77
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan tanaman semusim seperti jagung di Propinsi Bali dirasakan sudah cukup mendesak, sejalan dengan meningkatnya konsumsi bahan makanan dan kebutuhan industri dengan bahan baku dasar jagung. Jagung merupakan sumber karbohidrat yang dapat berfungsi sebagai pengganti bahan makanan pokok seperti beras. Permintaan terhadap kedua komoditas ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat maupun untuk industri makanan. Di lain pihak, produksi jagung saat ini masih belum mencukupi sehingga Pemerintah harus mengimpor setiap tahun dari luar negeri (Simatupang dkk., 2005; Adri dan Endrizal, 2009). Tanaman jagung mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan di lahan kering, baik sebagai tanaman tunggal maupun tumpangsari. Sebagian besar jagung yang diusahakan di lahan kering biasanya digunakan untuk mengatur pola tanam (Margaretha dan Fadhly, 2010). Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi terbatasnya produksi jagung adalah melalui kegiatan ekstensifikasi ke lahan-lahan kering. Pemetaan daerah-daerah yang potensial untuk pengembangan tanaman jagung sangat diperlukan di samping perlunya optimalisasi penggunaan sumber daya pertanian yang ada terutama lahan dan air. Salah satu kawasan lahan kering yang cukup potensial dan banyak tersedia untuk perluasan areal pertanaman pangan di daerah Bali adalah lahan kering Gerokgak

(Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan tanaman semusim seperti jagung di Propinsi Bali

dirasakan sudah cukup mendesak, sejalan dengan meningkatnya konsumsi

bahan makanan dan kebutuhan industri dengan bahan baku dasar jagung.

Jagung merupakan sumber karbohidrat yang dapat berfungsi sebagai pengganti

bahan makanan pokok seperti beras. Permintaan terhadap kedua komoditas ini

cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat

maupun untuk industri makanan. Di lain pihak, produksi jagung saat ini masih

belum mencukupi sehingga Pemerintah harus mengimpor setiap tahun dari luar

negeri (Simatupang dkk., 2005; Adri dan Endrizal, 2009).

Tanaman jagung mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan di

lahan kering, baik sebagai tanaman tunggal maupun tumpangsari. Sebagian besar

jagung yang diusahakan di lahan kering biasanya digunakan untuk mengatur pola

tanam (Margaretha dan Fadhly, 2010). Salah satu upaya yang dapat dilakukan

dalam mengatasi terbatasnya produksi jagung adalah melalui kegiatan

ekstensifikasi ke lahan-lahan kering. Pemetaan daerah-daerah yang potensial

untuk pengembangan tanaman jagung sangat diperlukan di samping perlunya

optimalisasi penggunaan sumber daya pertanian yang ada terutama lahan dan air.

Salah satu kawasan lahan kering yang cukup potensial dan banyak tersedia untuk

perluasan areal pertanaman pangan di daerah Bali adalah lahan kering Gerokgak

Page 2: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

2

yang merupakan salah satu wilayah lahan kering yang potensial untuk

pengembangan tanaman pangan, terutama jagung.

Pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman pangan di Propinsi

Bali digolongkan ke dalam dua tipe, yaitu pertanian tanaman pangan lahan basah

yang diperuntukkan bagi tanaman padi sawah dan pertanian tanaman pangan

lahan kering yang diperuntukkan bagi tanaman palawija, hortikultura atau

tanaman pangan lainnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali

(2011) dan Bapeda Provinsi Bali (2009), menunjukkan bahwa dari luas wilayah

563.666 hektar, sekitar 481.367 hektar (85.40%) merupakan lahan kering. Daerah

Gerogak yang meliputi luas 27.498 hektar seluruhnya merupakan lahan kering

dengan potensi lahan marginal.

Daerah Gerokgak dengan kondisi alam yang relatif kering dengan curah

hujan yang terbatas mengakibatkan sektor pertanian di daerah ini kurang

berkembang dan tertinggal dengan daerah lainnya di Bali. Masalah utama di

daerah Gerokgak yang dihadapi dalam peningkatan pemanfaatan lahan kering

adalah masalah keterbatasan air, pertanian yang kurang atau tidak intensif,

rendahnya pendapatan petani, rendahnya produktivitas lahan, padahal sebagian

besar sumber mata pencaharian penduduknya adalah bertani.

Petani lahan kering di Bali selalu dihadapkan kepada gagal panen akibat

belum dimanfaatkannya sumberdaya iklim secara maksimal. Hasil penelitian

Sumiana (2012), menunjukkan bahwa selama lebih dari satu dekade terakhir di

Bali telah terjadi perubahan pola curah hujan. Hasil penelitian ini juga

mengungkap bahwa perubahan pola curah hujan yang telah terjadi di Bali telah

Page 3: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

3

menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam. Hasil penelitian Daryono (2003),

mengungkap bahwa zona agroklimat di Pulau Bali sudah banyak mengalami

perubahan. Berdasarkan fakta ini, maka petani lahan kering yang masih

menggunakan teknik bercocok tanam secara tradisional selalu dihadapkan kepada

kemiskinan akibat seringnya gagal panen karena ketidak tahuannya informasi

iklim terkini. Guna menunjang keberhasilan pertanian lahan kering, sangat perlu

dilakukan kajian tentang aspek perubahan pola curah hujan dan tipe iklim untuk

penentuan awal tanam tanaman jagung.

Hasil kajian implikasi perubahan pola curah hujan terhadap waktu tanam

tanaman jagung diharapkan dapat menjawab permasalahan waktu tanam terkait

dengan fenomena perubahan pola curah hujan di Pulau Bali. Berdasarkan latar

belakang tersebut di atas, maka penelitian yang berjudul: ”Implikasi Perubahan

Pola Curah Hujan terhadap Waktu Tanam Jagung Pada Lahan Kering di Daerah

Gerokgak Kabupaten Buleleng” menjadi penting untuk dilaksanakan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian

terhadap “Implikasi Perubahan Pola Curah Hujan Terhadap Waktu Tanam Jagung

(Zea mays L.) Pada Lahan Kering di Daerah Gerokgak Kabupaten Buleleng,”

yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 30 tahun dari

tahun 1981 – 2010?

Page 4: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

4

2. Apakah terjadi perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak selama

15 tahun dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010?

3. Apakah terjadi perubahan pola tipe iklim di daerah Gerokgak selama 15

tahun dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010?

4. Bagaimana implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim

terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah diuraikan di atas, maka

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 30 tahun dari

tahun 1981 - 2010.

2. Mengetahui perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 15

tahun dari periode 1981-1995 ke peride 1996-2010.

3. Mengetahui perubahan tipe iklim di daerah Gerokgak selama 15 tahun

dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010.

4. Mengetahui implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim

terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi para petani

dan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah

Kabupaten Buleleng khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan

Page 5: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

5

terkait dengan informasi perubahan pola curah hujan dan implikasinya

terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.

2. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengantisipasi risiko

kegagalan panen akibat berubahnya pola curah hujan di Daerah

Gerokgak.

3. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengetahui waktu tanam

jagung yang tepat.

4. Meningkatkan produktivitas pertanian lahan kering, meningkatkan

pendapatan petani dan dapat menunjang penelitian - penelitian lain

yang berhubungan dengan iklim di Pulau Bali.

Page 6: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Lahan Kering

Lahan kering di Bali sangat luas dan memiliki potensi sumber daya alam

yang cukup besar, namun hingga saat ini belum seluruhnya dapat diberdayakan

secara optimal. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali (2011) dan

Bapeda Provinsi Bali (2009), menunjukkan bahwa dari luas wilayah 563.666

hektar, sekitar 481.367 hektar ( 85,40%) merupakan lahan kering. Distribusi lahan

kering di Bali sebagian besar terletak di bagian Timur dan Utara, dengan luas

sekitar 2.181,19 km (38,7) (Gambar 2.1).

Gambar 2. 1. Kawasan Lahan Kering di Provinsi Bali (Bapeda, 2009)

Kendala usahatani lahan marginal adalah kurangnya ketersediaan air dan

miskinnya unsur hara pada lahan tersebut. Musim tanam yang pendek dan curah

hujan yang tidak menentu sangat membatasi peningkatan intensitas penggunaan

P. N usa Penida

P. Lem bongan

P. C eningan

P. M enjangan

P. Serangan

S A M U D E R A I N D O N E S I A

S E

L A T

B A

L I

L A U T B A L I

S

E

L

A

T

L

O

M

B

O

K

S E L A T B A D U N G

KABUPATEN BULELENG

KABUPATEN TABANAN

KABUPATEN JEMBRANA

KABUPATEN KARANGASEM

KABUPATEN

BANGLI

KABUPATEN

BADUNG

KABUPATEN

GIANYAR

KABUPATEN KLUNGKUNG

KOTA

DENPASAR

N

10 0 10 KM9°00'

8°30'

8°00'

114°30'

115°00'

115°30'

Lahan Kritis

Kritis

Potensial Kritis

Page 7: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

7

lahan. Penerapan pola usahatani terpadu dengan memperhatikan aspek iklim

sangat diperlukan. Pola integrasi antara tanaman dan ternak serta konservasi

lahan dengan memperhatikan kondisi iklim yang tepat akan dapat memberikan

nilai tambah bagi petani dan merubah wawasan petani dalam meningkatkan taraf

hidupnya (Arsana dkk., 2012).

2.2. Pola Curah Hujan

Menurut Mustofa (2002), berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dapat

dibagi menjadi tiga, yaitu pola monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola

monsoon dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak

musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif

tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah

(biasanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung

dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.

Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu

dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat

matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan

unimodal (satu puncak hujan) tetapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan

pada tipe monsoon. Wilayah Indonesia di sepanjang garis khatulistiwa sebagian

besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan monsoon terdapat

di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian

Sumatera, sedangkan salah satu wilayah yang mempunyai pola hujan lokal adalah

Ambon (Gambar 2.2).

Page 8: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

8

Gambar 2.2. Pola Curah Hujan Monsoon, Ekuatorial dan Lokal

(Sasmito dkk. 2005)

2.3. Musim Hujan dan Musim Kemarau

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2011), menetapkan bahwa

jika dalam satu bulan terjadi curah hujan di atas 150 mm maka daerah tersebut

mengalami musim hujan, sebaliknya jika dalam satu bulan curah hujan kurang

dari 150 mm maka daerah tersebut mengalami musim kemarau. Pengaruh

monsoon terhadap iklim menyebabkan adanya musim hujan dan musim kemarau.

Menurut Suyono dan Sulistya (1999), aktivitas musim hujan di Indonesia sangat

ditentukan oleh monsoon Asia musim dingin, sebaliknya musim kemarau sangat

dipengaruhi oleh monsoon Australia musim dingin.

Menurut Sasmito dkk. (2005), wilayah Indonesia secara umum memiliki

dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung

sekitar bulan Oktober hinggga Maret, dengan puncaknya pada bulan Desember

hingga Februari yang bertepatan dengan berlangsungnya monsoon barat.

Sementara itu musim kemarau berlangsung sekitar bulan April hingga September,

Page 9: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

9

dengan puncaknya bulan Juli hingga Agustus, bertepatan dengan berlangsungnya

monsoon timur (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Monsoon barat dan timur (Prawirowardoyo, 1996)

2.4. Perubahan Awal Musim

Kajian mengenai pergeseran awal musim sebagai dampak perubahan iklim

pernah dilakukan oleh Subagyono (2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa

perubahan iklim global menyebabkan pergeseran awal musim. Pergeseran musim

yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah: (1) wilayah dengan awal musim

hujan mundur dengan curah hujan di bawah normal, (2) wilayah dengan awal

musim hujan mundur dengan curah hujan normal, dan (3) wilayah dengan awal

musim hujan tetap dengan curah hujan di bawah normal. Lilik dan Sinta (2009)

juga meneliti curah hujan di beberapa daerah di Indonesia yang hasilnya

menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran bulan basah dan bulan kering di

Solok, Padang, Kotaraja, Palembang, Pontianak, Semarang, Surabaya, dan

Jakarta. Pergeseran bulan basah maupun kering ini mencakup pergeseran maju

juga mundur dari periode sebelumnya serta musim menjadi lebih pendek atau

Page 10: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

10

lebih panjang. Meiviana dkk. (2004) menyatakan bahwa perubahan iklim telah

menyebabkan terjadinya pergeseran musim, dalam hal ini musim kemarau

berlangsung lebih lama sedangkan musim hujan berlangsung lebih singkat. Hasil

penelitian Mahmud (2009), di Pulau Jawa, Bali, dan NTB menunjukkan bahwa

perubahan iklim telah memicu terjadinya pergeseran musim dalam hal ini periode

musim kemarau berlangsung semakin panjang, sedangkan periode musim hujan

berlangsung semakin singkat tetapi intensitasnya semakin tinggi.

2.5 Evaluasi Tipe Iklim

Kebutuhan akan informasi iklim yang tepat-guna semakin dirasakan

strategis dalam menunjang program pembangunan pertanian di Indonesia,

sehingga kajian iklim berupa evaluasi iklim di suatu wilayah dan antisipasinya

dalam menghadapi perubahan iklim menjadi sangat penting (Bey dkk., 1992).

Ketersediaan data iklim terbaru sangat bermanfaat dalam menunjang kegiatan

pertanian dan kegiatan ilmiah lainnya. Agar dapat memenuhi ketersediaan data

iklim terbaru dan peta iklim yang aktual maka satu-satunya cara adalah dengan

melakukan pemutakhiran data menggunakan data iklim hasil pengamatan terbaru.

Menurut Irianto dkk. (2000) pemutakhiran zona iklim sangat penting agar

peta iklim yang ada saat ini representatif dan sesuai dengan perubahan iklim yang

terjadi. Zona iklim hasil pemutakhiran data dapat menjadi acuan yang obyektif

dan rasional dalam penentuan pola tanam yang lebih tepat. Pemutakhiran zona

agroklimat Oldeman di Pulau Sumatera yang dilakukan oleh Irianto, dkk. (2000)

menunjukkan bahwa di Sumatera telah terjadi perubahan zona agroklimat akibat

Page 11: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

11

berubahnya pola curah hujan. Kayadu (2002), telah melakukan pemutakhiran

zona agroklimat Oldeman Kabupaten dan Kota Jayapura. Hasil pemutakhiran data

menunjukkan bahwa di Kabupaten dan Kota Jayapura memiliki tipe iklim

Oldeman mutakhir, yaitu B1, C1, D2, E1, E2, dan E4. Daryono, dkk. (2003) juga

melakukan penelitian pemutakhiran zona agroklimat Oldeman di Pulau Bali

menggunakan data curah hujan periode tahun 1970 hingga 2000. Hasil

pemutakhiran data menunjukkan adanya kecenderungan perubahan iklim yang

semakin basah. Hasil pemutakhiran data juga menghasilkan temuan 2 (dua) tipe

iklim baru, yang belum ada sebelumnya yaitu B3 dan D2.

Perubahan iklim dapat mengubah komposisi jumlah bulan basah dan bulan

kering dalam satu tahun. Tipe iklim Oldeman yang disusun berdasarkan

perhitungan banyaknya bulan basah dan bulan kering dapat mengalami perubahan

jika komposisi bulan basah dan bulan kering mengalami perubahan. Perubahan

zona agroklimat sebagai akibat adanya perubahan iklim, telah dilakukan oleh

beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Daryono dkk., (2003) dan

Asyakur dkk., (2005). Hasil penelitian pemutakhiran zona Agroklimat yang

dilakukan para peneliti terdahulu menunjukkan bahwa perubahan iklim telah

menimbulkan perubahan tipe iklim pada beberapa lokasi di daerah penelitian.

2.6. Waktu Tanam

Perubahan pola curah hujan telah terbukti dapat menyebabkan terjadinya

pergeseran musim. Dampak pergeseran musim yang terjadi di suatu daerah akan

menyebabkan perubahan tipe iklim. Perubahan tipe iklim yang terjadi akan

Page 12: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

12

menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam. Adanya perubahan waktu tanam

sebagai dampak dari perubahan tipe iklim pernah dikaji oleh beberapa peneliti

seperti Runtunuwu dan Syahbuddin (2007), dalam penelitiannya menyatakan

bahwa perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam.

Menurut Subagyono (2007), dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap

perubahan waktu tanam, sehingga pemanfaatan hasil prediksi iklim sangat

bermanfaat untuk strategi budidaya tanaman dan penetapan waktu tanam.

Wilayah dengan awal musim hujan mundur dengan curah hujan di bawah normal

disarankan melakukan budidaya padi dan palawija varietas unggul yang tahan

kekeringan, berumur pendek dan tahan hama penyakit utama.

Ada perubahan waktu tanam sebagai dampak perubahan awal musim.

Menurut Pramudia (2006), perubahan awal musim hujan sebagai dampak

perubahan pola curah hujan akan mengubah cara budidaya tanaman padi yang

jauh dari sumber air irigasi dan sangat bergantung kepada curah hujan. Terkait

perubahan waktu tanam akibat pergeseran musim maka Balai Penelitian

Agroklimat dan Hidrologi (2008), telah menyusun kalender musim tanam.

Perubahan pola curah hujan yang terjadi akhir - akhir ini telah menyebabkan

terjadinya pergeseran musim tanam tanaman jagung. Menurut Surmaini dan

Irianto (2003), penentuan waktu tanam yang tepat harus mempertimbangkan dan

menyesuaikan pergeseran musim yang telah terjadi. Menyesuaikan waktu tanam

terhadap perubahan musim yang telah terjadi sangat penting karena dapat

menekan risiko penurunan hasil-hasil pertanian.

Page 13: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

13

2.7. Tanaman Jagung

Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis

rumputan atau graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat

kemungkinan munculnya cabang anakan pada beberapa genotipe dan lingkungan

tertentu. Siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari

siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap

pertumbuhan generatif. Batang jagung terdiri atas buku dan ruas. Daun jagung

tumbuh pada setiap buku, berhadapan satu sama lain. Tinggi tanaman jagung

sangat bervariasi, antara 1 - 3 meter, ada juga yang mencapai tinggi 6 meter.

Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum

bunga jantan (Anonim, 2012)

Jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa karakter diantaranya

lingkungan tempat tumbuh dan umur panen. Jenis jagung berdasarkan

lingkungan tempat tumbuh meliputi jagung yang tumbuh di dataran rendah

tropik (< 1000 m dpl), dataran rendah subtropik dan mid-altitude (1000–1600 m

dpl), dan dataran tinggi tropik (>1600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur

panen dikelompokkan menjadi dua yaitu jagung berumur genjah dan umur dalam.

Jagung umur genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari

sedangkan jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari (Iriany et al.,

2007).

Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 26°C sampai

30°C dan pH tanah 5.7 – 6.8 (Subandi dalam Iriany et al., 2007). Agar dapat

tumbuh dengan baik, tanaman jagung memerlukan temperatur rata-rata antara 14 -

Page 14: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

14

30°C, dengan curah hujan sekitar 600 mm – 1200 mm per tahun yang

didistribusikan rata selama musim tanam (Kartasapoetra, 1988). Intensitas cahaya

matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang baik. Tanaman jagung

membutuhkan cahaya matahari secara langsung bukan di tempat-tempat

terlindung karena dapat mengurangi hasil (Sudjana et al., 1991). Hari panas dan

suhu malam yang tinggi meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan, dan

walaupun suhu panas adalah ideal untuk pertumbuhan vegetatif dan tongkol, suhu

sedang adalah optimum untuk akumulasi karbohidrat (Rubatzky dan Yamaguchi,

1998).

Faktor air merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan

jagung. Kebutuhan air yang terbanyak pada tanaman jagung adalah stadia

pembungaan dan stadia pengisian biji. Jumlah radiasi surya yang diterima oleh

tanaman selama fase berbunga juga merupakan faktor yang penting untuk

penentuan jumlah biji (Subandi, Syam dan Widjono, 1988).

Pemahaman morfologi dan fase pertumbuhan jagung sangat

membantu dalam mengidentifikasi pertumbuhan tanaman, terkait dengan

optimasi perlakukan agronomis. Cekaman air (kelebihan dan kekurangan),

cekaman hara (defisiensi dan keracunan), terkena herbisida atau serangan hama

dan penyakit akan menyebabkan tanaman tumbuh tidak normal, atau tidak

sesuai dengan morfologi tanaman. Hasil dan bobot biomas jagung yang tinggi

akan diperoleh jika pertumbuhan tanaman optimal. Untuk itu diperlukan

pengelolaan hara, air, dan tanaman dengan tepat. Pengelolaan hara dan

Page 15: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

15

tanaman yang mencakup pemupukan (waktu dan takaran), pengairan, dan

pengendalian gulma harus sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman.

2.8. Syarat Tumbuh Jagung

2.8.1. Tanah

Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH

5,5 - 7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah

pada pH 6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung

cenderung turun (Wakman dan Burhanuddin, 2007)

2.8.2. Iklim

Pertumbuhan optimalnya jagung menghendaki penyinaran matahari yang

penuh, tempat yang teduh pertumbuhan jagung akan merana dan tidak mampu

membentuk buah. Wilayah Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah dengan

ketinggian antara 0 - 600 m dpl dan curah hujan optimal yang dihendaki antara

85 - 100 mm per bulan merata sepanjang pertumbuhan tanaman (Wakman dan

Burhanuddin, 2007).

Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu

daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung

dapat tumbuh baik di daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan

yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 85- 200 mm/bulan

selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk

pertumbuhan terbaiknya antara 27° - 32° C. Pada proses perkecambahan benih

jagung memerlukan suhu sekitar 30°C (Anonim, 2010).

Page 16: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

16

2.9. Kebutuhan Air Tanaman

Air merupakan bagian terbesar penyusun jaringan tumbuh-tumbuhan.

Unsur hara dalam tanah yang diperlukan tanaman harus dilarutkan dalam air

sebelum dapat diserap oleh akar tanaman yang selanjutnya diangkut ke seluruh

bagian tanaman. Air diperlukan dalam proses asimilasi dan diperlukan pula

sebagai pengatur setiap proses metabolisme tanaman secara langsung atau tidak

langsung dipengaruhi oleh ketersediaan air.

Air dalam tubuh tanaman berfungsi sebagai (1) penyusun utama jaringan

tanaman yang aktif secara fisiologis, (2) pereaksi dalam fotosintesis dan proses

hidrolisis, (3) pelarut garam, gula dan hara, (4) pengendali dan stabilisator suhu

tanaman dan, (5) unsur yang diperlukan dalam mempertahankan turgor tanaman,

serta diperlukan dalam pengaturan sel dan jaringan yang mengalami pertumbuhan

(Kramer, 1980; dalam Sumiana, 2007).

Air berada di dalam sel tanaman karena terimbibisi dan terikat pada

persenyawaan-persenyawaan kimia serta mempunyai fungsi mulai dari

perkecambahan sampai pada pembentukan bagian-bagian reproduktif (Kramer,

1980). Proses perkecambahan yang pertama terjadi adalah pengisian air kedalam

biji. Setelah air masuk kedalam biji air berfungsi sebagai perangsang metabolisme

dan sebagai pelarut dalam perombakan dan pengangkutan cadangan makanan ke

bakal batang dan bakal akar, sehingga biji dapat tumbuh.

Setelah tanaman tumbuh, air diperlukan dalam proses pengangkutan zat

hara, sintesis karbohidrat, sintesis protein, sebagai alat angkut zat makanan ke

bagian tubuh tanaman yang lainnya, dan untuk melarutkan garam-garam dalam

Page 17: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

17

tanah sehingga dapat diserap oleh tanaman. Stadia perkecambahan merupakan

stadia yang sangat peka terhadap ketersediaan air tanah, kekurangan atau

kelebihan air pada stadia ini akan mengurangi daya kecambah biji sehingga biji-

biji tersebut terhambat pertumbuhan (Jackson, 1977).

Kebutuhan air tanaman dapat ditentukan dengan menggunakan metode

pendugaan menurut Doorenbos & Pruitt (1977), dalam Sumiana (2007), dimana

besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc) sama dengan nilai

evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc) sesuai

persamaan berikut:

ETc = Kc . ETo (mm/hari).............................................................(1)

Dimana :

ETc = evapotranspirasi tanaman atau kebutuhan air tanaman (mm / hari)

Kc = koefisien tanaman

ETo = evapotranspirasi standart (mm / hari)

Nilai dari Kc berlaku umum bagi varietas dari masing-masing jenis

tanaman yang bersangkutan. Namun berbeda bagi setiap jenis tanaman dan stadia

pertumbuhan. Nilai koefisien tanaman (Kc) dihitung setiap setengah bulan karena

kebutuhan air tanaman (ETc) akan dihitung setiap setengah bulan. Sedangkan

(ETo) dihitung dengan menggunakan Metoda (Thornthwaite & Mather, 1957;

dalam Sumiana, 2007; Adi, 2010 dan Rusmayadi, 2011).

Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat spesifik terhadap kebutuhan

air yang dinyatakan dengan nilai Kc (koefisien tanaman) yang berbeda-beda

tergantung dari jenis dan stadia pertumbuhan tanaman (Tabel 2.1).

Page 18: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

18

Tabel 2.1. Koefisien Tanaman (Kc) Jagung

Stadium pertumbuhan tanaman jagung Lama (hari) Kc

Pertumbuhan awal 15 0.30 - 0.50

Pertumbuhan vegetatif aktif 25 0.70 - 0.85

Stadia pertumbuhan pertengahan 40 1.05 - 1.20

Stadia pertumbuhan akhir 10 0.80 - 0.95

Masa panen 0.40 - 0.50

Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979).

Menurut Fuad (2000), koefisien tanaman jagung (Kc) dihitung setiap lima

belas hari atau setengah bulanan selama masa pertumbuhan jagung. Nilai

koefisien tanaman jagung yang direkomendasikan oleh Kriteria Perencanaan

Irigasi seperti terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Koefisien Tanaman (Kc) Jagung Dalam Lima Belas Harian

Lima belas hari ke Jumlah hari Koefisien tanaman jagung

1 15 0,5

2 15 0,59

3 15 0,96

4 15 1,05

5 15 1,02

6 15 0,95

2.10. Ketersediaan Air

Air hujan merupakan satu-satunya sumber air alami di lokasi

penelitian. Seluruh curah hujan yang jatuh tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan

oleh tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air dalam

tanah mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman

Page 19: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

19

jagung (Sudarta, 2007). Curah hujan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman

disebut curah hujan efektif (KSa). Curah hujan efektif adalah curah hujan

yang jatuh di suatu daerah dan digunakan tanaman untuk pertumbuhan. Curah

hujan tersebut merupakan curah hujan wilayah yang harus diperkirakan dari

titik pengamatan yang dinyatakan dalam milimeter (Sosrodarsono dan Takeda,

2005).

2.11. Keseimbangan Air

Kondisi air yang jumlahnya terbatas, maka air harus dimanfaatkan secara

efisien. Menurut Hillel (1972), pertumbuhan tanaman semakin menurun sejalan

dengan menurunnya kelembaban tanah dan pertumbuhannya akan terhambat

mendekati titik layu permanen. Hal ini berarti makin dekat kepada keadaan

kapasitas lapang, pertumbuhan tanaman makin baik. Keadaan air ini dipengaruhi

oleh karakteristik hujan dan tingkat evaporasi yang terjadi di daerah tropis.

Karakteristik curah hujan menyangkut intensitas, frekwensi, dan lamanya hujan.

Intensitas curah hujan cenderung tinggi di daerah tropis, namun dalam banyak hal

pola curah hujannya kurang cocok untuk pertanian (Mohammad, 1999).

Air tanah yang berasal dari hujan, diuapkan secara langsung oleh

permukaan tanah ke udara (evaporasi) dan sebagian lagi tersedia untuk tanaman.

Sebagian besar dari air yang diserap oleh tanaman diuapkan melalui bagian-

bagian tanaman seperti batang dan daun (transpirasi), dan hanya sebagian kecil

yang digunakan untuk fotosintesis tanaman. Menurut Thornthwaite dan Mather

(1957), dalam Rusmayadi (2011), bahwa kombinasi evaporasi dari permukaan

Page 20: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

20

tanah bersama-sama transpirasi dari tanaman, yang disebut evapotranspirasi

menunjukkan aliran balik air dari bumi ke atmosfer dan dari atmosfer ke bumi

melalui curah hujan.

Penyerapan air tanah oleh tanaman terjadi apabila resistensi air oleh

partikel-partikel tanah lebih kecil dari energi tanaman atau energi matahari

melalui transpirasi. Hal ini berarti jika keadaan air tanah sedemikian rendahnya

maka retensi air oleh partikel tanah sangat besar akibatnya tanaman tidak dapat

menggunakan air tanah sehingga layu.

Kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang

tahun, kelembaban atau kekeringan suatu iklim hanya dapat ditunjukkan dengan

membandingkan distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi

musiman sebagai proses penerimaan dan pelepasan air. Evapotranspirasi atau

aliran balik air dari tanah ke atmosfer merupakan faktor iklim yang sama

pentingnya dengan curah hujan. Evapotranspirasi aktual dari pertanaman

tergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan faktor-

faktor tanah; antara lain tipe dan stadia pertumbuhan tanaman, pengolahan

tanah, jenis tanah, dan kandungan air tanah. Evaporasi potensial lebih konstan

dari tahun ke tahun dari pada curah hujan, sebab adanya variasi yang kecil dari

energi matahari.

Variasi curah hujan pada daerah yang kering, mempunyai arti yang sangat

penting bagi persiapan lahan, persemaian dan awal pertumbuhan. Variasi ini

dikatakan sebagai “water balance”. Saat curah hujan lebih tinggi dari evaporasi

potensial dan tercapainya kapasitas lapang, maka curah hujan dikatakan surplus.

Page 21: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

21

Sedangkan keadaan dimana curah hujan lebih kecil dari evaporasi potensial

sehingga sampai pada titik laju permanen maka curah hujan dikatakan defisit.

Kapasitas lapang (KL) biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan

air dimana keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah setelah

tercapai keadaan jenuh, sedang titik laju permanen (TLP) adalah kandungan air

tanah (KAT) pada saat tanaman yang ditanam telah mengalami layu permanen

dalam arti tanaman telah mengalami sulit hidup kembali meskipun ditambahkan

air yang mencukupi (Soepardi, 1983).

Selain data curah hujan dan data meteorologi penentu evapotranspirasi,

dalam keseimbangan air juga diperlukan data sifat fisik tanah. Data ini

menyangkut kemampuan tanah memegang air (water holding capacity) yang

ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Secara praktis dalam perhitungan

keseimbangan air digunakan asumsi dan penyederhanaan. Asumsi yang sering

digunakan adalah bahwa semua curah hujan mengalami infiltrasi ke dalam tanah

atau dapat dikatakan tidak ada limpasan permukaan, “surplus” hanya terjadi

apabila kapasitas lapang tanah telah tercapai (Jackson, 1979). Curah hujan total,

tidak semuanya efektif bagi tanaman, tetapi sebagian mengalami perkolasi

maupun evaporasi.

Thornthwaite & Mather (1957), dalam Sumiana (2007), Adi (2010), dan

Rusmayadi (2011), membuat persamaan yang sederhana dengan menggunakan

input hanya dari curah hujan saja. Pada metoda ini semua aliran masuk dan

keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi tanaman tertentu

Page 22: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

22

digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus,

dan defisit.

Metode ini merupakan cara penghitungan tidak langsung yang paling

sederhana dibandingkan metode-metode lainnya, sedangkan untuk menentukan

besar kecilnya Evapotraspirasi (ETo) diperlukan data suhu udara dilokasi daerah

tersebut. Selanjutnya data suhu udara ini dimasukkan ke dalam persamaan

Thornthwaite & Mather untuk menghitung evapotranspirasinya (ETo):

ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)

Dimana :

a = 0,675 x 10-6

x I3 – 0,771 x 10

-4 x I

2 + 0,01792 x I + 0.49239

I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54

T = suhu rata-rata bulanan (oC)

F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)

Data curah hujan didapat dari penakar curah hujan yang terdapat pada

lokasi penelitian. Curah hujan yang diperhitungkan adalah curah hujan efektif,

yaitu curah hujan yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Curah

hujan efektif diperoleh dengan mengalikan curah hujan total dengan persentase

keefektifan curah hujan.

Menurut Nasir (2002), berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk

perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis

sebagai berikut :

1. Neraca air umum, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama

air secara umum.

Page 23: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

23

2. Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi air tanah untuk

mengetahui waktu tanam.

3. Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimat penyerapan

air yang diserap oleh tanaman.

Analisis pada neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam

pertanian secara umum. Lebih lanjut Nasir (2002) menyatakan bahwa umumnya

manfaat neraca air adalah untuk mengetahui :

1. Agroklimat daerah penelitian.

2. Mengatur waktu tanam suatu jenis tanaman antara curah hujan dan

evapotranspirasi potensial (ET0).

3. Mengatur pemberian air irigasi sesuai dengan kebutuhan.

Page 24: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

24

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3. 1. Kerangka Berfikir

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau

digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu.

Lahan kering sebagian besar memiliki permasalahan seperti : sumberdaya air

terbatas, kesuburan tanah yang rendah, topografi berbukit, dan ketersediaan

infrastruktur terbatas, akan tetapi ada juga lahan kering yang tanahnya subur,

namun ketersediaan airnya terbatas, atau pengairannya hanya mengandalkan air

hujan saja.

Berdasarkan penggunaannya untuk pertanian, maka lahan kering

dikelompokkan menjadi pekarangan, kebun, dan ladang, tetapi secara umum

pengembangan lahan kering jauh tertinggal dibandingkan pertanian di lahan

beririgasi. Lambatnya perkembangan di hampir semua lahan kering berkaitan

dengan masalah kesuburan tanah, dan sumberdaya air yang terbatas.

Daerah lahan kering dengan curah hujan yang terbatas mengakibatkan

sektor pertanian kurang dapat berkembang. Masalah utama yang dihadapi dalam

pemanfaatan lahan kering adalah keterbatasan air, rendahnya produktivitas lahan,

kesuburan tanah rendah, rendahnya intensitas tanam, yang mana semuanya ini

mengakibatkan petani miskin.

Petani di lahan kering selalu dihadapkan kepada gagal panen akibat belum

memanfaatkan sumberdaya iklim. Selama lebih dari satu dekade terakhir telah

Page 25: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

25

terjadi perubahan pola curah hujan. Perubahan pola curah hujan yang telah terjadi

menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam. Zona agroklimat juga sudah

banyak mengalami perubahan. Petani lahan kering yang masih menggunakan

teknik bercocok tanam tidak intensif selalu dihadapkan kepada kemiskinan akibat

seringnya gagal panen akibat ketidaktahuannya informasi iklim terkini.

Kajian tentang aspek perubahan pola curah hujan dan tipe iklim untuk

penentuan waktu tanam jagung perlu dilakukan. Kesesuaian antara praktek

bercocok tanam dengan menyesuaikan kondisi iklim yang terbaru memungkinkan

penentuan waktu tanam yang tepat. Waktu tanam yang tepat dapat menunjang

keberhasilan usaha tani di lahan kering. Keberhasilan usaha tani otomatis akan

meningkatkan produtivitas pertanian yang tinggi. Produktivitas hasil pertanian

yang meningkat akan menjadikan petani manjadi lebih sejahtera.

Daerah Gerokgak memiliki potensi lahan kering yang cukup besar. Selama

ini lahan kering Gerokgak belum terkelola secara optimal sehingga

produktivitasnya tetap rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor sumberdaya alam

(iklim, tanah dan air) serta sumberdaya manusia yang kurang mendukung.

Keterbatasan yang dimiliki lahan kering Gerokgak cenderung membuat kegiatan

pola usahatani bersifat masih tradisional atau tidak intensif. Pola usahatani

tanaman pangan perlu mengadopsi informasi iklim untuk meningkatkan hasil

pertanian. Diagram kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Page 26: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

26

Gambar 3.1. Diagram Kerangka Berpikir

Lahan Kering

(Sumberdaya Air Terbatas)

Bertani Secara Biasa

(Tidak intensif)

Tanpa Pemanfaatan

Informasi Perubahan Iklim

Tidak Memahami

Waktu Tanam yang Tepat

Pendapatan Petani

Rendah

Bertani Secara Intensif

Memanfaatkan Informasi

Perubahan Iklim

Informasi Perubahan

Pola curah Hujan

Mengetahui Kebutuhan

Air Tanaman

Waktu Tanam Tepat

Pendapatan Petani

Meningkat

Tidak Mengetahui

Kebutuhan Air Tanaman

Produksi rendah/gagal

panen Produksi Tinggi

Tanpa Informasi

Perubahan Pola curah

Hujan

Page 27: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

27

3.2. Kerangka Konsep

Langkah awal penelitian ini adalah melakukan identifikasi pola curah

hujan di daerah penelitian. Langkah selanjutnya, untuk mengetahui pola curah

hujan dibuat grafik curah hujan dasarian juga akan dianalisis periodisitas curah

hujan jangka panjang. Selain mengkaji pola curah hujan, akan dikaji periode

lamanya musim hujan dan periode lamanya musim kemarau.

Setelah mengkaji pola curah hujan selanjutnya dilakukan kajian tipe iklim.

Metode klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman dk., (1980) digunakan untuk

menentukan tipe iklim berdasarkan data curah hujan bulanan. Metode ini

mengklasifikasikan iklim menjadi 17 tipe iklim. Perubahan tipe iklim dapat

diketahui berdasarkan data curah hujan pada periode baseline dan periode iklim

saat ini. Dari analisis ini akan diketahui apakah ada perubahan tipe iklim di daerah

penelitian. Setelah diidentifikasi apakah ada perubahan tipe iklim, selanjutnya

dilakukan kajian identifikasi perubahan pola curah hujan. Identifikasi perubahan

pola curah hujan perlu dilakukan untuk analisis perubahan pola curah hujan dari

data hasil observasi.

Terakhir, dilakukan kajian perubahan waktu tanam jagung dibandingkan

antara periode iklim masa lalu dan periode iklim saat ini. Dalam menentukan

waktu tanam pada hakekatnya mempertemukan dua hal, yakni mengetahui

kebutuhan air tanaman jagung dengan persediaan air di lokasi penelitian pada

masing-masing musim tanam. Kebutuhan air tanaman dihitung menggunakan

metode pendugaan. Besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc) sama

dengan nilai evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc).

Page 28: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

28

3.3. Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka

hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah :

1. Pola curah hujan di Daerah Gerokgak selama 30 tahun pada periode 1981 –

2010, adalah pola Monsoon yang dicirikan oleh bentuk pola hujan satu puncak

musim hujan yaitu sekitar bulan Desember

2. Terjadi perubahan pola curah hujan di Daerah Gerokgak selama 15 tahun dari

periode 1981-1995 ke periode 1996-2010.

3. Terjadi perubahan tipe iklim di Daerah Gerokgak selama 15 tahun dari periode

1981-1995 ke periode 1996-2010.

4. Implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim terhadap waktu tanam

jagung di Daerah Gerokgak adalah dapat berpengaruh terhadap waktu tanam

jagung.

Page 29: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

29

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.1.1 Lokasi penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng

yang merupakan kawasan rawan kekeringan dan lahan kritis di Wilayah

Provinsi Bali. (Bappeda, 2009) seperti terlihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Lokasi Daerah Penelitian

4.1.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Pebruari 2013 sampai dengan

bulan April 2013.

Page 30: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

30

4.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup kajian pola curah hujan di

daerah Gerokgak tahun 1981 – 2010, perubahan tipe iklim dan pola curah hujan

periode 1981 – 1995 dan 1996 - 2010 di daerah Gerokgak, dan implikasinya

terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.

4.3 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data iklim yang

terdiri dari suhu, curah hujan bulanan dan curah hujan harian hasil pengamatan

Stasiun Hujan Gerokgak selama 30 tahun (periode 1981 – 2010). Data suhu

udara Daerah Gerokgak diperoleh dari konversi suhu udara terhadap

ketinggian, dengan data suhu acuan hasil pengamatan pada Stasiun

Meteorologi Ngurah Rai di Tuban.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer

pengolah data beserta aplikasinya.

4.4 Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei untuk

pengumpulan data curah hujan, metode statistik untuk menghitung rata-rata curah

hujan bulanan dan harian, dan metoda kebutuhan air tanaman semusim yang

dianalisis menggunakan metode pendugaan menurut Doorenbos & Pruitt (1977).

Page 31: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

31

4.4.1 Pengumpulan data curah hujan

Pengumpulan data curah hujan periode 1981 – 2010 dilaksanakan di

Kantor Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III dan

Stasiun Klimatologi Negara. Aplikasi data iklim dilapangan dilakukan dengan

wawancara dengan petani dilokasi penelitian yaitu di Kecamatan Gerokgak,

Kabupaten Buleleng.

4.4.2. Perhitungan data curah hujan periode 1981 – 2010

Perhitungan pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan

periode 1981 – 2010. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk mengetahui

periode panjang musim hujan, panjang musim kemarau, jumlah curah hujan pada

musim hujan dan jumlah curah hujan pada musim kemarau.

4.4.3. Perhitungan pola curah hujan periode 1981 – 1995.

Pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan periode

1981 – 1995. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk menentukan

awal musim hujan, awal musim kemarau, panjang musim hujan, panjang musim

kemarau, jumlah curah hujan pada musim hujan dan jumlah curah hujan pada

musim kemarau pada periode I ( 1981 – 1995 ).

4.4.4. Perhitungan pola curah hujan periode 1996 – 2010.

Pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan periode

1996 – 2010. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk menetukan awal

Page 32: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

32

musim hujan, awal musim kemarau, panjang musim hujan, panjang musim

kemarau, jumlah curah hujan pada musim hujan dan jumlah curah hujan pada

musim kemarau.

4.4.5. Perhitungan neraca air tanaman periode 1981 – 1995.

Neraca air periode 1981 – 1995 dianalisis dengan Metoda Thornthwaite

dan Mater dalam Rusmayadi (2011), dan hasil analisis dapat diketahui jumlah

kebutuhan air tanaman (ETc) dan ketersediaan air di daerah penelitian pada

musim hujan maupun musim kemarau.

4.4.6. Perhitungan neraca air tanaman periode 1996 – 2010.

Neraca air tanaman periode 1996 – 2010 dianalisis dengan Metoda

Thornthwaite dan Mater dalam Rusmayadi (2011), dan hasil analisis dapat

diketahui jumlah kebutuhan air tanaman (ETc) dan ketersediaan air di daerah

penelitian pada musim hujan maupun musim kemarau.

4.4.7. Waktu tanam jagung di daerah Gerokgak

Waktu tanam jagung yang dilakukan pada lahan kering di Gerokgak dapat

diketahui dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan petani di

daerah tersebut selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir.

Page 33: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

33

4.4.8. Data tanah

Analisis tanah dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai sifat fisik

tanah pada lokasi penelitian. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah

Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar.

4.5. Analisis Data

Analisis data dilakukan terhadap normal curah hujan terbaru yang

ditetapkan BMKG, yakni data curah hujan selama periode 30 tahun dari tahun

1981 sampai dengan tahun 2010. Perubahan pola curah hujan dianalisis dengan

pembagian data, data rata-rata curah hujan tahun 1981 – 1995 adalah data awal,

kemudian dibandingkan dengan data rata-rata curah hujan 1996 – 2010, yang

dianalisis adalah bagaimana kondisi ketersediaan air untuk waktu tanam, waktu

tanam awal dan akhir (panen) pada lokasi penelitian. Waktu tanam yang

dilakukan petani melalui wawancara di bandingkan dengan hasil analisis neraca

air tanaman pada kedua periode di atas.

Hasil analisis Neraca air pada kedua periode yakni periode I 1981 -1995

dan periode II 1996 - 2010 yang menggunakan Metoda Thornthwaite dan Mater

dalam Sumiana (2007), dapat diketahui jumlah ketersediaan air dan kebutuhan air

bagi tanaman jagung pada musim hujan maupun musim kemarau. Hasil analisis

disajikan pada (Lampiran 3 – 9).

Page 34: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

34

4.5.1. Metode perhitungan normal data

Normal data dihitung dengan merata-ratakan curah hujan selama 30 tahun

pada tahun 1981 – 2010 dengan rumus statistik sebagai berikut :

dimana :

M = Rata-rata curah hujan dasarian

Mi = Jumlah curah hujan sepuluh harian tahun ke-i

i = 1,2,3, .........., n

n = Jumlah data.

4.5.2. Metode perhitungan neraca air

Untuk pengolahan dan analisis neraca air dasarian digunakan Metode

Thornthwaite dan Mather dalam Sumiana (2007), Adi (2010), dan Rusmayadi

(2011), dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menghitung evapotranspirasinya (ETo) dengan rumus :

ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)

Dimana :

ETo = Evapotranspirasi standart (mm / hari)

I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54

T = suhu rataan bulanan (oC)

F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)

a = 0,675 x 10-6

x I3 – 0,771 x 10

-4 x I

2 + 0,01792 x I + 0.49239

2. Mengisi kolom curah hujan (CH) rata-rata sepuluh harian.

3. Mengisi kolom evapotranspirasi potensial (ETo).

4. Mengisi kolom Koefisien Tanaman (Kc). Nilai ini didapat dari

Doorenboss dan Kassam (1979), diperlukan untuk menentukan periode

Page 35: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

35

kebutuhan air. Pada peneltian ini nilai koefisiaen tanaman (Kc) jagung

disesuaikan penghitungan setiap dasarian atau sepuluh harian.

5. Mengisi kolom ETc yang merupakan hasil perkalian antara Kc dan ETo,

ETc merupakan kebutuhan air konsumtif untuk tanaman pada masa

pertumbuhan hingga panen. Rumus ETc = ETo . Kc.

6. Mengisi kolom curah hujan efektif yang merupakan hasil kali curah hujan

total setiap dasarian dikalikan keefektifan (%).

7. Mengisi kolom surplus dan defisit, yang merupakan pengurangan

KSa-ETc. Bila curah hujan efektif lebih tinggi dibandingkan ETc maka

air yang dibutuhkan untuk stadia pertumbuhan terpenuhi, begitu pula

sebaliknya.

8. Analisa selanjutnya adalah menentukan waktu tanam yang tepat dengan

membandingkan antara ketersediaan air (KSa) tanaman dan kebutuhan air

tanaman (ETc), dan membuat grafik hubungan keduannya.

Keterangan : CH : Curah hujan (mm/bulan)

ETo : Evaporasi potensial (mm/bulan)

ETc : Kebutuhan air tanaman (mm)

KSa : Ketersediaan air tanaman (mm)

Kc : Koefisien tanaman

D : Defisit/kekurangan (mm/bulan)

S : Surplus/kelebihan (mm/bulan)

Page 36: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

36

4.6. Mengkaji Pola Curah Hujan di Daerah Gerokgak Periode 1981-1995 dan

Periode 1996 - 2010.

Kajian pada bagian ini dilakukan identifikasi pola curah hujan di daerah

Gerokgak. Pola hujan yang dimaksud adalah apakah daerah Gerokgak memiliki

pola monsoon, pola ekuatorial, atau pola lokal. Pola curah hujan di daerah

Gerokgak ini akan dibuat grafik curah hujan bulanan dan dasarian. Selain

mengkaji pola curah hujan, pada bagian ini akan dikaji periode lama musim hujan

dan periode lama musim kemarau.

4.7. Mengkaji Perubahan Tipe Iklim di Daerah Gerokgak Periode 1981-1995

dan Periode 1996 - 2010.

Kajian pada bagian ini ada dua hal yang akan dilakukan, yaitu pertama,

mengkaji tipe iklim di daerah Gerokgak dengan klasifikasi iklim Oldeman (1980).

Metode klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman dkk. (1980) digunakan untuk

menentukan tipe iklim berdasarkan data curah hujan bulanan.

4.8 Mengkaji Implikasi Perubahan Pola Curah Hujan terhadap Waktu

Tanam Jagung di Daerah Gerokgak.

Kajian pada bagian ini adalah untuk mengetahui perubahan waktu tanam

jagung dengan membandingkan dua periode pola curah hujan, antara periode

(1981-1995) dan periode (1996-2010). Penentuan waktu tanam pada hakekatnya

mempertemukan dua hal, yakni mengetahui kebutuhan air tanaman jagung dengan

persediaan air di lokasi penelitian pada masing-masing musim tanam.

Kebutuhan air tanaman dianalisis menggunakan metode pendugaan menurut

Page 37: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

37

Doorenbos & Pruitt (1977). Besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc)

sama dengan nilai evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman

(Kc) sesuai persamaan berikut:

ETc = Kc . ETo (mm / hari)...................................................(1)

Dimana :

ETc = evapotranspirasi tanaman / kebutuhan air tanaman (mm / hari)

Kc = koefisien tanaman

ETo = evapotranspirasi standar (mm / hari)

Nilai Kc yang digunakan adalah nilai koefisien (Kc) tanaman jagung yang

direkomendasikan oleh Kriteria Perencanaan Irigasi seperti terlihat pada

Tabel 2.2, yang penghitungannya disesuaikan setiap dasarian atau sepuluh harian

yang disajikan Tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1. Nilai Koefisien Tanaman (Kc) Jagung Dalam Dasarian

Lima belas harian Jumlah (Kc)

Jagung

Sepuluh harian Jumlah (Kc)

Jagung (Setengah bulanan) hari (Dasarian) hari

1 15 0.5 1 10 0,4

2 15 0.75 2 10 0,5

3 15 0.8 3 10 0,6

4 15 1.05 4 10 0,78

5 15 0.8 5 10 1,05

6 15 0.45 6 10 1,02

7 10 0,8

8 10 0,88

9 10 0,95

ETo dihitung dengan menggunakan Metoda (Thornthwaite & Mather,

1957 dalam Sumiana, 2007; Adi, 2010; dan Rusmayadi, 2011). Metode ini

merupakan cara penghitungan tidak langsung yang paling sederhana

dibandingkan metode - metode lainnya, karena data masukan yang digunakan

Page 38: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

38

adalah data suhu udara dalam menentukan besar kecilnya evapotranspirasi.

Penentuan nilai evapotranspirasi (ETo) di Gerokgak diperlukan data suhu di

Stasiun Meteorologi Klas I Ngurah Rai yang telah dikonversi menggunakan

metoda menurut Barry & Chorley dalam Purnomo (2007), tentang penurunan

suhu udara terhadap ketinggian tempat.

Data suhu udara ini dimasukkan ke dalam persamaan Thornthwaite &

Mather untuk menghitung evapotranspirasinya (ETo):

ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)

Dimana :

I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54

T = suhu rata-rata bulanan (oC)

F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)

a = 0,675 x 10-6

x I3 – 0,771 x 10

-4 x I

2 + 0,01792 x I + 0.49239

Data curah hujan didapat dari penakar curah hujan yang terdapat pada

lokasi penelitian. Curah hujan yang diperhitungkan adalah curah hujan efektif,

yaitu curah hujan yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Curah hujan

efektif diperoleh dengan cara mengalikan curah hujan total dengan persentase

keefektifan curah hujan.

Konsep yang dikemukakan Kartasapoetra. (2004) adalah:

1. Palawija membutuhkan air rata-rata per bulan 50 mm dalam musim

kemarau.

2. Hujan bulanan yang diharapkan mempunyai peluang kejadian 75% sama

dengan 0,82 kali hujan rata-rata bulanan dikurangi 30.

Page 39: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

39

3. Hujan efektif untuk palawija dengan tajuk tanaman tertutup rapat adalah

75%.

Dapat dihitung hujan bulanan yang diperlukan untuk palawija (X) dengan

menggunakan data jangka panjang yaitu:

Rumus mencari curah hujan efektif palawija

0,75 (0,82 X - 30) per bulan ............................................(3)

Jika nilai curah hujan efektif (X) misalnya 213 dan 118 dibulatkan menjadi 200

dan 100 mm/bulan yang digunakan sebagai batas penentuan bulan basah dan

kering.

Waktu tanam ditentukan dengan mencari ketersediaan air yang dapat

memenuhi kebutuhan air tanaman jagung selama masa pertumbuhannya.

Waktu tanam yang selama masa pertumbuhannya terpenuhi kebutuhan airnya

adalah waktu tanam yang paling baik, sedangkan waktu tanam yang persediaan

airnya tidak dapat terpenuhi kebutuhan air tanaman selama masa pertumbuhannya

merupakan waktu tanam yang tidak cocok untuk penanaman.

Waktu tanam yang akan di teliti adalah awal musim hujan

(awal Nopember, pertengahan Nopember, awal Desember dan pertengahan

Desember) dan akhir musim hujan (awal Maret, pertengahan Maret, awal

April, pertengahan April). Penelitian ini yang paling pokok adalah menganalisis

ketersediaan dan kebutuhan air untuk tahapan selama pertumbuhannya dengan

periode sepuluh harian dengan cara perhitungan seperti pada (lampiran 4).

Page 40: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

40

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Pola Curah Hujan

5.1.1 Pola curah hujan periode 1981-2010

Berdasarkan data rata-rata curah hujan 30 tahun periode 1981-2010, di

daerah Gerogak musim hujan berlangsung selama 12 dasarian dimulai dari bulan

Nopember dasarian III sampai bulan Maret dasarian II, dengan jumlah curah

hujan sebesar 854,1 mm. Musim kemarau berlangsung selama 24 dasarian

dimulai dari bulan April dasarian II sampai bulan Nopember dasarian II, dengan

jumlah curah hujan sebesar 270,5 mm. Periode musin dan curah hujan dapat

dilihat pada Tabel 5.1

Tabel 5.1 Periode Musim dan Curah Hujan Periode (1981-2010)

Periode

Musim Hujan Musim Kemarau Total

Curah

hujan

(mm)

Periode

musim

Panjang

musim

(Dasarian)

Curah

hujan

(mm)

Periode

musim

Panjang

musim

(Dasarian)

Curah

hujan

(mm)

Periode

1981-2010

Nop III –

Mar II 12 854,1

Apr II –

Nop II 24 270,5 1124,6

5.1.2 Pola curah hujan periode 1981-1995 dan periode 1996-2010

Musim hujan periode 1981-1995 berlangsung selama 13 dasarian, diawali

dari bulan Desember dasarian I sampai bulan April dasarian I, dengan jumlah

curah hujan sebesar 868,1 mm. Musim hujan periode 1996 - 2010 berlangsung

selama 10 dasarian diawali dari bulan Desember dasarian II sampai bulan Maret

dasarian II, dengan jumlah curah hujan sebesar 784,2 mm.

Page 41: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

41

Musim kemarau pada periode 1981-1995 berlangsung selama 23 dasarian, yang

diawali dari bulan April dasarian II sampai bulan November dasarian III, dengan

jumlah curah hujan sebesar 208,5 mm. Musim kemarau periode 1996-2010

berlangsung selama 26 dasarian diawali dari bulan Maret dasarian III sampai

bulan Desember dasarian I, dengan jumlah curah hujan sebesar 348,6 mm.

Periode musim dan curah hujan periode I dan periode II dapat dilihat pada

Tabel 5.2

Tabel 5.2 Periode Musim dan Curah Hujan Periode I dan Periode II

Periode

Musim Hujan Musim Kemarau Total

Curah

hujan

(mm)

Periode

musim

Panjang

musim

(dasarian)

Curah

hujan

(mm)

Periode

musim

Panjang

musim

(dasarian)

Curah

hujan

(mm)

Periode I

1981-1995 Des I –

Apr I 13 868,1

Apr II –

Nop III 23 208,5 1076,6

Periode II

1996-2010 Des II –

Mar II 10 784,2

Mar III –

Des I 26 348,6 1132,8

5.2 Tipe Iklim dan Waktu Tanam

5.2.1 Tipe iklim berdasarkan klasifikasi Oldeman

Berdasarkan hasil rata-rata data curah hujan bulanan selama selama 30

tahun yaitu periode (1981-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering, rata-

rata data curah hujan bulanan selama 15 tahun periode I (1981-1995) terdapat 4

bulan basah dan 8 bulan kering, demikian pula rata-rata data curah hujan selama

15 tahun periode II (1996-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering. Hasil

rekap data bulan basah dan bulan kering dapat dilihat pada Tabel 5.3

Page 42: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

42

Tabel 5.3 Rekap Data Bulan Basah dan Bulan Kering Setiap Periode

B u l a n

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Periode (1981-2010)

228,9 201,1 180,4 77,8 42,2 36,5 14,5 5,9 19,3 16,9 63,6 197,9

Periode I (1981-1996)

222,9 205,4 185,7 90,4 35,1 27,9 15,1 3,0 2,8 8,4 58,5 186,7

Periode II (1997-2010)

240,7 193,4 179,0 78,3 73,6 48,7 26,8 10,4 42,1 27,9 77,1 259,8

5.2.2 Waktu tanam

Berdasarkan hasil survei penelitian di daerah Gerokgak didapatkan bahwa

petani hanya sekali menanam jagung dalam setahun yakni pada bulan Desember

awal hingga pertengahan dan tidak disebutkan tanggal tepatnya, yang penting

hujan sudah turun petani langsung menanam jagung. Varietas yang ditanam

biasanya jagung lokal dan umumnya petani bertanam jagung berdasarkan

pengalaman secara turun temurun, sehingga mendapat panen kurang maksimal.

Penentuan waktu tanam tanaman jagung hasil analisis neraca air tanaman

berdasarkan data rata-rata curah hujan 15 tahun periode I (1981-1995), waktu

tanam jagung jatuh pada bulan Desember Dasarian I dengan kebutuhan air (ETc)

selama pertumbuhan adalah 378,9 mm dan jumlah ketersediaan air (KSa) selama

pertumbuhan sebesar 464,8 mm

Hasil analisis Neraca Air Tanaman berdasarkan data rata-rata curah hujan

15 tahun periode II (1996-2010), waktu tanam jagung jatuh pada bulan Desember

Dasarian I juga dengan kebutuhan air (ETc) selama pertumbuhan adalah 377,4

mm dan jumlah ketersediaan air (KSa) selama pertumbuhan sebesar 513,6 mm

Page 43: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

43

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Perubahan Pola Curah Hujan

6.1.1 Perubahan pola curah hujan di Gerokgak

Analisis terhadap jumlah curah hujan tahunan di Daerah Gerokgak,

menunjukkan adanya peningkatan pada periode 1981-1995 sebesar 1037,8 mm

menjadi 1098,8 mm pada periode 1996 - 2010. Peningkatan curah hujan tahunan

sebesar 61 mm disebabkan selama musim kemarau periode 1996 - 2010 jumlah

curah hujan lebih besar dari pada periode 1981-1995 dengan selisih 140 mm.

Selama musim hujan telah terjadi penurunan jumlah curah hujan sebesar

83,9 mm.

Pergeseran awal musim hujan terjadi dari bulan Desember Dasarian I

menjadi bulan Desember Dasarian II dengan penurunan panjang musim

hujan 3 dasarian atau 30 hari. Musim kemarau bertambah panjang 30 hari, dimana

awal musim kemarau bergeser dari bulan April dasarian II menjadi bulan Maret

dasarian III. Perubahan pola curah hujan di Daerah Gerokgak seperti pada

Gambar 6.1.

Gambar 6.1 Grafik Perubahan Pola Curah Hujan di Daerah Gerokgak.

Page 44: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

44

Berdasarkan Gambar 6.1 menunjukkan perbandingan data curah hujan

dasarian di Gerokgak dari dua periode waktu yaitu antara periode 1981-1995

dan periode 1996-2010 terjadi pergeseran musim dasarian dimana periode musim

hujan semakin pendek dan periode musim kemarau semakin panjang, namun

ditinjau dari tipe pola curah hujannya adalah tipe monsoon yang dicirikan oleh

bentuk pola hujan satu puncak musim hujan yaitu bulan Januari. Hasil analisis

dengan menggunakan metode uji garis t berpasangan menunjukkan tidak ada

perubahan pola curah hujan atau tidak signifikan (Lampiran 11).

6.1.2 Implikasi Perubahan Pola Curah Hujan di Gerokgak

Perubahan pola curah hujan dari periode (1981 – 1995) ke periode (1996 –

2010) di Gerokgak, berdasarkan hasil analisis di atas menunjukkan bahwa tidak

terjadi perubahan pola curah hujan namun dilihat dari periode panjang musim

dasarian menunjukkan bahwa musim hujan yang semakin pendek dan musim

kemarau yang semakin panjang. Kondisi ini dapat mengakibatkan kejadian iklim

ekstrim, karena musim kemarau yang berkepanjangan dapat memicu hujan badai

ekstrim dan menyebabkan terjadinya banjir besar di beberapa tempat.

Terjadinya pergeseran musim berpengaruh pada perencanaan aktivitas

kegiatan pertanian, termasuk jadwal tanam akan terganggu, munculnya penyakit-

penyakit baru pada tanaman yang merusak tanaman dan pada akhirnya akan

menurunkan produksi bahkan kegagalan panen,.

Sementara musim kemarau yang terlalu panjang dan terjadinya banjir di

musim hujan membuat produktivitas pertanian menurun serta membuat pola

Page 45: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

45

hidup tanaman pertanian menjadi terganggu. Beberapa hal tersebut merupakan

beberapa contoh yang dapat dirasakan akibat dari perubahan iklim dari sektor

pertanian. Dengan demikian ancaman gagal panen yang berdampak pada

ketahanan pangan kian menjadi nyata.

Berdasarkan Gambar 6.2 terdapat peningkatan frekuensi kejadian curah

hujan, dimana frekuensi curah hujan pada periode 1996-2010 lebih tinggi

daripada periode 1981-1995,

Gambar. 6.2 Perbandingan Frekuensi Curah Hujan di Gerokgak

6.2 Perubahan Tipe Iklim

Berdasarkan hasil rata-rata data curah hujan bulanan di daerah Gerokgak

sesuai Identifikasi klasifikasi tipe iklim Oldeman et all., (1975), pada periode

(1981-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering sehingga termasuk tipe

iklim D4. Periode I (1981-1995) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering

Page 46: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

46

termasuk tipe iklim D4. Periode II (1995-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8

bulan kering juga termasuk tipe iklim D4 yang dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.3 Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Setiap Periode

B u l a n

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Periode (1981-2010)

228,9 201,1 180,4 77,8 42,2 36,5 14,5 5,9 19,3 16,9 63,6 197,9

Periode I (1981-1996)

222,9 205,4 185,7 90,4 35,1 27,9 15,1 3,0 2,8 8,4 58,5 186,7

Periode II (1997-2010)

240,7 193,4 179,0 78,3 73,6 48,7 26,8 10,4 42,1 27,9 77,1 259,8

Klasifikasi tipe iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada

jumlah kebutuhan air oleh tanaman. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan

jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut. Menurut Oldeman

suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih

besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih

kecil dari 100 mm.

