Perlukah Daftar BPJS?
Erta Priadi Wirawijaya January 29, 2014 Sistem dan KebijakanKesehatan
Perlukah Daftar BPJS? – Menjawab pertanyaan itu saya akan coba menjawabnya dengan memberikan
contoh kasus pasien yang kami tangani…
Kasus pertama : Beberapa hari yang lalu ada pasien yang datang ke Rumah Sakit kami dengan keluhan
nyeri dada. Setelah di periksa Elektrokardiogram (EKG) menunjukan gambaran ST Elevasi, pemeriksaan
lab ditemukan biomarker (penanda kerusakan) jantung naik. Dibuatlah diagnosa Infark miokard dengan ST
Elevasi (STEMI). Penyakit ini timbul karena sumbatan total pembuluh darah jantung (koroner), jika
berlangsung > 20 menit otot jantung mulai rusak dan jika dibiarkan > 12 jam umumnya otot jantung sudah
mengalami kerusakan yang menetap. Upaya untuk secepatnya mengembalikan aliran koroner
(revaskularisasi) menjadi penting dengan tujuan untuk mencegah perluasan infark (kematian otot) jantung
sehingga dapat mengurangi komplikasi yang mungkin timbul.
Pasien datang < 12 jam setelah onset nyeri, jadi upaya revaskularisasi masih bisa dikerjakan. Pilihannya
bisa dengan obat fibrinolitik atau tindakan intervensi koroner perkutan / Percutaneus Coronary Intervention
(PCI). Jika datang < 3 jam keberhasilan terapi fibrinolitik masih tinggi, diatas itu bila tersedia fasilitas Cath
Lab di RS dan PCI dapat dikerjakan kurang dari 60 menit PCI lebih dipilih. Harga fibrinolitik termurah
streptase sekitar 5 jutaan (setelah pajak) sementara PCI membutuhkan biaya setidaknya 30 juta-an. Itulah
standar medis yang seharusnya dikerjakan. Sayangnya pasien kami tidak mampu dan terdaftar sebagai
pasien umum sehingga kedua pilihan terapi untuk secepatnya mengembalikan aliran darah koroner
tersebut tidak bisa ditempuh.
Pasien infark miokard dapat mengalami beragam komplikasi, yang umum terjadi adalah gagal jantung dan
gangguan irama. Pada pasien ini keduanya terjadi, ada Total Atrio-Ventricular Block (TAVB) yang
mengakibatkan laju jantung menjadi sangat pelan dan memperberat gangguan fungsi Jantung. Jika
dibiarkan gagal jantung yang dialami akan memberat dan kondisinya sulit terselamatkan. Pada kasus
seperti ini harus dipasang alat pacu jantung sementara, walau pasien tidak mampu kami pasang itu atas
dasar kemanusiaan. Setelah beberapa hari perawatan di ruang intensif pasien mengalami perbaikan, alat
pacu jantung dapat dilepas dan sang pasien boleh pulang setelah mendapat penjelasan yang cukup
tentang penyakitnya dan terapinya optimalnya tercapai.
Kasus yang kedua adalah seorang pasien lama kami di poliklinik jantung. Mantan perokok yang juga tidak
memperdulikan tekanan darahnya yang tinggi. Sejak beberapa tahun terakhir sang bapak mulai
mengeluhkan nyeri dada saat aktivitas. Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan kami diagnosa dengan
Angina Pektoris Stabil. Penyakit ini timbul karena pembuluh darah koroner secara perlahan menyempit
hingga akhirnya mengganggu aliran darah ke jantung. Saat jantung bekerja terlalu keras, aliran darah
yang terbatas tersebut akan mengakibatkan sebagian otot jantung tidak mendapat cukup darah sehingga
keluhan nyeri dada timbul. Selama ini sang bapak berobat dengan Jamkesda dan karena kabupaten
asalnya hanya sanggup menanggung 5 juta untuk biaya rawat sang bapak tidak pernah bisa menjalani
tindakan PCI.
Selama ini sang bapak berobat sebulan sekali, selalu ditemani anak perempuannya. Setelah ada BPJS,
sang anak memutuskan untuk mengikut sertakan sang bapak. Walau harus mengantri lama, akhirnya sang
bapak terdaftar sebagai peserta mandiri BPJS kelas 3. Ketika saya tanya kenapa tidak ikut program gratis
yang dibayarkan pemerintah? Bukankah selama ini bapak dianggap tidak mampu? Sang anak bilang
: “Dulu tidak ada program seperti ini, walaupun untuk hidup kami bisa dibilang cukup, kalau harus
beli obat yang banyak untuk bapak jelas kami tak mampu. Sekarang dengan 25 ribu / bulan saya
bisa berikan jaminan kesehatan untuk orang tua saya – alhamdullilah saya masih mampu dan saya
mau bayar.”
Sang bapak kemudian didaftarkan kateterisasi jantung dan dengan 24 ribu tadi, sang bapak bisa menjalani
sebuah tindakan PCI hingga 68 juta. Coba dipikir, mana ada asuransi selain BPJS yang mau menanggung
hal seperti ini? Kebanyakan asuransi kesehatan memiliki batasan usia jika anda mau bergabung. Selain itu
jika anda sudah cukup memiliki faktor risiko, mereka akan melakukan pemeriksaan kesehatan untuk
memastikan anda terbebas dari penyakit yang berpotensi membutuhkan biaya besar untuk diobati. Selalu
ada klausul penyakit bawaan atau bawaan lahir tidak bisa diklaim. Dengan adanya BPJS, banyak orang
yang bisa ditolong, sang bapak itu salah satunya. Contoh lainnya adalah anak-anak yang dilahirkan
dengan jantung bawaan. Banyak diantara mereka yang selama ini tidak bisa menjalani operasi karena tidak
ada biaya. Kini hanya dengan mendaftar dan bayar Rp 25.500 untuk kelas III, operasinya bisa dikerjakan.
Sepertinya terlalu indah untuk jadi kenyataan ya? Pada beberapa kasus memang indah, dan
alhamdullilah masyarakat yang membutuhkan jadi sangat tertolong. Tapi jika kita menggali lebih dalam
akan ditemukan banyak permasalahan. Misalnya pada kasus serangan jantung seperti contoh saya diatas,
jika anda tinggal di daerah dan datang ke RS kecil kelas D maka plafon InaCBGs untuk sakit yang anda
derita hanya 3-6.7 juta. Mana cukup untuk memberikan obat streptase yang harganya 5 juta rupiah. Lain
halnya jika anda datang ke RS kelas A atau RS Nasional, walau harus dibatasi disana sini
insyallah plafonnya cukup. Dengan adanya perbedaan tarif yang sangat berbeda ini, menjadi mustahil di
rumah sakit kecil di daerah tersedia fasilitas yang memungkinkan dilakukannya PCI. Padahal harus diingat
bahwa dengan adanya standar medis yang sama, diagnosis yang sama, terapinya sama, seharusnya
harga tidak jauh berbeda. Sehingga bisa disimpulkan ada diskriminasi untuk anda yang tinggal di
daerah dan juga Rumah Sakit dalam JKN.
Perbedaan Tarif InaCBGs untuk pasien Serangan Jantung
Perbedaan Tarif InaCBG untuk Prosedur PCI
Contoh kedua saat si bapak tadi kontrol ke poliklinik jantung obatnya dibatasi karena plafon yang
disediakan BPJS untuk kasus rawat jalan sangat terbatas. Solusinya adalah diambil di apotik yang
bekerjasama dengan BPJS, sayangnya obatnya belum tersedia disana. Sehingga sang bapak bersama
para pensiunan PNS, purnawirawan TNI, peserta Jamsostek harus mau berkali-kali datang untuk kontrol
dan mengambil obat. Hal ini tentunya sangat menyita waktu, tenaga, dan juga ongkos transportasi. Bagi
peserta ASKES, TASPEN, dan JAMSOSTEK keberadaan JKN justru dianggap menyulitkan dan menurunkan
kualitas pelayanan.
Contoh lainnya dialami oleh anak-anak dengan penyakit jantung bawaan tadi. Kompensasi yang
dibayarkan BPJS untuk operasi jantungnya di RS Nasional hanya 40-76 juta, padahal operasinya kompleks
dan membutuhkan banyak alat medis dan obat yang harganya tidak kecil. Untuk RS Kelas A lebih parah
lagi hanya ditanggung 25-48 juta, jadi walaupun keahlian dan alatnya ada, menjadi sukar untuk bisa
dikerjakan karena pasti rumah sakitnya harus nombok besar. Terdapat defisit yang nilainya besar untuk
banyak tindakan bedah dan juga pemeriksaan, sehingga akhirnya tindakan atau pemeriksaan tersebut
dibatasi bahkan tidak lagi dikerjakan. Karena hal ini volume tindakan/pemeriksaan justru menurun dan
tentunya justru banyak yang dirugikan.
Rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS harus mau memberikan layanan kesehatan yang tersedia
sesuai tarif InaCBGs tanpa boleh meminta kekurangannya kecuali pasien memutuskan untuk naik kelas.
Hal ini menyulitkan karena tindakan, atau pemeriksaan yang tadinya biasa dikerjakan mendadak tidak lagi
bisa dikerjakan karena defisit yang terlalu besar. Bagaimana jika keluarga bersedia membayar sisanya?
Maaf itu melanggar hukum. Karena hal inilah kini banyak RS Swasta yang mengundurkan diri bekerja sama
dengan BPJS. Bagaimana dengan RS Pemerintah? Mereka mau tidak mau harus ikut serta, walau rugi
besar dan bisa jadi gulung tikar. Namun karena dikelola pemerintah pastinya tidak akan dibiarkan bangkrut.
Contoh keanehan dalam Tarif InaCBG : Myocardial Perfusion Imaging atau Imaging Nuklir Jantung
hanya dihargai 445 ribu, sementara radioisotope yang digunakan untuk pemeriksaan tersebut harganya 2
juta. Imaging Lain-lain dihargai 1.28 juta sementara Imaging Kontras Lain-lain dihargai 441 ribu. Padahal
jelas karena butuh kontras biayanya seharusnya jauh lebih besar.
Niat yang melandasi JKN ini baik, dan jaminan kesehatan memang sepatutnya menjadi milik tiap warga
negara tidak perduli apakah anda kaya atau miskin. Namun patut disadari oleh semua bahwa tidaklah
mungkin membiayai pelayanan kesehatan dengan anggaran yang sangat rendah.Seperti apa yang
dikatakan pepatah kesehatan itu mahal, dan hanya politikus busuk yang berani merubahnya
menjadi : “kesehatan itu gratis.” Sehat itu mahal, apalagi untuk Indonesia dimana hampir semua obat
dan alat kesehatan masih di-impor dan masuk dengan pajak yang tinggi. Tapi mahalnya kesehatan tidak
sepatutnya dibayar oleh anda, hal itu adalah sepenuhnya kewajiban pemerintah sesuai apa yang
digariskan oleh UUD Indonesia. Sehingga kesuksesan program ini menjadi sebuah amanat UUD yang harus
dipenuhi pemerintah. Karenanya pemerintah harus mau mengeluarkan uang lebih sehingga implementasi
BPJS tidak menurunkan standar pelayanan medis yang di negeri ini.
Premi 25 ribu tidaklah mungkin bisa memberikan pelayanan kesehatan yang serba “gratis.” Administrasi
yang harus dilalui bisa jadi sangat memusingkan, namun potensi tanggungan kesehatan yang bisa ada
dapat jauh lebih besar dari apa yang anda bayarkan. Semua itu dapat terlaksana karena ada support dari
mereka yang membayar lebih, itulah gotong royong. Tapi semestinya gotong royong ini tidak justru
membebani mereka yang selama ini telah membayar lebih. Pemerintah harus mengeluarkan lebih agar
standar pelayanan harus tetap dijaga, dan hal tersebut harus diakui membutuhkan biaya.
Jadi kalo melihat kasus pertama saya sarankan anda untuk ikut BPJS sebelum anda kena serangan
jantung (hal yang sama berlaku untuk kegawat daruratan lain). Jangan sampai anda harus mampir dulu ke
kantor BPJS sebelum ke Rumah Sakit. Melihat kasus kedua dan ketiga tetap anda lebih diuntungkan jika
ikut BPJS. Harus diakui saat ini BPJS adalah asuransi termurah yang ada di pasaran yang menawarkan
coverage yang cukup luas. Tapi murah bukan berarti tanpa masalah, ada banyak masalah didalamnya
seperti yang saya utarakan diatas. Jadi setelah ditimbang untung rugi nya silahkan daftar BPJS, setidaknya
anda tidak akan melanggar hukum – tapi mohon dipahami hak dan kewajiban apa yang ada dapat. Jika
anda benar-benar ingin JKN ini bisa terus berjalan dengan lebih baik dan tidak kandas ditengah jalan,
maka anda harus aktif dan turut mendorong perubahan sehingga pelaksanaannya bisa lebih adil untuk
semua. Saat itu tercapai barulah pelayanan kesehatan di Indonesia dapat terlaksana sesuai standar medis,
dan bukan mengacu pada plafon abal-abal InaCBG yang berlaku saat ini.
Jika diibaratkan JKN adalah sebuah kapal yang dipaksa berlayar sebelum waktunya. Banyak
penumpangnya yang dirugikan, tapi harus diingat banyak pula yang terselamatkan. Perlu dibuat banyak
perbaikan disana-sini agar kapalnya tidak tenggelam di tengah jalan. Nahkoda kapal bahkan perlu diganti
agar kapal dapat mengarungi lautan yang pastinya membawa banyak tantangan. Jika memang timbul
banyak kekisruhan, bukan suatu hal yang buruk jika kapalnya dibawa menepi dulu ke pelabuhan dan
diperbaiki. Sementara itu gunakan kembali kapal lama yang walau bagaimanapun ternyata dapat dinikmati
para pengguna Askes dan Jamsostek. Sistem fee for service memang ada moral hazard-nya tapi sistem
kapitasi dan casemix InaCBGs ini pun akan rentan terhadap under treatment dan over diagnosis jika nilai
kompensasinya terlalu rendah. Jika itu terjadi yang dirugikan adalah kita semua