BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Benjolan pada seseorang tidak selalu berkonotasi jelek., tetapi jika benjolan itu terdapat
pada bagian tubuh yang tak semestinya, tentu harus diwaspadai, jangan-jangan itu merupakan
pertanda awal terjadinya tumor tulang. Ada tiga macam tumor tulang yaitu yang bersifat lunak,
ganas dan yang memiliki lesi di tulang (berlubangnya struktur karena jaringan akibat cedera atau
penyakit). Selain itu ada yang bersifat primer dan skunder. Pada tumor tulang sekunder misalnya,
seseorang terkena tumor payudara, kemudian menjalar ke tulang dan selanjutnya menggerogoti
tulang tersebut. Kanker tulang ini merupakan kelompok tumor tulang yang ganas.
Keganasan tulang dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu tumor benigna dan maligna. Klasifikasi
yang banyak digunakan untuk kedua jenis tumor ini adalah sebagai berikut :
1. Tumor Tulang BenignaKondrogenik: Osteokondroma, Kondroma Osteogenik : Osteoid
osteoma, Osteobalstoma, Tumor sel Giant
2. Tumor Tulang Maligna Kondrogenik : Kondrosarkoma Osteogenik : Osteosarkoma
Fibrogenik : Fibrosarkoma Tidak jelas asalnya : Sarcoma Ewing
Menurut Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah Orthopedy Universitas
Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat 455 kasus tumor tulang yang terdiri
dari 327 kasus tumor tulang ganas (72%) dan 128 kasus tumor tulang jinak (28%). Di RSCM
jenis tumor tulang osteosarkoma merupakan tumor ganas yang sering didapati yakni 22% dari
seluruh jenis tumor tulang dan 31 % dari seluruh tumor tulang ganas. Dari jumlah seluruh kasus
tumor tulang 90% kasus datang dalam stadium lanjut. Angka harapan hidup penderita kanker
tulang mencapai 60% jika belum terjadi penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita
bertahan hidup sampai 5 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker
tulang kerap datang dalam keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya menjadi lebih sulit.
Jika tidak segera ditangani maka tumor dapat menyebar ke organ lain, sementara
penyembuhannya sangat menyakitkan karena terkadang memerlukan pembedahan radik ikal
diikuti kemotherapy
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan tumor tulang secara komprehensif di ruang Seruni RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
2. Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian menyeluruh pada pasien tumor tulang
b. Mampu menganalisa dan menentukan masalah keperawatan pada pasien tumor tulang
c. Mampu melakukan intervensi dan implementasi untuk mengatasi masalah keperawatan yang
timbul pada pasien tumor tulang
d. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien dengan
tumor tulang
C. Ruang Lingkup Penulisan
Dalam makalah, penulis ini hanya membahas tentang Carsinoma Tulang dan Fraktur; yang
meliputi, pengertian penyakit, patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, komplikasi,
penatalaksanaan serta asuhan keperawatannya.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami mengunakan metode studi kepustakaan yaitu mempelajari
buku-buku dan sumber-sumber lainnya untuk mendapatkan dasar-dasar yang menjadi landasan
dalam penulisan makalah ini.
E. Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu :
BAB I : Berupa bab pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan
Penulisan, Metode Penulisan, Ruang Lingkup dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Berupa bab isi dan penjelasan materi, yang terdiri dari Masalah Fraktur
BAB III : Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan Keperawatan.
BAB IV : Berupa bab penutup, berisi Kesimpulan, dan Saran.
BAB II
CARSINOMA TULANG
A. DEFINISI
Tumor adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif dimana sel-selnya tidak pernah
menjadi dewasa. Tumor tulang primer merupakan tumor tulang dimana sel tumornya berasal dari
sel-sel yang membentuk jaringan tulang, sedangkan tumor tulang sekunder adalah anak sebar
tumor ganas organ non tulang yang bermetastasis ke tulang.
Dengan istilah lain yang sering digunakan “Tumor Tulang”, yaitu pertumbuhan abnormal pada
tulang yang bisa jinak atau ganas.
B. ETIOLOGI
Penyebab pasti terjadinya tumor tulang tidak diketahui. Akhir-akhir ini, penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan suatu zat dalam tubuh yaitu C-Fos dapat meningkatkan
kejadian tumor tulang.
Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi
Keturunan
Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat pajanan radiasi ),
(Smeltzer. 2001).
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi neoplasma tulang berdasarkan asal sel.