Oldeman et Al. (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk

tanaman palawija adalah 70 mm/bulan, dengan asumsi bahwa peluang terjadinya

hujan adalah 75% diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan. Lamanya

periode pertumbuhan jagung 85 hari, sehingga periode 3-4 bulan basah berurutan

dalan satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam jagung.

6.3. Waktu Tanam Jagung di Gerokgak Periode 1981-1995

Neraca air yang dibahas disini adalah neraca air tanaman yaitu

membandingkan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman untuk masa

pertumbuhan. Perimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman

Page 47: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

47

jagung disajikan dalam bentuk grafik sehingga dapat dilihat waktu tanam yang

tepat. Hubungan antara kebutuhan air dan ketersediaan air tanaman jagung secara

kumulatif pada masing-masing waktu tanam dapat dijelaskan sebagai berikut :

6.3.1. Waktu tanam jagung pada awal musim hujan

a. Penanaman yang dilakukan pada Nopember I sampai Januari III, sebagian

besar kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi. Total kekurangan air selama

pertumbuhannya sebanyak 78.4 mm. Kondisi surplus dan defisitnya dapat

dilihat pada Gambar 6.3.

Gambar 6.3 Waktu Tanam Nopember I – Januari III

b. Waktu tanam jagung pada Nopember II sampai dengan Desember II

sudah mengalami defisit, sehingga tidak memungkinkan untuk

melakukan penanaman, walaupun dipertengahan Desember II sampai

dengan Januari I ada surplus sebesar 32.6 mm tetapi tidak signifikan.

Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.4.

Gambar 6.4 Waktu Tanam November II – Februari I

Page 48: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

48

c. Waktu tanam jagung pada Nopember III sampai dengan Februari II

terjadi fluktuasi ketersediaan air dan kebutuhan air, sehingga masa

pertumbuhan tanaman jagung terganggu dan tidak memungkinkan

untuk melakukan penanaman. Kondisi surplus dan defisitnya dapat

dilihat pada Gambar 6.5.

Gambar 6.5 Waktu Tanam November III - Februari II

d. Waktu tanam jagung pada Desember I sampai dengan Maret I

ketersediaan air mencukupi, sehingga pada bulan Desember I sangat

tepat untuk melakukan penanaman pada dasarian ini, total surplus air

sebesar 85,8 mm. Kondisi surplusnya dapat dilihat pada Gambar 6.6.

Gambar 6.6 Waktu Tanam Desember I – Maret I

Page 49: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

49

e. Waktu tanam jagung pada Desember II sampai dengan Maret II secara

keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Januari II dan

Februari I mengalami sedikit defisit masing-masing sebesar -5.7 mm

dan -20.5 mm, waktu tanam pada Desember II masih bisa dilakukan

penanaman hanya harus dilakukan penyimpanan air dengan sistem

tadah hujan. Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada

Gambar 6.6.

Gambar 6.7 Waktu Tanam Desember II – Maret II

b. Waktu tanam jagung pada Desember III sampai dengan Maret III,

secara keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Februari I

mengalami defisit yang mana merupakan stadia pembungaan dengan

kebutuhan air yang besar dan pada stadia ini rentan terhadap

kekurangan air. Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada

Gambar 6.7.

Page 50: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

50

Gambar 6.8 Waktu Tanam Desember III – Maret III

6.3.2 Waktu tanam jagung pada akhir musim hujan

a. Waktu tanam jagung yang ditanam pada akhir musim hujan yakni pada

bulan Maret I – Mei III, Maret II – Juni I dan Maret III – Juni II.

menunjukkan bahwa ketersediaan air hanya pada masa pertumbuhan

awal saja, tetapi stadia berikutnya mengalami defisit, sehingga tidak

bisa dilakukan penanaman jagung. Kondisi surplus dan defisitnya untuk

penanaman pada bulan Maret I, Maret II dan Maret III dapat dilihat

pada Gambar 6.8, Gambar 6.9 dan Gambar 6.10.

Gambar 6.9 Waktu Tanam Maret I – Mei III

Page 51: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

51

Gambar 6.10 Waktu Tanam Maret II – Juni I

Gambar 6.11 Waktu Tanam Maret III – Juni II

b. Waktu tanam tanaman jagung pada bulan April I, April II, April III

menunjukkan bahwa ketersediaan airnya sangat ekstrim sehingga

sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman jagung.

Kondisi defisit pada bulan April I, April II dan April III dapat dilihat

pada Gambar 6.11, Gambar 6.12, dan Gambar 6.13,

Gambar 6.12 Waktu Tanam April I – Juni III

Page 52: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

52

Gambar 6.13 Waktu Tanam April II – Juli I

Gambar 6.14 Waktu Tanam April III – Agustus I

6.4 Waktu tanam jagung di Gerokgak periode 1996-2010

Neraca air yang dibahas disini adalah neraca air tanaman yaitu

membandingkan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman untuk masa

pertumbuhan. Perimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman

jagung disajikan dalam bentuk grafik sehingga dapat dilihat waktu tanam yang

tepat. Hubungan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman jagung secara

kumulatif pada masing-masing waktu tanam maka dapat dijelaskan sebagai

berikut :

6.4.1. Waktu tanam jagung pada awal musim hujan

a. jika penanaman dilakukan awal musim hujan yaitu Nopember I sampai

Januari III maka sebagian kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi.

Page 53: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

53

Total kekurangan air selama pertumbuhannya sebanyak -35.5 mm.

Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.14.

Gambar 6.15 Waktu Tanam November I – Januari III

b. Waktu tanam jagung pada Nopember II sampai dengan Desember II

sudah mengalami defisit, sehingga tidak memungkinkan untuk

melakukan penanaman, walaupun dipertengahan yakni Desember II –

Januari I ada surplus sebesar 22.3 mm tetapi tidak signifikan. Kondisi

surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.15.

Gambar 6.16 Waktu Tanam November II – Februari I

c. Waktu tanam jagung pada Nopember III sampai dengan Februari II

terjadi fluktuasi ketersediaan air dan kebutuhan air, sehingga masa

pertumbuhan tanaman jagung terganggu dan tidak memungkinkan

Page 54: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

54

untuk melakukan penanaman. Kondisi surplus dan defisitnya dapat

dilihat pada Gambar 6.16.

Gambar 6.17 Waktu Tanam November III – Februari II

d. Waktu tanam jagung pada Desember I sampai dengan Maret I

ketersediaan air mencukupi , sehingga pada bulan Desember I sangat

tepat untuk melakukan penanaman pada dasarian ini, total surplus air

sebesar 136.2 mm. Kondisi surplusnya dapat dilihat pada Gambar 6.16.

Gambar 6.18 Waktu Tanam Desember I – Maret I

e. Waktu tanam jagung pada Desember II sampai dengan Maret II secara

keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Januari II dan

Februari I mengalami sedikit defisit masing-masing sebesar -5.7 mm

dan -20.5 mm, waktu tanam pada Desember II masih bisa dilakukan

Page 55: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

55

penanaman hanya harus dilakukan penyimpanan air sistem tadah hujan.

Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.17.

Gambar 6.19 Waktu Tanam Desember II – Maret II

f. Waktu tanam jagung pada Desember III sampai dengan Maret III,

secara keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Februari I

mengalami defisit yang mana merupakan stadia pembungaan dengan

kebutuhan air yang besar dan pada stadia ini rentan terhadap

kekurangan air. Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada

Gambar 6.18.

Gambar 6.20 Waktu Tanam Desember III – Maret III

Page 56: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

56

6.4.2 Waktu tanam jagung pada akhir musim hujan

a. Waktu tanam jagung pada bulan Maret I, hanya pada awalnya saja

ketersediaan air mencukupi, tetapi stadia berikutnya mengalami defisit

sepanjang masa pertumbuhan. Demikian juga masa pertumbuhan Maret

II, Maret III, masa pertumbuhan yang diawali bulan April ketersediaan

airnya sangat ekstrim. Kondisi surplus dan defisitnya untuk penanaman

pada bulan Maret I, Maret II dan Mret III dapat dilihat pada Gambar

6.19, Gambar 6.20 dan Gambar 6.21

Gambar 6.21 Waktu Tanam Maret I – Mei III

Gambar 6.22 Waktu Tanam Maret II – Juni I

Page 57: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

57

Gambar 6.23 Waktu Tanam Maret III – Juni II

b. Waktu tanam jagung pada bulan April I, April II, April III

menunjukkan bahwa ketersediaan airnya sangat ekstrim sehingga

sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman jagung.

Kondisi surplus dan defisitnya penanaman pada bulan April I, April II

dan April III dapat dilihat pada Gambar 6.22, Gambar 6.23, dan

Gambar 6.24,

Gambar 6.24 Waktu Tanam April I – Juni III

Gambar 6.25 Waktu Tanam April II – Juni I

Page 58: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

58

Gambar 6.26 Waktu Tanam April III – Agustus I

Periode I tahun 1981 – 1995 maupun periode II tahun 1996 – 2010 waktu

tanam jagung dengan masa pertumbuhan 85-90 hari tidak mengalami pergeseran,

kedua periode ini waktu tanam yang tepat jatuh pada bulan Desember dasarian I

karena kebutuhan air tercukupi dari awal pertumbuhan sampai panen.

Page 59: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

59

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat

disimpulkan dan disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Pola curah hujan di daerah Gerokgak adalah pola monsoon yang dicirikan

dalam bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan

yaitu bulan Januari).

2. Perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak, selama 15 tahun periode I

tahun 1981-1995 ke periode II tahun 1996-2010, berdasarkan uji garis t

berpasangan menunjukkan tidak ada perubahan pola curah hujan atau tidak

signifikan.

3. Tipe iklim di daerah Gerokgak menunjukkan tidak terjadi perubahan tipe

iklim selama 15 tahun periode I tahun 1981-1995 ke periode II tahun 1996-

2010, Tipe iklim untuk ke dua periode tersebut termasuk tipe iklim D4.

4. Perubahan pola curah hujan dan tipe iklim tidak berpengaruh terhadap waktu

tanam jagung. Waktu tanam jagung (Zea mays L) yang terbaik di daerah

Gerokgak adalah pada bulan Desember Dasarian I.

7.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian langsung di lapangan sebagai tindak lanjut dari

penelitian ini sehingga diperoleh hasil yang lebih realitas.

Page 60: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

60

2. Perlu dilakukan penelitian terhadap kebutuhan air tanaman jagung dengan

menanam tanaman jagung sehingga nilai evapotranspirasi potensial (ETo)

lebih realistis.

3. Kekurangan air pada masa pertumbuhan tanaman jagung dapat diminimalisir

dengan dilakukan penanaman pada awal Desember Dasarian I, pada

penanaman akhir musim hujan sebaiknya tidak dilakukan penanaman karena

tanaman jagung akan kekurangan air atau cekaman yang ekstrim dan

berkepanjangan.

4. Disarankan petani di daerah Gerokgak dapat melakukan waktu tanam jagung

(Zea mays L) sesuai dengan waktu tanam yang dihasilkan oleh penelitian ini.

Page 61: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

61

DAFTAR PUSTAKA

Adri dan Endrizal. 2009. Prospek dan Strategi Pengembangan Jagung Varietas

Sukmaraga di Prov. Jambi. Prosiding Seminar Nasional Serealia.

Anonim. 2012. http://findpdf.net/reader/SKRIPSI-KU-FIKSpdf-unhas-repository-

Universitas-Hasanuddin.html.

Anonim.2010. http://www.peipfi-komdasulsel.org/wp-content/ uploads/ 2012/03/

Chapter-II.pdf.

Arsana, IGK. Dana, IN. Adijaya dan Suprapto. 2012. Pengkajian Sistem Usahatani

Pada Lahan Kering Dataran Rendah Beriklim Kering Daerah Buleleng – Bali,

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2011. Prakiraan Musim Hujan

2010/1011 di Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 2008. Menentukan Masa Tanam yang

Tepat dengan Kalender Tanam. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

Vol. 30, No. 3.

Bapeda Provinsi Bali. 2009. Materi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Provinsi Bali.

Bey, A., Pawitan, H., Las, I., Tjasyono, B. dan Winarso, P.A. 1992. Evaluasi Iklim

Indonesia dan Antisipasi Musim Kemarau 1992. Prosiding Seminar Antisipasi

Iklim 1992 dan Dampaknya terhadap Pertanian Tanaman Pangan, Perhimpunan

Meteorologi Pertanian Indonesia dan Balit Pengembangan Pertanian.

BPS Bali 2011. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Chang. 1968. Climate and Agriculture. An Ecological Survey. Aldine Publishing

Company. Canada.

Daryono. Suanda, D.K. dan Sri Agung, I G.A.M. 2003. Evaluasi Zona Agroklimat

Oldeman Daerah Bali Berdasarkan Pemutakhiran Data Curah Hujan Hingga

tahun 2000. Jurnal Agritrop, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian

Universitas Udayana. Vol. 22 No. 3 Sept. 2003.

Dastane, N.G. 1974. Effective Rainfall in Irrigated Agriculture Drainage. Paper no 25,

FAO, Rome.62 p.

Page 62: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

62

Direktorat Jenderal Pengairan, 1986. Standar Perencanaan Irigasi (KP. 01-05).

Departemen Pekerjaan Umum, CV. Galang Persada, Bandung.

Departemen Pekerjaan Umum Propinsi Bali. 1995. Studi Pengembangan Potensi dan

Konservasi Sumber Air Bali. Proyek Pengembangan Sumber Air dan

Pengendalian Banjir. Buku IV Laporan Penunjang.

Doorenbos, J. and Pruitt. W.O. 1977. Crop Water Requirement. Food and Agriculture

Organization of The United Nation. Rome.

Fuad Bustomi, 2000. Simulasi Tujuh Teknik Pemberian Air Irigasi Untuk Padi di

Sawah dan Konsekuensi Kebutuhan Air Satu Masa Tanam. Tesis Program

Pascasarjana Program Studi Teknik Sipil UGM, Yogyakarta (Tidak diterbitkan).

Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian Faperta

UNLAM. Banjarbaru.

Hillel, D. 1972. Soil and Water. Physical Priciples and Processes. Academic Press Inc.

London.

Irfan Budi Pramono, I.B. dan Adi, R.N. 2010. Perbandingan Hasil Estimasi Potensi Air

Bulanan dan Hasil Pengukuran Langsung di Sub DAS Wuryantoro, Wonogiri,

Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.

Irianto, G., Anien, L.I. dan Surmaini, E., 2000, Keragaman iklim sebagai peluang

diverivikasi. Prosiding Seminar Sumberdaya Lahan Indonesia dan

Pengelolaannya, Puslitanag, Bogor.

Jackson, L.J. 1979. Climate, Weather and Agriculture in The Tropics. Longman

Corp Ltd. London and New York. 229 p.

Kartasapoetra, A.G. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman.

Bumi Aksara. Jakarta.

Kayadu, E. 2002. Zona Agroklimat di Kabupaten dan Kota Madya Jayapura. Jurnal

Meteorologi dan Geofisika, Vol 3, No 3, Edisi Januari-Maret 2002. Hal. 19-23.

Kramer, P.J.1980.Water Requirement of Plant. Academic Press. New York.300 p.

Lilik, S.S. dan Sinta B.S. 2009. Indikasi Perubahan Iklim dari Pergeseran Bulan Basah,

Kering, dan Lembab. Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global dan

Perubahan Global. Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi.

Page 63: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

63

Mahmud. 2009. Skenario Perubahan Variabilitas Iklim di Indonesia, Prosiding Seminar

Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global, Fakta, Mitigasi, dan

Adaptasi.

Mohammad. 1999. Strategi Penentuan Waktu Tanam Kedelai Pada Saat Kondisi Iklim

Normal dan Ekstrim di Flores NTT. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 19 hal.

Margaretha SL, dan Fadhly, A.F. 2010, Peluang dan Kendala Pengembangan Pola

Tanam Jagung Tiga Kali Setelah Padi (IP 400) Prosiding Pekan Serealia

Nasional.

Meiviana, A., Diah R.S. dan Moekti H. S. 2004. Bumi Makin Panas: Ancaman

Perubahan Iklim di Indonesia, Kemeterian Lingkungan Hidup, JICA, dan

Yayasan Pelangi.

Mustofa, M.A. 2002. Identifikasi Sifat Curah Hujan di Wilayah Jawa Barat. Jurnal

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Vol. 2 No. 4, Oktober-Desember 2001.

Hal. 36-46.

Oldeman, L.R.. 1975. An Agroclimatic Map of Java and Madura. Contribution Central

Research Institute for Agric. Bogor. Indonesia. No.17.xd22 pp.

Oldeman, L.R., Las, I. dan Muladi. 1980. An Agro-Climatic Map of Kalimantan,

Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Cont. Central

Research Institute for Agriculture. Bogor. No. 60. 32 pp.

Purnomo. 2007. “Analisis Neraca Air Lahan di Daerah Jembrana Propinsi

Bali”(skripsi). Denpasar. Universitas Mahasaraswati.

Pramudia, A., 2006, Musim Hujan di Sentra Produksi Padi sudah Berubah, Majalah

Sinar Tani, Edisi September 2006.

Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Runtunuwu, E. dan Syahbuddin. H. 2007. Perubahan Pola curah hujan dan Dampaknya

terhadap Periode Masa Tanam, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumbardaya Lahan Pertanian, Bogor.

Rusmayadi, G. 2011. Dinamika Kandungan Air Tanah di Areal Perkebunan Kelapa

Sawit dan Karet dengan Pendekatan neraca Air, Agroscientiae. Volume 18

Nomor 2 Agustus 2011.

Santosa, I.G.N. 2006. “Perencanaan Pola Tanam Berdasarkan Kebutuhan dan Persediaan

Air pada Lahan Kering di Bali Utara”.(desertasi). Malang. Universitas Brawijaya.

Hal. 86-87.

Page 64: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

64

Sasmito, A., Widiatmoko, H., dan Ribudiyanto, K. 2005. Informasi Meteorologi untuk

Mendeteksi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi DKI Jakarta,

Prosiding, Seminar Hari Meteorologi Dunia ke-55, Jakarta, 23 Maret 2005, hal.

17-32.

Simatupang, P., Marwoto, dan Dewa K.S. Swastika, 2005, Lokakarya Pengembangan

Kedelai di Lahan sub Optimal di BALITKABI Malang.

Sosrodarsono dan Takeda, 2005. Pemanfaatan air alami untuk irigasi dengan

berdasarkan metode-metode neraca air. Institut Teknologi Bandung.

Suswono. Soepardi, 1983. Metode Keseimbangan Air. LIPI. Jakarta.

Subagyono, K. 2007. Dampak Perubahan Iklim terhadap Pertanian, Seminar Sehari

“Keanekaragaman Hayati di Tengah Perubahan Iklim - Tantangan Masa Depan

Indonesia”, Hotel Grand Kemang, Jakarta, 28 Juni 2007.

Sudarta, I. W. 2007. “Penentuan Waktu Tanam, Pola Tanam Padi (Oryza Sativa) Dan

Jagung (Zea Mays L.) Berdasarkan Kebutuhan Dan Persediaan Air Lahan Di

Daerah Baler Bale Agung Kabupaten Jembrana” (Skripsi) Denpasar: Jurusan

Budidaya Pertanian Universitas Mahasaraswati.

Sumiana, Y. 2007. “Neraca Air Lahan dan Cara Penghitungannya”. Yogjakarta.

Universitas Gajahmada. Hal 32.

Surmaini, E. dan Irianto, G. 2003. Anomali Iklim, Evaluasi Masa Tanam, Tingkat

kehilangan Hasil, dan Pengaturan Sistem Produksi Pertanian di Kalimantan

Timur, Berita Biologi, Volume 6, Desember 2003.

Suyono, H. dan Sulistya, W. 1999. Studi tentang Pola Sirkulasi Meridional pada Saat

Berlangsung Seruak Dingin. Bul. Met. Geo. No.2. Maret 1999. Hal 35-43.

Wisnubroto, S. 1999. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya.

Yogyakarta. 1999.

Page 65: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

65

Lampiran 1 : Data Curah Hujan Di daerah Gerokgak

No Tahun

Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

1 1981 402.0 238.0 63.0 18.0 28.0 148.0 142.0 1.0 12.0 0.0 266.0 358.0

2 1982 230.0 164.0 234.0 142.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 224.0

3 1983 292.0 135.0 289.0 242.0 230.0 8.0 0.0 0.0 0.0 33.0 40.0 134.0

4 1984 451.0 279.0 198.0 89.0 42.0 0.0 0.0 0.0 31.0 23.0 50.0 182.0

5 1985 80.0 161.0 173.0 202.0 54.0 0.0 66.0 0.0 0.0 5.0 74.0 260.0

6 1986 271.0 259.0 121.0 115.0 20.0 39.0 15.0 0.0 0.0 0.0 0.0 240.0

7 1987 161.0 121.0 79.0 0.0 23.0 0.0 7.0 0.0 0.0 0.0 0.0 103.0

8 1988 130.0 22.0 262.0 22.0 25.0 19.0 0.0 6.0 0.0 27.0 303.0 45.0

9 1989 36.0 232.0 69.0 75.0 0.0 181.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 180.0

10 1990 303.0 165.0 94.0 82.0 13.0 6.0 5.0 1.0 0.0 0.0 0.0 179.0

11 1991 38.0 106.0 125.0 28.0 29.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 25.0 76.0

12 1992 326.0 426.0 295.0 122.0 0.0 0.0 0.0 22.0 2.0 5.0 27.0 254.0

13 1993 139.0 125.0 83.0 85.0 16.0 23.0 6.0 4.0 0.0 9.0 27.0 86.0

14 1994 199.0 249.0 341.0 11.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 202.0

15 1995 215.0 288.0 418.0 112.0 82.0 8.0 0.0 0.0 0.0 0.0 103.0 281.0 Periode I

(1981-1995) 218.2 198.0 189.6 89.7 37.5 28.8 16.1 2.3 3.0 6.8 61.0 186.9

16 1996 293.0 316.0 127.0 102.0 0.0 14.0 0.0 14.0 0.0 32.0 21.0 183.0

17 1997 267.0 151.0 23.0 66.0 8.0 3.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 44.0

18 1998 170.0 244.0 146.0 63.0 54.0 116.0 70.0 0.0 41.0 40.0 17.0 168.0

19 1999 182.5 214.5 172.0 220.0 0.0 30.0 0.0 0.0 0.0 0.0 102.0 248.0

20 2000 384.0 214.0 399.0 144.0 58.0 0.0 0.0 0.0 0.0 16.0 151.0 201.0

21 2001 188.0 75.5 92.0 98.0 0.0 63.0 10.0 0.0 0.0 27.0 6.5 168.0

22 2002 305.0 313.0 101.0 31.0 13.0 8.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 251.0

23 2003 595.0 284.0 166.0 47.0 17.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 85.0 169.0

24 2004 122.1 278.0 193.0 39.0 17.0 12.0 0.0 0.0 12.0 0.0 48.0 35.0

25 2005 159.0 230.0 175.0 48.0 0.0 179.0 35.0 50.0 0.0 41.0 96.0 482.0

26 2006 583.0 170.0 268.0 109.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 114.0

27 2007 27.0 95.0 130.0 18.0 56.0 64.0 0.0 0.0 0.0 3.0 29.0 53.0

28 2008 50.0 229.5 222.5 66.0 11.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8.0 176.0 237.0

29 2009 184.0 184.5 74.0 50.0 153.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 12.0 16.0

30 2010 322.0 151.0 132.0 77.0 250.0 28.0 86.0 8.0 226.0 111.0 68.0 706.0

Periode II

(1996-2010) 255.4 210.0 161.4 78.5 42.5 34.5 13.4 4.8 18.6 18.9 55.9 205.0

Page 66: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

66

Lampiran 2 : Data Suhu Udara Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dan Konversinya ( 0C )

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

1981 27,9 27,8 28,0 27,6 27,0 27,0 26,5 26,4 27,2 27,8 27,4 27,9

1982 28,0 27,6 27,5 27,6 26,6 26,3 24,7 25,5 25,9 27,1 28,4 28,8

1983 28,3 28,7 28,6 28,4 27,2 26,5 25,5 26,0 26,6 27,5 27,7 27,4

1984 27,1 27,1 27,1 27,4 27,0 26,3 25,8 25,8 25,8 26,8 27,8 26,9

1985 28,0 27,2 27,4 27,4 27,6 26,4 25,8 25,9 26,5 27,4 28,0 27,7

1986 27,2 27,3 27,4 27,6 26,8 26,5 25,8 25,5 26,5 27,3 27,9 27,9

1987 27,3 27,8 27,6 27,5 27,3 27,0 25,6 25,9 26,0 27,5 27,6 27,5

1988 27,7 28,0 28,5 27,5 27,3 27,0 26,3 26,0 27,1 28,4 28,1 28,2

1989 27,7 27,5 27,6 27,3 27,5 27,2 27,0 26,7 27,0 27,1 28,9 28,8

1990 27,6 28,2 27,8 27,8 27,5 26,5 26,7 26,2 27,2 27,4 28,3 27,9

1991 27,3 28,0 27,5 27,6 27,3 26,5 25,7 25,5 26,1 27,1 27,1 28,0

1992 28,1 28,0 27,8 27,5 27,1 26,7 26,6 26,3 26,8 27,2 27,7 27,4

1993 28,2 28,0 27,6 29,7 27,3 27,2 25,1 26,7 26,8 25,2 27,1 27,3

1994 27,6 28,1 27,2 27,1 26,3 25,3 25,7 25,6 25,6 27,1 28,5 28,5

1995 27,9 27,8 27,6 27,6 27,5 27,3 26,9 26,4 26,8 27,9 27,6 28,0

Rata-rata

1981-1995 27,7 27,8 27,7 27,7 27,2 26,6 26,0 26,0 26,5 27,2 27,9 27,9

1996 27,9 27,7 28,1 28,0 26,9 27,2 26,6 26,7 26,8 28,1 27,8 28,3

1997 27,8 27,6 27,7 28,0 27,2 26,8 25,9 25,3 26,0 27,5 28,3 28,7

1998 29,2 29,2 28,9 29,2 28,4 28,0 27,8 28,0 27,9 28,4 28,3 27,9

1999 27,7 28,2 27,4 27,4 26,9 26,6 25,9 25,9 26,7 27,5 27,3 27,2

2000 27,2 27,0 27,2 27,0 26,8 26,4 25,7 25,7 27,0 27,2 27,3 28,0

2001 27,2 27,7 27,2 27,1 26,8 26,9 25,8 25,8 26,9 27,5 28,0 27,2

2002 27,4 27,5 27,4 27,3 27,2 26,3 26,0 25,4 25,7 27,0 28,5 28,1

2003 27,5 27,7 27,3 27,5 27,0 26,3 25,5 25,1 25,7 26,6 27,9 27,4

2004 27,7 28,8 27,7 27,8 26,8 25,5 25,7 25,1 26,0 26,9 27,9 27,6

2005 27,8 28,2 27,8 27,4 26,5 26,8 26,4 25,6 26,4 27,2 27,4 27,1

2006 27,3 27,2 27,4 27,3 26,8 26,2 25,4 25,4 25,2 26,8 28,2 28,2

2007 27,7 27,7 27,6 27,1 27,1 26,7 25,8 25,4 25,5 27,1 27,6 27,3

2008 27,3 27,3 26,7 26,8 26,7 26,0 25,6 26,0 26,3 27,6 27,5 27,2

2009 27,5 27,2 27,2 27,5 27,1 26,3 26,1 26,0 26,0 27,2 28,3 28,3

2010 28,1 28,0 28,2 27,8 27,9 27,2 26,9 26,8 27,1 27,7 28,0 27,5

Rata-rata

1996-2010 27,2 27,9 27,6 27,5 27,1 26,6 26,1 25,9 26,4 26,8 27,5 27,7

Page 67: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

67

Lampiran 3. Penghitungan Evapotranspirasi Potensial (ETo)

Page 68: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

68

Lampiran 4 : Perhitungan Koefisien Tanaman (Kc).

Perhitungan Kc Periode I Tahun1981-1995 Perhitungan Kc Periode II Tahun1996-2010

Page 69: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

69

Page 70: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

Lampiran 5 : Perhitungan Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode I 1981 – 1995.

66

Page 71: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

71

Lampiran 6 : Perhitungan Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode I 1996 – 2010

67

Page 72: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

72

Lampiran 7 : Ketersediaan Air (Curah Hujan Efektif)

Ketersediaan Air Periode I tahun 1981-1995 Ketersediaan Air Periode II tahun 1996-2010

Prosentase Hujan Efektif Prosentase Hujan Efektif

% (mm) % (mm)

I 79,87 60 59,9 I 78,61 59 59,0

II 59,93 36 36,0 II 60,53 36 36,3

III 78,40 59 58,8 III 116,30 87 87,2

I 54,40 33 32,6 I 58,80 35 35,3

II 75,47 60 60,4 II 79,17 63 63,3

III 68,13 51 51,1 III 72,03 54 54,0

I 74,27 56 55,7 I 74,77 56 56,1

II 44,67 27 26,8 II 49,47 30 29,7

III 70,67 53 53,0 III 37,13 28 27,9

I 36,53 22 21,9 I 27,33 16 16,4

II 31,13 19 18,7 II 40,73 24 24,4

III 22,00 13 13,2 III 10,47 6 6,3

I 23,27 14 14,0 I 11,13 7 6,7

II 5,60 3 3,4 II 23,07 14 13,8

III 8,60 5 5,2 III 8,27 5 5,0

I 4,13 2 2,5 I 5,20 3 3,1

II 10,13 6 6,1 II 20,60 12 12,4

III 14,53 9 8,7 III 8,67 5 5,2

I 9,87 6 5,9 I 3,73 2 2,2

II 0,33 0 0,2 II 3,40 2 2,0

III 5,87 4 3,5 III 6,27 4 3,8

I 0,60 0 0,4 I 0,53 0 0,3

II 0,00 0 0,0 II 4,27 3 2,6

III 1,67 1 1,0 III 0,00 0 0,0

I 1,73 1 1,0 I 0,80 0 0,5

II 0,47 0 0,3 II 13,47 8 8,1

III 0,80 0 0,5 III 4,33 3 2,6

I 2,27 1 1,4 I 6,47 4 3,9

II 1,80 1 1,1 II 6,27 4 3,8

III 2,73 2 1,6 III 6,13 4 3,7

I 1,80 1 1,1 I 16,00 10 9,6

II 18,27 2 1,8 II 17,83 2 1,8

III 40,93 25 24,6 III 22,07 13 13,2

I 55,13 33 33,1 I 24,40 15 14,6

II 56,27 34 33,8 II 74,20 45 44,5

III 75,53 57 56,7 III 106,40 80 79,8

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Total

Januari

Februari

Bulan Total

Januari

Februari

Bulan

September

Oktober

Nopember

Desember

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

Page 73: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

73

Lampiran : 8 Keseimbangan air antara kebutuhan air dan ketersediaan air.

Tahun 1981 – 1995

I 59,9 44,5 56,8 43,4 43,4 33,4 27,8

II 36,0 49,0 44,5 58,4 58,4 43,4 33,4

III 58,8 52,9 49,0 44,5 56,8 58,4 43,4

I 32,6 51,0 47,2 42,9 54,7 56,3

II 60,4 51,0 47,2 42,9 54,7

III 51,1 51,0 47,2 42,9

I 55,7 20,4 48,4 44,9

II 26,8 25,5 20,4 48,4

III 53,0 30,6 25,5 20,4

I 21,9 38,0 29,2 24,3 19,5

II 18,7 51,1 38,0 29,2 24,3 19,5

III 13,2 49,6 51,1 38,0 29,2 24,3 19,5

I 14,0 36,6 46,7 48,1 35,7 27,5 22,9

II 3,4 40,3 36,6 46,7 48,1 35,7 27,5

III 5,2 43,5 40,3 36,6 46,7 48,1 35,7

I 2,5 40,9 37,8 34,4 43,9 45,2

II 6,1 40,9 37,8 34,4 43,9

III 8,7 40,9 37,8 34,4

I 5,9 16,0 38,0 35,2

II 0,2 20,0 16,0 38,0

III 3,5 24,0 20,0 16,0

I 0,4 30,7 23,6 19,7 15,7

II 0,0 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7

III 1,0 40,1 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7

I 1,0 34,4 43,9 45,2 33,5 25,8 21,5

II 0,3 37,8 34,4 43,9 45,2 33,5 25,8

III 0,5 40,9 37,8 34,4 43,9 45,2 33,5

I 1,4 50,3 46,6 42,3 54,0 55,5

II 1,1 50,3 46,6 42,3 54,0

III 1,6 50,3 46,6 42,3

I 1,1 21,2 50,4 46,6

II 1,8 26,5 21,2 50,4

III 24,6 31,8 26,5 21,2

I 33,1 43,3 33,3 27,7 22,2

II 33,8 58,3 43,3 33,3 27,7 22,2

III 56,7 56,6 58,3 43,3 33,3 27,7 22,2

Juli

BulanKSa

ETc (mm)

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

Page 74: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

74

Lampiran : 9 Keseimbangan air antara kebutuhan air dan ketersediaan air.

Tahun 1996 – 2010

Januari I 59,0 43,1 55,0 42,0 42,0 32,3 26,9

II 36,3 47,4 43,1 56,6 56,6 42,0 32,3

III 87,2 51,2 47,4 43,1 55,0 56,6 42,0

Februari I 35,3 52,0 48,2 43,8 55,8 57,5

II 63,3 52,0 48,2 43,8 55,8

III 54,0 52,0 48,2 43,8

Maret I 56,1 20,7 49,2 45,6

II 29,7 25,9 20,7 49,2

III 27,9 31,1 25,9 20,7

April I 16,4 39,5 30,4 25,3 20,3

II 24,4 53,2 39,5 30,4 25,3 20,3

III 6,3 51,7 53,2 39,5 30,4 25,3 20,3

Mei I 6,7 37,2 47,4 48,8 36,3 27,9 23,2

II 13,8 40,9 37,2 47,4 48,8 36,3 27,9

III 5,0 44,2 40,9 37,2 47,4 48,8 36,3

Juni I 3,1 41,0 37,9 34,5 44,0 45,3

II 12,4 41,0 37,9 34,5 44,0

III 5,2 41,0 37,9 34,5

Juli I 2,2 16,1 38,1 35,3

II 2,0 20,1 16,1 38,1

III 3,8 24,1 20,1 16,1

Agustus I 0,3 30,7 23,6 19,7 15,7

II 2,6 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7

III 0,0 40,1 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7

September I 0,5 34,3 43,8 45,1 33,5 25,8 21,5

II 8,1 37,8 34,3 43,8 45,1 33,5 25,8

III 2,6 40,8 37,8 34,3 43,8 45,1 33,5

Oktober I 3,9 48,4 44,8 40,7 52,0 53,5

II 3,8 48,4 44,8 40,7 52,0

III 3,7 48,4 44,8 40,7

Nopember I 9,6 22,4 53,1 49,2

II 1,8 28,0 22,4 53,1

III 13,2 33,6 28,0 22,4

Desember I 14,6 42,7 32,8 27,4 21,9

II 44,5 57,5 42,7 32,8 27,4 21,9

III 79,8 55,8 57,5 42,7 32,8 27,4 21,9

BulanKSa

ETc (mm)

Page 75: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

75

Lampiran 10 : Hasil Analisis Tanah di Daerah Gerokgak

Hasil Analisis Tanah di Daerah Gerokgak

Analisis Tanah Metode Hasil Keterangan

C Organik Walkley & Black 1,81 % Rendah

Kadar Air

- Kering Udara (KU)

- Kapasitas Lapang

(KL)

Gravimetri

Gravimetri

3,21 %

21,50 %

Tekstur

- Pasir

- Debu

- Liat

Pipet

Pipet

Pipet

27,05 %

60,23 %

12,72 %

Lempung Berdebu

(Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Udayana, 2013)

Page 76: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

76

Lampiran 11 : Analisa Pola Curah Hujan di Daerah Gerokgak Kabupaten Buleleng

dengan menggunakan Uji garis t memakai program SPSS.

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1

GRK_I 28,8278 36 29,20313 4,86719

GRK_I

I 30,5250 36 32,42927 5,40488

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 GRK_I & GRK_II 36 ,907 ,000

Paired Samples Test

Paired Differences

Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower

Pair 1 GRK_I - GRK_II -1,69722 13,64734 2,27456 -6,31482

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-tailed)

95% Confidence

Interval of the

Difference

Upper

Pair 1 GRK_I - GRK_II 2,92037 -,746 35 ,461

Analisa Pola Curah Hujan Daerah Gerokgak

Dengan : Ho : tidak terjadi perubahan pola curah hujan

1. Mean ada kenaikan dari 28,8 mm menjadi 30,5 mm, kolom uji t menunjukkan -

0,746 artinya pergeserannya negatif sebesar 0,746 b = tidak signifikan karena

hasil penghitungan sebesar .461 atau 0,461 < dari tabel Uji t pada df = 35 sebesar

1,690.

2. Tidak terjadi perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak

Page 77: (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di

77

Lampiran 12 : Daftar istilah

- ETo : Evapotranspirasi standar/potensial

- ETc : Evapotranspirasi tanaman ( kebutuhan air tanaman )

- KSa : Ketersediaan Air Lahan

- Kc : Koefisien Tanaman

- Das : Dasarian (sepuluh harian)

- Surplus : Kelebihan air lahan

- Defisit : Kekurangan air lahan