1
ANALISIS BUDAYA KERJA PADA BAGIAN SEKRETARIAT KANTOR
DINAS TENAGA KERJA PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Skripsi Diajukan Sebagai Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Bidang Ilmu Administrasi Negara
NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
RIZKY SEPTA DWI KURNIA LUBIS
NIM : 110563201152
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2016
2
ABSTRAK
Analisa Budaya Kerja Pada Bagian Sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau
Budaya kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap individu
dalam menjalankan pekerjaan, terutama dalam sebuah instansi pemerintahan. Jika
tidak didukung oleh sesuatu budaya kerja yang positif maka dapat diduga proses
pembangunan di berbagai sektor mengalami kelambatan, sehingga upaya
mencapai masyarakat adil dan makmur dan kesejahteraan secara adil merata akan
jauh dari harapan semestinya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui budaya kerja
pada bagian sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau.
Penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling dalam menentukan
informannya. Informan peneliti adalah : 1 (satu) orang Kepala Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau, 1 (satu) orang kepala seksi (KaSi) bagian
kesekretariatan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau, dan pegawai bagian
Sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau yang berjumlah
4 (empat) Orang, sehingga berjumlah 6 (enam) orang, dan teknik pengumpulan
data melalui wawancara.
Berdasarkan hasil wawancara, budaya kerja sudah ada sejak instansi ini
dibentuk pertama kali dan diwariskan secara turun temurun untuk
diimplementasikan sesuai dengan keinginan bersama agar terwujud suatu
organisasi yang baik bagi anggota, mitra kerja dan masyarakat. Budaya kerja pada
bagian Sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau
mengandung nilai-nilai yang sudah ditanamkan sejak dahulu, sehingga pada
pelaksanaannya pegawai dapat mengimplementasikan budaya dengan baik.
Namun ada hal yang harus lebih diperhatikan yaitu masalah disiplin waktu pada
Bagian Sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau. Pegawai
masih suka mencuri waktu ketika berada diluar kantor. Hal ini tentu harus
diperhatikan lebih oleh pimpinan karena dapat menciptakan budaya tidak tepat
waktu dan mencuri waktu pada saat bekerja.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa budaya kerja pada bagian
Sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau berjalan dengan
cukup baik. Penerapan nilai-nilai budaya yang sudah ada hendaknya dilestarikan
agar tetap menjadi pedoman perilaku sehingga budaya organisasi tetap tumbuh
menjadi budaya baik yang dapat memberikan motivasi bagi peningkatan kerja
agar tetap unggul.
Kata Kunci : Budaya Kerja, Implementasi Budaya
3
ABSTRACT
Analysis Work Culture At the Secretariat of Labour Office of Riau Islands
Province
Work culture has a significant influence on the individual in performing
the work, especially in a government agency. If it is not supported by anything
positive work culture, it can be suspected of the development process in many
sectors experiencing a delay, so that the efforts to achieve a just and prosperous
society in a fair and equitable prosperity will be far from expectations
accordingly.
This research was conducted with the aim to determine the work culture in
the secretariat of the Department of Labor Office of Riau Islands province. This
study using purposive sampling technique in determining the informant.
Informants researchers are: 1 (one) Head of Labor Riau islands, 1 (one) of the
head section on secretariat Department of Labor Riau Islands Province, and the
employee portion Secretariat Manpower Office of Riau Islands province,
amounting to 4 (four) people, so that 6 (six) people, and data collection through
interviews.
Based on interviews, workplace culture has existed since the agency was
formed first and inherited to be implemented in accordance with a common desire
to manifest a good organization for members, partners and the community. Work
culture on the part of the Secretariat of the Department of Labor Office of Riau
Islands province contains the values that have been instilled in advance, so that
the employees can implement cultural practice well. But there are things that must
be considered is the problem of time discipline on the Secretariat of Labor Office
of Riau Islands province. Employees still like to steal the time when you're out of
the office. It certainly should be paid more attention by the leadership because it
can create a culture of not timely and stealing time at work.
In the end it can be concluded that the work culture in the Secretariat of
Labor Office of Riau Islands province went well. The application of the values of
the existing culture to be maintained in order to remain a code of conduct so that
the culture of the organization continue to grow into a good culture that can
provide motivation for improvement of work in order to stay ahead.
Keywords: Work Culture, Cultural Implementation
4
Analisis Budaya Kerja Pada Bagian
Sekretariat Kantor Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau
A. Latar Belakang
Berbagai kemajuan negara di
dunia didukung oleh budaya kerja
disiplin dan kesadaran waktu. Di
negara-negara barat budaya kerja
disiplin diungkapkan dengan pepatah
“time is money”. Pada kawasan Asia,
negara yang mengalami kemajuan
dengan budaya kerja disiplin
diantaranya adalah Jepang, China, dan
Korea Selatan. Negara Jepang dikenal
dengan semangat “bushidonya”,
sehingga dalam kurun beberapa tahun
saja setelah mengalami kehancuran
akibat kekalahan pada Perang Dunia II
mampu bangkit menjadi negara maju
yang sejajar dengan negara-negara barat
kembali. Keadaan ini terjadi karena
kemampuan menerapkan budaya kerja
disiplin baik pada sektor swasta maupun
sektor publik.
Budaya kerja telah lama dikenal
oleh umat manusia, namun manusia
belum menyadari bahwa suatu
keberhasilan kerja itu berakar dari nilai
- nilai yang dimiliki dan perilaku yang
menjadi kebiasaannya. Nilai - nilai
tersebut bermula dari adat kebiasaan,
agama, norma, dan kaidah yang menjadi
keyakinannya dan menjadi suatu
kebiasaan dalam perilaku suatu
organisasi. Budaya kerja menjadi
terkenal setelah Jepang mencapai
tingkat kemajuan yang fantastik dalam
melakukan manajemen kualitas yang
berakar dan bersumber dari budaya
yang dimiliki bangsa Jepang
dikombinasikan dengan teknik
manajemen pada tahun 1970-an.
Dalam jurnal Herliany (2008),
Supriyadi dan Triguno (2006:8)
menyatakan bahwa, budaya kerja adalah
suatu falsafah dengan didasari
pandangan hidup sebagai nilai-nilai
yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga
pendorong yang dibudayakan dalam
suatu kelompok dan tercermin dalam
sikap menjadi perilaku, cita-cita,
pendapat, pandangan serta tindakan
yang terwujud sebagai kerja. Program
budaya kerja akan menjadi kenyataan
melalui proses panjang, karena
perubahan nilai - nilai lama menjadi
nilai - nilai baru akan memakan waktu
untuk menjadi kebiasaan dan tak henti -
hentinya terus melakukan
penyempurnaan dan perbaikan.
Budaya kerja memiliki peranan
penting dalam mencapai tujuan
organisasi. Mengapa budaya kerja
5
penting dalam pencapaian suatu tujuan
organisasi? Karena, budaya kerja
merupakan suatu cara kerja yang
bermutu dan didasari oleh nilai yang
penuh makna, dan memberikan
motivasi serta inspirasi untuk bekerja
lebih baik. Dengan adanya budaya kerja
juga dapat mengubah sikap dan perilaku
individu untuk mencapai suatu
produktivitas kerja. Barkow (2002)
dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa faktor kemampuan beradaptasi,
faktor integrasi sosial, faktor moral,
serta faktor persepsi terhadap kerja
merupakan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi budaya kerja.
Di Indonesia pada masa
reformasi selain penegakkan disiplin
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
30 Tahun 1980 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil (pada saat ini
diperbaharui dengan PP baru tahun
2010 tentang disiplin PNS) juga telah
ada upaya meningkatkan budaya kerja
disiplin dan kesadaran waktu, dengan
dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Pendayaagunaan Aparatur Negara
No.25 Tahun 2002 tentang Pedoman
Budaya Kerja bagi Aparatur Negara,
yang didalam terdapat budaya kerja
tersebut diantara 17 (tujuh belas) pasang
budaya kerja yang ditetapkan.
