

289

perencanaan melibatkan stakeholder.

2. Siapa yang melakukan karakterisasi.

PLENO:

NO. NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

1. Bp. Soenarto Gunadi (Yogya)

1. Kebutuhan riset terkini belum tercermin sampai dengan hari ini

Bp Paimin : 1. Terima kasih saran 2. Tim pernah

memperkenalkan ke stakeholder cuma karena terbatas waktu maka gagal

3. Untuk justifikasi hasil peneltian tergantung jenis penelitian. Tidak semua penelitian dapat dilakukan justifikasi terutama penelitian yang bersifat survei.

4. Himbauan PU akan diakomdir tapi bukan dalam bentuk semiloka (alam semiloka ini diharapkan peserta berbagi pengalaman hasil penelitian bukan hanya dalam tulisan).

5. Institusi dengan masing-masing tupoksi diharapkan dapat melihat peraturan perundangan dan peka terhadap kebutuhan

Page 67: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

290

NO. NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

pengguna. Prof. Ris. Pratiwi: 6. Keterkinian sudah

dapat dilihat dengan selalu memperhatikan peraturan dirjen BPDAS PS seperti rehabilitasi dengan jenis lokal.

2. Bp. Sunarno

1. Perlu koordinasi lebih lanjut supaya sampai pada masyarakat. Sebelum menyusun laporan akhir penelitian perlu proses justifikasi dari stakeholder kira-kira hasil penelitian dapat bermanfaat tidak.

2. Penelitian selalu memperhatikan 4 aspek : ekonomi, kemudahan adopsi, lingkungan, dan masyarakat dapat menerima.

3. Kepala Balai Sabo

1. Saran kedepan untuk paper dapat diambil dari institusi lain karena yang bergerak di bidang pengelolaan DAS tidak hanya BPK Solo.

2. Paper dapat

Page 68: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

291

NO. NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

dilanjutkan ke jurnal. 4. Bp.

Purwanto (UNS)

1. Terkini seharusnya mengacu pada peraturan terkini yaitu UU 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pengelolaan harus berdasarkan pada kelestarian biidiversitas.

2. Penelitian yang terkait dengan teknologi konservasi tanah dan air dengan agroforestry harus lebih diintensifkan

3. Keragaman semakin beragam maka ekosistem semakin stabil dan biota tanah semakin beragam.

4. Biopori tidak perlu bila selama di tanah masih terdapat cacing tanah yang akan mengurangi run-off.

5. Perakaran sawit hanya 40 cm. Wacana menjadikan sawit sebagai tanman kehutanan perlu ditinjau kembali. Karena akan mempercepat

Bp Paimin : 1. Itjen bekerjasama

dengan PU bagaimana monitoring litbang. Sebelum memonev tolong dilihat terlebih dahulu mampukah melakukan.

Page 69: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

292

NO. NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

kerusakan hutan. 6. Terkait dengan UU

nomor 41 kehutanan. Penelitian tentang luas hutan optimal 30% perlu kajian untuk di luar Jawa.

5. Pusdal 1. Pusdal II akan melakukan monev terhadap hasil litbang namun pusdal kesulitan menetapkan parameter monev. Mungkin litbang dapat membantu dalam menetapkan kriteria dan indikator. Monev yang diharapkan lebih teknis apakah hasil peneltian termanfaatkan oleh masyarakat.

Bp Paimin : 1. Monev apa? Substansi

penelitian atau manajemen? Kalau manajemen ok, tapi kalau substansi penelitian itu yang akan susah.

Page 70: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

293

Komisi II : Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS

Fasilitator : Prof. Ris. Dr. Pratiwi, M.Sc Notulen : Wiwin Budiarti, Yogi Wulan Puspitasari. Makalah Sesi I : 1. Karakteristik Lahan sebagai Basis Perencanaan Konservasi Tanah di

Sub DAS Progo Hulu (Pembicara : Pamungkas B P) Meningkatnya luasan lahan kritis di Indonesia yang melampaui

daya dukungnya. DAS Progo Hulu mempunya potensi kerentanan lahan karena

degradasi yang tinggi. Metode menggunakan formula Sicerdas (Sidik Cepat Degradasi

Sub DAS). Tujuan penyusun rencana pengelolaan dan konservasi tanah. Kekritisan karena pertanian di lahan yang terjal dengan tanaman

semusim. Rekomendasi: tanaman suren, mendorong teras searah kontur

lereng. Kesimpulan: sebagian besar daerah DAS ini mempunyai karakter

agak kritis karena kondisi alamiah kelerengan dan manajemen pertanian dengan tanaman semusim namun transfer teknologi konservasi kepada petani masih sangat rendah.

2. Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu untuk Mendukung Kelestarian Tata Air (Pembicara : I Wayan Susi D) Perubahan tata guna lahan tidak sesuai dengan daya dukung

lahan Metode dengan model ANSWER (Areal Non Point Source

Watershed Environmental Response Simulation) Simulasi perubahan penutupan lahan, rekapitulasi output di Sub

DAS Cisadane Hulu dan debit sungai multi years. Banyak di dominasi oleh perkebunan dan pemukiman (resort). Model penggunaan skenario penutupan lahan menunjukkan

bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri dan tetap harus memperhatikan tekanan pada sektor lain seperti pertanian dan pemukiman.

Page 71: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

294

Kesimpulan: Kondisi Sub DAS sangat kritis, penggunaan lahan yang optimal mampu mengurangi limpasan dan erosi dapat meningkatkan kelestarian air.

3. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan (Pembicara : Dewi Retna I) Lahan kritis semakin meningkat dan upaya yang ada masih belum

menunjukkan hasil yang maskimal. Salah satu permasalahan adalah pada kelembagaan pengelolaan

hutan rakyat, penyuluh lapangan masih kurang sedangkan masyarakat perlu dilakukan pendampingan mengenai teknik budidaya dalam pembangunan hutan rakyat.

Metode: wawancara mendalam dengan informan dan FGD. Muncul konflik antara para pihak (dinas kehutanan, dinas

pertanian, swasta, masyarakat, BAPPEDA dll) terkait dalam satu kabupaten

Koordinasi antara para pihak diharapkan ada dalam perencanaan hutan rakyat dalam satu kabupaten dengan sistem kolaboratif dan partisipatif.

Kesimpulan : tidak diperlukan lembaga baru namun lembaga yang ada dioptimalkan dengan mekanisme kerja yang jelas; Penyusunan rancangan bangun untuk pembangunan hutan rakyat; BAPEDA mempunyai tugas untuk mengkoordinir seluruh pihak dalam pembangunan kehutanan.

4. RHL Partisipatif pada Hulu DAS : Mengelola Sumberdaya Lahan dan Air Melalui Dialog : catatan pengalaman penelitian di Sulawesi tahun 2001 – 2011 (Pembicara : Hunggul Y. S) DAS super prioritas bertambah dan lahan kritis semakin

meningkat. Penutupan kawasan hutan semakin menurun digantikan dengan

kawasan pertanian. Kurangnya pengetahuan dan keinginan masyarakat untuk

menjaga kawasannya. Sulitnya mengakses air bahkan bagi masyarakat di daerah hulu. Permasalahan: partisipasi masyarakat, adopsi teknologi

konservasi dan dukungan politis untuk ikut serta dalam program konservasi.

Page 72: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

295

Penelitian yang ditekankan di BPK Makasar: partisipasi personal dan partisipasi kolektif.

Peningkatan awareness masyarakat tentang erosi dan akibatnya bagi tanah mereka.

Kesimpulan : pembuatan mikro hidro sebagai penekanan dan bukti kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai manfaat hutan sebagai regulator air.

HASIL DISKUSI SESI I :

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

1 Agus W BPK Solo

Untuk Bp. I Wayan : 1. Bagaimana dengan

distribusi spasial dari tata ruang yang digunakan

2. Nilai ekonomi masyarakat dari Sub DAS Cisadane yang diperoleh

3. Dampak dibagian hilirnya seperti apa, tentu tidak hanya erosi, sedimentasi tentunya ekonominya juga.

Bp I Wayan : 1. Analisis ekonomi

belum dilakukan, akan dilakukan di penelitian mendatang

2. Informasi spasial sudah ada hanya saja belum ditampilkan, nanti akan dimuat dalam tulisan

2 Sunarto G MKTI

Untuk Bp I Wayan : 1. Apakah sudah ada

referensi Model ANSWER di Indonesia ?

2. Tata guna lahan, yang digunakan hanya prosentase atau sudah spasial ?

Untuk Ibu Dewi R I

Bp I Wayan : 1. Referensi di Indonesia

masih sedikit namun di kalangan akademisi sudah banyak dilakukan

Ibu Dewi R I:

Page 73: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

296

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

(Kelembagaan): 3. Dasarnya apa?

Apakah aspek teknis, sosial, tipe masyarakat atau aspek ekonomi?

Untuk Bp Hunggul (Partisipatif): 4. Kontribusi

masyarakat itu apa? Model yang digunakan dialog atau pembelajaran bersama? Kerusakan lahan karena fasilitas memadai, contoh: adanya jalan mungkinkah mengganggu kelembagaan yang ada.

3. Kelembagaan sangat luas, pada kenyataannya masih adanya konflik dan tumpang tindih antara pihak-pihak dan lembaga-lembaga terkait, lebih menyoroti mekanisme kerja/koordinasi masing-masing lembaga terkait. Bagaimana sharingnya agar kegiatan hutan rakyat bisa berjalan baik.

Bp Hunggul : 4. Masyarakat dirangsang

untuk membuat kelompok, kewajibannya harus menanam, ada peraturan, ada sangsi, tidak dikomersilkan.

5. Adanya perbaikan fasilitas tidak memberikan dampak negatif karena dilakukan diluar kawasan dan listrik yang dihasilkan masih sangat kecil (sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar). Konsep ini sudah

Page 74: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

297

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

banyak ditiru oleh Pemda setempat.

3 Bp Agung Untuk Bp I Wayan : 1. Terkait dengan

baseline, seharusnya yang dipakai untuk baseline tidak hanya dari 1 (satu) kejadian hujan, karena baseline perlu divalidasi dengan beberapa kejadian hutan dalam beberapa tahun

2. Terkait dengan spasial output dari ANSWER adalah informasi dari sebaran sumber-sumber erosi.

Sudah terjawab di atas

4 Bp Bambang (BPDAS Serayu Opak Progo)

Untuk Bp Pamungkas : 1. Wonosobo ditanami

oleh kentang dan sebagian besar lahan dimiliki oleh masyarakat sehingga teknik perlu diberikan dan diterapkan.

2. Praktisi: disamping konservasi tanah (sipil), agar kedepan juga dilakukan teknik RLKT secara vegetatif dengan tanaman keras. Di

Bp Pamungkas : 1. Kerentanan lahan

memang pada lahan milik dengan tanaman semusim. Konservasi vegetatif sudah dilakukan dengan penanaman tanaman jenis Suren di lereng Sindoro karena suren dinilai mempunyai kapasitas adaptasi yang baik pada elevasi yang tinggi. Konservasi vegetatif perlu terus dilakukan dan diteliti

Page 75: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

298

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

Dieng merehabilitasi 5000ha dengan teras dan vegetasi (tanaman keras, carica papaya dan teh). Koordinasi dengan BPDAS Opak Progo untuk terus melakukan penelitian disana.

3. Perlu dilakukan analisis ekonomi sangat penting, karena contoh : masyarakat Dieng sangat tergantung dengan tanaman kentang dan dibandingkan dengan gabungan upaya konservasi menggunakan vegetasi

Untuk Ibu Dewi RI : 4. Produksi Hutan

Rakyat di Jawa jauh lebih besar daripada Perhutani, sehingga kelembagaan di tingkat masyarakat sangat diperlukan agar hutan rakyat lestari, manajemen dengan tingkat yang lebih besar lagi perlu

yang disesuaikan dengan kombinasi tanaman semusim pilihan masyarakat.

Ibu Dewi R I : 2. Masih adanya konflik

dan tumpang tindih antara pihak-pihak terkait dan lembaga-lembaga terkait, namun semakin sedikit dengan adanya koordinasi.

Page 76: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

299

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

diterapkan karena tingkat kelompok tani desa sangat kecil. Manajemen hutan rakyat perlu diperbaiki, bagaimana agar hutan rakyat lestari, konsep hutan rakyat kemitraan (hubungan antara masyarakat dengan industri kayu) sehingga produksi kayu tetap kontinyu, diterapkan tanaman keras, tahunan, semusim.

5 Tyas M B BPK Solo

Untuk Bp I Wayan : 1. Keuntungan model

ANSWER memberikan keuntungan spasial untuk pengguna, perlu ditunjukkan keuntungannya

2. Kondisi mengkhawatirkan, namun dari baseline (jauh kurang dari 10 ton/ha) menunjukkan belum terlalu mengkhawatirkan, jadi mungkin perlu dibandingkan dengan tolerable erosion.