1. Primer
a. Tumor yang membentuk tulang (Osteogenik)
Jinak : - Osteoid Osteoma
Ganas:
- Osteosarkoma
- Osteoblastoma
- Parosteal Osteosarkoma, Osteoma
b. Tumor yang membentuk tulang rawan (Kondrogenik)
Jinak : - Kondroblastoma
Ganas :
- Kondrosarkoma
- Kondromiksoid Fibroma
- Enkondroma
- Osteokondroma
c. Tumor jaringan ikat (Fibrogenik)
Jinak : - Non Ossifying Fibroma
Ganas : - Fibrosarkoma
d. Tumor sumsum tulang (Myelogenik)
Ganas :
- Multiple Myeloma
-Sarkoma Ewing
-Sarkoma Sel Retikulum
e. Tumor lain-lain
Jinak : - Giant cell tumor
Ganas :
- Adamantinoma
- Kordoma
2. Sekunder/Metastatik
3. Neoplasma Simulating Lesions
- Simple bone cyst
- Fibrous dysplasia
- Eosinophilic granuloma
- Brown tumor/hyperparathyroidism
Klasifikasi menurut TNM.
• T. Tumor induk
• TX tumor tidak dapat dicapai
• T0 tidak ditemukan tumor primer
• T1 tumor terbatas dalam periost
• T2 tumor menembus periost
• T3 tumor masuk dalam organ atau struktur sekitar tulang
• N Kelenjar limf regional
• N0 tidak ditemukan tumor di kelenjar limfe
• N1 tumor di kelenjar limf regional
• M. Metastasis jauh
• M1 tidak ditemukan metastasis jauh
• M2 ditemukan metastasis jauh
D. PATOFISIOLOGI
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor. Timbul
reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau penghancuran
tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal..
Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang
yang baru dekat tempat lesi terjadi, sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.
E. TANDA DAN GEJALA
1. Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi semakin
parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas penyakit)
2. Fraktur patologik
3. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas
(Gale, 1999)
4. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran vena
5. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan menurun
dan malaise.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik, dan penunjang diagnosis seperti
CT, mielogram, asteriografi, MRI, biopsi, dan pemeriksaan biokimia darah dan urine.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk follow-up adanya stasis
pada paru-paru. Fosfatase alkali biasanya meningkat pada sarkoma osteogenik. Hiperkalsemia
terjadi pada kanker tulang metastasis dari payudara, paru, dan ginjal. Gejala hiperkalsemia
meliputi kelemahan otot, keletihan, anoreksia, mual, muntah, poliuria, kejang dan koma.
Hiperkalsemia harus diidentifikasi dan ditangani segera. Biopsi bedah dilakukan untuk
identifikasi histologik. Biopsi harus dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran dan
kekambuhan yang terjadi setelah eksesi tumor., (Rasjad, 2003).
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis.
Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan amputasi jika
memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas
yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi
kombinasi.
Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan kemoterapi.
Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin (doksorubisin) cytoksan
dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate dosis tinggi (MTX) dengan leukovorin. Agen ini
mungkin digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi.Bila terdapat hiperkalsemia,
penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian cairan normal intravena, diurelika, mobilisasi
dan obat-obatan seperti fosfat, mitramisin, kalsitonin atau kortikosteroid, (Gale, 1999).
2. Tindakan keperawatan
a. Manajemen nyeri
Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam, visualisasi, dan
bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian analgetika ).
b. Mengajarkan mekanisme koping yang efektif
Motivasi klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, dan berikan dukungan
secara moril serta anjurkan keluarga untuk berkonsultasi ke ahli psikologi atau rohaniawan.
c. Memberikan nutrisi yang adekuat
Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek samping kemoterapi dan
radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang adekuat. Antiemetika dan teknik relaksasi dapat
mengurangi reaksi gastrointestinal. Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan
indikasi dokter.
d. Pendidikan kesehatan
Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang kemungkinan terjadinya komplikasi,
program terapi, dan teknik perawatan luka di rumah.
(Smeltzer. 2001)
H. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
a. Wawancara
Dapatkan riwayat kesehatan, proses penyakit, bagaimana keluarga dan pasien mengatasi
masalahnya dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang dideritanya. Berikan perhatian khusus
pada keluhan misalnya : keletihan, nyeri pada ekstremitas, berkeringat pada malam hari, kurang
nafsu makan, sakit kepala, dan malaise.
b. Pemeriksaan fisik
Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran vena.
Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas.
Nyeri tekan / nyeri lokal pada sisi yang sakit.
Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe regional.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Radiografi, tomografi, pemindaian tulang, radisotop, atau biopsi tulang bedah, tomografi paru,
tes lain untuk diagnosis banding, aspirasi sumsum tulang (sarkoma ewing).(Wong, 2003)
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
2. Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan, persepsi tentang
proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status h
4. Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran.
J. RENCANA INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
Tujuan: klien mengalami pengurangan nyeri
KH:- Mengikuti aturan farmakologi yang ditentukan
- Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai indikasi
situasi individu.
