IBU TIRI
TAK SEKEJAM IBU KOTA
(CERITA FIKSI)
Oleh:
Reny Sukmawani
CERITA KECIL INI
KUPERSEMBAHKAN
UNTUK:
ORANGTUAKU:
H. OHA SUKMAWAN & HJ. TETY KARYETI
YOU ARE THE BEST PARENTS IN THE WORD
KEHILANGAN IBU
MENCOBA BANGKIT
KEDATANGAN IBU
TIRI
KABUR KE JAKARTA
PERISTIWA
MENAKJUDKAN
AKHIR YANG INDAH
KEHILANGAN IBU
Siang itu suara adzan dhuhur berkumandang menembus
angin yang berembus cukup kencang. Pohon-pohon kamboja
yang tumbuh di sekeliling bergoyang seperti orang-orangan yang
melambai disertani dengan bergugurannya daun-daun kering.
Suasana terasa hening dan suram. Cuaca yang biasanya cerah
bahkan cenderung terik, saat ini terasa sebaliknya. Matahari pun
seperti enggan memunculkan kegarangannya pada siang itu.
Sinarnya tertutup awan yang mendung. Sepertinya langit akan
menumpahkan air hujan layaknya sebuah tangisan.
Budi masih bersimpuh di depan kuburan yang tanahnya
masih basah. Di atas gundukan tanah berwarna merah itu
dipenuhi taburan bunga yang berwarna-warni bercampur dengan
dedaunan kering yang tertiup angina. Sepertinya alam mengerti
benar perasaan Budi. Langit yang mendung, semendung hati
Budi. Tetes-tetes air hujan yang mulai jatuh satu persatu seperti
tetes air mata Budi yang sejak semalam hingga siang hari ini tak
kunjung kering. Daun-daun yang berguguran layknya hati budi
yang gugur terserabut dari tubuhnya. Perasaannya pedih tak
terkira bagaikan disayat-sayat sembilu. Budi tak mengira semua
ini akan menimpa hidupnya. Mengapa semua ini menimpaku?,
mengapa harus secepat ini Tuhan mengambil ibuku? Mengapa
ibu sebaik ibuku yang usianya pun belum begitu tua harus pergi
dari sisiku ? Usia ibuku belum genap tiga puluh lima tahun.
Sedangkan aku adalah anak semata wayangnya yang masih
mebutuhkan perhatian, kasih sayang dan belaian ibu. Usiaku
baru sepuluh tahun, bagaimana aku bisa menjalani hidupku
tanpa ibu disampingku ? mengapa Tuhan ini terjadi ?
mangapa.....mengapa....mengapa.... hu...hu....hu....
Pak Darma, Ayah Budi berusaha membujuk Budi agar
bangun dan mengajaknya pulang. Tapi Budi bersikeras untuk
tetap berada di dekat pusara ibunya. Budi dibujuk agar mau
merelakan ibunya. ”Budi, relakanlah ibumu,” kata ayah. Hari
sudah siang dan sangat mendung, sebentar lagi hujan akan
turun dengan derasnya. Sebaiknya kamu justru mendoakan
ibumu agar segala amal perbuatannya selama hidup di terima
oleh Tuhan Yang maha Esa sebagai amal baik dan amal sholeh.
”Aku sudah tak punya Ibu lagi ayah, bagaimana aku bisa
hidup tanpa ibu di sisiku ?, sahut Budi sesegukan. ”Kamu masih
punya ayah, sayang, kita bisa menjalani hidup bersama-sama”.
Ayah juga sama sedihnya dengan kamu, nak. Tapi mau
bagaimana lagi, ini sudah suratan takdir dari Tuhan dan kita
harus ihklas menerimanya. Ayah yakin, ibumu di alam sana pasti
tidak suka melihatmu bersedih dan berputus asa seperti
sekarang ini. Ayo bangunlah nak, bujuk ayah lagi. Dengan berat
hati, Budi mencoba bangun dan menuruti ajakan ayahnya.
Mereka berdua kemudian melangkah gontai meninggalkan
daerah perkuburan diiringi dengan tetes-tetes hujan yang
semakin lama semakin membesar.
Di dunia ini Budi hidup bertiga dengan ayah ibunya.
Selama sembilan tahun dia bertahan menjadi anak tunggal, anak
semata wayang. Segala curahan kasih sayang orang tuanya
selama ini tumpah kepadanya secara berlimpah. Hidupnya
penuh dengan keberuntungan. Meskipun kehidupan ekonomi
orang tuanya tidak serba mewah, tetapi untuk ukuran keluarga
kecil dan sederhana mereka hidup berkecukupan. Ayah Budi
adalah seorang pegawai Pemerintah Daerah (Pemda) atau yang
dikenal sebagai PNS (Pegawai negeri Sipil), sedangkan ibunya
adalah ibu rumah tangga tulen yang sehari-harinya sibuk
mengurus rumah, melayani ayah dan mengurus dirinya. Hidup
Budi sehari-hari tak lekang dari perhatian dan curahan kasih
sayang ibunya. Hidupnya terasa semakin sempurna ketika
ibunya mengandung setelah sekian tahun lamanya menunggu.
Bayangan akan hadirnya seorang adik yang lucu begitu
menggembirakan.
Hari-hari dilalui Budi dan orangtuanya dengan penuh
sukacita. Berbagai persiapan dilakukan dalam rangka
menyambut kelahiran sang adik. Pada waktu-waktu bersantai
bersama mereka berdiskusi berebut argumentasi untuk memberi
nama pada sang calon bayi. Budi sangat berharap memperoleh
seorang adik perempuan. Terbayang bagaimana lucunya sang
adik kelak. Sedangkan menurut orangtuanya, laki-laki atau
perempuan sama saja yang penting mereka bersukacita atas
kehadiran sang jabang bayi.
Menjelang usia kandungan ibu memasuki tiga bulan, tiba-
tiba ibu jatuh pinsan. Budi yang pada saat itu sedang
mengerjakan pekerjaan rumahnya panik tak terkira. Sementara
ayah belum pulang. Segera Budi memanggil Bu Surti, tetangga
dekat rumahnya. Tok..tok...tok...Bu Surti, “Bu Surti....tolong ibu
saya bu, teriak budi sambil menangis tersedu-sedu”. Tak berapa
lama pintu rumah bu Surti terbuka, tampak bu Surti dengan
terheran-heran bertanya,” ada apa dengan ibumu, budi?”. “Ibu
saya terjatuh dan pinsan di rumah bu, sahut Budi dengan cepat.
