Daftar Isi
Redaksi menerima tulisan yang berhubungan dengan kegiatan- kegiatan di lingkungan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan KonservasiEnergi maupun tentang energi terbarukan.
Ditulis dengan spasi rangkap dan ditujukan kepada redaksi melalui e-mail atau dikirim langsung. Harap disertai identitas jelas, alamat, nomor telepon, atau e-mail ([email protected]) yang mudah dihubungi.
Redaksi berhak melakukan editing jika diperlukan.
SuratPembaca
Arti TerlistrikiZURIYATIbagi
Indonesia EBTKE ConEx danIIGCE 2015 : Time to Act
CAPAIAN 1 (SATU) TAHUNKABINET KERJA PADA PEMERINTAHANJOKOWI-JK BIDANG EBTKE
1
9
17
26
29
21 HARI NUSANTARA KE-15 TAHUN 2015
pohoregulas
33
DARI REDAKSI
Tidak terasa sudah satu tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tepat satu tahun lalu kata pengantar redaksi Buletin Energi Hijau mengangkat tentang sub sektor EBTKE di era kepemimpinan baru dimana ketika itu Presiden Jokowo baru dilantik dan kemudian menunjuk Sudirman Said sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Ada banyak perkembangan yang terjadi sejak satu tahun berlalu khususnya di sub sektor EBTKE. Berbagai capaian telah diraih seperti pembangunan infrastruktur listrik dari sumber energi terbarukan untuk wilayah pelosok dan perbatasan, penyederhanaan perizinan dengan melalui BKPM dan capaian lainnya seperti penguatan regulasi dan kerangka kelembagaan.
Penanggung Jawab: Tunggal | Redaktur: Hendra Iswahyudi | Editor: Endra Dedy Tamtama, Mustaba Ari Suryoko, Hertiyo Sembodo, Robert A John | Desain Grafis & Fotografer: Jafar Soddik, Erick Ta'dung, Rakhma
Wardani Sambodo, Amanda Stevi Pradipta | Sekretariat: Renita Agnevia, Eni Windarti, Cuncun Hikam, Pelton Sukmana Putra, Ruris Duantito, Asrul Mauladi, Septian Bayu Darmanto, Ferial Thalib, Ledy Anindya, Marissa Heryanti
Alamat Redaksi :Jalan Pegangsaan Timur No 1, Menteng, Jakarta 10320 | Tel : (021) 39830077 | Fax : (021) 31901087
Website: www.ebtke.esdm.go.id | Email: [email protected]
Seperti diketahui bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu program utama yang dari awal dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo termasuk di dalamnya infrastruktur ketenagalistrikan sehingga tidak salah bila pada tahun 2015, Pemerintah begitu giat membangun infrastruktur ketenagalistrikan. Hal ini dilakukan untuk mengejar target rasio elektrifikasi pada akhir tahun depan sebesar 90,15% dan di dalamnya sub sektor energi terbarukan yang ditargetkan sebagai sumber energi utama di masa depan juga ikut menopang infrastruktur ketenagalistrikan Indonesia.
Satu tahun pertama kepemimpinan Joko Widodo sudah dilewati dan berbagai capaian yang sudah diraih di sub sektor EBTKE selama satu ini diharapkan akan semakin meningkat ke depannya.
Satu Tahun Sub Sektor EBTKEPembaca YTH,
KALEIDOSKOP BULETIN 2015
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
PerkembanganFeed-in tariff di Indonesia
CAPAIAN 1 (SATU) TAHUNKabinet Kerja Pada Pemerintahan
JOKOWI-JK BIDANG EBTKE(20 Oktober 2014 - 20 Oktober 2015)
buletin energi hijau2
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
20 Oktober 2015, genap satu tahun duet Joko Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla dalam mengemban tampuk kepemimpinan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Ada banyak terobosan kebijakan yang sudah dihasilkan oleh Jokowi JK dan jajaran kabinet kerjanya, termasuk program dan kebijakan di sub sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Berikut ini adalah rangkuman capaian 1 (satu tahun) Kabinet Kerja di sub sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi yang dibagi dalam beberapa hal penting, diantaranya:
1. Investasi2. Penguatan Regulasi3. Kerangka Kelembagaan4. Pembangunan Infrastruktur EBTKE5. Pengembangan Panas Bumi, Bioenergi, Hutan Energi dan Biogas6. Konservasi Energi
buletin energi hijau 3
I. INVESTASIA. PERIZINAN
Telah dilakukan upaya percepatan proses dan
penyederhanaan prosedur perizinan/ non
perizinan melalui pemangkasan perizinan/non
perizinan dan pelimpahan kewenangan ke BKPM
melalui PTSP.
Perizinan/non-perizinan yang masih ditangani/
dikelola oleh Direktorat Jenderal EBTKE adalah
yang hanya bersifat teknis menyangkut
keselamatan kerja, keselamatan lingkungan dan
operasi.
B. HARGA JUAL LISTRIK EBT
DARI IPP KE PT. PLN (PERSERO)
Upaya menarik animo pengembang untuk
berinvestasi di Pembangkit Listrik Tenaga (PLT)
EBT adalah dengan menerapkan feed-in tarif,
sehingga terdapat kepastian bagi investor
karena energi listriknya dibeli dan tanpa adanya
negosiasi oleh PT. PLN (Persero). Sampai dengan
20 Oktober 2014, telah diterbitkan feed-in tarif
untuk:
a) Panas Bumi, saat ini kebijakan harga jual
listrik dari panas bumi ditetapkan
Pemerintah menggunakan mekanisme
Harga Patokan Tertinggi (HPT) melalui
Permen ESDM No. 17 Tahun 2014. Sebagai
upaya terobosan untuk lebih mempercepat
pengembangan panas bumi, kedepannya
Pemerintah akan menerapkan mekanisme
feed-in tari, dimana pelelangan WKP akan
didasarkan pada program kerja dan
komitmen eksplorasi sedangkan harga akan
ditetapkan Pemerintah; Pasca terbitnya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi, Menteri ESDM telah
menerbitkan 13 IPB (Izin Panas Bumi) dan 1
IPB perpanjangan. IPB adalah pengganti
IUP/kontrak kerja panas bumi;
b) PLTMH, melalui Peraturan Menteri ESDM
Nomor 19 Tahun 2015. Terdapat 92
penetapan badan usaha sebagai pengelola
tenaga air untuk pembangkit listrik s.d 10 MW
(IPP PLTMH) dengan potensi pembangkitan
422.07 MW dengan perkiraan nilai investasi
Rp. 8.8 triliun;
c) PLTS Kuota, 6 (enam) lokasi IPP PLTS semakin
mendekati COD dengan kapasitas
pembangkitan berkisar 13 MWp dengan nilai
investasi diperkirakan Rp. 287.4 Miliar (saat
ini tengah disusun permen PLTS sbg
pengganti Permen ESDM Nomor 17 Tahun
2013 tentang PLTS Kuota melalui pelelangan
yg telah dibatalkan MA).
d) PLT Biomassa dan Biogas serta PLT Sampah
Kota, terdapat 34 (tiga puluh empat)
pengajuan penetapan badan usaha sebagai
pengelola tenaga bioenergi untuk
pembangkit listrik s.d 10 MW dengan potensi
pembangkitan 227,09 MW dengan perkiraan
nilai investasi Rp. 5.84 triliun. Saat ini dalam
tahap finalisasi RPermen ESDM untuk
merevisi feed-in tari PLT Biomassa dan
Biogas serta PLT Sampah Kota agar harga
semakin menarik investor.
e) PLT Bayu dan PLTS Rooop, telah disusun
RPermen ESDM Feed-in Tarrif PLT Bayu
(angin) dan RPermen PLTS Rooop (intern)
yang jika diterbitkan akan semakin
meningkatkan investasi di bidang EBT.
C. PENCIPTAAN PASAR DAN SUBSIDI
Kebijakan penciptaan pasar dan subsidi,
khususnya dalam pengembangan bahan bakar
nabati adalah mengacu pada Peraturan Menteri
ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang percepatan
mandatori biofuel, Kepmen ESDM Nomor 3239
Tahun 2015 tentang Harga Indeks Pasar (HIP)
BBN serta diterbitkannya Peraturan Menteri
ESDM Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan BBN sebagai acuan verifikasi
dan pembayaran subsidi oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit;
Adapun uraian rinci dari kedua kebijakan
tersebut, adalah:
Percepatan pemanfaatan BBN melalui
penerbitan Permen ESDM Nomor 12 Tahun
2015 (Mandatori B15) yang berlaku sejak
April 2015.
Penetapan HIP BBN melalui penerbitan
Keputusan Menteri ESDM No. 3239
K/12/MEM/2015 Tentang HIP BBN yang
dicampurkan ke dalam jenis BBM tertentu
dan jenis BBM khusus penugasan, tanggal 30
Juni 2015.
Telah diterbitkan Peraturan Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 tahun
2015 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel
Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan
Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit
sesuai amanat Perpres 61 Tahun 2015.
Penghimpunan dana oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
sebagai pengganti alokasi subsidi BBN untuk
menutup disparitas harga antara Biodiesel
dan minyak Solar yang bersumber dari
pungutan ekspor kelapa sawit dan
turunannya berlaku sejak tanggal 16 Juli
2015, walau pemanfaatannya belum
maksimal.
Pengaturan mekanisme pengadaan Biodiesel
dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan
Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(Biofuel) Jenis Biodiesel Dalam Kerangka
Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit, diperkirakan baru
efektif bulan Oktober 2015.
Persiapan Teknis Mandatori B20. Penyusunan
Spesifikasi B20 saat ini dilakukan oleh Ditjen
Migas, karena fraksi minyak solar lebih besar.
Saat ini sedang dilakukan roadshow di Jawa
dan Sumatera untuk sosialisasi pelaksanaan
Mandatori B20.
Telah terbentuknya Aviation Biofuel &
Renewable Energy Task Force (ABRETF) yang
bertujuan mendorong pemanfaatan bioavtur
pada pesawat udara dan pemanfaatan EBT
pada bandar udara. Spesifikasi bioavtur,
sudah sesuai dengan spesifikasi avtur
eksisting, sehingga pemanfaatan bioavtur
tidak mempengaruhi faktor keselamatan.
Saat ini sedang disusun RSNI sepesifikasi dan
baku mutu bioavtur oleh Ditjen Migas.
Direncanakan voluntary flight, menggunakan
bioavtur dengan rute Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara I
Gusti Ngurah Rai Bali.
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
buletin energi hijau4
4 sudah dihapuskan9 diusulkan untuk di hapuskan
dilimpahkan ke BKPM(Pelayanan Terpadu Satu Pintu)
4 sudah dilimpahkan ke BKPM6 siap untuk dilimpahkan ke BKPM
27PERIZINAN DANNON PERIZINAN
48%
10 PERIZINAN DANNON PERIZINAN
4
13
PERIZINAN DANNON PERIZINAN
masih ditangani/dikelola ole DJE
14PERIZINAN DANNON PERIZINAN
I. INVESTASIA. PERIZINAN
Telah dilakukan upaya percepatan proses dan
penyederhanaan prosedur perizinan/ non
perizinan melalui pemangkasan perizinan/non
perizinan dan pelimpahan kewenangan ke BKPM
melalui PTSP.
Perizinan/non-perizinan yang masih ditangani/
dikelola oleh Direktorat Jenderal EBTKE adalah
yang hanya bersifat teknis menyangkut
keselamatan kerja, keselamatan lingkungan dan
operasi.
B. HARGA JUAL LISTRIK EBT
DARI IPP KE PT. PLN (PERSERO)
Upaya menarik animo pengembang untuk
berinvestasi di Pembangkit Listrik Tenaga (PLT)
EBT adalah dengan menerapkan feed-in tarif,
sehingga terdapat kepastian bagi investor
karena energi listriknya dibeli dan tanpa adanya
negosiasi oleh PT. PLN (Persero). Sampai dengan
20 Oktober 2014, telah diterbitkan feed-in tarif
untuk:
a) Panas Bumi, saat ini kebijakan harga jual
listrik dari panas bumi ditetapkan
Pemerintah menggunakan mekanisme
Harga Patokan Tertinggi (HPT) melalui
Permen ESDM No. 17 Tahun 2014. Sebagai
upaya terobosan untuk lebih mempercepat
pengembangan panas bumi, kedepannya
Pemerintah akan menerapkan mekanisme
feed-in tari, dimana pelelangan WKP akan
didasarkan pada program kerja dan
komitmen eksplorasi sedangkan harga akan
ditetapkan Pemerintah; Pasca terbitnya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi, Menteri ESDM telah
menerbitkan 13 IPB (Izin Panas Bumi) dan 1
IPB perpanjangan. IPB adalah pengganti
IUP/kontrak kerja panas bumi;
b) PLTMH, melalui Peraturan Menteri ESDM
Nomor 19 Tahun 2015. Terdapat 92
penetapan badan usaha sebagai pengelola
tenaga air untuk pembangkit listrik s.d 10 MW
(IPP PLTMH) dengan potensi pembangkitan
422.07 MW dengan perkiraan nilai investasi
Rp. 8.8 triliun;
c) PLTS Kuota, 6 (enam) lokasi IPP PLTS semakin
mendekati COD dengan kapasitas
pembangkitan berkisar 13 MWp dengan nilai
investasi diperkirakan Rp. 287.4 Miliar (saat
ini tengah disusun permen PLTS sbg
pengganti Permen ESDM Nomor 17 Tahun
2013 tentang PLTS Kuota melalui pelelangan
yg telah dibatalkan MA).
d) PLT Biomassa dan Biogas serta PLT Sampah
Kota, terdapat 34 (tiga puluh empat)
pengajuan penetapan badan usaha sebagai
pengelola tenaga bioenergi untuk
pembangkit listrik s.d 10 MW dengan potensi
pembangkitan 227,09 MW dengan perkiraan
nilai investasi Rp. 5.84 triliun. Saat ini dalam
tahap finalisasi RPermen ESDM untuk
merevisi feed-in tari PLT Biomassa dan
Biogas serta PLT Sampah Kota agar harga
semakin menarik investor.
e) PLT Bayu dan PLTS Rooop, telah disusun
RPermen ESDM Feed-in Tarrif PLT Bayu
(angin) dan RPermen PLTS Rooop (intern)
yang jika diterbitkan akan semakin
meningkatkan investasi di bidang EBT.
C. PENCIPTAAN PASAR DAN SUBSIDI
Kebijakan penciptaan pasar dan subsidi,
khususnya dalam pengembangan bahan bakar
nabati adalah mengacu pada Peraturan Menteri
ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang percepatan
mandatori biofuel, Kepmen ESDM Nomor 3239
Tahun 2015 tentang Harga Indeks Pasar (HIP)
BBN serta diterbitkannya Peraturan Menteri
ESDM Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan BBN sebagai acuan verifikasi
dan pembayaran subsidi oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit;
Adapun uraian rinci dari kedua kebijakan
tersebut, adalah:
Percepatan pemanfaatan BBN melalui
penerbitan Permen ESDM Nomor 12 Tahun
2015 (Mandatori B15) yang berlaku sejak
April 2015.
Penetapan HIP BBN melalui penerbitan
Keputusan Menteri ESDM No. 3239
K/12/MEM/2015 Tentang HIP BBN yang
dicampurkan ke dalam jenis BBM tertentu
dan jenis BBM khusus penugasan, tanggal 30
Juni 2015.
Telah diterbitkan Peraturan Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 tahun
2015 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel
Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan
Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit
sesuai amanat Perpres 61 Tahun 2015.
Penghimpunan dana oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
sebagai pengganti alokasi subsidi BBN untuk
menutup disparitas harga antara Biodiesel
dan minyak Solar yang bersumber dari
pungutan ekspor kelapa sawit dan
turunannya berlaku sejak tanggal 16 Juli
2015, walau pemanfaatannya belum
maksimal.
Pengaturan mekanisme pengadaan Biodiesel
dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan
Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(Biofuel) Jenis Biodiesel Dalam Kerangka
Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit, diperkirakan baru
efektif bulan Oktober 2015.
Persiapan Teknis Mandatori B20. Penyusunan
Spesifikasi B20 saat ini dilakukan oleh Ditjen
Migas, karena fraksi minyak solar lebih besar.
Saat ini sedang dilakukan roadshow di Jawa
dan Sumatera untuk sosialisasi pelaksanaan
Mandatori B20.
Telah terbentuknya Aviation Biofuel &
Renewable Energy Task Force (ABRETF) yang
bertujuan mendorong pemanfaatan bioavtur
pada pesawat udara dan pemanfaatan EBT
pada bandar udara. Spesifikasi bioavtur,
sudah sesuai dengan spesifikasi avtur
eksisting, sehingga pemanfaatan bioavtur
tidak mempengaruhi faktor keselamatan.
Saat ini sedang disusun RSNI sepesifikasi dan
baku mutu bioavtur oleh Ditjen Migas.
Direncanakan voluntary flight, menggunakan
bioavtur dengan rute Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara I
Gusti Ngurah Rai Bali.
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
85%LEBIH EFISIEN
PERIZINAN DANNON PERIZINAN
buletin energi hijau 5
I. INVESTASIA. PERIZINAN
Telah dilakukan upaya percepatan proses dan
penyederhanaan prosedur perizinan/ non
perizinan melalui pemangkasan perizinan/non
perizinan dan pelimpahan kewenangan ke BKPM
melalui PTSP.
Perizinan/non-perizinan yang masih ditangani/
dikelola oleh Direktorat Jenderal EBTKE adalah
yang hanya bersifat teknis menyangkut
keselamatan kerja, keselamatan lingkungan dan
operasi.
B. HARGA JUAL LISTRIK EBT
DARI IPP KE PT. PLN (PERSERO)
Upaya menarik animo pengembang untuk
berinvestasi di Pembangkit Listrik Tenaga (PLT)
EBT adalah dengan menerapkan feed-in tarif,
sehingga terdapat kepastian bagi investor
karena energi listriknya dibeli dan tanpa adanya
negosiasi oleh PT. PLN (Persero). Sampai dengan
20 Oktober 2014, telah diterbitkan feed-in tarif
untuk:
a) Panas Bumi, saat ini kebijakan harga jual
listrik dari panas bumi ditetapkan
Pemerintah menggunakan mekanisme
Harga Patokan Tertinggi (HPT) melalui
Permen ESDM No. 17 Tahun 2014. Sebagai
upaya terobosan untuk lebih mempercepat
pengembangan panas bumi, kedepannya
Pemerintah akan menerapkan mekanisme
feed-in tari, dimana pelelangan WKP akan
didasarkan pada program kerja dan
komitmen eksplorasi sedangkan harga akan
ditetapkan Pemerintah; Pasca terbitnya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi, Menteri ESDM telah
menerbitkan 13 IPB (Izin Panas Bumi) dan 1
IPB perpanjangan. IPB adalah pengganti
IUP/kontrak kerja panas bumi;
b) PLTMH, melalui Peraturan Menteri ESDM
Nomor 19 Tahun 2015. Terdapat 92
penetapan badan usaha sebagai pengelola
tenaga air untuk pembangkit listrik s.d 10 MW
(IPP PLTMH) dengan potensi pembangkitan
422.07 MW dengan perkiraan nilai investasi
Rp. 8.8 triliun;
c) PLTS Kuota, 6 (enam) lokasi IPP PLTS semakin
mendekati COD dengan kapasitas
pembangkitan berkisar 13 MWp dengan nilai
investasi diperkirakan Rp. 287.4 Miliar (saat
ini tengah disusun permen PLTS sbg
pengganti Permen ESDM Nomor 17 Tahun
2013 tentang PLTS Kuota melalui pelelangan
yg telah dibatalkan MA).
d) PLT Biomassa dan Biogas serta PLT Sampah
Kota, terdapat 34 (tiga puluh empat)
pengajuan penetapan badan usaha sebagai
pengelola tenaga bioenergi untuk
pembangkit listrik s.d 10 MW dengan potensi
pembangkitan 227,09 MW dengan perkiraan
nilai investasi Rp. 5.84 triliun. Saat ini dalam
tahap finalisasi RPermen ESDM untuk
merevisi feed-in tari PLT Biomassa dan
Biogas serta PLT Sampah Kota agar harga
semakin menarik investor.
e) PLT Bayu dan PLTS Rooop, telah disusun
RPermen ESDM Feed-in Tarrif PLT Bayu
(angin) dan RPermen PLTS Rooop (intern)
yang jika diterbitkan akan semakin
meningkatkan investasi di bidang EBT.
C. PENCIPTAAN PASAR DAN SUBSIDI
Kebijakan penciptaan pasar dan subsidi,
khususnya dalam pengembangan bahan bakar
nabati adalah mengacu pada Peraturan Menteri
ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang percepatan
mandatori biofuel, Kepmen ESDM Nomor 3239
Tahun 2015 tentang Harga Indeks Pasar (HIP)
BBN serta diterbitkannya Peraturan Menteri
ESDM Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan BBN sebagai acuan verifikasi
dan pembayaran subsidi oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit;
Adapun uraian rinci dari kedua kebijakan
tersebut, adalah:
Percepatan pemanfaatan BBN melalui
penerbitan Permen ESDM Nomor 12 Tahun
2015 (Mandatori B15) yang berlaku sejak
April 2015.
Penetapan HIP BBN melalui penerbitan
Keputusan Menteri ESDM No. 3239
K/12/MEM/2015 Tentang HIP BBN yang
dicampurkan ke dalam jenis BBM tertentu
dan jenis BBM khusus penugasan, tanggal 30
Juni 2015.
Telah diterbitkan Peraturan Menteri Energi
Dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 tahun
2015 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel
Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan
Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit
sesuai amanat Perpres 61 Tahun 2015.
Penghimpunan dana oleh Badan Pengelola
Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
sebagai pengganti alokasi subsidi BBN untuk
menutup disparitas harga antara Biodiesel
dan minyak Solar yang bersumber dari
pungutan ekspor kelapa sawit dan
turunannya berlaku sejak tanggal 16 Juli
2015, walau pemanfaatannya belum
maksimal.
Pengaturan mekanisme pengadaan Biodiesel
dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan
Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(Biofuel) Jenis Biodiesel Dalam Kerangka
Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit, diperkirakan baru
efektif bulan Oktober 2015.
Persiapan Teknis Mandatori B20. Penyusunan
Spesifikasi B20 saat ini dilakukan oleh Ditjen
Migas, karena fraksi minyak solar lebih besar.
Saat ini sedang dilakukan roadshow di Jawa
dan Sumatera untuk sosialisasi pelaksanaan
Mandatori B20.
Telah terbentuknya Aviation Biofuel &
Renewable Energy Task Force (ABRETF) yang
bertujuan mendorong pemanfaatan bioavtur
pada pesawat udara dan pemanfaatan EBT
pada bandar udara. Spesifikasi bioavtur,
sudah sesuai dengan spesifikasi avtur
eksisting, sehingga pemanfaatan bioavtur
tidak mempengaruhi faktor keselamatan.
Saat ini sedang disusun RSNI sepesifikasi dan
baku mutu bioavtur oleh Ditjen Migas.
Direncanakan voluntary flight, menggunakan
bioavtur dengan rute Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta menuju Bandara I
Gusti Ngurah Rai Bali.
II. PENGUATAN REGULASISaat ini tengah di susun regulasi prioitas yang diharapkan akan diselesaikan selambat-lambatnya pada akhir
tahun 2015, antara lain
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
Mengatur penyediaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan, termasuk di dalamnya insentif, mandatori, pendanaan
Mengatur proses bisnis pemanfaatan tidak langsung listrik termasuk pelaksanaan lelang; luas wilayah kerja; izin panas bumi dan tata cara penetapan harga panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung
Mengatur mengenai penetapan besaran, tata cara penyetoran, tata cara penghitungan, dan bagi hasil
Memberikan dasar hukum/pijakan yang lebih kuat untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur EBTKE di daerah selaras dengan UU Pemerintah Daerah yang baru
Pedoman kepada stakeholder, termasuk Pemerintah Daerah tentang penerapan penerangan jalan umum yang hemat energi dan efisien.
Program strategis nasional dan penetapan target konservasi energi nasional yang dirinci per secktor
Penetapan lembaga yang bergerak dalam implementasi konservasi energi yang didukung dengan pembiayaan konservasi energi
Penetapan standard kinerja energi minimal yang harus dipenuhi oleh berbagai peralatan listrik rumah tangga agar penggunaan energinya dapat terkontrol
6. RPermen ESDM tentang Rencana Induk Konservasi Energi Nasional
7. RPermen ESDM tentang Usaha Penunjang Konservasi Energi Nasional (ESCO)
8. RPermen ESDM tentang Minimum Energy Performance Standard dan Pembubuhan Label Hemat Energi untuk Pengkondisi Udara (AC), Kulkas, Penanak Nasi, Kipas Angin, Lampu LED
1. RPP Energi Baru Terbarukan
2. RPP tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung
3. RPP tentang Bonus Produksi Pengusahaan Panas Bumi
4. RPermen ESDM tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 10 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan
5. RPermen ESDM tentang Pedoman Penerangan Jalan Umum yang Efisien
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
No. JENIS REGULASI SUBSTANSI
buletin energi hijau6
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
buletin energi hijau 7
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
PLTP Kamojang Unit 5 (35 MW) COD pada
Juni 2015 dengan nilai investasi sebesar
19,96 Juta USD dan menyerap tenaga kerja
340 orang;
c) Telah ditetapkan 2 WKP baru yaitu WKP
Gunung Galunggung 130 MW dan WKP Gunung
Geureudong 160 MW;
d) Telah ditetapkan Perubahan Kedua tentang
Penetapan WKP Liki Pinangawan Muaralaboh
dengan cadangan terduga 400 MWe;
e) Telah ditetapkan 3 Penugasan Survei
Pendahuluan Daerah Sekincau Selatan 378
MW, Daerah Gunung Raung 23 MW dan Daerah
Krucil Tiris 74 MW;
f) Telah ditetapkan Wilayah Penugasan Survei
Pendahuluan (WPSP) Gunung Kembar dengan
Sumberdaya Hipotesis sebesar 92 MW;
g) Saat ini 2 WKP proses lelang yaitu WKP Gunung
Lawu 165 MW dan WKP Danau Ranau 110 MW
dan 3 WKP dalam persiapan lelang yaitu WKP
Way Ratai 55 MW, WKP Kepahiang 110 MW dan
WKP Marana 20 MW;
h) Telah diterbitkan Perpanjangan Jangka Waktu
Eksplorasi PT Sorik Marapi Geothermal Power
pada WKP Sorik Marapi-Roburan-Sampuraga.
VI. KONSERVASI ENERGI Audit Energi
a) Hingga saat ini, objek yang telah dilakukan
audit berjumlah 822 objek terdiri dari 517
objek Industri dan 305 objek bangunan;
b) Pada tahun 2015 ini, telah dilakukan
monitoring terhadap hasil dari
rekomendasi yang dijalankan oleh
pengguna energi (obyek audit) dimana
menghasilkan penghematan energi
sebesar 69 MWh atau setara dengan Rp. 32
Miliar;
Labelisasi Hemat Energi
a) Saat ini Standar dan label hemat energi peralatan sudah diterapkan pada lampu swabalast dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 tahun 2014 tentang Pelabelan Hemat Energi untuk Lampu Swabalast. Indonesia mengadopsi label komparatif dengan 4 (empat) tingkat hemat energi dan ditandai dengan jumlah bintang sesuai tingkatan levelnya untuk memberikan informasi kepada konsumen. Semakin banyak bintang suatu produk semakin tinggi tingkat hemat energinya;
b) Sejak dibelakukan hingga Oktober 2015,
jumlah perusahaan yang sudah mendapatkan surat ijin untuk mencantumkan Label Tanda Hemat Energi untuk lampu swabalast adalah sebanyak 12 perusahaan, masing-masing 9 perusahaan importer dan 3 perusahan produsen dalam negeri, dan total lampu swabalast, yang sudah mencantumkan Label Tanda Hemat Energi tercatat 42 juta unit, masing-masing lampu produksi dalam negeri sebanyak 31,8 juta unit ( 75%) dan lampu impor sebanyak 10,2 juta unit (25%);
c) Selanjutnya saat ini juga tengah dipersiapkan R Permen ESDM untuk labelisasi peralatan listrik rumah tangga lainnya yaitu kulkas, penanak nasi, lampu LED dan kipas angin.
Manajer dan Auditor Energi
a) Manajer Energi dan/atau Auditor Energi diberikan sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Personil (LSP) Himpunan Ahli Konservasi Energi (HAKE) dengan Sistem Sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sebagai Lembaga Independen yang bertanggung jawab menyelenggarakan Kompetensi Sertifikasi
Kerja
buletin energi hijau8
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
b) Saat ini tercatat jumlah manajer energi yang bersertifikat kompetensi sebanyak 192 orang (182 Industri dan 10 Banguan) dan Jumlah auditor energi sebanyak 115 orang (semua Industri).
Percontohan Lampu Hemat Energi Energi
a) Percontohan penggantian lampu PJU dengan LED di Kab. Batang, Semarang, dan Sumba;
b) Berhasil menghemat energi 50% dan menurunkan pengeluaran APBD;
buletin energi hijau | II 9
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
Pengertian Feed-in tariff (FIT)Feed-in tariff adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di dunia ini untuk
mempercepat pengembangan dan penyebaran
energi baru terbarukan. Terhitung pada tahun
2011, 73 negara di seluruh dunia yang telah
menerapkan target kebijakan untuk
pengembangan listrik berbasis energi baru
terbarukan baik di tingkat pusat maupun
daerah. Di awal 50 negara telah menerapkan
kebijakan feed-in tariff dimana separuhnya adalah negara - negara berkembang.
Sejak awal, Feed-in tariff telah berkembang secara signiikan; dan sejumlah istilah telah
digunakan untuk menggambarkanFeed-in tariff. Istilah Jerman pada tahun 1990
Stromeinspeisungsgesetz (StrEG) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi
Undang-Undang Feed-in Listrik, yang menyiratkan bahwa listrik sedang
dimasukkan ke dalam grid (Jacobson and Lauber 2006). Ini adalah konsep yang digunakan dari awal dan terus digunakan sampai sekarang.
Feed-in tariff (FIT) adalah kebijakan penyediaan energi yang fokus untuk mendukung
pengembangan proyek baru energi terbarukan
dengan menawarkan perjanjian pembelian
listrik dari energi terbarukan dalam jangka
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
PerkembanganFeed-in tariff di Indonesia
panjang (Menanteau et al. 2003, Lipp 2007, Rickerson et al. 2007, Fouquet and Johansson 2008, Mendona 2007, IEA 2008). Secara umum kontrak perjanjian pembelian ini
berkisar dalam rentang waktu 10-25 tahun
dan berlaku untuk setiap kilowatt-jam dari
listrik yang diproduksi (Klein 2008, Lipp 2007). Tingkat pembelian listrik yang ditawarkan
tiap kilowatt-jam dapat dibedakan atas tipe
teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber
daya, dan lokasi proyek.
Kebijakan FIT biasanya mencakup tiga
ketentuan utama: (1) Jaminan akses ke grid; (2) Stabil, Perjanjian Pembelian jangka
panjang (biasanya sekitar 15-20 tahun); dan
(3) Tingkat pembayaran berdasarkan biaya
energi terbarukan generasi 6 (Mendona 2007). Di negara seperti Jerman, mereka memasukkan prosedur administrasi yang
eisien yang dapat membantu memperpendek
waktu yang dibutuhkan, mengurangi
birokrasi, meminimalkan biaya proyek dan
mempercepat laju penyebaran energi
terbarukan (Fell 2009, lihat juga de Jager dan Rathmann 2008). Banyak negara Eropa telah berkomitmen untuk menggunakan kebijakan
yang pas untuk mencapai target jangka
panjang energi terbarukan, seperti target
tahun 2020 dan seterusnya, yang
menunjukkan komitmen jangka panjang.
Selain itu, kebijakan Eropa biasanya
memperpanjang kelayakan kepada siapa pun
yang memiliki kemampuan untuk
berinvestasi, termasuk namun tidak terbatas
pada pemilik rumah; pemilik bisnis; instansi
pemerintah federal, negara bagian, dan lokal;
investor swasta; utilitas dan organisasi nirlaba
(Jerman BMU 2007, Lipp 2007, Mendona et al. 2009b).
Pembuat kebijakan yang tertarik dalam
menciptakan kebijakan FIT perlu
mempertimbangkan sejumlah pilihan. Pilihan
ini termasuk bagaimana struktur pembayaran
FIT, serta apakah dan bagaimana untuk
membedakan mereka (misalnya, secara
teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber
daya, dan lain - lain). Ada empat pendekatan
utama yang digunakan untuk mengatur
pembayaran FIT keseluruhan untuk
pengembang energi baru terbarukan. Yang
pertama adalah untuk dasar FIT Levelized Cost Of Electricity (LCOE), ditambah pengembalian target (biasanya ditetapkan oleh pembuat
kebijakan atau regulator). Yang kedua adalah
dengan memperkirakan nilai dari generasi
energi baik untuk masyarakat atau utilitas.
Nilai kepada masyarakat biasanya ditafsirkan
dari segi nilai listrik ditambah mitigasi
perubahan iklim, dampak kesehatan,
keamanan energi, dan eksternalitas lainnya.
Ketiga, pendekatan pengaturan biaya feed-in tariff yang sederhana, insentif ixed price incentive yang menawarkan harga beli listrik terbarukan yang tidak berdasarkan biaya
pembangkitan, atau pada gagasan nilai
(Couture dan Cory 2009). Terakhir, berdasarkan mekanisme lelang untuk
menetapkan tingkat pembayaran. India dan
Tiongkok sedang bereksperimen dengan
pendekatan ini, dan beberapa yurisdiksi
Amerika Serikat telah menyatakan minat
terhadap percobaan mekanisme ini.
Kebijakan Feed-in tariff di DuniaPenerapan feed-in tariff telah membantu penyebaran energi baru terbarukan secara
signikan, membantu negara - negara sukses
berada di garda terdepan industri pengembangan
energi baru terbarukan. Di Uni Eropa, kebijakan
feed-in tariff sukses menjadikan penyebaran energi berbasis surya lebih dari 15.000 megawatt
(MW), selain itu membantu penyebaran energi
angin hingga mencapai 55.000 MW antara tahun
2000 dan akhir 2009.
Total feed-in tariff telah memberikan kontribusi terhadap 75 persen pengembangan energi
berbasis photovoltaic dan juga 45 persen
penyebaran energi angin secara keseluruhan.
Negara - negara seperti Jerman, khususnya telah
menunjukkan bahwa bahwa penerapan feed-in
tariff dapat digunakan sebagai alat kebijakan
yang ampuh untuk menggerakkan penyebaran
energi baru terbarukan serta memenuhi
ketahanan energi dan terpenting membantu
tujuan negar- negara di dunia untuk mengurangi
emisi.
Di Uni Eropa, kebijakan feed-in tariff telah diterapkan selama dua dekade terakhir dan
menjadi contoh baru bagi negara - negara lain
seperti Kanada dan Amerika Serikat. Berangkat
dari kenyataan tersebut, kebijakan feed-in tariff
mendorong pertumbuhan pasar dengan
memberikan perjanjian jual beli listrik jangka
panjang dari sumber energi baru terbarukan.
Kriteria untuk menilai keberhasilan feed-in tariff tergantung pada tujuan kebijakan yurisdiksi.
Dalam Uni Eropa, kebijakan energi energi
nasional dievaluasi terhadap seperangkat tujuan
yang ditetapkan dalam arahan Uni Eropa, dan
termasuk (antara lain) target jangka panjang
eneirgi baru terbarukan, peningkatan ekonomi
dan peluang pasar ekspor, penciptaan lapangan
kerja berkelanjutan, peningkatan penggunaan
kehutanan dan limbah pertanian, dan perluasan
inovatif teknologi energi terbarukan (Lihat
Komisi Eropa, 2009/28/EC). Tentu saja,
yurisdiksi yang berbeda mungkin memiliki tujuan
yang berbeda, atau mungkin atribut strategis
yang berbeda kepentingan untuk tujuan yang
sama. Meskipun, itu adalah tujuan umum sesuai
kebijakan di kedua Uni Eropa dan di seluruh
dunia untuk mendorong penyebaran energi baru
terbarukan. feed-in tariff dapat berhasil, oleh karena itu, dipahami sebagai kebijakan yang
mendorong percepatan, keberkelanjutan, dan
pembangunan energi baru terbarukan secara
luas.
Feed-in tariff di IndonesiaDi Indonesia penerapan feed-in tariff sesungguhnya mulai berjalan mulai tahun 2009
kendati demikian belum cukup mendorong
pengembangan dan pemanfaatan energi baru
terbarukan. Tetapi beberapa tahun belakangan
ini guna mendorong pengembangan dan
pemanfaatan energi baru terbarukan Pemerintah
giat menerbitkan regulasi feed-in tariff
Setidaknya ada kurang lebih lima peraturan
menteri (Permen) yang diterbitkan terkait
kebijakan feed-in tariff yaitu diantaranya Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang feed-in tariff tenaga surya namun regulasi ini sempat
bermasalah karena dibatalkan oleh Mahkamah
Agung (MA) dan saat ini tengan disusun permen
baru sebagai pengganti.
Lalu Permen feed-in tariff terkait Biomassa dan Biogas nomor 27 tahun 2014, kemudian Permen
ESDM nomor 19 tahun 2013 tentang PLT Sampah
Kota, selain itu Permen ESDM nomor 22 tahun
2014 tentang pembelian tenaga listrik dari
pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas
sampai dengan 10 megawatt (MW) oleh PT
Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) yang
kemudian disempurnakan dengan diterbitkannya
Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2015.
Adapun Permen ESDM nomor 17 tahun 2014
terkait pengaturan jual beli listrik panas bumi
yang saat ini juga tengah disusun permen baru
untuk penyempurnaan.
Insentif keuangan yang diberikan Pemerintah
melalui FIT memberikan dorongan yang cukup
berarti dalam pengembangan energi terbarukan
di Indonesia. Namun demikian perlu
dipertimbangkan, bahwa apabila harga energi
terbarukan pada pengguna akhir terus
meningkat secara signiikan, dikhawatirkan
sistem FIT menjadi tidak berkelanjutan secara
ekonomi. Karena itu sesuai dengan amanat PP
79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional,
subsidi perlu dialihkan kepada energi
terbarukan.
buletin energi hijau10
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
Pengertian Feed-in tariff (FIT)Feed-in tariff adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di dunia ini untuk
mempercepat pengembangan dan penyebaran
energi baru terbarukan. Terhitung pada tahun
2011, 73 negara di seluruh dunia yang telah
menerapkan target kebijakan untuk
pengembangan listrik berbasis energi baru
terbarukan baik di tingkat pusat maupun
daerah. Di awal 50 negara telah menerapkan
kebijakan feed-in tariff dimana separuhnya adalah negara - negara berkembang.
Sejak awal, Feed-in tariff telah berkembang secara signiikan; dan sejumlah istilah telah
digunakan untuk menggambarkanFeed-in tariff. Istilah Jerman pada tahun 1990
Stromeinspeisungsgesetz (StrEG) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi
Undang-Undang Feed-in Listrik, yang menyiratkan bahwa listrik sedang
dimasukkan ke dalam grid (Jacobson and Lauber 2006). Ini adalah konsep yang digunakan dari awal dan terus digunakan sampai sekarang.
Feed-in tariff (FIT) adalah kebijakan penyediaan energi yang fokus untuk mendukung
pengembangan proyek baru energi terbarukan
dengan menawarkan perjanjian pembelian
listrik dari energi terbarukan dalam jangka
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
panjang (Menanteau et al. 2003, Lipp 2007, Rickerson et al. 2007, Fouquet and Johansson 2008, Mendona 2007, IEA 2008). Secara umum kontrak perjanjian pembelian ini
berkisar dalam rentang waktu 10-25 tahun
dan berlaku untuk setiap kilowatt-jam dari
listrik yang diproduksi (Klein 2008, Lipp 2007). Tingkat pembelian listrik yang ditawarkan
tiap kilowatt-jam dapat dibedakan atas tipe
teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber
daya, dan lokasi proyek.
Kebijakan FIT biasanya mencakup tiga
ketentuan utama: (1) Jaminan akses ke grid; (2) Stabil, Perjanjian Pembelian jangka
panjang (biasanya sekitar 15-20 tahun); dan
(3) Tingkat pembayaran berdasarkan biaya
energi terbarukan generasi 6 (Mendona 2007). Di negara seperti Jerman, mereka memasukkan prosedur administrasi yang
eisien yang dapat membantu memperpendek
waktu yang dibutuhkan, mengurangi
birokrasi, meminimalkan biaya proyek dan
mempercepat laju penyebaran energi
terbarukan (Fell 2009, lihat juga de Jager dan Rathmann 2008). Banyak negara Eropa telah berkomitmen untuk menggunakan kebijakan
yang pas untuk mencapai target jangka
panjang energi terbarukan, seperti target
tahun 2020 dan seterusnya, yang
menunjukkan komitmen jangka panjang.
Selain itu, kebijakan Eropa biasanya
memperpanjang kelayakan kepada siapa pun
yang memiliki kemampuan untuk
berinvestasi, termasuk namun tidak terbatas
pada pemilik rumah; pemilik bisnis; instansi
pemerintah federal, negara bagian, dan lokal;
investor swasta; utilitas dan organisasi nirlaba
(Jerman BMU 2007, Lipp 2007, Mendona et al. 2009b).
Pembuat kebijakan yang tertarik dalam
menciptakan kebijakan FIT perlu
mempertimbangkan sejumlah pilihan. Pilihan
ini termasuk bagaimana struktur pembayaran
FIT, serta apakah dan bagaimana untuk
membedakan mereka (misalnya, secara
teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber
daya, dan lain - lain). Ada empat pendekatan
utama yang digunakan untuk mengatur
pembayaran FIT keseluruhan untuk
pengembang energi baru terbarukan. Yang
pertama adalah untuk dasar FIT Levelized Cost Of Electricity (LCOE), ditambah pengembalian target (biasanya ditetapkan oleh pembuat
kebijakan atau regulator). Yang kedua adalah
dengan memperkirakan nilai dari generasi
energi baik untuk masyarakat atau utilitas.
Nilai kepada masyarakat biasanya ditafsirkan
dari segi nilai listrik ditambah mitigasi
perubahan iklim, dampak kesehatan,
keamanan energi, dan eksternalitas lainnya.
Ketiga, pendekatan pengaturan biaya feed-in tariff yang sederhana, insentif ixed price incentive yang menawarkan harga beli listrik terbarukan yang tidak berdasarkan biaya
pembangkitan, atau pada gagasan nilai
(Couture dan Cory 2009). Terakhir, berdasarkan mekanisme lelang untuk
menetapkan tingkat pembayaran. India dan
Tiongkok sedang bereksperimen dengan
pendekatan ini, dan beberapa yurisdiksi
Amerika Serikat telah menyatakan minat
terhadap percobaan mekanisme ini.
Kebijakan Feed-in tariff di DuniaPenerapan feed-in tariff telah membantu penyebaran energi baru terbarukan secara
signikan, membantu negara - negara sukses
berada di garda terdepan industri pengembangan
energi baru terbarukan. Di Uni Eropa, kebijakan
feed-in tariff sukses menjadikan penyebaran energi berbasis surya lebih dari 15.000 megawatt
(MW), selain itu membantu penyebaran energi
angin hingga mencapai 55.000 MW antara tahun
2000 dan akhir 2009.
Total feed-in tariff telah memberikan kontribusi terhadap 75 persen pengembangan energi
berbasis photovoltaic dan juga 45 persen
penyebaran energi angin secara keseluruhan.
Negara - negara seperti Jerman, khususnya telah
menunjukkan bahwa bahwa penerapan feed-in
tariff dapat digunakan sebagai alat kebijakan
yang ampuh untuk menggerakkan penyebaran
energi baru terbarukan serta memenuhi
ketahanan energi dan terpenting membantu
tujuan negar- negara di dunia untuk mengurangi
emisi.
Di Uni Eropa, kebijakan feed-in tariff telah diterapkan selama dua dekade terakhir dan
menjadi contoh baru bagi negara - negara lain
seperti Kanada dan Amerika Serikat. Berangkat
dari kenyataan tersebut, kebijakan feed-in tariff
mendorong pertumbuhan pasar dengan
memberikan perjanjian jual beli listrik jangka
panjang dari sumber energi baru terbarukan.
Kriteria untuk menilai keberhasilan feed-in tariff tergantung pada tujuan kebijakan yurisdiksi.
Dalam Uni Eropa, kebijakan energi energi
nasional dievaluasi terhadap seperangkat tujuan
yang ditetapkan dalam arahan Uni Eropa, dan
termasuk (antara lain) target jangka panjang
eneirgi baru terbarukan, peningkatan ekonomi
dan peluang pasar ekspor, penciptaan lapangan
kerja berkelanjutan, peningkatan penggunaan
kehutanan dan limbah pertanian, dan perluasan
inovatif teknologi energi terbarukan (Lihat
Komisi Eropa, 2009/28/EC). Tentu saja,
yurisdiksi yang berbeda mungkin memiliki tujuan
yang berbeda, atau mungkin atribut strategis
yang berbeda kepentingan untuk tujuan yang
sama. Meskipun, itu adalah tujuan umum sesuai
kebijakan di kedua Uni Eropa dan di seluruh
dunia untuk mendorong penyebaran energi baru
terbarukan. feed-in tariff dapat berhasil, oleh karena itu, dipahami sebagai kebijakan yang
mendorong percepatan, keberkelanjutan, dan
pembangunan energi baru terbarukan secara
luas.
Feed-in tariff di IndonesiaDi Indonesia penerapan feed-in tariff sesungguhnya mulai berjalan mulai tahun 2009
kendati demikian belum cukup mendorong
pengembangan dan pemanfaatan energi baru
terbarukan. Tetapi beberapa tahun belakangan
ini guna mendorong pengembangan dan
pemanfaatan energi baru terbarukan Pemerintah
giat menerbitkan regulasi feed-in tariff
Setidaknya ada kurang lebih lima peraturan
menteri (Permen) yang diterbitkan terkait
kebijakan feed-in tariff yaitu diantaranya Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang feed-in tariff tenaga surya namun regulasi ini sempat
bermasalah karena dibatalkan oleh Mahkamah
Agung (MA) dan saat ini tengan disusun permen
baru sebagai pengganti.
Lalu Permen feed-in tariff terkait Biomassa dan Biogas nomor 27 tahun 2014, kemudian Permen
ESDM nomor 19 tahun 2013 tentang PLT Sampah
Kota, selain itu Permen ESDM nomor 22 tahun
2014 tentang pembelian tenaga listrik dari
pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas
sampai dengan 10 megawatt (MW) oleh PT
Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) yang
kemudian disempurnakan dengan diterbitkannya
Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2015.
Adapun Permen ESDM nomor 17 tahun 2014
terkait pengaturan jual beli listrik panas bumi
yang saat ini juga tengah disusun permen baru
untuk penyempurnaan.
Insentif keuangan yang diberikan Pemerintah
melalui FIT memberikan dorongan yang cukup
berarti dalam pengembangan energi terbarukan
di Indonesia. Namun demikian perlu
dipertimbangkan, bahwa apabila harga energi
terbarukan pada pengguna akhir terus
meningkat secara signiikan, dikhawatirkan
sistem FIT menjadi tidak berkelanjutan secara
ekonomi. Karena itu sesuai dengan amanat PP
79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional,
subsidi perlu dialihkan kepada energi
terbarukan.
buletin energi hijau 11
III. KERANGKA KELEMBAGAANSinergitas (Academy, Business, Government,
Community) sangat diperlukan untuk percepatan
pengembangan EBTKE sekaligus meminimalkan
sumbata-sumbatan akibar kurangnya koordinasi,
antara lain:
a) Harmonisasi dan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan dan Kehutanan
terkait 6 WKP yang tumpang tindih dengan
Kawasan Hutan Konservasi serta turut aktif
dalam pembahasan draf Permenhut Jasa
Lingkungan;
b) Berkontribusi aktif dalam penyusunan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015
dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015,
serta pembentukan Badan Pengelola Dana
Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dalam rangka
lebih menjamin pelaksanaan mandatori B15
(mulai 17 Ags 2015), B20 @2016, dan
B25@2025;
c) Memorandum of Understanding dengan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang
Pemanfaatan PTS Fotovoltaik dan EBT di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan Negara;
d) Memorandum of Understanding dengan TNI
tentang Bantuan TNI kepada Kementerian
ESDM terkait pembangunan infrastruktur EBT;
e) Pembentukan 80 orang Patriot Energi untuk
dikirim ke wilayah terdepan seperti Mentawai,
Anambas, Saumlaki, dan wilayah pedalaman di
Kalimantan sampai Papua. Program ini
merupakan bagian dari percepatan rasio
elektrifikasi dan pembangunan energi baru
terbarukan;
f) Berkontribusi aktif dalam penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
tentang Manajer Energi dan Auditor Energi,
berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi;
Pengertian Feed-in tariff (FIT)Feed-in tariff adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di dunia ini untuk
mempercepat pengembangan dan penyebaran
energi baru terbarukan. Terhitung pada tahun
2011, 73 negara di seluruh dunia yang telah
menerapkan target kebijakan untuk
pengembangan listrik berbasis energi baru
terbarukan baik di tingkat pusat maupun
daerah. Di awal 50 negara telah menerapkan
kebijakan feed-in tariff dimana separuhnya adalah negara - negara berkembang.
Sejak awal, Feed-in tariff telah berkembang secara signiikan; dan sejumlah istilah telah
digunakan untuk menggambarkanFeed-in tariff. Istilah Jerman pada tahun 1990
Stromeinspeisungsgesetz (StrEG) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi
Undang-Undang Feed-in Listrik, yang menyiratkan bahwa listrik sedang
dimasukkan ke dalam grid (Jacobson and Lauber 2006). Ini adalah konsep yang digunakan dari awal dan terus digunakan sampai sekarang.
Feed-in tariff (FIT) adalah kebijakan penyediaan energi yang fokus untuk mendukung
pengembangan proyek baru energi terbarukan
dengan menawarkan perjanjian pembelian
listrik dari energi terbarukan dalam jangka
IV. PEMBANGUNAN INFRA- STRUKTUR EBTKEMengacu Nawa-Cita ke-3: Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka NKRI, sedang
(on-progress) dibangun infrastruktur EBTKE,
diantaranya:
a) Pembangunan 19 unit PLTS Hybrid
(PLTS-Diesel) di 9 Provinsi/11Kabupaten yang
merupakan pulau terdepan dan kawasan
perbatasan, dengan kapasitas 3.225 kWp;
b) PLTS Terpusat 141 unit, 5.405 kWp melistriki
21.771 KK dan 1.000 Fasum di 19 Provinsi/53
Kabupaten
c) PLTMH 14 unit, 1.193 kW melistriki 2.303 KK dan
92 Fasum di 12 Provinsi / 16 Kabupaten
d) PLT Biomassa Terintegrasi di Sumba Barat
e) Pilot Project Pemanfaatan Sampah Kota untuk
BBM Sintetis di Tangerang Selatan
f) Biogas Komunal Pesantren di 9 pesantren
g) PJU Cerdas untuk Sumba Iconic Island
V. PENGEMBANGAN PANAS BUMIa) Telah ditetapkan 67 Wilayah Kerja Panas Bumi
(WKP) dengan total kapasitas pengembangan
sebesar 6.238,5 MW yang terdiri dari:
19 WKP Eksisting total kapasitas
pengembangan sebesar 2.523,5 MW; dan
48 WKP setelah UU No 27/2003 total
kapasitas pengembangan sebesar 3.715
MW.
b) Kapasitas terpasang PLTP mencapai 1.438,5
MW yang mendapat tambahan dari:
PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) COD pada
September 2014 dengan nilai investasi
sebesar 37,2 Juta USD dan menyerap
tenaga kerja 1.216 orang;
panjang (Menanteau et al. 2003, Lipp 2007, Rickerson et al. 2007, Fouquet and Johansson 2008, Mendona 2007, IEA 2008). Secara umum kontrak perjanjian pembelian ini
berkisar dalam rentang waktu 10-25 tahun
dan berlaku untuk setiap kilowatt-jam dari
listrik yang diproduksi (Klein 2008, Lipp 2007). Tingkat pembelian listrik yang ditawarkan
tiap kilowatt-jam dapat dibedakan atas tipe
teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber
daya, dan lokasi proyek.
Kebijakan FIT biasanya mencakup tiga
ketentuan utama: (1) Jaminan akses ke grid; (2) Stabil, Perjanjian Pembelian jangka
panjang (biasanya sekitar 15-20 tahun); dan
(3) Tingkat pembayaran berdasarkan biaya
energi terbarukan generasi 6 (Mendona 2007). Di negara seperti Jerman, mereka memasukkan prosedur administrasi yang
eisien yang dapat membantu memperpendek
waktu yang dibutuhkan, mengurangi
birokrasi, meminimalkan biaya proyek dan
mempercepat laju penyebaran energi
terbarukan (Fell 2009, lihat juga de Jager dan Rathmann 2008). Banyak negara Eropa telah berkomitmen untuk menggunakan kebijakan
yang pas untuk mencapai target jangka
panjang energi terbarukan, seperti target
tahun 2020 dan seterusnya, yang
menunjukkan komitmen jangka panjang.
Selain itu, kebijakan Eropa biasanya
memperpanjang kelayakan kepada siapa pun
yang memiliki kemampuan untuk
berinvestasi, termasuk namun tidak terbatas
pada pemilik rumah; pemilik bisnis; instansi
pemerintah federal, negara bagian, dan lokal;
investor swasta; utilitas dan organisasi nirlaba
(Jerman BMU 2007, Lipp 2007, Mendona et al. 2009b).
Pembuat kebijakan yang tertarik dalam
menciptakan kebijakan FIT perlu
mempertimbangkan sejumlah pilihan. Pilihan
ini termasuk bagaimana struktur pembayaran
FIT, serta apakah dan bagaimana untuk
membedakan mereka (misalnya, secara
teknologi, ukuran proyek, kualitas sumber
daya, dan lain - lain). Ada empat pendekatan
utama yang digunakan untuk mengatur
pembayaran FIT keseluruhan untuk
pengembang energi baru terbarukan. Yang
pertama adalah untuk dasar FIT Levelized Cost Of Electricity (LCOE), ditambah pengembalian target (biasanya ditetapkan oleh pembuat
kebijakan atau regulator). Yang kedua adalah
dengan memperkirakan nilai dari generasi
energi baik untuk masyarakat atau utilitas.
Nilai kepada masyarakat biasanya ditafsirkan
dari segi nilai listrik ditambah mitigasi
perubahan iklim, dampak kesehatan,
keamanan energi, dan eksternalitas lainnya.
Ketiga, pendekatan pengaturan biaya feed-in tariff yang sederhana, insentif ixed price incentive yang menawarkan harga beli listrik terbarukan yang tidak berdasarkan biaya
pembangkitan, atau pada gagasan nilai
(Couture dan Cory 2009). Terakhir, berdasarkan mekanisme lelang untuk
menetapkan tingkat pembayaran. India dan
Tiongkok sedang bereksperimen dengan
pendekatan ini, dan beberapa yurisdiksi
Amerika Serikat telah menyatakan minat
terhadap percobaan mekanisme ini.
Kebijakan Feed-in tariff di DuniaPenerapan feed-in tariff telah membantu penyebaran energi baru terbarukan secara
signikan, membantu negara - negara sukses
berada di garda terdepan industri pengembangan
energi baru terbarukan. Di Uni Eropa, kebijakan
feed-in tariff sukses menjadikan penyebaran energi berbasis surya lebih dari 15.000 megawatt
(MW), selain itu membantu penyebaran energi
angin hingga mencapai 55.000 MW antara tahun
2000 dan akhir 2009.
Total feed-in tariff telah memberikan kontribusi terhadap 75 persen pengembangan energi
berbasis photovoltaic dan juga 45 persen
penyebaran energi angin secara keseluruhan.
Negara - negara seperti Jerman, khususnya telah
menunjukkan bahwa bahwa penerapan feed-in
tariff dapat digunakan sebagai alat kebijakan
yang ampuh untuk menggerakkan penyebaran
energi baru terbarukan serta memenuhi
ketahanan energi dan terpenting membantu
tujuan negar- negara di dunia untuk mengurangi
emisi.
Di Uni Eropa, kebijakan feed-in tariff telah diterapkan selama dua dekade terakhir dan
menjadi contoh baru bagi negara - negara lain
seperti Kanada dan Amerika Serikat. Berangkat
dari kenyataan tersebut, kebijakan feed-in tariff
mendorong pertumbuhan pasar dengan
memberikan perjanjian jual beli listrik jangka
panjang dari sumber energi baru terbarukan.
Kriteria untuk menilai keberhasilan feed-in tariff tergantung pada tujuan kebijakan yurisdiksi.
Dalam Uni Eropa, kebijakan energi energi
nasional dievaluasi terhadap seperangkat tujuan
yang ditetapkan dalam arahan Uni Eropa, dan
termasuk (antara lain) target jangka panjang
eneirgi baru terbarukan, peningkatan ekonomi
dan peluang pasar ekspor, penciptaan lapangan
kerja berkelanjutan, peningkatan penggunaan
kehutanan dan limbah pertanian, dan perluasan
inovatif teknologi energi terbarukan (Lihat
Komisi Eropa, 2009/28/EC). Tentu saja,