17 Universitas Kristen Petra
3. METODA PENELITIAN
3.1 Survey dan Wawancara
Dalam penelitian ini fly ash yang digunakan berasal dari sisa pembakaran
batu bara berasal dari PLTU di Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur, di mana kami telah
melakukan survey lokasi dan menerima keterangan lebih mendalam mengenai
PLTU ini. PLTU di Ngoro yang kami kunjungi ini merupakan PLTU milik
perusahaan swasta yang bernama SPS Corporate, sedangkan PLTU tersebut
bernama Sinergy Power Source. Sinergy Power Source memberi daya untuk lima
kompleks industri di kawasan Ngoro tersebut, yaitu meliputi PT Mekabox
International, PT Sun Paper Source, PT Superior Prima Sukses, PT Sopanusa
Tissue, dan PT Star Paper Supply. PT Sinergy Power Source memiliki dua turbin
dengan daya sebesar 15 MW pada tiap turbinnya, memberikan total daya 30 MW .
PT Sinergy Power Source memiliki 3 boiler, salah satunya dapat dilihat
pada Gambar 3.1. Pada kegiatan sehari-harinya, boiler yang dipakai oleh PT
Sinergy Power Source adalah 2 boiler, di mana 1 boiler dipersiapkan standby,
sebagai cadangan agar jika ada 1 boiler yang bermasalah, boiler cadangan dapat
dimanfaatkan, agar total daya tetap bertahan pada 30MW.
Gambar 3.1 Boiler pada PT Sinergy Power Source
18 Universitas Kristen Petra
Teknik pembakaran yang digunakan PT Sinergy Power Source adalah
CFB, yang merupakan salah satu tipe dari teknik FBC. Gambar 3.2 yang diambil
dari penelitian Gayan et al., (2004), akan membantu penjelasan kami akan sistem
CFB.
Gambar 3.2 Diagram Skematik Reaktor CFB CIEMAT (Gayan et al., 2004)
CFB merupakan salah satu sistem di mana batu bara sebagai material yang
dibakar, diangkut dari tempat penampungan memakai belt conveyor ke dalam
tempat penampungan, yang kemudian disalurkan ke coal feeder yang dapat dilihat
pada Gambar 3.2 ditunjukkan dengan angka 3. Coal feeder kemudian
menyemburkan batu bara tersebut ke dalam pembakar yang ditunjukkan dengan
angka 5 pada Gambar 3.2. Pada dasar boiler yang biasa disebut bed, dialiri udara
melalui pipa-pipa yang terdapat pada bed tersebut. Pipa diatur sedemikian rupa
sehingga udara yang keluar dari pipa terdistribusi secara merata pada bed . Udara
pada bed ini akan membuat batu bara melayang pada boiler . Batu bara pada boiler
ini dibakar dengan suhu berkisar antara 760 - 950º C. Suhu pada pembakar dijaga
agar tidak melebihi 950º C, karena apabila melebihi suhu tersebut, maka abu hasil
pembakaran akan meleleh dan membuat buntu saluran udara.
Abu hasil bakaran akan melayang ke atas pada boiler, abu yang masih
berukuran besar akan ditangkap oleh cyclone, yang ditunjukkan dengan angka 6
pada Gambar 3.2, yang kemudian akan dikembalikan ke bagian pembakaran di
19 Universitas Kristen Petra
bawah. Karena sistem pembakaran yang seperti inilah, bottom ash yang dihasilkan
oleh proses pembakaran ini sangat rendah. Abu yang sudah cukup halus akan
dimasukkan ke dalam Electrostatic Precipitator (ESP). ESP berupa lempengan-
lempengan yang bermuatan untuk menangkap fly ash yang terbang ke dalam ESP
tersebut. Setelah lempengan penuh oleh fly ash yang menempel, lempengan
tersebut akan dipukul sehingga lempengan bermuatan netral, dan membuat fly ash
yang menempel berjatuhan pada penampung di bawahnya. Penampung inilah yang
kemudian akan membawa fly ash ke dalam tempat penampungan fly ash yang dapat
dilihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Tempat Penampungan Fly Ash PT Sinergy Power Source
Sekitar 650 ton batu bara diolah tiap harinya. Batu bara yang dipakai berasal
dari Kalimantan, dengan sumber tambang yang berbeda-beda. Dengan sumber batu
bara yang berbeda-beda, maka berbeda pula kualitas batu baranya, dan
menghasilkan fly ash dan bottom ash yang berbeda pula. Dari 650 ton batu bara
yang diolah, dapat menghasilkan sekitar 40 ton fly ash tiap harinya, sedangkan
bottom ash hanya sekitar 1 ton per harinya. Fly ash dari PT Sinergy Power Source
saat ini hanya dimanfaatkan sebagai raw material grade oleh pabrik Semen Gresik
dan Holcim. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemanfaatan fly ash yang masuk
pada pabrik semen akan dipisah menjadi dua grade, yaitu cement grade dan raw
material grade. Jika fly ash yang dikirimkan memenuhi syarat-syarat untuk dapat
menjadi pengganti semen yang baik, maka fly ash tersebut akan dimasukkan ke
20 Universitas Kristen Petra
dalam cement grade, sedangkan fly ash yang tidak memenuhi syarat akan
digolongkan menjadi raw material grade.
