10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Keterampilan Menulis Narasi
a. Pengertian Keterampilan
Keterampilan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau
bidang tertentu jelas berbeda-beda. Keterampilan dapat diperoleh melalui
proses belajar dan latihan yang berkesinambungan. Melalui keterampilan,
seseorang akan mampu menghasilkan suatu pola pikir dan karya inovatif
dengan penyelesaian yang efektif dan efisien.
Keterampilan merupakan suatu kemampuan yang dikuasai seorang
individu melalui proses yang bertahap dengan banyak latihan dan biasanya
dipengaruhi oleh pengalaman. Seseorang dikatakan terampil apabila ia
dapat melaksanakan kegiatan atau menyelesaikan suatu pekerjaan dengan
cepat dan tepat. Keterampilan ini berkembang secara bertahap, dimulai
dari yang sederhana, hingga yang kompleks.
Pernyataan di atas didukung oleh pendapat beberapa ahli , antara
lain, Soemarjadi, Ramanto, dan Zahri (2001: 2) mengemukakan bahwa
terampil atau cekatan adalah kemampuan atau kepandaian seseorang
dalam melakukan suatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Apabila
seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan dengan cepat namun tidak
benar, maka kemampuan tersebut bukan merupakan keterampilan.
Demikian pula, apabila seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan
dengan benar namun lambat, hal tersebut juga belum bisa dinamakan
dengan keterampilan. Soemarjadi, dkk menekankan keterampilan pada
kecepatan dan kebenaran seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sementara itu, Syah (2014: 117) berpendapat bahwa keterampilan
merupakan kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-
otot (neuromuscular) yang biasanya tampak dalam kegiatan jasmaniah
11
seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya. Pendapat dari Syah
ini lebih menitikberatkan pada bagaimana keterampilan itu merupakan
kegiatan yang dilakukan secara praktik dengan melibatkan urat-urat syaraf
dan otot. Melengkapi pendapat tersebut, Reber (1988) menyatakan bahwa
keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang
kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk
mencapai hasil tertentu (Syah 2014: 117). Dalam hal ini, keterampilan
bukan hanya gerakan motorik semata, melainkan juga pengejawantahan
fungsi mental yang bersifat kognitif. Senada dengan pendapat di atas,
Hamalik (2003: 173) mengartikan keterampilan sebagai serangkaian
gerakan otot untuk menyelesaikan tugas dengan berhasil. Untuk dapat
menyelesaikan tugas dengan berhasil diperlukan banyak latihan, tidak
hanya sekali namun berkali-kali. Selaras dengan pernyataan tersebut
Tarigan (2008: 1) menyatakan bahwa pemerolehan dan penguasaan
keterampilan hanya dapat dilakukan dengan jalan praktik dan banyak
pelatihan. Praktik menggambarkan bahwa keterampilan merupakan suatu
aktivitas jasmaniah, sedangkan pelatihan menjelaskan bahwa suatu
keterampilan dapat dikuasai apabila dilakukan secara berulang-ulang.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan dengan cepat dan tepat, melalui praktik, dan latihan yang
berkesinambungan.
b. Pengertian Menulis
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa
yang mendasar. Menulis merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh
setiap orang dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam seluruh
proses belajar yang dialami oleh siswa. Semi (2007: 14) berpendapat
bahwa menulis adalah suatu proses kreatif memindahkan ide atau gagasan
ke dalam bentuk lambang-lambang tulisan yang dapat dilihat dan dapat
dipahami oleh pembaca. Menurutnya, menulis mempunyai tiga aspek
12
utama, yaitu tujuan yang akan dicapai, gagasan yang hendak
dikomunikasikan, sistem pemindahan gagasan berupa sistem bahasa
Senada dengan pendapat di atas, Andayani (2009: 29) mengatakan
bahwa menulis merupakan aktivitas melahirkan pikiran dan perasaan lewat
tulisan dengan memperhatikan aspek-aspek kebahasaan yang baik dan
benar sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Sementara itu, menurut
Dalman (2014: 3) menulis merupakan suatu kegiatan komunikasi berupa
penyampaian pesan (informasi) secara tertulis kepada pihak lain dengan
menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Dalam hal ini
aktivitas menulis melibatkan beberapa unsur penting yaitu: a) penulis
sebagai penyampai pesan; b) isi tulisan; c) alat atau media; dan d)
penerima pesan/ pembaca. Karena menulis merupakan suatu kegiatan
komunikasi, maka diharapkan maksud dan tujuan dari pihak pengirim
pesan dapat dipahami dengan baik oleh pihak penerima pesan. Atau
dengan kata lain, maksud dan tujuan dari suatu tulisan dapat tersampaikan
dengan baik kepada pembacanya. Pendapat tersebut didukung oleh
pernyataan dari Tarigan (2008: 22) yang menyatakan menulis ialah
menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga
orang-orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau
mereka memahami bahasa dan gambaran itu.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
menulis adalah kegiatan penyampaian ide atau gagasan dalam bentuk
grafis atau tulisan sehingga dapat dipahami oleh pembaca.
c. Narasi
1) Pengertian Narasi
Narasi berasal dari kata to narrate, yang berarti bercerita.
Narasi merupakan suatu karangan yang menceritakan suatu peristiwa
secara kronologis. Artinya di dalam karangan narasi terdapat urut-
urutan waktu sesuai dengan kehidupan tokohnya. Pernyataan tersebut
13
didukung oleh pendapat Kusmana (2014: 71) yang mengemukakan
bahwa narasi adalah jenis karangan yang strukturnya disajikan dalam
bentuk rangkaian peristiwa atau kisah. Melengkapi pendapat tersebut,
Keraf (1982: 136) menyatakan narasi adalah suatu bentuk wacana
yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan
dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam kesatuan
waktu. Atau dengan kata lain narasi adalah suatu bentuk wacana yang
berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca
suatu peristiwa yang telah terjadi. Senada dengan pendapat di atas
Dalman (2014: 106) berpendapat bahwa narasi adalah cerita yang
berusaha menciptakan, mengisahkan, dan merangkaikan tindak-
tanduk manusia dalam sebuah peristiwa atau pengalaman manusia dari
waktu ke waktu, juga di dalamnya terdapat tokoh yang menghadapi
suatu konflik yang disusun secara sistematis.
Avraamidou & Osborne (2010: 8) yang mengutip pernyataan
Chatman (1978) mengemukakan bahwa:
Narrative is basically a kind of text organization, and that
organization, that schema, needs to be actualized: in written
words, as in stories and novels; in spoken words combined
with the movement of actors imitating characters against sets
which imitate places, as in plays and films; in drawings; in
comic strips; in dance movements, as in narrative ballet and in
mime; and even in music.
(Narasi pada dasarnya adalah jenis organisasi teks, dan
pengorganisasiannya seperti skema yang perlu diaktualisasikan
dalam kata-kata tertulis seperti dalam cerita dan novel, dalam
kata-kata yang diucapkan, dikombinasikan dengan gerakan
aktor yang meniru karakter, seperti di drama dan film; dalam
gambar; di komik; dalam gerakan tari seperti dalam narasi
sendratari dan dalam aksi lawak; dan bahkan dalam musik.)
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa narasi adalah suatu karangan yang menceritakan
tentang tindak-tanduk dan perbuatan tokoh dengan sejelas-jelasnya,
sistematis sesuai dengan urutan kejadiannya/ kronologis.
14
2) Tujuan Menulis Narasi
Setiap tulisan mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Menurut
Dalman (2014:106), karangan narasi mempunyai tujuan sebagai
berikut:
a) Agar pembaca seolah-olah sudah menyaksikan atau
mengalami kejadian yang diceritakan; b) Berusaha
menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca
suatu peristiwa yang telah terjadi, serta menyampaikan amanat
terselubung kepada pembaca atau pendengar; c) Untuk
menggerakkan aspek emosi; d) Membentuk citra atau imajinasi
para pembaca; e) Memberikan informasi kepada pembaca dan
memperluas pengetahuan; f) Menyampaikan sebuah makna
kepada pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari menulis narasi adalah
untuk menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca
tentang suatu peristiwa yang telah terjadi sehingga membawa
pembaca seolah-olah menyaksikan/ mengalami secara langsung
peristiwa yang diceritakan. Melalui penggambaran yang sejelas-
jelasnya ini akan menggerakan aspek emosi dan membentuk imajinasi
pembaca, sehingga makna dan amanat yang tersirat dalam cerita dapat
tersampaikan dengan baik.
3) Prinsip-prinsip Narasi
Dalam menulis narasi, terdapat prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Suparno dan
Yunus (2007: 4. 39) yang menyatakan bahwa dalam menulis sebuah
karangan narasi perlu diperhatikan prinsip-prinsip dasar narasi sebagai
tumpuan berpikir bagi terbentuknya karangan narasi. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain : a) Alur, yaitu rangkaian pola tindak-tanduk yang
berusaha memecahkan konflik yang terdapat dalam narasi, dan
berusaha mengembalikan situasi narasi ke dalam keadaan yang
seimbang dan harmonis. Dengan demikian alur merupakan unsur
cerita yang sangat penting. Keraf (1982: 148) mengemukakan, alur
15
mengatur bagaimana keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan
yang lainnya, bagaimana karakter tokoh yang tergambar dalam
tindakannya, dan bagaimana situasi dan perasaan tokoh yang terlibat
dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu;
b) Penokohan, salah satu ciri khas dari karangan narasi ialah
mengisahkan tokoh dalam suatu rangkaian peristiwa atau kejadian.
Tokoh ini merupakan pelaku dari tindak-tanduk yang diceritakan di
dalam cerita narasi; c) Latar, adalah tempat dan/atau waktu terjadinya
perbuatan tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh. Latar dapat
digambarkan secara hidup-hidup dan terperinci, dapat pula
digambarkan secara sketsa, sesuai dengan fungsi dan perannya pada
tindak-tanduk yang berlangsung. Latar dapat menjadi unsur yang
penting dalam kaitannya dengan tindak tanduk yang terjadi, atau
hanya berperan sebagai unsur tambahan saja; d) Titik pandang,
merupakan prinsip yang mempersoalkan siapakah narator dalam
narasi itu, dan apa atau bagaimana relasinya dengan seluruh proses
tindak-tanduk karakter-karakter dalam narasi. Apa pun sudut pandang
yang dipilih pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita.
Sebab, watak dan pribadi si pencerita akan banyak menentukan cerita
yang dituturkan pada pembaca.
4) Ciri-ciri Karangan Narasi
Setiap karangan mempunyai karakter atau ciri-ciri tersendiri
yang membedakannya dengan jenis karangan yang lain. Menurut
Keraf (1982: 136), karangan narasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Menonjolkan unsur perbuatan atau tindakan; b) Dirangkai dalam
urutan waktu; c) Berusaha menjawab pertanyaan, apa yang telah
terjadi. Maksudnya adalah tindak-tanduk apa saja yang dilakukan oleh
orang-orang atau tokoh-tokoh dalam cerita; d) Ada konflik, hal ini
dikarenakan narasi dibangun oleh sebuah alur cerita. Alur ini tidak
akan menarik jika tidak ada konflik.
16
Sementara itu, Semi (2007: 53) berpendapat bahwa ciri-ciri
karangan narasi adalah: a) Tulisan itu berisi cerita tentang kehidupan
manusia; b) Peristiwa kehidupan manusia yang diceritakan itu
merupakan kehidupan nyata, imajinasi, dan gabungan keduanya; c)
Cerita itu memiliki nilai keindahan, baik keindahan isinya maupun
penyajiannya; d) Di dalam peristiwa itu ada konflik, yaitu
pertentangan kepentingan, kemelut, atau kesenjangan antara harapan
dan kenyataan. Tanpa konflik cerita tidak akan menarik; e)
Menekankan susunan secara kronologis.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
ciri-ciri karangan narasi itu berisi suatu cerita tentang kehidupan tokoh
yang menekankan susunan secara kronologis dari waktu ke waktu dan
memiliki konflik yang menjadikan cerita itu menarik. Ciri-ciri inilah
yang membedakan karangan narasi dengan karangan yang lainnya.
5) Jenis-jenis Karangan Narasi
Keraf (1982: 136) berpendapat bahwa karangan narasi terdiri
dari dua jenis, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
a) Narasi Ekspositoris
Narasi Ekspositoris adalah narasi yang memiliki sasaran
penyampaian informasi secara tepat tentang suatu peristiwa
dengan tujuan memperluas pengetahuan tentang kisah seseorang.
Peristiwa yang disampaikan penulis pada karangan narasi
ekspositoris berdasarkan data yang sebenarnya dialami oleh tokoh,
tidak boleh fiktif dan tidak boleh bercampur dengan daya khayal
pengarangnya. Narasi ekspositoris bertujuan untuk menggugah
pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan,
karena sasaran utamanya adalah rasio yang berupa perluasan
pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut.
17
Narasi ekspositoris dapat bersifat khas/ khusus dan
generalisasi. Narasi ekspositoris yang bersifat khusus adalah narasi
yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang
hanya terjadi satu kali dan tidak dapat diulang kembali karena
merupakan pengalaman atau kejadian pada suatu waktu tertentu
saja. Sedangkan narasi ekspositoris yang bersifat generalisasi
adalah narasi yang menyampaikan suatu proses yang umum, yang
dapat dilakukan siapa saja dan berulang-ulang sehingga seseorang
dapat memperoleh kemahiran mengenai hal itu. Contoh narasi
ekspositoris adalah biografi, autobiografi, kisah perjalanan
seseorang, kisah kepahlawanan, catatan harian, dsb.
b) Narasi Sugestif
Narasi sugestif adalah narasi yang berusaha untuk
memberikan suatu maksud tertentu, menyampaikan suatu amanat
terselubung kepada para pembaca atau pendengar sehingga
tampak seolah-olah melihat. Dalam narasi sugestif pengarang
diizinkan menggunakan daya khayal yang dimiliki untuk
menghidupkan sebuah cerita. Hal ini dikarenakan tujuan utamanya
bukan lagi memperluas pengetahuan seseorang, melainkan
memberi makna atas peristiwa atau kejadian itu sebgai suatu
pengalaman. Contoh narasi sugestif antara lain novel, roman,
cerpen, naskah drama, dsb.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa ada
perbedaan antara narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Perbedaan
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
18
Tabel 2.1 Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Narasi Sugestif
No. Narasi Ekspositoris Narasi Sugestif
1.
2.
3.
4.
Memperluas pengetahuan.
Menyampaikan informasi
mengenai suatu kejadian.
Didasarkan pada penalaran
untuk mencapai kesepakatan
rasional.
Bahasanya lebih condong ke
bahasa informatif dengan titik
berat pada penggunaan kata-
kata denotatif.
Menyampaikan makna/ amanat
yang tersirat.
Menimbulkan daya khayal.
Penalaran hanya berfungsi
sebagai alat untuk
menyampaikan makna,
sehingga kalau perlu penalaran
dapat dilanggar.
Bahasanya lebih condong ke
bahasa figuratif dengan
menitikberatkan penggunaan
kata-kata konotatif.
(Sumber: Keraf, 1982:138)
Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang terlihat antara narasi
ekspositoris dan narasi sugestif, maka dalam penelitian ini peneliti
memilih jenis narasi ekspositoris untuk diterapkan pada pembelajaran
keterampilan menulis narasi siswa kelas IV SDN Karangasem II No.
172 Surakarta.
6) Langkah-langkah Pengembangan Narasi
Untuk mempermudah pengembangan karangan narasi, berikut
ini disajikan langkah-langkah pengembangan dalam menulis karangan
narasi menurut Dalman (2014: 110) yakni meliputi : a) Menentukan
tema dan amanat yang akan disampaikan; b) Menetapkan sasaran
pembaca; c) Merancang peristiwa-peristiwa utama yang akan
ditampilkan dalam bentuk skema alur; d) Membagi peristiwa utama ke
dalam bagian awal, perkembangan, dan akhir cerita; e) Merincikan
peristiwa-peristiwa utama ke dalam detail-detail peristiwa sebagai
pendukung cerita; f) Menyusun tokoh dan perwatakan, latar, dan sudut
pandang.
7) Proses Menjadi Penulis Narasi yang Baik
19
Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling
sulit jika dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lainnya.
Hal ini disebabkan oleh kompleksitas kompetensi yang harus dikuasi
dalam keterampilan menulis. Pernyataan tersebut selaras dengan
pendapat Tangpermpoon (2008: 1) berpendapat “When compared with
other fundamental skills such as listening, speaking and reading,
writing is the most difficult skill because it requires writers to have a
great deal of lexical and syntactic knowledge...”. Inti dari pendapat
Tangpermpoon adalah ketika dibandingkan dengan keterampilan dasar
yang lainnya, seperti mendengarkan, berbicara dan membaca, menulis
adalah keterampilan yang paling sulit karena menuntut penulis untuk
memiliki banyak pengetahuan leksikal dan gramatikal. Pendapat
Tangpermpoon senada dengan pendapat dari Javed, Juan, & Nazli
(2013: 130), “The writing skill is more complicated than that of other
language skills. Advanced writing skill is one of the basic requirements
for better academic performance as well as other activities related to
writing presentation”. Maksudnya yakni keterampilan menulis lebih
rumit daripada keterampilan berbahasa yang lainnya. Pengembangan
keterampilan menulis adalah salah satu persyaratan dasar untuk hasil
akademik yang lebih baik maupun kegiatan-kegiatan lain yang
berhubungan dengan menulis.
Oleh karena itu, untuk menjadi seorang penulis narasi yang
baik, maka harus melalui sebuah proses yang dimulai dari hal
sederhana hingga yang paling kompleks. Proses yang pertama adalah
memahami pengertian menulis dan pengertian narasi. Dengan
pemahaman tersebut maka pebelajar akan fokus terhadap apa yang
seharusnya dilakukan. Pemahaman ini menjadi pedoman bagi
pebelajar tentang apa saja batasan-batasan dalam menulis. Kemudian
untuk menjadi penulis narasi yang baik, harus mempunyai kemampuan
awal yang meliputi pengetahuan dan wawasan yang luas seputar dunia
penulisan. Dengan pengetahuan dan wawasan yang dimiliki,
20
diharapkan pebelajar akan lebih siap dan terhindar dari kebingungan
ketika menulis. Kemampuan awal ini merupakan kemampuan dasar
bagi seorang penulis.
Pada dasarnya menulis merupakan suatu aktivitas, oleh karena
itu sangat dibutuhkan ketelatenan dan keuletan dalam berlatih. Dengan
banyak berlatih akan meningkatkan keterampilan pebelajar dalam
menulis. Latihan ini meliputi penggunaan ejaan dan tanda baca serta
penerapan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penguasaan
ejaan dan tanda baca serta penerapan tata bahasa dapat memberi
manfaat kepada pebelajar dalam kelancaran menulis sebuah topik atau
bahasan.
Tahap selanjutnya adalah tahap dimana pebelajar mulai
menulis dalam suatu kerangka, seperti latihan transformasi,
penggabungan kalimat, dan perluasan kalimat. Dalam tahap ini,
keterpaduan antarkalimat dan antarparagraf perlu diperhatikan.
Berikutnya, pebelajar melakukan kegiatan menulis terbimbing dan
bebas. Dalam menulis terbimbing, pebelajar mendapatkan masih
bimbingan baik dari ahli maupun dari aturan-aturan yang harus
diperhatikan. Sedangkan dalam menulis bebas, pebelajar sudah tidak
mendapatkan bimbingan. Karena dalam hal ini, pebelajar sudah
mampu untuk mengekspresikan tulisan sesuai dengan aturan-aturan
yang telah dipahami.
Berdasarkan beberapa tahapan yang telah disebutkan di atas,
maka dapat diambil tiga tahap utama dalam proses menjadi penulis
narasi yang baik yaitu perencanaan (planning), peninjauan kembali
(rescanning), dan perbaikan (revising). Pada tahap perencanaan
pebelajar mengumpulkan data dan informasi untuk membangun
kerangka karangan yang hendak ditulis. Kemudian pada tahap
peninjauan kembali, pebelajar memeriksa kembali hasil tulisannya.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan- kesalahan
yang dilakukan dalam penulisan. Dalam melakukan peninjauan
21
kembali, pebelajar dapat memeriksa sendiri hasil tulisannya atau dapat
meminta bantuan orang lain. Terakhir adalah tahap perbaikan, di mana
pebelajar memperbaiki kesalahan- kesalahan yang terdapat dalam
tulisannya. Tahap ini perlu mendapat perhatian khusus karena sering
kali seorang penulis merasa malas untuk melakukan perbaikan
terhadap hasil tulisannya. Setelah melewati proses perencanaan,
peninjauan kembali, dan perbaikan maka seseorang dapat dikatakan
sebagai penulis narasi yang baik.
d. Keterampilan Menulis Narasi
1) Pengertian Keterampilan Menulis Narasi
Menurut Slamet (2014: 109) yang mengutip pernyataan Byrne
(1979), keterampilan menulis adalah kemampuan menuangkan buah
pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai
secara utuh, lengkap, dan jelas sehingga buah pikiran dapat
dikomunikasikan kepada pembaca dengan berhasil. Sementara itu, Dalman
(2014: 106) berpendapat bahwa narasi adalah cerita yang berusaha
menciptakan, mengisahkan, dan merangkaikan tindak-tanduk manusia
dalam sebuah peristiwa atau pengalaman manusia dari waktu ke waktu,
juga di dalamnya terdapat tokoh yang menghadapi suatu konflik yang
disusun secara sistematis. Jadi, keterampilan menulis narasi adalah
kemampuan seseorang dalam menuangkan ide dan gagasan dalam bahasa
tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh, lengkap, dan
jelas dengan tujuan untuk menceritakan tindak-tanduk manusia dalam
sebuah peristiwa atau pengalaman manusia dari waktu ke waktu secara
sistematis dan kronologis.
2) Pembelajaran Keterampilan Menulis Narasi di Sekolah Dasar
Sekolah dasar merupakan momentum awal bagi anak untuk
meningkatkan keterampilan dirinya. Salah satu keterampilan yang
diharapkan dimiliki oleh siswa dari sekolah dasar adalah keterampilan
22
berbahasa yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan karena
bahasa merupakan modal terpenting bagi manusia. Dalam pembelajaran
bahasa Indonesia ada empat keterampilan berbahasa yang harus dimiliki
oleh siswa, diantaranya adalah keterampilan menulis.
Berdasarkan silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006 pembelajaran keterampilan menulis di sekolah dasar kelas IV
semester II mengacu pada standar kompetensi 8, dan pada kompetensi
dasar 8.1. Adapun penjabarannya dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2 SK dan KD Pembelajaran Menulis kelas IV
(Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2006)
Berkaitan dengan silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) 2006 di atas, dapat dilihat bahwa menyusun karangan merupakan
kompetensi dasar yang dipelajari di kelas IV. Oleh karena itu, penelitian
ini akan fokus meneliti keterampilan menulis terutama menulis karangan
narasi.
3) Indikator Keterampilan Menulis Narasi
Keberhasilan belajar merupakan prestasi siswa yang dicapai dalam
proses belajar mengajar. Untuk mengetahui keberhasilan tersebut ada
beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai tanda bahwa suatu proses
belajar mengajar dianggap berhasil atau tidak. Indikator merupakan acuan
untuk menentukan apakah siswa telah berhasil menguasai kompetensi.
Indikator keberhasilan belajar dapat dilihat dari berbagai jenis
perbuatan atau pembentukan tingkah laku siswa. Salah satunya yaitu
dilihat dari keterampilan menulisnya. Keterampilan menulis adalah
kemampuan menuangkan buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
8. Mengungkapkan pikiran, pe-
rasaan, dan informasi secara
tertulis dalam bentuk
karangan, pengumuman, dan
pantun anak.
8.1 Menyusun karangan tentang
berbagai topik sederhana
degan memperhatikan peng-
gunaan ejaan (huruf besarm
tanda titik, tanda koma, dan
lain-lain).
23
kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh, lengkap, dan jelas sehingga
buah pikiran dapat dikomunikasikan kepada pembaca dengan berhasil.
Siswa dapat dikatakan berhasil dalam pembelajaran keterampilan menulis
apabila memenuhi indikator yang telah ditetapkan.
Adapun indikator yang dapat diterapkan dalam suatu karangan
menurut Dalman (2014: 103) antara lain : (a) Kesesuaian judul dengan isi
karangan; (b) Penggunaan dan penulisan ejaan; (c) Pilihan kata atau diksi;
(d) Struktur kalimat; (e) Keterpaduan antarparagraf; (f) Isi keseluruhan;
dan (g) Kerapian. Sementara itu, Nurgiyantoro mengemukakan bahwa
penilaian keterampilan menulis dapat menggunakan rubrik penilaian yang
mencakup lima indikator penilaian, yaitu indikator isi, organisasi,
kosakata, pengembangan bahasa, dan mekanik (2014: 441).
Dalam penelitian ini indikator-indikator keterampilan menulis yang
digunakan adalah menurut Nurgiyantoro. Namun, indikator-indikator ter-
sebut merupakan indikator keterampilan menulis karangan secara umum.
Jika indikator tersebut diterapkan pada keterampilan menulis karangan
narasi maka terdapat sedikit perbedaan yang disesuaikan dengan sifat dan
karakteristik dari karangan narasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 2. 3 Indikator Keterampilan Menulis Narasi
No. Indikator Penilaian
1. Isi Menceritakan tentang tindak-tanduk dan perbuatan
tokoh dengan sejelas-jelasnya, sistematis sesuai
dengan urutan kejadiannya
2. Organisasi Mengungkapkan gagasan/ ide dengan jelas,
penulisannya tertata dengan baik, urutannya logis
dan berkaitan satu dengan yang lain
3. Kosakata Menggunakan kosakata yang bervariasi dan
pemilihian kata/ diksi yang tepat.
4. Pengembang-
an bahasa
Kalimat yang digunakan harus efektif dan jelas
maknanya.
5. Mekanik Penguasaan aturan penulisan, penggunaan ejaan
dan tanda baca serta kerapian tulisan.
(Diadaptasi dari Nurgiyantoro, 2014: 441)
24
4) Penilaian Keterampilan Menulis Narasi
Untuk mengetahui apakah indikator yang ditetapkan telah dicapai
siswa, maka dilakukan penilaian pada saat pembelajaran berlangsung
maupun sesudahnya. Penilaian ini berhubungan dengan pengambilan ke-
putusan yang didasarkan pada nilai. Skor pengukuran hasil belajar menjadi
lebih bermakna dan dapat digunakan untuk mengambil keputusan jika
diubah menjadi nilai. Penilaian menulis dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu secara holistik dan per aspek. Penilaian holistik yang dimaksud
berupa penilaian menulis yang dilakukan secara utuh, tanpa melihat
bagian-bagiannya. Teknik penilaian ini lebih bersifat impresif
(berdasarkan kesan penilai). Sedangkan penilaian per aspek dilakukan
dengan cara menilai bagian-bagian karangan, misalnya: struktur tata
bahasa yang digunakan, pemilihan kata/ diksi, penggunaan tanfa baca dan
ejaan, organisasi ide, gaya penulisan, serta kekuatan argumentasi yang
disajikan. Hasil akhir penilaian ini adalah gabungan dari hasil penilaian
masing-masing aspek (Rofi’udin dan Zuhri, 2001: 190).
Berdasarkan kedua cara di atas, maka penilaian yang dilakukan
terhadap penelitian ini adalah penilaian per aspek. Pedoman untuk
melakukan penilaian yang pertama dilakukan yaitu menentukan aspek-
aspek yang dinilai. Kemudian yan kedua adalah menetukan bobot yang
diberikan untuk setiap aspek yang dinilai. Aspek-aspek yang dinilai dalam
keterampilan menulis narasi meliputi lima aspek yaitu: (a) isi; (b)
organisasi; (c) kosakata; (d) pengembangan bahasa; dan (e) mekanik
(Nurgiyantoro, 2014: 441).
Pada aspek isi, indikator yang dinilai meliputi padat tidaknya
informasi dalam karangan tersebut, substantif (memiliki gagasan pokok),
pengembangan tesisnya (pengembangan dari pokok pikiran), serta
kejelasan isi karangan dan relevan dengan topik yang ditentukan. Sebagai
contohnya dalam menulis narasi, siswa mampu mengembangkan tema
secara kreatif, isi tidak melenceng dari tema yang dipilih, dan dalam
pengembangannya sampai tuntas. Selanjutnya aspek organisasi, indikator
25
yang dinilai meliputi kelancaran ekspresi dalam mengarang, kejelasan
pengungkapan gagasan, penataan isi karangan, serta kelogisan urutan dan
keterkaitan isi karangan. Misalnya, dalam menulis narasi siswa mampu
mengungkapkan gagasan dengan jelas, padat, tertata dengan baik. Urutan
antar kalimat, antar paragraf juga logis dan memiliki kohesi dan koheren.
Kemudian pada aspek kosakata, indikator yang dinilai meliputi
pemanfaatan kata (banyak tidaknya kosakata yang digunakan),
penggunaan diksi, ketepatan penggunaan kata, dan penguasaan
pembentukan kata. Dalam hal ini, iswa mampu memilih kata dengan tepat
dan juga bisa memanfaatkan potensi kata dengan baik serta menguasai
pembentukan kata. Pada aspek pengembangan bahasa, indikator yang
dinilai meliputi pengonstruksian, keefektifan, serta kejelasan makna
kalimat. Sehingga diharapkan siswa mampu membuat kalimat dengan
konstruksi yang lengkap dan efektif serta dapat menggunakan bentuk
kebahasaan dengan benar. Terakhir aspek mekanik, artinya siswa
menguasai aturan penulisan yang meliputi aturan dalam ejaan dan tanda
baca. Maksudnya dalam menulis narasi, siswa mampu menggunakan ejaan
dan tanda baca yang tepat.
2. Hakikat Model Pembelajaran Visualization, Auditory, Kinesthetic (VAK)
a. Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Anitah (2009: 45) model adalah suatu kerangka berpikir
yang dipakai sebagai panduan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Sedangkan “Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar” (Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Dalam melaksanakan pembelajaran, seorang guru membutuhkan
model pembelajaran yang dapat membantu dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Trianto (2007: 1), model pembelajaran adalah suatu perencanaan
atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Senada dengan
26
pendapat di atas, Suwarto (2014: 136) mengungkapkan bahwa model
pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan
untuk menetukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya
buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Sementara itu, Joyce
& Weil (Rusman, 2014: 133) berpendapat bahwa model pembelajaran
adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk
kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-
bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang
lain.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas dan
untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
b. Pengertian Model Pembelajaran Visualization, Auditory, Kinesthetic
(VAK)
“Everyone learns in different ways. Some people need to see things
(visual style), some need to hear (auditory style), and some need to do
something with the things in order to learn them (kinesthetic style”
(Gholami & Bagheri, 2013: 700) . Artinya, setiap orang itu belajar dengan
cara yang berbeda-beda. Beberapa orang perlu melihat sesuatu (gaya
visual), beberapa perlu mendengar (gaya auditory), dan beberapa lagi
perlu melakukan sesuatu dengan ketentuan tertentu di dalamnya untuk
belajar (Gholami & Bagheri, 2013: 700).
Visualization, Auditory, Kinesthetic merupakan tiga modalitas yang
dimiliki oleh setiap manusia. Tiga modalitas pembelajaran ini pertama kali
dikembangkan oleh Neil Fleming (2001) untuk menunjukkan preferensi
individu dalam proses belajarnya (Huda, 2013: 287). Ketiga modalitas ini
digunakan untuk pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasi. DePorter,
Reardon, dan Singer-Nourie (mengutip pendapat Markova, 2005)
27
menyatakan bahwa orang tidak hanya cenderung pada satu modalitas,
mereka juga memanfaatkan kombinasi modalitas tertentu yang memberi
mereka bakat dan kekurangan alami tertentu (2014: 123).
“Model pembelajaran Visualization, Auditory, Kinesthetic atau
VAK adalah model pembelajaran yang mengoptimalkan ketiga modalitas
belajar tersebut untuk menjadikan si belajar merasa nyaman” (Shoimin,
2014: 226). Model pembelajaran VAK memiliki prinsip untuk menjadikan
situasi dan suasana belajar menjadi lebih nyaman dan menjanjikan
kesuksesan bagi pembelajarnya di masa depan.
Menurut Herdian, model pembelajaran VAK merupakan suatu
model pembelajaran yang menganggap pembelajaran akan efektif dengan
memperhatikan ketiga hal tersebut (Visualization, Auditory, Kinesthetic ),
dan dapat diartikan bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan
memanfaatkan potensi siswa yang telah dimilikinya dengan melatih dan
mengembangkannya (Shoimin, 2014: 226). Dengan kata lain, model
pembelajaran VAK adalah model yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk belajar langsung dengan bebas menggunakan modalitas yang
dimilikinya untuk mencapai pemahaman dan pembelajaran yang efektif.
Fleming berpendapat, “Siswa yang memiliki potensi belajar
membaca/ menulis akan lebih menyukai input dan output yang berbasis
teks, membaca dan menulis apapun yang didengarkan dan dipahami,
termasuk daftar-daftar, internet, powerpoint, kamus, kutipan, dan
sebagainya” (Huda: 2013, 288). Sementara itu, Shoimin (2014: 227)
mengemukakan bahwa pemanfaatan dan pengembangan potensi siswa
dalam pembelajaran ini harus memperhatikan kebutuhan dan gaya belajar
siswa. Untuk siswa visual, akan lebih mudah belajar dengan bantuan
media dua dimensi seperti grafik, gambar, chart, model, dan lain-lain.
Bagi siswa auditory akan lebih mudah belajar melalui pendengaran, bisa
melalui sesuatu yang diucapkan maupun dengan media audio. Sedangkan
untuk siswa dengan tipe kinesthetic akan lebih mudah belajar sambil
melakukan kegiatan tertentu, misalnya eksperimen, bongkar pasang,
28
membuat model, memanipulasi benda, dan sebagainya yang berhubungan
dengan sistem gerak.
Pernyataan di atas didukung oleh pendapat dari Leopold (2012: 96)
berikut ini:
Visual learners learn best when they see something like texts,
charts, tables, graphs, mind maps, graphic organizers, art,
drawings, pictures, posters, realia, and visualization; auditory
learners prefer to process information through oral/ aural modes
like discussion, debate, podcasts, dictations, jigsaw reading,
reading aloud, storrytelling, chain games/chants, and lectures; and
kinesthetic learners prefer to learn through activities that require
total physical involvement like movement, role-plays, drama, races
and competitions, handling and objects or props.
Maksudnya ialah bagi siswa visual akan belajar dengan baik ketika
melihat sesuatu seperti teks, chart, tabel, grafik, peta konsep pengatur
grafik, seni, lukisan, gambar, poster, realia, dan visualisasi; bagi siswa
auditory akan lebih mudah mengolah informasi melalui ucapan/ yang
berhubungan dengan pendengaran seperti diskusi, debat, podcasts, dikte,
bacaan yang berisi teka-teki, cerita, permainan berantai, dan ceramah; dan
bagi siswa kinesthetic akan lebih mudah mempelajari sesuatu melalui
kegiatan yang berhubungan dengan gerak fisik, misalnya pergerakan,
bermain peran, drama, perlombaan dan kompetisi, dan penanganan benda/
barang.
Senada dengan pendapat di atas, Rose & Nicholl (2002: 130)
mengungkapkan pendapatnya tentang model pembelajaran VAK yang
dijelaskan sebagai berikut:
1) Visual (belajar melalui melihat)
Belajar harus menggunakan indera mata melalui mengamati,
menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media
dan alat peraga. Seorang siswa lebih suka melihat gambar atau
diagram, suka pertunjukan, peragaan atau menyaksikan video. Bagi
siswa yang bergaya belajar visual, yang memegang peranan penting
adalah mata/penglihatan (visual). Dalam hal ini metode pengajaran
29
guru sebaiknya lebih dititikberatkan pada peragaan/ media, ajak siswa
ke objek-objek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan
cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau
menggambarnya di papan tulis.
Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar
visual misalnya lirikan mata ke atas bila berbicara dan berbicara
dengan cepat. Anak yang mempunyai gaya belajar visual harus
melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka gurunya untuk mengerti
materi pelajaran. Siswa cenderung untuk duduk di depan agar dapat
melihat dengan jelas. Siswa berpikir menggunakan gambar-gambar di
otak dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan
visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video. Di
dalam kelas anak visual lebih suka mencatat sampai detail-detailnya
untuk mendapatkan informasi.
2) Auditory (belajar melalui mendengar)
Belajar haruslah mendengarkan, menyimak, berbicara,
presentasi, mengemukakan pendapat, gagasan, menanggapi, dan
berargumentasi. Seorang siswa lebih suka mendengarkan kaset audio,
ceramah-kuliah, diskusi, debat dan instruksi (perintah) verbal. Alat
rekam sangat membantu pembelajaran pelajar tipe auditory. Dr
Wenger merekomendasikan bahwa ketika kita membaca sesuatu yang
baru, deskripsikan dan ucapkan apa yang sudah dibaca tadi sambil
menutup mata dengan suara lantang, maka secara otomatis telah
belajar dan menyimpannya dalam multi-sensori (Rose & Nicholl,
2002: 143).
Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar
auditory misalnya lirikan mata ke arah kiri/kanan, mendatar bila
berbicara dan sedang sedang saja. Untuk itu, guru sebaiknya harus
memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Siswa yang
mempunyai gaya belajar auditory dapat belajar cepat dengan
menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru
30
katakan. Siswa auditory mencerna makna yang disampaikan melalui
tone, suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal-hal
auditory lainnya. Informasi tertulis terkadang mempunyai makna yang
minim bagi anak auditory. Siswa seperti ini biasanya dapat menghafal
lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan
kaset.
3) Kinesthetic (belajar melalui aktivitas fisik)
Belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung.
Seorang siswa lebih suka menangani, bergerak, menyentuh dan
merasakan/mengalami sendiri, gerakan tubuh (hands-on, aktivitas
fisik). Bagi siswa kinesthetic belajar itu haruslah mengalami dan
melakukan. Ciri-ciri siswa yang lebih dominan memiliki gaya belajar
kinesthetic misalnya lirikan mata ke bawah bila berbicara lebih lambat.
Siswa yang bergaya belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan.
Belajar kinesthetic berarti belajar dengan menggunakan daya
gerak dan emosi yang diciptakan melalui daya ingat. Jadi dalam proses
belajar mengajar berlagsung sebagai ciri pelajaran yang kinesthetic
akan melakukan kegiatan koordinasi, irama dalam berbicara dapat
menanggapi masalah secara emosional.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran Visualization, Auditory, Kinesthetic (VAK)
adalah model pembelajaran yang memanfaatkan tiga modalitas yang
dimiliki oleh manusia dalam proses pembelajaran dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berlajar secara langsung menggunakan
modalitas yang dimilkinya.
c. Langkah-langkah Pembelajaran dengan Model Pembelajaran VAK
Langkah-langkah dalam model pembelajaran VAK hampir sama
dengan sintaks pada model pembelajaran SAVI (Somatik, Auditorial,
31
Visual, dan Intelektual). Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut:
1) Tahap Persiapan (kegiatan pendahuluan)
Pada tahap ini guru memberikan motivasi untuk membangkit-
kan minat siswa dalam belajar, memberikan perasaan positif mengenai
pengalaman belajar yang akan datang kepada siswa, dan
menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk menjadikan siswa
lebih siap dalam menerima pelajaran.
2) Tahap Penyampaian (kegiatan inti pada eksplorasi)
Pada kegiatan inti, guru mengarahkan siswa untuk menemukan
materi pelajaran yang baru secara mandiri, menyenangkan, relevan,
melibatkan pancaindera yang sesuai dengan gaya belajar VAK. Pada
tahap ini penggunaan media yang menunjang VAK, seperti power
point, gambar, dan video sangat dibutuhkan. Tahap ini biasa disebut
eksplorasi
3) Tahap Pelatihan (kegiatan inti pada elaborasi)
Pada tahap ini, guru membantu siswa untuk mengintegrasi dan
menyerap pengetahuan serta keterampilan baru dengan berbagai cara
yang disesuaikan dengan gaya belajar VAK. Guru mengajak siswa
untuk bermain peran atau melakukan suatu gerak, maupun penanganan
benda.
4) Tahap Penampilan Hasil (kegiatan inti pada konfirmasi)
Tahap dimana seorang guru membantu siswa dalam
menerapkan dan memperluas pengetahuan maupun keterampilan baru
yang mereka dapatkan, pada kegiatan belajar sehingga hasil belajar
mengalami peningkatan dengan kegiatan diskusi, presentasi, dan
kegiatan lain yang berkaitan dengan modalitas VAK. (Shoimin, 2014:
227).
Sedangkan menurut Pratiwi (mengutip pendapat dari Hyuanita,
2012) langkah-langkah model pembelajaran VAK terdiri dari dua tahap
utama, yaitu:
32
1) Tahap Persiapan
Pada tahap ini guru menyiapkan bahan-bahan yang akan
digunakan pada saat pembelajaran, melakukan tes awal, dan membagi
kelompok.
2) Presentasi Kelas
Pada tahap ini terdapat lima langkah yaitu: (a) pendahuluan,
guru melakukan apersepsi dengan menunjukkan media berwarna-warni
dan menarik siswa; (b) pengembangan, guru menyampaikan tujuan
dan konsep materi, serta melakukan tanya jawab; (c) mengerjakan tes/
soal, siswa mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru; (d)
kelompok dan membahas hasil diskusi, siswa mengerjakan LKS yang
diberikan guru, siswa mempresentasikan hasil, dan kelompok lainnya
memberikan tanggapan; (e) pelaksanaan tes/ kuis, guru memberikan
tes akhir kepada siswa, guru memberikan pemahaman yang benar
kepada siswa, kemudian siswa dan guru memberikan kesimpulan
(2015: 31).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran VAK memiliki langkah-langkah sebagai
berikut: (1) persiapan, yaitu guru mempersiapkan perangkat pembelajaran
yang dibutuhkan, mengkondisikan kelas, dan melakukan orientasi, serta
memberikan motivasi kepada siswa agar siap dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran; (2) penyampaian, yaitu guru memberikan apersepsi dengan
menggunakan media, merangsang rasa ingin tahu siswa, menyampaikan
materi dan merangsang siswa untuk menemukan pengetahuan dengan
memanfaatkan gaya belajar masing-masing; (3) pelatihan, yaitu guru
membantu siswa untuk mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan
keterampilan baru dengan diskusi, presentasi serta berbagai cara yang
disesuaikan dengan gaya pembelajaran VAK; (4) penampilan hasil, yaitu
siswa menampilkan hasil diskusi kelompok di depan kelas, guru
membahas hasil diskusi dan memberikan kesimpulan materi, dengan
bimbingan dari guru siswa dapat menerapkan serta mendapatkan
33
pengetahuan dan keterampilan baru sehingga terjadi suatu peningkatan
pembelajaran.
d. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran VAK
Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan,
tidak terkecuali model pembelajaran VAK. Menurut Shoimin (2014: 228)
kelebihan dari model pembelajaran VAK antara lain: (1) Pembelajaran
akan lebih efektif karena mengombinaasikan tiga gaya belajar; (2) Mampu
melatih dan mengembangkan potensi siswa yang telah dimiliki oleh
pribadi masing-masing; (3) Memberikan pengalaman langsung kepada
siswa; (4) Mampu melibatkan siswa secara maksimal dalam menemukan
dan memahami suatu konsep melalui kegiatan fisik, seperti demonstrasi,
percobaan, observasi, dan diskusi aktif; (5) Mampu menjangkau setiap
gaya pembelajaran siswa; dan (6) Siswa yang memiliki kemampuan bagus
tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar karena model
ini mampu melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas
rata-rata. Sementara itu, menurut Hyuanita (2012) mengemukakan enam
kelebihan model pembelajaran VAK, yaitu: (1) Dapat mengaktifkan tiga
modalitas belajar sehingga mempermudah siswa dalam menerima dan
menyerap informasi; (2) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membuktikan informasi yang didapatnya; (3) Pembelajaran akan terasa
menyenangkan dan bermakna; (4) Mampu melibatkan siswa secara
maksimal dalam meemukan dan memahami suatu konsep melalui kegiatan
fisik seperti demonstrasi, percobaan, observasi, dan diskusi aktif; (5)
Penyajian pesan tidak terlalu bersifat verbalistis; dan (6) Siswa yang
memiliki kemampuan tinggi tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah
dalam belajar karena model pembelajaran ini mampu melayani kebutuhan
siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata (Pratiwi, 2015: 32).
Dari pendapat-pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
kelebihan model pembelajaran VAK yaitu pembelajaran akan lebih mudah
dan efektif karena menyajikan pembelajaran dengan mengkombinasikan
34
tiga gaya belajar yang dimiliki siswa. Dengan penerapan model
pembelajaran VAK proses kegiatan belajar mengajar akan terasa lebih
menyenangkan dan bermakna karena mampu melatih dan
mengembangkan potensi siswa yang beragam serta melibatkan siswa
secara maksimal dalam menemukan dan memahami konsep melalui
kegiatan fisik seperti demonstrasi, percobaan, observasi, dan diskusi aktif.
Kelebihan lainnya yaitu siswa yang memiliki kemampuan tinggi tidak
akan terhambat oleh siswa yang berkemampuan kurang, karena model
pembelajaran ini mampu menyesuaikan kebutuhan siswa yang memiliki
kemampuan di atas rata-rata.
Sedangkan kelemahan dari model pembelajaran VAK yaitu tidak
banyak orang mampu mengombinasikan ketiga gaya belajar tersebut.
dengan demikian, orang yang hanya mampu menggunakan satu gaya
belajar, hanya akan mampu menangkap materi jika menggunakan metode
yang lebih memfokuskan kepada seluruh gaya belajar yang didominasi.
e. Penerapan Model Pembelajaran VAK dalam Pembelajaran Menulis
Narasi
Model pembelajaran VAK dalam pembelajaran menulis narasi
diterapkan sesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan model pembelajar-
an VAK menurut Shoimi (2014: 227). Adapun langkah-langkahnya sebagai
berikut:
1) Tahap Persiapan (kegiatan pendahuluan)
Pada tahap persiapan guru memberikan motivasi untuk
membangkitkan minat siswa dalam belajar, memberikan perasaan
positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang kepada siswa,
dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk menjadikan
siswa lebih siap dalam menerima pelajaran.
2) Tahap penyampaian (kegiatan inti pada eksplorasi)
Pada tahap penyampaian guru mengarahkan siswa untuk menemukan
materi pelajaran yang baru secara mandiri, menyenangkan, relevan,
35
melibatkan pancaindera yang sesuai dengan gaya belajar VAK. Pada
tahap ini, guru menggunakan media powerpoint yang berisi materi
pembelajaran, gambar dan video yang membantu siswa dalam
memahami penulisan narasi (visualization, auditory).
3) Tahap Pelatihan (kegiatan inti pada elaborasi)
Pada tahap pelatihan, guru membantu siswa untuk mengintegrasi dan
menyerap pengetahuan serta keterampilan baru dengan berbagai cara
yang disesuaikan dengan gaya belajar VAK. Pada tahap ini siswa
dibentuk kelompok kemudian guru memberikan tugas menulis
kerangka narasi. Sebelumnya siswa melakukan pengamatan terhadap
video (visualization, auditory) sebagai bahan dalam menulis narasi.
Setelah siswa mengamati video, siswa menulis kerangka karangan
(kinesthetic) bersama kelompoknya.
4) Tahap Penampilan Hasil (kegiatan inti pada konfirmasi)
Pada tahap penampilan hasil, siswa mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya. Pada tahap ini, guru melakukan umpan balik terhadap
keseluruhan proses pembelajaran menulis narasi, memberikan
penguatan dan evaluasi kepada setiap siswa untuk menulis karangan
narasi (kinesthetic) sesuai yang diperintahkan.
3. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Hartika Pratiwi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terjadi
peningkatan terhadap hasil belajar siswa dengan menerapkan model pem-
belajaran VAK. Hasil belajar siswa pada siklus I 75,49 %, pada siklus II
meningkat menjadi 86,77%, dan pada siklus III meningkat lagi menjadi
89,71%. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Hartika Pratiwi (2015)
dengan penelitian ini terdapat pada variabel bebas yaitu model pembelajaran
VAK. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel terikatnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Hartika Pratiwi (2015) mengenai bangun ruang,
sementara penelitian ini tentang keterampilan menulis.
36
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nouftika Qurrotul
Aeni. Hasil penelitian Nouftika Qurrotul Aeni (2015) pada siklus I
menunjukkan sebesar 51,85%, 51,85%, dan 77,78% siswa dapat mencapai
KKM yaitu 75 dalam setiap aspek (kognitif, psikomotorik, dan afektif).
Kemudian pada siklus II hasil menunjukkan 100%, 85,2%, dan 88,89% siswa
memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 75, atau mencapai KKM yang
telah ditentukan dalam setiap aspek. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
terjadi peningkatan pada setiap siklusnya. Dengan demikian penerapan model
pembelajaran VAK dapat meningkatkan hasil belajar kreasi batik siswa kelas
XI IA 1 SMA N 3 Wonogiri tahun ajaran 2014/ 2015.Persamaan penelitian ini
terdapat pada variabel bebas, yaitu model pembelajaran VAK. Sedangkan
perbedaannya terletak pada variabel terikat, jika penelitian Nouftika Qurrotul
Aeni (2015) mengenai hasil belajar kreasi batik, sedangkan penelitian ini
mengenai keterampilan menulis narasi.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Khoirulli Umah. Hasil
penelitian yang dilakukan Khoirulli Umah (2015) menunjukkan pada siklus I
sebanyak 22 atau 69,36% siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
70. Pada siklus II sebanyak 25 atau 77,49% siswa dari 32 siswa dapat
mencapai nilai KKM. Sedangkan pada siklus III menunjukkan sebanyak 28
atau 88,34% siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 70. Dari
hasil penelitian dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan dari setiap siklusnya.
Sehingga dapat disimpulkan, penerapan model concept sentences dengan
media flash card dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa
kelas IV SDN 4 Kutosari tahun ajaran 2014/ 2015. Persamaan penelitian
Khoirulli Umah (2015) dengan penelitian ini terletak pada variabel terikatnya,
yaitu keterampilan menulis narasi. Sementara perbedaannya terdapat pada
variabel bebas, penelitian Khoirulli Umah (2015) menggunakan model
concept sentences dengan media flash card, sedangkan penelitian ini
menggunakan model pembelajaran VAK.
Penelitian relevan yang selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Dewi Hasna Ambar Wati. Hasil penelitian yang dilakukan Dewi Hasna
37
Ambar Wati (2015) menunjukkan pada pratindakan hanya 33,33% siswa yang
mencapai nilai KKM. Kemudian pada siklus I 62,50% siswa memperoleh nilai
lebih dari atau sama dengan 70. Pada siklus II sebanyak 73,83% dapat
mencapai nilai KKM. Sedangkan pada siklus III menunjukkan sebanyak
78,33% siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 70. Dari hasil
penelitian dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan dari setiap siklusnya.
Sehingga dapat disimpulkan, penerapan media flip chart dapat meningkatkan
keterampilan menulis narasi peserta didik kelas IVA SD Negeri Kateguhan 02
Tawangsari Sukoharjo tahun 2014/ 2015. Persamaan penelitian Dewi Hasna
Ambar Wati (2015) dengan penelitian ini terletak pada variabel terikatnya,
yaitu keterampilan menulis narasi. Sementara perbedaannya terdapat pada
variabel bebas, penelitian Dewi Hasna Ambar Wati (2015) menggunakan
media flip chart, sedangkan penelitian ini menggunakan model pembelajaran
VAK.
Berdasarkan penelitian yang relevan di atas dapat dijadikan tolak ukur
dan pembanding dengan penelitian ini, yaitu dengan penerapan model
pembelajaran Visualization, Auditory, Kinesthetic (VAK) dalam pembelajaran
bahasa Indonesia mampu meningkatkan keterampilan menulis narasi pada
siswa kelas IV SDN Karangasem II No. 172 Surakarta tahun ajaran 2015/
2016.
B. Kerangka Berpikir
Pada kondisi awal, siswa kelas IV SDN Karangasem II No. 172
Surakarta mengalami kesulitan dalam menulis narasi. Hal ini terbukti dari hasil tes
kemampuan awal siswa, terdapat 63,16% siswa yang mendapat nilai di bawah
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) lebih dari atau sama dengan 70 atau sekitar
24 dari 38 siswa. Dengan hasil tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
keterampilan siswa dalam menulis narasi masih rendah. Faktor penyebabnya
antara lain karena proses pembelajaran yang berlangsung masih menggunakan
sumber dan media yang terbatas, sehingga kurang menarik minat siswa. Sebagian
besar siswa acuh tak acuh terhadap pelajaran bahasa Indonesia, khususnya
38
mengarang. Siswa menganggap pelajaran mengarang itu mudah, sehingga mereka
cenderung meremehkan materi yang disampaikan oleh guru. Selain itu juga
disebabkan oleh faktor : (1) siswa mengalami kesulitan untuk mengingat
pengalaman masa lalu; (2) siswa membutuhkan waktu yang lama untuk
memunculkan ide; (3) siswa mengalami kesulitan dalam mengungkapkan apa
yang dipikirkan ke dalam bahasa tulis; (4) siswa masih kurang memahami
penggunaan ejaan dan tanda baca; (5) siswa belum bisa membuat kerangka
karangan; (6) siswa masih kurang dalam penguasaan kosakata; (7) siswa belum
mampu mengembangkan bahasa tulisnya.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan model pembelajaran
yang tepat, sehingga mampu mengatasi masalah tersebut. Salah satu model
pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi
adalah model pembelajaran Visualization, Auditory, Kinesthetic (VAK).
Pembelajaran dengan model VAK menjadi salah satu solusi dalam permasalahan
menulis narasi karena penerapan model ini mementingkan pengalaman belajar
secara langsung dengan cara belajar dengan melihat (Visual), dengan mendengar
(Auditory), dan dengan gerak dan emosi (Kinesthetic) (DePorter, 2007: 113) serta
pembelajaran ini berlangsung dengan efektif, menyenangkan dan bermakna
karena melibatkan seluruh indera yang ada pada siswa terutama indera
penglihatan, indera pendengaran, dan gerak atau emosi.
Pada kondisi akhir dapat diperoleh bahwa penerapan model pembelajaran
Visualization, Auditory, Kinesthetic (VAK) dalam pembelajaran bahasa Indonesia
dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi siswa kelas IV SDN
Karangasem II No.172 Surakarta tahun ajaran 2015/2016. Secara skematis,
kerangka berpikir dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut:
39
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir
Kondisi
Awal
Pembelajaran kurang
menarik minat siswa
dan penggunaan
sumber serta media
belajar yang terbatas.
Keterampilan me-
nulis narasi pada
pembelajaran
bahasa Indonesia
masih rendah.
Tindakan Siklus I
1. Perencanaan
2. Tindakan
3. Observasi
4. Refleksi
Menerapkan model
pembelajaran VAK
untuk
meningkatkan
keterampilan
menulis narasi.
Kondisi
Akhir
Melalui penerapan
model pembelajaran
VAK dapat
meningkatkan
keterampilan menulis
narasi siswa kelas IV
SDN Karangasem II
No. 172 Surakarta
tahun ajaran 2015/
2016
Siklus II
1. Perencanaan
2. Tindakan
3. Observasi
4. Refleksi
Siklus ke-n
40
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir
yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dikemukakan
hipotesis sebagai berikut:
1. Penerapan model Visualization, Auditory, Kinesthetic (VAK) dapat
meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa kelas IV SDN
Karangasem II No. 172 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
2. Penerapan model pembelajaran Visualization, Auditory, Kinesthetic (VAK)
dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mengoptimalkan ketiga modalitas
belajar VAK dan melalui tahap persiapan, penyampaian, pelatihan, dan
penampilan hasil dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa
kelas IV SDN Karangasem II No. 172 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
41