Sudah terjawab di atas

Page 77: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

300

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

3. Nilai erosi dibawah 10 ton/ha masih belum terlalu mengkhawatirkan, sebaiknya dikaitkan juga dengan kedalaman tanah.

4. Penyajian limpasan perlu dilengkapi data curah hujan.

5. Keuntungan ekonomi masyarakat perlu.

6. Saran : penyajian tabel sudah per seratus, cara penulisan perlu koreksi

Makalah Sesi II :

5. Konservasi Tanah dan Air secara Partisipatif dengan Pendekatan Model Agroforestri Lokal (Pembicara : Ida Rachmawati) Degradasi lahan : meluasnya lahan kritis di NTT 1.313. 897 ha

(dalam kawasan hutan 297.322 ha dan di luar kawasan hutan 1.016.575 ha) menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan.

KTA dalam perbaikan lahan terdegradasi : dengan penanaman rumput pakan ternak (Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum dan Euchlaena mexicana) mampu memperbaiki sifat fisik tanah.

Pengembangan agroferestri lokal secara partisipatif mampu berfungsi sebagai model KTA, bila memperhatikan :

o Pemilihan tanaman, kombinasi tanaman yang tepat dan pengaturan pola tanam dan model yang tepat antara tanaman kehutanan, pakan, tanaman pangan.

o Kondisi lingkungan setempat.

Page 78: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

301

o Keterlibatan masyarakat lokal secara aktif. Kegiatan sekolah lapangan adalah proses belajar bersama dalam

pengelolaan lahan dan memahami pentingnya aspek konservasi tanah dan air.

6. Pemilihan Jenis-jenis Lokal dalam Famili Dipterocarpaceae yang Relatif Sesuai dengan Lokasi Tambang Batu Bara (Pembicara : Sri Soegiharto) Jenis yang dipilih : Famili Dipterocarpaceae, lokasi di Samarinda Tanah yang sudah ditambang merubah stuktur dan kualitas Jenis-jenis Famili Dipterocarpaceae yang relatif dapat bertahan

pada lokasi tambang batu bara adalah jenis ekosistem kerangas dan rawa gambut, karena pada lokasi iklimnya meranggas dan banyak genangan, a.l : Shorea balangeran, Cotylelobium burchii dan Dryobalanops lanceolata.

Solusi : untuk meningkatkan persentase hidup Famili Dipterocarpaceae lain diluar ekosistem kerangas dan rawa gambut dicoba dengan menambah perlakuan amandmen soil seperti humic acid, fulvic acid dan limelight.

7. Kajian Ketersediaan Air Permukaan pada Tanaman Kayu Putih (Pembicara : Ugro H M) Ketersediaan air sangat penting karena dijadikan salah satu

indikator dalam pemilihan pemukiman dan perencanaan wilayah. Penurunan ketersediaan air pada kawasan hutan tanaman kayu

putih perlu dianalisis dengan pendekatan Sub DAS, dibuat SPAS model Cipoletti dilengkapi peralatan pemantau aliran air otomatis.

Penutupan lahan mikro DAS kayu putih berkisar antara 30 – 80 % (sedang), sehingga masih terdapat resiko terjadinya erosi tanah yang disebabkan karena pukulan air hujan.

8. Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Rehabilitasi Mangrove (Pembicara : Endang Karlina) Kondisi mangrove sangat memprihatinkan, rehabilitasi mangrove

masih sangat rendah

Page 79: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

302

Lokasi : 2 (dua) sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan rehabilitasi mangrove yaitu di Tahura Sawung, Bali dan kawasan Hutan Produksi Ciasem, Pamanukan, Jawa Barat

Pengelolaan kawasan rehabilitasi hutan mangrove sebaiknya memperhatikan fungsi ekologis kawasan, sebagai fungsi lindung, habitat satwa liar dan sumber plasma nutfah daripada fungsi ekonomi (penerapan pola silvofisheri).

HASIL DISKUSI SESI II :

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

1 Burhanudin (Pusdiklat)

Untuk Ibu Endang K : 1. Rehabilitasi

Mangrove Ciasem (Perhutani), tidak hanya dilakukan oleh Perhutani , tetapi juga dilakukan kelompok tani masyarakat dan mengembangkan koperasi masyarakat, pengembangan produk dari buah mangrove. Apakah dalam penelitian ini menyoroti juga hal yang dilakukan kelompok tani mangrove lestari?

Ibu Endang K : 1. Kelompok tani

tersebut tidak masuk dalam lokasi kajian, mungkin masuk di RPH lain. Terdapat 5 KPH di lokasi kajian.

2 Wuri BPK Ciamis

Untuk Bp Ugro H M : 1. Sampel ukuran 5 m x

5 m, apakah sudah merupakan ukuran yang memadai?