Sampai saat ini ̧fly ash dari PT Sinergy Power Source hanya dapat dipakai
sebagai raw material grade oleh pabrik semen. Salah satu alasan yang dijelaskan
pada kami adalah syarat klorin = 0% pada fly ash untuk mencapai cement grade,
sedangkan fly ash PT Sinergy Power Source memiliki kandungan klorin > 0%. Oleh
karena itu, penelitian untuk pemanfaatan fly ash PT Sinergy Power Source sebagai
pengganti semen perlu dilakukan, mengingat minimnya pemanfaatan pada fly ash
ini.
3.2 Material
3.2.1 Fly Ash
Pada penjelasan subbab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa fly ash yang
kami gunakan dalam penelitian ini merupakan fly ash yang berasal dari PT Sinergy
Power Source, yang memakai sistem pembakaran CFB. Perlu diingatkan
sebelumnya bahwa sistem pembakaran CFB merupakan salah satu jenis sistem
pembakaran FBC, di mana batu bara akan disirkulasi secara terus menerus sampai
terbakar habis pada boiler. Fly ash produk FBC memiliki kandungan kimia yang
berbeda jika dibandingkan dengan fly ash produk PCC. Fly ash produk PCC
umumnya dapat digolongkan menjadi kelas F, kelas N, dan kelas C berdasarkan
kandungan kimia di dalamnya, yang diatur pada ASTM C 618, seperti pada Tabel
2.1. Fly ash produk FBC pada umumnya tidak memiliki kandungan kimia seperti
yang telah diatur pada ASTM C 618, maka fly ash produk FBC tidak dapat secara
umum digolongkan menjadi fly ash tipe C ataupun F, seperti fly ash produk PCC.
Fly ash produk CFB umumnya memiliki kadar CaO yang tinggi, hal ini
dikarenakan penambahan material limestone sebagai penangkap sulfur yang
dilepaskan dari hasil pembakaran. Tabel 3.1 menunjukkan hasil tes XRF pada fly
ash CFB PT Sinergy Power Source. Pada fly ash PT Sinergy Power Source tidak
terdapat kadar CaO yang tinggi, sehingga dapat kami duga bahwa PT Sinergy
Power Source tidak menambahkan material limestone sebagai penangkap sulfur.
Kadar LOI yang rendah disebabkan oleh sistem sirkulasi dari CFB sendiri, karena
21 Universitas Kristen Petra
abu yang masih berukuran besar ditangkap dan dikembalikan oleh cyclone,
sehingga batu bara dapat terbakar dengan lebih efisien.
Tabel 3.1 Hasil Tes XRF Fly Ash Ngoro
No. Parameter Unit Test Result
1. SiO2 % wt 48,94
2. Al2O3 % wt 35,11
3. Fe2O3 % wt 5,99
4. TiO2 % wt 1,93
5. CaO % wt 2,20
6. MgO % wt 1,34
7. K2O % wt 0,95
8. Na2O % wt 0,40
9. SO3 % wt 0,15
10. MnO2 % wt 0,07
11. P2O5 % wt 0,14
12. L O I % wt 2,50
13. SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 % wt 90,04
Gambar 3.4 Foto SEM dari Fly Ash PCC (kiri) (Chindaprasirt et al., 2011) dan Fly
Ash PLTU Ngoro (kanan)
Selain perbedaan pada kandungan kimianya, fly ash produk FBC memiliki
perbedaan bentuk partikel dibandingkan dengan fly ash produk PCC. Hal ini
ditunjukkan pada hasil tes foto SEM seperti pada Gambar 3.4. Bentuk partikel dari
fly ash produk PCC terlihat menyerupai bola akibat dari temperatur yang tinggi,
sedangkan pada fly ash Ngoro berbentuk tidak beraturan, yang diakibatkan oleh
temperatur yang lebih rendah, sehingga partikel batu bara tidak meleleh
sepenuhnya, dan menghasilkan bentuk yang tidak beraturan. Partikel yang tidak
22 Universitas Kristen Petra
beraturan ini membuat fly ash Ngoro membutuhkan lebih banyak air agar campuran
dengan fly ash FBC lebih lecak (Chindaprasirt et al., 2011).
3.2.2 Agregat
Sample yang diteliti dalam penelitian ini berupa mortar, sehingga agregat
yang digunakan dalam penelitian ini hanya agregat halus saja, yakni pasir
Lumajang. Pasir yang didapat harus dalam keadaan kering terlebih dahulu, lalu
dilakukan gradasi sesuai standar ASTM (ASTM C778-13, 2014) seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3.2. Gradasi diterapkan untuk setiap sampel mortar benda
uji. Setelah itu, pasir yang digunakan juga dipastikan dalam keadaan SSD
(Saturated Surface Dry).
Tabel 3.2 Standard Sand Requirements (ASTM C778-13, 2014)
Characteristic 20-30 Sand Graded
Sand
Grading, percent passing sieve:
1,18 mm (No. 16) 100 100
850 μm (No. 20) 85 to 100
600 μm (No. 30) 0 to 5 96 to
100
425 μm (No. 40) 65 to 75
300 μm (No. 50) 20 to 30
150 μm (No. 100) 0 to 4
Difference in air content of
mortars made with washed and
unwashed sand, max, % air
2 1,5
Source of Sand Ottawa, IL or
LeSuer, MN
Ottawa,
IL
3.2.3 Alkali Activator
Sebagai beton geopolimer tentu dibutuhkan alkali aktivator sebagai salah
satu dari komponen utama. Larutan alkali activator yang kami gunakan dalam
penelitian ini adalah sodium hidroksida (NaOH) padat, yang kemudian akan
dicampur dengan air menjadi larutan NaOH dengan konsentrasi 8M sampai 14M
dan sodium silikat. Sodium silikat yang digunakan ada dua jenis dengan kandungan
yang berbeda seperti ditunjukkan pada Tabel 3.3. Pemakaian dua macam sodium
23 Universitas Kristen Petra
silikat yang berbeda dikarenakan terbatasnya jumlah sodium silikat yang tersedia
pada laboratorium Universitas Kristen Petra, sehingga kami membeli lagi di toko
yang sama. Hal yang perlu diperhatikan adalah saat pencampuran NaOH ke dalam
air suling, karena selanjutnya yang terjadi adalah larutan akan segera bereaksi
menghasilkan panas yang tinggi. Maka dari itu larutan NaOH didiamkan terlebih
dahulu semalam baru dilakukan pengecoran.
Tabel 3.3 Kandungan Kimia Sodium Silikat
Sodium Silikat I Sodium Silikat II
Na2O+SiO2 (%) 58 39
Air (%) 42 61
3.3 Alat Yang Digunakan
Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan yaitu, antara lain: sekop,
kapi, ember, bor pengaduk, meja penggetar, oven, gelas ukur, timbangan digital,
dan vicat needle. Alat diperiksa kembali kebersihannya sebelum digunakan, agar
tidak mempengaruhi hasil penelitian. Bor pengaduk digunakan untuk membantu
pencampuran komponen agar tercampur merata dan cepat. Bekisting yang
digunakan berukuran 5x5x5 cm. Sebelum adonan beton geopolymer dituang ke
dalam bekisting, minyak goreng dioleskan sebagai release agent pada bekisting
untuk memastikan bekisting tidak lengket dengan sample. Setelah itu barulah
adonan boleh dituang ke dalam bekisting. Setelah dilakukan mixing dan curing pada
suhu ruangan, sampel mortar akan dilakukan uji tekan pada umur 7, 14 dan 28 hari.
Vicat needle digunakan untuk mengukur setting time pasta geopolimer dengan cara
mengukur kedalaman jarum yang masuk ke pasta geopolimer.
3.4 Mix Design
Mix Design 1 dengan kode campuran A sampai C mengacu pada penelitian
sebelumnya (Erlando, Frengki, & Hardjito, 2017) dimana alkali activator yang digunakan
adalah kombinasi antara larutan NaOH dan sodium silikat. Larutan NaOH
disiapkan dalam 3 konsentrasi, yaitu 8M, 10M, 14M. Perbandingan larutan sodium
silikat (Na2SiO3) dengan sodium hidroksida (NaOH) padat adalah 2,5 dan
menggunakan sodium silikat I seperti yang ditunjukan pada Tabel 3.4. Sedangkan
24 Universitas Kristen Petra
pada Mix Design 2 dengan kode campuran D dan E berfokus pada perbandingan
massa Si:Al. Perbandingan massa Si:Al yang digunakan adalah tetap yakni 3.
Perbandingan fly ash:pasir sebesar 1:2 (Erlando et al., 2017).
Tabel 3.4 Mix Design 1
Kode
Campuran
Fly
Ash
(gr)
Pasir
(gr)
Larutan NaOH Sodium Silikat
Konsentrasi NaOH
(solid) (gr) Air (gr)
Na2O+SiO2
(58%) (gr) Air (42%) (gr)
A1 300 600 8M 48 133,5 69,6 50,4
A2 300 600 10M 60 124,5 87 63
A3 300 600 14M 84 115,5 121,8 88,2
B1 300 600 8M 57,6 160,2 83,52 60,48
B2 300 600 10M 72 149,4 104,4 75,6
B3 300 600 14M 100,8 138,6 146,16 105,84
C1 300 600 8M 67,2 186,9 97,44 70,56
C2 300 600 10M 84,0 174,3 121,8 88,2
C3 300 600 14M 117,6 161,7 170,52 123,48
Mix Design 1 ditunjukkan pada Tabel 3.4. Untuk perhitungan kebutuhan
NaOH sebagai contoh memakai sampel A1, membutuhkan NaOH dengan
konsentrasi 8 Molar. Dari NaOH(solid) kami dapat menghitung jumlah kebutuhan
sodium silikat. Dengan mengacu pada perbandingan massa sodium
silikat/NaOH(solid)=2,5 maka 𝑆𝑜𝑑𝑖𝑢𝑚 𝑠𝑖𝑙𝑖𝑘𝑎𝑡 = 2,5𝑥𝑁𝑎𝑂𝐻(𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑).
Setelah meneliti dan menganalisa hasil kuat tekan dari mix design awal,
kami mencoba untuk membuat mix design baru, yang kami sebut dengan Mix
Design 2. Tabel 3.5 menunjukkan mix design 2 dengan sodium silikat tetap.
Mix Design 2 ini kami lakukan karena kami ingin meneliti lebih lanjut
mengenai kekuatan tekan tertinggi yang dapat dicapai dengan fly ash Ngoro ini..
Perhitungan kebutuhan NaOH sama dengan Mix Design 1. Untuk kebutuhan
sodium silikat pada Mix Design 2 menyesuaikan perbandingan massa Si:Al = 3.
Perbandingan massa Si:Al = 3 dipakai sebagai pembuktian bahwa kuat tekan mortar
geopolimer dipengaruhi oleh rasio tersebut. Mix Design 2 ini kami coba dengan
memakai molaritas yang lebih rendah, yaitu 6M-8M, dengan tujuan menemukan
25 Universitas Kristen Petra
kekuatan tertinggi dengan molaritas sekecil mungkin, dan berdasarkan pada mix
design awal, 8M merupakan molaritas terkecil untuk mencapai kekuatan tekan yang
tinggi, sehingga 14M tidak dipakai lagi dalam mix design 2. Pada Mix Design 2,
sodium silikat yang digunakan adalah sodium silikat II.
Tabel 3.5 Mix Design 2
Kode
Campuran
Fly
Ash
(gr)
Pasir
(gr)
Larutan NaOH Sodium Silikat
Konsentr
asi
NaOH
(solid)
(gr)
Air
(gr)
Na2O+SiO2
(39%) (gr)
Air
(61%)
(gr)
D1 300 600 6M 36 139,5 44,32 69,32
D2 300 600 7M 42 136,5 44,32 69,32
E1 300 600 6M 43,2 167,4 44,32 69,32
E2 300 600 7M 50,4 163,8 44,32 69,32
E3 300 600 8M 57,6 160,2 44,32 69,32
F 300 600 8M 48 133,5 65,03 101,71
Setelah melakukan analisa dan membandingkan hasil pada Mix Design 1
dan 2, kami menemukan bahwa kandungan sodium silikat yang dipakai berbeda.
Pada Mix Design 2, kami memakai sodium silikat yang berbeda dengan Mix Design
1, dengan asumsi kadar sodium silikat yang ada sama dengan Mix Design 2, yaitu
58% sodium silikat dan 42% air dengan catatan bahwa sodium silikat pada kedua
mix design ini berasal dari toko yang sama. Setelah pencarian data lebih lanjut, kami
menemukan bahwa kadar sodium silikat untuk Mix Design 2 hanyalah 39%, dengan
sisa 61% adalah air.
Dengan pedoman kadar sodium silikat yang baru, kami mencoba membuat
sampel dengan kode campuran F. Sampel F memakai konsentrasi larutan NaOH
8M dengan mempertimbangkan bahwa molaritas tersebut merupakan yang terbaik
dalam menghasilkan kuat tekan tinggi pada Mix Design 1. Jumlah sodium silikat
didapat dari perhitungan serupa dengan sampel D dan E dengan perbandingan Si:Al
= 3, dan kadar sodium silikat 39%. Mix Design untuk sampel F ditunjukkan pada
Tabel 3.5.
26 Universitas Kristen Petra
3.5 Benda Uji
3.5.1 Bekisting
Bekisting yang digunakan berbentuk kubus dengan ukuran 5x5x5 cm
dengan jumlah 3 buah tiap bekistingnya seperti pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5 Bekisting Kubus Berukuran 5x5x5 cm
3.5.2 Prosedur Pembuatan Mortar Geopolimer
(a)
(b)
Gambar 3.6 Prosedur Pencampuran Geopolimer
Adapun prosedur untuk pembuatan mortar geopolimer yakni ditunjukkan
dalam Gambar 3.6 (a) dan (b). Dimana pada prosedur (a) larutan NaOH dengan
Sodium silikat dicampur terlebih dahulu lalu dicampurkan ke fly ash dan terakhir
dimasukan pasir. Pada prosedur (b) fly ash dicampurkan terlebih dahulu dengan
larutan NaOH kemudian dicampur dengan sodium silikan dan terakhir dimasukan
pasir. Prosedur ini dipilih karena berdasarkan penelitian sebelumnya, prosedur (b)
memiliki reaksi yang lebih lambat dari prosedur (a) (Erlando et al., 2017). Sebelum
proses pembuatan dimulai material dan peralatan disiapkan terlebih dahulu sesuai
Fly Ash NaOH + Sodium Silikat Pasir
Fly Ash + NaOH Sodium Silikat Pasir
27 Universitas Kristen Petra
dengan mix design. Dari setiap prosedur dibuatlah mortar geopolimer, saat mortar
dituang ke dalam bekisting dilakukan pemadatan dengan meja vibrator, selanjutnya
Mortar yang telah dicetak dilakukan curing pada suhu ruang selama 7, 14, 28 hari.
3.6 Pengujian Sampel
3.6.1 Pengujian Kuat Tekan Mortar Geopolimer
Pengujian kuat tekan mortar geopolimer dilakukan setelah mortar mencapai
umur 7, 14 dan 28 hari. Mortar Geopolimer diuji dengan menggunakan alat tes
tekan di Laboratorium Beton Universitas Kristen Petra berdasarkan
ASTM:C109M-02, (2007). Sebelum diuji, dilakukan test kepadatan untuk
mengetahui density mortar.
3.6.2 Pengujian Setting Time Pasta Geopolimer
Pengujian setting time pasta geopolimer dilakukan dengan menggunakan
alat vicat needle. Pengujian ini dilakukan pada suhu ruangan dan terlebih dahulu
dilakukan pencatatan waktu yaitu saat larutan alkali mulai ditambahkan ke dalam
fly ash. Pasta geopolimer yang sudah tercampur kemudian diratakan di dalam mold
dan diletakkan di bawah alat vicat needle. Pengujian setting time dilakukan dengan
melepaskan jarum alat vicat needle pada pasta geopolimer dan dilakukan
pembacaan. Initial setting time dicapai saat angka yang terbaca pada vicat needle
menunjukkan angka 25 mm.
3.6.3 Pengujian workability
Flow table test dilakukan untuk melihat workability/flowability dan plastic
viscosity pada campuran mortar. Pengujian ini dilakukan sebelum dicetak di dalam
bekisting. Tolok ukurnya adalah dengan memakai flow diameter (diameter aliran)
yang terjadi. Pengujian dilakukan dengan cara menuangkan campuran yang baru
dibuat ke dalam mold yang diletakkan di atas piringan flow table hingga penuh dan
permukaan paling atas diratakan. Mold kemudian diangkat dan alat flow table
diketuk sebanyak 25 kali dalam waktu 15 detik, lalu flow diameter diukur. Semakin
besar diameter yang didapatkan maka flowability semakin tinggi. Segregasi yang
28 Universitas Kristen Petra
terjadi pada campuran dapat dilihat ketika air mengalir terlebih dahulu saat mold
diangkat.