Intervensi
- Kaji status nyeri ( lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri )
- Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktivitas hiburan ( misalnya : musik, televisi )
- Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi, dan
bimbingan imajinasi.
- Berikan analgesik sesuai kebutuhan untuk nyeri.
2. Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan, persepsi tentang
proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat.
Tujuan : Mendemonstrasikan penggunaan mekanisme koping efektif dan partisipasi aktif dalam
aturan pengobatan
KH:- Pasien tampak rileks
- Melaporkan berkurangnya ansietas
- Mengungkapkan perasaan mengenai perubahan yang terjadi pada diri klien
Intervensi
- Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan.
- Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk
mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.
- Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.
- Berikan informasi akurat, konsisten mengenai prognosis.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik berkenaan
dengan kanker.
Tujuan: mengalami peningkatan asupan nutrisi yang adekuat
KH:- penambahan berat badan, bebas tanda malnutrisi, nilai albumin dalam batas normal
( 3,5 – 5,5 g% )
intervensi
- Catat asupan makanan setiap hari
- Ukur tinggi, berat badan, ketebalan kulit trisep setiap hari.
- Berikan diet TKTP dan asupan cairan adekuat.
4. Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran.
Tujuan: mengungkapan perubahan pemahaman dalam gaya hidup tentang tubuh, perasaan
tidak berdaya, putus asa dan tidak mampu.
KH:- Mulai mengembangkan mekanisme koping untuk menghadapi masalah secara
efektif.
Intervensi:
- Diskusikan dengan orang terdekat pengaruh diagnosis dan pengobatan terhadap kehidupan
pribadi pasien dan keluarga.
- Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker atau
pengobatan
- Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara dengan
menyentuh pasien.
BAB III
FRAKTUR
A. Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care
Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
B. Etiologi
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian
demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya
kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
C. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan.
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
D. Pathway Fraktur
E. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang seperti terlihat pada foto.
2. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi
pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang
ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
F. Faktor yang Mempengaruhi Fraktur
- Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan
arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
- Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur
seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
G. Manesfetasi klinis
1. Deformitas
2. Bengkak/edema
3. Echimosis (Memar)
4. Spasme otot
5. Nyeri
6. Kurang/hilang sensasi
7. Krepitasi
8. Pergerakan abnormal
H. Komplikasi Fraktur
a. Komplikasi Awal
1. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
3. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
2. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan
karena aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan
perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
I. Test Diagnostik
1. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang,
temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
2. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
3. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah
hati.
J. Penatalaksanaan Medik
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap
dilakukan:
1. Pembersihan luka
2. Exici
3. Hecting situasi
4. Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001). Reduksi tertutup Pada
kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
3. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun.
4. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
K. ASUHAN KEPERAWATAN
. Pengkajian.
1. Identitas.
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama.
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar,
dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala
nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
b. Riwayat penyakit sekarang.
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
c. Riwayat penyakit dahulu.
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D,
1995).
e. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
2. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu
juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola
ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
3. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
4. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
5. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
8. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan
pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
9. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
3. Pemeriksaan fisik.
a. Sistem Integumen
b. Kepala
c. Leher
d. Muka
e. Mata
f. Telinga
g. Hidung
h. Mulut dan Faring
Thoraks
Paru
k. Jantung
Abdomen
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
3. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
4. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
5. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
6. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
(Doengoes, 2000)
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai,
mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individua
Intervensi : a. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi Rasional : Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi
b. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri
c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.. Rasional : Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif Intervensi :
a. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi b. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
Rasional : Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.
c. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya
sindroma kompartemen.
Rasional : Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
3. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal Intervensi : a. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif. Rasional : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi b. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien. Rasional : Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.c. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.
Rasional : Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak
4. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan
mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas.
Intervensi :
a. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
Rasional : Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu
menurunkan isolasi sosial
b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot,
mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
c. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.Rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
BAB IVPENUTUP
Tumor adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif dimana sel-selnya tidak pernah
menjadi dewasa. Tumor tulang primer merupakan tumor tulang dimana sel tumornya berasal dari
sel-sel yang membentuk jaringan tulang, sedangkan tumor tulang sekunder adalah anak sebar
tumor ganas organ non tulang yang bermetastasis ke tulang.
Tumor tulang adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel-sel tersebut tidak
pernah menjadi dewasa. Dengan istilah lain yang sering digunakan “Tumor Tulang”, yaitu
pertumbuhan abnormal pada tulang yang bisa jinak atau ganas
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care
Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
DAFTAR PUSTAKA
Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3.
Jakarta. EGC
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4.
Jakarta. EGC
Recommended