15
BAB II
PEMIKIRAN MUHAMMAD IBNU ABDUL WAHHAB
A. Biografi Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
1. Latar Belakang Pemikiran
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, lengkapnya Syaikh Al Islam
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Al Masyarif At Tamimi
Al Hanbali An Najed,1 lahir di kampung Uyainah, Najed 70 km sebelah
barat daya Riyadh, Arab Saudi.2 Dia berasal dari keluarga yang sangat
terhormat dan terpelajar. Ayahnya Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman
adalah ketua jabatan agama setempat. Sedang kakeknya, Syaikh Sulaiman
bin Ali, mufti besar, tempat masyarakat Najed menanyakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan masalah agama. Realita ini tidak
mengherankan, ketika kelak Ibnu Abdul Wahhab besar menjadi ulama
tangguh seperti kakeknya.3
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab tumbuh sebagai orang yang
cukup cerdas, mampu menghafalkan Al Qur’an dalam usia yang sangat
muda, 10 tahun. Ia juga banyak membaca buku-buku tafsir, hadits dan
fiqh. Sejak awal Ibnu Abdul Wahhab sangat tertarik pada karya-karya
1 Adi Nugroho. adi-oke2 @ yahoo.com, hlm. 1 2 Najed adalah sebuah negeri atau kota di jazirah Arab yang masih murni tingkat
keIslamannya, sehingga tangan kekuasaan Turki Usmani yang menguasai Arab Saudi dan Mesir pada saat itu tidak banyak menyentuhnya. Lihat : Suharsono. 1992. Gerakan Intelektual, Ijtihad untuk Masa Depan Umat. Yogyakarta : Al Islamiyah, hlm. 50.
3 Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. 2000. Tegakkan Tauhid, Tumbangkan Syirik. Muhammad Muhaimin ( Penerjemah ). Yogyakarta : Mitra Pustaka, hlm. ix.
16
yang disusun oleh para ulama sebelumnya, terutama karya Ibnu Taimiyah
(w.1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah. Hampir semua isi
kitab-kitab karya ulama tersebut dari awal sampai akhir dapat dipelajari
dan dikuasainya.4
Alur pendidikan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dimulai dengan
berguru pada ayahnya, yang sangat terpengaruh madzhab Hanbali (w.
885). Kemudian Ia melanjutkan pelajarannya ke Madinah dan berguru
pada Syaikh Sulaiman Al Kurdi (w.1780) dan Muhammad Hayyat Al
Sindi (W.1749)5. Dari kedua gurunya diduga Ibnu Abdul Wahhab
mengetahui kenyataan-kenyataan bid’ah dan khurafat yang banyak
terdapat di kalangan kaum muslimin waktu itu, dimana ajaran-ajaran Islam
yang murni (pure) banyak disimpangkan.
Selanjutnya Muhammad Ibnu Abdul Wahhab juga banyak
melakukan perjalanan ke berbagai negara dalam rangka memperdalam
studi. Diantaranya di Basrah selama empat tahun, disana ia menjadi tutor
di rumah Qadli Husain. Di Baghdad selama lima tahun dan sempat
menikah dengan seorang perempuan kaya, yang wafat meninggalkan
kekayaan kurang lebih 2000 Dinar. Kemudian satu tahun di Kurdistan, di
Hamazan dua tahun, selanjutnya tinggal agak lama untuk mempelajari
4 Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Tegakkan Tauhid…, hlm. x. 5 Disebutkan bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab diperkenalkan oleh gurunya,
Abdullah bin Ibrahim bin Sayf bin Najed kepada Muhammad Hayyat Al Sind yang dikenal baik oleh keluarganya. Dia kemudian belajar bersama dan menemani Muhammad Hayat. Lebih jauh lagi menurut Ismail Muhammad Al Anshori, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab di dalam salah satu isnad hadisnya meriwayatkan bahwa ia juga belajar di Madinah bersama Ali “Affandi” bin Shadiq bin Ibrahim Al Dhaqhistani ( w.1785). Di samping itu dalam bagan inti jaringan ulama abad 18, jika ditarik garis guru dan murid, bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab juga berguru pada Abdullah Al Bashari (w.1722). Baca : Azyumardi Azra.1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaan Nusantara abad 17 dan 18. Bandung : Mizan, hlm. 135-136.
17
filsafat dan tasawuf di Isfahan selama empat tahun. Terakhir satu tahun
tinggal di kota Kum.6
Dalam kitab Fitnatul Wahhabiah karangan Ahmad Zaini Dahlan
yang dikutip Huseyn Hilmi Isik, seorang Sunni Turki. Seluruh kunjungan
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab ke Basyrah, Baghdad, Iran, India dan
Damaskus dengan alasan untuk berdagang, namun sebenarnya dalam
rangka belajar. Dari sini Muhammad Ibnu Abdul Wahhab banyak
menemukan buku-buku yang ditulis oleh Ibnu Taimiyah (w.1328). Selain
itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mengunjungi kuliah ulama-ulama Hanbali di
Madinah dan Damaskus.7
Ketertarikan Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang dalam terhadap
ajaran Ahmad bin Hanbal 8dan Ibnu Taimiyah 9kiranya sangat meresap
6 M.H. Muhaimin. 1999. Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran–Aliran. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar dan FT IAIN Walisongo, hlm. 171. 7 Huseyn Hilmi Isik. 1986. Perjuangan Kaum Sunni Modern. Bandung : Risalah, hlm.
71. 8 Ahmad bin Hanbal, lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal lahir di Baghdad,
bulan Rabiul Awal 164 H / November 780 M dan wafat ditempat sama, 12 Rabiul Awal 241 H / 31 Juli 855 M. Hanbali dikenal sebagai pendiri madzab Hanabilah, sekaligus murid terpandai dan tercerdas diantara murid-murid Imam Syafii. Hanbali juga meneruskan metode As Syafii khususnya yang berkenaan dengan paham “riwayah”. Pada waktu kecil, Hanbali belajar dari beberapa daerah, seperti Baghdad, Syam, Hijaz dan Yaman. Sampai sekarang madzabnya masih eksis dam memikat pengikut yang banyak, khususnya Arab Saudi . Baca: Nurkholis Madjid. 1993. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina, hlm. 170 dan Yusron Asmuni.1993. Ilmu Tauhid. Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm. 150 .
9 Abu Abbas Ahmad bin Abdu Al Halim bin Abdu Al Salam Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah lahir di Haran, dekat Damaskus, Suria pada 661 H/1263 M. Ayahnya Abu Al Mahasin Abdu Al Halama dan kakeknya Syaikh Al Islam Abu Al Barakat Abdu Al Salam bin Abdullah, sama-sama ulama terkemuka dari madzab Hanbali. Sebagai pengikut madzab Hanbali yang tegar dan berwawasan agama luas, Taimiyah sangat gigih membela dibukanya pintu ijtihad, menentang keras bid’ah, khurafat, mistisme sufi dan berusaha menghancurkan sisa-sisa filsafat dalam ilmu mantiq serta mengembangkan pandangan yang lebih empirik. Karena pandangannya yang keras dan menentang arus, Taimiyah berkali-kali masuk penjara bahkan meninggal dalam tempat tersebut pada tahun 727 H / 1328 M. Saat beliau dipercaya sebagai maha guru dibidang hadis menggantikan ayahnya, Taimiyah dituduh ateis, karena fatwa-fatwanya yang bertentangan dengan pendapat sementara madzab yang lain, khususnya Syafii. Fatwa-fatwa tersebut antara lain tentang thalaq, larangan ziarah kubur dan ketidak sukaan pada paham mistik. Kitab-kitab karya
18
dalam dirinya. Deskripsi ini menurut Adi Nugroho menjadikan
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bagai duplikat Ibnu Taimiyah,
khususnya dalam aspek pemurnian tauhid. Semua yang idam-idamkam
Ibnu Taimiyah semasa hidupnya telah terbalas dengan kejayaan Ibnu
Abdul Wahhab.10
Gambaran lain yang menunjukan kesamaan dengan Taimiyah
terletak pada upaya pembaharuan Ibnu Abdul Wahhab. Ia berusaha
menunjukkan penafsiran yang sama atas keduanya dan menggemakan
kembali sumber-sumber asli Islam (Al Qur’an dan Sunah) serta mengkikis
habis tahayul, khurofat dan bid’ah.11
Rangkaian panjang perjalanan Ibnu Abdul Wahhab menuntut ilmu
dari satu kota ke kota lain, dari satu aliran ke aliran, baik fiqh, tauhid, sufi
dan filsafat, telah memperkuat wawasan pemikirannya. Keinginan
membangkitkan Islam sesuai ajaran Hanbali dan Taimiyah semakin
berkobar manakala melihat rusak dan kotornya aqidah Islam yang terjadi
pada masyarakat Arab saat itu.
Sufisme merupakan satu doktrin yang ditentang oleh Muhammad
Ibnu Abdul Wahhab, apalagi konsep kesatuan wujud (Wahdad Al Wujud )
beliau diantaranya Al Syiyasah Al Syariyah fi Islah Ar Rai wa Ar Rai’yah., Muwafaqotu Sharihul Ma’qulli Shahihil Manqué, Al Jawabus Sahih liman Baddala Dinal Masih, Ar Rasail wal Masail, Al Aqidatul Waasitiyah.. Baca : H.M. Muhaimin. Ilmu Kalam…, hlm. 165-168, Suharsono.. Gerakan Intelektual…, hlm. 45-48. Nurkholis Madjid. Islam Doktrin…, hlm. 173 dan Munawir Sjadzali. 1991. Islam dan Tata Negara. Jakarta : Universitas Indonesia, hlm 79-82.
10Adi Nugroho, adi-oke2 @…, hlm. 2 11 David Sagiv.1997.Islam Otentisitas Liberalisme. Yudian W. Asmin (Penerjemah)
Yogyakarta : LKIS, hlm. 7.
19
Al Arabi (w. 638 H/1240 M).12 Selain masalah aqidah dan sufisme,
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab juga berusaha meluruskan kajian fiqh.
Menentang otorita aliran zaman pertengahan dan hanya mengakui dua
otorita saja (Al Qur’an dan Sunah Nabi) bersama preseden para sahabat.
Akan tetapi karena hadits dikumpulkan secara otoritatif pada abad 3H/9M.
Maka pengikut Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dikemudian hari terpaksa
mengubah pandangan mereka dan menerima kekuatan ijma’ pada tiga
abad pertama Islam.
Ijtihad yang dibuka lebar dan pengutukan terhadap keikutsertaan
yang membuta (taklid) oleh Ibnu Abdul Wahhab, setidaknya berfungsi
sebagai kekuatan pembebas yang besar. Walau sikap ini harus menghadapi
perlawanan yang kuat, baik dari lapangan politik maupun agama.13
Meski sempat tersendat pada awal perwujudan ide-idenya, namun
berkat dukungan dari berbagai pihak, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
akhirnya dapat merealisasikan gerakannya (Muwahhidin atau
Wahhabiah)14. Adapun mereka yang berjasa dalam melahirkan gerakan
ketauhidan ini antara lain :
12 Ibnu Al Arabi adalah pemikir kesufian yang luar biasa kaya dan kreatif tapi juga ‘ liar ’
tak terlendali. Di tangannya paham wahdad alwujud, monisme, mencapai puncak perkembangannya. Beliau banyak dikutuk sebagai sesat bahkan kafir. Boleh dikatakan Al Arabi adalah penerus Al Ghozali (w.1111), Al Hallaj (w. 922) dan Dzu al Nun (w. 861) sebagai seorang sufi dan pemikir kesufian. Baca : Nurkholis Madjid. Islam Doktrin…, hlm. 170-172.
13 Fazlur Rahman. 2003. Islam. Bandung : Pustaka, hlm. 288-289. 14 Kebanyakan orang menamai gerakan ini, Wahhabiah, yaitu sebutan yang diberikan
oleh lawan politik pada masa hidup pendirinya dan kemudian dipakai oleh orang Eropa. Pendirinya sendiri menamai Muwahidin atau Muwahidun (kaum uniteran atau orang-orang yang satu ). Baca: IAIN Syarif Hidayatullah.1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Jambatan ,hlm. 974. Namun banyak ahli sejarah yang memberikan label nama yang berbeda-beda. Karen Armstrong menyebut gerakan Wahhab ini sebagai pembaharuan Islam dan Fazlur Rahman menyebut ortodok.
20
Pertama, Amir Uyainah, Ustman bin Muhammad bin Ma’amar.
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab sempat diterima baik oleh Amir
Uyainah, tapi akhirnya Abdul Wahhab harus diusir dari daerah tersebut.
Ikhwal pengusiran terjadi karena desakan dari daerah-daerah bawahan
Amir yang tidak akan bayar upeti jika Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
masih ada di Uyainah.15
Kedua, Muhammad bin Saud, penguasa Dariyah. Berbagai sumber
sejarah lebih melihat Saudlah yang paling banyak berjasa dalam
perjuangan dakwah Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Saud mendukung
ide dan menyanggupi untuk menyebarkan ajaran-ajaran Muwahhidin.
Dalam dukungannya sekaligus sebagai panglima perang, Saud mampu
merebut Riyadh ke tangan Wahhabi dan membangun kehidupan agama
seperti jaman Rasulullah SAW, seperti membangun masjid berlantai
tanah.16
Ketiga, Abdul Azis bin Saud (w. 1803). Dia berjasa dalam
menyebarkan paham Wahabi sampai ke Muntafik, perbatasan Irak (1790),
Karbala (1801), Hijaz (1804 dan 1806). Bahkan pada 1811 imperium
Wahhabi telah membentang keseluruh jazirah Arab. Namun, setelah
dihancurkan Muhammad Ali (Gubernur Mesir, sekaligus utusan Turki
Usmani), kursi kepemimpinan Wahhabi dikendalikan oleh keturunan
Saud. 17
15 Majalah As Sunnah. edisi 10. tahun 1.1994, hlm. 5. 16 IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam… , hlm. 975. 17 Dinasti Al Saud atau Wahhabiyah berdiri mulai tahun 1746, dipimpin oleh Muhammad
Ibnu Saud, 1765 diganti oleh Abdul Aziz I, 1803 diganti Saud Ibnu Abdul Aziz, 1814 diganti
21
Akibat penumpasan Turki Usmani, perjalanan kepemimpinan
Wahhabi menjadi lemah dan tak tentu. Gambaran ini dimulai dari
Abdullah putra Abdul Azis, kemudian digantikan oleh Turki, sepupu Saud,
diganti Faizal bin Turki, dan Abdurahman bin Faizal. Babak baru Wahhabi
terlihat saat kepemimpinan Abdul Azis bin Abdurahman 1925, dimana
seluruh Hijaz (Mejah dan Madinah) serta Jedah dapat dikuasai oleh Abdul
Azis sampai sekarang dan berdiri kerajaan Arab saudi.18
Boleh dikata Muhammad Ibnu Abdul Wahhab tidak secara utuh
menikmati kejayaan dakwah purifikasinya, sebab tahun 1787 M ia
meninggal dunia. Ibnu Abdul Wahhab tidak melihat penghancuran bahkan
pembantaian Wahhabiah oleh Gubernur Mesir (Muhamad Ali) atas
perintah imperium Turki Usmani.
2. Karya–karya Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
Disamping sebagai seorang tokoh pembaharu Islam revivalis pra
modernis19 dan tokoh dakwah puritan, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
Abdullah I Ibnu Saud, 1818–1822 pendudukan Turki Usmani. Tahun 1823 tampuk pimpinan dipegang oleh Turki, 1834 diganti Fayshal I, 1837 diganti Khalid Ibnu Saud, 1841 diganti Abdullah II Ibnu Thunayyan, 1843 Fayshal I memerintah untuk kedua kalinya. Kemudian tahun 1871 di ganti Saud Ibnu Fayshal, 1874 Abdullah III, tahun 1887 dinasti Wahhabi ditahlukan oleh Muhammad Ibnu Rasyid., tahun 1889 diganti Abdurahman Ibnu Fayshal, 1891 diganti Muhammad Ibnu Fayshal Al Muthawwi, tahun 1902 dipegang oleh Abdul Azis II, 1953 diganti oleh Saud dan tahun 1964 dipimpin oleh Fayshal II. Baca : C.E.Bosworth.1993. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung : Mizan, hlm 107-108.
18 IAIN Syarif Hidayatullah.Ensiklopedi Islam…, hlm. 976. 19 Gerakan yang dibawa Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mempunyai empat ciri hal.
Pertama, prihatin yang mendalam terhadap kemerosotan moral masyarakat muslim. Kedua, menghimbau untuk kembali pada Islam yang orisinil dan berusaha melaksanakan ijtihad. Ketiga, membuang pandangan yang membebankan tentang kodrat taqdir. Keempat, melakukan himbauan revivalis melalui kekuatan senjata (jihad) jika perlu. Namun kesan umum dari cendikiawan Barat bahwa pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bercorak literalis, bahkan fundamentalis. Padahal fundamentalis gaya Islam sangat berbeda dengan Kristen. Dalam Kristen fundamentalis merupakan reaksi melawan penafsiran modern (ijtihad) terhadap Injil. Sedang dalam Islam, fundamentalis menentang taqlid buta pada tradisi dan membuka ijtihad. Baca: Harun
22
juga aktif dalam menulis.20 Beberapa karyanya yang terkenal antara lain
sebagai berikut :
Kitab at Tauhid, kitab ini berisikan tentang tafsiran Al Qur’an dan
hadits. Dalam bahasa Indonesia kitab ini sedikitnya telah diterjemahkan
oleh dua orang. Pertama, Muhammad Thahir Badrie, beralih judul
menjadi Syarah Kitab At Tauhid Muhammad Ibnu Abdul Wahhab,
penerbit PT Pustaka Panji Mas Jakarta 1984. Bab-Bab yang ada
didalamnya mencakup Al Tauhid, Fadilah Al Tauhid dan perkara yang
menghapus dosa, siapa yang memurnikan tauhidnya, masuk surga tanpa
dihisab dan disiksa, menjaga diri dari perbuatan syirik, seruan mengakui
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan penjelasan tentang tauhid dan
syahadah tiada Tuhan selain Allah. Kedua, diterjemahkan oleh
Muhammad Muhaimin M.Ag, kitab tersebut beralih judul menjadi
Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik. Diterbitkan oleh Mitra Pustaka,
Yogyakarta, 2000 dan secara keseluruhan isi buku ini hampir sama dengan
terjemahan di atas.
Kemudian kitab Kasyf asy Syyubhat. Karya Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab yang ditulis ketika masih di Uyainah. Kitab ini merupakan
jawaban terhadap tanggapan negatif banyak ulama atas tindakan dan
Nasution dan Azumardi Azra (penyunting).1985. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta : Obor Indonesia, hlm. 22-23.
20 Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bukan hanya seorang teoris saja, tetapi pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikiran-pemikirannya. Keberhasilannya mentransfer ide-ide pembaharuan di samping dari sokongan penguasa Najd, juga kemampuan berretorika dan kepandaiannya dalam menuangkan buah pikiran dalam tulisan. Lihat : Harun Nasution. 1996. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 25-26.
23
pembaharuannya.21 Selanjutnya secara berturut-turut kitab al Kabair,
Mukhtasar sirat Ar Rasul, Masa’il Al Jahiliah, Usul Al Iman, Fadai’l Al
Qur’an, Fadai’l Al Islam, Majmu’al Al Hadis, Mukhtasar Al Insaf wa Asy
Syarh Al Kabair, Al Usul Ats Tsalatsah, Adab Al Masyi ila Ash Salah,22
Lam’usy Syihab fi Syarah Muhammad ibnu Abdul Wahhab wa mazhabih,
Tafsir Al Fatihah, Tafsir Asy Syahadah wa Ma’rifatullah,dan At taudlih
‘An Tauhidil Akhlaq.23
B. Pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
Sebagaimana paparan di muka, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab kecil
telah ditempa dengan pendidikan agama yang kuat, baik dari keluarga maupun
lingkungan yang masih murni tingkat keIslamannya. Darah Arab yang
mengalir dalam tubuhnya, melahirkan citra watak yang khas, gandrung dengan
kebebasan dan petualangan. Kecemerlangan otak Ibnu Abdul Wahhab
semakin kentara ketika Ia banyak belajar filsafat dan sufi serta petualangan
intelektual lain diluar tempat kelahirannya. Bahkan untuk beberapa waktu
Ibnu Abdul Wahhab telah mengajarkan sufisme. Sekembalinya ke rumah
dalam usia empat puluh tahun, dimana kemapanan kondisi psikologis,
kematangan berpikir dan pemahaman telah mencapai puncaknya, Ibnu Abdul
Wahhab mulai mengajarkan doktrin-doktrinnya.24
21 Badri Yatim. 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci. Jakarta : Logos, hlm. 5. 22 Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Tegakkan Tauhid… , hlm. xiii-xxiv. 23 A. Hasjmy. 1985.Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 347. 24 Suharsono. Gerak Intelektual…, hlm. 50.
24
Untuk pemikiran atau doktrin ajaran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab
dapat dilihat dari dua sumber. Pertama, buku-buku karyanya dan kedua,
pendapat atau analis ahli sejarah.
Pertama, lewat kitab At Tauhid. Dalam terjemahan Thahir Badrie,
Ibnu Abdul Wahhab mengartikan tauhid sebagai dasar ajarannya. Tauhid
menurut bahasa berarti meyakini keesaan Allah, menganggap hanya ada satu
Tuhan tidak ada yang lain. Secara istilah tauhid berarti bahwa di dunia ini
hanya ada satu Tuhan, Allah Rabul Alamin.
Menurutnya tauhid dibagi menjadi dua. Pertama, tauhid Uluhiyah,
yaitu kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat keTuhanan itu hanyalah
milik Allah belaka. Kedua, tauhid Rububiyah, yakni kepercayaan bahwa
pencipta alam ini adalah Allah, tapi ia tidak mengabdi kepadanya saja.
Pembagian ini mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqarah 63, tentang keesaan
Allah yang artinya,
“Adapun Tuhanmu adalah Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang maha pengasih lagi maha penyayang”. Pemikiran dakwah Ibnu Abdul Wahhab tentang dakwah menurut
terjemahan Thahir Badrie dapat digambarkan sebagai berikut. Dakwah adalah
seruan untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah (Yusuf : 8), mengajak
golongan di luar Islam untuk bersama-sama masuk Islam. Setiap individu
wajib menyeru orang lain berbuat baik dan meninggalkan kejahatan. Untuk
25
sasaran dakwah, sarana dan teknik penyampaian dakwah sesuai tuntunan
Rasul.25
Pokok-pokok pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam kitab
tauhid terjemahan Muhammad Muhaimin dapat dijabar sebagai berikut.
Pertama, penyembahan terhadap Tuhan adalah tauhid dan pesan tauhid
Rasulallah ditujukan pada seluruh umat. Ayat-ayat mengenai tauhid
diantaranya, Ad Dzariyat : 56, An Nahl : 36, Al Isra : 23-24, An Nisa : 36 dan
Al An’am 151-153. Kedua, tentang kekhawatiran pada syirik. Riya merupakan
salah satu bentuk syirik ringan dan orang-orang saleh dikhawatirkan
terjerumus ke dalamnya. Memakai azimat menyebabkan syirik sesuai dengan
hadis riwayat Uqbah bin Amir ra. Artinya :
Barang siapa mengikatkan azimat atau jimat, dirinya tidak akan disempurnakan oleh Allah. Dan barang siapa mengalungkan sebuah kerang (jimat), dia tidak akan pernah memperoleh ketenangan dan kedamaian dari Allah.
Ketiga, bernadzar atau bersumpah untuk selain Allah adalah perbuatan
syirik. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhori. Artinya :
Barang siapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka dia harus mentaatiNya. Dan barang siapa bernadzar untuk tidak mentaatiNya, maka dia tidak boleh menentangNya. Keempat, mencari perlindungan kepada selain Allah merupakan bagian
dari syirik (berdasarkan surat Al Jin : 6).Kelima, mencari pertolongan selain
Allah atau berdoa kepada selainNya merupakan perbuatan syirik (Yunus:106-
107, Al Ahqaf 5-6, An Nahl : 62).Keenam,masalah syafaat adalah hak Allah
25 Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.1984. Syarah Kitab Al Tauhid Muhammad Ibnu
Abdul Wahhab. M.Thahir Badrie (Penerjemah). Jakarta : Pustaka Panji Mas, hlm 179-185.
26
dan diberikan kepada orang yang diridhoiNya. Ketujuh, kutukan bagi orang
yang menyembah Allah di kuburan orang saleh. Nabi Muhammad SAW
melarang dengan keras menjadikan kuburannya sebagai masjid, seperti umat
Nasrani dan Yahudi. Kedelapan, janganlah manusia membuat sekutu-sekutu
bagi Allah (Al Baqarah : 2)26
Kedua, pendapat atau analis ahli sejarah. Pemikiran-pemikiran Ibnu
Abdul Wahhab, mengutip analisis H.R Gibb terbagi menjadi dua arah, puritan
(pemurnian)27 dan reformis (pembaharuan).28 Pembagian yang ada, secara
keseluruhan tidak diikuti pemetaan yang jelas, mana pemikiran puritan dan
mana reformis. Sebagian besar para pengkaji sejarah lebih menampakkan sisi
pemikiran Ibnu Abdul Wahhab yang radikal, salaf dan orodok. Terlepas dari
itu semua, pokok-pokok pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dapat
diuraikan secara parsial sebagai berikut.
Menurut Harun Nasution masalah tauhid merupakan dasar pemikiran
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Namun penulis mencoba melihat dimensi
lain pemikirannya baik, Aqidah, fiqh, dan sufisme-Filsafat. Pembagian ini
26 Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Tegakkan Tauhid…, hlm. 151-240. 27 Puritan adalah sebutan lain untuk pemikiran Ibnu Abdul Wahhab, aliran yang ingin
memurnikan Islam sesuai dengan Al Qur’an dan Sunah. Sering disebut purifikasi Islam. Baca : H.A.R. Gibb. 1990. Aliran Modern dalam Islam. Machnun (Penerjemah). Jakarta : Rajawali, hlm 44. Purifikasi berasal dari bahasa Inggris, asal kata pure (kata sifat yang berarti bersih). Purifikasi merupakan kata benda yang berarti pembersihan, penyaringan dan pemurnian terhadap hal-hal yang merusak tata susila. Lihat : W.J.S. Purwadarminta. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, hlm. 731.
28 Inspirasi gerakan puritan Ibnu Abdul Wahhab datang dari arah fiqh (ijma’) Hanbali dan Taimiyah. Sedang pembaharuan muncul dari kerancuan tauhid akibat paham animistik, sufisme dan panteistik. Tapi dalam jangka waktu lama di abad 19, unsur pembaharuan Wahhabi dikaburkan oleh aspek teokratik revolusionernya. Baca : H.A.R. Gibb Aliran Modern…, hlm 44&46.
27
dimaksudkan untuk mempermudah memahami ide-ide beliau, disamping
semuanya merupakan ajaran Islam, dakwah dan arah kajian ini.
Pertama, dimensi aqidah. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab mengambil
ajaran Asy’ariyah, tentang pembatasan peran akal dalam memahami nash,
khususnya dalam kajian teologi. Aqidah mengadopsi ajaran Imam Ahmad
Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah, tentang perlunya ketauhidan (monotheis),
upaya pemberantasan penyakit-penyakitnya seperti, syirik, bid’ah, tahayul,
dan khurafat.29
Pentingnya masalah tauhid, sampai-sampai Ibnu Abdul Wahhab
memandang, tidak ada satu pekerjaan yang bernilai baik jika tidak dilandasi
tauhid kepada Allah SWT.30 Kaitannya tauhid, ada tiga aspek tauhid yang
perlu dicermati menurut Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Pertama, Tauhid
Rububiah, pengakuan bahwa Allah SWT satu-satunya pencipta, pemelihara,
pemberi rizki, pengatur, yang menghidupkan dan mematikan. Kedua, Tauhid
Al Asma Wa Al Shifat, yaitu keimanan kepada nama-nama dan sifat-sifat
Allah sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an, tanpa tamsil, tasybih dan
takwil. Ketiga, Tauhid Ibadah, segala bentuk amal dan ibadah manusia
semata-mata dilakukan untuk berbakti kepada Allah SWT.31
Bid’ah yang harus dihilangkan menurut Ibnu Abdul Wahhab antara
lain. Pertama, berkumpul bersama dalam Maulidan. Kedua, wanita mengiring
29 Badri Yatim. Sejarah Sosial…, hlm. 106. Baca juga : Jamil Ahmad. 1987. Seratus
Tokoh Terkemuka. Jakarta : Pustaka Firdaus, hlm. 258. 30 Nourouzaman Shiddiqi.1996. Jeram-Jeram Peradaban Muslim. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, hlm. 275. 31 Yusron Asmuni. Ilmu Tauhid, hlm. 147
28
jenazah. Ketiga, kebiasaan sehari-hari yang dikategorikan bid’ah, seperti
merokok, minum kopi, memakai pakaian sutera bagi laki-laki dan hal-hal yang
tidak ada pada zaman Nabi SAW, yang bisa mendatangkan paham
keberhalaan.32
Kedua, dimensi fiqh. Sama halnya dimensi aqidah-teologi, Muhammad
Ibnu Abdul Wahhab juga mentransfer kerangka pikir Hanbali dan Taimiyah
dalam masalah fiqh. Pokok-pokok dimensi fiqhnya antara lain. Pertama,
pengakuan dua otorita dalam hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunah
bersama preseden para sahabat, dengan menolak qiyas (metode penalaran
analogis). Kedua, menolak taqlid (penerimaan hukum yang membuta),
menolak konsensus-konsensus hukum ulama (ijma) dan mengembangkan
ijtihad terhadap otorita hukum jaman pertengahan (khalaf).33
Ketiga, dimensi filsafat-sufisme. Meski telah belajar filsafat dan
sufisme pada usia 21 selama empat tahun di Isfahan, serta pernah mengajar
tasawuf. Namun secara drastis Muhammad Ibnu Abdul Wahhab akhirnya
memalingkan diri, bahkan memusuhi dan melarang dua aliran tersebut.
Pemikirannya tentang filsafat-sufisme antara lain. Pertama, doa dan syafa’at
adalah hak Allah SWT, tak ada perantara siapapun diantara keduanya. Kedua,
32 H.M. Muhaimin. Ilmu Tauhid, hlm. 176. 33 Khalaf (kemudian) merupakan lawan kata salaf (terdahulu) atau orang-orang
terdahulu semasa dengan Rasul SAW, sahabat, tabiin dan tabiit tabiin. Salafiah adalah suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaan Islam, umat Islam harus kembali pada ajaran Islam yang murni, sebagaimana diamalkan oleh generasi pertama Islam. Istilah khalaf dan salaf sebenarnya belum dikenal diawal Islam, namun untuk mengukurnya bisa berpatokan pada tahun 300 H. Kategori salaf adalah mereka yang hidup sebelum 300 H (jaman awal) sedang khalaf adalah mereka yang hidup sesudah tahun 300 H (jaman pertengahan dan jaman selanjutnya). Lihat : Yusron Asmuni. Ilmu Tauhid, hlm. 149. untuk melihat lebih lanjut demensi ini, baca : Fazlur Rahman. Islam, hlm. 288-291 dan Suharsono. Gerakan Intelektual…, hlm. 50-51
29
jalan menuju Tuhan melalui syariat yang digariskan Al Qur’an dan Sunah,
bukan melalui imajinasi mistis, ritual ibadah sendiri (kontemplasi sufi).
Ketiga, adanya kesatuan antara kepercayan dan tindakan (ibadah) seperti
adanya Allah, maka ada sholat dan beramal sebagai tindakan mengakui rasa
percaya, maka merenung, mengingat dan berkontemplasi bukanlah sebuah
ibadah untuk kepercayaan. Empat, ibadah di dunia merupakan keseimbangan
antara dunia dan akhirat. Kelima, adanya filsafat yang rasionalis dan sufisme
yang mistis dikuatirkan akan melahirkan sufisme dan filsafat spekulatif, yang
membahayakan nilai-nilai Islam.34 Secara substansial pokok-pokok pikiran
tauhid Ibnu Abdul Wahhab dapat dibagi menjadi delapan hal. Pertama, yang
boleh dan harus disembah hanyalah Allah. Menyembah selain itu adalah
musyrik dan boleh dibunuh. Kedua, paham tauhid hanya sebagai topeng,
orang Islam banyak mencari pertolongan bukan dari Allah, tapi dari Syaikh,
Wali, Nabi dan ini syirik. Tiga, menyebut Nabi, Malaikat, Syaikh sebagai
pengantar doa adalah syirik. Empat, meminta syafaat selain Allah adahah
syirik. Lima, bernazar selain kepada Allah adalah syirik. Enam, memperoleh
pengetahuan selain dari Al Qur’an dan Al Hadist adalah kekufuran. Tujuh,
tidak percaya pada qada dan qadar adalah kekufuran. Delapan, penafsiran Al
Qur’an dengan takwil (interpretasi bebas) adalah kufur.35 Pokok pikiran lain
34 Harun Nasution dan Azyumardi Azra. Perkembangan Modern…, hlm. 23. Suharsono.
Gerakan Intelektual, hlm. 49 dan Jamil Ahmad. Seratus Tokoh…, hlm. 256- 257. 35 Harun Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam..., hlm. 24-25. Lebih lanjut, klasifikasi
pemikiran-pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab tentang tauhid ini banyak menjadi acuan para sejarawan sesudah Harun Nasution seperti, Yusron Asmuni. Ilmu Tauhid, hlm.148, Ribut Haryono. 2003. Fundamentalisme dalam Kristen–Islam. Yogyakarta : Kalika, hlm. 66 . H.M. Muhaimin. Ilmu Tauhid, hlm. 175-176 dan masih banyak lagi.
30
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab meliputi. Pertama, mengajak orang Islam
untuk bertauhid (monoteisme Islam). Kedua, memberi bimbingan Al Qur’an
dan Sunah pada umat.36 Ketiga, menentang penindasan terhadap orang miskin,
janda, anak-anak yatim, kerusakan moral dan paham keberhalaan. Keempat,
memerangi penguasa-penguasa kekaisaran Turki Usmani, karena tidak adil,
bermegah-megahan, tidak memperdulikan rakyat dan menganggap orang
Turki lebih pantas memimpin umat Islam daripada bangsa Arab.37
C. Implikasi Pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam Dakwah
Sebelum membahas implikasi pemikiran Muhammad Ibnu Abdul
Wahhab dalam dakwah, ada baiknya kita menelusuri dulu dimensi dakwah
dari berbagai sisi. Pertama, definisi dakwah. Kedua, dasar hukum. Ketiga,
tujuan dakwah. Keempat, unsur-unsur dakwah. Kelima, dimensi-dimensi
pemaknaan dakwah.
Pertama, definisi dakwah ditinjau dari etimologi (bahasa) berasal dari
bahasa Arab, yang berarti “panggilan, ajakan atau seruan”. Kata dakwah
dalam ilmu tata bahasa Arab berbentuk “isim masdar” kata ini berasal dari fiil
(kata kerja)” da’a–yad’u–da’watan“, artinya memanggil, mengajak atau
menyeru. Artian kata dakwah seperti ini sering dijumpai atau digunakan dalam
ayat-ayat Al Qur’an seperti,
)23:البقرة( وادعوا شهداءآم من دون الله
Artinya “.....dan panggilah saksi-saksimu lain dari pada Allah,...”
36 Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Tegakkan Tauhid…, hlm. xii-xx. 37 Karen Armstrong. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung : Mizan, hlm. 440.
31
)25:يونس (والله يدعو إلى دار السالم
Artinya “ Allah menyeru kepada kampung selamat ( surga ) “38
Dalam sebuah hadist riwayat Muslim, dakwah diartikan sebagai
undangan,
Artinya “ datangilah undangan apabila engkau diundang “39
Secara terminologi, definisi dakwah sangat beragam. Namun
setidaknya ada beberapa definisi dakwah yang biasa dipakai atau menjadi
rujukan ahli ilmu dakwah.
Pertama, menurut Nasaruddin Latif, dakwah adalah setiap usaha atau
aktifitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya, yang bersifat menyeru,
mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah
SWT, sesuai dengan garis-garis aqidah dan syariat serta ahlaq Islamiyah.
Kedua, Syaikh Ali Machfudz mendefinisikan dakwah, mengajak
(mendorong) manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk,
menyuruh mereka berbuat baik dan melarang dari perbuatan munkar agar
mereka mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.40
Ketiga, Drs. Hamzah Yakub mengartikan dakwah sebagai upaya
mengajak umat manusia dengan khikmah kebijaksaaan untuk mengikuti
petunjuk Allah dan Rasulnya.41 Dari tiga definisi dakwah tersebut dapat
disimpulkan, dakwah adalah mengajak dengan cara baik kepada aturan Allah
38 Asmuni Syukir.1983. Dasar–Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya : Al Ikhlas, hlm.
17-18. 39 Mustofa Al Baby.1985.Shohih Muslim . Jauhari (Terjemahan). Jakarta : Al Qusyairi,
hlm. 65. 40 Muhammad Sulthon. 2003. Desain Ilmu Dakwah.Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hlm. 9. 41 Asmuni Syukir. Dasar–Dasar…, hlm.19.
32
SWT yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW baik berupa aqidah,
syariat dan ahlaq untuk kebahagiaan dunia serta akhirat.
Dalam pandangan Asmuni Syukir, istilah dakwah memiliki sepuluh
nama. Pertama, tabligh, berasal dari kata Ballagha- yubalighu-tablighan, yang
artinya penyampaian, menyampaikan ajaran Allah dan Rasul kepada orang
lain. Orangnya disebut mubaligh. Kedua, amar ma’ruf nahi munkar, yakni
memerintahkan kepada yang baik dan melarang kepada yang munkar
(kejahatan). Ketiga, washiyah, keempat, nashihah, kelima, khotbah, ketiganya
mempunyai arti yang sama yakni memberi wasiat atau nasihat pada umat
manusia agar menjalankan syariat Allah, kebaikan dan kebenaran. Keenam,
jihadah, berasal dari kata “jaahada-yujaahidu-jihadatan” artinya berperang,
berjuang. Jihad tidak selalu berarti perang melawan musuh, namun segala
perbuatan yang bersifat mengadakan pembelaan, pelestarian ajaran Allah dan
Rasulnya. Ketujuh, maw’idhah, kedelapan, mujadalah, yang artinya berdebat,
atau berdiskusi kesembilan, maw’idah berarti nasihat, pelajaran atau
pengajaran. Kesepuluh, tadzirah atau indzar artinya memberikan peringatan
atau mengingatkan umat manusia agar selalu menjauhkan kejahatan dan selalu
ingat kepada Allah dimana saja.42 Kedua, dasar hukum dakwah dalam Al
Qur’an dan terdapat pada surat An Nahl ayat 125 :
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين
)125:النحل(
42 Asmuni Syukir. Dasar–Dasar…, hlm. 21-26.
33
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalannya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 43
Kata ud’u yang berarti serulah, himbaun, ajakan. Merupakan fi’il amar
atau kerja perintah. Menurut kaidah ushul fiqh, setiap fi’il amar adalah
perintah dan setiap perintah adalah wajib, selama tidak ada dalil lain yang
memalingkannya dari kewajiban itu kepada ketentuan lainnya.44
Dengan demikian hukum dakwah adalah wajib, karena tidak ada dalil
lain yang memalingkan dari kewajiban itu. Akan tetapi tentang kewajiban,
para ulama berbeda pendapat wajib a’in atau kifayah. Perbedaan itu timbul
dari adanya penafsiran terhadap surat Ali Imran ayat 104.
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن )104:آل عمران(المنكر وأولئك هم المفلحون
Artinya : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
Sebagian ulama memberikan pendapatnya pada pengertian littah idh
(sebagian). Sehingga hukum dakwah itu menjadi fardu kifayah. Sedang
sebagian lagi ulama berpendapat littabyin (menerangkan) sehingga
menunjukan fadhu ‘ain.45
43 Departemen Agama RI. 1989. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : Al Waah,
hlm. 421. 44 Departemen Agama RI. 1989. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : Al Waah,
hlm. 421.
45 Aminuddin Sanwar. Pengantar…, hlm. 35.
34
Adapun dalam beberapa hadis, perintah dakwah sangat dianjurkan,
diantaranya hadits riwayat Bukhari “ Sampaikanlah ajaranKu kepada orang
lain walaupun satu ayat “ dan riwayat Muslim yang artinya “ Barang siapa
yang berdakwah kepada petunjuk, adalah baginya pahala seperti pahala yang
diperoleh orang yang telah mengikutinya, dan tidaklah dikurangkan
sedikitpun juga dari padanya”.46
Ketiga, tujuan dakwah secara umum menurut Dzikron Abdullah adalah
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagai agama universal,
maka tujuan dakwahnya juga mengandung prinsip-prinsip universal. Islam
mengajak semua manusia (obyek dakwah), baik dalam segi ibadah, muamalah
dan lain sebagainya. Selain sebagai tujuan universal dakwah juga bertujuan
untuk mengubah kondisi umat untuk menjadi lebih baik atau perubahan
menuju arah yang positif dalam berbagai hal dan aspek.47
Keempat, unsur-unsur dakwah menurut Aminudin Sanwar dibagi
dalam dua hal. Pertama, unsur-unsur pokok dakwah meliputi tiga macam, Dai
(subyek dakwah), Mad’u (obyek dakwah)dan Madatut dakwah (materi
dakwah). Kedua, unsur-unsur pelengkap dakwah. Bagian yang dapat
mempengaruhi proses dakwah, diantaranya, Wasailu ad dakwah (media
dakwah) dan Kafiatu ad dakwah atau Toriqotu ad dakwah (metode dakwah).48
Da’i atau subyek dakwah adalah pelaksana dakwah, baik perorangan
maupun bersama-sama secara terorganisir. Abdul Karim Zaedan memberi
46 Asmuni Syukir. Dasar–Dasar…, hlm. 30-31. 47 Dzikron Abdullah.1985. Metedologi Dakwah. Semarang : Diktat Dakultas Dakwah
IAIN Walisongo Semarang, hlm. 50 &59.
48 Aminuddin Sanwar. Pengantar…, hlm. 40.
35
persyaratan pada seorang Da’i antara lain : ilmu pengetahuan yang luas, iman
yang kuat, mempunyai kasih sayang pada sesama, merendah diri, bergaul dan
beruzlah (i’tikaf, istirahat dirumah untuk mempersiapkan diri dan
menyegarkan pikiran dalam berdakwah ).49
Obyek dakwah atau mad’u, seluruh umat manusia tanpa terkecuali,
baik pria, maupun wanita, beragama, maupun belum beragama, pemimpin
atupun rakyat kecil.
Materi dakwah, semua sumber atau bahan yang dipergunakan atau
disampaikan oleh dai kepada mad’u dalam kegiatan dakwah untuk menuju
tercapainya tujuan dakwah.50 Menurut Endang Saefudin Anshari, materi
dakwah Islam adalah Islam itu sendiri (Al Qur’an dan Sunah) serta berbagai
masalah kehidupan dan penghidupan manusia. 51Sedang menurut Asmuni
Syukir materi dakwah secara global dikategorikan menjadi tiga macam yaitu,
masalah aqidah, keIslaman dan budi pekerti atau ahlaq.52
Metode dakwah atau cara penyampaian materi dakwah merupakan
faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya dakwah. Menurut Jamaludin
Kafie metode dakwah berkisar pada masalah bagaimana kemampuan Dai
dalam menyesuaikan dengan situasi dan kondisi mad’u serta tujuan yang akan
49 Abdul Karim Zaedan. 1979. Ushulud Dakwah. S. Wadie Syukur (Terjemahan). Dasar-
Dasar Ilmu Dakwah. Jakarta : Media Dakwah, hlm. 32-106. 50 Aminuddin Sanwar. Pengantar…, hlm. 66 & 73. 51 Endang. S.Anshori.1997. Wawasan Islam Pokok-Pokok Pemikiran Tentang Islam
dan Umatnya. Jakarta : Rajawali, hlm. 180. 52 Asmuni Syukir. Dasar–Dasar…, hlm. 60.
36
dicapai. Untuk hal semacam itu dibutuhkan keterikatan dan keterampilan serta
motivasi yang kuat dalam berdakwah.53
Kelima, Dimensi pemaknaan dakwah. Seiring sejarah umat manusia
pendefinisian dakwah telah mengalami penyempitan dan perluasan pengertian
secara denotatis. Kalau mengacu pada teks Al Qur’an naskah Usmani, maka
persamaan kata dakwah yang sering dipakai mengacu pada pengertian tabligh.
Dalam Hadits-Hadits Nabi tidak diketemukan definisi dakwah yang ekplisit,
sehingga wajar ketika pengikut Nabi Muhammad SAW berusaha membatasi
pengertian dakwah.
Defenisi dakwah normatif lebih mengandung arti panggilan dari Allah
SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk menerima Islam dan
mengaktualisasikan dalam kehidupan. Perkembangan selanjutnya dakwah
diartikan propaganda, mengajak pada orang lain untuk menerima ajaran
perorangan atau kelompok. Bentuk–bentuk dakwah pun semakin
bervariatif,misalnya pada ajaran Syiah Ismailiyah, dakwah berbentuk
pendidikan dan proses indoktrinasi ajaran dalam berbagai aspek. Perebutan
kursi kekhalifahan dari Umayyah sebagai gerakan dakwah mereka yang
mempunyai slogan, mencari kerelaan dari keluarga Nabi Muhammad. Dan
53 Jamaludin Kafie. Psikologi Dakwah. Surabaya : Indah, hlm. 37. Untuk melihat macam-
macam metode dakwah, Asmuni Syukir membaginya menjadi delapan, metode ceramah, tanya jawab, debat, percakapan bebas, demonstrasi, metode dakwah Rasul ( metode samar-samar, terang-terangan, korespondensi dan perang ) kemudian metode pendidikan dan pengajaran serta metode mengunjungi rumah-kerumah (door to door). Baca : Asmuni Syukir. Dasar–Dasar…, hlm.104-162.
37
gerakan penerapan sekulerisasi Mesir oleh Kemal Atattruk. Perluasan makna
yang terjadi menjadikan dakwah sebagai doktrin, madzab, dan sekte.54
Konotasi berikutnya dari pemaknaan dakwah adalah aktivitas yang
berorientasi pada pengembangan masyarakat muslim, yakni peningkatan
kesejahteraan sosial. Dari sini kemudian muncul tiga istilah dakwah. Pertama,
dakwah kultural. Kedua, dakwah politik dan ketiga, dakwah ekonomi.
Dakwah kultural adalah aktifitas dakwah yang menekankan
pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah sebuah pendekatan yang
berusaha meninjau kembali kaitan doktrinal yang formal antara Islam dan
politik atau Islam dan negara.
Dakwah politik merupakan gerakan yang ada di dalam atau ada pada
kekuasaan. Aktivitas dakwah politik bergerak mendakwahkan ajaran Islam
guna menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Penerapan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan politik bangsa, dan negara dipandang sebagai alat dakwah
yang paling strategis. Dakwah politik memegang tesis bahwa dakwah yang
sesungguhnya adalah aktivitas Islam yang berusaha mewujudkan negara
bangsa yang berdasarkan Islam.
Dakwah ekonomi. Upaya mewujudkan realitas kehidupan umat Islam
dengan menggunakan ajaran-ajaran Islam tertentu yang dapat berfungsi untuk
meningkatkan tingkat sosal-ekonomi umat.
Perkembangan lainnya, dakwah sebagai wacana akademik. Dimana
pergerakannya menunjukan aktifitas yang signifikan. Seperti berdirinya
54 Muhammad Shulton. Desain…, hlm. 11-15.
38
jurusan dakwah pada fakultas Ushuluddin Al Azhar (1942) dan lahirnya
Sekolah Tinggi Dakwah Islam di Indonesia tahun 1950, kemudian berubah
menjadi IAIN pada tahun 1960.55
Setelah melihat latar belakang pemikiran, konsepsi pemikiran dan
eksistensi dakwah yang ada. Setidaknya terlihat tiga implikasi pemikiran
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam dakwah.
Pertama, Munculnya tiga pelabelan (model) gerakan dakwah
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab .
1. Dakwah tekstual normatif yang mengandung arti panggilan dari Allah dan
RasulNya untuk menerima Islam dan mengaktulisasikan dalam kehidupan,
tanpa interpretasi terhadap ayat secara luas. Label dakwah semacam ini
muncul akibat pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang literalis.
Golongan Sunni beranggapan, mudahnya Ibnu Abdul Wahhab mengklaim
orang Islam pada jamannya kafir, syirik atau mungkin pantas dibunuh,
diakibatkan karena Ibnu Abdul Wahhab tidak dapat mengerti makna majaz
dan isti’arah (Metafor) ayat–ayat Al Qur’an, seperti surat Asy Syu’ara
ayat 80.
)٨٠:الشعراء(وإذا مرضت فهو يشفين
Artinya : “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.
“ Penafsiran yang salah juga terjadi pada surat Az Zumar ayat 3,
قربونا إلى الله والذين اتخذوا من دونه أولياء ما نعبدهم إلا لي )3:الزمر(زلفى إن الله يحكم بينهم في ما هم فيه يختلفون
Artinya : “Orang–orang yang mengambil pelindung selain Allah
mengatakan, Kami tidak menyembah mereka melainkan
55 Muhammad Sulthon. Desain…, hlm. 18-23.
39
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya, dan menjadi perantara bagi kami. “56
Tuduhan ini nampak dalam penafsiran Ayat di atas, dimana kemudian
menjadi sandaran gerak dakwah Ibnu Abdul Wahhab. Label tersebut
semakin kuat, akibat aplikasi ajaran tauhid yang terlalu berlebihan, apalagi
tentang larangan berwasilah. Bermohon pada Allah hendaklah langsung,
tanpa ada perantara. Tawasul dengan berbagai ritual ibadah yang kurang
berdasar pada ajaran agama, pada akhirnya melahirkan bid’ah.57
Dari labelisasi dakwah tekstual ini kemudian muncul label dakwah radikal
dan dakwah politik. Perkembangan yang ada merupakan wujud gerakan
dakwah Ibnu Abdul Wahhab yang pada awalnya ditentang, kemudian
melaju dengan melakukan perlawanan senjata. Keberhasilan dakwah Ibnu
Abdul Wahhab semakin memuncak ketika diteruskan keturunannnya yang
berhasil mengusir Turki Usmani dan menyatukan seluruh negeri di jazirah
Arab menjadi negara yang berdaulat.
2. Dakwah Radikal. Label ini ada karena gerakan dakwah Ibnu Abdul
Wahhab (Wahhabi) melahirkan kekerasan, dan penggunaan kekuatan
militer yang besar,58 khususnya dakwah puritan, mengajak bertauhid.59
56 Husen Hilmi Isik. Perjuangan Kaum…, hlm. 74 & 79. 57 Muhammad Abdul Halim Hamid. 1996.Di medan Dakwah Bersama Dua Imam :
Ibnu Taimiyah dan Hasan Al Banna, Wahid (Penerjemah). Solo : Era Intermedia, hlm.103. 58 Fazlur Rahman. Islam. hlm. 29. 59 Menurut Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, suara tauhid, (tiada Tuhan selain Allah)
haruslah tetap berkumandang dipermukaan bumi,.Rasa malas, enggan, dan lelah mesti sirna dalam jiwa kita, sebab jika tidak Islam akan hancur olehnya. Demikian juga usaha berdakwah, harus kita sampaiakan dengan sungguh–sungguh menurut kemampuan kita masing–masing. Yang kaya dengan hartanya, yang pandai dengan ilmunya dan seterusnya. Semua dengan ikhtiar optimis serta bertawakal kepada Allah SWT. Baca : Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.1984. Syarah Kitab
40
Secara intern dakwah Ibnu Abdul Wahhab dipengaruhi oleh watak atau
tipikel bangsa Arab yang keras dan suka berperang. Sedang faktor ekstern,
muncul sebagai perlawanan diri terhadap serangan anggota keluarga dan
penguasa-penguasa Islam yang menolak pokok–pokok ajarannya.60
3. Dakwah Politik. Sebagaimana rumusan yang ada, dakwah politik berarti
mendakwahkan ajaran Islam guna menjadikan Islam sebagai idiologi
negara, (negara bangsa yang berdasarkan Islam)61 Label dakwah ini pada
dasarnya ekspresi Wahhabi untuk tetap eksis dalam berdakwah. Semua
bertujuan untuk merubah umat Islam dari kegersangan tauhid dan praktek-
praktek ibadah yang jauh dari nilai-nilai Islam menuju purifikasi Islam
jaman Nabi Muhammad SAW.
Akibat berbenturan dengan ulama, penguasa setempat dan keinginan
merdeka dari penjajah saat itu, maka dakwah tekstual Wahhabiah bergeser
menjadi dakwah politik.62 Gerak dakwahnya mengumandangkan persatuan
umat Islam untuk pembaharuan dan kemerdekaan dari penjajahan.63
Menurut Sholihan dan Hasanudin, Negara Wahhabi yang dibentuk
Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menyerupai kekhalifahan dulu. Meski
dengan kekuatan militer yang besar dan keras namun tetap memperhatikan
AlTauhid Muhammad Ibnu Abdul Wahhab. Thahir Badrie (Penerjemah). Jakarta : Pustaka Panji Mas, hlm. 183-184.
60 Muhammad Abdul Halim Hamid. Di medan Dakwah Bersama Dua…, hlm.103. 61 Muhammad Shulton. Desain…, hlm. 293. 62 Said Ali bin Wahif Al Qahthani. 1994. Dakwah Islam Dakwah Bijak, Mansur Hakim
(penerjemah). Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 238. 63 Fazlur Fazlur. Islam, hlm. 293.
41
kemerdekaan rakyatnya. Komponen eksekutif dan yudikatifnya berjalan
dengan bijaksana, adil, cakap dan jujur 64
Kedua, pemikiran Abdul Wahhab berimplikasi pada perubahan atau
kemajuan mad’u, khususnya masyarakat Arab. Hal ini bisa dilihat dalam
pendapat dua tokoh. Pertama, menurut Robert Lacey sebagaimana dikutip
Badri Yatim, bahwa tanpa dakwah Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, orang-
orang Arab hanya akan menjadi petani dan pedagang kecil atau paling–paling
sebagai peternak kuda. Sementara kita tahu bahwa bangsa Arab mempunyai
corak, sifat keras dan kebiasaan berperang antar suku sebagai realitas
kehidupan gurun pasir dan perbukitan sejak jaman dulu. Mereka akan
merampok, berperang bila merasa kuat dan dengan kecerdikannya
bersembunyi bila dalam keadaan lemah. 65Kedua, menurut Dozy, sejarawan
Belanda (w. 1883), dalam buku Ilmu Tauhid Ghofir Romas, disebutkan bahwa
antara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan Martin Luther, (pembaharu
Protestan), mempunyai kesamaan dan kesejalanan dalam memberantas bid’ah
yang terjadi dalam agama masehi.66
Ketiga, Berkembangnya metode-metode dakwah Islam. Muhammad
Ibnu Abdul Wahhab telah menggunakan cara-cara dakwah yang variatif
seperti, dialog, ceramah, korespondensi, baik berupa surat menyurat,
pengiriman Dai dan mengangkat senjata.67 Metode-metode ini kemudian
64 Muhammad Sholihan dan H. Hasanudin Amin. 1988. Pengantar Perkembangan
Muslim dalam Sejarah. Surabaya : Sinar Jaya, hlm. 72-79. 65 Badri Yatim. Sejarah Sosial…, hlm. 106. 66 Ghofir Romas.1997. Ilmu Tauhid. Semarang : Badan Penerbit Fakultas Dakwah, IAIN
Walisongo Semarang, hlm. 34. 67 Adi Nugroho, adi-oke2 @…, hlm. 7.
42
diadopsi oleh gerakan–gerakan Islam dibelaha dunia, seperti Mahdi di Sudan
(1848-1885), Fulani di Nigeria (1754-1874), Sanusiyah di Libia (1787-1889),
Faraidiyah Haji Syariat Allah di Bengal (1764-1840), Gerakan militan Ahmad
Brelwi di India (1786-1831) dan Padri di Indonesia (1803-1817). Meski tidak
semuanya menggunakan cara peperangan dalam berdakwah namun seperti
Mahdi, Wahhabi, Sanusi dan Fulani gerakannya mampu menciptakan negara–
negara baru.68
68 Lebih lanjut gerakan ini mempunyai dampak politis tidak hanya pada masyarakat
mereka tapi politik Islam abad 20. Baca : John. L. Esposito.1994. Ancaman Islam Mitos atau Realitas. Bandung : Mizan, hlm. 62.