8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 1/43
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan
kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat
serius. Pada tahun 2001 WHO menyatakan, paling tidak ada satu dari empat
orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. WHO memperkirakan ada
sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa, yang terdiri
dari 150 juta depresi, 90 juta gangguan penggunaan zat dan alkohol, 38 juta
epilepsi, 25 juta skizofrenia serta hampir 1 juta melakukan bunuh diri setiap
tahunnya. Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO Wilayah
Asia Tenggara, hampir satu pertiga dari penduduk di wilayah ini pernah
mengalami gangguan neuropsikiatri. Hal ini dapat dilihat dari data Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT); tahun 1995 saja, di Indonesia diperkirakan
sebanyak 264 dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan
jiwa.
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengatakan
bahwa jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi,
yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas,
depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di
era globalisasi gangguan kejiwaan meningkat sebagai contoh penderita tidak
hanya dari kalangan kelasa bawah, sekarang kalangan pejabat dan masyarakat
lapisan menengah ke atas juga terkena gangguan jiwa (Sutatminingsih, Raras.
2002). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RisKesDa) 2007 disebutkan, rata-
rata nasional gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 2/43
2
pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka
tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar 20%. Sedangkan yang mengalami
gangguan mental berat, seperti psikotis, skizofrenia, dan gangguan depresi
berat, sebesar 0,46%. (Anonim, Depkes RI).
Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang
sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali
(Andri, 2008). Faktor dari kekambuhan gangguan jiwa sangat bervariasi, dan
masing-masing faktor memiliki peranan yang saling mendukung terhadap
kekambuhan gangguan jiwa. Oleh sebab itu, dalam referat ini akan dibahas
faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan gangguan jiwa.
B. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan referat ini yaitu untuk memenuhi persyaratan ujian di SMF
Kesehatan Jiwa RSUD Prof.dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
C. Manfaat penulisan
Manfaat penulisan referat ini untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan gangguan jiwa.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 3/43
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan
manifestasi-manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan
yang nyata dan kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis,
sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi.
Gangguan jiwa mewakili suatu keadaan tidak beres yang
berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep normatif. Setiap jenis
ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan gejala-gejala yang
khas.
Setiap gangguan jiwa dinamai dengan istilah yang tercantum dalam
PPDGJ-IV (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia edisi IV) atau DSM-IV-TR ( Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th edition with text revision).
Gangguan jiwa dengan psikosis yaitu ditandai hilangnya kemampuan
menilai realitas, ditandai waham (delusi) dan halusinasi.
Psikosis ada dua jenis, yaitu :
a. Psikosis yang berhubungan dengan sindroma otak organik yaitu psikosis
yang ditandai oleh gejala gangguan faal atau gangguan kerusakan otak
seperti gangguan orientasi, daya ingat, fungsi intelek, penilaian
(judgement) dan efek.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 4/43
4
b. Psikosis fungsional/ psikogenik
Adalah psikosis yang mengandung semua unsur gangguan psikotik namun
tidak dapat ditemukan gangguan atau kerusakan patalogik/ faal jaringan
otak. Psikosis fungsional ini merupakan penyakit mental yang parah
dengan ciri khas adanya disorganisasi proses berfikir, gangguan
emosional, disorientasi waktu, ruang pada beberapa kasus disertai
halusinasi dan delusi.
B. Skizofrenia
B. 1. Pengertian skizofrenia
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang artinga retak
atau pecah, dan frenia yang artinya jiwa, dengan demikian, seseorang
yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan
jiwa atau keretakkan kepribadian (Hawari, 2003).
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang
mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan
berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan
dan menunjukan emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat
diterima secara sosial (Isaacs, 2005).
B. 2. Faktor penyebab skizofrenia
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti
mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak.
Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan
faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara
lain : (Yosep, 2010)
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 5/43
5
a. Faktor genetik;
b. Virus;
c. Auto antibody;
d. Malnutrisi.
Dari penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut : (Yosep, 2010)
1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang tua 5,6%, saudara
kandung 10,1%; anak-anak 12,8%; dan penduduk secara keseluruhan
0,9%.
2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik
59,20%; sedangkan kembar fraternal 15,2%. Penelitian lain
menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga
mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari.
Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan gizi, infeksi,
trauma, toksin dan kelainan hormonal. Penelitian mutakhir
menyebutkan bahwa meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia
tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut
epigenetik faktor. Skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara
abnormal gen dengan : (Yosep, 2010)
a. Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat menganggu
perkembangan otak janin;
b. Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama
kehamilan;
c. Komplikasi kandungan; dan
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 6/43
6
d. Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester
kehamilan.
Seseorang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila
mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya, maka risikonya
lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada orang yang tidak
ada faktor epigenetik sebelumnya. (Yosep, 2010)
B. 3. Gejala dan tanda
Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase
yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal
biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu,
bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas.
Gejala tersebut meliputi gangguan pada fungsi pekerjaan, fungsi sosial,
fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Semakin
lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase aktif gejala
positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi,
waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu
datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-
gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat, mengalami eksaserbasi
atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual dengan
gejala-gejala yang sama pada fase prodromal tetapi gejala
positif/psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala-gejala yang
terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami
gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 7/43
7
peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan
sosial) (Luana, 2007).
