BOLEHKAH TEMPAT USAHA YANG PADANYA TERJADI CAMPUR BAUR
ANTARA PRIA DAN WANITA
(Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiry hafizhahullah)
Pertanyaan:
Semoga Allah memberkahi Anda wahai syaikh kami, Di tempat kami di negeri
timur Asia terdapat rumah-rumah makan yang kebiasaannya para pengunjungnya
dari kalangan pria dan wanita sehingga seringnya terjadi ikhtilath dan sebagian
kemungkaran. Maka apakah pemilik rumah-rumah makan tersebut berdosa atasnya
dan apakah hal itu teranggap saling membantu dalam dosa dan permusuhan?
Jawaban:
Jika dia benar-benar seorang muslim maka tidak halal hal seperti ini baginya.
Hendaknya dia berusaha memisah antara pria dengan wanita, dan tidak halal
baginya untuk membiarkan mereka duduk di samping pria. Adapun berkaitan
dengan melarang maka saya kira hal itu tidak mudah baginya, karena negara-
negara kafir mengharuskan, dan barangsiapa dari kaum Muslimin yang meniru
mereka maka mereka akan mengharuskannya.
Tetapi hendaknya dia membuat tirai pembatas sebisa mungkin, dan jangan
sampai misalnya dia membiarkan orang minum khamer, menari, dan hal yang sia-
sia. Jangan sampai dia membiarkan hal ini, walaupun hal itu membuatnya terpaksa
harus menutup rumah makan tersebut. Dan hendaklah dia percaya dengan janji
Allah:
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah maka pasti Dia akan memberikan jalan
keluar bagi kesulitannya dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak dia
sangka-sangka, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia akan
mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Sumber audio dan transkripnya : http://ar.miraath.net/fatwah/10512
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=8918
SAHKAH MENIKAH YANG KEDUA TANPA SURAT NIKAH
(Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhaly rahimahullah)
Pertanyaan:
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan-Nya kepada Anda,
penanya dari Perancis mengatakan: “Bolehkah bagi saya untuk menikah dengan istri
yang kedua dengan akad yang diakui oleh adat-istiadat saja, karena poligami
dilarang di negara saya?”
Jawaban:
Apa yang dimaksud dengan akad yang diakui oleh adat-istiadat tersebut?!
Jika hal tersebut maksudnya adalah dengan hanya mencukupkan dengan akad yang
dilakukan oleh wali si wanita dan hadirnya dua orang saksi yang adil, jika
maksudnya tersebut adalah seperti ini maka pernikahan tersebut sah dan akadnya
sah.
Namun jika maksudnya lain maka kami tidak tahu dan kami tidak bisa
menetapkan fatwa hukumnya. Hanya saja seperti ini dugaan kuatnya yaitu bahwa
yang dimaksud dengan pernikahan yang diakui oleh adat adalah yang tidak
dicatatkan di kantor pemerintah, tetapi hanya dilakukan di tengah-tengah kabilah
(suku atau masyarakat –pent) dengan kehadiran pihak yang mengurusi akad, wali,
pihak yang menikah atau perwakilannya, atau wali juga bisa diwakilkan, dan dua
orang saksi, kemudian dilaksanakan akad.
Yang semacam ini boleh dan teranggap pernikahan yang sah menurut
syari’at, walaupun tidak dicatatkan pada kantor pemerintah yang melarang apa yang
diperbolehkan dan disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=8689
BOLEHKAH SHALAT DI MASJID AHLI BID’AH
(Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah)
Pertanyaan:
Semoga Allah melimpahkan kebaikannya kepada Anda, wahai syaikh kami, di
negeri kami terdapat dua masjid, salah satu dari keduanya milik Ahlus Sunnah
sedangkan yang lainnya milik ahli bid’ah, maka bolehkah bagi saya untuk
mengerjakan shalat di masjid ahli bid’ah kadang-kadang saja, tujuannya untuk
menasehati orang-orang awam? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawaban:
Orang-orang awam yang ingin engkau nasehati itu –baarakallahu fiikum– jika
mereka tidak mengetahui keadaan ahli bid’ah tersebut berupa kesesatan yang ada
pada mereka dan engkau orang yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan
nasehat dan menjelaskan kebenaran kepada mereka serta mengingatkan mereka
dengan ajaran As-Sunnah, maka tidak mengapa engkau menasehati mereka jika
engkau benar-benar memiliki kemampuan untuk melakukannya, jika orang-orang
awam tersebut tidak mampu untuk membedakan dan tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang bathil.
Tetapi jika ahli bid’ah akan memanfaatkan keberadaanmu di masjid tersebut
sehingga jumlah mereka menjadi bertambah banyak atau mereka semakin
meramaikannya, maka keselamatan itu sesuatu yang tidak bisa digantikan dengan
apapun. Jangan engkau masukkan dirimu ke dalam tempat yang membahayakan
dan jangan membingungkan dirimu dan saudara-saudaramu (sesama Ahlus Sunnah
–pent).
Siapa yang engkau kenal dari orang-orang awam tersebut maka datanglah
ke rumahnya dan nasehatilah dia! Namun jika keberadaanmu tidak akan
dimanfaatkan, mereka tidak mempedulikan dirimu, dan mereka tidak mengenal
sama sekali siapa engkau, maka demi tujuan yang mulia ini jika engkau benar-benar
memiliki kemampuan untuk menyampaikan nasehat dan engkau memiliki sebab
yang menuntut untuk menyampaikannya, maka tidak masalah in syaa Allah Ta’ala.
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=8448
APAKAH SESEORANG MENDAPATKAN PAHALA JIKA MELAKUKAN
KEBAIKAN TANPA DISERTAI NIAT KARENA ALLAH
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Seseorang terkadang melakukan kebaikan, hanya saja mungkin di dalam
lubuk hatinya tidak meniatkan kebaikan dan tidak pula keburukan, apakah dia
mendapatkan pahala atasnya?
Jawaban:
Tidak, karena Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Hanyalah amal-amal itu diberi balasan sesuai dengan niatnya, dan setiap orang
akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang telah dia niatkan.”
Maka jika seseorang melakukan sesuatu tanpa meniatkan untuk
mendapatkan pahala dan tidak meniatkan untuk mendapatkan ganjaran, maka dia
tidak akan mendapatkan pahala.
Sumber artike : http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54411
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7892
BOLEHKAH MENJUAL BARANG LANGSUNG DARI TEMPAT MEMBELINYA
(Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
Pertanyaan:
Sebagian pedagang membeli barang, kemudian dia tidak segera mengambil
barang tersebut dan tidak melihatnya langsung, tetapi dia akan mengambilnya
sewaktu-waktu dengan kwitansi dan tetap meletakkan barangnya tersebut di gudang
penjual yang dia membeli darinya. Kemudian dia menjualnya ke orang lain (baik
serah terima barangnya di tempat maupun dengan cara mengirimkannya ke pembeli
lain –pent) ketika barang itu masih berada di gudang penjual pertama tadi.
Bagaimana hukum hal tersebut?
Jawaban:
Tidak boleh bagi pembeli untuk menjual barang tersebut selama masih
berada pada penjual sampai pembeli tersebut menerimanya dan memindahkannya
ke rumahnya atau ke pasar. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu alaihi
was sallam dalam hadits-hadits yang shahih tentang hal tersebut, diantaranya
adalah sabda beliau shallallahu alaihi was sallam:
“Tidak boleh hutang dan jual beli sekaligus dalam satu transaksi, dan tidak halal
menjual apa yang tidak engkau miliki.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun
kitab As-Sunan dengan sanad shahih. (Al-Albany rahimahullah berkata dalam
Shahih Sunan Abu Dawud II/374 no. 3504: “Hasan shahih.” –pent)
Juga berdasarkan sabda beliau shallallahu alaihi was sallam kepada Hakim bin
Hizam:
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” Dikeluarkan oleh
para imam hadits yang lima kecuali Abu Dawud dengan sanad jayyid. (Al-Albany
rahimahullah berkata dalam Irwa’ul Ghalil no. 1292: “Shahih.” –pent)
Juga berdasarkan riwayat dari Zaid bin Tsabit dari Nabi shallallahu alaihi was
sallam:
“Beliau melarang menjual barang di tempat barang tersebut dibeli, sampai para
pedagang memindahkannya ke tempat mereka sendiri.” Diriwayatkan oleh Ahmad
dan Abu Dawud, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. (Al-Albany
rahimahullah berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud II/373 no. 3499: “Hasan
berdasarkan riwayat sebelumnya.” –pent)
Jadi siapa yang membeli barang maka tidak boleh baginya untuk menjualnya
sampai dia memindahkan barang yang telah dibelinya tersebut ke rumahnya atau ke
tempat yang lain seperti pasar misalnya, hal ini berdasarkan hadits-hadits yang telah
disebutkan tadi.
Sumber artikel: Majmuu’ul Fataawaa, XIX/121-122
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7842
BOLEHKAH MEMBERIKAN KARTU DISKON BELANJA
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Sebagian supermarket memiliki kartu yang diberikan kepada pelanggan,
ketika berbelanja Anda akan diberi poin sesuai nilai barang yang Anda beli, dari
sana poin-poin tersebut akan diganti dengan barang yang mereka tentukan, dan
dengan kartu ini Anda bisa mendapatkan harga diskon?
Jawaban:
Ini semua termasuk perjudian sehingga tidak boleh, jika seorang pelanggan
membutuhkan barang hendaklah dia pergi ke pasar, tinggalkan cara-cara buruk
semacam ini, yaitu membeli barang dengan iming-iming siapa yang cepat atau
beruntung maka dia akan mendapat hadiah, tinggalkan karena itu merupakan
perjudian. Konsumen akan membeli ke mereka dan tidak mau membeli ke selain
mereka, jadi mereka memalingkan manusia dari tempat belanja yang lain, sehingga
mereka merugikan orang lain.
Nabi shallallahu alaihi was sallam melarang mencegat orang-orang yang ingin
menjual barangnya sebelum sampai ke pasar. Beliau juga melarang orang kota
menjualkan barang orang desa. Hal itu bertujuan agar keuntungan bisa didapatkan
oleh semua orang yang ada di pasar dan tidak ada seorang pun memiliki kelebihan
atas orang lain. Misalnya dengan engkau memberikan berbagai hadiah agar
manusia hanya membeli kepadamu dan engkau menyebabkan pembeli tidak mau
belanja ke orang lain.
Kemudian barang yang diterima oleh pembeli semacam ini tidak boleh
hukumnya, karena itu didapatkan tanpa mengeluarkan apapun. Dia
mendapatkannya hanya sebagai imbalan dari kartu tadi yang tujuannya untuk
mengarahkan manusia agar berbelanja ke toko mereka atau tempat jualan mereka
serta merugikan penjual yang lain. Tidak boleh merugikan orang lain sebagaimana
tidak boleh merugikan diri sendiri. Yang semacam ini tidak boleh.
Sumber audio: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54279
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7791
BOLEHKAH MENJUAL BARANG ORANG LAIN
Pertanyaan:
Seorang pelanggan datang kepada saya dan meminta barang tertentu,
namun barang yang dia inginkan itu tidak ada pada saya, tetapi barang tersebut ada
di toko lain, dan harganya di toko lain tersebut misalnya 100 Riyal. Maka orang yang
ingin membeli tersebut berkata kepada saya setelah memintanya: “Berapa
harganya?” Saya jawab: “Harganya 150 Riyal.” Lalu dia berkata kepada saya: “Tidak
masalah, bawakan barang itu kepada saya!” Jika saya membeli barang barang
tersebut seharga 100 Riyal dan saya jual kepadanya seharga 150 Riyal, apakah
semacam ini boleh?
Atau bolehkah saya meminta kepadanya agar memberi saya senilai harga
jual barang tersebut yaitu 150 Riyal, lalu saya belikan barang tersebut seharga 100
Riyal dan saya mengambil sisanya yang 50 Riyal tadi yang saya anggap keuntungan
sebagai imbalan atas keletihan dan usaha saya? Jika tidak boleh maka bagaimana
yang wajib kami lakukan, dan apakah jual beli semacam ini teranggap jual beli
barang yang tidak dimiliki oleh seseorang?
Jawaban:
Jual beli yang sifatnya disebutkan tadi adalah jual beli apa yang tidak engkau
miliki dan yang tidak ada padamu. Maka tidak boleh memperjualbelikan barang tadi
sampai engkau mengambilnya dan memindahkannya ke tempatmu (tidak harus ke
rumah atau ke tokonya terlebih dahulu, tetapi bisa di kendaraan terus diserahkan ke
pembeli –pent). Jika engkau telah memiliki barang tersebut maka boleh bagimu
untuk menjualnya ke pembeli dengan harga yang kalian sepakati berdua dan
dengan keridhaan kalian berdua dengan keuntungan yang bisa memberi manfaat
bagi dirimu namun tidak merugikan pembeli.
Tetapi jika pembeli mewakilkan kepadamu untuk membeli barang tertentu,
maka tidak boleh bagimu untuk mengambil lebih dari harga barang tersebut, karena
orang yang diminta mewakili adalah orang yang dipercaya. Jika pembeli tersebut
memberimu sejumlah uang secara suka rela sebagai imbalan bagi keletihanmu,
maka halal bagimu untuk mengambilnya dalam keadaan seperti ini..
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’
Tertanda:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Anggota:
- Abdul Aziz Alus Syaikh
Shalih Al-Fauzan
Bakr Abu Zaid
Sumber artikel: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’,
XIII/260-261, fatwa no. 19912
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7739
BOLEHKAH DALAM JUAL BELI MENENTUKAN SYARAT: “BARANG BISA
DITUKAR, TETAPI UANG TIDAK BISA DIKEMBALIKAN”
Pertanyaan:
Bagaimana menurut Anda –baarakallahu fiikum– tentang apa yang dilakukan
oleh sebagian pedagang berupa kesepakatan dengan pembeli bahwa pembeli boleh
mengembalikan barang yang dia beli jika dia menginginkan, namun dia tidak boleh
meminta kembali uang yang dibayarkan, tetapi dia boleh memilih barang lain yang
ada pada penjual yang dia inginkan yang seharga dengan barang yang
dikembalikan.
Kalau dia tidak mendapatkan barang yang sesuai pada penjual, maka penjual
menulis uang pembayaran si pembeli, tujuannya jika kapan saja dia ingin membeli
sesuatu dari toko tersebut dia bisa menggunakan uang tersebut sebagai deposit?
Jawaban:
Boleh mensyaratkan untuk menentukan pilihan atau keputusan dalam jual beli
untuk jangka waktu tertentu, dan pembeli boleh mengembalikan barang yang telah
dia beli dalam waktu yang telah disepakati tersebut, dan dia boleh mengambil
kembali uang yang telah dia bayarkan kepada penjual, karena itu adalah hartanya.
Adapun pensyaratan tidak boleh meminta kembali uang yang telah
dibayarkan oleh si pembeli dan hanya boleh digunakan untuk membeli barang yang
lain kepada si penjual, maka ini merupakan syarat yang bathil dan tidak boleh
diterapkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:
“Semua syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah adalah bathil, walaupun ada 100
syarat.” (HR. Al-Bukhary no. 2155 dan Muslim no. 1504 –pent)
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’
Tertanda
:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Anggota:
- Abdullah bin Ghudayyan
Shalih Al-Fauzan
Abdul Aziz Alus Syaikh
Bakr Abu Zaid
Sumber artikel: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’,
XIII/199, fatwa no. 19804
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7613
MUNGKINKAH MELIHAT ALLAH DALAM MIMPI
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai Shahibul Fadhilah, penanya
ini mengatakan apakah mungkin Allah Jalla wa Ala dilihat dalam mimpi?
Jawaban:
Ya termasuk hal yang mungkin, termasuk hal yang mungkin Dia dilihat dalam
mimpi. Mimpi bukan dalam keadaan berjaga. Kita menafikan hal ini hanyalah dalam
keadaan berjaga di dunia. Adapun dalam mimpi maka hal itu mungkin terjadi bagi
siapa yang pantas untuk mendapatkannya, bagi yang memang pantas
mendapatkannya. Kalau misalnya ada seseorang dari ahli khurafat mengatakan:
“Saya telah bermimpi melihat Allah.” Maka tidak diterima ucapannya tersebut. Kalau
dia termasuk ahli iman, akidah, dan ilmu, maka mungkin saja dia bisa bermimpi
melihat Allah. Adapun jika dia termasuk ahli khurafat dan para pendusta maka
ucapannya tidak dibenarkan.
Sumber artikel:
http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54030
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7419
BOLEHKAH SYARAT “BARANG TIDAK BOLEH DIKEMBALIKAN DAN
TIDAK BISA” DITUKAR DALAM JUAL BELI
Pertanyaan:
Apa hukum syari’at menulis ungkapan “Barang yang dibeli tidak boleh
dikembalikan atau ditukar” yang ditulis oleh sebagian toko di faktur yang mereka
keluarkan, dan apakah syarat semacam ini boleh menurut syari’at, dan apa nasehat
Anda tentang perkara ini?
Jawaban:
Menjual barang dengan syarat tidak boleh dikembalikan dan tidak boleh
ditukar adalah tidak boleh, karena itu merupakan syarat yang tidak sah karena
mengandung tindakan merugikan pihak lain dan tindakan menyembunyikan cacat
barang yang dijual, juga karena tujuan dari penjual dengan membuat syarat
semacam ini adalah mengharuskan pembeli untuk menerima barang walaupun
barang tersebut memiliki cacat, sementara penentuan syarat semacam ini tidak bisa
membersihkan cacat yang ada pada barang tersebut.
Jadi seandainya barang tersebut memiliki cacat, maka pembeli boleh untuk
meminta ganti dengan barang yang tidak memiliki cacat, atau dia boleh meminta
kompensasi dari cacat yang ada tersebut. Juga karena harga yang sempurna
merupakan imbalan bagi barang yang bagus kwalitasnya, dan tindakan penjual
mengambil pembayaran dalam keadaan barang yang dia jual memiliki cacat
merupakan perbuatan mengambil tanpa hak.
Dan karena syariat menegakkan syarat yang telah dikenal di tengah-tengah
manusia (seperti tidak boleh menjual barang yang cacat –pent) sama seperti syarat
yang terucap, dan hal itu tujuannya adalah agar barang yang diperjualbelikan bebas
dari cacat, sehingga boleh baginya untuk mengembalikannya jika ternyata didapati
ada cacatnya. Hal ini merupakan penerapan bagi pensyaratan bebasnya barang
yang diperjualbelikan dari cacat yang telah dikenal di tengah-tengah manusia,
walaupun syarat tersebut tidak diucapkan.
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’
Tertanda:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Anggota:
- Abdullah bin Ghudayyan
Shalih Al-Fauzan
Abdul Aziz Alus Syaikh
Bakr Abu Zaid
Sumber artikel: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’,
XIII/187-198, fatwa no. 13788
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7415
BOLEHKAH MENGERASKAN BACAAN SHALAT SIRRIYAH ATAU
SEBALIKNYA DAN BIMBINGAN MENGGUNAKAN PENGERAS
SUARA DI MASJID
(Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)
Pertanyaan:
Pendengar yang bernama Muhammad Khair dari Suriyah mengatakan dalam
suratnya: “Apakah disyaratkan untuk mengeraskan suara pada shalat-shalat jahriyah
semuanya, dan apa hukumnya jika seseorang mengeraskan suara pada rakaat
pertama dan melirihkan pada rakaat kedua?”
Jawaban:
Melirihkan bacaan pada tempatnya dan mengeraskan bacaan pada
tempatnya ketika shalat hukumnya sunnah dan tidak wajib, karena yang wajib
adalah membaca, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:
“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah).” [1]
Jika seseorang mengeraskan suara pada shalat yang sunnahnya melirihkan
atau dia melirihkan pada shalat yang sunnahnya mengeraskan, jika tujuannya
tersebut adalah menyelisihi As-Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah
perkara yang haram dan sangat berbahaya. Namun jika dia melakukannya karena
tujuan yang lain, apakah semata-mata karena meremehkan As-Sunnah atau karena
sebuah sebab yang menuntut untuk melirihkan atau mengeraskan –dan situasi
kondisi yang menuntut demikian, kita tidak mampu untuk membatasinya di sini–
maka tidak mengapa.
Bahkan seandainya seseorang sengaja tidak melirihkan pada shalat yang
sunnahnya melirihkan atau tidak mengeraskan pada shalat yang sunnahnya
mengeraskan dengan syarat hal itu bukan karena membenci As-Sunnah dan
meninggalkannya, maka dia tidak berdosa. Hanya saja dia terluput dari pahala (yang
sempurna –pent).
Terdapat riwayat di dalam Ash-Shaihain yang menyebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pada shalat sirriyah beliau terkadang
mengeraskan ayat yang beliau baca hingga para Shahabat yang menjadi ma’mum di
belakang beliau bisa mendengarnya. Jadi jika seorang imam terkadang melakukan
hal itu maka tidak masalah bagi imam. Adapun bagi para ma’mum maka mereka
tidak boleh mengeraskan bacaan, karena hal itu akan mengganggu jama’ah yang
lain. Pernah Nabi shallallahu alaihi was sallam keluar menuju para Shahabat ketika
mereka sedang membaca Al-Qur’an dan mengeraskan bacaannya. Maka beliau
shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang
lain.” [3]
Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya. Jadi kapan saja
tindakan mengeraskan suara akan mengganggu yang lain maka hal itu dilarang.
Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan bahwa sebagian orang ada yang
melakukan perbuatan yang mengganggu orang lain, padahal maksud mereka
adalah baik insya Allah. Yaitu ketika mereka melaksanakan shalat jama’ah maka
sebagian mereka ada yang menghidupkan pengeras suara yang ada di menara,
sehingga engkau jumpai mereka mengganggu masjid-masjid lain yang ada di
dekatnya dan juga orang-orang yang mengerjakan shalat di rumah (para wanita dan
orang-orang yang mendapatkan udzur –pent).
Terkadang mereka juga mengganggu orang lain yang ingin istirahat karena
mereka telah menunaikan kewajiban mereka. Jadi kita anggap misalnya di rumah-
rumah penduduk sebagian mereka ada yang sakit yang telah mengerjakan shalat
dan ingin bersitirahat, maka suara-suara dari masjid ini bisa mengganggu mereka.
Jika suara-suara ini hanya mengganggu masjid-masjid yang lain maka
sesungguhnya hadits yang telah kami isyaratkan tadi yang diriwayatkan oleh Malik
dalam Al-Muwaththa’ dan dinilai shahih oleh Ibnu Abdil Barr, tepat untuk diterapkan
pada keadaan semacam ini. Yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:
“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang lain.”
Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya. Kemudian
sesungguhnya mengeraskan suara di atas menara bisa menyebabkan kemalasan
dan sikap menunda-nunda, karena orang-orang yang di rumah yang mendengarnya
terkadang salah seorang dari mereka ada yang mengatakan dalam hati: “Shalat
masih berlangsung, saya masih bisa mendapatkan rakaat terakhir.” Jika perkaranya
seperti itu maka terkadang dia bisa saja tidak mendapatkan shalat berjama’ah.
Karena ketika dia mendengar suara imam, engkau jumpai dia meremehkan dan
jiwanya mengajak kepada kemalasan. Adapun jika dia tidak mendengar suara imam,
maka semuanya masih bisa mendengar adzan, sehingga seseorang akan segera
bersiap-siap menuju shalat.
Jadi menurut saya dalam masalah ini shalat jangan dikeraskan dengan
pengeras suara di atas menara, hal ini berdasarkan hadits yang telah saya sebutkan
dan juga karena sebab-sebab lain yang menuntut untuk tidak mengeraskan shalat di
atas menara. Adapun iqamah shalat dengan pengeras suara di atas menara maka
saya berharap hal ini tidak mengapa, walaupun sebagian orang ada yang
membantah dengan dalih bahwa mengeraskan iqamah di atas menara juga akan
menyebabkan kemalasan, karena jika seseorang mendengar adzan maka dia akan
menunggu dan mengatakan: “Saya tunggu sampai iqamah.”
Hanya saja menurut saya hal itu tidak mengapa, karena dalam sebuah hadits
shahih dari shallallahu alaihi was sallam beliau bersabda:
“Jika kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dalam keadaan
tenang dan jangan terburu-buru.” [4]
Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa iqamah pada masa Nabi
shallallahu alaihi was sallam terdengar dari luar masjid. Jika ada yang mengatakan:
“Terkadang jama’ah banyak, sementara masjidnya luas dan suara imam lemah,
sehingga tidak terdengar oleh sebagian ma’mum.” Maka kita katakan bahwa bisa
dengan menggunakan pengeras suara di dalam masjid saja, jadi tidak perlu dengan
yang ada di menara, karena tujuannya bisa tercapai.
Catatan kaki:
[1] Hadits Ubadah bin Ash-Shamit yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 756 dan
Muslim
no. 394, dan ini adalah lafazh Muslim. (pent)
[2] Abu Qatadah Al-Harits bin Rib’iy radhiyallahu anhu menceritakan:
“Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah) dan
dua surat pada shalat Zhuhur di dua rakaat pertama, dan pada dua rakaat yang
terakhir beliau membaca Ummul Kitab dan mengeraskan bacaannya hingga kami
mendengarnya. Beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dan tidak
memanjangkannya pada rakaat kedua. Demikian juga pada shalat Ashar dan juga
pada shalat Shubuh.”
(HR. Al-Bukhary no. 776 –pent)
[3] Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 1603. (pent)
[4] HR. Al-Bukhary no. 636 dan Muslim no. 602 dan ini adalah lafazh Al-Bukhary.
(pent)
Sumber artikel: Fataawa Nuurun Alad Darb, Program Maktabah Asy-Syaamilah,
VIII/2
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=6941
BOLEHKAH PUASA ARAFAH JIKA BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT
(Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
Pertanyaan:
Hari Arafah pernah bertepatan dengan hari Jum’at, dan saya berpuasa pada
hari Jum’at yang bertepatan dengan hari Arafah tersebut dan saya tidak berpuasa
pada hari Kamis sebelumnya. Apakah saya berdosa?
Jawaban:
Kami berharap engkau tidak berdosa, karena engkau tidak meniatkan untuk
puasa pada hari Jum’at saja. HANYA SAJA JIKA ENGKAU JUGA BERPUASA
PADA HARI KAMIS MAKA HAL ITU LEBIH HATI-HATI. Karena Rasulullah
shallallahu alaihi was sallam melarang untuk mengkhususkan hari Jum’at dengan
berpuasa [1] bagi orang yang melakukan puasa nafilah (jadi tidak berlaku bagi yang
membayar hutang puasa –pent).
Engkau melakukan puasa nafilah, maka jika engkau juga berpuasa pada hari
Kamis maka akan lebih hati-hati, walaupun niatmu adalah puasa Arafah. Hanya saja
jika seorang mu’min berusaha mencocoki Nabi shallallahu alaihi was sallam dan
melaksanakan perintah beliau maka akan lebih hati-hati. Adapun jika berpuasa pada
hari Jum’at karena ingin mendapatkan keutamaan hari tersebut maka tidak boleh,
karena Rasulullah shallallahu alaihi was sallam melarangnya. Tetapi jika dia
berpuasa pada hari Jum’at karena bertepatan dengan hari Arafah maka kami
berharap tidak ada dosa atasnya. Hanya saja kalau lebih berhati-hati dengan
berpuasa juga pada hari Kamis maka akan lebih selamat.
Catatan Kaki:
[1] Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi was
sallam bersabda:
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at diantara malam-malam yang lain
dengan melakukan shalat, dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at diantara hari-
hari yang lain dengan melakukan puasa.” (Al-Bukhary no. 1985 dan Muslim no.
1144 dan ini adalah lafazh Muslim –pent)
Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=147447
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=6918
BOLEHKAH WANITA MENYETIR
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Syaikh kami yang mulia, ada banyak pertanyaan seputar tema-tema dan
kejadian terkini, diantaranya pertanyaan yang sering terlontar, yaitu:
Fadhilatus Syaikhina wa Waalidina, di hari-hari beredar seruan untuk
memperbolehkan wanita menyetir, dan di sana ada sebagian dai dan orang-orang
yang dianggap baik berpendapat bahwa hal tersebut tidak mengapa, dengan dalih
bahwa hal itu jauh lebih ringan dibandingkan mempekerjakan sopir yang bukan
mahram. Maka apa bimbingan Anda, apa hukumnya secara syariat, dan apa dalil
yang menjadi sandaran mereka?
Jawaban:.
Masalah ini para ulama telah berbicara tentangnya dan mereka telah
menjawabnya dengan jawaban yang mantap walhamdulillah. Intinya bahwasanya
menyetirnya wanita mengandung berbagai bahaya, jika melihat maslahat yang
sifatnya hanya sebagian maka perlu diketahui bahwa padanya terdapat bahaya yang
banyak. Jadi tidak tepat dengan memandang sebagian namun mengabaikan
bahaya-bahaya yang lainnya. Karena mencegah kerusakan harus didahulukan atas
meraih maslahat, ini merupakan kaedah syari’at. Menyetirnya wanita mengandung
berbagai kerusakan.
Diantaranya, akan memaksa wanita untuk menanggalkan hijab, tidak mungkin
dia akan menyetir mobil dalam keadaan berhijab. Walaupun dia berhijab maka
hijabnya akan rawan untuk terlepas, mau nggak mau. Yang kedua diantara
kerusakannya adalah wanita tersebut akan bercampur baur dengan pria, seperti
polisi lalu lintas, terlebih lagi ketika terjadi kecelakaan, dan betapa banyaknya
kecelakaan terjadi. Dia akan campur baur dengan pria seperti pergi ke kantor polisi
dan yang lainnya.
Demikian juga jika terjadi kerusakan mobil sehingga mogok di tengah jalan,
hal itu akan memaksanya untuk meminta bantuan kepada pria, sebagaimana hal ini
pun terjadi di antara para sopir pria. Jadi wanita akan rawan mengalami campur baur
dengan pria yang hal itu merupakan penyebab fitnah. Diantara bahaya lain jika
seorang wanita dipegangi mobil maka dia akan keluar kapan saja dia mau siang dan
malam. Karena kuncinya dia pegang dan mobilnya dia bawa sehingga dia akan bisa
pergi sesukanya. Berbeda jika dia mengikuti walinya yang menyetir yang akan
bersamanya di mobil dan menemaninya.
Adapun jika urusannya ada di tangannya maka dia akan pergi sesukanya dan
kapan saja dia diminta untuk keluar oleh orang lain. Karena dia bisa saja menjalin
komunikasi dan memiliki hubungan dengan orang-orang yang rusak. Sebagaimana
kalian mengetahui komunikasi di masa sekarang demikian mudahnya terhubung di
mana seorang wanita bisa dihubungi ketika dia sedang di atas tempat tidurnya, di
kamarnya atau di rumahnya.Dia akan mudah dibujuk karena wanita itu tabiatnya
lemah lalu dia pun akan pergi.
Jadi menyetirnya wanita mengandung berbagai bahaya yang banyak. Kalian
juga mengetahui bahwa sekarang lalu lintas sudah sangat padat di jalan raya. Maka
akan bagaimana lagi jika wanita diperbolehkan untuk menyetir mobil?! Tentu jumlah
mobil akan berlipat, akan semakin besar bahaya dan kepadatan lalu lintas akan
semakin parah. Jadi menyetirnya wanita mengandung berbagai bahaya yang
banyak. Yang terbesar adalah bahaya yang mengintai kewanitaannya,
kehormatannya, dan sifat malunya. Jadi, inilah yang enjadi sebab dilarangnya
wanita menyetir mobil.
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=1851
BOLEHKAH MENDENGARKAN BERITA YANG DIIRINGI OLEH MUSIK
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Fadhilatus Syaikh –semoga Allah memberi taufik kepada Anda– ada banyak
pertanyaan yang intinya satu tema, yaitu telah beredar pada hari-hari ini fatwa
tentang bolehnya musik yang sedikit yang mengiringi berita dan program/software
tertentu karena hal itu tidak akan mempengaruhi syahwat, bagaimana pendapat
Anda tentang fatwa semacam ini?
Jawaban:
Nabi shallallahu alaihi was sallam telah mengharamkan alat-alat musik dan
seruling dan para ulama juga telah berijmak atas perkara tersebut, sebagaimana
yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi tidak boleh seorang pun
untuk mengecualikan sedikit pun darinya dan tidak boleh juga untuk mengkhususkan
sesuatu pun dengan menganggapnya boleh. Rasul shallallahu alaihi was sallam
melarangnya dan mengharamkannya, sehingga tidak boleh hal semacam ini. Tidak
ada sedikit pun yang halal pada musik, demikian juga tidak ada sedikit pun yang
halal pada alat-alat musik dan alat-alat yang sia-sia.
Sumber audio dan transkripnya:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=142654
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=4865
BOLEHKAH NADA DERING DENGAN SUARA ADZAN DAN BOLEHKAH
PROGRAM AL-QUR’AN DI HANDPHONE
(Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah)
Pertanyaan:
Apa hukum menginstall suara adzan di handphone untuk mengingatkan suara
adzan atau untuk membangunkan dari tidur dan yang semisalnya?
Jawaban:
Jangan engkau lakukan! Saya katakan: jangan lakukan hal ini! Adzan adalah
ibadah. Terkadang suara adzan muncul dan meninggi, yaitu suara di HP, padahal
engkau sedang berada di WC atau kamar kecil atau selainnya. Jika engkau ingin
bangun maka jadikanlah sesuatu untuk mengingatkanmu! Kenapa harus dengan
suara adzan?! Jelas? Ini merupakan kesalahan, baarakallahu fiikum.
Tidak semua yang berijtihad… Saya katakan: di sana ada banyak pihak yang
kalian ketahui, yaitu para pemilik HP, sampai yang menggunakannya ada yang
muslim dan yang selain muslim. Mereka menggunakan program semacam ini dan
memasukannya.
Diantaranya adalah adzan, dan diantaranya juga adalah Al-Qur’an. Benar
kan?! Ada yang mengatakan: “HP ini di dalamnya terdapat mushaf, padanya
terdapat mushaf lengkap.” Ini juga tidak sepantasnya untuk dilakukan. Bahkan yang
utama dan wajib adalah dengan menghapusnya dari HP. Karena hal itu adalah
mushaf, sama saja berada di dalam HP, di sakumu, di wadahmu, di kantongmu,
ataupun pada selainnya. Namanya apa?! Namanya mushaf. Engkau bawa keluar
masuk ke dalam WC, engkau bawa tidur, engkau letakkan di bawahmu, dan hingga
terkadang engkau lupa. Jadi pada tindakan semacam ini terdapat penghinaan
terhadap Al-Qur’an.
Beberapa ulama di masa ini diantaranya Asy-Syaikh Al-Allamah Rabi’ dan
selain beliau berpendapat tidak bolehnya melakukan hal ini, bahkan mereka
berpendapat agar menghapusnya dari HP. Dan inilah pendapat yang benar. Jadi
wajib untuk memuliakannya. Jika engkau ingin muraja’ah Al-Qur’an, engkau bisa
menggunakan mushaf dan bacalah padanya! Kenapa harus di HP?! Termasuk yang
tidak boleh adalah adzan juga.
Sepantasnya untuk menjaga kemuliaan ibadah yang dituntunkan oleh syari’ah
ini sehingga tidak boleh dihinakan. Jika engkau ingin diingatkan waktu shalat maka
jadikanlah nada dering yang lain sebelum adzan beberapa menit. Di HP-mu ada
beberapa nada dering yang bisa digunakan (selain musik dan suara yang haram
lainnya –pent). Benar kan?!
Penanya juga mengatakan bagaimana jika digunakan untuk membangunkan
dari tidur? Demikian juga hukumnya. Memangnya bagaimana dahulu manusia
bangun sebelum adanya HP yang berisi adzan dan muadzinnya?! Bagaimana
mereka dahulu bisa bangun?! Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Ada 7 golongan yang Allah akan menaungi mereka di bawah naungan-Nya pada
hari ketika nanti tidak ada naungan selain naungan-Nya… diantaranya adalah
seseorang yang hatinya selalu terikat dengan masjid.”
(Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 660 –pent)
Siapa yang mengetahui tingginya nilai hadits yang agung ini dan meresapinya
dengan mendalam, maka dia akan mengetahui makna naungan ini.
Sumber audio: www.youtube.com/watch?v=T-7zsmi4MNs
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=4508
BOLEHKAH BERPUASA KETIKA SAFAR
(Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah)
Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Tidakkah cukup bagimu dengan engkau berada di jalan Allah bersama Rasulullah
shallallahu alaihi was sallam, sampai-sampai engkau harus berpuasa.” Hadits ini
dikeluarkan oleh Ahmad (III/327):
“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubab, telah menceritakan kepadaku
Husain bin Waqid dari Abuz Zubair dia berkata: “Saya mendengar Jabir
menceritakan: “Nabi shallallahu alaihi was sallam melewati seseorang yang
membolak balik punggungnya karena perutnya sakit. Maka beliau bertanya tentang
keadaan orang tersebut, lalu mereka menjawab: “Dia sedang berpuasa, wahai nabi
Allah.” Maka beliau memanggilnya dan menyuruhnya agar berbuka.” Lalu Jabir
menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi was sallam di atas.
Ini merupakan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan hadits
ini memiliki jalan-jalan yang lain dari Jabir dengan yang semakna di dalam Ash-
Shahihain dan selainnya, dan sudah ditakhrij dalam Irwa’ul Ghalil no. 925. Di dalam
hadits di atas terdapat dalil yang jelas menunjukkan bahwa tidak boleh berpuasa
ketika safar jika hal itu akan membahayakan orang yang berpuasa.
Hal ini juga berdasarkan makna yang dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu
alaihi was sallam:
“Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (Al-Albany berkata di dalam
Irwa’ul Ghalil no. 925: “Muttafaqun alaih.” –pent)
Juga sabdanya:
“Mereka (yang berpuasa ketika safar –pent) adalah orang-orang yang
bermaksiat.” (Shahih Muslim no. 1114 –pent)
Adapun jika keadaannya tidak demikian (tidak membahayakan bagi yang
berpuasa –pent) maka dia diberi pilihan, jika dia menghendaki dia boleh berpuasa
dan jika dia menghendaki dia juga boleh tidak berpuasa. Ini adalah kesimpulan dari
hadits-hadits yang ada dalam bab (masalah) ini, jadi tidak ada pertentangan diantara
hadits-hadits tersebut.
Walhamdulillah.
Sumber artikel: Silsilah Ash-Shahihah no. 2595
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3950
HUKUM JABAT TANGAN KETIKA MENINGGALKAN MAJELIS
(Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah)
Penanya:
Apa hukum jabat tangan ketika meninggalkan majelis?
Asy-Syaikh:
Saya tidak mengetahui dalil tentang hal ini. Jabat tangan dilakukan ketika
bertemu. Memang Nabi shallallahu alaihi was sallam ketika melepas komandan
pasukan, beliau memegang tangannya. Namun apakah itu merupakan jabat tangan
atau hanya sekedar memegangi tangannya untuk berjalan sebentar bersamanya.
Karena beliau terkadang melepas orang yang akan bepergian dan berjalan sebentar
bersamanya.
Adapun melakukan hal ini secara khusus, maka saya tidak mengetahui
adanya dalil yang menunjukkannya ketika berpisah. Riwayat yang ada tentang jabat
tangan ketika bertemu adalah:
“Jika dua orang muslim bertemu lalu keduanya berjabat tangan, maka gugurlah
dosa-dosa atau kesalahan keduanya dari jari-jari mereka.” [1] Atau yang semakna
dengannya.
Penanya:
Apakah ini sampai ke batasan bid’ah?
Asy-Syaikh:
Jika hal itu dilakukan terus-menerus.
Sumber artikel:
http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=
Keterangan:
[1] Disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzy no. 2727 dan Abu Dawud no. 5212 dan
dinilai hasan oleh Al-Albany dalm Ash-Shahihah no. 525:
“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu keduanya berjabat tangan, kecuali
keduanya mendapatkan ampunan sebelum mereka berpisah.” (pent)
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3752
BOLEHKAH MEMBACA KORAN
(Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah)
Pertanyaan:
Apakah hukum membaca surat kabar, koran, dan majalah dengan tujuan
untuk menyaring berita-berita yang beredar di masyarakat? Berita-berita tersebut
ada yang tentang Islam, tentang politik, dan tentang wawasan. Agar kita mengetahui
apa yang terjadi di sekitar kita.
Jawaban:
Yang kami nasehatkan adalah agar menjauhinya. Karena mayoritas koran
dan majalah digunakan untuk kepentingan poitik, sehingga biasa berdusta demi
politik dan menyebarkan berita dajjal untuk kepentingan politik. Sedikit sekali engkau
menjumpai koran atau majalah yang memberitakan sesuai dengan fakta. Kemudian
setelah ini, umur sangat pendek sehingga seseorang seharusnya tidak memiliki
waktu lagi untuk menyia-nyiakannya dengan membaca koran dan majalah.
Isinya hanyalah hal-hal yang akan mengeruhkan hatinya dan menyebabkan
kegelisahan. Terkadang seseorang akan menjumpai celaan terhadap Islam dan
penghinaan terhadap kaum Muslimin, dan yang lainnya. Yang jelas kami tidak
mengharamkan membacanya, hanya saja kami menasehati penuntut ilmu agar
memfokuskan diri mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun berita-berita yang penting sekali, maka dia tidak akan
menyembunyikan dirinya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
“Orang yang tidak engkau suruh akan datang membawa berita kepadamu”
Jadi berita-berita yang sangat penting itu tidak akan menyembunyikan dirinya.
