28
MAJALAH GANESHA ZINE #1 1

Zine 1/2016

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Zine Edisi 1 2016

Citation preview

Page 1: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 1

Page 2: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 2

MAJALAH GANESHA ZINE #1 Tim Publikasi Sunkencourt

Tata Letak: Kodir Jaelani Penyunting: Dodo Suratman

Publikasi Sunkencourt Copyleft 2016

www.majalahganesha.org

Page 3: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 3

LEILA S. CHUDORI – PULANG Oleh: Abdullah Faqih

Novel ini mengangkat tentang kisah kehidupan pada tiga peristiwa penting; G 30 S, revolusi mahasiswa di Paris 1968 dan era digulingkannya rezim Soeharto pada 1998. Ada dua orang tokoh utama dalam novel ini; Dimas seorang eksil politik Indonesia dan putri dari pernikahan Dimas dengan Vivienne Devraux yang cantik jelita, Lintang.

Di buku ini, alur cerita bermula dari Dimas seorang wartawan yang bekerja di kantor Berita Nusantara serta teman-teman sesama wartawan yang agak condong ‘kekiri’. Walaupun demikian Dimas bukanlah seorang yang pada waktu itu pemerintah sebut dengan ‘komunis’. Ia hanya tertarik dengan pemikiran kaum yang biasa disebut ‘komunis’ itu karena ia dekat dengan Hananto. Pada saat meletusnya peristiwa G 30 S, Dimas yang sedang berada di Chile terkejut ketika tempat kerjanya yakni Kantor Beritaa Nusantara digeledah. Alasannya, kantor berita tersebut berhaluan

kiri. Semua orang yang bekerja di kantor Berita Nusantara dicari dan diburu tak terkecuali Dimas maupun orang lain di Kantor Berita Nusantara yang sebenarnya tidak terlibat dalam pergerakan PKI. Efek dari itu, keluarga Dimas dan juga istrinya, Surti diintogerasi secara terus menerus perihal keberadaan serta aktifitas Dimas. Tidak berhenti sampai disitu, Dimas yang sedang berada di Chili kaget ketika mengetahui paspor dan kewarganegaraan mereka dicabut. Hal itulah yang membuat Dimas beserta ketiga temannya; Nugroho, Risyaf dan Tjai yang mereka sebut diri mereka sebagai “Empat Pilar Tanah Air” – terombang-ambing nasibnya di negeri orang. Pintu pulang ke tanah air pun tertutup. Keempat Plar Tanah Air tersebut kemudian singgah di daratan Eropa. Dimas bertemu dengan Vivienne Devraux, seorang mahasiswi di Perancis yang merupakan seorang mahasiswi yang lantang pada saat revolusi mahasiswa Paris 1968. Di saat keadaan yang serba tidak pasti sebagai eksil politik, Dimas menikah dengan Vivienne Devraux dan memilih meninggalkan Surti walaupun sangat mencintainya. Dari pernikahan tersebut lahirlah LIntang, seorang wanita blasteran yang cantik rupanya. Walaupun berkewarganegaran Perancis, Lintang sangat menyukai apapun yang berbau tentang Indonesia. Mulai dari makanan hingga tokoh pewayangan. Hal tersebut tidak lepas dari didikan Dimas. Walaupun seorang eksil politik ia tetap cinta

Page 4: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 4

Indonesia dan berkeingin suatu saat nanti ‘pulang’ kembali ke Indonesia. Lintang yang kemudian tumbuh menjadi wanita yang cerdas penasaran dengan keadaan ‘tanah air’ dari bapaknya itu. mengapa hal yang menyeramkan seperti diburu dan dicap sebagai eksil politik bisa terjadi pada ayahnya. Hal itulah yang kemudian menggerakkan hati Lintang untuk membuat film documenter tentang eksil politik yang dicap ‘komunis’ dari narasumber langsung di Indonesia. Namun, keinginan Lintang tersebut tak mudah terwujud. Pada saat setelah ia sampai di Jakarta, terjadi berbagai kerusuhan yang menuntut pada rezim yang berkuasa saat itu untuk mundur. Tak pelak, Lintang pun ikut serta dalam tragedi tersebut. Diakhir novel ini, Dimas berhasil mewujudkan keinginannya untuk ‘pulang’. Pulang selama-lamanya di taman pemakaman Karet. Dari aspek cerita, penokohan maupun Bahasa yang disajika sangat ringan untuk dibaca. Dalam novel ini juga, penulis mampu menswitch alur maupun tokoh yang berbeda dengan smooth dan tidak kau. Dengan berbagai nuansa romansanya, novel ini juga mempunyai sesuatu yang beda. Walaupun fiksi, bisa saja banyak orang-orang seperti Dimas maupun teman-temannya yang dicampakkan oleh negeri ini. Dicap sebagai ‘komunis’ dan direnggut hak-haknya untuk berkehidupan di negeri ini. Walaupun dalam benak mereka, mereka masih mencintai apa yang orang-orang sebut I N D O N E S I A.

Selamat Membaca!

Page 5: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 5

Sederhana Namun Manis Oleh: Arsha Maulana

“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Engga tau kalo sore. Tunggu aja.” (Dilan 1990)

“Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu nanti, besoknya,

orang itu akan hilang.” (Dilan 1990)

