Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Kristina Galuh Sista S. 13.70.0117
Kelompok D3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
Acara II
2015
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan
gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N;
dan 1,25 N. NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.
1.2. Metode
DEMINERALISASI
1
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang
2
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
3
DEPROTEINASI
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1
dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin
4
DEASETILASI
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan chitin dan chitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Chitin dan Chitosan
Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
D1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%32,14 25 48,25
D2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%32,14 31,38 39,43
D3HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%36,84 45,71 46,80
D4HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%34,78 37,78 39,20
D5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%29,17 32,73 39,14
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa kelompok D1 dengan perlakuan HCl 0,75N
+ NaOH 40% + NaOH 3,5% didapatkan rendemen kitin I sebanyak 32,14%, rendemen
kitin II sebanyak 25%, dan rendemen kitosan 48,25%. Pada kelompok D2 dengan
perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% didapatkan rendemen kitin I
sebanyak 32,14%, rendemen kitin II sebanyak 31,38%, dan rendemen kitosan 39,43%.
Pada kelompok D3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% didapatkan
rendemen kitin I sebanyak 36,84%, rendemen kitin II sebanyak 45,71%, dan rendemen
kitosan 46,80%. Pada kelompok D4 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5% didapatkan rendemen kitin I sebanyak 34,78%, rendemen kitin II sebanyak
37,78%, dan rendemen kitosan 39,20%. Pada kelompok D5 dengan perlakuan HCl
1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5% didapatkan rendemen kitin I sebanyak 29,17%,
rendemen kitin II sebanyak 32,73%, dan rendemen kitosan 39,14%.
5
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut kali ini membuat chitin dan chitosan dengan
berbagai perlakuan konsentrasi asam basa dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan
value-added by product. Kitin (Chitin) yaitu polisakarida yang disintesis dari sejumlah
organisme sebagai polisakarida struktural serta tersusun atas polimer yang terdiri dari
rantai linear 2-acetoamido-2-deoxy-β-D-glucopyranosa. Kitin dapat secara alami
ditemukan pada cangkang atau dinding crustacea seperti pada udang, kepiting dan
bagian tengah cumi-cumi (Manni et al.,2009). Berdasarkan teori Peter (1995) kitin
bermanfaat sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti papain, lactase,
kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase. Menurut Zaku, et. al. (2011), chitin
merupakan sumber polisakarida dan digunakan sebagai biopolimer alami. Dalam
analisis proksimat, terdapat beberapa hal yang diuji yaitu moisture content, kadar abu,
dan kadar nitrogen. Tidak hanya memproduksi chitin dan chitosan, tetapi juga
memproduksi glukosamin, serta bioplastic. Untuk mengetahui morfologi chitin
(bipolimer) di analisis dengan mikroskop elektron (SEM). Setelah dianalisis
menggunakan SEM, biopolimer chitin mempunyai struktur yang porous dan fibril.
Menurut Ishikara Masayuki, et. al. (2015), sifat chitin antara lain adalah anti virus,
bactericidal, dan aktivitas anti bakteri. Bubuk chitin dengan lapisan permukaan atau
film yang tipis, mempunyai aktivitas antimikroba serta adsorpsi Ag NP yang kecil.
Struktur permukaan chitin dan chitosan sangat mempengaruhi adsorpsi Ag NPs dan
aktivitas anti mikroba. Dapat disimpulkan bahwa struktur permukaan tersebut
mempunyai biomaterial yang memiliki aktivitas anti mikroba serta anti infeksi. Chitin
dan chitosan dengan lapisan nanoscale, dan memiliki struktur permukaan yang porous,
dapat menyerap logam berat, arsenik, dan intoksikasi lainnya.
Penggunaan kitin yang paling besar terdapat pada industri pangan dan kosmetik. Namun
kitin ini sukar larut dengan air sehingga penggunaannya menjadi terbatas. Tetapi hal ini
dapat diatasi dengan cara memodifikasi kimiawi sehingga didapatkan turunan kitin yang
memiliki sifat kimia lebih baik, salah satunya yaitu kitosan yang memiliki sifat larut
dalam asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat
degradasi polimer. Kitosan sendiri merupakan polimer non toxic dan mudah diuraikan
6
7
(biodegradable) dari β-1,4-glukosamin. Kitosan dapat mempengaruhi mikroorganisme
karena dapat diaplikasikan sebagai pupuk tanaman (Radwan et al., 2012). Menurut
Robert (1992) kitosan dapat digunakan sebagai pengawet, karena mengandung gugus
amino yang memiliki muatan positif sehingga dapat mengikat muatan negatif dari
senyawa lain. Bila kitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu
sekitar 100oF, maka sifat kelarutan dan viskositasnya akan berubah.
Menurut Paul Jiffy, et. al. (2013), chitin dan chitosan banyak digunakan sebagai
pengemas pangan karena biodegradabel, umur simpan nya panjang, ramah lingkungan,
fleksibel, dan mempunyai aktivitas antimikroba. Kepiting dan udang banyak digunakan
untuk isolasi chitin dan kemudian digunakan sebagai film pengemas pangan. Chitosan
memiliki sifat larut air dan bio adhesive. Chitosan digunakan sebagai pengemas pangan
dengan penambahan agen antimikroba antara lain Listeria monocytogene dan
Pseudomonas putida. Menurut Sakthivel, et. al. (2015), chitin dan chitosan merupakan
sumber polisakarida. Chitin dan turunannya memiliki variasi secara physicochemical
dan biological properties. Chitin dan chitosan banyak diproduksi dari limbah udang,
lobster, dan kepiting. Zat antimikroba alami berasal dari chitosan dari cangkang
kepiting S. Plicatum. Hasil atau yield yang di dapat berturut-turut untuk chitin dan
chitosan adalah 18,46% dan 41,37% yang berarti, yield dari `chitosan lebih tinggi
daripada chitin. Zona aktivitas anti mikroba chitin dan chitosan ditunjukkan dengan
bakteri Micrococcus sp, dan parahaemolyticus. Untuk aktivitas anti bakteri maksimum
dan minimum ditunjukkan dengan Rhizopus sp. Cangkang dari S. Plicatum yang kaya
akan chitin dan chitosan dapat digunakan sebagai sumber alternatif untuk pertanian,
obat-obatan, proses produksi, serta industri bioteknologi. Berdasarkan teori Manjang
(1993) pembuatan kitin dan kitosan ini dapat diperoleh dari limbah udang. Biasanya,
udang di Indonesia diekspor ke luar negeri setelah dibuang limbahnya yang terdiri dari
kepala, ekor, dan kulit. Padahal kepala dan kulit udang memiliki kandungan protein
dalam jumlah yang tinggi tetapi pemanfaatannya dalam bidang pangan masih terbatas.
Menurut Moeljanto (1992) kepala udang termasuk limbah yang dapat mempercepat
pembusukan pada udang karena bagian kepala sebagai sumber bakteri pembusuk dan
enzim-enzim pencernaan. Sedangkan kulit udang menjadi sumber potensial pembuatan
kitin dan kitosan, karena kulit udang merupakan biopolimer yang secara komersil
8
berpotensi dalam berbagai bidang industri. Kandungan protein pada kulit udang sebesar
25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya kandungan
komponen tersebut tergantung dari jenis udang dan tempat hidupnya (Marganov, 2003).
Muzzarelli (1985) mengungkapkan bahwa kadar kitin dalam berat udang bekisar 60%-
70% dan kitin ini tidak bersifat toksik atau racun. Bila kitin diproses menjadi kitosan
akan menghasilkan yield sebesar 15%-20%.
Menurut Abdulkarim, et. al. (2013), bahwa ektraksi dan karakterisasi chitin dan
chitosan melalui proses pre-treatment, demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Hal
tersebut sesuai dengan yang dilakukan dalam praktikum ini. Chitosan banyak digunakan
dalam proses produksi dalam industri pangan, untuk obat-obatan, dan bioteknologi.
Moisture content pada chitin lebih tinggi daripada chitosan. Kandungan karbon serta
nitrogen pada chitin juga lebih tinggi daripada chitosan. Pada praktikum ini, dalam
pembuatan kitin dan kitosan diperlukan 3 proses diantaranya demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi. Xu et al. (2008) menyatakan bahwa proses demineralisasi
dan deproteinasi memiliki dua macam metode, yang pertama secara kimia (melibatkan
asam dan basa) serta metode kedua secara biologi yang melibatkan mikroorganisme
(secara fermentasi). Berdasarkan teori Manni et al. (2010) demineralisasi adalah proses
dimana mengurangi jumlah mineral yang ada pada limbah udang supaya chitin yang
dihasilkan dapat sesuai dengan diinginkan. Mula-mula yang dilakukan limbah udang
dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan, kemudian dicuci dengan air panas
sebanyak 2 kali dan dikeringkan. Pencucian ini bertujuan menghilangkan kotoran yang
masih menempel yang nantinya dapat mencemari ekstraksi kitin (Bastaman, 1989).
Selanjutnya bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
ditimbang. Kemudian dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan
perbandingan 10:1. Berdasarkan teori Laila dan Hendri (2008) penambahan larutan HCl
ini yang menyebabkan pemisahan mineral dengan ditunjukkan terbentuknya gas CO2
berupa gelembung udara. Tujuan ditambahkannya larutan HCl ini untuk menghilangkan
residu protein yang larut asam pada limbah udang, hal ini dikemukakan oleh Manni et
al. (2010). Lalu larutan dipanaskan hingga suhu 80oC. Menurut Xu et al. (2008) tujuan
dilakukannya pemanasan untuk mempercepat proses perusakan mineral. Setelah
mencapai suhu tersebut, berdasarkan teori Puspawati et al. (2010) larutan dipanaskan
9
dan diaduk selama 1 jam untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara
yang dihasilkan karena proses pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Proses
demineralisasi ini diakhiri larutan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
80oC selama 24 jam.
Dari proses demineralisasi maka diperoleh rendemen kitin I dengan konsentrasi HCl
0,75 N memperoleh rendemen kitin lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan HCl 1
N. Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan teori Lehninger (1975) bahwa
penambahan proses pemanasan dan pengadukan dapat membuat mineral-mineral yang
terdapat pada limbah udang akan terlepas dan meningkatkan jumlah rendemen yang
dihasilkan, sehingga semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen
chitin juga semakin besar. Tetapi pada kelompok D5 dengan perlakuan penambahan
konsentrasi HCl sebanyak 1,25 N memperoleh rendemen kitin I paling sedikit. Hal ini
dapat terjadi karena HCl dengan konsentrasi tersebut bukan pelarut yang paling baik
ditunjukkan dari teori Ramadhan et al. (2010) yang menyatakan bahwa pelarut yang
paling baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
Berdasarkan teori Xu et al. (2008) proses selanjutnya adalah deproteinasi yang
merupakan proses untuk melarutkan protein yang ada pada limbah udang. Mula-mula
hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1. Suharto
(1984) menyatakan bahwa penambahan NaOH 3,5% ini berarti penambahan alkali yang
paling efektif yang dapat memperbesar volume partikel bahan (substrat), sehingga
ikatan antar komponen menjadi renggang. Berdasarkan teori Puspawati et al. (2010)
larutan NaOH memiliki fungsi melarutkan protein yang ada pada rendemen chitin I,
sehingga dapat membentuk chitin secara maksimal. Fennema (1985) menyatakan
larutan NaOH ini juga ditambahkan karena mempunyai aksi hidrolisis yang lebih tinggi
karena kelarutan protein dan mineral pada suasana basa lebih besar. Selanjutnya larutan
dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan. Kemudian residu
disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
dan dihasilkan chitin. Sehingga diperoleh rendemen kitin II yang berkisar antara 25%
pada kelompok D1 sampai 45,71% pada kelompok D3. Hasil yang diperoleh sesuai
10
dengan teori Puspawati et al. (2010) yang menyatakan bahwa kitin yang berasal dari
udang akan menghasilkan rendemen lebih dari 20%.
Kedua proses tersebut yaitu demineralisasi dan deproteinasi menurut Lehninger (1975)
dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, suhu dan lama waktu reaksi. Perlakuan
perendaman dengan asam atau basa encer yang disertai dengan pemanasan pada proses
demineralisasi dan deproteinasi bertujuan melepaskan atau meregangkan ikatan antara
protein dengan kitin dan kalsium karbonat serta bahan organik lainnya pada bahan yang
digunakan yaitu kulit udang. Alamsyah et al. (2007) menyatakan jika isolasi kitin
melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih
banyak dibandingkan dengan tahap isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-
demineralisasi.
Proses selanjutnya adalah deasetilasi yang menurut Muzzarelli (1985) merupakan
proses pembentukan kitosan dari kitin menggunakan NaOH untuk mengganti gugus
asetamida dengan gugus amino. Untuk melakuan deasetilasi maka mula-mula Hasil
deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1
sesuai dengan teori Kurita (2006) bahwa proses diasetilasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan basa secara berulang-ulang. Kemudian dilakukan pemanasan
untuk meningkatkan derajat deasetilasi kitosan (Xu et al., 2008). Pemanasan dilakukan
pada suhu 80oC karena menurut Puspawatiet al. (2010) suhu akan berpengaruh terhadap
derajat deasetilasi kitosan, sehingga semakin tinggi suhu maka derajat deasetilasi akan
meningkat. Kemudian dilakukan pengadukan selama 1 jam dengan masih dilakukan
pemanasan dengan suhu stabil tersebut. Berdasarkan teori Rogers (1986) proses
pengadukan berfungsi untuk meratakan chitin dengan NaOH supaya proses deasetilasi
dapat berjalan dengan baik. Setelah itu dilakukan pendinginan selama 30 menit agar
bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap ke bawah, agar bubuk tidak terbuang saat
pencucian. Kemudian residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada
suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan. Pengeringan ini berfungsi untuk
menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian, Prasetiyo (2006)
menyatakan sehingga produk kitosan akhir adalah berbentuk kering. Sehingga akan
11
dihasilkan bubuk kitosan berwarna putih kekuningan sesuai dengan teori Ramadhan et
al. (2010).
Dari proses pembuatan kitosan tersebut maka diperoleh hasil rendemen kitosan
kelompok D1 dengan penambahan NaOH 40% sebesar 48,25% kelompok D3 dan D4
dengan penambahan NaOH 50% sebesar 46,80% dan 39,20% serta kelompok D5
dengan penambahan NaOH 60% sebesar 39,14%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka semakin sedikit
rendemen kitosan yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan teori Hong et al. (1989) bahwa
penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan
rendemen chitosan yang rendah. Mekawati et al (2000) menambahkan bahwa
penggunaan konsentrasi NaOH tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan
rendemen kitosan yang memiliki derajat deasetilasi tinggi. Maka berdasarkan teori
Manni et al. (2010) dapat diketahui pembentukan chitosan dapat diperoleh dengan
penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi yang tinggi atau lebih dari 50%.
4. KESIMPULAN
Chitin merupakan sumber polisakarida dan digunakan sebagai biopolimer alami.
Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet, karena mengandung gugus amino yang
memiliki muatan positif sehingga dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain.
Chitin dan chitosan banyak digunakan sebagai pengemas pangan karena
biodegradabel, umur simpan nya panjang, ramah lingkungan, fleksibel, dan
mempunyai aktivitas antimikroba.
Bila kitin diproses menjadi kitosan akan menghasilkan yield sebesar 15%-20%.
Tujuan ditambahkannya larutan HCl ini untuk menghilangkan residu protein yang
larut asam pada limbah udang.
Tujuan dilakukannya pemanasan untuk mempercepat proses perusakan mineral.
Pelarut yang paling baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
Lrutan NaOH memiliki fungsi melarutkan protein yang ada pada rendemen chitin I,
sehingga dapat membentuk chitin secara maksimal.
Penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan
rendemen chitosan yang rendah.
Semarang, 28 Oktober 2015Praktikan
Kristina Galuh Sista S.13.70.0117
Asisten Dosen,- Tjan, Ivana Chandra
12
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdulkarim, et. al. (2013). Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil and Environmental Research, Vol.3, No.2.
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University. Belfast. 143 p.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Ishikara Masayuki, et. al. (2015). Adsorbtion of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structure of Chitin/ Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. International Journal Mol. Sci, 16, 13973-13988.
Kurita, Keisuke. (2006). Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers From Marine Crustaceans. Marine Biotechnology (2006) Vol 8, 203-226 DOI: 10.1007/s10126-005-0097-5.
Laila, A dan Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
Manni, Laila; Olfa Ghorbel-Bellaaj; Kemel Jellouli; Islem Younes & Moncef Nasri. (2010). Extraction and Characterization of Chitin, Chitosan and Protein Hydrolysates Prepared From Shrimp Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1. Appl Biochem Biotechnol (2010) 162:345-357 DOI 10.1007/s12010-009-8846-y
13
14
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D.(2000). Aplikasi Kitosan Hasil Tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains and Matematika FMIPA Undip, Vol. 8 (2). Semarang.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muzzarelli, R.A.A.. (1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego
Paul Jiffy, et. al. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extend The Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering & Technology, Vol.1, 15-22.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Prasetiyo, K.W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Radwan, Mohamed A.; Samia A. A. Farrag; Mahmoud M. Abu-Elamayem & Nabila S. Ahmed. (2012). Extraction, Characterization and Nematicidal Activity of Chitin and Chitosan Derived From Shrimp Shell Wastes. Biol Fertil Soils (2012) 48:463-468 DOI 10.1007/s00374-011-0632-7.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
15
Sakthivel, et. al. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India. Human Journal, Vol. 2, Issue 1.
Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Xu, Y.; C. Gallert & J. Winter. (2008). Chitin Purification From Shrimp Wastes by Microbial Deproteination and Decalcification. Appl Microbiol Biotechnol (2008) 79:687-697 DOI 10.1007/s00253-008-1471-9.
Zaku, et. al. (2011). Extraction and Characterization of Chitin; A Functional Biopolymer Obtained from Scales of Common Carp Fish (Cyprinus carpio l.): A Lesser Known Source. African Journal of Food Science Vol. 5(8),pp. 478-483.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
Kelompok D1
Rendemen Chitin I =
= 32,14 %
Rendemen Chitin II =
= 25 %
Rendemen Chitosan =
= 48,25 %
Kelompok D2
Rendemen Chitin I =
= 32,14%
Rendemen Chitin II =
= 31,38 %
Rendemen Chitosan =
= 39,43 %
Kelompok D3
16
17
Rendemen Chitin I =
= 36,84 %
Rendemen Chitin II =
= 45,71 %
Rendemen Chitosan =
= 46,80 %
Kelompok D4
Rendemen Chitin I =
= 34,78 %
Rendemen Chitin II =
= 37,78 %
Rendemen Chitosan =
= 39,20 %
Kelompok D5
Rendemen Chitin I =
= 29,17 %
Rendemen Chitin II =
= 32,73 %
Rendemen Chitosan =
= 39,14 %
18
6.2. Laporan Sementara
19
6.3. Diagram Alir
20
6.4. Abstrak Jurnal