Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
CEDERA KEPALA BERAT
Diajukan Kepada:
dr.Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, MH
Disusun oleh:
LIFIA PUTRI CITRA RAMADHANTY
1910221043
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
CEDERA KEPALA BERAT
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik dibagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD AMBARAWA
Disusun oleh:
LIFIA PUTRI CITRA RAMADHANTY
1910221043
Pembimbing
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, MH
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Cedera Kepala Berat”.
Terselesaikannya laporan kasus ini tentunya tercapai karena adanya
bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dr. Nurtakdir Setyawan, Sp.S, M.Sc, MH yang telah
membimbing dan seluruh teman-teman kepaniteraan klinik Departemen Ilmu
Kedokteran Saraf atas kerjasama dan bantuan selama penyusunan tugas ini.
Penulis mengetahui banyak kekurangan yang harus diperbaiki dan
mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan
yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri,
pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Ambarawa, 11 Januari 2021
Penulis
3
BAB I
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. P
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 20 Oktober 1992
Umur : 28 tahun 64 bulan 0 hari
Alamat : Sidorejo, Salatiga
Agama : Kristen
Pekerjaan : Swasta
Status perkawinan : Menikah
Tanggal masuk : Masuk IGD 13/02/21
Tanggal keluar : -
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD dibawa oleh temannya dengan keluhan tidak sadarkan diri
sejak 3 jam yang lalu setelah mengalami trauma kepala.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD oleh temannya dengan keluhan tidak sadarkan diri sejak 3
jam yang lalu setelah mengalami trauma kepala. Teman pasien mengatakan
bahwa pasien dipukul dengan tangan kosong oleh temannya yang seorang
pelatih silat di bagian rahang kiri hingga terjatuh dan bagian belakang kepala
pasien sempat terbentur cor-coran sebelum masuk rumah sakit sekitar 3 jam
yang lalu. Menurut kejadian, setelah terjatuh, pasien hanya sempat berusaha
untuk berdiri namun langsung terjatuh tidak sadarkan diri. Pasien sempat
dilarikan ke klinik di tempat kerjanya, namun tidak kunjung sadar, sehingga
pasien langsung dibawa oleh temannya ke IGD RSUD Ambarawa. Pada saat di
IGD, pasien mengalami penurunan kesadaran (hanya membuka mata ketika
4
diberikan rangsang nyeri, suara mengaduh saat diberikan rangsang nyeri dan
tangan pasien mampu berusaha menapis rangsang nyeri). Pasien sempat
mengalami muntah menyemprot (+), berwarna kekuningan, berbentuk makanan
yang terakhir pasien konsumsi, serta tidak tampak ada perdarahan pada
muntahannya. Pasien sempat mengeluarkan darah dari hidung dan telinga
setelah dipukul, namun saat di IGD, perdarahan tersebut sudah berhenti. Teman
pasien mengatakan ada luka memar kebiruan di bagian wajah kiri pasien. Tidak
terdapat kebiruan pada bagian mata dan belakang telinga (-). Tidak terdapat
perdarahan aktif dari lokasi benturan di belakang kepala pasien. Pasien tidak
merasa sesak nafas dan kejang. Tidak terdapat kelemahan pada bagian anggota
gerak pasien. BAK dan BAB tidak terdapat keluhan. Di IGD, pasien di diagnosis
sebagai Cedera Kepala Ringan dan sudah diberikan tatalaksana yang sesuai.
Pada pukul 12.30 tanggal 13/02/2021, pasien dipindahkan ke bangsal
Asoka, di bangsal Asoka, kesadaran pasien meningkat namun masih tampak
gelisah, sudah mulai membuka mata saat dipanggil, pasien sudah dapat
menjawab pertanyaan yang diberikan namun hanya dapat menjawab dengan
sedikit kalimat, pasien mengeluhkan merasa nyeri di belakang kepala dan kepala
terasa pusing tanpa berputar, nyeri di kepala terasa seperti penuh dan berat dan
terus menerus. Di bangsal Asoka, pasien masih mengalami muntah beberapa kali
(+), mual terutama saat makan, perdarahan pada hidung sudah tidak ada (-), Saat
ditanya mengenai kronologis kejadian, pasien mengaku tidak dapat mengingat
kejadian saat trauma tersebut. Keluarga pasien mengatakan, pasien terkadang
sedikit tidak nyambung saat diajak biacar dan terkadang pasien marah marah
kepada keluarganya. Pasien tidak mengalami sesak nafas dan kejang. Pasien
mengatakan tidak mengalami kelemahan pada anggota gerak badan kanan dan
kiri.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah memiliki penyakit gangguan kejang, dan epilepsy. Pasien
tidak memiliki penyakit gangguan penglihatan sebelumnya.
Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi
5
Kejadian terjadi di tempat kerja pasien. Pasien sudah bekerja selama 7 tahun dan
memiliki riwayat pekerjaan yang baik selama disana. Pasien terkadang tinggal di
kos bersama istrinya, terkadang dirumah bersama ibu dan kakaknya.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak sedang dalam mengonsumsi obat-obatan apapun
C. ANAMNESIS SISTEM
1. Sistem Serebrospinal
Penurunan kesadaran (+), nyeri kepala (+), kejang (-), muntah menyemprot
(+)
2. Sistem Kardiovaskuler
Riwayat hipertensi (-), riwayat jantung (-)
3. Sistem Respirasi
Sesak napas (-), batuk (-)
4. Sistem Gastrointestinal
Nyeri perut (-), BAB tidak terdapat kelainan
5. Sistem Muskuloskeletal
Keterbatasan gerak pada ekstremitas atas dan bawah (-), kelemahan pada
ekstremitas atas dan bawah (-)
6. Sistem Integumen
Terdapat luka lebam di daerah rahang kiri (+), nyeri pada wajah bagian kiri
(+), luka robek dan luka lecet (-)
7. Sistem Urogenitalia
Tidak ada keluhan saat BAK
D. RESUME ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis. Pasien
dibawa ke IGD oleh temannya dengan keluhan tidak sadarkan diri sejak 3 jam
yang lalu setelah mengalami trauma kepala. Pasien dipukul dengan tangan
kosong oleh temannya yang seorang pelatih silat di bagian rahang kiri hingga
terjatuh dan bagian belakang kepala pasien sempat terbentur cor-coran sebelum
masuk rumah sakit sekitar 3 jam yang lalu. Setelah terjatuh, pasien hanya sempat
6
berusaha untuk berdiri namun langsung terjatuh tidak sadarkan diri. Pasien
dibawa ke IGD RSUD Ambarawa pasca 3 jam kejadian. Pada saat di IGD,
pasien mengalami penurunan kesadaran (hanya membuka mata ketika diberikan
rangsang nyeri, suara mengaduh saat diberikan rangsang nyeri dan tangan pasien
mampu berusaha menapis rangsang nyeri). Pasien sempat mengalami muntah
menyemprot (+), berwarna kekuningan, berbentuk makanan yang terakhir pasien
konsumsi, serta tidak tampak ada perdarahan pada muntahannya. Pasien sempat
mengeluarkan darah dari hidung dan telinga setelah dipukul, namun saat di IGD,
perdarahan tersebut sudah berhenti. Terdapat luka memar kebiruan di bagian
wajah kiri pasien. Tidak terdapat kebiruan pada bagian mata dan belakang
telinga (-). Tidak terdapat perdarahan aktif dari lokasi benturan di belakang
kepala pasien. Pasien tidak merasa sesak nafas dan kejang. Tidak terdapat
kelemahan pada bagian anggota gerak pasien. BAK (+), BAB (-).
Pada pukul 12.30 tanggal 13/02/2021, pasien dipindahkan ke bangsal
Asoka, kesadaran pasien meningkat namun masih tampak gelisah, sudah mulai
membuka mata saat dipanggil, pasien sudah dapat menjawab pertanyaan yang
diberikan namun hanya dapat menjawab dengan sedikit kalimat, pasien
mengeluhkan merasa nyeri di belakang kepala dan kepala terasa pusing, nyeri di
kepala terasa seperti ditusuk tusuk (nyut-nyutan) dan terus menerus. Pasien
masih mengalami muntah beberapa kali (+), mual terutama saat makan,
perdarahan pada hidung sudah tidak ada (-), Saat ditanya mengenai kronologis
kejadian, pasien mengaku tidak dapat mengingat kejadian saat trauma tersebut.
Keluarga pasien mengatakan, pasien terkadang sedikit tidak nyambung saat
diajak biacar dan terkadang pasien marah marah kepada keluarganya. Pasien
tidak mengalami sesak nafas dan kejang. Pasien mengatakan tidak mengalami
kelemahan pada anggota gerak badan kanan dan kiri.
Diagnosis awal pasien yaitu cedera kepala sedang akibat trauma kepala
pukulan benda tumpul yaitu tangan. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
dahulu atau hal serupa sebelumnya. Riwayat penyakit keluarga disangkal. Pasien
tidak dalam konsumsi obat-obatan tertentu.
7
DISKUSI PERTAMA
Berdasarkan anamnesa, pasien mengalami truma/ cedera kepala yaitu
dipukul dan datang dengan penurunan kesadaran selama > 10 menit, disertai
adanya bekas perdarahan melalui telinga dan hidung, Pasien mengalami muntah
yang menyemprot selama di IGD.
Pasien membuka mata hanya saat dirangsang oleh nyeri dan respon suara
mengaduh saat diberikan rangsang nyeri, serta saat diberikan rangsang nyeri,
pasien mampu menjangkau atau menapis sumber nyeri yang diberikan.
Pasien langsung tidak sadarkan diri sejak kejadian, tanpa adanya periode
lucid interval, yaitu periode sadar diantara tidak sadarkan diri.
Berdasarkan keluhan yang disebutkan oleh pasien, pasien dapat
dikategorikan dlaam Cedera Kepala Sedang dengan kemungkinan terdapatnya
perdarahan intracranial dan intraventrikel (Jika CT Scan (+) terdapat kelainan
maka diagnosis akan berubah menjadi cedera kepala berat) sehingga pentingnya
dilakukan pemeriksaan penunjangan dan penelusuran neurologis sebagai berikut
1. Tanda-tanda fraktur basis kranii:
a. Hematom periorbital bilateral (racoon): negatif/negatif
b. Hematom pada mastoid (Battlesign): negatif/negatif
c. Hematom konjungtiva: negatif/negatif
d. Perdarahan hidung atau telinga: positif /negatif
2. Perlu dilakukannya pemeriksaan tingkat kesadaran untuk menentukkan
tingkat keparahan cedera kepala pasien. 13 Februari 2021 : E2V3M5
3. Mekanisme terjadinya cedera yaitu pasien dipukul oleh temannya yang
seorang pelatih silat dibagian rahang kiri bawah serta daerah hidung
kemudian terjatuh dan kepala belakang membentur permukaan keras yaitu
cor-coran.
4. Gejala Penyerta post cedera
a. Pingsan : positif
b. Nyeri kepala : positif
b. Mual-muntah : positif
c. Kejang : negatif
d. Gangguan pandangan : negative
8
e. Lateralisasi : negative
Berdasarkan penelusuran tersebut ditentukan bahwa pasien mengalami
cedera kepala sedang (terdapatnya penurunan kesadaran dengan GCS 10 disertai
pingsan >10 menit), namun karena belum ada bukti adanya perdarahan pada hasil
CT Scan maka pasien masih masuk kriteria cedera kepala sedang. Setelah hasil
CT Scan keluar disertai dengan adanya tanda perdarahan, maka diagnosis akan
berubah menjadi Cedera Kepala Berat
9
TINJAUAN PUSTAKA
CEDERA KEPALA
Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kapitis/ trauma
kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Lesi kontusio
dibawah area benturan disebut lesi kontusia “coup”. Apabila lesi kontra
(countercoup). Kontusio intermediet adalah lesi yang berada diantara lesi kontusio
coup dan countercoup.
Menurut Buku Ajar Neurologi, FKUI, cedera kepala adalah perubahan
fungsi otak atau terdapat bukti patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan
mekanik eksternal.
Konsekuensi akibat cedera kepala dapat dipengaruhi beberapa faktor,
seperti usia, faktor komorbid, sepsis dan tata laksanan yang didapatkan. Selain itu,
faktor genetik kini diketahui turut mempengaruhi konsekuensi patologis yang
yang mungkin didapatkan pasien. Komplikasi neurologis pascacedera meliputi
aspek neurologis dan non neurologis. Adanya komplikasi neurologis berupa
gangguan kognitif dan cedera saraf kranial sering terabaikan dalam perawatan m
sehiungga menurunkan kualitas hidup pasien.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, trauma adalah penyebab utama kematian orang yang
lebih muda dari 40 tahun. Menurut American Trauma Society, di USA kejadian
cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dan
10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Insidensi di Negara
berkembang seperti Indonesia meningkat. Peningkatan ini erat hubung annya
dengan meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan
bermotor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
pada pasien dengan usia produktif.
10
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi cedera kepala diawali dengan pemahaman biomekanika
trauma. Benturan kepala akan menimbulkan respons pada tengkorak dan otak
misalnya, pergerakan. Secara klinis, respons ini dapat berupa fraktur dan cedera
otak. Terdapat dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu
a. Cedera Kepala Tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor,
jatuh atau pukulan benda tumpul
b. Cedera Kepala Tembus
Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk
cedera tembus atau cedera tumpul.
11
Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer
dan sekunder.
a. Cedera Kepala Primer
Cedera otak primer terjadi karena efek yang sangat segera (immediate
effect) pada otak akibat gayaa mekanik eksternal saat trauma terjadi. Lesi
primer merupakan lesi yang timbul pada saat kejadian trauma dapat bersifat
lokal maupun difus. Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot
dan tendo pada kepala yang mengalami trauma dapat terjadi perdarahan
subgaleal maupun fraktur tulang tengkorak, dapat pula terjadinya kontusio
jaringan otak
b. Cedera Kepala Sekunder
Di lain pihak, cedera otak sekunder terjadi beberapa saat setelah kejadian
trauma akibat jalur kompleks, yang berkembang dan mengakibatkan
kerusakan otak yang lebih luas. Oleh karena itu, lesi sekunder timbul
beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan primer.
Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemia-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan
subaraknoidal, perdarahan intraserebral, dan infeksi. Baik cedera otak
primer maupun sekunder dapat mengakibatkan lesi patologis fokal atau
difus, seperti pada tabel dibawah ini :
12
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1) Berdasarkan Kesadaran Pasien menurut Glascow Coma Scale (GCS)
GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Pasien
dalam keadaan sadar (GCS 15). Pasien dengan penurunan kesadaran :
a. Kategori minimal (GCS 15)
b. Cedera Kepala Ringan (GCS: 13-15)
c. Cedera Kepala Sedang (GCS: 9-12)
d. Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)
Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan GCS 13-15, pingsan >10
menit, tanpa deficit neurologik, tetapi pada hasil scanning otaknya terlihat
perdarahan, diagnosisnya bukan cedera kranioserebral ringan (CKR) /
komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral berat (CKB).
2) Berdasarkan lokasi lesi, cedera kepala dapat dibagi menjadi :
a. Cedera kepala lesi difus : aksonal dan vascular
b. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi menjadi :
- Kontusio dan laserasi serebri
- Perdarahan (hematom) intracranial : hematoma epidural, hematoma
subdural, hematoma intraparenkim ( hematoma subarachnoid, hematoma
intraserebral, hematoma intraseleberal)
13
3) Berdasarkan patologi, cedera kepla dapat diklasifikasikan menjadi komosio,
kontusio, dan lasrasi sebrei. Pembagian lain dapat berupa komosio serebri serta
perdarahan epidural, subdual, subaraknoid dan intraserebral dengan penjelasan
sebegai berikut :
Berikut adalah beberapa contoh lesi fokal dan difus secara patologi akibat
cedera kepala;
a. Cedera Scalp
Cedera fokal pada scalo dalam bentuk laserasi dan abrasi daoat menjadi
penanda penting untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan daoat
memberikan gambaran obyek yang mengenalnya. Sementara, adanya
memar berhubungan dengan lokasi benturan, sebagai contoh : 1) memar
periorbita seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita akibat cedera
countra coup pada oksiput, 2) memar oada mastoid tanda battle dapat
disebabkan oleh ailran darah dari fraktur yang terjadi pada tulang temporal
pars petrosus.
b. Fraktur Kranium
Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan, garis fraktur
biasanya menjalar hingga basis kranii. Pada trauma kepala mungkin hanya
terjadi perenggangan sutura. Selain benturan kepala benda yang meruncing
dapat menimbulkan fraktura impresi dengan pecahan tulang yang melesak.
- Fraktur calvaria
- Fraktur dasar tengkorak (basis cranii)
c. Komosio serebri (cedera kulit kepala)
Komosio serebri atau gegar otak adalah gangguan fungsi neurologik ringan
tanpa adanya kerusakan struktur otak akibat cedera kepala. Hilang
kesadaran yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit. Gejalanya yaitu nyeri
kepala, vertigo, muntah, tampak pucat. Terdapat amnesia retrograd yaitu
hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya
kecelakaan.
d. Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri adalah gangguan fungsi neurologik akibat cedera kepala
yang disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh,
14
Otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah yang
mengalami perdarahan. Gejala yang timbul lebih khas yaitu, penderita
kehilangan gerakan, kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit
e. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak di
region temporal atau temporal parietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Munculnya Lucid Interval (sadar setelah kecelakaan),
(Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder
dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Pada hasil pemeriksaan CT-Scan
menunjukkan adanya gambaran bikonveks yang opak.
f. Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut biasanya lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Hasil CT-Scan
kepala akan menunjukkan gambaran lentikuler, falx atau tentorium. Dibagi
atas : Akut (gejala timbul < 72 jam setelah cidera), Subakut (hari ke 3-21),
Kronik (timbul gejala > 3 minggu).
15
g. Perdarahan Intraventrikel
Perdarahan intraventrikular primer merupakan perdarahan yang terbatas
pada sistem ventrikuler yang bersumber dari intraventrikel atau lesi yang
bersebelahan dengan ventrikel, contohnya trauma intraventrikular,
aneurisma, malformasi pembuluh darah dan tumor yang biasanya
melibatkan pleksus koroideus. Sekitar 70% dari perdarahan intraventrikular
sekunder terjadi akibat perluasan dari perdarahan intraparenkim atau
perdarahan subarakhnoid ke dalam sistem ventrikel (Hanley dkk, 2009).
Setelah perdarahan inisial terjadi, tiga risiko utama yang akan
mempengaruhi kejadian selanjutnya yaitu rebleeding, vasokonstriksi dan
hidrosefalus. Pada perdarahan intraventrikular yang berat dijumpai tanda
penurunan kesadaran, kejang baik fokal maupun general dan tanda-tanda
kompresi batang otak (Paciaroni dkk, 2012).
h. Perdarahan Subarakhnoid
Umumnya terjadi dalam banyak kasus TBI dan jika komponen darah
menghambat vili arakhnoid maka perdarahan dapat mengakibatkan
hidrosefalus komunikans atau hidrosefalus non komunikans.
PERDARAHAN SUBDURAL
Definisi dan Epidemiologi
Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang terjadi antara
bagian dalam duramater dengan arachnoid. Prevalensi terjadinya subdural
hematoma pada cedera kepala berat bergeser 30%. Jumlah ini jauh lebih besar
dibandingkan dengan perdarahan epidural. Perdarahan ini sering terjadi akibat
robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri.
Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
cedera kepala berat. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah dilaporkan
1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terbaru telah menunjukkan insiden
yang lebih tinggi. Hal itu disebabkan teknik pencitraan yang lebih baik. Tingkat
mortalitas SDH akut berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74% pada pasien dengan
16
Glasgow Coma Scale Score (GCS) 3-5 kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8
tingkat kematiannya menurun hingga 39%.
Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden secara
keseluruhan. Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada
wanita, dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang
lebih tinggi pada hematoma subdural kronis. Rasio laki:perempuan telah
dilaporkan berkisar 2:1. Insiden subdural hematoma kronis meningkat tinggi pada
dekade kelima hingga ketujuh kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan
bahwa 56% kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam mereka,
studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada
pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000
penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79tahun.
Klasifikasi Subdural hematom dibagi tiga, yaitu subdural hematom akut,
subakut, dan kronis. Ketiganya dibedakan berdasarkan lamanya kejadian.
Subdural hematom akut terjadi selama 48- 72 jam setelah cedera, subdural
hematom subakut terjadi 3-20 hari setelah cedera, dan subdural hematom kronis
terjadi dari tiga minggu sampai beberapa bulan setelah cedera. Subdural hematom
akut adalah tipe hematom intrakranial dimana 24 % pasien mengalami koma. Jika
sudah terjadi koma maka angka kematian meningkat menjadi 60%.3 Perdarahan
akut dimana gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.
Terjadi pada cedera dentura kepala yang cukup berat. Hal ini dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang sudah terganggu
kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran scanning tomografinya, didapatkan lesi hiperdens
berbentuk cekung.
Perdarahan sub akut dapat berkembang dalam beberapa hari biasanya
sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran
dari bekuan darah dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran scanning tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens berbentuk cekung. Lesi isodens didapatkan
karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
17
Perdarahan kronik terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-
minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan gangguan pembekuan darah. Pada
perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini lama
kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan
penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat
terbentuk mengelilingi hematoma pada yang lebih baru, kapsula masih belum
terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada
araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena
dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan hematom. Darah di dalam
kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan
subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada
tumor serebri. Sebagian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran scanning tomografinya didapatkan
lesi hipodens berbentuk cekung
Mekanisme Cedera
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain yang berakibat terjadinya geseran atau putaran
otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural.
18
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
• Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang
konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater,
membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan
membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat
dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.
Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum
tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang
berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf kranial
dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus
terletak dalam duramater yang mengalirkan darah ven dari otak dan meningen ke
vena jugularis interna dileher. Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut
falx serebri, yang terletak vertikal antara hemispherium serebri dan lembaran
horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum
dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam
kranium. Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari duramater
dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater
menjembatani sulkus – sulkus dan masuk ke bagian yang dalam antara
hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater diketahui
sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan
serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf
dari benturan mekanis yang mengenai kepala. Piamater merupakan suatu
membrane vaskuler yang menyokong otak dengan erat. Suatu sarung pia mater
menyertai cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat mereka memasuki
substansia otak. Secara klinis, duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea
serta pia mater disebut sebagai leptomeninges.
19
Subdural Hematoma AkutPatofisiologi SDH akut disebabkan robekan kapiler cortical akibat
akselerasi otak dalam kranium disebabkan benturan. Saat kepala berbenturan
dengan benda keras, menimbulkan energi yang berakibat otak berakselerasi di
dalam kranium. Jika akselerasi ini berjalan hanya sesaat, kerusakan terjadi hanya
di sekitar permukaan otak dan pembuluh darah termasuk bridging veins. Jika
akselerasi dalam jangka waktu lama, regangan dapat masuk lebih dalam
menyebabkan diffuse axonal injury (DAI). Sumber perdarahan lain subdural
hematom adalah laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di korteks yang
berkaitan dengan kontusio. Subdural hematom biasanya berada sepanjang
konveksitas cerebral. Tempat paling sering kontusio cerebral yang menyebabkan
subdural hematom adalah di bagian temporal dan berikutnya di bagian frontal dan
cerebral konveksitas. Subdural hematom juga dapat terjadi antara falx dan
permukaan medial hemisfer cerebral. Ini sering disebut parafalcine subdural
hematom yang dikarakterisasikan dengan hemiparese kontralateral pada
ekstremitas bawah dibanding ekstremitas atas (falx syndrome). Autopsi yang
dilakukan Maixner menyatakan dua pertiga kasus SDH akut disebabkan oleh
kontusio dan sepertiga disebabkan oleh ruptur bridging vein. Bridging vein yang
berasal dari permukaan superolateral posterior lobus frontal, parietal dan oksipital
berjalan ke depan menuju sinus sagitalis superior dengan sudut kemiringan 100 -
850 . SDH akut dapat juga disebabkan oleh aneurisma, tumor, dan arteriovenous
malformation. Namun mayoritas penyebab SDH adalah ruptur bridging vein.