Makna budaya kerja disiplin
secara konseptual merujuk pada sikap
yang selalu taat kepada aturan, norma,
dan prinsip-prinsip tertentu. Disiplin
berarti juga kemampuan bagi
mengendalikan diri dengan tenang dan
tetap taat walaupun dalam situasi yang
sangat menekan sekalipun (Penjelasan
Surat Keputusan Menteri Pendaya-
gunaan Aparatur Negara No.25 Tahun
2002 tentang Pedoman Budaya Kerja
bagi Aparatur Negara). Pegawai Negeri
Sipil (PNS) adalah salah satu aparatur
negara sebagaimana terdapat dalam
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian.
Namun persoalannya dalam
bekerja PNS belum melaksanakan
pekerjaannya dengan budaya kerja yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah, hal ini
juga dikemukakan oleh Poerwoto-
soediro (2007) untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional sangat
ditentukan oleh kehandalan Pegawai
Negeri Sipil. PNS pada setiap negara
adalah sangat menentukan karena
mereka merupakan aparatur pelaksana
pemerintah untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan kelancaran pem-
bangunan. Pelaksanaan fungsi peme-
6
rintah ini sejalan juga fungsi-fungsi
pemerintahan sebagaimana dikemuka-
kan oleh Ryas Rasyid (1998) bahwa
yang diselenggarakan dalam pemerin-
tahan terdapat empat hal pokok yaitu,
pelayanan (public service), pemba-
ngunan (development), pemberdayaan
(empowering), dan pengaturan (regula-
tion). Penyelenggaraan keempat hal
pokok tersebut dilakukan untuk
kemajuan negara dan kesejahteraan
rakyat banyak.
Namun, kenyataan ini tidak
selalu berlaku karena budaya kerja yang
ditetapkan oleh Pemerintah tidak
diterapkan secara penuh oleh PNS. Hal
ini disebabkan karena masih diterapkan
budaya kerja disiplin sewaktu bekerja.
Hal yang sama diduga kuat juga terjadi
pada Kepulauan Riau. PNS di
Kepulauan Riau yang secara garis besar
dikategorikan atas dua bentuk yaitu:
pertama, PNS yang mem-berikan
pelayanan secara langsung terhadap
rakyat banyak, misalnya pada Rumah
Sakit Umum Pemerintah, dan kedua,
PNS yang secara tidak langsung
memberikan pelayanan langsung.
Bagi PNS dalam bentuk pertama
memang sangat sibuk, namun bentuk
kedua tidaklah terlalu sibuk. Prediksi
santai, banyak yang datang ke kantor
hanya untuk ngobrol-ngobrol, ada yang
main game sampai jam pulang tiba
sudah sangat sering terjadi. Padahal
Pemerintah melalui Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-
PAN) telah merumuskan budaya kerja
sebanyak 17 (tujuh belas) pasang
sebagai pedoman agar produktivitas
maupun kinerja PNS dapat dicapai
secara optimal. Tetapi dalam kenyataan
tidak menerap-kannya dalam bekerja
sehingga menyebabkan rendahnya
kinerja PNS di Pemerintahan Daerah
Kepulauan Riau ini.
Padahal dilihat dari segi
pendapatan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah telah melakukan
perbaikan kenaikan gaji PNS,
menaikkan tunjangan struktural dan
fungsional, bahkan Pemerintah Daerah
telah memberikan tunjangan daerah
mengkaitkannya dengan disiplin
pegawai.
Menurut Dede Mariana (2007)
kecenderungan para PNS dalam bekerja
pada organisasi pemerintah maupun
pemerintah daerah terlihat adanya
budaya kerja disiplin dalam bentuk
kurang bertanggung jawab, jadwal
kerjanya tidak terukur, kadang datang,
kadang bolos. Masuk siang pun tidak
mengapa, apalagi pulang lebih dulu.
7
Semuanya berlangsung seolah-olah
tanpa kontrol. Ada memang, saat-saat
tertentu, di mana institusi birokrasi
terlihat ”lebih galak” terhadap
karyawannya.
Dalam berbagai media massa
dan media elektronik nampak berita
yang menggambarkan kenyataan bahwa
gerakan disiplin digembar-gemborkan
belum memberikan efek jera terhadap
perubahan budaya kerja disiplin.
Operasi dan razia dilakukan mencari
para pegawai, yang enak-enakan
keluyuran pada saat jam kerja. Untuk
beberapa saat, birokrat kita menjadi
begitu tertib. Namun tak berapa lama,
seiring dengan mengendornya razia itu,
para aparat berseragam coklat itu pun
mulai tampak berleha-leha, seolah-olah
tidak perduli dengan tugas-tugasnya.
Gambaran buruk itu terjadi dan
melembaga dalam karakter birokrasi
kita. Sebagian besar terjadi karena tidak
adanya mekanisme reward and
punishment yang transparan. Tidak ada
standar kriteria guna menilai kinerja
seorang aparatur pemerintah, yang dari
situ menjadi dasar untuk memberi
reward bagi yang berprestasi, atau
punishment bagi yang ogah-ogahan.
Dari gambaran di atas
menunjukkan bahwa budaya kerja
disiplin mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap individu dalam
menjalankan pekerjaan. Jika tidak
didukung oleh sesuatu budaya kerja
yang positif maka dapat diduga proses
pembangunan di berbagai sektor
mengalami kelambatan, sehingga upaya
mencapai masyarakat adil dan makmur
dan kesejahteraan secara adil merata
akan jauh dari harapan semestinya.
Dengan demikian penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang budaya kerja pegawai pada
bagian Sekretariat Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau. Untuk itu
penulis bermaksud mengadakan sebuah
penelitian ilmiah dengan judul
“Analisis Budaya Kerja Pada Bagian
Sekretariat Kantor Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau“
B. Perumusan Masalah
Dengan demikian untuk dapat
mempermudah penelitian ini nantinya,
dan agar penelitian ini memiliki arah
yang jelas, maka terlebih dahulu
dirumuskan permasalahan yang akan
diteliti. Berdasarkan uraian latar
belakang masalah yang telah dijelaskan
di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : “Bagaimanakah
budaya kerja pada bagian sekretariat
8
Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Kepulauan Riau?”
C. Konsep Teori
Budaya ialah segala tindakan
dalam perilaku sehari-hari yang
diperoleh seseorang dari kebiasaan,
yang merupakan sistem gagasan dan
rasa, tindakan serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasya-rakat yang dijadikan melekat
pada dirinya melalui pengalaman dalam
kehidupan kelompok masyarakatnya.
Nilai dan kepercayaan adalah sesuatu
keyakinan yang mendasari seseorang
berperilaku dalam bekerja. Makna dari
suatu nilai adalah asumsi dasar
mengenai apa-apa yang ideal diinginkan
atau berharga. Sehingga kepercayaan
seseorang dipengaruhi nilai atau budaya
yang kemudian menjadi suatu budaya
kerja bagi seseorang dalam bekerja.
Bahkan salah yang terkuat mem-
pengaruhi kepercayaan seseorang
adalah keyakinan atas agamanya yang
dianutnya.
Menurut Geert Hofstede
(2007:15) bahwa budaya adalah suatu
mindset mental programming sebagai
program mental yang berpola pikiran
(thinking), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Ini bermakna bahwa
suatu budaya kerja juga merupakan
seperangkat nilai-nilai yang digunakan
dan diyakini dalam melakukan suatu
pekerjaan atau sewaktu bekerja. Budaya
yang muncul dalam menjalankan suatu
pekerjaan meru-pakan suatu dimensi
utama dalam memahami perilaku yang
bekerja dalam organisasi. Sedangkan
menurut Budi Paramita (2007:13))
budaya kerja dapat dibagi menjadi:
1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni
kesukaan akan kerja dibandingkan
dengan aktivitas lain, seperti
bersantai, atau semata-mata
memperoleh kesibukan pekerjaan-
nya sendiri, atau terpaksa melakukan
sesuatu hanya untuk kelangsungan
hidupnya.
2. Perilaku pada masa bekerja, seperti
rajin, berdedikasi, bertanggung-
jawab, berhati-hati, teliti, cermat,
kemauan yang kuat untuk
mempelajari tugas dan kewa-
jibannya, suka membantu sesama
pekerja, atau sebaliknya.
Adapun tujuan budaya kerja
antara lain: (a) meningkatkan kualitas
hasil kerja, (b) meningkatkan kualitas
pelayanan, (c) mencipta profesionalitas,
(d) mengurangi kelemahan birokrasi.
Frons Trompenaars (2009:23)
mengemukakan dua dimensi pengaruh
budaya terhadap organisasi yaitu:
a. Equality - Hierarchy. Dimensi ini
menggambarkan adanya persa-maan
dalam suatu organisasi terhadap para
9
ahlinya sehingga adanya hierarki
antara ahli dalam organisasi.
b. Orientation to the person –
orientation to task. Dimensi
menggambarkan orientasi individu
hingga orientasi terhadap tujuan
organisasi.
Pemahaman terhadap budaya
kerja oleh para pegawai dalam suatu
organisasi termasuk organisasi kerajaan
tentu mempunyai kesan terhadap
berbagai hal termasuk produktivitas
kerja. Aktualisasi budaya kerja
produktif sebagai ukuran sistem nilai
mengandungi komponen-komponen
yang dimiliki seorang pegawai, yakni:
(1) pemahaman bahan dasar tentang
makna bekerja, (2) sikap terhadap kerja
dan lingkungan kerja, (3) perilaku
ketika bekerja, (4) etos kerja, (5) sikap
terhadap masa, dan (6) cara atau alat
yang digunakan untuk bekerja. Semakin
positif nilai komponen-komponen
budaya tersebut dimiliki oleh seorang
pekerja maka akan semakin tinggi
prestasinya. Agar budaya kerja dapat
tumbuh kembang dengan subur di
kalangan pekerja maka diperlukan
pendekatan-pendekatan melalui
tindakan nyata pimpinan puncak dan
proses sosialisasi.
Sementara Triguno mengemu-
kakan budaya kerja adalah suatu
falsafah yang didasari oleh pandangan
hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi
sifat, kebiasaan dan kekuatan
pendorong, membudaya dalam
kehidupan suatu kelompok masyarakat
atau organisasi, kemudian tercermin
dari sikap menjadi perilaku,
kepercayaan, cita-cita, pendapat dan
tindakan yang terwujud sebagai "kerja"
atau "bekerja". Melaksanakan budaya
kerja mempunyai arti yang sangat
dalam, kerana akan mengubah sikap dan
perilaku sumber daya manusia untuk
mencapai produktiviti kerja yang lebih
tinggi dalam menghadapi tantangan
masa depan.
Upaya yang telah dilakukan oleh
Pemerintah untuk menciptakan bagi
budaya kerja yang positif bagi PNS
telah dilakukan dengan wujud aturan
lebih lanjut dari UU Nomor 43 Tahun
1999 yaitu untuk budaya kerja bagi PNS
yang diterbitkan oleh Pemerintah
melalui Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara dalam Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor: 25/KEP/M.P
AN/4/2002 tanggal 25 April 2002
tentang Pedoman Pengembangan
Budaya Kerja Aparatur Negara dan
Surat Nomor: 170/M.P AN/6/2002
tanggal 17 Juni 2002 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Budaya
10
Kerja Aparatur Negara. Dalam
Keputusan Menteri ini terdapat
pengertian budaya kerja aparatur negara
mengikut konsep Pemerintah yaitu cara
pandang serta keadaan hati yang
menumbuhkan keyakinan yang kuat
berasaskan nilai-nilai yang diyakininya,
serta mempunyai semangat yang tinggi
dan bersungguh-sungguh bagi
mewujudkan prestasi kerja terbaik
dalam menjalankan administrasi publik
dan pelayanan umum.
Ini berarti bahwa kerja terbaik
bermula dengan individu yang memiliki
pemikiran, emosi, perlakuan, dan sikap
terbaik, yang diwujudkan dengan
menumbuhkan motivasi dan tanggung
jawab (akuntabiliti) bagi peningkatan
prestasi kerjanya. Dengan lain
perkataan budaya kerja tersebut
merupakan asas bagi pertimbangan
yang berharga bagi seseorang atau
organisasi dalam menghadapi sesuatu
pekerjaan atau masalah.
Berkaitan dengan budaya kerja
organisasi publik di Indonesia
dikemukakan oleh Ratminto dan
Winarsih bahwa organisasi-organisasi
publik di Indonesia dapat dianalisis
dengan menggunakan empat jenis
budaya tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebahagian besar
organisasi publik tersebut mempunyai
budaya organisasi yang bertipe Caring.
Karena biasanya memiliki perhatian
yang sangat rendah terhadap prestasi
pelaksanaan tugas, tetapi memiliki
perhatian yang sangat tinggi terhadap
hubungan antar manusia. Hal ini tampak
dari ciri-ciri para PNS cenderung: a)
lebih memen-tingkan kepentingan
pimpinan dibandingkan kepentingan
pelanggan-pelanggan atau pengguna
pelayanan, b) lebih merasa abdi negara
daripada abdi masyarakat, c)
meminimumkan risiko dengan cara
mengelakkan inisiatif, d) mengelakkan
tanggung jawab, e) menolak tantangan,
f) tidak suka berkreasi dan berinovasi
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Di Dalam Triguno (1999),
dijelaskan bahwa pemahaman mengenai
budaya kerja telah lama dikenal oleh
manusia, namun belum disadari bahwa
suatu keberhasilan kerja itu berakar
pada nilai yang dimiliki dan perilaku
yang menjadi kebiasaan. Nilai tersebut
bermula dari adat kebiasaan, agama,
norma dan kaidah yang menjadi
keyakinannya dan menjadi suatu
kebiasaan dalam perilaku kerja atau
organisasi. Budaya kerja menjadi
terkenal setelah Jepang mencapai
tingkat kemajuan yang pesat dalam
11
melakukan manajemen kualitas yang
berakar dan bersumber dari budaya
yang dimiliki bangsa Jepang yang
dikombinasikan dengan teknik
manajemen modern pada tahun 1970-
an.
Semangat membangun kembali
perekonomian Jepang setelah kalah
perang mendorong bangsa Jepang
mencari cara-cara baru untuk kerja yang
lebih baik agar menghasilkan produk
yang lebih baik pula. Keberhasilan
Jepang membangun perekonomiannya
mendorong bangsa-bangsa lain untuk
meniru dan mengembangkan sendiri
sesuai dengan budaya yang mereka
miliki dengan nama yang beragam,
seperti total quality control, total
quality management, quality assurance,
value added management, work
improvement team, budaya kerja, dan
lain-lain.
Dengan menerapkan manajemen
kualitas budaya kerja tersebut di benua
Asia bermunculan Negara industri baru,
seperti Korea, Taiwan, Hongkong,
Singapura, Thailand, Malaysia, dan
Indonesia. Berpijak dari nilai – nilai
yang dimiliki oleh bangsa atau
masyarakat Indonesia, kebudayaan
diolah sedemikian rupa, sehingga
menjadi nilai – nilai baru yang menjadi
sikap dan perilaku manajemen dalam
menghadapi tantangan baru. Budaya
kerja tidak muncul begitu saja, tetap
harus dilaksanakan dengan sungguh –
sungguh melalui suatu proses yang
terkendali dengan melibatkan semua
sumber daya manusia dalam
seperangkat sistem, alat, dan teknik
pendukung.
Menurut Osborn dan Plastrik
dalam bukunya Manajemen Sumber
Daya Manusia menerangkan bahwa:
“Budaya kerja adalah seperangkat
perilaku perasaan dan kerangka
psikologis yang terinternalisasi sangat
mendalam dan dimiliki bersama oleh
anggota organisasi” (http://aroziele-
roy.wordpress.com/2010/07/13/budaya-
kerja/)
Budaya kerja merupakan kawah
candradimuka untuk mengubah cara
kerja lama menjadi cara kerja yang baru
yang lebih berorientasi pada upaya
memuaskan pelanggan atau masyarakat.
Kualitas atau mutu suatu produk
(jasa/barang), cara kerja, dan sumber
daya manusia harus dapat diukur dan
menjadi kesepakatan bersama.
Pengukuran kualitas, antara lain dari
aspek persyaratan, bentuk, warna,
estetika, ketahanan, performa atau
kinerja, waktu, jaminan, pelayanan, dan
12
lain – lain. Dasar kualitas yang
bersumber pada tingkat kualitas sumber
daya manusia yang bermutu tinggi
dapat dipastikan akan dapat bekerja
dengan baik dan menghasilkan produk
yang berkualitas tinggi karena semua
orang terlibat dalam proses kerja dan
mereka sudah mengetahui apa yang
seharusnya dikerjakan dengan bahasa
yang sama.
Budaya kerja adalah suatu
falsafah yang didasari oleh pandangan
hidup sebagai nilai – nilai yang menjadi
sifat, kebiasaan, dan kekuatan
pendorong, membudaya dalam
kehidupan suatu kelompok masyarakat
atau organisasi, kemudian tercermin
dari sikap menjadi perilaku,
kepercayaan, cita – cita, pendapat, dan
tindakan yang terwujud sebagai “kerja”
atau “bekerja” (Triguno, 1999:3).
Budaya kerja organisasi adalah
manajemen yang meliputi
pengembangan, perencanaan, produksi,
dan pelayanan suatu produk yang
berkualitas dalam arti optimal, ekonomi,
dan memuaskan. Pembentukan budaya
kerja terjadi pada saat lingkungan kerja
atau organisasi belajar menghadapi
masalah, baik yang menyangkut
perubahan – perubahan eksternal
maupun internal yang menyangkut
persatuan dan keutuhan organisasi.
Melaksanakan budaya kerja mempunyai
arti yang sangat dalam, karena akan
merubah sikap dan perilaku sumber
daya manusia untuk mencapai
produktivitas kerja yang lebih tinggi
dalam menghadapi tantangan masa
depan.
D. Kerangka Pikir
Menurut Paramita (Ndraha,
2005: 208), mendefinisikan budaya
kerja sebagai sekelompok pikiran dasar
atau program mental yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan
efisiensi kerja dan kerjasama manusia
yang dimiliki oleh suatu golongan
masyarakat. Dari definisi tersebut,
budaya kerja dapat diuraikan menjadi
dua dimensi yaitu :
1) Sikap terhadap pekerjaan, yakni
kesukaan akan kerja dibandingkan
kegiatan lain, seperti bersantai, atau
semata-mata memperoleh kepuasan
dari kesibukan pekerjaannya
sendiri, atau terpaksa melakukan
sesuatu hanya untuk kelangsungan
hidupnya; dengan indikator sebagai
berikut:
a) Mau menerima arahan
pimpinan, pegawai mau
13
menerima dan menuruti segala
arahan dan perintah tugas yang
di berikan oleh kepala bagian.
b) Senang menerima tanggung
jawab kerja, pegawai dengan
senang hati menerima tanggung
jawab dari setiap tugas yang di
berikan.
c) Kerja sebagai ibadah, pegawai
mempunyai pemikiran bahwa
kerja merupakan ibadah
sehingga pekerjaan dapat selesai
tepat waktu dan benar.
d) Melaksanakan pekerjaan sesuai
tugas, pegawai menjalankan dan
melaksanakan tugas sesuai
dengan TUPOKSI (Tugas,
Pokok, dan Fungsi) nya
e) Dapat mengatasi kendala kerja,
pegawai dapat menyelaisakn
masalah atau kendala yang
timbul dalam setiap
pekerjaannya.
f) Dapat menyusun laporan kerja,
pegawai memiliki kemampuan
untuk menyusun laporan kerja
dengan baik dan benar
2) Perilaku pada waktu bekerja,
seperti rajin, berdedikasi,
bertanggung jawab, berhati-hati,
teliti, cermat, kemauan yang kuat
untuk mempelajari tugas dan
kewajibannya, suka membantu
sesama karyawan, atau sebaliknya.
Dengan indikator :
a) Disiplin kerja, pegawai
mempunyai disiplin kerja yang
baik seperti dating tepat waktu
dan tidak meninggal kan
lingkungan kerja sebelum jam
kerja berakhir.
b) Jujur dalam kerja, pegawai
mempunyai kejujuran dalam
bekerja dan tidak melakukan
kecurangan yang merugikan
lingkungan kerja yang
bersangkutan.
c) Komitmen kerja, pegawai
mempunyai komitmen dalam
bekerja sehingga pegawai dapt
memaksimal kan hasil kerja nya.
d) Tanggungjawab terhadap
pekerjaan, pegawai mempunyai
rasa tangungjwab yang besar
dalam bekerja.
e) Kerjasama dengan rekan kerja,
pegawai saling bekerjasama
dalam menyelesaikan masalah
atau kendala yang ada.
f) Mengevaluasi pekerjaan, pega-
wai mempunyai kebiasaan untuk
mengevaluasi setiap pekerjaan
yang di kerjakan sehingga
14
tingkat kesalahan dapat di
minimalisir.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitiian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
penelitian Kualitatif. Menurut Sugiyono
(2012: 7), metode penelitian kuantitatif
dapat diartikan sebagai metode
penelitian yang berlandaskan pada
filsafat positivisme, digunakan untuk
meneliti pada populasi atau sampel
tertentu. Teknik pengambilan sampel
pada umumnya dilakukan secara
random, pengumpulan data meng-
gunakan instrumen penelitian, analisis
data bersifat kuantitatif/statistik dengan
tujuan untuk menguji hipotesis yang
telah ditetapkan.
Dasar penelitian yang dilakukan
adalah case study yaitu penelitian yang
dilakukan dengan mengumpulkan dan
menganalisis suatu peristiwa atau proses
tertentu secara mendalam dengan
memilih data atau ruang lingkup terkait
dengan fokus penelitian dengan sampel
yang dianggap refresentatif.
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
Bagian Sekretariat Kantor Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau.
3. Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak
dimaksudkan untuk membuat
generalisasi dari hasil penelitiannya.
Subjek penelitian menjadi informan
yang akan memberikan berbagai
informasi yang diperlukan selama
proses penelitian. Informan penelitian
ini meliputi tiga macam yaitu (1)
informan kunci, (key informan), yaitu
mereka yang mbengetahui dan memiliki
informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian, (2) informan biasa, yaitu
mereka yang terlibat secara langsung
dalam interaksi sosial yang diteliti, (3)
informan tambahan, yaitu mereka yang
dapat memberikan informasi walaupun
tidak langsung terlibat dalam interaksi
sosial yang sedang diteliti (Hendarso
dalam Suyanto, 2005: 171-172).
Dari penjelasan yang sudah
diterangkan diatas, maka peneliti
menggunakan teknik Purposive
Sampling dalam menentukan
informannya. Purposive sampling
merupakan penentuan informan tidak
didasarkan atas strata, kedudukan,
15
pedoman, atau wilayah tetapi
didasarkan pada adanya tujuan dan
pertimbangan tertentu yang tetap
berhubungan dengan permasalahan
penelitian. Yang menjadi informan
peneliti adalah :
1. Informan kunci yaitu terdiri dari
satu orang Kepala Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau
dan satu orang kepala seksi
(KaSi) bagian kesekretariatan
Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Kepulauan Riau.
2. Informan biasa yaitu pegawai
pada Bagian Kesekretariatan
Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Kepulauan Riau yang berjumlah
4 Orang.
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, data akan
diperoleh dari dua sumber, yaitu:
1. Data primer
Data yang diperoleh langsung
dari informan, dengan memakai teknik
pengumpulan data berupa interview
(wawancara) serta melakukan observasi
(pengamatan langsung) terhadap objek
penelitian.
