64
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM BERSENGGAMA DENGAN ISTERI YANG TELAH BERHENTI HAID
DAN BELUM MANDI
A. Tentang Larangan Bersenggama Di Waktu Haid
Al-Syafi’i dalam kitabnya membahas masalah haid dengan diawali
mengutif surat al-Baqarah ayat 222:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah kotoran” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
1
Setelah mengutif ayat 222 surat al-Baqarah, kemudian al-Syafi’i
mengatakan:
1Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, juz 1, Beirut Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 129. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 54.
65
2 Artinya: Allah 'Azza wa Jalla menerangkan bahwa wanita yang haid
itu tidak suci. Ia memerintahkan, bahwa tidak didekati wanita yang berhaid, sebelum ia suci. Dan tidak juga apabila ia suci, sebelum ia bersuci dengan air dan ada ia dari orang yang halal mengerjakan shalat. Tidak halal bagi seseorang yang isterinya berhaid, untuk bersetubuh, sebelum ia suci. Allah Ta'ala menjadikan tayammum itu bersuci, apabila tidak diperoleh air. Atau orang yang bertayammum itu sakit. Dan halal bagi wanita berhaid itu mengerjakan shalat dengan mandi, kalau ia memperoleh air. Atau dengan tayammum, kalau ia tidak memperoleh air. Tatkala Allah Ta'ala memerintahkan dengan menyingkiri dari wanita berhaid dan membolehkan sesudah suci dan bersuci dan Sunnah menunjukkan bahwa wanita yang ber-istihadlah boleh bershalat, maka yang demikian itu menunjukkan, bahwa suami wanita yang ber-istihadlah boleh mengenainya" insya Allah Ta'ala. Karena Allah menyuruh dengan menyingkiri mereka dan mereka itu tidak suci dan Ia membolehkan mendatangi mereka yang suci
Imam Syafi’i dalam melakukan pengambilan hukum meletakkan al-
Qur'an sebagai dasar utama dalam menetapkan suatu hukum. Dalam
kaitannya dengan larangan bersenggama diwaktu isteri haid, ia menganggap
larangan itu berdasarkan kepada al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 222.
2 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, op. cit, hlm. 130
66
Dalam mencermati ayat tersebut Imam Syafi’i menggunakan pijakan
al-Qur'an secara obyektif artinya karena al-Qur'an sudah menunjukkan secara
tegas bahwa wanita yang sedang haid itu tidak suci, oleh karena itu Allah
SWT melarang seorang suami hubungan badan dengan isterinya tersebut. Di
sini jelas bahwa al-Qur'an dijadikan muara dalam menyikapi wanita yang
sedang haid. Hal ini berarti pula bahwa Imam Syafi’i sangat mengutamakan
wahyu illahi dalam mewarnai istinbath hukumnya. Jika dihadapkan oleh
masalah yang tidak ada ketentuannya dalam al-Qur'an baik secara eksplisit
atau implisit maka Imam Syafi’i menggunakan landasan pijakannya yaitu as-
Sunnah meskipun kedudukan as-Sunnah itu sendiri hanya diriwayatkan oleh
satu orang (Hadits Ahad). Penggunaan Hadits Ahad bukanlah berarti Imam
Syafi’i menerima keseluruhan Hadits tanpa seleksi, melainkan setiap as-
Sunnah yang dijadikan landasan hukum selalu diseleksi dengan ketat.
Imam Syafi’i sangat mengutamakan pijakan al-Qur'an dan Hadits ini
bukan berarti ia mengeyampingkan sumber hukum lainnya. Dalam hal ini
metode istinbath hukumnya mengacu pada ijma’. Ijma’ sebagai produk
konsensus ulama mujtahidin sangat penting untuk dijadikan landasan
manakala al-Qur'an dan Hadits tidak menyebutkan tentang suatu peristiwa.
Demikian pula ia menggunakan qiyas sebagai sistem analogi yang didasarkan
pada adanya persamaan illat hukum. Namun dari keseluruhan sumber hukum
Islam ada salah satu bagian yang tidak pernah digunakan oleh Imam Syafi’i
yaitu metode istihsan. Dalam hal ini tampaknya Imam Syafi’i bersifat
konsisten dalam menerapkan hukum. Ia tidak mau menyimpangi sebuah
67
ketentuan hukum yang sudah ada hanya karena adanya ketentuan hukum lain
yang hanya didasarkan oleh kepentingan yang bersifat sementara dan tidak
jelas.