***

Kutipan di atas terletak pada cover buku yang saya ceritakan pada sesi “Ngemil Buku” Selasa kemarin di depan teman-teman Majalah Ganesha. Novel ini berjudul “Dilan” yang ditulis oleh alumnus FSRD ITB, Pidi Baiq. Percayalah, saya masih pemula dan belajar untuk menulis. Jadi harap maklum dengan apa yang anda baca di tulisan saya ini. Baiklah, biar saya lanjutkan untuk menuangkan pikiran saya terhadap novel ini. Cover biru pastel, gambar karikatur tokoh berseragam SMA, Kutipan kalimat seperti yang tertera di atas mungkin cukup menjelaskan bahwa novel ini berbau percintaan ataupun hal-hal yang bersifat romantis. Dalam ceritanya sang penulis menggunakan sudut pandang dari seorang wanita (Milea) dalam melihat keromantisan dan menjalani hubungan dengan seorang pria (Dilan). Cukup cerdas menurutku. Membuat cerita ini lebih romantis. Aku tidak yakin apabila cerita ini diubah menggunakan sudut pandang Dilan apakah kelak akan menjadi romantis atau malah narsis? hahaha karena banyak sekali hal-hal “manis” yang diucap maupun dilakukan Dilan dalam novel ini. Pertama membaca buku ini sempat bingung apakah novel ini tidak memiliki editor atau bagaimana? Karena bahasa yang digunakan apabila dibilang baku? Tidak. Tidak baku? Juga tidak. Rasanya seperti membaca draft sebuah novel yang masih “kasaran”. Tetapi setelah mengikuti jalan cerita nya, saya mengira Pidi Baiq sengaja menggunakan gaya bahasa yang sederhana tetapi cenderung agak “aneh” tersebut untuk membawa pembaca lebih bisa merasakan naik turunnya kehidupan Milea yang mana merupakan gadis SMA yang sedang jatuh hati. Baiklah, saya akan bahas sedikit isi dari novel ini. Yakni kisah Milea dan Dilan. Kisah seorang Dilan ketika berusaha mendekati Milea. Usaha Dilan untuk memberi perhatian istimewa kepada Milea. Hal-hal romantis yang dilakukan Dilan untuk mendapatkan hati Milea dengan cara-cara yang unik dan tidak biasa. Hal favorit yang ada di kisah ini menurut saya pribadi ketika Dilan memberi kado ulang tahun kepada Milea dan juga puisi-puisi yang ditulisnya. Silahkan anda baca sendiri apa yang sebenarnya terjadi dalam ceritanya hahahaha…. Percakaan-percakapan sederhana antara Dilan dan Milea yang seringkali tidak terpikirkan bahkan seringkali “jayus” membuat saya seringkali terhanyut dalam tawa dan romantisme yang dikemas secara sederhana tetapi cukup manis. Berlebihan? Ah biarlah, mungkin saya juga masih seperti ABG labil tetapi itulah yang saya rasa ketika

Page 6: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 6

membaca dialog mereka. Dalam novel ini selain dialognya yang sederhana, setting tempat dan waktu nya pun tidak rumit, hanya terbatas pada sekolah dengan detail, kelas, kantin, warung Bi Eem, kemudian jalanan di kota Bandung pada tahun 1990, rumah Milea, dan rumah Dilan. Tetapi hal tersebut tidak membuat saya bosan untuk melanjutkan membacanya hingga usai. Cukup segitu dulu lah yang bisa saya ceritakan sedikit tentang novel “Dilan”. Sebenarnya kisah ini bersambung dan dilanjutkan pada buku “Dilan” (bagian kedua) dengan kisahna yang tidak kalah menarik dari yang pertama. Bahkan kabarnya, Pidi Baiq sedang menulis buku berjudul “Milea” entah apa isinya, apakah cerita dari sudut pandang Dilan atau bagaimana, kita tunggu saja. Membaca buku ini membuat saya mengingat lagi masa SMA saya, mengingatkan saya terhadap cinta pertama saya saat itu hahaha. Novel ini enak kok untuk dibaca. Tidak terlalu tebal. Bahasanya juga sederhana. Jujur saja, bahkan menurut saya novel ini bisa dijadikan referensi kalian para pria yang melakukan PDKT terhadap seseorang dengan meniru usaha-usaha yang dilakukan Dilan terhadap Milea. Novel ini mengajarkan cara memberi perhatian terhadap seseorang yang istimewa secara sederhana, jujur apa adanya, unik, menghibur seperti apa yang dilakukan Dilan tehadap Milea sehingga novel ini sederhana namun manis.

Page 7: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 7

Aturan Kepemimpinan Oleh: Muhammad Ghiffari Alfarisy

Kalau kita mau nyoba ngulik-ngulik masalah kepemimpinan rasanya tak akan pernah ada habisnya. Ada banyak banget yang bisa kita kaji mengenai hal satu ini. Nah, selagi kepemimpinan di ITB lagi hangat-hangatnya dibicaraain kayaknya boleh kita bahas sedikit tentang hal ini. Karena saya baru selesai baca buku Didik Fotunadi, Revolusi dari Secangkir Kopi, maka saya ingin menyampaikan sedikit pengetahuan saya dan pesan beliau mengenai kepemimpinan.

Didik Fotunadi berpesan dengan enam belas aturan kepemimpinan. Masing-masing aturan tersebut dituliskannya ketika mengalami peristiwa-peristiwa penting semasa menjadi mahasiswa di ITB. Tapi sebelum saya bicara lebih jauh, saya mau ngenalin dulu siapa sih Didik Fotunadi, apa aja sepak terjang kemahasiswaannya dan apa aja aturan kepemimpinannya.

Sejak awal mahasiswa, Didik sudah menceburkan diri di dunia aktivis. Beberapa kiprahnya adalah Ketua Kaderisasi PSIK 1994, Danpus Diksar GEA 1994, Pemimpin Umum Majalah “Merdeka” 1995, Danlap OSKm ITB 1995, Ketua Satgas FKHJ dalam kasus pembelaan DO – Himafi 1995, Danlap Deklarasi KM ITB 1996, Ketua Himpunan HMTG “GEA” 1996-1997, Sekjen FKHJ 1996-1997, dan Tim Materi Satgas Reformasi Mahasiswa ITB ’98. Meski sejak mahasiswa akrab dengan isu politik, setelah lulus Didik

Page 8: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 8

tidak terjun ke dunia politik praktis dan lebih memilih berkarir sebagai professional. Dengan segala pengalamanya, kini ia diamanahi menjadi Vice President Corporate Enhancement di PT. Carsurin.

Nah, sekarang saya mau jelasin apa aja aturan kepemimpinan menurut Didik Fotunadi:

1. Kalau kita ingin maju aturlah teman dan orang-orang di sekitar kita Menjadi pemimpin bukan masalah mengatur diri sendiri aja bro, tapi pemimpin orang-orang sekitar juga. Makanya, bisa dibilang ini adalah DNA-nya seorang pemimpin.

2. Pemimipin harus satu atau dua tahap lebih maju dari anak buahnya. Kalua setara, ia tak akan diikuti. Kalau terlalu jauh, ia akan dianggap gila.

Pemimpin yang baik akan berada di depan dan dengan gagah perkasanya membukakan jalan untuk orang-orang di belakangnya. Tetapi, berada di depan bukan berarti memberi jarak yee. Seperti pepatah orang minang, Pemimipin didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting 3. Pemimpin harus rela berkorban demi keberhasilan dan pemimpin sejati dalam

hidup adalah bapak dan ibu kita. Nah, yang ini kayaknya udah gak perlu dijelasin lagi. Orang tua memang

menjadi orang yang paling berpengaruh dalam hidup kita. Pengorbanan mereka untuk anaknya nggak usah diraguin lagi. Dan yang pasti, beliau patut dihadiahi sebagai pemimpin sejati dalam hidup kita.

4. Kadang tidak penting seberapa cepat maju, yang lebih penting adalah

bagaimana terus melangkah dan melangkah. Konsistensi. Iya, intinya konsisten untuk terus bergerak. Masalah seberapa

cepat kita bergerak tidak begitu penting kalau hanya berupa gerakan awal doang dan selanjutnya malah melempem. Pemimpin yang bisa mengomandoi untuk terus maju dan terus menjadi lebih baik adalah pemimpin patut kita ikuti.

5. Dalam dunia media, bungkus lebih penting dari isinya. Buatlah yang heboh dan bikin orang penasaran, lalu sampaikan maksud dan tuntutannya, maka anda akan diberitakan.

Seorang pemimpin harus bisa mengatur cara komunikasinya agar bisa berjalan efektif. Salah satunya dengan memanfaatkan media yang ada. Untuk menarik perhatian publik, suatu gagasan harus dibungkus dengan ciamik. Tidak mudah memang tetapi disanalah dibutuhkan kreatifitas seorang yang berjiwa pemimpin.

6. Potong jalan kembalinya, maka akan terkondisikan pemimpin yang handal. Jika kamu ingin mencelupkan diri menjadi seorang pemimpin, intinya adalah

mencoba. Jika terus-terusan berteori tanpa mengambil amanah, kapan belajar mimpinnya -_- Dan ketika itu sudah dilakukan, jangan pernah melihat kebelakang. Vision is a must !

Page 9: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 9

7. Segenting apapun kondisinya, sebuah organisasi harus tetap menjalankan kaderisasi. Hal mendesak itu harus dilakukan sebab mempersiapkan generisasi penerus tidak boleh ditinggalkan.

Isu kaderisasi memang tak akan pernah habis dibahas apalagi di kampus Gajah. Begitu banyak tulisan, artikel, opini dan gagasan yang membahas masalah ini. Yang terpenting, apapun alasanya kaderisasi harus tetap dijalankan!

8. Jika ingin memimpin maka kuasai dan aturlah informasi. Jika ingin

mengalahkan musuhmu, maka putuskan akses informasinya. Di zaman sekarang informasi menjadi begitu dinamis dan strategis. Akses informasi begitu cepat tersebar bahkan dalam hitungan detik. Seorang pemimpin harus mampu menguasai akses informasi ini karena kalau tidak ya jangan berharap banyak deh.

9. Setelah semua keheroikan dan perjuangan dilakukan, saatnya memasuki tahap

esensi. Esensi memang akrab dengan setiap kegiatan kemahasiswaan. Kita akan selalu bertanya masalah esensi sebelum melakukan suatu kegiatan. Sebagai seorang pemimpin tanpa adanya esensi tidak akan mungkin dapat menggerakan massa. Mustahil.

10. Pemimpin harus tegas. Ada saatnya tidak melibatkan perasaan dalam

keputusan. Kadang tidak mudah membuat keputusan tanpa melibatkan perasaan. Nah, ini nggak mungkin bisa dilakukan oleh pemimpin “kemarin sore”. Makanya, mari belajar memimpin dari sekarang karena sebuah hikmat kebijaksaan lahir dari sebuah ketegasan yang murni.

11. Hal utama dalam kaderisasi adalah mengubah sudut pandang pemikiran, sebab

perubahan pemikiran akan mengubah segalanya. Proses pembinaan anggota baru memang menuai banyak cerita dan tanya. Untuk apa dilakukan? Bagaimana metodanya? Nilai-nilai apa yang akan diturunkan? Apa saja batasan-batasanya? dan masih banyak lagi. Tetapi, dengan segala constraint yang dihadapi, inti kaderisasi yang tidak boleh hilang adalah bagaimana mengubah sudut pandang anggota baru terhadap organisasi yang akan dimasukinya.

12. Seberat apapun tugas, jika didukung oleh jaringan yang kuat dan dilakukan

dengan team work, niscaya mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Pemimpin yang bekerja seperti “manajemen tukang sate” tidak akan pernah mencatatkan apa-apa. Makanya, hal pertama yang harus dibangun seorang pemimpin adalah tim yang tangguh. NB : Bagi kamu yang udah punya amanah jangan lupa catat ya !

13. Jangan sembarangan percaya pada orang yang baru dikenal.

Ini juga masalah di sebuah organisasi baik ketika mempercayai seseorang menjadi pemimpin ataupun ketika memasukkan seseorang ke dalam tim. Orang yang baru

Page 10: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 10

dikenal tanpa tahu bagaimana track record-nya akan sangat berbahaya terhadap kelangsungan organisasi. Hati-hati!

14. Sekali terjangkit, jiwa berani dan sikap pemimpin akan selalu melekat disana.

Hmm…Ini juga bagian dari kaderisasi. Jiwa-jiwa kepemimpinan tidak datang dan muncul begitu saja. Ada proses yang akan membentuknya. Namun, ketika proses tersebut dieksekusi dengan tepat bukan tidak mungkin dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Tepatnya, kaderisasi yang berkualitas akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas pula.

15. Mimpi bersama atau musuh bersama tak jauh berbeda, mampu melenyapkan

pertentangan sepele antaranggota dan akan segera menguatkan ikatan emosi satu sama lainnya.

One goal or one enemy is enough to unite. Kata-kata itu begitu menginspirasi dan seolah memimpin gerakan-gerakan mahasiswa di zaman orde baru. Mahasiswa dengan wana-warni almamaternya mampu bersatu dan membuat pergerakan yang menciptakan sejarah bangsa Indonesia. Nah, kalau zaman sekarang gimana ? itulah sebabnya,menjadi seorang pemimpin tidak mudah, harus tahu dengan hal tersebut dan juga harus bisa memanfaatkannya.

16. Kekuatan utama gerakan mahasiswa bukanlah pisau yang tajam ataupun

senapan, tapi moral dan hati nurani. Mahasiswa bukan berjuang dengan bedil, pisau, senapan atau apapun senjatanya. Tetapi, mahasiswa berjuang dan memperjuangkan kepentingan rakyat dengan moral dan hati nuraninya.

Oke, itulah enam belas aturan kepemimpinan Didik Fotunadi beserta sedikit ulasannya. Jika kita bisa memaknainya bukan tidak mungkin ada pencapaian besar yang akan kita dapatkan. Pencapaian yang ditaklukan oleh pemimpin-pemimpin terbaik. Pemimpin yang lahir dari proses panjang dan tempaan. Pemimpin yang bermental baja dan bersemangat tangguh. Pemimpin yang akan mengomandoi menuju kearah yang lebih baik. Pemimpin yang bisa mengatur dirinya, teman dan orang disekitar dengan aturan kepemimpinan.

Sekian, semoga bermanfaat

Page 11: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 11

Bersuara Dengan Berdiam Oleh: Hessel J. Wongkaren

Hari ini saya menton sebuah tayangan di televisi dan menyaksikan sekelompok orang untuk berdebat mengenai pendapat nya masing-masing. Orang-orang yang saya lihat ini terasa tidak asing di mata saya karena semenjak saya kecil orang-orang ini sudah sering tampil di televisi mengutarakan pendapatnya. Namun sejak kecil saya belum pernah mendengar sebuah berita tentang karya yang mereka lakukan dan yang ada hanya berita tentang pendapat mereka.

Menurut saya diam pun adalah sebuah kunci kesuksesan. Karena dengan berbicara lebih banyak maka kita akan sedikit mendengarkan. Sedikit mendengarkan maka kita sedikit tahu. Sedikit tahu maka pengetahuan sedikit pula. Semua itu berawal dari fokus mendengarkan. Mendapat pengetahuan tidak sesulit itu bukan?

“Diam Adalah Emas” Itulah kata-kata yang sering kita dengar waktu kecil dulu. Kitapun diciptakan Tuhan dengan memiliki 2 telinga satu mulut. Mendengar harus lebih sering daripada berbicara. Diam adalah emas oleh sebab itu marilah kita berbicara jika perkataan kita berharga melebih emas. Diam dan bicara semua berharga.

Tulisan saya diatas nampaknya cukup relevan dengan situasi era sekarang. Setelah kebebasan berpendapat terlihat sangat dibatasi pada zaman orde baru, euforia bersuara sangat terasa di era ini. Media-media dijejali dengan penuh banyaknya opini, komentar dan saling adu argumen. Pembuatan opini publik pada satu tujuan sangat mungkin terjadi . Semuanya pun tampak biasa saja.

Seharusnya ditengah kebebasan berpendapat kita harus lebih banyak hening, diam. Mendengarkan dan merenungkannya, setelah itu kesadaran diri kita akan terbentuk. Mulailah mengubah diri maka lingkungan secara kolektif akan berubah pula. Ternyata suatu hal yang besar itu bisa berawal dari hal sederhana yakni diam, hening, berpikir dan merenung . Kita bisa lihat ilmuan seperti Einstein dan Hawkin yang sering merenung dan berpikir sebagai buktinya.

Page 12: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 12

Curhat Cantik Untukmu Oleh: Atolah Renanda Yafi

Hai kau yang selalu didengungkan orang-orang sejak aku lahir sampai sekarang. Kau yang dianggap awal dan akhir dari segalanya, yang berhak mencipta dan memusnahkan, dan yang paling menyebalkan adalah semua orang harus patuh dan menyembahmu, seperti mainanmu saja. Sudah sering sekali aku melihatmu dalam berbagai simbol entah itu berupa patung, mahluk aneh, benda, gambar, imajinasi, kata-kata, nama, ataupun dalam hal sakral yang tidak boleh dibayangkan. Bahkan terkadang hanya karena beda simbol, orang-orang berdebat tentang dirimu padahal kau sebenarnya juga produk usang khayalan

mereka sejak ribuan tahun yang lalu, toh untuk apa juga berdebat perkara simbol? Toh semua simbol itu juga mengarah padamu walaupun secara eksoteris memang berbeda intepretasi. Aku sendiri sudah muak dengan semua itu, dari semua itu juga tidak ada yang benar-benar merupakan dirimu. Satu hal yang aku tahu, Kau tidak pernah ada kecuali karena aku percaya padamu. Sungguh jika kau benar-benar ada, aku ingin mengucapkan “aku percaya padamu, walaupun tidak ada hal yang membuktikan bahwa kau ada”. Cukuplah rasa percayaku yang membuatmu ada. Jika saja ada bukti yang bisa membuktikan keberadaanmu, tentunya aku akan mencari semua celanya. Aku yakin bahwa itu semua hanyalah pembenaran oleh manusia-manusia konyol yang tidak kuat akan ketiadaanmu yang mengada, cocoklogi dengan kitabnya, mengada-ada peristiwa-peristiwa tertentu, menyimbolkanmu dengan segala hal yang terlihat suci. Ah, omong kosong saja. Aku tahu kok, kau tidak pernah ada. Apa sih serunya percaya pada hal yang jelas adanya? Keberadaanmu yang selalu abstrak antara ada dan tiadalah yang selalu membuatku percaya padamu. Jika aku tidak pernah ragu padamu, aku pun tidak akan pernah bisa percaya. Sudah berapa penemuan di bidang ilmu apapun toh juga tidak pernah bisa membuktikan keberadaanmu. Pemikiran filsafatpun hanya bisa berhenti pada kepercayaan yang tidak jelas terhadapmu. Pada akhirnya malah ada manusia yang melarang untuk berpikir dan mepertanyakanmu, katanya hal itu terlalu berat dan bisa menimbulkan keraguan terhadapmu. Jika memang akal pikirku ini adalah hasil karyamu sendiri, akankah kau dimusnahkan olehnya? Bukankah jika aku terus-terusan mempertanyakanmu itu berarti aku mempunyai keinginan untuk mempercayaimu?

Page 13: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 13

Belum lagi urusan menyembahmu, terlalu banyak ritus tidak penting yang harus kulakukan entah dalam bentuk gerakan, ucapan-ucapan tidak jelas, perayaan, atau wisata ke tempat yang kau anggap sakral. Katanya jika aku tidak melakukannya nanti akan ada siksaan yang menunggu entah neraka atau karma tak berujung. Tentunya akan ada hadiah menanti juga jika aku patuh. Hei, katanya kau maha segalanya? Masih ingin disembah saja, dasar sombong! Apakah kau hanya ingin mempermainkan ciptaanmu dengan perintah berbumbu ancaman dan iming-iming? Kadang aku jadi tidak paham dengan penyembahmu. Mereka berpura-pura patuh kepadamu, menaati seluruh anjuranmu dan menghindari perintahmu. Toh beberapa dari mereka hanya ingin iming-iming telah kau janjikan. Lalu untuk apa menahan nafsunya jika ternyata hanya menunda nafsu untuk dipuaskan setelah kematian? Bukankah kau bilang sendiri bahwa ada hal baik untuk dunia ini dari setiap perintahmu? Toh aku yakin bahwa adanya diriku di dunia ini seharusnya bertujuan baik untuk semua hal di sekitarku, bukan sekedar menjadi budakmu dan menunda nafsuku agar setelah akhir hayat bisa kupuaskan seenaknya. Apakah kau memang menciptakan surga untuk orang-orang yang telah menunda nafsunya? Jika dulu saja akhirnya ada yang kau jatuhkan ke dunia hanya karena ingin memakan satu buah, bagaimana dengan orang-orang penuh nafsu ingin ke surga ini? Tidakkah akan hancur surgamu oleh seluruh hawa nafsunya? Mungkin neraka akan lebih harum dengan orang-orang yang ingin bertobat dalam siksaanmu. Perkara ritus aku hanya bisa menyerah pada rasa cinta kepadamu saja. Mungkin lebih baik jika aku menyembahmu dengan rasa cintaku, membagikan kebahagiaan dan kemakmuran pada sekitar. Toh, sepertinya lebih menyenangkan untuk membuat dunia ini lebih baik daripada sekedar mengeruk pahala. Jika nantinya apa yang kulakukan tidak sesuai dengan apa yang disyiarkan oleh orang-orang yang katanya telah kaupilih,aku hanya bisa pasrah. Jika memang nanti kau lebih memilih diriku untuk menghuni nerakamu, mungkin menikmati siksaanmu nantinya adalah sebuah bentuk cintaku padamu. Jika memang surga yang kauberi, aku hanya ingin bertingkah seperti di dunia, membuatnya lebih indah dan tidak menghancurkannya dengan nafsuku. Aku lebih berharap bahwa surga ataupun nerakamu itu tidak ada, seperti aku membuktikan bahwa dirimu juga tidak ada. Toh, kehidupan setelah kematian juga belum tentu ada. Bisa saja itu semua hanya angan-angan dari orang-orang yang tidak puas dengan hidupnya di dunia yang terbatas. Keabadian waktu? Itu semua fana, toh jika semua memang berasal dari ketiadaan seharusnya aku pun menjadi tiada lagi dan bersatu denganmu yang memang tidak pernah ada. Cintaku padamu hanya perkara percaya saja Tidak akan pernah menjadi hal yang kongkrit Dan berakhir dengan meleburnya kita pada ketiadaan

Page 14: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 14

Page 15: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 15

Mengejar Kenikmatan Oleh: Atolah Renanda Yafi

Selalu dalam hidupku aku merasa bahwa apa yang aku jalani sebenarnya adalah

memakan sebuah adonan dengan berbagai macam rasa. Selalu saja hatiku terpaksa

merasakan berbagai macam warna-warni kehidupan hanya karena otakku yang tidak

bisa untuk selalu berada pada frekuensi yang sama dengannya. Nikmat, sakit, getir,

legit, atau apapun nama perasaan itu telah dirasakan oleh hatiku dalam berbagai fasa

di kehidupan ini, tanpa ada protes untuk mengakhirinya sama sekali. Betapa hebatnya

ia, tak seperti lidahku yang terkadang masih saja ingin menolak panganan walaupun

perutku terus-terusan meronta untuk diisi. Andai saja hatiku tiba-tiba meronta untuk

menolak rasa-rasa dalam kehidupan, tak ayal juga bahwa nantinya aku hanya

menjalani tanpa rasa sama sekali. Hampa, tak sakit dan juga tak nikmat tapi sangat

perih bagi sukmaku yang masih harus bergelut dengan dunia. Mungkin rasa sakit hati

lebih nikmat daripada tidak merasakan dalam kehampaan, gelap, entahlah.

Sempat diriku berpikir dan bercengkerama dengan otakku, sebenarnya rasa apakah

yang aku inginkan selama ini ? Sudah terlalu banyak rasa yang aku konsumsi selama

dua dekade aku menikmati hayatku ini. Tapi rasanya masih belum sampai saja hatiku

pada sebuah rasa yang ia inginkan. Terkadang hal ini malah terasa sangat aneh ketika

semua realita direfleksikan oleh hatiku secara non-linear. Semua bayang-bayang

kebahagiaan yang aku raih malah menjadi rasa perih dan penyesaan mendalam

dengan jangka waktu yang lama, sedangkan saat aku terjatuh pada sebuah kegagalan

duniawi, hatiku tiba-tiba saja mengeluarkan semburat warna-warna cerah layaknya

kelir makanan anak-anak yang penuh pewarna buatan. Sepertinya dunia hanya bisa

geleng-geleng saja melihat semua refleksi kehidupan yang ditunjukkan oleh hatiku.

Tunggu dulu, apakah hati-hati yang lain juga melakukan hal yang sama ?

Page 16: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 16

Aku rasa bukan sebuah kemunafikan lagi jika orang-orang di dunia ini menginginkan

kebahagiaan dalam hidupnya. Toh jika memang mereka memperoleh sebuah

kebahagiaan, hati maupun otak mereka seharusnya berada pada frekuensi yang sama

sehingga sukma mereka bisa berleha-leha di atas ranjang kehidupan. Aku rasa apa

yang dicapai otakku untuk mendapat suatu kebahagiaan bukanlah suatu kebahagiaan

yang dituju oleh hatiku.

Pernah sekali waktu aku dapati mereka berdua sedang mencari sintesis mengenai

kebahagiaan sejati. Terkejut sekali diriku ketika mendapati otakku mengaku bahwa

apa yang ia pikirkan sekarang seringkali melenceng dari pemikiran naif tentang

kebahagiaan. Ia mengaku bahwa dirinya terlalu sering mendapat pengaruh dari dunia

luar yang membuatnya lupa dengan tujuannya sendiri untuk berpikir. Ia berpendapat

bahwa kemerdekaannya dalam berpikir telah dijajah oleh berbagai hal yang ada di

dunia. Ilmu yang seharusnya merupakan makanan dalam perkembangannya sebagai

sebuah alat pemikir yang merdeka telah diperkosa oleh berbagai korporasi. Semua hal

yang saat ini menamakan dirinya sebagai ilmu ternyata hanyalah alat-alat pemanja

otak, semakin sering mereka dikonsumsi semakin lumpuhlah otak dalam berpikir

secara merdeka, bahkan secara tak sadar otak telah berpikir pada sebuah alur yang

sudah disiapkan ilmu-ilmu palsu ini. Layak saja aku sering menyaksikan orang-orang

yang sedang berperan di dunia sebagai pencari ilmu malah berakhir sebagai insan

yang tidak merdeka, mereka yang seharusnya bisa mengendalikan ilmu malah

berakhir sebagai budak-budak dari ilmu tersebut, untung saja citra mereka tidak

memalukan karena otak-otak yang lain juga telah dijajah untuk mengapresiasi atau

bahkan mengikuti jejak orang-orang seperti ini.

Setelah berpikir sedemikian rupa, otakku meminta maaf kepada hati atas kenaifannya

selama ini yang malah tidak secara merdeka mengendalikan ilmu untuk mencapai rasa

yang diinginkan hati. Otakku terus-terusan melakukan penyesalan atas apa yang telah

ia lakukan selama ini, terlalu terbuai dengan kesombongan memperoleh ilmu sampai-

sampai ia tak sadar bahwa dirinya telah terkubur dalam keadaan hina oleh ilmu-ilmu

yang ia kumpulkan. Bukannya memerdekakan dirinya sembari mengumpulkan ilmu,

yang ada malah otakku terus-terusan mengonsumsi ilmu sampai-sampai ia sendiri

yang yang terkonsumsi oleh ilmu-ilmu itu. Dalam tangisnya yang sangat logis otakku

terus-terusan meminta maaf kepada hatiku karena ia tak pernah bisa memuaskan hati

pada rasa yang sebenarnya ingin mereka capai bersama-sama.

Dalam ibanya hati mengusapkan sebuah senyum pada otak. Ia memancarkan emosi

senang atas tersadarnya otak dalam lingkaran ilmu-ilmu semu yang membawanya

pada ruang kebodohan. Tetapi aku masih merasa ganjal saja dengan semua ini,

sukmaku berkata bahwa masih ada yang salah dengan keadaan ini. Apakah diriku

masih tersesat saja jika otakku sudah merdeka ? bukankah dengan merdekanya

pikiranku berarti aku bisa melihat dunia ini dengan lebih jernih ? bukankah dengan

begini aku bisa mengejar rasa yang sebenarnya diinginkan oleh hatiku ? Apakah

kemerdekaan pikiran masih kurang ? Terus-terusan aku paksa otak untuk berpikir

tentang hal ini, melihat hati yang masih saja kurang puas atas segala maaf yang telah

disampaikan oleh otak. Hanya rasa iba saja yang ia berikan pada otak, senyumpun

Page 17: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 17

hanya digunakannya agar otak segera lepas dari penyesalannya. Makin pusing saja

aku memikirkan hal ini, tiba-tiba aku berpikir dan mencoba tuk membayangkan orang-

orang yang sepertinya telah mendapat kebahagiaan. Akankah aku mendapat rasa

seperti mereka ? Kucoba hatiku untuk merasakan fantasiku atas kehidupan orang-

orang yang terlihat bahagia itu. Mungkin saja nikmat-nikmat itu perlahan bisa

kurasakan, tapi toh hatiku malah menunjukkan kekosongan saja dengan semua

bayangan ini. Aku hanya bisa muak dengan semuanya ketika kulihat otakku malah

merasa semakin bodoh karena ia tidak tahu ilmu mana yang bisa membuatnya

merdeka layaknya orang-orang cerdas, sedangkan hatiku yang masih saja tak

menunjukkan padaku rasa puas atau bahagia.

Diriku merasa muak dengan semua ini. Mana mungkin kita terus-terusan mengejar

kenikmatan jika harus meniru orang-orang. Terus-terusan menuruti apa yang

disajikan oleh papan-papan iklan pada semua panca indra kita. Mau semerdeka

apapun otak kita, kebahagiaan pastinya tidak bisa tercapai jika hati kita masih terus-

terusan menginginkan refleks-refleksi seperti ini. Toh membayangkannya saja hanya

akan membawa kita pada sebuah kehampaan yang memuakkan. Sampai saat inipun

kita juga tidak tahu apakah aktor-aktor yang memerankan konsepsi kebahagiaan itu

benar-benar berada pada sebuah kebahagiaan atau hanya memakai topeng agar kita

punya niatan untuk meniru mereka. Aku takut nantinya hatiku malah tersiksa ketika

ia melihat begitu banyak kenikmatan. Nikmat yang terlalu berlebih pasti secara

perlahan akan menyakiti hatiku. Jangan-jangan nantinya aku malah kehilangan rasa-

rasa yang lain jika aku terjerumus pada nikmat duniawi, atau aku akan menjadi orang

tidak bisa merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain.

Masih dalam sadarku aku menanyakan rasa pa yang sebenarnya aku inginkan, dan

seperti apa sebenarnya aku harus memikirkan semua ini. Jangan-jangan aku terlalu

sibuk untuk merasakan maupun memikirkan semua refleksi yang ditawarkan oleh

dunia. Apalah artinya kebebasan dan kemerdekaan jika aku malah mencari-cari

segala persepsi tidak pasti ini. Kapan hati dan otakku akan merdeka jika aku terlalu

menuntut mereka untuk menuruti apa kata dunia ? Bukankah bersyukur sudah bisa

membuat diriku terus-terusan hidup ? jangan-jangan bahagia yang selama ini

kuinginkan adalah perpaduan dari semua rasa senang maupun sedih yang aku

konsumsi secara berkala ? bukan senang melulu maupun sedih tak berhingga. Hatiku

sudah terlalu buta oleh semua ini, terlalu banyak impian-impian kebahagiaan semua

yang meracuninya. Aku hanya bisa berharap, semoga jiwaku bisa merdeka tanpa

harus melalui dialektika hati dan otak yang tak berujung, apalagi jika yang dipakai

sebagai bahan perdebatan mereka hanyalah refleksi dari kehidupan semu orang-

orang di luar sana. Aku hanya bisa berharap mendapati diriku ini seorang yang bodoh

dan belum merdeka, agar otakku terus mencari ilmu dan berusaha memerdekakan

dirinya, dan memperoleh rasio cukup atas semua yang aku miliki, agar hatiku tahu

bahwa semua rasa bisa menjadi sebuah kebahagiaan jika ia mau mengonsumsinya

dengan bumbu syukur.

Page 18: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 18

Secangkir Teh untuk Tuan Oleh: Pute

Tuan, Izinkan Hamba untuk membuatkan Tuan secangkir teh. Hanya saja, untuk kali ini, Hamba ingin Hamba yang menentukan semuanya. Karena terukir di bibir Tuan, Terserah.

Tuan, Apa yang Tuan sukai dari dunia ini? Kemegahan? Atau kesederhanaan? Tentu, Hamba lihat, Biar Hamba ambilkan cangkir yang bertabur emas, Dengan ukiran rumit disekeliling bibir cangkir, Dengan teko yang mirip pula.

Tuan, Apakah yang diinginkan Tuan adalah Kenikmatan yang ada setelah Tuan menelaah? Atau kemanisan sekejap yang langsung sampai? Ah, tentu, Hamba amati. Segera Hamba tuangkan sesendok gula. Tidak, dua sendok. Hingga dasar dari cangkirmu, Tuan, Bertabur putih.

Tuan, Bagaimana Tuan menikmati hidup? Meresapi seluruh kehidupan Tuan, atau, Menikmati yang ada di depan mata seketika? Tentu, Hamba berpikir, Biar Hamba ambilkan sekantung teh, Yang siap diseduh di dalam teko, Tanpa perlu Tuan menunggu.

Ah, Jikalau Tuan menikmati kesederhanaan,

Tentu kusingkirkan cangkir emas Tuan, Dengan cangkir kaca bening.

Sederhana, namun tetap apik. Karena apik bukanlah mewah Dan mewah bukanlah apik.

Jikalau Tuan menelaah, Tentu Tuan mengerti Mengapa gumpalan gula mampu merusak Secangkir teh di genggaman Tuan. Begitu pula dengan Tuan sendiri. Perut Tuan membuncit, Jantung Tuan berdetak lebih kencang, Merasuki setiap kebaikan yang ada Dalam diri Tuan.

Jikalau Tuan meresapi, Tentu Tuan mengerti Kalau asap yang membumbung Dari rendaman rempah Adalah hal yang menemani Tuan Saat menunggu Hingga airnya mengeruh.

Jadi, Tuan, Pun cara Tuan menikmati hidup, Hidup hanyalah keindahan semata. Utopis memang jika Tuan mengharap Hidup adalah manis, Di saat manis bukanlah indah. Dan indah bukanlah manis.

Page 19: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 19

Page 20: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 20

Dosa, Kota, dan Kenangan: Menengok Halaman Belakang Surabaya Oleh: Muhammad Rushdie

Tidak banyak band yang mencuri hati (dan telinga) saya di kali pertama saya mendengar lagu mereka diputar. Entah karena selera musik saya yang ketinggian saya yang susah suka sama band tertentu atau saya kekurangan referensi musik bagus. Duo folk asal Surabaya, Silampukau, menjadi salah satunya. Semua berawal dari cuitan @armandhani yang memuja - muja album baru dari Silampukau: Dosa, Kota, dan Kenangan. Tentu saat itu saya tidak langsung percaya dan setuju soal rekomendasi Arman Dhani

soal musik, karena sebelumnya, ternyata selera musik kami tidak cocok. Maka sebagainetizen yang baik saya langsung mengecek keabsahan twit Dhani di Youtube. Dan ternyata kali ini, saya mesti setuju dengan Arman Dhani. Saya malah ikut - ikutan memuja dan merekomendasikan duo ini ke kawan - kawan saya. Bedanya, tak satu pun dari kawan saya yang suka sama Silampukau ini. So sad :( . Susahnya punya selera musik tinggi beda. Di album ini Silampukau memerankan peran seorang storyteller. Mereka menceritakan kehidupan di Surabaya dari sudut yang mungkin jarang diketahui orang yang bukan asal Surabaya. Karena mungkin, kita -orang yang bukan asli sana- hanya tahu Surabaya dari walikotanya yang hits itu.

Silampukau pada lagunya yang berjudul “Malam Jatuh di Surabaya” bercerita bagaimana kehidupan di jalanan Surabaya di jam pulang kerja yang bising dengan deru mesin kendaraan dan umpatan para pengendaranya. Lalu dengan apik diselipkannya satu kalimat yang begitu dahsyat di dalamnya: “Tuhan kalah di riuh jalan”.

Di lagu yang berlatar Surabaya lainnya, mereka bertutur tentang seorang perantau yang gagal mengadu nasib di Surabaya dan rindu kampung halaman. Dolly, pusat prostitusi legendaris di Surabaya, juga tak lupa diceritakan oleh duo yang digawangi Kharis dan Eki ini.

Lalu, ada lagu kesukaan saya: “Puan Kelana”. Temanya memangmainstream yaitu, cinta-cintaan. Tentang sepasang kekasih yang kudu pisah karena salah satu dari mereka pergi ke Paris. Bedanya dengan lagu cinta-cintaan lainnya, lagu ini gak fokus di cinta-cintaan tadi (loh?). Ya. Silampukau berkisah juga berkisah bahwa

Page 21: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 21

sesungguhnya Surabaya, Paris, dan tempat lainnya di dunia ini ya sama saja. Bahwa anggur di Paris dan anggur di Surabaya ya sama memabukkannya. Bahwa hujan di Paris dan di Surabaya ya sama mengagumkannya. Bahwa baik di Paris atapun di Surabaya luka dunia ya sama sama saja. Saya perlu menggarisbawahi soal storyteller di atas. Karena Silampukau adalah sebenar - benarnya pencerita di album ini, tidak kurang atau lebih. Mereka bercerita, tapi tidak memberi kritik kritis atas apa yang mereka ceritakan. Mereka bukan Efek Rumah Kaca. Mereka berhenti pada batas menceritakan apa yang mereka lihat dan rasakan.

Kekuatan Silampukau pun tanpa diragukan adalah pada lirik yang mereka ciptakan. Di samping lirik yang sederhana dan ngena, mungkin ini berlebihan. Tapi saya melihat Eka Kurniawan di lirik awal beberapa lagu mereka. Tentu bukan dari sisi diksi atau gaya menulis dari Eka Kurniawan yang saya tangkap. Lebih ke bagaimana Silampukau memiliki lirik pembuka yang mencuri perhatian di beberapa lagunya, sama seperti Eka di tiap novelnya. “Hidup ini memang keras, apa salahnya kujual miras?” di pembuka lagu “Sang Juragan” atau “ Waktu memang jahanam, kota kelewat kejam, dan pekerjaan menyita harapan.” di “Lagu Rantau” adalah apa yang saya maksud.

Intinya, mendengarkan album ini, kamu seperti diajak melihat halaman belakang dari Kota Surabaya. Kamu akan diberitahu soal hal-hal yang tidak bisa kamu lihat dari teras depan sebuah rumah bernama Surabaya ini. Hal-hal yang hanya akan kamu tahu jika kamu masuk dan melihat sendiri halaman belakang itu, atau cara lainnya tanpa melalui cara pertama tadi: diberitahu/diceritakan oleh penghuni rumah tersebut. Tentunya bukan oleh sembarang penghuni, tapi oleh penghuni yang mampu berkisah melalui melodi dan lirik yang Maha Asyik.

Oh ya. Dan tentunya sebagai bentuk apresiasi terbesar yang dapat saya berikan kepada duo ini, saya membeli album fisik originalnya looh. Ya meski sebelumnya saya sudah dengar semua lagunya di Youtube.

Page 22: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 22

SETIA Oleh: Dharma Kurnia Septialoka

Aku yang setia

Setia untuk cintanya

Menunggu dan berharap dia tuk kembali

Tapi dia tak pernah kembali

Ku coba membuka hati

Tapi ku tak mampu

Hati ini selalu untukmu

Pedih

Perih

Sakit yang tak dapat ku obati

Kini s’lalu membayangi

Kenapa kau tinggalkan luka ini

Luka yang teramat sakit

Kadang ku berpikir

Mungkin kau sudah bahagia

Tapi, kenapa ku s’lalu menunggu hari itu

“cintanya tak sebesar cintaku”

Ku sadarkan hati

Tapi ku tak dapat membohongi hati

Tolong aku Tuhan

Jangan biarkan ku mengagungkan cintanya

Cinta yang hanya bekaskan rasa sakit

Karna sesungguhnya cinta-Mu lah yang tak pernah membuatku sakit..

Page 23: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 23

Page 24: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 24

Tertabrak Dinding Persepsi

Oleh: Reynaldi S. N.

Hai kamu yang mungkin sedang berada di depan monitor, membaca tulisan ini. Aku ingin menyampaikan draft-draft pemikiran yang sudah berseliweran di kepalaku. Sayangnya draft itu tidak pernah menjadi ucapan nyata saat aku bertemu denganmu ataupun tulisan utuh saat aku menyentuh media tulis. Kenapa ya kira-kira? Ah sudah tulis sajalah pikirku, biarkan saja mengalir, kecuali ada typo yang krusial. Toh yang penting pesanku bisa sampai, setidaknya sebagian, dengan cara menulis.

Ya, menulis. Aku berharap sepenuh hati, bahwa kamu yang membaca ini di depan layar smartphone, laptop, atau apalah itu gadgetnya, bisa mengerti apa yang aku maksud. Tapi aku kembali memutar otak, apakah ini cara berkomunikasi yang benar-benar baik? Simbol-simbol yang ada pada layar kaca yang sedang kamu tatap ini hanyalah simbol tanpa arti bernama huruf. Manusia lah yang memberi huruf ini arti. Arogan sekali ya, kita merasa bisa memberikan arti pada suatu benda mati. Untungnya semua manusia senaif itu memaknai simbol. Kita menjadi berani berkomunikasi satu sama lain dengan media tulis, tanpa takut dengan kemungkinan akan hilangnya makna yang ditangkap pembaca. Luar biasa.

Ah, andai berpegangan tangan seperti pada film PK bisa membuat kita bertelepati dengan sempurna. Sungguh, aku meragukan keefektifan simbol yang sekarang kamu sedang baca ini, dalam menyampaikan pesanku. Bisa saja kata ‘aku’ dan ‘kamu’ yang

Page 25: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 25

kamu kirim terasa lumrah bagimu. Tapi bagiku, dua kata pada layar kaca ini merupakan kebahagiaan sesaat yang bisa membuatku lupa akan ironi dunia. Padahal mungkin maksud kamu mengirimkan dua kata tersebut hanyalah sebatas sebutan biasa saja, tanpa makna istimewa di dalamnya. Toh memang bahasa menulis sehari-harimu seperti itu. Sedangkan aku hanya terpaku kepada kata ‘gue’ dan ‘lo’ untuk menghilangkan rasa intim dalam sebuah sebutan. Pesan yang dikirim secara tertulis memang sulit ditebak ya.

Sempat terpikir, bagaimana apabila aku berbicara via telepon? Ah tapi, ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuhku tidak akan bisa kamu lihat. Walaupun tidak ada simbol berupa huruf yang terlibat di dalam percakapan itu, kamu tetap akan terpaku pada intonasi, warna suara dan pemilihan kata. Aku sedih, suaraku bukanlah suara mas-mas yang ada di iklan permen penyegar tenggorokan. Sekat berupa persepsimu akan warna suara itu menghalangi pemikiran asli yang ingin kusampaikan. Kesedihanku bertambah saat muncul pertanyaan, bagaimana caranya mengekspresikan pemikiran yang begitu kompleks ini ke dalam kata-kata tanpa menyempitkan maknanya? Koleksi kataku saja sangat sedikit. Tidak semua kata dalam KBBI aku kuasai. Bahasapun aku hanya bisa hitungan jari.

Baiklah sepertinya memang cara terbaik untuk menyampaikan pemikiran ini adalah dengan berkomunikasi langsung tanpa alat bantu komunikasi buatan manusia. Eh, aku masih ragu juga sih. Gestur mengangkat jempol saja berbeda arti di negaraku dan negara lain. Iyasih, memang ada ekspresi universal seperti tertawa. Tapi jujur saja, aku tidak sepeka itu untuk menyadari arti dari setiap mimik wajah yang kamu buat. Kutengok media sosial, ternyata sudah banyak juga bercandaan yang muncul atas ketidakpekaan ini. Rupanya banyak juga yang sepertiku.

Tapi apa daya? Pemikiranku selalu tertabrak dinding persepsimu. Padahal aku hanya ingin menyampaikan satu hal yang sangat kompleks, namun biasa dirangkum dalam satu kalimat yang dengan catchy:

Gue naksir lo nyet.

Page 26: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 26

Page 27: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 27

Page 28: Zine 1/2016

MAJALAH GANESHA ZINE #1 28