2. Data sekunder
Data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen, catatan-catatan,
laporan-laporan, maupun arsip-arsip
resmi, serta literatur lainnya yang
relevan dalam melengkapi data primer
penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
adalah merupakan usaha untuk
mengumpulkan bahan - bahan yang
berhubungan dengan penelitian yang
dapat berupa data, fakta, gejala, maupun
informasi yang sifatnya valid
(sebenarnya), realible (dapat dipercaya),
dan obyektif (sesuai dengan kenyataan).
1) Observasi, yaitu proses
pengambilan data dalam
penelitian dimana Peneliti atau
Pengamat dengan mengamati
kondisi yang berkaitan dengan
obyek penelitian.
2) Wawancara (interview), dengan
menggunakan pedoman
wawancara, adalah percakapan
dengan maksud tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara
(yang mengajukan pertanyaan)
dan yang diwawancarai (yang
16
memberikan jawaban atas
pertanyaan).
3) Dokumentasi, teknik ini
bertujuan melengkapi teknik
observasi dan teknik wawancara
mendalam.
4) Studi Pustaka (Library
research), yaitu dengan
membaca buku, undang –
undang, dan media informasi
lain yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
5) Penelusuran data online, data
yang dikumpulkan
menggunakan teknik ini seperti
studi kepustakaan diatas. Namun
yang akan membedakan hanya
media tempat pengembilan data
atau informasi. Teknik ini
memanfaatkan data online,
yakni menggunakan fasilitas
internet.
6. Teknik Analisis Data
Proses analisis kualitatif yang
mendasarkan pada adanya hubungan
semantis antar bariabel yang sedang
diteliti. Menurut Miles dan Huberman
(2007:35), terdapat tiga teknik analisisi
data kualitatif yaitu reduksi data,
penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Proses ini berlangsung
terus-menerus selama penelitian
berlangsung, bahkan sebelum data
benar-benar terkumpul.
1. Reduksi Data, Reduksi data
merupakan salah satu dari teknik
analisis data kualitatif. Reduksi
data adalah bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang
tidak perlu dan mengorganisasi
data sedemikian rupa sehingga
kesimpulan akhir dapat diambil.
Reduksi tidak perlu diartikan
sebagai kuantifikasi data.
2. Penyajian Data, Penyajian data
merupakan salah satu dari teknik
analisis data kualitatif. Penyajian
data adalah kegiatan ketika
sekumpulan informasi disusun,
sehingga memberi kemungkinan
akan adanya penarikan
kesimpulan. Bentuk penyajian
data kualitatif berupa teks naratif
(berbentuk catatan lapangan),
17
matriks, grafik, jaringan dan
bagan.
3. Penarikan Kesimpulan, Pe-
narikan kesimpulan merupakan
salah satu dari teknik analisis
data kualitatif. Penarikan
kesimpulan adalah hasil analisis
yang dapat digunakan untuk
mengambil tindakan.
G. Hasil Penelitian
1. Budaya Kerja Pada Bagian
Sekretariat Kantor Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau
Budaya kerja memberikan
dampak bagi pertumbuhan kinerja
pegawai karena pada dasarnya
membangun suasana kerja yang nyaman
diperlukan pedoman perilaku yang
ditanamkan sejak bergabung menjadi
pegawai baru. Pelatihan pedoman
perilaku dapat menjadi awal bagi
pegawai untuk membentuk karakter
individu agar lebih baik dalam bekerja
dan mampu bersosialisasi, baik dengan
sesama pegawai, dengan atasasn,
maupun dengan pelanggan, sehingga
terlihat bahwa tujuan penerapan budaya
kerja adalah agar seluruh individu
dalam organisasi mematuhi dan
berpedoman pada system nilai
keyakinan dan norma-norma yang
berlaku dalam organisasi tersebut.
Penerapan kebijakan yang sudah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan yang
selanjutnya akan di tanamkan,
diajarkan, dan diperkenalkan kepada
masing-masing anggota organisasi
untuk ikut dalam mengimplementasikan
kebijakan. Implementasi budaya kerja
berawal dari memberikan pengetahuan
umum tentang budaya kerja yang ada,
selanjutnya memberikan penjelasan
tentang proses pembentukan budaya
kerja dan memberi informasi tentang
peran budaya kerja bagi perkembangan
Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan
Riau.
Penerapan budaya kerja
mengacu pada tindakan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam suatu keputusan. Tindakan ini
berusaha untuk mengubah keputusan-
keputusan tersebut menjadi pola-pola
operasional serta berusaha mencapai
perubahan-perubahan besar atau kecil
sebagaimana yang telah diputuskan
sebelumnya. Implementasi pada
hakikatnya juga merupakan upaya
pemahaman apa yang seharusnya terjadi
setelah sebuah program dilaksanakan.
18
2. Budaya Kerja Menyikapi
Pekerjaan Pada Bagian Sekretariat
Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Kepulauan Riau
2.1. Budaya Mau Menerima
Arahan Pimpinan
Berbicara mengenai sebuah
organisasi tentunya ada yang dinamakan
pimpinan dan bawahan. Pemimpin
adalah individu yang memiliki
program/rencana dan bersama anggota
kelompok bergerak untuk mencapai
tujuan dengan cara yang pasti.
Sedangkan kepemimpinan berarti
melibatkan orang atau pihak lain, yaitu
para karyawan atau bawahan. Para
karyawan atau bawahan harus memiliki
kemauan untuk menerima arahan dari
pemimpin. Walaupun demikian, tanpa
adanya karyawan atau bawahan, tidak
akan ada pimpinan.
Seorang pemimpin yang efektif
adalah seseorang yang dengan
kekuasaannya mampu menggugah
pengikutnya untuk mencapai kinerja
yang memuaskan. Para pemimpin dapat
menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan
atau kekuatan yang berbeda untuk
mempengaruhi perilaku bawahan dalam
berbagai situasi.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai menerima
segala arahan dari pimpinan?”,
didapati jawaban sebagai berikut:
“Ya jelas. Karena kalau tidak
menerima perintah atau arahan begitu
berarti dia mau kerja semaunya saja.
Oh kalau begitu langsung kita tindak”
Pertanyaan berikutnya adalah
“Bagaimana pegawai menyikapi arahan
yang diberikan oleh pimpinan?”.
Didapati jawaban sebagai berikut:
“Langsung dikerjakan. Kalau
arahannya kurang jelas bisa bertanya
sebelum dikerjakan. Tidak ada yang
menolak, langsung dikerjakan semua”.
Dari jawaban tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa pegawai pada
bagian Sekretariat Kantor Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau mau
menerima dan melaksanakan dengan
cukup baik arahan dari pimpinan.
2. 2. Budaya Senang Menerima
Tanggung Jawab Kerja
Tanggung jawab menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya. Atau kesadaran manusia
akan tingkah laku perbuatannya yang
disengaja maupun tidak disengaja.
19
Tanggung jawab juga berarti berbuat
sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajibannya. Dari kedua pengertian
tersebut, dapat dimaknai bahwa
tanggung jawab itu sendiri ialah siap
menerima kewajiban atau tugas. Dalam
artian disini ketika seseorang diberikan
kewajiban atau tugas, seseorang
tersebut akan menghadapi suatu pilihan
yaitu menerima dan menghadapinya
dengan dedikasi atau menunda dan
mengabaikan tugas atau kewajiban
tersebut.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai disini
mempunyai rasa tanggung jawab yang
tinggi dalam bekerja?”, didapati
jawaban sebagai berikut:
“Kalau ada pekerjaan pasti
dikerjakan, langsung dikerjakan dan
diselesaikan. Tidak menunggu lagi.
Kalau kurang jelas seperti yang saya
bilang tadi tanyakan. Tapi kalau
tanggung jawab ya jelas pasti”
Dari jawaban tersebut peneliti
mengambil kesimpulan bahwa pegawai
bersedia menerima pekerjaan yang
diberikan oleh pimpinan dan
melaksanakannya dengan penuh
tanggung jawab. Pegawai tidak menolak
atau memberikan alasan ketika
diberikan suatu pekerjaan dan langsung
melakukannya.
2.3. Budaya Bekerja sebagai
ibadah.
Bekerja adalah mengeluarkan
tenaga untuk melakukan sesuatu dengan
tujuan memeroleh ganjaran atau upah.
Bekerja sebagai ibadah dalam hal ini
peneliti memberikan gambaran saat
seseorang melaksanakan ibadah. Ibadah
dilakukan dengan sepenuh hati dan
tidak mengulur waktu, selalu tepat pada
waktunya.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai
menyadari bahwa bekerja bagian dari
ibadah?”, didapati jawaban sebagai
berikut:
“Untuk yang ini saya rasa
sudah. Ibadah itu kan harus dijalankan
tepat waktu gak nunda-nunda, harus
dari hati juga. Yah sudah saya rasa
sudah. Sama kayak bekerja itu
diselesaikan tepat waktu juga. Tapi gak
semua ada juga yang masih suka
nunggu-nunggu. Contoh mau jemput
anak dulu sebentar. Nah karena
tertunda ada pekerjaan baru jadinya
20
numpuk. Itu masih kadang-kadang saya
jumpa”.
Peneliti mengambil kesimpulan
bahwa para pegawai melaksanakan
pekerjaan tepat pada waktunya dan
melaksanakan dengan sepenuh hati.
Meskipun pada masalah waktu masih
sering dilihat pekerjaan yang agak
menumpuk sehingga pegawai sering
menyelesaikan pekerjaan dengan
terburu-buru pada akhirnya ketika
mendekati tenggat waktu.
2.4. Melaksanakan pekerjaan
sesuai tugas, pegawai menjalankan
dan melaksanakan tugas sesuai
dengan TUPOKSI (Tugas, Pokok,
dan Fungsi) nya
Seseorang yang memiliki
kemampuan berarti akan sanggup
melakukan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Kemampuan
yang dimiliki oleh pegawai akan
memudahkan dalam penyelesaian setiap
pekerjaan secara efektif dan efisien
tanpa adanya kesulitan sehingga akan
menghasilkan suatu pekerjaan atau
kinerja yang baik. Kemampuan pegawai
disini berkaitan dengan pengetahuan
dan keterampilannya dalam
menyelesaikan pekerjaan. Jadi,
kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan para pegawai itu sendiri
khususnya untuk mengerjakan berbagai
tugas sesuai dengan kewajibannya.
Dalam sebuah organisasi baik
dilingkungan pemerintahan maupun
swasta, tiap jenjang dari pimpinan
hingga ke bawahan memiliki TUPOKSI
masing-masing. Dari hasil wawancara
peneliti terhadap Kepala Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan: “Apakah pegawai disini
bekerja berdasarkan TUPOKSI yang
sesuai dengan jabatan yang di emban?”
, peneliti mendapatkan jawaban
langsung sebagai berikut:
“Tidak semua pegawai disini
tuh bekerja sesuai dengan TUPOKSI
nya sendiri, pasti saling membantu.
Terbatas, pegawai nya itu terbatas jadi
saling membantu, terbatas. Satu bidang
paling sedikit itu cuman 5 pegawai nya.
Paling banyak di kami 12. Jadi
misalnya dari bidang pengawasan perlu
bantuan ya silahkan bantu. Nanti yang
disana juga bantu disini”.
Sehingga peneliti melihat
kerjasama antar pimpinan dan bawahan
serta tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsi
pada bagian Sekretariat Kantor Dinas
Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau
bisa peneliti katakan cukup baik dan
21
perlu lebih ditingkatkan dengan cara
seperti pemberian Pelatihan.
2.5. Dapat mengatasi kendala
kerja
Kendala menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah halangan atau
rintangan. Hal ini sering dijumpai pada
organisasi manapun baik swasta
maupun pemerintahan. Kecakapan
pegawai dalam mengatasi suatu
permasalahan sangat diperlukan.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai mampu
mengatasi kendala kerja?”, didapati
jawaban sebagai berikut:
“Ya harus mampu. Karena
kalau dia tidak mampu mengatasi
kendala pasti ada alasan. Kita cari
masalahnya dimana trus dicari jalan
keluarnya. Hambatan itu jangan terlalu
dijadikan masalah”.
Peneliti menilai bahwa pegawai
pada bagian Sekretariat Kantor Dinas
Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau
mampu mengatasi kendala-kendala
yang ada bersama-sama baik dalam
skala kecil hingga yang besar. Kendala
tersebut juga apabila tidak mampu
diselesaikan sendiri maka akan
diselesaikan bersama-sama.
2.6. Dapat menyusun laporan kerja
Laporan kerja adalah hal yang
wajib dikerjakan oleh pegawai untuk
mempertanggung jawabkan peker-
jaannya. Sebagai suatu bentuk tanggung
jawab tentu saja laporan kerja tidak
boleh dilakukan dengan asal-asalan.
Pegawai harus memiliki sebuah dasar
yang sudah dilatih oleh kantor untuk
membuat suatu laporan kerja yang harus
dilaporkan kepada pimpinan.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai
mempunyai kemampuan untuk
menyusun laporan kerja?”, didapati
jawaban sebagai berikut:
“Ya, tentu. Kalau laporan kerja
berada di level Ka.Si (Kepala Seksi).
Biasanya laporan kegiatan. Kalau yang
dibawah ngak, Ka.Si yang buat
laporannya”.
Peneliti bisa menarik
kesimpulan bahwa pada Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau
terkhusus bagian kesekretariatan,
pegawai mampu menyusun laporan
kerja yang tersusun dengan baik.
22
3. Budaya Berperilaku pada waktu
bekerja
3.1. Budaya Disiplin kerja
Disiplin sangat dekat kaitannya
dengan performa kerja. Dalam suatu
kajian keilmuan, disiplin dapat
dipandang sebagai suatu pemahaman
teoritis yang menuntut wujud
aplikasinya secara mental terhadap
karyawan atau siapapun yang menjadi
bagian dari suatu perusahaan ataupun
organisasi. Berbagai kajian teoritis
sering mengkaitkan disiplin dengan
suatu hal yang penuh isyarat hukum dan
komitmen antar bagian dan individu
dalam suatu organisasi. Namun hal yang
tidak dapat dipungkiri adalah disiplin
adalah sesuatu yang menjadi bagian
pokok atau faktor penentu keberhasilan
pencapaian tujuan
organisasi/perusahaan ataupun tujuan
individu.
Kedisiplinan sesuai dengan
keadaan di dalam setiap organisasi
dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu : (1) Disiplin yang bersifat
positif yaitu mental yang tepat waktu,
mengerjakan tugas dengan tanggung
jawab; dan (2) Disiplin yang bersifat
negatif yaitu berupa hukuman.
Merupakan tugas seorang
pemimpin untuk mengusahakan
terwujudnya suatu disiplin yang
mempunyai sifat positif, dengan
demikian dapat menghindarkan adanya
disiplin yang bersifat negatif. Disiplin
positif merupakan suatu hasil
pendidikan, kebiasaan atau tradisi
dimana seseorang dapat menyesuaikan
dirinya dengan keadaan, adapun disiplin
negatif sebagai unsur di dalam sikap
patuh yang disebabkan oleh adanya
perasaan takut akan hukuman.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai
mempunyai kedisiplinan yang tinggi?”,
didapati jawaban sebagai berikut:
“Disiplin ya memang harus
tinggi, cuma ya tau sendiri lah paham-
paham aja, ada-ada saja alasan
pegawai. Untuk masalah disiplin
memang masih sedikit agak kurang.
Tapi kita mencoba agar lebih baik,
biasanya awal dikasih teguran tapi
kalau keseringan ya ditindak tegas.
Siapa saja”.
Peneliti mengambil kesimpulan
bahwa pada bagian Sekretariat Kantor
Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan
Riau disipilin sudah diterapkan dengan
sangat bagus. Pemberian sanksi
terhadap kelalaian pegawai dalam
23
bertugas sudah tepat tanpa ada
memandang secara individu.
3.2. Budaya Jujur Dalam Bekerja
Kebanyakan organisasi memiliki
sejenis kebijaksanaan atau kode yang
mengisyaratkan perilaku yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima. Nah,
perilaku jujur di tempat kerja berarti
mematuhi dan tunduk secara konsisten
terhadap aturan yang berlaku dan
standar etik rasional yang meliputi: (1)
Tidak mengambil uang atau saham
perusahaan; (2) Tidak menghabiskan
banyak waktu bermain dengan telepon
genggam pribadi; (3) Tidak absen
terlalu lama dari pekerjaan. Hal tersebut
merupakan contoh sederhana kejujuran
dalam bekerja.
Ketidakjujuran di tempat kerja
itu meliputi pencurian, penipuan,
menggunakan properti dan waktu kantor
secara berlebihan, terlalu banyak absen
dari pekerjaan dengan berbagai alasan.
Penelitian menunjukkan bahwa
ketidakjujuran di tempat kerja adalah
hal yang biasa. Kesulitannya adalah
untuk menjelaskan seberapa biasa hal
ini. Salah satu alasannya adalah
perbedaan pemahaman akan
ketidakjujuran yang sering terjadi.
Beberapa menyatakan bahwa membawa
pulang pensil dari kantor adalah sebuah
pencurian, yang lainnya menyatakan
bahwa hanya pengambilan barang-
barang mahal yang bisa dianggap
sebagai ketidak-jujuran di tempat kerja.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Bagaimana dengan
kejujuran dalam bekerja yang ada
dalam setiap diri pegawai?”, didapati
jawaban sebagai berikut:
“Kalau jujur dalam bekerja
saya rasa sudah baik sekali.
Kerjaannya dikerjakan sendiri, kadang
dibantu kalau memang berat. Tapi
kalau diluar kantor itu yang jadi
masalah. Nanti bilang jemput anak nih
jam segini atau makan siang jam segini
tapi pulang kesini lagi lama. Bilangnya
mau ambil data disini tapi ke kedai kopi
itu pasti ada saja. Jadi memang agak
sedikit kurang di waktu aja” .
Peneliti melihat bahwa untuk
indikator kejujuran sudah dapat
dikatakan cukup baik. Akan tetapi
masih perlu ditingkatkan. Karena masih
banyak pegawai yang belum
menggunakan waktu kantor untuk dinas
keluar dengan berlebihan.
24
3.3. Budaya Komitmen Kerja.
Bentuk komitmen karyawan bisa
diujudkan antara lain dalam beberapa
hal sebagai berikut:
a. Komitmen dalam mencapai
visi,misi, dan tujuan organisasi.
b. Komitmen dalam melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan prose-
dur kerja standar organisasi.
c. Komitmen dalam mengembang-
kan mutu sumberdaya manusia
bersangkutan dan mutu produk.
d. Komitmen dalam mengembang-
kan kebersamaan tim kerja
secara efektif dan efisien.
e. Komitmen untuk berdedikasi
pada organisasi secara kritis dan
rasional.
Pada dasarnya melaksanakan
komitmen sama saja maknanya dengan
menjalankan kewajiban, tanggung
jawab, dan janji yang membatasi
kebebasan seseorang untuk melakukan
sesuatu. Jadi karena sudah punya
komitmen maka dia harus
mendahulukan apa yang sudah
dijanjikan buat organisasinya ketimbang
untuk hanya kepentingan dirinya. Di sisi
lain komitmen berarti adanya
ketaatasasan seseorang dalam bertindak
sejalan dengan janji-janjinya. Semakin
tinggi derajad komitmen karyawan
semakin tinggi pula kinerja yang
dicapainya.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah para pegawai
mempunyai komitmen dalam bekerja?”,
didapati jawaban sebagai berikut:
“Kalau komitmen kita
komitmen. Kerja ada tanggung jawab
ada tujuan mau lebih baik nih. Tapi gak
semua, ada juga yang cuma datang
duduk santai ada kerjaan dikerjakan,
sudah siap yaudah. Yang penting uda
dikerjain begitu”
Peneliti mengambil kesimpulakn
tidak semua karyawan melaksanakan
komitmen seutuhnya. Ada komitmen
yang sangat tinggi dan ada yang sangat
rendah. Komitmen rendah contohnya
seperti pegawai hanya bekerja sebagai
bekerja mendapatkan gaji dan pulang.
Tidak memikirkan bagaimana
memperoleh jabatan lebih tinggi tetapi
hanya bermain di posisi aman. Hal ini
menurut peneliti masih harus
diperhatikan oleh pimpinan terkait
komitmen pegawai bagian Kantor Dinas
Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau.
3.4. Budaya Bertanggungjawab
Terhadap Pekerjaan
Dalam ruang lingkup pekerjaan
tentu memiliki aturan yang berbeda
antara perusahaan yang satu dengan
yang lainnya. Selain itu, tanggung
jawab antara yang satu dengan yang
25
lainnya berbeda-beda sesuai bidang
kerja yang dibebankan kepadanya. Ada
yang memilili tanggung jawab sebagai
pimpinan dan ada pula sebagai
bawahan, semuanya itu merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari
ruang lingkup pekerjaan.
Peneliti melihat seperti yang
telah peneliti kemukakan pada poin B.2
diatas bahwa pegawai pada bagian
Sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau bersedia
menerima pekerjaan yang diberikan
oleh pimpinan dan melaksanakannya
dengan penuh tanggung jawab. Pegawai
tidak menolak atau memberikan alasan
ketika diberikan suatu pekerjaan dan
langsung melakukannya.
3.5. Kerjasama dengan rekan kerja
Lingkungan kerja seringkali bisa
diibaratkan sebagai sebuah tempat
pertemuan orang-orang dengan berbagai
karakter dan latar belakang yang
berbeda. Setiap karyawan diharuskan
untuk bertanggung jawab atas pekerjaan
yang dipercayakan kepada mereka dan
bisa bekerja sama dengan rekan kerja
lain. Terlebih lagi bila berada dalam
satu tim. Kerjasama adalah hal yang
paling dibutuhkan. Dalam menjalin
kerjasama dengan anggota tim lainnya,
terkadang ada satu orang yang sering
jadi sumber masalah bagi Anda atau
anggota tim lainnya. Karyawan yang
satu ini sering berkata dan bersikap
kasar, pemarah dan senang berteriak.
Hal ini tentu saja menyulitkan karyawan
lain yang sering bersinggungan
dengannya terutama soal pekerjaan.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai
menerapkan sistem gotong royong
dalam meyelesaikan pekerjaan?”,
didapati jawaban sebagai berikut:
“Nah kalau ini seperti yang
saya bilang tadi. Kita, pegawai punya
TUPOKSI nya. Tapi karena terbatas
jumlah jadi seperti itu tadi saling
membantu. Kalau disana belum siap
butuh bantuan dari yang sini ya bantu
silahkan. Nanti juga sebaliknya. Jadi
kalau ada kendala bisa diselesaikan
sama-sama”.
Peneliti mengambil kesimpulan
bahwa pegawai baik yang lama maupun
baru, baik jabatan yang lebih tinggi
maupun rendah, dapat melakukan kerja
sama dengan sangat baik. Tidak adanya
jenjang antar pegawai yang menjadi
dasar para pegawai dapat bekerjasama
dengan baik.
26
3.6. Mengevaluasi pekerjaan
Evaluasi pekerjaan adalah
perbandingan pekerjaan-pekerjaan yang
diklasifikasikan guna menentukan
kompensasi yang pantas bagi pekerjaan-
pekerjaan tersebut, atau berbagai
prosedur sistematik untuk menentukan
nilai relatif pekerjaan beserta besarnya
kompensasi masing-masing.
Kompensasi yang dimaksud adalah
segala sesuatu yang diterima oleh
pekerja sebagai balas jasa atas kerja
mereka, dan ini berkaitan dengan faktor
internal yaitu konsep penggajian relatif
dalam organisasi dan faktor eksternal
yaitu konsep struktur penggajian yang
berlaku di luar organisasi.
Keseimbangan antara internal dan
eksternal penting diperhatikan guna
menjamin kepuasan dan motivasi
pekerja serta efektifitas organisasi.
Tujuan dari evaluasi pekerjaan
dan kompensasi adalah sebagai berikut:
a. Untuk menilai ulang semua hasil
pekerjaan sesuai dengan spesifikasi
dan standarisasi pekerjaan tersebut,
sehingga dapat ditentukan
kompensasi yang akan diberikan
nantinya.
b. Untuk menentukan jenis pekerjaan
dan karakter pekerjaan terhadap para
pekerja yang akan ditempatkan.
c. Untuk merancang besaran anggaran
atas kompensasi yang akan
dikeluarkan, baik untuk jenis
pekerjaan tertentu atau penggajian
dari semua lini struktur organisasi
tersebut.
Dari hasil wawancara peneliti
terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau dengan
pertanyaan “Apakah pegawai disini
mendapatkan evaluasi dalam setiap
pekerjaan?”, didapati jawaban sebagai
berikut:
“Evaluasi pasti ada, rapat
perbulan, evaluasi per 3 bulan, per
semester, per tahun. Yang bagus
kerjanya berprestasi kita apresiasi. Nah
yang kurang ini kita dorong lagi kita
cari kendala-kendalanya dalam
bekerja”.
Dalam indikator ini yaitu evalusi
pekerjaan, peneliti melihat pada bagian
Sekretariat Kantor Dinas Tenaga Kerja
Provinsi Kepulauan Riau sudah cukup
baik dengan diadakannya rapat evaluasi
dalam jangka waktu tertentu.
H. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
pada bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa Budaya Kerja Pada
27
Bagian Sekretariat Kantor Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau adalah
sebagai mana yang dipaparkan ini:
Dalam pelaksanaan tugasnya,
sudah melaksanakan dengan cukup
baik. Dilihat dari setiap pekerjaan yang
diberikan dapat dilaksanakan dengan
tepat waktu dan bertanggung jawab
dalam menyelesaikannya. Pemimpin
juga mampu menciptakan suasana
lingkungan kerja yang menyenangkan
sehingga pegawai tidak memiliki
berbagai beban dalam lingkungan
bekerja. Dapar bekerja sama dengan
baik tanpa memandang strata jabatan.
Namun ada hal yang harus lebih
diperhatikan yaitu masalah disiplin
waktu pada Bagian Sekretariat Kantor
Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan
Riau. Pegawai masih suka mencuri
waktu ketika berada diluar kantor. Hal
ini tentu harus diperhatikan lebih oleh
pimpinan karena dapat menciptakan
budaya tidak tepat waktu dan mencuri
waktu pada saat bekerja. Selain itu juga
menumpuk pekerjaan yang kadang-
kadang ditemui. Hal tersebut bisa
menciptakan budaya malas bekerja pada
Bagian Sekretariat Kantor Dinas Tenaga
Kerja Provinsi Kepulauan Riau.
Namun, secara keseluruhan bisa
peneliti katakan cukup baik. Terutama
dalam hal kerjasama antar pegawai.
Dengan saling bekerja sama dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan cepat,
juga dapat mengatasi berbagai kendala
yang muncul pada bagian Sekretariat
Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Kepulauan Riau. Budaya ini yang harus
terus dipertahankan.
2. Saran
a. Penerapan nilai-nilai budaya yang
sudah ada hendaknya dilestarikan
agar tetap menjadi pedoman perilaku
sehingga budaya organisasi tetap
tumbuh menjadi budaya baik yang
dapat memberikan motivasi bagi
peningkatan kerja agar tetap unggul.
b. Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi
Kepulauan Riau harus lebih
memperhatikan masalah disiplin
waktu pegawai. Bisa dengan
pemberian sanksi tegas apabila ada
pegawai yang tidak menggunakan
waktu dengan sebaik-baiknya.
28
DAFTAR PUSTAKA
Afriani, Lisa, 2013, Penerapan Budaya
Kerja Pada Aparatur
Pemerintahan Di Kantor Camat
Pontianak Utara. Publika, Prodi
Ilmu Pemerintahan FISIP
UNTAN. Volume I, Nomor 01
Tahun 1.
Atosokhi, Gea A, 2005. Pentingnya
Penghayatan Budaya
Perusahaan Dalam Usaha
Meningkatkan Produktivitas
Kerja Karyawan. Character
Building Journal Vol.2 No.2 :
145-154
Gibson, James L., Ivancevich, John M.,
Donnelly, James H., dan
Konopaske, Robert. 2009.
Organizations : Behavior,
Structure, Processes. McGraw -
Hill. New York.
Guno, Tri. 1999. Budaya Kerja. Jakarta:
Golden Terayon Press.
Guno, Tri., Gering Supriyadi. 2006.
Budaya Kerja Organisasi
Pemerintah. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara.
Harris L.C., Ogbonna E. 2001.
Leadership Style and Market
Orientation : An Empirical
Study , European Journal of
Marketing , 35,5/6.
Hasibuan, Malayu. 2003. Organisasi
dan Motivasi, Dasar
Peningkatan Produktivitas.
Bumi Aksara, Jakarta.
Henry, Adolf. 2009. Motivasi Kerja,
Budaya Organisasi dan
Produktivitas Kerja Karyawan.
Jurnal Psikologi Volume 2, No.2
Hertanto. 2000. Analisis Produktivitas
kerja kajian implikasi budaya
perusahaan (Kasus PT. Bank
BNI Cabang UNDIP). Thesis
Program Studi Magister
Managemen. Universitas
Diponegoro.
Ikopin. 2008. Analisis Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kinerja
Karyawan.
http://one.indoskripsi.com
Diakses pada November 2016
Indriantoro, N dan Supomo. 2003.
Metode Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif.
Kementerian PAN, 2002, Pedoman
Pengembangan Budaya Kerja
Aparatur Negara
Kementerian PAN, 2008, Modul
Penerapan Budaya Kerja
Aparatur Negara, Diklat
Fasilitator Tata
Kepemerintahan Yang Baik
Luthans, Fred, 2006, Perilaku
Organisasi, Edisi Sepuluh,
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Miftah Thoha, 1983, Perilaku
Organisasi; Konsep Dasar dan
Aplikasinya, Edisi 1, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Mishra, Shivani & Raykundaliya,
Dharmesh, 2011. Understanding
Organizational Culture,
Productivity, Managerial
Leadership and Organizational
Ndraha, Talidziduhu., 2005. Teori
Budaya Organisasi. Rineka
Cipta. Jakarta.
29
O‟Reilly, C., Chatham, C. and
Caldwell, R. 1988. People, jobs
and organizational culture.
working paper, University of
California, Berkeley, CA.
Ogbonna, Emmanuel and Harris, Lloyd
C, 2000, Leadership Style,
Organizational Culture and
Performance: Empirical
Evidence From UK
Companies,International
Journal of Human Resource
Management 11:4 August,
p.766- 788.
Oshagbemi, 2004. Age influences on the
leadership styles and behaviour
of managers, Employee
Relations, 26(1), pp 14 – 29.
Panggabean, Mutiara. 2004. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Cetakan
Kedua. Ghalia Indonesia. Bogor.
Pearce dan Bear, 2003, Organization of
Culture and behavior, Jakarta.
PT. Prehalindo
Robbins, Stephen P, 2006, Perilaku
Organisasi, Edisi kesepuluh, PT
Indeks Jakarta.
Robbinss Stephen P., 1996.
Organizational Behavior
(Terjemahan) Jilid 2 , Edisi
Ketujuh, PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta.
Robbinss Stephen P., 2001.
Organizational Behavior
(Terjemahan) Jilid 1, Edisi
Kedelapan, PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta.
Rudana, Nyoman. 2009. Manajemen
Pelayanan Publik „ Penerapan
Budaya Kerja di Sektor Publik „.
STIA LAN Jakarta
Schein, Edgar H, 2004, Organizational
Culture and Leadership, Third
Edition, Jossey –Bass
Publishers, San Francisco.
Schermenharn, John R. 2003.
Manajemen. Edisi Bahasa
Indonesia. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Siagian, Sondang P, 2002, Kiat
Meningatkan Produktivitas
Kerja, PT. RINEKA CIPTA,
Jakarta.