1
SEKILAS MENGENAI BUKU SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA
SIAP UNTUK DILUNCURKAN 2009
Sebuah seri buku Sejarah Kebudayaan Indonesia telah terbit dalam tahun 2009 ini,
dan terdiri atas delapan jilid. Penerbitnya adalah P.T. RajaGrafindo Persada, sedangkan
yang mengkoordinasikan dan mendanai penulisannya adalah Direktorat Geografi Sejarah
, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Seri
buku ini, yang keseluruhan jumlah halamannya mencapai 2155, dimaksudkan sebagai
semacam pemutakhiran terhadap buku R. Soekmono yang cukup ringkas, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia yang terdiri dari 3 jilid dan terbit tahun 1973. Buku baru
tahun 2009 ini diancangkan sebagai buku dasar tentang Sejarah Kebudayaan Indonesia
yang mengacu ke hasil-hasil penelitian mutakhir. Editor umum dari keseluruhan seri
adalah Mukhlis PaEni, sedangkan masing-masing dari kedelapan buku itu mempunyai
seorang Editor Tema dan sejumlah penulis.
Terdapat perbedaan susunan dasar antara buku Soekmono dan buku terbitan 2009
ini. Kalau tiga jilid buku Soekmono masing-masing membahas secara umum zaman-
zaman yang terpisah, yaitu “prasejarah”, “klasik”, dan “Islam”, maka buku 2009 ini
memilah delapan aspek kebudayaan yang masing-masing ditinjau secara lintas-zaman.
Kalau dibandingkan dengan ketujuh “unsur kebudayaan” yang diajarkan oleh Prof. Dr.
Koentjaraningrat dalam buku-buku dasarnya tentang Antropologi, maka terlihat bahwa
dalam buku 2009 ini “sistem ekonomi”, atau “sistem mata pencaharian hidup” tidak
terdapat, namun sebaliknya “sistem kesenian” dirinci ke dalam tiga jilid terpisah, yaitu:
“Arsitektur”, “Seni Pertunjukan dan Seni Media”, dan “Seni Rupa dan Desain”. Adapun
bahasan tentang seni sastra dimasukkan dalam satu jilid dengan persoalan bahasa dan
aksara, yang memang merupakan satu rumpun urusan.
Adapun catatan khusus mengenai masing-masing jilid yang dapat disebutkan adalah
sebagai berikut.
Religi dan Falsafah. Jilid ini memusatkan pembahasan pada berbagai sistem religi yang
dikenal di Indonesia, baik yang berkembang khusus di dalam suatu satuan etnik (suku
bangsa) maupun yang dianut secara meluas lintas etnik. Patut dihargai upaya untuk
2
mengangkat sistem-sistem religi pada beberapa masyarakat etnik, meski belum dapat
meliput keseluruhan sistem-sisten religi etnik yang ada di seluruh Indonesia. Adapun
yang masih kurang mendapat tempat adalah bahasan tentang falsafah, baik yang terkait
dengan, atau bahkan merupakan bagian integral dalam ajaran agama, maupun pemikiran
kefilsafatan yang dikembangkan di luar sistem-sistem religi. Adapun secara umum dapat
dikatakan bahwa pencantuman referensi kurang ketat, sehingga pembaca tak dapat
melacak sumber-sumber yang digunakan.
Sistem Sosial. Paparan yang bagus dalam jilid ini adalah sorotan yang tajam tentang
Sulawesi dengan berbagai golongan etniknya serta struktur sosial di dalamnya, yang
disertai pula dengan catatan tentang hubungan-hubungan budaya dengan masyarakat dari
daerah-daerah lain. Secara rinci khususnya diberikan paparan mengenai struktur
organisasi sosial pada masyarakat Bugis di berbagai pusat. Gambaran struktural
masyarakat di Masa Islam dan Masa Kolonial tampak gamblang, yang tentunya paparan
itu dimungkinkan oleh terdapatnya data yang lebih cukup dibandingkan dengan untuk
zaman-zaman sebelumnya. Namun sayang gambaran tentang masa Orde Baru terlalu
disertai penilaian negatif. Dapat disebutkan di sini 3 contoh berikut. . Dikatakan pula
bahwa istilah Jawa Kuna lain, yaitu raka berarti “calon raja”, padahal istilah itu adalah
sebutan bagi banyak putra raja, yang kadang dikaitkan dengan ‘daerah kuasa’ atau
dengan urutan sebutan anak raja yakni hino, halu, sirikan, dan wka. .
