Download pdf - Bab i pendahuluan

Transcript
Page 1: Bab i pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka

bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun

manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata

dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memelihara atau

memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Dalam dunia pendidikan, terdapat dampak positif dan juga dampak negatif. Dampak

positif disini adalah segala sesuatu yang merupakan harapan dari pelaksanaan kegiatan

tersebut yang sering disebut sebagai ―tujuan‖. Sedangkan dampak negatif yang dimaksud

adalah segala yang menjadi hambatan atau masalah yang ditimbulkan.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara

lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human

Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan

penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia

makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996),

ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di

Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah

Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia

memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang

disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya

berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan

tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak

disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan

ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan

terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa

Page 2: Bab i pendahuluan

2

Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia

terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan.

Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita

membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam

meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu,

kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah

bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu

pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,

baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu

pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian

dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan yang ada di Indonesia?

2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?

3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia?

4. Bagaimana cara meningkatkan mutu pendidikan yang ada di Indonesia?

C. Batasan Masalah

Batasan masalah dari makalah kami ini mengacu pada topik makalah yaitu ―Mutu

Pendidikan di Indonesia‖.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan utama penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas Profesi Pendidikan.

Selain itu, tujuan dari makalah ini ialah untuk mengetahui bagaimana mutu pendidikan yang

ada di Indonesia saat ini serta bagaimana cara agar mutu pendidikan di Indonesia dapat

ditingkatkan.

E. Manfaat Penulisan

Dari penulisan makalah ini diharapkan akan memberikan kita manfaat berupa

penambahan pengetahuan serta wawasan kita tentang mutu pendidikan sekarang ini yang ada

Page 3: Bab i pendahuluan

3

di Indonesia serta agar kita dapat bersama-sama mencari solusi agar pendidikan di Indonesia

di masa yang akan datang dapat lebih baik lagi dari segi kualitas maupun kuantitas.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini ialah sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Batasan Masalah

D. Tujuan Penulisan

E. Manfaat Penulisan

F. Sistematika Penulisan

Bab II Pembahasan

A. Ciri-Ciri Pendidikan Di Indonesia

B. Kualitas Pendidikan Di Indonesia

C. Penyebab Rendahnya Pendidikan Di Indonesia

1. Penyebab Secara Umum

2. Penyebab Secara Khusus

D. Solusi Dari Permasalahan-Permasalahan Pendidikan Di Indonesia

Bab III Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran

C. Penutup

Page 4: Bab i pendahuluan

4

BAB II

PEMBAHASAN

E. Ciri-Ciri Pendidikan Di Indonesia

Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan

pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan

yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-

pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama

di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama

dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang

diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.

Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-

perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para

siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,

menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

F. Kualitas Pendidikan Di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk.

Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya

punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,

guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima

di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama

mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka

memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi

masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di

Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa

indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia

berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah

Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai

follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik

Page 5: Bab i pendahuluan

5

pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam

meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu,

kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah

bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas

bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah

rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun

informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat

penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk

memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di

Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah

terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat

hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal

seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :

Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan

Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam

hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan

senantiasa selalu terjaga dengan baik.

Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan

ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari

pendidikan.

G. Penyebab Rendahnya Pendidikan Di Indonesia

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari

bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami ―sakit‖. Dunia pendidikan

yang ―sakit‖ ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi

manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak

memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan

yang ada.

Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan

―manusia robot‖. Dikatakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat

sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan,

Page 6: Bab i pendahuluan

6

kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa

(afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi.

Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang

sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati,

membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir

ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid.

Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai ―pendidikan yang

menciptakan manusia siap pakai. Dan ―siap pakai‖ di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga

yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.

Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia

dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga

pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau

komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru

disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau

kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah

pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta

didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi

mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang

diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang

sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan

bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya

menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model

pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan

bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang

dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang

dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan

pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis

terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi)

merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan

manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita

telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal

Page 7: Bab i pendahuluan

7

yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam

―strategi kebudayaan Asia‖, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan

penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional.

Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak

mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia

pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi

kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan

masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya

dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

Hambatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah suatu kenyataan yang

tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada transisi yang

sungguh sangat problematis dan melelahkan. Problem transisi itu ditandai oleh tiga hal yang

menghambat peningkatan mutu pendidikan, yaitu :

1. Akibat rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), kesempatan mengikuti pendidikan

sangat kecil dan krisis multidimensional yang melelahkan, maka anggota masyarakat

yang mengalami kegemangan dalam menghadapi masa depannya.

2. Pelaksanaan kehidupan demokratis yang masih berada pada tahap ―Remaja puberitas‖

ternyata memyebabkan setiap pengambilan keputusan selalu mengutamakan kuantitas

atau jumlah yang besar meskipun tidak menggambarkan kebenaran.

3. Problem yang kita hadapi juga mencakup problem kepemimpinan. Sejumlah pemimpin

tidak memiliki kelayakan intelektual, jiwa kepemimpinan, moral, dan tingkat kejujuran.

Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) hasil pendidikan juga mengakibatkan

lambannyaIndonesiabangkit dari keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara

signifikan dari tahun ketahun.

Sehingga Schotz dan Solow, dalam Dede Rosyada menegasankan bahwa, pendidikan

merupakan faktor penting dalam partumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM). Hal ini dapat dilihat pada negara maju, dimana kemajuan ekonomi

yang didapatnya tidak lepas dari peranan pedidikan di Negara tesebut.

1. Penyebab Secara Umum

Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di

Indonesia secara umum, yaitu:

a. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia

Page 8: Bab i pendahuluan

8

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta

didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan

sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur,

dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar

pembelajaran tersebut dapat berguna.

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan

melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak

adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal

ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu ―goal‖ apa yang akan dihasilkan

sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini

merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran.

Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya

menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak

perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah

melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh

masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di

Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-

masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan

hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai

kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan

efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang

mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah

yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah

pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

b. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia

Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses

yang lebih ‗murah‘. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita

memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang

baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita

kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil

yang telah disepakati.

Page 9: Bab i pendahuluan

9

Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya

pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak

hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang

juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum

bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita

bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education.

Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak

kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan

untuk biaya pendidiakan.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang

biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang

dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan

berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga

pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah

diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja,

kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya

yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang

mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang

tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah

waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap

muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan

formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari

dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak

efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan

formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang

mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan

sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak

efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk

melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu

pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang

Page 10: Bab i pendahuluan

10

mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang

juga membutuhkan uang lebih.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang

mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar

pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya

bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi

pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat

mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan

menbuat tertarik peserta didik.

Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi

pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah

sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan

kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah

proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya.

Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan

pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya

pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang

dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai

lebih efektif.

Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan

secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang

sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri

terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan

dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang

sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau

harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian

dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan

relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu

program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan

pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program

pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan

Page 11: Bab i pendahuluan

11

antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya

pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

c. Standarisasi Pendidikan Di Indonesia

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara

tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses

untuk menentukan standar yang akan diambil.

Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat

terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern

dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang

dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.

Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan

formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi.

Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi,

demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi

dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu

pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang

tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar

kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.

Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai

standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan

dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih

spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas

standar saja.

Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan

makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu

penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar

pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir

selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN

sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu

yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya

dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah

menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali,

Page 12: Bab i pendahuluan

12

evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang

studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.

Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan

sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang

tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi.

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas

yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan

kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar

permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat

memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.

2. Penyebab Secara Khusus

Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan

dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas

pendidikan di Indonesia.

a. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang

gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku

perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian

teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang

tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki

laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052

lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari

seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581

atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26%

mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya

lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini

juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang

tidak sama.

b. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum

memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana

disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,

Page 13: Bab i pendahuluan

13

melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,

melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak

mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di

berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri)

dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA

65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49%

(negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu

sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru

SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu,

dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-

Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8%

yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen,

baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan

pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi,

sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas

pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah

juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

c. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya

kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen

Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan

serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar

Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp

10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa

melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les

pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS,

pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen

(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di

dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan

memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan

Page 14: Bab i pendahuluan

14

profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan

tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas

rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang

muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai

taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403

PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen

sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

d. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan

kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai

misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional

sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003

(2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal

prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains.

Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai

negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development

Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia

secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human

Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki

posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,

posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi

IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia

Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada

peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0

(Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan

dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang

memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan

mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-

Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara

Page 15: Bab i pendahuluan

15

peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-

34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari

77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia

hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

e. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.

Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga

Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk

anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini

termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah

yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat

terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat

pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan

kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah

ketidakmerataan tersebut.

f. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data

BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka

pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0

sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan

kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%,

14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar

3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga

menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil

pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang

funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia

kerja.

g. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi

mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku

pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga

Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali

tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Page 16: Bab i pendahuluan

16

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai

Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa

mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan

pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia

pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena

itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan

adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,

setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, ―sesuai

keputusan Komite Sekolah‖. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak

transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah

orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi

legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari

pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum

Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk

Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan

perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya

atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.

Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang

kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di

beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik

tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang

luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan

faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan

besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8

persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan

dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN

(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui

sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan

Page 17: Bab i pendahuluan

17

Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar

dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan

itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan

pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan

hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk

diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for

Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi

pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan

menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu,

nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan

pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk

meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang

mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin

terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,

privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang

sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-

Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi

pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan

(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh

sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi

Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa

pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di

Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak

perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa

negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus

murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?

Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya

memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan

pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari

Page 18: Bab i pendahuluan

18

tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi

Pemerintah untuk ‗cuci tangan‘.

Sumber lain menyebutkan, ada tujuh penyebab kenapa mutu pendidikan di Indonesia

berkurang. Ketujuh penyebab itu ialah:

1. Pembelajaran Hanya Pada Buku Paket

Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Dan

sekarang kurikulum telah diperbaharui lagi. Hampir setiap menteri mengganti

kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari

kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? Tidak, karena pembelajaran di sekolah sejak

zaman dulu masih memakai kurikulum buku paket. Sejak era 60-70an, pembelajaran di

kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru hanya

mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi acuan dan guru tidak

mencari sumber referensi lain.

2. Mengajar Satu Arah

Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu

metode berceramah satu arah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal,

tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit. Metode ceramah menjadi metode terbanyak

yang dipakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar dikuasai

sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk

belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan

sekitar ? Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas

untuk menjelaskan profesinya? Seharusnya pertanyaan yang ada ini menjadi modal

untuk perbaikan cara pengajaran guru dikemudian hari.

3. Kurangnya Sarana Belajar

Sebenarnya, perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang cukup.

Masih banyak sarana belajar di beberapa sekolah khususnya daerah, tertinggal jauh

dibandingkan sarana belajar di sekolah-sekolah yang berada di kota.

4. Aturan Yang Mengikat

Ini tentang kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Sekolah seharusnya memiliki

kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Kurikulum yang dibuat oleh

pemerintah beum tentu sesuai untuk masing-masing sekolah.

Page 19: Bab i pendahuluan

19

5. Guru Tak Menanamkan Diskusi Dua Arah

Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak

duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak

―Dipaksa‖ mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi

ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan

mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-

anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru.

Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya,

akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk

bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.

6. Metode Pertanyaan Terbuka Tak Dipakai

Contoh negara yang menggunakan pertanyaan terbuka adalah Finlandia. Dalam

setiap ujian, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Guru Indonesia belum

siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka.

7. Budaya Mencontek

Siswa menyontek itu biasa terjadi. Tapi apakah kita tahu kalau "guru juga

menyontek"? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri

yang diikuti guru, menyontek telah menjadi budaya sendiri.

H. Solusi Dari Permasalahan-Permasalahan Pendidikan Di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat

diberikan yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang

berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan

dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,

diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang

berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,

termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal

pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya

pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang

efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis

yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem

Page 20: Bab i pendahuluan

20

ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala

pembiayaan pendidikan negara.

Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait

langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru

dan prestasi siswa.

Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis

untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di

samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru

melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan

untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan

meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan

sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Page 21: Bab i pendahuluan

21

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan

dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya

yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan.

Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:

1. Rendahnya sarana fisik,

2. Rendahnya kualitas guru,

3. Rendahnya kesejahteraan guru,

4. Rendahnya prestasi siswa,

5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,

7. Mahalnya biaya pendidikan.

Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan

mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan

kualitas guru serta prestasi siswa.

B. Saran

Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan

kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam

segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin

ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya

terlebih dahulu.

Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir

akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat

dalam segala bidang di dunia internasional.

C. Penutup

Demikianlah makalah yang dapat kami buat. Kami sadar makalah ini masih banyak

kekurangan. Kami mohon bimbingannya untuk perbaikan makalah ini di kemudian hari.

Page 22: Bab i pendahuluan

22

DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, Dede. 2013. http://www.republika.co.id/berita/event/bagimu-guru/12/07/01/m6gwld-

7-penyebab-mutu-pendidikan-di-indonesia-rendah. Diakses tanggal 22

September 2013.

Harahab, Syahrir. 2005. Penegakan Moral Akademik Didalam dan Diluar Kampus. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

NN. 2012. http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/13/makalah-kualitas-pendidikan-di-

indonesia-saat-ini/. Diakses tanggal 18 nopember 2013.

NN. 2013. http://van88.wordpress.com/makalah-permasalahan-pendidikan-di-indonesia/.

Diakses tanggal 18 nopember 2013.

Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Rosyada, Dede. 2004. Paradikma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media.


Recommended