Angiografi cerebral menyatakan 8-12 vena kortikal yang mengalir ke sinus
sagitalis superior. Vena ini mengalirkan bagian medial, lateral dan superior
cerebral. Dapat dibagi menjadi area prerolandic (1-6 vena), area rolandic (1-3
vena), dan retrorolandic (1-3 vena). Kebanyakan satu atau vena bergabung
menjadi satu, mengalirkan area yang luas, ada juga vena yang berdekatan
mengalirkan area yang kecil. Leary dan Edward menyatakan lapisan dura bagian
dalam berupa sel datar yang sama dengan fibroblas dikenal sebagai dural border
cells. Jika ada robekan bridging vein maka darah akan masuk ke lapisan dural
border cells sehingga terjadi SDH. Ada juga yang membuat SDH bertambah
besar, yaitu tekanan vena cerebral yang berjalan sama dengan tekanan
20
intrakranial, hanya ada perbedaan sedikit diantaranya. Jika tekanan vena cerebral
meningkat maka darah dari vena kortikal sulit masuk ke dalam sinus sagitalis
superior menyebabkan darah menumpuk di vena kortikal. Akibatnya SDH akan
bertambah besar, tekanan intrakranial juga meningkat kembali.
21
Gejala Klinis SDH akut dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalu
lintas atau penganiayaan. Pasien dengan SDH akut mengalami benturan
benda tumpul di kepala baik sedang maupun berat. Gambaran klinis
tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan. Pasien dengan SDH akut
biasanya berusia lebih tua dibanding cedera tanpa SDH akut. Hematoma
subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan
pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan
cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
Gejala klinis SDH akut tergantung peningkatan tekanan intrakranial
dan keparahan cedera difus pada otak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh
keparahan perkembangan hematom dan waktu terjadinya cedera. Gejala
klinis dan tanda pasien dengan SDH akut supratentorial, yaitu pupil
abnormal, hemiparese, kejang, afasia, deserebrasi dan lateralisasi yaitu,
ditemukannya dilatasi pupil ipsilateral dan kelemahan motorik kontralateral.
Dapat juga terjadi Kernohan’s notch dimana kelemahan motorik ipsilateral
dan dilatasi pupil kontralateral. Diagnosis Subdural hematom berlokasi
diantara arachnoid dan bagian dalam duramater. Oleh karena dura dan
arachnoid tidak menempel secara ketat maka SDH sering terlihat lapisan
mengikuti konveksitas hemisfer dari falx anterior ke falx posterior.
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat
pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih
sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom
berbentuk cekung, unilateral dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali,
subdural hematom berbentuk cembung seperti epidural hematom.
22
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT
window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada
perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline
shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus
dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. SDH akut dapat terjadi juga
sepanjang falx atau tentorium seperti gambar di bawah ini :
23
Tidak seperti EDH, SDH terjadi pada lokasi kounterkoup. Karena SDH
berkaitan dengan cedera parenkim, derajat efek masa dapat muncul lebih hebat
dibanding ukuran SDH. Dibandingkan otak normal 20-30 HU, densitas SDH akut
50-60 HU lebih tinggi karena bekuan darah. Densitas SDH akan akan berkurang
secara progresif karena degradasi protein. Ini mungkin sulit dibedakan dengan
subarachnoid pada cerebri yang atrofi. Pada kondisi subakut, biasanya antara 1-3
minggu bergantung pada tingkat hematokrit, faktor pembekuan, dan ada atau
tidaknya perdarahan berulang, terjadilah fase isodens. Selama fase akut ke kronis,
lapisan tipis konveksitas isodens SDH sulit diidentifikasi Perdarahan subdural
24
jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga
merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan
subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks
serebri menebal dan tidak beraturan. Gambaran ini terjadi pada beberapa kasus
berhubungan dengan child abused
Subdural Hematoma KronikEpidemiologi subdural hematom telah dilaporkan terjadi pada 5- 25%
pasien cedera kepala berat. Insiden SDH kronik dilaporkan dalam setahun 1-5,3
kasus per 100.000 penduduk. SDH lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 3:1. Lakilaki lebih sering terjadi SDH kronik.
Kejadian SDH kronik paling tinggi terjadi pada usia 50-70 tahun. Penelitian lain
insiden tertinggi terjadi usia 70-79 tahun, yaitu 7,35 kasus per 100.000 penduduk.
Pada infan dapat terjadi SDH interhemisphere dikarenakan kasus-kasus “child
abuse”.
Patofisiologi Pada SDH kronik, Virchow pada tahun 1857 menyebut
pachymeningitis haemorrhagica interna. Berdasarkan itu diasumsikan bahwa
infeksi bakteri (meningitis) dikendalikan respon inflamasi kronis di duramater
menghasilkan eksudat fibrin dan pertumbuhan kapiler baru. Bagaimanapun
inflamasi terjadi juga pada proses cedera kepala. Pada duramater secara histologi
diidentifikasi terdapat lapisan yang berperan sebagai fagosit atau fibro-selular
jaringan ikat, yang berperan membentuk membran baru pada SDH kronis,
jaringan ikat tersebut dinamakan dural border cells. Sel-sel inflamasi direkrut
masuk ke dalam ruang subdural untuk memperbaiki dural border cells, dan saat
itulah dibentuk membran baru dan pembuluh darah baru, dimana pembuluh darah
tersebut dapat terjadi kebocoran atau perdarahan kecil yang masuk ke ruang
subdural.
25
Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan (bridging vein) akan meregang bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma kecil saja dapat menyebabkan robekan pada
vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang
rendah. Keadaan volume otak yang mengecil menyebabkan terbentuknya
hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada awal perdarahan
subdural yang kecil terjadi akibat perdarahan spontan. Pada hematoma yang besar
dapat menyebabkan terbentuknya membran vaskular yang membungkus
hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam
26
membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran
ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra
kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi
oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relative
perlahan karena compliance tekanan intra cranial yang cukup tinggi. Meskipun
demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut. Compliance intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh karena meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga
pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan
ganglia basalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Tekanan onkotik yang meningkat
inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata
di dapati kontroversi dari teori Gardner ini, yaitu tekanan onkotik di dalam
subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah
merah. Teori yang kedua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena
turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar
membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level
abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dan
memperberat terjadinya SDH.
27
Gejala Klinis Pasien dengan SDH kronis dapat terjadi tanpa riwayat cedera
kepala, dapat muncul gejala penurunan kesadaran yang berfluktuasi, demensia
progresif, dan peningkatan tekanan intrakranial tanpa disertai tandatanda lokal.
Gejala umum SDH kronis adalah sakit kepala yang kemudian diikuti penurunan
kesadaran. Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa hari, minggu, dan
bahkan beberapa bulan setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah
satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa. Adanya selisih tekanan osmotik yang mampu
menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Subdural hematoma yang bertambah luas secara perlahan, utamanya
terjadi pada usia lanjut (karena vena yang rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Subdural hematoma pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya belum menyatu, dengan fontanella atau ubun-
ubun besar yang masih terbuka. Subdural hematoma yang kecil dapat diserap
secara sepontan. Subdural hematoma yang besar, dan menyebabkan gejala-gejala
neurologis harus dikeluarkan melalui pembedahan. Lobus frontalis pada korteks
serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan
alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi
wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab
terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku
dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi
kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi
otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun
dapat menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang
lobus frontalis menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan inkontinensia. Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
28
menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi
disebabkan perilakunya.
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati
rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang luas dapat menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini
disebut apraksia) dan menentukan arah kiri dan kanan. Kerusakan yang luas bisa
mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau
ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian
maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. Lobus temporalis mengolah
kejadian yang baru saja terjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang.
Lobus temporalis juga memahami suara dan gambar, menyimpan memori dan
mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan
bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan
pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat
penderita dalam mengekspresikan bahasanya Penderita dengan lobus temporalis
sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti
tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual. Mekanisme yang menghasilkan subdural hematoma
akut adalah dampak berkecepatan tinggi ke tengkorak. Hal ini menyebabkan
jaringan otak untuk mempercepat atau memperlambat relatif terhadap struktur
dural tetap, merobek pembuluh darah. Pembuluh darah robek adalah pembuluh
darah yang menghubungkan permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut vena
bridging). Pada orang lanjut usia, vena jembatan sudah meregang karena atrofi
otak (penyusutan yang terjadi dengan usia). Benturan keras kortikal dapat
29
merusak baik vena atau arteri kecil, bisa rusak oleh karena cedera langsung atau
laserasi.