B. 4. Penegakkan diagnosis
Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah
sebagai berikut (Maslim, 2003).:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought
insertion or withdrawal” yang merupakan isi yang asing dan luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy”
merupaka waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan
secara jelas merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus), atau “delusional
perception” yang merupakan pengalaman indrawi yang tidak
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 8/43
8
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah
ini:
1). Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
2). Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
3). Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing
dan dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada
secara jelas :
a. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 9/43
9
b. Arus pikiran yang terputus (break ) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik , seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement ),
posisi tubuh tertentu ( posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor ;
d. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
e. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik (prodromal)
f. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku
pribadi ( personal behaviour ), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam
diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM IV adalah
(Tomb, 2003):
a. Berlangsung minimal dalam enam bulan
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 10/43
10
b. Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri
sendiri
c. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama
berlangsungnya sebagian dari periode tersebut
d. Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan
skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan
organik.
B. 5. Jenis-jenis skizofrenia
Kraepelin membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita
digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang
terdapat padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak
jelas, gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita
tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu jenis. Pembagiannya sebagai
berikut : (Maramis, 2009)
a. Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain
dalam jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering
lama kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau
gejala-gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Skizofrenia
paranoid memiliki perkembangan gejala yang konstan. Gejala-gejala
yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-waham
sekunder dan halusinasi. Pemeriksaan secara lebih teliti juga
didapatkan gangguan proses pikir, gangguan afek, dan emosi.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 11/43
11
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun.
Permulaannya mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut.
Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan
skizoid, mudah tersinggung, suka menyendiri dan kurang percaya
pada orang lain.
b. Skizofrenia hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul
pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok
adalah gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti
mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering
terdapat pada skizofrenia heberfenik. Waham dan halusinasi banyak
sekali.
c. Skizofrenia katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya
akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi
gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Stupor katatonik yaitu
penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali terhadap
lingkungannya. Gejala paling penting adalah gejala psikomotor
seperti:
1) Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2) Muka tanpa mimik, seperti topeng
3) Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang
lama, beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 12/43
12
4) Bila diganti posisinya penderita menentang : negativisme
5) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul dalam
mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan
6) Terdapat grimas dan katalepsi
Secara tiba-tiba atau pelan-pelan penderita keluar dari keadaan
stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak. Gaduh gelisah katatonik
adalah terdapat hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai dengan
emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi rangsangan dari luar.
Penderita terus berbicara atau bergerak saja, menunjukan
stereotipi, manerisme, grimas dan neologisme, tidak dapat tidur, tidak
makan dan minum sehingga mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan
kadang-kadang kematian (karena kehabisan tenaga dan terlebih bila
terdapat juga penyakit lain seperti jantung, paru, dan sebagainya).
d. Skizofrenia simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama
pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Waham
dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-
lahan sekali. Permulaan gejala mungkin penderita mulai kurang
memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
e. Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat
sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala
berkembang ke arah gejala negatif yang lebuh menonjol. Gejala
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 13/43
13
negatif terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas,
penumpula afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan
pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya
perawatan diri dan fungsi sosial.
B. 6. Terapi
Terapi Somatik
1) Antipsikotik
Pemilihan obat pada dasarnya semua obat antipsikosis
mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen,
perbedaan utama pada efek sekunder dengan efek samping seperti
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal. Pemilihan jenis antipsikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekivalen (Luana, 2007).
Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons
klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang
tepat, dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan
golongan yang tidak sama) dengan dosis ekivalennya. Apabila dalam
riwayat penggunaan obat antipsikosis sebelumnya sudah terbukti
efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali
untuk pemakaian sekarang (Luana, 2007).
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya
adalah obat antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih
menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Obat
antipsikotik sering dipakai klinisi dapat dikelompokkan menjadi dua,
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 14/43
14
yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi
kedua (APG II) (Luana, 2007).
APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik,
mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan
cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat
memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive
diskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan
disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala
negatif maupun kognitif (Luana, 2007).
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis
(SDA) atau antipsikotik atipikal. Antipsikosa jenis ini bekerja melalui
interaksi serotonin dan dopamin pada keempat jalur dopamin di otak
yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan
sangat efektif mengatasi gejala negatif (Luana, 2007).
2) Terapi Elektrokonvulsif
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan jenis terapi
somatik di samping terapi obat-obatan. Indikasi terapi ini adalah pada
skizofrenik yang mengalami depresi dan tidak dapat diobati, depresi
dengan bunuh diri, depresi yang disertai penolakan makan dan
minum, depresi selama kehamilan, pasien dengan riwayat
keberhasilan terapi ECT sebelumnya, sindroma katatonik, skizofrenia
dengan serangan akut, depresi psikotik atau melankolik yang tidak
berespon terhadap terapi obat, episode manik yang perilakunya
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 15/43
15
mengarah ke kelelahan yang sangat dan membahayakan tanpa
pengobatan dengan lithium (Nuhriawangsa dan Adi, 2004).
Terapi ECT biasanya dilakukan selama 3 kali dalam seminggu
dengan lamanya kejang berlangsung selama 5-20 detik serta keadaan
pascaiktal yang singkat. Penderita dapat berfungsi normal kembali
dalam waktu 1 jam. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
gangguan memori dan sakit kepala. Kontraindikasi absolut terapi ini
adalah tumor otak karena keadaan ini akan menaikkan tekanan
intrakranial pada saat kejang dan dapat menyebabkan kefatalan
(Nuhriawangsa dan Adi, 2004).
Terapi Psikososial
Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain :
1) Psikoterapi individual
a) Terapi suportif
Metode terapi psikososial berorientasi realita bersifat suportif dan
bermanfaat pada terapi jangka panjang skizofrenia (Tomb, 2003;
Maramis, 2009).
b) Social skill training
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian
sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu
dalam beradaptasi dengan masyarakat. Social Skills Training
menggunakan latihan bermain sandiwara. Bentuk terapi seperti ini
sering digunakan dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk
membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 16/43
16
Mereka dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas
harian seperti memasak, berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi,
bersahabat, dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil,
akan tetapi sulit mempertahankan perilaku bila suatu program telah
selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan
secara langsung (Sutatminingsih, 2002).
c) Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian
klasik dan randomisasi, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku
nyata. Para terapist mencoba menentukan stimulus yang mengawali
respon yang menyimpang dan kondisi lingkungan yang
menguatkan atau mempertahankan perilaku itu. Terapi ini
memberikan hasil yang cukup baik, terutama untuk kasus-kasus
baru. Secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung
membentuk dan mengembangkan perilaku penderita skizofrenia
yang lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali
berperan dalam masyarakat (Sutatminingsih, 2002).
2) Psikoterapi kelompok
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang
dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan
seseorang berusaha menghindari relasinya dengan orang lain,
mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah
yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris.
Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 17/43
17
bermanfaat bagi proses penyembuhan penderita skizofrenia. Terapi
kelompok termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa skizofrenik berkumpul dan saling berkomunikasi dengan
terapist yang berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di
dalamnya. Melalui terapi ini, iklim interpersonal relationship yang
konkrit akan tercipta, sehingga penderita skizofrenia selalu diajak
untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran serta perasaan yang
tidak realistis (Sutatminingsih, 2002).
3) Psikoterapi Keluarga
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta
anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi ini
digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam
keluarga yang bisa mengakibatkan penderita kambuh diusahakan
kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang
negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama (Sutatminingsih, 2002; Maramis,
2009).
Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan
cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan
tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita
dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 18/43
18
pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun sedemikian
rupa serta dievaluasi (Sutaminingsih, 2002; Maramis, 2009).
C. Depresi
C. 1. Definisi
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya
fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih
dengan gejala penyerta termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak
berdaya dan gagasan bunuh diri (Kaplan, 1997).
Depresi merupakan salah satu gangguan mood (mood
disorder). Depresi sendiri adalah gangguan unipolar, yaitu gangguan
yang mengacu pada satu kutub (arah) atau tunggal, yang terdapat
perubahan pada kondisi emosional, perubahan dalam motivasi,
perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik, dan perubahan
kognitif (Nevid dkk, 2005).
Depresi adalah gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam
perkembangan emosi jangka pendek atau masalah-masalah perilaku,
dimana dalam kasus ini, perasaan sedih yang mendalam dan
perasaan kehilangan harapan atau merasa sia-sia, sebagai reaksi
terhadap stressor ) dengan kondisi mood yang menurun (Wenar &
Kerig, 2000).
C. 2. Jenis-jenis depresi
Adapun jenis – jenis depresi menurut PPDGJ III, yaitu:
a. Depresi ringan, ciri – cirinya:
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 19/43
19
1) sekurang – kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi
seperti tersebut diatas.
2) ditambah sekurang – kurangnya 2 dari gejala lainya : a – g.
3) tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
4) lamanya seluruh episode berlangsung sekurang – kurangnya
sekitar 2 minggu.
5) hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
yang biasa dilakukan.
b. Depresi sedang, ciri – cirinya :
1) sekurang – kurangnya harus ada 2 atau 3 gejala utama depresi
seperti pada depresi ringan.
2) ditambah sekurang – kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainya.
3) lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2
minggu.
4) menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
c. Depresi berat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1) Depresi berat tanpa gejala psikotik, ciri – cirinya :
a) semua 3 gejala depresi harus ada.
b) ditambah sekurang – kurangnya 4 dari gejala lainya dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat.
c) bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka pasien nubgkin tidak
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 20/43
20
mau atau mampu untuk melaporkan banyak gejala secara
rinci.
d) episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang –
kurangnya 2 minggu,akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
e) sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan
kegiatan social, pekerjaan atau urusan rumah tangga,
kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
2) Depresi berat dengan gejala psikotik, ciri – cirinya:
a) episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut
depresi berat tanpa gejala psikotik.
b) disertai waham, halusinasi atau stupor depresif, waham
biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam dan pasien merasa
bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi audiotorik atau
olfatoric biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotorik yang berat dapat menuju pada
stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat
ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan efek
(mood congruent ).
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 21/43
21
C. 3. Epidemiologi
Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang
sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15 % dan
kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada wanita. Terlepas dari kultur
atau negara, prevalensi gangguan depresi berat dua kali lebih besar
pada wanita dibandingkan laki-laki. Rata-rata usia onset untuk
gangguan depresi berat kira-kira 40 tahun, 50 % dari semua pasien
mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun.
Beberapa data
epidemiologi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan
depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia
kurang dari 20 tahun. Jika pengamatan tersebut benar, mungkin
berhubungan dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan zat-zat
lain pada kelompok usia tersebut. Pada umumnya gangguan depresi
berat terjadi paling sering pada orang tua yang tidak memiliki
hubungan interpersonal yang erat atau berpisah (Kaplan 1997;1998).
C. 4. Etiologi
Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui,
tetapi diduga faktor-faktor dibawah ini berperan (Kaplan 1997):
1. Faktor biologis
Aktivitas metabolism yang lebih rendah dan ukuran korteks
prefrontal yang lebih kecil pada diri orang yang secara klinis
mengidap depresi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang sehat. Korteks prefrontal terlibat dalam pengaturan
neurotransmiter yang dipercaya terlibat dalam gangguan mood ,
termasuk serotonin dan norepinephrine, sehingga tidak
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 22/43
22
mengagetkan bila bukti menunjukkan ketidakteraturan pada
bagian otak ini (Nevid, 2005).
Faktor neurokimiawi lain seperti Adenylate cyclase,
phospotidylinositol dan regulasi kalsium mungkin juga memiliki
relevansi penyebab. Kelainan pada neuroendokrin utama yang
menarik perhatian dalam adalah sumbu adrenal, tiroid dan
hormon pertumbuhan. Neuroendokrin yang lain yakni penurunan
sekresi nokturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin
karena pemberian tryptopan, penurunan kadar dasar folikel
stimulating hormon (FSH), luteinizing hormon (LH) dan
penurunan kadar testoteron pada laki-laki.
2. Faktor genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat
pertama dari penderita gangguan depresi berat kemungkinan 1,5
sampai 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat
pertama subyek kontrol untuk penderita gangguan. Penelitian
terhadap anak kembar menunjukkan angka kesesuaian pada
kembar monozigotik adalah kira-kira 50 %, sedangkan pada
kembar dizigotik mencapai 10 sampai 25 %.
3. Faktor psikologis
a. Faktor kepribadian premorbid. Tidak ada satu kepribadian atau
bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap
depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat
mengalami depresi, walaupun tipe-tipe kepribadian seperti oral
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 23/43
23
dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang
besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya
b. Kehilangan harga diri. Depresi sebagai suatu efek yang dapat
melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam
dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak
hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan
mengakibatkan mereka putus asa
c. Teori kognitif menurut A.T. Beck menunjukkan perhatian
gangguan kognitif pada depresi. Beck mengidentifikasikan 3
pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad
kognitif, yaitu pandangan negatif terhadap masa depan,
pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap
dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga,
pandangan negatif terhadap pengalaman hidup (Durand dan
Barlow, 2006).
d. Learned Helplessness. Teori Seligman mengatakan bahwa
orang menjadi cemas dan depresi ketika membuat atribusi
bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas stres dalam
kehidupannya baik sesuai kenyataan maupun tidak (Durand
dan Barlow, 2006).
4. Faktor Sosial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu
pengamatan klinis yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 24/43
24
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya,
hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien dengan
gangguan depresi berat. Data yang mendukung, menyatakan
bahwa peristiwa kehidupan paling berhubungan dengan
perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua
sebelum usia 11 tahun. Stressor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset satu episode depresi adalah kehilangan
pasangan. Derajat psikopatologi didalam keluarga mungkin
mempengaruhi kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan
penyesuaian pasca pemulihan.
C. 5. Prevalensi
Prevalensi seumur hidup dari gangguan depresi dalam
Durand dan Barlow (2006) adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Prevalensi depresiUmur Prosentase
18-29
30-44
45-64
65+
5,0
7,5
4,0
1,4
Jenis Kelamin Prosentase
Laki-laki
Perempuan
2,6
7,0
Umur ProsentaseKulit putih
Kulit hitam
Hispanik
5,1
3,1
4,4
Total 4,9
Depresi dengan onset terlambat berhubungan dengan
kesulitan tidur yang nyata, hipokondiasis dan agitasi. Prevalensi
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 25/43
25
gangguan depresi berat pada orang lanjut usia sama atau sedikit lebih
rendah dibanding prevalensi dalam populasi secara umum. Ini
mungkin disebabkan karena peristiwa stressfull dan memicu episode
depresif cenderung berkurang dengan semakin bertambahnya umur
(Durand dan Barlow, 2006).
C. 6. Patofisiologi
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa
neurotransmiter aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak
diteliti ialah serotonin. Konduksi impuls dapat terganggu apabila
terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps
atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter
tersebut di post sinaps sistem saraf pusat. Pada depresi telah di
identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor 5HTIA
dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme
biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan
anti depresan (Kaplan, 1998).
Depresi disebabkan karena menurunnya pelepasan dan
transmisi serotonin (menurunnya kemampuan neurotransmisi
serotogenik). Terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain yang
berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan
dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu
atau beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak,
terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi
dapat diterangkan sebagai berikut (Kaplan, 1998). :
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 26/43
26
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya
kemampuan neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya
regulasi aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2
adrenoreseptor presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah
menurunnya neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di
celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan
adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI
(Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) dan trisiklik yang
menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat
MAOI ( Mono Amine Oxidasi Inhibitor ) yang menghambat
katabolisme neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan bahwa
terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi
serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau
kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini
mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi
timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang
tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan dengan
pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-
uptake Enhancer ) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 27/43
27
bukan menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin
menjadi lebih cepat dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil
yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi.
Mekanisme
biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan
dan pengembangan obat-obat anti depresan.
C.7. Gambaran klinis
Suatu mood depresif, kehilangan minat dan kegembiraan
serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas merupakan tiga gejala utama depresi (Maslim,
2001). Gejala lainnya dapat berupa :
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari dan di
nilai berdasarkan ungkapan pribadi atau hasil pengamatan orang lain
misalnya keluarga pasien.
C. 8. Pedoman diagnostik
Dalam DSM III dan DSM IV atau PPDGJ III tahun 1993,
kriteria diagnostik untuk gangguan depresi berat secara terpisah dari
kriteria diagnostik untuk diagnosis yang berhubungan dengan
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 28/43
28
depresi ringan dan sedang serta depresi berulang. Pada PPDGJ III
pedoman diagnostik gangguan depresi berat dibagi secara terpisah
yaitu gangguan depresi berat tanpa gejala psikotik dan gangguan
depresi berat dengan gejala psikotik.
1. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik :
a. Semua gejala depresi harus ada : afek depresif, kehilangan
minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang
menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya :
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan
kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan
tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimis,
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri,
tidur terganggu, nafsu makan berkurang.
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi
psikomotor) yang mencolok, maka mungkin pasien tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh
terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
d. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 29/43
29
e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan
kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali
pada taraf yang sangat terbatas.
2. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik :
a. Episode depresif berat yang memenuhi kriteria diatas.
b. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham
biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi audiotorik atau olfaktorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau
kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang
berat dapat menuju stupor.
c. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan
sebagai waham atau halusinasi yang serasi atau tidak serasi
dengan afek (mood congruent ).
C. 9. Penatalaksanaan
Diagnosa depresi telah dibuat, selanjutnya dinilai taraf
hebatnya gejala depresi dan besarnya kemungkinan bunuh diri. Hal
ini ditanyakan dengan bijkasana dan penderita sering merasa lega
bila ia dapat mengeluarkan pikiran-pikiran bunuh diri kepada orang
yang memahami masalahnya, tetapi pada beberapa penderita ada
yang tidak memberitahukan keinginan bunuh dirinya kepada
pemeriksa karena takut di cegah. Bila sering terdapat pikiran-pikiran
atau rancangan bunuh diri, maka sebaiknya penderita dirawat di
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 30/43
30
rumah sakit dengan pemberian terapi elektrokonvulsi di samping
psikoterapi dan obat anti depresan (Kapalan, 1998).
Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah
pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi berat. Tiga
jenis psikoterapi jangka pendek yaitu terapi kognitif, terapi
interpersonal dan terapi perilaku, telah diteliti tentang manfaatnya di
dalam pengobatan gangguan depresi berat. Pada farmakoterapi
digunakan obat anti depresan, dimana anti depresan dibagi dalam
beberapa golongan yaitu :
1. Golongan trisiklik, seperti : amitryptylin, imipramine,
clomipramine dan opipramol.
2. Golongan tetrasiklik, seperti : maproptiline, mianserin dan
amoxapine.
3. Golongan MAOI-Reversibel (RIMA, Reversibel Inhibitor of Mono
Amine Oxsidase-A), seperti : moclobemide.
4. Golongan atipikal, seperti : trazodone, tianeptine dan mirtazepine.
5. Golongan SSRI (Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor ), seperti
: sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluxetine dan citalopram.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset
efek primer (efek klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek
samping) sekitar 12-24 jam serta waktu paruh sekitar 12-48 jam
(pemberian 1-2 kali perhari). Ada lima proses dalam pengaturan
dosis, yaitu :
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 31/43
31
1. Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran
selama minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I
dan II, 50 mg/hari pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V
dan VI.
2. Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran
sampai dosis efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya
amytriptylin 150 mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II),
kemudian minggu III 200 mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.
3. Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan
selama 2-3 bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis
optimal) kemudian diturunkan sampai dosis pemeliharaan.
4. Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan.
Biasanya dosis pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya
amytriptylin 150 mg/hari.
5. Tapering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan
dari initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100
mg/hari selama 1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1
minggu, 75 mg/hari à 50 mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à
25 mg/hari selama 1 minggu.
Obat anti depresan dapat diberhentikan total, jika kemudian
sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan
seterusnya. Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada
malam hari (single dose one hour before sleep), untuk golongan
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 32/43
32
trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis
tunggal pada pagi hari setelah sarapan.
D. Kambuh
Kambuh merupakan kondisi dimana pasien kembali menunjukkan
gejala-gejala skizofrenia setelah remisi dari rumah sakit. Penderita yang
mengalami relaps diikuti oleh pemburukan sosial lebih lanjut pada fungsi
dasar pasien. Peningkatan angka relaps/kekambuhan berhubungan secara
bermakna dengan emosi yang berlebihan dilingkungan rumah, terutama di
dalam keluarga yang tidak harmonis, ketidakmampuan keluarga dalam
menghadapi penderita dan juga pengobatan yang tidak adekuat yang
dilakukan oleh keluarga terhadap penderita (Kaplan, 1997).
Tingkat kekambuhan skizofrenia ditandai dengan munculnya
kembali 2 gejala skizofrenia atau lebih selama 6 bulan, baik gejala positif
maupun negatif . Gejala-gejala tersebut mencakup delusi, isi pikiran yang
aneh, halusinasi, gangguan alur pikir, mannerisme, afek datar, dan alogia.
Kriteria-kriteria kekambuhan dapat diukur dengan menggunakan Brief
Psychiatric Rating Scale (BPRS), Scale for the Assessment of Negative
Symptoms (SANS) dan Scale for the Assessment of Positive Symptoms
(SAPS) (Van Os et al., 2005). Beberapa studi menyatakan kriteria-kriteria
kekambuhan yang berbeda dan tampak di dalam tabel berikut:
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 33/43
33
Tabel 2. Studi Kriteria Definisi Remisi/Kekambuhan pada Skizofrenia
(Andreasen et al., 2005).
Studi Tahun Kriteria kekambuhan
Kriteria remisi pada
populasi dengan
skizofrenia kronik
Curtis et a.l,
Liberman et al.,
Yen et al.,
Kriteria remisi pada
populasi dengan
skizofrenia akut
Lieberman et al.
2001
2001
2002
1993
Evaluasi perhitungan 1 jenis skala
pada Brief Psychiatric Rating Scale
(BPRS) dengan skor total <30; skor <3
(sedang) item yang tidak terlalu
berpengaruh, dan <2 (ringan) pada
gejala alogia, anhedonia, avolition,
dan gejala-gejala lain menurut Scale for the Assessment of Negative
Symptoms (SANS), skor Global
Assessment of Functioning scale yaitu
>60; tidak ditemukan gejala-gejala
psikotik yang lebih dari 1 tahun, tidak
menjalani rawat-inap selama 3 bulan,
tidak ada satupun gejala-gejala
residual, terganggunya pekerjaan dan
hubungan dengan teman.
Gejala-gejala posiitif dan negatif dari
BPRS dengan skor adalah 64 (sedang)selama lebih dari 24 bulan
Bisa salah satu dari tiga tanda gejala
sindrom "scala subscales" baik gejala
positif dan negatif
(positif,negatif,psikopatologi umum)
dengan skor rata2 minimal <2 pada
satu kali waktu pemeriksaan
Mengalami periode gangguan afektif
dan skizofrenia, perubahan sikap,
psikotik dan item-item disorganisasi,
skor dari item gejala positif yang ≤3(waham curiga, delusi, halusinasi,
pemahaman yang terganggu, waham
aneh);beberapa skor dari skala Clinical
Global Impression (CGI) yaitu ≤3;perubahan skor CGI secara umum dari
1 atau 2 untuk 8 minggu konskutif,
atau “ remisi penuh” saat tidak ditemukan gejala residual yang positif
dan skor ≤2 (ringan) pada keseluruhanitem gejala negatif secara umum.
Adanya halusinasi, delusi, pikiran
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 34/43
34
Amminger et al.
Eaton et al.,
Ho et al.,
1997
1998
2002
yang terganggu dan perilaku katatonik
selama minggu konsekutif
Adanya follow-up waktu tercatatnya
kriteria dengan definisi-definisi
tertentu (halusinasi, delusi, pikiranyang terganggu, gangguan psikomotor
yang ekstrim) selama kurang lebih 3
bulan
Skala pengukuran gejala positif dari
item gejala secara keseluruhan dengan
skor ≤2 (ringan) pada psikotik dandimensi disorganisasi selama 8
minggu konsekutif.
Empat faktor penyebab kekambuhan pasien skizofrenia dan perlu
dirawat di rumah sakit jiwa, yaitu :
1. Pasien
Secara umum bahwa pasien yang minum obat secara tidak teratur
mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian menunjukkan
25% sampai 50% pasien yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan
obat secara teratur (Keliat, 1996). Pasien kronis, khususnya skizofrenia
sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya gangguan realitas dan
ketidakmampuan mengambil keputusan. Perawat di rumah sakit
bertanggung jawab dalam pemberian atau pemantauan pemberian obat, di
rumah tugas perawat digantikan oleh keluarga.
2. Dokter (pemberi resep)
Minum obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun
pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping
yang dapat menggangu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 35/43
35
terkontrol. Pemberian resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi
dosis terapeutik yang dapat mencegah kekambuhan dan efek samping.
3. Penanggung jawab pasien (case manager )
Setelah pasien pulang ke rumah maka penanggung jawab kasus
mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan pasien,
sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini dan segera mengambil
tindakan.
4. Keluarga
Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan
menyebabkan kekambuhan yang tinggi pada pasien. Hal lain adalah pasien
mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan maupun yang
menyedihkan. Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam
proses perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di
rumah agar adaptasi pasien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas
perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien
sehingga status pasien meningkat. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah perilaku
keluarga yang tidak tahu cara menangani pasien Skizofrenia di rumah
(Keliat, 1996).
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 36/43
36
III. PEMBAHASAN
Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang
sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali
(Andri, 2008). Analisis selama lima tahun pertama pada depresi berulang setelah
menyelesaikan masa pemulihan 8-minggu menunjukkan bahwa probabilitas
kumulatif kekambuhan pada tahun pertama adalah 25%, pada tahun kedua 42%,
dan pada tahun kelima adalah 60% (Solomon et al., 2000). Sedangkan pada
skizofren, setelah episode psikotik yang pertama, pasien skizofren memiliki
periode pemulihan bertahap, yang dapat dikuti oleh lamanya periode fungsi yang
relatif normal, tetapi relaps biasanya terjadi (Kaplan & Sadock, 2007).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pasien gangguan jiwa
mengalami kekambuhan antara lain yaitu:
a. Penghentian pengobatan
Pemberian obat antipsikotik pada pasien skizofren dapat mengurangi
resiko kekambuhan, namun pemakaian obat neurolepatik yang lama dapat
menimbulkan efek samping yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti
gerakan yang tidak terkontrol. Sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan untuk
meminum obat.
b. Pengetahuan, pendidikan, informasi, sosial ekonomi, dan peran keluarga.
Keluarga pada hakikatnya merupakan jalinan relasi anggota-anggotanya
dan merupakan ruang hidup bagi para anggotanya. Dalam ruang hidup tersebut
para anggota keluarga hidup, berkembang dan berelasi satu sama lain (Arif,
2006). Peran keluarga sangat penting terhadap pasien gangguan jiwa karena
pasien gangguan jiwa sangat memerlukan perhatian dari keluarganya. Keluarga
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 37/43
37
merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung
pada setiap keadaan sehat maupun sakit pasien. Apabila keluarga memahami
kebutuhan anggota keluarganya yang sakit maka keluarga akan memberikan
dukungan untuk melakukan pengobatan. Sebaliknya apabila keluarga tidak
memahami kebutuhan anggota keluarganya yang sakit, maka akan
memperburuk perjalanan gangguan jiwa karena pasien tidak mendapatkan
perhatian dan dukungan yang semestinya diberikan oleh keluarganya.
Dinamika keluarga yang penuh konflik akan sangat mengganggu ruang
hidup yang ada pada keluarga dan sebagai akibatnya lebih berisiko pada
kekambuhan (Arif, 2006). Pada keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi
(bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan, 57 %
kembali dirawat, sikap yang baik pada keluarga dapat mencegah kekambuhan.
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Dengan pengetahuan yang adekuat keluarga dan pasien
gangguan jiwa dapat mengerti perjalanan pasien gangguan jiwa yang pada
dasarnya dapat di sembuhkan dengan minum obat secara teratur. Keluarga
perlu mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang pemberian
obat, pemantauan obat, tanda dan gejala skizofrenia atau gejala kekambuhan.
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga
mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Semakin
tinggi pendidikan seseorang maka akan lebih mudah menerima informasi
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 38/43
38
kesehatan jiwa yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga mempengaruhi
pikiran seseorang dalam pengambilan suatu keputusan upaya untuk mengobati
suatu penyakit. Sebaliknya semakin rendah pendidikan seseorang maka akan
sulit menerima informasi karena kurangnya pengetahuan terhadap perjalanan
gangguan jiwa.
Informasi yang akurat tentang gangguan jiwa, gejala gejalanya dan
perjalanan penyakitnya, berbagai bantuan medis dan psikologis yang dapat
meningkatkan gejala gangguan jiwa merupakan informasi yang sangat
diperlukan keluarga.
Sosial ekonomi merupakan faktor yang sering di lihat hubungannya
dengan fenomena dan peningkatan angka kejadian dari suatu penyakit, sosial
ekonomi ini di tentukan oleh beberapa unsur seperti pendidikan, pekerjaan,
penghasilan dan di tentukan pula pada tempat tinggal. Sosial ekonomi
mempunyai pengaruh yang besar pada pasien gangguan jiwa dimana keadaan
sosial ekonomi yang tinggi pasien dapat melanjutkan pengobatan karena
mampu memenuhi kebutuhannya, sebaliknya keadaan sosial ekonomi yang
rendah dapat menghambat dan membuat pasien gangguan jiwa tidak
melanjutkan pengobatannya karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhanya.
c. Lingkungan sekitar
Lingkungan sekitar tempat tinggal pasien yang tidak mendukung dapat
juga meningkatkan frekuensi kekambuhan. misalnya masyarakat mengannggap
pasien sebagai individu yang tidak berguna, mengucilkan, mengejek pasien.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 39/43
39
d. Stres kehidupan
Kesulitan keuangan, kesulitan tempat tinggal, perubahan yang
menimbulkan stres dalam peristiwa kehidupan dapat menjadi risiko
kekambuhan.
e. Aktivitas
Pekerjaan adalah faktor protektif untuk kekambuhan gangguan jiwa, maka
penderita yang memiliki pekerjaan sebagai aktifitas rutin memiliki risiko
kekambuhan lebih rendah daripada penderita tidak memiliki pekerjaan/
aktifitas rutin.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 40/43
40
IV. KESIMPULAN
1. Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi-
manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan
kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis, sosial, psikologis,
genetik, fisis, atau kimiawi.
2. Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama
seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali.
3. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pasien gangguan jiwa mengalami
kekambuhan antara lain yaitu penghentian pengobatan; pengetahuan,
pendidikan, informasi, sosial ekonomi, dan peran keluarga; lingkungan sekitar;
stres kehidupan; aktivitas.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 41/43
41
DAFTAR PUSTAKA
Andreasen, N,C., Carpenter, M.T., Kane, J.M.,Lasser, R.A.,Marder, S.R.,
Weinberger, D.R. 2005. Remission in Schizophrenia: Proposed Criteria and
Rationale for Consensus. Am J Psychiatry. 162:441 – 449.
Anonim. Perempuan dua kali lebih banyak terkena gangguan jiwa ringan
dibandingkan laki-laki. Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1101-perempuan-dua-
kali-lebih-banyak-terkena-gangguan-jiwa-ringan-dibandingkan-laki-laki.html.
diakses pada tanggal 9 Maret 2012
Andri, (2008). Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treathment Gap for Schizophrenia.
Arif Iman Setiadi. 2006. Masalah Psikiatri. Refika Aditama. Bandung.
Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi
Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar
Hawari, Dadang, 2003. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa. Ed 2. Jakarta:
FKUI.
Isaacs, Ann. 2005, Mental Healt and Psychiatric Nursing. Alih bahasa: DianPraty Rahayuningsih. Jakarta: EGC.
Jenkins, J.H.,Garcia, J.I.R., Chang, C.L., Young, J.S., Lopez, S.R. 2006. Family
Support Predicts Psichiatric Medication Usage Among Mexican American
Individuals with Schizophrenia. Social Psyciatry and Psychiatric
Epidemology, 41. 624-631.
Kaplan H.I, Sadok B.J. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh, Jilid I, Binarupa Aksara,
Jakarta, 1997 : 777-832
Kaplan H.I, Sadok B.J. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Cetakan I, Widya Medika,
Jakarta, 1998 : 227-229
Kaplan H.I, Sadok B.J. Comprensive Textbook Of Psychiatry, William &
Walkins. 5th
Edition, USA, 1998 : 1285
Keliat, B.A., 1996, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan
Jiwa, EGC, Jakarta Luana, N.A. 2007. Skizofrenia dan Gangguan Psikotik
lainnya dalam Simposium Sehari Kesehatan Jiwa dalam Rangka Menyambut
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 42/43
42
Hari Kesehatan Jiwa Se-dunia. Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia cabang
Jakarta Barat .
Manuel Giron, M. G. (1998). Scizofrenia Bulletin. Relationship Between
Empathic Family Attitude and Relapse in Schizophrenia , 619.
Maramis, W. F. (2009). Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan
dan percetakan.
Marpaung V. Depresi Pada Penderita Epilepsi Umum Dengan Kejang Tonik
Klonik Dan Epilepsi Parsial Sederhana. Medan : Bagian Psikiatri Universitas
Sumatera Utara ; 2003.
Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dariPPGDJ-III, Jakarta, 2001 : 65
Munawaroh. S. M. 1999. Empati Dan Intensi Prososial pada Perawat. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM.
Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi
Abnormal. Edisi Kelima. Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga
Nuhriawangsa, I dan Adi,N. Dalam Indonesian Psychiatric Association. 2004.
Tanggapan Keluarga Pasien terhadap Terapi Kejang Listrik pada Pasien
Skizofrenia di RSK Puri Waluyo Surakarta. 3ed National Conference on
Schizophrenia. Bali : Indonesian Psychiatric Association
Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III), Direktorat
Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993.
Sari, A. T. (2006). Empati. Empati dan Perilaku Merokok di tempat umum , 1-2.
Simanjuntak, Yusak. (2008). Faktor Risiko Terjadinya Relaps pada Pasien
Skizofrenia Paranoid . Tesis Magister Kedokteran Klinik. UniversitasSumatera Utara
Solomon, D. A., Martin B. K., Andrew C., Timothy I. M., Philip W., M. Tracie
Shea, William C., Meredith W, Carolyn T, Jack D, and Jean E. 2000.
Multiple Recurrences of Major Depressive Disorder. Am J Psychiatry 157:2.
229-33.
Strauss, J.S., and Carpenter, W.T., Jr. The prediction of outcome in schizophrenia:
I. Characteristics of outcome. Archives of General Psychiatry, 27:739-746,
1972.
Sugiyono. 2004. statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
8/2/2019 FIX Print Jiwa
http://slidepdf.com/reader/full/fix-print-jiwa 43/43
43
Sutatminingsih, Raras. 2002. Schizophrenia. Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara : USU digital library.
Tomb, D.A.. 2003. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC. Hal : 24-39
Van Os,J., Burns,T., Cavallaro,R., Leucht,S.,Peuskens,J., Helldin,L.,
Bernardo,M., Arango, C., Fleischhacker,W.,Lachaux,B., Kane,J.M. 2005.
Standardized Remission Criteria in Schizophrenia : Clinical Overview
Article. Acta Psychiatr Scand . 113: 91 – 95.
Wenar, Charles, Kerig, Patricia. (2000). Developmental Psychopathology : From
Infancy Through Adolenscence. Fourth Edition. Singapore : Mc Graw-Hill
Companies, Inc.
Recommended