FITOREMEDIASI LIMBAH CAIR PENYAMAKAN KULIT DENGAN PEMANFAATAN TANAMAN AIR KAYU APU (Pistia stratiotes) DAN ECENG
GONDOK (Eichhornia crassipes)
SKRIPSI
Oleh :
RADITYA NUR EKAWATI NIM. 135080101111053
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
FITOREMEDIASI LIMBAH CAIR PENYAMAKAN KULIT DENGAN PEMANFAATAN TANAMAN AIR KAYU APU (Pistia stratiotes) DAN ECENG
GONDOK (Eichhornia crassipes)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh :
RADITYA NUR EKAWATI NIM. 135080101111053
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : FITOREMEDIASI LIMBAH CAIR PENYAMAKAN KULIT DENGAN
PEMANFAATAN TANAMAN AIR KAYU APU (Pistia stratiotes)
DAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes)
Nama Mahasiswa : Raditya Nur Ekawati
NIM : 135080101111053
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : Prof. Dr. Ir. Endang Yuli Herawati., MS
Pembimbing 2 : Dr. Ir. Mulyanto, M.Si
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Penguji 1 : Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si
Penguji 2 : Nanik Retno Buwono, S.Pi., MP
Tanggal Ujian : 20 Desember 2017
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi yang saya tulis ini benar-
benar merupakah hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil jiplakan
(plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut, sesuai
hokum yang berlaku.
Malang, Desember 2017
Raditya Nur Ekawati
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW atas segala rahmat dan Karunia-Nya
2. Terima kasih yang mendalam penulis persembahkan kepada Orang Tua
saya tercinta, atas doa serta dorongan semangat yang selalu diberikan
3. Terima kasih mendalam kepada seluruh keluarga yang telah mendoakan
saya dan memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini
4. Terima kasih mendalam kepada suami tercinta M. Imam Gozali dan Anak
yang saya sayangi Ryshaka Kerla Al-Ghazali yang telah mendoakan dan
juga memberikan semangat yang tiada henti
5. Ibu Prof. Dr. Ir. Endang Yuli Herawati., MS selaku dosen pembimbing
pertama yang telah berkenan membimbing saya selama ini dengan sabar
dan bijaksana
6. Bapak Dr. Ir. Mulyanto, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah
berkenan membimbing saya selama ini dengan sabar dan bijaksana
7. Terima kasih untuk semua dosen FPIK UB yang telah memberikan ilmu yang
bermanfaat sehingga ilmu tersebut dapat saya terapkan dalam penelitian
saya
8. Terima kasih kepada teman-teman Eny Febriana, Irma Febriyanti, Nurul
Khotimah dan Widia Ningsih S yang selalu memberikan semangat untuk
menyelesaikan penelitian ini
9. Terima kasih kepada seluruh teman saya MSP’13 yang telah memberikan
semangat dan doa
Malang, Desember 2017
Penulis
i
RINGKASAN
Raditya Nur Ekawati. Fitoremediasi Limbah Cair Penyamakan Kulit Dengan
Pemanfaatan Tanaman Air Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes). (dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Endang Yuli H., MS dan
Dr. Ir. Mulyanto, M.Si)
Perkembangan pembangunan, khususnya di bidang industri, memerlukan pemikiran dan tindakan untuk meminimalkan dampak negatif limbah industri terhadap pencemaran lingkungan. Limbah buangan industri tersebut umumnya mengandung senyawa organik atau anorganik yang bersifat toksik dan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Parsek et al. 1997). Senyawa anorganik utama dalam limbah industri berupa logam berat. Logam berat tidak dapat didegradasi secara biologis, tetapi hanya dapat dialihrupakan atau dipindah tempatkan. Keberadaan logam berat dalam air akan diserap dan diakumulasi dalam sel organisme yang hidup dalam lingkungan tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 di Laboratorium Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Madiun. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbedaan penyerapan logam berat kromium (Cr) menggunakan tanaman air Kayu apu (Pistia stratiotes) dan Eceng gondok (Eichhornia crassipes) pada limbah cair industri penyamakan kulit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Penelitian ini menggunakan 2 perlakuan jenis tanaman yang berbeda yaitu kayu apu dan eceng gondok, serta terdapat bak kontrol yang tidak diberi perlakuan tanaman, dimana masing-masing perlakuan tersebut mendapat 3 kali pengulangan dan mendapat pengaruh dalam waktu fitoremediasinya. Limbah cair penyamakan kulit yang digunakan yaitu 4 liter dengan berat tanaman yang digunakan ± 120 gram. Penelitian dilakukan selama 8 hari, dengan pengukuran kandungan logam berat krom serta parameter kualitas air pendukung suhu, derajat keasaman (pH), dan oksigen terlarut (DO) setiap 2 hari sekali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) mengalami penurunan dengan persentase 87.15% dengan konsentrasi awal krom sebesar 3,27 g/l menjadi 2,85 g/l, Sedangkan penggunaan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) dapat menurunkan krom dengan persentase 76.14% dengan konsentrasi awal 3.27 g/l menjadi 2.49 g/l. Hasil penelitian menunjukkan nilai parameter kualitas air pada awal penelitian yaitu suhu sebesar 28.10°C menurun menjadi 24.00°C, derajat keasaman (pH) pada awal penelitian sebesar 6.36 menurun menjadi 6.00 dan oksigen terlarut (DO) pada awal penelitian sebesar 9.80 ppm menurun menjadi 3.30 ppm. Perlakuan fitoremediasi limbah cair penyamakan kulit terbaik pada penelitian selama 8 hari yaitu dengan menggunakan tanaman air eceng gondok (Eicchornia crassipes) terbukti karena kemampuannya menurunkan kadar krom 11.01 % lebih banyak dibandingkan menggunakan tanaman air kayu apu (Pistia stratiotes) dikarenakan eceng gondok memiliki perakaran yang lebat dan panjang sehingga dapat secara aktif menyerap logam berat. Saran dari penelitian ini adalah sebaiknya industri penyamakan kulit yang terletak di Dusun Tulung Desa Ringinagung Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan ini membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang didalamnya diberi tanaman air eceng gondok (Eichhornia crassipes).
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “Fitoremediasi Limbah Cair Penyamakan Kulit dengan
Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dan Kayu Apu (Pistia
stratiotes)”
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk lulus dan
meraih gelar Sarjana (S-1) Perikanan. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis
sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran yang bersifat membangun
kearah perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Cukup banyak kesulitan yang
penulis temui dalam penulisan skripsi ini, tetapi dapat teratasi dan diselesaikan
dengan baik.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis
mendapat balasan dari Tuhan yang Maha Esa.
Malang, Desember 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 4 1.3 Tujuan .................................................................................................... 5 1.4 Kegunaan ............................................................................................. 5 1.4 Hipotesis ................................................................................................ 6 1.5 Tempat dan Waktu ................................................................................. 6 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah ................................................................................................... 7 2.2 Logam Berat .......................................................................................... 8 2.3 Pencemaran Logam Berat di Perairan ................................................... 9
2.4 Kromium (Cr) ......................................................................................... 10 2.4.1 Sifat-Sifat Krom (Cr) ................................................................... 13
2.4.2 Reaksi-Reaksi Pada Krom (Cr) ................................................... 14 2.4.3 Kegunaan Krom dalam Industri .................................................. 17 2.5 Karakteristik dan Sumber Limbah Cair Penyamakan Kulit ..................... 17 2.5.1 Industri Penyamakan Kulit .......................................................... 17
2.5.2 Proses Penyamakan Kulit ........................................................... 18 2.5.3 Diagram Alir Proses Penyamakan Kulit ...................................... 20 2.5.4 Sumber Limbah Cair Penyamakan Kulit…. ................................. 21 2.5.5 Karakteristik Limbah Cair Penyamakan Kulit .............................. 22
2.6 Dampak Limbah Cair Penyamakan Kulit ................................................ 23 2.7 Fitoremediasi ......................................................................................... 24 2.8 Mekanisme Masuknya Kromium pada Tanaman.................................... 26
2.9 Tanaman Air .......................................................................................... 27 2.9.1 Klasifikasi dan Morfologi Kayu Apu (Pistia stratiotes) .................. 29 2.9.2 Klasifikasi dan Morfologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) . 31
2.10 Parameter Kualitas Air Pendukung ...................................................... 34 2.10.1 Suhu ......................................................................................... 34 2.10.2 Derajat Keasaman (pH) ............................................................ 34 2.10.3 Oksigen Terlarut (DO) .............................................................. 35
iv
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Materi Penelitian .................................................................................... 37 3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 37 3.3 Lokasi Pengambilan Sampel .................................................................. 37 3.4 Metode Penelitian .................................................................................. 37 3.5 Tahapan Penelitian ................................................................................ 39
3.5.1 Persiapan Penelitian ..................................................................... 39 3.6 Prosedur Pengukuran Parameter Kualitas Air ........................................ 41 3.6.1 Kromium (Cr) ................................................................................ 41 3.6.2 Suhu ............................................................................................. 42 3.6.3 Derajat Keasaman (pH) ................................................................ 43 3.6.4 Oksigen Terlarut (DO) .................................................................. 43
3.8 Analisis Data ......................................................................................... 43 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Morfologi Tanaman Eceng Gondok dan Kayu Apu. ................................. 46 4.2 Kadar Kromium (Cr) ................................................................................ 48 4.3 Hasil Pengukuran Kualitas Air. ................................................................ 52 4.3.1 Suhu. ........................................................................................... 52 4.3.2 Derajat Keasaman (pH). ............................................................. 54 4.3.3 Oksigen Terlarut. ........................................................................ 56 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan. .......................................................................................... 58 5.2 Saran. ................................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 59 LAMPIRAN ...................................................................................................... 66
v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Beda Nyata Terkecil .................................................................................... 45
2. Perubahan Morfologi Tanaman Eceng Gondok dan Kayu Apu. ................... 47
3. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Kromium (Cr). ....................................... 49
4. Analisa Sidik Ragam. .................................................................................. 51
5. Fungsi Alat.. ................................................................................................ 66
6. Fungsi Bahan.. ............................................................................................ 66
7. Data Pengukuran Logam Berat Kromium (Cr)… ......................................... 69
8. Perhitungan Sidik Ragam dan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil).. ................... 69
9. Data Hasil Pengukuran Suhu.. ................................................................... 73
10. Data Hasil Pengukuran Derajat Keasaman (pH)…................................... 74
11. Data Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut (DO) … .................................... 75
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Alir Rumusan Masalah ..................................................................... 4
2. Diagram Alir Proses Penyamakan Kulit ....................................................... 20
3. Kayu Apu (Pistia stratiotes).. ....................................................................... 29
4. Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) ........................................................ 31
5. Denah Tata Letak Bak Penelitian. ............................................................... 38
6. Grafik Logam Berat Kromium (Cr).. ............................................................. 50
7. Grafik Suhu.. ............................................................................................... 53
8. Grafk Derajat Keasaman (pH).. ................................................................... 54
9. Grafik Oksigen Terlarut (DO).. ..................................................................... 56
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Fungsi Alat dan Bahan .................................................................................. 66
2. Pengambilan Sampel Tanaman Air Eceng Gondok dan Kayu Apu.. .............. 67
3. Kondisi Limbah Cair Penyamakan Kulit Selama Penelitian.. ......................... 68
4. Penyortiran Tanaman Air Eceng Gondok dan Kayu Apu. .............................. 69
5. Hasil Pengukuran Logam Berat Kromium (Cr)............................................... 70
6. Hasil Pengukuran Suhu. ................................................................................ 74
7. Hasil Pengukuran Derajat Keasaman (pH). ................................................... 75
8. Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut (DO). ..................................................... 76
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan pembangunan, khususnya di bidang industri, memerlukan
pemikiran dan tindakan untuk meminimalkan dampak negatif limbah industri
terhadap pencemaran lingkungan. Limbah buangan industri tersebut umumnya
mengandung senyawa organik atau anorganik yang bersifat toksik dan
berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Parsek et al. 1997). Senyawa
anorganik utama dalam limbah industri berupa logam berat. Logam berat tidak
dapat didegradasi secara biologis, tetapi hanya dapat dialihrupakan atau
dipindah tempatkan. Keberadaan logam berat dalam air akan diserap dan
diakumulasi dalam sel organisme yang hidup dalam lingkungan tersebut. Apabila
organisme air yang lebih tinggi tingkat tropiknya seperti ikan memakan plankton,
maka akan terjadi akumulasi logam berat dalam tubuh ikan. Selanjutnya apabila
ikan tersebut dikonsumsi akan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang
serius bagi manusia (Haryadi, 1996).
Limbah merupakan salah satu bahan pencemar yang dapat merubah
kualitas perairan. Limbah yang masuk kedalam perairan dapat berupa limbah
padat, cair, gas dan B3. Contoh industri yang menghasilkan limbah cair adalah
industri penyamakan kulit. Industri penyamakan kulit termasuk salah satu industri
yang mengeluarkan limbah cair dalam volume cukup besar. Menurut Barcordit et
al. (2014), bahan yang paling banyak ditemukan dan digunakan sekitar 85%
industri penyamakan kulit di dunia adalah logam krom (Cr). Harmami et al. (2014)
menjelaskan bahwa kegiatan industri penyamakan kulit merupakan salah satu
sektor ekonomi yang menunjang perekonomian di Indonesia.Penyamakan kulit
ini bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak akibat aktivitas
mikroorganime menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap faktor-faktor
2
perusak tersebut. Sisa logam krom yang terkandung pada limbah cair hasil
proses penyamakan kulit secara konvensional akan membawa dampak pada
lingkungan (Wu et al., 2014). Air yang tercemar logam krom dapat menganggu
kesehatan manusia dan keseimbangan ekosistem perairan dan lingkungan
sekitarnya (Suhartini, 2013).
Krom (Cr) adalah unsur yang secara alamiah ditemukan dalam konsentrasi
yang rendah dalam batuan, hewan, tanaman, tanah, debu vulkanik dan
gas.Keberadaan krom pada perairan dijumpai dalam 2 bentuk yaitu ion krom
valensi III (Cr3+) dan VI (Cr6+). Krom valensi VI (Cr6+) lebih toksik daripada
kromium valensi III (Cr3+) karena ion ini sukar terurai, tidak mengendap, stabil
dan toksik. Logam berat Cr yang terdapat pada limbah cair penyamakan kulit
berupa logam krom murni. Logam ini dialam ditemukan dalam bentuk
persenyawaan padat atau mineral dengan unsur-unsur lain sebagai bahan
mineral. Krom paling banyak ditemukan dalam bentuk “Chromite” (FeOCr2O3)
(Palar, 2012). Di dalam perairan krom dapat masuk melalui 2 cara yaitu secara
alamiah dan non alamiah. Menurut Palar (2008), dampak yang ditimbulkan bagi
organisme akuatik yaitu terganggunya proses metabolisme tubuh akibat
terhalangnya kerja enzim dalam proses fisiologis. Krom dalam tubuh dapat
bersifat kronis yang akhirnya mengakibatkan kematian organisme akuatik.
Terakumulasinya krom dalam jumlah besar di tubuh manusia dapat mengganggu
kesehatan karena krom memiliki dampak negatif terhadap organ hati, ginjal serta
bersifat racun bagi protoplasma makhluk hidup. Selain itu juga berdampak
sebagai karsinogen (penyebab kanker), teratogen (menghambat pertumbuhan
janin) dan mutagen (Schiavon et al., 2008).