Wah...ayo kita segera ke rumahmu ?. Dengan tergopoh-gopoh
mereka berlari menuju rumah Budi. Setiba di rumah tampak ibu
masih tergeletak dengan lemas di lantai. Bu Surti dan Budi
membopongnya dengan susah payah ke tempat terdekat dan
menidurkannya di atas sofa. Dengan cekatan Bu Surti
mengambil air hangat serta lap dan mengompres kening Ibunya
Budi. “Coba tolong ambilkan minyak angin Bud, perintah Bu
Surti”. Budi berlari ke kamar orangtuanya dan mencari minyak
angin yang biasa disimpan dikotak obat. Setelah berhasil
menemukan minyak angin yang diinginkan, segera Budi
memberikannya pada Bu Surti. “Ini Bu, tapi tinggal sisa sedikit,
kata Budi”. “Tidak apa, segini juga mudah-mudahan cukup,
sahut Bu Surti sambil menerima minyak angin yang disodorkan
Budi. Segera Bu Surti membuka botol minyak angin tersebut dan
mendekatkan mulut botolnya ke hidung Ibunya Budi. Tidak
sampai lima menit, Bu Darma siuman. Wajahnya tampak sangat
pucat. Segera Bu Surti memberinya minuman teh panas dan
berusaha menenangkannya. Terima kasih bu, saya telah
merepotkan ibu, kata Bu darma pada Bu Surti. Tidak repot kok
bu, untung Budi segera memberitahu saya jadi ibu bisa cepat
tertangani. “Sebenarnya apa yang terjadi, hingga ibu pinsan ?
tanya Bu Surti”. “Saya sendiri tidak tahu bu, tiba-tiba saja
kepala saya pusing, mata berkunang-kunang dan perut saya
sakit melilit tak tertahankan. Setelah itu saya tidak ingat apa-
apa lagi, sahut bu Surti”. Kalau begitu ibu harus segera
memeriksakan diri ke dokter agar segera ketahuan apa
penyebabnya. Budi yang masih berdiri tak jauh dari ibunya
termangu-mangu mendengar obrolan bu Surti dan ibunya. “Bu,
apakah Budi harus mengabari ayah, tanya Budi pada ibunya”.
Jangan nak, kasian ayahmu nanti kaget, sebentar lagi juga
pulang kok. Lagipula ibu sudah merasa agak baikan, nanti kalau
ayahmu sudah datang baru kita beritahu, sahut ibunya.”.
Baiklah kalau begitu, bila tidak ada yang diperlukan lagi, saya
permisi pulang, nanti bila ada apa-apa, jangan sungkan ibu
memanggil saya, pamit bu Surti”. Iya, terima kasih banyak bu,
jawab bu Darma.
Setelah kejadian itu, ibu bolak balik ke dokter. Setiap hari
ibu minum obat. Ayah dengan setia menemani ibu setiap kali ke
dokter. Budi tidak mengerti benar, apa yang sesungguhnya
terjadi dan sakit apa yang diderita ibu. Sering secara diam-diam
Budi melihat ibunya meneteskan air mata dengan sembunyi-
sembunyi. Bila ditanya kenapa, ibunya hanya tersenyum lembut
dan menenangkan.
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan terlewati sudah.
Tak terasa usia kandungan ibu sudah memasuki tahap-tahap
persiapan melahirkan. Ayah terlihat sibuk mempersiapkan
segala sesuatunya. Ibu tampak pucat dan kelelahan. Ada sedikit
mendung di wajah kedua orang tuanya. Budi bingung, bukankah
seharusnya mereka bergembira karena akan lahir anggota
keluarga baru diantara mereka ? Budi benar-benar tidak
mengerti ada apa. Yang Budi ingat kemudian adalah kabar yang
menyedihkan, Ibu dan adiknya tidak dapat diselamatkan dari
proses melahirkan. Jangankan mendapat seorang adik, tetapi
justru yang terjadi adalah Budi kehilangan Ibunya tercinta untuk
selama-lamanya.
“Kamu tidak bisa melamun begini terus nak,kata ayah
sambil menepuk Budi. “Sudah beberapa hari ini kegiatan kamu
hanya melamun dan melamun saja hingga tak ingat makan.
Mengapa harus menyiksa dirimu sendiri ?”
Aku teringat terus ibu ayah, kata Budi dengan mata
menerawang. ”Aku sekarang jadi anak yang tidak memiliki ibu
lagi.” Kamu masih memiliki ayah, kata ayah sambil membelai
kepala Budi. Kita berdua sama-sama kehilangan orang yang kita
cintai. Tapi itu bukan berarti hidup kita terhenti hingga di sini
saja. Kita harus tetap melanjutkan hidup kita bersama-sama
dengan atau tanpa ibu sekalipun. ”Memang wajar bila kita
bersedih. Tetapi bersedih hati yang berkepanjangan adalah
perbuatan yang tidak disukai Tuhan. Ayah yakin, ibumu pun
tidak akan senang bila melihatmu bermuram durja terus. Justru
bila kamu sayang ibumu maka kamu harus tunjukkan dengan
semangat hidupmu, nasihat ayah panjang lebar”. Budi terpekur
diam sambil memandangi kuku-kukunya. Pak Darma menepuk
pundak Budi, kemudian pergi meninggalkannya. Harapannya
Budi paham dengan apa yang baru saja disampaikan. Ya Tuhan,
berikanlah kekuatan pada anakku atas musibah ini. Dia masih
kecil Tuhan, masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Berilah petunjuk pada kami agar dapat melewati semua ini
dengan baik, aamiin.
MENCOBA BANGKIT
Pagi itu Budi terbangun dengan keringat memenuhi sekujur
tubuhnya. Budi baru saja melewati tidurnya dengan mimpi yang
sangat mengejutkan. Di dalam mimpinya dia melihat ibunya
yang tampak murung dan bersedih. Ketika dihampiri, ibunya
malah berjalan menjauh seolah-olah dirinya telah membuat
kesalahan yang amat besar pada ibunya. Budi berteriak-teriak
memanggil-manggil nama ibunya. Tetapi ibunya seperti tidak
mendengar, dia tidak memperdulikannya. Budi berusaha lari
mengejarnya, tetapi ibunya pun semakin cepat melangkah pergi.
Budi bertanya-tanya, apakah ibu marah ? Kembali Budi berteriak
memanggil-manggil ibunya, tetap saja tidak digubris, hingga
akhirnya Budi terbangun dari tidurnya.
Yaa Tuhan, apakah arti dari mimpi tadi? mengapa ibu
berperilaku aneh seperti itu? Mengapa ibu seperti membenci
dirinya? Apa salahku hingga ibu tampak begitu marah? Budi
duduk termenung di atas tempat tidurnya. Diingat-ingatnya
perilaku selama ini yang memungkinkan dia telah membuat
ibunya kecewa, tapi tak juga ketemu. Seingat Budi, ibunya
jarang marah. Sekalinya Budi membuat kesalahan dengan sabar
ibu akan menasihatinya dengan suaranya yang khas dan lembut.
Ibu tak pernah memukulnya atau menghukumnya dengan keras.
Sikap dan sifat ibu yang lembut sangat dominan pada diri ibu,
jangankan memukul sekedar berkata-kata keraspun ibunya tak
pernah lakukan. Tapi mengapa di dalam mimpi tadi sifat dan
sikap ibu justru sebaliknya?
Bud...Budi...ayo bangun nak, hari sudah siang. Kamu harus
sekolah hari ini nak, terdengar suara ayah memanggil dari luar
kamar. Dengan sedikit rasa enggan, Budi beringsut turun dari
tempat tidurnya dan menuju ke luar kamar. Dilihatnya ayah
sedang duduk di atas kursi makan sambil menikmati kopi panas
dan memegang berkas-berkas pekerjaannya. Ayo mandi nak,
kamu harus sekolah hari ini. Seminggu ayah kira sudah lebih
dari cukup kamu membolos. Hilangkan kesedihan mulai hari, ini
dan susun semangat baru untuk menyongsong masa depan.
Kata ayahnya dengan lembut. Budi melangkah gontai
menghampiri ayahnya. ”Ada apa nak, tanya ayah begitu melihat
raut wajah Budi yang kusut”. Ayah, aku baru saja bermimpi
bertemu dengan ibu, sahut Budi dengan mata menerawang. Pak
Darma tertegun sesaat, lalu ? tanya pak Darma kemudian. Tapi
mengapa ibu seperti marah padaku ayah. Ibu tidak ingin
kudekati bahkan menjauh ketika kupanggil – panggil, cerita Budi
dengan sedih. Pak Darma tercenung, kemudian menarik napas
penjang dan menghembuskannya dengan perlahan-lahan.
”Budi..., katanya dengan hati-hati. ”Ibumu mungkin kecewa
dengan sikap kamu selama ini yang terlalu bersedih sehingga
tampak tidak memiliki semangat hidup. Ibumu mungkin tidak
suka karena kamu terlalu lama membolos sekolah hanya karena
kamu berduka dan ibumu mungkin marah karena kegiatan kamu
akhir-akhir ini hanya melamun dan melamun saja. Mulai
sekarang, ayolah kamu mulai beraktifitas lagi seperti biasa.
Sekolah dengan rajin, bermain dengan teman-teman sebayamu,
dan mengikuti semua kegiatan-kegiatan yang bersifat positif baik
di sekolah maupun di lingkungan rumah. Tak baik kamu
menyendiri dan mengurung diri terus. Jadi pantas saja ibumu
marah dalam mimpimu, sahut ayah panjang lebar. Budi
termenung mencerna semua kata-kata ayahnya. Batinnya
berkata-kata, apa betul demikian ? Jadi ibu marah karena itu ?.
Salahkah bila aku bersedih ? Tidak bolehkah aku berduka karena
kehilangan ibu ? pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk
dalam dada Budi. Budi tersentak ketika ayah menyentuh
lengannya. ”Bagaimana Bud, mau sekolah hari ini ?”, tanya
ayahnya penuh harap. Perlahan Budi mengangguk, ayah
menghela napas lega.
Hari pertama tiba di kelas, Budi disambut dengan tepuk
tangan meriah. Semua teman-teman sekelasnya bersimpati
padanya. Mereka berebut menyambut kehadirannya kembali di
sekolah. Para guru tersenyum penuh arti. Mereka semua
memberikan semangat pada Budi agar kembali ceria. Budi
terharu menghadapi semua itu. Dirinya tidak menyangka teman-
teman dan guru di sekolahnya begitu perhatian padanya. Dia
merasakan kembali setitik cerah kehidupan di dalam hatinya.
Yah, aku harus bangkit !!! Aku tidak boleh terus-menerus
terhanyut dalam kesedihan. Betul kata ayah, ibu pasti tidak
senang melihat perbuatan aku selama ini. ”Maafkan Budi
ibu......Budi telah membuat ibu kecewa, batin Budi”.
Hari itu, masa belajar di sekolah dilalui Budi dengan lancar.
Budi..!!! terdengar teriakan seseorang memanggil namanya.
Budi menoleh ke arah datangnya suara. Tampak dari kejauhan
Iwan dan Adi berlari-lari kecil menuju ke arahnya. ”Ada apa?,
tanyanya”. Bud, kita ada kegiatan latihan sepak bola sore ini,
kamu mau ikut gabung dengan tim kita?, tanya Iwan. Budi
berpikir menimbang-nimbang ajakan temannya tadi. ”Ayolah
Bud, mendingan gabung aja yuk, tim kita masih kurang anggota
untuk mempersiapkan lomba dalam rangka Agustusan nanti, Adi
menambahkan”. Baiklah, aku ikut, akhirnya Budi memutuskan,
Mengapa tidak ?, pikirnya. Toh aku tidak ada kegiatan sore
nanti. Mudah-mudahan kegiatan ini bisa membantuku
menghilangkan rasa sedih, pikirnya.
Sore harinya,Budi bersiap-siap pergi latihan Bola. Ayah
baru pulang dari kantor ketika mendapati Budi sedang memakai
sepatu olehraganya. Raut kelelahan di wajah pak Darma
langsung hilang ketika melihat anaknya mulai bersemangat lagi.
”Kemana Bud?, tanyanya hati-hati. Budi mau latihan sepak bola
ayah. Tadi Iwan dan Adi negajak Budi bergabung dalam timnya,
boleh kan yah?. ”Tentu saja boleh, ayah malah senang melihat
kamu tampak bersemangat kembali. Itu baru anak ayah, kata
ayahnya dengan gembira. Budi tersenyum kecil, lalu bangkit
berdiri, budi berangkat ayah, pamitnya. Ya, pulangnya jangan
terlalu sore yah nak, sahut ayahnya. Dipandanginya Budi hingga
hilang dari pandangan matanya. Pak Darma menghela napas
lega, akhirnya....anakku kembali menemukan keceriaan dalam
hidupnya. Terima kasih Tuhan, kau telah tunjukkan jalan yang
mudah bagi anakku hingga kembali bersemangat.
Hari demi hari berjalan dengan normal. Pak Darma sibuk
dengan pekerjaan kantornya. Demikian pula dengan Budi,
mereka sama-sama menyibukkan diri dengan segala kegiatan.
Sesekali mereka bermain bersama atau berkebun bersama di
halaman rumah. Sebulan sekali mereka bersama-sama berjiarah
ke makam bu Darma dan membersihkan rumput di sekitar
dikuburannya. Dalam setiap doanya, Budi selalu menyelipkan
doa untuk ibunya. Suatu ketika, Budi memimpikan ibunya yang
tersenyum dengan ramah. Di dalam mimpi tersebut, ibunya
tampak bahagia. Dibelainya Budi dengan penuh kasih,
diciuminya wajah budi seolah menyiratkan kerinduan. Budi
tertidur di pangkuan ibunya, hingga saat terbangun dia
mendapati dirinya terbangun di atas tempat tidur di kamarnya.
Ketika Budi menceritakan mimpi itu kepada ayahnya, Pak Darma
tersenyum simpul, kemudian berkata, ”Betul kata ayah kan nak,
ibumu pasti sekarang senang melihat perubahan yang baik pada
dirimu, semoga saja itu adalah pertanda baik”.
Setelah mimpi yang terakhir itu, hingga bulan demi bula
berlalu, Budi tidak pernah lagi memimpikan ibunya. Lambat laun
dia mulai terbiasa hidup tanpa ibunya. Perlahan tapi pasti Budi
mulai melupakan kesedihannya. Hari-harinya dilewati dengan
berbagai kegiatan dimulai dari sekolah, latihan sepak bola,
mengaji dan bermain bersama teman teman sebaya di sekitar
tempat tinggalnya.
Pak Darma, ayah Budi juga mengalami perubahan yang
sama. Kesedihan akan kehilangan istrinya lambat laun mulai
mengikis habis dari hatinya. Kesibukannya sebagai pegawai
pemerintah sedikit banyak membantunya melupakan kesedihan.
Namun rasa sepi kadang datang mendera pada waktu-waktu
tertentu. Terutama ketika dia menghadapi masalah yang pelik di
kantornya. Biasanya pada saat istrinya masih ada, bu Darma
akan membantu menenangkannya bahkan memberikan solusi
untuk semua permasalahan yang dihadapinya. Hal demikian
sangat membantu dan menentramkan perasaannya. Kini
setelah istrinya tiada, tidak ada lagi senyum lembut menyambut
kepulangannya dari kantor, tidak ada lagi makanan yang lezat
dihidangkan dan kopi yang sedap diseduh tangan istrinya. Pak
Darma harus terbiasa menyiapkan segala keperluannya sendiri
bahkan menyiapkan keperluan Budi anaknya semata wayang.
Ketika malam tiba, kadang dia termenung sambil memandangi
Budi, memikirkan betapa malangnya nasib anaknya ini. Di
usianya yang masih muda sekali harus kehilangan kasih sayang
seorang ibu. Budi masih kecil. Usianya baru mau menginjak
sebelas tahun. Sebentar lagi akan memasuki masa remaja.
Masa yang seharusnya penuh dengan limpahan kasih sayang
ibu, masa yang harus penuh dengan perhatian. Karena pada
masa-masa itu remaja sering labil dan salah arah bila tanpa
bimbingan orang tua dengan benar. Pak darma berusaha
menyelami perasaan anaknya. Bagaimana perasaan Budi ketika
melihat atau mendengar teman-temannya berceloteh riang
tentang ibunya. Ya...Tuhan tolong bantu hamba agar mampu
membimbing anak hamba dengan baik. Berikan kekuatan dan
petunjuk pada anakku agar selalu berada pada jalan yang benar,
jalan yang lurus, yang Engkau ridhoi, aamiin.
KEDATANGAN IBU TIRI
Suasana minggu pagi ini sangat cerah. Burung-burung
berkicau dengan riangnya menyambut datangnya pagi. Matahari
terbit di sebelah timur dengan malu-malu. Sinarnya begitu
lembut selembut wangi bunga-bunga yang baru mekar di sekitar
halaman rumah Budi. Sejak ibunya meninggal, Budi dan
ayahnya tetap merawat tanaman di sekitar rumahnya dengan
baik. Keluarga mereka memang senang berkebun. Berkebun
merupakan bagian dari rekreasi keluarga sejak dahulu.
Memelihara dan merawat tanaman dengan baik merupakan
bagian dari perwujudan rasa cinta pada makhluk hidup ciptaan
Tuhan. Tanaman memang salah satu makhluk hidup yang
diciptakan Tuhan untuk memberikan kepuasan pada manusia.
Kepuasannya dalam bentuk apa, tergantung dari tujuan
penanamannya. Ada tanaman yang sengaja ditanam dengan
tujuan untuk diperoleh hasilnya sebagai bahan makanan, seperti
padi, kacang-kacangan, umbi-umbian, biji-bijian, sayur-sayuran,
buah-buahan dan lain-lain. Dan ada pula tanaman yang ditanam
dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan belaka atau
ditanam karena tanaman tersebut memiliki nilai estetika atau
keindahannya, seperti tanaman-tanaman hias dan rerumputan.
Tanaman di halaman rumah Budi beraneka ragam. Ada
tanaman hias seperti bunga mawar dan melati yang merupakan
tanaman pavorit ibunya, tabulampot (tanaman buah di dalam
pot) seperti jambu biji, belimbing dan mangga serta sedikit
tanaman bumbu-bu,bu dapur seperti cabe rawit dan tomat.
Semua tanaman itu dirawatnya dengan baik. Setiap sore Budi
diharuskan menyiram semua tanamannya. Kegiatan menyiram
tanaman merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi Budi.
Pada saat menyiram, Bumi bisa sekalian bermain air dan
bernyanyi-nyanyi. Bajunya basah tak apa, karena kegiatan
menyiram ini adalah kegiatan penutup dari seluruh rangkaian
aktifitas hariannya yang kemudian diakhiri dengan mandi sore.
Tapi apabila kebetulan hujan turun, kegiatan menyiram tanaman
ini tidak dilakukan. Karena tanaman akan mendapatkan air yang
cukup pada saat hujan. Sebulan sekali Budi dan ayahnya
membersihkan tanaman atau rumput-rumput liar di sekitar
rumahnya yang akan merusak keindahan dan mengganggu
pemandangan. Dua bulan sekali tanaman tersebut di beri pupuk
NPK agar senantiasa tumbuh dengan baik. Jangan salah, seperti
halnya makhluk hidup lainnya yaitu hewan dan manusia,
tanaman pun membutuhkan makanan dan nutrisi agar bisa
tumbuh dengan baik. Hanya bedanya, kalau manusia dan hewan
butuh makanan dan nutrisi yang benar-benar dimakan lewat
mulutnya langssung sedangkan tanaman mendapatkan nutrisi
melalui penyerapan akar tanaman yaitu dengan cara di pupuk.
Berkat kesabaran ibunya dalam mendidik Budi dan ketelatenan
ayahnya dalam mengurus tanaman, Budi menjadi paham benar
bagaimana pentingnya memberi nutrisi pada tanaman. Di
sekolah dalam pelajaran IPA, Pak Herlan guru Budi juga pernah
menjelaskan tentang ciri-ciri makhluk hidup. Salah satunya
adalah memerlukan makanan. Tanaman sebagai salah satu
makhluk hidup ciptaan Tuhan juga membutuhkan makanan yang
diberikan dalam bentuk unsur hara. Unsur hara ini ada yang
tersedia di dalam tanah, di dalam air dan dalam bentuk pupuk,
baik itu pupuk buatan pabrik maupun pupuk kandang yang
berasal dari kotoran ternak. Pak Herlan menerangkan bahwa
unsur hara yang dibutuhkan tanaman ini ibarat zat gizi yang
dibutuhkan manusia. Manusia agar tumbuh dengan baik dan
sehat memerlukan vitamin, mineral, protein dan sumber energi
lainnya yang banyak terdapat dalam bahan makanan baik
sayuran maupun buah-buahan, sedangkan tanaman memerlukan
nutrisi dalam bentuk unsur hara seperti Nitrogen, Phospat,
kalium, kalsium, magnesium, dan lain-lain. Unsur hara-unsur
hara tersebut ada yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak
dan ada pula yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur
hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak disebut unur
hara makro. Tanaman yang kekurangan unsur hara makro akan
mengalami defisiensi unsur hara atau gejala sakit yang
diakibatkan karena kekurangan unsur hara seperti daunnya
menguning, buahnya rontok dan lain-lain. Sedangkan unsur hara
yang dibutuhkan dalam umlah yanng sedikit disebut unsur hara
mikro. Apabila tanaman kekurangan unsur hara mikro maka
da[at digantikan dengan unsur hara yang lain agar tidak terjadi
defisiensi unsur hara pada tanaman. Berdasarkan penjelasan
Pak herlan di sekolah dan pengalaman mengurus tanaman
dengan orang tuanya, Budi menjadi sangat mahir dalam
menrawat tanaman. Karena itu pula Budi sangat menyukai
pelajaran IPA. Baginya belajar IPA sama saja dengan
mempelajari seluk beluk kehidupan makhluk hidup di dunia ini.
Semuanya terasa nyata dan dapat dipraktekkan dalam bertuk
nyata di dalam kehidupannya.
Di minggu pagi yang cerah ini, Pak Darma terlihat lebih
sumringah dari biasanya. Hal ini tentu saja membuat Budi
sedikit terheran-heran. Tak seperti biasanya, Budi melihat
ayahnya bersiul-siul riang sambil mandi, berganti pakaian dan
berdandan. Pak Darma menyiapkan sarapan untuk mereka
dengan penuh semangat. Tak digubrisnya keheranan Budi yang
melihat perubahan sikapnya. Pak darma pura-pura tidak
menyadari diperhatikan anaknya dari tadi. ” hei...!!! kok malah
bengong begitu, ayo kita sarapan Bud, kata ayah”. Budi
mengangguk dan mengambil tempat duduk persis di depan
ayahnya. ”Ayah, apa yang membuat ayah terlihat lebih gembira
hari ini?, tanya Budi” Ah massa sih, itu hanya perasaan kamu
saja mungkin Bud, jawab ayah sambil tersenyum kecil. Ini hari
minggu yang cerah budi, kita harus menyambutnya dengan
gembira, lanjut pak Darma. Iya sih yah, tapi tak seperti biasanya
ayah bersiul-siul segala, kata Budi. Ehem....ehem...Pak darma
berdehem, kemudian tiba-tiba wajahnya berubah menjadi lebih
serius, Budi...., katanya hati-hati. Siang ini kita akan kedatangan
tamu istimewa. Tamu istimewa, ayah?, mengapa disebut
istimewa?, tanya budi dengan kening berkerut. Pak Darma
menarik napas perlahan, kemudian berkata lebih hati-hati
dengan suara yang lambat, ”ka..re..na... dia adalah calon ibu
barumu..!”. Budi terhenyak kaget, mukanya menyiratkan
ekspresi yang aneh. Pikirannya sedikit menerawang, ibu...baru,
ibu...baru, apakah yang dimaksud ibu baru oleh ayah tadi adalah
ibu tiri? Hiii....ibu tiri kan kejam ? Mengapa ayah tega melakukan
ini? Mengapa ayah harus memberinya ibu tiri ?. Berbagai
pertanyaan berkecamuk di dalam hati Budi. Pak darma
kebingungan melihat ekspresi Budi yang aneh. ”Bud, apa yang
kamu pikirkan ?, tanya Pak Darma. Budi yang sedang melamun
kaget ditanya ayahnya. Lalu dia berkata, ”ayah...Budi gak ingin
punya ibu tiri”. Memangnya kenapa nak?, Kamu masih kecil dan
butuh kasih sayang serta bimbingan seorang ibu. Ayah ingin
kamu melewati masa kecil dan remajamu dengan normal dan
bimbingan yang baik. Sementara setiap hari ayah sibuk di
kantor, maka kamu memerlukan ibu nak, terang pak darma.
”Ibu tiri itu kejam ayah....!!!, kata Budi dengan suara tertahan”.
Kata siapa ?, Pak darma kaget mendengar perkataan Budi.
”Pokoknya Budi lebih baik tidak punya ibu dari pada punya ibu
tapi ibu tiri!!!, teriak Budi sambil berlari menuju kamarnya.
Brak..!! pintu kamar ditutupnya dengan keras. Budi berlari ke
atas tempat tidurnya dan menangis sambil tengkurap. Mengapa
ayah merusak pagi yang indah ini dengan cerita ibu tiri? Ayah
jahat, telah melupakan ibu dan memberinya ibu tiri. Apakah
ayah sudah tidak sayang lagi padaku. Tadi...apa katanya..., aku
membutuhkan seorang ibu yang menyayangi dan
membimbingku ? Ah bohong...mana ada ibu tiri yang sayang
sama anak tirinya. Budi pernah melihat berita di televisi
bagaimana seorang anak tiri di pukuli oleh ibu tirinya. Bahkan
temannya yang menonton sebuah film tentang ibu tiri pernah
bercerita tentang begitu kejamnya ibu tiri dalam film tersebut
hingga anak tirinya meninggal dunia. Film kartun cinderella pun
menceritaan kisah jahatnya ibu tiri, belum lagi cerita bawang
putih dan bawang merah. Bagaimana kehidupan bawang putih
yang penuh derita akibat kekejaman ibu tiri dan saudara tirinya
bawang merah. Saudara tiri?!!!, tiba-tiba Budi emakin merasa
ketakutan...., bagaimnaba kalau ternyata ibu tiri yang di bawa
ayah untuk Budi memiliki anak ? Tentu hidupnya akan lebih
menyedihkan, selain disiksa ibu tiri yang kejam juga oleh
saudara tiri yang biasanya selalu iri dan dengki. Pikiran-pikiran
buruk terus berkecamuk dalam diri Budi. Bayangan akan
penderitaan yang panjang akibat hadirnya ibu tiri bermain-main
dalam pikiran Budi, hingga akhirnya Budi tertidup kelelahan
dengan pikirannya sendiri.
Sepeninggal Budi, Pak Darma termenung. Salahkah aku
memberitahukan hal ini ? Terlalu cepatkah atau waktunya yang
tidak tepat. Ah...mungkin Budi hanya kaget saja dan tidak
mengira akan mendapatkan ibu baru. Kelak dia pasti akan
memahami bahwwa yang aku lakukan ini adalah demi
kebaikannya dan karena aku justru menyayanginya. Tadi apa
katanya?, ibu tiri itu kejam!!. Pikiran pak Darma terus
menerawang kesosok seorang wanita adik teman sekantornya.
Dini, nama wanita tersebut. Pak darma diperkenalkan dengan
Dini tiga bulan yang lalu. Awalnya kesan pak darma biasa saja
seperti pada wanita-wanita lainnya. Tetapi pada pertemuan
yang ketiga kalinya dia mulai melihat beberapa persamaan
antara Dini dengan almarhum istrinya yaitu dalam hal
kelembutan sikap dan perhatiannya. Hal ini menggugah
perasaannya dan mengingatkannya akan kebutuhannya
terhadap seorang istri yang selalu memperhatikan. Begitu
pikiran itu hadir, Pak Darma merasa apabila Budi bertemu
langsung dengan Dini, Budi pun akan memiliki pendapat yang
sama tentang hal ini. Maka tanpa menunda lama-lama lagi Pak
darma melamar Dini untuk dijadikan istrinya dan ibu bagi Budi
anaknya. Dini menerima lamaran Pak darma dengan malu-malu.
Dini bersedia menerima Pak Darma apa adanya dan akan
menerima Budi pula sebagai anaknya kelak. Memikirkan Dini
dan membayangkan kelembutan serta perhatiannya sebagai
seorang wanita, Pak Darma merasa tidak menemukan tanda –
tanda akan menjadi ibu tiri yang kejam dan jahat pada diri Dini.
Jangankan kemungkinan untuk kejam terhadap seorang anak,
terhadap hewan dan tanaman pun, Dini tampak begitu
perhatian. Ah.. dasar anak-anak, mungkin itu akibat pengaruh
cerita-cerita orang belaka atau akibat pengaruh tontonan yang
kurang baik. Hmmm....pak Darma menghela napas panjang.
Mungkin sebaiknya aku biarkan saja dulu Budi menenangkan
pikirannya, nanti begitu Dini datang mungkin setelah bertemu
langsung sikap dan pikiran Budi akan berubah, putus Pak Darma.
Tok....tok....tok...tok...terdengar suara pintu rumah di
ketuk. Pak darma melihat jam yang ada di dinding ruang tamu.
Waktu menunjukkan pukul 11 siang, ah itu pasti dini, pikirnya.
Pak darma melangkah ke pintu kemudian membukakannya
lebar-lebar. Di depan pintu tampak Dini didampingi oleh kakakya
pak Doni yang juga adalah teman sekantor Pak darma.
Wah...silahkan masuk, sambut Pak darma sengan ramah. Dini
dan Pak Doni memasuki rumah Pak darma dan duduk di sofa
yang ada di ruang tamu. ”Mana Budi mas, tanya Dini kemudian.
Budi di kamarnya sedang ngambek. Lalu pak Darma
menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi yang
mengakibatkan Budi ngambek. Pak darma menceritakannya
dengan hati-hati khawatir Dini bahkan Pak Doni sebagai
kakaknya tersinggung mendengar ceritanya. Dini dan Pak Doni
menyimak cerita pak darma dengan seksama. Ketika Pak darma
mengakhiri ceritanya, Dini tersenyum lembut, mas...menurutku
wajar saja Budi bersikap demikian karena masih anak-anak dan
memang bayangan akan kekejaman ibu tiri ini mungkin ada di
setiap pikiran anak-anak. Mungkin kita harus bersabar
meyakinkan bUdi bahwa apa yang dipikirkannya itu tidak benar,
dan aku benar-benar akan membuktikan padanya bahwa aku ini
ibu tiri yang baik untuknya, kata Dini dengan panjang lebar. Pak
Darma merasa lega mendengar perkataan Dini. Terima kasih
Din, mudah-mudahan Budi akan segera mengerti, harapnya
kemudian. Setelah itu obrolan diantara ketiganya berlangsung
pada tahap persiapan untuk melangsungkan pernikahan. Dini,
menginginkan acara pernikahan yang sederhana saja. Baginya
yang penting adalah kekhidmatan pada acara tersebut dan
sahnya hubungan mereka berdua hingga resmi menjadi suami
istri bukan pesta meriahnya. Pak darma setuju dengan
keinginan Dini, maka jatuhlah pilihan pada salah satu tanggal
muda di bulan mendatang, yaitu sekitar tiga minggu lagi dari
mulai hari ini.
Tak terasa adzan dhuhur telah berkumandang. Budi yang
tertidur akibat kelelahan berpikir dan menangis, tersentak kaget
dari tidurnya. Ya...Tuhan aku sudah tertidur, pikirnya. Tiba-tiba
dia mengingat kembali obrolan dengan ayahnya. Secepat kilat
dia bangun dan keluar dari kamarnya. Dicarinya ayahnya di
ruang tengah, yang dia temukan adalah seorang wanita dewasa
yang sedang melaksanakan sholat dhuhur dengan khusyu.
”Siapakah wanita tersebut?, pikirnya”. Diam-diam diamatinya
wanita yang sedang sholat tadi. Menurut taksirannya usia
wanita ini sekitar tiga puluhan, kulitnya tidak terlalu putih,
hidungnya tidak mancung tetapi pas berada di wajahnya.
Wajahnya memancarkan cahaya kelembutan, sepintas Budi agak
terpana ketika melihat siluet wajah ibunya pada diri wanita
tersebut. Ah...gak mungkin...!!! ini hanya bayangan saja, wanita
ini pasti yang diceritakan ayah tadi pagi. Wanita inikah yang
akan jadi ibu tirinya ? Kelihatannya seperti baik-baik, tapi....ah
mungkin saja kan wajah bisa saja menipu, dalam hatinya mana
kita tahu, pikir Budi. Saking asiknya melamun, Budi tidak
menyadari bahwa wanita yang sedang sholat tadi sudah
menyelesaikan sholatnya dan berbalik memperhatikan dirinya.
”Hallo...kamu Budi bukan?, sapanya dengan lembut”. Budi
mengangguk kecil, wajahnya dipasang judes. Kenalkan, aku
Dini. Kamu boleh memanggilku tante Dini, Kata Dini dengan
suara lembut. Budi menerima salam dari wanita tersebut,
kemudian berlalu tanpa ba..bi..bu... Heh...mau pura-pura baik
padaku yah? Jangan harap aku akan terbujuk, dalam hati Budi
mengumpat. Sekarang ajan dia pura-pura baik dan berusaha
mengambil hatiku, tapi nanti pasti akan terlihat belangnya ketika
sudah jadi ibu tiriku. Jangan harap aku diam saja diperlakukan
kejam oleh mu wahai ibu tiri!!, teriak Budi dalam hati. Tanpa
Mengindahkan keheranan Dini, Budi kembali mengurung diri di
kamarnya. Dini hanya menghela napas sedih, rupanya tak
mudah membuktikan pada Budi kalau dirinya bisa menjadi ibu
yang penuh kasih untuk Budi. Hatinya sedikit kecewa melihat
sikap Budi. Ah...tapi aku tidak boleh menyerah, bagaimana pun
juga aku harus membuktikan pada Budi, Mas Darma dan
mungkin semua anak-anak di dunia bahwa tidak semua ibu tiri
jahat. Di jaman sekarang ini bukan mustahil justru sebaliknya
ibu kandung banyak yang jahat. Terbukti dengan ditemukannya
kasus-kasus baik di dalam berita di televisi maupun di surat
kabar yan menceritakan bagaimana seorang ibu dengan tega
menjual anaknya demi mengatasi kesulitan ekonomi atau
bahkan menyakiti dan membunuh anaknya karena amarah dan
nafsu setan sesaat. Astagfirullah, kok aku jadi berfikir terlalu
jauh yah, batin Dini menyesali. Ya...Tuhan berikan kekuatan dan
kemudahan padaku agar dapat menaklukkan hati Budi dan dapat
menjadi Ibu yang baik untuknya, aamiin.