MANIFESTASI KLINIS CEDERA KEPALA
1. Penurunan Kesadaran
Penurunan kesadaran dapat diakibatkan oleh Diffuse axonal injury (DAI)
merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan kesadaran
setelah terjadinya trauma lebih dari 6 jam tanpa ditemukan penyebab yang
jelas penurunan kesadaran. Lesi yang timbul pada cedera kepala dapat
menyebabkan peregangan dari akson-akson di otak hingga mengalami
gangguan konduksi dan fungsi.
2. Tanda Fraktur Kranium
a. Battlesign (ekimosis pada mastoid)
b. Racoon Eyes (ekimosis perorbital)
c. Hemotipanum (perdarahan membrane timpani telinga)
d. Rinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga)
3. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial
mual muntah, penglihatan ganda, perasaan gelisah, papil edema
4. Gejala lain
Mual, muntah proyektil (muntah seperti makanan disembur keluar),
penurunan kesadaran, perubahan ukuran pupil, posisi abnormal ekstremitas,
trias cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan).
30
c. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinik : Penurunan Kesadaran, Nyeri Kepala, Mual Muntah,
Amnesia Post Trauma
Diagnosis topis : Intrakranial
Diagnosis etiologi : Cedera Kepala Sedang
Diagnosis Insidensi : Luka Memar pada Regio Rahang Bawah Kiri
d. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada saat perawatan di Bangsal Asoka Kamar 204.2 RSGM
Ambarawa (15/02/2020 pukul 05.00 WIB)
-Status generalis
KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS E4V5M6 (pasien membuka mata secara spontan disertai
dengan kontak mata, dapat menjawab sesuai pertanyaan pemeriksa, serta dapat
menggerakan anggota gerak nya sesuai perintah pemeriksa, namun pasien
masih tampak gelisah dengan membolak-balikkan badannya dan hanya
menjawab pertanyaan secara singkat) Compos Mentis (tampak gelisah)
Pasien mengalami peningkatan kesadaran, dimana sebelumnya saat kejadian
selama di IGD, GCS pasien yaitu 10.
Tanda Tanda Vital
TD : 120/60mmHg
N : 108x/menit
T : 37.8oC
RR : 20 x/menit
SpO2 : 97%
Pemeriksaan Fisik
Kepala: Normocephal/konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil isokor
2/2, periorbital ekimosis/racoon eyes (-/-), subconjungtiva hemorrhage dextra
(-), reflex kornea +/+, reflex pupil +/+, ekimosis retroaurikuler/battlesign (-),
epistaksis (-), otorrhea (-), tampak adanya lembab di daerah sekitar pipi, rahang
kiri bawah warna kebiruan tidak ditemukan tanda tanda fraktur basis cranii
pada pasien, tidak ditemukannya perdarahan aktif pada pasien dari kepala
31
(hidung dan telinga), ditemukan adanya bekas trauma tumpul pada daerah
sekitar pipi, rahang kiri bawah pasien
Leher: Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB
dan tiroid, leher belakang terasa kaku (+), cervical syndrome (+)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis (-)
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi: Batas atas jantung: ICS II parasternal sinistra
Batas kanan jantung : Linea parasternal dextra
Batas kiri jantung : Mid clavicula sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Paru
Inspeksi : Pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar,
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Normal
Ekstremitas Superior : Akral dingin -/-, CRT < 2 detik
Ekstremitas Inferior : ROM tidak terbatas, Akral dingin -/-, CRT < 2
detik
Kulit : Turgor kulit normal
Status Neurologis
Sikap Tubuh : Simetris
Gerakan abnornal : tidak ada
Cara berjalan : masih Pusing untuk berjalan
32
Pemeriksaan Saraf Kranial :
e. LAMPIRAN
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N.I. Olfaktorius Daya penghidu Normal
N.II. Optikus Daya penglihatan
NormalPenglihatan warna
Lapang pandang
N.III. Okulomotor Ptosis - -
Gerakan mata ke medial N N
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke bawah N N
Ukuran pupil 2 mm 2 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
N.IV. Troklearis Strabismus divergen -
Normal
-
Gerakan mata ke lateral
bawah
Strabismus konvergen
N.V. Trigeminus Menggigit +
Membuka mulut +
Sensibilitas muka N N
Refleks kornea + +
N.VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral Normal
-Strabismus konvergen
N.VII. Fasialis Kedipan mata + +
Lipatan nasolabial - -
Sudut mulut N N
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
Meringis + +
Menggembungkan pipi + +
Daya kecap lidah 2/3 + +
33
anterior
N.VIII.
Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik + +
Tes Rinne Tidak dilakukan
Tes Schwabach
N.IX.
Glosofaringeus
Arkus faring N N
Daya kecap lidah 1/3
posterior
N N
Refleks muntah N N
Tersedak - -
N.X. Vagus Denyut nadi 92 x/ min
Arkus faring N N
Bersuara +
Menelan +
N.XI. Aksesorius Memalingkan kepala + +
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N
N.XII.
Hipoglossus
Sikap lidah N N
Artikulasi N N
Fasikulasi lidah - -
Menjulurkan lidah +
Trofi otot lidah - -
Reflek patologis : negatif
34
Pemeriksaan sensibilitas : normal
Pemeriksaan Fungsi Vegetatif :
Miksi : dalam batas normal
Defekasi : dalam batas normal
Pemeriksaan Koordinasi dan Keseimbangan
- Cara berjalan : sdn
- Tes Romberg : sdn
- Tes Fukuda : sdn
- Tes telunjuk hidung : N
- Disdiadokinesis : N
Pemeriksaan Rangsang Meningeal (Negatif)
- Kaku kuduk : (leher belakang terasa kaku cervical spasme)
- Kernig Sign : -
- Brudzinski I : -
- Brudzinski II : -
- Brudzinski III : -
- Brudzinski IV : -
Pemeriksaan Lokalis
Terdapat Luka lebam daerah pipi dan rahang kiri bawah, warna kebiruan
Nyeri tekan daerah oksipital Suspek terdapat tanda fraktur daerah oksipital?
Tidak Terdapat tanda fraktur kranii : battle sign (-), raccoon eyes (-/-)
Pasien tidak mampu mengingat kejadian yang terjadi pada pasien.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
35
Bekas perdarahan di telinga pasien
Luka Memar di bagian rahang kiri
bawah pasien
Head CT-Scan Aksial Non Kontras (15/02/2021)
36
Hasil Expertise Head CT-Scan (15/01/2021)
a. Tampak lesi hipodens pada cerebelum kiri
b. Tampak lesi hiperdens pada falx cerebri posterior
c. Sulkus kortikalis daerah kanan kiri dan fissure sylvii normal
d. Ventrikel lateralis kanan kiri, ventrikel III dan IV baik
e. Tak tampak midline shifting
f. Cisterna perimesencephalic normal
g. Pons baik
h. Bone Window, tampak diskontinuitas os occipital kiri
i. Kesuraman densitas darah pada sinus sfenoid kanan, ethmoid kanan
j. Deviasi septum Nasi
Kesan :
- Subdural hematom falxis cerebri posterior
- Infark kortikal cerebelii kiri
- Fraktur os occipital kiri
- Deviasi septum nasi
- Gambaran hemosinus ethmoid dan sfenoid kanan
37
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (13/02/2021) 14:18
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hb 12.0 ↓ 13.2 – 17.3
Leukosit 20.4 ↑ 3.8-10.6
Eritrosit 4.57 4.4-5.9
Hematokrit 36.4 ↓ 40-52
Trombosit 209 150-400
MCV 79.7 ↓ 82-98
MCH 26.2 ↓ 27-32
MCHC 32.9 32-27
MPV 8.35 7-11
Limfosit 4.95 ↑ 1.0-4.5
Monosit 0.350 0.2-1.0
Eosinofil 0.004 ↓ 0.04-0.8
Basofil 0.292 ↑ 0-0.2
Neutrofil 14.8 ↑ 1.8-7.5
Limfosit% 24 25-40 %
Monosit% 1.72 2-8 %
Eosinofil% 0.22 ↓ 2-4 %
Basofil % 1.43 0-1 %
Neutrofil % 72.6 ↑ 50-70 %
PCT 0.174 0.2-0.5
PDW 26.1 ↑ 10-18
PTT 4950 ↑ 1000-4500
KONSULTASI
- Konsultasi spesialis bedah
38
DISKUSI KEDUA
Penurunan kesadaran dengan GCS <13 saat datang ke igd dan GCS < 15 selama >
2 jam tidak membaik merupakan salah Satu dari indikasi perlu dilakukannya
pemeriksaan CT-Scan pada pasien dengan cedera kepala untuk memastikan
morfologi dari lesi pada cedera Kepala pasien (National Institute for Healthand
Care Exellence, 2019).