Yazid et al.,(2007) menambahkan bahwa krom (VI) mempunyai kelarutan
dan toksisitas tinggi yang menentukan tingkat bahayanya logam ini sebagai
pencemar di lingkungan sedangkan Fauziah (2011) menyebutkan bahwa tingkat
3
toksisitas Cr (VI) sangat tinggi sehingga bersifat racun terhadap semua
organisme untuk konsentrasi >0.05 ppm. Berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup RI Nomor 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair
bagi kegiatan industri, menyatakan bahwa ambang batas senyawa krom di
lingkungan sebesar 0.06 mg/l.
Menurut Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009, pencemaran adalah
masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain
ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan. Upaya untuk menekan pencemaran ini yaitu dengan
dilakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke perairan, salah satunya yaitu
dengan menggunakan fitoremediasi. Pengolahan limbah dengan metode ini
dianggap lebih mudah dan murah daripada metode fisika dan kimia, karena agen
yang digunakan dapat memanfaatkan langsung sumberdaya alam. Salah satu
agen fitoremediasi yang dapat diguanakan yaitu tanaman air. Menurut Subroto
(1996) dalam Hardyanti dan Rahayu (2007), fitoremediasi yaitu suatu upaya
pemanfaatan tanaman untuk menyerap atau mengkontaminasi berbagai
pencemaran di lingkungan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka diperlukan adanya suatu upaya untuk
menanggulangi limbah khususnya logam berat krom (Cr) yang mencemari
perairan. Metode pengolahan limbah yang digunakan saat ini umumnya relatif
mahal dan sulit untuk diaplikasikan sehingga diperlukan alternatif pengolahan
limbah yang dapat meminimalkan konsentrasi polutan di perairan yang ramah
lingkungan, tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan dalam jangka
panjang, biayanya murah dan mudah diaplikasikan yaitu dengan menggunakan
fitoremediasi. Oleh karena itu perlu penelitian untuk mengetahui efektivitas
perbedaan penyerapan tanaman air Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes) pada limbah cair industri penyamakan kulit.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka didapatkan rumusan masalah pada
penelitian ini yang dapat dilihat pada Gambar 1.
1
2
3
4
Gambar 1. Bagan Alir Rumusan Masalah
Keterangan :
: sebab akibat
1. Industri penyamakan kulit akan menghasilkan limbah cair yang mengandung
logam berat krom (Cr).
2. Kandungan logam krom (Cr) yang melebihi batas di suatu perairan akan
mengakibatkan menurunnya kualitas perairan tersebut.
3. Tanaman Kayu Apu (Pistia Stratiotes) dan Eceng Gondok (Eichhornia
crassipes) sebagai agen fitoremediasi logam berat krom (Cr)
Industri Penyamakan Kulit Menghasilkan limbah yang
mengandung logam berat
krom (Cr)
Tanaman Kayu Apu (Pistia Stratiotes)
dan Eceng Gondok (Eichhornia
crassipes)
Perairan tercemar dan
kualitas air menurun
Logam krom (Cr) di
perairan berkurang
5
4. Logam berat krom (Cr) di perairan dapat menurun akibat penggunaan
Tanaman Kayu Apu (Pistia Stratiotes) dan Eceng Gondok (Eichhornia
crassipes) sebagai agen fitoremediasi
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan masalah yaitu
bagaimana kemampuan Tanaman Kayu Apu (Pistia Stratiotes) dan Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes) dalam melakukan penyerapan logam berat krom
(Cr) dan memerlukan waktu berapa lama ?
1.3 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya penelitianini yaitu untuk mengetahui perbedaan
penyerapan logam berat kromium (Cr) menggunakan tanaman air Kayu apu
(Pistia stratiotes) dan Eceng gondok (Eichhornia crassipes)pada limbah cair
industri penyamakan kulit.
1.4 Kegunaan
Kegunaan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menambah wawasan
dan pengetahuan bagi mahasiswa tentang perbedaan penyerapan logam berat
kromium (Cr) menggunakan tanaman air Kayu apu (Pistia stratiotes) dan Eceng
gondok (Eichhornia crassipes) pada limbah cair industri penyamakan kulit. Hasil
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan atau bahan informasi untuk
penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan tanaman air kayu apu dan eceng
gondok dalam menyerap limbah cair kromium pada limbah cair penyamakan
kulit. Bagi masyarakat penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan
menambah wawasan tentang tanaman kayu apu dan eceng gondok yang dapat
berperan sebagai agen fitoremediasi untuk menurunkan kadar pencemar yang
ada di perairan. Kegunaan penelitian ini bagi pemerintah adalah dapat dijadikan
alternatif penanggulangan pencemaran di perairan yang mudah diaplikasikan
dan ramah lingkungan.
6
1.5 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
- H0 : Diduga tidak ada perbedaan dalam penyerapan logam berat krom (Cr)
dari penyamakan kulit antara tanaman Kayu apu (Pistia stratiotes)dan
Ecenggondok (Eichhornia crassipes)dengan perbedaan lama waktu.
- H1 :Diduga ada perbedaan dalam penyerapan logam berat krom (Cr)antara
tanaman air Kayu apu (Pistia stratiotes) dan Eceng gondok (Eichhornia
crassipes)dengan perbedaan lama waktu.
1.6 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2017 di Laboratorium Lingkungan
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Madiun sebagai tempat penempatan bak
penelitian serta pengukuran parameter kualitas air pendukung, sedangkan
penelitian kandungan logam berat krom (Cr) dilaksanakan di Sekolah Menengah
Kejuruan Kimia Negeri 3 Madiun.
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah
Menurut Abdurahman dan Aprilia (2008), secara umum limbah merupakan
hasil buangan yang tidak memiliki nilai ekonomis dari suatu proses produksi, baik
domestik maupun industri yang dapat menurunkan kualitas suatu lingkungan
sehingga pada saat-saat tertentu keberadaannya tidak diinginkan. Menurut
Wardhana (1995) dalam Maizar (2011), bahan buangan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi enam, yaitu buangan padat, cairan berminyak, organik
dan bahan makanan, panas, anorganik, serta zat kimia.
Menurut Kharisma (2015), berdasarkan komponen penyusunnya limbah
dibedakan menjadi dua, yaitu limbah organik dan limbah anorganik. Limbah
organik adalah limbah yang berasal dari bagian organisme yang mudah terurai,
sedangkan limbah anorganik merupakan limbah yang umumnya sulit dan atau
tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme sehingga membutuhkan waktu yang
sangat lama seperti plastik dan kaleng.
Menurut Setiawan (2014), berdasarkan wujudnya limbah dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Limbah padat
yaitu limbah yang berbentuk padatan, seperti kertas, plastik, kaleng, serbuk dan
lain-lain. Limbah gas adalah limbah yang hanya mampu dirasakan oleh indera
penciuman dan memanfaatkan udara sebagai medianya, biasanya limbah gas
mengandung partikel kecil yang tersuspensi dalam gas tersebut, contohnya yaitu
asap. Limbah cair yaitu limbah yang berwujud cair atau padat berupa air beserta
bahan-bahan buangan lain yang tercampur maupun terlarut dalam air tersebut.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995, limbah cair
merupakan limbah yang memiliki wujud cair, dihasilkan oleh kegiatan industri
8
yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas suatu
lingkungan.
Polutan dengan bahan organik tinggi menimbulkan efek yang sangat
kompleks, karena tidak hanya menyangkut proses deoksigenasi di perairan,
tetapi ditambah juga dengan adanya padatan tersuspensi dari bahan organik itu
sendiri, serta zat racun seperti ammonia, sulfida, dan juga sianida (Hynes, 1963).
Pengolahan limbah dimaksudkan untuk menurunkan kadar zat pencemar yang
terdapat pada limbah tersebut, sehingga nantinya aman untuk dibuang ke
lingkungan.
2.2 Logam Berat
Logam berat adalah suatu unsur yang memiliki berat atom antara 63,5
sampai 200,6 dan massa jenis lebih dari 5 g/cm3. Organisme hidup
membutuhkan manfaat dari beberapa logam berat diantaranya kobalt, tembaga,
besi, mangan, molybdenum, vanadium, strontium dan seng dalam jumlah yang
sesuai. Namun, logam berat dalam jumlah yang berlebih dapat merugikan
organisme tersebut. Logam berat non esensial di permukaan air yang perlu
mendapat perhatian khusus antara lain kadmium, kromium, merkuri, timbal,
arsen dan antimoni. Logam berat yang relatif melimpah di kerak bumi sering
digunakan dalam proses industri atau pertanian dimana logam ini beracun bagi
manusia, hal ini dapat membuat perubahan signifikan terhadap siklus biokimia
makhluk hidup (Srivastava dan Majumder, 2008).
Perkembangan industri yang sangat pesat seperti industri pelapisan logam,
pertambangan, pupuk, penyamakan, baterai, kertas dan pestisida, akan
menyebabkan semakin banyak limbah cair yang mengandung logam berat di
buang ke lingkungan terutama di negara-negara berkembang. Tidak seperti
kontaminan organik, logam berat tidak dapat diuraikan dan cenderung
9
terakumulasi di tubuh organisme mahluk hidup.Ion-ion logam berat diketahui
bersifat racun atau karsinogenik. Logam berat yang bersifat racun seperti seng,
nikel, tembaga, merkuri, kadmium, timbal dan kromium perlu mendapatkan
perhatian khusus dalam mengelola limbah cair (Fu dan Wang, 2011).
Zat kimia yang sering digunakan dalam proses penyamakan kulit salah
satunya adalah kromium sulfat (Cr2(SO4)3). Krom dipilih karena memberikan
keuntungan lebih banyak, yaitu harga murah, proses penyamakan cepat dan kulit
yang dihasilkan bermutu tinggi (Potter et al., 1994). Tetapi di lain pihak proses
penyamakan ini menghasilkan limbah industri yang berbahaya. Limbah industri
penyamakan kulit merupakan hasil samping proses mengubah kulit mentah
menjadi kulit tersamak, dapat berupa limbah padat dan limbah cair. Biasanya
limbah cair masih dapat diolah kembali atau dibuang langsung (Sharphouse,
1971). Limbah Cair yang dihasilkan dari proses penyamakan kulit ini masih
mengandung krom dalam jumlah yang cukup besar sehingga akan berbahaya
jika dibuang langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Senyawa krom (Cr) dalam
limbah cair industri penyamakan kulit berasal dari proses produksi penyamakan
kulit, dimana dalam penyamakan kulit yang menggunakan senyawa kromium
sulfat antara 60% - 70% dalam larutan krom sulfat tidak semuanya dapat
terserap oleh kulit pada saat proses penyamakan sehingga sisanya dikeluarkan
dalam bentuk cairan sebagai limbah cair. Keberadaan krom dengan konsentrasi
yang tinggi dalam limbah cair industri penyamakan kulit tentunya dapat
menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan (Wahyuningtyas, 2001).
2.3 Pencemaran Logam Berat di Perairan
Pencemaran air di sungai banyak disebabkan oleh bahan-bahan anorganik
seperti logam berat yang berbahaya. Beberapa logam berat yang sering
mencemari lingkungan perairan diantaranya merkuri (Hg), timbal (Pb), tembaga
10
(Cu), kadmium (Cd), arsenik (Ar), kromium (Cr), Nikel (Ni) dan besi (Fe). Jika
tidak ditanggulangi dengan benar, logam berat dapat mengakibatkan dampak
terhadap makhluk hidup seperti penyakit minamata, bibir sumbing, kerusakan
susunan saraf, cacat pada bayi, karsinogenitas dan terganggunya fungsi
imun.Logam berat dapat meracuni makhluk hidup apabila terakumulasi dalam
jangka waktu yang lama. Beberapa logam berat diperlukan untuk pertumbuhan
pada tanaman namun apabila jumlahnya berlebih akan menjadi racun dan
berdampak buruk bagi makhluk hidup (Sekarwati et al., 2015).
Akibat yang ditimbulkan dari pencemaran adalah terganggunya aktivitas
kehidupan makhluk hidup, terlebih apabila organisme tersebut tidak mampu
mendegradasi bahan pencemar tersebut sehingga terakumulasi dalam tubuhnya.
Peristiwa tersebut mengakibatkan terjadinya biomagnifikasi dari suatu
mikroorganisme ke organisme lain yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi
(Sudarwin, 2008).
Faktor yang menyebabkan logam berat dikelompokkan ke dalam zat
pencemar yang toksik adalah 1) logam berat tidak dapat terurai melalui
biodegradasi seperti pencemar organik, 2) logam berat dapat terakumulasi dalam
lingkungan terutama dalam sedimen sungai dan laut karena dapat terikat dengan
senyawa organik dan anorganik, melalui proses adsorpsi dan pembentukan
senyawa kompleks (Tarigan et al., 2003).
2.4 Krom (Cr)
Krom banyak digunakan oleh bidang perindustrian. Kegunaan umum yang
dikenal dari senyawa-senyawa kromat dan dikromat ini adalah dalam bidang-
bidang seperti tekstil, penyamakan, pencelupan, fotografi, zat warna dan masih
banyak lagi kegunaan lainnya. Dalam badan perairan krom dapat masuk melalui
dua cara, yaitu secara alamiah dan non alamiah. Masuknya krom secara alamiah
11
dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor fisika seperti erosi (pengikisan)
yang terjadi pada batuan mineral. Disamping itu debu-debu dan partikel-partikel
krom yang di udara akan dibawa oleh air hujan. Masukan krom yang terjadi
secara non alamiah merupakan dampak atau efek dari aktivitas yang dilakukan
manusia. Sumber-sumber krom yang berkaitan dengan aktivitas manusia dapat
berupa limbah atau buangan industri sampai buangan rumah tangga.
Suatu perairan dapat terjadi macam-macam proses kimia, mulai dari proses
pengomplekskan sampai pada reaksi redoks. Proses kimia tersebut juga terjadi
pada logam krom yang ada di perairan. Proses kimia seperti pengompleksan dan
sistem reaksi redoks, dapat mengakibatkan terjadinya pengendapan atau
sedimentasi logam krom di dasar perairan. Proses-proses kimiawi yang
berlangsung dalam badan perairan juga dapat mengakibatkan terjadinya
peristiwa reaksi senyawa-senyawa krom (VI) yang sangat beracun menjadi krom
(III) yang kurang beracun. Peristiwa reduksi yang terjadi atas senyawa krom (VI)
dan krom (III), dapat berlangsung bila badan perairan berada dan atau
mempunyai lingkungan yang bersifat asam. Untuk perairan yang berlingkungan
basa, ion-ion krom (III) akan diendapkan di dasar perairan (Palar, 2004).
Daya racun yang dimiliki oleh logam krom di tentukan oleh valensi ion-nya.
Ion krom (VI) merupakan bentuk logam krom yang paling sering dipelajari sifat
racunnya, bila dibandingkan dengan ion-ion krom (II) dan krom (III). Sifat racun
yang dibawa oleh logam ini juga dapat mengakibatkan terjadinya keracunan akut
dan keracunan kronis. Keracunan akut dapat mengakibatkan kanker pada alat
percernaan, iritasi mata dan kulit, kanker, paru-paru, pembengkakan dan
kemerahan pada kulit. Keracunan kronis akibat terpapar krom antara lain dapat
menyebabkan gangguan pada hati, ginjal, alat pencernaan dan sistem imunitas
(Widowati et al., 2008).
12
Pembuangan limbah industri yang mengandung logam berat krom ke
perairan akan meningkatkan konsentrasi krom dalam perairan dan dapat
mencemari air tanah. Cr6+ merupakan bentuk krom paling mudah larut dalam air,
sedangkan Cr3+ kelarutannya rendah dan cenderung teradsorpsi pada partikel
padat dengan kisaran pH yang sesuai. Logam berat krom yang masuk ke dalam
tubuh ikan akan masuk dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Interaksi
yang terjadi antara logam berat krom dengan unsur biologi tubuh dapat
menyebabkan terganggunya proses metabolisme, hal ini dikarenakan krom yang
masuk ke dalam sel akan terlarut dalam darah dan mempengaruhi kerja enzim
(Palar, 2004 dalam Nurkhasanah, 2015). Krom melewati membran sel melalui
empat mekanisme yaitu difusi pasif lewat membran, filtrasi lewat pori-pori
membran, transport dengan perantara carrier, dan pencaplokan oleh sel
(pinositosis) (Lu, 1995 dalam Nurkhasanah, 2015). Cr6+ yang masuk melalui
insang akan menembus membran sel epitel insang, masuk ke dalam kapiler
darah, kemudian dibawa oleh cairan darah menuju organ tertentu (seperti hati
dan ginjal). Pada daerah yang berdekatan dengan organ tertentu (seperti hati
dan ginjal) tersebut, logam Cr6+ akan menembus endhothelium darah sehingga
logam Cr6+ akan masuk ke dalam organ tersebut. Pada organ tertentu (Seperti
hati dan ginjal) logam Cr6+ akan difiksasi oleh protein yang berperan sebagai
enzim, sehingga akan menghambat kerja enzim tersebut, dan pada akhirnya
akan mengganggu metabolisme sel (Connel dan Miller, 1995 dalam
Nurkhasanah, 2015).
Logam krom (Cr) merupakan salah satu logam berat non essensial yang
keberadaannya di lingkungan akan mempengaruhi organisme hidup seperti
tanaman. Tanaman memiliki kemampuan mengakumulasi logam non essensial
termasuk krom. Logam berat non essensial yang diserap oleh tanaman tidak
dapat didegradasi dan apabila melebihi ambang batas atau status optimalnya
13
maka akan menyebabkan toksisitas secara langsung melalui pergantian unsur-
unsur hara essensial pada tanaman (Hossner et al., 1998).
2.4.1 Sifat-Sifat Krom
Krom mempunyai konfigurasi electron 1s2, 2s2, 2p6, 3s2, 3p6, 4s2, dan 3d4,
sangat keras, mempunyai titik leleh dan didih tinggi diatas titik leleh dan titik didih
unsur-unsur transisi deretan pertama lainnya. Bilangan oksidasi yang terpenting
adalah +2, +3, dan +6, disebut terpenting karena reaksi dan senyawa krom yang
sering ditemukan hanya menyangkut krom dengan bilangan oksidasi +2, +3, dan
+6. Bilangan oskidasi tersebut adalah bilangan yang menyatakan sifat muatan
spesi tersebut ketika terbentuk dari atom-atomnya yang netral. Jika di dalam
keadaan murni melarut dengan lambat sekali dalam asam encer membentuk
garam krom (II).
1) Kromium (+2)
Logam kromium biasanya melarut dalam asam klorida atau asam sulfat
yang membentuk larutan larutan (Cr(H2O6)2+ dengan warna larutan biru langit. Di
dalam larutan air ion Cr2+ merupakan reduktor yang kuat dan mudah dioksidasi
di udara menjadi senyawa Cr3+. Ion Cr2+ dapat juga bereaksi dengan H+ dan
dengan air jika terdapat katalis berupa serbuk logam.
2) Kromium (+3)
Senyawa kromium 3+ adalah ion yang paling stabil diantara kation logam
transisi yang mempunyai bilangan oksidasi +3. Kompleks Cr3+ umumnya
berwarna hijau dan dapat berupa kompleks anion atau karbon. Larutan yang
mengandung Cr3+ (Cr(H2O)6) berwarna ungu, apabila dipanaskan menjadi hijau.
3) Kromium (+6)
Krom (VI) oksida (CrO3) bersifat asam sehingga dapat bereaksi dengan
basa membentuk kromat. Jika larutan ion kromat diasamkan akan dihasilkan ion
14
dikromat yang berwarna jingga. Dalam larutan asam, ion kromat atau ion
dikromat adalah oksidator kuat. Sesuai dengan tingkat valensi yang dimilikinya
ion-ion krom yang telah membentuk senyawa mempunyai sifat yang berbeda-
beda sesuai dengan tingkat ionitasnya. Senyawa yang terbentuk dari ion Cr2+
akan bersifat basa, ion Cr3+ bersifat ampoter, dan senyawa yang terbentuk dari
ion Cr6+ bersifat asam.
Cr3+ dapat mengendap dalam bentuk hidroksida. Krom hidroksida ini tidak
larut, kondisi optimal Cr3+ dicapai dalam air dengan pH antara 8,5 – 9,5. Krom
hidroksida ini melarut akan lebih tinggi apabila kondisi pH rendah atau asam. Cr6+
sulit mengendap, sehingga dalam penangannya memerlukan zat pereduksi untuk
mereduksi menjadi Cr3+. Senyawa krom umumnya dapat berbentuk padatan
(Kristal CrO3, Cr2O3) larutan dan gas (uap dikromat). Krom dalam larutan
biasanya berbentuk trivalent (Cr3+) dan ion heksavalen (Cr6+). Dalam larutan yang
bersifat basa dengan pH 8 sampai 10 terjadi pengendapan Cr dalam bentuk
Cr(OH)3. Sebenarnya krom dalam bentuk ion trivalent tidak begitu berbahaya
dibandingkan dengan bentuk heksavalen, akan tetapi apabila bertemu dengan
oksidator dan kondisinya memungkinkan untuk Cr3+ tersebut akan berubah
menjadi sama bahayanya dengan Cr6+.
2.4.2 Reaksi-reaksi dan Bentuk Yang Terjadi Pada Krom
1. Reaksi Krom dengan Udara
Logam krom tidak bereaksi dengan udara atau oksigen pada suhu kamar.
2. Reaksi Krom dengan Air
Logam krom tidak bereaksi dengan air pada suhu kamar.
15
3. Reaksi Krom dengan Halogen
a. Fluorida
Krom bereaksi langsung dengan fluorin, F2, pada suhu kamar 400°C, dan
200 – 300 atmosfer untuk membentuk krom (VI) fluoride, CrF6-
Cr (s) + 3F2 (g) CrF6 (s)
Di bawah kondisi ringan, krom (V) bereaksi dengan fluoride, membentuk
CRF5.
2Cr (s) + 5F2 (g) 2CrF5 (s) [merah]
2Cr (s) + 3F2 (g) 2CrF3 (s) [hijau]
Selain membentuk krom heksaflorida, CrF6+, krom trifluorida, membentuk
CrF3 dan krom pentaflorida, CrF5, reaksi krom dengan fluoride juga dapat
membentuk krom difluorida, CrF2 dan krom tetrafluorida, CrF4+.
b. Klorida
Di bawah kondisi yang masih ringan, logam krom dapat bereaksi dengan
unsur klorin, Cl2 membentuk CrCl3.
2Cr (s) + 3Cl2 (g) 2CrCl3 (s) [merahviolet]
Selain membentuk krom triklorida, CrCl3, reaksi krom dengan klorida juga
dapat membentuk krom diklorida, CrCl2 dan krom tetraklorida, CrCl4.
c. Bromida
Di bawah kondisi yang masih ringan, logam krom dapat bereaksi dengan
unsur bromide, Br2 membentuk CrBr3.
2Cr (s) + 3Br2 (g) 2CrBr3 (s) [sangat hijau]
Selain membentuk krom tribromida, CrBr3, reaksi krom dengan bromide juga
dapat membentuk krom dibromida, CrCl2 dan krom tetrabromida CrCl4.
d. Lodida
Di bawah kondisi yang masih ringan, logam krom dapat bereaksi dengan
unsure iodide I2 membentuk CrI3.
16
2Cr (s) + 3I2 (g) 2CrI3 (s) [hijau gelap]
Selain membentuk krom triiodida, CrI3, reaksi krom dengan iodide juga
dapat membentuk krom diiodida, CrI2 dan krom tetraiodida, CrI4.
4. Reaksi Krom dengan Asam
Logam krom larut dalam asam klorida encer membentuk larutan Cr (II)
serta gas hydrogen, H2. Dalam keadaan tertentu, Cr(II) hadir sebagai ion
kompleks [Cr(OH2)6]2+. Hasil yang sama terlihat untuk asam sulfat, tetapi krom
murni tahan terhadap serangan. Logam krom tidak bereaksi dengan asam nitrat,
HNO3. Contoh reaksi krom dengan asam klorida :
Cr (s) + 2HCl (aq) Cr2+ (aq) + 2Cl- (aq) + H2 (g)
5. Oksida
Reaksi krom dengan oksida dapat membentuk beberapa senyawa,
diantaranya: krom dioksida CrO2, Krom trioksida CrO3, Dikrom trioksida Cr2O3
dan Trikrom Tetraoksida Cr3O4.
6. Sulfida
Reaksi krom dengan sulfide dapat membentuk beberapa senyawa
diantaranya : krom sulfide CrS dan krom trisulfida Cr2S3.
7. Nitrida
Reaksi krom dengan nitride dapat membentuk senyawa krom nitride, CrN.
8. Karbonil
Reaksi krom dengan karbonil dapat membentuk senyawa krom
heksakarbonil Cr(CO)6. Krom juga dapat bereaksi dengan unsure tertentu
membentuk senyawa kompleks, misalnya reaksi krom dengan kompleks nitrat
membentuk nitrat hexaaquakrom trihidrat [Cr(NO3)3. 9H2O].
17
2.4.3 Kegunaan Krom Dalam Industri
Menurut Darmono (1995) penggunaan logam krom dalam industri antara
lain:
1. Logam krom (Cr) digunakan sebagai pelapis baja atau logam. Krom
merupakan bahan paduan baja yang menyebabkan baja bersifat kuat dan
keras.
2. Krom (Cr) digunakan dalam industri penyamakan kulit. Senyawa Cr(OH)SO4
bereaksi dengan kolagen menjadikan kulit bersifat liat, lentur dan tahan
terhadap kerusakan biologis.
3. Logam krom (Cr) dimanfaatkan sebagai bahan pelapis (platting) pada
bermacam-macam peralatan, mulai dari peralatan rumah tangga sampai
peralatan mobil. Bahan paduan steinless steel (campuran Cr dengan Ni)
digunakan pada industry pembuatan alat dapur.
4. Senyawa CrO3 yang berwarna coklat gelap, bersifat konduktor listrik yang
tinggi dan bersifat magnetic, digunakan pada pita rekaman.
5. Senyawa Na2CrO7 sebagai oksidan dalam industri kimia.
6. Persenyawaan krom (senyawa-senyawa kromat dan dikromat) dimanfaatkan
dalam industri tekstil untuk pencelupan dan zat warna.
2.5 Karakteristik dan Sumber Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit
2.5.1 Industri Penyamakan Kulit
Menurut Marcellina (2012) kulit adalah salah satu material tertua yang
dikenal manusia. Kulit yang dipakai adalah kulit hewan. Sejak dahulu, manusia
telah berusaha mengolah material kulit hewan menjadi barang-barang jadi yang
dapat membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti pakaian, alas
kaki, wadah minuman dan sebagainya. Material kulit sendiri memiliki karakter
yang unik dan khas dimana strukturnya sangat kuat namun fleksibel dan dengan
18
proses yang tepat akan menghasilkan kulit yang tidak mudah membusuk.
Struktur kulit terdiri dari jaringan-jaringan pengikat yang tersusun atas tiga
lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hypodermis. Ketiga lapisan tersebut akan
diolah melalui proses penyamakan sehingga menghasilkan tekstur kulit yang
beragam. Sedangkan Giacinta et al., (2012) menjelaskan bahwa proses
penyamakan kulit adalah proses pengawetan terhadap kulit binatang dengan
menggunakan bahan kimia sebagai pembantu proses. Menurut Harmami et al.,
(2014) penyamakan pada kulit ini bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang
mudah rusak karena aktivitas mikroorganisme proses kimia maupun fisika
menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap faktor-faktor perusak tersebut.
Industri penyamakan kulit merupakan agroindustri yang mengolah kulit
mentah menjadi kulit jadi melalui serangkaian pengerjaan sehingga kulit yang
semula labil terhadap pengaruh kimiawi, fisik dan hayati menjadi stabil dan tahan
lama (Fahidin dan Muslich, 1999). Menurut Ulfin et al., (2014), industri
penyamakan kulit merupakan salah satu industri rumah tangga yang sering
dipermasalahkan karena limbahnya yang berpotensi mencemari lingkungan yang
ada di sekitarnya baik melalui air, tanah dan udara. Karena merupakan industri
rumah tangga, maka dalam proses pengolahannya belum mengutamakan faktor
kelestarian lingkungan dan kesehatan kerja para karyawan kurang mendapat
perhatian.
2.5.2 Proses Penyamakan Kulit
Proses penyamakan kulit meliputi tiga tahap, yaitu prapenyamakan,
penyamakan kulit, dan penyelesaian. Tahap prapenyemakan kulit bertujuan
memisahkan lapisan kolagen dari kulit. Tahap ini meliputi proses perendaman,
pengapuran, pembuangan bulu dan bekas daging, penghilangan kapur, dan
pencucian. Limbah proses ini berupa sisa kulit, daging dan bulu yang dapat
19
dimanfaatkan sebagai pupuk palawija dan pakan ternak. Selanjutnya tahap
penyamakan kulit adalah proses antara krom (III) sulfat (Cr2(SO4)3) dan lapisan
kolagen kulit sampai dihasilkan produk kulit. Tahap akhir adalah penyelesaian
yang meliputi proses pencucian, pengeringan, pewarnaan dan pemotongan
sampai kulit siap jual (Wahyuadi, 2004).
Menurut Santhosi (2015), terdapat tiga tahapan pokok dalam industri
penyamakan kulit, yaitu :
a. Pretanning atau pengerjaan basah (beam-house), yang bertujuan untuk
mengawetkan kulit mentah agar dapat bertahan hingga penyamakan
sesungguhnya dilakukan. Kegiatan ini dinamakan pengerjaan basah yang
meliputi proses perendaman (soaking), pengapuran (liming), pembuangan
kapur (deliming), baitsen (bating) dan pengasaman (pickling).
b. Penyamakan (tanning), kulit pickle direndam pada bahan penyamak, yang
proses penyamakannya terdiri dari penyamakan nabati, penyamakan krom,
penyamakan kombinasi dan penyamakan sintesis. Tahapan proses
penyamakan disesuaikan dengan jenis kulit. Kulit terbagi atas 2 golongan
yaitu hide (untuk kulit dari binatang besar seperti sapi, kerbau, kuda dan lain-
lain) dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dan lain-lain). Jenis zat
penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh.
Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau kemerahan,
bersifat agak kaku tapi empuk, kurang tahan terhadap panas. Penyamak
mineral paling umum menggunakan krom, penyamakan krom menghasilkan
kulit yang lembut/lemas dan lebih tahan terhadap panas.
c. Penyelesaian akhir (finishing), prosesnya terdiri dari pengawetan (shaving),
pemucatan (bleaching), penetralan (neutralizing), pengecatan dasar,
peminyakan (fat liquoring), penggemukan (oilling), pengeringan, pelembaban
dan perenggangan.
20
2.5.3 Diagram Alir Proses Penyamakan Kulit
Diagram alir proses penyamakan kulit dapat dilihat pada Gambar 2.
INPUT UNIT PROSES OUTPUT
Penggaraman Kulit
Bakterisida, abu, soda air
Perendaman Limbah Cair : garam,
kotoran
Penghilangan bulu, pemrosesan dengan kapur
Pencukuran, penghilangan daging & pemisahan
Penghilangan kapur & bating
Pengawetan
Persediaan yang diawetkan
Penyamakan krom
Pressing
Pencukuran
Penyamakan sekunder, pewarnaan, fatillquoring
Pengeringan, pencukuran & pensortiran
Finishing
PRODUK KULIT
Kapur, Na2S, air
Asam laktat, bats, NH4Cl, air
Garam, asam sulfur, air
Krom sulfat, garam, syntan, sodium format,
abu soda, bacterisit
Ekstrak penyamakan, syntan, kalsiu format, tepung, lem, titanium dioksida, minyak, air
Pelapisan permukaan
Lb cair : garam, asam Lb padat : bulu, serpihan
kulit Lb gas : H2S
Lb padat : sisa cukuran daging
Lb cair : asam, ammonium Lb. gas : amonia
Lb. cair : asam, garam
Lb. padat : serpihan, bahan pengawet
Lb. cair : mengandung Cr
3+, garam,syntan,
bacterisit, Na format
Lb padat : mengandung Cr
3+
Lb. cair : mengandung Cr
3+, garam,syntan,
bacterisit, Na format
Lb. cair : mengandung Cr
3+, ekstrak penyamakan,
syntan, pewarna, gemuk
Lb padat : Sisa pencukuran mengandung
krom
Lb. gas : uap larutan
21
2.5.4 Sumber Limbah Cair Penyamakan Kulit
Menurut Nurwati (2009) hampir pada setiap proses penyamakan kulit yang
dimulai dari perendaman kulit mentah (soaking) sampai tahap finishing
menghasilkan limbah cair yang cukup banyak. Menurut Santi (2004) bahwa
limbah cair pabrik penyamakan kulit berasal dari larutan yang digunakan unit
pemprosesan itu sendiri yaitu perendaman air, penghilangan bulu, pemberian
bubur kapur, perendaman ammonia, pengasaman, penyamakan, pemucatan,
pemberian warna coklat, dan pewarnaan dari bekas cuci, tetesan serta
tumpahan. Penghilangan bulu dengan kapur dan sulfida biasanya merupakan
penyumbang utama beban pencemaran dalam pabrik penyamakan. Limbah
dengan BOD dan PTT tinggi berasal dari cairan bekas perendaman, cairan kapur
bekas dan cairan penyamakan nabati. Cairan samak krom mengandung krom-
trivalen kadar tinggi. Perendaman amonia meninggalkan banyak campuran
nitrogen-amonia dan sedikit bahan organik. Limbah cair dari operasi
penghilangan bulu mengandung bulu dan sulfida.
Mustaniroh et al., (2009) menyebutkan bahwa industri penyamakan kulit
sebagian besar menggunakan proses chrome tanning yang menghasilkan limbah
cair yang mengandung krom. Chrome tanning merupakan proses penyamakan
kulit menggunakan krom yang mengandung atom-atom krom valensi 3+ (Cr3+)
agar diperoleh kulit dengan kualitas yang baik. Limbah cair maupun lumpurnya
yang mengandung krom trivalent dapat membahayakan lingkungan termasuk
dalam kategori limbah bahan beracun dan berbahaya (limbah B3). Selain itu,
menurut Ratnasari (2013), nitrogen dalam limbah penyamakan kulit dihasilkan
dari proses pengasaman serta dari protein yang terkandung dalam kulit, sulfida
diperoleh akibat penggunaan sodium sulfida dan sodium hidrosulfida, minyak dan
lemak diperoleh dari struktur alami kulit dan klorida dalam limbah diperoleh dari
penggunaan sodium klorida.
22
2.5.5 Karakteristik Limbah Cair Penyamakan Kulit
Limbah penyamakan kulit mengandung krom (III) dan krom (VI) yang
sangat beracun. Limbah krom (VI) bersifat lebih toksik daripada krom (III). Krom
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit, di luar tubuh dapat menyebabkan iritasi kulit dan
mata, dan di dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan
karena logam krom sangat sulit diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Krom
(VI) mudah menembus membran sel dan akan terjadi reduksi didalamya.
Mengingat bahaya dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh industri
penyamakan kulit khususnya logam berat krom, maka pihak industri diharuskan
untuk mengolah limbahnya terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Nilai
baku mutu limbah krom total menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no.
51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri adalah
0.5-1 mg/L (Giacinta et al., 2012). Limbah cair ini mengandung total padatan,
padatan tersuspensi, garam sulfida, COD, BOD dan logam krom sehingga
memerlukan penanganan secara tepat agar tidak menganggu lingkungan
(Hartanto et al., 2002).
Menurut Yazid et al., (2007) menambahkan bahwa karakteristik limbah cair
yang ditimbulkan jenis industri pada umumnya berwarna keruh dan berbau tidak
sedap, karena umumnya masih terkandung sisa-sisa daging serta darah, bubur
kapur, bulu halus, protein terlarut, sisa garam, asam, sisa cat dan zat samak
krom sedangkan Hendartono (2003) menyebutkan bahwa bahan organik krom
dari limbah cair industri penyamakan kulit merupakan sumber pencemar yang
dapat menurunkan kualitas air sungai. Muchlas (2012) menyatakan bahwa krom
yang biasa digunakan untuk penyamak adalah bentuk krom sulfat basa. Basisitas
dari garam krom dalam larutan menunjukkan berapa banyak total valensi kom
diikat oleh hidroksil sangat penting dalam penyamakan kulit.
23
2.6 Dampak Limbah Cair Penyamakan Kulit
Menurut Priyadi et al., (2007), industri penyamakan kulit merupakan salah
satu contoh industri yang berbahaya karena menghasilkan sejumlah limbah, baik
berupa padatan maupun cairan yang keduanya menimbulkan dampak
pencemaran bagi lingkungan. Industri penyamakan kulit menggunakan bahan
kimia yang sifatnya berbahaya dan beracun di hampir setiap tahapan proses
penyamakan, terutama pada tahapan pra-tranning dan tranning. Bahan-bahan
kimia yang digunakan hanya berkisar 70% saja yang terkait pada kulit sedangkan
sisanya terdapat dalam bentuk limbah cair maupun limbah padat. Bahan-bahan
kimia yang merupakan hasil buangan proses tersebut sangat berpotensi untuk
mencemari lingkungan karena sifatnya yang sangat kompleks dan sulit untuk
ditangani. Di samping itu limbah yang dihasilkan selama proses pra-tranning dan
pasca tranning baik sebagai limbah fieshing, triming, spliting, shaving dan buffing
maupun hasil hidrolisis selama proses pra-tranning dapat mengalami proses
pembusukan serta dapat menimbulkan gas dan bau yang sangat menyengat
(Said, 2010).
Menurut Asmadi e al., (2009) senyawa kromium (Cr) dalam imbah cair
industri penyamakan kulit berasal dari proses produksi penyamakan kulit, dimana
dalam penyamakan kulit yang menggunakan senyawa kromium sulfat antara 60-
70% dalam bentuk larutan krom sulfat tidak semuanya dapat terserap oleh kulit
pada proses penyamakan sehingga sisanya dikeluarkan dalam bentuk cairan
sebagai limbah. Akumulasi krom (Cr) dalam tubuh manusia dapat mengakibatkan
kerusakan dalam sistem organ tubuh. Efek toksisitas krom dapat merusak serta
mengiritasi hidung, paru-paru, lambung dan usus.Mengonsumsi makanan
berbahan krom dalam jumlah yang sangat besar, menyebabkan gangguan perut,
bisul, kejang, ginjal, kerusakan hati, dan bahkan kematian (Palar, 1994).
Akumulasi logam berat krom dapat menyebabkan kerusakan terhadap organ
24
respirasi dan dapat juga menyebabkan timbulnya kanker pada manusia
(Suprapti, 2008).
2.7 Fitoremediasi
Fitoremediasi berasal dari bahasa Yunani kuno yang memiliki arti
pengobatan masalah lingkungan melalui penggunaan tanaman sehingga dapat
mengurangi masalah lingkungan tanpa perlu menggali bahan kontaminan dan
membuangnya di tempat lain. Teknik reklamasi dengan fitoremediasi mengalami
perkembangan yang cukup pesat karena terbukti lebih murah dibandingkan
dengan metode lainnya. Semua tanaman mampu menyerap logam dalam
jumlahyang bervariasi, tetapi beberapa tanaman mampu mengakumulasi unsur
logam tertentu dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Rondonuwu, 2014).
Fitoremediasi merupakan salah satu metode remediasi dengan
mengandalkan peranan tanaman untuk menyerap, mendegradasi,
mentransformasi dan mengimbolisasi bahan pencemar logam berat. Tanaman
mempunyai kemampuan mengakumulasi logam berat yang bersifat esensial
untuk pertumbuhan dan perkembangan. Keberhasilan fitoremediasi dengan
menggunakan tanaman hiperakumulator sangat cocok digunakan dalam
menurunkan kadar pencemar sampai memenuhi kriteria yang disyaratkan
(Hardani, 2009).
Teknik pengolahan limbah menggunakan tanaman dikenal dengan istilah
fitoremediasi. Fitoremediasi adalah penggunaan tanaman termasuk pohon-
pohonan, rumput-rumputan dan tanaman air, untuk menghilangkan atau
memecah bahan-bahan berbahaya Baik organik maupun anorganik dari
lingkungan. Kemampuan tanaman air tersebut dalam mengabsorbsi logam dari
air melalui akarnya dikenal dengan istilah rhizofiltrasi. Tanaman air memiliki
potensi untuk menyerap logam berat dari air, sehingga kemungkinan dapat
25
digunakan untuk pengolahan limbah yang mengandung logam berat yang sangat
besar (Suryati dan Priyanto, 2003).
Menurut EPA (2000) dalam Indah et al., (2014), fitoremediasi yaitu suatu
teknologi yang memanfaatkan tanaman untuk menurunkan, mengekstrak, atau
menghilangkan suatu bahan atau kontaminan di tanah maupun perairan. Yapaga
et al.,(2013), menambahkan bahwa tanaman air berpotensi sebagai bahan
penyerap polutan yang relatif murah pada lingkungan akuatik, dimana metode
fisika dan kimia relatif membutuhkan dana yang besar dibanding dengan
menggunakan tanaman air. Penyerapan polutan oleh tanaman adalah salah satu
jalan keluar untuk mengurangi kontaminasi di perairan.
Tanaman air dapat menyerap senyawa terlarut ke dalam badan tanaman
(Lusianty dan Soerjani, 1974 dalam Hermawati et al., 2005). Kolam yang
menggunakan tanaman air untuk pengolahan limbah cair, terjadi proses
penyaringan dan penyerapan oleh akar maupun batang, proses pertukaran dan
penyerapan ion, serta tanaman air berperan menstabilkan kondisi air dari
pengaruh eksternal (Reed, 2005 dalam Yusuf, 2008). Tanaman air yang dapat
dijadikan sebagai fitoremediator diantaranya yaitu kayu apu, genjer, kiambing,
kangkung air, Azolla pinnata, serta eceng gondok (Rukmi et al., 2013).
Menurut Dhir (2013), fitoremediasi dapat mengatasi masalah kontaminan di
lingkungan, dengan mekanisme penyerapan meliputi proses berikut:
a. Phytoextraction adalah akar tanaman menyerap dan mentranslokasi
kontaminan ke bagian atas tanaman, seperti cabang dan daun.
b. Phytostabillization adalah Kontaminan akan dimobilisasi atau dipindahkan
bersama mobilisasi air ke dalam jaringan-jaringan tanaman, dengan terlebih
dahulu terjadi penurunan kelarutan kontaminan.
c. Rhizofiltration (Phytofiltration) adalah Pemecahan kontaminan di air oleh
akar tanaman.
26
d. Phytovolatilization adalah Tanaman melalui daun akan menguapkan
kontaminan bersama dengan air ke atmosfer.
e. Phytodegradation (Phytotransformation) adalah Polutan yang telah diserap
kemudian akan didegradasi melalui metabolisme tanaman secara enzimatik.
2.8 Mekanisme Masuknya Logam Berat Krom (Cr) pada Tanaman
Menurut Moenir (2010), secara umum mekanisme penyerapan logam berat
oleh tanaman berlangsung secara aktif (active uptake) dan pasif (passive uptake).
Penjelasan mekanisme penyerapan logam berat oleh tanaman adalah sebagai
berikut:
1) Penyerapan logam berat secara aktif oleh tanaman meliputi 3 proses yaitu :
- Penyerapan logam berat oleh akar
- Translokasi logam dari akar ke bagian-bagian tanaman yang lain
- Lokalisasi atau akumulasi logam berat pada bagian sel tertentu untuk
menjaga agar logam berat tidak menghambat metabolism tanaman
Proses ini tergantung pada energy yang terkandung sensitivitasnya terhadap
pH, suhu, kekuatan ikonik dan cahaya (Suhendrayatna, 2001).Penyerapan logam
berat oleh akar tanaman dapat terjadi apabila logam berat masuk kedalam
rizosfer, terdapat beberapa faktor tergantung pada jenis tanamannya. Faktor yang
mempengaruhi masuknya logam berat ke dalam rizosfer antara lain faktor pH,
pembentukan reduktase spesifik logam dan ekskresi zat khelat (pengikat).
2) Penyerapan logam berat seraca pasif oleh tanaman atau biosorpsi. Proses
ini terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dan proses pengikatan
ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
- Pertukaran ion dimana ion monokovalen dan divalent seperti ion Na, Mg
dan Ca pada dinding sel digantikan ion logam berat
27
- Formasi kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional
seperti karboksil, thiol, fosfat, hidroksi yang berada di dinding sel
Menurut Irhamni et al. (2017), logam yang dapat larut dapat masuk ke dalam
akar symplast dengan melewati membran plasma dari sel-sel akar endodermal
atau logam dapat masuk ke dalam apoplast (jaringan jarak antar sel-sel tanaman)
melalui jarak antar sel. Jika logam ditranslokasikan ke jaringan aerial (antena),
kemudian harus masuk ke dalam xylem untuk masuk ke dalam xylem, solute (zat
yang tidak diurai dalam zat yang lain) harus melewati casparian, suatu lapisan lilin
yang tidak dapat ditembus menjadi solute, kecuali melewati sel-sel endodermis
yang kemungkinan melalui tindakan pemompaan membran atau saluran. Sesuatu
yang bermuatan masuk ke dalam xylem, arus getah xylem akan membawa logam
menuju daun, yang mana harus bermuatan masuk ke dalam sel-sel daun, dengan
melewati sebuah membran. Dalam tunas atau jaringan daun, logam dapat
disimpan dalam berbagai jenis sel, tergantung pada spesies dan bentuk logam,
karena ini dapat diubah ke dalam bentuk toksik (untuk tanaman) melalui konversi
kimia atau kompleksasi. Logam dapat dipisahkan dalam beberapa bagian sub sel
(dinding sel, sitosol, vakuola) atau volatilisasi melalui stomata.
2.9 Tanaman Air
Tanaman air adalah tanaman yang memiliki habitat yaitu di air. Syarat
mutlak pertumbuhan tanaman air yaitu lingkungan yang memiliki kelembapan
tinggi (Lestari dan Kencana, 2015). Dulu tidak banyak yang berpikir bahwa
tanaman air yang banyak tumbuh diperairan seperti rawa, sungai, maupun danau
mempunyai fungsi sebagai pembersih air yang tercemar polutan. Perhatian pada
potensi tanaman air untuk menyerap limbah mulai banyak diberikan oleh para
peneliti pada tahun 1970-an, baik untuk menyerap limbah industri maupun limbah
rumah tangga (Tjokrokusumo dan Sahwan, 2003).
28
Menurut Gopal (1987) dalam Suardana (2001), saat ini tanaman air mulai
banyak digunakan untuk memperbaiki mutu air limbah karena kemampuannya
dalam menyerap kandungan zat dalam air langsung melalui akar atau
keseluruhan permukaan tanaman melebihi keperluan untuk pertumbuhannya.
Menurut Indah et al., (2014), tanaman air berperan besar sebagai penyerap
partikel dan mineral di perairan, kemudian sebagai aerator melalui proses
fotosintesis, mengatur aliran air, serta membersihkan air yang tercemar.
Menurut Dhir (2013), tanaman memiliki mekanisme yang sangat spesifik
dan efisien untuk memperoleh mikronutrien penting dari lingkungan. Penyerapan
dan penghilangan kontaminan bervariasi untuk setiap jenis tanaman air (free-
foating, submerged, emerged). Cara penyerapan oleh tanaman juga berbeda
untuk kontaminan organik dan anorganik. Penyerapan senyawa anorganik
(bentuk ionik atau kompleks) melalui mekanisme penyerapan aktif atau pasif di
dalam tanaman, sedangkan penyerapan senyawa organik umumnya diatur oleh
hidrofobik dan polaritas. Penyerapan polutan oleh akar tanaman berbeda pula
untuk senyawa organik dan anorganik. Serapan kontaminan anorganik difasilitasi
oleh membran transporter, sementara penyerapan kontaminan organik didorong
oleh difusi sederhana berdasarkan sifat fisika kimia mereka. Kontaminan yang
telah diasimilasi dan diserap, kemudian diubah dan didetoksifikasi oleh berbagai
reaksi biokimia di dalam sistem tanaman dengan menggunakan mekanisme
enzimatik.
Tanaman air dapat dikelompokkan berdasarkan kebiasaan tumbuhnya,
yaitu free-floating plant atau tanaman mengambang, submerged plant, dan
emergent plant. Floating plant atau tanaman mengambang merupakan tanaman
yang memiliki daun mengapung pada permukaan air dengan akarnya di bawah
daun dan menggantung bebas di dalam air namun tidak sampai ke dasar
substrat (Dhir, 2013). Beberapa contoh dari tanaman ini yaitu dari genus Lemna,
29
Eichhornia, Pistia, Salvina, Azolla, dan Spirodela. Tanaman ini memiliki potensi
untuk mendegradasi kontaminan dari suatu limbah cair. Prasad et al. (2006),
menambahkan bahwa free-floating plant dapat digunakan dalam menghilangkan
polutan di perairan karena mereka tidak kontak dengan sedimen. Akar dari
tanaman ini memiliki akses penuh terhadap air yang tercemar, kemudian polutan
yang telah terakumulasi di daun dapat menguap bersama air ke udara bebas.
2.9.1 Klasifikasi dan Morfologi Kayu Apu (Pistia stratiotes)
Menurut Cook et al., (1974) kayu apu merupakan tanaman air mengapung di
permukaan perairan.Akar kayu apu berjumlah banyak dan mengapung dibawah
permukaan air. Daun kayu apu berada di atas permukaan air, memiliki panjang
13-15 cm, berbentuk kebulatan dengan tulang daun paralel dari dasar daun
hinggaujung atau permukaan atas daun. Taksonomi kayu apu yaitu:
- Kingdom : Plantae
- Divisi : Spermatophyta
- Klas : Liliopsida
- Ordo : Arales
- Famili : Araceae
- Genus : Pistia
- Spesies :Pistia stratiotes L.
-
(Sumber: Nash et al., 2003)
Gambar 3. Kayu apu (Pistia stratiotes)
30
Deksripsi tanaman kayu apu antara lain banyak tumbuh di daerah tropis,
terapung pada genangan air yang tenang atau mengalir lambat, mengapung di
permukaan air dan memiliki tinggi sekitar 5-10 cm. Tubuh tidak berbatang,
berdaun tunggal, berbentuk solet menyerupai mawar, ujung membulat,
pangkalnya runcing, tepi daun berlekuk dengan panjang sekitar 2-10 cm, lebar 2-
6 cm dengan pertulangan sejajar (monokotil) kontras dengan warna hijau
kebiruan (Ramey, 2001).
Tanaman air ini termasuk floating aquatic plant seperti eceng gondok. Pada
mulanya tumbuhan kayu apu hanya dikenal sebagai tumbuhan penganggu di
danau, karena tanaman tersebut biasanya tumbuh dan berkembang biak dengan
cepat. Tanaman kayu apu banyak dijumpai pada kolam-kolam air tawar,
menempati permukaan dari perairan tersebut, karena tanaman ini tergolong
floating aquatic plant. Akar tanaman berupa akar serabut, terjurai pada lapisan
atas perairan dan sangat potensial untuk menyerap bahan yang terlarut pada
bagian itu (Yusuf, 2001).
Kayu apu sebagai tanaman air memiliki potensi dalam menurunkan kadar
pencemar air limbah yang mengandung bahan organik tinggi. Kemampuan
mencengkeram lumpur dengan akarnya dimanfaatkan sebagai permbersih air
sungai yang kotor. Di bidang industri, tanaman ini digunakan sebagai penyerap
unsur-unsur toksis pada air limbah. Keunggulan tanaman ini diantaranya adalah
daya berkecambah yang tinggi, pertumbuhan cepat, tingkat absorbsi atau
penyerapan unsur hara dan air yang besar, mudah ditemukan dan daya adaptasi
yang tinggi terhadap iklim (Fachrurozi et al., 2010).
Penggunaan kayu apu sebagai biofilter memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan eceng gondok antara lain kayu apu memiliki akar seperti
bulu berbentuk labirin-labirin yang lembut dan ringan, berwarna putih, ungu dan
hitam. Akar menyebar dengan akar pokok yang panjangnya mencapai 90 mm,
31
perkembangbiakan dengan tunas vegetatif lebih cepat dan panjangnya bisa
mencapai 60 cm serta pemeliharaannya relatif mudah (Mustaniroh et al., 2009).
2.9.2 Klasifikasi dan Morfologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Menurut Moenandar (1988), klasifikasi eceng gondok yaitu sebagai berikut:
- Kingdom : Plantae
- Divisi : Embryophytasi phonogama
- Subdivisi : Angiospermae
- Klas : Monocotyledone
- Ordo : Farinosae
- Famili : Fontederiaceae
- Genus : Eichhornia
- Spesies : Eichhornia crassipes Mart. Solms.
(Sumber: Ratnani et al.,2011)
Gambar 4. Eceng gondok (Eichhornia crassipes)
Menurut Ratnani et al., (2011), eceng gondok merupakan tanaman air yang
memiliki habitat di daerah tropis dan subtropis. Tempat tumbuh ideal untuk eceng
gondok ini adalah perairan yang dangkal dan berair keruh, dengan suhu berkisar
antara 28-30°C dan rentan pH yang luas yaitu berkisar antara 4-12. Sebaliknya,
di perairan yang berada di dataran tinggi yang dalam dan jernih, eceng gondok
32
ini biasanya akan sulit tumbuh. Daun eceng gondok berbentuk bulat telur dengan
ujung tumpul dan hampir bulat, tulang daun membengkok dengan ukuran 7-25
cm, serta pada bagian permukaan atas daun terdapat banyak stomata. Eceng
gondok memiliki akar serabut menjuntai ke dalam air yang dapat mengikat
lumpur diantara bulu-bulu akar. Tanaman ini adalah salah satu gulma perairan
yang dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan serta mampu
berkembang biak secara cepat. Terkadang pertumbuhan eceng gondok yang
cepat ini dapat menutupi permukaan air sehingga berdampak merugikan, namun
di sisi lain tanaman ini juga memiliki manfaat lain yaitu dapat menyerap bahan
pencemar berupa zat organik, anorganik, maupun logam berat.
Menurut Aman dan Nisma (2010), eceng gondok memiliki kecepatan
tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat
merusak lingkungan perairan.Tumbuhan ini merupakan tumbuhan air yang
memiliki kemampuan dalam menstabilkan lingkungan perairan yang tercemar
oleh berbagai zat pencemar perairan (Tosepu, 2012).
Bagian-bagian tanaman eceng gondok yang berperan dalam penguraian air
limbah adalah sebagai berikut:
1) Akar
Akar eceng gondok ditumbuhi dengan bulu-bulu akar yang terserabut
berfungsi sebagai pegangan atau jangkar tanaman. Sebagian besar
peranan akar untuk menyerap zat-zat yang diperlukan tanaman dari dalam
air. Susunan akarnya dapat mengumpulkan lumpur atau partikel-partikel
yang terlarut dalam air (Ardiwinata, 1950).
2) Daun
Daun eceng gondok tergolong dalam makrofita yang terletak di atas
permukaan air. Di dalamnya terdapat lapisan rongga udara dan berfungsi
sebagai alat pengapung tanaman. Zat hijau daun (klorofil) eceng gondok
33
terdapat dalam sel epidermis. Di permukaan atau daun dipenuhi oleh mulut
daun (stomata). Rongga udara yang terdapat dalam akar, batang dan daun
selain sebagai alat penampungan juga berfungsi sebagai tempat
penyimpanan O2 dari proses fotosintesis. Oksigen hasil dari fotosintesis ini
digunakan untuk respirasi tumbuhan di malam hari dengan menghasilkan
CO2 yang akan terlepas ke dalam air (Pandev, 1980).
3) Tangkai
Tangkai daun panjangnya hingga 30 cm berbatasan dengan helai daun
yang menyempit dan sifatnya mendangkalkan dan menimbulkan spon yang
menggelembung seperti gondok yang di dalamnya penuh dengan udara
yang berperan untuk mengapungkan tanaman di permukaan air (Soerjani,
1975).
2.10 Parameter Kualitas Air Pendukung
2.10.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses
metabolisme organisme di perairan. Perubahan suhu secara mendadak atau
ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan dapat menyebabkan
kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan musim,
letak lintang suatu wilayah, ketinggian dari permukaan laut, letak tempat
terhadap garis edar matahari, waktu pengukuran dan kedalaman air (Effendi,
2003).
Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada laju
fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan khususnya derajat
metabolisme dan siklus reproduksinya. Setiap penelitian pada ekosistem air,
pengukuran suhu sangat penting untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena
kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis di dalam
air sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu perairan dipengaruhi oleh pertukaran
34
panas antara air dengan udara, ketinggian topografi, masukan air limbah dan
penutupan oleh tanaman (Barus, 2002).
Air limbah umumnya memiliki suhu yang tinggi disebabkan kegiatan rumah
tangga dan industri (Metcalf dan Eddy, 2003). Perubahan suhu berpengaruh
terhadap proses fisika, kimia dan biologi di suatu perairan. Peningkatan suhu
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air,
dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi, 2003).
2.10.2 Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion Hidrogen dalam suatu larutan.
Dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada dalam
keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik
dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan
kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH yang ideal bagi
kehidupan organisme akuatik umumnya berkisar antara 7 – 8,5. Kondisi perairan
yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan mobiltas berbagai
senyawa logam berat yang bersifat toksik (Barus, 1996).
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor kimia yang
berpengaruh dalam pertumbuhan eceng gondok dan kayu apu. Pengaruh pH
bagi organisme perairan sangat besar. Kisaran pH yang kurang dari 6,5 akan
menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan
tidak ada laju reproduksi, sedangkan pH 6,5 – 9 merupakan kisaran optimal
dalam suatu perairan (Soesono, 1989).
2.10.3 DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen merupakan faktor paling penting bagi kehidupan makro dan mikro
organisme perairan karena diperlukan untuk proses pernafasan. Sumber oksigen
35
terlarut di perairan dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer
(sekitar 35 %) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Effendi, 2003).
Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut
dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme
organisme untuk dapat tumbuh dan berkembangbiak. Sumber oksigen terlarut
dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran
air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Novotny, 1994).Oksigen terlarut diperlukan oleh organisme air untuk
menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi
makanan pemeliharaan keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Jika
persediaan oksigen terlarut di perairan sangat sedikit maka perairan tersebut
tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup di perairan karena
akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan organisme air tersebut. Kandungan
oksigen terlarut minimum 2 mg/l sudah cukup untuk mendukung kehidupan
organisme perairan secara normal (Wardana, 1995).
Menurut Pratiwi (2010), dekomposisi bahan organik (secara aerob) oleh
mikoorganisme di air merupakan salah satu hal yang dapat menurunkan
kelarutan oksigen selain adanya respirasi oleh tanaman air. Persediaan oksigen
terlarut yang mencukupi merupakan salah satu syarat utama untuk hidup bagi
organisme akuatik. Sumber oksigen terlarut di air berasal dari difusi atmosfer ke
dalam air juga terjadi ketika air mengalami kontak dengan udara melalui
gelombang laut maupun air terjun.
36
3. METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi dalam penelitian ini adalah kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng
gondok (Eichhornia crassipes), dan limbah cair penyamakan kulit yang
mengandung krom. Parameter utama yang diukur yaitu perubahan kandungan
logam berat krom dalam limbah penyamakan kulit pada media tanam yang
ditanami tanaman air kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia
crassipes). Parameter pendukung antara lain kualitas air meliputi suhu, pH
(Derajat keasaman),DO (Dissolved of Oxygen).
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan untuk pengukuran parameter dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.3 Lokasi Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah cair penyamakan
kulit yang diambil dari industri yang terletak di Dusun Tulung Desa Ringinagung
Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan. Pengambilan tanaman kayu apu
(Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) yaitu diperairan
mengalir (sungai) dan kolam yang berlokasi di Desa Jatisari Kecamatan Geger
Kabupaten Madiun.
3.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.
Penelitian dengan metode eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol (Nazir,
2003). Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
37
deskriptif yaitu dengan mengadakan kegiatan pengumpulan, analisis dan
interprestasi data yang bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai keadaan
yang terjadi pada saat penelitian (Suryabrata, 1987).
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Faktorial karena penelitian ini menggunakan lebih dari satu
faktor, faktor pertama yaitu jenis tanaman dan faktor kedua yaitu lama tanam.
Menurut Hanafiah (2005), metode eksperimen atau percobaan suatu tindakan
coba-coba yang dirancang untuk menguji hipotesis yang diajukan dan dalam
penelitian ini semua kondisi baik bahan, media maupun lingkungannya dibuat
sehomogen mungkin. Dalam metode ilmiah eksperimen dilakukan dengan
memberikan perlakuan yang berbeda setiap sampel. Penelitian ini dilakukan
selama 8 hari dengan pengukuran kualitas air berupa suhu, serajat keasaman
(pH), oksigen terlarut (DO) dan kandungan logam berat krom pada media tanam
dan tanaman dilakukan pada hari ke 0, 2, 4, 6, 8 dikarenakan menurut Salisbury
dan Ross (1992) dalam Purnamasari (2014) pertumbuhan maksimum tanaman
terjadi setiap 2 hari, sehingga dengan pengambilan sampel setiap 2 hari sekali
dapat digunakan untuk mengetahui kandungan air yang terpapar limbah cair
penyamakan kulit setelah diserap oleh tanaman secara lebih maksimal.
Tanaman kayu apu dan eceng gondok diletakkan pada bak volume 15 liter. Tiap
bak diberi kayu apu dan eceng gondok dengan berat massa kurang lebih 120
gram. Tata letak bak penelitian dilakukan secara acak.Adapun denah tata letak
bak penelitian disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Denah Tata Letak Bak Penelitian
C3
A2
C2 A3
B3 C1
B2 A1
B1
38
Keterangan :
A 1, 2, 3 : bak kontrol tanpa perlakuan tanaman
B 1, 2, 3 : bak perlakuan tanaman eceng gondok (Eichhornia crasipes)
C 1, 2, 3 : bak perlakuan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes)
3.5 Tahapan Penelitian
3.5.1 Persiapan Penelitian
1) Persiapan Bak Penelitian
Menyiapkan 9 bak berukuran 15 liter, dimana terdiri dari 3 bak kayu apu
(Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes), dan 3 bak kontrol.
Volume media keseluruhan yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu 36 liter
untuk 9 bak percobaan dimana setiap bak diisikan air media dengan
menggunakan limbah penyamakan kulit sampai batas 4 liter.
2) Persiapan Limbah Cair Penyamakan Kulit
Menyiapkan limbah cair penyamakan kulit yang akan digunakan untuk uji
pendahuluan dan uji sesungguhnya yang diambil dengan menggunakan jerigen
dari industry penyamakan kulit. Limbah yang diambil yaitu pada outlet sebelum
limbah dibuang ke sungai. Limbah yang digunakan merupakan limbah yang baru
dihasilkan yang sifatnya masih segar (Purnamasari, 2014).
3) Penyortiran Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes)
diambil dari tempat populasinya, kemudian dicuci bersih serta dipilih tanaman
yang memiliki ukuran yang sama dan memiliki kondisi fisik yang bagus.
39
4) Aklimatisasi Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang
diperoleh kemudian diaklimatisasi menggunakan air bersih selama 5 hari
(Purnamasari, 2014), hal ini bertujuan untuk membersihkan tanaman sehingga
tidak ada lagi organisme maupun hama yang menempel pada tanaman kayu apu
(Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) tersebut, selain itu
agar tanaman dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang
telah diaklimatisasi kemudian dimasukkan ke dalam bak penelitian yang
sebelumnya telah diisi limbah cair penyamakan kulitsebanyak 4 liter. Masing-
masing kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes)
yang dimasukkan ke dalam bak penelitian seberat ±120 gram mengacu pada
penelitian Hartanti et al.(2014) yang menggunakan 120 gram eceng gondok
mengalami penurunan optimal logam krom pada 4 liter limbah penyamakan kulit.
1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis media
tanam dengan konsentrasi tertentu terhadap kondisi tanaman eceng gondok
(Eichhornia crassipes) serta kemampuannya untuk beradaptasi pada media
tanam. Dalam penelitian pendahuluan ini digunakan konsentrasi limbah yang
berbeda yaitu 20%, 30%, 40%, 50%, 75% dan 100%, dimana 75% dan 100%
yang digunakan telah mengacu dari pendapat Alimsyah dan Damayanti (2013).
Adanya perbedaan konsentrasi pada penelitian pendahuluan ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing konsentrasi terhadap kondisi
tanaman untuk bertahan hidup dilihat dari perubahan warna pada daun tanaman
eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes). Setelah
diketahuinya suatu konsentrasi yang sesuai terhadap kondisi tanaman dalam
40
penelitian pendahuluan ini, selanjutnya konsentrasi tersebut digunakan dalam
penelitian utama. Hasil pada penelitian pendahuluan didapatkan pada hari 0
hingga 8 tanaman eceng gondok dan kayu apu mengalami perbedaan warna
pada daun baik pada konsentrasi limbah penyamakan kulit sebesar 20%, 30%,
40%, 50%, 75% dan 100% namun pada konsentrasi 100% tanaman masih dalam
keadaan segar dan daun berwarna hijau sehingga konsentrasi limbah
penyamakan kulit yang digunakan pada penelitian utama yaitu sebesar 100%.
2. Penelitian Utama
Hasil dari penelitian pendahuluan didapatkan bahwa konsentrasi 100%
merupakan konsentrasi yang paling sesuai untuk tanaman eceng gondok
(Eichhornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) bertahan hidup dan
merubah warna daun yaitu dengan lama waktu 8 hari yang kemudian digunakan
dalam penelitian utama.
Alat dan bahan yang digunakan sesuai dengan tahap persiapan yang
sudah ada, yaitu tahap awal menyiapkan bak plastik volume 15 liter sebanyak 9
buah yang digunakan dalam penelitian dan diletakkan secara acak. Selanjutnya
melakukan pengukuran kualitas air meliputi oksigen terlarut (DO), derajat
keasaman (pH), suhu serta analisis kandungan logam berat krom sebagai nilai
awal penelitian. Tanaman eceng gondok dan kayu apu yang telah disortir
selanjutnya diaklimatisasi dan ditimbang dengan biomassa kurang lebih 120
gram kemudian dimasukkan pada masing-masing bak. Pengamatan dilakukan
selama 8 hari dengan pengukuran kadar krom yang dilakukan setiap 2 hari yaitu
pada hari ke 0, 2, 4, 6, 8..
41
3.6 Prosedur Pengukuran Parameter Kualitas Air
3.6.1 Kromium (Cr)
Menurut Nurkhasanah (2015), Prosedur pengukuran Kromium (Cr) adalah
sebagai berikut:
1) Mengambil menggunakan pipet 10 ml contoh uji (V) ke dalam labu distilasi,
kemudian menambahkan 10 ml H2SO4 dan 100 ml aquades, dibiarkan
selama 2 jam
2) Menambahkan natrium karbonat pH 11 (0,5%) sebanyak 25 ml sampai
volume 75 ml
3) Menambahkan aquades pada distilat hingga 100 ml
4) Mengambil 1 ml larutan distilat dan memasukkannya ke dalam labu ukur 50
ml
5) Menambahkan 1 ml larutan ninhidrin 1% dan 0,5 ml NaOH, kemudian
menambahkan aquades hingga volume menjadi 50 ml
6) Memasukkan larutan ke dalam cuvet, kemudian mengukur nilai kromium
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 590 nm, dan
dicatat absorbansinya.
3.6.2 Suhu
Menurut Hermawati (2012), prosedur pengukuran suhu air adalah sebagai
berikut :
1) Mencelupkan thermometer digital ke dalam air, menunggu beberapa saat
sampai angka dalam monitor menunjuk/berhenti pada angka tertentu
2) Mencatat nilai yang muncul pada monitor (oC)
42
3.6.3 Derajat Keasaman (pH)
Menurut Hermawati (2009), Prosedur pengukuran pH, adalah sebagai
berikut:
1) Mempersiapkan pH meter
2) Mengkalibrasi pH meter menggunakan aquades
3) Memasukkan pH meter ke dalam air sampa probe menyentuh air sekitar 1
cm
4) Tekan tombol ON
5) Menunngu sampai nilai pH yang tertera tidak berubah
6) Mencatat hasilnya
3.6.4 DO (Dissolved of Oxygen)
Menurut Hermawati (2009), Prosedur pengukuran DO adalah sebagai
berikut:
1) Mengambil air sampel dari bak penelitian
2) Mempersiapkan DO meter
3) Mengkalibrasi DO meter menggunakan aquades hingga menunjukkan angka
nol
4) Ujung hitam DO meter dimasukkan kedalam media percobaan
5) Biarkan kurang lebih 3 menit
6) Catat hasilnya
3.7 Analisis Data
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial
dengan perlakuan faktor pertama yaitu perbedaan jenis tanaman (kayu apu dan
eceng gondok) dan faktor kedua yaitu lama tanam (A=2 hari, B=4 hari, C= 6 hari,
43
D= 8 hari dengan tiga kali ulangan. Penelitian dilakukan selama 8 hari
dikarenakan pada uji pendahuluan, kayu apu dan eceng gondok dapat bertahan
hingga hari ke 8. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model umum dari Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial sebagai berikut:
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk
Keterangan :
Yijk : pengamatan faktor A (kayu apu dan eceng gondok) taraf ke-i, faktor B
(lama tanam) taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ : nilai tengah umum
Ai : pengaruh faktor A (jenis tanaman air) pada level ke-i
Bj : pengaruh faktor B (lama tanam) pada level ke-j
(AB)ij : pengaruh interaksi dari faktor A ke-i dan faktor B ke-j
εijk : pengaruh galat pada faktor A (jenis tanaman) taraf ke-i, faktor B (lama
tanam) taraf ke-j dan ulangan ke-k
Data yang diperoleh dari hasil penelitian, kemudian dianalisis secara
statisik manual dengan menggunakan analisis ragam sesuai dengan rancangan
yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Analisis ragam
dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon yang diukur
dengan uji F pada taraf 5 % dan 1 %. Syarat mengukur uji F adalah perlakuan
lebih dari 2 varian dan percobaan menggunakan kontrol. Jika dari tabel sidik
ragam didapatkan hasil perlakuan yaitu bila F hitung < F tabel 5 % tidak ada
perbedaan nyata = non-significant different, H0 diterima pada taraf uji 5 %. Bila F
hitung > F tabel 5 % ada perbedaan nyata = significant different, H1 diterima
pada taraf uji 5 %. Bila F hitung > F tabel 1 % ada perbedaan sangat nyata =
highly significant different. H1 diterima pada taraf uji 1 %. Jika terdapat hasil yang
44
berbeda nyata maka dilakukan uji BNT pada taraf 5 % dan 1 % untuk
mengetahui penyerapan terbesar.
Menurut Hanafiah (2005), apabila hasil analisis keragaman/sidik ragam
ternyata berbeda nyata atau berbeda sangat nyata maka dilakukan uji BNT
(Beda Nyata Terkecil) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan sehingga
didapatkan urutan perlakuan terbaik dengan menggunakan rumus :
BNT = tα(v) x Sd
Keterangan :
BNT : beda nyata terkecil
tα(v) : nilai baku t-student pada taraf uji α (α = 0.05; α = 0.01) dan derajat
bebas galat v
Sd : simpangan baku
Sd = √
Keterangan :
KTG : kuadrat tengah galat
r : jumlah ulangan
Ditentukan notasinya dengan ketentuan notasi sama apabila hasilnya tidak
berbeda nyata seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Tabel Beda Nyata Terkecil
Rata-Rata Perlakuan Kecil besar Notasi
Kecil
Besar
45
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Morfologi Tanaman Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes) Selama Penelitian
Kondisi eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes)
pada setiap bak-bak penelitian diamati perubahan morfologinya selama 8 hari.
Pengamatan morfologi tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok
(Eichhornia crassipes) dilakukan setiap 2 hari sekali dan bagian tanaman yang
menjadi objek pengamatan adalah daun. Menurut Saffarida et al. (2015),
pengamatan morfologi tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) dan eceng gondok
(Eichhornia crassipes) dilakukan setiap 2 hari sekali dan perubahan yang tampak
diantaranya perubahan warna pada daun. Sebelum penelitian tanaman memiliki
daun yang berwarna hijau segar, berukuran relatif sama, dengan akar yang lebat
dan sehat. Seiring dengan berjalannya penelitian, mulai terjadi perubahan pada
kondisi tanaman akibat adaptasi terhadap lingkungan baru yaitu air yang
terpapar limbah cair penyamakan kulit tersebut. Adaptasi tersebut ditunjukkan
dengan perubahan fisik tanaman secara bertahap dari hari ke hari yang meliputi
perubahan warna daun, dan akar pada masing-masing tanaman.Perubahan fisik
tanaman ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Menurut Hardiani (2009), logam berat dapat terakumulasi dalam media dan
cepat diserap oleh tumbuhan. Logam berat walaupun dalam konsentrasi yang
sangat rendah dapat bersifat toksik. Hal ini dapat dilihat dari kondisi beberapa
daun eceng gondok dan kayu apu yang menguning bahkan mengering. Itu
diakibatkan sifat toksik dari logam berat dalam hal ini logam berat krom yang
meracuni eceng gondok dan kayu apu sehingga menyebabkan daunnya
menguning dan mati.
46
Tabel 2. Perubahan Morfologi Tanaman Eceng Gondok dan Kayu Apu
Hari
ke- Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Kayu Apu (Pistia stratiotes)
0
Daun berwarna hijau segar, akar sehat dan
lebat
Daun berwarna hijau segar, akar sehat dan
lebat
2
Daun berwarna hijau, namun terdapat ujung
daun yang mulai kering
Daun berwarna hijau, namun mulai terdapat
ujung daun yang sedikit mongering
4
Bintik cokelat mulai muncul pada daun, dan
ujung daun yang menggulung
Ujung daun mulai menguning dan sedikit
menggulung, dengan akar mulai rontok
6
Terdapat daun yang berwarna coklat dan
layu
Daun menguning dengan ujung menggulung
karena kering dan banyak akar yang rontok
8
Warna daun hijau agak kekuningan dengan
bintik coklat berubah menjadi garis coklat,
akar terlihat sedikit berwarna putih
Warna daun kuning, beberapa ada yang mati
dan tenggelam, akar mengalami banyak
kerontokan dan terlihat sedikit berwarna putih
47
Tabel 2 menunjukkan adanya perubahan kondisi fisik tanaman eceng
gondok (Eichhornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) selama penelitian.
Perubahan warna daun yang hijau agak kekuningan dengan bintik coklat pada
eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan berwarna kuning pada kayu apu (Pistia
stratiotes) sebanding dengan semakin lamanya waktu fitoremediasi, hal ini dapat
disebabkan oleh zat pencemar yang terkandung dalam air limbah yang terserap
oleh tanaman. Menurut Haslam (1997) dalam Hermawati et al. (2005),
perubahan warna yang terjadi pada daun dapat disebabkan karena pencemaran
bahan organik. Hermawati et al. (2005), menambahkan bahwa akar sebenarnya
merupakan bagian yang pertama kali kontak langsung dengan limbah, maka akar
rusak lebih dahulu dibanding dengan bagian lain pada tubuh tanaman, hal ini
sebagai respon terhadap zat toksik dari limbah tersebut.
4.2 Kadar Kromium (Cr)
Kadar logam berat krom dalam air selama penelitian dari hari ke 0 hingga
hari ke 8 mengalami penurunan yaitu pada awal penelitian krom berkonsentrasi
sebesar 3,27 g/L namun pada akhir penelitian menjadi 0,66 g/L karena didalam
bak penelitian diberi perlakuan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes)
seberat 120 gram sehingga menyebabkan kadar krom turun, sedangkan media
air yang diisi dengan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes) dengan bobot yang
sama yaitu sebanyak 120 gram juga mengalami penurunan kadar krom menjadi
sebesar 0,96 g/L. Untuk mengetahui persentase penurunan kadar krom (Cr) di
air dapat dilihat dari data hasil rata-rata pengukuran krom pada Tabel 3 dan data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.
48
Tabel 3. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Kromium pada Air
Perlakuan Lama
Hari
Konsentrasi
Logam Chrom
yang Tersisa
(g/L)
Logam
Chrom yang
Hilang (g/L)
Persentase
Logam Chrom
yang Hilang
(%)
Rata-
rata (%)
Kontrol
0 3.27 0 0
0.67
2 3.25 0.02 0.61
4 3.30 0 0
6 3.27 0 0
8 3.18 0.09 2.75
Eceng
Gondok
(Eichhornia
crassipes)
3,27 0 0
48.17
2 1.07 2.2 67.2
4 1.70 0 0
6 0.44 2.83 86.54
8 0.42 2.85 87.15
Kayu Apu
(Pistia
stratiotes)
0 3.27 0
40.3
2 1.16 2.11 64.52
4 1.67 0 0
6 1.28 1.99 60.85
8 0.78 2.49 76.14
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada eceng gondok (Eichhornia
crassipes) mengalami penurunan terbesar pada hari ke 8 dengan persentase
87.15% dengan nilai 2.85 g/l, sedangkan penggunaan tanaman kayu apu (Pistia
stratiotes) dapat menurunkan krom dengan persentase 76.14% dengan nilai 2.49
g/l. Hal ini menunjukkan bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan kayu
apu (Pistia stratiotes) dapat menyerap logam berat krom pada air yang semula
mengandung 3.27 g/L tetapi penyerapan eceng gondok (Eichhornia crassipes)
11.01 % lebih banyak hal ini dikarenakan eceng gondok (Eichhornia crassipes)
memiliki perakaran yang lebat dan panjang sehingga dapat secara aktif menyerap
49
logam berat, namun tidak menghalangi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Grafik
konsentrasi logam berat krom pada air dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kadar Logam Berat Kromium (Cr)
Selama penelitian konsentrasi logam berat krom yang hilang pada hari ke 0
belum ada hal ini karena tanaman masih belum dimasukkan ke dalam air,
sedangkan pada hari ke 4 media tanam yang ditanami eceng gondok maupun
kayu apu terjadi kenaikan terbesar yaitu pada kontrol 16.5 % serta 37.05 % dan
54.17 % pada tanaman eceng gondok dan kayu apu hal ini dapat dikarenakan
pada hari ke 4 tanaman eceng gondok dan kayu apu masih mengalami adaptasi
dengan media pengamatan dan adanya perbedaan penyerapan logam berat
krom. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumiyati dan Hadiwidodo (2007),
adanya kemampuan tanaman eceng gondok yang berbeda-beda dalam
penyerapan krom dipengaruhi oleh faktor umur tanaman, walaupun telah
dilakukan pemilihan tanaman eceng gondok yaitu tanaman dipilih dengan daun
yang masih hijau dan segar. Selain itu, adanya faktor penguapan yang lebih
besar daripada kemampuan eceng gondok dalam menyerap krom pada air
limbah penyamakan kulit.Dengan demikian, konsentrasi krom pada hari ke 4
yang terjadi justru naik dan semakin besar dibandingkan hari sebelumnya.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 2 4 6 8
Kad
ar L
oga
m B
era
t K
rom
iun
(C
r)
Sela
ma
Pe
nga
mat
an (
g/L)
Hari Ke-
Kontrol
Eceng Gondok
Kayu Apu
50
Hasil analisa data menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap
(RAL)pada penurunan logam berat krom dapat dilihat pada Tabel 4 dan data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 4. Analisa Sidik Ragam
Sidik
Keragaman db
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F Hitung F Tabel
5% 1%
Perlakuan
(tanaman) (i) 1
22.18
22.18 13.966 4.35 8.1
Waktu dalam
Perlakuan (j) 4 110.31 27.57 8.061 2.87 4.43
Interaksi ij 4 20.61 5.15 1.505 2.87 4.43
Galat 20 68.43 3.42
Total 29 221.53
Tabel sidik ragam di atas didapatkan nilai F hitung perlakuan yaitu 13.966,
dimana nilai ini lebih besar dari F tabel 5% maupun 1%, sehingga dapat
dikatakan bahwa perlakuan perbedaan tanaman memberikan pengaruh berbeda
sangat nyata terhadap penurunan nilai kromium pada taraf kepercayaan 95%
maupun 99%. Hasil nilai F hitung waktu dalam perlakuan yaitu 8.061, dimana
nilai ini lebih besar dari F tabel 5% maupun 1%, ini berarti waktu pengamatan
turut mempengaruhi penurunan nilai kromium pada taraf kepercayaan 95%
maupun 99%. Hasil nilai F hitung interaksi yaitu 1.505, dimana nilai ini lebih kecil
dari F tabel 5% maupun 1%, ini berarti tidak ada interaksi antara yang nyata
antara jenis tanaman dengan lama waktu tanam sehingga tidak memberikan
pengaruh terhadap penurunan logam berat krom (Cr).
Adanya penurunan kromium yang berbeda sangat nyata pada perlakuan
jenis tanaman dan waktu dalam perlakuan, maka dilakukan uji BNT (Beda Nyata
Terkecil) untuk mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan terhadap
penurunan kromium, sehingga didapat urutan perlakuan yang terbaik.
Hasil dari perhitungan uji BNT (Lampiran 4) menunjukkan bahwa adanya
perbedaan antara hari pertama dan lainnya. Terlihat pada tabel diatas bahwa
51
perlakuan E (eceng gondok hari ke 8) memiliki kadar logam berat krom terendah.
Hal ini dikarenakan semakin lama waktu yang dibutuhkan tanaman untuk
beradaptasi pada media tanam maka penurunan logam berat krom semakin
maksimal. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dinyatakan tidak
berbeda signifikan. Perlakuan yang memiliki notasi yang sama menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang nyata, sedangkan perlakuan yang memiliki
notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata.
Terakumulasinya kromium yang terus bertambah ke dalam badan eceng
gondok dan kayu apu hingga hari terakhir penelitian (8), menyebabkan
banyaknya kerusakan akar, daun, bahkan kematian yang terjadi pada tanaman
eceng gondok dan kayu apu. Menurut Momonto (2013), perubahan fisik yang
Nampak pada akar, seperti terhambatnya perpanjangan akar dan kerontokan
bulu akar, serta penguningan daun merupakan respon tanaman eceng gondok
dan kayu apu terhadap toksisitas kromium. Penurunan kadar krom yang besar
oleh eceng gondok ini disebabkan karena eceng gondok memiliki tipe akar
serabut sehingga tudung akarnya lebar.
4.3 Hasil Pengukuran Kualitas Air
4.3.1 Suhu
Data hasil rata-rata pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu masing-
masing perlakuan hampir sama dan tidak ada perbedaan, artinya dari awal
sampai akhir pengamatan nilai perubahan suhunya tidak berbeda jauh. Grafik
rata-rata perubahan suhu disajikan pada Gambar 7. Data selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 5.
52
Gambar 7. Grafik Perubahan Suhu Selama Pengamatan
Selama penelitian terjadi perubahan suhu pada bak-bak percobaan. Terjadi
penurunan suhu pada hari ke 2 dikarenakan pada hari ke 0 bak masih belum
dimasuki tanaman sehingga sinar matahari dapat langsung menembus
permukaan air, sedangkan hari selanjutnya bak penelitian diisi oleh tanaman
eceng gondok atau kayu apu. Menurut Effendi (2003), suhu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan tumbuhan air karena akan mempengaruhi metabolism
sel. Suhu di bawah 30 oC pada umumnya merupakan suhu yang optimal bagi
kebanyakan jenis tumbuhan air. Menurut Kordi dan Tancung (2007), pengaruh
suhu secara tidak langsung yaitu mempengaruhi metabolisme, daya larut gas-
gas, termasuk oksigen serta berbagai reaksi kimia di dalam air. Peningkatan
suhu perairan cenderung menaikkan akumulasi dan toksisitas logam seperti
krom dan timbale, hal ini terjadi akibat meningkatnya laju metabolisme dari
organisme air (Said et al. 2009).
Rata-rata nilai suhu pada saat penelitian mengalami fluktuasi namun tidak
terlalu signifikan. Fluktuasi suhu air dapat mempengaruhi kondisi biota perairan
yang terbiasa hidup pada suhu alami. Biota air yang cukup penting
23
24
25
26
27
28
29
0 2 4 6 8
Suh
u S
ela
ma
Pe
nga
mat
an (
oC
)
Hari Ke-
Kontrol
Eceng Gondok
Kayu Apu
53
keberadaannya dalam ekosistem perairan adalah plankton, terutama fitoplankton
yang berperan sebagai produsen primer dalam rantai makanan (Handayani, et
al., 2012). Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di perairan
adalah 20-300C (Effendi, 2003).
4.3.2 Derajat Keasaman (pH)
Dari hasil penelitian didapat data hasil rata-rata pengukuran derajat
keasaman (pH) data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Grafik
pengukuran derajat keasaman (pH) dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik Perubahan Derajat Keasaman Selama Penelitian
Nilai derajat keasaman (pH) dari awal sampai akhir penelitian
menunjukkan adanya perubahan. Pada hari ke 2 dan 4 derajat keasaman terjadi
penurunan sedangkan pada hari ke 6 dan 8 terjadi peningkatan. pH mengalami
penurunan disebabkan karena krom telah diserap atau diikat oleh akar tanaman
kayu apu maupun eceng gondok sehingga memudahkan mikroba perombak
dalam proses pendegradasian. Menurut Hutagalung (1984), bahwa nilai pH yang
tinggi (basa) dapat mengurangi toksisitas pada logam berat, dikarenakan pH
0
1
2
3
4
5
6
7
0 2 4 6 8
De
raja
t K
eas
aman
Se
lam
a P
en
gam
atan
(p
pm
)
Hari Ke-
kontrol
Eceng Gondok
Kayu Apu
54
yang tinggi di dalam air dapat membentuk suatu senyawa kompleks yang dapat
mengendap di dasar perairan.
Bahan organik yang telah diserap atau diikat oleh tanaman eceng gondok
(Eichhornia crassipes) akan didegradasi oleh bakteri Bacillus subtilis menjadi
senyawa sederhana yaitu asam amino dan asam lemak (asam organik) hingga
diperoleh amoniak, nitrat, nitrit dan nitrogen dengan terbentuknya asam organik
hasil pemecahan protein dan lemak maka pH akan terus menurun mendekati
netral. Sedangkan bahan anorganik pada limbah krom diserat atau diikat oleh
akar tanaman eceng gondok (Eichhronia crassipes) sehingga logam berat yang
terkandung pada limbah dapat berkurang. Kadar pH yang baik adalah kadar
yang masih memungkinkan kehidupan biologis didalam air dapat berjalan
dengan baik (Ginting, 1995).
Menurut Effendi (2003), derajat keasaman dapat mempengaruhi
kandungan unsur ataupun senyawa kimia yang terdapat di perairan, diantaranya
mempengaruhi kandungan logam berat yang ada di perairan. Toksisitas dari
logam berat juga dipengaruhi oleh perubahan derajat keasaman, toksisitas dari
logam berat akan meningkat bila terjadi penurunan derajat keasaman.
Nilai derajat keasaman erat kaitannya dengan nilai karbondioksida (CO2)
dimana semakin tinggi nilai karbondioksida didalam air limbah maka nilai pH
akan semakin rendah. Tanaman kayu apu dan eceng gondok memerlukan
karbondioksida (CO2) dalam proses fotosintesis kemudian akan dirubah menjadi
monosakarida sehingga kebutuhan karbondioksida didalam limbah anak naik
maka nilai derajat keasaman akan rendah. Menurut Effendi (2003), fotosintesis
merupakan proses yang menyerap karbondioksida sehingga dapat meningatkan
derajat keasaman perairan, sedangkan respirasi menghasilkan karbondioksida
kedalam ekosistem sehingga derajat keasaman perairan menurun.
Karbondioksida dalam suatu ekosistem perairan dihasilkan melalui proses
55
respirasi oleh organisme dan perombakan bahan organik maupun anorganik oleh
bakteri dalam menurunkan krom (Cr).
4.3.3 Oksigen Terlarut (DO)
Dari hasil penelitian diperoleh data hasil rata-rata pengukuran oksigen
terlarut (mg/L) data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Grafik
perubahan oksigen terlarut dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik Perubahan Oksigen Terlarut Selama Penelitian
Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air pada Tabel 14 didapatkan
nilai DO yang berkisar antara 1.5-3 mg/l. Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas
air limbah krom (Cr) dapat dikategorikan sebagai perairan yang buruk dengan
tingkat pencemaran yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Salmin (2005)
yang menyatakan bahwa perairan dapat dikategorikan sebagai perairan yang
baik dan tingkat pencemaranya rendah apabila kadar oksigen terlarutnya >5ppm.
Menurut Effendi (2003), perairan yang diperuntukkan bagi keperluan perikanan
sebaiknya memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg/l.
Tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) memerlukan proses
penyerapan melalui akar sehingga memudahkan mikroorganisme untuk
0
2
4
6
8
10
12
0 2 4 6 8
Oks
ige
n T
erl
aru
t Se
lam
a P
en
gam
atan
(p
pm
)
Hari Ke-
kontrol
Eceng Gondok
Kayu Apu
56
merombak krom (Cr) dalam air limbah. Menurut Hartanti et al. (2014), proses
perombakan yang dilakukan oleh mikroba aerob membutuhkan oksigen guna
merombak bahan logam berat dan tanaman kayu serta eceng gondok mampu
meingkatkan persediaan oksigen sehingga mikroba perombak dapat melakukan
proses pendegredasian senyawa sederhana menjadi amoniak, nitrat, nitrit dan
nitrogen.
57
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Perlakuan fitoremediasi limbah cair penyamakan kulit terbaik pada penelitian
selama 8 hari yaitu dengan menggunakan tanaman air eceng gondok
(Eichhornia crassipes) mengalami penurunan dari konsentrasi awal 3.27 g/L
menjadi 0.42 g/L dengan persentase 87.15 %. Media yang ditanami tanaman
kayu apu selama 8 hari juga mengalami penurunan dengan konsentrasi akhir
logam berat krom sebesar 0.78 g/L dengan persentase 76.14 % sehingga
dapat diketahui eceng gondok dapat menurunkan kadar logam berat krom
11.01% lebih banyak daripada kayu apu. Parameter kualitas air selama
penelitian yaitu suhu sebesar 24-26oC, derajat keasaman (pH) sebesar 6,5-7 ,
oksigen terlarut (DO) sebesar 2,4-3.0 ppm.
5.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah sebaiknya industri penyamakan kulit yang
terletak di Dusun Tulung Desa Ringinagung Kecamatan Magetan Kabupaten
Magetan ini membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang
didalamnya diberi tanaman air eceng gondok (Eichhornia crassipes).
58
DAFTAR PUSTAKA
Alimsyah A. dan A. Damayanti.2013. Penggunaan Arang Tempurung Kelapa dan Eceng Gondok untuk pengolahan air limbah tahu dengan variasi konsentrasi.Jurnal teknik Pornits. 2 (1): 6-9.
Aman, B. Dan F. Nisma. 2010. Pengaruh Umur Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dan Genjer (Limnocharis flava) Terhadap Penyerapan Logam Pb, Cd, dan Cu Dalam Ember Perlakuan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom. Farma Sains. Vol 1 (2).
Andaka, G. 2008. Penurunan kadar tembaga pada limbah cair industri kerajinan perak dengan presipitasi menggunakan natrium hidroksida. Jurnal Teknologi. 1 (2): 127 134.
Ardiwinata, R. O. 1950. Musuh Dalam Selimut di Rawa Bening. Bandung: Working.
Asmadi, S. Endro dan W. Oktavian. 2009. Pengurangan chrom (Cr) dalam limbah cair industri kulit pada proses tannery menggunakan senyawa alkali (Ca(OH)2, NaOH dan NaHCO3 (studi kasus PT. Trimulyo Kencana Mas Semarang), JAI. 5(1): 41-54.
Barcordit, A., Armengol, J., Burgh, S.V.D., and Olle, L. 2014. New challenges in chrome-free leather : Development of wet-bright process. Journal of the American Leather Chemist Association. 109 (4) : 99-109.
Barus, T. A. 1996. Metodologi Ekologis Untuk Menilai Kualitas Perairan Lotik. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Sumatera Utara. Medan
Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Cook, C. D. K., B. J. Gut, E. M. Rix, J. Schneller, dan M. Settz. 1974. Water Plants of The World. The Piman Pres: Inggris.
Dhir, Bhupinder. 2013. Phytoremediation:Role of Aquatic Plants in Environmental Clean-up. Springer: India.
Effendi, H. 2003.Telaah Kualitas Air.Kanisius.Yogyakarta.
Fachrurozi, M., L. B. Utami dan D. Suryani. 2010. Pengaruh variasi biomassa Pistia stratiotes L. Terhadap penurunan kadar BOD, COD, dan TSS limbah cair tahu di Dusun Klero Sleman Yogyakarta. KES MAS.4 (1): 1-16.
Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Diktat. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
59
Fauziah.2011. Efektivitas Penyerapan logam kromium (Cr VI) dan cadmium (Cd) oleh Scenedesmus dimorphus.Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta.
Fenglian Fu dan Qi Wang. 2011. Removal of Heavy Metal Ions from Wastewater. Journal of Environmental Management.92 : 407-418.
Giacinta, M. A.S., Z. Salimin dan Junaidi. 2012. Pengolahan logam berat khrom (Cr) pada limbah cair industri penyamakan kulit dengan proses koagulasi flokulasi dan prestipitasi. Artikel.1-8.
Ginting, P. 1995. Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Hanafiah, K. A. 2005. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Handayani, N. I., S. B. Sasongko dan A. Hadiyarto. 2012. Kajian Parameter Suhu dalam Baku Mutu Air Limbah Industri Gula Jenis Air Limbah Kondensor di Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Semarang.
Hardian, H. 2009. Potensi Tanaman Dalam Mengakumulasi Logam Cu Pada Media Tanah Terkontaminasi Limbah Padat Industri Kertas. Vol 44 (1): 27-40.
Hardyanti, N. Dan S. S. Rahayu. 2007. Fitoremediasi Phospat dengan pemanfaatan eceng gondok (Eichhornia crassipes) (studi kasus pada limbah cair industri kecil laundry).Jurnal Presipitasi Universitas Diponegoro. 2(1): 28-33.
Harmami, I. Ulfin dan R. Setyowuryani. 2014. Penurunan kadar kromium dari limbah cair industri penyamakan kulit dengan metode elektrokoagulasi. Prosiding Seminar Nasional Kimia.159-168.
Hartanti. P. I. A. T. S. Haji, R. Wirosoedarmo. 2014. Pengaruh Kerapatan Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Terhadap Penurunan Logam Berat Chromium Pada Limbah Cair Penyamakan Kulit.Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Hartanto, B. S., S. Bastaman, P. Citroreksoko. 2002. Pengaruh Penambahan Khitosan dan Lama Pengendapan Terhadap Hasil Pengananan Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit. BBPPIP : Bogor.
Herndartono, T. 2003. Analisa Efisiensi dan Benefit Cost Ratio Pengoperasian Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) industri Penyamakan Kulit.Skripsi. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Hermawati, E., Wiryanto dan Solichatun. 2005. Fitoremediasi Limbah Detergen Menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dan Genjer (Limnocharis flava L.).BioSMART. 7 (2): 115-124.
60
Hermawati, A. W. S., Rahayu K., Setyawati, S., A. Shofy. 2009. Pengaruh Konsentrasi Kadmium Terhadap Perubahan Warna dan Presentase Jenis Kelamin Anakan Daphnia magna. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga: Surabaya. Vol 1(1).
Hermawati. 2012. Uji kelayakan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara II Prafi Manokwari. Skripsi. Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Papua. Manokwari.
Hossner, L. R., Loeppert, R. H., Newton, R. J., Szaniszlo, P. J., and Attrep, M. 1998. Literarature Review: Phytoaccumulation of Chromium, Uranium, and Plutonium in Plant Systems. Amarillo National Resource Center for Plutoium. Texas.
Hutagalung, H. P. 1984. Logam Berat Dalam Lingkungan Laut. Jurnal Oseana. Vol IX (1) : 12-19.
Indah, L. S., B. Hendrarto dan P. Soedarsono. 2014. Kemampuan Eceng Gondok (Eichhornia sp.), Kangkung Air (Ipoema sp.), dan Kayu Apu (Pistia sp.)Dalam Menurunkan Bahan Organik Limbah Industri Tahu (skala laboratorium). Diponegoro Journal of Maquares. 3 (1): 1-6.
Irhamni, S. Pandia, E. Purba dan W. Hasan. 2017. Kajian Akumulator Beberapa Tumbuhan Air Dalam Menyerap Logam Berat Secara Fitoremediasi. Conference Paper. 9 hal.
Kordi, M. G. H. Dan A. B. Tancung. 2007. Pegelolaan Kualitas Air. PT Rineka Cipta Jakarta.
Lestari, G., dan I. P. Kencana. 2015. Tanaman hias lanskap. Penebar Swadaya: Jakarta.
Marcellina, R. 2012. Eksplorasi kulit sapid an ragam hias dayak dengan teknik laser cutting dan laser engraving untuk aksesoris fashion. Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain.1-6.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri.
Metcalf dan Eddy. 2003. Waste Water Enginering Treatment and Use. 4 Edition. McGraw Hill Companies, Inc : New York. Hal 54-56.
Moenandar, J. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendali Gulma. Rajawali Press: Jakarta.
Moenir, M. 2010. Kajian Fitoremediasi Sebagai Alternatif Pemulihan Tanah Tercemar Logam Berat. Jurnal Riset Teknologi Pencegahan dan Pencemaran Industri. 1 (2) : 115-123.
Momonto, H. 2013. Uji Potensi Kayu Apu (Pistia Stratiotes L.) dalam Menurunkan Kadar Sianida (CN) pada Limbah Cair Penambangan Emas.Skripsi.
61
Fakultas Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo: Sulawesi.
Muchlas. 2012. Laporan Praktikum Limbah Penyamakan Kulit. http://muchlassains.wordpress.com/2012/12/28/laporan-praktikum-limbah-penyamakan-kulit-ceker.
Mustaniroh, S.A., Wignyanto dan B. Endi. 2009. Efektivitas Penurunan Bahan organik dan Anorganik pada limbah cair penyamakan kulit menggunakan tumbuhan kayu apu (Pistia stratiotes) sebagai biofilter.Jurnal Teknologi Pertanian: Bogor. 10(1): 10-18.
Nazir. 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia: Bogor.
Novotny, V. and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans : New York.
Nurkhasanah, S. 2015. Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) Dalam Air, Sedimen, dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Serta Karakteristik Biometrik dan Kondisi Histologinya Di Sungai Cimanuk Lama Kabupaten Indramayu. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Nurwati, E. 2009.Pengaruh limbah cair industri penyamakan kulit terhadap kadar kromium dalam tanaman jahe (Zinngiber officanele). Skripsi. UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.
Palar, H. 1994.Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Palar. H. 2004. Pencemaran dan Teknologi Logam Berat. Cetakan Kelima. Jakarta. Rineka Cipta.
Palar, H. 2008.Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat.jakarta: Rineka Cipta. 152 hal.
Palar, H. 2012. Pencemaran dan Teknologi Logam Berat. Cetakan Kelima. Jakarta. Rineka Cipta. 152 hal.
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2013 tentang Baku Mutu Limbah Industri dan/atau Kegiatan Usaha Lainnya.
Prasad, M. N. V., K. S. Sajwan, dan R. Naidu. 2006. Trace Elements in the Environment : Biogeochemistry, Biotechnology and Bioremediation. Taylor and Francis Group: Boca Raton.
Pratiwi. M. C. 2010. Pemanfaatan Kangkung Air dan Lumpur Aktif Pabrik dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu.Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Priyadi, R., R. Iskndar, R. Nuryati, B. Rofain dan E. Sumarsih. 2007. IPTEK bagi masyarakat (IbM) Sukarageng Garut yang menghadapi masalah air limbah industri penyamakan kulit. Universitas Siliwangi: Tasikmalaya.
62
Purnamasari, M. 2014. Efektifitas Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dan Kayu Apu (Pistia stratiotes) dalam Menurunkan Kandungan Nitrat (NO3-) dan Orthofosfat (PO43-) pada Limbah Cair Tahu.Skripsi. Fakultas Perikanan. Institur Pertanian Bogor: Bogor.
Ramey, V. 2001. Water Lettuce (Pistia stratiotes). Florida: Center for Aquatic and Invasive Plants, University of Florida. Vol 5 (8) : 4 17.
Ratnani, R. D., I. Hartati dan L. Kurniasari. 2011. Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) untuk Menurunkan Kandungan COD (Chemical Oxygen Demand), pH, Bau, dan Warna Pada Limbah Cair Tahu.Momentum. 7(1): 41-47.
Ratnasari. D. C. 2013. Uji toksisitas pada limbah cair industri penyamakan kulit.Artikel. Fakultas Teknik Universitas Mulawarman.
Rukmi, D.P., Ellyke dan R. S. Pujiati. 2013. Efektivitas Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dalam Menurunkan Kadar Detergen, BOD dan COD pada Air Limbah Laundry (studi di laundry X di kelurahan Jember Lor Kecamatan Patrang Kabupaten Jember).Artikel Penelitian Mahasiswa. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember: Jember.
Rochyatun, E., M.T.Ka dan A. Rozak. 2006. Distribusi logam berat dalam air dan sedimen di Perairan Muara Sungai Cisadane. MAKARA.10(1):35-40..
Rondonuwu, S. B. 2014. Fitoremediasi Limbah Merkuri Menggunakan Tanaman dan Sistem Reaktor.Jurnal Ilmiah Sains. 14 (1) : 52-59.
Saffarida, A., Ngadiman dan J. Widada. 2015. Fitoremediasi Kandungan Kromium pada Limbah Cair Menggunakan Tanaman Air.Jurnal Bioteknologi dan Biosains Indonesia. 2 (2) : 55 59.
Said. M. I. 2009. Akumulasi Logam Berat Chrom dan Timbal dalam Sedimen Estuari Sungai Malanggondo Palu.Media Ekstrak.Vol (2) hal 063-066.
Said, M. I. 2010.Modul Teknologi Pengolah Limbah Industri Kulit. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikatir Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana. Vol XXX (3) : 21-26.
Santi, D.N. 2004.Pengelolaan Limbah Cair pada Industri Penyamakan Kulit, Industri pulp dan kertas, Industri Kelapa Sawit.USU: Sumatera.
Santhosi. A. 2015. Proses, Teknik dan Cara Menyamak Kulit.http://www.ternak-net/proses-teknik-dan-cara-menyamak-kulit.html.
Schiavon, M. E. A. H. Pilon. Smits, M. Wirtz, R. Hell and M. Malagoli. 2008. Interactions Between Chromium And Sulfur Metabolism in Brassica Juncea. Journal Of Environmental Quality. 37 : 1536-1545.
63
Sekarwati, N., B. Murachman dan Sunarto. 2015. Dampak Logam Berar Cu (Tembaga) dan Ag (Perak) pada Limbah Cair Industri Perak Terhadap Kualitas Air Sumur dan Kesehatan Masyarakat Serta Upaya Pengendaliannya di Kota Gede Yogyakarta. Jurnal Ekosains. 3 (1) : 64-76.
Soerjani, M. 1975. Aquatic Weed Problems and Control In Southeast Asia. Hyacint Control Journal. No 13 : 2-3.
Soesono, 1998.Limnology. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Bogor.
Srivastava, N. K. dan C.B. Majumder. 2008. Novel Biofiltration Methods for the Treatment of Heavy Metals from Industrial Wastewater. Journal of Hazardous Materials.151 : 1-8.
Suardana, I. W. 2011. Penggunaan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) (Solm) sebagai Salah Satu Teknik Pengolahan Alternatif Air Limbah Asal Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kotamadya Bogor. Tesis. Program Pasca Sarjana- Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Sudarwin, 2008.Analisis Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd) pada Sedimen Aliran Sungai dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang Semarang.TESIS. Pogram Pasca Sarjana Universitas Diponegoro: Semarang.
Suhartini, M. 2013. Komplimerisasi kulit pisang N (hidroksimetil) akrilamida untuk adsorben ion logam Cu (II) dan Cr (VI).Jurnal Rise Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri. 2 (3) : 133-142.
Suhendrayatna, 2001.Heavy Metal Bioremoval by Microorgansim.http://www.istect.org/Publication/Japan/010211_suhendrayatna.PDF
Sumiyati, S. dan M. Hadiwidodo.2007. Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dalam Penyisihan Logam berat Chromium (Cr) pada Limbah Elektroplating. Jurnal Teknik. Vol 28 (1) Tahun 2007. ISSN 0852-1697.
Suprapti, N. H. Kandungan Chromium pada Sedimen dan Kerang Darah (Anadara granosa) di Wilayah Pantai Sekitar Muara Sungai Sayung, Desa Morosari Kabupaten Demak Jawa Tengah.Bioma J. 10 (2) : 53-56.
Suryabrata, S. 1987. Metode Penelitian. Rajawali Pers. Jakarta
Suryati, T. Dan B. Priyanto. 2003. Eliminasi Logam Berat Kadmium Dalam Air Limbah Menggunakan Tanaman Air. Jurnal Teknik Lingkungan. BPPT. Vol 4 (3) : 143-147.
Tarigan, Z., Edward dan A. Rozak. 2003. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni dalam Air Laut dan Sedimen di Muara Sungai Membramo Papua dalam Kaitannya dengan Kepentingan Budidaya Perikanan. Makara Sains. 7 (3) : 119-127.
64
Tjokrokusumo, S. W., dan F. L. Sahwan. 2003. Tanaman potensial penyerap limbah studi kasus di pulau Batam. Jurnal Teknik Lingkungan. 4 (2): 8-15.
Tosepu. 2012. Laju Penurunan Logam Berat Plumbum (Pb) dan Cadmium (Cd) Oleh Eceng Gondok dan Cyperus papyrus. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol 19 (1) : 37-45.
Ulfin, I,.Harmami dan E. Rahmawati.2014. Pemisahan Kromium dari Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit dengan Koagulan FeSO4-.Prosiding Seminar Nasional Kimia.178-184.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wahyuadi, S. J. 2004. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Industri Penyamakan Kulit.http://www.KimPraswil.go.id/balitbang/Puskim/Protek kim//ttg_kim_limbah_kulit.html
Wardana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset : Yogyakarta.
Wu, C., Zhang, W., Liao, X., Zeng, Y. dan Shi, B. 2014. Transposition of chrome tanning in leather making.Journal of the American Leather Chemist Association. 109 (6) : 176-183.
Yapaga, S., Y. B. Ossey dan V. Kouame. 2013. Phytoremediation of Zinc, Cadmium, and Chrome from Industri Wastewater by Eichhornia crassipes. International Journal of Conservation Science. 4(1): 81-86.
Yazid, M., Bastianudin dan W. Usada. 2007. Seleksi bakteri pereduksi krom di dalam limbah cair industri penyamakan kulit menggunakan metode ozonasi. Prosiding PPI Pustek Akselerator dan Proses Bahan BATAN.46-54.
Yusuf, G. 2001. Proses Bioremediasi Limbah Rumah Tangga Dalam Skala Kecil Dengan Kemampuan Tanaman Air Pada Sistem Simulasi. Tesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Yusuf, G. 2008. Bioremediasi limbah rumah tangga dengan sistem simulasi tanaman air. Jurnal Bumi Lestari. 8 (2): 136-144.