6
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab II berisi tinjauan literatur beberapa permasalahan yang diangkat pada Bab I.
Tinjauan literatur yang diuraikan berkaitan dengan karakteristik greywater,
penggunaan reaktor pertumbuhan melekat (attached growth) sebagai unit
pengolahan air limbah, reaktor tipe terendam aerobik, mekanisme penyisihan
bahan organik di dalam reaktor biofilm, serta kinetika dan pemodelan berkaitan
dengan reaktor pertumbuhan melekat.
II.1 Air Limbah Greywater
Pada bagian pendahuluan telah disinggung adanya permasalahan di dalam
pengelolaan air limbah greywater di Indonesia, dimana air limbah greywater
secara konvensional masuk ke dalam saluran drainase, yang bermuara ke badan
air seperti sungai (Gambar II.1a) atau dialirkan ke pekarangan (Gambar II.1b).
Dua pola pembuangan tersebut menyebabkan kondisi sanitasi yang tidak sehat
dan menambah beban pencemaran di badan air
Gambar II.1. Pola pembuangan greywater di Indonesia (a) ke dalam saluran drainase (b) masuk ke pekarangan (Dok. Pribadi)
(a) (b)
7
Greywater (sullage, grey wastewater, light wastewater, air limbah non kakus)
adalah air limbah yang berasal dari dapur, kamar mandi dan tempat cuci, tidak
termasuk air limbah WC, sehingga secara umum mengandung konsentrasi
ekskreta yang rendah, kecuali pada kondisi khusus sebagai hasil perawatan bayi
atau air untuk istinja’ (anal cleansing) dikombinasikan dengan greywater (WHO,
2004). Dalam definisi yang lebih sederhana, greywater adalah air limbah [cair]
yang dihasilkan dari aktifitas mandi, cuci, dan masak (Petunjuk Teknis PU Pt T-
16-2002-C, 2002). Permasalahan utama yang muncul pada pembuangan
greywater yang tidak terolah adalah penurunan konsentrasi oksigen terlarut di
dalam badan air penerima, meningkatnya turbiditas, eutrofikasi, dan pencemaran
bahan-bahan kimia serta mikroorganisme.
Greywater seringkali disebut sebagai limbah dengan beban organik rendah,
meskipun menurut Jefferson (2004) sulit untuk mengklasifikasikan tipe limbah
greywater berdasarkan klasifikasi air limbah menurut Metcalf & Eddy (2003)1.
Hal ini disebabkan karakteristik bahan organik di dalam greywater sangat
bervariasi, mulai serendah kualitas efluen dari pengolahan tingkat ketiga (tertiary
treatment) sampai setinggi kualitas influen IPAL.
Kontaminan di dalam greywater dicirikan dengan sumber darimana air limbah ini
berasal. Air buangan dari dapur misalnya mengandung residu makanan, lemak
dan minyak dalam jumlah agak banyak, termasuk deterjen pencuci piring. Hal ini
mengakibatkan tingginya kadar nutrien dan suspended solid. Sedangkan air yang
berasal dari kamar mandi, adalah air yang paling sedikit tercemar. Meskipun
demikian di dalamnya terkandung sabun, shampo, pasta gigi dan produk
perawatan tubuh lain. Karena berkaitan dengan perawatan tubuh ada
kemungkinan terdapat mikroorganisme di dalam limbahnya (Morel & Diener,
2006).
1 Berdasarkan konsentrasi bahan organik di dalam air limbah domestik, Metcalf & Eddy (2003) membagi air limbah (di AS) menjadi tipe low strength, medium strength dan high strength. Walaupun di dalam referensi ini disebutkan bahwa pembagian harus diperlakukan sebagai guide, tetapi umum untuk dijadikan rujukan di dalam pengklasifikasian air limbah domestik misalnya dalam Soewondo & Anggraini (2007).
8
Sumber lain yang utama untuk greywater adalah berasal dari air sisa pencucian
pakaian. Air sisa pencucian pakaian terutama mengandung bahan kimia
penyususn deterjen (misalnya fosfor, surfaktan, nitrogen dan natrium), bahan
pemutih, dan serat yang berasal dari pakaian. Limbah cucian dapat mengandung
banyak patogen.
Terdapat perbedaan yang cukup bervariasi pada komposisi greywater baik dari
segi kuantitas, maupun kualitasnya. Perbedaan ini terutama tergantung pada tipe
penyediaan air bersih dan standar hidup. Secara keseluruhan, bahan organik di
dalam greywater menyumbang 47%, 26%, 12%, dan 67% dari total komposisi
bahan organik, SS, TN dan TP air limbah domestik (Lindstrom, 2000 dalam
Morel & Diener, 2006).
Jefferson et al. (2004) dari penelitian di Inggris, menyimpulkan karakteristik
utama dari greywater adalah:
1. Konsentrasi bahan organik yang sangat bervariasi
2. Rasio COD/BOD tinggi, yang hal ini sebenarnya disebabkan kandungan
deterjen di dalam greywater (Morel & Diener, 2006)
3. Ketidakseimbangan antara makronutrien (nitrogen) dan mikronutrien (phospor)
4. Sebagian besar partikel berukuran 10-100 μm dan perbandingan rasio
SS/turbiditas rendah
5. Konsentrasi koliform 3 log (tanpa identifikasi jenis patogen)
Contoh karakteristik greywater dari beberapa negara ditunjukkan pada Tabel II.1.
Dari tabel tersebut dapat dilihat variasi yang cukup besar untuk debit dan
parameter-parameter lain. Sedangkan untuk penelitian khusus karakteristik
greywater di Indonesia, tidak banyak publikasi didapatkan. Sebagian penelitian
yang dipublikasikan berkaitan dengan karakteristik blackwater atau limbah dalam
kondisi tercampur. Beberapa karakteristik greywater di Indonesia ditunjukkan
pada Tabel II.2.
Tabel II.2 menunjukkan kisaran COD limbah greywater di Indonesia adalah 300
mg/l. Angka COD ini lebih 0,52 kali dibandingkan dengan COD yang berasal dari
blackwater (Balai Lingkungan Pemukiman, 2004), sedangkan untuk IPAL
9
Komunal perbandingan ini berkisar antara 0,18-0,25 kali (Arkendita & Soewondo,
2004) dan 0,4-0,6 kali (Ponda & Yulianto, 2007). Data rasio BOD/COD hanya
didapatkan dari Balai Lingkungan Pemukiman (2004) yaitu berkisar 0,6.
Tabel II.1 Karakteristik Greywater dari Beberapa Negara
Parameter Palestinaa Malaysiaa UKb Australiab USAc
Q (l/p/d) 50 225 - - -
pH 6,7-8,35 - 7,47+0,29 7,3+0,6 6,8
EC (μS/cm) 1585 - - - -
COD (mg/l) 1270 212 451+289 - 366
BOD (mg/l) 590 129 146+55 159+69 162
TSS (mg/l) 1396 76 100+145 113+91 162
TN (mg/l) - 37 8,73+4,73 11,6+10,2 -
NH4-N (mg/l) 3,8 13 - - -
TP (mg/l) - 2.4 - - -
PO4-P (mg/l) 4,4 - 0,35+0,23 - -
Na+ (mg/l) 87-248 - - - -
Faecal Coli (cfu/100ml) 3.1x104 - 2022+5956 - 1,4x106
Oil & Grease (mg/l) - 190 - - -
aMorel & Diener (2006) bJefferson et al (2004) cBrandes (1979) di dalam Jefferson et al (2004)
Konsentrasi komponen yang lain untuk limbah greywater di Indonesia,
makronutrien (amonium) sekitar 10 mg/l, MBAS, yang merupakan bahan aktif di
dalam deterjen, di dapatkan pada kisaran 2,7-3 mg/l. Perbandingan untuk
parameter yang lain agak sulit untuk dilakukan, mengingat beragamnya parameter
yang diamati.
10
Limbah greywater dapat diolah dengan berbagai metode, tetapi kecenderungan
yang ada adalah untuk memanfaatkan kembali greywater tersebut. Meskipun
demikian perlu kehati-hatian di dalam penerapan penggunaan kembali ini, karena
beberapa hal yang populer dilakukan berkaitan dengan greywater ini tidak
selamanya tepat pada setiap kondisi. Beberapa metode pengolahan greywater
adalah dengan grit/grease trap, anaerobik-aerobik filter, dan constructed wetland
(Morel & Diener, 2006).
Tabel II.2 Karakteristik Greywater dari Beberapa Kota di Indonesia
Parameter Tangeranga Jogjakartab Surabayac Indonesiad
pH - - - 8,5
COD (mg/l) - 300 330 317
BOD (mg/l) 52-106 - - 189
TS (mg/l) - - 1585 -
TSS (mg/l) 23-77 200 - -
TN (mg/l) 30-59 - - -
NH4-N (mg/l) - 0,5-10 - 10
NO3- (mg/l) - - 1,9 -
TP (mg/l) 0-1.3 - - -
PO4-P (mg/l) - - 2,1 6,7
MBAS (mg/l) 2,8-3,9 - - 2,7
Oil & Grease (mg/l) 71-123 - - <0,05
aData diolah dari Arkendita & Soewondo (2004) untuk penelitian di 4 lokasi IPAL komunal Tangerang
bPonda & Yulianto (2007) dilakukan di IPAL Komunal Muja-Muju Jogjakarta cJanuarti & Dwirianti (2005)
dBalai Lingkungan Pemukiman (2004) tidak disebutkan dari kota mana sampel ini diambil
11
II.2 Biofilm dalam pengolahan air limbah
II.2.1 Umum
Penggunaan reaktor dengan pertumbuhan mikroorganisme melekat pada suatu
media (attached growth) untuk mengolah air limbah adalah salah satu tipe
pengolahan air limbah yang paling awal digunakan. Salah satu desain dan aplikasi
biofilter paling awal tercatat tahun 1882 di Inggris oleh Warington, dan
mengalami puncak penggunaan antara 1895-1920 di Inggris dan AS (Cooper,
2001). Sampai saat ini rektor biofilm memegang peranan yang sangat penting di
dalam pengolahan dan penggunaan air buangan. Pada pengembangannya, tidak
hanya digunakan untuk mengolah air limbah tetapi air baku untuk air minum.
Lekatan ini biasa disebut sebagai biofilm.
Biofilm didefinisikan sebagai material organik terdiri dari mikroorganisme
terlekat pada matriks polimer (materi polimer ekstraselular) yang dibuat oleh
mikroorganisme itu sendiri (Bishop, 2007), dengan ketebalan lapisan biofilm
berkisar antara antara 100 μm-10 mm (von Munch, 2004), yang secara fisik dan
mikrobiologis sangat kompleks (Grady & Lim, 1999). Keberadaan
mikroorganisme yang melekat pada suatu media (substratum) menyebabkan
elektron akseptor, elektron donor, dan nutrien yang dibutuhkan harus dibawa
kepada mikroorganisme melalui mekanisme difusi atau proses transpot massa
yang lain. Kombinasi antara efek transport massa yang terjadi dibarengi dengan
reaksi (biologis) membuat pemodelan pada sistem biofilm berbeda dan lebih rumit
dibandingkan dengan pemodelan pada sistem pertumbuhan tersuspensi (Grady &
Lim, 1999).
Secara konvensional lapisan biofilm ini digambarkan dengan model rata paralel
dengan media (Gambar II.2).
Proses degradasi bahan organik secara aerobik pada biofilm tidak jauh berbeda
dengan mikroorganisme tersuspensi. Degradasi substrat terjadi akibat konsumsi
substrat dan nutrien oleh mikroorganisme pada biofilm, dengan menggunakan
oksigen sebagai elektron akseptor apabila proses berjalan secara aerobik. Oleh
karena melalui lapisan biofilm, maka konsentrasi substrat terbesar akan berada
12
Media Filter
Lapisan Biomassa
Stagnant liquid film
z
z + dz
Lapisan air
pada permukaan biofilm dan menurun dengan penambahan kedalaman biofilm.
Hal ini disebut sebagai diffusion limited (difusi terbatas). Adanya difusi terbatas
dapat menjadi salah satu kekurangan biomass biofilm di dalam penyisihan limbah
cair (Henze et al, 2007).
,
, ∆∆
Gambar II.2. Mekanisme metabolisme di dalam sistem Biofilter dan representasi biofilm untuk keperluan pemodelan (Metcalf & Eddy, 2003)
Meskipun telah dipahami bahwa proses difusi terbatas adalah proses yang
mengendalikan penyisihan bahan organik di dalam biofilm, tetapi untuk membuat
suatu generalisasi yang dapat digunakan untuk desain reaktor tidak mudah. Hal ini
disebabkan kenyataannya kondisi yang terjadi di dalam biofilm sangat kompleks
(Gambar II.3), dan juga model-model awal yang ada cenderung untuk terlalu
menyederhanakan kondisi yang ada. Misalnya saja, walaupun aliran air dominan
pada permukaan biofilm, tetapi pada bagian bawah dari struktur biofilm juga
terdapat alur-alur aliran (channel) yang menyebabkan adanya aliran juga pada
bagian bawah struktur biofilm. Hal ini membawa konsekuensi pada beberapa
model yang menyebutkan kondisi pada bagian bawah struktur biofilm adalah
anaerobik menjadi kurang tepat.
media Lapisan Biofilm Lapisan air
Organik,
NH4-N
P,
CO2,
H2O,
NO2, NO3,
O2
13
Dengan meninjau keseluruhan bagian per bagian biofilm untuk desain reaktor
menjadi sangat tidak praktis. Penyederhanaan tetap harus dilakukan untuk
memudahkan analisa. Penyederhanaan-penyederhanaan ini membawa
konsekuensi perbedaan kondisi yang besar antara model dan hasil observasi yang
teramati (Noguera et. al, 1999). Untuk penjelasan hal ini lebih lanjut dibahas di
dalam sub-bab pemodelan biofilm.
Gambar II.3. Gambaran kondisi biofim pada permukaan media (www.erc.montana.edu)
II.2.2 Pertumbuhan dan Pelepasan Biofilm
Pertumbuhan biofilm sangat tergantung pada jenis mikroorganisme yang tumbuh
pada permukaan media, dan jenis media yang digunakan (Harendranath et. al.,
1996). Secara umum ada 3 fase didalam daur hidup biofilm (Gambar II.4). Fase
tersebut adalah pelekatan biofim pada media, fase pertumbuhan dan fase
pelepasan/detachment. Fase pertumbuhan biofilm terdiri atas fase induksi, log
akumulasi dan plateu (Gambar II.5)
14
Gambar II.4. Daur Hidup biofilm (www.erc.montana.edu)
Gambar II.5. Fase pertumbuhan biofilm (Wingender & Flemming, 2001)
Pertumbuhan (dan pelepasan) biofilm tidak hanya dipengaruhi oleh biofilm itu
sendiri, tetapi juga kondisi lingkungan yang ada disekitarnya, terutama kondisi
aliran air. Gambar II.6 menunjukkan interaksi antara komponen partikulat
(biofilm), komponen terlarut, dan aliran air.
Reaksi yang terjadi pada komponen terlarut menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme, produksi polymer dan kematian mikroorganisme. Ketiga faktor
ini berhubungan dengan proses pelepasan dan pelekatan biofilm. Tetapi pelepasan
dan pelekatan biofilm dipengaruhi pula oleh aliran air di dalam reaktor. Aliran
didalam reaktor ini mempengaruhi proses konveksi, yang merupakan bagian dari
perpindahan massa untuk komponen terlarut.
Proses perpindahan massa (konveksi dan difusi) akan menyebabkan reaksi,
sehingga terjadi proses saling mempengaruhi. Di dalam istilah yang lebih umum,
Induksi Log Akumulasi Plateu Waktu
15
proses perpindahan massa berlangsung bersamaan dengan proses reaksi mikrobial
di dalam biofilm (Metcalf &Eddy, 2003, Rittman & McCarty, 2001).
Gambar II.6. Interaksi antar proses utama dalam pembentukan struktur biofilm (Picioreanu et al, 2000)
Apabila diringkas, maka faktor yang mengontrol perkembangan, komposisi dan
struktur biofilm adalah (Wingender & Flemming, 2001):
1. Kondisi permukaan substratum (misal kekasaran dan kondisi hidrofobik)
2. Kondisi permukaan mikroorganisme
3. Kondisi fisika-kimia sebagian besar air (temperatur, pH, salinitas, ion, bahan
organik)
4. Konsentrasi bahan organik yang tersedia sebagai substrat, biasa terukur
sebagai Assimilable Organic Carbon (AOC), Biodegradable Dissolved
Organic Carbon (BDOC), atau Biochemical Oxygen Demand (BOD)
5. Morfologi mikroorganisme (misal filamen)
6. Aktivitas fisiologikal mikroorganisme
7. Lysis organisme biofilm
8. Konsumsi oleh protozoa
9. Aktivitas invertebrata
10. Formasi gelembung gas pada zone anoksik dan anaerobik (N2 dan CH4)
11. Erosi dan sloughing
12. Usia biofilm
16
13. Kondisi hidrolis (laju aliran, gaya geser)
14. Keberadaan zat antimikroorganisme
Fase detachment dapat disebabkan oleh satu/lebih faktor, yaitu: erosi, abrasi.
sloughing, dan mekanisme predator (Rittmann, 1989 di dalam Liu, 2001). Erosi
adalah penghilangan materi kecil biofilm secara kontinyu, yang merupakan
mekanisme detachment yang paling umum di dalam proses biofilm. Erosi ini
dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, tapi faktor gesekan dari aliran air
adalah faktor yang paling utama, oleh karena itu erosi biofilm sering disebut
sebagai shear loss.
Abrasi terjadi apabila partikel bertumbukan dengan biofilm dan melepaskannya
dari media. Hal ini terjadi terutama pada saat backwashing. Mekanisme yang lain,
sloughing, adalah proses dimana sebagian besar biofilm hilang. Mekanisme
predator terjadi apabila biofilm dikonsumsi oleh organisme yang lebih besar,
seperti ptotozoa, cacing, siput atau serangga. Pengamatan yang mendalam
mengenai proses-proses yang terjadi di dalam detachment di dalam biofilm
dilakukan oleh Ohashi & Harada (1994) dan menyimpulkan ada tiga tipe
karakteristik detachment.
Gambar II.7. Tiga tipe detachment pada biofilm (Ohashi & Harada, 1994)
Gambar II.7 (a) menunjukkan fraksi biomassa besar yang lepas (sloughed) dari
permukaan substratum, sedangkan gambar (b) menunjukkan lepasan bagian kecil
17
dari biofilm ke air. Dan Gambar (c) menunjukkan kombinasi tipe I dan II, yaitu
lepasan mulai dari bagian yang melekat di substratum, tetapi berupa bagian saja
(fragmen).
II.2.3 Nitrifikasi di dalam biofilm
Sebagaimana pada proses pada reaktor tersuspensi, maka di dalam reaktor biofilm
juga memungkinkan terjadinya nitrifikasi. Nitrifikasi adalah istilah yang
digunakan untuk dua langkah proses biologis, dimana amonium (NH4-N)
dioksidasikan menjadi nitrit (NO2-N) dan nitrit dioksidasikan menjadi nitrat
(NO3-N). Secara teoritis keberadaan oksigen di dalam reaktor akan menyebabkan
nitrifikasi amonium (Metcalf & Eddy, 2003):
2 2 …………Pers. 1
Pada reaksi ini dibutuhkan sejumlah alkalinitas, sehingga reaksi umum menjadi:
2 2 2 3 ………..Pers. 2
Proses nitrifikasi dilakukan oleh bakteri aerobik autotrof, terutama dari kelompok
Nitrosomonas dan Nitrobacter. Untuk proses nitrifikasi di dalam biofilm harus
diperhatikan laju pertumbuhan spesifik yang lambat untuk bakteri nitrifikasi dan
kompetisi antara bakteri nitrifikasi dan heterotrof utuk oksigen dan ruang. Ada
hubungan antara bakteri nitrifikasi dan heterotrof yang oleh Rittman (2001)
disebut sebagai “Complex System”. Inti dari “Complex System” adalah:
1. Bakteri nitrifikasi secara normal tumbuh bersama bakteri heterotrof
2. Bakteri nitrifikasi cenderung untuk terakumulasi di bagian lekatan biofilm,
sedangkan bakteri heterotorf cenderung untuk terakumulasi pada bagian luar
dari biofilm
3. Karena terdapat pada bagian yang lebih luar, maka bakteri heterotrof lebih
tinggi untuk laju detachment dan predasi, sedangkan bakteri nitrifikasi lebih
aman dari detachment dan predasi
18
4. Karena berada pada bagian yang lebih dalam, maka terjadi keterbatasan DO
yang diterima oleh bakteri nitrifikasi, akibat difusi terbatas untuk oksigen dan
konsumsi oleh bakteri heterotrof
5. Nilai KO bakteri nitrifikasi < bakteri heterotrof yang berarti bakteri nitrifikasi
lebih peka terhadap perubahan oksigen.
Konsep ini ditunjukkan pada Gambar II.8 (Furumai & Rittman, 1994). Terdapat
tiga lapisan dimana lapisan pertama didominasi oleh bakteri heterotrof, lapisan
kedua didominasi oeh bakteri nitrifikasi dan lapisan ke 3 adalah lapisan inert.
Gambar II.8. Konsep dasar “Complex System” (Furumai & Rittman, 1994)
Selain proses nitrifikasi, kemungkinan di dalam reaktor biofilm juga bisa terjadi
proses denitrifikasi. Proses denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat menjadi
oksida nitrit atau gas nitrogen. Bakteri yang dapat melakukan proses denitrifikasi
berasal dari bakteri heterotrof dan autotrof. Proses ini terjadi pada kondisi tanpa
oksigen terlarut atau kondisi oksigen terlarut terbatas. Oleh karena tanpa oksigen,
maka nitrat dan nitrit yang menjadi elektron akseptor. Persamaan reaksi umum
untuk denitrifikasi adalah sebagai berikut, dengan C10H19O3N mewakili bahan
organik di dalam air limbah (US EPA, 1993 di dalam Metcalf & Eddy, 2003).
10 5 10 3 10 . Pers. 3
19
II.3 Reaktor Pertumbuhan Melekat
II.3.1 Tipe-tipe Reaktor pertumbuhan melekat
Secara umum berdasarkan metode pertumbuhan mikroorganisme, pengolahan air
buangan dapat dibagi menjadi tiga tipe. Tiga tipe tersebut adalah tipe
pertumbuhan tersuspensi (suspended growth), tipe pertumbuhan melekat
(attached growth), dan tipe hybrid yang merupakan perpaduan antara model
reaktor tersuspensi dan reaktor pertumbuhan melekat. Tidak ada perbedaan di
dalam klasifikasi ini dari beberapa referensi (Goncalves, 2007a; Metcalf & Eddy,
2003). Contoh skema klasifikasi ditunjukkan pada Gambar II.9.
Gambar II.9. Klasifikasi reaktor biologis pengolahan air buangan (Gray, 2004)
Sedangkan untuk klasifikasi reaktor pertumbuhan melekat, terdapat
pengklasifikasian yang berbeda-beda dari beberapa referensi. Perbedaan ini terjadi
oleh karena adanya perbedaan dasar klasifikasi. Klasifikasi ini didasarkan antara
lain pada kondisi media biofilm di dalam reaktor, kondisi pengudaraan reaktor
(aerobik atau anaerobik), atau kondisi reaktor (terendam atau tidak terendam).
Beberapa pengklasifikasian (termasuk didalamnya reaktor hybrid) dijelaskan
sebagai berikut.
Rittmann & McCarty (2001) mengklasifikasikan reaktor dengan proses
pertumbuhan melekat berdasarkan kondisi media di dalam reaktor tipe yaitu tipe
diam (packed bed reactor), tipe tefluidisasi (fluidized bed reactor), dan tipe
berputar (Rotating Biological Contactor (RBC)). Mirip dengan klasifikasi
Reaktor Suspended Biomass
- Activated Sludge dengan variannya
- SBR - MBR
Reaktor Attached Biomass
- TF - RBC - SAB
Reaktor Hibrid
- Mechanically Mixed beds
- Structured Support Medium
20
tersebut, dalam bentuk yang lebih detail, Schulz (2005) mengklasifikasikan
reaktor dengan pertumbuhan melekat menjadi:
1. Fixed Bed Reaktor, yang terdiri dari:
a. Trickling Filter
b. Submerged Fixed Bed Reactor
c. Biofilter
2. Rotating Biological Contactor, yang terdiri dari:
a. Rotating Disc Contactor
b. Rotating Cage Reactor
3. Fluidized Bed, yang terdiri dari:
a. Moving Bed
b. Fluidized Bed
4. Combined Processes, yang terdiri dari:
a. Media tenggelam-diam (Fixed Submerged Substrates) di dalam kolam
Lumpur Aktif
b. Media bergerak (Movable Substrates) di dalam kolam Lumpur Aktif
Klasifikasi yang lain berasal dari Metcalf & Eddy (2003) dan von Munch (2004),
yang mengklasifikasikan reaktor pertumbuhan melekat berdasarkan letak media
terhadap permukaan air. Klasifikasi tersebut adalah:
1. Reaktor yang tidak termasuk di dalam reaktor pertumbuhan melekat terendam
(Non-submerged attached growth)
2. Reaktor pertumbuhan tersuspensi dengan fixed film packing (reaktor
kombinasi)
3. Reaktor pertumbuhan melekat tenggelam (Submerged attached growth)
Klasifikasi reaktor fixed film yang lain berasal dari Wagener (2003). Klasifikasi
ini tidak jauh berbeda dengan pengklasifikasian yang lain, hanya saja di sini
terdapat tipe yang lain, yaitu tipe Static Low Density Media Filter. Klasifikasi ini
ditunjukkan pada Gambar II.10.
Submerged Aerated Filter adalah filter (biologis) dimana media filter terletak di
bawah permukaan air. Reaktor ini mengganti mode pengudaraan alami pada
21
reaktor, seperti pada RBC, dengan pengudaraan buatan (Siebel, 1992).
Perkembangan teknologi Submerged Aerated Filter tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan teknologi proses pertumbuhan melekat.
Gambar II.10. Klasifikasi reaktor fixed-film aerobik yang digunakan di dalam pengolahan air limbah (Wagener, 2003)
Trickling Filter (TF) adalah tipe pengolahan dengan biofilter awal yang
digunakan. Salah satu pengolahan terpusat paling awal di Indonesia, Jogjakarta,
juga menggunakan unit TF ini sebagai unit utamanya (Yulianto, 2004). Gambar
II.11 adalah unit TF yang digunakan di Jogjakarta, digunakan sejak 1935-2000.
Konsep TF muncul seiring dengan pertumbuhan kontak filter di Inggris diakhir
tahun 1890-an. Kontak filter di desain sebagai reaktor dengan diameter media
kecil dan dioperasikan dengan mode recycle (Metcalf & Eddy, 2003). Tetapi
akibat seringnya reaktor ini tersumbat, ukuran media yang lebih besar digunakan.
22
Tahun 1950-an media plastik mulai digunakan di AS, yang menyebabkan tinggi
filter bisa ditambah dan laju pengolahan bisa diperbesar, dan mengurangi luas
lahan yang diperlukan. Tahun 1960, Rotating Biological Contactors (RBC) mulai
didesain. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif, kedua model pengolahan
proses pengolahan dengan pertumbuhan melekat secara aerob ini memiliki banyak
kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain adalah rendahnya kualitas effluen
dari pengolahan, sensitif pada perubahan temperatur, dan adanya produksi bau.
Gambar II.11. Unit Trickling Filter di Jogjakarta, dipakai 1935-2000 (Dok. Pribadi)
Tipe kedua dari reaktor pertumbuhan melekat aerobik adalah kombinasi antara
reaktor tersuspensi dengan menggunakan fixed-film packing. Proses ini digunakan
sejak tahun 1940 yang disebut sebagai proses Hays & Griffith (WEF, 2000 di
dalam Metcalf & Eddy, 2003).
Tipe ketiga dari evolusi reaktor pertumbuhan melekat adalah reaktor submerged
aerated filter. Reaktor tipe ini dikembangkan mulai tahun 1970 dan lebih
berkembang pada tahun 1980-an. Reaktor ini dapat dioperasikan dengan mode
aliran upflow atau dowflow, media diam atau terfluidisasi. Selain digunakan
23
untuk penyisihan materi organik, reaktor ini juga digunakan untuk proses
nitrifikasi dan denitrifikasi.
Ada beberapa penamaan yang diberikan untuk reaktor biofilm terendam dengan
berbagai tipe media tetap. Penamaan yang ada antara lain adalah Biological
Aerated Filter (BAF) (Farabegoli, et. al, 2004; von Munch, 2004), Submerged
Biological Aerated Filter (SBAF) (Osorio & Hontoria, 2002), aerobic submerged
biofilter (ASB) (Hu, et al, 1998), Submerged fixed bed reactor (Carrión, et al,
2003; Lorda, et. al, 2002; Schulz, 2005) dan aerated submerged fixed-film reactor
(ASFFR) (Park, et al, 1996).
Adanya berbagai macam penamaan ini menyebabkan adanya reaktor yang sama
secara operasional dengan nama berbeda, atau sebaliknya. Dua tipe reaktor yang
sering tertukar adalah Biological Aerated Filter (BAF)2 dan Submerged Aerated
Filter (SAF) (Gray, 2004). Untuk konsisitensi, di dalam Penelitian ini akan
digunakan istilah yang lebih umum yang mencakup beberapa pengertian yaitu
Submerged Aerated Biofilter (SAB), karena fenomena yang ada pada reaktor
adalah reaktor terendam dimana terdapat biofilm di permukaan media yang
terdapat di dalam reaktor, dan mode operasi secara aerobik, yaitu dengan adanya
pengudaraan.
II.3.2 Perbandingan Reaktor pertumbuhan melekat dengan reaktor
tersuspensi
Secara umum perbandingan antara reaktor pertumbuhan melekat dan reaktor
tersuspensi dapat dilihat pada Tabel II.3.
Secara kontras dibandingkan dengan proses tersuspensi, proses dengan media
terlekat sangat tergantung pada faktor pembatas difusi. Penyisihan substrat dan
penggunaan elektron donor terjadi di dalam biofilm, sehingga laju reaksi secara
keseluruhan adalah fungsi dari laju difusi dan konsentrasi elektron donor serta
akseptor di dalam biofilm (Henze et al, 1997). Pengaruh konsentrasi elektron
2 Nama yang tepat sebenarnya adalah Biological Aerated Flooded Filters (BAFF)
24
donor dan akseptor sebagai faktor pembatas di dijelaskan lebih lanjut pada sub
bab kinetika biofilm. Sebagai perbandingan, kinetika proses lumpur aktif secara
umum dikarakterkan dengan konsentrasi pada bagian utama air (bulk liquid).
Konsep difusi-terbatas, sangat penting terutama berkaitan dengan pengukuran
konsentrasi oksigen terlarut (DO) pada pengukuran laju reaksi di dalam reaktor
biofilm. Misalnya saja untuk proses tersuspensi aerob, konsentrasi DO antara 2-3
mg/l dirasakan cukup, tetapi untuk proses biofilm pada konsentrasi DO yang sama
ini dapat menjadi faktor pembatas, apalagi apabila DO diperlukan untuk proses
nitrifikasi (Metcalf & Eddy, 2003).
Tabel II.3 Perbandingan reaktor pertumbuhan melekat dan tersuspensi (von Munch, 2004)
Parameter Reaktor Pertumbuhan Tersuspensi
Reaktor Pertumbuhan Melekat
Kebutuhan lahan Biasanya tinggi Rendah
Tinggi Reaktor Dibuat tidak terlalu tinggi (hanya beberapa meter di
atas tanah)
Dapat dibuat sangat tinggi (menggunakan Tower)
Ketahanan pada beban kejut bahan toksik
Rendah sampai sedang tinggi
Laju transfer oksigen dan substrat
Tidak dibatasi laju difusi Dibatasi laju difusi
Permasalahan operasional yang umum Bulking, foaming Clogging, bau, lalat
Produksi lumpur pada pengendap II
Tinggi Rendah
Pengendap I Perlu/tidak perlu Perlu
Metode Desain Model matematis, simulasi Desain empiris
II.3.3 Reaktor Submerged Aerated Biofilter
Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan reaktor tipe SAB
terutama berkaitan dengan pemilihan media (Farabegoli, et. al., 2004; Osorio &
Hontoria, 2002). Penelitian yang lain berkaitan dengan kombinasi reaktor
25
terendam aerobik dengan reaktor biofilm terendam anaerobik (Moosavi et al,
2005; Osorio & Hontoria, 2002), dan penggunaan reaktor BAF untuk limbah
dengan beban berat atau limbah organik yang susah diuraikan (Hu, et. al, 1998;
Park, et. al, 1996).
Secara diagram, reaktor terendam aerobik ditunjukkan pada Gambar II.12.
Gambar II.12. Tipikal reaktor terendam aerobik (Schulz, 2005)
Reaktor terendam aerobik terdiri dari dua bagian utama, yaitu aerator untuk
menyediakan udara dan media diam. Media diam ini dapat berupa media
tenggelam atau media terapung. Apabila menggunakan media diam, maka
diperlukan strutur penahan pada bagian atas reaktor. Kedua bagian utama ini
terdapat di dalam reaktor.
II.3.4 Kriteria Desain dan Mode Operasi Reaktor Terendam Aerobik
Di dalam operasional reaktor terendam aerobik, bagian yang paling penting adalah
kontrol ketebalan biofilm pada media dan suplai oksigen pada air (Henze, et. al.
Udara bertekanan Aerator
Struktur Penahan
Media Filter
26
1997). Kontrol ketebalan pada biofilm biasanya dilakukan dengan melakukan
pencucian balik (backwashing) pada media.
Sebenarnya tidak ada rekomendasi desain secara umum yang dapat digunakan
untuk reaktor terendam aerobik (Henze, 2006). Kriteria desain yang ada, misalnya
seperti ditunjukkan pada Tabel II.4, berasal dari beberapa lokasi yang
mengaplikasikan model reaktor terendam aerobik. Beban terbesar yang pernah
dicobakan untuk reaktor terndam aerobik adalah 10 kg BOD/m3.hari (Henze,
2007).
Tabel II.4 Kriteria Desain Reaktor Terendam Aerobik
Parameter Tipikal Satuan Referensi
Tinggi reaktor < 4 m Schulz, 2001 Hidraulic Loading Rate (HLR)
2-8 m3/m2.jam Gray, 2004
5-6 m3/m2.jam Metcalf & Eddy, 2003
2-3 m/jam Grady & Lim, 1999 Organik Loading Rate (OLR)
<3 kg BOD/m3.hari Gray, 2004
4-6 g BOD5/m2.hari Schulz, 2001
5-6 kg COD/m2.hari Metcalf & Eddy, 2003 Beban amonium 18 mg/L Schulz, 2001
1.5 g NH4-N/m2.hari Schulz, 2001
Stage 4-6 Schulz, 2001
II.3.5 Pengudaraan di dalam Reaktor terendam aerobik
II.3.5.1 Konsep Umum Pengudaraan
Padanan kata pengudaraan adalah aerasi. Untuk konsistensi, di dalam Penelitian
ini digunakan istilah pengudaraan. Pengudaraan pada reaktor biologis adalah
faktor utama yang membedakan antara reaktor aerob dan anaerob. Karena tujuan
dari pengudaraan adalah menyediakan oksigen dalam jumlah cukup di dalam
reaktor, sehingga proses aerob dapat berlangsung. Keberadaan oksigen adalah
27
syarat mutlak agar proses aerob dapat berlangsung, sebab oksigen berfungsi
sebagai elektron akseptor proses metabolisme. Apabila oksigen tidak terdapat
dalam jumlah yang cukup, maka unsur lain yang akan berfungsi sebagai elektron
akseptor, sehingga proses yang ada di dalam reaktor berubah menjadi anoksik
atau anaerobik.
Desain pengudaraan untuk pengolahan air limbah didasarkan atas berbagai
parameter. Parameter tersebut adalah kuantitas dan komposisi limbah, kondisi
limbah, sistem pengudaraan, mode operasional, dan lokasi reaktor.
Ada beberapa teori yang menjelaskan fenomena transfer gas. Teori-teori ini dapat
dibaca lebih lanjut pada Poppel (1986), sedangkan perbandingan singkat teori-
teori tersebut dapat dilihat pada Tabel II.5.
Tabel II.5. Perbandingan beberapa teori Transfer gas (Poppel, 1986)
Teori Kondisi permukaan cairan Tipe difusi Kl=
Film stagnan steady D/dl Penetrasi berubah pada permukaan,
waktu paparan konstan elemen cair pada permukaan
unsteady 2 /
Surface renewal berubah pada permukaan, distribusi frekuensi waktu paparan fase gas
unsteady sD.
film-surface-renewal
stagnan dan perubahan pada permukaan tergantung pada derajat turbulensi
steady dan unsteady
DdssD l
2.coth.
Diantara beberapa teori di atas, teori penetrasi sebenarnya yang paling sesuai
dalam kondisi nyata (Poppel, 1986), tetapi teori film yang paling mudah untuk
diaplikasikan dan pada 95% situasi memberikan hasil yang sama dengan teori
yang lebih kompleks (Metcalf & Eddy, 2003).
Konsep two-film untuk transfer massa gas ditunjukkan pada Gambar II.13.
Gambar II
Konsep in
melalui ga
gambar II
yang terlar
1. Transf
2. Transf
3. Transf
Untuk gas
liquid film
mudah lar
massa (E
pengolaha
liquid aka
transfer g
antarmuka
Faktor-fak
1. Tempe
Koefi
tempe
perub
I.13. Teori T
ni menyebu
as-film haru
.13 dapat d
rut harus m
fer dari bulk
fer melewat
fer dari lapi
s-gas yang
m akan men
rut, seperti
Eckenfelder,
an air buang
an meningk
as) dan kL
a, maka seca
ktor lain yan
eratur
isien film-
eratur. Keti
bahan tempe
Two-film pa
utkan, pada
us sama de
dilihat, untu
melalui langk
k fluid ke la
ti lapisan an
san antarmu
memiliki k
nentukan laj
amonia, t
, 1990). S
gan dikontro
katkan kL.
(koefisien
ara umum d
ng berpenga
-cairan ak
ika gelemb
eratur pada
28
ada transfer
kondisi tun
engan laju
uk dapat me
kah-langkah
apisan antarm
ntarmuka
uka ke fase
kelarutan m
ju transfer
ahanan gas
Sebagian b
ol oleh liqui
Oleh karen
transfer Li
digunakan k
aruh pada tr
an mening
bung-gelemb
a cairan jug
gas (Metca
nak, laju m
perpindahan
elewati satu
h (Motgome
muka
baru
enengah, se
massa, seda
s-film, akan
besar aplik
id-film, sehi
na penentu
iquid) sulit
koefisien ov
ransfer gas a
gkat seirin
bung udara
ga mempen
alf & Eddy,
massa gas ya
n melalui l
u fase ke fas
ery, 1985):
eperti O2 da
angkan untu
n menentuk
kasi transf
ingga kond
uan koefisie
untuk diuk
verall KL.
adalah seba
ng dengan
a bertamba
ngaruhi uku
2003)
ang dipinda
liquid film.
se yang lain
an CO2, tah
uk gas-gas
kan laju tra
fer massa
isi turbulen
en kG (koe
kur pada b
agai berikut.
n meningk
ah banyak
uran gelemb
ahkan
Dari
n, gas
hanan
yang
ansfer
pada
n pada
fisien
idang
.
katnya
maka
bung-
29
gelembung udara yang dihasilkan pada sistem. Efek temperatur pada
koefisien transfer dirumuskan dengan (Eckenfelder, 1990):
20 .......................II. 1
dengan
θ = konstanta (1,02: difussion aeration; 1,012: surface aerator)
2. Turbulensi pengadukan
Peningkatan derajat pengadukan akan meningkatkan koefisien overall.
3. Kedalaman air
Pengaruh kedalaman fluida terhadap koefisien overall tergantung pada
pengukuran dan metode pengudaraan.
4. Karakteristik limbah
Dalam hal ini, keberadaan unsur-unsur beberapa unsur, dapat mengganggu
transfer gas, seperti adanya surfaktan dan TDS.
Sedangkan efisiensi perpindahan oksigen per unit difuser, dapat dihitung dengan
persamaan II. (Eckenfelder, 1990):
%
100% … … … II. 2
0,232 100% … … … … II. 3
dengan
KLa = koefisien transfer overall udara
GS = konstanta efisiensi alat
Pengudaraan pada reaktor terendam aerobik mempunyai dua tujuan utama
(Schulz, 2001):
1. Pengudaraan memberikan oksigen yang diperlukan untuk metabolisme
biologis. Pada reaktor dengan beban yang besar, pengudaraan tambahan
dengan input oksigen yang besar dapat dilakukan secara periodik untuk
menstabilkan proses.
30
2. Pengudaraan membentuk aliran yang menghalangi media tersumbat. Semakin
kasar permukaan media, maka semakin besar laju aliran yang harus diberikan.
Untuk media yang berbeda antara 5Nm3h-1m-2 sampai 15 Nm3h-1m-2.
Pada reaktor terendam aerobik, pengudaraan dapat dilakukan dengan beberapa
metode. Metode tersebut adalah (Henze, et. al. 1997):
1. Pengudaraan dilakukan secara terpisah dengan reaktor biological filter
Pengudaraan yang dilakukan tidak berbeda dengan pengudaraan pada reaktor
lumpur aktif
2. Pengudaraan dilakukan pada reaktor biological filter
Secara teoritis, pengudaraan tipe ini juga tidak berbeda dengan pengudaraan
pada reaktor lumpur aktif. Pengudaraan dapat dilakukan di samping reaktor, di
tengah, atau secara merata (Said, 2006)
3. Pengudaraan dilakukan pada biofilm
Pengudaraan tipe ini lebih condong pada pengudaraan yang dilakukan pada
reaktor RBC.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan keberadaan oksigen
pada biofilm antara lain adalah:
1. Lewandowski et al, 1994
Dengan menggunakan teknik NMRI (Nuclear Magnetic Resonance Imaging)
dan CLM (Confocal Laser Microscopy) Lewandowski et al menganalisa
hidrodinamika, kinetika dan struktur internal di dalam sistem biofilm. Analisa
sistem biofilm menunjukkan bahwa difusifitas cenderung terjadi pada struktur
biofilm yang berpori dan dan mempunyai saluran daripada pada kelompok
mikroorganisme. Tetapi tidak jelas apa pengaruh pori ini pada transport larutan
ke biofilm
2. Lu, 2007
Lu at al (2007) menginvestigasi distribusi oksigen pada RBC menggunakan
mikrosensor. Tinjauan dilakukan dengan metode 1D dan 3D secara insitu.
Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan oksigen di dalam biofilm
RBC. Hasil pengukuran secara 3D menunjukkan adanya tempat-tempat
(pocket) dimana konsentrasi oksigen lebih tinggi di lokasi yang lebih dalam
31
daripada yang ditunjukkan oleh pengukuran 1D. Pengukuran secara 3D juga
menunjukkan heterogenitas pada konsentrasi oksigen menurut kedalaman.
3. Zhang & Bishop, 1994
Zhang dan Bishop, 1994 menginvestigasi ketebalan lapisan batas konsentrasi
DO pada biofilm menggunakan teknik mikroelektroda. Hasil eksperimen
menunjukkan bahwa (a) penambahan laju beban substrat (b) penambahan
kecepatan laju aliran dan (c) penambahan kekasaran permukaan biofilm akan
mengurangi tahanan laju transfer massa pada permukaan biofilm. Pengukuran
ketebalan lapisan batas konsentrasi DO menunjukkan pula heterogenitas pada
permukaan biofilm
Perbandingan kondisi ini dapat diamati pada Gambar II.14 berikut ini.
Gambar II.14. (a) Profil konsentrasi oksigen hanya dengan proses difusi (b) efek
penambahan glukosa pada profil DO dengan Re=102 (c) Profil konsentrasi O2 pada kecepatan aliran yang berbeda (d) ketebalan lapisan batas O2 pada jenis permukaan biofilm yang berbeda (Zhang & Bishop, 1994)
32
II.3.5.2 Konsumsi Oksigen oleh Mikroorganisme pada Proses Aerob
Pada bagian awal sub-Bab II.3.5.1 bahwa fungsi oksigen di dalam proses aerob
adalah sebagai elektron akseptor pada proses metabolisme mikroorganisme aerob,
sehingga keberadaannya menjadi mutlak ada.
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses aerob dapat didekati dengan
beberapa metode. Metode paling mudah sekaligus paling sulit adalah dengan
menggunakan persamaan kesetimbangan reaksi (stoikiometri). Kemudahannya
adalah dengan mengetahui rumus kimia bahan organik yang diolah dengan asumsi
proses oksidasi berjalan sempurna, maka akan didapatkan kebutuhan oksigen
untuk proses tersebut. Tetapi ada beberapa kesulitan di dalam penggunaan metode
ini. Kesulitan yang pertama adalah sebagian besar limbah dalam bentuk
tercampur, sehingga sulit untuk menentukan rumus kimianya. Kesulitan yang
kedua adalah reaksi ini melibatkan mikroorganisme, sedangkan energi dari hasil
reaksi yang melibatkan mikroorganisme juga akan digunakan kembali oleh
mikroorganisme, sehingga muncuk kesulitan untuk membuat suatu reaksi
kesetimbangan (Rittmann & McCarty, 2001). Secara teoritis oksigen yang
dikonsumsi dihitung dengan (Metcalf & Eddy, 2003):
Oksigen yang dikonsumsi = CODutilized - CODsel ………. II.4
Metode lain yang cukup populer adalah dengan menggunakan konsep kebutuhan
oksigen untuk metabolisme mikroorganisme aerob. Secara umum konsep ini
dikenal sebagai tes Biochemical Oxygen Demand (BOD). Hasil pengukuran BOD
dapat dipemahami sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh bakteri pada saat
menstabilkan bahan organik yang dapat didekomposisikan pada kondisi aerob
(Sawyer et al, 2003). Meskipun ada beberapa keberatan terhadap tes ini baik dari
segi asal-usul, akurasinya, dan pengukuran laju reaksinya, yang tidak tepat
mengikuti reaksi orde-1, tetapi secara luas konsep BOD ini telah diterima sebagai
salah satu parameter penting karakteristik air limbah (Sawyer et al, 2003).
Dalam kondisi nyata di dalam reaktor laju penggunaan oksigen oleh reaksi
metabolisme mikroorganisme dilakukan dengan pengukuran Oxygen Uptake Rate
33
(OUR). Secara teoritis oksigen yang digunakan pada proses biologis akan
sebanding dengan laju penggunaan bahan organik dan laju pertumbuhan
mikroorganisme. Sehingga OUR dapat dihitung dengan (Metcalf & Eddy, 2003):
1,42 … … … … … … … … … II. 5
… … … … … … … … . II. 6
dengan:
rO = oksigen uptake rate, g O2/m3.hari
rSU = laju penggunaan substrat, gCOD/m3.hari
rg = laju pertumbuhan biomassa, g VSS/m3.hari
k = laju maksimum pemanfaatan substrat spesifik, g substrat/g mo.hari
X = konsentrasi biomassa, g/m3
S = konsentrasi substrat pembatas pertumbuhan di dalam larutan, g/m3
Ks = half velocity constant, g/m3
II.3.6 Media dan Mikroorganisme di Dalam reaktor terendam aerobik
Tidak ada persyaratan khusus untuk media filter secara umum, persyaratan umum
adalah (von Munch, 2004):
1. Mempunyai luas area yang besar untuk pertumbuhan biofilm
2. Ada area kosong untuk menghindari clogging dan untuk ventilasi
3. Ada tekstur pada permukaan (kasar) untuk menghindari biofilm dengan
mudah lepas
4. Rasio Berat per Volume seringan mungkin untuk kemudahan konstruksi
5. Tersedia secara lokal dengan harga yang terjangkau
6. Kuat, untuk menahan akumulasi beban biofilm
7. Tahan lama
8. Kemungkinan kecil digunakan untuk pertumbuhan lalat
Contoh media yang digunakan diadalam reaktor terendam aerobik tipe Submerged
Aerobic Fixed-Film (SAF) dan tipe Static Low Density Media ditunjukkan pada
Gambar II.15.
Beberapa
macam rea
1. Media
al., 19
didapa
2. Pengar
3. Interak
diperm
4. Optim
ukuran
5. Pertum
(phosp
Gambar II
Berdasark
mikroorga
(TF) tidak
karakterist
3 Different DIndex kemir
penelitian y
aktor terend
a terapung d
999). Dari h
atkan untuk
ruh ukuran
ksi kondi
mukaannya s
masi ketingg
n media opt
mbuhan fun
por & nutrie
I.15. (a) Me(www
kan analisa
anisme nitri
k jauh ber
tik mikroor
Design Treatinripan berdasar
yang berkait
dam aerobik
dan tenggel
hasil penelit
media yang
media pada
isi permu
secara ultra
gian media
timum untuk
ngi pada per
en) (Hendric
edia Reaktor.envicon.ne
DGGE3 (
ifikasi antar
rbeda. Kara
rganisme y
ng Identical Wr kemungkinan
34
tan dengan
k) adalah:
lam untuk B
tian ini did
g terapung.
a efisiensi B
ukaan me
astruktural (
(Osorio &
k reaktor BA
rmukaan m
ckx et. al., 2
r ASFF (BIet) (b) Medi
(Rowan et
ra reaktor t
akteristik b
yang ada d
Wastewater, pen dari Raup &
penggunaan
BAF pada k
dapatkan nil
BAF (Moore
edia deng
Harendrana
& Hontoria,
AF antara 0
edia akibat
2002)
OPAC®) daa untuk SLD
al, 2003)
terendam (B
biofilm ten
di dalamnya
erbandingan p& Crick.
n media (un
kondisi uns
lai kinetika
e, et. al., 20
gan akum
ath et. al., 19
2001), yan
0,8 – 1,8 m.
ketidakseim
ari Envicon DM (Wagen
) menunjuk
BAF) denga
ntu sangat
a. Tetapi t
pada penelitian
ntuk berbag
steady (Man
yang lebih
01)
mulasi bio
996)
ng mendap
mbangan nu
ner, 2003)
kkan kerag
an non tere
ditentukan
tidak ada m
n ini menggun
ai
nn et.
h baik
omasa
patkan
utrien
gaman
ndam
oleh
model
nakan
35
pemeriksaan tersedia untuk mencari hubungan antara spesies mikroorganisme
dengan karakteristik biofilm. Hanya dapat disimpulkan ada dua tipe biofilm, yaitu
dense film dan filamentous film (Henze et al, 1997). Contoh Citra permukaan
biofilm ditunjukkan pada Gambar II.16.
Gambar II.16. Beberapa tipe mikroorganisme yang tumbuh di permukaan reaktor (www.socialfiction.org)
Kesulitan utama di dalam karakterisasi organsime biofilm adalah secara umum
organisme ini tidak dapat dikulturkan dengan metode konvensional (Wagner et
al., 1993 di dalam Wingender & Flemming, 2001). Problem ini dapat diatasi
dengan penggunaan fluorescently labeled gene probes yang dikombinasikan
dengan CSLM (Confocal Laser Scanning Microscopy), membentuk struktur
fungsional tiga dimensi dari organisme (Wagner et al., 1994 di dalam Wingender
& Flemming, 2001).
II.3.7 Aplikasi Reaktor terendam aerobik
Aplikasi reaktor terendam aerobik di dalam pengolahan air buangan cukup luas.
Beberapa aplikasi utama reaktor ini di dalam pengolahan air limbah adalah:
36
1. Sebagai pengolahan biologis pada sistem pengolahan limbah terdesentralisasi
untuk limbah domestik dengan beban 4-8000 PE (Schulz, 2001; Wang et. al,
2006) atau kurang dari 5000 PE (Gray, 2004). Pengolahan ini terutama
bertujuan untuk menurunkan bahan organik (Pedros, et. al., 2007; Hamoda &
Al-Ghusain, 1998; Mann & Stephenson, 1997).
2. Sebagai pengolahan pendahuluan untuk limbah industri (Schulz, 2001),
khususnya di industri pemrosesan makanan, pewarnaan karpet, dan farmasi
(Gray, 2004)
3. Sebagai nutrien untuk nitrifikasi-dentrifikasi (Farabegoli et. al., 2004a; Galvez
et. al., 2003; Rother et. al., 2002; Villaverde et. al., 2000; Gilmore, et. al.,
1999) menyangkut mikrobiologi yang berperan di dalam nitrifikasi-
denitrifikasi (Rowan, et. al., 2003; FDZ-Polanco, 2000; Rahmani, et. al.,
1995), penyisihan fosfat (Clark et. al., 1997), dan penyisihan fosfor biologis-
denitrifikasi (Lee et. al., 2005, Tay et. al., 2003)
Beberapa produsen atau pabrikan pengolahan air buangan memproduksi reaktor
terendam aerobik dalam bentuk paket. Beberapa produsen tersebut adalah
Degremont, OTV, dan Stereau. Perbandingan yang cukup lengkap teknologi
pengolahan dengan prinsip BAF ini, terutama dalam aplikasinya di Perancis,
dapat dibaca lebih lanjut pada Constance (2003). Sedangkan dua contoh reaktor
terendam aerobik (BAF) dalam bentuk paket akan dijelasakan pada sub bab
berikut ini.
II.3.7.1 Biofor®
Reaktor biofor dikembangkan oleh Degreemont, Perancis, dan telah dipasang di
lebih dari 100 tempat di Eropa dan Amerika utara (Ninassi, 1998 di dalam Metcalf
& Eddy, 2003). Aliran di dalam reaktor ini adalah aliran ke atas, dengan ketebalan
media 2-4 m. Media yang digunakan adalah Biolite®, yang merupakan media clay
dengan densitas >1g/cm3 dan ukuran 2-4 mm. Pencucian dilakukan minimal
sekali dalam sehari dengan laju 10-30 m/jam.
Skema rea
direkomen
Gambar II
Tabel II.6
PPenyisNitrifiDenitrPenyis
II.3.7.2 B
Proses Bi
OTV, me
permukaan
mempuny
m.
Reaktor B
nitrifikasi,
aktor Biofo
ndasikan da
I.17. Biofor
6. Beban ope
Pengolahansihan karboikasi rifikasi sihan Fosfo
Biostyr®
ostyr® men
enggunakan
n spesifik
yai densitas
Biostyr® da
, nitrifikasi
or® dapat di
apat dilihat p
r® (www.de
erasional B
n on
or
nggunakan
n media po
sampai 10
lebih kecil
apat diguna
tingkat ket
37
ilihat pada
pada Tabel
epweb.state
iofor® yang
Beban (/m10 kg C
1.5 kg N>4 kg N
0.4 kg
proses alira
olistirene d
000 m2/m3
daripada air
akan untuk
tiga, dan po
Gambar II
II.6.
.pa.us)
g direkomen
m3.hari) COD
N-NH4+
N-NO3 g TP
an naik (up
dengan dia
(Metcalf &
r. Ketebalan
k penyisiha
osdenitrifika
.17, sedang
ndasikan (Pu
Laju (m
pflow), dike
ameter 2-4
& Eddy, 20
n lapisan m
n BOD, k
asi. Skema
gkan beban
ujol et al., 1
m3/m2/jam6
10 14 11
embangkan
mm, dan
003). Medi
edia antara
kombinasi B
reaktor Bio
yang
1994)
)
n oleh
luas
ia ini
1.5-3
BOD-
ostyr®
38
dapat dilihat pada Gambar II.18, dan tipikal desain beban untuk proses Biostyr®
ditunjukkan pada Tabel II.7.
Gambar II.18 Biostyr® (www.stowa-selectedtechnologies.nl)
Tabel II.7. Tipikal desain beban untuk proses Biostyr® (Metcalf & Eddy, 2003)
Aplikasi Unit Nilai BOD saja kg COD/m3.hari 8-10 Penyisihan BOD dan Nitrifikasi kg COD/m3.hari 4-5 Nitrifikasi tahap ketiga kg N/m3.hari 1.0-1.7
II.4 Kinetika di dalam reaktor Biofilm
Tinjauan kinetika di dalam reaktor biofilm dapat didasarkan pada:
1. Tipe aliran reaktor yang digunakan: batch atau kontinyu. Sedangkan untuk
reaktor kontinyu dapat berupa plug flow reactor (PFR) atau complete mixed
biofilm reactor (CMBR) (Rittman & McCarty, 2001; Benefield & Randall,
1980)
2. Kondisi biofilm yang ada di dalam reaktor, apakah dalam kondisi steady state
biofilm atau non steady state biofilm (Rittman & McCarty, 2001)
3. Orde reaksi yang terjadi. Secara umum orde reaksi yang terjadi di dalam
reaktor biofilm adalah kinetika orde reaksi ke-0, 1, atau ½ (Henze, et. al., 1997;
Benefield & Randall, 1980)
39
xx + dx
z
z + dz
Sb
Ss
L 0
x
4. Tinjauan reaksi-reaksi yang terjadi di dalam reaktor biofilm: tinjauan makro
(empiris) atau mikro (mekanistik) (Metcalf & Eddy, 2003; Mann &
Stephenson, 1997).
Berdasarkan tinjauan di atas, maka secara umum pendekatan No. 1 dan 3
termasuk dalam pendekatan empiris, sedangkan pendekatan No. 2 termasuk di
dalam pendekatan mekanistik.Penjelasan untuk tinjauan mekanistik dan empiris
berikut ini diambil dari Mann & Stephenson (1997).
Pendekatan mekanistik adalah pendekatan yang kompleks, karena banyaknya
variabel yang terlibat di dalam tinjauan tersebut. Sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar II.6 komponen yang saling berinteraksi adalah komponen terlarut
(soluble berupa substrat dan nutrien yang terdapat di dalam air yang akan diolah),
komponen tidak terlarut (biofilm) serta komponen aliran fluida.
Gambar II.19 menunjukkan analisis yang umum secara mekanistik penurunan
substrat di dalam biofilm, meskipun bidang planar yang ditunjukkan pada gambar
tersebut tidak tepat berdasarkan obsevasi yang ada (Metcalf & Eddy, 2003).
Gambar II.19. Analisis konsentrasi Substrat di dalam biofilm (Metcalf & Eddy, 2003)
40
Variabel-variabel pada Gambar II.7 saling terkait, sehingga untuk mendapatkan
gambaran yang utuh tentang fenomena kinetika yang terjadi. Parameter yang
paling sulit diperhitungkan adalah ketebalan biofilm dan distribusinya. Adanya
berbagai kesulitan-kesulitan ini menyebabkan beberapa asumsi-asumsi
penyederhanaan harus dibuat. Adanya kesulitan-kesulitan ini, menyebabkan
model mekanistik lebih cocok hal-hal yang bersifat toritis dibandingkan dengan
keperluan praktis. Pendekatan mekanistik akan dijelaskan lebih lanjut pada sub
bab pemodelan biofilm.
Kontras dengan pendekatan mekanistik, pendekatan empiris menitikberatkan
tinjauan pada perbandingan variabel input dan output reaktor. Variabel ini antara
lain adalah beban hidrolis dan organik terhadap laju penyisihan bahan organik dan
nutrien. Dengan hanya membandingkan kondisi input dan output maka asumsi-
asumsi penyederhanaan tidak perlu digunakan. Sehingga secara praktis
pendekatan empiris dapat digunakan sebagai alat desain untuk reaktor bofilm.
Contoh persamaan empiris untuk mencari konstanta laju reaksi pada reaktor BAF
ditunjukkan pada persamaan II.1. (Mann dan Stephenson, 1997). Penurunan dan
pencarian konstanta pada persamaan ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
ln … … … … … … … . II. 7
dengan:
S/S0 = fraksi penyisihan SCOD
H = ketinggian reaktor, L
k* = konstanta laju reaksi
Q = debit pengolahan, L3.T-1
A = luas permukaan raktor, L2
n = konstanta spesifik reaktor
Persamaan II.4 menggunakan pendekatan orde ke-1 untuk reaktor biofilm yang
mirip dengan pendekatan yang digunakan Eckenfelder untuk Trickling Filter
41
(Benefield & Randall, 1980). Beberapa nilai konstanta kinetika untuk reaktor
biological aerated filter, ditunjukkan pada Tabel II.8.
Model lain yang serupa adalah model semi-empiris (Kincannon dan Stover, 1982
di dalam Hamoda dan Al-Ghusain, 1998; Siebel, 1992). Model ini memadukan
pendekatan empiris dengan koefisien biokinetik yang ada, seperti pada kinetika
Monod. Persamaan dari Kincannon dan Stover (1982) di dalam Hamoda dan Al
Ghusain (1998) ditunjukkan pada persamaan II.2, sedangkan beberapa nilai
konstanta untuk reaktor ASFFR ditunjukkan pada Tabel II.9.
1
.. .
1 … … … … … … . II. 8
dengan,
μmax = laju penyisihan substrat maksimum, g.hari-1.m2
Kp = konstanta proporsional, g.hari-1.m2
Tabel II.8 Kinetika untuk Reaktor BAF dengan pendekatan persamaan empiris
No. Sumber Jenis Limbah Parameter
Parameter Keterangan
k* n media q (m3.m2.hari-1)
1. Wang et al., 2006
Buatan (sukrosa)
SCOD 44 0,7103 Lava 9.17 38 0,6668 Expanded
Clay 41,7 0,3984 Lava
15.59 35,6 0,3940
Expanded Clay
36,5 0,2134 Lava 22.01
31,5 0,2117 Expanded Clay
2 Mann & Stephenson, 1997
Limbah domestik
SCOD 33 0.92
Sunken media
9.24 - 18.47 55 1.13
Floating media
42
Tabel II.9 Kinetika untuk Reaktor ASFFR dengan pendekatan semi empiris
No. Sumber Jenis Limbah
Parameter
Parameter Jenis media μmax
g/d.m2 Kp
1 g/d.m2
1 Hamoda & Al-Ghusain, 1998
Domestik Organik (COD)
188 185 Keramik
Organik (BOD)
787 808 Keramik
2. Hamoda, 1995 di dalam Hamoda & Al-Ghusain, 1998
Buatan (Sukrosa)
Organik (COD)
522 676
1 Kp = konstanta proporsionalitas
Pendekatan model semi empiris yang lain adalah dari Henze et al (1997) yang
mendasarkan modelnya pada faktor-faktor pembatas yang terlibat. Untuk media
biofilter yang diketahui, analisa pada kinetika filter proses dapat dijabarkan di
dalam dua tahap, seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.20 (Henze, et. al.,
1997).
Gambar II.20. Kinetika Biofilm (Henze, et. al., 1997)
Penyisihan pada biofilm sendiri diasumsikan pada orde ke- 0
Faktor pembatas yang potensial
Oksigen sebagai faktor pembatas
Bahan organik sebagai faktor pembatas
Penggunaan Biofilm Penggunaan Biofilm
Proses dengan orde setengah untuk oksigen
Proses dengan
orde ke-0
Proses dengan orde setengah untuk materi
organik
Proses dengan
orde ke-0
43
Skema ini berdasarkan pada penyisihan biologis hampir selalu merupakan proses
reduksi-oksidasi (redoks). Di dalam proses aerobik, oksigen berperan sebagai
oksidan (elektron akseptor, penerima elektron) dan bahan organik berperan
sebagai reduktan (elektron donor, pemberi elektron). Sehingga oksigen atau bahan
organik dapat berperan sebagai faktor pembatas.
Penyisihan reduktan dikontrol oleh penetrasi oksidan. Reduktan dapat saja ada di
biofilm, tetapi tidak dapat disisihkan untuk x>x1 oleh karena ketiadaan oksidan.
II.5 Pemodelan Biofilm
Model matematik bertujuan untuk simplifikasi proses di alam, alat untuk
memecahkan masalah dengan kondisi-kondisi yang dapat dibayangkan, serta
sebagai suatu prediksi. Ada beberapa tahapan di dalam pemodelan, tetapi dua
pokok adalah pembangunan model dan verifikasi dan kalibrasi model yang telah
dibuat. Pemodelan untuk biofilm digunakan untuk memahami prinsip-prinsip
dasar untuk menentukan pembentukan biofilm, komposisi, struktur, dan fungsi
biofilm (Noguera, et. al., 1999; Wanner, et. al., 2006).
Selama hampir 30 tahun model matematika telah digunakan untuk memahami
proses yang ada di dalam mikrobial biofilm. Perkembangan tersebut secara
singkat adalah sebagai berikut (Noguera, et. al, 1999; Xavier, et. al, 2005):
1. Model 1 Dimensi (1D) transport massa dan transformasi biokimia, dimana
proses di dalam biofilm dianggap sebagai uniform-steady state film yang berisi
satu tipe mikroorganisme. Model ini dikembangkan sekitar tahun 70-an
2. Model 1D transport massa dan transformasi biokimia dengan mengunakan
model dinamik multisubstrat dan multispesies biofilm. Kekurangan model ini
adalah ketidakmampuan untuk menunjukkan karakteristik heterogenitas
struktural yang ditunjukkan dari hasil observasi
3. Model 2D dan 3D, yang tidak hanya menunjukkan tidak hanya transport
massa dan transformasi, tetapi juga hidrodinamik dan dinamika populasi
44
Contoh perbandingan model 1D steady-state, model 1D dinamik, dan model 2D
ditunjukkan pada Gambar II.21.
Gambar II.21. Perbandingan model biofilm (a) 1D steady-state (b) model 1D dinamik (b) dan (c) model 2D
Sebagian besar pemodelan di dalam biofilm digunakan untuk keperluan penelitian
saja. Sedangkan untuk aplikasi desain pada skala operasi penuh masih jauh dari
level penerimaan seperti pada model yang lain, misalnya saja Model lumpur aktif
dari IAWQ (Noguera, et. al., 1999).
Keterbatasan pada desain berkaitan dengan biofilm merupakan kombinasi dari
faktor-faktor sebagai berikut:
1. Model biofilm diterima sebagai sesuatu yang rumit secara matematika
2. Simplifikasi dan asumsi yang digunakan di dalam Model 1D tidak didukung
oleh hasil observasi eksperimen.
3. Terlalu banyak fenomena yang tidak diperhitungkan, seperti keberadaan
substrat partikulat, aktivitas organisme dengan level lebih tinggi, serta peran
produksi dari EPS (Eksopolymeric Substance)
45
4. Ada kekurangpercayaan secara umum tentang kapabilitas model untuk
menghasilkan prediksi yang akurat
5. Parameter yang digunakan di dalam model biofilm seringkali sulit untuk
diperkirakan
Oleh karena di dalam Penelitian ini pemodelan biofilm bukan merupakan bagian
utama, penjelasan hanya menyinggung salah satu contoh pendekatan model tunak
1D dari Rittman. Sedangkan penjelasan lebih komprehensif perkembangan model
matematika untuk biofilm dapat dibaca pada Wanner et al (2006).
Pendekatan mekanistik paling awal untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di
dalam biofilm adalah model tunak 1D dari Rittman dan McCarty (Rittman &
McCarty, 2001). Pada kondisi tunak, ini maka tiga kondisi yang diasumsikan
dalam kondisi tunak adalah:
1. Kesetimbangan Massa substrat di dalam biofilm
0 … … … … … … … … … … … II. 9
kondisi batas yang diperlukan adalah
a. Tidak ada flux ke dalam lapisan substratum
0 … … … … … … … … . . II. 10
b. Antarmuka (interface) biofilm dan air
dengan:
Df = Koefisien difusi molekuler substrat di dalam biofilm
Sf = Konsentrasi substrat pada titik tinjauan di dalam biofilm
Xf = Densitas biomassa aktif di dalam biofilm
z = Ketebalan biofilm
= laju maksimum penggunaan substrat spesifik
46
2. Transport massa eksternal dari bulk liquid ke lapisan terluar biofilm. Transport
eksternal ini dapat dijelaskan dengan
………. II.11
dengan:
J = Fluks substrat ke dalam biofilm
S,Ss = Konsentrasi substrat di fase cair dan bidang antarmuka biofilm/liquid
3. Kondisi Biofilm
Kondisi tunak biofilm adalah kondisi dimana laju pertumbuhan biomasa per
unit area (YJ) sama dengan laju kehilangan biomasa per unit area (b’, XfLf),
atau dirumuskan dengan persamaan
0 ′ ……………. II.12
Penyelesaian ketiga persamaan di atas dapat dilakukan dengan pendekatan
analitis, pseudo analitis dan teknik faktor keefektifan (Grady & Lim, 1998).
Penyelesaian secara analitis hanya dapat dilakukan dengan metode numerik,
terutama berkaitan dengan persamaan II.1. Penyelesaian lebih lanjut dengan
metode pseudo analitis dan teknik faktor keefektifan dapat dibaca pada Grady &
Lim (1998).
Pada bagian awal (sub bab perbandingan biofilm dan media tersuspensi dan sub
bab kinetika biofilm) telah disebutkan bahwa adanya faktor difusi terbatas akan
menyebabkan substrat menjadi faktor pembatas di dalam reaksi. Metode
sederhana untuk mengkaji ini berasal dari Williamson & McCarty (1976) (Metcalf
& Eddy, 2003), menggunakan apa yang disebut sebagai surface flux substrate
limitation dan dirumuskan dengan persamaan berikut ini.
… … … … . . II. 13
… … … … … … II. 14
47
dengan:
vd = koefisien molar reaksi stoikiometri untuk elektron donor, mol
va = koefisien molar reaksi stoikiometri untuk elektron akseptor, mol
Sba = konsentrasi substrat elektron akseptor pada bulk liquid, mg/l
Sbd = konsentrasi substrat elektron donor pada bulk liquid, mg/l
Dwd = koefisien difusivitas elektron donor di dalam air, cm2/d
Dwa = koefisien difusivitas elektron akseptor di dalam air, cm2/d
mwa = berat molekul elektron akseptor, g
mwd = berat molekul elektron donor, g
II.6 Resume Tinjauan Literatur
Dari tinjauan literatur di atas, maka beberapa hal yang penting apabila dikaitkan
dengan permasalahan di Bab I adalah:
1. Karakteristik greywater berbeda dari tempat ke tempat dan berfluktuasi
menurut waktu. Pada kondisi di Indonesia konsentrasi COD greywater
berkisar 300 mg/l
2. Penggunaan pengudaraan artifisial pada reaktor biofilm aerobik berpotensi
untuk memperbaiki kinerja reaktor
3. Penggunaan model kinetika secara empiris lebih praktis dan sederhana di
dalam mengevaluasi kinerja reaktor biofilm
4. Pengaruh pengudaraan yang tidak dilakukan secara menerus terhadap kinerja
reaktor belum tergambarkan dengan jelas
Oleh karena itu menjadi penting untuk meninjau lebih lanjut dampak pengudaraan
tidak menerus pada kinerja reaktor terendam aerobik.