Biografi Buya Hamka
Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan
meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim
Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang
dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang
merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada
tahun 1906.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul
Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang
amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau
dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau,
sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua.
Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di
Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab.
HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.
Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing
Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian
dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,
Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi
rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun
1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri
Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara
menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa
Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur
Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan
Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris
dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean
Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar
pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah,
tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan
pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah
di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada
tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31
di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26
Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua
umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981
karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti
politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali
penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di
Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama
dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah
Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan
oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau
mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari
penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia,
anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional,
Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan,
penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa
buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,
beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen.
Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang
mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura
termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan
Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa
seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor
Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan
Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih
terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima
sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di
seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Buya Hamka ~ketika
ulama tak bisa dibeli~
Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan
ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21
Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada
pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan
jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan.
Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan
kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya
mengharapkan agar mundurnya Hamka ―jangan sampai dipergunakan golongan tertentu
untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.‖
Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri mengungkapkan pada pers,
pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi
Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal,
meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali,
Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi
Departemen Agama dalam hal umat Islam. ―Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor
keluar,‖ katanya.
Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah.
Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari
Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga
beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya
fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan
bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani
Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.
Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar,
terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi
seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati
undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi
bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya ―bocor‖nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat
menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam
pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat
menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya
beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas
permintaan Departemen Agama. ―Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu
yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum
disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,‖ kata E.Z. Muttaqien,
salah satu Ketua MUI.
Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka
kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, ―Tidak tepat kalau
saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.‖ Kemudian inilah
yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. ―Tidak logis apabila Menteri Agama yang
berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah
yang mesti berhenti,‖ kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang
dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya
―kesalahpahaman‖ antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.
Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut.
“Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya
ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini,
bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini
menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat
pencabutan MUI 30 April itu ―tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan
(nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.‖ HAMKA juga
menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli
agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk
Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.
Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya
memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam
pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi
Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ‘kebakaran jenggot‘.
Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan
pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke
penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ‖Panji Masyarat‖ pernah dibredel
Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ‖Demokrasi Kita‖ yang
terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang
dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari
Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji.
Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada
kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad
Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu
sebagai bagian dari ―politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama‖. Ulama
mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran ―ulama yang tidak bisa
dibeli―. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan
diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.
******
TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak
akan mendengarkan suaranya yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada
pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan
tak ada lagi. Selama-lamanya.
Ulama sangat penting itu berpulang ―di hari baik bulan baik‖, hari Jum‘at 21 Ramadhan (24
Juli), ―ketika bulan puasa masuk tahap ketiga‖ atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian
orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke
pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orangorang
yang berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jum‘at. Entah apa yang menggertak mereka
itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul
10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30), ribuan para pelayat memenuhi
jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan
Tanah Kusir.
Hamka memang sudah hampir tidak berarti ―golongan‖ agama. Juga tidak hanya seorang
―kiai‖. Barangkali memang inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat
paham ―hidup di luar masjid‖. .
Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di
sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. ―Nama ibuku
Shafiyah,‖ katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. ―Beliau meninggal pada usia
masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima dengan
ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . ‖ la sangat memuja
ibunya — sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia
kagumi, hanya sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya –meski
dengan pengaruh sangat kuat.
Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor
honoris causa — dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga
mendapat gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang
masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi siapa yang
membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang bengal namun
lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari
ke Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut pergerakan, lari ke
Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang.
Dan jangan lupa: pemuda ini juga bercinta — di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi
kawin. Ia sendiri mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung
dan perajuk, ―juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis‖ . . . Memang sangat manusiawi. Ia
memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya: mengganti kedudukannya
sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah neneknya.
Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka
termasuk ulama yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah
keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah
jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan penghayatannya kepada adat
Minangkabau, yang menjadi modal pokok roman-romannya yang memeras air mata: Di
Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput
Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan.
Hamka bukan sekedar ―ulama yang bersastra‖. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra
itu makin mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya
yang menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qur‘annya yang 30 jilid, yang
diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan
itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa
caranya bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara rezim
Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian ‗. Kepada seratusan ibu-ibu
di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa
Hamka. ―mudah memaafkan dan menyesuaikan diri‖, terlihat dari misalnya pergaulannya
dengan keluarga Bung Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai
akhir hayat.
Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal
jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu
selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. ―Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama
ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ‖ Dan panggilan itu pun datang
kini.
―Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita
kehilangan seorang sastrawan besar, ‖ komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas
jenazah almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama
Indonesia sekarang ini mengakui: ―Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang sangat berat.
Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.‖
*****
Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M.
Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas
menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.
KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!
(dikutip dari buku ―Mengenang 100 tahun HAMKA‖)
Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang
sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul ―Kepada saudaraku M Natsir‖.
DAFTAR
Saudaraku Hamka,
Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,
Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.
Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur
Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” … *
Saudaramu, Tempat, 23 Mei 1959
*****
Update 7 Oktober 2011 ( Masalah Fatwa Haram Mengikuti Upacara Natal)
Update tulisan ini sehubungan dengan ada komentar dari sahabat tentang tulisan : ―Fatwa
yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti
upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa‖ … kata
―mengharapkan‖ mungkin maksudnya ―mengharamkan‖ … tetapi saya tidak meralat tulisan
itu karena sesuai dengan sumber yang ada di Majalah Tempo. Saya coba cari dan telusuri
seputar tulisan diatas ternyata di Majalah Tempo edisi sebelumnya 16 Mei 1981 memuat
berita seputar fatwa haram itu. Berikut urainnya :
Fatwa dan Kebocoran (Konon) (ref)
ADA yang sedikit kabur sekitar fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan
mengikuti upacara Natal bagi umat Islam. Fatwa itu, disiarkan sementara pers minggu lalu,
berasal dari buletin Majlis Ulama edisi April dan ditandatangani KHM Syukri Ghozali dan
Drs. H. Mas‘udi, sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Yang menarik: hanya
satu hari setelah penyiaran itu, dimuat pula ‗surat pencabutannya — kali ini dari pimpinan
pucuk, yakni Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko sebagai ketua umum dan
sekretaris umum MUI.
Dalam surat keputusan itu praktis difatwakan pula soal yang sama tapi dengan tekanan
berbeda. ―Pada dasarnya,‖ disebut sebagai diktum kedua dari empat diktum, ‖ menghadiri
perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . ‖ Yang juga
menarik: bunyi ―fatwa‖ terakhir itu sejalan benar dengan isi pidato Menteri Agama Alamsyah
sebelumnya — dalam acara ‗Kegiatan Bersama Antar Umat Beragama‘ di Jambi, 6 Maret.
Tapi yang barangkali paling menarik Prof. Hamka kemudian, secara pribadi, menulis di salah
satu harian yang memuat berita fatwa itu, Kompas.
Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI tersebut ―tidaklah mempengaruhi sedikit
juga kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.‖ Apa
maksudnya sebenarnya? Apa yang terjadi? Betulkah yang terjadi sekedar kurangnya
koordinasi? Ataukah surat pencabutan itu, sebelumnya, dikeluarkan karena ada ―tekanan ―?
Tak ada satu sumber pun yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara
tuntas. Tapi ada penjelasan tentang sebuah ―kebocoran‖.
Semua tokoh MUI menyatakan, fatwa itu sebenarnya hanya untuk ―kalangan dalam‖: para
pengurus MU di daerah-daerah. Dan memang dikirimkan kepada mereka dengan surat nomor
sekian-sekian tertanggal 27 Maret –jadi sudah lama — untuk menjadi pedoman para ulama
itu. Tapi mengapa dimuat di buletin, yang bisa dibaca tidak hanya oleh para pengurus MU,
kalau begitu? ―Itu untuk informasi intern saja,‖ jawab KH Hasan Basri, salah seorang ketua
MUI. Agak aneh barangkali — namun buletin itu memang dicetak hanya sekitar 300
eksemplar.
Menurut Kiai Syukri, fatwa Komisi itu sebetulnya dulu dibuat (7 Maret) untuk ―bahan
menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam.‖ Jadi seharusnya
memang ―tidak perlu bocor keluar.‖ Tapi bagi Burhani Tjokrohandoko, yang juga Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji departemen tersebut, ―kebocoran‖ itu sebenarnya dipandang
dari segi belum disahkannya fatwa itu oleh Sidang Pleno. Baru oleh Dewan Pengurus Harian.
Menurut Kiai Syukri, yang hadir dari Pengurus Harian itu tak kurang dari 0% — lebih dari 50
orang. Burhani sendiri berhalangan datang waktu itu, tapi Hamka hadir. Hanya ketua umum
itu memang belum membubuhkan tanda tangan. Toh keputusan itu sudah sah rupanya
(berdasar wewenang Komisi Fatwa) untuk dibawa ke Menteri Agama. Sebab, kata para
pimpinan MUI, keputusan tersebut memang dibikin atas desakan umat — antara lain yang
menulis berbagai surat ke Departemen Agama, menanyakan masalah perayaan Natal yang
diselenggarakan orang-orang Islam. Lalu ada surat dari Departemen Agama, meminta agar
dikeluarkan fatwa tentang itu.
Bahkan menurut Hamka, pernah ada pembicaraan antara Buya dan Menteri Agama
sehubungan dengan hal tersebut. Kiai Syukri menuturkan, bahwa di Kantor MUI (sebelum
pindah — dari Masjid Al Azhar ke Masjid Istiqlal, 11 Mei kemarin) terdapat sekitar 30 surat
yang meminta MUI mengeluarkan pedoman. Tetap Ditakutkan Itu memang bisa
mengingatkan pada kasus seperti perayaan Natal untuk gelandangan, yang pernah diprakarsai
Pendeta Lumy di Senayan dulu. Atau, seperti disebut dalam pertimbangan fatwa sendiri,
kasus-kasus ―kekurang mengertian‖ umat Islam sendiri di daerah-daerah. Pokoknya segala
hal yang menyangkut soal ‗kristenisasi‘, yang rupanya tetap ditakutkan.
Hanya saja, fatwa MUI kali ini ditanggapi sebagai sesuatu yang kaku dan merepotkan.
Bayangkan: para pejabat yang Islam, misalnya, dengan fatwa tersebut bisa tak dibenarkan
datang ke perayaan Natal. luga ketua RT, misalnya. ―Maklum, yang bikin memang para
ulama yang dalam soal hukum letterlijk saja,‖ kata Kiai Hasan Basri membenarkan kekakuan
itu. Dan itulah sebabnya surat pencabutan itu bermanfaat, katanya. Fungsinya, dalam soal
fatwanya sendiri, ―menerangkan yang mujmal, ‖ yang masih umum. Yakni: apa yang
dimaksud ―mengikuti upacara Natal‖ dalam fatwa tadi. O, ternyata: mengikuti peribadatan.
Bukan sekedar hadir. Jadi tak ada yang bertentangan, tak ada yang dicabut, kata Hamka,
sambil tertawa. Apa pun yang sesungguhnya terjadi, Departemen. Agama memang akan
mengadakan pertemuan dengan Badan Musyawarah Antar Umat Beragama di Jakarta 25
Mei. Pembicaraannya yang terpenting memang soal ―perayaan apa saja yang dapat dihadiri
pemeluk agama lain,‖ seperti dituturkan Menteri Alamsyah kepada pers
Buya Hamka dan
Syafruddin Prawiranegara Jadi
Pahlawan Nasional
Buya Hamka (inet)
dakwatuna.com – Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar
pahlawan nasional kepada tujuh tokoh bangsa yang telah berjuang demi kepentingan negara.
Tidak hanya mereka yang berjuang dengan senjata, tetapi juga melalui jalur politik dan
bidang-bidang lainnya.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 113 TK 2011, berikut nama-nama pahlawan tersebut.
1. Alm Syafruddin Prawiranegara
2. KH. Idham Chalid (Kalsel)
3. Alm. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (Sumbar)
4. Alm. Ki Sarmidi Mangunsakoro (Yogyakarta)
5. Alm. I Gusti Ketut Pudja (Bali)
6. Alm. Sri Susuhunan Paku Buwono X (Jateng)
7. Alm. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyoni (Yogyakarta)
Pemberian tanda gelara diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli
waris di Istana Negara,
Buya Hamka: Cahaya Yang Hilang Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!
Pertanyaan ini diajukan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kepada ayahnya
mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas
perintah tentara Jepang. Sang ayah, sebagai tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji
Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan Haji Rasul itu, tentu saja menolak
mentah-mentah perintah yang berkonotasi menyembah matahari itu. Ia pun sadar sepenuhnya
akan risikonya.
Tapi, demi keyakinan terhadap nilai akidah , maka perintah memberi hormat kepada dewa
matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang
kemudian oleh Hamka terus dibawa sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia
berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu
berarti membuka lebar pintu penjara.
Hamka yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, mampu
menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga akhir masa hidupnya.
Sebagai anak manusia yang lahir di bumi Minangkabau, Hamka memang tidak sempat
mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun.
Namun, karena bakat intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab,
ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan seringkali disebut salah
satu ulama besar Asia Tenggara.
Darah dari pihak orang tua sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan perjuangan nasional
kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah akrab dengan berbagai
pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang dilakukan sang ayah bersama rekan-
rekannya yang memelopori gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar
tertanam kuat di hatinya.
Dan, layaknya seorang anak muda yang gelisah dan didukung kebiasaan orang Minangkabau
yang suka merantau, Hamka sejak usia sangat belia sudah seringkali meninggalkan rumah.
Pada umur 16 tahun misalnya, ia sudah pergi ke Yogyakarta untuk menimba ilmu dari
berbagai tokoh pergerakan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, H Oemar Said
Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin. Kursus-kursus para tokoh
pergerakan yang diadakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta, untuk
beberapa lama diikutinya. Alhasil, jiwa pergerakannya menjadi tumbuh semakin kuat, apalagi
setelah ia tinggal di rumah iparnya yang menjadi ketua cabang Persyarikatan
Muhammadiyah, A.R Mansur di Pekalongan. Di situlah Hamka mendapat udara
pengalamanpertamanya di dalam mengurus keorganisasian.
Setelah beberapa lama tinggal bersama iparnya, pada Juli 1925, Hamka pulang kampung ke
Sumatera Barat. Ia kembali ke rumah ayahnya yang berada di Gatangan, Padangpanjang.
Disitulah ia kemudian mendirikan Majelis Tabligh Muhammadiyah. Semenjak itulah sejarah
kiprah Hamka dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu dimulai. Dan baru
berakhir beberapa puluh tahun ke depan sebelum ia wafat.
Berhaji Sembari Mencari Ilmu ke Mekah Setelah sekitar dua tahun berkiprah di kampung halamannya, padaFebruari 1927 Hamka
berangkat ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadahhaji, kepergiannya itu juga
dimanfaatkan untuk menimba ilmu dengantinggal di sana selama setengah tahun. Sembari
mengkaji ilmu agama ke berbagai tokoh keagamaan Islam yang mengajar di Baitul Haram,
untuk mencukupi biaya hidup sehari-harinya, Hamka bekerja pada sebuah percetakan. Ia baru
pulang ke tanah air sekitar bulan Juni 1927 dan langsung menuju ke Medan. Di sana ia
kemudian pergi ke daerah perkebunan yang ada di sekitar wilayah pantai timur Sumatera
(Deli) untuk menjadi guru agama. Pekerjaan ini dilakoninya sekitar lima bulan. Pada akhir
tahun 1927, ia baru sampai kembali ke kampung halamannya di Padangpanjang.
Keterlibatannya dalam organisasi Muhammadiyah semakin intens ketika pada tahun 1928 ia
diundang menjadi peserta kongres Muhammadiyah yang diselenggarakan di Solo. Dan
setelah pulang, karirnya di persyarikatan semakin gemilang. Hamka secara berangsur
memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua
Majelis Tabligh, sampai akhirnya meraih jabatan Ketua Muhammadiyah Cabang
Padangpanjang. Bahkan, pada tahun 1930 ia mendapat tugas khusus dari
pengurus pusat persyarikatan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis. Hamka
di sini sudah mulai diakui eksistensinya.
Usai mendirikan cabang di Bengkalis, pada 1931 Pengurus Pusat Muhammadiyah mengutus
Hamka pergi ke Makassar. Tugas yang harus diembannya adalah menjadi mubalig dalam
rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar
Muhammadiyah ke-21 yang diselenggarakan pada Mei 1932. Hamka tinggal di sana selama
dua tahun. Pada 1934 ia kembali ke Padangpanjang untuk kemudian diangkat menjadi
Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.
Berdakwah di atas Gagasan Roman Kiprah Hamka dalam pergerakan semakin gencar setelah ia pindah ke Medan, pada 22
Januari 1936. Persyarikatan Muhammadiyah semakin meluas ke segenap wilayah Sumatera
bagian timur. Pada sisi lain, secara perlahan tapi pasti kemampuan intelektual dan
kepenulisannya juga semakin terasah, terutama setelah ia memimpin majalah
PedomanMasyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Berbagai artikel keagamaan serta
cerita pendek ditulisnya dengan bahasa dan logika yang demikian jernih. Bakat menulisnya
sebagai sastrawan serius pada dekade ini juga berkembang secara simultan dengan
kemampuan orasinya yang amat memukau.
Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman seperti:
Di Bawah Lindungan Ka bah (1938),
Tenggelamnnya Kapal van Der Wick (1939),
Merantau ke Deli (1940),
Di dalam LembahKehidupan (1940, kumpulan cerita pendek).
Isi berbagai romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia
pergi ke Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh
perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur.
Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang diterbitkan pada
tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam buku ini mengkritisi
kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang berpretensi negatif terhadap kehidupan
dunia. Tasawuf banyak dijadikan sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia
yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini berusaha
merubah persepsi itu. Ia menyerukan tasawuf positip yang tidak bersikap asketisme. Katanya,
menjadi Muslim sejati bukannya menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke
dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran.
Kemudian, pada tahun 1942 bersamaan dengan jatuhnya koloni Hindia Belanda ke dalam
tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah
Sumatera Timur. Posisi jabatan yang diterima pada masa sulit ekonomi ini dijalaninya selama
tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan tersebut
karena pindah ke Sumatera Barat. Di sana Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.
Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada
tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis
karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang
oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu
menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik
yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.
Beberapa perguruan tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu antara lain;
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta,
Universitas Islam Jakarta,
Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah diPadangpanjang,
Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan
Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.
Uniknya lagi, di tengah kesibukannya sebagai pengajar di berbagai universitas itu, Hamka
sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Katanya, buku yang
ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yang sangat teguh hati.
Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki
sebagai Si Bujang Jauh karena begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri
dan daerah.
Di sela kegiatannya mengajar di berbagai universitas itu, Hamka mengulang kembali
kepergiannya untuk beribadah haji ke tanah suci. Sama dengan kepergian hajinya yang
dilakukan 24 tahun silam, kepergiannya ke Mekah kali ini juga disertai dengan perjalanannya
ke beberapa negara yang berada di kawasan semenanjung Arabia. Hamka sendiri sangat
menikmati lawatannya itu. Apalagi ketika berada di Mesir. Ia menyempatkan diri untuk
menemui berbagai sastrawan kondang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui berbagai
tulisannya, seperti Husein dan Fikri Abadah. Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan
minat dalam bidang sastera dan kehidupan umat secara keseluruhan.
Sama halnya dengan kepulangan haji pertamanya, sekembalinya dari lawatannya ke berbagai
negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya sastera pun tumbuh kembali.
Lahirlah kemudian beberapa karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah
Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka
menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh pujangga Mesir.
Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali menyatakan terkagum-kagum pada
beberapa penulis karya dari negeri piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi.
Usai pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia mendapat
kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat. Hamka datang ke negara itu
atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika. Ia mengunjungi berbagai tempat, seperti
negara bagian California, untuk memberikan ceramah yang berkaitan dengan agama.
Kunjungan ke Amerika kali ini ternyata hanya merupakan kunjungan pembuka saja. Setelah
itu ia kemudian kerapkali diundang ke sana, baik atas undangan dari negara bersangkutan
maupun datang sebagai anggota delegasi yang mewakili Indonesia.
Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai
Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah
pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang
demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka
menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu.
Namun, di tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu juga sempat
mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk mengikuti Simposium Islam
di Lahore. Setelah itu, kemudian dia berkunjung lagi ke Mesir. Dalam kesempatan kali ini dia
mendapat kehormatan bidang intelektual sangat penting, yakni mendapat gelar Doktor
Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum itu, ia menyampaikan pidato
pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa dengan topik bahasan mengenai Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia.
Dalam kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam yang
terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera Thawalib, Muhammadiyah. Al
Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor luar biasa seperti ini ternyata diterimanya lagi
enam belas tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia.
Gelar ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Seraya
memberikan gelar, dalam pidatonya sang perdana menteri itu berkata bahwa, Hamka bukan
lagi hanya milik bangsa Indonesia. Tetapi, juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa
Asia Tenggara.
Menapak di antara Dua Orde Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai
panglima. Waktu itu Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia betul-betul mandiri. Ia
serukan gerakan untuk melawan imperialisme barat, yang disebut sebagai kekuatan neo-
kolonialisme baru. Pada satu sisi ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia menjadi
penting dan menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non blok. Namun, pada sisi yang
lain perbaikan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan baik. Pertentangan politik, terutama
antara golongan nasionalis dan Islam menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya
ketika pembicaraan mengenai konstitusi negara menjadi buntu. Baik pihak yang anti dan
pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu berhasil mencapai kata sepakat. Dan
Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.
Sayangnya, Presiden Soekarno tidak sabar melihat perdebatan itu. Dengan alasan adanya
ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno pada 5 Juli 1959 kemudian mengeluarkan
Dekrit Presiden, yang diantaranya adalah menyatakan pembubarkan Badan Konstituante dan
kembali kepada konstitusi negara pada UUD 1945. Menyikapi keadaan tersebut, Hamka pada
tahun yang sama, yakni Juli 1959, mengambil inisiatif menerbitkan majalah tengah bulanan,
Panji Masyarakat. Hamka duduk sebagai pemimpin redaksinya. Sedangkan mengenai isi
majalahnya, Hamka memberi acuan untuk memuat tulisan yang menitikberatkan kepada soal-
soal kebudayaan dan pengetahuan ajaran Islam.
Tetapi sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun. Majalah Panji
Masyarakat dibubarkan oleh pemerintahan rezim Soekarno, tepatnya pada tanggal 17
Agustus 1960. Alasan pembredeilan: karena majalah memuat tulisan Dr Mohamad Hatta
yang berjudul Demokrasi Kita. Sebagai imbasnya, Hamka kemudian memutuskan diri untuk
lebih memusatkan pada kegiatan dakwah Islamiyah dengan mengelola Masjid Agung Al-
Azhar yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.
Dalam dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat itu memang
membuat kehebohan besar. Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta dalam
mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras sistem
demokrasi terpimpin yang dijalankan karibnya, Soekarno. Menurutnya, demokrasi yang
tengah dijalankannya itu bukan demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian kecil
orang menguasai sebagian besar orang. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri,
di mana harus ada persamaan pada setiap manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis Bung
Hatta, a priori harus ditolak.
Panasanya persaingan politik pada sisi lain juga kemudian meniupkan badai fitnah kepada
Hamka. Jaringan kelompok politik kiri membuat
tuduhan bahwa roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan plagiat dari
roman sastrawan Perancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh
Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra segera saja menyergapnya. Golongan yang tidak suka akan
adanya pengaruh agama di Indonesia memanfaatkan betul polemik ini untuk menghancurkan
nama baiknya. Saat itu hanya HB Jassin dan kelompok budayawan yang tergabung dalam
Manifes Kebudayaan (Manikebu) saja yang gigih membelanya. Berbagai tulisan atas polemik
ini kemudian pada tahun 1964 dikumpulkan dan diterbitkan oleh Junus Amir Hamzah dengan
judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik.
Usaha penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya sastera saja. Tanpa
dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964 tiba-tiba saja ia ditangkap oleh
alat keamanan negara. Hamka kemudian dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah
keputusan. Ia berada di penjara bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis,
sampai tumbangnya tampuk kekuasaan Soekarno. Bagi penguasa, Hamka saat itu dianggap
sebagai orang berbahaya.
Namun, bagi Hamka sendiri, masuknya dia ke dalam penjara malahan seringkali dikatakan
sebagai rahmat Allah. Menurutnya, akibat banyaknya luang waktu dipenjara maka ia dapat
menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir Al-Azhar (30 juz). Saya tidak bisa
membayangkan kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar. Yang pasti
kalau tidak dipenjara maka saya selalu punya banyak kesibukan. Akhirnya, tafsir ini sampai
akhir hayat saya mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan, kata Hamka ketika
menceritakan masa-masa meringkuk di dalam penjara. Selain itu, beberapa tahun kemudian
Hamka juga mengakui bahwa tafsir Alquran ini adalah merupakan karya terbaiknya.
Menjadi Imam dalam Shalat Jenazahnya Bung Karno Seperti sunnatullah, bahwa penguasa itu datang dan pergi silih berganti, maka setelah naiknya
Presiden Soeharto dalam tampuk kekuasaan negara, secara perlahan kondisi fisik presiden
Soekarno setelah itu pun terus menyurut. Berbeda dengan ketika berkuasa, hari-hari terakhir
Panglima Besar Revolusi ini berlangsung dengan pahit. Soekarno tersingkir dari kehidupan
ramai sehari-hari. Ia terasing dengan kondisi sakit yang akut di rumahnya. Soekarno terkena
tahanan kota. Ia tidak diperbolehkan menerima tamu dan bepergian. Pada tahun 1971
Soekarno pun meninggal dunia.
Mendengar Soekarno meninggal, maka Hamka pun pergi untuk bertakziah. Tidak cukup
dengan itu, Hamka kemudian mengimami shalat jenazah mantan presiden pertama itu. Pada
saat itu orang sempat terkejut dan bingung ketika Hamka bersedia hadir dalam acara tersebut.
Mereka tahu Soekarno-lah dahulu yang memutuskan untuk memasukkannya dalam penjara.
Saya sudah memaafkannya. Dibalik segala kesalahannya sebagai manusia, Soekarno itu
banyak jasanya, kata Hamka.
Setelah itu, masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto bergerak semakin cepat.
Hamka semakin dalam menceburkan diri ke berbagai aktivitas keagamaan. Secara rutin ia
berceramah ke berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri. Setiap pagi sehabis Subuh
siraman rohaninya yang disiarkan secara nasional melalui RRI terdengar ke berbagai penjuru
pelosok tanah air. Dengan suara khas serak-serak basahnya, Hamka membahas berbagai soal
kehidupan, mulai tingkat sangat sepele seperti cara bersuci yang benar sampai kepada
persoalan sangat serius, misalnya soal tasawuf. Saking banyaknya penggemar, maka
ceramahnya pun banyak diperjualbelikan dalam bentuk rekaman di tokok-toko kaset.
Pada tahun 1975, Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi, bila itu diterima maka ia
tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat
Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif. Namun, Hamka menepis keraguan itu
dengan mengambil langkah memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI dari pada
berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati
nasib ulama itu akan seperti kue bika , yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah)
dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka situasinyaakan menjadi sulit. Bahkan MUI bisa
akan mengalami kemunduran serius.
Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental ketika
pada awal dekader 80-an, lembaga ini berani melawan arus dengan mengeluarkan fatwa
mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam
mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya fatwa itu kontan saja membuat geger publik.
Apalagi terasa waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi.
Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yang
tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya, fundamentalis,
dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah.
Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat
kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang
menyatakan bahwa keputusannya itu akan mengancam persatuan negara. Hamka yang waktu
itu berada dalam posisi sulit, antara mencabut dan meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian
memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981.
Bagi pengamat politik, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI adalah merupakan
cerminan dari pribadinya. Bahkan, mereka pun mengatakan sepeninggal Hamka, kemandirian
lembaga ini semakin sulit. Demi melanggengkan hegemoni Orde Baru kemudian terbukti
melakukan pelemahan institusi keagamaan secara habis-habisan itu. Fatwa MUI sepeninggal
dia terasa menjadi tidak lagi menggigit. Posisi lembaga ini semakin lemah dan terkesan hanya
sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka.
Hamka yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat banyak
jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah dibukukan. Ini belum termasuk
berbagai cerita pendek dan karangan panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media
massa, dan forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam
bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada
sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka
(UHAMKA). Berbagai karya tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik,
sejarah, budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh publik,
termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan risalah tesis dan disertasi.
Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.
Buya HAMKA Nasionalisme Agama
untuk Membangun Negeri
Posted by Muhammad Joe Sekigawa on October 24, 2011 · 6 Comments
Sumber Gambar
Bismillahirrohmaanirrohiim,,
Beliau yang bernama lengkap Haji Abdullah Malik Karim Amrullah ini memang kerab
dikenal luas oleh masyarakat dengan sebutan Buya Hamka. Buya sendiri merupakan
panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi,abuya, berasal dari bahasa
Arab yang artinya ayahku, atau seseorang yang dihormati. Sedangkan Hamka sendiri
merupakan singkatan dari nama panjang beliau tersebut.
Hamka kecil memang telah dididik oleh ayahnya dengan kehidupan Islami yang menyeluruh,
ia juga sangat dekat dan menyenangi bahasa Arab. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin
Amrullah, dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Beliau merupakan seorang tokoh
utama dari gerakan pembaharuan atau modernisme Islam di Minangkabau yang terkenal
dengan sebutan Kaum Muda.
Hamka juga merupakan seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran
bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di
Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti,
dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee,
Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar
pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Beliau adalah sosok yang patut dicontoh oleh para pemuda saat ini. Bagaimana tidak, seorang
Hamka yang memiliki kemampuan bahasa Arab yang tinggi tersebut, tidak pernah anti pada
hal-hal baru yang tentu saja tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Apa
yang dilakukan oleh beliau merupakan satu gerakan revolusioner pada zamannya, di mana
pada saat itu kebanyakan intelektual hanya berkutat di salah satunya, bidang agama atau
bidang non agama saja, namun beliau malah dengan nafas Islam-lah mempelajari berbagai
pemikiran dari ilmuan Barat untuk dikaji dan diteliti guna kepentingan umat. Bahkan, di
bidang sastra, Buya Hamka banyak menelurkan karya-karya sastra fenomenal seperti
Tenggelamnya Kapal Vanderwijck (1937), Dibawah lindungan Kabah (1936), Merantau ke
Deli (1940), Terusir, dan Keadilan Ilahi selain karya Besar Tafsir Al Qur‘an yang legendaris,
Tafsir Al Azhar (1966)
Sosok Hamka juga tak lepas dari peranannya di bidang perpolitikan bangsa karena ia teringat
betul pesan dari ayahandanya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930
di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju
kebenaran”. Hamka aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid‘ah,
tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929. Kegiatan politik Hamka bermula pada
tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945,
beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato
dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat
menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Kemudian sejak tahun 1950-an
Hamka bergabung dengan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan bahkan
beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan
Raya Umum 1955.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan,
penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah
surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah.
Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,
beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Mari kita bayangkan bersama, seorang Ulama yang juga Sastrawan, juga seorang Wartawan
yang banyak menulis tentang gema perubahan Negara Indonesia yang lebih baik berdasarkan
Al Qur‘an dan As Sunnah. Hamka adalah orang yang berdedikasi tinggi terhadap ilmu
pengetahuan, paham akan keanekaragaman, gemar menciptakan inovasi perubahan, namun
tak pernah melepaskan ikatan-ikatan dasar sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sosok penuh
inspirasi yang membuat kagum banyak kawan maupun lawan, dan semuanya itu dimulai dari
Hamka muda. Betul, sedari awal Hamka telah mengazamkan diri untuk membuat perubahan
yang lebih baik bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia-nya, bangsa Indonesia
milik kita bersama.
Begitu luar biasa sepak terjang dari Buya Hamka ini hingga Majelis tertinggi Universitas Al-
Azhar, Cairo, Mesir memberikan gelar Doctor Honoris Causa (Ustadziyah Fakhriyah) pada
Hamka tahun 1959. Universitas Kebangsaan Malaysia pun juga memberi gelar yang sama
dibidang kesusastraan tahun 1974. Sedangkan Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta juga
memberi gelar Profesor Kehormatan pada tahun 1966.
Dalam dekade 1970-an sampai awal 1980-an kalau orang bertanya, siapa pemimpin ulama
Indonesia? Jawaban yang pasti adalah Buya Hamka. Sosok Hamka sebagai ulama dan
pujangga Islam Indonesia tidak hanya dikenal luas di tanah air, tapi juga di luar negeri.
Tampilnya sebagai ulama penjaga akidah umat sangat termahsyur namun tetap santun dengan
penuh kebijaksanaan.
Pada akhirnya, kita benar-benar merindukan sosok penerus dari generasi muda yang memiliki
tingkat kualitas sekaliber Buya Hamka. Ya, harapan itu masih ada, dan kita lah para pemuda
yang mengemban tanggung jawab tersebut. Maju terus untuk memimpin perubahan dan
mengehentak peradaban, menuju Indonesia yang lebih baik.
Salam semangat menciptakan perubahan, Muhammad Joe Sekigawa (4-c Rehsos STKS
Bandung 2008
Tokoh: Buya Hamka
Buya HAMKA
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul
Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat
terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali
sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya
dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika
usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah
mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti
Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki
Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di
Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.
Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau
diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo,
Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya
memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa
Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur
Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan
Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris
dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean
Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar
pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah
bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan
Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai
tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang.
Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.
Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua
tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau
terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi
Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali
pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada
tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli
1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum
Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena
nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik Hamka bermula
pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam.
Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada
tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia
menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya
Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun
1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-
Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka
diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota
Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan,
penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah
akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada
tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.
Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar.
Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan
Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel
dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-
novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan
Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah
dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional
dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar,
1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk
Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Hamka telah pulang ke
rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini
dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama
dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk
Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
*)sumber: wikipedia.org