12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
2.1.1 Definisi BBLR
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bay dengan berat saat lahir kurang
dari 2500 gram. Penetapan batasan ini mempertimbangkan bahwa bayi dengan
berat lahir kurang dari 2500 gram berisiko 20 kali lebih tinggi mengalami
morbiditas dan mortalitas, serta berkontribusi terhadap status kesehatan yang
buruk pada bayi (anonim, 2008).
2.1.2 Etiologi BBLR
Kelahiran BBLR dapat disebabkan oleh kelahiran kurang bulan,
pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau keduanya. Kelahiran kurang bulan
merupakan suatu kondisi neonatus yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari
37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) ibu. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan kelahiran kurang bulan mencakup faktor fetal,
maternal, uterus, dan plasenta (Stoll dan Kleigman, 2011).
Kelahiran kurang bulan menduduki posisi pertama sebagai penyebab
kelahiran BBLR. Penyebab kelahiran BBLR yang disebabkan kelahiran kurang
bulan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
13
Tabel 2.1
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelahiran bayi kurang bulan
Faktor Penyebab
Fetal Distres janin
Kehamilan multipel
Eritroblastosis
Hidrops nonimun
Plasenta Disfungsi plasenta
Plasenta previa
Abruption plasenta
Uterus Uterus bikornu
Serviks inkompeten
Maternal Preeklamsia
Penyakit kronis (contoh: penyakit jantung sianotik, penyakit
ginjal)
Infeksi (contoh: vaginosis bakterial, korioamnionitis, infeksi
salurah kemih)
Ketergantungan obat-obatan (contoh: kokain)
Sumber : Stoll dan Kleigman, 2011
2.1.3 Klasifikasi BBLR
Berat lahir bayi didefinisikan oleh WHO sebagai berat badan yang
pertama kali ditimbang dalam waktu satu jam pertama setelah bayi lahir, sebelum
terjadinya pengurangan berat badan yang mungkin terjadi pada masa berikutnya.
Berat lahir rendah diklasifikasikan menjadi bayi berat lahir rendah (BBLR) bila
berat lahir 1500–2499 gram, bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) bila berat
lahir 1000-1499 gram, dan bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) bila
berat lahir < 1000 gram (WHO, 2004).
14
Bayi berat lahir rendah harus dilakukan penilaian usia kehamilan.
Penentuan usia kehamilan pada BBLR memiliki implikasi klinis dan terapi.
Penilaian usia kehamilan dapat dinilai pada masa prenatal dengan cara
menghitung hari pertama tanggal menstruasi terakhir, laporan mengenai gerakan
pertama janin (muncul pada usia kehamilan 16-18 minggu), menilai detak jantung
janin yang terdengar pertama kali (usia kehamilan 10-12 minggu dengan
ultrasonografi Doppler). Pemeriksaan usia kehamilan postnatal pada BBLR
dilakukan dengan melakukan penilaian maturasi dengan menggunakan New
Ballard Score (NBS), yang terdiri dari penilaian maturasi neuromuskular dan
maturasi fisik. Perkiraan usia kehamilan yang didapatkan kemudian digunakan
sebagai acuan penggunaan kurva Lubchenco. Lubchenco membagi BBLR
menjadi besar masa kehamilan (BMK) apabila berat lahir menurut usia kehamilan
berada di atas persentil 90; sesuai masa kehamilan (SMK) apabila berat lahir
menurut usia kehamilan berada di antara persentil 10 dan 90, dan kecil masa
kehamilan (KMK) apabila berat lahir menurut usia kehamilan berada di bawah
persentil 10 (Gomella dkk., 2009).
2.1.4 Permasalahan BBLR
Permasalahan BBLR mencakup berbagai sistem fisiologi tubuh yang
berhubungan antara satu sistem dengan sistem lainnya. Masalah pada BBLR dapat
berupa hipotermi, infeksi, gawat napas, atau asfiksia, merupakan permasalahan
yang sering terjadi dan berdampak pada peningkatan morbiditas dan mortalitas
neonatus (Gomella dkk., 2009).
15
2.1.4.1 Termoregulasi
Termoregulasi merupakan salah satu permasalahan utama pada BBLR.
Bayi kurang bulan dan BBLR rentan mengalami kehilangan panas akibat
sedikitnya lemak subkutan, perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat
badan relatif besar, postur hipotonik (“frog”), sedikitnya persediaan lemak coklat
dan glikogen, serta peningkatan penggunaan energi untuk mempertahankan panas
tubuh (Gomella dkk., 2004). Lee dkk. (2008) menjelaskan BKB dan BBLR harus
dirawat dalam lingkungan temperatur netral untuk mencegah kehilangan panas
berlebihan. Lingkungan ini merupakan suatu kondisi yang mencakup suhu udara
dan permukaan radiasi, kelembaban relatif dan aliran udara, dimana produksi
panas bayi minimal dan temperatur inti tubuh berada dalam batas normal
(Gomella dkk., 2004).
2.1.4.2 Sepsis neonatorum
Infeksi merupakan permasalahan utama lainnya yang mengancam BBLR.
Faktor predisposisi terjadinya infeksi pada BKB dan BBLR mencakup faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi berat lahir, usia
kehamilan, imaturitas sistem imun, defisiensi imun, fungsi protektif dari kulit
terhadap infeksi maupun termoregulasi, membran mukosa dan traktus
gastrointestinal, beratnya penyakit, asfiksia, asupan nutrisi, dan kelainan bawaan.
Faktor ekstrinsik meliputi higienitas tindakan, kemampuan dan keterampilan staf
medis terutama dalam perawatan dan prosedur invasif, serta lama rawat (Mussi-
Pinhata dan Rego, 2005). Infeksi yang terjadi dapat merupakan dampak dari
masalah sebelumnya yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan
16
sistem imunitas pada bayi dengan asfiksia dan BKB dapat mendorong terjadinya
infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum (Rohsiswatmo, 2005).
2.1.4.3 Penyakit membran hialin/sindrom gawat napas
Penyakit Membran Hialin (PMH) atau sindrom gawat napas merupakan
penyakit yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan. Surfaktan diproduksi oleh sel-
sel pneumotosit alveolar tipe II mulai umur kehamilan 22 minggu. Pada umur
kehamilan 34 minggu surfaktan sudah cukup memadai untuk mengembangkan
alveoli. Patogenesis terjadinya PMH mungkin dimulai sebelum lahir, atau selama
persalinan yang menyebabkan hipoperfusi paru. Paru yang imatur dan kapiler
yang lebih kecil menyebabkan suplai nutrisi kurang, sehingga produksi surfaktan
terganggu. Teori lain adalah menurunnya sel pnemotosit alveolar tipe II sekunder
karena usia kehamilan kurang. Surfaktan tidak hanya harus ada saat lahir, tetapi
juga harus diregenerasi sesuai dengan pemakaiannya. Keadaan ini berimplikasi
bahwa sel pnemotosit alveolar tipe II harus ada, viabel, dan intak untuk menjaga
tegangan permukaan yang normal (Gomella dkk., 2009). Dampak kekurangan
surfaktan bukan hanya menyebabkan kolaps alveoli, tetapi juga edema interstisial
yang selanjutnya menyebabkan kegagalan fungsi paru (Seri dkk., 2005).
2.1.4.4 Apnu bayi kurang bulan
Apnu pada BKB bisa terjadi karena sentral, obstruktif, maupun campuran.
Bayi kurang bulan dengan apnu sentral tampak usaha napasnya lemah, dangkal
atau lambat, dan tidak teratur. Pada gangguan napas karena obstruksi perifer
kelainannya terletak di saluran pernapasan, dimana terjadi gangguan pertukaran
oksigen dan karbondioksida dalam alveoli. Bayi menunjukkan usaha napas kuat,
17
sehingga tampak retraksi dinding dada. Kondisi pada BKB yang memudahkan
terjadinya apnu adalah imaturitas pusat pernapasan, kelemahan otot bantu
pernapasan, dan saluran pernapasan yang masih imatur (Papageogiou dkk., 2005).
2.1.4.5 Duktus arteriosus persisten
Duktus arteriosus persisten (DAP) adalah penyakit yang sering ditemui
pada BKB. Prostaglandin E2 (PGE2) yang diproduksi oleh plasenta akan berhenti
dengan dijepitnya tali pusat sehingga PGE2 pada bayi menurun. Oksigenasi yang
lebih baik menyebabkan penutupan duktus arteriosus (Hamrick dan Hansmann,
2010). Pada BKB sensitivitas tunika muskularis duktus arteriosus terhadap
oksigen kurang sehingga duktus tetap terbuka. Kondisi yang berkaitan dengan
kegagalan penutupan duktus arteriosus adalah hipoksia seperti yang terjadi pada
asfiksia atau PMH. Kejadian DAP lebih dari 50% pada bayi berat lahir amat
sangat rendah (BBLASR). Duktus arteriosus persisten terjadi pada 24 jam
pertama kehidupan, dimana 65% diantaranya memerlukan terapi (Papageorgiou
dkk., 2005).
2.1.4.6 Enterokolitis nekrotikan (EKN)
Enterokolitis nekrotikan (EKN) merupakan penyulit yang sering terjadi
pada BKB dan BBLR. Pada BBLSR kejadian EKN sampai 10%. Bagian usus
yang paling sering mengalami EKN adalah jejunum, ileum, dan kolon. Gejala
klinis EKN biasanya muncul 3-10 hari setelah lahir. Banyak faktor yang
berhubungan dengan penyebab EKN dengan mekanisme yang sangat kompleks.
Faktor predisposisi terjadinya EKN adalah imaturitas intestinal, motilitas
intestinal yang buruk, hipoksemia, iskemia, DAP, pemakaian kateter umbilikal,
18
pertumbuhan janin terhambat, pemberian minum, transfusi tukar, infeksi sistemik,
asfiksia, hipotermia, dan hipovolemia (Zhang dkk., 2005).
2.1.5 Patofisiologi stres pada BBLR
Tubuh manusia secara umum berusaha mempertahankan homeostasis
terhadap stres ataupun penyakit. Stres pada neonatal didefinisikan sebagai faktor
fisik, kimia, atau emosional yang dapat menyebabkan tekanan pada tubuh atau
mental, dan dapat bertindak sebagai faktor penyebab suatu penyakit. Respon yang
terjadi dalam tubuh dapat bersifat spesifik ataupun non spesifik terhadap stressor
yang datang. Stres neonatal memberikan gambaran serupa pada BKB maupun
bayi cukup bulan. Neonatus yang mengalami stres akan menunjukkan perubahan
perilaku (ekspresi wajah, gerakan tubuh, menangis), dan perubahan fisiologis
(perubahan denyut jantung, laju napas, tekanan darah, saturasi oksigen, tonus
vagal, keringat pada tangan), termasuk perubahan hormonal dengan meningkatnya
kadar kortisol dan katekolamin (Canadian Paediatric Society, 2000). Stres akan
menginduksi perubahan regulasi sistem imun melalui perubahan produksi sitokin
proinflamasi. Sistem imun berperan penting sejak awal respon terhadap stres yaitu
dengan menghasilkan sitokin proinflamasi seperti IL-1α, IL-1β, IL-8, IL-6, IL-2,
dan TNF-α (Muscatell dan Naomi, 2012).
Respon imun pada saat paparan stres akan menyebabkan sintesis dan
pengeluaran sitokin dari sel-sel imun yang aktif tersebut ke dalam sirkulasi
melalui beberapa mekanisme. Peningkatan kadar sitokin akan memengaruhi
neuron-neuron di hipotalamus ditandai dengan pengeluaran Cortisol Releasing
19
Factor (CRF). Peningkatan produksi CRF menyebabkan terjadinya peningkatan
produksi hormon stres seperti epinefrin, norepinefrin, dan kortisol. Mekanisme
lain adalah melalui jalur jaringan limfoid. Limfosit mengekspresikan berbagai
reseptor untuk hormon, neurotransmiter, dan neuropeptida yang memberikan
respon terhadap CRF membentuk hormon ACTH yang dapat menginduksi
pengeluaran kortikosteroid (Akbar dan Cook, 2006). Pada kasus infeksi, sitokin
khususnya IL-1 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel T, neuron-neuron, sel-sel glia,
dan sel-sel di dalam pituitari dan kelejar adrenal merupakan modulator
komunikasi neuro-endokrin-imun yang bekerja secara dua arah (bidirectional) dan
merupakan stimulator poten dari produksi kortitosteroid adrenal, melalui
pengaruhnya pada Cortisol Releasing Hormone (CRH) (Glaser dan Glaster,
2005). Mekanisme HPA yang dihasilkan dari stres pada saat awal kehidupan
dapat dilihat pada gambar 2.1.
Berbagai macam sitokin disekresi oleh sel-sel susunan saraf pusat (SSP)
yaitu interferon-α (IFN-α), IFN-γ, IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF-α, terutama
diproduksi oleh astrosit dan mikroglia. Interleukin-1 (IL-1), IL-6, Transforming
Growth Factors (TGF)-β, Leukemia Inhibitor Factor (LIF), MIF (Macrophage
Inhibitor Factor), IL-10, IL-18 dapat diproduksi oleh hipotalamus dan atau
kelenjar pituitari. Sitokin pro-inflamasi dan pro-imun dapat memengaruhi
aktivitas endokrin pada SSP, timus, dan kelenjar adrenal. Sitokin menstimulasi
atau menekan sekresi hormon pada tingkat yang berbeda-beda di SSP. Sitokin
yang terutama berperan dalam komunikasi sistem imun dan sistem neuroendokrin
adalah IL-1, TNF-α, IL-2 , IL-6, IFN-γ, IL-12 dan IL-10 (Borghetti dkk., 2009).
20
Gambar 2.1
Mekanisme Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)
pada kondisi stres neonatus (Glaser dan Glaster, 2005)
Hipotalamus menerima dan memantau informasi dari luar dan mengatur
respon melalui sistem saraf dan hormon. Otak akan mengatur sekresi hormon dari
kelenjar hipofisis dan jaringan lain seperti kelenjar adrenal. Stres yang diterima
oleh neonatus akan menstimulasi pelepasan CRH oleh nukleus paraventrikularis
hipotalamus menuju hipofisis anterior, kemudian akan mensekresi
Adrenocorticotropin Hormone (ACTH) (Padgett dan Glaser, 2003). Aksis HPA
akan merespon kondisi stres dengan memproduksi hormon adrenokortikotropik
yang selanjutnya menghasilkan hormon glukokortikoid. Aksis Sympathetic
Adrenal Medullary (SAM) diaktivasi oleh medula adrenal untuk memproduksi
katekolamin, adrenalin, dan noradrenalin melalui inervasi sistem saraf simpatis
organ limfoid. Leukosit mempunyai reseptor hormon stres yang dihasilkan oleh
21
kelenjar hipofisis dan adrenal melalui ikatan antara hormon ini dengan
reseptornya. Pada ujung persarafan dihasilkan noradrenalin kemudian dapat
menstimulasi fungsi sel imun dengan adanya ikatan antara reseptor di permukaan
sel di dalam organ limfoid. Interaksi bidirectional ini akan mengaktivasi peran
hipotalamus, antigen presenting cell (APC), IL-1, dan natural killer cell (NK cell)
(Glaser dan Glaster, 2005).
Penelitian terkini mencoba untuk mencari hubungan antara stres terhadap
sistem imun pada BBLR. Sistem imun pada BBLR mendapat pengaruh dari
sistem saraf pusat dan aksis HPA secara bidirectional. Aktivasi kronis dari respon
stres akan menginduksi produksi hormon glukokortikoid dan selanjutnya
glukokortikoid akan mengekspresikan berbagai sel imun dan berikatan dengan
kortisol untuk memengaruhi fungsi transkripsi faktor proinflamasi nuclear factor
kappa-light-chain-enhancer of activated B cells (NFkB) yang mengatur aktivitas
dari cytokine producing immune cells (Grunau, 2013).
Beberapa penelitian yang ada, mencoba menjelaskan pengaturan fungsi
imun yang disebabkan oleh perubahan ekspresi gen yang disebabkan oleh hormon
glukokortikoid dan katekolamin. Grunau dkk. (2013) menjelaskan hubungan bayi
laki-laki memiliki tingkat stres kumulatif lebih tinggi dibandingkan bayi
perempuan, terutama pada stres yang disebabkan oleh rangsang nyeri dengan
pengukuran kadar kortisol rambut. Stres pada BBLR berhubungan dengan
peningkatan sekresi sitokin inflamasi yang selanjutnya akan memengaruhi
aktivasi sistem imun jangka panjang (Grunau dkk., 2013).
22
2.2 Kortisol
Kortisol merupakan glukokortikoid yang disintesis oleh regulasi
hipotalamus. Sekresi CRH di hipotalamus akan memicu sel di hipofisis anterior
untuk menghasilkan ACTH ke dalam sistem vaskular, kemudian menuju korteks
adrenal, dan pada akhirnya menghasilkan kortisol. Tubuh bayi sudah
menghasilkan kortisol yang cukup tinggi sebagai respon terhadap stres sejak usia
kehamilan 20 minggu. Zona fasikulata kelenjar adrenal pada bayi memproduksi
100-200 mg hormon steroid setiap harinya. Steroid utama yang dihasilkan
meliputi kortisol, aldosteron, dan dehidroepiandrosteron (DHA) inaktif (Gitau
dkk., 2001).
Bayi berat lahir rendah mempunyai tingkat stres yang lebih tinggi dan
berdampak pada kadar kortisol yang lebih tinggi (Davis dkk., 2004). Stres dan
kadar glukokortikoid yang rendah di dalam tubuh akan meningkatkan kadar
kortisol. Fungsi utama kortisol adalah untuk meningkatkan kadar gula darah,
supresi sistem imun, dan meningkatkan metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak. Kortisol dapat melemahkan aktivitas sistem imun dengan mencegah
proliferasi sel-T sehingga tidak mampu untuk menghasilkan T-cell growth factor.
Kortisol juga memiliki efek umpan balik negatif pada IL-1, sehingga peran IL-1
sebagai pertahanan tubuh terhadap beberapa penyakit tidak dapat berfungsi baik
(Morelius, 2006).
Sintesis kortisol berlangsung melalui hidroksilasi-17α pregnenolon oleh
gen CYP17 dalam retikulum endoplasmik membentuk 17α-hidroksipregnolon.
Steroid ini kemudian diubah menjadi 17α-hidroksiprogesteron setelah ikatan
23
ganda 5,6 diubah menjadi ikatan ganda 4,5 oleh 3β-hidroksisteroid dehidrogenase:
∆5,4-oxosteroid isomerase enzyme complex, yang juga terletak dalam retikulum
polos endoplasmik (Sherwood, 2010).
Langkah berikutnya berlangsung di mikrosom melibatkan 21-hidrosilasi
oleh CYP21A2 dari 17α-hidroksiprogesteron membentuk 11-deoksikortisol.
Senyawa ini selanjutnya dihidroksilasi dalam mitokondria oleh 11β-hidroksilase
(CYP11B1) membentuk kortisol. Zona fasikulata dan retikularis juga
menghasilkan 11-deoksikortikosteron (DOC), 18 hidroksikortikosteron, dan
kortikosteron. Sekresi kortisol pada keadaan basal berkisar antara 8 sampai 25
mg/dl (22-69 mmol/dl) (Sherwood, 2010).
Kortisol dan aldosteron disekresi secara episodik. Kadarnya bervariasi
pada siang hari, dengan nilai puncak pada pagi hari dan kadar rendah pada sore
hari (Sherwood, 2010). Biosintesis kortisol dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Kortisol plasma pada bayi kurang bulan dipengaruhi oleh usia kehamilan, usia
post natal, dan penyakit yang diderita. Kadar kortisol berbanding terbalik dengan
usia kehamilan, semakin muda usia kehamilan, semakin tinggi kadar kortisol
plasma. Stres dan penyakit juga menyebabkan peningkatan kadar kortisol.
Kondisi ini dibuktikan pada bayi kurang bulan yang membutuhkan terapi oksigen
dan surfaktan. Pada bayi dengan usia kehamilan lebih dari 27 minggu, kortisol
tidak menunjukkan variasi luas, dimana kortisol akan meningkat pada hari kedua
dan akan stabil setelah hari keenam pada bayi kurang bulan sehat, sehingga
pengukuran kadar kortisol setelah hari keenam biasanya memberikan hasil yang
tidak bermakna. Sebaliknya, kadar kortisol menurun bermakna dari hari kedua
24
sampai hari keenam pada bayi kurang bulan sehat dan sakit dengan usia
kehamilan kurang dari 27 minggu. Pola ini mengakibatkan perlunya analisis yang
lebih dalam menginterpretasikan kadar kortisol pada bayi kurang bulan (Scott dan
Watterberg, 1995).
Gambar 2.2
Biosintesis kortisol (Sherwood, 2010)
2.3 Tumor Necrosis Factor-
Tumor necrosis factor (TNF) merupakan suatu adipokin yang terlibat
dalam inflamasi sistemik, dan merupakan salah satu kelompok sitokin yang
25
menghasilkan reaksi fase akut. Tumor necrosis factor diproduksi terutama oleh
makrofag (M1) yang teraktivasi, walaupun dapat diproduksi oleh tipe sel yang
lain seperti CD4+, limfosit, sel natural killer (NK), dan neuron (Bradley, 2008).
Fagosit mononuklear yang teraktivasi adalah sumber utama TNF. Sel T
yang terstimulasi oleh antigen, sel NK, dan sel mast juga mensekresi TNF-α.
Sebagian besar dari sitokin ini diproduksi selama terjadinya infeksi oleh bakteri
gram negatif, yang dikeluarkan oleh lipopolisakarida (LPS). Interferon-γ yang
diproduksi oleh sel T dan sel NK, menguatkan sintesis TNF oleh makrofag yang
terstimulasi oleh LPS (Hoareau dkk., 2010).
Sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
neonatus. Beberapa sitokin dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diaktifkan oleh
monosit dan makrofag, kemudian akan menjadi kaskade patofisiologi sepsis.
Tumor Necrosis Factor- merupakan salah satu sitokin yang berperan penting
dimana berperan terhadap sistem imun dari berbagai sistem organ tubuh manusia.
Kadar TNF-α makin meningkat pada kasus syok septik pada neonatus. Kadar nilai
normal TNF-α pada bayi cukup bulan memiliki nilai rentang 2,05-7,23 pg/ml, dan
bayi kurang bulan usia 32-36 minggu dengan rentang nilai 9,7-20,7 pg/ml
(Dembinski dkk., 2003).
Fungsi fisiologis TNF adalah stimulasi rekruitmen neutrofil dan monosit
ke tempat infeksi. dan aktivasi sel-sel tersebut untuk mengeradikasi mikroba.
Fungsi fisiologis tersebut melalui beberapa cara pada sel endotel vaskular dan
leukosit. Pada kadar rendah, TNF berespon pada leukosit dan endotel dalam
menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF menyebabkan inflamasi
26
sistemik, sedangkan pada kadar tinggi, TNF dapat menyebabkan abnormalitas
patologik syok septik. Konsentrasi TNF dalam serum merupakan prediktor luaran
infeksi bakteri gram negatif yang berat (Pfeffer, 2003).
Salah satu peran biologis utama TNF adalah pertahanan terhadap infeksi
bakteri, virus, dan parasit. Beberapa penelitian membuktikan peranan TNF-
dalam pertahanan sistem imun manusia terhadap infeksi bakteri dengan
mikroorganisme, seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Listeria
monocytogenes. Penelitian lain juga membuktikan peranan penting TNF- pada
infeksi virus dan parasit (Bradley, 2008).
Beberapa fungsi TNF-α yang lain adalah menimbulkan panas, dan respon
fase akut sistemik, merangsang sintesis limfokin, kolagen dan kolagenase,
mengaktifkan sel endotel dan makrofag, sebagai mediator inflamasi
antineoplastik, dan berperan dalam proses katabolik (Kamen, 2000).
Tumor Necrosis Factor-α akan diproduksi intranatal pada kadar yang
cukup tinggi pada bayi kurang bulan, menurun hingga usia 3 hari kehidupan dan
meningkat kembali mencapai kadar yang stabil setelah usia 5 hari pada bayi
kurang bulan dengan usia kehamilan 27-36 minggu. Bayi kurang bulan dengan
usia kehamilan kurang dari 27 minggu memiliki kadar sitokin yang lebih rendah
karena pembentukan sitokin tidak adekuat (Maheshwari dkk.,2014).
Tumor necrosis factor-α merupakan sitokin yang paling dipengaruhi oleh
usia kehamilan dan berat badan bayi. Tumor necrosis factor-α meningkat dalam
beberapa jam setelah paparan stressor, walaupun kadar puncaknya bervariasi pada
bayi kurang bulan dari berbagai penelitian sesuai dengan usia kehamilan. Kadar
27
TNF-α menurun secara progresif dan bermakna dalam 3-7 hari setelah stressor
dihilangkan (Pereira dkk., 2014).
2.4 Interleukin-6
Interleukin 6 (IL-6) merupakan suatu sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh
beberapa sel seperti granulosit, monosit, limfosit, beberapa tipe sel epitel, dan
endotel sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Berbagai jenis mediator inflamasi
dapat menginduksi pelepasan IL-6 seperti TNF-, IL-1, dan endotoksin.
Interleukin-6 berperan sangat penting pada respon imun dan propagasi respon
imun yang didapat melalui induksi dari aktivasi dan proliferasi sel T. Proses ini
menstimulasi sumsum tulang dan kaskade koagulasi, selanjutnya sebagai pirogen
yang poten dapat menstimulasi sintesis protein fase akut dengan spektrum yang
lebih luas pada hepatosit manusia (Rogers dkk., 2002).
Interleukin-6 diidentifikasi sebagai faktor diferensiasi antigen non spesifik
sel B yang menginduksi sel B untuk menghasilkan immunoglobulin dan disebut
juga sebagai B-cell stimulatory factor (BSF-2) (Kishimoto, 2010). Interleukin-6
merupakan hasil produksi dari berbagai sel limfoid dan non-limfoid, serta
mempunyai aktivitas biologis yang sangat luas sehingga dinamakan sitokin
pleiotropik. Sel limfoid yang berperan antara lain sel T, sel B, monosit, fibroblast,
keratinosit, sel endotel, sel mesangial, dan beberapa sel tumor seperti yang terlihat
pada Gambar 2.3.
28
Gambar 2.3
Sintesis interleukin-6 (Naka dkk., 2002)
Sel ini akan menginduksi sel T dan diferensiasi sel T sitotoksik dengan
meningkatkan ekspresi reseptor IL-2 dan produksi IL-2. Interleukin-6 berperan
sinergis dengan IL-3 untuk mendukung pembentukan koloni sel blas dalam
hematopoiesis. Interleukin-6 juga menginduksi diferensiasi makrofag,
megakariosit, dan osteoklas. Pada reaksi fase akut, sitokin ini menstimulasi
hepatosit untuk menghasilkan protein fase akut seperti C reactive protein (CRP),
fibrinogen, α1-antitrypsin, dan serum amyloid A, serta secara simultan menekan
produksi albumin. Keadaan ini menyebabkan leukositosis dan demam ketika diuji
secara in vivo, dan juga berperan sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mesangial
ginjal, keratinosit epidermal, dan berbagai sel tumor (Naka dkk., 2002).
Interleukin-6 merupakan mediator inflamasi neonatus yang penting.
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar IL-6 dalam plasma pada
neonatus dengan sepsis. Penelitian Kashlan dkk. (2000) mendukung penelitian
mengenai peningkatan kadar IL-6 pada kasus korioamnionitis akut yang berat,
29
deciduitis akut, dan vaskulitis korionik. Beberapa penelitian lain juga
menunjukkan peningkatan kadar IL-6 pada awal kasus sepsis neonatus. Penelitian
pada hewan coba menunjukkan kadar maksimum IL-6 tercapai setelah 3,5 jam
dari dimulainya endotoksemia dan 6 jam setelahnya, kadar IL-6 akan menurun
sampai kadar yang sangat rendah. Pada penelitian manusia, IL-6 menunjukkan
peningkatan yang cepat sebagai respon terhadap infeksi dengan kadar puncak
dalam serum terjadi dalam 2 jam, dimana seringkali terjadi sebelum gejala klinis
dan hasil laboratorium seperti high sensitivity CRP (hsCRP) menunjukkan hasil
positif. Kadar IL-6 akan kembali ke kadar awalnya 12-24 jam setelah proses
endotoksemia (Mamouri dkk., 2006; Tapisiz dkk., 2007; Schefold dkk., 2008).
Nilai rujukan normal pada bayi cukup bulan untuk IL-6 serum 12,6–116 pg/ml,
sedangkan pada bayi kurang bulan usia 32-36 minggu adalah 4,1-102,5 pg/ml
(Dembinski dkk., 2003).
Pemeriksaan kadar IL-6 mempunyai sensitivitas 92.3% dan spesifisitas
90.48% pada cut-off point 40.5 pg/ml. Beberapa penelitian menunjukkan cut-off
point yang berbeda untuk kadar IL-6 pada kasus infeksi bakteri tetapi tetap
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang bermakna dalam menentukan
adanya infeksi bakteri yang berujung pada sepsis neonatal awitan dini (Martinez
dkk., 2008; Schefold dkk., 2008; Nishimaki dkk., 2009). Penelitian Kantar dkk.
(2000) menunjukkan peningkatan kadar IL-6 yang signifikan pada onset sepsis
yang terjadi pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan kontrol. Interleukin-6
merupakan sitokin yang penting dari respon host terhadap infeksi awal. Kadar IL-
6 meningkat tajam setelah terpapar produk bakteri dan mendahului peningkatan
30
C-reactive protein (CRP). Interleukin-6 darah tali pusat secara konsisten terbukti
menjadi penanda sensitif untuk mendiagnosis infeksi neonatal dalam waktu 72
jam kelahiran dengan sensitifitas dan nilai prediktif negatif sekitar 87-100% dan
93-100% (Kantar dkk., 2000). Windiani (2012) menemukan bahwa kadar IL-6
lebih rendah pada bayi kurang bulan berat lahir rendah sesuai masa kehamilan
yang mendapatkan pijat bayi selama 5 hari.
Pada kasus sepsis neonatal awitan lambat, kadar IL-6 menurun secara
progresif seiring dengan waktu dan keberhasilan terapi. Kadar IL-6 pada
kelompok infeksi secara signifikan meningkat dibandingkan kelompok tidak
terinfeksi pada hari ke 0-4, seperti pada Gambar 2.4 (Ng dkk., 1997).
Gambar 2.4
Konsentrasi IL-6 selama 7 hari pertama (Ng dkk., 1997)
Pada keadaan stres mekanisme neuro-imun-endokrin menjadi aktif. Stres
yang terjadi akan meningkatkan kadar hormon stres seperti kortisol dan
norepinefrin. Rangsangan stres juga meningkatkan kerja sistem imun yang akan
memicu pelepasan sitokin pro inflamasi seperti IL-6 ke dalam sirkulasi. Proses
31
sebaliknya akan terjadi pada saat rangsangan stres dihentikan (Akbar dan Cook,
2006).
2.5 Perawatan Konvensional BBLR
Perawatan BBLR secara konvensional biasanya dengan menggunakan
inkubator. Inkubator merupakan salah satu alat medis yang berfungsi untuk
menjaga suhu sebuah ruangan supaya suhu tetap stabil. Inkubator berfungsi untuk
menjaga stabilitas suhu tubuh bayi. Suhu inkubator dapat diatur sehingga cukup
hangat bagi bayi yang ada di dalamnya. Suhu inkubator disesuaikan dengan berat
lahir dan usia kehamilan. Inkubator bayi memiliki beberapa parameter yaitu
temperatur, kelembaban, air flow, dan noise. Inkubator mempunyai tingkat
kelayakan kebocoran suhu luar ± 1°C, tingkat kelembaban ≥ 70%, laju aliran
udara kurang dari 0,35 ms, dan tingkat kebisingan kurang dari 60 dBA.
Persyaratan tersebut harus terpenuhi untuk mendapatkan kriteria keselamatan dan
keamanan dalam penggunaannya (Baker, 2000).
Perawatan konvensional memberikan keuntungan dengan memberikan
lingkungan yang hangat. Inkubator dapat meminimalkan kehilangan air
transepidermal karena lingkungan sekitar bayi relatif lebih sempit sehingga
kelembaban dan kehangatan yang diberikan dapat tetap terjaga. Kelembaban
udara yang dihasilkan di dalam inkubator relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
udara luar. Keadaan ini menyebabkan panas yang dihasilkan oleh inkubator tidak
mudah hilang. Inkubator dapat mengurangi kehilangan panas dengan cara
konduksi maupun radiasi apabila bayi diselimuti (Murphy-Oikonen, 2013).
32
Inkubator juga dapat memudahkan pengamatan bayi di dalamnya karena
inkubator memiliki dinding transparan dan tembus pandang (Zecca dkk., 2010).
Perawatan konvensional selain mempunyai keuntungan juga mempunyai
kekurangan. Kekurangan perawatan konvensional adalah tidak adanya interaksi
secara langsung antara bayi dengan ibu karena perawatan bayi dipisahkan dari
ibunya. Pemisahan bayi dari ibunya akan menghambat kontak langsung kulit bayi
ke kulit ibunya, sehingga bayi lebih mudah mengalami stres. Perawatan
konvensional akan membatasi segala jenis pemeriksaan, tindakan, maupun
prosedur yang akan dilakukan terhadap bayi (Murphy-Oikonen, 2013).
Kekurangan lain perawatan konvensional adalah biayanya mahal, dan diperlukan
tenaga mekanik khusus untuk merawat serta membersihkan inkubator. Inkubator
memerlukan sumber listrik untuk menyediakan panas, sehingga apabila tidak ada
sumber listrik maka inkubator tidak dapat bekerja optimal. Bayi di dalam
inkubator memerlukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital. Bayi dapat
mengalami risiko hipertermia akibat panas yang dihasilkan oleh mesin inkubator
(Amadi dkk., 2010).
2.6 Perawatan Metode Kanguru
Perawatan metode kanguru merupakan suatu cara yang efektif dalam
memenuhi kebutuhan bayi akan kehangatan, menyusui, proteksi terhadap infeksi,
stimulasi, keamanan, dan kasih sayang. Perawatan metode kanguru pertama kali
diperkenalkan oleh Edgar Rey pada tahun 1978 di Instituto Materno Infantil di
Santa Fe, Bogota, Colombia, sebagai alternatif tatalaksana perawatan
33
konvensional pada BBLR. Latar belakang dikembangkannya PMK pada awalnya
karena kurangnya fasilitas inkubator, kejadian infeksi nosokomial yang tinggi,
dan pasien neonatus yang terlantar selama perawatan di rumah sakit setempat
(WHO, 2003).
Hasil penelitian dan implementasi PMK selama dua dekade ini
menunjukkan bahwa PMK berfungsi lebih dari sekedar alternatif dari perawatan
konvensional. Perawatan metode kanguru meningkatkan efektivitas dan efisiensi
dalam perawatan BBLR terutama dalam hal termoregulasi yang lebih baik,
menyusui, dan membentuk ikatan kasih sayang ibu dan bayi tanpa memandang
latar belakang, berat lahir, usia kehamilan, dan kondisi klinis (WHO, 2003).
2.6.1 Definisi dan komponen PMK
Perawatan metode kanguru adalah perawatan yang dilakukan pada BBLR
dengan melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-
skin contact). Metode ini merupakan suatu inovasi yang sangat tepat dan mudah
diimplementasikan dalam meningkatkan kesehatan dan keselamatan BBLR
(Departemen Kesehatan RI, 2008).
Esensi dari PMK meliputi:
1. Kontak badan langsung (kulit ke kulit) antara ibu dengan bayinya sejak dini
dan berkelanjutan.
2. Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.
3. Memulai PMK di rumah sakit, kemudian dapat dilanjutkan di rumah.
4. Bayi kecil dapat dipulangkan lebih dini.
34
5. Dukungan dan tindak lanjut yang adekuat selama perawatan di rumah.
6. Metode yang sederhana dan manusiawi, namun efektif untuk menghindari
berbagai stres yang dialami BBLR selama perawatan di ruang perawatan
intensif.
Pada dasarnya, PMK terdiri dari 4 komponen, yaitu kangaroo position,
kangaroo nutrition, kangaroo support, dan kangaroo discharge (WHO, 2003).
2.6.1.1 Kangaroo position
Bayi dalam keadaan telanjang, hanya mengenakan popok, topi hangat, dan
kaos kaki. Kepala bayi diletakkan di antara payudara ibu. Dalam posisi demikian
tubuh ibu dan bayi diikat dengan kain selimut atau kain berbahan elastis untuk
menahan badan bayi agar tidak jatuh. Prinsipnya semakin luas permukaan kulit
bayi yang bersentuhan dengan kulit ibu semakin baik (skin to skin contact)
(WHO, 2003). Posisi bayi dalam PMK dapat dilihat seperti pada gambar 2.5.
Gambar 2.5
Posisi bayi saat menjalani program PMK
35
2.6.1.2 Kangaroo nutrition
Perawatan metode kanguru merangsang bayi menyusu, sehingga ibu
berhasil menyusui bayinya. Bayi kurang bulan dengan usia kehamilan lebih muda
dapat memulai proses breastfeeding. Perawatan metode kanguru juga dapat
meningkatkan volume ASI (WHO, 2003).
2.6.1.3 Kangaroo support
Perawatan metode kanguru memerlukan dukungan semua pihak, baik ibu,
seluruh keluarga, tenaga medis, maupun komunitas (WHO, 2003).
2.6.1.4 Kangaroo discharge
Bayi berat lahir rendah diharapkan dapat pulang ke rumah lebih cepat
dengan PMK dan diharapkan mampu melanjutkan PMK di rumah (WHO, 2003).
2.6.2 Pelaksanaan PMK
2.6.2.1 Persyaratan PMK
Perawatan metode kanguru dalam penerapan dan pelaksanaannya harus
difasilitasi oleh pembuat kebijakan kesehatan yang mendukung pada semua
tingkat pelayanan. Kebijakan nasional diperlukan untuk menjamin integrasi yang
efektif dari sistem kesehatan, pendidikan serta pelatihan yang ada. Setiap fasilitas
kesehatan yang menerapkan PMK harus memiliki kebijakan dan petunjuk tertulis
yang disesuaikan dengan kondisi dan budaya lokal (anonim, 2008).
Perawatan metode kanguru tidak memerlukan fasilitas khusus, dan tidak
memerlukan tambahan tenaga yang melebihi dari perawatan dengan
menggunakan metode konvensional. Petugas kesehatan yang ada seperti dokter
36
dan perawat harus memiliki pelatihan dasar tentang pemberian ASI dan pelatihan
yang memadai pada semua aspek PMK (anonim, 2008).
Beberapa kriteria harus dipenuhi oleh bayi untuk dapat dilakukan PMK.
Kriteria tersebut diantaranya adalah kondisi bayi sudah stabil dalam arti semua
keadaan patologis telah teratasi, berat lahir antara 1500 sampai 2500 gram, grafik
berat badan cenderung naik, dan respon terhadap rangsangan baik. Kriteria lain
adalah suhu tubuh bayi stabil antara 36,5-37,5°C, bayi sudah mampu menerima
makanan per oral (refleks mengisap dan menelan baik), dan ibu atau pengganti
ibu mau ikut serta dalam perawatan bayi dengan PMK (Perinasia, 2001).
2.6.2.2 Persiapan
Persiapan PMK mencakup: persiapan ibu bayi, tenaga kesehatan terlatih
untuk mengajarkan dan memantau pelaksanaannya, dan lingkungan yang
kondusif. Pada masa persiapan, ibu belajar untuk memahami tujuan dan teknik
PMK sehingga segera setelah BBLR stabil dapat segera memperoleh manfaat
PMK yang mencakup termoregulasi yang lebih baik, menyusui, dan membentuk
ikatan kasih sayang ibu dan bayi (KMC India, 2004). Perawatan metode kanguru
dapat diwakilkan oleh ayah atau pengasuh yang akan merawat bayi selama ibu
berhalangan. Ibu bayi harus mendapatkan dukungan penuh dari keluarga maupun
tenaga kesehatan dan berlatih untuk mendiskusikan kemungkinan apa saja yang
berkaitan dengan perawatan bayi dengan PMK. Tenaga kesehatan yang berperan
dalam PMK harus memahami dan menguasai dasar-dasar PMK yang terdiri atas:
1. Menentukan kapan dan bagaimana memulai PMK.
2. Memposisikan bayi antara dan selama menyusui.
37
3. Mengajarkan teknik menyusui bayi kurang bulan dan BBLR.
4. Menjelaskan dan mengimplementasikan teknik alternatif sampai ibu
memungkinkan untuk menyusui langsung.
5. Terlibat dalam segala deteksi dini masalah selama PMK, menyadari tanda
bahaya, memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan, dan pemantauan
selama perawatan.
6. Memotivasi seluruh keluarga dalam melakukan PMK.
Lingkungan yang kondusif untuk implementasi PMK dapat dilakukan di
berbagai fasilitas kesehatan selama fasilitas tersebut memiliki tenaga kesehatan
terlatih untuk pelaksanaan PMK. Klinik bersalin dan rumah sakit yang
mendukung perawatan PMK harus memiliki pengaturan tempat yang kondusif
bagi ibu dalam melakukan PMK. Ruangan yang dibutuhkan sebaiknya nyaman
dan bersih (suhu ruangan 22-24oC), memiliki tempat tidur, kursi untuk menyusui,
serta bantal (Perinasia, 2001).
2.6.2.3 Pelaksanaan
Pelaksanaan PMK pada BBLR harus memperhatikan 3 komponen utama
yakni kontak kulit ke kulit, pemberian ASI eksklusif, dan kenyamanan atau aspek
psikologis. Prinsip PMK adalah ibu melakukan PMK mempertahankan kontak
kulit ke kulit selama mungkin. Ibu dapat memakai pakaian apapun yang nyaman
dan mampu menjaga kehangatan selama kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi.
Pemakaian “kantong kanguru“ bayi, merupakan satu-satunya alat khusus yang
diperlukan dalam PMK (Gambar 2.6). Kantong ini dapat bervariasi bentuknya,
tetapi tetap mempunyai fungsi yang sama untuk membantu kontak kulit ke kulit
38
antara ibu dan bayi agar efektif. Selain pakaian khusus, dapat pula modifikasi dari
pakaian biasa dengan syarat nyaman dan hangat pada suhu ruangan, halus,
panjang ± 1 meter, dilipat diagonal dan diberi simpul pengaman (WHO, 2003).
Gambar 2.6
Kantong kanguru untuk membantu kontak kulit ke kulit
ibu dan bayi (WHO, 2003)
Hampir setiap bayi kecil dapat dirawat dengan PMK. Perawatan metode
kanguru pada bayi kecil dapat dilakukan dalam dua cara:
1. Perawatan metode kanguru intermiten, yaitu PMK tidak dilakukan
sepanjang waktu tetapi hanya dilakukan jika ibu mengunjungi bayinya
yang masih berada dalam perawatan konvensional dengan durasi minimal
satu jam secara terus-menerus dalam sehari. Metode ini dilakukan di
fasilitas Unit Perawatan Khusus (level II) dan Intensif (level III).
Perawatan metode kanguru intermiten memungkinkan bayi mendapatkan
manfaat PMK sedini mungkin walaupun masih memerlukan alat bantu
medis seperti terlihat pada Gambar 2.7.
39
Gambar 2.7
Ibu melakukan PMK intermiten
2. Perawatan metode kanguru kontinyu adalah perawatan metode kanguru
yang dilakukan lebih dari 20 jam dalam sehari (Bergh dkk., 2012).
Bayi dengan penyakit berat atau bayi yang membutuhkan perawatan
khusus dapat menunggu sampai sembuh sebelum dilaksanakan PMK terus-
menerus (kontinyu). Perawatan metode kanguru intermiten dapat dimulai pada
bayi dalam proses penyembuhan tetapi masih memerlukan pengobatan medis
(misalnya mendapat cairan parenteral, tambahan oksigen dengan konsentrasi
rendah). Perawatan metode kanguru kontinyu syaratnya adalah kondisi bayi harus
stabil. Bayi bernapas secara alami tanpa bantuan oksigen. Kemampuan minum
(seperti menghisap dan menelan) bukan merupakan persyaratan utama, karena
PMK sudah dapat dimulai meskipun pemberian minumnya dengan menggunakan
pipa lambung (WHO, 2003).
Pada suhu lingkungan 22-24oC, bayi tidak memakai pakaian kecuali
popok, topi, dan kaos kaki selama menjalani PMK. Bila suhu lingkungan kurang
40
dari 22oC, bayi memakai pakaian katun tanpa lengan yang terbuka pada bagian
depan tubuh sehingga memungkinkan untuk kontak kulit ke kulit dengan ibu
(Gambar 2.8). Pakaian ibu dan bayi, serta posisi saat menggendong bayi selama
PMK harus tetap memberikan ruang yang cukup bagi ibu untuk bergerak bebas
tetapi tetap mampu mempertahankan kualitas kontak kulit ke kulit demi menjaga
kehangatan bayi (WHO, 2003).
Gambar 2.8
Pakaian bayi selama menjalani PMK (WHO, 2003)
2.6.2.4 Pemantauan
Selama bayi berada dalam dekapan ibu, pemantauan suhu aksila bayi perlu
dilakukan setiap 6 jam selama 3 hari pertama PMK. Selanjutnya pengukuran
dilakukan 2 kali sehari. Ibu juga perlu memantau pernapasan bayi. Pernapasan
normal bayi kurang bulan berkisar 40-60 kali per menit. Bayi yang telah mampu
mempertahankan suhu tubuh stabil, dan mengalami peningkatan berat badan
selama menjalani PMK diijinkan untuk melanjutkan PMK di rumah. Petugas
kesehatan harus melakukan pemantauan ketat yang dapat dimulai dari pemantauan
harian, mingguan, dan bulanan. Petugas kesehatan melakukan pemantauan ke
41
rumah untuk menilai kondisi rumah, dukungan keluarga, dan kemampuan
keluarga dalam melaksanakan PMK secara mandiri di rumah. Pemantauan dapat
menggunakan formulir berisi kemampuan minum, berat badan (grafik Fenton),
dan tanda vital (KMC India, 2004).
2.7 Manfaat Perawatan Metode Kanguru
2.7.1 Manfaat PMK pada BBLR
Manfaat kontak kulit ke kulit dalam PMK mencakup stabilitas
kardiorespirasi, penurunan episode apnu dan pernapasan periodik, proteksi
termoregulasi, dan sinkronisasi suhu tubuh ibu dan bayi. Pola tidur bayi menjadi
lebih baik, peningkatan durasi dan kualitas menyusui, peningkatan berat badan,
penurunan lama rawat, dan penghematan biaya perawatan (WHO, 2003).
Bayi yang mendapatkan PMK cenderung memiliki organisasi perilaku dan
fisiologi yang lebih baik, sehingga menurunkan kadar hormon stres dan
menyeimbangkan reaktivitas SSP. Keadaan ini disebabkan oleh adanya perbaikan
dalam defisit imunologi, kejadian infeksi, dan efek potensial analgesia. Penurunan
sekresi hormon stres juga telah dijelaskan pada ibu yang menjalani PMK dengan
kontak kulit ke kulit, dan memberikan hasil positif berupa bayi menjadi lebih
tenang dan tidur dengan baik, sehingga pertumbuhan dan perkembangan
neurofisiologinya lebih baik (Agudelo dkk., 2011). Ludington-Hoe dkk. (2004)
menjelaskan bahwa melalui PMK fisiologis tubuh neonatus lebih stabil, ditandai
dengan suhu tubuh, denyut jantung stabil dan frekuensi pernapasan lebih teratur,
sehingga episode apnu berkurang 75%. Saturasi oksigen didapatkan stabil pada
42
bayi dengan PMK, suhu tubuh lebih stabil karena tidak ada stres dingin (Acolet
dkk., 1989), waktu tidur lebih panjang, pemakaian kalori lebih hemat, kenaikan
berat badan lebih cepat (Charpak dkk., 2001), dan perkembangan otak lebih baik
(Feldman dkk., 2002). Penelitian lain menemukan bahwa BBLR lebih cepat
mencapai suhu 36,5°C terutama dalam waktu satu jam pertama (Charpak dkk.,
2005). Bayi akan jarang menangis (Ludington-Hoe dkk., 2002), lebih berhasil
menyusu langsung pada ibu, durasi menyusu diperpanjang, serta lama perawatan
di rumah sakit lebih pendek (Charpak dkk., 2001).
Stres dan nyeri juga berkurang seiring dengan dilakukannya PMK pada
BBLR. Pada penelitian Johnston dkk. (2008) didapatkan respon nyeri fisiologis
dan perilaku BBLR mengalami perbaikan ditandai dengan waktu pemulihan lebih
singkat pada uji tusuk tumit. Penelitian lain mendapatkan hubungan antara
peningkatan kadar kortisol seiring dengan peningkatan nyeri pada neonatus
(Grunau dkk., 2013).
Infeksi yang merupakan salah satu masalah utama pada BBLR mengalami
penurunan dengan adanya program PMK. Menurut penelitian Charpak dkk.
(2005) BBLR yang dirawat di rumah sakit dan mendapat PMK memiliki risiko
infeksi nosokomial dan penyakit berat lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan perawatan dengan PMK. Pernyataan ini didukung oleh penelitian
London dkk. (2006) yang menemukan bahwa, bayi yang mendapat PMK memiliki
masa rawat lebih pendek dengan risiko kematian lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak mendapatkan PMK. Studi klinis acak mendapatkan bahwa
kelangsungan hidup BBLR lebih cepat membaik pada kelompok PMK daripada
43
kelompok konvensional pada 12 jam pertama dan seterusnya (Worku dan Kassie,
2005).
2.7.2 Manfaat PMK bagi ibu
Penelitian di Cina melaporkan bahwa PMK mempermudah pemberian
ASI. Ibu lebih percaya diri dalam merawat bayi. Hubungan lekat ibu-bayi lebih
baik, dan ibu sayang kepada bayinya. Pengaruh psikologis PMK memberi
ketenangan bagi ibu dan keluarga (Yu dkk., 2008). Penelitian lain juga
melaporkan adanya peningkatan produksi ASI, lama menyusui, dan kesuksesan
dalam menyusui, serta mengurangi penelantaran anak (Mohrbacher dan Stock,
1997; Jeffries, 2012). Perawatan metode kanguru membantu ibu dalam
mengembangkan dan memperkuat kepercayaan diri, dan perilaku ibu lebih
sensitif, serta lebih perhatian dalam mengasuh BBLR (WHO, 2003).
2.7.3 Manfaat PMK bagi ayah
Program PMK mengajak ayah memainkan peranan yang lebih besar dalam
perawatan bayinya. Perawatan metode kanguru akan lebih meningkatkan
hubungan antara ayah dengan bayinya (anonim, 2008).
2.8. Peranan PMK menurunkan kadar kortisol, TNF-α, dan IL-6
2.8.1 Peranan PMK menurunkan kadar kortisol
Perawatan metode kanguru merupakan perawatan multimodal. Perawatan
metode kanguru memberikan stimulasi fisik berupa sentuhan, tekanan, dan
44
kehangatan akibat kontak langsung kulit ibu dan bayi. Perawatan metode kanguru
memberikan stimulasi olfaktori karena puting susu ibu memiliki bau yang sama
seperti dalam kandungan, sehingga oksitosin akan dilepaskan oleh susunan saraf
pusat bayi pada saat menyusu. Stimulasi auditori dan visual pada saat PMK akan
memberikan rasa nyaman pada bayi (Nagasawa, 2012).
Interaksi semua stimulasi tersebut akan bekerja melalui sistem saraf pusat
dan aksis HPA, kemudian memengaruhi sistem imun secara dua arah (bi-
directional). Bayi kurang bulan dengan berat lahir rendah memiliki tingkat stres
tinggi, dan berdampak pada kadar kortisol yang lebih tinggi dilepaskan dalam
sirkulasi (Morelius, 2006). Kenyamanan dan penurunan stres pada BBLR akan
menurunkan aktivasi hipofisis anterior dan korteks adrenal sehingga kortisol yang
dilepaskan dalam sirkulasi akan menurun. Penurunan kortisol perifer
menyebabkan pelepasan sitokin pro-inflamasi dihambat. Sitokin pro-inflamasi
yang menurun akan menyebabkan berkurangnya pelepasan CRF, kemudian akan
menurunkan pelepasan ACTH oleh hipofisis anterior sehingga pelepasan kortisol
ke sirkulasi dihambat (Glaser dan Glaster, 2005). Sebaliknya, penurunan CRF dan
ACTH menyebabkan menurunnya pelepasan kortikosteroid akan menyebabkan
supresi sinyal ke sel imun tidak terjadi, mengakibatkan jaringan limfoid
menurunkan aktivitas sel T, sehingga kadar IL-1 dan IL-6 menurun (Akbar dan
Cook, 2006).
45
2.8.2 Peranan PMK menurunkan kadar TNF-α
Tubuh manusia secara umum akan berusaha mempertahankan homeostasis
pada saat terjadi stres. Komponen inflamasi dari sistem imun tubuh merupakan
respon pertahanan tubuh saat mengalami stres. Proses ini diperantarai oleh sitokin
pro-inflamasi seperti IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, dan TNF-α (Muscatel dan Naomi,
2012).
Tumor necrotizing factor-α adalah sitokin fase akut yang diproduksi
terutama oleh makrofag yang teraktivasi. Sel T teraktivasi juga akan mensekresi
TNF-α ke dalam sirkulasi. Fungsi fisiologis dari TNF-α adalah stimulasi
rekruitmen neutrofil dan monosit dalam kejadian infeksi. Sekresi TNF-α akan
menimbulkan panas, merangsang sintesis limfokin, kolagen, kolagenase,
mengaktifkan sel endotel dan makrofag, dan berperan dalam proses katabolik
(Kamen, 2000).
Perawatan metode kanguru menurunkan stres pada BKB-BBLR.
Penurunan stres akan berakibat pada menurunnya sitokin pro-inflamasi termasuk
TNF-α. Tumor necrosis factor-α yang rendah akan mempercepat maturasi sistem
imun, menurunkan katabolisme, dan menurunkan kejadian glukoneogenesis
(Kamen, 2000).
2.8.3 Peranan PMK menurunkan kadar IL-6
Bayi kurang bulan dan berat lahir rendah mengalami defisiensi sistem
imun. Respon inflamasi pada BKB-BBLR mengalami imaturitas dan
ketidakmampuan menjalankan fungsinya sebagai sistem pertahanan tubuh,
46
terutama pada saat terjadi infeksi. Pada masa neonatus, terjadi defisiensi limfosit
T akibat proliferasi yang rendah mengakibatkan penurunan aktivitas sitosolik dan
produksi sitokin abnormal (Garcia dkk., 2000).
Stres yang dialami BKB-BBLR pada masa neonatus akan menginduksi
perubahan regulasi sistem imun melalui perubahan produksi sitokin pro-inflamasi.
Interleukin-6 akan dilepaskan ke sirkulasi dalam jumlah besar dan memengaruhi
banyak sel target yang berbeda. Interleukin-6 merupakan stimulator poten
pelepasan kortikosteroid adrenal melalui CRH. Interleukin-6 yang beredar dalam
sirkulasi akan berikatan dengan reseptor membran IL-6 spesifik, dan
mengaktifkan transducer glikoprotein 130 (gp 130), kemudian mengaktifkan
phosphoinositide 3-kinase, protein kinase C-delta, dan janus kinase,
mengakibatkan BKB-BBLR memiliki ambang nyeri yang rendah. Nyeri
kemudian akan memicu pelepasan IL-6 lebih banyak ke dalam sirkulasi
(Svensson, 2010).
Interleukin-6 merupakan adipokin yang terlibat dalam inflamasi sistemik.
Interleukin-6 dihasilkan oleh beberapa sel seperti granulosit, limfosit, dan
beberapa sel epitel dan endotel. Mediator inflamasi lainnya seperti TNF-α,
endotoksin, dan IL-1 juga dapat menginduksi pelepasan IL-6 ke dalam sirkulasi
(Rogers dkk., 2002).
Perawatan metode kanguru merupakan suatu cara yang efektif dalam
memenuhi kebutuhan bayi akan kehangatan, menyusui, proteksi terhadap infeksi,
stimulasi, keamanan, dan kasih sayang (WHO,2003). Perawatan metode kanguru
akan menyebabkan peningkatan kenyamanan pada bayi. Kenyamanan akan
47
menurunkan tingkat stres, dan menurunkan aktivasi sistem imun melalui aksis
HPA. Perawatan metode kanguru akan menyebabkan penurunan kadar IL-6
sehingga stimulasi terhadap aksis HPA dan ACTH akan menurun dan pelepasan
kortisol akan menurun dalam sirkulasi. Penurunan kadar kortisol dalam sirkulasi,
sebaliknya akan menyebabkan jaringan limfoid menurunan aktivitas sel T,
kemudian menurunkan produksi IL-6. Jalur stimulasi sitokin pro-inflamasi juga
dapat melalui faktor transkripsi pro-inflamasi NFkB yang mengatur aktivitas sel
yang memproduksi sel imunitas termasuk interleukin (Bradley, 2008).