INDIKASI DILAKUKANNYA CT-SCAN (NICE, 2019):
a. Jika GCS <13 saat datang ke IGD
b. Jika GCS <15 dalam waktu 2 jam tidak membaik
c. Terdapat tanda-tanda fraktur basis cranium
d. Terdapat gangguan fungsi neurologis fokal
e. Post-traumatic seizure
f. Amnesia anterograde ataupun retrograde selama >5 menit
Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai
berikut:
a. Minimal (Simple head injury)
- Tidak ada penurunan kesadaran
- Tidak ada amnesia post trauma
- Tidak ada deficit neurologi
- GCS = 15
b. Ringan (Mild head injury)
- Kehilangan kesadaran <10 menit
- Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom
- Amnesia post trauma <1 jam
- GCS =13-15
c. Sedang (Moderate head injury)
- Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6 jam
- Terdapat lesi operatif intracranial atau abnormal CT scan
- Dapat disertai fraktur tengkorak
- Amnesia post trauma 1-24 jam
- GCS = 9-12
d. Berat (Severe head injury)
39
- Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam
- Terdapat kontusio, laserasi, hematom, edema serebral
- Abnormal CT Scan
- Amnesia post trauma >7 hari
- GCS = 3-8
Bila pasien datang dengan penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai
deficit neurologis dan abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intracranial, maka
dimasukkan klasifikasi cedera kepala berat (Perdossi, 2006).
Pada pemeriksaan fisik, ditemukannya penurunan kesadaran namun tanpa
disertai kelainan neurologis fokal seperti kesulitan memahami, menulis,
membaca, gangguan pandangan maupun gangguan berjalan dengan hasil CT-Scan
menunjukkan adanya perdarahan intrakranial yaitu subdural hematoma falxis
cerebri posterior dan infark kortikal cerebelii kiri. Selain itu, ditemukan adanya
fraktur os occipital kiri, Sehingga menguatkan diagnosis berupa Cedera Kepala
Berat. Pada pemeriksaan laboratorium, tidak ditemukan kausa bersaing yang
menyebabkan penurunan kesadaran sehingga perdarahan intrakranial merupakan
etiologi utama dari penurunan kesadaran pada kasus ini.
Pada kunjungan pertama bagian saraf (13/01/2021) pasien didiagnosis
menderita Cedera Kepala Sedang karena ditemukannya kesadaran menurun
dengan GCS 10. Pada pasien, saat dilakukan pemeriksaan tgl 15/02/2021 di
bangsal, terdapat peningkatan kesadaran menjadi GCS 15 meski tampak gelisah.
Pasien masih tidak mengingat kejadian sesaat dan setelah trauma (mengalami
amnesia post trauma). Hasil CT scan pada tanggal (15/01/2020) menunjukkan
hasil yang abnormal yaitu terdapatnya subdural hematom falxis cerebri posterior,
infark kortikal cerebelii kiri, fraktur os occipital kiri, deviasi septum nasi,
gambaran hemosinus ethmoid dan sfenoid kanan. Terdapatnya subdural
hematoma dapat dilihat dari adanya lesi hiperdensitas berbentuk bulan sabit pada
region falxis cerebri posterior dari kepala pasien. Infark kortikal cerebelii kiri
didapatkan dari lesi hipodensitas pada daerah cerebellum kiri. Bagian sulkus
kortikalis daerah kanan kiri dan fissure sylvii normal, menandakan tidak terdapat
perdarahan di daerah subarachnoid pasien. Ventrikel lateralis kanan kiri, ventrikel
III dan IV baik, tidak ditemukan adanya perdarahan ventrikel. Tidak tampak
40
adanya midline shifting pada hasil CT scan pasien. Fraktur Os Occipital kiri
didapatkan pada Bone Window, ditemukan ada nya diskontinuitas pada os
occipital kiri, dimana hal tersebut sesuai dengan mekanisme trauma tumpul yang
terjadi pada pasien yaitu dipukul oleh temannya kemudian terjatuh dengan kepala
belakang menghantam cor-coran terlebih dahulu).
Perdarahan subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akut biasanya lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Hasil CT-Scan kepala akan menunjukkan gambaran
lentikuler, falx atau tentorium.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bekas perdarahan dari telinga
dan hidung, namun tidak ditemukan adanya tanda tanda fraktur basis cranii seperti
raccoon eyes, battlesign, hematoma konjugtiva. Hal ini diperkuat dengan hasil CT
scan berupa deviasi septum nasi, gambaran hemosinus ethmoid dan sfenoid
kanan, yang mengarahkan perdarahan hanya terjadi dari hidung melalui
mekanisme trauma tumpul langsung pada hidung dan telinga.
Berdasarkan guideline oleh National institution for Health and Care tahun
2019, perlunya dilakukan pengawasan setiap setengah jam (2 jam pertama), setiap
1 jam (4 jam setelahnya), setiap 2 jam (seterusnya) terhadap Glasgow Coma
Scale, Refleks pupil, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, pergerakan
tungkai, suhu tubuh dan saturasi oksigen.
41
DIAGNOSIS CEDERA KEPALA
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kesadaran (GCS)
Pemeriksaan neurologis fokal
Pemeriksaan Lokalis (lokasi lesi)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologi: CT-Scan, MRI
G. DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : Penurunan Kesadaran, Nyeri Kepala, Mual
Muntah, Amnesia Post Trauma
Diagnosis Topis : Intrakranial
Diagnosis Etiologi : Cedera Kepala Berat
Diagnosis Insidensi : Luka Memar Regio Rahang Kiri Bawah
H. PENATALAKSANAAN
Farmakologis
- Inf Asering 20 tpm
- Inj Citicolin 2 x 500
- Inj Piracetam 3x3 gr (hari ketiga STOP)
- PO Flunarizine 2x 5g
- Inj Kalnex (Asam Tranexamat) 3 x 1g
- Inj Ketorolac 2 x30 mg
- Inj Ceftriaxone 2x1g
- Inj Metilprednisolon 4 x 125 (tetap)
- Inj Ondansetron 3x1
- Inj Ranitidin 2x1
Non-Farmakologis
Resusitasi ABCDE (awal di IGD)
Head up 30o
42
O2 3 lpm
I. PROGNOSIS
Death : dubia
Disease : dubia
Disability : dubia
DISKUSI KETIGA
TATALAKSANA CEDERA KEPALA
Tujuan minimum dari tatalaksana Cedera Kepala (McCarthy, 2018):
1. PaO2 >60
2. SaO2 >90%
3. PaCO 235-40
4. Tekanan Sistolik >90mmHg
Dasar penatalaksanaan Cedera Kepala (McCarthy, 2018):
1. Resusitasi (ABCDE) dan observasi pada 4 jam pertama
2. Posisikan pasien 30o
3. Konsultasi Neurologis
4. Tatalaksana Pembedahan berupa kraniotomi, jika:
Pada trauma tertutup
a. Fraktur impresi
b. Perdarahan epidural: volume perdarahan >30 cc tanpa memperhitungkan
GCS atau midlineshift >5 mm, GCS <8.
c. Perdarahan subdural: jika volume perdarahan >10 mm atau midlineshift
>5 mm, jika GCS berkurang 2 poin sejak pasien masuk, reflex pupil
abnormal atau ICP >20 mmHg.
d. Perdarahan intraserebral: jika GCS 6-8 dengan lesi temporal atau frontal
>20 cc, midlineshift >5 mm, volume perdarahan >50 cc.
