Upload
lyphuc
View
228
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
MURADHIF DAN MUSYTARAK
1. Muradhif
Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna
Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat
yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para Jumhur
ulama sebagai beriku:
طالع عليه يقم لم اذا يجوز االخر مكان المرادفين من كل ايقاع
شرعي Artinya: Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan
jika tidak ditetapkan oleh syara’.
Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa
terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu
dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat
sempurna, Dia-lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah
menurunkan-nya juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui
delegasi terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan
mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat
dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat
“Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau
“Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal
dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
Hukum Muradhif
Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya,
diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan
bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada
perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.
2. Musytarak
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan القوم اشترك yang berarti “kaum itu
bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan
pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para
ulama’ ushul adalah anatara lain:
اللغ تلك اهل عند السوأ على داللة اواكثر مختلفين معنيين على الدال الواحد اللفظ Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda,
dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
البدل سبيل على الحدود مختلفة افرادا يتناول لفظ Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda
batasannya dengan jalan bergantian”
Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan
semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi
harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata yang dalam pemakaian قرء
bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz عين bisa berarti
mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “"يد
musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata dapat berarti tahun untuk سنة hijriyah,
syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
a. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak sekali,
namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara
lain sebagai berikut :
1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk
menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam
satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” ( ذراع كله ).
Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk
menunjukkan khusus “telapak tangan”.
2. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ( (تردد antara makna hakiki dan
majaz.
3. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ((تردد antara makna hakiki dan
makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam
arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصالة
yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk
menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.
b. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak,
maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai
berikut :
a. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti
bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada
indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah
bahasa.
b. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang
ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan
menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah
haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash.
Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat
turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut,
menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat
menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah
membolehkan menggunakan salah satu artinya.
c. Contoh-contoh Lafadz Musytarak
Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
المحيض عن في � ويسألونك ساء الن فاعتزلوا أذى هو قل يطهرن � المحيض ى حت تقربوهن فأتوهن � وال تطهرن فإذا
ه الل أمركم حيث ويحب � من وابين الت يحب ه الل إن المتطهرين
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka
Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat
keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan
tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang
arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu
haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz diatas adalah bukanlah waktu haidh المحيض
akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai
berikut:
قروء ثالثة بأنفسهن صن يترب قات والمطل Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'.
Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula
berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala
kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat
tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas.
Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau
antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan :
tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz
al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh.
Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang
secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada
pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab
jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
تان مر فإمساكبمعروفأوتسريحبإحسان � الطالق Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu
“melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa
yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz الصالة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung
arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah
yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz الصالة yang
diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab
ayat 56:
بي الن على ون يصل ومالئكته ه الل وا � إن صل آمنوا ذين ال ها أي يا
تسليما موا وسل عليه Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.”
Lafadz الصالة pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan
tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena dalam ayat الصالة
tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah
syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
C. Kesimpulan dan Penutup
Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna, jumhur ulama’
menyatakan bahwa mendudukan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan
selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’.
Sedangkan Musytarak lafal yang mempunyai dua makna atau lebih dan jumhur
ulama memperbolehkan penggunaan musyatrak menurut arti yang dikehendaki atau
berbagai makna sesuai proporsinya.
Penjelasan mengenai kaidah-kaidah tersebut sangat diperlukan guna menggali
dan menetapkan suatu hukum yang bersumber dari nash-nash.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang
terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan
yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan
membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat
dalam Al-Qur’an.
1. Pengertian Musytarak Lafaz Musytarak ialah lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Misalnya: lafaz “quru’” mempunyai arti “suci” dan “haid”. Lafaz tersebut memerlukan penjelasan yang seksama apa yang dimaksud dengannya. Lafaz Musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang penunjukannya kepada makna itu dengan jalan bergantian, tidak sekaligus.
2. Sebab-sebab Lafaz Menjadi MusytarakLafaz itu digunakan oleh suatu suku bangsa (qabilah) untuk makna tertentu dan oleh suku bangsa yang lain digunakan untuk makna yang lain lagi, kemudian sampai kepada kita dengan kedua makna tersebut tanpa ada keterangan dari hal perbedaan yang dimaksud oleh penciptanya.