Dia akan muncul di lapangan dalam waktu yang sangat cepat. Jika membaca
semisal majalah Al-Bayan dan majalah As-Sunnah**, maka tidak masalah membaca
semacam majalah Islam ini. Adapun majalah-majalah kafir maka seringnya
melemparkan syubhat dan hanya akan menghabiskan waktumu dengan sia-sia.
Kemudian sesungguhnya orang-orang yang bekerja di media-media dan surat kabar
tersebut mayoritasnya suka berdusta dan berbuat kemunafikan. Wallahul musta’an.
Sumber artikel: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3542
Tanbih ** Majalah As Sunnah & Al Bayan adalah Majalah Hizbiyyah, mungkin
ketika Asy Syaikh berbicara tentang Kedua majalah ini, majalah tersebut
belum di Tahdzir
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3744
BOLEHKAH MEMBERIKAN KARANGAN BUNGA KEPADA ORANG SAKIT
(Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah)
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat Anda tentang memberikan karangan bunga kepada
orang yang sakit ketika menjenguknya? Apakah hal tersebut termasuk bentuk
tasyabbuh (menyerupai orang kafir –pent)?
Jawaban:
Jika hal tersebut merupakan kekhususan atau perbuatan yang hanya
dilakukan oleh musuh-musuh Islam, maka hal tersebut merupakan sikap tasyabbuh
dengan mereka. Adapun jika tujuannya adalah untuk menghibur orang yang sakit
dan bukan menjadi kebiasaan (maka tidak masalah –pent), namun jika hal itu
dijadikan kebiasaan (atau dianggap syarat atau keharusan –pent) walaupun yang
diberikan adalah berupa buah-buahan, misalnya seperti; apel, delima, atau jeruk,
maka bisa jadi hal tersebut akan menyebabkan orang tidak mau menjenguk orang
sakit.
Sumber artikel:
http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3916
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3706
BOLEHKAH PAKAIAN ANAK-ANAK YANG BERGAMBAR MAKHLUK HIDUP
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Apakah hukum gambar dan lukisan makhluk hidup yang terdapat pada
pakaian anak-anak, di mana jarang ada pakaian anak-anak yang selamat dari
gambar semacam itu?
Jawaban:
Tidak boleh membeli pakaian yang padanya terdapat gambar dan lukisan
makhluk yang bernyawa seperti manusia atau hewan atau burung. Hal itu karena
gambar makhluk bernyawa hukumnya haram dan tidak boleh menggunakannya,
berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarang hal tersebut dan mengancamnya
dengan ancaman yang paling keras.
Rasulullah shallallahu alaihi was sallam telah melaknat orang-orang yang
menggambar [1] dan beliau mengabarkan bahwa mereka adalah manusia yang
paling keras adzabnya pada hari kiamat nanti. [2] Jadi tidak boleh memakai pakaian
yang padanya tidak gambar, dan tidak boleh memakaikannya kepada anak kecil.
Dan wajib untuk membeli pakaian yang bersih dari gambar, dan alhamdulillah
pakaian yang seperti itu banyak jumlahnya.
[1] Lihat: Shahih Al-Bukhary, 7/67.
[2] Lihat: Shahih Al-Bukhary, 7/64-65.
Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 3/339, pertanyaan no. 505
BOLEHKAH WANITA MENAMPAKKAN TELAPAK TANGANNYA
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3628
Pertanyaan:
Apakah hukum nampaknya telapak tangan wanita di pasar secara khusus?
Dan apakah boleh memakai kaos tangan hitam atau putih? Perlu diketahui bahwa
sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa tidak masalah menampakkan telapak
tangan dan menggunakan kaos tangan merupakan sikap sok agamis. Bagaimana
pendapat Anda tentang hal tersebut?
Jawaban:
Wajib atas wanita untuk menutupi wajahnya dan kedua telapak tangannya
serta seluruh anggota badannya dari pandangan pria yang bukan mahramnya. Jadi
jika seorang wanita keluar ke pasar maka hal itu lebih ditekankan lagi atasnya.
Demikian juga dia diperintahkan untuk melonggarkan pakaiannya dan
memanjangkannya agar menutupi kedua tumitnya. Maka menutup kedua telapak
tangan lebih wajib lagi, karena nampaknya telapak tangan menimbulkan fitnah.
Dan wajib atas wanita untuk menutupi telapak tangannya dari pandangan pria
yang bukan mahramnya, sama saja apakah menutupinya dengan memasukkan ke
dalam pakaiannya atau abayanya atau dengan memakai kaos tangan.
Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 3/315, pertanyaan no. 466
BOLEHKAH MENJUAL KOTORAN KAMBING UNTUK PUPUK
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Kami memiliki beberapa ekor kambing, kotorannya kami kumpulkan dan kami
timbun, karena kami tidak memiliki ladang untuk memanfaatkannya, maka apakah
boleh menjual kotoran kambing tersebut dan apakah halal memakan hasilnya
ataukah tidak boleh?
Jawaban:
Tidak mengapa memperjualbelikan pupuk yang tidak najis, seperti pupuk dari
kotoran kambing, unta, dan sapi. Jadi kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan
sifatnya tidak najis, memperjualbelikannya tidak masalah, hasilnya mubah dan tidak
ada dosa padanya. Yang tidak jelas dan menjadi masalah adalah pupuk dari kotoran
yang najis atau yang dianggap najis.
Inilah yang dipermasalahkan dan ada perbedaan pendapat tentangnya.
Adapun pupuk dari kotoran yang tidak najis, maka tidak masalah menggunakannya,
dan tidak mengapa memperjualbelikan dan memakan hasilnya.
Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 3/197, pertanyaan no. 302
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3616
BOLEHKAH JUAL BELI UANG KERTAS
(Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah)
Pertanyaan:
Apa hukum membeli uang kertas dan menjualnya kembali jika nilainya naik?
Jawaban:
Muamalah dengan menjual dan membeli mata uang disebut penukaran mata
uang. Penukaran mata uang harus dilakukan dengan serah terima secara langsung
di tempat transaksi. Jika terjadi serah terima langsung di tempat transaksi maka hal
itu tidak masalah. Maksudnya jika seseorang misalnya menukar Riyal Saudi dengan
dollar Amerika maka hal ini tidak masalah, walaupun dia mengharapkan keuntungan
di masa mendatang. Hanya saja dengan syarat dia mengambil dollar yang dia beli
dan menyerahkan uang Saudi yang dia jual. Adapun tanpa serah terima secara
langsung di tempat maka hal tersebut tidak sah, dan hal itu termasuk riba nasi’ah.
Sumber artikel: Fataawaa Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 701
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3572
BOLEHKAH MENGGUNAKAN PENANGGALAN MASEHI
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Apakah penanggalan menggunakan kalender Masehi teranggap sikap loyal
kepada orang-orang Nashara?
Jawaban:
Tidak teranggap sikap loyalitas, tetapi teranggap sikap tasayabbuh
(menyerupai) mereka. Pada masa Shahabat radhiyallahuanhum ada penanggalan
Masehi, namun mereka tidak menggunakannya, bahkan mereka berpaling kepada
penanggalan Hijriyah dan menggunakan penanggalan Hijriyah.
Mereka tidak menggunakan penanggalan Masehi, padahal ada di masa
mereka. Ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin wajib untuk membebaskan diri dari
budaya orang-orang kafir dan tidak membebek mereka. Terlebih lagi penanggalan
dengan kalender Masehi merupakan symbol agama mereka, karena menunjukkan
pengagungan kelahiran Al-Masih dan memperingatinya di awal tahun.
Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama Nashara, sehingga
kita tidak ikut-ikutan dengan mereka dan tidak pula menganjurkan perkara ini. Jika
kita menggunakan penanggalan kalender mereka, artinya kita melakukan
tasayabbuh dengan mereka, padahal kita memiliki penanggalan Hijriyah yang telah
dicanangkan bagi kita oleh Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahuanhu
di hadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan ini telah mencukupi kita.
Sumber artikel: Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, bab Aqidah, pertanyaan no.
269
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3564
BOLEHKAH BONEKA UNTUK MAINAN ANAK-ANAK
(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
Pertanyaan:
Penanya yang bernama Sulaiman mengatakan: “Saya memohon penjelasan tentang
hukum mainan anak-anak yang berupa boneka baik yang untuk anak kecil maupun yang
sudah besar, yang berbentuk pengantin atau hewan, semoga Anda mendapatkan pahala?
Asy-Syaikh:
Yang benar tidak boleh untuk memberi mainan kepada anak-anak berupa gambar
atau semacam patung makhluk yang bernyawa, terlebih lagi gambar-gambar modern yang
ada di zaman ini yang persis menyerupai manusia yang bisa bergerak dengan tenaga listrik,
dan terkadang bisa bicara atau tertawa dengan tenaga listrik dan teknologi tertentu yang
menjadikannya seakan-akan hewan atau manusia sungguhan. Jadi fitnah yang
ditimbulkannya jelas lebih besar, sehingga anak-anak dan selain mereka harus dijauhkan
darinya.
Sumber artikel: http://forumsalafy.net/?p=3098
Alih bahasa: Abu Almass
| | |
BOLEHKAH BERPUASA KETIKA SAFAR
Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah
| | |
Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Tidakkah cukup bagimu dengan engkau berada di jalan Allah bersama Rasulullah
shallallahu alaihi was sallam, sampai-sampai engkau harus berpuasa.” Hadits ini
dikeluarkan oleh Ahmad (III/327):
“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubab, telah menceritakan kepadaku Husain
bin Waqid dari Abuz Zubair dia berkata: “Saya mendengar Jabir menceritakan: “Nabi
shallallahu alaihi was sallam melewati seseorang yang membolak balik punggungnya
karena perutnya sakit. Maka beliau bertanya tentang keadaan orang tersebut, lalu mereka
menjawab: “Dia sedang berpuasa, wahai nabi Allah.” Maka beliau memanggilnya dan
menyuruhnya agar berbuka.” Lalu Jabir menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi
was sallam di atas.
Ini merupakan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan hadits ini
memiliki jalan-jalan yang lain dari Jabir dengan yang semakna di dalam Ash-Shahihain dan
selainnya, dan sudah ditakhrij dalam Irwa‟ul Ghalil no. 925. Di dalam hadits di atas terdapat
dalil yang jelas menunjukkan bahwa tidak boleh berpuasa ketika safar jika hal itu akan
membahayakan orang yang berpuasa.
Hal ini juga berdasarkan makna yang dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu
alaihi was sallam:
“Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (Al-Albany berkata di dalam Irwa‟ul
Ghalil no. 925: “Muttafaqun alaih.” –pent)
Juga sabdanya:
“Mereka (yang berpuasa ketika safar –pent) adalah orang-orang yang bermaksiat.” (Shahih
Muslim no. 1114 –pent)
Adapun jika keadaannya tidak demikian (tidak membahayakan bagi yang berpuasa –
pent) maka dia diberi pilihan, jika dia menghendaki dia boleh berpuasa dan jika dia
menghendaki dia juga boleh tidak berpuasa. Ini adalah kesimpulan dari hadits-hadits yang
ada dalam bab (masalah) ini, jadi tidak ada pertentangan diantara hadits-hadits tersebut.
Walhamdulillah.
Sumber artikel:
Silsilah Ash-Shahihah no. 2595
Melepas Sandal Ketika Masuk Kuburan
| | |
Pertanyaan: Apakah melepas sandal waktu di kuburan itu sunnah atau bid‟ah? Jawab: Disyariatkan bagi yang masuk kuburan untuk melepas kedua sandalnya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Basyir bin Al-Khashashiyyah radhiyallahu „anhu, ia mengatakan: Ketika aku berjalan mengiringi Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, ternyata ada seseorang berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi shallallahu alaihi was sallam mengatakan: “Hai pemakai dua sandal tanggalkan kedua sandal kamu!” Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu ternyata Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, ia melepaskannya serta melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud) Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sanad hadits Basyir bin Al-Khashashiyyah bagus. Aku berpendapat dengan apa yang terkandung padanya kecuali bila ada penghalang.” Penghalang yang dimaksudkan Al-Imam Ahmad adalah semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara kuburan untuk menghindari gangguan itu. Allah subhanahu wa ta‟ala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi was sallam, keluarganya, dan para sahabatnya. Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/123-124)
MENGHITUNG TASBIH DENGAN JARI ATAUKAH DENGAN RUAS JARI
Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah
| | |
Pertanyaan:
Apa hukum menghitung tasbih dengan menggunakan jari dan bukan dengan ruas
jari?
Jawaban:
Yang saya ketahui bahwasanya Nabi shallallahu alaihi was sallam menghitung tasbih
dengan tangan kanan beliau. [1]
Adapun hadits yang berbunyi:
“Bertasbihlah kalian wahai para wanita dengan hitunglah dengan ruas-ruas jari, karena
ruas-ruas jari tersebut akan diperintahkan untuk berbicara.”
Yang saya ketahui pada hadits ini terdapat kelemahan. Yang saya ingat padanya ada
seorang perawi yang tidak dikenal, wallahu a‟lam. [2]
Tinggal perkaranya engkau diberi pilihan untuk menghitung tasbih menggunakan jari,
engkau perhatikan mana yang mudah bagimu untuk menghitung. Jika engkau merasa lebih
mudah menghitungnya dengan cara menekuk atau melipat jari maka engkau boleh
melakukannya. Namun jika engkau merasa lebih mudah menghitungnya dengan ruas-ruas
jari maka engkau juga boleh melakukannya. Selama hadits menyebutkan secara umum,
maka engkau tidak perlu menentukan atau mempersulit dirimu.
Penanya:
Bagaimana dengan menggunakan alat penghitung tasbih?
Asy-Syaikh:
Pertanyaan yang bagus –baarakallahu fiik– Akh Ali, menggunakan alat penghitung tasbih
adalah bid‟ah.
sedangkan hadits yang berbunyi:
“Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih.”
Maka ini adalah hadits palsu.
Juga hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam melewati
seorang wanita yang sedang bertasbih dan menghitungnya menggunakan kerikil, lalu beliau
menyetujui hal itu, ini juga tidak shahih. Hal itu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Asy-
Syaikh Nashir Al-Albany di jilid pertama dari kitab As-Silsilah Adh-Dha‟ifah. [3]
Jadi ini adalah mengingatkan yang baik, jazakallahu khairan.
Sumber artikel:
http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3109
Keterangan:
[1] Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma menceritakan:
“Saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi was sallam menghitung tasbih menggunakan
tangan kanan beliau.”
Lihat: Shahih Sunan Abi Dawud no. 1346.
[2] Lihat: As-Silsilah Adh-Dha‟ifah, III/48 penjelasan hadits no. 1002.
[3] Lihat: As-Silsilah Adh-Dha‟ifah no. 83. (pent)
KAPANKAH WANITA HAIDH DIWAJIBKAN MENGQADHA’ SHALAT
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Fadhilatus Syaikh yang semoga diberi taufik oleh Allah, jika seorang wanita
mengalami haidh pada awal waktu Zhuhur, apakah dia harus menqadha‟ shalat?
Asy-Syaikh:
Tidak, dia hanya wajib mengqadha‟ jika mengalami haidh di akhir waktu shalat. Jika
dia mengalami haidh di akhir waktu shalat sementara dia belum mengerjakan shalat, maka
dia wajib mengqadha‟. Adapun jika dia mengalami haidh di awal waktu, sementara waktunya
panjang, dia boleh mengakhirkan shalat, namun ketika itu haidh datang di waktu yang dia
diberi keluasan untuk mengakhirkan, maka dia tidak berdosa dan tidak wajib mengqadha‟.
Sumber artikel:
http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7936
BOLEHKAH ORANG YANG JUNUB, BERWUDHU SAJA JIKA AIR SANGAT DINGIN
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, penanya mengatakan: “Saya mengalami
junub, sementara saya tidak memiliki air panas, maka saya membasuh kemaluan dengan air
dingin, lalu saya berwudhu dengan air dingin tersebut dan tidak bertayamum, kemudian
saya mengerjakan shalat. Apakah perbuatan saya tersebut benar?
Asy-Syaikh:
Yang wajib adalah dengan engkau mandi dengan air, kecuali jika engkau
mengkhawatirkan bahaya karena air yang sangat dingin dan engkau tidak mampu
memanaskannya, airnya sangat dingin yang engkau tidak mampu menahan rasa dinginnya,
sementara engkau tidak mampu memanaskannya, maka cukup bagimu untuk tayammum
dengan debu dan mengerjakan shalat. Adapun jika engkau mampu memanaskan air seperti
dengan kayu bakar atau gas, maka wajib untuk menggunakan air (mandi –pent).
Sumber artikel:
http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7917
BOLEHKAH MENJAMA’ SHALAT JUM’AT DAN ASHAR
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Ada beberapa orang melakukan safar, lalu mereka menjama‟ shalat Jum‟at dengan
shalat Ashar, kemudian mereka bertanya kepada salah seorang penuntut ilmu tentang hal
tersebut, maka dia menjawab: “Saya tidak mengetahui ada yang melarang hal tersebut?”
Maka hukum hal tersebut berkaitan dengannya dan dengan mereka? Apakah di sana ada
pendapat sebagian ulama yang menyatakan bolehnya hal tersebut?
Asy-Syaikh:
Ini merupakan pendapat yang lemah. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh
menjama‟ shalat Ashar dengan shalat Jum‟at. Dan tidak ada riwayat dari Salaf satu huruf
pun yang menyebutkan bahwa mereka menjama‟ shalat Jum‟at dengan Ashar, tidak ada
riwayat semacam ini. Yang ada hanya pendapat yang lemah dari sebagian pengikut
madzhab Asy-Syafi‟iy. Adapun jumhur berpendapat sebaliknya. Bahkan siapa yang
menjama‟ shalat Ashar dengan shalat Zhuhur (mungkin maksudnya Jum‟at –pent) maka dia
wajib mengulang, wajib atasnya untuk mengulang shalat Ashar.
Penanya:
Kalau telah lewat?
Asy-Syaikh:
Walaupun telah berlalu 100 tahun dia harus mengulangi shalat Ashar.
Penanya:
Kalau dia mengerjakan shalat Zhuhur dan tidak menghadiri shalat Jum‟at?
Asy-Syaikh:
Yang tidak ada adalah menjama‟ dengan shalat Jum‟at. Gambarannya seseorang
mengerjakan shalat Jum‟at bersama manusia, dan tatkala mereka selesai dari shalat Jum‟at
dia bangkit mengerjakan shalat Ashar.
Penanya:
(Suara kurang jelas).
Asy-Syaikh:
Tidak tepat, tidak boleh menjama‟ dan waktunya belum datang. Shalat Ashar
dikerjakan pada waktunya yaitu waktu Ashar.
Penanya:
Bagaimana dengan orang yang tidak menghadiri shalat Jum‟at apakah boleh
mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan menjama‟?
Asy-Syaikh:
Jika dia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar di … (suara kurang jelas –pent) hal
ini mungkin, seperti seorang musafir yang tidak menghadiri shalat Jum‟at bersama orang-
orang yang mukim lalu dia mengerjakan shalat Zhuhur dan menjama‟nya dengan shalat
Ashar maka tidak mengapa. Karena pembicaraan kita berkaitan dengan menjama‟ shalat
Ashar dengan shalat Jum‟at.
Sumber artikel:
http://www.alfawzan.af.org.sa/index.php?q=node/11646
BOLEHKAH MUSAFIR UNTUK TIDAK MENGERJAKAN SHALAT DI MASJID
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Jika seorang musafir singgah di hotel atau di sebuah rumah dan di sekitarnya
terdapat masjid yang ditegakkan shalat jama‟ah padanya, bolehkah baginya untuk menjama‟
shalat di rumah, terlebih lagi jika dia membutuhkan istirahat?
Asy-Syaikh:
Jika dia membutuhkan istirahat maka boleh baginya untuk menjama‟, atau jika dia
ingin tidur, misalnya karena dia lelah sehingga ingin tidur dan dia seorang musafir, maka
tidak masalah baginya untuk menjama‟ di hotel atau di rumah.
Adapun jika dia dalam kondisi semangat atau dia hanya duduk hingga mu‟adzin
mengumandangkan adzan untuk shalat berikutnya, maka yang afdhal dan lebih hati-hati
baginya adalah dengan pergi ke masjid untuk shalat jama‟ah.
HUKUM MENGERASKAN BASMALAH DALAM SHALAT
Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah
| | |
Penanya:
Di sebagian masjid bacaan basmalah dibaca dengan keras dan di sebagian yang
lain dibaca dengan lirih, bagaimana menyikapi perbedaan ini?
Jawaban:
Ini adalah perkara yang diperselisihkan bahkan oleh sebagian shahabat radhiyallahu
anhum. Adapun pendapat yang dikuatkan oleh dalil-dalil yang ada adalah dengan tidak
mengeraskan bacaan basmalah. Dan siapa yang mengeraskan bacaan maka tidak boleh
diingkari lebih dari sekedar menjelaskan dalil bagi pendapat yang rajih (lebih kuat –pent).
HUKUM ADZAN BAGI WANITA
Fatwa Kewanitaan Bersama Syaikh Muqbil Bin Hadi al-Wadi‟iy rohimahulloh.
| | |
Pertanyaan:
Apakah disyariatkan adzan bagi wanita?
Jawaban:
Tidak disyariatkan, dan baginya (cukup dengan) iqomah saja karena suara wanita
adalah fitnah, dan Alloh azza wa jalla berfirman:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya.” [Qs. Al-Ahzab: 32]
Dan yang berpendapat hal itu disyariatkan ialah imam Syaukani dan Muhammad
Shiddiq Hasan Khan dan keduanya berkata:
“Hukum asalnya ialah keumuman pensyariatan”.
Akan tetapi (pendapat) yang benar ialah tidak disyariatkan bagi wanita.
[Sumber: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2147]
APAKAH OBAT UNTUK MEMBERSIHKAN RIYA’ ?
Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Saya bertanya tentang obat yang bisa membersihkan riya‟?
Jawaban:
Demi Allah wahai saudaraku, engkau telah menanyakan perkara yang besar.
Pertama hendaklah engkau memperbanyak doa, hendaknya engkau berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta‟ala agar mengkaruniakan keikhlasan kepadamu dan membersihkan
dirimu dari bala ini. Dan setiap muslim hendaknya berdoa kepada Rabbnya Subhanahu wa
Ta‟ala agar membersihkan dirinya dari kesyirikan walaupun yang sedikit kadarnya, apalagi
yang banyak. Karena sebagaimana yang telah kita katakan pada pertemuan-pertemuan
sebelumnya, bisa jadi riya‟ tersebut akan menggugurkan amal secara keseluruhan, atau
mengurangi pahalanya. Maka wajib atas seorang hamba untuk semangat berdoa, karena
Allah Jalla wa Ala berfirman:
“Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia beramal
shalih dan jangan menyekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan seorang
pun.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Dan Nabi shallallahu alaihi was sallam telah menjelaskan bahaya syirik asghar (syirik
kecil) yaitu riya‟, dan ini merupakan perkara yang paling beliau khawatirkan akan menimpa
kita, dan dia lebih samar dibandingkan rayapan semut hitam di atas batu hitam di malam
yang gelap gulita. Jadi dia sangat tersembunyi, oleh karena itulah banyak manusia yang
tidak mewaspadainya sehingga menjalar kepada mereka.
Perkara terbesar yang bisa engkau gunakan untuk mengobatinya adalah dengan
engkau menghisab dirimu:
Apa yang bisa dilakukan untukmu oleh orang yang engkau berbuat riya‟ kepadanya dengan
amalmu itu?
Balasan apa yang akan dia berikan kepadamu?Ingatlah hal ini selalu dan renungkanlah!
Balasan apa yang akan diberikan kepadamu oleh orang yang engkau berbuat riya‟
kepadanya dengan amal shalihmu tersebut? Apakah dia bisa membela dirimu dari adzab
Allah sedikit saja? Ingatlah selalu firman Allah Tabaraka wa Ta‟ala kepadamu pada hari
kiamat nanti:
“Amalnya yang disertai riya‟ tersebut untuk yang dia jadikan sekutu selain Allah.” (Asal
hadits ini adalah riwayat Muslim no. 2985, namun dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu
Majah. Al-Albany rahimahullah berkata dalam Shahih Sunan Ibnu Majah III/371 no. 3406:
“Shahih.” –pent)
Kita memohon keselamatan kepada Allah.
Jika engkau merenunginya maka insya Allah hal itu akan mewariskan kepadamu
untuk berusaha mengobati hatimu, muhasabah (instropeksi), dan berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari bencana besar ini.
Jadi dengan selalu mengingat dan merenungkan keagungan Allah Jalla wa Ala Yang
kita ibadahi yang hanya kepada-Nya saja ibadah boleh ditujukan, merenungkan bahwa
perbuatan yang engkau lakukan karena riya‟ untuk orang tersebut akan menghancurkan
dirimu, dan engkau tidak akan menjumpai selain kecelakaan dan kebinasaan pada hari
kiamat nanti, ini semua insya Allah Ta‟ala yang akan membantumu untuk ikhlash dalam
beribadah.
Sumber artikel: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54349
BAHAYA KETENARAN
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz hafizhahullah
[Menteri Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi]
| | |
Ibnu Mas‟ud radhiyallahu anhu berkata:
“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di
belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang.” (Lihat: Siyar A‟lamin Nubala‟, I/495 –
pent)
Ada orang-orang yang terkenal, sebagian mereka ada yang terkenal karena dia
seorang qari‟ Al-Qur‟an, dia terkenal karena bagusnya bacaannya dan karena kemerduan
suaranya, sehingga manusia banyak yang mendatanginya. Diantara mereka ada yang
merupakan seorang ulama yang dia terkenal karena ilmu, fatwa, wara‟ dan kesalehannya,
sehingga banyak manusia yang mendatanginya.
Diantara mereka ada yang sebagai seorang dai yang dia terkenal karena apa yang
dia kerahkan dan dia upayakan untuk manusia, sehingga banyak dari mereka yang
mendatanginya disebabkan karena Allah memberi mereka hidayah kepada kebenaran
melalui perantaraan dia. Ada juga seseorang yang terkenal karena dia seorang yang
menunaikan amanah, ada yang terkenal karena suka melakukan amar ma‟ruf nahi mungkar,
dan seterusnya.
Ketenaran merupakan kedudukan yang sangat rawan untuk menggelincirkan
seseorang. Oleh karena inilah Ibnu Mas‟ud radhiyallahu anhu mewasiatkan untuk dirinya
sendiri yang menjelaskan keadaan beliau dan menjelaskan apa yang wajib untuk dilakukan
–katakanlah– oleh siapa saja yang memiliki pengikut, beliau mengatakan:
“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di
belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang, dan niscaya kalian akan menaburkan
debu di kepalaku.”
Wajib atas siapa saja yang memiliki ketenaran atau dia termasuk orang yang
menjadi idola manusia, untuk senantiasa menganggap rendah dirinya di tengah-tengah
mereka, dan hendaknya dia menampakkan hal itu namun bukan agar dimuliakan oleh
mereka. Tetapi dia melakukannya semata-mata agar mendapatkan kemuliaan di sisi Allah
Jalla wa Ala. Dan poros dari hal itu adalah keikhlasan, karena sungguh diantara manusia
ada yang terkadang merendahkan dirinya di hadapan manusia agar dia nampak atau
menonjol (agar dianggap sebagai orang yang tawadhu‟ –pent) diantara mereka. Yang
semacam ini termasuk perbuatan syaithan.
Diantara mereka ada yang merendahkan dirinya di tengah-tengah manusia dalam
keadaan Allah Jalla wa Ala mengetahui hatinya bahwa dia jujur dalam hal tersebut. Dia
melakukannya karena takut perjumpaan dengan Allah Jalla wa Ala, dan dia takut terhadap
hari ketika apa yang tersembunyi dalam dada diberi balasan setimpal, dan hari ketika semua
yang ada di dalam hati dibongkar. Dan ketika itu tidak ada sedikitpun yang tersembunyi dari
ilmu Allah.
APAKAH SESEORANG AKAN DIADZAB KARENA BERDEKATAN DENGAN ORANG
YANG SESAT
Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan hafizhahullah
| | |
Saya (Asy-Syaikh Badr bin Muhammad Al-Badr hafizhahullah –pent) bertanya
kepada guru kami Shalih Al-Luhaidan pada pagi hari Rabu 5 Muharram 1436 H tentang
firman Allah Ta‟ala:
“Dan ingatlah pada hari ketika orang yang zhalim menggigit kedua tangannya seraya
berkata: „Duhai sekiranya aku dahulu menempuh jalan Rasul. Duhai celaka diriku,
seandainya saja aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai teman dekat. Sungguh dia telah
menyesatkan diriku dari Al-Qur‟an ketika telah datang kepadaku.‟ Dan syaithan tidak pernah
mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqaan: 27-29)
Juga firman-Nya:
“Ingatlah ketika orang-orang yang diikuti (kesesatannya) berlepas diri dari orang-orang yang
mengikuti mereka dan mereka telah melihat adzab serta segala hubungan telah terputus.
Dan orang-orang yang mengikuti mengatakan: „Seandainya kami dikembalikan ke dunia
agar kami bisa berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka telah berlepas diri dari kami.‟
Demikianlah Allah akan menampakkan amal perbuatan mereka sebagai penyelasan yang
mendalam atas mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari neraka.” (QS. Al-
Baqarah: 166-167)
Apakah ayat-ayat ini menunjukkan bahwa seseorang akan dihisab dan diadzab
karena dia berteman dengan orang menyimpang dan sesat?
Beliau menjawab:
Apakah ada seseorang yang ragu tentang hal ini, wahai anakku?! Tidak diragukan
lagi dia akan dihisab. Bukankah Nabi shallallahu alaihi was sallam telah mentahdzir dari
teman yang buruk, sebagaimana dalam hadits:
“Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa
minyak wangi dan peniup api atau pandai besi.” (HR. Al-Bukhary no. 5534 dan Muslim no.
2628 –pent)
Peniup api bisa membakar bajumu, dan sabda beliau ini merupakan tahdzir agar
jangan berteman dengannya.
Saya bertanya lagi:
Apakah artinya dia akan diadzab dan dihisab karena berteman dengan orang yang
menyimpang tadi, wahai syaikh kami?
Beliau menjawab:
Ya, dia juga akan diadzab.
Sumber artikel: www.bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?t=22503
BAGAIMANA MENJAGA DIRI DARI SYIRIK TERSEMBUNYI
Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiry hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Bagaimana saya melindungi dan menjaga diri saya dari syirik tersembunyi? Apakah
orang yang terjatuh padanya tempat tinggalnya di neraka? Dan bagaimana saya bisa
mengetahui bahwa saya terjatuh padanya?
Jawaban:
Syirik tersembunyi adalah riya‟, seperti engkau mengerjakan shalat dan
membaguskan shalatmu karena ada orang lain yang melihatmu, atau engkau bersedekah
agar manusia menyebutmu. Semacam ini merupakan syirik tersembunyi.
Untuk membebaskan diri darinya dengan cara:
Pertama: Berusaha semaksimal mungkin menundukkan jiwamu, selama engkau terus
berusaha menundukkannya dan melawannya namun engkau masih menjumpai hal itu maka
insya Allah Ta‟ala hal itu tidak akan merugikanmu.
Kedua: Jika hal ini mempengaruhi dirimu, maksudnya jika pandangan manusia
mempengaruhi dirimu ketika engkau mengerjakan amal shalih, maka bersembunyilah
semaksimal mungkin. Dan jika engkau tidak mampu maka kuatkan tekat dan jauhkanlah
was-was dari dirimu, dan saya khawatir yang menimpamu termasuk was-was.
Terakhir: Hendaklah engkau memperbanyak mengucapkan doa ini:
“Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedikit saja
dalam keadaan aku mengetahui, dan aku meminta ampunan kepada-Mu dari dosa yang
tidak aku ketahui.” (Lihat: Shahih Al-Adabul Mufrad no. 551 –pent)
Adapun apakah pelakunya akan masuk neraka, orang yang berbuat riya‟ terancam
dengan neraka. Hanya saja dengan banyak bertaubat, istighfar, dan terus menerus berdoa
dengan doa ini sebagaima yang telah saya sebutkan kepadamu tadi, dan itu adalah riwayat
yang shahih, dinilai shahih oleh Al-Albany dan ulama yang lain –semoga Allah merahmati
mereka semua– insya Allah Ta‟ala engkau akan aman dan mendapatkan taufik untuk
membersihkan dirimu dari syirik tersembunyi berupa riya‟.
Sumber artikel: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54187
ORANG YANG IKHLASH DAN JUJUR SELALU BERBAIK SANGKA KEPADA ALLAH
APAPUN YANG MENIMPANYA SELAMA DIA DI ATAS KEBENARAN
Al-Allamah Abdurrahman bin Yahya Al-Mu‟allimy Al-Yamany rahimahullah
| | |
Sebagian orang pernah bercerita kepadaku bahwa ada seseorang yang
kebiasaannya mencium kuku kedua ibu jarinya ketika dia mendengar muadzin
mengucapkan: “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kemudian dia meninggalkannya
ketika ada salah seorang ulama mengatakan kepadanya bahwa hal itu adalah perbuatan
bid‟ah dan hadits yang diriwayatkan tentang perkara tersebut dihukumi oleh para ahli hadits
sebagai riwayat dusta.
Ketika dia meninggalkan kebiasaannya tersebut maka dia ditimpa rasa sakit di kedua
matanya. Maka dia pun berusaha untuk mengobatinya dengan berbagai macam obat.
Namun berbagai macam obat tersebut tidak mempan, sampai ada sebagian orang-orang
shufi mengatakan kepadanya: “Makanya hendaknya engkau meneruskan mencium kedua
ibu jarimu ketika adzan!”
Lalu terbetiklah di dalam hatinya anggapan bahwa rasa sakit tersebut menimpanya
sebagai hukuman terhadapnya karena dia meninggalkan kebiasaan tersebut. Akhirnya dia
pun kembali melakukan bid‟ah tersebut dan ternyata rasa sakitnya pun hilang.
Maka katakanlah kepadanya di dalam menilai apa yang dia alami tersebut:
sesungguhnya Allah senantiasa menguji hamba-hamba-Nya dengan apa yang Dia
kehendaki dan menggiring orang-orang yang sengaja memilih kesesatan semakin jauh dari
jalan yang benar tanpa mereka sadari.
Kami telah mendengar dari beberapa orang yang menceritakan bahwa ada
seseorang yang tidak mengerjakan shalat, maka sebagian orang-orang yang suka
menasehati berusaha memotivasinya untuk mengerjakan shalat dan menakut-nakutinya
dengan hukuman yang akan menimpanya akibat meninggalkannya. Maka dia pun mulai
menjaga shalat. Setelah itu ternyata dia ditimpa berbagai musibah pada keluarga dan
hartanya. Maka dia menganggap bahwa hal itu adalah akibat shalat yang dia kerjakan
sehingga dia pun meninggalkannya.
Kami katakan: bisa saja musibah yang menimpanya adalah akibat dari shalat yang
dia kerjakan. Penjelasannya adalah hadits yang menyatakan:
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak akan menerima kecuali seuatu yang baik pula.”
(HR. Muslim no. 1015 –pent)
Jadi termasuk sunnatullah adalah jika seorang hamba meninggalkan sebuah
kemaksiatan, maka Allah akan mengujinya agar nampak hakekatnya dan apa sebenarnya
yang mendorongnya untuk meninggalkan maksiat tersebut. Apakah karena iman atau
karena sesuatu yang lain.
Yang semisal dengannya adalah yang diceritakan oleh sebagian orang kepada saya
bahwa ada seseorang yang jika dia mengerjakan shalat wajib sendirian maka dia
merasakan hatinya lembut dan khusyuk, namun jika dia shalat berjamaah justru dia tidak
bisa khusyuk. Sebab dari apa yang menimpanya ini karena sesungguhnya syaithan
berusaha menyeretnya agar meninggalkan shalat berjamaah. Jadi syaithan membiarkannya
khusyuk jika dia mengerjakan shalat sendirian dan mengganggunya jika dia shalat
berjamaah, dengan tujuan agar orang tersebut meninggalkan shalat berjamaah dan agar
meyakini bahwa shalat sendirian lebih afdhal (karena menurutnya bisa lebih khusyuk –pent).
Sehingga keyakinan dia yang seperti ini merupakan sikap menyelisihi syari‟at yang
bahayanya lebih besar atasnya dari sekedar meninggalkan shalat berjamaah. Yang semisal
dengannya juga adalah apa yang saya jumpai sendiri. Dahulu saya pernah dalam keadaan
yang baik pada keluarga (sehat –pent) dan harta saya (berkecukupan –pent). Maka saya
menginfakkan sebagian harta saya pada salah satu jalan kebaikan. Kemudian saya ingin
melakukannya lagi, namun tiba-tiba muncul musibah yang menimpa keluarga dan harta
saya.
Namun –dengan memuji Allah semata– saya tidak terpengaruh dengan musibah
tersebut dan saya tetap melaksanakan untuk menginfakkan harta yang telah saya niatkan
sebelumnya. Bahkan kemudian saya mengulanginya untuk ketiga kalinya. Sampai sekarang
sebagian musibah tersebut belum hilang sepenuhnya. Namun nampaklah kepada saya
rahasia kenapa musibah-musibah tersebut menimpa saya. Barangkali apa yang saya
infakkan tersebut diterima di sisi Allah Azza wa Jala, lalu Allah ingin membalasnya dengan
membersihkan diri saya dari sebagian dosa-dosa yang telah saya lakukan. Dan musibah-
musibah tersebut adalah sebagian dari bentuk pembersihan dosa itu.
[Risaalah Fii Tahqqiihil Bid‟ah, hal. 28-32]
Sumber artikel: Al-Imam Abdurrahman Al-Yamany Hayaatuhu wa Aatsaaruh, hal. 57-58
HIKMAH TERJATUHNYA SEBAGIAN ORANG YANG IKHLASH DALAM KESALAHAN
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu‟allimy rahimahullah
| | |
Ketahuilah bahwasanya Allah Ta‟ala terkadang menjatuhkan sebagian orang-orang
yang ikhlash pada sebuah kesalahan sebagai ujian bagi yang lain; yaitu apakah mereka
akan mengikuti kebenaran dan meninggalkan pendapat orang yang salah tersebut, ataukah
justru mereka tertipu dengan keutamaan dan kemuliaannya?
Adapun ulama yang salah tersebut mendapatkan udzur, bahkan dia mendapatkan
pahala karena ijtihadnya dan tujuannya yang baik serta tidak meremehkan usaha. Tetapi
orang yang mengikuti semata-mata karena tertipu dengan nama besarnya tanpa mau
memperhatikan hujjah-hujjah yang sesungguhnya yang berasal dari Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya shallallahu alaihi was sallam, maka dia tidak mendapatkan udzur, bahkan dia
berada dalam bahaya yang besar.
Ketika Ummul Mu‟minin Aisyah radhiyallahu anha pergi ke Bashrah sebelum
pecahnya Perang Jamal, Amirul Mu‟minin Ali radhiyallahu anhu menyusulkan putra beliau
Al-Hasan dan Ammar bin Yasir radhiyallahu anhuma untuk menasehati manusia. Diantara
perkataan Ammar kepada penduduk Bashrah adalah:
“Demi Allah, sesungguhnya dia adalah istri dari Nabi kalian shallallahu alaihi was sallam di
dunia dan akhirat, tetapi Allah Tabaaraka wa Ta‟aala menguji kalian untuk mengetahui
apakah kalian lebih mentaati beliau ataukah mentaatinya.” [1]
Termasuk contoh terbesar yang juga semakna dengan ini adalah tuntutan Fathimah
radhiyallahu anha agar mendapat warisan dari ayahnya shallallahu alaihi was sallam. Dan
ini merupakan ujian besar bagi Ash-Shiddiq (Abu Bakr) radhiyallahu anhu. Namun Allah
mengokohkannya menghadapi ujian ini.
[Raf‟ul Isytibaah An Ma‟nal Ibaadah wal Ilah, hal 152-153]
Catatan Kaki:
[1] HR. Al-Bukhary no. 7110. (pent) [2] Hal ini karena Abu Bakr radhiyallahu anhu mendengar sabda Rasulullah shallallahu alaihi was sallam:
“Kami tidak diwarisi, apa saja yang kami tinggalkan maka itu semuanya menjadi shadaqah.”
Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4240. (pent)
Sumber artikel: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=39521
TAUHID SEPERTI NAFAS YANG JIKA BERHENTI MAKA KITA AKAN MATI
Asy-Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah
| | |
Wahai segenap orang-orang yang saya cintai, bab ini yaitu bab tauhid dan
membicarakannya, bagi kita kedudukannya seperti nafas, kita hidup dengannya dan jika
berhenti maka kita akan mati.
Sebagian orang didatangi oleh Iblis untuk merusaknya dengan ucapan: “Aku sudah
menjadi orang besar dan ulama, dan perkara-perkara ini diketahui oleh para pelajar di
sekolah dasar!” Tidak demikian wahai saudaraku, seandainya pandangan yang benar
adalah semacam ini, tentu Allah tidak akan memulai dari awal, menambah, dan mengulang-
ulangnya di dalam Kitab-Nya. Demikian juga tentu Rasulullah shallallahu alaihi was sallam
tidak akan menjelaskannya dan mengingatkannya dari waktu ke waktu kepada para
Shahabat beliau yang mereka adalah orang-orang mulia dan berakal serta orang-orang
yang terpilih dari bangsa Arab.
Wahai saudaraku tercinta, jika hal ini sedikit saja datang kepadamu atau muncul dari
dirimu sendiri, maka ketahuilah bahwa hal itu berasal dari Iblis yang ingin memalingkanmu
darinya agar engkau meremehkannya. Maka setelah itu ketika engkau melihat seseorang
yang terjatuh kepada kesyirikan, kulitmu tidak akan merinding. Ketika engkau melihat
seseorang yang terjatuh kepada kesyirikan, engkau tidak merasa melihat pemandangan
yang mengerikan. Orang yang seperti ini bukan mustahil setelah itu dia akan semakin parah
dengan menjadi teman duduk mereka dan bersikap basi-basi terhadap mereka.
Maka manakah sikap permusuhan terhadap orang yang menentang Allah dan
Rasulnya?! Jadi kita membutuhkan tauhid setiap detik dan bahkan pada setiap bagian yang
merupakan pecahan detik. Kita mengingatnya, kita mengingat-ingatnya, kita saling
mengingatkan urusannya dan saling mengingatkan dengannya.
Jadi perkara tauhid adalah perkara yang besar. Bagaimana tidak, sedangkan
keselamatan di hadapan Allah Jalla wa Ala nanti pondasinya adalah tauhid!! Maka harus
benar-benar mengerti tiga prinsip pokok ini dengan baik. Yaitu dengan seorang hamba
mengenal Rabbnya, mengenal agamanya, dan mengenal Nabinya shallallahu alaihi was
sallam.
Sumber artikel: www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=143322
BOLEHKAH TOLERANSI DALAM MASALAH PRINSIP AGAMA DEMI MASLAHAT
UMUM
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, kami sering mendengar di berbagai media
di masa ini yang menyatakan bahwasanya boleh untuk toleransi pada sebagian prinsip-
prinsip pokok agama jika hal itu dilakukan untuk kepentingan umum. Maka sejauh mana
benarnya ucapan semacam ini?
Jawaban:
Ucapan ini tanggung jawabnya dikembalikan kepada yang mengatakannya. Prinsip-
prinsip pokok agama tidak ada toleransi padanya. Ini merupakan sikap mudaahanah (basa-
basi, melunak dan mengalah –pent). Tidak boleh sedikit pun mengalah dalam prinsip-prinsip
pokok agama sama sekali. Prinsip-prinsip pokok agama tidak ada toleransi padanya, karena
hal ini maknanya adalah mudaahanah.
Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan dirimu dari apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu, agar engkau membuat kedustaan atas nama Kami dengan selainnya,
dan kalau sampai demikian maka sungguh mereka akan menjadikan dirimu sebagai sahabat
yang sangat dicintai. Kalau sampai terjadi demikian, maka sungguh Kami akan merasakan
kepadamu siksaan yang berlipat ganda di dunia ini dan yang berlipat ganda pula sesudah
mati, lalu engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong pun terhadap Kami.” (QS. Al-
Isra‟ ayat 73 dan 75)
Jadi tidak boleh mengalah sedikit pun dari agama ini yang merupakan prinsip-prinsip
pokoknya yang tetap hanya karena ingin membuat ridha orang-orang kafir, karena ini
merupakan sikap mudaahanah.
Allah berfirman:
“Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak lalu mereka pun bersikap lunak pula
kepadamu.” (QS. Al-Qalam: 9)
Juga firman-Nya:
“Maka apakah kalian akan menyembunyikan isi Al-Quran ini karena takut kepada
manusia.” (QS. Al-Waqi‟ah: 81)
Maksudnya kalian akan mengalah pada sebagiannya. Yang semacam ini tidak boleh sama
sekali, karena ini adalah sikap mudaahanah. TIDAK BOLEH MENGALAH SEDIKIT PUN
DARI AGAMA KITA HANYA KARENA INGIN MEMBUAT RIDHA ORANG-ORANG KAFIR
BAGAIMANA PUN KEADAANNYA.
Demikian juga ketika mereka (orang-orang kafir) mengatakan kepada Rasul
shallallahu alaihi was sallam: “Kami mau menyembah sesembahanmu selama setahun
dengan syarat engkau juga mau menyembah sesembahan kami selama setahun
juga.” MEREKA MENGATAKAN HAL ITU DENGAN TUJUAN INGIN BERDAMAI. Namun
Allah Jalla wa Alaa memperingatkan dengan firman-Nya:
“Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian
sembah, dan kalian bukan penyembah Rabb yang aku sembah, dan aku bukan penyembah
apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah Rabb yang aku sembah, bagi kalian
agama kalian dan bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Maksudnya: aku berlepas diri dari agama kalian, dan kalian juga berlepas diri dari
agamaku. Jadi aku tidak akan mengalah sedikit pun dari agamaku hanya karena agar kalian
ridha kepada kami. Tidak ada sikap mencari ridha manusia, yang ada hanya mencari ridha
sang Khaliq.
Sumber audio: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/2894
Sumber transkrip: http://www.vb.noor-alyaqeen.com/t21775/
Ditranskrip oleh: Fathimah bintu Al-Badr
SIKAP TERHADAP ORANG TUA YANG JAHIL YANG MENINGGAL DI ATAS
KESYIRIKAN
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Fadhilatus Syaikh, semoga Allah memberi taufik kepada Anda, kami dahulu dalam
keadaan jahil dan ngawur dalam ibadah, dan sebagian ayah-ayah dan ibu-ibu kami ada
yang meyakini ibadah kepada kuburan, bertawassul dengannya, menujukan sembelihan
untuknya, dan perkara-perkara syirik yang lainnya. Ayah-ayah kami tersebut telah
meninggal, maka apakah boleh memintakan ampunan untuk mereka dan mendoakan
rahmat bagi mereka?
Jawaban:
Tidak boleh, jika mereka meninggal di atas akidah dan perbuatan semacam ini,
seperti menyembelih untuk selain Allah dan bernadzar untuk selain Allah dan mereka
meninggal di atas perkara-perkara tersebut, maka mereka adalah orang-orang musyrik yang
tidak boleh bagi kalian untuk memintakan ampunan untuk mereka dan mendoakan rahmat
bagi mereka.
“Tidaklah sepantasnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat mereka.” (QS.
At-Taubah: 113)
Mereka itu meninggal di atas syirik, karena mereka menyembelih untuk selain Allah
dan bernadzar untuk selain Allah.
Sumber artikel: http://youtu.be/WLNlmv4KMjA
TIDAKKAH KALIAN MENGKHAWATIRKAN DIRI KALIAN SENDIRI
Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah
| | |
Ambilah pelajaran dari kisah Abdullah Al-Qashimy,[1] berapa banyak kitab yang
telah dia tulis dalam rangka membela dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul
Wahhab, yaitu dakwah tauhid. Kitabnya yang berjudul “Ash-Shiraa‟ Bainal Islam wal
Watsaniyyah” bisa kalian lihat. Demikian juga kitab “Al-Buruuq An-Najdiyah Fii Iktisaahizh
Zhulumaatid Dajawiyah” bisa kalian baca. Bacalah kitabnya yang lain yang dia tulis untuk
membela dakwah tauhid dan dakwah Salafiyah, dakwah yang diserukan oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab. Kemudian setelah itu dia murtad dan para ulama dakwah
telah berfatwa tentang kemurtadannya. Fatwa-fatwa ini terarsipkan dan tertulis dalam kitab-
kitab. [2]
Jadi dia memiliki sekian banyak tulisan-tulisan dalam membela dakwah Salafiyah,
namun setelah itu dia murtad. Wahai hamba-hamba Allah, kenapa kalian tidak
mengkhawatirkan diri kalian sendiri?! Wajib atas kita semua untuk mengkhawatirkan diri kita
sendiri. Jadi seseorang jika dia berada pada keadaan yang diridhai, maka hendaklah dia
terus memohon kekokohan kepada Allah.
Ini merupakan prinsip.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau beri hidayah
kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8)
Jadi seorang hamba terkadang hatinya menyimpang walaupun setelah mendapatkan
hidayah, karena sesungguhnya hati hamba-hamba ini –sebagaimana yang telah dikabarkan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam– berada diantara dua jari jemari Ar-Rahman
yang Dia bolak-balik sesuai yang Dia kehendaki. (lihat: Shahih Muslim no. 2654 –pent)
Demikian juga Rasulullah shallallahu alaihi was sallam telah mengabarkan fitnah-
fitnah yang akan terjadi di akhir zaman bahwasanya ketika itu seseorang yang pagi harinya
masih dalam keadaan beriman, sore harinya dia menjadi kafir. Yang lain pada sore harinya
masih beriman, namun keesokan harinya telah menjadi kafir. Hal itu terjadi karena dia
menjual agamanya hanya karena secuil dari kesenangan dunia. (lihat: Shahih Muslim no.
118 –pent) Kita memohon keselamatan kepada Allah.
Maka kenapa mereka ini pertama kali gemetar ketakutan ketika mendengar bahwa si
fulan dahulu seorang pembela As-Sunnah, kemudian dia menyimpang. Kita memohon
kekokohan kepada Allah dan kita juga memohon kepada Allah hidayah bagi orang seperti
yang disebutkan oleh penanya ini, hanya saja perlu diketahui bahwa hal ini terjadi dan telah
terjadi. Akan terus terjadi lagi selama masih ada manusia dan masih ada kehidupan. Maka
jangan merasa ngeri dan ketakutan, dan mohonlah kepada Allah kekokohan dan
keselamatan
Sumber audio: www.youtube.com/watch?v=4mD3ioqffo8
BOLEHKAH MENINGGALKAN UMROH KARENA WABAH MERS
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
.
Pertanyaan:
Saya ingin pergi ke Mekkah untuk melaksanakan umroh, hanya saya takut terhadap
penyakit MERS yang sedang mewabah. Apakah ini merupakan kelemahan iman ataukah
termasuk usaha menempuh sebab?
Jawaban:
Ini merupakan kelemahan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala.
Bertawakallah kepada Allah, pergilah untuk melaksanakan umroh, kerjakanlah shalat di Al-
Masjid Al-Haram, dan jangan takut kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala! Tetapi kalau
memang keluar larangan untuk datang ke sebuah negeri berdasarkan ketetapan secara
medis, maka tidak masalah (untuk membatalkan kepergian ke negeri tersebut –pent).
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda tentang penyakit tha‟un:
“Jika kalian mendengarnya sedang mewabah di sebuah negeri maka kalian jangan pergi ke
sana, dan yang sedang berada di negeri tersebut jangan keluar meninggalkannya.” [1]
Jadi jika keluar larangan yang berdasarkan ilmu yang benar, maka engkau jangan
pergi! Adapun selama izin masih terbuka, orang-orang yang ingin umroh dipersilahkan untuk
umroh dan mengunjungi Al-Masjid An-Nabawy, maka jangan sampai pada dirimu ada
ketakutan yang berlebihan seperti ini!
Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=144403
[1] Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 5728 dan Shahih Muslim no. 2219. (pent)
BOLEHKAH MENDATANGKAN ARWAH
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Apakah hukum mendatangkan arwah dan apakah hal itu termasuk jenis sihir?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa mendatangkan arwah termasuk salah satu jenis sihir
atau termasuk perdukunan. Arwah yang didatangkan tersebut hakekatnya bukan arwah
orang-orang yang telah meninggal seperti yang mereka katakan, tetapi syetan-syetan yang
menjelma seperti orang-orang yang sudah meninggal itu dan mereka mengatakan: “Aku
adalah ruh si fulan atau aku adalah si fulan.” Padahal hakekatnya syetan. Maka perbuatan
semacam ini tidak boleh.
Arwah orang-orang yang sudah meninggal tidak mungkin dihadirkan, karena sudah
berada di genggaman Allah Subhanahu wa Ta‟ala sebagaimana firman-Nya:
“Allah memegang jiwa ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu
tidurnya; maka Dia menahan jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.” (QS. Az-Zumar: 42)
Jadi arwah itu tidak seperti yang diklaim sebagian orang, yaitu bisa datang dan pergi,
tetapi Allah saja yang mengaturnya. Jadi perbuatan mendatangkan arwah adalah bathil dan
termasuk jenis sihir dan perdukunan.
Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 2/134-135, pertanyaan no. 109
BOLEHKAH MELAKUKAN PENYEMBELIHAN UNTUK MEMINTA TURUN HUJAN DAN
MEMAKAN DAGINGNYA
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Ketika hujan lama tidak turun, sebagian orang ada yang melakukan penyembelihan
untuk meminta agar hujan turun. Apakah hukum perbuatan ini dan bolehkah memakan
sembelihan tersebut ataukah tidak?
Jawaban:
Perbuatan semacam ini tidak boleh, terlebih lagi jika sembelihan ini ditujukan untuk
orang yang telah meninggal atau untuk jin atau yang semisalnya. Karena itu merupakan
sembelihan syirik karena ditujukan untuk selain Allah Azza wa Jalla. Allah Ta‟ala berfirman:
“Diharamkan atas kalian untuk memakan bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan
yang disembelih untuk selain Allah…” (QS. Al-Maidah: 3)
Menyembelih untuk selain Allah merupakan perbuatan syirik karena hal tersebut
adalah ibadah, sedangkan ibadah wajib hanya ditujukan bagi Allah saja.
Allah Ta‟ala berfirman:
“Maka dirikanlah shalat untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban.” (QS. Al-Kautsar: 2)
Dia juga berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah Rabbul Alamin.” (QS. Al-An‟am: 162)
Kata “nusuk” dalam ayat ini maknanya adalah sembelihan. Adapun meminta hujan
yang sesuai dengan ajaran yang datang dari Nabi shallallahu alaihi was sallam adalah
dengan melakukan shalat istisqa‟, khutbah dan berdoa setelahnya di atas mimbar. Demikian
juga dengan cara berdoa di khutbah Jum‟at, yaitu dengan sang imam berdoa pada khutbah
Jum‟at agar Allah menurunkan hujan bagi kaum Muslimin.
Demikian juga terkadang dengan berdoa tanpa melakukan shalat dan khutbah
terlebih dahulu. Jadi doa meminta hujan datang dari Nabi shallallahu alaihi was sallam
dengan beberapa cara. Adapun melakukan penyembelihan untuk mengharapkan hujan
maka hal tersebut tidak ada asalnya dalam syariat.
Sumber artikel: Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, bab Aqidah, pertanyaan no. 186
BOLEHKAH MELAKUKAN PENYEMBELIHAN KETIKA MERESMIKAN BANGUNAN
BARU
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Di sebuah tempat ketika sebuah bangunan dibuka pertama kali, dilakukan
penyembelihan kambing sebagai bentuk peresmian, dan juga dilakukan pengambilan
gambar oleh salah satu surat kabar, dan penyembelihan tersebut dilakukan di luar gedung
tersebut. Pertanyaannya adalah apakah hukum perbuatan semacam ini?
Jawaban:
Ini merupakan kesyirikan –kita berlindung kepada Allah darinya– ini merupakan
kesyirikan terhadap Allah dan penyembelihan untuk selain Allah, karena mereka meyakini
bahwa penyembelihan ini untuk jin dan mereka melakukannya untuk menghindari kejahatan
jin. Mereka menyembelih untuk jin dengan tujuan agar jin tidak mengganggu mereka. Ini
termasuk perbuatan orang-orang di zaman Jahiliyah dan merupakan kesyirikan kepada
Allah. Kalau hal ini sampai terjadi di negeri tauhid, maka wajib melaporkannya kepada
pemerintah dan wajib untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5395
BENARKAH TIDAK BOLEH MENGELOMPOKKAN MANUSIA SESUAI GOLONGANNYA
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Ada penanya yang mengatakan: “Di akhir-akhir ini telah muncul orang yang
melarang untuk menyebutkan manusia sesuai dengan kelompok yang diikutinya, dengan
dalih karena mereka semua muslim. Maka apa pendapat Anda dan bagaimana yang benar
dalam masalah tersebut?
Jawaban:
Ini tidak bisa dikatakan secara mutlak. Orang yang menyelisihi kebenaran terkadang
ada yang sampai kafir dan bukan muslim lagi, terkadang sesat dan fasik, dan terkadang
hanya pada tingkatan orang yang suka bermaksiat saja. Jadi manusia itu bertingkat-tingkat
keadaannya, diantara mereka ada yang kafir, ada yang munafik, ada yang fasik, ada yang
suka bermaksiat, dan diantara mereka juga ada yang mu‟min yang taat dan bertakwa. Maka
harus mendudukkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka, sehingga orang yang suka
bermaksiat tidak boleh didudukkan pada kedudukan orang yang taat, dan sebaliknya orang
yang taat tidak boleh didudukkan pada kedudukan orang yang suka bermaksiat.
Allah Jalla wa Ala berfirman:
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu
sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah persangkaan yang mereka
tetapkan itu.” (QS. Al-Jatsiyah: 21)
Allah Ta‟ala juga berfirman:
“Maka apakah layak Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang
kafir. Bagaimanakah cara kalian menetapkan?” (QS. Al-Qalam: 35-36)
Juga firman-Nya:
“Apakah layak Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh seperti
orang-orang yang suka melakukan kerusakan di muka bumi, atau apakah layak Kami
menjadikan orang-orang yang bertakwa seperti orang-orang yang jahat.” (QS. Shaad: 28)
Jadi Allah sendiri yang memisahkan atau membeda-bedakan mereka sesuai dengan
perbuatan yang mereka kerjakan dan sesuai dengan keyakinan yang mereka yakini. Juga
sebagaimana yang pernah kalian dengar dalam hadits bahwa ummat ini terpecah menjadi
73 kelompok. Masing-masing memiliki manhaj dan jalan yang berbeda dengan kelompok
lain. Kecuali siapa saja yang kokoh di atas Al-Qur‟an dan As-Sunnah, maka jalan mereka
hanya satu dan mereka tidak berselisih. Ini adalah sesuatu yang jelas. Adapun tentang
orang yang mengatakan: “Dia ini datang hanya memecah belah manusia.” Atau
mengatakan: “Tidak boleh mengelompokkan manusia.” Maka ini semua adalah ucapan yang
muncul dari kebodohan. Allah sendiri yang mengelompokkan mereka. Juga Al-Qur‟an dan
As-Sunnah menyebut orang-orang kafir, menyebut orang-orang munafik, menyebut orang-
orang yang beriman, serta menyebut orang-orang yang suka bermaksiat dan orang-orang
fasik.
Allah telah menjelaskan di dalam Kitab-Nya:
.هو الذي خلقكم فمنكم كافر ومنكم مؤمن
“Dia-lah yang menciptakan kalian lalu diantara kalian ada yang kafir dan diantara kalian ada
yang beriman.” (QS. At-Taghabun: 2)
Lalu muncul orang yang menyatakan: “Tidak, tidak boleh mengelompokkan manusia.” Ini
merupakan penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya
Sumber artikel: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=37483
BOLEHKAH MENGATAKAN BAHWA UMAT ISLAM ADALAH UMAT YANG
TERBELAKANG
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai Shahibul Fadhilah, penanya ini
mengatakan: “Ada orang yang mengatakan bahwa umat Islam adalah orang-orang yang
terbelakang atau mengalami kemunduran, atau menyebut mereka sebagai teroris atau
orang-orang radikal, apa hukumnya bagi ucapan-ucapan semacam ini dan apa hukumnya
bagi orang yang menuduhkan sifat-sifat tersebut kepada umat Islam?”
Asy-Syaikh:
Ini adalah seperti ucapan orang-orang munafik terdahulu yang mengatakan: “Kita
tidak melihat orang-orang seperti para penghafal Al-Qur‟an kita ini yang lebih banyak
mengurusi perut, lebih dusta ucapannya, dan lebih penakut ketika bertemu musuh.” Maka
Allah menurunkan ayat:
“Janganlah kalian mencari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.”
(QS. At-Taubah: 66)
Jadi orang yang mengatakan ucapan ini terhadap umat Islam maka ini merupakan
kemurtadan dari agama Islam, ini merupakan kemurtadan dari agama Islam. Adapun jika dia
mengatakan bahwa umat Islam kurang memperhatikan dalam mempelajari tekhnologi dan
kurang dalam melakukan persiapan bekal atau persenjataan menghadapi orang-orang kafir,
maka ini ucapan yang benar. Namun jika dia mengatakan bahwa mereka adalah orang-
orang yang terbelakang disebabkan agama Islam, maksudnya jika dia menganggap bahwa
Islamlah yang menyebabkan mereka terbelakang, dan mereka menjadi orang-orang yang
tertinggal disebabkan agama Islam, jika ini yang dia maksudkan maka ini merupakan
kemurtadan dari agama Islam.
Beda perkaranya jika yang dia maksud adalah umat Islam kurang dalam melakukan
hal-hal yang wajib atas mereka dalam hal mempelajari tekhnologi dan melakukan persiapan
bekal atau persenjataan menghadapi orang-orang kafir. Jika seperti ini maka ini ucapan
yang benar. Faktanya umat Islam memang kurang dalam melakukannya. Jika maksudnya
seperti ini maka tidak masalah.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/8135
BOLEHKAH MENGATAKAN ORANG KAFIR SEBAGAI SAUDARA
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, bagaimana pendapat Anda tentang
ucapan sebagian mufti, terkhusus yang ada di chanel-chanel televisi dengan mengatakan:
“Saudara-saudara kita orang-orang Nashara.” Atau ungkapan-ungkapan yang semisalnya,
dengan dalih bahwa semuanya beriman?
Asy-Syaikh:
Ini termasuk kekafiran dan kesesatan, kita berlindung kepada Allah darinya. Orang
yang menganggap bahwa Yahudi dan Nashara sebagai muslimin dan orang-orang yang
beriman serta sebagai saudara, maka ini merupakan kemurtadan dari agama Islam. Semua
yang tidak mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi was sallam maka dia kafir. Siapa saja
yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu alaihi was sallam maka dia kafir, sama saja
apakah dia seorang Yahudi atau Nashara atau selainnya. Setelah diutusnya Nabi
shallallahu alaihi was sallam tidak ada lagi agama dan keimanan kecuali dengan mengikuti
beliau shallallahu alaihi was sallam.
Jadi siapa yang mengatakan bahwa setelah diutusnya Nabi shallallahu alaihi was
sallam manusia tidak harus mentaati beliau dan mereka boleh tetap memeluk agama Yahudi
dan agama Nashara serta menyatakan bahwa itu adalah agama yang benar, maka dia kafir
dan murtad dari agama Islam. Kita memohon keselamatan kepada Allah.
Orang yang mengatakan bahwa Yahudi dan Nashara adalah saudara-saudara kita
dan bahwasanya mereka juga adalah orang-orang yang beriman, orang tersebut bisa jadi
dia tidak mengimani keumuman risalah Nabi shallallahu alaihi was sallam, maka ini
merupakan kekafiran. Kita berlindung kepada Allah darinya.
Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian
seluruhnya, yaitu Dzat Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada yang berhak
disembah selain Dia, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kalian
kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu seorang nabi yang ummi (yang tidak mengetahui baca
tulis –pent) yang dia beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia
supaya kalian mendapat petunjuk.” (QS. Al-A‟raf: 158)
Jadi orang tersebut bisa jadi dia mengingkari keumuman risalah Nabi shallallahu
alaihi was sallam, maka ini merupakan kekafiran. Namun bisa jadi dia mengimani
keumuman risalah, hanya saja dia menganggap bahwa agama Yahudi merupakan
keimanan kepada Rasul dan agama Nashara juga merupakan keimanan kepada Rasul,
padahal mereka menyatakan bahwa Allah adalah ketiga dari yang tiga (trinitas –pent)! Maka
ini lebih parah kekafirannya, kita berlindung kepada Allah darinya dan memohon
keselamatan kepada-Nya.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/index.php?q=node/9657
BOLEHKAH UPAYA PENDEKATAN ANTAR AGAMA
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, penanya dari Libya mengatakan:
“Sebagian dai menempuh manhaj atau metode baru yang diada-adakan yang dinamakan
“Pendekatan Antar Agama” dengan dalih bahwa kita semua memiliki kitab. Apakah
semacam ini termasuk bentuk loyalitas?”
Asy-Syaikh:
Ini termasuk kekafiran, bukan sebatas loyalitas bahkan termasuk kekafiran. Jika
menganggap benar keyakinan Yahudi dan keyakinan Nashara sebagai agama yang benar
maka ini merupakan kekafiran terhadap Allah, kita berlindung kepada Allah darinya. Karena
Allah telah memastikan kekafiran Yahudi dan Nashara setelah diutusnya Muhammad
shallallahu alaihi was sallam jika mereka tidak mau mengikuti beliau.
Dan semua yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu alaihi was sallam apakah
dia seorang Yahudi atau Nashara atau penyembah berhala atau makhluk apapun dia yaitu
jin dan manusia maka dia kafir dan di neraka. Rasulullah shallallahu alaihi was sallam
shallallahu alaihi was sallam:
“Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku apakah dia seorang Yahudi atau
Nashara, lalu dia tidak mau beriman dengan ajaran yang kubawa, kecuali dia pasti masuk
neraka.” (HR. Muslim no. 153 –pent)
Bagaimana mereka dikatakan sebagai orang-orang yang beriman sementara mereka
menyatakan bahwa Allah adalah ketiga dari yang tiga (trinitas –pent)?! Apakah orang-orang
yang semacam itu beriman dalam keadaan mereka menyatakan bahwa Allah adalah ketiga
dari yang tiga?! Mereka juga kafir atau tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi
was sallam dan menentang kerasulan beliau, lalu ada yang menyatakan bahwa mereka
adalah orang-orang yang beriman. Yahudi sendiri menentang kerasulan Al-Masih Isa alaihis
salam dan mengatakan bahwa beliau adalah anak pelacur, dan juga menentang kerasulan
Muhammad shallallahu alaihi was sallam, lalu ada yang menyatakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang beriman.
Siapa yang mengatakan demikian ini?! Jadi tidak ada agama yang benar selain
agama Islam yang Muhammad shallallahu alaihi was sallam diutus dengannya. Adapun
selainnya maka bisa jadi merupakan agama yang bathil atau agama yang telah dihapus
(tidak berlaku lagi –pent), selesai sudah waktu mengamalkannya.
KEBANYAKAN MANUSIA LUPA TUJUAN MEREKA DICIPTAKAN
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
| | |
Sesungguhnya setiap kali manusia semakin mewah kehidupannya dan semakin
gelamor, maka akan terbuka berbagai pintu keburukan yang akan menimpa mereka.
Sesungguhnya kemewahanlah yang akan menghancurkan manusia, karena manusia jika
dia memperhatikan kemewahan dan mengutamakan kesenangan jasadnya, maka dia akan
lalai dari melakukan hal-hal yang akan membahagiakan hatinya dan jadilah ambisi
terbesarnya memuaskan kesenangan badannya yang akan berakhir menjadi makanan
cacing tanah dan membusuk.
Ini merupakan bencana dan inilah yang membuat manusia tertipu di masa ini.
Hampir-hampir engkau tidak menjumpai seorang pun kecuali dia mengatakan: “Apa istana
kita? Apa mobil kita? Apa permadani kita? Apa makanan kita?” Sampai-sampai orang-orang
yang membaca ilmu dan mengajarkan ilmu sebagian mereka mengajar semata-mata hanya
karena ingin mendapatkan titel atau kedudukan untuk meraih kesenangan dunia. Seakan-
akan manusia tidak diciptakan untuk tujuan yang besar. Padahal dunia dan kenikmatannya
hanyalah sarana semata. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk
orang-orang yang menjadikan dunia sebagai sarana.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sepantasnyalah seseorang
menjadikan harta sebagaimana dia menggunakan keledai sebagai tunggangan dan
sebagaimana dia menggunakan kamar kecil untuk buang air.” (Lihat: Majmu‟ul Fataawa,
10/663, terbitan Majma‟ Al-Malik Fahd –pent)
Lihatlah mereka para ulama itu mengetahui fungsi harta dan mengetahui kadarnya.
Maka jangan engkau jadikan harta sebagai ambisimu yang terbesar. Tunggangilah harta,
karena kalau engkau tidak menunggangi harta maka harta yang akan menunggangimu dan
jadilah ambisi terbesarmu dunia.
Oleh karena inilah maka kami katakan: sesungguhnya manusia semakin dunia
terbuka bagi mereka dan mereka memperhatikannya maka sesungguhnya mereka akan
merugi di akhirat sesuai keuntungan yang mereka dapatkan dari dunia.
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan akan menimpa kalian –maksudnya
aku tidak mengkhawatirkan kefakiran akan menimpa kalian karena dunia akan dibukakan–
tetapi aku mengkhawatirkan dunia akan dibukakan untuk kalian lalu akan menyebabkan
kalian berlomba-lomba meraihnya sebagaimana orang-orang sebelum kalian berlomba-
lomba meraihnya, sehingga dunia pun akan membinasakan kalian sebagaimana telah
membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhary no. 3158 dan Muslim no. 2961 –pent)
Benarlah Ar-Rasul shallallahu alaihi was sallam. Inilah yang telah membinasakan
manusia pada hari ini, yaitu berlomba-lomba meraih dunia dan merasa seakan-akan mereka
diciptakan untuk dunia, bukan merasa bahwa dunia diciptakan untuk mereka, lalu mereka
pun sibuk dengan hal-hal (dunia –pent) yang diciptakan untuk mereka sehingga melalaikan
tujuan penciptaan mereka. Dan ini merupakan sikap yang terbalik. Kita memohon
keselamatan kepada Allah.
KAFIRKAH ORANG YANG MENYEMBAH KUBURAN?
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Apakah semua orang yang menyembah kuburan dan dia telah menjadi orang yang
suka beribadah di kuburan, dia bisa dianggap kafir secara personal?
Jawaban:
Apakah engkau masih ragu tentangnya?! Orang yang menyembah kuburan apakah
belum menjadi kafir?! Kalau demikian terus apa yang dimaksud dengan syirik dan apakah
kekafiran itu?! Ini adalah syubhat yang disebarkan oleh Murji‟ah di masa ini, Murji‟ah yang
telah menyebarkannya. Maka jangan sekali-kali menjadi syubhat yang menyebar di tengah-
tengah kalian!
BOLEHKAH SHALAT DI MASJID YANG DI DALAMNYA ADA KUBURAN
Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah
| | |
Penanya:
Apakah boleh shalat di masjid yang di dalamnya ada kuburan?
Jawaban:
Tidak sah shalat yang di dalamnya ada kuburan, terlebih lagi jika masjid tersebut dibangun
dalam rangka memuliakan kuburan tersebut.
Karena Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Allah melaknat Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai masjid.”
Jadi Rasulullah shallallahu alaihi was sallam melaknat orang-orang yang menjadikan
kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Nabi shallallahu alaihi was sallam
memperingatkan hal itu 5 malam sebelum beliau wafat sebagaimana yang disebutkan di
dalam hadits Jundub bin Abdillah (Lihat: Shahih Muslim no. 532 –pent).
Bahkan beliau masih memperingatkan hal itu tidak lama sebelum wafatnya, ketika itu
beliau menutup wajahnya dengan kain khamishah, setiap kali beliau merasakan sesak,
maka beliau membuka wajahnya seraya bersabda:
“Allah melaknat Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka
sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhary no. 435 dan Muslim no. 529 –pent)
“Ketahuilah: janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku
melarang kalian melakukannya.” (HR. Muslim no. 532 –pent)
Maka berhati-hatilah wahai hamba Allah, karena musibah telah merata di banyak
negeri Muslimin dengan membangun masjid di atas kuburan. Jika masjid dibangun karena
adanya kuburan atau kuburannya diletakkan di tengah-tengahnya, maka shalat di dalamnya
tidak sah, shalat di belakang imamnya tidak sah. Adapun jika masjid tidak dibangun karena
adanya kuburan, tetapi kuburannya yang dibuat belakangan dan di letakkan di halaman
masjid bagian belakang atau yang semisalnya, maka yang seperti ini jika sang imam tidak
menyembah kuburan tersebut maka boleh, karena kita harus berhati-hati dari
ketergantungan hati dengan kuburan yang termasuk musibah terbesar yang manusia
terjatuh padanya, terkhusus banyak orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim di
zaman ini, dan sebagian mereka sering mengulang-ulang menyampaikan hadits palsu:
“Jika kalian tertimpa masalah, maka hendaknya kalian mendatangi para penghuni kubur.”
(Lihat: Ar-Radd Alal Bakry, karya Ibnu Taimiyyah, terbitan Maktabah Daarul Minhaj, hal. 317
–pent)
Apakah mereka bisa mengabulkan doamu?
“Dan orang-orang yang kalian seru (sembah) selain Allah mereka tidak mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar
seruanmu; dan seandainya mereka mendengar, mereka tidak dapat mengabulkan
permintaanmu, dan pada hari kiamat nanti mereka akan mengingkari kesyirikanmu dan tidak
ada yang bisa memberi penjelasan kepadamu seperti penjelasan Dzat Yang Maha
Mengetahui.” (QS. Fathir: 13-14)
BANTAHAN TERHADAP MUHAMMAD QUTHUB TENTANG TAFSIR SYAHADAT
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Muhammad Quthub mengatakan di dalam kitabnya tentang penerapan syari‟at
bahwa makna “laa ilaha illallah” adalah tidak ada hakim selain Allah dan tidak ada pencipta
selain Allah. Apakah pendapat ini memiliki asal dan bagaimana menurut Anda?
Jawaban:
Makna “laa ilaha illallah” telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala di dalam
kitab-Nya dan juga oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam. Makna “laa ilaha
illallah” adalah tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah. Hal ini
sebagaimana firman Allah Ta‟ala:
“Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan-Nya sedikitpun.” (QS. An-Nisa': 36)
Inilah makna “laa ilaha illallah.”
Allah Subhanahu wa Ta‟ala juga berfirman:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap ummat seorang rasul yang menyerukan:
“Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Inilah makna “laa ilaha illallah.”
Allah Ta‟ala juga berfirman:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan
agama hanya untuk-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Inilah makna “laa ilaha illallah.”
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Aku diperintahkan agar memerangi manusia hingga mereka mengatakan laa ilaha
illallah.” (HR. Muslim no. 392 dan Muslim no. 20 –pent)
Dalam sebuah riwayat disebutkan dengan lafazh:
“Hingga mereka mentauhidkan Allah.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 7372 –pent)
Allah Ta‟ala berfirman:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka hanya beribadah
kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Jadi makna “laa ilaha illallah” adalah memurnikan ibadah hanya bagi Allah. Dan
termasuk padanya adalah penerapan syariat, ini masuk pada ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta‟ala. Tetapi penerapan syariat bukanlah makna satu-satunya, bahkan
makna “laa ilaha illallah” lebih luas dan lebih banyak. Dan yang lebih penting dari sekedar
berhukum dengan Al-Qur‟an pada perkara-perkara yang diperselisihkan adalah
melenyapkan kesyirikan dari muka bumi dan memurnikan ibadah hanya bagi Allah
Subhanahu wa Ta‟ala.
Jadi penafsiran semacam ini adalah penafsiran yang kurang, penafsiran dengan
masalah penerapan hukum Allah semacam ini adalah penafsiran yang kurang yang tidak
memberikan makna “laa ilaha illallah” dengan semestinya.
Adapun dengan menafsirkan bahwa makna “laa ilaha illallah” adalah tidak ada
pencipta selain Allah, maka ini adalah penafsiran yang bathil, bukan sekedar kurang,
bahkan bathil. Karena kalimat “laa ilaha illallah” tidaklah dimaksudkan untuk menetapkan
bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Karena hal ini sudah diakui oleh orang-orang
musyrik. Jadi seandainya makna “laa ilaha illallah” adalah tidak ada pencipta selain Allah,
tentu orang-orang musyrik sudah menjadi muwahhid (bertauhid).
“Dan seandainya engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka akan menjawab: Allah.” (QS. Az-Zukhruf: 87)
Berdasarkan penafsiran semacam ini maka Abu Jahl akan dianggap bertauhid. Abu
Jahl dan Abu Lahab akan dianggap bertauhid. Maha Tinggi Allah dari penafsiran semacam
itu. Jadi ini adalah penfasiran yang bathil.
Alih bahasa: Abu Almass
Sumber Artikel : www.forumsalafy.net
| | |
BOLEHKAH MENGGUNAKAN UANG RIBA DALAM KEADAAN DARURAT
Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah
| | |
Pertanyaan:
Apakah hukum riba dalam keadaan darurat, seperti orang yang berdalih dengan keadaan
darurat untuk membangun tempat tinggal atau untuk biaya pengobatan orang yang sakit?
Jawaban:
Tidak ada darurat di sini, riba hukumnya tetap haram. Allah Ta‟ala berfirman:
“Allah melenyapkan riba dan mengembangkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang kafir dan banyak berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain
dari Abu Hurairah:
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan…” [1]
Diantara yang beliau sebutkan adalah riba.
Jadi riba tidak boleh digunakan. Orang yang sakit akan disembuhkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta‟ala, dan rumah juga akan dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Hanya
kepada Allah saja kita memohon pertolongan.Al-Bukhary telah meriwayatkan di dalam
Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi was sallam bersabda:
“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak lagi mempedulikan
dari manakah dia mendapatkan harta, apakah dari sesuatu yang halal ataukah dari sesuatu
yang haram.” [2]
Rasulullah shallallahu alaihi was sallam juga bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-
Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain: “Barangsiapa meninggalkan sesuatu
karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya.”
Sumber artikel: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2655
Keterangan:
[1] HR. Al-Bukhary no. 2766 dan 6857 serta Muslim no. 89.
[2] Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 2059 dan 2083. (pent)
APAKAH MENINGGALKAN TELEVISI TERMASUK SIKAP EKSTRIM
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Sebagian orang-orang yang baik memasukkan televisi ke dalam rumahnya dan dia
mengatakan bahwa dia tidak ingin dituduh sebagai orang yang ekstrim, maka bagaimana
bimbingan Anda?
Jawaban:
Meninggalkan televisi bukan sikap ghuluw atau ekstrim, tetapi merupakan sikap
kehati-hatian untuk menjaga agama, keluarga, dan anak-anak. Jadi hal itu merupakan
upaya menjauhkan dari sebab-sebab yang akan membahayakan. Karena keberadaan
televisi akan mengakibatkan bahaya terhadap anak dan istri, bahkan juga terhadap kepala
rumah tangga. Siapa yang merasa dirinya aman dari fitnah?! Jadi semakin jauh seseorang
dari sebab-sebab fitnah, maka hal itu jelas lebih baik bagi keadaannya sekarang dan
akibatnya di belakang hari. Dan meninggalkan televisi bukan termasuk sikap ekstrim, tetapi
termasuk upaya preventif atau penjagaan dan pencegahan dari keburukan.
Sumber artikel: Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, pertanyaan no. 211
BENARKAH ORANG-ORANG YANG SEMANGAT MENJALANKAN AGAMA ADALAH
TERORIS
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Telah banyak pembicaraan tentang berbagai peristiwa (penyerangan terhadap
aparat pemerintah, pengeboman, penculikan dan semisalnya atas nama jihad dan Islam –
pent) akhir-akhir ini melalui berbagai media yang mengaitkan dengan orang-orang yang
istiqamah dan menuduh mereka sebagai teroris, juga sebagian orang tua ada yang
menekan anak-anak mereka yang istiqamah dengan dalih khawatir mereka akan menjadi
teroris. Maka bagaimana bimbingan Anda menyikapi hal-hal ini?
Jawaban:
Yang terjadi tidak diragukan lagi bahwa semua itu merupakan tindakan terorisme
dan tidak ada seorang pun yang bisa membantah dengan mengatakan bahwa hal ini bukan
tindakan terorisme, kita berlindung kepada Allah darinya. Hanya saja, mengaitkannya
dengan orang-orang yang semangat menjalankan agama maka ini yang tidak boleh.
Pernyataan semacam ini tidak akan dilontarkan kecuali oleh orang munafik (yang pura-pura
masuk Islam padahal di hatinya kafir dan berusaha menghancurkan Islam dari dalam –pent).
Orang-orang yang berpegang teguh dengan agama mereka bukanlah orang-orang yang
suka melakukan tindakan terorisme, walhamdulillah. Bahkan mereka adalah orang-orang
yang mencintai dan berusaha melakukan kebaikan dan perbaikan serta perdamaian. Dan
tidak ada yang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik ini kecuali orang-orang yang
semangat menjalankan agama. Orang-orang yang berpegang teguh dengan agama tidak
akan melakukan tindakan-tindakan yang sesat dan jahat tersebut.
Adapun sikap para orang tua yang mengkhawatirkan anak-anak mereka maka
memang wajib atas seseorang untuk mengkhawatirkan anak-anaknya dan harus selalu
mengawasi mereka, jangan menelantarkan mereka, dan jangan membiarkan mereka pergi
bersama si fulan dan fulan yang tidak jelas agamanya. Karena bisa jadi di sana ada
pemikiran-pemikiran yang sesat dan menyimpang serta ajakan-ajakan yang bathil sehingga
bisa menjerat anak-anak tersebut dan menipu mereka. Jadi wajib atas para wali yang
memiliki anak-anak untuk selalu mengontrol dan menjaga mereka, dan jangan membiarkan
anak-anak muda tersebut di jalanan atau pergi ke negara lain. Apa yang akan kita raih
dengan perginya anak-anak kaum Muslimin ke negara-negara lain?! Mereka hanya akan
kembali kepada kita dengan membawa sifat yang sangat buruk ini, yaitu mengkafirkan kaum
Muslimin dan membunuh kaum Muslimin. Hal itu terjadi karena mereka ditelantarkan dan
dibiarkan bebas tanpa pengawasan sehingga mereka ditelan berbagai keburukan yang
menyeret mereka kepada pemikiran-pemikiran yang jahat ini. Akibatnya mereka kembali
hanya untuk menghancurkan dan berbuat kerusakan di negeri-negeri Kaum Muslimin. Laa
haula wa laa quwwata illa billah. Maka wajib atas para orang tua atau wali untuk menjaga
dan mengawasi anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.
Sumber artikel: Al-Ijaabaat Al-Muhimmah Fil Masyaakilil Mudlahimah, hal. 211
pertanyaan no 179
APAKAH TITEL CUKUP SEBAGAI SYARAT UNTUK BERDAKWAH
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Apakah seseorang yang ingin mengajarkan perkara-perkara agama kepada manusia
cukup baginya dengan titel universitas yang dia sandang, ataukah harus ada tazkiyah
(rekomendasi) dari para ulama?
Jawaban:
Harus memiliki ilmu, tidak semua orang yang menyandang titel menjadi ulama.
Harus memiliki ilmu dan kefakihan dalam agama Allah. Semata-mata titel tidaklah
menunjukkan ilmu, karena terkadang seseorang memiliki titel padahal dia termasuk manusia
yang paling bodoh. Sebaliknya terkadang seseorang tidak memiliki titel namun dia termasuk
manusia yang paling berilmu. Apakah Asy-Syaikh Ibnu Baz memiliki titel?! Demikian juga
Asy-Syaikh Ibnu Ibrahim dan Asy-Syaikh Ibnu Humaid?! Apakah mereka memiliki titel?!
Walaupun demikian mereka menjadi para imam di masa ini. Jadi yang terpenting adalah
membicarakan apakah ilmu dan kefakihan itu ada pada seseorang. Bukan tentang titel atau
ijazah atau tazkiyah, ini semua tidak teranggap. Dan fakta nanti yang akan menyingkap
keadaan seseorang. Jika ada sebuah masalah atau muncul sebuah bencana, ketika itulah
akan nampak siapa yang benar-benar seorang ulama dan mana orang yang sok berilmu
dan jahil.”
Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=114719
BAGAIMANA JIKA PEMERINTAH MELARANG MEMBANGUN MASJID
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Jika pemerintah melarang saya untuk membangun masjid tertentu di sebuah daerah
tertentu, apakah wajib mentaatinya?
Jawaban:
Ya, wajib mentaatinya dan jangan membangun masjid tersebut jika mereka
melarangnya. Tetapi kalau pemerintah melarang untuk membangun masjid secara umum
maka tidak boleh ditaati. Namun jika melarangnya di tempat tertentu maka larangan itu
mungkin karena pertimbangan tertentu. Jika di sebuah negeri ada banyak masjid, kaum
Muslimin bisa mengerjakan shalat di masjid-masjid tersebut. Dan jangan shalat di tempat
yang pemerintah melarang membangun masjid di sana. Kerjakan shalat di masjid-masjid
yang lain, atau pilihlah tempat selain yang dilarang untuk membangunnya itu.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/4900
APA MAKNA HADITS “BARANGSIAPA MENUTUPI AIB SEORANG MUSLIM MAKA
ALLAH AKAN MENUTUP AIBNYA”?
Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah
| | |
Penanya:
Apa makna sabda Rasulullah shallallahu alaihi was sallam:
“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya.”
(HR. Al-Bukhary no. 2442 dan Muslim no. 2580 dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,
serta Muslim no. 2699 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu –pent)
Apakah tetap menutupi aibnya dalam keadaan melihatnya melakukan kemaksiatan yang
jelas?
Asy-Syaikh:
Ya, jika yang lebih utama adalah menutupi maka sepantasnya untuk menutupi.
Namun masalahnya berbeda-beda. Jika misalnya engkau melihatnya mencium seorang
wanita, atau engkau melihatnya mencuri sesuatu maka tutupilah. Jadi ini adalah perkara
yang baik. Atau engkau melihatnya melakukan perbuatan keji dan engkau menutupinya,
maka tidak mengapa. Hanya saja seseorang yang kebiasaannya adalah kebiasaan yang
buruk ini, maka tidak mengapa engkau menasehati manusia agar menjauhinya dan tidak
membiarkannya untuk masuk ke rumah mereka, karena dia tertuduh telah melakukan
perbuatan yang buruk. Ini berkaitan dengan perbuatan-perbuatan keji. Adapun masalah
menutupi perbuatan buruknya, maka mungkin dilakukan jika engkau melihat bahwa
maslahatnya adalah dengan cara menutupinya, baik yang berkaitan dengan perbuatan-
perbuatan keji ataupun selainnya.
Adapun berkaitan dengan masalah bid‟ah, jika hal itu terjadi karena ketergelinciran,
maka sepantasnya engkau menutupinya. Bahkan para ulama mengatakan: “Jika seorang
ulama tergelincir, walaupun pada perkara bid‟ah, yang sepantasnya adalah dengan
menutupinya dengan keutamaan-keutamaannya. Adapun jika dia telah menjadi seorang dai
yang menyerukan bid‟ah tersebut dan dikhawatirkan akan mempengaruhi manusia dalam
dakwahnya, maka sepantasnya engkau lantang membongkarnya dan mentahdzirnya.
Wallahul musta‟an.
Penanya:
Jika misalnya seseorang terkenal mencuri?
Asy-Syaikh:
Telah kami katakan, jika hal itu telah menjadi kebiasaan dan sifatnya maka
hendaknya engkau memperingatkan manusia dari bahayanya. Baarakallahu fiik.
Penanya:
Jika hal itu baru pertama kali dan pencurian yang dia lakukan terhadap penduduk
sebuah desa, jika perbuatannya tidak diketahui maka seluruh penduduk desa tersebut bisa
tertuduh. Jadi hal itu belum diketahui telah menjadi kebiasaannya, hanya saja muncul
darinya perbuatan mencuri. Jika orang-orang menutupi perbuatannya, maka seluruh
penduduk desa tersebut bisa tertuduh, sehingga mereka memandang perlu untuk
menjelaskan keadaan orang tersebut, walaupun pencuriannya itu baru pertama kali dia
lakukan, agar tuduhan tidak tertuju kepada pihak lain.
Asy-Syaikh:
Tetap engkau perhatikan maslahat. Adapun tuduhan itu sama sekali tidak akan
menetapkan sesuatu, dan tidak seorang pun yang boleh menuduh seluruh penduduk desa.
Wallahul musta‟an.
Sumber artikel: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3631
HAKEKAT KITAB 1001 MALAM
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Sebagian kitab sejarah –terkhusus kitab 1001 Malam– menyebutkan bahwa Khalifah
Harun Ar-Rasyid tidak dikenal kecuali dengan perbuatan sia-sia dan minum khamr. Apakah
hal ini benar?
Jawaban:
Ini merupakan kedustaan, mengada-ada, dan sesuatu yang disusupkan ke dalam
sejarah Islam. Kitab 1001 Malam adalah kitab yang tidak ada harganya dan tidak bisa
dijadikan pegangan, dan tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan
waktunya dengan membacanya.
Harun Ar-Rasyid terkenal dengan kesalehan, kesungguhan dan baik dalam
mengurusi rakyat, dan beliau membagi waktunya dengan melaksanakan haji setahun dan
berjihad pada tahun berikutnya. Dan kedustaan semacam ini yang dimasukkan dalam kitab
ini tidak perlu menoleh kepadanya, dan tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk
membaca kitab kecuali yang mengandung faedah, seperti kitab-kitab sejarah yang
terpercaya, kitab tafsir, hadits, fikih, dan akidah yang dengannya seorang muslim bisa
mengerti urusan agamanya. Adapun kitab-kitab yang rusak maka tidak sepantasnya
seorang muslim –apalagi seorang penuntut ilmu– untuk menyia-nyiakan waktunya dengan
membacanya.
Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 2/306, pertanyaan no. 275
APA YANG DILAKUKAN JIKA MENGETAHUI ADA BAGIAN ANGGOTA WUDHU YANG
TIDAK TERKENA AIR SETELAH SHALAT
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
| | |
Pertanyaan:
Jika seseorang berwudhu ketika hendak shalat, namun setelah shalat dia mendapati
ada sedikit bagian tangannya yang tidak terkena air, maka apakah yang harus dia lakukan?
Jawaban:
Hendaknya dia mengulangi wudhu dan shalatnya, karena adanya sesuatu yang
menghalangi sampainya air ke anggota badan yang wajib disucikan, jadi anggota badan
tersebut belum suci. Allah Tabaraka wa Ta‟ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka
basuhlah wajah kalian.” (QS. Al-Maidah: 6)
Jadi jika di wajah ada sesuatu yang menghalangi sampainya air, maka ini teranggap
hanya membasuh sebagian wajahnya saja. Demikan juga hal ini berlaku pada seluruh
anggota badan yang lain. Oleh karena inilah para ulama mensyaratkan sahnya wudhu
dengan menghilangkan hal-hal yang menghalangi sampainya air, seperti adonan tepung,
minyak, gibs, dan semisalnya.
Sumber artikel: Fataawaa Nuurun Alad Darb, III/95, pertanyaan no. 1424
KENAPA SIBUK MENTAHDZIR AHLI BID’AH, PADAHAL KITA MENGHADAPI ORANG
KAFIR
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Kenapa sibuk mentahdzir ahli bid’ah, padahal umat sedang menghadapi
permusuhan Yahudi dan Nashara serta orang-orang sekuler?
Jawaban:
Kaum Muslimin tidak akan mungkin mampu untuk melawan Yahudi dan Nashara
kecuali jika mereka telah mampu mengatasi berbagai bid‟ah yang ada di tengah-tengah
mereka. Jadi mereka mengobati penyakit yang ada pada diri mereka terlebih dahulu, agar
mereka mendapatkan pertolongan atas Yahudi dan Nashara. Adapun selama kaum
Muslimin masih terus menyia-nyiakan agama mereka dan suka melakukan berbagai bid‟ah
dan hal-hal yang diharamkan serta meremehkan dalam menjalankan syari‟at Allah, maka
mereka tidak akan mungkin mendapatkan pertolongan atas Yahudi dan Nashara. Hanyalah
orang-orang kafir itu dijadikan menguasai umat Islam disebabkan karena mereka menyia-
nyiakan agama mereka. Maka wajib membersihkan masyarakat dari berbagai bid‟ah dan
dari berbagai kemungkaran. Juga wajib melaksanakan perintah-perintah Allah dan perintah-
perintah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam sebelum kita memerangi Yahudi dan
Nashara. Kalau tidak demikian, maka jika kita memerangi Yahudi dan Nashara dalam
keadaan seperti ini, kita tidak akan mungkin mengalahkan mereka selama-lamanya. Justru
merekalah yang akan mengalahkan kita dengan sebab dosa-dosa yang kita lakukan.
Sumber artikel: Al-Ijaabaat Al-Muhimmah Fil Masyaakilil Mudlahimah, hal. 208-209
APAKAH MENDOAKAN ORANG YANG BERSIN CUKUP SATU ORANG YANG
MENDENGARNYA SAJA
Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah
| | |
Pertanyaan:
Orang yang bersin dan dia mengucapkan “alhamdulillah” apakah wajib atas siapa
saja yang mendengarkannya untuk mendoakannya?
Jawab:
Wajib, dan hukumnya tidak seperti menjawab salam yang mana satu orang sudah
mencukupi. Jika seseorang mengucapkan salam kepada kita “assalamualaikum” maka
cukup salah seorang dari kita menjawab “waalaikumussalam.” Tetapi orang yang bersin
wajib atas siapa saja yang mendengarnya untuk mendoakannya. Wajib atas kita semua
untuk mendoakannya (dengan mengucapkan “yarhamukallah” yang artinya: semoga Allah
merahmatimu –pent) jika dia mengucapkan “alhamdulillah.”
Dalam hal ini terdapat sebuah hadits:
“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu dia mengucapkan „alhamdulillah‟ maka wajib atas
siapa saja yang mendengarnya untuk mendoakannya.” [1]
Atau yang semakna.
Sumber artikel: Ijaabatus Saa-il, terbitan Daarul Haramain, cetakan ke-1 tahun 1416 H,
pertanyaan no. 201 hal. 322
Keterangan:
[1] Lihat: Dalam Shahih Al-Bukhary no. 6223 lafazhnya:
“Jika seseorang bersin lalu dia mengucapkan „alhamdulillah‟ maka wajib atas setiap muslim
yang mendengarnya untuk mendoakannya.”
Sedangkan di no. 6226 lafazhnya:
“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu dia mengucapkan „alhamdulillah‟ maka wajib atas
setiap muslim yang mendengarnya untuk mendoakannya dengan mengucapkan:
yarhamukallah.” Lihat juga: Shahih Muslim no. 2992. (pent)
APAKAH GAJI BULANAN TERKENA ZAKAT
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Penanya yang bernama Abu Khalid mengatakan: “Berkaitan dengan gaji bulanan,
jika uangnya langsung masuk rekening bank, bagaimanakah caranya agar saya bisa
mengetahui zakatnya?”
Jawaban:
Masalah ini banyak dijumpai oleh para pegawai atau karyawan dan orang-orang
yang mendapatkan pemasukan atau penghasilan bulanan. Yang akan membebaskan diri
dari tanggung jawab adalah dengan menentukan waktu tertentu setiap setahun sekali untuk
mengeluarkan zakat dengan syarat telah terkumpul jumlah yang memenuhi (nishab atau
batas minimal nilai yang terkena kewajiban zakat –pent). Dia hitung dan dia keluarkan
zakatnya. Hendaknya hal serupa dia lakukan pada tahun berikutnya. Dengan cara itu
insyaAllah dia telah membebaskan diri dari tanggung jawab.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13649
Faedah:
Nishab emas adalah 20 dinar. 1 dinar = 4,25 gram emas murni. Jadi nishab emas
adalah 85 gram. Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham. 1 dirham = 2,975 gram perak
murni. Jadi nishab perak adalah 595 gram. Di situs http://www.logammulia.com/gold-bar-
id.php dan http://www.logammulia.com/industrial-gold-silver-platinum-id.php pada hari Rabu
tanggal 14 Mei 2014 pukul 07.54 WIB disebutkan bahwa harga 1 dinar adalah Rp.
2.388.925. Sedangkan harga 1 dirham adalah Rp. 91.053. Jadi sebagai contoh nishab perak
adalah Rp. 91.053 x 200 = Rp. 18.210.600. Sedangkan nishab emas adalah Rp. 2.388.925
x 20 = Rp. 47.778.500.
Untuk nishab uang para ulama menguatkan pendapat bahwa nishabnya adalah yang
paling sedikit dari nilai nishab emas dan perak. Misalnya nilai nishab emas lebih sedikit
maka nishabnya dinilai dengan emas. Sedangkan jika nilai nishab perak lebih sedikit maka
nishabnya dengan nilai perak.
Jadi untuk saat ini (karena menyesuaikan nilai perak) seseorang akan terkena
kewajiban zakat, jika dia menyimpan uang selama setahun penuh tanpa berkurang sehari
pun sesuai dengan kalender Hijriyah, senilai Rp. 18.210.600. (pent)
Sumber: Ahkaamuz Zakaah, karya Asy-Syaikh Zayid bin Husain Al-Wushaby, salah
seorang pengajar di Daarul Hadits, Ma‟bar – Yaman, hal. 166-169 dan hal 190.
KAPANKAH WANITA YANG MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN KARENA HAMIL
ATAU MENYUSUI MENGGANTI PUASANYA
Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah
| | |
Pertanyaan:
Penanya menanyakan tentang wanita yang tidak mampu berpuasa Ramadhan
karena melahirkan atau hamil?
Jawab:
Yang wajib baginya adalah mengganti puasa, sebagaimana firman Allah Ta‟ala:
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak
berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Jadi dia wajib mengganti pada waktu yang dia telah mampu, bisa setahun, atau dua tahun,
atau tiga tahun setelahnya.
“Allah tidak membebani seorang jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-
Baqarah: 286)
Terdapat riwayat di dalam kitab-kitab As-Sunan dari hadits (Abu Umayyah –pent) Anas bin
Malik Al-Ka‟by bahwasanya dia safar kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, maka Nabi
berkata kepadanya: “Makanlah!” Anas menjawab: “Saya sedang berpuasa.”
Maka Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta‟ala menggugurkan bagi musafir setengah shalat (dengan
mengqashar yang empat raka‟at menjadi dua raka‟at) dan menggugurkan kewajiban puasa
terhadap wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.” [1]
Atau yang semakna.
Yang dimaksud dengan menggugurkan di sini adalah menggugurkan yang sifatnya
sementara, yaitu berdasarkan ayat yang baru saja kalian dengar:
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak
berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Sebagian ulama berpendapat bahwa jika telah berlalu setahun namun wanita
tersebut belum mengganti puasa Ramadhan yang pertama, maka dia wajib membayar
kaffarah di samping tetap mengganti puasa yang dia tinggalkan. Atau wajib bagi orang lain
yang meninggalkan puasa karena sakit atau safar untuk membayar kaffarah di samping
tetap mengganti puasa yang dia tinggalkan jika telah berlalu setahun namun dia belum
mengganti puasanya. Hanya saja pendapat ini tidak memiliki dalil dari Kitabullah maupun
dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, tetapi hanya pendapat sebagian Salaf
saja.
Sedangkan kami maka kami mengambil apa yang nampak dari ayat di atas. Dan
Allah Azza wa Jalla tidak berfirman: “Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain, dan jika telah berlalu setahun namun dia belum
juga mengganti puasanya, maka dia wajib membayar kaffarah.”
“Dan Rabbmu sekali-kali tidak pernah lupa.” (QS. Maryam: 64)
Jadi tidak ada kewajiban atas wanita tersebut selain mengganti puasanya yang dia
tinggalkan saja jika dia telah benar-benar mampu melakukannya, walaupun telah berlalu 3
Ramadhan atau lebih. Ketika dia telah mampu setelah itu barulah dia mengganti puasanya,
hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.
Mengganti puasa juga tidak harus dilakukan berturut-turut agar tidak
memberatkannya. Jadi dia bisa berpuasa 3 hari lalu berhenti sehari, atau puasa sehari dan
berhenti sehari, sesuai dengan kemampuannya. Contohnya Aisyah radhiyallahu anha
menceritakan bahwa beliau masih memiliki kewajiban mengganti sebagian puasa
Ramadhan karena haidh, lalu beliau tidak menggantinya kecuali di bulan Sya‟ban. Maksud
dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya mengganti puasa tidak harus secepatnya.
Wallahul musta‟an.
Footnote:
1. HR. Ahmad (4/347 hadits ke 18568), At-Tirmidzy (715), Abu Dawud (2408), An-
Nasa‟iy (2276, 2278) dan Ibnu Majah (1667, 1668) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil
rahimahullah di dalam Al-Jami‟ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (2/438) dan di
dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (127) dengan lafazh:
“Sesungguhnya Allah Ta‟ala telah menggugurkan bagi musafir setengah shalat
(dengan mengqashar yang empat raka‟at menjadi dua raka‟at) dan menggugurkan
kewajiban puasa terhadapnya dan terhadap wanita yang menyusui dan wanita yang hamil.”
(pent)
Sumber artikel: Ijaabatus Saa-il, terbitan Daarul Haramain, cetakan ke-1 tahun 1416 H,
pertanyaan no. 352 hal. 594-595
APAKAH MANDI YANG HUKUMNYA MUSTAHAB MENCUKUPI WUDHU
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Apakah mandi yang hukumnya mustahab (seperti mandi Jum’at dan dua hari raya –
pent) yang disebutkan oleh penulis rahimahullah (pertanyaan ini setelah membahas sebuah
kitab tertentu –pent) mencukupi sehingga tidak perlu berwudhu lagi, jika seseorang
meniatkan dua-duanya?
Jawaban:
Ya, jika dia meniatkan wudhu sudah termasuk dalam mandi yang hukumnya
mustahab tersebut, maka hal itu telah mencukupi, karena mandi tersebut termasuk bersuci
yang sesuai dengan syari‟at.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7676
DIANTARA PERTANYAAN YANG TIDAK SEPANTASNYA UNTUK DITANYAKAN
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Jika seorang suami yang mendapati laki-laki lain menggauli istrinya, apakah boleh
untuk membunuhnya ataukah tidak? Karena kami pernah mendengar dari salah seorang
ulama bahwa suami tersebut boleh membunuhnya?
Jawaban:
Pertanyaan semacam ini tidak boleh. Tidak boleh bertanya semacam ini, agar si
penanya tidak tertimpa dengannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika kalian ketahui justru akan menyusahkan
kalian.” (QS. Al-Maidah: 102)
Tidak boleh bertanya semacam ini yang sifatnya “seandainya terjadi”, kalau setelah kejadian
maka baru boleh ditanyakan.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5755
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Fadhilatus Syaikh, semoga Allah memberi taufik kepada Anda, apakah hukumnya
jika saya membunuh istri bersama pria yang berzina dengannya, jika saya melihat mereka
semua melakukan perbuatan tersebut?
Jawaban:
Jika engkau membunuhnya karena kecemburuan yang dibenarkan oleh Allah Azza
wa Jalla dan engkau jujur dalam perkara tersebut, maka tidak ada dosa atasmu. Tetapi
disyaratkan setelah memastikan terlebih dahulu. Kalau sekedar tuduhan saja maka hal itu
tidak dibenarkan. Harus memastikan terlebih dahulu dan engkau benar-benar jujur dalam
perkara ini.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5739
BOLEHKAH MENDUKUNG ORANG-ORANG KAFIR DALAM PERTANDINGAN
OLAHRAGA
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Pertanyaan:
Termasuk musibah yang menimpa banyak kaum Muslimin di masa ini adalah
menyaksikan pertandingan-pertandingan olahraga, menjadi suporternya, menjadi fansnya,
dan mengharapkan kemenangan untuknya. Dan seringnya yang mereka dukung untuk
adalah orang-orang kafir. Maka apakah perasaan semacam ini termasuk loyalitas kepada
kepada orang-orang kafir dan mencintai mereka?
Asy-Syaikh:
Jika dia senang orang-orang kafir yang mendapatkan kemenangan walaupun dalam
permainan olahraga, maka hal ini merupakan bentuk kecintaan terhadap mereka. Jika dia
senang mereka yang mendapatkan kemenangan walaupun dalam permainan olahraga,
maka hal ini merupakan bentuk loyalitas terhadap mereka.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/8156
BOLEHKAH TEPUK TANGAN DI ACARA ATAU PESTA
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
| | |
Penanya:
Apakah hukum tepuk tangan di acara atau pesta?
Asy-Syaikh:
Tepuk tangan di acara atau pesta bukan termasuk kebiasaan Salafus Shalih. Jika
mereka kagum terhadap sesuatu mereka terkadang bertasbih atau terkadang bertakbir.
Hanya saja mereka tidak bertakbir atau bertasbih secara berjamaah. Tetapi masing-masing
bertakbir atau bertasbih sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suara dan cukup didengar orang
yang di dekatnya saja.
Jadi yang utama adalah tidak melakukan hal ini yaitu tepuk tangan. Hanya saja kita
tidak bisa mengatakan bahwa hal itu haram, karena perkaranya telah tersebar di tengah-
tengah kaum Muslimin di masa ini, dan manusia pun tidak menjadikannya sebagai ibadah.
Oleh karena inilah maka tidak tepat berdalil untuk menyatakan pengaharaman bertepuk
tangan ini dengan firman Allah Ta‟ala tentang orang-orang musyrik:
“Dan tidaklah shalat mereka (orang-orang musyrik) di Baitullah kecuali bersiul-siul dan
bertepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)
Jadi orang-orang musyrik menjadikan tepuk tangan di Baitullah sebagai ibadah.
Sedangkan orang-orang yang bertepuk tangan ketika mendengar atau melihat sesuatu yang
menakjubkan, mereka tidak memaksudkan hal itu sebagai ibadah. Kesimpulannya bahwa
meninggalkan tepuk tangan lebih utama dan lebih baik, hanya saja hal itu tidak sampai pada
tingkat haram.
Beliau rahimahullah juga pernah ditanya: Bagaimana pendapat Fadhilatus Syaikh
tentang sebagian pengajar yang menolak tepuk tangan di dalam kelas yang dilakukan oleh
murid-murid untuk memberi semangat teman-teman mereka, hal itu dengan alasan bahwa
tepuk tangan bukan termasuk perbuatan kaum Muslimin dan tidak boleh dilakukan?”
Jawaban:
Sesungguhnya pihak yang menganggap bahwa hal ini tidak boleh maka wajib
atasnya untuk menunjukkan dalil sebelum yang lainnya, agar kita bisa mengetahui
hukumnya berdasarkan syariat. Jika dia memiliki dalil yang memuaskan maka
sesungguhnya tidak boleh membiarkan para murid untuk melakukannya. Adapun pihak yang
menganggap bahwa hal itu tidak mengapa dan di sana ada maslahat dalam memberi
semangat kepada anak-anak dan menggugah mereka, maka dia tidak boleh mengingkari
mereka.
Sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang kafir adalah menjadikan siulan dan
tepuk sebagai pengganti shalat dan doa, dan mereka tidak melakukannya ketika kagum
atau menganggap bagus sesuatu. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa seorang muslim jika
dia bertepuk tangan ketika kagum atau menganggap bagus sesuatu dia dengan perbuatan
tersebut telah tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
Allah Azza wa Jalla hanya berfirman:
“Dan tidaklah shalat mereka (orang-orang musyrik) di Baitullah kecuali bersiul-siul dan
bertepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)
Jadi muka‟ maknanya adalah bersiul, sedangkan tashdiyah adalah tepuk tangan.
Mereka menjadikan hal ini sebagai ibadah.
Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=142781
BOLEHKAH TEPUK TANGAN UNTUK MEMBERI SEMANGAT ANAK-ANAK
Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah
| | |
Penanya:
Apakah hukum tepuk tangan untuk memberi semangat kepada anak-anak?
Asy-Syaikh:
Hal itu tidak mengapa, jika seorang anak prestasinya bagus dan bisa menjawab
pertanyaan dengan baik, lalu engkau memberinya tepuk tangan, maka hal itu tidak
mengapa. Karena tepuk tangan ini bukan merupakan ibadah, tetapi hanya bertujuan
memberi semangat. Tepuk tangan yang dilarang adalah yang dijadikan sebagai ibadah.
Yaitu sebagaimana dalam firman Allah Ta‟ala:
“Dan tidaklah shalat mereka (orang-orang musyrik) di Baitullah kecuali bersiul-siul dan
bertepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)
Yaitu bersiul-siul dan bertepuk tangan. Shalat atau ibadah yang mereka lakukan semacam
ini. Ini yang terlarang. Adapun jika ada seorang anak atau anak-anak bisa menjawab
pertanyaan dengan benar dalam sebuah perlombaan, lalu engkau bertepuk tangan untuk
memberi semangat mereka, maka hal itu tidak mengapa, tidak berdosa. Demikian juga jika
engkau memberi mereka tanda bintang, atau tulisan “istimewa” atau “juara” atau
“baarakallahu fiik” maka semua itu tidak mengapa.
Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=142781
CUKUPKAH FOTO ATAU VIDEO SEBAGAI BUKTI PERZINAAN ATAU SELAINNYA
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Fadhilatus Syaikh, untuk membuktikan perbuatan kriminal seperti zina ataupun yang
lainnya, apakah boleh menggunakan media-media terkini seperti gambar ataukah tidak
boleh?
Asy-Syaikh:
Tidak, tidak boleh menggunakannya kecuali berupa bukti yang jelas dalam bentuk
persaksian 4 orang pria (yang adil –pent) terhadap perzinaan tersebut atau pelakunya
mengakui sebanyak 4 kali (atau kehamilan pada gadis –pent), adapun bukti-bukti yang
lainnya itu hanya digunakan untuk memvonis kecurigaan saja, pihak yang tertuduh atau
dicurigai berdasarkan hal-hal tersebut berhak mendapatkan ta‟zir (hukuman selain hadd
yang ditentukan oleh pemerintah –pent), adapun hukum hadd (dalam hal ini adalah rajam
atau cambuk bagi pezina –pent) tidak bisa ditegakkan kecuali dengan bukti berupa
pengakuan dari pelaku atau persaksian 4 orang menyatakan bahwa orang tersebut telah
berzina. Adapun berbagai indikasi yang kuat dan perkara-perkara ini hanyalah sebagai
indikasi kuat saja, dia hanya bisa menetapkan kecurigaan saja.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7338
BOLEHKAH ISTRI MEMINTAI CERAI KARENA SUAMINYA MENIKAH LAGI
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Apakah seorang istri berdosa jika dia meminta cerai kepada suami karena suaminya
tersebut menikah lagi?
Asy-Syaikh:
Jika si istri ketika menikah mensyaratkan kepada suaminya agar dia tidak menikah
lagi, lalu suaminya melanggar dan menikah lagi, bagi dia berhak melakukan fasakh
(membatalkan pernikahannya –pent). Adapun jika dia tidak mensyaratkan, maka dia tidak
berhak. Karena dia meminta cerai hanya gara-gara suaminya menikah lagi, padahal
suaminya tidak menzhaliminya dan bersikap adil. Dalam keadaan seperti ini maka tidak
boleh baginya untuk memintai cerai, karena itu bukan alasan yang dibenarkan, karena Allah
membolehkan bagi suaminya untuk menikah lagi. Jadi engkau sebagai istri jangan
mengingkari suamimu pada sesuatu yang diperbolehkan. Tetapi kalau suamimu melampaui
batas, berbuat zhalim kepadamu dan tidak bersikap adil, maka engkau berhak menuntut
cerai dan engkau tidak bersalah.
Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/10006
BOLEHKAH WANITA MEMAKAI BAJU LENGAN PENDEK
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
| | |
Penanya:
Fadhilatus Syaikh, apakah memakai baju lengan pendek bagi wanita atau jenis baju
yang dinamakan you can see di hadapan sesama wanita haram hukumnya?
Asy-Syaikh:
Menurut saya, seorang wanita hendaknya senantiasa menjaga rasa malu dan
menjauhi penampilan yang bersifat tabarruj (tidak sopan –pent). Sesungguhnya jika wanita
dibukakan untuk mereka sesuatu yang mubah (diperbolehkan), maka hal itu bisa merembet
kepada yang haram. Jika kita memberikan keringanan bagi wanita untuk menampakkan
lengan bawahnya di hadapan sesama wanita, tentu perlahan akan merembet hingga
menampakkan lengan bagian atas, dan bisa jadi hingga menampakkan pundak atau bahu,
sehingga terjadilah tabarruj yang tercela. Jadi seorang wanita wajib meneladani para wanita
di masa Ar-Rasul shallallahu alaihi was sallam, yaitu dengan mengenakan baju yang
menutupi hingga bagian telapak tangan dan hingga mata kakinya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan bahwa yang seperti ini adalah sifat pakaian para
istri atau wanita di zaman Shahabat, dan cukuplah mereka sebagai panutan dan teladan.
Sumber artikel: Fataawa Nuurun Alad Darb, 11/101-102 no. 5654
BOLEHKAH MEMUJI AHLI BID’AH KARENA MEREKA MASIH MEMILIKI KEBAIKAN
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Apakah hukumnya orang yang memuliakan ahli bid’ah, menghormati mereka dan
memuji mereka dengan menyatakan bahwa mereka masih menerapkan hukum Islam,
padahal orang yang memuji mereka ini mengetahui berbagai kebid’ahan mereka. Dan pada
suatu ketika pada sebuah pelajaran umum dia mengatakan: “Di samping tetap berhati-hati
terhadap sebagian sikap mereka.” Yang dia maksud dengan “mereka” ini adalah para
mubtadi’ itu. Atau dia mengatakan: “Kita harus menutup mata dari kesalahan-kesalahan
yang ada pada mereka.” Dan ungkapan semisalnya yang menunjukkan sikap meremehkan
bid’ah mereka. Perlu juga diketahui bahwa sebagian para mubtadi’yang dimuliakan, dipuji
dan dibela oleh orang yang mengatakan ucapan ini mereka memiliki ucapan yang tertulis
dan terekam yang mana orang yang mengatakan ucapan ini mengetahui bahwa pada
ucapan tersebut terdapat celaan terhadap As-Sunnah, menganggap para Shahabat sebagai
orang-orang yang jahil, serta menyindir Nabi shallallahu alaihi was sallam. Maka apa hukum
orang yang mengatakan ini? Dan apakah boleh mentahdzir ucapan-ucapannya ini?
Asy-Syaikh:
Tidak boleh memuliakan ahli bid‟ah dan memuji mereka, walaupun pada mereka
terdapat sesuatu dari kebenaran, karena pujian dan sanjungan terhadap mereka akan
menyebabkan tersebarnya bid‟ah mereka, dan akan menjadikan para mubtadi‟ berada
dalam barisan orang-orang yang diteladani dari tokoh-tokoh ummat ini. Salaf telah
memperingatkan kita agar tidak percaya terhadap para mubtadi‟, tidak memuji mereka serta
tidak bermajelis dengan mereka. Dan diantara perkataan mereka adalah:
“Barangsiapa yang duduk bermajelis dengan seorang mubtadi‟ maka dia telah membantu
menghancurkan As-Sunnah.”
Jadi para mubtadi‟ wajib ditahdzir dan wajib menjauhi mereka, walaupun pada
mereka ada sesuatu dari kebenaran. Karena kebanyakan orang-orang sesat pasti memiliki
bagian dari kebenaran walaupun sedikit. Tetapi selama pada mereka terdapat kebid‟ahan,
penyimpangan dan pemikiran-pemikiran yang buruk, maka tidak boleh memuji mereka, tidak
boleh menyanjung mereka, dan tidak boleh menutup mata terhadap kebid‟ahan mereka.
Karena sesungguhnya pada sikap semacam ini terdapat unsur menyebarkan bid‟ah dan
menhancurkan As-Sunnah. Dengan cara semacam inilah para mubtadi‟ menampakkan diri
dan tampil menjadi para pemimpin ummat –semoga Allah tidak mentakdirkan hal itu–
sehingga wajib untuk mentahdzir mereka atau memperingatkan ummat dari bahaya mereka.
Dan para imam Ahlus Sunnah yang pada mereka tidak terdapat bid‟ah pada setiap
masa –walillahilhamdu– telah mencukupi bagi ummat dan merekalah yang pantas menjadi
teladan. Yang wajib adalah mengikuti orang-orang yang istiqamah di atas As-Sunnah yang
pada mereka tidak ada kebid‟ahan. Adapun mubtadi‟ maka wajib untuk mentahdzirnya dan
mencelanya dengan keras agar manusia mewaspadainya dan agar dia sendiri dan para
pengikutnya berhenti dari kebid‟ahannya. Adapun pernyataan bahwa mereka juga memiliki
kebenaran, maka ini tidak bisa menjadi dalih untuk menjustifikasi atau membenarkan sikap
memuji mereka, karena bahaya yang timbul akibat pujian terhadap mereka lebih besar
dibandingkan maslahat pada kebenaran yang mereka miliki. Dan telah dimaklumi bahwa
diantara kaedah dalam agama adalah “mencegah kerusakan lebih didahulukan
dibandingkan meraih maslahat.”
Dan pada sikap memusuhi mubtadi‟ terdapat upaya melindungi ummat dari
kerusakan yang ini mengalahkan maslahat bagi ummat yang diklaim itu jika benar-benar
ada pada dirinya. Seandainya kita mengambil prinsip ini maka tidak akan ada seorang pun
yang dianggap sesat dan divonis sebagai mubtadi‟, karena tidak ada seorang mubtadi‟ pun
kecuali dia pasti memiliki bagian dari kebenaran dan iltizam, karena seorang mubtadi‟ bukan
orang yang kafir murni dan bukan teranggap orang yang menyelisihi syariat secara
keseluruhan, dia hanyalah seorang mubtadi‟ pada sebagian perkara atau pada kebanyakan
perkara. Apalagi kalau bid‟ahnya itu pada perkara akidah dan manhaj, maka sesungguhnya
perkaranya sangat berbahaya, karena dia dikhawatirkan akan menjadi panutan. Dari pintu
sanalah bid‟ah itu akan menyebar di tengah-tengah ummat.
Jadi orang yang memuji para mubtadi‟ ini dan melemparkan syubhat kepada
manusia bahwa mereka memiliki kebenaran, orang semacam ini ada dua kemungkinan:
1. Bisa jadi dia adalah orang yang jahil, tidak mengetahui bahaya bid‟ah, tidak
mengetahui manhaj Salaf dan sikap mereka terhadap para mubatdi‟. Maka orang yang jahil
semacam ini dia tidak boleh bicara, dan kaum Muslimin tidak boleh mendengar ucapannya.
2. Atau dia orang yang mempunyai kepentingan terselubung. Jadi sebenarnya dia
mengetahui bahaya bid‟ah dan juga mengetahui bahaya para mubtadi‟. Tetapi dia orang
yang memiliki kepentingan tersembunyi yang ingin menyebarkan bid‟ah.
Yang jelas ini adalah perkara yang sangat berbahaya. Ini adalah perkara yang tidak boleh.
Tidak boleh meremehkan bahaya bid‟ah dan para pengusungnya bagaimanapun
keadaannya.
Sumber audio: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=130328
BOLEHKAH MENGAMBIL ILMU DARI AHLI BID’AH YANG AHLI HADITS DAN FIKIH
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika seorang penuntut ilmu
mengatakan sebuah kebid’ahan dan dia menyerukannya, padahal dia seorang ahli fikih dan
hadits, maka apakah perkataan bid’ahnya berkonskwensi menjatuhkan ilmu dan haditsnya
serta tidak boleh menjadikannya sebagai hujjah sama sekali?
Asy-Syaikh:
Ya, dia tidak bisa dipercaya lagi. Jika dia seorang mubtadi‟ maka dia tidak bisa
dipercaya lagi, demikian juga ilmunya. Juga tidak boleh belajar kepadanya, karena jika dia
diambil ilmunya maka sang murid akan terpengaruh dengan gurunya, terpengaruh dengan
pengajarnya. Yang wajib adalah dengan menjauh dari ahli bid‟ah. Para Salaf dahulu
melarang dari duduk bermajelis dengan para mubtadi‟, mengunjugi mereka, serta pergi
kepada mereka. Karena khawatir kejahatan mereka akan merembet kepada siapa saja yang
bermajelis dan bergaul dengan mereka.
BOLEHKAH MENGAMBIL ILMU DARI AHLI BID’AH YANG AHLI HADITS DAN FIKIH
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
| | |
Penanya:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika seorang penuntut ilmu
mengatakan sebuah kebid’ahan dan dia menyerukannya, padahal dia seorang ahli fikih dan
hadits, maka apakah perkataan bid’ahnya berkonskwensi menjatuhkan ilmu dan haditsnya
serta tidak boleh menjadikannya sebagai hujjah sama sekali?
Asy-Syaikh:
Ya, dia tidak bisa dipercaya lagi. Jika dia seorang mubtadi‟ maka dia tidak bisa
dipercaya lagi, demikian juga ilmunya. Juga tidak boleh belajar kepadanya, karena jika dia
diambil ilmunya maka sang murid akan terpengaruh dengan gurunya, terpengaruh dengan
pengajarnya. Yang wajib adalah dengan menjauh dari ahli bid‟ah. Para Salaf dahulu
melarang dari duduk bermajelis dengan para mubtadi‟, mengunjugi mereka, serta pergi
kepada mereka. Karena khawatir kejahatan mereka akan merembet kepada siapa saja yang
bermajelis dan bergaul dengan mereka.
BOLEHKAH MENGGUNAKAN SAJADAH BERGAMBAR KA’BAH
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
| | |
Penanya:
Sebagian manusia mengatakan bahwa tidak boleh duduk di sajadah, karena
padanya terdapat gambar Ka’bah. Apakah pernyataan tersebut benar?
Asy-Syaikh:
Hal ini tidak masalah, jadi tidak mengapa bagimu untuk meletakkan sajadah dan
duduk di atasnya, walaupun padanya terdapat gambar Ka‟bah atau gambar makam Nabi
shallallahu alaihi was sallam. Karena orang yang duduk di atasnya tidak bermaksud untuk
menghinakan Ka‟bah atau makam Nabi shallallahu alaihi was sallam. Dan yang terdapat
pada sajadah tersebut hakekatnya bukanlah Ka‟bah atau makam Nabi shallallahu alaihi was
sallam yang sesungguhnya.
Sumber artikel: Fataawa Nuurun Alad Darb, 11/105 no. 5662
Alihbahasa: Abu Almass
sumber artikel: forumsalafy.net