KABUR KE JAKARTA
Setelah kejadian siang itu, sikap dan pendapat Budi sulit
untuk diubah. Animo dan prasangkanya tentang ibu tiri masih
bersifat negatif. Memang tak bisa disalahkan, mengapa Budi
begitu susah mengubah pendapatnya. Dia masih kecil,
pikirannya belum terbuka luas, belum lagi pengaruh banyak
cerita orang, berita serta sinetron dan dongeng-dongeng tentang
ibu tiri selama ini memang selalu terkesan negatif. Pak darma
dan Tante Dini berusaha terus dengan sabar memberi pengertian
pada Budi. Disamping dengan penjelasan juga dengan
menunjukkan sikap yang penuh perhatian dan kelembutan.
Namun sampai sejauh ini Budi masih saja berburuk sangka.
Pikirannya yang negatif tentang ibu tiri membawanya pada
perasaan anak usia remaja yang penuh dengan gejolak dan
pemberontakkan. Disatu sisi hatinya ingin menerima tante Dini
dengan iklas tapi di sisi lain hatinya memberontak. Jiwanya
selalu diselimuti oleh rasa takut akan kejamnya ibu tiri.
Suatu hari, Budi memutuskan untuk kabur dari rumah
sebagai perwujudan rasa pemberontakkannya. Tanpa berpikir
panjang akibat dan resikonya Budi pergi ke stasiun kereta api
dan bertolak menuju jakarta. Berbekal uang dari celengan
sebanyak seratus empat puluh ribu rupiah, Budi nekat pergi
menuju ibu kota. Tujuannya hanya satu pergi jauh-jauh dari ibu
tiri yang ditakutinya. Bayangan kejamnya ibu tiri tak bisa hilang
dari ingatannya. Padahal selama ini, tante Dini selalu bersikap
baik padanya, tetapi entah mengapa prasangka buruk seolah
lebih kuat mempengaruhinya.
Suara gemerincing itu terdengar sayup-sayup di
telinganya. Tiba-tiba Budi merasa tubuhnya melesat cepat,
memasuki sebuah lorong gelap dan begitu panjang. Tangannya
menggapai-gapai, mulutnya berteriah sekuat tenaga. Namun
seolah tak ada yang mendengarkan di sana. Lorong itu tampak
sangat sepi, dia sendiri tak ada yang menemai, tak ada pula
yang menerangi jalannya. Suasananya begitu sunyi dan
mencekam.
Dengan gemetar, Budi melangkah perlahan. Dimanakah
aku berada?, mengapa begitu dingin dan sepi ? Ingin ia menjerit
dan meminta rolong lagi, namun suaranya hilang entah kemana.
Tiba-tiba dirasakannya tubuhnya bergetar, terdengar suara
sesorang memanggil-manggil. Hei...nak, bangun!! Ini sudah
sampai di stasiun akhir Jakarta !!!. Dikedipkannya matanya
dengan bingung, Oh...kiranya dia tadi bermimpi. Budi menatap
petugas kereta api yang tadi membangunkannya, sudah sampai
yah pak ?, tanyanya kemudian. Iya, ayo kamu harus turun,
kereta ini akan berangkat kembali, kata petugas tersebut. Budi
segera membereskan tasnya, kemudian berjalan menuju arah
pintu keluar dari kereta. Setelah turun dari kereta, sesaat Budi
merasa kebingungan. Sekarang aku harus kemana ? Apa yang
harus aku lakukan ?, tanyanya dalam hati. Kemudian dia
merasakan perutnya yang perih, ah lebih aku beli makan dulu.
Dicarinya uang di dalam tas, tapi dia tak menemukannya.
Dengan keringat dingin mengucur di wajah, Budi mengaduk-aduk
isi tasnya tetapi tetap saja uangnya tidak ditemukan. Di
ingatnya berulang-ulang terakhir dia menyimpan uangnya,
kemudian di carinya di tempat itu, namun tetap saja uangnya
tidak ketemu. Sesaat dia tersadar, bahwa dirinya baru saja
kecopetan. Yaa...Tuhan apa yang harus aku lakukan kini? Budi
terpekur di bangku tunggu stasiun. Hari sudah beranjak sore,
makin lama perut Budi makin melilit. Pikirannya menerawang
mengingat rumahnya yang hangat, kasurnya yang empuk serta
makanan yang dihidangkan tante Dini yang enak.
PERISTIWA MENAKJUDKAN
Pagi itu Budi terbangun. Cahaya matahari terasa sangat
menyilaukan matanya. Embusan angin membelai tubuhnya.
Dimana aku? Pikirnya sambil berusaha bangun. Ditatapnya
pemandangan di sekitarnya. Hampir saja ia meloncat ketika
mendapati dirinya berada di atas kasur yang empuk di dalam
sebuah kamar yang bersih. Kamar siapa ini?, mengapa aku bisa
berada disini? Hal terakhir yang diingatnya adalah ia sedang
berjalan di sebuah pasar di tengah keramaian orang dengan
perut kosong melilit dan kepala sakit tak terhingga. Sekonyong-
konyong ada sekelompok orang yang berlari-lari saling kejar
mengejar. Ia terjebak diantara orang-orang tersebut yang
rupanya adalah siswa sekolah yang sedangan tawuran. Tak
tahan mendapatkan pukulan dan tendangan di sana-sini,
akhirnya ia jatuh dan tak ingat apa-apa lagi. Tapi kini bagaimana
ia bisa berada ditempat yang nyaman ini?, Budi tercenung
mengingat pengalaman yang telah dilaluinya.
Tiba-tiba.....
Nah, kau sudah siuman rupanya?, sebuah suara
menyapanya. Budi menoleh, ia melihat seorang anak laki-laki
sebaya denganya mendekatinya. Sikapnya sangat bersahabat.
Anak laki-laki tersebut kemudian memanggil mamanya. Tak
berapa lama seorang wanita dewasa dengan wajah yang lembut
memasuki kamar dan mendekatinya. Dengan senyum ramah,
wanita tadi menyapanya, ”bagaimana nak, sudah merasa
baikan?”. Budi mengangguk dengan bingung, dimana aku tante,
dan bagaimana aku bisa sampai di sini?, tanyanya sejurus
kemudian. Tante dan anak tante Rian menemukanmu di jalanan
pinsan. Kebetulan tante sedang dalam perjalanan pulang
sehabis menjemput Rian sekolah dan melihat kamu tergeletak di
jalanan. Melihatmu tante kasian, sepertinya kamu bukan orang
sini yah nak?, tanya mamanya Rian. Iya Tante, nama saya Budi.
Saya baru dua hari tiba di jakarta. Rumah saya di Sukabumi,
jawab Budi pelan. Bagaimana kamu bisa sampai di ada di
jakarta seorang diri, dan kemana tujuanmu nak?, tanya
mamanya Rian lagi. Budi diam tertunduk, dia merasa segan dan
malu untuk menceritakan kedatangannya ke jakarta. Melihat
Budi diam saja, mamanya Rian berusaha untuk maklum. Baiklah
kalau kamu belum mau bercerita pada tante tak apa. Mungkin
nanti kalau kondisimu sudah pulih benar kamu baru bisa cerita
sama tante. Sekarang sebaiknya kamu istirahat dulu. Ini ada
Rian yang akan menemanimu, setelah itu baru kita pikirkan
bagaimana selanjutnya, kata mama Rian dengan bijaksana. Budi
hanya mengangguk mendengarnya. Dirinya sangat bersyukur
mendapat penolong yang baik dan penuh perhatian seperti
mamanya Rian. Bahkan Rian pun tampaknya sangat ramah.
Nah, sekarang tante tinggal dulu, kamu ngobrol-ngobrolah
dengan Rian, sepertinya usia kalian sama, mudah-mudahan
kalian bisa cocok, kata mama Rian sambil bangkit dari duduknya
dan pergi meninggalkan kamar. Terima kasih tante, sahut Budi
dengan tulus. Setelah mamanya Rian keluar, Rian menghampiri
Budi yang masih terlentang di tempat tidur. ”Hai,,,sapanya,
bagaimana perasaanmu Budi?. Alhamdulillah, aku sudah merasa
sedikit segar, meski badanku masih terasa sakit akibat kena
pukulan dan terjatuh, sahut Budi sambil berusaha bangkit dari
tempat tidur. Terima kasih Rian, kalau tidak ada orang sebaik
kamu dan mamamu entah bagaimana nasibku kini, lanjut Budi
penuh syukur. Ah...itu kan sudah kewajiban setiap manusia
untuk saling tolong menolong. Kamu pasti lapar yah, saya
ambilkan makanan untuk kamu yah ?, kata Rian. Kemudian
dengan gesit dia keluar kamar. Belum sampai lima menit, Rian
sudah kembali dengan semangkuk bubur kacang hijau.
Harumnya sangat menggugah selera, makhlum saja sudah dua
hari ini Budi tidak bertemu makanan dengan layak. Terima
kasih, Rian. Lalu dengan cepat Budi melahap bubur tersebut.
Rian memperhatikan Budi dengan seksama, kentara sekali
bahwa Budi sangat kelaparan. Ada perasaan iba dalam hatinya
akan keadaan Budi. Mengapa anak seperti Budi harus berada di
tempat asing seperti jakarta ini? Apa yang sedang
dilakukannya ? kemana orang tuanya? Sejuta tanya berkecamuk
dalam pikiran Rian. Ah...Budi hanya salah satu anak yang
memiliki masalah. Di jakarta ini banyak sekali anak-anak
seusianya bahkan mungkin jauh lebih kecil darinya berkeliaran
dan terlantar. Jakarta memang menyimpan berjuta harapan.
Berbondong-bondong orang datang ke jakarta untuk mengadu
nasib dan mencari penghidupan yang layak. Namun apa yang
diperoleh, justru sebaliknya. Akhirnya jakarta menjadi tempat
berkumpulnya para gelandangan. Disana-sini ditemukan anak-
anak hingga orang dewasa yang hidupnya terlunta-lunta tak
menentu. Anak-anak yang seharusnya menghabiskan masa
kanak-kanaknya dengan indah dan mengecam manisnya sekolah
justru sibuk mengais-ngais rezeki demi menyambung hidup. Ada
yang jadi pengamen jalanan, pengemis, pemulung, buruh kuli
angkut dan masih banyak lagi. Kerasnya hidup di jalanan
membentuk watak para anak-anak jalanan tadi menjadi anak
yang berperilaku keras dan kasar juga. Di jalanana ibaratnya
berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Kalau
tidak kuat maka akan tertindas selamanya. Tak sedikit anak
jalanan yang hidupnya menjadi sapi perahan para preman-
preman tertentu, dipaksa melakukan suatu pekerjaan dan
menyetorkan hasilnya pada preman-preman tersebut sebagai
uang keamanan atau pajak pendapatan yang tidak resmi. Rian
mengetahui semua itu dari cerita-cerita yang di bacanya di surat
kabar atau berita. Mama dan ayahnya juga sering menceritakan
hal yang sama dengan maksud memberikan gambaran kepada
Rian betapa beruntungnya Rian memiliki kehidupan yang layak
dan keluarga yang sempurna. Harapan orang tuanya dengan
mengetahui kondisi-kondisi seperti itu Rian menjadi lebih
bersyukur, lebih rajin belajar dan lebih menghargai apa yang
dimilikinya sekarang. Rian juga dilatih orang tuanya untuk selalu
perduli dengan kesusahan dan penderitaan orang lain, karena itu
keluarga Rian tak pernah segan-segan membantu dan menolong
orang yang memerlukannya.
Budi menyelesaikan suapan terakhirnya, “terima kasih
Rian, buburnya sangat enak, kata Budi. Wajahnya terlihat lebih
cerah setelah makan. Rian mengambil tempat duduk disamping
Budi, maukah kamu menceritakan kisahmu sehingga sampai
berada di jakarta seorang diri?, tanya Rian dengan hati-hati.
Budi menghela napas perlahan, kemudian dengan sedikit
terpatah-patah Budi bercerita tentang perjalanan hidupnya
dimulai dengan ketika ibunya meninggal hingga ayahnya
membawakan ibu tiri ke rumahnya dan ketakutannya akan
kekejaman ibu tiri. Rian menyimaknya dengan seksama tanpa
berani memotong cerita Budi. Nah, begitulah ceritaku Rian,
mengapa aku nekat kabur ke Jakarta, Budi mengakhiri ceritanya.
Tadinya kupikir dengan cara kabur aku akan terhindar dari
kekejaman ibu tiri dan ayahku akan menyadari keputusannya
yang salah membawa ibu tiri untukku.
Budi...ceritamu tentang kekejaman ibu tiri itu belum
terbukti kebenarannya kan ?
AKHIR YANG INDAH