Dampak Pengembangan Sukuk terhadap Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
DAFTAR ISI .................................................................................................................. 1
I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 2
II. PERKEMBANGAN SUKUK DI INDONESIA............................................... 4
1. Apa itu Sukuk ................................................................................................ 4
2. Sukuk dan Obligasi........................................................................................ 5
3. Jenis Obligasi Syariah ................................................................................... 7
4. Syarat Obligasi Syariah................................................................................ 9
5. Penggunaan Dana Sukuk............................................................................... 10
6. Perkembangan Sukuk.................................................................................... 11
III. PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA.............................. 15
1. Latar Belakang Bank Syariah ...................................................................... 15
2. PT Bank Muamalat Indonesia (BMI).......................................................... 16
3. Era Reformasi dan Perbankan Syariah……………………………………16
4. Sistem Penghimpunan Dana Bank Syariah………………………………. 19
5. Perbedaan Antara Investasi Dan Membungakan Uang............................. 25
6. Perbedaan Antara Utang Uang dan Utang Barang.................................... 26
7. Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil.................................................. 26
8. Ayat dan Hadits tentang Kerjasama dan Bagi Hasil.................................. 27
9. Permasalahan Perkembangan Bank Syariah.............................................. 28
IV. SUKUK DAN PERKEMBANGAN BANK SYARIAH ...................................... 31
V. KESIMPULAN ......................................................................................................... 36
PUSTAKA ...................................................................................................................... 37
1
I. PENDAHULUAN
Wacana penerbitan sukuk atau obligasi negara syariah sudah banyak dibicarakan
dalam 2 tahun terakhir, walaupun pembicaraan tentang hal ini telah dimulai dari tahun
2003. Sudah banyak investor lokal maupun asing terutama dari negara Timur Tengah
yang siap membeli surat berharga tersebut. Namun keinginan para penanam modal
tersebut belum dengan cepat dapat terwujud. Padahal, surat utang syariah bisa menjadi
salah satu instrumen alternatif bagi pemerintah guna mendapatkan dana.
Obligasi syariah ini sangat diminati pasar. Sampai 1 Desember 2007, total
Obligasi Syariah & Medium Term Notes (MTN) yang diterbitkan sudah mencapai 32
jenis. Sementara itu niat pemerintah untuk menerbitkan instrumen Sukuk Negara,
masih terganjal dengan belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan itu. Padahal,
sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda
dengan surat utang negara biasa. Misalnya mengenai UU Surat Berharga Syariah Negara.
Dan ini merupakan instrumen yang akan sangat mendorong tumbuhnya perbankan
syariah.
Yang masih menjadi ganjalan dalam pembahasan regulasi ini di antaranya
menyangkut pembentukan special purpose vehicle (SPV) yang kelak akan mengelola aset
baik fisik maupun hak pemanfaatannya yang dijadikan jaminan penerbitan sukuk. Tanpa
SPV, sukuk bisa dianggap barang haram.
Pembentukan SPV ini sulit dilakukan karena jika SPV tadi bentuknya merupakan
BUMN, secara otomatis lembaga ini harus tunduk pada UU No. 19 Tahun 2003, yang
menetapkan bahwa BUMN harus diawasi, diatur, disupervisi, dan dibina oleh Menneg
BUMN. Padahal, jika berkaitan dengan sukuk ataupun SUN (sesuai UU No. 1 Tahun
2004), mestinya hal itu diatur dan dikendalikan oleh Menkeu sebagai bendahara negara.
Selain itu apabila SPV tadi berbentuk PT, maka sesuai undang-undang, perusahaan ini
harus melakukan registrasi dan memiliki laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan
publik. Padahal, sebuah perusahaan yang baru dibentuk tentu sulit memenuhi persyaratan
tersebut.
Posisi SPV sendiri selain mewakili pemerintah, juga bertanggung jawab kepada
investor. Jadi, kalau terjadi dispute atau default, maka lembaga itulah yang akan
2
mewakili investor untuk bernegosiasi dengan pemerintah. SPV bisa saja posisinya
disamakan dengan kedudukan Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) yang mengelola dan
memelihara aset-aset milik pemerintah serta bertanggung jawab langsung kepada
Menkeu.
Terlepas dari segala permasalahan yang ada, kebutuhan terhadap sukuk sudah
sangat mendesak. Selain sudah banyak investor Timur Tengah yang siap berinvestasi,
keberadaan instrumen ini juga diyakini bisa mendukung pertumbuhan perbankan syariah
pasca berlakunya kebijakan office channeling.
3
II. PERKEMBANGAN SUKUK DI INDONESIA
1. Apa itu Sukuk
Sukuk secara umum dapat dipahami sebagai ‘obligasi’ yang sesuai dengan
syariah. Dalam bentuk sederhana sukuk menggambarkan kepemilikan dari suatu aset.
Klaim atas sukuk tidak atas dasar cash flow tetapi klaim atas kepemilikan. Ini juga yang
membedakan sukuk dari obligasi konvensional yang kemudian diproses atas interest
bearing, sementara sukuk pada dasarnya merupakan sertifikat investasi atas klaim
kepemilikan terhadap kumpulan aset.
Sukuk atau Obligasi Syariah didefinisikan sebagai suatu surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten (perusahaan penerbit
obligasi) kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil / margin / fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo
Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI) mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat dari suatu nilai yang
direpresentasikan setelah penutupan pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat dan
menggunakannya sesuai rencana, sama halnya dengan bagian dan kepemilikan atas aset
yang tangible, barang, atau jasa, atau modal dari suatu proyek tertentu atau modal dari
suatu aktivitas investasi tertentu. Sukuk (bentuk jamak dari sak) secara luas digunakan oleh kaum Muslim di
Timur Tengah sebagai surat yang menggambarkan kewajiban keuangan yang berasal dari
perdagangan dan kegiatan komersial lainnya. Tetapi, struktur sukuk saat ini adalah
berbeda dari sukuk yang awal pertamanya digunakan dan sama dalam kualitas atau
karakternya dengan konsep sekuritas konvensional. Suatu proses di mana kepemilikan
dari underlying asset dipindahkan kepada sejumlah besar investor melalui sertifikat yang
menggambarkan nilai proporsional dari aset yang dimaksud.
Fakta empiris membuktikan bahwa sukuk secara nyata digunakan secara luas oleh
masyarakat muslim pada abat pertengahan, dalam bentuk surat berharga yang mewakili
kewajiban pembiayaan yang berasal dari perdagangan dan kegiatan komersial lainnya.
4
2. Sukuk dan Obligasi
Obligasi adalah kontrak kewajiban utang di mana yang mengeluarkannya secara
kontrak berkewajiban membayar kepada pemilik obligasi, pada tanggal tertentu, bunga
dan pokok. Sementara itu sukuk adalah klaim atas kepemilikan pada underlying aset.
Konsekuensinya, pemilik sukuk berhak atas bagian dari penghasilan yang dihasilkan oleh
aset sukuk sama halnya dengan hak atas kepemilikan pada saat proses realisasi aset
sukuk. Perbedaan feature sukuk dalam hal ini adalah dimana sertifikat merupakan hutang
kepada pemilik, sertifikat yang tidak diperdagangkan pada pasar sekunder dapat ditahan
sampai maturity atau dijual pada harga par.
Berbeda dengan obligasi konvensional yang memperoleh pendapatan dari bunga
atau coupon, obligasi syariah memperoleh Pendapatan berupa bagi hasil, fee, atau marjin.
Perbandingan Sukuk dan Obligasi dapat dilihat pada gambar berikut 10 :
5
Menurut Fatwa DSN No. 32/DSN-MUI/IX/2002, Obligasi Syariah adalah suatu
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten
kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil / margin / fee, serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Dari sisi pasar modal,
penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi
keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksadana syariah
yang membutuhkan alternatif penempatan investasi.
Seperti halnya pada saham, obligasi harus memenuhi kriteria syariah. Aktivitas
utama bisnis yang halal dan tidak bertentangan dengan syariah islam. Obligasi Syariah
merupakan bentuk pendanaan dan sekaligus investasi. Agar struktur yang ditawarkan
terhindar dari riba, maka obligasi syariah dapat memberikan :
1. Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah/muqaradhah/qiradh atau musyarakah,
yaitu menggunakan akad kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau
keuntungan. Obligasi ini akan memberikans return dengan penggunaan term
indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada
kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
2. Margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istishna atau ijarah.
Akad ini berbentuk jual beli dengan skema cost plus basis, dan akan memberikan
penghasilan yang tetap
Bila melihat sifat-sifat umum dari sukuk, kualitasnya sama dengan semua pasar
lain yang berorientasi aset keuangan konvensional, termasuk hal-hal berikut :
1. Dapat diperdagangkan
Sukuk mewakili pihak pemilik aktual dari aset yang jelas, manfaat aset atau
kegiatan bisnis dan juga dapat diperdagangkan pada harga pasar.
2. Dapat diperingkat
Sukuk dapat diperingkat dengan mudah oleh Agen pemberi peringkat regional
dan internasional
3. Dapat ditambah
Sebagai tambahan terhadap aset utama atau kegiatan bisnis, sukuk dapat dijamin
dengan bentuk kolateral berlandaskan syariah lainnya.
6
4. Fleksibilitas hukum
Sukuk dapat distruktur dan ditawarkan secara nasional dan global dengan pajak
yang berbeda
5. Dapat ditebus
Struktur sukuk diperbolehkan untuk kemungkinan penebusan
Pada prinsipnya, sukuk atau obligasi syariah adalah surat berharga sebagai
instrumen investasi yang diterbitkan berdasar suatu transaksi atau akad syariah yang
melandasinya (underlying transaction), yang dapat berupa ijarah (sewa), mudharabah
(bagi-hasil), musyarakah, atau yang lain. Sukuk yang sekarang sudah banyak diterbitkan
adalah berdasarkan akad sewa (sukuk al-ijarah), di mana hasil investasi berasal dan
dikaitkan dengan arus pembayaran sewa aset tersebut. Meskipun demikian, sukuk dapat
pula diterbitkan berdasar akad syariah yang lain.
3. Jenis Obligasi Syariah
Sukuk dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan bentuk syariah
sebagai kontrak atau sub kontrak utama. Yang paling penting adalah shirakah, ijarah,
salam dan istisna’. Menurut aturan dasar syariah, investasi sukuk harus distruktur, pada
satu sisi berdasarkan prinsip mudharabah. Pada sisi lain, bisnis dapat dilaksanakan
melalui bentuk/instrumen partisipatory (keikutsertaan) atau fixed return. Jadi, tingkat
return pada sukuk akan berupa variable atau quasi-fixed (pada kasus dalam bentuk fixed
return). Sukuk pada kategori kedua dapat dibuat sukuk dengan fixed return melalui
provisi berupa jaminan pihak ketiga.
Sukuk yang akan dikeluarkan pemerintah disebut dengan Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) atau dapat juga disebut Sukuk Negara. Sukuk ini merupakan surat
berharga (obligasi) yang diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan
prinsip syariah. Perusahaan yang akan menerbitkan SBSN ini adalah merupakan
perusahaan yang secara khusus dibentuk guna kepentingan penerbitan SBSN ini ( special
purpose vehicle-SPV).
SBSN atau sukuk negara ini adalah merupakan suatu instrumen utang piutang
tanpa riba sebagaimana dalam obligasi, dimana sukuk ini diterbitkan berdasarkan suatu
7
aset acuan yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam aplikasinya SBSN ini merupakan
alternatif pembiayaan APBN melalui penerbitan SBN, seperti dalam bagan berikut ini 10:
SBSN dapat berupa:
1. SBSN ijarah, yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad ijarah (akad sewa
menyewa atas suatu aset)
2. SBSN mudharabah, yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad mudharabah
(akad kerjasama dimana salah satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan
pihak lainnya menyediakan tenaga dan keahlian ( mudharib) dimana kelak
keuntungannya akan dibagi berdasarkan persentase yang disepakati sebelumnya,
apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut adalah menjadi beban dan
tanggung jawab pemilik modal)
3. SBSN musyarakah, yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad musyarakah
(akad kerjasama dalam bentuk penggabungan modal)
4. SBSN istisna’, yaitu SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad istisna’ (akad jual
beli untuk pembiayaan suatu proyek dimana cara ,jangka waktu penyerahan
barang dan harga barang ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
8
5. SBSN berdasarkan akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah,
6. SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari dua atau lebih jenis akad.
Hingga 14 September 2007, masih terdapat kendala dalam penerbitan SBSN yaitu
dengan tertundanya pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) SBSN. RUU ini
belum mendapatkan pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
sehingga penerbitan SBSN di Indonesia belum dapat dilakukan. Pembahasan RUU
SBSN ini telah berlangsung sejak tahun 2005.
Beberapa jenis obligasi syariah telah ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Obligasi Syariah mudharabah yaitu obligasi syariah yang hasil investasinya
berdasarkan bagi hasil.
2. Obligasi Syariah ijarah yaitu obligasi yang dikeluarkan berdasarkan prinsip ijarah
4. Syarat Obligasi Syariah
Syarat sebuah obligasi disebut syariah adalah sebagai berikut :
1. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
a. Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
b. Musyarakah
c. Murabahah
d. Salam
e. Istishna
f. Ijarah;
2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan
syariah, yaitu :
a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang
dilarang;
b. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan
asuransi konvensional;
c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan
dan minuman yang haram;
9
d. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-
barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang
Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
4. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang
digunakan;
5. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
6. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim
Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi
Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
7. Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama
disepakati dalam akad.
5. Penggunaan Dana Sukuk
Penggunaan yang umum atas sukuk dapat disebut sebagai proyek spesifik, aset
spesifik, dan neraca spesifik.
a. Sukuk Proyek Spesifik
Didalam kategori ini uang digunakan untuk proyek spesifik. Sebagai contoh, Qatar
Global Sukuk dikeluarkan oleh Pemerintah Qatar tahun 2003 untuk memobilisasi
sumberdaya untuk pembangunan Hamad Medical City (HMC) di Doha. Dalam hal
ini terjadi joint venture special purpose vehicle (SPV), Qatar Global Sukuk QSC,
dibentuk di di Qatar dengan hutang yang terbatas. SPV ini membeli kepemilikan
perluasan lahan, dan didaftarkan atas nama HMC. Perluasan lahan ini ditempatkan
pada ‘trust’ dan sertifikat atas dasar Trust yang dikeluarkan dengan nilai US$ 700 juta
dan jatuh tempa tahun 2010. Hasil tahunannya disetujui menggunakan rate
mengambang pada LIBOR plus 0.45 percent.
b. Sukuk Aset spesifik
Pada kategori ini, sumberdaya dimobolisasi dengan menjual hak manfaat atas aset
kepada investor.
c. Sukuk Neraca Specific
10
Sukuk Neraca spesifik, sebagai contoh sukuk yang dikeluarkan oleh IDB tahun 2003
yang akan jatuh tempo pada tahun 2008. IDB menggunakan dana tersebut untuk
membiayai berbagai macam proyek dari negara-negara peserta.
6. Perkembangan Sukuk
Inovasi baru-baru ini dalam keuangan islam telah mengubah dinamika industri
keuangan islam. Terutama dalam area bonds dan sekuritas, penggunaan sukuk atau
sekurtias islam menjadi terkenal dalam beberapa tahun terakhir ini, baik government
sukuk maupun corporate sukuk. Dimulai dari tiga sukuk ditahun 2000 dengan nilai
US$336 juta, jumlah sukuk di akhir tahun 2006 mencapai 77 dengan nilai lebih dari US$
27 miliar dana kelolaan. Pada akhir 2007 diperkirakan melebihi US$ 35 miliar
Sukuk sudah berkembang menjadi salah satu mekanisme yang sangat penting dalam
meningkatkan keuangan dalam pasar modal internasional melalui struktur yang dapat
diterima secara Islam. Perusahaan multinasional, Pemerintah, Badan Usaha Milik
Negara, dan lembaga keuangan menggunakan sukuk internasional sebagai alternatif
pembiayaan sindikasi.
Di Indonesia, total Obligasi Syariah & Medium Term Notes (MTN) yang
diterbitkan sudah mencapai 32 jenis, yaitu :
1. PT Indosat Tbk (Mudharabah)
2. Bank Bukopin Syariah
3. PT Berlian Laju Tanker (BLTA)
4. Bank Muamalat Indonesia Tbk
5. PT Cyliandra
6. Bank Syariah Mandiri
7. PTPN VII
8. PT Matahari Putra Prima Tbk
9. PT Citra Sari Makmur
10. PT Sona Topas
11. PT Pembangunan Perumahan
12. PT Arpeni Pratama Ocean Line (APOL)
11
13. PT Humpuss Intermoda Transportasi (HIT) Tbk
14. PT Indorent
15. PT Berlina Tbk
16. PT Eternal Buana Chemical Industries (EBCI)
17. PT Apexindo Pratama Duta Tbk
18. PT Indosat Tbk (Ijarah)
19. PT Polytama Propindo
20. PT Ricky Putra Globalindo (RPG)
21. PT Logindo Samudramakmur
22. PT Credit Suisse First Boston (CSFB)
23. PT Indonesia Comnet Plus (I Comnet +)
24. PT PLN (Persero)
25. PT Pembangunan Perumahan (Persero)
26. PT Indosat, Tbk (Ijarah I)
27. PT Adhi Karya (Persero), Tbk
28. PT. Berlian Laju Tanker, Tbk
29. PT PLN (Persero)
30. PT Indosat, Tbk (Ijarah II)
31. PT Perkebunan Nusantara III
32. PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Pesatnya perkembangan keuangan syariah di berbagai belahan dunia, tidak
dengan cepat diikuti oleh Indonesia. Posisi Indonesia nyaris tidak diperhitungkan oleh
para praktisi keuangan syariah global. Padahal, Indonesia adalah negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia. Dan sangat ironis bahwa perhatian para praktisi keuangan
syariah baik dari Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat (AS) tersebut justru tertuju
pada Singapura dan Malaysia yang di anggap sebagai islamic financial hub selain Qatar,
Dubai, dan Bahrain. Kondisi ini memang tak lepas dari perkembangan keuangan syariah
di Indonesia yang pertumbuhannya berjalan lambat. Di bidang perbankan, pangsa aset
perbankan syariah baru mencapai 1,72% dari total aset perbankan di Indonesia (posisi
September 2007). Dan belum banyak institusi di Indonesia yang memanfaatkan
12
instrumen keuangan syariah, seperti obligasi syariah (sukuk) dalam aktivitas fund raising
mereka.