2. Ketersediaan air, tinggi pohon 2 m,

Bp Ugro H M : 1. Yang menjadi patokan

adalah tanaman bawah lalu tegakannya. Hasil air yang tersedia yang masuk dalam outlet SPAS adalah volume

Page 80: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

303

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

yang memberikan ketersediaan air di permukaan apakah tanaman kayu putihnya atau karena pengaruh tanaman bawah? Belum dijelaskan hubungan antara tanaman kayuputih dengan ketersedian air.

air dari hutan kayuputih dan tanaman bawahnya.

3 Purwanto UNS

Untuk Ibu Ida R (Agroforestry): 1. Masukan: kriteria

agroforestry mampu memberikan nilai ekonomi dan ekologi. Pemilihan model AF harus memperhatikan kondisi lingkungan, yang perlu diperhatikan kriteria kombinasi yang mampu meningkatkan biodiversitas di atas tanah, bertajuk multistrata sehingga bisa efektif untuk menangkap fotosintesis, menangkap intersepsi air hujan, mengeksplorasi akar dan meningkatkan

Ibu Ida R : 1. Semua masukan akan

dipertimbangkan untuk perbaikan penelitian kedepan.

Page 81: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

304

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

kualitas serasah. Tanaman hutan yang dipilih harus juga memenuhi menghasilkan lignin yang tinggi sehingga tutupan tanah dapat tinggi dana dapat menampung air hujan dan menjaga suhu tanah

4 Ela Pusprohut

Untuk Ibu Endang K : 1. Unsur manusia

sangat berpengaruh terhadap keberhasilan rehabilitasi kawasan mangrove, jadi tidak selalu merusak. Perlu dicermati adanya tambak terhadap peningkatan jumlah mangrove. Masyarakat akan cenderung menanam mangrove apabila tambaknya berhasil.

Endang K : 1. Kondisi biofisik bagus

bisa karena pertambakan namun karena unsur manusia yang dominan bisa juga menyebabkan kerusakan. Pengelolaan mangrove perlu dikedepankan fungsi lindungnya daripada fungsi ekonominya. Kedepan agar dilakukan kajian bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove di berbagai fungsi hutan (konservasi, produksi, lindung) sehingga akan dihasilkan berbagai model pengelolaan mangrove pada berbagai fungsi hutan

Page 82: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

305

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

Untuk Bp Sri S (Batubara): 2. Kombinasi tanaman

pelindung/pionir apakah berpengaruh terhadap keberhasilan tanaman pokok sendiri?

Untuk Ibu Ida R : 3. Gulma akan

menurunkan hasil panen, tetapi juga memiliki manfaat positif dalam pola agroforestry ini,

yang berbeda.

Bp Sri S : 2. Penaung dapat

menjadi pesaing namun prediksi persaingan penaung pionir bisa diabaikan, karena pertumbuhannya masih sangat kecil (tidak ada saingan dalam hal akar). Rancangan acak kelompok kurang bisa mewakili populasi sehingga rancangan penelitian dicoba dengan rancangan lain (Corespondence Canonnical Analysis). Naungan multistrata tidak bisa diaplikasikan.

3. Di tambang hanya ada 1 strata, naungan di 1 lokasi berbeda dengan yang lain jadi tidak bisa digeneralkan.

Ibu Ida R : 4. Putri malu digunakan

karena bisa menahan penguapan yang tinggi, dipilih putri malu yang tidak berduri sehingga tidak

Page 83: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN

306

NO NAMA & INSTANSI

DISKUSI TANGGAPAN

apakah tidak dilakukan kajian mengenai hal tersebut?

membahayakan petani itu sendiri. Selain itu pemilihan putri malu disesuaikan dengan jeruk yang ditanam masyarakat.

5 UN Untuk Ibu Ida R : 1. Usul : dalam

penerapan pola Agroforestry agar menata kombinasi tanaman, penggunaan tanaman bertajuk multistrata lebih bagus

Untuk Bp Ugro H M (Kayu putih) : 2. Perbandingan

ketersediaan air kayu putih dibandingkan dengan tanaman lain/control.

Ibu Ida R : 1. Saran ditampung

Bp Ugro H M : 2. Sulit mencari kawasan

hutan yang murni hanya kayuputih namun banyak tanaman sela yang juga kemungkinan membantu penyerapan air di hutan kayuputih. Hasil air yang tersedia yang masuk di SPAS, memang benar yang masuk dari hutan tanaman kayu putihnya.

Page 84: ISBN 978-602-99218-6-1 - database.forda-mof.orgdatabase.forda-mof.org/uploads/2013P_4_Evi.pdfISBN 978-602-99218-6-1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN