Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”
Pengantar
Hakim sebagai pemutus perkara perdata dalam sengketa
bisnis dalam sidang pengadilan tentunya berhadapan dengan
kepentingan banyak pihak. Dalam proses persidangan tentunya akan
berhadapan dengan banyak pihak yang mungkin tidak
memperlakukannya sebagaimana mestinya atau tidak bersikap
simpatik seperti yang diharapkannya. Oleh karena itu, hakim harus
“berjuang” untuk mendapatkan fakta yang sesungguhnya secara
obyektif di tengah-tengah kondisi yang demikian, serta pandai memilih
di antara “fakta-fakta” imajiner dan fakta palsu yang mungkin
diajukan, demi memutus perkara yang diharapkan berlaku secara adil.
Mengenai memutus secara adil maka Bagir Manan membedakan
antara makna “mengadili menurut hukum” dengan tidak membeda-
bedakan orang”1 . Dalam proses peradilan maka ada kewajiban hakim
untuk mengadili menurut hukum, karena kalau hal itu tidak dilakukan
akan membuat putusan menjadi batal demi hukum (null and void, van
rechtwege nieting). Konsep tidak membeda-bedakan orang tidak
hanya berlaku bagi penyelenggara peradilan, melainkan juga
penyelenggara negara dan pemerintahan. Penyelenggara
pemerintahan dalam memberikan pelayanan dan menetapkan
1 Baca pasal 5 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetukan” Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak mebeda-bedakan orang”.
keputusan juga tidak boleh membeda-bedakan orang. Penyimpangan
atas asas tidak membeda-bedakan orang dapat dibenarkan walaupun
atas dasar yang sangat terbatas yaitu apabila secara nyata
ditunjukkan (clear evidence) membeda-bedakan orang tersebut demi
suatu keadilan dan manfaat bagi mereka yang dibedakan.2
Dalam menerapkan hukum maka ada 3 model peran hakim antara
lain:3
1. Hakim sekedar menjadi mulut undang-undang. Meskipun
ajaran :hakim sebagai mulut undang-undang” telah
ditinggalkan, tetapi ada kemungkinan putusan hakim yang
sekedar melekatkan ketentuan undang-undang dalam satu
peristiwa konkrit. Perbedaannya, dimasa paham legisme,
hakim sebagai mulut undang-undang semata-mata karena
kebebasan menemukan hukum dalam kaitan suatu peristiwa
konkrit, Dalam praktek hal semacam ini jarang terjadi.
2. Hakim sebagai penterjemah hukum yang ada. Sebagai
penterjemah, hakim bertugas menemukan hukum, baik melalui
penafsiran, kontruksi hukum maupun penghalusan. Kewajiban
ini timbul karena ada aturan yang tidak jelas atau karena suatu
peristiwa hukum tidak persis sama dengan lukisan dalam
undang-undang.
2 Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI. Mengadili Menurut Hukum. Varia Peradilan.No.238, Juli 2005, hal.5.3 Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI. Mengadili Menurut Hukum. Varia Peradilan.No.238, Juli 2005, hal. 11.
3. Hakim sebagai pembentuk hukum (recshtshepper, judge made
law). Hukum yang dibentuk hakim dapat berupa hukum baru,
melengkapi hukum yang ada, atau memberi makna baru
terhadao hukum yang sudah ada. Tugas membentuk hukum
dapat terjadi karena hukum yang ada belum (cukup)
mengatur, atau hukum yang ada telah usang.
Dalam kasus majalah “Time “ versus “Suharto” ada beberapa hal
yang menarik perlu untuk dicermati dan dikaji sehingga dapat
menilai apakah pengadilan telah berfungsi secara tepat dalam
menerapkan hukum pembuktian yang pada akhirnya
memenangkan salah satu pihak. Penulisan ini dimaksudkan untuk
melihat secara netrarl tanpa ada kepentingan dari para pihak.
Namun untuk mengetahui sampai sejauhmana pengadilan dari
tingkat PN sampai MA telah menerapkan “ hukum” nya dengan
benarnya tentunya dengan memperhatikan bukti-bukti dari para
pihak dan kalau perlu melakukan suatu penafsiran hukum dalam
hal-hal tertentu.
B. Beban Pembuktian
Pengadilan melalui Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara sengketa bisnis dari awal tentunya sudah
sudah ada niatan untuk bertindak secara adil dan tidak memihak.
Sikap ini tentunya akan diperlihatkan dari awal persidangan. Karena
dalam HIR tidak ada keharusan untuk memanfaatkan jasa hukum
Advokat maka dari awal Hakim menyikapi secara adil. Wujud rasa adil
ini akan tercermin dalam hal membagi beban pembuktian. Tentunya
yang membuktikan adalah para pihak yang bersengketa. Agar dapat
mendudukan permasalahan diantara kedua belah pihak secara adil
maka hakim dalam menerima dan membebankan bukti apa yang
harus diajukan dan siapa yang harus lebih banyak menanggung beban
bukti mengajukan juga harus secara adil pula. Ini berarti bahwa kedua
belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan
pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang
diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan
bantahannya.
Suatu masalah yang sangat penting dalam Hukum
Pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian.
Sebagaimana sudah diterangkan, pembagian beban pembuktian itu
harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu
pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori
menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat,
dalam jurang kekalahan. Masalah pembagian beban pembuktian ini
dianggap sebagai suatu masalah hukum atau soal yuridis, yang dapat
diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka Pengadilan Kasasi, yaitu
Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang
tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-
undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk
membatalkan putusan Hakim atau Pengadilan rendähan yang
bersangkutan.
Membuktikan itu tidak selalu mudah. Kita tidak selalu dapat
membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Terutama untuk
membuktikan suatu negatie, sesuatu hal yang negatif, itu pada
umumnya tidak mungkin (negative non sunt probanda) : membuktikan
bahwa tidak berhutang, tidak menerima uang, pada pokoknya
membuktikan yang serba tidak itu pada umumnya tidak mungkin atau
sukar. Oleh karena itu maka pembuktian suatu negatie “should not be
forced on a person without very strong reasons”, kata Paton.4
Ketentuan yang tegas mengenai siapa yang membuktikan
atau tidak tercantum secara tegas dalam beberapa pasal yang
tersebut yakni :
a. Pasal 533 KUHPerdata : Orang yang menguasai barang tidak
perlu membuktikan itikad baiknya. Siapa yang mengemukakan
adanya itikad buruk harus membuktikannya.
b. Pasal 535 KUHPerdata : Kalau seseorang telah memulai
menguasai sesuatu untuk orang lain, maka selalu dianggap
meneruskan penguasaan tersebut, kecuali apabila terbukti
sebaliknya.
c. Pasal 1244 KUHPerdata: Kreditur dibebaskan dari pembuktian
kesalahan dari debitur dalam hal adanya “wanprestatie”.
4
?Ibid.
d. Dalam hal perbuatan melawan hukum, maka Penggugatlah yang
wajib membuktikan adanya kesalahan (pasal 1365 KUHPerdata).5
e. Kwitansi yang berturut-turut dan terakhir dianggap telah
membuktikan pelunasan termasuk tagihan sebelumnya, maka
yang mengemukakan sebaliknya yang harus membuktikan
(pasal 1394 KUHPerdata).
Pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim.
Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan
alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan
pembuktian (bewijslast, burden of proof).
Kepada siapakah pembuktian itu oleh hakim dibebankan, atau
siapakah di antara kedua belah pihak yang diharuskan membuktikan?
Dengan perkataan lain bagaimanakah hakim membagi beban
pembuktian antara para pihak? Penggugat atau tergugatkah yang
harus membuktikan?.
Asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam pasal
163 HIR (ps. 283 Rbg, 1865 BW), yang berbunyi:
Ini berarti bahwa kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat
dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib
membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat
berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan
5 ? Saat ini ada pergerseran mengenai beban pembuktian, hal ini dapat dilihat pada UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen dimana Tergugat yang wajib membuktikan bahwa dia tidak bersalah baik karena sengaja maupun karena kelalaian.
membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya
tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa
yang diajukan oleh penggugat.
Diluar ketentuan-ketentuan khusus yang diantaranya
disebutkan di atas, hakim hanya berpedoman pada asas umum yang
tercantum dalam pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg jo 1865 KUHPerdata).
Mengenai beban pembuktian ini ada beberapa macam teori dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam zamannya.
Sudikno membagi beberapa teori tentang beban pembuktian
yang dapat merupakan pedoman bagi hakim, antara lain:6
1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot
affirmatief).7
Menurut teori ini maka siapa yang mengemukakan sesuatu harus
membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau
menyangkalnya. Dasar hukum daripada teori ini ialah pendapat
bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan (negativa
non sunt probanda). Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar
dari suatu hak; sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini
tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan
kepada seseorang. Teori “bloot affirmatief” ini sekarang telah
ditinggalkan.
6 ?Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.cit., hal. 136-139.
7Baca Asser – Anema – Verdam, Op. cit., hal. 64.
2. Teori Hukum Subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan
pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan
hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku
mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya. Dalam hal ini
penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Untuk
mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan dibedakan
antara peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus.
Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut menjadi peristiwa khusus
yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende Tatsachen),
peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbulnya
hak (rechtshindernde Tatsachen) dan peristiwa khusus yang
bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende Tatsachen).
Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-
peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan
tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa
(Syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus
yang bersifat menghalang-halangi dan yang bersifat
membatalkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya,
bahwa apabila penggugat mengajukan tuntutan pembayaran
harga penjualan, maka penggugat harus membuktikan adanya
persesuaian kehendak, harga serta penyerahan, sedangkan
kalau tergugat menyangkal gugatan penggugat dengan
menyatakan misalnya bahwa terdapat cacad pada persesuaian
kehendak atau bahwa hak penggugat itu batal karena telah
dilakukan pembayaran maka tergugatlah yang harus
membuktikannya.8 Teori ini mendasarkan pada pasal 1865 BW.9
Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan
penggugat didasarkan atas hukum subyektif. Ini tidak selalu
demikian, misalnya pada gugat cerai.10 Keberatan-keberatan
lainnya ialah, bahwa teori ini terlalu banyak kesimpulan yang
abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan
tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat
prosesuil.11 Dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidak-
adilan. Hal ini diatasi dengan memberi kelonggaran kepada
hakim untuk mengadakan pengalihan beban pembuktian.
3. Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti
bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan
ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang
diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan
8
?Ibid, hal. 68.
9P.A. Stein. Op. cit., hal. 118.
10Ibid, hal. 119; Pitlo. Op. cit., hal. 40.
11
?Baca lebih lanjut Asser — Anema — Verdam, Op. cit., hal. 74.
kebenaran daripada peristiwa yang diajukannya dan kemudian
mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa
tersebut.
Siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu
persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum
obyektif) apa syarat-syarat sahnya persetujuan (ps. 1320 BW)
dan kemudian memberi pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya
membuktikan adanya cacad dalam persesuaian kehendak, sebab
hal itu tidak disebutkan dalam pasal 1320 BW. Tentang adanya
cacad ini harus dibuktikan oleh pihak lawan.12 Hakim yang
tugasnya menerapkan hukum obyektif pada peristiwa yang
diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan
apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada.
Jadi atas dasar isi hukum obyektif yang diterapkan dapat
ditentukan pembagian beban pembuktian. Teori ini sudah tentu
tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak
diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat
formalistis.13
4. Teori hukum publik14
12
?Pitlo, Op. cit., hal. 41.13
?Asser—Anema—Verdam, Op. cit., hal. 76.
14Ibid., hal.72.
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa di
dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu
hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari
kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban yang
sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala
macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5. Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil
yang sama daripada para pihak di muka hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus
membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan
para pihak. Asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak
membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para
pihak harus sama. Oleh karena itu hakim harus membebani para
pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut. Kalau
penggugat menggugat tergugat mengenai perjanjian jual beli,
maka sepatutnyalah kalau penggugat membuktikan tentang
adanya jual beli itu dan bukannya tergugat yang harus
membuktikan tentang tidak adanya perjanjian tersebut antara
penggugat dan tergugat. Kalau tergugat mengemukakan bahwa
ia membeli sesuatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu
batal karena kompensasi, maka tergugat harus membuktikan
bahwa ia mempunyai tagihan kepada penggugat. Penggugat
dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak
mempunyai hutang pada tergugat.15 Kiranya sudah
sepatutnyalah kalau yang harus dibuktikan itu hanyalah hal-hal
yang positif saja, yaitu adanya suatu peristiwa dan bukannya
tidak adanya suatu peristiwa. Demikian pula siapa yang
menguasai barang tidak perlu membuktikan bahwa ia berhak
atas barang tersebut. Sebaliknya siapa yang hendak menuntut
suatu barang dari orang lain ia harus membuktikan bahwa ia
berhak atas barang tersebut.
Menurut Pitlo,”De bewijslastverdeling in de procesrechttelijke
of biilijheidstheorie vindt haar basis in het procesrecht. Uitgaande van
het beginsel van de geliijkheid van partijen behoort de rechter op
grond van de billijkheid in het concrete geval de bewijslast te
verdelen”16(terjemahan bebasnya ”pembagian beban pembuktian
dalam teori hukum acara atau teori kepatutan pada dasarnya
bertumpu pada hukum acara. Jalan keluar asas persamaan para pihak
mengharuskan hakim membagi beban pembuktikan berdasarkan
kepatutan dalam kejadian nyata).
Penganut teori ini antara lain Asser-Anema-Verdam, Star
Busmann, Land-Eggens, Haardt dan saat ini Schoordijk dan Princen. 15
?Pitlo, Op. cit., hal. 42.16
?T.R Hidma en G.R Rutgers. Pitlo Het Nederlands Burgerlijk Recht Deel 7 Bewijs Achtste Druk. (Kluwer: Deventer,2004), p.2.
Terutama Anema menguraikan secara umum sejumlah aturan
pembagian beban pembuktian yang berdasarkan pada kepatutan.
Persamaan pihak-pihak mengakibatkan kesempatan-
kesempatan untuk kedua belah pihak untuk memenangkan perkara
mereka, persamaan harus ada. Oleh karena itu hakim tidak pernah
boleh memerintahkan kepada salah satu dari keduanya beban
pembuktian yang tidak seimbang. Dia harus membagi beban
pembuktian sedemikian karena penyampaian bukti untuk pihak yang
terbeban lebih lebih mudah daripada penyampaian bukti untuk pihak
lawan.17
Kalau pada asasnya siapa yang mengemukakan sesuatu,
yang harus dibebani dengan pembuktian, maka di dalam prakteknya
pembagian beban pembuktian itu baru dirasakan adil dan tepat
apabila yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit
dirugikan jika disuruh membuktikan.18
C. Kepentingan Umum
Adapun pemahaman mengenai kepentingan umum dapat
dilihat pada peraturan yang telah berlaku antara lain:
1. Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak
Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Sekitarnya.
17
? Ibid.
18Baca juga M.A. 15 Maret 1972 no. 549 K/Sip/1971. Yurisprudensi JawaBarat 1969—1972 I. hal. 108.
Dinyatakan dalam undang-undang ini, kepentingan umum
merupakan suatu hal yang terpisah, namun sejajar kedudukannya
dalam hubungannya dengan kepentingan bangsa, negara, dan
pembangunan.
2. Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa, negara, masyarakat bersama dan
pembangunan.
3. Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Menurut undang-undang ini, kepentingan umum disamakan
kedudukannya dengan kepentingan bangsa, negara, dan
masyarakat.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Dalam Keputusan Presiden ini, kepentingan umum dinyatakan
sebagai kesatuan yang sama dari kepentingan seluruh lapisan
masyarakat.
5. Doktrin Kepentingan Umum.
Definisi kepentingan itu sendiri menurut doktrin kepentingan
umum meliputi hak-hak dan pertanggungjawaban yang dimiliki
oleh orang banyak dan karenanya harus dikembalikan kepada
orang banyak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam pengertian
kepentingan umum terkandung prinsip keamanan, kesejahteraan,
efisiensi dalam kehidupan dan prinsip kemakmuran.
Kepentingan umum secara teoritis merupakan suatu resultansi dari
hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan
dalam masyarakat dengan menetapkan kepentingan mana yang lebih
utama dari kepentingan yang lain secara proporsional dengan tetap
menghormati semua kepentingan dan dengan mengacu kepada
rumusan umum dalam undang-undang.19
Perbuatan Melawan Hukum
Sebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan
menafsirkan perbuatan melawan hukum secara sempit, di mana
perbuatan melawan hukum dinyatakan sebagai berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku yang telah diatur oleh undang-
undang, seperti terlihat dalam pendapat Hoge Raad pada Arrestnya
tanggal 18 Pebruari 1853 yang mempertimbangkan antara lain
sebagai berikut :20
19
?Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 43-47.
20 Ibid., hal 28.
“Menimbang, bahwa dari hubungan satu dengan lainnya dan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata masing-masing kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu perbuatan dapat berupa perbuatan yang rechtmatig dan dibolehkan, dan sipencipta sekalipun demikian karenanya harus bertanggung jawab, bilamana ia dalam hal itu telah berbuat tidak berhati-hati”.
Ajaran sempit tersebut sebenarnya bertentangan dengan
doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana pada waktu itu yakni
Molengraaff yang menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum
tidak hanya melanggar undang-undang, akan tetapi juga melangar
kaedah kesusilaan dan kepatutan.
Hoge Raad sebelum tahun 1919 menganut ajaran sempit
antara lain dapat dilihat pada Arrest tanggal 6 Januari 1905 mengenai
toko mesin jahit merek Singer dan Arrest tanggal 10 Juni 1910
tentang pipa air ledeng.
Semenjak tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan
perbuatan melawan hukum secara luas. Ajaran luas tersebut ditandai
dengan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum
melawan Cohen di mana Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan
melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat
yang bertentangan dengan atau melanggar :21
a. Hak Subyektif orang lain.
b. Kewajiban hukum pelaku.
c. Kaedah kesusilaan.21 Setiawan, SH. Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan
dalam Yurisprudensi. Varia Peradilan No. 16 bulan Januari 198, hal. 176.
d. Kepatutan dalam masyarakat.
Sejak Arrest 1919 peradilan selalu menafsirkan pengertian
‘melawan hukum’ dalam arti luas. Pengikut penafsiran sempit
khawatir bahwa penafsiran luas dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Pendapat-pendapat modern memang meletakkan beban
berat bagi hakim dengan menuntut yang lebih berat daripada ajaran
lama. Hal ini tidak hanya berlaku untuk perbuatan melawan hukum
tetapi untuk seluruh bidang hukum. Hukum semakin banyak
menyerahkan pembentukannya kepada hakim dan perundang-
undangan modern juga mendukung hal tersebut.
Pembuat undang-undang modern menyadari bahwa tidak
dapat mengatur semua hal dan karena itu menyerahkan kepada
penilaian hakim untuk mengambil keputusan-keputusan daripada
membuat peraturan-peraturan secara terinci hal yang tidak mungkin
dilakukan karena tidak dapat menampung semua hal dan juga kalau
terlalu terinci akan memungkinkan bagi peneliti yang rajin untuk
mencari kelemahan-kelemahannya sebagai bahan argumentasi.
Bidang dimana hakim memberikan keputusan terakhir menjadi
semakin luas.22
ad.a. Melanggar hak subyektif orang lain
22 J.M. van Dunne dan Gr.van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), diterjemahkan oleh Lely Niwan, SH., Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata. Semarang 22 Agustus – 3 September 1988.
Adalah sulit untuk memberikan definisi umum mengenai hak
subyektif. Dengan mengambil pendapat dari Meijers, Rutten
mengatakan bahwa hak subyektif adalah merupakan suatu
kewenangan khusus seseorang yang diberikan dan diakui oleh
hukum untuk mempertahankan kepentingannya.
Hak-hak yang diakui sebagai hak subyektif menurut yurisprudensi
yaitu :
(1). Hak-hak kebendaan dan hak-hak absolut lainnya seperti hak
milik, hak pakai dan sebagainya;
(2). Hak-hak pribadi, seperti hak atau integritas pribadi dan
badaniah, kehormatan dan sebagainya;
(3). Hak-hak khusus, seperti hak penghuni dari seorang penyewa
dan sebagainya.
Suatu pelanggaran terhadap hak subyektif orang lain
merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu
secara langsung melanggar hak subyektif orang lain, dan
menurut pandangan dewasa ini disyaratkan adanya pelanggaran
terhadap tingkah laku, berdasarkan hukum tertulis mupun tidak
tertulis yang seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada
alasan pembenar menurut hukum.
ad.b.Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban menurut hukum
tertulis atau tidak tertulis. Tetapi Hoge Raad menafsirkan bahwa
kewajiban hukum dalam hal pebuatan melawan hukum, sebagai
berbuat atau tidak berbuat yang melanggar kewajiban yang telah
diatur oleh undang-undang dalam arti formil dan materiil. Dengan
demikian, maka undang-undang yang merupakan ketentuan yang
mengikat dan bersifat umum tersebut dapat mencakup peraturan
di bidang hukum publik dan hukum perdata sebagai
konsekuensinya maka pelanggaran dalam bidang hukum publik,
dalam keadaan tertentu akan dapat bersifat melawan hukum
dalam pengertian hukum perdata.
Ad.c. Bertentangan dengan Kaedah Kesusilaan
Untuk mengetahui secara tepat mengenai kriteria bertentangan
dengan kaedah kesusilaan ini cukup sulit untuk dirumuskan.
Secara umum sebagai pegangan dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan kesusilaan adalah kaedah-kaedah moral yang
dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai kaedah-
kaedah hukum yang tidak tertulis. Ukuran ini dapat berkembang
sesuai dengan pandangan masyarakat menurut tempat dan
waktu.
Mr.Drs.Utrecht23 menulis bahwa yang dimaksud dengan
kesusilaan ialah semua norma yang ada di dalam
kemasyarakatan, yang tidak merupakan hukum, kebiasaan atau
agama.
Kesusilaan yaitu segala macam norma, yang tidak merupakan :1.
Hukum, 2. Kebiasaan (dalam arti gewoonte dalam bahasa
Belanda), 3. Adat, 4. Agama. Tinggal: 1.Sopan santun, 2. Moral.
Dengan segera perlu ditambahkan, bahwa Mr.Drs.Utrecht
memasukan moral ke dalam susila, sebab, demikian katanya,
moral dan susila hanya berbeda nisbi (hanya berbeda graduil saja
jadi tidak ada perbedaan prinsipil).
Kesimpulan akhir ialah : Susila meliputi moral dan sopan santun
Prof.Mr.L.J.Van Apeldoorn24 membuat perbedaan tegas antara
susila (untuk ini dipergunakan kata : zeden) dengan moral. De
moral betreft den mens als individu, recht en zeden raken de
gemeenschap. De moraal komt tot den mens met den eis: Wees
volmaakt. Daarentegen richten recht en zeden zich tot den mens
als maatschappelijk wezen zij beogen niet de volmaking van de
mens, maar die van de gemeen schap.
23 Mr.Mahadi, Sumber-Sumber Hukum, (Jakarta: N.V. “Soeroengan”, 1958) hal.50 24 ? Ibid., hal.51.
Dikatakan bahwa moral hanya menunjukkan norma-normanya
kepada manusia sebagai mahluk. Susila hendak mengajar
manusia, supaya menjadi anggata masyarakat yang baik.25
Yurisprudensi Indonesia juga menganut ajaran luas tersebut
seperti yang terlihat melalui Putusan Mahkamah Agung No.3191
K/Pdt./198426 dalam perkara antara Masudiati sebagai Penggugat
melawan I.Gusti Lanang Rejeg sebagai Tergugat di mana Penggugat
merasa dibohongi oleh Tergugat dengan janji bahwa dalam waktu 4
bulan Penggugat akan dinikahi secara adat maupun agama maka
Penggugat rela di bawa lari kawin oleh Tergugat. Ternyata walaupun
Penggugat telah mendesak untuk menikah, Tergugat tidak juga mau
menikah hingga berlangsung sampai 1 tahun 4 bulan. Selama hidup
bersama itu Penggugatlah yang menanggung biaya rumah tangga.
Penggugat adalah seorang guru karena tidak kunjung dinikahi secara
sah maka Penggugat kemudian menuntut kerugian yang telah
dikeluarkan selama hidup bersama. Mahkamah Agung memutuskan
mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan bahwa
Tergugat melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam
masyarakat sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri Penggugat.
25 ? Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.13 dst.26 ? Dimuat dalam Yurisprudensi Indonesia (Penerbit : Mahkamah Agung RI. Tahun 1985)
Dengan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam
masyarakat maka dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi Indonesia
telah menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum.
Pemahaman kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan
(onacht zaamheid) sebagai lawan dari kesengajaan. Kesalahan
mencakup dua pengertian yakni kesalahan dalam arti luas dan
kesalahan dalam arti sempit, kesalahan dalam arti luas terdapat
kealpaan dan kesengajaan sementara kesalahan dalam arti sempit
hanya berupa kesengajaan. Soal kesalahan ini terletak pada suatu
perhubungan kerohanian (psychisch verband) antara alam pikiran dan
perasaan si subject dan suatu perkosaan kepentingan tertentu27.
Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan
hukum itu tahu betul bahwa perbuatannya akan berakibat suatu
keadaan tertentu yang merugikan pihak lain maka dapat dikatakan
bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggung
jawabkan.
Vollmar28 mempersoalkan apakah syarat kesalahan
(schuldvereiste) harus diartikan dalam arti subyektifnya (abstrak)
atau dalam arti obyektifnya (konkrit). Dalam hal syarat kesalahan
harus diartikan dalam arti subyektifnya maka mengenai seorang
pelaku pada umumnya dapat diteliti apakah perbuatannya dapat
27 Prof.Dr.R.Wirjono Prodjodikoro, SH., Perbuatan Melanggar Hukum , (Bandung : Sumur Bandung , 1993) hal.28.
28 Dikutip oleh Moegni Djojodirdjo dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.66.
dipersalahkan kepadanya, apakah keadaan jiwanya adalah
sedemikian rupa sehingga ia dapat menyadari maksud dan arti
perbuatannya dan apakah si pelaku pada umumnya dapat
dipertanggung jawabkan.
Adapun mengenai syarat kesalahan dalam arti obyektif
maka yang dipersoalkan adalah apakah sipelaku pada umumnya
dapat dipertanggung jawabkan, dapat dipersalahkan mengenai suatu
perbuatan tertentu dalam arti bahwa ia harus dapat mencegah
timbulnya akibat-akibat dari perbuatannya yang konkrit.
Maka akan ada schuld dalam arti konkrit atau dalam arti
obyektifnya, apabila sipelaku seharusnya melakukan perbuatan
secara lain daripada yang telah dilakukannya. Sipelaku telah berbuat
secara lain daripada yang seharusnya dilakukannya dan dalam hal
sedemikian itu kesalahan dan sifat melawan hukum menjadi satu.
Sikap Hakim dalam memeriksa Perkara
Wesseling van Gen29mengemukakan adanya : lima asas Umum
yang menjadi syarat untuk tercapainya peradilan yang baik, yaitu :
1. Mendengarkan kedua belah fihak (Hoor en verhoor of
werderverhoor, ook wel gelijkkeheid beginsel genoemd).
2. Hakim yang tidak memihak (Opartijdigheid van de Rechter).
29 Wesseling van Gent, Minimum vereisten voor een Viviele Procedure, (Open bestuur omgan met mondige mensen), Samson Uitgeverij, Alpen aan Rijn, 1980, hal 28.
3. Persidangan yang terbuka untuk Umum (Openbaarheid van
behandelling en uitpraak).
4. Putusan harus disertai alasan-alasan atau motivasi (motivering
van de beslissing).
5. Pemrosesan putusan harus diberikan dalam waktu yang layak
(Beslissing binnen redelijk termijn).
Apabila hal ini dikaitkan dengan perkara ini maka akan terlihat adanya
perbedaan sikap yang signifikan antara Pengadilan Negri dan
Pengadilan Tinggi selaku pengadilan judex facti dengan hakim kasasi
di MA, diantaranya:
Pada Pengadilan Negri:
1. Pada pengadilan negri maka Hakim PN dalam hal beban
pembuktian telah menggunakan pembuktian Penggugat telah
mengajukan bukti bertanda P-1 sampai P-7 ;menguatkan
sanggahan atas gugatan, Para Tergugat telah mengajukan bukti
bertanda T-1 sampai T-83 serta 4 orang saksi ahli;
2. Seharusnya sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365
KUHPerdata maka gugatan perbuatan melawan hukum
seharusnya Penggugat yang membuktikan; tapi Pengadilan Negri
ternyata melakukan memberikan beban pembuktian
berdasarkan pasal 163 HIR dimana kedua belah pihak diberi
kesempatan yang sama untuk saling membuktikan masing-
masing dalilnya. Artinya di tingkat ini pengadilan memakai
beban pembuktian berdasarkan “ Teori Kepatutan”; apabila
dikaitkan dengan jumlah bukti yang diajukan maka nampak jelas
para Tergugat mempunyai bukti yang lebih banyak dan lengkap
karena ada 4 orang saksi ahli yang juga diajukan dalam
persidangan.
3. Pengadilan negri telah memberikan pertimbangan hukum yang
cukup dimana setiap kata, gambar selalu dipertimbangkan
dengan bukti-bukti baik tertulis maupun saksi ahli dengan secara
cermat dan penuh kehati-hatian secara seimbang dan tidak
memihak; hal ini nampak pada pembuktian yang diajukan para
pihak selalu dikaitkan satu sama lain disertai pertimbangan
hukum. Pertimbangan hukumnya didasarkan dengan melihat
pada hukum positif, azas hukum maupun teori-teori hukum yang
relevan.
4. Kelemahan pengadilan negri adalah cacat formil dalam membuat
putusan dimana posita gugatan penggugat maupun para
tergugat tidak termuat secara keseluruhan atau lengkap sebagai
lazimnya. Hal ini seharusnya diperbaiki di tingkat pengadilan
tingkat banding selaku pengadilan tinggi; pengadilan tinggi
justru mengambil alih pertimbangan hukum pengadilan negri
tanpa melihat cacat formil tersebut.
5. Dengan demikian walaupun pengadilan negri bila dikaitkan
dengan pendapat Wesseling van Gen ini dimana pendapat itu
telah di-implementasikan dalam UU MA baik yang lama maupun
yang terbaru termasuk dalam HIR, maka pengadilan negri telah
melakukan tugasnya sesuai dengan 5 persyaratan tadi.
Pengadilan Tinggi
1. Pengadilan tingkat banding selaku pengadilan judex facti
ternyata sama sekali tidak cermat dan teliti dalam memeriksa
perkara tersebut.
2. Hal ini terlihat jelas dalam pertimbangan hukumnya yang
mengambil alih begitu saja pertimbangan hukum pengadilan
negri tanpa mempertimbangkan dan memperbaiki kekurangan
formil dalam putusan pengadilan negri tersebut.
3. Seharusnya pengadilan tinggi secara ex officio menyatakan
putusan pengadilan negri tersebut niet onvankelijk karena cacat
formil tersebut, namun hal ini tidak dilakukan.
Mahkamah Agung:
Mahkamah Agung selaku pengadilan tertinggi telah memberikan
persyaratan limitatif bagi para pihak yang akan mengajukan kasasi
dimana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 30 UU No. 14/1985 jo
pasal 30 UU No.5 Tahun 2005 Tentang MA jo ps. 30 UU No.4/2004
antara lain :
a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Bila persyaratan tersebut diujikan dalam kasus ini maka:
1. Dalam memeriksa di tingkat kasasi ini ternyata MA tidak
mengutamakan ketentuan sebagaimana tertulis dalam ayat ke
(c) tersebut; padahal pemohon kasasi secara jelas dan tegas
telah menyatakan bila baik pengadilan negri yang dikuatkan
pengadilan tinggi telah lalai memenuhi persyaratan
sebagaimana yang dimaksud ayat (c) tersebut; seharusnya MA
secara ex offficio lebih mengutamakan hal ini karena disamping
selaku pengadilan tertinggi (pasal 11 UU No.4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman) seharusnya menyatakan batal
demi hukum putusan pengadilan negri yang dikuatkan
pengadilan tinggi tersebut.
2. Mengenai beban pembuktian dalam tingkat kasasi nampak jelas
tidak dilakukan secara seimbang atau tidak sesuai dengan teori
kepatutan dimana masing-masing diuji dalil-dalil baik yang
tertuang dalam memori kasasi maupun kontra memori kasasi;
MA hanya mempertimbangkan bukti P-6 dan P-7 dari pemohon
kasasi saja, padahal sewaktu di tingkat pengadilan negri para
termohon kasasi mengajukan 83 bukti tertulis dan 4 orang saksi
ahli; dengan hanya 2 bukti tersebut MA telah menafsirkan
terjadinya perbuatan melawan hukum obyektif.
3. Bila dikaitkan dengan cara pembuktian gugatan berdasarkan
pasal 1365 KUHPerdata maka hanya dengan 2 bukti Pemohon
Kasasi yang merupakan bukti somasi dianggap terbukti dan
menghapuskan 83 bukti tertulis dan 4 orang saksi ahli yang
diajukan Termohon Kasasi; MA dalam hal ini terlalu sumiir dalam
menerapkan dan menafsirkan kekuatan bukti tersebut secara
tidak seimbang; bila dikaitkan dengan pendapat Wesseling van
Gen maka nampak keberpihakannya; bahwa bukti P-6 dan P-7
telah di dibantah Termohon Kasasi yang telah menanyakan atau
mewawancarai kuasa hukumnya yang dianggap oleh Termohon
Kasasi sebagai hak jawabnya yang juga dimuat dalam majalah
terbitan saat itu juga.
4. MA dengan menerima bukti P-6 dan P-7 dari Pemohon Kasasi
kemudian menafsirkan sebagai perbuatan melawan hukum
dalam kriteria obyektif dengan tanpa mempertimbangkan bukti-
bukti para Termohon Kasasi adalah jelas terlihat
keberpihakannya ; dengan perkataan lain Hakim MA dalam
memberikan beban pembuktian tidak sesuai dengan “De
procesrechtelijke of billijkhiedstheorieen” atau tidak melakukan
secara “audi et alteram partem” memberikan hak yang sama
secara seimbang kepada para pihak. Berbeda dengan hakim
pengadilan negri yang dengan seksama dan hati-hati telah
memberikan pertimbangan hukum yang cukup memadai dari
gambar dan kata demi kata dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan kedua bukti yang diajukan para pihak
secara seimbang baik atas bukti-bukti tertulis maupun para saksi
ahli, termasuk TAP MPR sebagai hukum positif yang berlaku
setelah salah satu dasar pemberitaan.
5. Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH. berpendapat
seharusnya dalam mencari kebenaran formil, hakim perdata
cukup membuktikan
dengan “preponderance of evidence”30 saja, sedang bagi hakim
pidana dalam mencari kebenaran materiil peristiwanya harus
terbukti “beyond reasonable doubt”.31 Sehingga dalam
ke”pasif”annya tersebut maka Hakim dapat berperan aktif
namun peran aktifnya tersebut tetap dibatasi oleh undang-
undang. Sikap MA yang hanya mempertimbangkan bukti-bukti
yang hanya diajukan oleh Pemohon Kasasi adalah bertentangan
30 ? The greater weight of evidence; superior evidentiary weight that, though not sufficient to free the mind wholly from all reasonable doubt, is still sufficient to incline a fair and impartial mind to one side of the issue rather than the other. This is a burden of proof in a civil trial, in which the jury is instructed to find for the party that, on the whole, has the stronger evidence, however slight the edge may be. -Also termed preponderance of proof; balance of probability. Cf. clear and convincing evidence under evidence (Bryan A. Graner. et.al ed, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul: West group, 1999, p. 1201)
31
?Sudikno, Op.Cit, hal. 147.
dengan asas “prepondarence evidence” yaitu hanya mencari
kebenaran formil.