35
BAB III
CINTA MENURUT JALALUDIN RUMI DAN RABI’AH AL-ADAWIYAH
A. CINTA MENURUT JALALUDDIN RUMI
1. Biografi dan Karya-karyanya
Nama Rumi yang sebenarnya adalah Jalal Al-Din Muhammad,
namun belakangan ia lebih dikenal sebagai Jalal Al-Din Rumi atau Rumi
saja. Ia dilahirkan di Balkh pada 6 Rabi’ul Awal 604 Hijriyah atau
bertepatan 30 Setember 1207.1
Orang-orang Arghan dan Persia lebih suka memanggilnya
dengan sebutan Jalaluddin “Balkhi”, karena keluarganya tinggal di Balkhi
sebelum berhijrah ke arah barat. Bahauddin Walad, ayah Jalaluddin,
tinggal dan bekerja sebagai hakim dan khitab dengan kecenderungan-
kecenderungan yang mengarah kepada Tasawuf. Dia dapat memutuskan
perkara, dan memiliki kekuatan melihat hal-hal yang belum terjadi dan
yang ada dibalik sesuatu, walaupun tidak pernah menjadi seorang sufi
dalam arti yang lazim. Dia mempunyai beberapa orang anak, tetapi hanya
Jalaluddin yang tumbuh dewasa dan disebut-sebut oleh sumber-sember
terkemudian.2
Sekitar tahun 601 H / 1219 M, Baha Al-Din diam-diam
meninggalkan kotanya, Balkh, dalam rangka melakukan perjalanan haji ke
Mekkah. Karena menyadari kemungkinan tidak kembali lagi, ia mengajak
keluarga dan sejumlah kecil sahabatnya. Kota pertama yang ia kunjungi
selama perjalanan itu adalah Nishapur. Menurut riwayat, ia bertemu
dengan Farid Al-Din ‘Attar, seorang penyair terkenal yang
menghadiahinya salinan karyanya Asarnameh ( Kitab misteri-misteri ) ia
1 Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al- Din Rumi : Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju,
Jakarta, 2004, hlm. 1. 2 Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api : Hidup dan Karya Jalaluddin
Rumi, Mizan, Bandung, tt, hlm. 21.
36
memberi tahu Baha Al-Din bahwa putranya, Rumi akan menyalakan api
dunia pecinta Ilahi. Ia juga bertemu guru agung, Syaikh Shihab Al-Din
‘Umar Surahwardi, seorang sufi terkenal lainnya di sana.3 Dari Nishapur,
kemudian ia menuju ke Bagdad. Di sinilah ia menerima kabar
menyedihkan tentang pengepungan Balkh, dan penghancuran yang
dilakukan oleh bala tentara Jengis Khan, dari Mongol.
Pada tahun 617 H / 1220 M, Baha Al-Din meninggalkan Bagdad
menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan dengan
perjalanan menuju Damaskus dan Malatiya (Melitene). Dari Malatiya ia
menuju ke Arzijan (Armenia) dan kemudian ke Zaranda, sekitar empat
puluh mil dari barat daya Konya, yang menjadi tempat tinggalnya bersama
keluarganya selama empat tahun.4 Zaranda / Laranda (Karaman) adalah
bagian dari kerajaan Seljuk, dimana Alauddin Kaykobad memerintah. Di
sinilah ibu Jalaluddin, Mu’min Khatun meninggal dunia, makamnya yang
sederhana sampai sekarang masih dikunjungi orang-orang yang
mengaguminya.5 Sang Raja yang sangat menghargai ilmu dan filsafat serta
mendukung berbagai macam kegiatan ilmiah menulis surat kepad
Bahaudin menawarkan tempat tinggal baru serta jabatan resmi di
Madrasah (Universitas) di Konya. Begitu Bahauddin menerimanya Sang
Raja menyambut dirinya dan kelurganya dengan hangat. Bahauddin
menetap di Konya dan tinggal di sana beberapa tahun. Karena Konya atau
Konium kuno juga disebut Rum, maka Jalaluddin memakai nama Rumi
sebagai nom de plume-nya.6
Di Laranda, Jalaluddin menikahi seorang gadis muda bernama
Jawhar Khatun, putri Lala Syaraf Al-Din dari Samarqand.7 Ketika
menikah Jalaluddin berusia delapan belas tahun namun ada juga yang
3 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 2. 4 Ibid., hlm. 3. 5 Annemarie Schimmel, op.cit., hlm. 23. 6 Nom de plume adalah samaran dalam menulis sebuah karya. Lihat: Mojdeh Bayat dan
Muhammad Ali Jamnia, Negeri Sufi : Kisah-kisah Terbaik, Terj. MS, Nasrullah, Lentera, Yogyakarta, 2000, hlm. 140.
7 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 3.
37
menyebutkan bahwa Jalaluddin menikah pada usia dua puluh satu tahun.
Pada tahun 1226 M, putra pertamanya lahir diberi nama Sultan Walad,
yang merupakan nama kakeknya, Bahauddin Walad. Kemudian putra
kedua lahir pada tahun 1228 M, diberi nama Alauddin yang merupakan
saudara laki-laki Jalaluddin yang meninggal di Laranda.8
Menurut tradisi nenek moyangnya, Rumi tergolong masih muda
ketika mulai mempelajari ilmu-ilmu Eksoterik (lahir). Dia mempelajari
berbagi bidang keilmuan, meliputi tata Bahasa Arab, ilmu Perpajakan, Al-
Qur’an, fiqih, ushul fiqih, tafsif, sejarah, ilmu tentang doktrin-doktrin atau
asas-asas keagamaan, teologi ,logika, filsafat, matematika dan astronomi.
Pada saat ayahnya meninggal dunia (628 H / 1231 M) dia telah menguasai
semua bidang keilmuan tersebut. Namanya ketika itu sudah dapat dijumpai
dlam deretan nama-nama ahli hukum Islam. Karena keilmuannya tersebut,
tidak mengherankan jika pada usia 24 tahun, dia telah diminta untuk
menggantikan tugas-tugas ayahnya sebagai da’i sekaligus ahli hukum
Islam.9 Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa sang ayah laksana danau besar,
tetapi sang anak adalah samudra luas.10
Sekitar satu tahun setelah wafatnya ayah Rumi, Burhanuddin
Tirmizi, salah seorang murid Bahauddin datang ke Konya untuk
memberikan beberapa petunjuk baru kepada Rumi. Atas saran
Burhanuddin inilah Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo. Di sini
Rumi berdiam di Madrasah Halawiyah dan menerima bimbingan lebih
lanjut dari Kamal Al-Din bin Al-Azhim. Dari Aleppo, Rumi pindah ke
Damaskus dan tinggal di Madrasah Maqdisiyah. Di sini ia memperoleh
kesempatan berharga untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh agung seperti
Muhyi Al-Din Ibnu ‘Arabi, Sa’ad Al-Din Al-Hanawi, Ustman Al-Rumi,
8 Annemarie Schimmel, op.cit., hlm. 23. 9 Willam C. Chittict, Jalan Cinta Sang Sufi : Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi,
Terj. M Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta, 2001. hlm. 3. 10 Will Johnson, Rumi : Menatap Sang Kekasih, Terj. Dini Dwi Utari, PT. Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta, 2005, hlm. 28.
38
Awhad Al-Din Al-Kirmani dan Sadr Al-Din Al-Qunyawi.11 Kemudian
Rumi kembali ke Konya menggeluti pelajaran dan memberikan bimbingan
spiritual hingga gurunya, Burhanuddin wafat. Rumi terus mengajar di
Madrasah Khudavandgar yang menarik perhatian murid-murid dari
berbagai penjuru.
Pada akhir Oktober 1244, sesuatu yang tidak terduga terjadi,
pada perjalanan pulang dari Madrasah, Jalaluddin bertemu dengan seorang
yang tidak dikenalnya dan mengajukan pertanyaan kepadanya, sebuah
pertanyaan yang membuat guru besar ini pingsan. Menurut sumber yang
dapat dipercaya, orang yang tidak dikenal itu menanyakan kepadanya
bahwa antara Muhammad Rasulullah dan Bayazid Bisthami seorang sufi
dari Persia, siapa yang lebih agung.12
Peristiwa inilah yang mendorong Rumi meninggalkan ketenaran
dan mengubahnya dari seorang teolog terkemuka menjadi seorang penyair
mistik. Karena kuatnya pesona kepribadian Syamsuddin Tabriz, Rumi
lebih memilih untuk menghentikan aktifitasnya sebagai guru profesional
dan pendakwah. Hal ini dilakukan semata-mata demi memperkuat
persahabatannya dengan darwis. Bagi Rumi, Syam adalah matahari yang
luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membuatnya
menyala dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna.
Jalaluddin dan Syam tidak terpisahkan lagi mereka
menghabiskan hari-hari bersama. Menurut riwayat selama berbulan-bulan
mereka dapat hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, ketika
bersama-sama menuju cinta Tuhan.
Hubungan ini menyebabkan rasa ingin tahu dan kecemburuan
para murid Rumi yang telah terputus sepenuhnya dari bimbingan dan
diskusi dengan gurunya. Akibatnya, mereka menyerang Syams dengan
celaan dan ancaman kekerasan. Hal ini segera dirasakan oleh Syams
11 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 5. 12 Annemarie Schimmel, op.cit., hlm. 26.
39
sehingga ia meninggalkan Rumi setelah tinggal di Konya selama enam
belas bulan menuju Damaskus.13
Betapa menderitanya Rumi atas kepergian sahabatnya, Syams.
Perpisahan ini menyakitkan Rumi dan melukai perasaanya. Namun pada
saat inilah dia mulai berubah, dia menjadi seorang penyair, mulai
mendengarkan musik, bernyanyi, berputar-putar selama berjam-jam. Dia
sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia menulis beberapa surat dan
pesan kepada Syams yang termuat dalam syair-syairnya. Akhirnya setelah
ia mengetahui bahwa Syams ada di Damaskus, dia mengutus anaknya,
Sultan Walad untuk meminta Syams datang kembali ke Konya.
Dalam perjumpaanya di Konya, mereka saling berpelukan dan
saling berlutut di hadapan temannya, sehingga tidak ada yang tahu siapa
sang kekasih dan siapa yang terkasih. Keakraban hubungan mereka
tumbuh sekali lagi dan begitu meluap-luap sehingga beberapa murid
Rumi, dengan bantuan putra Rumi, Alauddin memutuskan untuk
mengirimkan Syams ke tempat yang tidak ada jalan kembali. Suatu malam
mereka memangilnya keluar dari rumah Jalaluddin. Setelah menusuknya
mereka membuangnya di sumur dekat tempat itu. Ketika ayahnya tidur,
mereka cepat-cepat menguburkan badan Syams yang diambilnya dari
dalam sumur, menutupi kuburan itu dengan semen yang dipersiapkan
dengan tergesa-gesa. Sultan Walad mencoba menenangkan kecemasan
ayahnya, dengan mengatakan bahwa setiap orang mencari Syams.14
Karena dibakar rasa rindu yang tak tertahankan lagi, Rumi
akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri ke Damaskus, dengan harapan
untuk menemukannya, ia kembali lagi ke Konya dan mengangkat Syaikh
Shalah Al-Din Faridun Zarkub, seorang darwis dan tukang emas untuk
menjadi Khalifah yang menggantikan Syams. Ketika Shalah Al-Din wafat,
Rumi kemudian menunjuk Chelebi (Sayyid) Husam Al-Din untuk
13 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 6. 14 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono
dkk,Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 398.
40
menggantikanya. Dengan khalifah baru inilah Rumi menemukan sumber
inspirasi dalam penulisan Matsnawi.
Segera setelah ia kembali ke Damaskus, Rumi mendirikan
tarikatnya sendiri yang disebut Maulawi, nama yang diambil dari gelar
kehormatannya ”Maulana” (Guru Kami), yang diberikan oleh para murid
kepada sang guru tercinta, Rumi. Sementara itu ia masih meneruskan
penulisan Matsnawi atas permintaan Husam Al-Din selama lebih dari 15
tahun. Tidak lama setelah pekerjaan itu selesai kesehatan Rumi memburuk
dan jatuh sakit. Selama hari-hari terakhir hidupnya, Syaikh Sadr Al-Din
Al-Qunyawi dan sejumlah darwis lainnya mengunjungi Rumi. Dalam
salah satu percakapan dengan Rumi, Syaikh Sadr Al-Din mengatakan
bahwa semoga Allah segera menyembuhkanmu, kemudian Rumi
menjawab, ketika antara yang mencinta dan yang dincinta tinggal sehelai
pakaian tipis, tidakkah engkau menginginkan cahaya bersatu dengan
Cahaya.15
Minggu, 16 Desembar 1273 H, Rumi akhirnya berpulang ke
rahmatullah bersamaan dengan terbenamnya mentari di Konya. Diiringi
oleh rasa hormat, akhirnya mahaguru yang cemerlang ini terbaring
diperistrihatannya yang terakhir.16
Setelah wafat, Rumi meninggalkan karya-karya yang indah yang
dipersembahkan bukan hanya bagi kaum Muslim saja melainkan seluruh
umat manusia. Karya-karya yang utama adalah sebagai berikut :
a. Maqalat-i Syams-i Tabriz (Percakapan Syams Tabriz)
Karya ini dianggap sebagai buah persahabatan intim Rumi
dan sahabatnya, Syams Al-Din Tabriz. Karya ini berisikan beberapa
dialog mistik antara Syams sebagai guru dan Rumi sebagai murid.
Sekalipun karya tersebut menjelaskan perihal kehidupan, namun
15 Mulyadhi Kartanegara, op.cit, hlm. 9. 16 Ibid.
41
menurut Nicholson lebih jauh lagi ia menerangkan beberapa ide dan
doktrin sang penyair.17
b. Divan – Syamsi-i – Tabriz
Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti kasidah
dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan yang dipuji ialah
sifat, kepribadian, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang
tokoh. Dalam bunga rampainya ini, Rumi mulai mengungkapkan
pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang
diraihnya pada jalan tasawuf. Kitab ini terdiri atas 36.000 bait puisi
yang indah, sebagian besar ditulis dalam bentuk ghazal.18
c. Matsnawi-i Ma’nawi
Artinya adalah karangan bersajak tentang makna-makna atau
rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang
terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman yang dibagi menjadi 6 jilid.
Kitab ini juga disebut Husami-nama (Kitab Husam). Kitab ini selesai
dikerjakan selama 12 tahun sejak dituturkan Rumi kepada
Husamaddin.19
Menurut Anand Krishna, Matsnawi bukanlah sekedar text
book, tetapi work book (buku kerja, kerja nyata) bila kita
memperlakukan sebagai buku text saja, maka kita tidak akan
memperoleh apa-apa dari Matsnawi, kecuali hanya mendapatkan
beberapa kisah baru saja tapi jika diperlakukan sebagai work book,
Matsnawi bisa menjadi teman hidup kita dan harus dipraktekkan dalam
hidup sehari-hari.20
17 Ibid., hlm. 10-11. 18 Jalaluddin Rumi, Matsnawi ( Senandung Cinta Abadi), Yogyakarta, Bentang, 2006,
hlm. xvii. 19 Ibid., hlm. xvii – xviii. 20 Anand Krishna, Masnawi : Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 21-22.
42
d. Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di dalamnya)
Karya prosa ini mencakup ucapan-ucapan Rumi yang ditulis
oleh putranya yang paling tua, Sultan Walad Eva de Vitray-
Meyerovitch yang menterjemahkannya ke dalam bahasa Prancis,
menggambarkannya sebagai “ karya yang benar-benar menarik, bukan
saja untuk memahami pikiran Sang Guru dan Sufisme pada umumnya,
tapi juga karena kedalaman dan keunggulan analisis isinya, yang
menjadikan inisiasi tentang dirinya sendiri. Seperti Matsnawi, Fihi Ma
Fihi sangat bersifat didaktif (pengajaran), dan sebagai mana
ditunjukkan Prof. De Vitray,” di dalamnya, maksud didaktika ini
dipaparkan lebih jelas lagi.”21
Rumi, dalam karyanya Fihi Ma Fihi yang digunakan sebagai
buku-buku rujukan para sufi ini menjelaskan lebih jauh tentang tiga
jenjang yang dilewati manusia. Pada jenjang pertama manusia
menyembah apa saja; manusia, perempuan, uang, anak-anak,
bumi/tanah dan batu. Kemudian ketika sedikit lebih maju, manusia
menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata : “Aku
menyembah Tuhan”, maupun “Aku tidak menyembah Tuhan.” Karena
pada tahap ini ia telah melewati tahap yang ketiga.22
e. Ruba’iyyat
Bunga rampai ni terdiri atas 3.318 bait puisi. Melalui kitab
ini, Rumi memperlihatkan dirinya sebagai salah seorang penyair lirik
yang agung, bukan saja dalam sejarah sastra persia, melainkan juga
dalam sejarah sastra dunia.23
f. Maktubat (Surat Menyurat)
Berisikan 145 surat yang rata-rata sepanjang 2 halaman.
Menurut William C. Chittick kebanyakan surat-surat ini ditujukan
21 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 12-13. 22 Idries Shah, Mahkota Sufi : Menembus Dunia Ekstra Dimensi, Risalah Gusti,
Surabaya, 2000, hlm. 158. 23 Jalaluddin Rumi, op.cit., hlm. xix.
43
kepada pangeran-pangeran dan para bangsawan Konya. Namun
demikian, surat-surat itu tidak semata-mata berkaitan dengan ajaran
spritual Rumi, namun termasuk juga surat-surat rekomendasi atau
surat-surat yang ditulis atas nama murid atau sahabatnya karena
permintaan untuk berbagi tujuan.24
g. Majlis Sab’ah (Tujuh Pembahasan)
Karya ini juga merupakan karya prosa, berisikan sejumlah
pidato dan kuliah Rumi yang diberikan bukan saja untuk kaum sufi,
tetapi juga khalayak umum. Pidatonya kebanyakan dalam bentuk
nasehat dan konseling, dan agaknya disampaikan sebelum
pertemuannya dengan Syams Al-Din Tabriz.25
Semua karya-karya sastra Rumi ini merupakan ciri khas
karunia atau barokah yang keluar dari kehidupan Rumi yang
mendasari pembentukan Tharikat Mawlawi, yang secara luas dianut
oleh para sufi yang masih hidup.
2. Konsep Cinta Menurut Jalaluddin Rumi
a. Manifestasi
Bagaimana menerangkan cinta? Akal yang berusaha
menjelaskannya adalah seperti keledai di dalam paya. Dan pena yang
berusaha menggambarkannya, akan hancur berkeping-keping.
Begitulah kata Maulana dalam bagian pendahuluan Matsnawi.
“Bagaimana keadaan sang pencinta?” Tanya seorang lelaki Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat; Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu; Ketika Dia memanggilmu, engkaupun akan memanggil-Nya” ( D 2733 )26
24 Ibid., hlm. 13-14. 25 Mulyadhi Kartanegara, loc.cit. 26 Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin
Rumi, hlm. 203.
44
Cinta itu pra-abadi, cinta itu magnit, sejurus lamanya cinta
benar-benar menyirnakan jiwa, kemudian ia pun menjadi perangkap
yang menjerat burung-jiwa, yang kepada burung-jiwa inilah cinta
menawarkan minuman anggur realitas, dan semua ini “hanyalah
permulaan cinta, tidak ada manusia yang dapat mencapai ujungnya.
Maulana suka berbincang-bincang dengan cinta untuk mencari tahu
bagaimana rupa cinta itu :
Suatu malam kutanya cinta : “Katakan, siapa sesungguhnya dirimu? Katanya : “Aku ini kehidupan abadi, aku memperbanyak kehidupan indah itu” Kataku : “ Duhai yang di luar tempat, di manakah rumahmu?” Katanya : “ Aku ini bersama api hati, dan di luar mata yang basah, Aku ini tukang cat; karena akulah setiap pipi berubah jadi berwarna kuning. Akulah utusan yang ringan kaki, sedangkan pencinta adalah kuda kurusku. Akulah merah padamnya bunga tulip. harganya barang itu, Akulah manisnya meratap, penyibak segala yang tertabiri.....” ( D 1402 )27
Rumi menyebutkan bahwa yang pertama diciptakan Tuhan
adalah cinta. Dari sinilah Rumi menganggap cinta sebagai kekuatan
kreatif paling dasar yang menyusup ke dalam setiap mahluk dan
menghidupkan mereka. Cinta pulalah yang bertanggungjawab
menjalankan evolusi alam dari materi anorganik yang berstatus rendah
menuju level yang paling tinggi pada diri manusia.
Menurut Rumi cinta adalah penyebab gerakan dalam dunia
materi, bumi dan langit berputar demi cinta. Ia berkembang dalam
tumbuhan dan gerakan dalam makhluk hidup. Cintalah yang
menyatukan partikel-partikel benda. Cinta membuat tanaman tumbuh,
27 Ibid., hlm. 204.
45
juga meggerakkan dan mengembang-biakkan binatang, seperti dalam
karyanya :
Cinta adalah samudra (tak bertepi) tetapi langit menjadi sekedar, Serpihan-serpihan busa; (mereka kacau balau) bagaikan perasaan Zulaikha yang menghasrati Yusuf. Ketahuilah bahwa langit yang berputar, bergerak oleh deburan gelombang cinta; seandainya bukan karena cinta, dunia akan (mati) membeku Bagaimana benda mati lenyap (karena perubahan) menjadi tumbuhan? Bagaimana tumbuhan mengorbankan dirinya demi menjadi jiwa (yang hidup)? Bagaimana jiwa magorbankan dirinya demi Nafas yang merasuk ke dalam diri Maryam yang sedang hamil? Masing-masing (dari mereka) akan menjadi diam dan mengeras bagaikan es bagaimana mungkin mereka terbang dan mencari seperti belalang? Setiap manik-manik adalah cinta dengan Kesempurnaannya dan segera menjulang seperti pohon.28
Cinta menurut Rumi, bukan hanya milik manusia dan
makhluk hidup lainnya tapi juga semesta. Cinta yang mendasari semua
eksistensi ini disebut “cinta universal”, Cinta ini muncul pertama kali
ketika Tuhan mengungkapkan keindaha-Nya kepada semesta yang
masih dalam alam potensial.
Keindahan cinta tidak dapat diungkapkan dengan cara
apapun, meskipun kita memujinya dengan seratus lidah. Begitulah kata
Maulana Rumi, seorang pecinta dapat berkelana dalam cinta, dan
semakin jauh pecinta melangkah, semakin besar pula kebahagiaan
yang akan diperolehnya. Karena cinta itu tak terbatas Ilahiah dan lebih
besar dibanding seribu kebangkitan. Kebangkitan itu merupakan
sesuatu yang terbatas, sedangkan cinta tak terbatas.29
Kadang Rumi menggambarkan cinta sebagai “astrolabe
rahasia-rahasia Tuhan” yang menjadi petunjuk bagi manusia untuk
mencari Kekasihnya. Karena itu, cinta membimbing manusia kepada-
28 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 57. 29 Annemarie Shcimmel, op.cit., hlm. 206.
46
Nya dan menjaganya dari gangguan orang lain. “Cinta” kata Rumi
adalah astrolabe misteri-misteri Tuhan. Kapanpun cinta, entah dari sisi
(duniawi) atau dari sisi (langit)-Nya, namun pada akhirnya ia
membawa kita ke sana.30
Dalam bayangan Rumi, kadangkala cinta digambarkan
sebagai api yang melalap segala sesuatu selain sang kekasih. Karena
itu, cinta Ilahi dapat menjauhkan manusia dari syirik (penyekutuan
Tuhan) dan mengangkatnya ke tingkatan yang tertinggi dari tawhid.
Menurut Rumi, cinta adalah sayap yang sanggup
menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya,
dan dari kedalaman mengangkatnya ke ketinggian, dari bumi ke
bintang Tsuryya. Bila cinta ini berjalan di atas gunung yang tegar,
maka gunung pun bergoyang-goyang dengan riang.31
Cinta adalah penyakit, tapi ia dapat membebaskan
penderitanya dari segala macam penyakit lain. Apabila penyakit cinta
menimpa seseorang, maka dia tidak akan ditimpa penyakit lain,
ruhaninya menjadi sehat, bahkan nyawanya adalah kesehatan, yang
semua orang ingin membelinya. Demikian ia melukiskan dalam
sebuah syairnya:
Perih cinta inilah yang membuka tabir hasrat pecinta; Tiada penyakit yang menyamai duka cinta hati ini; Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi. Apakah dari jamur laut atau jamur bumi, Cintalah yang menimbang kita ke sana pada akhirnya; Akal kan sia-sia bahkan mengelepar tuk menerangkan cinta, Bagai keledai dalam lumpur; Cinta adalah sang penerang cinta itu sendiri. Bukankan matahari yang menyatakan dirinya matahari, Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.32
30 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 79. 31 Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi Perpestif Rabi’ah Al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi,
Risalah Gusti, Surabaya, 2001, hlm. 91. 32 Ibid, hlm. 91-92.
47
Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa cinta adalah penyembuh
bagi kebanggaan dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh
kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang
sepenuhnya tidak mementingkan diri.33 Sesungguhnya, “cinta”
menjadi satu-satunya kendaraan transformasi. Dalam sajaknya ia
berkata :
Melalui cinta duri menjadi mawar, dan Melalui cinta cuka menjadi anggur manis Melalui cinta tonggak menjadi duri Melalui cinta kemalangan nampak seperti keberuntungan Melalui cinta penjara nampak seperti jalan yang rindang Melalui cinta tempat perapian yang penuh abu nampak seperti taman Melalui cinta api yang menyala adalah cahaya yang menyenagkan Melalui cinta setan menjadi Houri Melalui cinta batu keras menjadi selembut mentega Melalui cinta duka adalah kesenangan Melalui cinta hantu pemakan mayat berubah menjadi malaikat Melalui cinta sengatan adalah seperti madu Melalui cinta singa adalah sejinak tikus Melalui cinta penyakit adalah kesehatan Melalui cinta sumpah serapah adalah seperti balas kasih 34
Cinta seperti samudera yang tak bertepi, meskipun
gelombangnya adalah darah atau api. Pecinta, ketika berenang-renang
di sana, seperti ikan yang bersuka ria, berapapun banyaknya ikan itu
meminum airnya, maka samudera itu pun tak akan pernah berkurang
airnya, karena samudra itu awal dan sekaligus akhir segalanya.
Cinta dapat pula seperti sungai yang airnya sangat deras yang
dapat mencuci bersih segalanya. Jika cinta dapat membersihkan
dengan api, maka cinta pun dapat membersihkan dengan air.
Sesungguhnya cinta merindukan mereka yang kotor, supaya cinta
dapat membersihkan noda-noda mereka.
33 Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, Bumi Angkasa, Jakarta, 2000, hlm. 83. 34 A. Reza Arasteh, Sufisme dan Penyempurnaan Diri, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm. 121-122.
48
Cinta juga dapat dipandang sebagai pohon, sedangkan para
pecinta sebagai bayang-bayangnya yang bergerak ketika dahan dan
ranting pohon tersebut bergerak-gerak. Dahan dan rantingnya ada
dalam pra keabadiaan, sedang akarnya dalam keabadian. Pohon
tersebut tidak memiliki awal atau akhir di dunia waktu dan ruang. Di
sini Rumi membuat persamaan yang sekilas bahwa cinta itu seperti
tumbuhan menjalar yang sepenuhnya mengitari pohon (manusia
natural) yang menutupi pohon itu sampai kerantingnya yang terakhir,
sehingga pada akhirnya yang ada hanyalah cinta.35
Cinta bisa tampil sebagai kekuatan feminim, sebab ia adalah
ibu yang melahirkan umat manusia. Cinta adalah Maryam praabadi,
yang mengandung berkat ruh suci, seorang ibu yang merawat anaknya
dengan lembut.
Cinta adalah anggur dan sekaligus pelayan minuman, dan
minumannya racun sekaligus obat penawar. Ia adalah anggur keras dan
membawa manusia ke keabadian. Akibat anggur seperti itu,” setiap
orang merasa kepanasan sehingga pakaiannya tampak terlalu ketat dan
kemudian dia melepaskan penutup kepalanya dan membuka ikat
pinggangnya”. Pecinta terisi anggur cinta, bahkan pecinta menjadi
botol atau piala cinta itu sendiri.36 Demikianlah Maulana dalam
memperingkatkan pembacanya agar ingat bahwa orang yang tidak
mabuk itu tercela dihadapan jemaah cinta.
Pada saat sampai pada puncak kemabukan cinta, maka
terjadilah perkawinan jiwa yang menggambarkan persatuan mistik.
Dalam persatuan inilah perbedaan antara pecinta dan kekasihnya sirna
oleh perubahan ke dalam hakikat cinta universal. Dengan indahnya,
Rumi menggambarkan perkawinan jiwa itu dalam sebuah syairnya :
Bahagia pada saat itu, ketika kita duduk
35 Annemarie Shcmmel, op.cit., hlm. 212. 36 Ibid, hlm. 221.
49
Bersanding dipelataran istana, Kau dan aku Dalam dua bentuk, dalam dua tubuh, tapi satu jiwa, Kau dan aku........ Kau dan aku, yang tak lagi saling menyendiri, Kau hanyut dalam ekstase tiada bandingnya lagi ...... Di satu tempat di mana kita bergerak mesra, Kau dan aku Sungguh menakjukkan, bahwa Kau dan aku duduk di sini, Pada sudut taman yang sama, Berada pada saat yang sama berada di Irag dan Khurasan jua, Kau dan aku.37
b. Tingkatan cinta
Abu Nashr Al-Siraj, membagi cinta (mahabbah) kepada tiga
tingkatan atau tahapan. Pertama adalah al-Mahabbah al-Amah, yaitu
cinta kaum awam, yang berasal dari perbuatan baik dan kasih sayang
Tuhan kepada mereka. Kedua adalah mahabbah ash-Shadiqin, yaitu
cinta yang bermula dari renungan hati tenang kemandirian, cinta yang
dapat menghilangkan tabir antara manusia dan Tuhan dengan cara
menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri lalu hatinya
dipenuhi perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu kepadaNya.
Ketiga adalah Mahabbah Ash-Ahiggin wa Al-Arifin yaitu cinta yang
ditimbulkan oleh pengetahuan tentang keazalian dan kemutlakan cinta
Allah kepada mereka.38
Jalaluddin Rumi, sejak kecil sudah mendapatkan pendidikan
agama yang baik dari ayahnya, Bahaudin Walad, dan kemudian dari
murid-murid ayahnya. Bahaudin Walad adalah seorang guru sufi dan
ahli hukum yang termasyur pada waktu itu. Dengan usianya yang
masih muda, ia sudah menunjukkan ketertarikan yang besar pada
kehidupan religius dan kesalehan. Dari sinilah ia mengalami tingkatan
cinta yang pertama.
37 Syamsun Ni’am, op.cit., hlm. 94. 38 Muhsin Labib, Jatuh Cinta : Puncak Pengalaman Mistik, PT. Lentera Basritama,
Jakarta, 2004, hlm. 162.
50
Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil alih peran
ayahnya sebagai seorang guru sufi dan penasehat hukum dan
mengikuti praktik-praktik sufi di jalan spritual. Di bawah bimbingan
Burhanuddin, murid dari ayahnya, Rumi dalam usia 25 tahun sangat
antusias terhadap berbagai disiplin dan doktrin sufi. Kemudian Rumi
mengajar di Madrasahnya dan mendakwahkan Islam kepada
masyarakat seperti ayahnya. Rumi juga dikenal sebagai seorang ahli
fiqih yang brilian dan sekaligus filosof. Pada puncak karier
intelektualnya Rumi berhasil menarik sejumlah sepuluh ribu pengikut
dari segenap penjuru dan memperoleh kesohoran yang tak tertandingi
dalam ilmu-ilmu Islam.
Namun kosohoran dan keluasan pengetahuan yang
dimilikinya, tidak memuaskan kebutuhan jiwanya yang rindu
kebebasan dan ketentraman. Ia mulai menyadari bahwa pengetahuan
saja tidak mengubah manusia dan mengembangkan kepribadian
menusia dengan baik karena perilaku menusia berubah seiring dengan
perubahan wataknya. Ia juga mulai yakin bahwa hukum dan akal
hanyalah alat yang bisa mendatangkan maslahat atau mudarat saja. Ia
tidak lagi tertarik pada teologi karena menurutnya teologi hanya akan
menyibukkan diri pada formalisme sehingga mereka mengabaikan
makna dan mengupayakan teologi semata-mata demi memuaskan
kaum awam dan menguasai mereka.39 Bisa dikatakan bahwa pada
masa ini Rumi telah mengalami tingkat cinta yang kedua.
Pada tahun 1244, Rumi bertemu dengan seorang darwis
pengelana misterius, Syamsi Tabriz, dan dunia spritualnya pun
mengalami revolusi besar.40 Menurut pendapatnya, Syams adalah
orang yang memberinya bimbingan intelektual yang melegakan dan
membimbingnya ke jalan yang benar. Meskipun Rumi telah
mempelajari sufisme, namun hanya setelah pertemuannya dengan
39 Mulyadhi Kartanegara, op.cit, hlm. 29. 40 Juliet Mabey, Wasiat Spiritual Rumi, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2002, hlm. xiii.
51
Syams inilah ia benar-benar melangkahkan kakinya dengan pasti pad
bidang ini. Syams menjadi ilham bagi Rumi, yang membimbingnya
menuju puncak pengalaman mistik. Pertemuan dengan Syams inilah
yang menuntunya menuju tingkat cinta yang ketiga, dalam Matsnawi
Rumi menyatakan :
“ Syams dari Tabriz menunjukkanku jalan kebenaran, dan imanku tidak lain adalah anugrahNya”.41
Di bawah pengaruh Syams, Rumi mulai menyadari “objek
sejati” dari pencarian diri sejatinya. Dalam syair berikut, Rumi
mengisyaratkan intensitas pencariannya, yang terakhir dengan hasil
yang mengejutkan. Bahwa apa yang ia cari selama ini justru terdapat
dalam hatinya sendiri:
Salib dan kristen dari sudut ke sudut telah kuli atasi. Aku tidak menganut salib. Rumah berhala kukunjungi, kuil kuno; tak ada rasa yang bisa kutangkap; Aku mengunjungi pegunungan Herat dan Kandahar; Aku lihat, Dia tidak di kedalaman (jurang) atau ketinggian (gunung) di sana. Dengan niat, aku daki puncak Gunung Qaf; di tempat itu tiada apa-apa kecuali ‘Anga’ Aku arahkan pencarianku menuju Ka’bah; dia bukan berada di tempat orang tua dan muda yang mendapat ilham itu. Aku tanya Ibnu Sina tentangnya, dia di luar pengetahuan Ibnu Sina. Aku mengunjungi ruang “persidangan”; dia tidak ada di pengadilan Agung itu. Aku tilik ke dalam hatiku, di sanalah aku menemukannya; Dia tidak berada di mana-mana (di tempat lain).42
Syair ini pada dasarnya menjelaskan proses pencarian mistik
Rumi, dari ruang lingkup eksternal agama ke dalam inti batinnya, dan
transformasi jiwanya kepada tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Melalui transformasi inilah, Rumi menyadari kekurangan hal-hal yang
selama ini ia anggap hakiki.
41 Mulyadhi Kartanegara, op.cit, hlm. 33. 42 Ibid.
52
c. Dampak Cinta
Cinta sangat berpengaruh bagi siapa saja yang mencintai.
Cinta sangat luar biasa dan mengubah segalanya. Dalam hal ini Rumi
menyatakan melalui syairnya :
Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara berubah menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi nikmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancur leburkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya, serta membuat budak menjadi pemimpin.43
Dengan pengaruhnya yang luar biasa pada jiwa manusia, cinta juga dapat mempercepat perjalanan manusia menuju Tuhan. Cinta punya lima ratus sayap, dan setiap sayap (mengembang) Dari atas langit ke bawah bumi. Orang yang zuhud (zahid) berlari; kekasih (Tuhan) terbang Lebih cepat dari kilat dan angin. “Bebaskanlah dirimu dari dunia dan cara jalan kaki, karena (hanya) elang sang raja yang menemukan jalannya kepada sang Maharaja.”44
“Cinta”, ujar Jalaluddin, adalah penyembah bagi kebanggaan
dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri. Hanya
mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak
mementingkan diri.45 Maka apabila sang pecinta ingin mendapatkan
cinta dari kekasihnya, ia harus bisa menghilangkan kebanggaan dan
kesombongan dirinya. Dan ketika kebanggaan dan kesombongan itu
telah hilang, kemudian timbullah kesadaran diri. Pada saat seperti ini
sang pecinta akan memiliki jiwa yang luhur dan menggantikan jiwa
yang kerdil, karena jiwa yang kerdil hanyalah dimiliki oleh orang yang
egois dan cinta diri. Maka cinta terhadap kekasih akan melenyapkan
egoisme dan cinta diri sehingga luhurlah jiwanya.
Cinta menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi
cinta. Cinta Rumi kepada kawannya, Syamsuddin Tabriz, membuatnya
43 Syamsun Ni’am, op. cit., hlm. 91. 44 Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 80. 45 Reynold A. Nicholson, op.cit., hlm. 83.
53
bebas untuk menemukan ungkapan jiwanya sendiri yang menemukan
saluran melalui puisinya. Cinta, jiwa, dan kebebasan menyatu.
Namun, pada saat itu terjadi, kehidupan Rumi berputar balik.
Setelah menyatakan kebebasannya untuk mencintai dari jiwanya, Rumi
tidak lagi berperilaku layaknya syaikh yang baik dan tidak lagi peduli
dengan harapan-harapan yang lazim. Ia menjadi benar-benar bebas,
hanya mempedulikan jiwanya sendiri dan cintanya yang bebas kepad
Tuhan. Rumi berkata :
Lagi-lagi, aku berada dalam diriku sendiri Aku berjalan pergi, tetapi ke sinilah aku berlayar kembali, Kaki di udara, jungkir balik, Seperti seorang wali ketika dia membuka matanya Ditengah doa : sekarang, ruangan, Taplak meja, wajah-wajah yang akrab.46
Cinta Rumi kepad Ilahi menghendaki “keadaan mabuk” di
mana keadaan ini mengisyaratkan tentang keintiman cinta Rumi
kepada Tuhan. Dalam konteks ini, Rumi menerangkan simbol-simbol
tertentu yang berkenaan dengan kemabukan, seperti anggur dan
cawang. “Tuhan adalah cawang dan anggur: Dia tahu cinta seperti apa
pun situasiku”.47
Dalam syair berikut, Rumi mengekspresikan ekstase yang
hebat ketika anggur cinta Ilahi menyentuh jiwanya :
Rembulan yang tak pernah disaksikan langit bahkan dalam mimpi, telah kembali. Dan datanglah api yang tak bisa dipindahkan air apa pun. Lihatlah rumah tubuh, dan pandanglah jiwaku, Ini membuat mabuk dan kerinduan itu dengan cawang cintanya. Ketika pemilik kedai itu menjadi kekasih hatinya, Darahku berubah menjadi anggur dan hatiku menjadi “kabab”. Ketika pandangan dipenuhi ingatan kepadanya, datang suara: Baguslah wahai cawang, hebatlah, wahai anggur!48
46 Denise Breton dan Christopher Largent, Cinta, Jiwa & Kekerasan di Jalan Sufi:
Menari Bersama Rumi, Pustaka Hidayah, Bandung, 2003, hlm. 33. 47 Mulyadhi Kartanegara, op.cit, hlm. 81. 48 Ibid.
54
Cinta ilahi membutuhkan keikhlasan yang dapat memelihara hati
manusia dari syirik (kemusyrikan) dan mengantarkannya pada tingkat
tauhid yang paling tinggi, yaitu ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah).
Rumi, ketika mabuk cinta mencapai puncaknya, perkawinan jiwa
dalam penyatuan mistik terjadi. Dalam penyatuan inilah perbedaan antara
pencinta dan yang Dicinta sirna oleh perubahan ke dalam Hakikat Cinta
Universal.
Keadaan Rumi seperti ini, karena dipengaruhi oleh cinta yang
begitu membara di hatinya. Cinta bisa mengkonsentrasikan semua daya.
Dengan adanya cinta semua potensi yang dimiliki oleh sang pencinta,
pikiran, perilaku dan sepak terjang pencinta akan disatukan dan
dikerahkan untuk mencari sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra
lahiriah. Karana itulah hatinya hanya terisi oleh pikiran tentang ma’syuq
(yang Dicintai). Di manapun, kemana pun, dan pada saat yang
bagaimanapun,sang pencinta terus dibuaikan oleh hasrat cintanya untuk
selalu menghadirkan sang kekasih ke dalam jiwanya.
B. CINTA MENURUT RABI’AH AL-ADAWIYAH
1. Biografi dan Karya-karyanya
Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu Al-Khair
bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah pada tahun 95 H (
717 M ) menurut Ibn Khalikan, keluarga Rabi.ah dari suku Atiq, dan
ayahnya bernama Ismail.49
Konon keluarga Ismail hidup dengan penuh taqwa dan iman
kepada Allah. Tak henti-hentinya melakukan zikir dan beribadah
melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Kondisi hidup dalam kemiskinan,
menyebabkan Ismail dan istrinya selalu berdoa agar dikaruniai anak laki-
49 Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Al-Ilahi, Evolusi Jiwa Manusia Menuju
Mahabbah dan Makrifat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20.
55
laki, yang diharapkan dapat membantu mengurangi penderitaan yang
dialami, karena selama kelahiran anaknya yang ketiga, semuanya adalah
perempuan.
Namun Allah berkehendak lain Anaknya yang keempat pun lahir
perempuan. Putri yang keempat ini diberi nama Rabi’ah, yang berarti
sesuai nomor urut kelahirannya yang keempat.50 Pada malam kelahiran
Rabi’ah tidak terdapat suatu barang berharga yang didapat dalam rumah
Ismail. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk lampu penerang.
Rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kainpun yang dapat digunakan
untuk menyelimiti bayi yang baru lahir. Istrinya minta agar Ismail pergi ke
tetangga untuk minta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi
ayah Rabi’ah telah bersumpah tidak akan meminta sesuatu pun dari
manusia lain sehingga ia pura-pura menyentuh rumah tetanggannya lalu
kembali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur
sehingga tidak membukakkan pintu.51
Dalam kondisi yang memprihatinkan tersebut ayah Rabi’ah
termenung dan sedih kemudian sampai tertidur dan bermimpi bertemu
dengan Rasulullah SAW :
Rasulullah berkata :
“Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga akan banyak orang yang mengharapkan syafaatnya.” Kemudian Rasulullah menyuruh ayah Rabi’ah untuk pergi menemui Isa Zadan, Amir Basrah yang menyiapkan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah seperti yang disampaikan dalam mimpinya.”Hai Amir, engkau biasanya Salat 100 rekaat setiap malam, dan setiap malam Jum’at 400 rekaat. Tapi pada hari Jum’at yang terakhir engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu hendaklah engkau membayar 400 dinar kepada yang membawa surat ini, sebagai kifarat atas kelalian itu”.52
50 An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A. Halim Mahmud, Rabi’ah Sang Obor
Cinta Sketsa Sufisme Wali Perempuan, Sabda Persada, Yogyakarta, 2003, hlm. 3. 51 Sururin, op.cit, hlm. 20-21. 52 Asfari Ms dan Otto Sukatmo CR, Mahabbah Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah, Logung
pustaka, Yogyakarta, hlm. 15.
56
Pada pagi harinya, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat seperti
yang dipesankan Rasulullah dan pergi menemui Amir. Ketika Amir
membacanya ia segera memerintahkannya untuk menyerahkan empat ratus
dinar. Namun ia segera membatalkan perintah tersebut karena ia sendiri
yang akan menyerahkan uang itu sebagai penghormatan terhadap orang
yang mengirim pesan Rasulullah.
Peristiwa inilah yang merubah persepsi Ismail dan istrinya
terhadap anak perempuannya yang keempat, kemudian mereka
menyambut kehadiran Rabi’ah dengan bahagia.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga
yang terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil,
kecerdasan Rabi’ah sudah tampak, sesuatu yang biasanya tidak terlihat
pada gadis kecil seusianya. Ia juga menyadari penderitaan yang dihadapi
orang tuanya. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi ketaqwaan dan
pengabdian keluarga Rabi’ah terhadap Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari ia selalu melakukan ibadah kepada
Allah sesuai dengan yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya.
Dengan akhlak yang mulia, tidak jarang Rabi’ah membangkitkan rasa
kagum ayahnya. Ia tidak pernah mencaci orang atau menyakiti perasaan
manusia. Suatu hari, ketika seluruh anggota keluarga duduk di meja makan
untuk makan malam, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata “Wahai
Ayah! aku tidak mau menjadikan ayah sebagai orang yang akan
menghalalkan sesuatu yang haram untuk memberiku makan”.53
Kontan sang ayah menahan tangannya dari menyentuh makanan,
kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu wahai Rabi’ah, jika kita belum
memperoleh sesuatu yang halal, apakah kita akan mengutamakan hal-hal
yang haram?”.54 Rabi’ah menjawab, “Wahai Ayah, kami akan bersabar di
dunia dalam keadaan kelaparan, sebab hal itu lebih baik daripada bersabar
53 An, Nabawi Jaber dan Abdussalam A. Halim Mahmud, op.cit, hlm. 8. 54 Ibid., hlm. 9.
57
di akhirat dalam menghadapi neraka!”.55 Sang ayah merasa sangat heran
mendengar jawaban putrinya. Ia benar-benar bangga, karena jawaban
seperti itu hanya bisa didengar dari orang yang zuhud dan ahli ibadah.
Saat menginjak usia remaja, ayah Rabi’ah meninggal dunia.
Beberapa waktu kemudian ibunya menyusul, sehingga ia menjadi anak
yatim piatu yang tidak mewarisi harta benda dari orang tuannya. Satu-
satunya peninggalan yang berarti dari orang tuannya adalah sebuah perahu
kecil yang dipakai ayahnya untuk mencari nafkah. Suatu sore, ketika
Rabi’ah pulang dari sungai ia menangis tersedu-sedu. Tidak ada sebab
apapun ia merasakan sesuatu kesedihan yang aneh sekali.
Peristiwa tersebut membuat Rabi’ah selalu bermimpi di malam
hari dan berulang-ulang dengan mimpi yang sama. Dalam mimpinya
Rabi’ah melihat cahaya yang terang yang akhirnya menyatu dengan tubuh
dan jiwanya. Suatu siang saat dia berada di atas perahunya, tiba-tiba ia
mendengar suara yang sangat merdu :
Lebih indah dari senandung serunai yang merdu di kegelapan malam terdengan bacaan Qur’an. Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya. Suara yang merdu membangkitkan keharuan, dan air mata pun bercucuran. Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu, sedang hatinya penuh cinta Ilahi. Ia berkata, Tuhanku, Tuhanku. Ibadah kepada-Mu meringankan deritaku.56
Rabi’ah beranjak pulang dan ingin segera tidur karena sudah
mengantuk tapi ada kejadian aneh yang mengejutkan lagi. Tempat
tidurnya diselimuti cahaya yang menyenandungkan kalimat yang pernah
didengarnya dan memanggil Rabi’ah :”Hai Rabi’ah belum datangkah
saatnya engkau kembali kepada Tuhan-Mu? Ia telah memilihmu,
menghadaplah kepada-Nya.”57 Peristiwa –peristiwa inilah yang kemudian
mengantarkan Rabi’ah pada kehidupan yang penuh dengan ibadah kepada
Allah swt.
55 Ibid. 56 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, op.cit., hlm. 19-20. 57 Ibid., hlm. 20.
58
Ketika kota Basrah mengalami kekeringan dan kelaparan, derita
Rabi’ah dan saudara-saudaranya semakin bertambah. Mereka kemudian
meniggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari sesuap nasi. Nasib
memisahkan mereka, kini tinggallah Rabi’ah yang miskin dan sebatang
kara. Musim kekeringan dan kelaparan mengakibatkan merejalelanya
berbagai bentuk macam kejahatan dan perbudakan. Suatu ketika Rabi’ah
ditemukan oleh seorang yang kejam yang kemudian menjualnya seharga
enam dirham. Sejak itu Rabi’ah tidak sempat merasakan kegembiraan satu
hari pun, dan tidak lagi kebahagiaan barang sesaat.
Pada suatu malam Rabi’ah bersujud memanjatkan do’a. Tuannya
yang kebetulan dalam tidur, melihat dan mendengarkan do’a tersebut.”Oh
Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa hatiku selalu mendambakan Engkau
dan benar-benar tunduk kepada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi
kepada kerajaan-Mu, jika itu terserah kepadaMu, aku tak akan berhenti
menyembah-Mu, walau barang sesaat pun. Namun Engkau telah
membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu aku terlambat
datang dalam beribadah kepada-Mu.”58
Karena tuannya melihat sendiri peristiwa itu, maka saat hari
mulai terang ia memanggil Rabi’ah. Dengan sikap yang lembut ia
membebaskan Rabi’ah dan diizinkan untuk pergi meninggalkannya.
Akhirnya Rabi’ah merdeka dan pergi mengembara dengan bebas. Ada
yang menyebutkan bahwa Rabi’ah kemudia mencari nafkah dengan
bermain seruling, karena konon Rabi’ah pandai bermain seruling.
Rabi’ah menyanyi dan bermain seruling di majelis-majelis zikir
dengan mengumandangkan lagu-lagu yang bernuansa zikir kepada Allah.
Ia berusaha supaya lagu-lagu yang dikumandangkannya bisa menambah
kecintaannya kepada Allah. Ia mulai merenungkan bahwa seluruh
makhluk yang berada disekelilingnya, selalu berdoa dan bertasbih kepada
58 Sururin, op.cit., hlm. 35.
59
Sang Pencipta. Kemudian ia menengadahkan wajahnya ke langit seraya
berkata :
Tuhan, semua yang aku dengar di alam raya ini, dari ciptaan-Mu Ocehan burung, desiran dedaunan, gemericiknya air di pancuran, Nyanyian burung tekukur, embusan angin, suara gemuruh, dan kilat yang berkejaran, Kini aku pahami sebagai tanda bukti atas keagungan-Mu Sebagai saksi abadi, atas keesaan-Mu Dan sebagai kabar berita bagi manusia Bahwa, tak satupun ada yang menandingi dan menyekutui-Mu.59
Disamping menyanyi, Rabi’ah banyak belajar dari para guru dan
ulama yang ada dalam majelis tersebut. Kehidupan sebagai penyanyi dan
pemain seruling tidak berlangsung lama. Rabi’ah memilih hidup zuhud
dan hanya beribadah kepada Allah.
Dalam hidupnya, Rabi’ah tidak pernah menikah walaupun ia
seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-
laki yang ingin meminangnya. Karena baginya, pernikahan adalah sebuah
rintangan yang dapat menghabat perjalanannya menuju Tuhan. Hingga ia
pernah memanjatkan do’a: ”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari
segala perkara yang meyibukkan untuk menyembah-Mu. Dan dari segala
penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.60
Menurut beberapa sumber, Rabi’ah pernah dilamar oleh Abdul
Wahid bin Zaid, seorang yang dihormati dan berpengaruh dalam
masyarakat pada waktu itu. Abdul Wahid meminta temannya untuk
menjadi perantara kepada Rabi’ah namun ketika perantara itu menemuinya
Rabi’ah kemudian berkata: ”Wahai orang yang bernafsu kepadaku, carilah
wanita yang bernafsu sepertimu.”61
Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi, Amir Abbasiyah untuk
Basrah saat itu juga pernah melamar Rabi’ah. Dia menawarkan emas
59 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, op.cit., hlm. 24. 60 Ibid., hlm. 27. 61 Louis Massignon dan Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar Pustaka Baru,
Yogyakarta, 2001, hlm. 120.
60
kawin seratus ribu dinar dan menulis surat kepada Rabi’ah bahwa ia
memiliki gaji sepuluh ribu dinar tiap bulan dan semua itu akan
dilimpahkan kepada Rabi’ah. Tatapi Rabi’ah membalas surat itu dengan:
”Hal itu tidaklah menyenangkanku, kamu akan menjadi budakku dan
semua yang kamu miliki akan menjadi milikku, atau kamu akan
memalingkan aku dari Tuhan dalam sebuah pertemuan pribadi”.62
Menurut abdul Mun’in Qandil, Rabi’ah termasuk dalam
kelompok manusia yang mempunyai naluri yang tinggi, melebihi manusia
biasa. Keinginannya yang bersifat manusiawi telah tunduk dan menyerah
di bawah keinginan yang suci karena kebutuhan hidupnya yang sangat
mendasar sudah tidak sama dengan manusia-manusia lainnya. Dorongan
sexsual tidak lagi sebagai gangguan dalam dirinya, sekalipun tidak
terpenuhi dengan perkawinan. Kondisi demikian dalam psikologi dapat
disebut dengan substitusi yaitu suatu cara untuk menghilangkan sebab-
sebabnya. Keinginan Rabi’ah yang bersifat manusiawi telah dialihkan atau
dipuaskan (disubstitusikan) dengan rasa cinta kepada Allah SWT.63
Sahabatnya yang paling baik dan setia, Abdah binti Abu
Shawwal selalu menemaninya dengan baik. Hari-hari mendekati
kematiannya, Rabi’ah berpesan kepada Abdah supaya ketika ia
meninggalkan dunia fana ini, tidak menyusahkan orang lain. Rabi’ah juga
berpesan agar mayatnya nanti dibungkus dengan jubahnya.
Ketika saatnya tiba, Rabi’ah menolak didampingi siapapun,
selakipun orang-orang berkeinginan mendampingi adalah orang-orang
yang saleh. Setelah orang-orang sekitar Rabi’ah keluar dan menutup pintu
terdengarlah suara Rabi’ah mengucapkan syahadat, lalu dijawab suara:
”Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang
62 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, op.cit., hlm. 28-29. 63 Sururin, op.cit., hlm. 40.
61
dan mendapat keridhaan. Maka masuklah ke dalam hamba-Ku. Dan
masuklah ke dalam surga-Ku”.64
Mengenai wafatnya Rabi’ah, terdapat silang pendapat di
kalangan ahli sejarah baik tahun maupun tempat pemakamannya. Dari
pendapat yang ada, mayoritas meyakini tahun 185 H (801 M) sebagai
tahun wafatnya Rabi’ah, sedang tempat pemakamannya adalah kota
kelahirannya sendiri yaitu Basrah.65
Adapun mengenai karya-karya Rabi’ah Al-Adawiyah sampai
sekarang belum ditemukan dalam bentuk tertulis seperti sufi-sufi lainnya.
Dari beberapa buku yang membahas tentang Rabi’ah Al-Adawiyah hanya
dipaparkan tentang biografi, dan pemikiran-pemikirannya tentang tasawuf,
hal ini lah yang sangat disayangkan sekali karena Rabi’ah Al-Adawiyah
merupakan salah satu tokoh sufi wanita yang sangat langka pada waktu
itu.
2. Konsep Cinta Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah
a. Manifestasi
Rabi’ah Al-Adawiyah adalah manusia yang sangat cinta
kepada Allah. Ia beribadah kepada Allah tidak karena mengharapkan
surga atau karena takut akan siksa neraka. Rabi’ah al-Adawiyah telah
menyaksikan manusia yang menyembah atau beribadah kepada Allah
dengan harapan akan memasuki surga atau lantaran takut akan siksa
neraka. Ia berbisik kepada jiwanya; apakah hal ini berarti jika ternyata
di sana tidak ada surga dan tidak ada neraka, mereka tidak akan
beribadah?
Dalam munajat sucinya, Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan,
Aku mencintaimu dengan dua cinta, pertama adalah cinta berahi, dan
kedua, cinta yang disebabkan karena engkau berhak untuk cinta itu.
64 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, op.cit, hlm. 35. 65 Ibid.
62
Adapun cintaku yang pertama, yakni cinta berahi, adalah dzikirku
kepada-Mu, yang memalingkanku dari selain-Mu. Sedangkan cintaku
yang disebabkan karena engkau berhak untuk cinta itu adalah
terbentangnya rahasia-Mu di hadapanku, hingga aku melihat-Mu.
Tidak ada sanjungan untukku dalam cinta yang pertama, tidak juga
yang kedua. Justru segala puji untuk-Mu dalam cintaku yang pertama
dan yang kedua.66
Cinta berahi yang dimaksud Rabi’ah al-Adawiyah adalah
cinta kepada Allah karena kebaikan-Nya yang diberikan kepada
dirinya, dan karena kenikmatan yang diberikan kepadanya dalam
bentuk kebahagiaan dunia. Sedangkan yang dimaksud dengan cinta
karena Allah memang berhak untuk cinta itu adalah cinta karena
keindahan dan keagungan-Nya, yang dibukakan untuknya. Dan ini
adalah cinta yang lebih tinggi.
Rabi’ah al-Adawiyah telah datang kepada manusia dengan
membawa gambaran bentuk cinta yang tidak karena keinginan hawa
nafsu. Kedua konsep cintanya itu tumbuh dari Musyahadah
(persaksian) dengan mata penglihatan di dunia. Dan ini merupakan
pendahuluan yang kukuh bagi Musyahadah indera penglihatan di
akhirat kelak.
Dengan demikian, cinta Rabi’ah bukanlah seputar
kekaguman, keseganan, kesenangan, ataupun khayalan. Cinta Rabi’ah
al-Adawiyah sesungguhnya adalah cinta yang berasal dari musyahadah
ma’nawiyah (persaksian batin) di dunia ini, dan musyahadah hissiyah
(persaksian indrawi) di akhirat kelak. Itulah yang disebut dengan cinta
ainul yaqin (yang sangat pasti). Sungguh kemuliaan dalam kedua cinta
itu hanyalah untuk Dia, Sang Penguasa semesta.67
66 An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A. Halim Mahmud, op.cit., hlm. 126. 67 Ibid., hlm.127
63
Rabi’ah Al-Adawiyah pernah ditanya:
“ Bagaimana pendapatmu tentang cinta?” Ia menjawab: “Sukar menjelaskan apa hakikat cinta itu. Ia hanya memperlihatkan kerinduan gambaran perasaan. Hanya orang yang merasakannya dapat mengetahui bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan sesuatu yang engkau sendiri bagai telah hilang dari hadapanNya, walaupun wujudnya masih ada oleh karena hatimu yang gembira membuat lidahmu bungkam”.68
Cinta bagi Rabi’ah suli untuk didefinisikan. Karena cintanya
berisi perasaan kerinduan yang mendalam kepada yang dicintai
(Allah). Kemudian ia menyenandungkan bait-bait syairnya sebagai
berikut :
“ Sungguh kasihan para pecinta, hati mereka tersesat di padang cinta. Kerinduan mereka bangkit berontak, lantas jiwa-jiwa mereka menuai kehinaan abadi. Akankan ia menuju surga untuk pertemuan abadi, ataukan harus menuju api neraka yang bertentangan dengan kerinduan hati mereka.69
Rabi’ah Al-Adawiyah telah menyatakan rindunya kepada
Allah. Ia menghadap dan meluangkan hatinya untuk Allah semata. Ia
tidak menghiraukan apapun selain Allah. Tidak ada derajat yang
melampaui derajat cinta Ilahi. Seprang pencinta akan ber-Khalwat
(mengasingkan diri) menemui kekasihnya di mihrab-mihrabnya. Ia
akan melewatkan waktunya hanya ibadah kepada Allah, menerangi
malam-malamnya dengan sholat dan menghabiskan waktu siangnya
hanya dengan selalu dzikir kepada Allah.
Ajaran cinta Ilahi yang dirintis oleh Rabi’ah al-Adawiyah
sangat erat hubungannya dengan keindahan, sebagaimana ajaran
cintanya yang disampaikan dalam bentuk syair-syair yang indah.
Keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya
punya pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam suatu
benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan
keindahan. Manusia tidak dapat dengan mudah mendapatkan getaran
68 Asfari Ms dan otto Sukatno CR, op.cit., hlm. 64. 69 An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A.Halim Mahmud, op.cit., hlm. 130.
64
keindahan. Karena keindahan berkaitan dengan kelembutan perasaan
sehingga untuk dapat merasakan gataran keindahan, seorang harus
memiliki perasaan lembut dan halus.
Keindahan Allah telah terbuka di depan mata hati Rabi’ah
al-Adawiyah. Sebagaimana kisahnya ketika pembantu perempuannya
mengajak keluar rumah untuk melihat keindahan alam semesta.
Rabi’ah menolak dan malah mengajak pembantunya masuk ke rumah
untuk menikmati keindahan yang lebih tinggi nilainya, yaitu keindahan
Tuhan yang menciptakan keindahan di luar rumah itu. Ia berkata:
”Lebih baik engkaulah yang masuk kemari, dan saksikanlah Sang
Pencipta itu sendiri, aku sedemikian asyik menatap Sang Pencipta
sehingga apakah peduliku lagi terhadap ciptaan-Nya”.70
Keindahan Tuhan termasuk dalam objek cinta Rabi’ah dan
sejak masa Rabi’ah Al-Adawiyah itulah cinta Ilahi menjadi objek
utama puisi, salah satu puisinya yang indah adalah :
Tuhanku, Tenggelamkan diriku ke dalam samudera Keikhlasan mencintai-Mu Sehingga tidak ada sesuatu yang menyibukkanku Kecuali berzikir kepada-Mu.71
Karena kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan
sudah mendarah daging, seakan-akan tidak ada tempat lagi bagi yang
lain dihatinya. Bahkan sampai tidak terbersit dihatinya sedikitpun
untuk menikah. Di dalam hatinya tiada lagi ruang kosong untuk diisi
rasa cinta, maupun rasa benci kepada selai-Nya. Dalam sebuah
dialognya ia pernah ditanya sebagai berikut:72
“Apakah ada cinta setan, wahai Rabi’ah, ataukah membencinya?”
70 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR,op.cit., hlm. 77. 71 Ibid., hlm. 168. 72 Wildad El Sakkakini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah; dari
Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hlm. 96.
65
Dijawab Rabi’ah: “Cintaku yang begitu besar kepada Allah, sepenuhnya melarangku
untuk membenci setan”.
Para penanya masih memaksanya, dan terus mengajukan pertanyaanya: “Apakah ada cinta Nabi, dan kedamaian atas beliau?”
Dan Rabi’ah menjawab: “Demi Allah aku sangat mencintainya. Tetapi cintaku kepada Sang
Pencipta telah terisi penuh dan mencegahku dari cinta terhadap makhluk.”
Kata-kata ini tidak pernah dimaksudkan sebagai ketidak
imanan terhadap Nabi, tetapi sebuah jawaban yang dimaksudkan
bahwa tidak ada ruang yang tersisa dalam hatinya untuk mencintai
sesuatu yang tulus selain Allah.
Dengan demikian, dapatlah dimengerti bahwa bagi Rabi’ah
sudah tidak ada lagi rasa benci ataupun cinta kepada selain Allah.
Bahkan ia memandang bahwa makhluk itu tidak berarti apa-apa. Yang
ada dihatinya hanyalah Allah semata, kawannya berbicara hanyalah
Allah. Ia mencintai Allah penuh dengan iman dan kerinduan. Keadaan
yang demikian telah ditunjukkan dalam sebuah syairnya:
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.73
Suatu hari terlihat Rabi’ah sedang berlari kencang, membawa
seember air dengan satu tangan dan obor dengan tangannya yang lain.
Ketika ditanya, “Pergi ke mana engkau, Rabi’ah?” Dijawabnya:
”Menyulut api di surga dan menyiramkan air di neraka; yang menjadi
sebab pemujaan kepada Allah tidak dapat berlangsung lebih lama: atau
makhluk ciptaanNya mencari Allah henya karena dorongan materi atau
untuk imbalan spritual.”74
73 Syams Ni’am,op.cit., hlm. 78. 74 Widad El Sakkakin, op.cit., hlm. 98.
66
Karena tingkat kecintaan Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah
yang begitu mendalam, membuatnya merasa heran atas makhluk yang
menyembah Allah karena diupah dengan pahala. Hal inilah yang
membuatnya berfikir, seandainya dia mampu manyalakan api neraka
di dalam surga hingga hilang lenyap, dan seandainya dia mampu
menyiramkan bahan bakar neraka jahanam hingga padam, tentu akan
tersingkaplah tabir Ilahi, akan lenyaplah lorong menuju surga atau
neraka, akan jelaslah identitas pada ahli ibadah itu, yakni apakah
mereka adalah hamba-hamba Allah yang tunduk pada kenikmatan
surga, ataukah mereka takut kepada Allah dan pada api neraka yang
bahan bakarnya menyala-nyala itu.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah salah seorang yang mengajarkan
doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah, suatu konsep baru di
kalangan sufi di masa itu. Di mana bagian terpenting adalah beribadah
kepada Allah penuh dengan harapan abadi dan di dalam ketakutan
terhadap hukuman abadi.
Secara singkat, definisi cinta menurut Rabi’ah yang sering
diajarkan adalah cinta seorang hamba kepada Allah. Ia mengajarkan
bahwa cinta itu harus memalingkan punggungnya dari dunia dan
segala daya tariknya. Ia juga mengajarkan bahwa cinta yang langsung
ditujukan kepada Allah tidak boleh ada pamrih atau pun apalagi
mengharapkan balas ganjaran atau pembebasan dari hukuman api
neraka. Hanya bagi seorang hamba yang mencintai seperti inilah,
Allah dapat menyatakan Diri-Nya sendiri di dalam keindahan yang
sempurna dan hanya dengan melalui jalan cinta inilah, jiwa yang
mencintai pada akhirnya mampu manyatu dengan Yang Dicintai dan di
dalam kehendakNya itulah akan ditemui kedamaian.
67
b. Tingkatan Cinta
Abu Najr Al-Saraj Al-Siy, membagi cinta (mahabbah)
kepada tiga tingatan: 75
1. Cinta orang awam
Untuk tingkat ini, dapat dikategorikan pada mereka yang selalu
mengingat Allah dengan berzikir. Meraka selalu manyebut Asma
Allah dan merasa memperoleh kesenangan dan seakan-akan
berdialog dengaNya serta selalu memuji Allah.
2. Cinta pada Muttahaqqiqin (cinta orang yang siddiq)
Yaitu cinta yang dapat menghilangkan tabir antara manusia dengan
Tuhan, dengan menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri,
sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan
selalu rindu kepadaNya.
3. Cinta bagi mereka yang sudah kenal betul kepada Tuhan (cinta
orang yang arif)
Cinta kategori ketiga ini merupakan cinta dimana yang dilihat dan
dirasa bukan lagi cinta, tetapi “diri yang dicintai”. Dia merasakan
bahwa diri yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai dan
menjadi satu di dalam tubuhnya.
Jika dilihat dari biografinya, kita menemukan bahwa sejak
kecil Rabi’ah al-Adawiyah telah beribadah kepada Allah. Hal ini
menunjukkan bahwa ia tidak menyembah jika tidak melihat Allah.
Artinya, sebelum ia mencapai maqam cinta Ilahi, ia telah melihat
(ma’rifah) kepada Allah. Ma’rifah di sini dapat dikategorikan sebagai
tingkatan ma’rifah yang pertama menurut pembagian Dzu Al-Nur
yaitu Ma’rifah awam, artinya adalah mengetahui Tuhan dengan
perantara ucapan Syahadat.76 Dalam tataran ini, atas bimbingan orang
tua dan kehidupannya Rabi’ah telah mengenal Allah melalui Syahadat.
75 Eko Harianto, Mencari Cinta Sejati: Hakikat dan Pencarian Jati Diri, Saujana,
Yogyakarta, 2005, hlm. 37. 76 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, op.cit., hlm. 132.
68
Dengan ma’rifah awal inilah Rabi’ah lalu tekun beribadah dan
mengalami cinta kepada Allah dengan selalu magingat atau berzikir
kapada Allah. Menurut Al-Sarraj, ini termasuk dalam tingkatan cinta
yang pertama yaitu cintanya orang awam.
Setelah Rabi’ah mencintai Allah dengan tingkatan cinta yang
pertama, maka terbukalah baginya rahasia kerajaan Allah, yang
meliputi segala ciptaan (makhluk)- Nya, baik yang nyata maupun yang
ghaib, yang di dunia maupun di akherat. Dengan terbukanya rahasia itu
ia dapat melihat cahaya kekuasaan Tuhan dan keagungan Tuhan.
Ketika menyaksikan keagungan Tuhan itulah bertambah kenikmatan
yang dirasakan Rabi’ah. Naka bertambahdalamlah ciptaannya kepada
Allah. Dengan demikian, Rabi’ah al-Adawiyah telah memasuki
tingkatan cinta yang kedua.
Dengan melalui beberapa maqamat lainnya, maka terbukalah
tabir antara manusia dan Tuhan. Dan manusia akan merindukan-Nya,
karena telah melihat keindahan-Nya dengan hati sanubari. Di dalam
hati sanubari inilah Rabi’ah mempertemukan cintanya dengan cinta
Allah. Cinta Tuhan bertemu dengan cinta hamba-Nya. Keadaan seperti
inilah yang mengantarkan Rabi’ah al-Adawiyah kedalam tingkatan
cinta yang ketiga. Di mana cinta yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, malainkan “diri yang dicintai”(Allah). Dia merasakan bahwa diri
yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai dan menjadi satu di
dalam tubunnya.
Rabi’ah pernah mengatakan : Allah menutup hati makhlukNya dengan hijab yang halus. Para ulama terhalang karena keluasan ilmunya, Para zahid terhijab karena amalnya, dan Para hukuman tak mampu menembus karena kehalusan hikmahnya. Orang-orang arif tak ada yang menghalanginya Hai itu karena mereka menempatkan hati dalam Cahaya Cinta Ilahi.77
77 Ibid., hlm. 135.
69
c. Dampak Cinta
Cinta membawa dampak atau pengaruh terhadap kehidupan
sang pecinta. Karena seluruh hidupnya akan dikerahkan demi
tercapainya tujuan utama, yaitu untuk bertemu dengan yang
dicintainya (Allah). Sang pencinta mengorbankan segala yang dimiliki
(kekayaan, kehormatan, kehendak, kehidupan dan apa pun yang
dianggap bermakna bagi manusia) semata-mata hanya untuk yang
tercinta, tanpa berfikir atau mengharap ganjaran, Rabi’ah al-Adawiyah
pernah bermuhajat kepada TuhanNya.
“Demi kemuliaan-Mu, aku tidak menyembah-Mu karena takut akan siksa neraka, tidak juga karena mengharapkan surga-Mu. Tapi karena cinta kepadaMu, karena memuliakan wajah-Mu yang Maha Mulia”.78
Demikianlah Rabi’ah al-Adawiyah, karena sangat cintanya
kepada Allah, hingga ia tidak takut dengan siksa neraka, ia juga tidak
mengharapkan nikmatnya surga, Rabi’ah menyembah kepada Allah,
semata-mata hanya karena kecintaanya kepada yang Maha Pencinta.
Rabi’ah Al-Adawiyah juga pernah bermunajat: ”Tuhanku
tenggelamkanlah diriku ke dalam saudara keikhlasan mencintaiMu.,
sehingga tidak ada sesuatu yang menyibukkanku kecuali berzikir
kepada-Mu”.79 Dalam kehidupannya, Rabi’ah tidak pernah sedetikpun
melupakan Tuhan. Ia selalu menyibukkan diri dengan beribadah dan
selalu berzikir kepada Tuhan. Karena sesungguhnya seorang pencinta
akan selalu mengingat, menyebut, dan membicarakan Yang Tercinta.
Seorang pencinta tidak akan memberikan tempat dan
melupakan semuanya selain dengan yang dicintai. Karena kecintaan
Rabi’ah kepada Allah yang begitu mendalam, seakan-akan tidak ada
tempat lagi untuk yang lain dihatinya. Bahkan tidak terbersit di hatinya
sedikitpun untuk menikah. Karena ia tidak mau membagi cintanya dan
78 An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A.Halim Mahmud, op.cit., hlm. 255. 79 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, op.cit., hlm. 124.
70
tidak ingin perjalanannya menuju Tuhan mendapat rintangan.
Perkawinan, baginya adalah rintangan. Dalam do’anya, dia berkata:
”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang
menyibukkanku untuk menyembahMu. Dan dari segala penghalang
yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu”.80
Bagi Rabi’ah, kekasihnya hanyalah Allah semata dan dia
harus membalas cinta kekasihnya dengan totalitas cinta, bahkan
cintanya kepada Tuhan mempu menghilangkan rasa benci kepada
setan. Seorang pernah bertanya kepadanya: ”Apakah engkau benci
kepada setan?” ia menjawab: ”Tidak. Cintaku kepada Allah tidak
meninggalkan ruang kosong dalam hatiku untuk benci kepada setan”.81
Seseorang yang dilanda cinta, tentu akan selalu
mengharapkan pertemuan dan akan selalu menunggu pertemuan itu.
Itulah yang disebut rindu. Cinta kepada Allah yang melanda Rabi’ah
terbukti dengan keadaan yang selalu dilanda kerinduan yang tinggi.
Hal ini tercermin dalam syairnya :
O kegembiraan, tujuan dan harapanku Engkau semangat hatiku Engkau telah memberikan kebahagiaan kepadaku Kerinduan kepadaMu, merupakan bekalku Kalau bukan karena mencariMu Tak kujelajahi negeri-negeri yang luas ini Betapa banyaknya limpahan nikmat karuniaMu Cinta kepadaMu tujuan hidupku.82 Rabi’an pernah berkata kepada sahabatnya : Saudara-saudaraku Khalwat merupakan ketenangan dan kebahagiaanku Kekasihku selalu dihadapanku Tak mungkin aku mendapat penggantiNya CintaNya kepada makhluk cobaan bagiku Dialah tujuan hidupku O, hati yang ikhlas O, tumpuan harapan Berilah jalan untuk meredam keresahanku
80 Ibid., hlm. 27. 81 Syamsun Ni’am, op.cit, hlm.79. 82 Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, op.cit., hlm. 120.
71
O, Tuhan sumber bahagia dan hidupku KepadaMu saka, kuserahkan hidup dan keinginan Kupusatkan seluruh jiwa ragaku Demi mencari ridhaMu Apakan harapanku akan terwujudkan?83
Dalam rangkaian kalimat di atas tersirat bahwa Rabi’ah
sebenarnya kawatir atas perhatian kekasih yang dicintainya terhadap
makhluk lain. Cinta tuhan kepada semua makhluk dianggapnya
sebagai ujian. Hal ini menandakan bahwa di dalam diri Rabi’ah
terdapat perasaan cemburu kepada yang lain.
Meskipun demikian, ia mencintai Allah dengan ikhlas, yaitu
mencintai tanpa pamrih. Sebagaimana dalam syair cintanya, Rabi’ah
menyebutkan bahwa segenap cinta da puji hanyalah untuk kekasih
yang dicintainya, yaitu Allah.
83 Ibid., hlm. 122.