Arsitektur. Jilid ini memperlihatkan perancangan struktur yang konseptual, di mana
tinjauan sinkronik dan diakronik terasa memadu. Bab pertama mengantar dengan diskusi
mengenai apakah Sejarah Arsitektur itu. Kemudian menyusul bab yang berancangan
sinkronik, berjudul “Bermukim di Nusantara”, menampilkan prinsip-prinsip dasar tata
hunian dan varian-variannya pada berbagai suku bangsa di Indonesia. Suatu aspek
diakronik ditampilkan pula dalam bab ini dengan membahas awal-awal hunian di masa
prasejarah. Bab-bab berikutnya secara urutan waktu membahas hasil-hasil sentuhan
dengan kebudayaan-kebudayaan dari luar Indonesia. Maka ada bab berjudul “Perjumpaan
dengan Budaya India dan Cina”, kemudian “Perjumpaan dengan Budaya Islam”, lalu
“Perjumpaan dengan Budaya Eropa”. Untuk mengakhiri buku ini ditampilkan bab yang
3
diberi judul “Membangun Watak Bangsa”, yang menampilkan pergulatan para arsitek
Indonesia, termasuk Bung Karno, untuk menghadirkan karakter Indonesia, dengan
harapan akan tampil kuatnya sesuatu yang dapat disebut “Arsitektur Indonesia”.
Bahasa, Sastra, dan Aksara. Uraian mengenai bahasa di jilid ini dimulai dengan
tinjauan kebahasaan secara umum, antara lain adanya kemungkinan perbedaan pendapat
para ahli mengenai dua sistem kebahasaan: apakah merupakan dua bahasa terpisah
ataukah merupakan varian satu sama lain. Dibahas pula tentang jumlah penutur yang
tergolong banyak di antara bahasa-bahasa di dunia, sementara terdapat pula ancaman
kepunahan bagi bahasa-bahasa lain yang cenderung menyusut penuturnya, antara lain
disebabkan oleh penjajahan, kawin campur, emigrasi, dan lain-lain. Suatu jenis bahasa
yang tak disebut di sini adalah apa yang disebut “bahasa langit” dari para bissu di
Sulawesi Selatan, yang memang tak dapat dipelajari oleh orang-orang di luar para bissu.
Adapun bab mengenai sastra memilah antara sastra tradisional dan sastra modern. Sastra
tradisional tertulis dilihat pada beberapa lingkup budaya, yaitu: Melayu, Sunda, Bali,
Jawa, dan Sulawesi Selatan.
Seni Rupa dan Desain. Jilid ini disertai ilustrasi yang bagus-bagus, yang benar-benar
membantu menjelaskan argumen. Liputannya mulai dengan seni rupa masa Prasejarah
hingga ke perkembangan mutakhir seni rupa, di mana termasuk ke dalamnya komik
maupun berbagai bentuk seni rupa kontemporer. Mengenai yang terakhir ini disebut
sepintas mengenai jenis ungkapan seni rupa yang dinamai “instalasi” dan “performance-
art”, namun pengertian dasar dan kemungkinan-kemingkinan varian wujudnya tidak
diberikan contohnya, meski sebenarnya apa yang pernah tersaji di Indonesia di sekitar
cara ungkap ini cukup banyak dan beragam. Ada dibahas pula seni rupa dalam tradisi
suku-suku bangsa (yang secara kurang pas disebut “etnis-etnis”, sedangkan yang
dimaksud tentunya “satuan etnik” atau “golongan etnik”). Ini terbatas pada Nias dan
Dayak, dan masuknya ke dalam sub-bab mengenai Prasejarah Awal, suatu penggolongan
yang masih dapat diperdebatkan! Selebihnya, uraian tentang “Pengaruh Seni Rupa
Hindu-Buddha”, “Pengaruh Seni Rupa Islam dan Cina”, “Pengaruh Seni Rupa Barat
hingga Kemerdekaan”, serta bab berikutnya mengenai komik dan desain sangat baik
4
runutannya. Adapun bab terakhir mengenai seni rupa Modern dan Kontemporer cukup
informatif .
Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jilid ini diawali dengan paparan mengenai unsur-
unsur dasar estetik pada cabang-cabang seni yang termasuk ke dalamnya, yaitu: musik,
tari, teater, dan seni media (rekam). Selanjutnya dibahas pembatasan “seni pertunjukan”
dan “seni media”: tentang kontinuitas dan perbedaan antara keduanya. Sebelum memulai
tinjauan dari zaman ke zaman, terlebih dahulu dikemukakan permasalahan sumber data
dan upaya rekonstruksi yang diperlukan mengenai seni pertunjukan di masa lalu.
Kemudian dibahas tentang berbagai kemungkinan fungsi seni pertunjukan, yang meliputi
fungsi-fungsi sosial, religius, estetik, dan ekonomik. Setelah itu dicobakan suatu tinjauan
umum dari zaman ke zaman, dengan fokus pada persoalan konsep, gaya, dan teknik..
Setelah merunuti perkembangan melalui zaman-zaman Hindu-Buddha, Islam dan
Kolonial, serta bab sisipan mengenai awal perkembangan seni media rekam, maka jilid
ini diakhiri dengan bab tentang “masalah-masalah aktual mutakhir”, yang antara lain
menampilkan tentang apa yang dinamakan “sinema independen”, tentang animasi (baik
untuk iklan maupun cerita), serta tentang Industri Budaya. Terakhir diberikan paparan
singkat tentang Art Summit Indonesia, suatu festival internasional tiga-tahunan di bidang
seni pertunjukan yang disumbangkan oleh Indonesia untuk dunia, yang dimulai pada
tahun 1995.
Sistem Pengetahuan. Jilid ini mulai dengan bab “Sistem Pengetahuan Tradisional”, di
mana dibahas beberapa bidang amatan, yaitu: asal mula alam dan kehidupan, musim,
perbintangan; penggolongan lingkungan biota dan abiota; pengetahuan tentang ruang dan
waktu; pengetahuan tentang tulisan; pengetahuan tentang bangunan; sistem pemerintahan
tradisional; serta pengetahuan pengolahan makanan (peragian, pengawetan, pewarnaan).
Masing-masing golongan pengetahuan tersebut diberi contoh seadanya dari tradisi
beberapa suku bangsa, khususnya yang disebut adalah Dayak, Batak, Timor, Sunda, Bali,
dan Jawa. Inilah yang kiranya masih dapat dikembangkan dengan contoh-contoh pada
lebih banyak suku bangsa, dan juga bisa berkenaan dengan jenis pengetahuan yang lebih
banyak, seperti misalnya berkenaan dengan bercocok tanam, berternak, pengadaan dan
5
penataan busana, dan lain-lain. Sesudah paparan mengenai berbagai aspek sistem
pengetahuan tradisional itu menyusul dua bab akhir dalam jilid ini, masing-masing
tentang periode “kolonial” dan “kemerdekaan”. Pada bagian ini lebih banyak
dikemukakan tentang sarana-sarana pengembangan (ilmu) pengetahuan, baik yang
berupa organisasi-organisasi maupun instansi-instansi dan badan-badan yang didirikan
pemerintah. Di antaranya dapat disebutkan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen yang teratur menerbitkan majalah (TBG = Tijdschrift Bataviaasch
Genootschap) maupun terbitan tentang topik-topik kajian khusus (disebut seri
Verhandelingen). Badan lain yang penting yang didirikan pemerintahan kolonial adalah
Volkslectuur untuk tugas menerbitkan buku-buku yang dinilai berguna. Badan penerbit
ini berlanjut hingga kini dengan nama Balai Pustaka. Sarana-sarana kelembagaan dari
masa Indonesia merdeka yang disebutkan antara lain adalah LBME (Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman), BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional, dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Ada
dibahas juga tentang hak paten yang dapat diperoleh dari hasil penelitian yang inovatif ..
Sistem Teknologi. Jilid ini membahas teknologi yang terkait dengan mata pencaharian
hidup, serta dengan permasalahan komunikasi dan transportasi. pencaharian hidup itu
dibahas mengenai ‘teknologi’ berburu-meramu, perladangan, kenelayanan, peternakan,
serta pertanian irigasi, dan industri jasa. Uraian pada bab selanjutnya cenderung
menghubungkan langsung temuan-temuan prasejarah dengan keadaan masa kini,
khususnya pada suku-suku bangsa tertentu. Teknologi etnik yang dimunculkan sebagai
contoh mengenai aspek-aspek teknologi yang berbeda-beda adalah dari suku-suku
bangsa: Mentawai, Senggi dan Waropen (keduanya di Irian), Sakai, Dayak Rentenukng,
Kubu, Talang Mamak, Sunda, Tengger, Banjar, Bugis, Madura, Nusa Tenggara Timur
(tak diberi rincian mengenai suku-suku bangsa mana), Bali, dan Jawa. Bab terakhir
mengenai “industri barang dan jasa” dikhususkan pada transportasi dan komunikasi.
Gambar-gambar yang disertakan mengenai transportasi sangat menarik karena banyak
yang sekarang sudah tidak ada lagi.
6
Demikianlah sekilas catatan mengenai delapan jilid buku Sejarah Kebudayaan
Indonesia terbitan tahun 2009 yang merupakan upaya nyata untuk memutakhirkan
pengetahuan khalayak pembaca pada umumnya. Buku-buku itu pun enak dilihat karena
rupanya telah diupayakan benar untuk menyertakan peta, skema, gambar dan foto yang
mendukung teks paparannya.
Direktorat Gografi Sejarah
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata