Transcript

FPP Undip Kembangkan Tanaman Koro Sebagai Pangan Alternatif Wednesday, 13 March 2013 09:46 Semarang,undip.ac.id- Fakultas Peternakan dan Perikanan Undip mengembangkan tanaman koro sebagai pangan alternatif, Hal ini terungkap dalam workshop kebijakan dan Strategi pemberdayaan tanaman koro sebagai sumber pangan dan pakan alternatif di Rektorat Undip Senin (11/3).

Rektor Undip Prof.Sudharto P Hadi mengatakan bahwa workshop ini merupakan respon persoalan pangan yang kita hadapi. Ini juga menunjukkan sesungguhnya negara kita ini kaya

"Ketika kita krisis kedelai kita punya tanaman koro sebagai pengganti. Hal ini tentu akan menumbuhkan kedaulatan pangan" ujarnya

Kepala Badan Penelitian dan Pembangunan Pertanian Dr. Ir. Haryono,MSc mengucapkan bahwa Upaya percepatan diversifikasi pangan telah dilakukan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi berbasis Sumberdaya Lokal. Perpres tersebut memberikan arah bahwa diversifikasi pangan harus menuju pada keragaman konsumsi yang semakin baik antar waktu dengan mengutamakan pangan lokal sebagai sumber pilihan alternatif. Dengan kata lain, pemberdayaan tanaman lokal merupakan langkah strategis dalam mewujudkan sumber pangan dan sekaligus pakan alternatif untuk kita semua

"Salah satu jenis tanaman lokal yang cukup potensial untuk dijadikan sebagai sumber pangan dan pakan alternatif adalah tanaman koro. Tanaman koro termasuk jenis kacang-kacangan (leguminosae) yang sebetulnya sudah dibudidayakan secara turun temurun di berbagai wilayah Indonesia karena secara teknis tanaman tersebut cukup toleran terhadap lahan kering asam, mampu tumbuh di berbagai tipe tanah, bahkan pada lahan marjinal sekalipun. Namun sampai saat ini tanaman tersebut masih dibudidayakan secara tradisional sebagai tanaman sela di pematang sawah dan tegalan. " Katanya

"Secara potensial produktivitas tanaman koro dapat mencapai sekitar 7 ton per hektar dengan pupuk hijauan sekitar 40 sampai 50 ton per hektar. Dengan kadar kandungan protein sekitar 27 persen dan karbohodrat 63 persen, tanaman koro dapat dijadikan sebagai substitusi kedelai yang mengandung protein dan karbohidrat masing-masing sekitar 39 persen dan 35 persen. Tanaman koro dapat diproses menjadi pangan olahan seperti tahu, tempe, aneka makanan ringan atau snacks, aneka sayuran dari polong muda, dan juga pakan ternak. Tanaman koro juga mengandung senyawa antioksidan yang dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi atau obat-obatan herbal. Melalui pengolahan menjadi tepung kaya protein (protein rich flour/PRF), tanaman koro bermanfaat dalam mengatasi penyakit kanker dan penyakit gula (diabetes melitus). Bahkan jenis tanaman ini dapat dijadikan bahan kosmetik dan bioenergi. Berbagai produk olahan tersebut perlu dikembangkan melalui berbagai teknologi untuk memperoleh keragaman bentuk, rasa dan tampilannya, sehingga dapat meningkatkan cita rasa dan nilai jual. " imbuhnya

"Dari aspek perdagangan, tanaman koro dapat diekspor khususnya ke Korea, Jepang, Amerika Serikat dan Jerman. Nilai devisa dari ekspor dapat kita raih lebih tinggi lagi bila kita mengespornya dalam bentuk produk olahan. Dalam rangka mendorong pengembangan tanaman koro kedepan, saya perlu kemukakan beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah daerah perlu mengidentifikasi potensi lahan yang masih bisa dimanfaatkan untuk perluasan tanaman koro. Tentu hal ini perlu difokuskan pada wilayah-wilayah yang tidak berkompetisi dengan tanaman pangan lain. Kedua, pengembangan tanaman koro bukan hanya aspek budidaya saja tetapi perlu terintegrasi dengan aspek hilirnya, yaitu industri pengolahan. Ketiga, untuk mendorong tanaman koro menjadi komoditas komersial, sejak awal perlu melibatkan dunia usaha baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam hal ini sudah ada keinginan pihak swasta Jerman untuk investasi pada tanaman koro, disertai bantuan teknis dari pemerintah Jerman. Tentu hal ini perlu kita sambut dengan baik untuk kesejahtaraan para petani kita. Keempat, pengembangan tanaman koro harus mengajak (partisipasi) petani sebagai pelaku dengan selalu mempertimbangkan potensi yang ada baik secara teknis, sosial, mapun ekonomi. Salah satu unsur yang perlu kita perhatikan adalah eksistensi kearifan lokal (local wisdom) wilayah setempat." imbuh Haryono(Rintulebda A. Kaloka/HUMAS)