Pada trauma terbuka
a. Fraktur multipel
b. Dura yang robek disertai laserasi
c. Liquorhea
Tatalaksana Medikamentosa, yaitu:
43
Discomfort : dubia
Dissatisfaction: dubia
Distitution : dubia
d. Pneumoencephali
e. Corpus alienum
f. Luka tembak
a. Bolus Mannitol (20%,100mL) IV jika terjadi peningkatan tekanan
intracranial (tetap diberikan pada pasien dengan penurunan kesadaran di
IGD)
b. Antibiotik profilaksis jika terdapat fraktur basis kranii ataupun lesi terbuka
c. Antikonvulsan untuk kejang pasca trauma
d. Pemberian anti-nyeri
e. Kontra indikasi terhadap pemberian obat-obatan narkotik maupun sedative
karena dapat menurunkan kesadaran
TATALAKSANA PADA KASUS
Citicholin 2x500 mg
Berperan untuk perbaikan membrane sel saraf melalui peningkatan sintesis
phophatidylcholine dan perbaikan neuron kolinergik. Citicholine juga mampu
meningkatkan kemampuan kognitif.
Piracetam 3x3 gr
Piracetam adalah obat nootropik turunan asam gamma-aminobutirik
(GABA). Obat ini memiliki efek neuronal dan juga vaskular.[9,10] Efek
neuronal piracetam antara lain adalah meningkatkan neuroplastisitas,
memperbaiki proses neurotransmisi, neuroprotektif, dan antikonvulsan.
Piracetam bekerja dengan mempengaruhi neurotransmiter serotonergik,
noradrenergik, dan glutamanergik, terutama pada reseptor post-sinaps. Obat
ini juga dapat mempengaruhi fluiditas dan plastisitas membran. Fluiditas dan
plastisitas membran merupakan komponen penting dalam mempertahankan
struktur sel, sehingga dapat terproteksi dari kerusakan (neuroproteksi).
Piracetam juga dinilai bermanfaat dalam meningkatkan oksidasi glukosa dan
menghasilkan ATP, sehingga dapat melindungi sel-sel saraf dari hipoksia.
Piracetam juga memiliki efek vaskular, yaitu menurunkan vasospasme,
mengurangi adesi eritrosit ke endotel, meningkatkan vaskularisasi otak dan
mikrosirkulasi perifer. Piracetam juga memiliki efek antikoagulasi karena
dapat menurunkan kadar fibrinogen dan faktor vonWillebrand. Faktor
vaskular yang dimiliki piracetam ini dinilai bermanfaat dalam terapi struk
iskemik akut.[5,7,10]
44
Metcobalamin 1x1
Mecobalamin merupakan bentuk tunggal dari vitamin B12 yang dapat
menembus sawar darah otak tanpa mengalami perubahan biologis berarti (12)
. Pengunaan mecobalamin secara sublingual sering diberikan dengan alasan
bioavailabilitas yang tinggi (12) . Mecobalamin secara aktif meningkatkan
proses metabolisme protease, lipid, dan jaringan saraf serta berperan dalam
sintesis mielin lipid lecithin yang berperan dalam memperbaiki kerusakan
sistem saraf pusat, metabolisme, dan transmisi jaringan saraf sehingga
membantu dalam fungsi perbaikan setelah stroke iskemik (9). Vitamin B12
juga mengatur downregulation dari endoplasmic reticulum stress-related
apoptosis signaling pathway serta menstabilkan microtubule yang berperan
dalam regenerasi akson. Microtubule juga terlibat dalam injury induced glial
response dan adaptive neuroplasticity pada kerusakan neuron. Selain itu, B12
juga meningkatkan Myelin Basic Protein (MBP) yang berperan vital dalam
proses mielinisasi dan mengatur pembentukan dan kepadatan mielin yang
sempurna. Dengan demikian vitamin B12 berperan sebagai neuroprotektor
yang meningkatkan kelangsungan hidup sel saraf
Methylprednisoloine 4x125 mg
Methylprednisolone pada kasus ini digunakan sebagai tatalaksana untuk
menurunkan TIK pada edema vasogenik. Edema vasogenik terjadi karena
gangguan pada persimpangan endotel yang ketat yang membentuk sawar
darah-otak. Hal ini memungkinkan protein dan cairan intravaskular
menembus ke dalam ruang ekstraseluler parenkim. Mekanisme yang
berkontribusi terhadap disfungsi sawar darah-otak termasuk gangguan fisik
akibat hipertensi atau trauma arteri, dan pelepasan senyawa destruktif
vasoaktif dan endotel. Edema serebri lainnya adalah edema sitotoksik, edema
intersisial, edema osmotic dan edema hidrostatik. Pada edema sitotoksik
sawar darah-otak tetap utuh tetapi gangguan metabolisme seluler merusak
fungsi pompa natrium dan kalium dalam membran sel glial, yang
menyebabkan retensi seluler natrium dan air. Astrosit yang bengkak terjadi
pada materi abu-abu dan putih (grey matter dan white matter). Pada edema
sitotoksik, dapat diberikan manitol untuk menurunkan TIK. Edema serebri
45
osmotic terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmotik antara plasma
darah (intravaskuler) dan jaringan otak (ekstravaskuler). Apabila tekanan
osmotik plasma turun > 12%, akan terjadi edema serebri dan kenaikan TIK.
Bentuk edema serebral hidrostatik terlihat pada hipertensi maligna akut.
Diperkirakan merupakan hasil dari transmisi langsung tekanan ke kapiler otak
dengan transudasi cairan dari kapiler ke kompartemen ekstravaskular. Edema
interstisial terjadi pada hidrosefalus obstruktif akibat pecahnya sawar otak-
CSF. Ini menghasilkan aliran trans-ependim CSF, menyebabkan CSF
menembus otak dan menyebar ke ruang ekstraseluler dan materi putih.
Edema serebral interstisial berbeda dari edema vasogenik karena CSF hampir
tidak mengandung protein.
Asam Tranexamat 3 x 1g
Asam Tranexamat berperan untuk menghentikan perdarahan pada kaskade
koagulasi ( antifibrinolisis), menghambat hancurnya bekuan darah yang
sudah terbentuk.
PO Flunarizine 2 x 5g
Mekanisme Flunarizine untuk menghambat masuknya kalsium kedalam sel
(memblok kalsium channel) dan menghambat aktivitas histamine (memblok
reseptor H1). Efetktif meredakan migraine, nyeri kepala m vertigo serta
gangguan vestibular. Obat ini tidak efektif apabil adigunakan saat sedang
serangan migraine.
46
Ondansetron 3x1
Untuk menghambat ikatan serotonin pada reseptor 5HT3, untuk meredakan
mual dan muntah
Ranitidin 2x1 gram
Ranitidin merupakan antagonis kompetitif reversibel reseptor histamin pada
sel parietal mukosa lambung yang berfungsi untuk mensekresi asam lambung.
Ranitidin mensupresi sekresi asam lambung dengan inhibisi Histamin yang
diproduksi oleh sel ECL gaster.
Ketorolac 2 x 30 mg
Ketorolac merupakan NSAID (non steroid anti inflamamatory drug) dengan
efek analgesik kuat disertai aktivitas anti inflamasi sedang. Ketorolac adalah
salah satu obat yang masuk ke dalam kelompok terapi obat anti-inflamasi
non-steroid (AINS) yang digunakan untuk mengobati peradangan (inflamasi)
dan nyeri. Ketorolac lebih efektif dalam mengatasi nyeri akibat peradangan
dan non-peradangan dibandingkan obat lain dalam kelompok AINS, seperti:
ibuprofen, asam mefenamat, paracetamol, dan lain-lain. Ketorolac bekerja
dengan cara menghabat produksi prostaglandin dengan menghambat enzim
cyclooxygenase, apabila produksi prostaglandin dihambat maka dapat
mengurangi rasa nyeri dan mengurangi pembengkakan.
Pasien dapat dipulangkan jika GCS sudah mencapai 15 (Compos Mentis),
pemeriksaan fisik kembali stabil dan tidak adanya penyakit penyerta. Sudah tidak
ada tanda dan gejala dari cedera kepala maupun peningkatan tekanan intracranial,
tidak ada kelainan pada CT-Scan ulang ataupun tidak adanya indikasi untuk
dilakukannya pemeriksaan CT-Scan dan mendapat pengawasan yang baik jika
dipulangkan (keluarga) selama 24 jam pertama setelah dipulangkan (NICE, 2019).