Perkembangan keuangan syariah global yang sangat pesat ini terutama di picu
oleh aktivitas investasi yang di lakukan oleh para investor dari negara-negara yang
tergabung dalam the Gulf Cooperation Countries(GCC), yaitu Bahrain, Oman, Qatar,
Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) di berbagai negara. Data Islamic
International Finance Market (IIFM) menunjukkan selama 2000-2006, total sukuk yang
diterbitkan di seluruh dunia telah mencapai lebih dari US$50 miliar dengan rincian
corporate sukuk sekitar US$44 miliar dan sovereign sukuk US$6 miliar lebih (lihat
grafik). Dari sekitar US$50 miliar sukuk tersebut, sekitar US$19 miliar merupakan global
sukuk, atau sukuk yang diperdagangkan di bursa global. 13
Peminat sukuk kini juga semakin rasional. Ini terlihat bahwa sekitar 48% dari
total sovereign sukuk yang telah diterbitkan di pesan oleh para investor konvensional
yang meliputi 25% investor institusi, 11% fund manager, dan 13% dari bank sentral dan
institusi pemerintah (Zamir Iqbal & Abbas Mirakhor, 2007)13. Saat ini negara yang
banyak di singgahi investor dari GGC justru dari Eropa. Di Eropa, negara yang menjadi
financial hub dari GCC adalah Inggris. Dipilihnya Inggris, tidak terlepas dari kebijakan
otoritas Inggris yang sangat terbuka dengan masuknya dana-dana dari GCC. Saat ini,
sekitar 85% dari seluruh obligasi yang dikeluarkan GCC berbentuk sukuk, dan London
adalah memegang posisi penting sebagai pasar sukuk. Inggris sendiri telah
mengumumkan akan menyusun sebuah kerangka regulasi dan tax reform baru dalam
rangka mendukung penerbitan sukuk domestik.
Di kawasan Asia, Malaysia telah menjadi yang terdepan dalam urusan keuangan
syariah. Pada 2006 diketahui bahwa Rantau Abang Capital Sukuk menerbitkan sukuk
senilai US$2.726 juta pada Maret 2006. Malaysia saat ini mengendalikan sekitar 70%
dari total sukuk yang diterbitkan pasar global (global sukuk) (Bisnis Indonesia, 20
Agustus 2007).
Perkembangan penggunaan instrumen keuangan syariah begitu pesat
pertumbuhannya semestinya ini menjadi pemicu bagi pelaku ekonomi (pemerintah dan
swasta) di Indonesia untuk menangkapnya sebagai peluang dalam rangka meningkatkan
investasi. perluasan instrumen investasi untuk mendorong kegiatan investasi, dengan
13
pemanfaatan instrumen keuangan syariah, menjadi relevan untuk di dorong
pertumbuhannya. Oleh karena itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) perlu dipercepat agar kita tidak ketinggalan momentum
investasi 2008. Kemudian perlunya infrastruktur investasi yang comfortable bagi
masuknya investor asing yang hendak berinvestasi dalam instrumen keuangan syariah.
Pemerintah, misalnya, berencana akan membentuk Indonesia Infrastructure Fund (IIF)
dalam rangka memudahkan mencari sumber dana bagi pembiayaan infrastruktur.
Data McKinsey menunjukkan 20%-30% investor dari GCC memilih produk
keuangan yang sesuai syariah, 50%-60% memilih kombinasi syariah dan konvensional,
sedangkan sisanya 10%-30% bersifat in different.
14
III. PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
Bank syariah atau Bank Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan
dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut
dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal:
usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak
islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Adapun alasan rasional eksistensi Bank Syariah dapat dikemukakan sebagai
berikut 11
1. Keinginan umat muslim untuk kaffah, aktivitas keuangan sesuai tuntutan
syariah (larangan riba, norma ekonomi dalam Islam, larangan maysir, gharar,
jahala, dan kehalalan cara dan objek investasi).
2. Kajian konsep dan pengamatan empiris terhadap praktek keuangan non
konvensional ini (yaitu sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil)
menunjukkan kelayakan dan berbagai keunggulan sistem antara lain :
- profit sharing economic (Weisman, Presley, Chapra, Stiglitz)
- Interest free banking system (Siddiqi, Wilson, Baldwin)
1. Latar Belakang Bank Syariah
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke
Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar
ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah
Karnaen A. Perwataatmadja, M.Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien Azis, dll.
Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya adalah
Baitut Tanwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga
dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti 1.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus
1990 menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa
15
Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV
MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan
amanat Munas IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di
Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan
pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
2. PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut
di atas. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1
November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen
pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar.
Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silahturahmi Presiden di Istana
Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp
106.126.382.000 Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat
Indonesia mulai beroperasi.
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini
belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional.
Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan
sebagai “bank dengan sistem bagi hasil” tidak terdapat rincian landasan hukum syariah
serta jenis- jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No.7
Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya
sepintas lalu dan merupakan “sisipan” belaka.
3. Era Reformasi dan Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya
UU No.10 Tahun 1998. Dalam undang- undang tersebut diatur dengan rinci landasan
hukum serta jenis- jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank
syariah. Undang- undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank- bank konvensional
16
untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank
syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah
bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya.
Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam
institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi
bank syariah.
Hal demikian diantisipasi oleh BI dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan
Syariah” bagi para pejabat BI dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan
langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit,
pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.
a. Bank Umum Syariah
Bank Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang
melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari
Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan dilingkup Bank Mandiri
(ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh. Dalam
rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerjasama
dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi.
Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset
ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulan
komparatif dibanding pendahulunya. Demilian juga perkembangan politik di Aceh
menjadi ‘blessing in disguise’ bagi BSM. Hal ini karena BSM menyerahkan seluruh
cabang Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syariah.
Selain Bank Muamalat Indonesia dan bank Syariah Mandiri, sampai dengan bulan
Desember tahun 2007, bank umum syariah lainnya adalah Bank Syariah Mega Indonesia,
yang merupakan konvesri dari bank Tugu milik Para Globalinvestindo Group menjadi
Bank Umum Syariah.
17
b. Unit Syariah dari Bank Konvesional, Bank Pembangunan Daerah, dan Bank Custodian
Satu perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi adalah
diperkenankannya bank umum konvensional membuka cabang syariah atau unit bank
syariah. Kecepatan pertumbuhan unit syariah menjadi lebih cepat dengan
diperkenankannya bank konvensional membuka unit dalam bentuk ‘window’.
Beberapa bank yang sudah membuka cabang syariah, data sampai dengan 7
Desember 2007 adalah :
1. Bank IFI Syariah
2. Bank BNI Syariah
3. Bank Bukopin Syariah
4. Bank BRI Syariah
5. Bank Danamon Syariah
6. Bank BII Syariah
7. Bank HSBC Amanah Syariah
8. Bank Niaga Syariah
9. Bank Permata Syariah
10. Bank BTN Syariah
11. Bank Ekspor Indonesia Syariah
12. Bank BTPN Syariah
13. Bank Lippo Salam
14. ABN Amro Bank Syariah
Sedangkan Bank Pembangunan Daerah yang sudah membuka Unit Usaha
Syariah sampai dengan tanggal 7 Desember 2007 adalah :
1. Bank Jabar Syariah
2. Bank DKI Syariah
3. Bank Riau Syariah
4. Bank Sumut Syariah
5. BPD Aceh Syariah
6. BPD Kalsel Syariah
7. BPD NTB Syariah
18
8. Bank Sumsel Syariah
9. Bank Kalbar Syariah
10. BPD DIY Syariah
11. BPD Kaltim Syariah
12. Bank Nagari Syariah (BPD Sumbar)
13. Bank Jatim Syariah
14. Bank Sulsel Syariah
15. Bank Jateng Syariah
Dan sudah terdapat empat bank custodian syariah yaitu :
1. Deutsche Bank
2. Kustodian Bank HSBC
3. Kustodian Bank Niaga
4. Citibank, N.A. Indonesia
4. Sistem Penghimpunan Dana Bank Syariah
Bagi bank konvensional, selain modal, sumber dana lainnya cenderung bertujuan
untuk ”menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang
megemukakan bahwa orang yang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi,
cadangan (jaga-jaga), dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun
disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
Berbeda dengan hal tersebut, bank syariah tidak melakukan pendekatan tunggal
dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Misalnya, pada
tabungan, beberapa bank memperlakukannya seperti giro, sementara itu ada pula yang
memperlakukannya seperti deposito, bahkan ada yang tidak menyediakan produk
tabungan sama sekali.
Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri atas:
1. modal,
2. titipan, dan
3. investasi.
19
A. MODAL
Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner). Pada akhir
periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut,
pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang biasa disebut dengan
deviden. Dana modal dapat digunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan,
dan sebagainya yang secara langsung tidak menghasilkan (fixed asset/non earning asset).
Selain itu, modal juga dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan
menjadi pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari modal, hasilnya tentu saja bagi
pemilik modal, tidak dibagikan kepada pemilik dana lainnya.
Dalam perbankan syariah, mekanisme penyertaan modal pemegang saham dapat
dilakukan melalui musyarakh fi sahm asy-syarikah atau equity participation pada saham
perseroan bank.
Mekanisme penyertaan saham tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut
ini:
Keterangan
Salah satu sumber dana bank berasal dari pemegang saham dengan setoran modal,
kemudian disalurkan menjadi pembiayaan. Dalam satu periode pembukuan, sesuai hasil
Rapat Umum Pemegang Saham, investor akan mendapatkan hasil dalam bentuk deviden.
B. TITIPAN
Salah satu prinsip yang digunakan bank syariah dalam memobilisasi dana adalah
dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah
al-wadi’ah. Al-wadi’ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika
20
pemiliknya menghendakinya. Secara umum terdapat dua jenis wadi’ah: wadi’ah yad al-
amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah.
1. Wadi’ah Yad al-Amanah (Trustee Depository)
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh
memanfaatkannya.
c. Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya
kepada yang menitipkan.
d. Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah
jasa penitipan atau safe deposit box.
Mekanisme seperti diatas dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.
Keterangan
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima
titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
2. Wadi’ah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik berikut ini.
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang
menerima titipan.
21
b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
c. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.
d. Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung
berdasarkan persentasi yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syariah,
pemberiah bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak
ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar- benar pemberian sepihak sebagai
tanda terima kasih dari pihak bank.
e. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank
syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
f. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya
tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat.
Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang
dipersamakan.
Mekanisme wadi’ah yad adh-dhamanah dapat digambarkan dalam skema sebagai
berikut.
Keterangan
Dengan konsep al-wadi’ah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak bank
dalam hal ini mendapatkan hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif
kepada penitip dalam bentuk bonus.
22
Perbedaan Antara Jasa Giro dan Bonus
No Jasa Giro Bonus (Athaya)1 Diperjanjikan Tidak diperjanjikan2 Disebutkan dalam akad Benar-benar merupakan budi baik
bank3 Ditentukan dalam persentase yang tetap Ditentukan sesuai dengan
keuntungan riil bank
C. INVESTASI
Prinsip lain yang digunakan adalah prinsip investasi. Akad yang sesuai dengan
prinsip ini adalah mudharabah.Tujuan dari mudharabah adalah kerjasama antara pemilik
dana( shahibul maal) dan pengelola dana ( mudharib), dalam hal ini bank.
Secara garis besar, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut.
1. Mudharabah Muthlaqah (General Invesment)
a. Shahibul maal tidak memberikan batasan-batasan (restricion) atas dana yang
diinvestasikannya. Mudharib diberi wewenang penuh mengelola dana tersebut
tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha, dan jenis pelayanannya.
b. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah time deposit biasa.
Skema mudharabah mutlaqah dapat digambarkan sebagai berikut.
Dalam skema mudharabah mutlaqah terdapat beberapa hal yang sangat berbeda
secara fundamental dalam hal nature of relationship beetwen bank and customer pada
bank konvensional.
a. Penabung atau deposan di bank syariah adalah investor dengan sepenuh
penuhnya makna investor. Dia bukanlah lender atau kreditor bagi bank seperti
23
halnya di bank umum. Dengan demikian, secara prinsip, penabung dan deposan
entitled untuk risk dan return dari hasil usaha bank.
b. Bank memiliki dua fungsi: kepada deposan atau penabung, ia bertindak
sebagai pengelola (mudharib), sedangkan kepada dunia usaha, ia berfungsi
sebagai pemilik dana (shahibul maal). Dengan demikian, baik ke kiri maupun
kekanan, bank harus sharing risk dan return (lihat skema sebelumnya)
c. Dunia usaha berfungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi
hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam pengembangannya, nasabah
pengguna dana dapat juga menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual
beli, sewa, dan fee based services.
2. Mudharabah Muqayyadah
a. Shahibul maal memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya.
Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang
diberikan oleh shahibul maal.Misalnya, hanya untuk jenis usaha tertentu saja,
tempat tertentu, dan lain-lain.
b. Aplikasi perbankan yg sesuai dengan akad ini ialah special invesment.
Special invesment melalui mudharabah muqayyadah dapat digambarkan dalam
skema berikut ini.
Keterangan
Dalam investasi dengan menggunakan konsep mudharabah muqayyadah, pihak
bank terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh shahibul maal,
misalnya:
- jenis investasi,
24
- waktu dan tempat.
Produk special invesment based on restricted mudharabah ini sangat sesuai
dengan special hight networth individuals atau company yang memiliki kencenderungan
investasi khusus.
Disamping itu, special invesment merupakan suatu modus funding dan financing,
sekaligus yang sangat cocok pada saat-saat krisis dan sektor perbankan mengalami
kerugian yang menyeluruh. Dengan special invesment, Investor tertentu tidak perlu
menanggung overhead bank yang terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke proyek
khusus dengan return dan cost yang dihitung khusus pula.
5. Perbedaan Antara Investasi Dan Membungakan Uang
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang.
Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan
dengan unsur ketidapastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya
(return) tidak pasti dan tidak tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung resiko
karena perolehan kembaliannya berupa uang yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam
mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan
uang. Sesuai dengan definisi diatas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori
kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak
pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu tergantung pada pada hasil
usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola
dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam
harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih
menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
25
6. Perbedaan Antara Utang Uang dan Utang Barang
Ada dua jenis utang yang berbeda satu sama lainnya, yakni utang yang terjadi
karena pinjam-meminjam uang dan utang yang terjadi karena pengadaan barang. Utang
yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan
alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya meterai, biaya notaris, dan studi kelayakan.
Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi,
tidak diperbolehkan.
Utang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu
kemasan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri atas harga pokok
barang plus keuntungan yang disepakati, selamanya tidak boleh berubah naik karena akan
masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah, yang muncul adalah
kewajiban dalam bentuk utang pengadaan barang, bukan utang uang.
7. Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba.
Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel
berikut.
Tabel Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA BAGI HASIL
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
b. Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
c. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
d. Bagi hasil bergatung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembayaran bunga tidak e. Jumlah pembagian laba meningkat
26
meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang ”booming”.
sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
f. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
8. Ayat dan Hadits tentang Kerjasama dan Bagi Hasil
Landasan Ayat dan Hadis yang mendasari kerjasama dan bagi hasil dalam
perbankan syariah dapat dilihat pada hadis dan ayat berikut :
Al-Hadits, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :
بينهما من خرجت خانه فاذا حبه صا أحدهما يخن لم ما الشاركين لث ثا أنا
داود( أبو رواه)
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan
Hakim).
Firman Alah dalam Surat Luqman, ayat 34
34. Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok[1187]. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
27
[1187] Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha.
a. Para ahli ekonomi Islam menjadikan ayat ini sebagai landasan (dasar/dalil) bagi
konsep bagi hasil. Hasil investasi PLS (bagi hasil) tidak bisa dipastikan, karena
hanya Allah yang mengetahui hasilnya di masa depan.
b. Ayat ini bertentangan dengan konsep bunga yang memastikan jumlah hasil
investasi di masa depan. Kepastian tersebut bertantangan dengan fitrah bisnis
yang mengandung 3 kemungkinan ; untung, no return (BEP) dan rugi.
c. Besarnya keuntungan juga berfluktuasi, sehingga tidak bisa dipatok pada angka
tertentu
d. Oleh karena hanya Allah yang bisa memastikan berapa hasil keuntungan di masa
depan dan bagaimana hasil bisnisnya, semetara manusia tidak bisa
mengetahuinya, maka maka konsep bunga yang diterapkan manusia
sesungguhnya bertentangan dengan konsep tauhid, karena bunga memastikan
berapa keuntungan di masa depan.
e. Ayat ini juga bertentangan dengan konsep time value of money.
f. Hadits Nabi Saw :
بالضمان الخراجg. Keuntungan/profit yang diperoleh sejalan dengan resiko yang ditanggung (H.R.
Abu Daud)
بالغنم الغرمh. (Resiko/biaya yang ditanggung sejalan dengan keuntungan yang diperoleh(
9. Permasalahan Perkembangan Bank Syariah
Bank syariah secara resmi telah diperkenalkan kepada masyayakat sejak tahun
1992, yaitu dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-
undang ini yang selanjutnya diinterpretasikan dalam berbagai ketentuan pemerintah, telah
memberikan peluang seluas-luasnya untuk pembukaan bank-bank yang beroperasi
dengan prinsip bagi hasil/syariah. Perkembangan perbankan syariah hingga saat ini cukup
28
pesat terutama dari segi jumlah bank. Namun dari segi volume usaha, dibandingkan
dengan bank konvensional masih sangat kecil, yaitu di bawah 2 %.
Banyak tatangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
perbankan syariah, terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang
baru, suatu sistem yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip dengan sistem yang
dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Berikut ini dikemukakan beberapa
kendala yang muncul sehubungan dengan pengembangan perbankan syariah.
1. Pemahaman Masyarakat yang Belum Tepat terhadap Kegiatan Operasional Bank
Syariah
Karena masih dalam tahap awal pengembangan, dapat dimaklumi bahwa pada
saat ini pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai sistem dan prinsip
perbankan syariah masih belum tepat. Pada dasarnya, sistem ekonomi Islam telah
jelas, yaitu melarang mempraktikkan riba serta akumulasi kekayaan hanya pada
pihak tertentu secara tidak adil. Akan tetapi, secara praktis, bentuk produk dan
jasa pelayanan, prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank dan nasabah, serta
cara-cara berusaha yang halal dalam bank syariah, masih sangat perlu
disosialisasikan secara luas.
Adanya perbedaan karasteristik produk bank konvensional dengan bank syariah
telah menimbulkan adanya keengganan bagi pengusaha jasa perbankan.
Keengganan tersebut antara lain disebabkan oleh hilangnya kesempatan
mendapatkan pendapatan tetap berupa bunga dari simpanan. Oleh karena itu,
secara umum perlu diinformasikan bahwa penempatan dana pada bank syariah
juga dapat memberikan keuntungan finansial yang kompetitif. Disamping itu,
salah satu karasteristik khusus dari hubungan bank dengan nasabah dalam sistem
perbankan syariah adalah adanya moral force dan tuntutan terhadap etika usaha
yang tinggi dari semua pihak. Hal ini selanjutnya akan mendukung prinsip kehati-
hatian dalam usaha bank maupun nasabah.
2. Pengaturan Perbankan yang Berlaku Belum Sepenuhnya Mengakomodasi
Operasional Bank Syariah
29
Karena adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara bank
syariah dan bank konvensional, ketentuan- ketentuan perbankan perlu disesuaikan
agar memenuhi ketentuan syariah sehingga bank syariah dapat beroperasi secara
efektif dan efisien.Ketentuan- ketentuan tersebut antara lain adalah hal- hal yang
mengatur:
a. instrumen yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas,
b. instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan
pelaksanaan tugas bank sentral,
c. standar akuntansi, audit, dan pelaporan.
d. ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati- hatian, dan
sebagainya. Ketentuan- ketentuan tersebut sangat diperlukan agar perbankan
syariah menjadi elemen dari sistem moneter yang dapat menjalankan
fungsinya secara baik dan mampu berkembang pesat bersaing dengan bank
konvensional.
3. Sumber Daya Manusia yang Memiliki Keahlian dalam Bank Syariah Masih
Sedikit
Kendala dibidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan syariah
disebabkan karena sistem ini masih belum lama dikembangkan. Disamping itu,
lembaga-lembaga akademik dan pelatihan dibidang ini sangat terbatas sehingga
tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang perbankan syariah, baik dari sisi
bank pelaksana maupun dari bank sentral (pengawas dan peneliti bank), masih
sangat sedikit. Pengembangan sumber dana manusia dibidang perbankan syariah
sangat perlu karena keberhasilan pengembangan bank syariah pada level mikro
sangat ditentukan oleh kualiatas manajemen dan tingkat pengetahuan serta
ketrampilan pengelola bank. Sumber daya manusia dalam perbankan syariah
harus memiliki pengetahuan yang luas dibidang perbankan, memahami
implementasi prinsip-prinsip syariah dalam praktik perbankan, serta mempunyai
komitmen kuat untuk menerapkannya secara konsisten. Dalam hal pengembangan
bank syariah dengan cara mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah
atau membuka kantor cabang syariah oleh bank umum konvensional,
30
permasalahan ini menjadi lebih penting karena diperlukan suatu perubahan pola
pikir dari sistem usaha bank yang beroperasi secara konvensional ke bank yang
beroperasi dengan prinsip syariah.
4. Jaringan Kantor Bank Syariah yang Belum Luas
Pengembangan jaringan kantor bank syariah diperlukan dalam rangka perluasan
jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank
syariah yang ada juga menghambat perkembangan kerjasama antar bank syariah.
Kerjasama yang sangat diperlukan antara lain berkenaan dengan penempatan dana
antar bank dalam hal mengatasi masalah likuiditas. Sebagai suatu badan usaha,
bank syariah perlu beroperasi dengan skala yang ekonomis. Karenanya jumlah
jaringan kantor bank yang luas juga akan meningkatkan efisiensi usaha.
Berkembangnya jaringan bank syariah juga diharapkan dapat meningkatkan
kompetisi ke arah peningkatan kualitas pelayanan dan mendorong inovasi produk
dan jasa perbankan syariah.
31
IV. SUKUK DAN PERKEMBANGAN BANK SYARIAH
Sampai dengan tanggal 7 Desember 2007, terdapat 3 Bank Umum Syariah, 14
unit Usaha Syariah Bank Umum, 15 Unit syariah BPD, 4 Bank Custodian Syariah, dan
sekitar 100 lebih BPRS. Sementara itu BI memperkirakan aset bank syariah tumbuh
hampir tiga kali lipat menjadi Rp 91,6 triliun 2008, dari posisi September tahun ini Rp
31,8 triliun. Prediksi yang sangat optimistis ini didasarkan pada terselesaikannya
sejumlah ganjalan yang dianggap menghambat laju pertumbuhan. Salah satunya,
instrumen obligasi negara syariah yang tersedia pada awal 2008 serta penyempurnaan
UU Perpajakan. Pada tahun 2008, pembiayaan syariah akan mencapai Rp 73,3 triliun,
hampir tiga kali lipat dari posisi September tahun ini Rp 25,58 triliun. Demikian juga
disisi pendanaan yang dipatok tumbuh menjadi Rp 68,9 triliun dari Rp 24,68 triliun pada
September 2007.
Angka ini akan tercapai bila terpenuhinya dua syarat, yaitu jika instrumen
obligasi negara syariah (sukuk syariah) dijadikan salah satu alternatif investasi, dan bila
bank sentral menyediakan lelang SBI syariah sebagai instrumen untuk menyerap
likuiditas pasar keuangan syariah. Akan sulit mengambil dana masyarakat jika tidak
tersedia SBI Syariah. Jika dipaksakan lembaga keuangan syariah bisa rugi karena uang
tidak kemana-mana. Sedangkan keberadaan Sertifikat Wadiah BI yang hanya
memberikan bonus setara 4%, sangat tidak memadai mengingat bank syariah memberi
bagi hasil bagi deposito setara 7% hingga 7,25%. Dengan dipatoknya pencapaian pasar
perbankan syariah mencapai 5% dari industri perbankan pada 2008, sedangkan aset yang
ada baru mencapai Rp 31,8 triliun saat ini, sekitar 1,72% pasar industri perbankan, maka
kedua hal di atas menjadi sangat menentukan.
Sesuai dengan definisi Bank, tempat di mana uang disimpan dan dipinjamkan.
Dan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidur rakyat banyak, maka pengertian ini dapat dijelaskan secara lebih luas lagi bahwa
bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas
32
perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan. Terkait dengan maksud bank
tersebut, sangat diperlukan dana sehingga dapat diberdayakan untuk keperluan investasi
dan aktivitas-aktivitas lainnya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dengan demikian relevansi pentingnya penerbitan sukuk oleh pemerintah adalah :10
1. Mendorong basis sumber pembiayaan
2. Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah dalam negeri
3. Menciptakan benchmark
4. Memperluas dan mendiversifikasi basis investor
5. Mengembangkan alternatif instrumen investasi
6. Mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara dan
7. Mengoptimalkan pemanfaatan dana masyarakat yang belum terjaring sistem
keuangan konvensional.
Dengan diperolehnya dana melaui penerbitan sukuk, korporasi maupun
pemerintahan, berarti akan tersedia dana yang besar sehingga akan dapat meningkatkan
pembiayaan lemabaga keuangan syariah. Dan ini akan mendorong tumbuhnya perbankan
Syariah. Adapun perkembangan Obligasi Syariah/Sukuk Korporasi sampai dengan Juli
2007 dapat dilihat dari grafik berikut 9
Dengan proporsi antara obligasi syariah/sukuk korporasi sebagai berikut 9
33
Sementara itu bila dilihat dari potensi permintaan sukuk, baik dari pasar domestik
maupun pasar internasional, sangat menjanjikan. Hal ini didasarkan pada beberapa hal
berikut ini 9:
1. Pasar dalam negeri
- jumlah penduduk muslim terbesar di dunia
- jumlah emiten/isuers yang melakukan penawaran efek syariah masih sedikit, dan
- proporsi produk syariah relatif masih sangat kecil
2. Pasar International
- Pesatnya pertumbuhan aset pasar keuangan syariah (sekitar 15 % p.a)
- Repatriasi dana-dana Timur Tengah pasca 9/11
- Terbatasnya jenis dan jumlah instrument keuangan syariah, dan
- terus meningkatnya peringkat keridit Indonesia.
Sedangkan di pasar Internasional, tren perkembangannya semakin pesat. Hal ini dapat
dilihat dari data perkembangan terkini Pasar Sukuk Internasional 10
1. Malaysia, Brunei, Bahrain, Qatar, UAE, Pakistan, dan Saxony Anhalt, telah
menjadi regular issuer sovereign sukuk.
2. Kerajaan Inggris akan menerbitkan sukuk (wholesale dan ritel) paling lambat
tahun 2008
3. JBIC dan Korean Development Bank sedang mempersiapkan penerbitan Ringgit-
Sukuk di Malaysia
34
4. Singapura dan Inggris telah melakukan perubahan ketentuan hukum untuk
mengakomodir transaksi keuangan syariah
5. Beberapa negara telah mulai menjajagi kemungkinan penerbitan sovereign sukuk,
antara lain Singapura, China, Federasi Jerman, Jepang, dan Filipina.
Keterkaitan antara perkembangan sukuk dengan perkembangan perbankan syariah
juga terlihat dari upaya pemerintah dalam melakukan percepatan pengembangan
Perbankan Syariah. Adapun upaya tersebut dicanagkan dalam Enam pilar Program
Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah 12
1. Penguatan Kelembagaan Bank Syariah
2. Pengembangan produk Bank Syariah
3. Intensifikasi edukasi publik dan aliansi mitra strategis
4. Pengingkatan Peranan Pemerintah dan Penguatan Kerangka Hukum
5. Penguatan SDM Bank Syariah
6. Penguatan Pengawasan Bank Syariah
Keterkaitan ini terlihat pada pilar ke empat, yaitu pada pilar Pengingkatan
Peranan Pemerintah dan Penguatan Kerangka Hukum, di mana di dalamnya terdapat
program untuk Mendorong pengesahan RUU Perpajakan, RUU Perbankan Syariah, dan
RUU Sukuk Negara. Upaya penuntasan RUU Sukuk Negara merupakan jalan untuk
mempercepat pertumbuhan perbankan syariah. Karena akan menggerakkan sumber
pendanaan dan sekaligus sektor riil dengan dibukanya proyek-proyek pembangunan yang
menggunanakan dana dari sukuk tersebut. Diperkirakan untuk mencapai target
pertumbuhan perbankan syariah sebesar 5 % pada tahun 2008 hanya dapat tercapai
melalui instrumen sukuk, terutama sukuk negara.
35
V. KESIMPULAN
Perkembangan penggunaan instrumen keuangan syariah akan memicu para pelaku
ekonomi meningkatkan investasi. Perluasan instrumen investasi akan mendorong
kegiatan investasi, melalui pemanfaatan instrumen keuangan syariah. Sukuk sebagai
instrumen investasi akan menjadi motor dalam penggerak ekonomi keuangan syariah.
Dan ini akan mendorong pertumbuhan lembaga keuangan syariah. Sumber dana akan
tersedia dan penyalurannnya dalam bentuk proyek-proyek pemerintah akan menjadi
penggerak pertumbuhan perbankan syariah.
Perkembangan sukuk akan sangat ditentukan oleh keberadaan Undang-Undang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Karena instrumen ini sangat diperlukan untuk
mempercepat pertumbuhan perbankan sayriah di Indonesia. Sesuai dengan salah satu
program kerja akselerasi perkembangan bank syariah, maka keberadaan sukuk ini akan
sangat significant impactnya terhadap pertumbuhan investasi dan pada akhirnya akan
berdampak pada pertumbuhan Bank Syariah.
Ditulis, dan disunting dari berbagai sumber
Wassalam,
Suheri
36
PUSTAKA
1. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani,
Jakarta, 2001
2. Zudin, ISLAMIC BONDS (SUKUK): ITS INTRODUCTION AND APPLICATION,
http://konsultasimuamalat.wordpress.com/ 2007/06/27 /islamic-bonds-sukuk-its-
introduction-and-application/ 27th Jun, 2007
3. Agustianto, Bahan Kuliah PSTTUI, Harta Milik, 2007
4. Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
5. Yusuf Al-Qardhawi, Dr., Bunga Bank Haram, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta 2005
6. Kun Wahyu Winasis dan Diah Amelia,
http://www.majalahtrust.com/ekonomi/keuangan/982.php
7. http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=68
8. http://www.slideshare.net/zudin/ruu-sbsn/
9. Baridwan, Anis, Kebijakan Pengembangan Pasar Modal Syariah, Makalah dalam
Ijtima’ Sanawi Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tahun 2007, Hotel Safari Garden,
Cisarua, Bogor, 14 Agustus 2007.
10. Slamat, Dahlan, Road Map dan Perkembangan Sukuk Negara (Surat Berharga
Syariah Negara), Makalah dalam Ijtima’ Sanawi Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Tahun 2007, Cisarua, Bogor, 15 Agustus 2007
11. Siregar, Dr. Mulya E., Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Syariah, Makalah
dalam Ijtima’ Sanawi Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tahun 2007, Cisarua, Bogor,
14 Agustus 2007
12. Siregar, Dr. Mulya E., Kebijakan Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah 2007-
2008 dan Peran Strategis Ulama, Makalah dalam Ijtima’ Sanawi Dewan Pengawas
Syariah (DPS) Tahun 2007, Cisarua, Bogor, 14 Agustus 2007
13. Sunarsip, Peluang Booming Keuangan Syariah,
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id35898.html, 18 Desember
2007
37