36
BAB II
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Dalam bab II yang berjudul Pemilihan Kepala Daerah ini mendeskripsikan
gambaran umum tentang pemilihan kepala daerah. Dalam bab II ini adapun hal-
hal yang akan dibahas diantaranya:
- Sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia
- Hubungan otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara
langsung
- Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah
2.1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Dalam sub bagian ini akan dijabarkan pemilihan kepala daerah dalam 4
era, yakni :
a. Pilkada era Demokrasi Parlementer
b. Pilkada era Demokrasi Terpimpin
c. Pilkada era Orde Baru
d. Pillkada era Reformasi
Dibedakannya menjadi 4 era, sebab ada perbedaan Undang-Undang Dasar
yang digunakan dan sistem politik yang terjadi saat itu, sehingga mempengaruhi
sistem ketatanegaraan di Indonesia, khususnya prosedur pemilihan kepala daerah.
37
a. Pilkada era Demokrasi Parlementer
Pada 23 November 1945, keluarlah UU No. 1 Tahun 1945 tentang
Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Di dalamnya mengatur
bahwa pemilihan kepala daerah (residen, bupati, kepala kota) dilakukan melalui
pengangkatan oleh pemerintah pusat. Setelah UU No. 1 Tahun 1945 berjalan
hampir tiga tahun, ternyata dalam praktiknya dipandang kurang memuaskan,
karena isi UU tersebut sangat sederhana dan banyak hal yang menyangkut urusan
pemerintahan daerah belum terakomodir.
Sehingga, pada 10 Juli 1948 lahirlah UU No. 22 Tahun 1948, tentang
Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini dibagi 2 daerah, hal ini
sesuai dengan Pasal 1, yang membagi menjadi:
- Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
- Daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri dan bersifat istimewa
Pada daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, proses pemilihan kepala daerah, yakni calon gubernur, bupati, dan
walikota dipilih oleh DPRD, dari 2 sampai 4 calon yang diusulkan oleh DPRD
tersebut, pemerintah pusat akan mengangkat 1 orang diantara calon-calon yang
diusulkan tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 UU No. 22 Tahun 1948 tentang
Pokok Pemerintahan Daerah.
Berkaitan dengan hal ini, Bhenyamin Hoessein38 dalam Majalah FIGUR
Edisi XXII/Februari 2008, mengatakan; “Kadang kala pemerintah pusat
membelot, yang diangkat bisa saja di luar dari calon-calon yang diusulkan oleh
38 Bhenyamin Hoessein, Majalah FIGUR, Edisi XXII, Februari, 2008, h. 4
38
DPRD. Alasannya, pemerintah pusat harus mengangkat orang yang Republiken,
sebab masih ada orang-orang Indonesia yang masih pro Belanda,”
Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini mengatur bahwa, kepala
daerah mengemban dua jabatan sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai ketua
serta anggota DPRD.
Pada waktu perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945, lalu Konstitusi
RIS, pada tahun 1950 terbitlah UUD Sementara yang berlaku mulai 15 Agustus
1950 (UUDS 1950). Berbeda dengan UUD 1945 yang hanya memuat satu pasal
saja tentang pemerintahan daerah yaitu pasal 18, maka UUDS 1950 memiliki tiga
pasal yaitu 131, 132, dan 133 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan
daerah-daerah Swapraja. Pasal 131 UUDS memuat empat hal sebagai berikut :
1. Pembagian daerah Indonesia aras daerah besar dan kecil akan merupakan
daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
(otonom).
2. Bentuk susunan pemerintahan daerah otonom akan diatur dengan undang-
undang. Bentuk dan susunan itu ditetapkan dengan memperhatikan dasar
permusyawaratan dan dasar perwakilan.
3. Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur rumah tangganya.
4. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas
kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya
Dari ketentuan diatas, mendasari diterbitkannya Undang-Undang No. 1
Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 23,
menentukan :
39
(1) Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-
undang.
(2) Cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan
Undang-undang.
Dalam ketentuan tersebut, memang tidak dijabarkan secara eksplisit
bahwa pemilihan kepala daerah itu dilakukan secara langsung atau tidak. Namun
dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ini menjabarkan
bahwa pada dasarnya Undang-Undang ini mengamanatkan dilakukannya
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, sesuai dicantumkan dalam
Pasal 131 UUDS. Namun keadaan masyarakat yang baru berpindah sistem dari
federal, membuat hal ini sulit untuk direalisasikan, karena ditakutkan akan
munculnya republik-republik kecil. Adapun yang dijabarkan dalam Penjelasan
umum, yakni:
“Berhubung dengan itu, maka jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud
tersebut ialah bahwa Kepala Daerah itu haruslah dipilih langsung oleh
rakyat dari Daerah yang bersangkutan. Dasar pikiran ini tercantum dalam
pasal 23 ayat 1 yang selanjutnya dalam ayat 2 ditentukan bahwa cara
pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan
Undang-undang. Akan tetapi meskipun pada azasnya seorang Kepala
Daerah itu harus dipilih secara demikian, namun sementara waktu
dipandang perlu memperhatikan pula keadaan yang nyata dan
perkembangan masyarakat dewasa ini didaerah-daerah, kenyataan mana
kiranya belum sampai kepada suatu taraf, yang dapat menjamin
berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil-hasil dari pemilihan
itu yang sebaik-baiknya.”
Akhirnya, proses pemilihan kepala daerah tetap seperti yang diatur dalam
UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh
DPRD, satu diantaranya diangkat oleh pemerintah pusat. Namun dalam UU No. 1
Tahun 1957 ini kepala daerah tidak lagi merangkap jabatan (dual role),
40
sebagaimana dalam UU No. 22 Tahun 1948 tetapi dalam daerah otonom provinsi
terdapat kepala daerah dan wakil pemerintah, sehingga dikenal dengan istilah
dualisme personil. Yang satu menjabat jabatan dekonsentrasi, yang satunya lagi
menjabat jabatan desentralisasi.
b. Pilkada era Demokrasi Terpimpin
Situasi politik yang tidak kondusif karena berlarut-larutnya pembahasan
konstitusi baru di Konstituante yang mengalami kebutuan memakan waktu lebih
dari dua tahun, membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959,
yaitu kembali ke UUD 1945.39
Berlakunya kembali UUD 1945 berarti pemerintah pusat kembali ke posisi
sentral. Sehingga otonomi yang seluas-luasnya yang berlaku ketika era demokrasi
parlementer bergeser kepada demokrasi terpimpin.
Kemudian pada September 1965 Presiden RI mengesahkan UU No. 18
Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah. Isinya tidak jauh berbeda
dengan dengan UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan
walikota dipilih oleh DPRD, satu di antaranya diangkat oleh pemerintah pusat.
Dalam prosesnya, pemerintah lebih mengutamakan kemampuan (capability)
orangnya.
c. Pilkada era Orde Baru
Memasuki era Orde Baru, pemilihan kepala daerah diatur dalam UU No. 5
Tahun 1974. UU ini merupakan koreksi dan penyesuaian dari UU No. 18 Tahun
39 Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, 36
41
1965. Menurut Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I
(gubernur) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitnya tiga orang dan
sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan
Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya hasil pemilihan itu diajukan kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri sedikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang
diantaranya.
Adapun yang tercantum dalam Pasal 15 yakni :
(1) Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyknya 5
(lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama
antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ Pimpinan Fraksi-fraksi
depan Menteri Dalam Negeri.
(2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah
seorang diantaranya.
(3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Sedangkan Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD
dari sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan
Fraksi-Fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya hasil pemilihan itu
diajukan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sedikitnya dua orang
untuk diangkat salah seorang diantaranya.
Sebagaimana ketentuan Pasal 16, dirumuskan sebagai berikut:
42
(1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama
antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi
dengan Gubernur Kepala Daerah.
(2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk
diangkat salah seorang diantaranya.
(3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur
dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.
d. Pilkada era Reformasi
Setelah tumbangnya orde baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah
didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-
Undang ini merubah sistem pemerintah daerah yang semula sentralistis menjadi
desentralisasi yang lebih luas. Namun mekanisme Pilkada masih menggunakan
sistem tidak langsung, sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang
sebelumnya. Akan tetapi meskipun dipilih oleh DPRD, pemerintah pusat tidak
berhak campur tangan sebagai aktualisasi dari desentralisasi. Begitu mendapatkan
suara terbanyak, otomatis terpilih menjadi gubernur, bupati, atau walikota.
Benyamin, mengatakan “Persoalannya gubernur merangkap dua jabatan
(dual role) sebagai pejabat desentralisasi dan dekonsentrasi. Sementara jabatan
bupati atau walikota semata-mata dalam rangka desentralisasi. Akibatnya pamor
gubernur redup di mata bupati dan walikota, karena mereka menganggap bukan
bawahan gubernur dan sama-sama dipilih langsung oleh DPRD.”40
40 Benyamin Hoessein, Loc.Cit
43
Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakibatkan
Presiden tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
melainkan oleh rakyat secara langsung, pada tahun 2004. Maka wacana pemilihan
kepala daerah secara langsung akhirnya diatur dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan pengganti dari
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 ini, Pilkada belum
dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada 1 Juni 2005. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim
Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
2.2. Hubungan otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara
langsung
Cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia
bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
44
Berkaitan dengan unsur memajukan kesejahteraan (yang digaris bawahi)
yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945,
menunjukkan tipologi negara hukum Indonesia bertipologi negara kesejahteraan.
Sehingga korelasi dengan pemerintah adalah menunjukkan bahwa
penyelenggaraan negara haruslah memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa landasan konstitusional pemerintahan
daerah yakni pada pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Sedangkan penjabarannya secara eksplisit diatur dalam
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 2
UU Pemerintahan Daerah, Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini
berdasarkan Pasal 18 ayat (1), (2) dan ayat (5) yang menentukan :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan
daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah.
45
Implikasi dari ketentuan tersebut pemerintah daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mengartikan Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam teori otonomi yang berkaitan dengan pendistribusian wewenang
dalam penyelenggaraan Negara atau pemerintahan pusat dan daerah ada tiga
bentuk :
Pertama, hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi territorial
Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi territorial
Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.41
Adapun yang dimaksud dengan Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kemudian Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
41 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)
Fakultas Hukum UII, (Buku I), Yogyakarta, 2001, h. 32
46
oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan Tugas pembantuan adalah
penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi
kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Adapun yang menjadi kelebihan desentralisasi, menurut Riwu Kiwo,
yaitu:
1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan
2. Keseimbangan dan keserasian daerah tidak perlu menunggu antara
bermacam-macam instruksi dari pusat.
3. Desentralisasi territorial, dapat segera mendorong dilaksanakan.
4. Dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi
kepentingan tertentu, khususnya desentralisasi territorial dapat lebih
mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan/keperluan dan keadaan
khusus daerah.
5. Dengan adanya desentralisasi, daerah otonom dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi seluruh Negara.
6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah
pusat.
7. Secara psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan
bagi daerah-daerah karena sifatnya lebih langsung ke sasaran.42
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
42 Riwu Kiwo dalam H.M Sjaiful Rachman, Pembangunan dan Otonomi Daerah
Realisasi Program Kabinet Gotong Royong. Yayasan Pancur Siwah, 2002, h. 88
47
Mawardi Oentarto, mengemukakan bahwa pembentukan daerah otonom
dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya
negara federasi
2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan
bentuk penyerahan atau pengakuan atau urusan pemerintahan yang
diberikan kepada daerah.
3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan
pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas)
sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.43
Bagir Manan44, berpendapat, sistem otonomi riil mempunyai ciri khas,
urusan-urusan rumah tangga ditetapkan secara materiil, daerah-daerah dalam
rumah tangga dapat mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan yang
menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan
diurus oleh pemerintah pusat. Otonomi dalam rumah tangga riil didasarkan pada
faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan
rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.
Adapun hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi, yang tertuang
dalam pasal 21 Undang-undang Pemerintahan Daerah, diantaranya :
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
43 Mawardi Oentarto, S, Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia,
“Kumpulan Makalah”, Program Pascasarjana UGM, 13 Mei 2002, Yogyakarta, h. 2 44 Bagir Manan, Hubungan antar Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, (Buku II),
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 32.
48
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Disamping memiliki hak, terdapat pula kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, yakni :
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Jika dikaji secara mendalam tidak semua urusan pemerintah pusat
dilimpahkan kepada daerah, karenanya otonomi dalam hal ini tidak berarti tidak
terbatas. Adapun yang menjadi urusan Propinsi dan Kabupaten/Kota tercantum
dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu:
Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
49
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
50
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Jika memandang otonomi secara luas maka perlu mengutip ajaran catur
Praja dari Van Vollenhoven yaitu pembentukan perundang-undangan sendiri,
melaksanakan sendiri, melakukan peradilan sendiri dan melakukan tugas
kepolisian sendiri pada otonomi daerah hanya melaksanakan tugas peradilan yang
tidak ada. Namun, Amrah Muslimin45, mengatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara kesatuan pokok pangkal mengenai otonomi adalah “otonomi dalam
Negara kesatuan”.
Sedangkan pembatasan dari kewenangan daerah, diatur dalam Pasal 10
ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yakni;
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
45 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Otonomi Daerah, Buku I, Bandung, Alumni, 1978,
h.15.
51
Menurut Larry Diamond dan Brian C Smith, esensi dari demokratisasi
pemerintah lokal adalah untuk memperluas kesempatan check and balances antara
pemerintah lokal dan pemerintah pusat.46
Pendapat Larry tersebut memberikan pemahaman meskipun otonomi
seluas-luasnya namun tidak berarti tanpa kontrol dari pemerintah pusat. Hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan pembatasan kewenangan yang
tidak dapat diberikan kepada daerah.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan
pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman
daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan
pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan
perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai
dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
46 Kacung Maridjan, dalam Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, dan
Demokrasi Lokal, Jakarta, November 2007.
52
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi
setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah
otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian
utama dari tujuan nasional
Dalam kaitan dengan hal tersebut, C.F Strong47 mengatakan; The essence
of a unitary state is that the sovereignity is undivided or in other words, that
powers of the central government are unrestricted, for constitution of a unitary
state does not admit of any other law making body than the central one.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain
itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama
antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah
47 C.F. Strong, Modern Political Constitution, (Sidgusick & Jackson Limited, 1952), p.
231
53
ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi
daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan
Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah
Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan negara.
Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah, adalah upaya
memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan
hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian
tuntutan mayarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi
daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan, serta memelihara
kesinambungan fiscal secara nasional. Banyak harapan yang dimungkinkan dari
penerapan otonomi daerah. Seiring dengan itu tidak sedikit pula masalah,
tantangan dan kendala yang dihadapi oleh daerah.48
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang
hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian
pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.
Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi,
pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah
wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan,
dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan
secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
48 HAW. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, h. 1
54
Dalam buku The Liang Gie, dikatakan desentralisasi hanya soal teknis
pemerintahannya, yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya,
seperti:49
a. Bahwa rakyat di daerah adalah berkewajiban memajukan daerahnya
b. Bahwa rakyat daerah itu lebih erat hubungannya dan lebih kenal
dengan kepentingan-kepentingan.
c. Penyelesain suatu masalah dapat dilakukan secara lebih serasi dengan
sifat dan kondisi daerah yang bersangkutan.
d. Pengurusan mengenai beberapa hal, dapat dilakukan dari tempat yang
lebih jauh dari tempat urusan yang bersangkutan.
Pemberian otonomi daerah dengan sistem desentralisasi yang memberikan
kewenangan penuh kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya untuk kesejahteraan rakyat ternyata berimplikasi juga pada pemilihan
kepala daerah. Dikarenakan tujuan otonomi untuk kesejahteraan rakyat, maka
mekanisme terhadap Pilkada pun berubah menjadi Pilkada langsung, sehingga
memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin yang
dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan pemilihan langsung demikian diharapkan dapat menghasilkan
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang betul-betul bertanggung jawab pada
rakyat. Pertanggung jawaban kepala daerah terpilih terhadap rkyat dalam bentuk
49 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,
Suatu analisa tentang masalah-masalah desentralisasi dan penyelesainnya, Jakarta, Gunung Agung
1986, jilid III, h. 38-39.
55
pelayanan dan kebijakan pembangunan, karena sesuai konsep otonomi daerah,
dimana kepala daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola
daerahnya.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan kabupaten/kota
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan adanya Undnag-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai peran
yang sangat strategis dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi,
keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang
serasi antara pemerintah dan daerah serta antar daerah. Oleh karena itu diperlukan
figur kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mengembangkan
inovasi demi kesejahteraan rakyat.
Karenanya hakekat otonomi daerah yakni untuk kesejahteraan rakyat
sangat relevan dengan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah yang
semula diwakili oleh DPRD menjadi langsung dipilih oleh rakyat. Sebab, adanya
jaminan dari Negara kepada rakyatnya untuk memilih calon pemimpin yang
berkualitas sehingga dapat bertanggung jawab pada konstituenny (rakyatnya).
2.3. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kepala daerah, dalam dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentng
pemerintahan, adalah gubernur (kepala daerah provinsi), bupati (kepala daerah
kabupaten), atau walikota (kepala daerah kota). Kepala daerah dibantu oleh
56
seorang wakil kepala daerah. Sejak tahun 2005, pasangan kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Pasangan tersebut dicalonkan
oleh partai politik dan/atau independen.
Adapun yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyangkut Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam Undang-undang tersebut, Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada
DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hukum administrasi antara wewenang dan kekuasaan berbeda arti.
Jika dalam bahasa Inggris, “kekuasaan” diartikan sebagai “power”50, sedangkan
“kewenangan” dalam bahasa Inggris diartikan “authority atau competence”.51
Menurut Soerjono Soekanto, Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan baik dengan sukarela
atau terpaksa.52 Dilain pihak Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah
kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian kekuasaan yang
50 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Edisi Ketiga, Gramedia,
Jakarta, 1997, 313 51 Ibid, h. 614 52 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Radjawali, Jakarta, 1989, h. 241
57
sifatnya derivative. Perolehan kekuasaan secara derivative dibedakan atas delegasi
dan mandate.53
Sedangkan Kewenangan, menurut SF. Marbun, yaitu kekuasaan yang
diformalkkan baik terhadap golongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap
suatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan
legislative maupun kekuasaan pemerintah sedangkan wewenang hanya mengenai
suatu onderdil tertntu saja sehingga kewenangan merupakan kumpulan dari
wewenang-wewenang.54
Philipus M. Hadjon, memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan
istilah “wewenang” dan “bevoigheid” digunakan dalam konsep hukum privat dan
hukum publik, sedangkan wewenang selalu digunakan dalam konsep hukum
publik.55
Sedangkan Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah;
b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi
vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan
perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan
pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di
wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah
kabupaten/kota;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
53 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap
Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, h. 39 54 SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1997, h. 185 55 Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des
1997, h. 1
58
f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang
diberikan oleh kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala
daerah berhalangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab
kepada kepala daerah. Apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan
secara terus menerus dalam masa jabatannya maka wakil kepala daerah
menggantikan kepala daerah tersebut.
Dengan demikian posisi wakil kepala daerah hanyalah sebagai “ban serep”
dari kepala daerah, “Dalam perspektif hukum tata negara tidak dapat kita pungkiri
bahwa posisi wakil kepala daerah hanyalah sebagai ban serep saja. Tugas dan
fungsi wakil kepala daerah hanya residu dari tugas dan fungsi kepala daerah
karena hal-hal yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan oleh
Sekretaris Daerah.”56
M. Solly Lubis dalam bukunya Hukum Tata Negara, menyatakan “tugas”
adalah kekuasaan dalam rangka pelaksanaan pemerintah negara sesuai dengan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam konstitusi aturan-aturan
pelaksanaanya.57
Adapun yang menjadi kewajiban bagi kepala daerah dan wakil kepala
daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yakni:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
56 Dilema Wakil Kepala Daerah, Batampost.co.id, 1 Maret 2010 57 Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandiri Maju, Bandung, 1992, h. 26
59
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan demokrasi;
e. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
f. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah;
g. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan
daerah;
j. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah
dan semua perangkat daerah;
k. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan
daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Selain mempunyai kewajiban tersebut, kepala daerah mempunyai
kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada Pemerintah yang disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri (untuk Gubernur) atau kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur
(untuk bupati/walikota) untuk digunakan sebagai dasar melakukan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Untuk melancarkan dalam menjalankan tugas dan wewenang kepala
daerah dan wakil kepala daerah, maka Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi
diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan
kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau
mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
60
b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik
negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan
daerah yang bersangkutan;
d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang
dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;
e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan,
kecuali mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota
DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, berakhirnya jabatan kepala
daerah dan wakil kepala daerah dikarenakan berhenti dan diberhentikan.
Berhentinya kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
Sedangkan diberhentikannya Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, karena:
a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah;
e. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah;
f. melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
61
Dari kepala daerah, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota, yang memiliki
fungsi ganda yakni sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat adalah
Gubernur. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil
Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam kedudukannya
tersebut, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur memiliki tugas dan wewenang,
yakni:
a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota;
b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan
kabupaten/kota;
c. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Sedangkan tindak lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang
Gubernur diatas, diatur dalam Peraturan Pemerintah.