Imam Syafi’i sebagai sosok ulama panutan dapat dikatakan sebagai
peletak batu pertama dalam menyusun kaidah-kaidah hukum Islam secara
komprehensip dan sistematis. Karena itu Muhammad ibn Ali ibn Atiyah
sebagaimana sikutif oleh seorang pakar Filsafat Hukum Islam Shobi
Mahmassani mengkonstatir, Imam Syafi’i adalah orang pertama yang
menyusun dalil-dalil hukum dan menulis karangan-karangan mengenai ushul
fiqh secara ilmiah, yaitu dalam risalahnya yang sudah terkenal.3 Seperti imam
mazhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam
tersendiri. Adapun langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut : “Asal adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia
melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila Hadits telah muttashil dan
sanadnya sahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadits
yang diutamakan adalah makna zhahir; ia menolak hadits munqathi’ kecuali
yang diriwayatkan oleh Ibn al-Musayyab; pokok (al-ashl) tidak boleh
dianalogikan kepada pokok; bagi pokok tidak perlu dipertanyakan ‘mengapa’
dan ‘bagaimana’ (lima wa kaifa); ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ hanya
dipertanyakan kepada cabang (furu’).
3 Sobhi Mahmassani, Falsafatut Tasyri’ Fi al-Islam Muqoddimatun Filsafat Ilmu
Dirosatysy Syari’atil Islamiyyati ‘Ala Dhau’I Madzhabiha Mukhtalifati Wa Dhau’il Qowa-ni-nil haditsati, terj, Ahmad Soejono, Filsafat Hukum Dalam Islam Mukaddimah Dalam Mempelajari Syari’at (Hukum) Islam Di Bawah Sinar Madzhab-Madzhabnya Dan Hukum-Hukum Modern, Bandung: PT. Al-Maarif, 1976, hlm. 67-68.
68
Ahmad Amin dalam kitab Dluha al-Islam,4 menjelaskan langkah-
langkah ijtihad Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafi’i , rujukan pokok adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, hukumnya ditentukan dengan cara qiyas. Sunnah digunakan
apabila sanadnya sahih. Ijmak lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna
yang diambil dari hadis adalah makna zhahir; apabila suatu lafad ihtimal
(mengandung makna lain), maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadits
munqathi’ ditolak kecuali jalur Ibn al-Musayyab. Al-ashl tidak boleh
diqiyaskan kepada al-ashl. Kata ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ tidak boleh
dipertanyakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah; keduanya dipertanyakan hanya
kepada al-furu’. Qiyas dapat menjadi hujjah jika pengqiyasannya benar.
Dengan demikian, dalil hukum bagi Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an,
Sunnah, dan ijmak; sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah al-qiyas
dan al-takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya.
Ahmad Amin,5 menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat Imam
Syafi’i menjadi dua : qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah
pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul
jadid adalah pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Isma’il mengatakan,6 bahwa pada tahun 195 H.,
Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, ia
4 Ahmad Amin, Dluha al-Islam, Juz II, Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyah, tt,
,hlm. 235. 5 Ibid, hlm. 231. 6 Muhammad Sya’ban Ismail, al-Tasyri al-Islami: Mashadiruh Wa Ath-Waruh, Mesir:
Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1985, hlm. 337-338.
69
belajar kepada ulama Irak dan mengambil pendapat ulama Irak yang
termasuk ahl al-ra’y.
Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i
dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad ibn Hanbal, al-Karabisi, al-
Za’farani, dan Abu Tsaur.Setelah tinggal di Irak, al-Syafi’i melakukan
perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir ia bertemu dengan
(dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik.
Imam Malik adalah penerus fiqih ulama Madinah yang dikenal sebagai ahl-
al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, Imam Syafi’i mengubah
beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian,
qaul qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’yu; sedangkan
qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena Imam
Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan
ulama Mesir yang tergolong ahlal-hadits.7 Kamil Musa mengatakan,8 bahwa
pendapat Imam Syafi’i yang didiktekan dan ditulis di Irak (195 H.) disebut
qaul qadim. Setelah itu Imam Syafi’i berangkat ke Hijaz dan kembali lagi ke
Irak pada tahun 198 H. dan tinggal di sana selama satu bulan; kemudian
melakukan perjalanan ke Mesir. Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H.
Pendapat Imam Syafi’i yang didiktekan kepada muridnya dan ditulis
di Mesir disebut qaul jadid. Adapun sebab timbulnya qaul jadid menurut
Kamil Musa adalah karena Imam Syafi’i mendapatkan hadis yang tidak ia
7 Ibid, hlm. 338. 8 Muhammad Kamil Musa, al-Madkhal Ila al-Tasyri al-Islami, Beirut: Mu’assasah al-
Risalah, 1989, hlm. 158.
70
dapatkan di Irak dan Hijaz; dan ia menyaksikan adat dan kegiatan muamalat
yang berbeda dengan di Irak. Pendapat Imam Syafi’i yang termasuk qaul
jadid dikumpulkan dalam kitab al-Umm.
Menurut Mun’im A.Sirry,9 Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman
kekuasaan al-Amin. Pada waktu itu, Imam Syafi’i terlibat perdebatan dengan
para ahli fiqih rasional Irak. Di tengah perdebatan itulah, ia menulis buku
yang berjudul al-Hujjah yang secara komprehensif memuat sikapnya
terhadap berbagai persoalan yang berkembang.
Qaul jadid adalah pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang
dikemukakan selama ia tinggal di Mesir. Dalam banyak hal, qaul jadid
merupakan koreksi terhadap pendapat-pendapatnya yang ia kemukakan
sebelumnya. Qaul jadid Imam Syafi’i dimuat di antaranya dalam kitabnya,
al-Umm.
Menurut Mun’im A.Sirry, para ahli berkesimpulan bahwa munculnya
qaul jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialami Imam
Syafi’i; dari penemuan Hadits, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak
ia temui selama tinggal di Irak dan Hijaz. Atas dasar kesimpulan tersebut,
Mun’im A. Sirry menyimpulkan bahwa qaul jadid merupakan suatu refleksi
dari kehidupan sosial yang berbeda.
Salah satu kitab yang banyak menjelaskan tentang qaul qadim dan
qaul jadid adalah al-Muhadzdzab fi Figh al-Imam al-Syafi’i Radliya
Allah’anh karya Abi Ishaq Ibrahim Ibn’Ali ibn Yusuf al-Firuz Abadai al-
9 Mun’im A.Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,
1995, hlm. 106-107.
71
Syirazi. Dalam kitab itu disebutkan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim
dan qaul jadid. Secara lebih spesifik, Ahmad Nahrawi’Abd al-Salam, salah
satu ulama kelahiran Jakarta yang lama kuliah dan bekerja di Timur Tengah,
menulis buku dengan judul al-Imam al-Syafi’i fi Madzahib al-Qadim wa al-
Jadid (1994).10
B. Tentang Kapan Wanita Suci Dari Haid
Menurut Imam Syafi’i, seorang suami hendaknya menjauhi isteri yang
sedang haid. menjauhi di sini bukan berarti dengan cara mengasingkan isteri
melainkan menghindari dari segala sesuatu yang bisa mendorong
terangsangnya naluri birahi laki-laki. Bahwa kamu menyingkiri dari mereka.
Yakni: dari tempat berhaid. Adalah ayat itu mungkin bagi yang dikatakan oleh
sebahagian ahli ilmu tadi. Dan mungkin bahwa menyingkiri dari mereka itu,
ialah: menyingkiri dari semua tubuhnya. Sunnah Rasulullah s.a.w.
menunjukkan kepada menyingkiri dari yang di bawah sarung daripadanya dan
membolehkan yang lain dari itu.
Menurut imam Syafi’i, wanita yang sedang haid dalam status tidak
suci. Demikian pula wanita yang telah berhenti setelah haidh belum disebut
suci sebelum dia mandi. Jadi sebelum mandi suami dilarang bermubasyarah..
sebagaimana ia katakan dalam kitabnya sebagai berikut:
Allah menetapkan hukum atas orang berjunub, bahwa tidak mendekati shalat, sebelum mandi. Dan jelaslah, bahwa tiadalah masa untuk sucinya orang berjunub itu, selain mandi. Dan tiadalah masa untuk sucinya wanita berhaid, selain habis- nya haid, kemudian mandi, karena firman Allah 'Azza wa Jalla: sebelum suci. Dan yang demikian
10 Ibid, hlm. 485-486.
72
itu, dengan berlalunya haid. Apabila ia telah bersuci, yakni dengan mandi, maka Sunnah menunjukkan bahwa sucinya wanita berhaid itu dengan mandi. Dan sunnah Rasulullah s.a.w.. menunjukkan kepada penjelasan yang ditunjukkan oleh Kitab Allah Ta'ala dari tidaknya bershalat wanita yang berhaid.11 Dengan demikian dalam perspektif Imam Syafi’i, seorang wanita
dikatakan telah suci manakala ketika berhenti dari haid kemudian wanita itu
telah mandi. Maka dalam kondisi seperti ini halal bermubasyarah dengan
istrinya. Barangkali tidak terlalu salah bila dikatakan Imam Syafii termasuk
sosok ulama yang sangat hati-hati dengan efek persetubuhan dalam keadaan
isteri haid. bagi imam Syafi’i mandi bagian penting untuk membersihkan
posisi vagina yang terkena darah juga kebersihan badan sesudah haid menjadi
bagian tak terpisah dari kesucian dan bersihnya wanita.
Pendapat Imam Syafi’i sangat relevan dengan dunia medis, kalau
dihubungkan dengan medis bahwa dalam pandangan medis, bersenggama
dengan istri yang sedang haid bisa menimbulkan bahaya pada orang yang
bersangkutan, bukan hanya menyentuh salah satu organ tubuh yang vital saja
melainkan pula berimbas pada seluruh struktur organ tubuh manusia bahkan
memiliki dampak negatif secara psikologis. Haid membahayakan kesehatan,
karena mengandung penyakit di sini tampaknya medis melihat darah haid
sebagai darah kotor.12
Dalam konteks ini ada baiknya bila mengutip pendapat H. Ali Akbar,
Laki-laki yang bersenggama dengan isteri yang sedang haid adalah laki-laki yang tidak mengerti efeknya, dan hanya memikirkan cara bagaimana melampiaskan nafsu seks yang tidak terkendalikan. Itulah sebabnya agama-
11 Ibid 12 Rahmad Rosadi, Islam Problema Sex, Bandung: Angkasa, 1993, hlm. 62- 67.
73
agama Samawi, Yahudi, Nasrani dan Islam melarang melakukan senggama sewaktu istri haid. 13
Ditinjau dari sudut medis, hubungan badan dengan isteri sedang haid
adalah sebab terpenting yang mengakibatkan rahim berbau busuk, di samping
mengakibatkan kemandulan. Inilah penyakit yang paling menyiksa wanita,
karena ia merasakan sakit yang luar biasa pada vagina, sementara temperature
tubuh naik di samping efek-efek lain yang cukup berbahaya sebagai akibat
dari pembusukan tersebut, dan yang paling parah menderita ialah mulut
rahim.14
Adapun bahaya yang mengancam pihak lelaki, antara lain radang
hebat yang menyerang organ-organ kelaminnya. Karena dengan persetubuhan
itu bibit-bibit penyakit masuk ke dalam saluran kencing, bahkan kadang-
kadang bisa masuk sampai ke kandung kencing dan saluran ginjal (ureter).
Bahkan radang tersebut kadang bisa mencapai kelenjar koper, prostate, anak
pelir, pelir dan saluran kandung kencing (uretra). Persetubuhan di waktu haid
mengancam lelaki dengan bahaya besar yang tidak ia inginkan dengan segala
akibatnya. Bahaya mana takkan terjadi andaikata kedua belah pihak tahu akan
akibat-akibatnya.15
Radang saluran kencing bukanlah perkara enteng, karena ia akan
menyeret penderita kepada berbagai macam bencana dengan segala akibatnya,
manakala benar-benar telah menjangkit saluran kencing itu. Pada waktu itu
13 H. Ali Akbar, Seksualitas Di Tinjau Dari Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1990,
hlm. 44-45. 14 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, terj. Anshari Umar
Sitanggal, Fiqih Wanita, Semarang: CV. Asy Sifa’, tt, hlm. 157. 15 Ibid
74
akan terjadi radang hebat hingga penderita tak bisa kencing dan menimbulkan
rasa sakit serta penderitaan. Radang ini biasanya dibarengi dengan keluarnya
cairan busuk yang cukup deras, yang bila telah parah nampak bercampur
darah. Hal ini tentu saja dibarengi pula dengan bermacam gangguan-gangguan
lainnya seperti demam, menggigil dan lain-lain.16
Jika pendapat Imam Syafi’i dipertahankan sebagai pendapat yang
benar dengan tidak melupakan aspek medis, maka akan mengurungkan niat
seorang suami besenggama dengan istri yang telah berhenti haid namun belum
mandi, mengingat Imam Syafi’i sebagai tokoh fiqih (faqih) yang menjadi
panutan masyarakat Indonesia. Dampaknya akan menumbuhkan sebuah kesan
bahwa telah terjadi suatu persesuaian antara fiqih dengan medis, akibat
selanjutnya akan muncul pula sebuah kesan bahwa fiqih itu rasional dan
dinamis.
Sehubungan dengan itu penulis lebih condong kepada pendapat yang
mengatakan bahwa bersenggama dengan istri yang haid sudah berhenti tapi
belum mandi diharamkan. Alasan condong pada pendapat tersebut, karena
berpijak pada suatu asumsi bahwa mencegah atau menutup terjadinya suatu
kemadharatan adalah lebih baik, meskipun dasar awalnya dibolehkan.
Dalam ushul fiqih, yang disebut saddudz dzari’ah:
16 Ibid, hlm. 58.
75
17 Artinya : Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk
menolak kerusakan, atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan.
Apabila suatu perbuatan yang bebas dari kerusakan dapat menjadi
jalan kepada kerusakan, hendaklah kita larang perbuatan itu. Telah masyhur
dalam kalangan ahli ushul bahwa yang berpegang kepada dasar saddudz
dzari’ah, hanyalah Malik sendiri. Menurut pentahqiqkan al-Qarafi, semua
mahdzab memegangi dasar saddudz dzari’ah, sama dengan maslahah
mursalah dan urf. Saddudz dzari’ah itu, adalah sesuatu perbuatan yang tidak
dicegah syara’ bila dipandang dapat mengakibatkan yang mengerjakannya
kepada suatu hukum yang terang dicegah syara’. Tegasnya mencegah suatu
hukum untuk menutup jalan sampai kepada yang dicegah, seperti: mencegah
orang minum seteguk minuman keras (minuman yang memabukkan) padahal
seteguk itu tidak memabukkan, untuk menutup jalan kepada minum banyak.
Malik dan Ahmad memegangi dasar saddudz dzari’ah. Fuqaha yang sedikit
memakainya ialah as-Syafi’i.18 Dzara’i ini, sebagaimana dipergunakan untuk
menolak kefasadan, dipergunakan juga untuk mencari kemanfaatan. Al-Qarafi
menerangkan bahwa; dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menutup, maka
wajib juga membukanya. Karenanya, ada dzari’ah yang dimakruhkan,
disunatkan dan dimubahkan. Dzari’ah adalah wasilah. Sebagaimana dzari’ah
kepada haram, diharamkan, maka wasilah kepada wajib, tentu diwajibkan,
seperti berjalan ke jum’at. Dalam pada itu, dalam mempergunakan dasar ini
17 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, edisi II, Cet. 2, Semarang: PT Pustaka Rizeki Putra, 2001, hlm. 220. lihat juga A. Hanafie MA, Ushul Fiqh, Cet. 14, Jakarta: Wijaya, 2001, hlm. 147.
18 Al-Iman Ibnu Qayim al-Jauziah, I’lamul Muwaqqiin, juz 3, Mesir: 1994, hlm. 119.
76
tidak boleh berlebih lebihan karena orang yang terlalu mempergunakannya,
mungkin tidak akan mengerjakan sesuatu yang mubah atau mandub, atau
wajib, lantaran takut terjerumus ke dalam kedzaliman, seperti tidak mau
mengurusi harta anak yatim, karena takut mendapat tuduhan yang jelek dari
masyarakat.19
Di samping alasan di atas alasan lain penulis lebih mendukung
pendapat Imam Syafi’i adalah merujuk pada kaidah ushul fiqih yang berbunyi:
20
Artinya : “Menghindarai madzarat (bahaya) harus didahulukan atas mencari/menarik masalah/kebaikan”.
C. Tentang Penafsiran Q.S Al-Baqarah Ayat 222
Dalam tafsir al-Azhar diterangkan bahwa menjauhi dan jangan
mendekati, yang dimaksud di sini bukanlah supaya laki-laki benar-benar
menjauh, sehingga sampai berpisah tempat. Al-Quran selalu memakai kata-
kata yang halus berkenaan dengan persetubuhan. Sebagai pernah kita lihat
seketika menerangkan keadaan suami-isteri seketika puasa. Di ujung ayat
Tuhan mengatakan, sebagai kita ketahui: "Itu adalah batas-batas Allah, maka
janganlah kamu dekati akan dia. Pendeknya, jagalah jangan sampai, karena
19 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit, hlm. 220-221. 20 H.Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh ( al-Qowaidul Fiqhiyyah), cet 4, Jakarta:
Kalam Mulia, 2001, hlm.39.
77
berdekat-dekat juga, syahwat tidak tertahan, lalu dilangsungkan juga
persetubuhan. Padahal dia sedang dalam gangguan.21
Pendeknya janganlah sampai terjadi sebab-sebab yang akan membawa
bersetubuh pada waktu dia dalam berhaidh itu: "Maka apabila mereka telah
bersuci, maka bolehlah kamu menghampiri mereka sebagaimana yang telah
diperintahkan Allah kepada kamu." Disebut baru boleh didekati, setelah dia
bersih. Artinya darah haidh tidak keluar lagi, yaitu setelah berlaku enam atau
tujuh hari pada umumnya. Sebab ada juga yang berlebih sedikit ada ada juga
yang kurang. Maka apabila dia telah bersuci, yaitu mandi, bolehlah kamu
menghampiri dia, sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada kamu. Mula-
mula dikatakan apabila dia telah bersih; sebab bersih dari haidh itu bukanlah
atas kemauannya sendiri, sebagaimana dia berhaidhpun bukanlah diaturnya
sendiri.22
Kemudian dikatakan apabila dia telah bersuci, sebab pergi mandi
adalah atas kehendaknya sendiri. Maka kalau sudah bersih dan suci,
berbuatlah sebagaimana lazimnya suami-isteri, "dekatilah" dia.
"Sesungguhnya Allah suka kepada orang yang bertaubat." Yaitu memohon
ampun kepada Allah, karena barangkali pernah terlanjur bersetubuh ketika dia
dalam haidh, sebab hanya berdua saja yang tahu. "Dan suka (pula) kepada
orang-orang yang bersuci," (ayat 222).
Dengan jawaban ini tertolak kemusykilan bahwa di waktu haidh
perempuan itu adalah najis, tidak boleh didekati. Tempat tidurnya mesti
21 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz II, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 2004, hlm. 260-261 22 Ibid
78
dipisah jauh dan segala yang disentuhnya menjadi najis, sebagai peraturan
yang dipegang oleh Yahudi itu. Keadaan peribadi orang perempuan menurut
ayat ini, seketika dia berhaidh bukanlah najis, malahan (maaf) bercium-
ciuman tidak terlarang. Karena dia tidak najis. Cuma setubuh jangan, sebab di
waktu itu tengah ada pembersihan dalam rahimnya, buat sedia lagi menerima
sesudah haidh. Karena itu tunggulah wanita yang berhenti haid sampai
kemudian mandi.23
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan sebagai berikut: Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi,
telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari §abit, dari Anas,
bahwa orang-orang Yahudi itu apabila ada seorang wanita dari mereka
mengalami haid, maka mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau pula
serumah dengan mereka. Ketika sahabat Nabi Saw. menanyakan masalah ini
kepadanya, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian men- jauhkan din dari wamta di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
23 Ibid
79
Artinya: Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh).
Ketika berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka
mereka mengatakan, "Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksudnya
Nabi Saw.), tidak sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan kami,
melainkan ia pasti berbeda dengan kami mengenainya."
Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad ibnu Bisyr, lalu
keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi
mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh dengan mereka
(wanita-wanita yang sedang haid)?" Mendengar itu roman muka Rasulullah
Saw. berubah hingga kami menduga bahwa beliau sangat marah terhadap
Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya pulang, dan mereka berpapasan
dengan hadiah yang akan diberikan kepada Rasulullah Saw. berupa air susu.
Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika
keduanya sampai di hadapan Rasulullah Saw., maka beliau memberinya
minum dari air susu itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah Saw.
tidak marah terhadapnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu
Zaid ibnu Salamah. Firman Allah Swt.:
Artinya: Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, (Al-Baqarah; 222)
80
Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena berdasarkan sabda
Rasulullah Saw. yang mengatakan:
Artinya: Lakukanlah segala sesuatu (dengan mereka) kecuali nikah (bersetubuh).
Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang berpendapat bahwa
boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Musa
ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari
Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi Saw.:
Artinya: Bahwa Nabi Saw. apabila menginginkan sesuatu dari istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau menutupi farjinya dengan kain.
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami
Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Umar ibnu
Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Imarah ibnu Garrab,
bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan kepadanya hadis berikut:
Bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r,a.. "Salah seorang dari
kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mempunyai ranjang
kecuali hanya satu buah ranjang." Siti Aisyah mengatakan, "Aku akan
menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Pada suatu hari Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku
81
(menggilirnya), lalu beliau keluar ke mushalanya (masjid yang ada di dalam
rumah Siti Aisyah). Aku tidak ke mana-mana hingga mataku terasa
mengantuk, dan ternyata Nabi Saw, merasa kedinginan, lalu ia berkata,
'Mendekatlah kepadaku!' Aku menjawab, 'Aku sedang haid.' Nabi Saw.
bersabda, 'Bukalah kedua pahamu.' Maka aku membuka kedua pahaku, lalu
beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku
mendekapnya hingga ia merasa hangat dan tidur'."
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah
menceritakan kepada kami Ayyub, dari catatan Abu Qilabah yang
menceritakan hadis berikut:
Artinya: Bahwa Masruq memacu untanya menuju rumah Siti Aisyah, lalu ia berkata, "Semoga keselamatan terlimpah kepada Nabi dan keluarganya" Maka Siti Aisyah berkata, "Selamat datang, selamat datang." Mereka memberi izin kepadanya untuk menemui Siti Aisyah. Lalu Masruq masuk dan bertanya, "Sesungguhnya aku hendak menanyakan kepadamu tentang suatu masalah, tetapi aku malu mengutarakannya." Siti Aisyah menjawab, "Sesungguhnya aku adalah ibumu dan kamu adalah anakku." Masruq berkata, "Apakah yang boleh dilakukan oleh seorang lelaki terhadap istrinya yang sedang haid?" Siti Aisyah menjawabnya, "Segala sesuatu kecuali persetubuhan."
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Humaid ibnu Mus'adah, dari Yazid
ibnu Zurai', dari Uyaynah ibnu Abdurrahman ibnu Jusyan, dari Marwan Al-
82
Asfar, dari Masruq yang mengatakan, "Aku bertanya kcpada Siti Aisyah,
apakah yang dihalalkan bagi seorang lelaki terhadap istrinya apabila ia sedang
haid?" Siti Aisyah menjawab, "Segala sesuatu kecuali persetubuhan."
Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Mujahid., Al-
Hasan, dan Ikrimah.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Abu Kuraib, dari Ibnu Abuz Zaidah,
dari Hajyaj, dari Maimun ibnu Mihran, dari Siti Aisyah r,a. yang pernah
mengatakan kepadanya, "(Kamu boleh melakukan segala sesuatu kepada
istrimu) pada bagian di atas kain sarungnya."
Menurut kami, seorang suami boleh tidur bersama istrinya yang
sedang haid, boleh pula makan bersamanya tanpa ada yang
memperselisihkannya. Siti Aisyah r.a. pernah menceritakan hadis berikut:
Artinya: Rasulullah Saw. pernah memerintahku agar aku mencuci kepalanya, sedangkan aku dalam keadaan berhaid. Dan beliau Saw. pernah bersandar di atas pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan haid, lalu Rasulullah Saw. membaca Al-Qur'an.
Di dalam kitab sahih disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a. yang
menceritakan:
83
Artinya: Aku pernah makan daging yang ada tulangnya ketika sedang haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. meletakkan mulutnya di tempat bekas gigitanku, lalu. aku minum dan memberikan bekas minumanku kepadanya, maka beliau meletakkan mulutnya di tempat bekas aku meletakkan mulutku.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Jabir ibnu Subhi yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalas Al-Hajri menceritakan hadis
berikut dari Siti Aisyah r.a.:
Artinya: Aku dan Rasulullah Saw. sering berada dalam satu selimut, sedangkan aku dalam keadaan berhaid yang deras. Maka jika tubuhnya terkena sesuatu (darah) dariku, beliau mencucinya tanpa melampaui bagian lainnya. Dan jika bajunya terkena sesuatu dariku, maka beliau mencuci bagian yang terkena tanpa melampaui bagian lainnya dan memakainya untuk salat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, yaitu telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Jabbar, telah menceritakan kepada kami
Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Abul Yaman, dari Ummu Zurrah,
dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan:
Artinya: Adalah aku bila sedang haid, maka aku turun dari kasur ke tikar.
84
Dengan kata lain, ia tidak mendekat kepada Rasulullah, begitu pula
Rasulullah Saw., tidak mendekatinya hingga ia suci dari haidnya. Maka hadis
ini diinterpretasikan dengan pengertian sebagai tindakan preventif dan hati-
hati.
Ulama lainnya mengatakan bahwa sesungguhnya seorang istri
dihalalkan bagi suaminya dalam masa haidnya hanya pada bagian selain dari
anggota di bawah kain sarungnya, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab
Sahihain dari Maimunah bintil Haris Al-Hilaliyah yang telah menceritakan:
Artinya: Adalah Nabi Saw. apabila ingin menggauli salah seorang istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau memerinlahkan kepadanya untuk memakai kain sarung.
Demikianlah lafaz yang diketengahkan oleh Imam Bukhari. Imam
Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hadis yang semisal dari Siti
Aisyah r.a.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi serta Imam Ibnu
Majah meriwayatkan melalui hadis Al-Ala, dari Hizam ibnu Hakim, dari
pamannya (yaitu Abdullah ibnu Sa'd Al-Ansari), bahwa ia pernah bertanya
kepada Rasulullah Saw., "Apakah yang dihalalkan olehku terhadap istriku jika
ia sedang haid?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Bagian di atas kain
sarung."
Imam Abu Daud meriwayatkan pula dari Mu'az ibnu Jabal yang
menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang apa
85
yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haid. Maka Rasulullah
Saw. bersabda:
Artinya: Bagian di atas kain sarung, tetapi menahan diri dari hal tersebut adalah lebih utama.
Hal ini semakna dengan riwayat dari Siti Aisyah seperti yang telah
disebutkan di atas, juga riwayat Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab serta
Syuraih.
Hadis-hadis di atas dan lain-lainnya yang serupa menipakan hujah bagi
orang-orang yang berpendapat bahwa dihalalkan bersenang-senang dengan
istri yang sedang haid pada bagian di atas kain sarungnya. Pendapat ini
menipakan salah satu dari dua pendapat di kalangan mazhab Syafii yang
dinilai rajih oleh kebanyakan ulama Irak dan lain-lainnya.
Kesimpulan pendapat mereka menyatakan bahwa daerah yang ada di
sekitar farji hukumnya haram, untuk menghindari hal-hal yang diharamkan
oleh Allah dan telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu bersetubuh pada
farjinya.
Kemudian orang yang melanggar hal tersebut, berarti dia telah berdosa
dan harus meminta ampun kepada Allah serta bertobat kepada-Nya.
Akan tetapi, apakah orang yang bersangkutan harus membayar kifarat
atau tidak. Maka jawabannya ada dua hal, salah satunya mengatakan harus.
Pendapat ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan kitab-kitab sunnah dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. mengenai seseorang
86
yang mendatangi istrinya yang sedang haid. Maka dia harus menyedekahkan
satu dinar atau setengah dinar.
Menurut lafaz Imam Turmuzi disebutkan seperti berikut:
Artinya: Apabila darah haid berupa merah, maka kifaratnya satu dinar; dan jika darah haid berupa kuning, maka kifaratnya setengah dinar.
Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
Saw. menetapkan denda satu dinar apabila menyetubuhi wanita yang sedang
haid; dan jika disetubuhi darah telah berhenti darinya, sedangkan ia belum
mandi, maka kifaratnya adalah setengah dinar.
Pendapat kedua yang merupakan pendapat yang sahih adalah qaul
jadid dari mazhab Imam Syafi’i dan pendapat jumhur ulama menyebutkan
bahwa tidak ada kifarat dalam masalah ini, melainkan orang yang
bersangkutan, diharuskan beristigfar, meminta ampun kepada Allah Swt,
mengingat tidak ada hadis marfu' yang sahih menurut pendapat mereka.
Dalam pembahasan yang lalu telah diriwayatkan hadis mengenai ini secara
marfu'. Ada juga yang diriwayatkan secara mauquf, bahkan yang mauquf.
Inilah yang sahih menurut kebanyakan pendapat ulama hadis. Firman Allah
Swt.:
Artinya: Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222)
Ayat ini merupakan tafsir dari firman-Nya:
87
Artinya: Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)
Allah SWT. melarang mendekati mereka untuk bersetubuh selagi
mereka masih dalam masa haidnya. Makna yang terkandung dari kalimat ini
memberikan pengertian bahwa apabila darah haid telah berhenti, berarti boleh
digauli lagi.
Imam Abu Abdullah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal
mengatakan di dalam kitab At-Ta'ah-nya sehubungan dengan makna firman-
Nya:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Kalakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran.' Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat.
Bersuci menunjukkan boleh mendekatinya. Ketika Maimunah dan
Aisyah r.a. mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka bila mengalami
haid, maka ia memakai kain sarung dan masuk bersama Rasulullah Saw. di
dalam selimutnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sekali-kali beliau
menghendaki demikian melainkan ingin melakukan persetubuhan.
Makna ayat ini menganjurkan dan memberikan petunjuk tentang cara
menggauli mereka sesudah bersuci. Bahkan Ibnu Hazm berpendapat, wajib
melakukan jimak setelah tiap habis haid, karena berdasarkan firman-Nya:
88
Artinya: Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian, (Al-Baqarah: 222)
Pendapat ini tidak mempunyai sandaran, mengingat masalahnya terjadi
dengan adanya perintah sesudah larangan. Sehubungan dengan masalah ini
banyak pendapat di kalangan ulama Usul yang mengomentarinya. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa makna yang terkandung di dalam ayat ini
menunjukkan pengertian wajib, sama halnya dengan ayat yang mutlak.
Mereka berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dan
memerlukan jawaban yang sama pula dengannya.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa makna ayat ini
menunjukkan ibahah (pembolehan), dan mereka menjadikan larangan yang
mendahuluinya merupakan qarinah (petunjuk) yang memalingkan makna ayat
dari pengertian wajib. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Pendapat yang kuat sesuai dengan makna yang terkandung di dalam
dalil ini mengatakan bahwa permasalahannya dikembalikan kepada hukum
sebelumnya, yakni kepada perintah sebelum ada larangan. Jika perintahnya
menunjukkan pengertian wajib, maka hukumnya wajib. Perihalnya sama
dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
Artinya: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang- orang musyrik itu. (At-Taubah: 5)
Atau menunjukkan makna mubah, maka hukumnya mubah pula.
Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
89
Artinya: Dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh berburu. (Al-Maidah: 2)
Firman Allah Swt.:
Artinya: Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi. (Al-Jumu'ah: 10)
Dalil-dalil di atas memperkuat pendapat ini. Imam Ghazali dan ulama
lainnya meriwayatkan pendapat ini, lalu dipilih oleh sebagian para Imam
Mutakhkhirin; pendapat inilah yang sahih.
Para ulama sepakat bahwa seorang wanita apabila masa haidnya telah
habis, tidak halal digauli suaminya sebelum mandi dengan air atau tayamum
jika bersuci dengan air tidak dapat dilakukannya karena uzur berikut dengan
segala persyaratannya. Kecuali Imam Abu Hanifah; ia mengatakan bahwa jika
darah haidnya baru terhenti lebih dari sepuluh hari yang merupakan batas
maksimal masa haid menurutnya, maka si wanita halal bagi suaminya begitu
darahnya terhenti, tidak perlu mandi terlebih dahulu
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
Artinya: sebelum mereka bersuci. (Al-Baqarah: 222) Yakni suci dari darah haidnya.
90
Artinya: Apabila mereka telah suci. (Al-Baqarah: 222)
Yaitu bersuci dengan air. Demikian pula apa yang dikatakan oleh
Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Lais ibnu Sa'd
serta lain-lainnya.