Pada tanggal 19/02/2021, kondisi pasien sudah stabil dengan GCS 15,
dengan klinis baik, sehingga pasien boleh dipulangkan
K. FOLLOW UP
Selasa 16/02/2021 S: Pasien mengeluhkan nyeri di belakang kepala masih
47
dirasa, pusing mulai berkurang, pasien masih tidak
mengingat kejadian saat trauma, mual dan muntah tidak
ada, kaku leher - , kejang -, BAK dan BAB lancar
O: KU sedang, Kesadaran Compos Mentis ( gelisah
berkurang )
TD = 110/70
HR = 82 x/ menit
RR = 20x/menit
Saturasi Oksigen = 98%
Suhu = 36.4 derajat celcius.
Pemeriksaan motoric = 5/5/5/5
Refleks Fisiologis = +
Hasil CT Scan :
- Subdural Hematome Falxis Cerebri Posterior
- Infark Kortikal Cerebelli kiri
- Fraktur Os Occipital kiri
- Deviasi Septum nasi
- Gambaran Hematome Ethmoid dan sfenoid kanan
A: Cedera Kepala Berat H 4
P: - Inf Asering 20 tpm
- Inj Citicolin 2 x 500
- Inj Piracetam 3x3 gr (STOP)
- PO flunarizine 2x 5g
- Inj Kalnex (Asam Tranexamat) 3 x 1g
- Inj Ketorolac 3x30 mg
- Inj Ceftriaxone 2x1g
- Inj Metilprednisolon 4 x 125 (tetap)
- Inj Ondansetron 3x1
- Inj Ranitidin 2x1
Konsul Bedah terapi sesuai TS saraf
Rabu 17/01/2021 S: Pasien mengeluhkan nyeri di belakang kepala masih
dirasa, pusing mulai berkurang, pasien masih tidak
48
mengingat kejadian saat trauma, mual dan muntah tidak
ada, kaku leher - , kejang -, BAK dan BAB lancar,
cegukan beberapa kali
O: O: KU sedang, Kesadaran Compos Mentis ( tidak
tampak gelisah )
TD = 120/80
HR = 92 x/ menit
RR = 24x/menit
Saturasi Oksigen = 99%
Suhu = 36.8 derajat celcius.
Pemeriksaan motoric = 5/5/5/5
Refleks Fisiologis = +
Hasil CT Scan :
- Subdural Hematome Falxis Cerebri Posterior
- Infark Kortikal Cerebelli kiri
- Fraktur Os Occipital kiri
- Deviasi Septum nasi
- Gambaran Hematome Ethmoid dan sfenoid kepala
A: Cedera Kepala Berat H5
P: - Inf Asering 20 tpm
- Inj Citicolin 2 x 500
- Inj Piracetam 3x3 gr (STOP)
- PO flunarizine 2x 5g
- Inj Kalnex (Asam Tranexamat) 3 x 1g
- Inj Ketorolac 3x30 mg
- Inj Ceftriaxone 2x1g
- Inj Metilprednisolon mulai tap off ( hari ini 3x1)
- Inj Ondansetron 3x1
- Inj Ranitidin 2x1
Konsul Bedah terapi sesuai TS saraf
Kamis 18/01/2021 S: Pasien mengeluhkan nyeri di belakang kepala masih
dirasa, pusing mulai berkurang, pasien masih tidak
49
mengingat kejadian saat trauma, mual dan muntah tidak
ada, kaku leher - , kejang -, BAK dan BAB lancar
O: KU sedang, Kesadaran Compos Mentis ( tidak
tampak gelisah )
TD = 120/66
HR = 93 x/ menit
RR = 20x/menit
Saturasi Oksigen = 99%
Suhu = 36.2 derajat celcius.
Pemeriksaan motoric = 5/5/5/5
Refleks Fisiologis = +
Hasil CT Scan :
- Subdural Hematome Falxis Cerebri Posterior
- Infark Kortikal Cerebelli kiri
- Fraktur Os Occipital kiri
- Deviasi Septum nasi
- Gambaran Hematome Ethmoid dan sfenoid
kepala
A: Cedera Kepala Berat H6
P: - Inf Asering 20 tpm
- Inj Citicolin 2 x 500
- Inj Piracetam 3x3 gr (STOP)
- PO flunarizine 2x 5g
- Inj Kalnex (Asam Tranexamat) 3 x 1g
- Inj Ketorolac 3x30 mg
- Inj Ceftriaxone 2x1g
- Inj Metilprednisolon tapering off ( hari ini 2x1)
- Inj Ondansetron 3x1
- Inj Ranitidin 2x1
Konsul Bedah terapi sesuai TS saraf
Jumat 19/02/2021 S: Pasien mengeluhkan nyeri di belakang kepala sudah
berkurang, pusing mulai berkurang, pasien masih tidak
50
mengingat kejadian saat trauma, mual dan muntah tidak
ada, kaku leher - , kejang -, BAK dan BAB lancar,
sudah bisa aktivitas, klinis baik
O:
KU sedang, Kesadaran Compos Mentis ( tidak tampak
gelisah )
TD = 120/70
HR = 92 x/ menit
RR = 22 x/menit
Saturasi Oksigen = 99%
Suhu = 36.2 derajat celcius.
Pemeriksaan motoric = 5/5/5/5
Refleks Fisiologis = +
Hasil CT Scan :
- Subdural Hematome Falxis Cerebri Posterior
- Infark Kortikal Cerebelli kiri
- Fraktur Os Occipital kiri
- Deviasi Septum nasi
- Gambaran Hematome Ethmoid dan sfenoid
kepala
A: Cedera Kepala Berat H7
P: P:
- Inf Asering 20 tpm
- Inj Citicolin 2 x 500
- Inj Piracetam 3x3 gr (STOP)
- PO flunarizine 2x 5g
- Inj Kalnex (Asam Tranexamat) 3 x 1g
- Inj Ketorolac 3x30 mg
- Inj Ceftriaxone 2x1g
- Inj Metilprednisolon Tapering off ( hari ini 1x1)
- Inj Ondansetron 3x1
- Inj Ranitidin 2x1
51
+ Atrovastasin 1x1
Konsul Bedah terapi sesuai TS Saraf
Pasien rencana BLPL hari ini
Obat Pulang :
Citicolin 2 x 500mg
Vertilon 2 x 5 mg
Ranitidin 3 x 1
Meloxicam 1 x 15 mg
DAFTAR PUSTAKA
52
1. Bullock MR, Hovda DA. Introduction to Traumatic Brain Injury. In :
Youman’s (ed) Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier
Saunders. 2011 : 3267-69.
2. Schouton JW, Maas AIR. Epidemiology of Traumatic Brain Injury. In :
Youman’s (ed) Neurological Surgery 6th.ed. Philadelphia : Elsevier
Saunders. 2011 : 3267-69.
3. Fearnside MR, Simpson DA. Epidemiology. In : Head Injury
Pathophysiology and Management. London : Hodder Arnold. 2005 : 3-25.
4. Fane RA, Nassar T, Mazuz A, Waked O, Heyman SN, dkk. Neuroprotection
by glucagon: role of gluconeogenesis. J Neurosurg 114:85-91, 2011.
5. Imron A. Pola pasien cedera otak traumatika di RSHS. 2012.
6. Data Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Tahun 2011.
7. Parmeet K, Shaurabh S. Recent Advances in Pathophysiology of Traumatic
Brain Injury. Curr Neuropharmacol. 2018 Oct; 16(8): 1224–1238.
8. McCarthy, Sally, 2018, Head Injury, Emergency Care Institute.
9. National Institute for Health and Care Excellence (NICE), 2019. Head
Injury : assessment and early management. http://nice.org.uk
10. Onose G, Daia-chendreanu C, Haras M, Ciurea a V, Anghelescu A.
Traumatic brain injury: Current endeavours and trends for neuroprotection
and related recovery. Rom Neurosurg. 2011;18:11–30
11. Pathan AB. Therapeutic Applications of Citicoline and Piracetam as Fixed
Dose Combination. AJPS. 2012;2:15–20
12. Winblad B. Piracetam: A Review of Pharmacological Properties and Clinical
Uses. CNS Drug Rev. 2006;11:169–82
53