BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
berkembang. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya
berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber
air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah (Widodo, 2006).
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di
negara berkembang, dimana higien pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik.
Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan
perilaku masyarakat (Widodo, 2006).
Indonesia merupakan salah satu negara endemis tifoid. Diperkiranakan
terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang
tahun.Di Indonesia penyakit ini tersebar di seluruh secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada
91% kasus (Widodo, 2006).
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Status Pasien
1. Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Senin, 01 Desember
2014 pukul 07.00 WIB di ruang Nuri RSAM.
a. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kedondong, Pesawaran, Lampung Selatan
Pekerjaan : Petani
Pendidikanterakhir : SMA
Status Kawin : Menikah
Suku : Lampung
Agama : Islam
Masuk Rumah Sakit : Minggu, 31 November 2014
b. Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan utama : Demam
Keluhan tambahan :Mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati,
batuk, susah BAB
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam sejak ± 10 hari SMRS. Demam
dirasakan meningkat saat sore sampai malam hari, dan turun saat pagi
hari. Demam disertai dengan pusing, mual, dan muntah, serta terdapat
penurunan nafsu makan. Selain itu, pasien juga merasa nyeri di ulu
hati, batuk yang tidak berdahak dan jarang. Buang air kecil tidak ada
keluhan, BAB cair disangkal oleh pasien. Terakhir BAB 3 hari SMRS.
Pasien sebelumnya sudah mengkonsumsi obat yang dibeli diapotek
untuk mengurangi demam (paracetamol), tetapi demam kembali
muncul jika obat dihentikan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang menderita keluhan yang sama.
Riwayat Gaya Hidup/Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok.
Riwayat Makanan
Pasien mengatakan bahwa dirinya sering makan tidak teratur dan
makan makanan yang dijual di pinggir jalan.
2. Pemeriksaan Fisik
Status Present
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TekananDarah : 130/80 mmHg
Nadi : 60x/menit, reguler, isi cukup, tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 36,00C
Status gizi
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 72 kg
Gizi : Gizi cukup
Status Generalis
Kepala dan leher
Kulit : Sianosis (-)
Kepala : Normocephalic, wajah edema (-), rambut hitam tidak mudah
dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
palpebra edema(-/-)
Telinga : Simetris, sekret (-/-), liang telinga lapang
Hidung : Polip (-), sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut : Karies (-), sianosis (-), papil atrofi (-)
Leher : Trakea di tengah, simetris, pembesaran KGB (-), JVP 5-1
cmH2O
Thorax
Paru
Inspeksi : Statis : Simetris
Dinamis : Gerak pernapasan simetris antara kanan dan kiri
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas: sela iga II parasternal sinistra
batas kanan: sela iga IV parasternal dextra
batas kiri: sela iga V midclavicularis sinistra
kesan: ukuran jantung normal
Auskultasi: Bunyi Jantung 1-2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatriks (-), massa (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), hepar teraba 2 jari dibawah arcus
costae, lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullnes (-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal (8x/menit)
Ekstremitas
Eks. Superior : normotonus (+), gerakan aktif (+), akral hangat.
Eks. Inferior : normotonus (+), gerakan aktif (+), akral hangat.
3. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi ( 30 Desember 2014) :
Hb: 10,5 g/dL
LED: 41 mm/jam
Leukosit: 4.300/uL
Hitung jenis:
Basofil: 0 %
Eosinofil: 0 %
Batang: 0 %
Segmen: 27 %
Limfosit: 44 %
Monosit: 29 %
Malaria: Tidak ditemukan
Kimia darah ( 30 Desember 2014) :
SGOT: 36 U/L
SGPT: 34 U/
Imunologi dan serologi ( 30 Desember 2014) :
Tes widal:
Typhi H antigen (+) titer 1/80
Typhi O antigen (+) titer 1/320
Paratyphi A-O Antigen (+) titer 1/320
Paratyphi B-O Antigen (+) titer 1/160
4. Resume
Pasien lelaki 50 tahun datang dengan keluhan demam sejak ± 10 hari
SMRS. Demam dirasakan meningkat saat sore sampai malam hari, dan
turun saat pagi hari. Demam disertai dengan pusing, mual, dan muntah,
serta terdapat penurunan nafsu makan. Selain itu, pasien juga merasa nyeri
di ulu hati, sulit BAB, dan batuk yang tidak berdahak.
Dari pemeriksaan fisik, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 60x/menit,
pernapasan 20x/menit, suhu 36,0 oC. Hepar teraba 2 jari dibawah arcus
costa. Pada pemeriksaan Lab didapatkan Hb: 10,5 gr/dl, LED: 41 mg/dl,
Leukosit: 4.300 mm3, malaria (-). SGOT: 36 U/L, SGPT : 34 U/L. Tes
widal: Typhi H antigen (+) titer 1/80, Typhi O antigen (+) titer 1/320,
Paratyphi A-O Antigen (+) titer 1/320, Paratyphi B-O Antigen (+) titer
1/160.
5. Diagnosa Kerja:
Demam typhoid
6. Pemeriksaan anjuran
Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
7. RencanaPenatalaksanaan :
Non medikamentosa:
1. Tirah baring
2. Makan makanan lunak rendah serat
3. Minum obat secara teratur
Medikamentosa:
1. IVFD RL xxx tpm
2. Kloramfenikol 4x500 mg tab sampai 7 hari bebas demam
3. Dextromethorpan syrup 3x1 C
4. Ranitidin 2x150 mg tab
5. Paracetamol 3x500 mg bila demam
Prognosa:
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Demam tifoid disebut juga dengan thypus abdominalis merupakan penyakit
infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan ditandai dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Soegijanto, 2002).
B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600°C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu (Rampengan,
2008) :
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin
(Rampengan, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya demam tifoid yaitu
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya
penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya
keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi
transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya (Soedarno, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009)
menunjukkan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit
demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan
tidak jajan diluar dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan
sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang
dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah
Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit
demam tifoid (Syahrurahman, 1994).
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang
mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan
penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD.
Dr. Soetomo (2000) menunjukkan bahwa higiene perorangan yang kurang,
mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik dan kualitas air
minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak
tercemar berat coliform.
S. typhi masuk melalui GIT
Sebagian mati di lambung karena adanya HCL
Sebagian lolos masuk ke usus
Respon imun humoral mukosa (IgA) buruk
Bakteri menembus epitel lamina propria
Difagosit oleh makrofag
Dibawa ke plak peyeri ileum distal
KGB Mesenterika
Masuk ke sirkulasi darah melalui ductus thoracicus
Bakterimia primer(Asimptomatik)
Masuk ke organ retikuloendotelial terutama hepar dan lien
Bakteri meninggalkan sel fagosit, berkembang biak di ruang sinusoid
Masuk ke sirkulasi darah
Dari hepar bakteri masuk ke empedu
Berkembang biak
Diekskresikan secara intermitten ke usus
Keluar bersama fesesMasuk lagi ke sirkulasi darah menembus usus
Bakterimia sekunder
Demam Tifoid
C. PATOFISIOLOGI
D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesa
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan (Rampengan, 2008) :
a. Demam satu minggu atau lebih.
b. Gangguan saluran pencernaan
c. Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal
seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta
dapat pula bersifat ireguler (Rampengan, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Minggu pertama
Pada pemeriksaan fisik minggu pertama didapatkan sebagai berikut (Chen,
2006):
1) Suhu tubuh naik, menurun saat pagi, meningkat pada sore/malam (39-40°
C)
2) Nadi 80x-100x/menit, denyut lemah
3) Nafas cepat
4) Lidah tifoid yaitu lidah kotor di tengah tepi dan ujung merah serta tremor
5) Bercak ros/rosela 3-5 hari. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di
daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor
lengan atas.
6) Hepatomegali dan atau splenomegali, serta distensi abdomen.
Splenomegali pada demam tifoid bersifat tidak progresif dan
konsistensinya lebih lunak.
7) Diare pada akhir minggu pertama
b. Minggu kedua
Pada pemeriksaan fisik minggu kedua didapatkan sebagai berikut (Chen,
2006):
1) Demam terus meninggi, turun pada pagi hari namun tidak signifikan
2) Bradikardi relatif
3) Toksemia delirium
4) Gangguan pendengaran
5) Diare terus – menerus kadang melena
6) Hepatosplenomegali
7) Bising usus meningkat
c. Minggu ketiga
Pada pemeriksaan fisik minggu ketiga didapatkan sebagai berikut (Chen,
2006):
1) Suhu tubuh berangsur turun bahkan normal
2) Saat terjadi perdarahan / komplikasi
3) Jika toksemia memberat bisa menjadikan delirium atau stupor, otot yang
treus bergerak
4) Meteorismus / timpani
5) Peningkatan tekanan abdomen
d. Minggu keempat
Stadium penyembuhan atau bisa terjadi relaps (Chen, 2006)
Namun, tanda dan gejala tersebut bergantung pada :
1) Sudah diberikan obat anti – mikroba atau belum
2) Lama konsumsi obat
3) Kecepatan penanganan
4) Kondisi host
5) Paparan sebelumnya
6) Umur
7) Strain bakteri
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit
serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan
nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara
penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid
(Rampengan, 2008).
b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman (Gold
Stadar)
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,
maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses (Rampengan, 2008).
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi
(Rampengan, 2008):
1) jumlah darah yang diambil
2) perbandingan volume darah dari media empedu
3) waktu pengambilan darah.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (GALL) dari sapi (Rampengan, 2008).
c. Uji Serologis
Uji Widal merupakan metode serologis baku. Prinsip uji Widal
adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita
yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik
(O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi (Rampengan, 2008).
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid.
Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang
yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut (Handojo, 2004):
1) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
2) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
3) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita
seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat
(daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan (Rampengan, 2008).
E. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pada demam tifoid diberikan antibiotik dengan tujuan menghentikan dan
mencegah penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain adalah
sebagai berikut (Rampengan, 2008) :
a. Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella
terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan
sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini
oleh Burkoder sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat
menurunkan demam lebih cepat disamping harganya murah dan terjangkau
oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi
hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat
untuk pengobatan karier (Rampengan, 2008).
Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis.
Dosis yang dianjurkan ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa,
dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari (Rampengan,
2008).
b. Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol
karena susunan kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-
nya. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun setelah 5 – 6 hari.
Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan.
Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 – 14 hari
(Rampengan, 2008).
c. Kotrimoksazol
Pendapat mengenai efektifitas kotrimksazol terhadap demam tifoid
masih kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan
untuk kasus yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup
baik, dan kemungkinan timbulnya kakambuhan pengobatan pengobatan
lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi
skin rash (1 – 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis,
trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit. Dosis oral yang
dianjurkan adalah 30 – 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 – 8
mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama
10 – 14 hari (Rampengan, 2008).
d. Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam
tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah
dilaporkan adanya Salmonella yang resisten terhadap Ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan
dengan Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta
kurang toksik. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare
(11%). Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin,
terapi penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali
lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0
– 5%). Dosis yang dianjurkan adalah (Rampengan, 2008) :
Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
e. Sefalosporin Generasi 1
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk
mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan efek
terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang
baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama 5-7 hari, tetapi
laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini
sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan
diberikan untuk 10-14 hari (Rampengan, 2008).
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam
tifoid dengan aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan
lebih efektif daripada kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam
darah. Penelitian prospektif di Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan
dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik makrolida baru diberikan dengan
dosis 1 gr sekali sehari selama 5 hari juga bermanfaat untuk pengobatan
demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan azitromycin
adalah kedua obat ini dapat digunakan pada anak-anak, ibu hamil dan
menyusui (Rampengan, 2008).
2. Nonmedikamentosa
a. Makanan dengan energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total Lemak sedang, yaitu
10-25% dari kebutuhan energi total
c. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
d. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan
Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan
toleransi perorangan.
e. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan
berbumbu tajam.
f. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
g. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet
perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau
makanan parenteral.
h. Menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan
yang benar dengan memakai sabun (Depkes RI, 2005).
i. Peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara
yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak
awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan
perbaikan sanitasi lingkungan (Depkes RI, 2005).
F. PROGNOSIS
Sebanyak 5% penderita demam tifoid akan menjadi karier sementara dan 2%
yang lain akan menjadi karier menahun. 10 % pasien demam tifoid yng tidak di
obati akan mengakibatkan relaps. Hal ini tergantung oleh umur, keadaan umum,
gizi, daya tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan yang di terima serta
komplikasi yang ada (Maldonado, 2002).
G. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
a. Komplikasi Intestinal (Widodo, 2006) :
1) Perdarahan usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
2) Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut.
Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan
sampai syok.
b. Komplikasi Ekstraintestinal (Widodo, 2006):
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
6) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
BAB III
KESIMPULAN
1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella
typhi dan ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
2. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella.
3. Faktor yang mempengaruhi demam tifoid diantaranya faktor host, agent dan
environment.
4. Penegakkan diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
5. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standar dalam penegakan diagnosis
demam tifoid adalah dengan kultur.
6. Terapi medikamentosa pada penderita demam tifoid adalah pemberian antibiotik
dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
7. Prognosis dari demam tifoid tergantung oleh umur, keadaan umum, gizi, daya
tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan yang di terima serta komplikasi
yang ada.
8. Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid berupa komplikasi intestinal
dan komplikasi ekstraintestinal.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan.
Jakarta.
Lubis, R. 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas
Airlangga Surabaya.
Rampengan, T. H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis. Jakarta: EGC.
Syahrurahman, Agus. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara.
Widodo, Djoko. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.