Lafaz yang diciptakan menurut hakikatnya untuk satu makna, kemudian dipakai pula kepada makna lain tetapi secara majazi (kiasan). Pemakaian secara majazi ini masyhur pula, sehingga orang-orang menyangka bahwa pemakaiannya dalam arti yang kedua itu adalah hakiki, bukan majazi. Dengan demikian para ahli bahasa memasukannya ke dalam gologan lafaz musytarak.Lafaz itu semula diciptakan untuk satu makna, kemudian dipindahkan kepada istilah syari’at untuk arti yang lain. Misalnya lafaz “shalat”, menurut arti bahasa semula artinya adalah berdoa, kemudian menurut arti istilah syar’i ialah shalat sebagaimana yang kita kenal sekarang.
3. Hukum Lafaz Musytarak Apabila persekutuan arti lafaz musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara makna lugawi dengan makna istilah syar’i, maka hendaklah diambil makna menurut istlah syar’i.
makalah lafal musytarak dan dalalahnya
A. PENDAHULUAN
Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupan ilmu yang tdak bisa diabaikan oleh seorang
Mujtahid dalam upayanya member penjelsan mengenai nash-nash syariat ialam dan dalam
menggali hukum islam yng tidak terdapat nash padanya. Ia juga merupakan ilmu yang
diperlukan bagi seorang Hakim (Qadhi) dalam usaha memahami materi secara sepurna.
Kaidah-kaidah pokok bahasa juga dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dalam bagian ini
tampaknya ketelitian untuk para pengaji untuk memahami nash-nash, dan ketelitian bahasa arab
dalam dalalahnya kpada beberapa makna yang dikandungnnya.
Dengan adananya kemampuan ini para ualam syariat dapat menggali hukum-hukum
syariat islam dari beberapa nashnya yng meskipun mempunyai makna yang ganda. Dan dapat
menghilangkan kesulitan-kesulitan tersebut dalam rangka menjelaskan tenteng hukum-hukum
syariat islam, walaupun mempuanyai arti yang ganda atau bahkan lebih banyak.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian lafadz musytarak ?
2. Bagaimana sebab timbulnya lafadz musytarak ?
3. Bagaimana hukum lafadz musytarak dan dalalahnya?
C. PEMBAHASAN
A. Pengertian dari Al-Musytarak
Al-Musytarak adalah sebuah lafadz yang mempunyai arti banyak dengan kegunaan yang
banyak pula. Seperti lafadz (السنة ) (tahun) yang bisa berarti tahun hijriah atau miladiyah.
Lafadz ( اليد ) (tangan) yang bisa berarti tangan kanan dan juga bisa berarti tangan kiri.
Al-musytarak juga bisa berarti suatu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan
kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan arti ini atau arti itu. Seperti lafadz ( العين ) yang
bisa berarti mata, sumber mata air, dan reserse (mata-mata).
Musytarak adalah suatu lafadz yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti
tersebut berbeda-beda. Apabila arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain majaz, maka tidak
tidak dikatakan musytarak. Umumnya ulama ushul, menepatkan lafadz musytarak ini pada
kelompok al-khash, dan al-‘am yaitu dilihat dari segi penetapan lafadz bagi suatu makna.
Adapun yang dimaksud dengan lafadz musytarak sebagai mana dijelaskan oleh Abu
Zahra adalah ;
Musytarak ialah suatu lafadz yang menunjukan kepada pengertian ganda atau lebih
dengan penggunaan berbeda.
Lafadz disebut musytarak disyaratkan dua hal yaitu : terdapat beberapa penerapan suatau
lafadz dab juga terdapat pengertian dari lafadz diterapkan dua kali atau lebih untuk dua
pengertian atau lebih.
Istirak atau persekutuan makna terjadi dengan banyaknya makna yang ditetapkan pada
lafadz dengan penetaapan yang beragam, sedangkan keumuman terjadi dengan dalalah lafadz
terhadap liputan seluruh sataun-satuan yang mengenainya tanpa suatau pembatasan, sementara
krkhususan terjadi dengan dalalah lafadzterhadap suatu atau sejumlah satuan yang terbatas yang
mengenainya tanpa keseluruhan
Jadi, lafadz musytarak dapat diartikan lafadz yang diletakan untuk dua makna atau lebih
dengan peletakan nag bermacam-macam, diman lafadz itu menunjukan makna yang ditetapkan
secara bergantian, artinya lafadz itu menunjukan makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz
ain ditetapkan menurut bahasa untuk pandangan, untuk mata air yang bersumber, dan mata-mata.
Lafadz al-quru ditetapkan dalsm bahasa, untuk pengertian suci dan haidh.
Ketika kita menjumpai suatu lafdz dalam Al-Quran dan ditemukan pemaknaan yang
berbeda dari referensi satu dengan referensi yang lain maka lafadz tersebut teramsuk lafadz
musytarak. Untuk memilih makna lafadz yang lebih sesuai dengan lafadz yang lebih sesuai
dengan lafadz tersebut maka jalan yang lebih utamaadalah mengambil pemaknaansecara syar’I
bukan lugowi, yang akan diuraikan lebih mendalam.[1]
B. Sebab-sebab Timbulnya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab adanya lafadz musytarak dalam bahsa banyak sekali, diantaranya yang
terpenting ialah perbedaan kabialh dalam mempergunakan lafadz untuk menunjukan kepada
beberapa makna. Sebagian kabilah memutlakan lafadz yad pada seluruh hasta sebagian kabilah
yang lai memutlakan lafadz yad pada pada lengan dan telapak tangan. Dan sebagian kabilah
yang lain memutlakannya pad atelapak tangan secara khusus. Selanjutnya para ulama mengutip
bahasa menetapkan bahwasanya tangan dalam bahasa arab adalah lafadz musytarakantara
pengertian yang tiga tersebut. Dimana sebabnya lagi ialah penetapan suatu lafadz itu
diperguanakan tidak pada pebnetapannya secara majas
Apapun yang menjadi sebab persekutuan makna dalam lafadz menurut bahasa, maka
sesungguhnya lafadz yang musytarak antara dua makna atau lebih tidaklah sedikit didalam
bahasa, dan terdapat dalam nash-nash syar’iyyah, baik ayat-ayat Al-Quran maupun hadits
Rasulullah.
Timbulnya lafadz musytarak :
a) Perbedaan beberap suku di dalam lafadz-lafadz untuk menunjukkan beberapa arti. Suku bangsa
arab terdiri dari dua golongan yaitu golongan Adnan dan golongan Qathan. Masing-masing
golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang terpencar-pencar yang
berbeda-beda tempat dan lingkungannya. Kadang-kadang suatu suku membikin nama untuk
suatu pengertian. Kemudian suku lain menggunakan nama tersebut untuk sesuatu pengertian
lainnya yang tidak dimaksud oleh suku pertama. Kadang-kadang antara kedua pengertian itu
tidak ada sangkut pautnya. Tatkala bahasa Arab diambil orang lain dan dibukukan kedua
pengertian itu diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungannya dengan suku yang
membikinnya semula.[2]
Misalnya sebagian suku mengartikan ( اليد ) dengan keeseluruhan hasta (tangan), yang lain
mengartikan ( dengan lengan tangan atau tapak tangan. Dan yang lain lagi mengartikan ( اليد
dengan tapak tangan saja. Maka para ahli bahasa menetapkan bahwa ( menurut bahasa ( اليد
Arab adalah lafadz yang mempunyai tiga arti yaitu lafadz yang digunakan untuk arti secara
hakikat, kemudian digunakan untuk arti lain secara majaz.[3]
b) Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Karenannya, satu lafal bisa digunakan
untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang disebut isytirak ma’ani (persekutuan batin ).
Kadang-kadang lantas orang melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian
tersebut, dan disangkanya hanya isytirak lafzi (persekutuan) lafal saja. Sebagaimana lafal qur’un
yang artinya semula ialah waktu tertentu. Karennya malaria disebut qur’un, karena mempunyai
waktu yang tertentu. Orang perempuan dikatakan mempunyai qur’un sebab ia mempunyai
datang bulan yang tertentu dan waktu suci yang tertentu.
Arti dasar yang menghubungkan berbagai-bagai pengertian qur’un ialah waktu yang
tertentu (isytirak ma’nawi). Tetapi arti yang menghuungkan arti ini kemudian dilupakan,
sehingga tidak dikenal hubungannya suci dan datang bulan dan dinamaknnya isytirak lafzi.
c) mula-mula sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang lain
dengan jalan majaz, karena adannya ‘alaqah (hubungannya). Alaqah ini dilupakan dan kemudian
hilang maka disangka kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenarnya (haqiqi) tanpa
mengetahui adannya alaqah tersebut.
C. Hukum Lafadz Musytarak dan Dalalahnya
Maksud dari pada syari’at ialah agar kita beramal menurut ketentuan arti lafal-lafal yang
datang daripadanya. Lafal Musytarak tidak dapat menunjukkan salah satu artinya yang tertentu.
(dari arti-arti lafal musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila
ada lafal musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya maka
dengan sendirinya lafal musytarak tersebut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita bisa beramal
sesuai dengan petunjuknya (lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud sebenarnya.
Berhubung dengan itu, tiap-tiap lafal musytarak yang datang dari syari’at tentu disertai qarinah,
baik qawliah (perkataan) atau haliyah (keadaan/suasana).
Contoh:
قرؤ ثالثة بانفسهين صن يترب (228 البقرة) : والمطلقات(Al Baqarah228)
Artinya: Isteri-isteri yang diceraikan, hendaklah berdiam diri (beribadah) tiga kali suci.
Lafal Qur’un mempunyai dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci. Mana yang
dikehendaki ayat tersebut dari kedua arti ini. Yang dikehendaki ialah datang bulan menurut satu
pendapat. Keterangannya adalah sebagai berikut:
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, bahwa arti qur’un semula ialah waktu yang
tertentu. Waktu yang tertentu hanya terdapat dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang kepada
keadaan yang asal (pokok). Maka yang bergiliran disini tidak hanya lain hanya datang bulan,
sebab suci adalah keadaan yang asal. Dapat pula ditambahkan keterangannya:
a. Maksud ‘Iddah ialah untuk mengetahui tentang tidak adannya kandungan. Tidak adannya
kandungan hanya dapat diketahui dengan adannya datang bulan.
b. Qur’an tidak bisa menyebutkan hal-hal yang kurang baik di dengar.
Dari contoh di atas kita mengetahui bahwa yang dimaksud lafal Musytarak di sini hanya satu arti
saja. Qarinah di sini ialah haliyyah (keadaan).[4]
Contoh lain :
Kata yad (tangan) dalam firman Allah SWT:
ايديهم فاقطعوا ارقة والس ارق (38المعدة ) : والسArtinya:
“laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan keduannya “ (QS Al-
Maidah: 38)
Kata tersebut adalah musytarak antara dzira’ (dari ujung jari hingga ujung bahu), antara
telapak tangan dan lengan (dari ujung jari sampai dengan siku) dan antara tangan kiri dan kanan.
Jumhur mujtahid beristidlal dengan sunnah amaliyyah untuk menentukan yang dimaksud dengan
tangan ayat itu, yakni dari ujung jari sampai dengan dua pergelangan pda tangan kanan.
Tidaklah sah menghendaki suatu lafadz musytarak dengan dua makna atau lebih secara
sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu, karena sebenarnya suatau lafadz
tidaklah dikehandaki oleh syar’I kecuali pada satu makna saja dari beberapa maknanya,
penetapannya untuk beberapa makna hanyalah dalam rangka pertukaran makna, artinya bahwa
lafadz itu adakalanya menunjukan arti itu.
Demikian pula halnya dalam nash perundang-undangan hukum positif, apabila lafadz
musytarak di dalamnya antara sejumlah makna kebiasaan, dan pembuat undang-undang tidak
menjelaskan makna yang dikehendaaki dari lafad itu, maka wajib dilakukan ijtihatuntuk
menenukan maknanya. Tidaklah sah memaksudkan lebih dari satu makna pada lafadz musytarak
yang terdapat dalam nash, karena lafadz musytarak tidaklah ditetapkan kecuali untuk satu makna
saja, akan tetapi satu makna itu berkisar antara dua makna atau lebih.
Jika lafadz musytarak yang ada dalam nash syara’ itu musytarak antara makna
kebahasaan dan makna terminologis syar’i, maka wajib dimaksudkan sebagai maknanya yang
bersifat terminologis syar’i. kata shalat misalnya ditetapkan menurut bahasa untuk pengertian
do’a, dan ia ditetapkan menurut syara’ untuk ibadah tertentu. Maka dalam firman Allah SWT :
Artinya : “ dirikanlah shalat”
Yang dimaksud dari lafadz itu adalah maknanya yang bersifat syar’i, yaitu ibadah
tertentu. Bukan makna kebahasaanya, yaitu do’a. kata Thalaq ditetapakan menurut bahasa untuk
melepaskan ikatan saja,dan menurut syara’ ia diletakkan untuk pelepasan ikatan pernikahan yang
shahih.
Maka yang dikehendaki adalah makna secara syar’i bukan makna secara bahasanya saja.
Demikianlah lafadz mustarak antara makna lughowi dan makna secara syar’i apabila dalam
nash syar’i, maka maksud syar’i dari lafadz itu adalah makna yang ditetapkan-Nya untuknya.
Sebab ketika lafadz tersebut telah diindahkan dari pengertaian kebahasaanya kepada pengertian
khusus yang dipergunakannya, maka lafadz itu dalam bahsa syar’i tertentu dalalahnya atas
pengertian yang ditetapakan syar’i kepadanya , demikian pula dalam nash perundang-undangan
hokum positif, apabila lafadz yang ada dalam nash mempunyai dua makna yaitu makan dalam
bahasa dan makan dalam terminologi perundang-undangan, maka wajilah yang dikehendaki
adalah pengertian yang bersifat perundang-undangan, bukan kebahasaan, karena sebab yang
telah kami jelaskan.
Apabila lafadz musytarak dalam nash syar’i adalah musytarak antara sejumlah mskna
kebahasaan, mska wajib dilakukan ijtihat untuk menentukan makna yang dikehendaki
darpadanya, karena syar’i tidaklah menghendaki pada suatu lafadz kecuali salah satu makna saja.
Dan seorang mujtahid berkewajiban untuk mengambil penunjuk dengan berbagai qarinah dan
tanda-tanda serta dalil-dalil untuk menetukan maksudnya itu.
Hal-hal diatas dilakukan untuk tidak menimbulkan kebingungan pada masyarakat awam
jika menjumpai lafadz mustarak. Tidaklah sah menghendaki suatu lafadz musytarak dengan dua
makna atau lebih secara sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu karena
sebenarnya suatu lafadz tidaklah dikehendaki oleh syar’i kecuali padasatu makna saja dari
beberapa maknanya. Penetapannya untuk beberapa makna hanyalah dalam rangka pertukatan
makna, artinya bahwa lafadz itu adakalanya menunjukan arti itu. Adapun penunjukannya
terhadap arti ini dan arti itub sekaligus dalam satu waktu.[5]
D. KESIMPULAN
Al-Musytarak adalah sebuah lafadz yang mempunyai arti banyak dengan kegunaan yang
banyak pula. Seperti lafadz (السنة ) (tahun) yang bisa berarti tahun hijriah atau miladiyah.
Lafadz ( اليد ) (tangan) yang bisa berarti tangan kanan dan juga bisa berarti tangan kiri.
Timbulnya lafadz musytarak dikarenakan Perbedaan beberap suku di dalam lafadz-lafadz
untuk menunjukkan beberapa arti. Suku bangsa arab terdiri dari dua golongan yaitu golongan
Adnan dan golongan Qathan. Dan antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. mula-
mula sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang lain
dengan jalan majaz,
Lafal Musytarak tidak dapat menunjukkan salah satu artinya yang tertentu. (dari arti-arti
lafal musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya.