Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diri
2.1.1 Definisi Konsep Diri
Menurut Rogers (1959) bayi mulai mengembangkan konsep diri yang
samar, ketika sebagian dari pengalamannya menjadi personalisasi, dan
dibedakan ke dalam kesadaran sebagai pengalaman “saya” atau “aku”. Bayi
secara bertahap menjadi sadar akan identitasnya sendiri, dikarenakan mereka
mulai belajar tentang apa yang mereka rasakan baik dan apa yang mereka
rasakan buruk, apa yang mereka rasakan menyenangkan dan apa yang mereka
rasakan tidak menyenangkan, kemudian mereka akan mulai mengevaluasi
pengalamannya sebagai suatu yang positif atau negatif (dalam Feist & Feist,
2009).
Rogers (1959) juga mengemukakan bahwa konsep diri mencakup
semua aspek-aspek untuk menjadi individu, dan pengalaman seseorang yang
dirasakan sebagai suatu kesadaran (meskipun tidak selalu akurat) oleh individu
(dalam Feist & Feist, 2009).
Menurut Rogers (1959 dalam Feist & Feist, 2009), begitu orang
membentuk konsep dirinya, ia menemukan perubahaan, dan pembelajaran yang
cukup signifikan kesulitannya, dimana pengalaman yang tidak konsisten dengan
konsep diri, biasanya ditolak ataupun diterima dalam bentuk terdistorsi. Rogers
(1959, dalam Mischel, Shoda, & Smith, 2004), mengemukakan bahwa konsep
diri itu mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang.
Konsep diri didefinisikan sebagai totalitas dari pemikiran individu dan
perasaan memiliki referensi untuk dirinya sendiri sebagai obyek. Ini adalah
persepsi individu dari dan perasaan terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain,
konsep diri individu terdiri dari sikap individu terhadap diri yang individu itu
pegang (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).
Senada dengan pendapat diatas, Papalia, Olds, dan Feldman (2007 :
279), berpendapat bahwa “the self concept is our total image of ourselves”. Hal
ini dimaksud adalah hal yang kita percaya tentang diri kita sendiri, atau yang
dikatakan sebagai gambaran dari kemampuan dan sifat, dan hal ini juga
merupakan a cognitive construction, yang merupakan sebuah sistem
representasi deskriptif dan evaluatif tentang diri. Jadi, self concept adalah rasa
terhadap diri, dimana merupakan gambaran deksriptif dan evaluatif mental
terhadap kemampuan dan sifat-sifat seseorang (Papalia, Olds, dan Feldman
(2007).
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Johnson-Pynn, dkk (2003 dalam
Beheshtifar & Nezhad, 2012), memyatakan bahwa seseorang menggambarkan
individu tertentu dalam berbagai karakter kepribadian, ketika karakter ini
diterapkan secara konsisten, maka individu tersebut menerima dirinya sebagai
deskripsi tentang dirinya (Kimani, dkk (2009) dalam Beheshtifar & Nezhad,
2012).
Sementara itu, Santrock (2008 dalam Zastrow & Ashman, 2010),
mengemukakan bahwa konsep diri merujuk pada perasaan positif dan negatif,
dimana perasaan ini menunjukkan dirinya. Konsep diri dikenal dengan istilah
citra diri (self image), kesadaran diri (sense of self), harga diri (Self esteem),
identitas diri (Self identity) (Zastrow & Ashman, 2010),.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
konsep diri merupakan suatu konsep yang dimiliki oleh seorang individu tentang
dirinya sendiri, serta menjadi pedoman seseorang dalam bertindak. Konsep diri
menjadi faktor yang mendorong seseorang dalam memutuskan suatu pembelian,
dimana dalam diri seseorang memiliki kebutuhan, dan kepuasaan yang
dimilikinya, sehingga hal ini membentuk perilaku konsumtif individu.
2.1.2 Pembentukan Konsep Diri
Murmanto (2007), menjelaskan bahwa proses pembentukan konsep diri
dimulai sejak masih kecil, dan masa kritis pembentukan konsep diri seseorang
berada saat anak masuk sekolah dasar. Individu tidak lahir dengan konsep diri.
Konsep diri terbentuk seiring dengan perkembangan hidup individu. Konsep diri
merupakan suatu faktor yang dipelajari oleh seseorang, yang terbentuk dan
pengalaman seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Sumber
informasi mengenai konsep diri seseorang dapat diperoleh melalui interaksinya
dengan orang lain, yaitu orang tua, teman sebaya, dan masyarakat (Isabella,
2011). Menurut Subadi, dkk (1986 dalam Pardede 2008) konsep diri bukanlah
faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk
dari pengalaman individu tersebut dalam berhubungan atau berinteraksi dengan
individu lain. Pendapat yang dikemukakan diatas, serupa dengan apa yang
dikemukakan oleh Wong, dkk., (2002), bahwa konsep diri tidak ada saat lahir,
tetapi berkembang perlahan-lahan sebagai hasil pengalaman unik diri sendiri.
Kasih (2008:38), juga berpendapat bahwa “konsep diri itu terbentuk
karena adanya interaksi individu dengan orang-orang disekitarnya. Apa yang
dipersepsi orang lain mengenai diri seseorang tidak terlepas dari struktur, peran,
dan status sosial yang disandang individu, dimana struktur, peran, dan status
sosial merupakan gejala yang dihasilkan dari adanya interaksi individu yang satu
dengan individu lain, antara individu dan kelompok, atau antara kelompok dan
kelompok”.
Konsep diri dibentuk dari kepercayaan dan sikap yang dipegang, yang
berkaitan dengan diri sendiri, dimana konsep diri menentukan siapakah diri kita
seperti yang kita pikirkan, apa yang kita lakukan, dan apa yang akan terjadi pada
diri kita dimasa depan (Yahaya, 2008).
Rasa terhadap diri sendiri juga memiliki aspek sosial: anak
menggabungkan pertumbuhan citra diri (self image) mereka dengan pemahaman
mereka terhadap apa yang mereka lihat dalam bentuk lainnya. Gambaran diri
mulai muncul ketika pada masa balita, dimana anak-anak mulai
mengembangkan kesadaran diri. Konsep diri menjadi lebih jelas dan lebih
menarik, apabila dilihat sebagai keuntungan yang dicapai seseorang dalam
kemampuan kognitif dan dalam berhubungan dengan tugas-tugas pada masa
perkembangan kanak-kanak, remaja, dan hingga dewasa (Papalia, Olds, &
Feldman, 2007).
Sedangkan McClun dan Merrell (1998) menyatakan bahwa konsep diri
juga tidak ada dalam ruang hampa, dikarenakan perkembangan konsep diri ini
dipengaruhi secara signifikan oleh keluarga (dalam Henderson, Dekof, Schwartz,
& Liddle, 2006), akan tetapi konsep diri seseorang juga dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor diluar keluarga, seperti teman-teman (Harter 1999 dalam
Henderson, Dekof, Schwartz, & Liddle, 2006). Hal ini senada dengan Beheshtifar
& Nezhad (2012), mereka menjelaskan bahwa faktor utama yang menentukan
pembentukan konsep diri individu adalah lingkungan serta dengan siapa individu
hidup, dimana mereka memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan
konsep diri seseorang.
Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan
informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-
anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif
ataupun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri
negatif. Jadi, anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan apa yang
diperoleh dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan
positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga, sehingga tumbuhlah
konsep diri yang positif (Murmanto, 2007). Hal ini senada dengan yang
kemukakan oleh Yahaya (2004) bahwa Konsep diri ada positif maupun negatif
dan tidak terbentuk secara turun-temurun, dimana kepribadian yang dibentuk
merupakan suatu hal yang setara dengan kepercayaan yang ditanam semasa
kecil, dan sebagai pegangan ketika pada masa remaja dan dewasa
Penting untuk diketahui bahwa konsep diri tidak terbatas pada saat ini,
tetapi mencakup diri individu di masa lalu dan masa depan, dimana masa depan
mewakili ide-ide seseorang (individu ingin menjadi), akan tetapi ada
kemungkinan bahwa individu dapat berfungsi sebagai insentif bagi perilaku di
masa depan, juga memberikan evaluatif dan interpretative dalam konteks yang
aktif terhadap diri sendiri (Adetoro 2011 dalam Beheshtifar & Nezhad, 2012).
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Terkait dengan konsep diri yang dimiliki oleh seseorang, Hurlock (1994
dalam Kasih, 2008) mengemukakan beberapa kondisi yang mempengaruhi
konsep diri pada masa kanak-kanak, yaitu: kondisi fisik, bentuk tubuh, nama dan
julukan, status sosial ekonomi, lingkungan sekolah, dukungan sosial,
keberhasilan dan kegagalan, seks dan inteligensi, sedangkan kondisi yang
mempengaruhi konsep diri pada masa remaja, yaitu: usia kematangan,
penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman
sebaya, kreatifitas, dan cita-cita.
2.1.4 Komponen Konsep Diri
Menurut Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), percaya bahwa konsep
diri terbagi menjadi 3 komponen, antara lain:
1. The View you have of yourself (Self image)
Menurut Rogers (1951 dalam McLeod, 2007), bagaimana kita melihat diri
kita sendiri, dimana ini penting dan baik untuk kesehatan psikologi seseorang.
Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), menjelaskan bahwa ini bukan kebutuhan
untuk merefleksikan diri. Pada level sederhana, kita mungkin mengenali diri kita
sendiri sebagai pribadi yang baik atau buruk, cantik atau jelek. Citra diri
mempunyai pengaruh terhadap bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan
berprilaku didunia ini (McLeod, 2007).
Citra diri adalah cara seseorang melihat dirinya sendiri, dan berpikir
mengenai dirinya sendiri (Gunawan, 2003). Sedangkan Tracy (1993 dalam
Solihudin, 2010) menunjukkan cara individu dalam membayangkan dirinya
sendiri, dan menentukan cara individu bertingkah laku dalam situasi tertentu.
Khun (1960 dalam McLeod, 2008), membagi citra diri menjadi 4 sub
dimensi, yaitu:
a) Physical Description (keterangan fisik): saya tinggi, saya mempunyai
mata berwarna biru, dan lain-lain
b) Social Roles (peran sosial): kita semua adalah makhluk sosial yang
perilakunya dibentuk sampai batas tertentu oleh peran yang kita mainkan.
Peran seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, atau anggota tim sepak
bola, ini tidak hanya membantu orang lain untuk mengenali kita, tetapi
juga membantu kita untuk mengetahui apa yang diharapkan dari kita
dalam berbagai situasi (Mcleod, 2008).
c) Personal Traits (sifat pribadi): ini adalah dimensi ketiga dari deskripsi
tentang diri kita: “Saya impulsif.. Saya murah hati.. Saya cenderung
khwatir dengan banyak hal, dan lain-lain (Mcleod, 2008).
d) Existential Statements (laporan eksistensial atau yang abstrak): seperti
“Saya anak alam semesta” untuk “Saya sesorang manusia” untuk “Saya
makhluk spiritual”, dan lain-lain (Mcleod, 2008).
2. How much value you place on yourself (Self esteem or self worth)
Menurut Rogers (1951 dalam McLeod, 2007), apa yang kita pikirkan
tentang diri kita sendiri, dan perasaan harga diri (self worth) berkembang pada
awal masa kanak-kanak dan terbentuk dari interaksi anak dengan ibu dan ayah
nya. Menurut Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), harga diri mengacu pada
sejauh mana kita suka, menerima, atau menyetujui diri kita sendiri atau seberapa
banyak kita menghargai diri kita sendiri. Menurut Tracy (1993 dalam Salihudin,
2010), harga diri adalah seberapa besar seseorang menyukai dirinya sendiri.
Menurut Gunawan (2003), Semakin seseorang menyukai dirinya, menerima
dirinya, dan hormat pada dirinya sendiri sebagai seseorang yang berharga dan
bermakna, maka semakin tinggi harga diri seseorang. Semakin seseorang
merasa sebagai manusia yang berharga, maka seseorang akan semakin
bersikap positif dan merasa bahagia.
Menurut Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), self esteem tinggi, yaitu
seseorang memiliki pandangan yang positif tentang diri kita sendiri, dan hal ini
cenderung menyebabkan:
1. Keyakinan pada kemampuan kita sendiri
2. Penerimaan diri
3. Tidak khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan
4. Optimisme
Sedangkan Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), menjelaskan bahwa self
esteem rendah, yaitu seseorang memiliki pandangan negatif terhadap diri kita
sendiri, dan hal ini cenderung menyebabkan:
1. Ketidakpercayaan
2. Ingin menjadi atau terlihat seperti orang lain
3. Selalu mengkhawatirkan apa yang orang lain mungkin pikirkan
4. Pesimisme
3. What you wish you were really like (Ideal self)
Menurut Rogers (1951 dalam McLeod, 2007), diri ideal ini adalah
seseorang yang ingin kita tiru, dimana ini terdiri dari tujuan dan ambisi dalam
hidup, dan dinamis. Diri ideal merupakan gabungan dari semua kualitas, serta
ciri kepribadian orang yang sangat dikagumi atau gambaran dari sosok yang
sangat diinginkan, dan apabila dapat menjadi seperti apa yang diinginkan
(Gunawan, 2003).
Diri ideal berisi semua atribut, biasanya positif seperti setiap orang bercita-
cita untuk menjadi yang diinginkan. Sebuah kesenjangan yang besar antara diri
ideal dan konsep diri menunjukkan ketidaksesuaian dan kepribadian yang tidak
sehat. Individu yang sehat secara psikologis memandang perbedaan kecil antara
konsep diri mereka dengan apa yang mereka idealnya ingin menjadi (Feist &
Feist, 2009).
Menurut Tracy (1993 dalam Solihudin, 2010), bentuk diri ideal akan
menuntun individu dalam membentuk perilaku. Menurut Rogers (1959 dalam
McLeod, 2008), diri ideal seseorang mungkin tidak konsisten dengan apa yang
sebenarnya terjadi dalam kehidupan, dan pengalaman dari orang tersebut,
sehingga perbedaan ini mungkin ada diantara diri ideal seseorang dengan
pengalaman aktual, maka ini disebut ketidaksesuaian (incongruence).
Gambar 2.1 Incongcruence and congcruence self image
Sumber: Rogers (1951 dalam Mcleod, 2007)
Rogers (1959 dalam McLeod, 2008), menjelaskan jika terdapat
ketidaksesuaian antara bagaimana seseorang melihat dirinya (misalnya citra
dirinya), dan apa yang seseorang ingin tiru atau menjadi (misalnya diri ideal),
maka ini kemungkinan akan mempengaruhi seberapa banyak seseorang itu
menghargai dirinya sendiri.
2.1.5 Dimensi Konsep Diri
Konsep diri dapat dibagi menjadi empat bagian dasar, antara lain:
actual versus ideal, and private versus social. Perbedaan actual – ideal mengacu
pada persepsi individu tentang siapa dirinya sekarang (actual self concept) dan
yang saya ingin menjadi (ideal self concept). Private self mengacu pada
bagaimana saya atau ingin menjadi diri saya (private self concept), dan social
self adalah bagaimana saya dilihat oleh orang lain atau bagaimana saya ingin
dilihat oleh orang lain (social self concept) (Hawkins, Mothersbaugh, & Best,
2007).
Tabel 2.1 Dimesions of a Consumer’s Self Concept
Dimensions of Self-Concept
Actual Self-Concept Ideal Self Concept
Private self How I actually see my self
How I would like to see myself
Social self How others actually see me
How I would like others to see me
Sumber: Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007).
2.1.6 Jenis Konsep Diri
Calhoun dan Acocella (1995 dalam Isabella, 2011), membedakan
konsep diri menjadi 2, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri
merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman, baik itu
pikiran, perasaan, persepsi, dan tingkah laku individu. Dengan demikian,
Calhoun dan Acocella (1995) positif atau negatif konsep diri seseorang, dapat
dilihat dari tingkah lakunya. Apabila seseorang memiliki konsep diri positif, maka
perilaku yang muncul pun cenderung positif, dan sebaliknya, seseorang yang
menilai dirinya negatif, maka perilaku yang muncul pun cenderung negatif (dalam
Isabella, 2011).
2.1.6.1 Konsep Diri Positif
Santoso (2010:71), mengemukakan bahwa “konsep diri positif
merupakan sebuah sistem operasi yang mempengaruhi mental dan kemampuan
berpikir positif seseorang”. Semakin positif konsep diri seseorang, maka akan
semakin mudah mengarahkan perasaan dan pikirannya kearah positif.
Seseorang yang memiliki konsep diri positif dapat mempengaruhi pola pikir dan
tindakan seseorang dalam kehidupannya”.
Calhoun dan Acocella (1995) Individu yang memiliki konsep diri positif
akan mampu menerima kekurangan dalam dirinya. Ia akan mampu
mengintrospeksi dirinya, dan mampu mengubah dirinya agar menjadi lebih baik,
mampu menata masa depannya dengan sikap optimis sehingga dapat diterima di
tengah masyarakat. Konsep diri yang positif akan menjadi modal individu dalam
merancang kehidupannya dimasa kini maupun masa mendatang. Dengan
konsep diri positif, individu akan memandang positif dirinya maupun orang lain,
sehingga ia akan mendapat umpan balik yang positif pula dari lingkungannya
(dalam Isabella, 2011).
2.1.6.2 Konsep Diri Negatif
Calhoun dan Acocella (1995) membagi konsep diri negatif menjadi 2,
yaitu:
1. Individu memandang dirinya secara acak, tidak teratur, tidak stabil, dan
tidak ada keutuhan diri. Ia tidak mengetahui siapa dirinya, kelemahannya,
kelebihannya, serta apa yang dihargai dalam hidupnya (dalam Isabella,
2011),
2. Kebalikan dari jenis konsep diri negatif yang pertama, individu yang
memiliki konsep diri negatif memandang dirinya terlalu stabil dan terlalu
teratur. Dengan demikian, individu menjadi seorang yang kaku, dan tidak
bisa menerima ide-ide baru yang bermanfaat baginya
Murmanto (2007), konsep diri seseorang dapat dilihat dari sikap
mereka. Konsep diri yang jelek akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak
berani mencoba hal-hal baru, tidak berani mencoba hal-hal yang menantang,
takut gagal, takut sukses, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa tidak berharga,
merasa tidak layak untuk sukses, pesimis, dan masih banyak perilaku inferior
lainnya. Sebaliknya, orang yang konsep dirinya baik, akan selalu optimis, berani
mencoba hal-hal baru, berani sukses, berani gagal, percaya diri, antusias,
merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berpikir
positif, dan dapat menjadi seorang pemimpin yang handal.
2.1.7 Konsep Diri Independent dan Interdependent
Konsep diri adalah penting dalam semua budaya. Namun, aspek-aspek
diri yang paling berharga dan paling pengaruh pada konsumsi dan perilaku
lainnya bervariasi di seluruh budaya. Para peneliti telah menemukan itu berguna
untuk mengkategorikan konsep diri menjadi dua jenis, independen dan
interdependen, juga disebut sebagai keterpisahan seseorang dan keterhubungan
(Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).
Menurut Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007), konsep diri
independen dan interdependen tidak dikategori secara diskrit, melainkan, mereka
adalah konstruksi yang digunakan untuk menggambarkan ujung-ujung sebuah
kontinum sepanjang yang kebanyakan kebohongan budaya.
2.1.7.1 Konsep Diri Independent
Independent construal of the self didasarkan pada dominan budaya
Barat yang menyatakan bahwa individu terpisah secara inheren. Konsep diri
Independen menekankan tujuan pribadi, karakteristik, prestasi, dan keinginan.
Individu dengan konsep diri yang independen cenderung individualistik,
egosentris, otonom, mandiri, dan mandiri. Mereka mendefinisikan diri mereka
dalam hal apa yang mereka lakukan, apa yang mereka miliki, dan karakteristik
pribadi mereka (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007)..
2.1.8.2 Konsep Diri Interdependent
Menurut Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007), interdependent
construal of the self lebih didasarkan pada keyakinan budaya yang umum di Asia
dalam keterhubungan dasar manusia. Konsep diri interdependen menekankan
hubungan keluarga, budaya, profesional, dan sosial. Individu dengan konsep diri
interdependen cenderung patuh, sociocentric, holistik, terhubung, dan hubungan
yang terorientasi. Mereka mendefinisikan diri mereka dalam hal peran sosial,
hubungan keluarga, dan kesamaan dengan anggota lain dari kelompok mereka
(Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).
2.2 Perilaku Konsumtif
2.2.1 Definisi Perilaku Konsumtif
Perilaku lebih mengacu pada tindakan dan respon, dimana kita dapat
mengamatinya secara langsung (Passer dan Smith, 2007). Fromm (1955)
perilaku konsumtif dapat berakibat consumption hungry, yaitu dalam diri individu
memiliki faktor keinginan untuk mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan demi
memenuhi rasa puas dalam dirinya sehingga ini dapat membuat individu itu
menjadi konsumtif.
Titik awal konsumsi didasarkan pada apa yang disebut "simbolisme
konsumen." Motivasi untuk pembelian produk tidak lagi dibatasi oleh fungsinya,
namun implikasi produknya (Nayyab, Javed, Ibraheem, & Safdar, 2011).
Sementara itu, Kardes, dkk (2001; 2004b) mengemukakan bahwa konsumen
membuat kesimpulan melampaui apa yang mereka baca, pengetahuan,
kebutuhan mereka, shingga mereka membuat kesimpulan dalam proses
pembelian yang dapat berdampak pada penilaian (Loken, 2006)
Sedangkan Sumartono (2002 dalam Hotpascaman, 2009), perilaku
konsumtif diartikan sebagai suatu tindakan dalam menggunakan suatu produk
secara tidak tuntas, dimana dimaksudkan bahwa suatu produk belum habis
dipakai, akan tetapi seseorang itu telah menggunakan produk jenis yang sama
dari merek lain atau membeli barang karna adanya iming-iming hadiah yang
ditawarkan atau membeli suatu produk karena banyak orang yang
menggunakannya.
Menurut Soegito (1996) perilaku konsumtif masyarakat Indonesia
tergolong berlebihan, apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Asia
Tenggara, dimana keadaan ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat tabungan
masyarakat Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Philipina dan
Singapura. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang
mengunakan uang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting dengan
berperilaku konsumtif (dalam Parma, 2007).
Van Boven dan Gilovich (2003), menjelaskan bahwa suatu
pengalaman dalam proses pembelian harus dibuat berdasarkan tujuan untuk
memperoleh suatu barang yang baik, maka perlu disesuaikan dengan pola
kebutuhan hidup.
Mantel dan Kardes (1999) juga mengatakan bahwa konsumen itu
tidak selalu termotivasi untuk mempertimbangkan dan membandingkan barang
tersebut bermerek atau tidak, sekalipun mereka mendapatkan informasi akan
barang itu (Wang & Wyer (2002) dalam Loken, 2006). Sedangkan menurut
Posavac, dkk (2004); Hsee & Leclerc (1998), ketika konsumen menbandingkan
suatu merek, pada umumnya mereka berada pada kondisi psikologis dimana ia
memiliki motivasi tinggi dalam menilai merek tersebut (relatif berfokus pada satu
merek) (dalam Loken, 2006).
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dijelaskan bahwa perilaku
konsumtif adalah tindakan pembelian secara berlebihan. Dalam artian, perilaku
konsumtif ini tidak hanya merupakan perilaku pembelian kebutuhan individu
tetapi juga tindakan pemuasaan diri. Setiap individu cenderung memiliki
kepuasaan dirinya masing-masing.
2.2.2 Indikator Perilaku Konsumtif
1. Pemenuhan keinginan (wants)
“It relieves anxiety, because what one has cannot be taken away; but it is also requires one to consume even more, because previous consumption soon losses its satisfactory character (Fromm, 1976 dalam Woodward, 2007).
Fromm (1976) menjelaskan bahwa konsumen modern itu di
identifikasikan dalam rumusan: saya= apa yang saya punya dan apa yang
saya konsumsi (dalam Woodward, 2007). Rasa puas manusia tidak berhenti
pada satu titik saja, akan tetapi rasa puas itu akan terus meningkat, sehingga
manusia tergolong selalu ingin memenuhi rasa puas itu, meskipun individu itu
harus mengkonsumsi suatu barang atau produk yang tidak memiliki fungsi,
manfaat dan kebutuhan bagi diri individu itu (Fromm, 1955). Ketika individu
dapat memenuhi rasa puas nya atau memenuhi perilaku konsumsi nya akan
suatu produk atau barang, maka hal ini dapat mengurangi rasa kecemasan
dalam diri individu itu dimana kegiatan konsumsi nya telah tercapai (Fromm,
1976 dalam Woodward, 2007).
2. Barang diluar jangkauan
“Acquisition transitory having and using – throwing away (or if possible, profitable exchange for a better mode) new acquisition = constitutes the vicious circle of consumer-buying and today’s motto could indeed be: new is beautiful” Fromm (1976 : 59)
Jika manusia menjadi konsumtif (menggunakan atau mengkonsumsi
secara berlebihan), maka tindakan konsumsi ini menjadi kompulsif dan tidak
rasional. Oleh karena itu, dalam diri individu akan muncul perasaan “belum
lengkap” dan selalu mencari kepuasan dengan mendapatkan barang atau
produk baru (Fromm, 1976).
3. Barang tidak produktif
“...regard to many things, there is not even the prefense of use we acquire them to have:them. We are satisfied with useless possession” Fromm (1955).
.. Menganggap banyak hal, tidak ada bahkan prefense penggunaan kita mendapatkan mereka untuk memiliki: mereka. Kami puas dengan kepemilikan tidak berguna "
Jika pengkonsumsian barang atau berlebihan, maka kegunaan konsumsi
itu sendiri menjadi tidak jelas atau tidak sesuai dengan fungsinya,
sehingga hal ini mengakibatkan barang atau tersebut menjadi tidak
produktif. Ketika individu merasa terpuaskan dengan memiliki barang
atau produk yang diinginkan, akan tetapi pada kenyataan nya bahwa
preferensi dalam pengunaan barang atau produk tersebut sebenarnya
tidak ada (Fromm, 1955).
4. Status
Perilaku individu dapat digolongkan sebagai konsumtif, apabila ia
mengkonsumsi barang atau produk secara berlebihan serta hanya
mementikan status sosial nya di tengah masyarakat. Pada saat ini,
perilaku konsumsi bukan lagi merupakan pengalaman produktif, akan
tetapi telah menjadi suatu pengalaman pemuasan angan-angan saja
dalam mencapai sesuatu (seperti status sosial, kelas sosial, gaya hidup)
yang diinginkannya (Fromm, 1955).
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif
Experiences & acquitions
Needs Needs
Desires
Experiences & acquitions
Gambar 2.2 Overall Model of Consumer Behavior
Sumber: Hawkins, Motherbaugh, dan Mookerjee (2010)
Hawkins, Motherbaugh dan Mookerjee (2010) menyatakan bahwa
setiap individu memiliki pandangan akan dirinya sendiri (konsep diri), dan
individu itu juga mencoba untuk bertahan hidup dengan berbagai cara yang
diberikan oleh sumber daya individu itu sendiri (gaya hidup). Pandangan kita
akan diri kita sendiri dan cara kita untuk bertahan hidup ditentukan oleh faktor
internal (seperti kepribadian kita, nilai, emosi dan memori) dan faktor eksternal
(seperti budaya, usia, pertemanan, keluarga dan sub-budaya). Pandangan kita
akan dirii kita sendiri, serta cara kita untuk bertahan hidup menghasilkan hasrat
dan kebutuhan yang kita bawa untuk orang banyak pada situasi sehari-hari yang
dihadapi. Banyak situasi yang menyebabkan kita sebagai individu untuk
mempertimbangkan perilaku pembelian, dimana keputusan kita dan proses
pembentukan itu akan menjadikan sebuah pembelajaran dan efek yang banyak
EXTERNAL INFLUENCESCultureSubcultureDemograhics Social StatusReference GroupFamilyMarketing Activities
INTERNAL INFLUENCESPerceptionLearningMemoryMotivesPersonalityEmotionsAtitudes
Self-Conceptand
Lifestyle
DECISION PROCESSSituation
Problem Recognition
Information Search
Alternative Evaluation and Selection
Outlet Selection and Purchase
Postpurchase Processes
akan faktor internal dan eksternal yang akan merubah atau memperkuat konsep
diri dan gaya hidup kita sebagai individu.
2.3 Perkembangan Dewasa Muda
Pada tahapan Erikson (1963), mahasiswa/i termasuk dalam tahap
perkembangan dewasa muda (early adulthood). Dewasa adalah saat seseorang
mengambil tanggung jawab dalam pekerjaan dan hubungan sosial (dalam Lahey,
2007). Dewasa bukanlah satu fase kehidupan. Tantangan cinta dewasa, bekerja,
dan bermain berubah jauh selama masa dewasa. Dengan kata lain, dewasa ini
bukan akhir dari proses pembangunan. Perubahan pembangunan terus terjadi
sepanjang masa dewasa (Lahey, 2007).
Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2007), perkembangan dewasa
dibagi menjadi tiga bagian, antara lain: dewasa muda (young adulthood), yang
berada pada rentan usia 20-40 tahun; dewasa menengah (middle adulthood),
yang berada pada rentan usia 40-65 tahun; dan dewasa akhir (late adulthood),
yang berada pada rentan usia diatas 65 tahun. Arnett (dalam Santrock, 2002),
menjelaskan bahwa kedewasaan itu muncul dari proses transisi remaja ke
dewasa (sekitar usia 18-25 tahun) yang melibatkan eksperimen dan eksplorasi.
Menurut Mappiare (1982 dalam Nugroho, 2003), karakteristik yang khas
pada remaja akhir, pada umumnya ditandai dengan stabilitas fisik dan psikis
yang mulai timbul dan meningkat, citra diri, dan sikap pandangan yang lebih
realitas dalam menghadapi masalah secara lebih matang dan perasaan lebih
tenang. Transisi dari remaja ke dewasa menurut Santrock (2002), antara lain:
Tabel 2.2 The Transition from Adolescence to adulthood
Concept Processes/Related Ideas Characteristics/DescriptionTransisi dari remaja ke dewasa
Kriteria untuk menjadi dewasa
Selama proses transisi, sering muncul pribadi dan ekonomi yang sifatnya sementara (temporary). Dua kriteria untuk status dewasa adalah kebebesan ekonomi, dan pengambilan keputusan secara independen.
Transisi dari sekolah menegah ke perguruan tinggi
Ada kesinambungan dan perubahan dalam transisi, dan transisi dapat melibatkan fitur positif dan negatif. Peningkatan jumlah mahasiswa dikembalikan lagi ke siswa-siswa.
Sumber: Santrock, J. W. (2002)
2.4 Mahasiswa/i
Menurut Nugroho (2003), individu yang menempuh pendidikan di
perguruan tinggi, dimana pada umumnya berada pada rentan usia remaja akhir,
dan dewasa awal..
Beberapa jenis kebutuhan mahasiswa dapat diklasifikasikan menjadi
kelompok kebutuhan, antara lain: kebutuhan organik, seperti makan, minum,
bernafas, dan seks; kebutuhan emosional, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan
simpati, dan pengakuan dari pihak lain, dikenal dengan need of affiliation;
kebutuhan berprestasi (need of achievement); kebutuhan untuk
mempertahankan diri, dan mengembangkan jenis (Nugroho, 2003).
Mahasiswa memiliki citra (image), sebagai trend setter pada kaum
remaja, hal ini bertujuan untuk menunjukkan status sosial dan simbol yang telah
menjadi citra (image) dalam masyarakat, maka perilakunya selalu menyesuaikan
diri dengan perkembangan mode pakaian dan teknologi, misalnya saja
kecenderungan mahasiswi membeli dan bergonta-ganti mode pakaian,
handphone, dan kendaraan (Nugroho, 2003).
2.5 Kerangka Berpikir
Gambar 2.3 Hubungan antara konsep diri mahasiswa/i pendatang angkatan
2009 Universitas Bina Nusantara dengan perilaku konsumtif pada produk fashion
Sumber: Data Pengolahan Peneliti
Mahasiswa/i
pendatang
Konsep diri mahasiswa/i
pendatang
Konsep diri positif
Perilaku Konsumtif
Mahasiswa/i Pendatang
Konsep diri negatif
Konsep Diri Positif:
- Kemampuan berpikir positif Santoso (2010 : 71)
- Mampu menerima kekurangan-kekurangannya
- Mampu menginstropeksi dirinya
- mampu mengubah dirinya agar menjadi lebih baik, sehingga dapat diterima di tengah masyarakat Calhoun dan Acocella (1995)
Konsep Diri Negatif:
- Rasa tidak percaya diri- Tidak berani mencoba hal-
hal baru, menantang- Takut gagal,- Merasa diri bodoh, rendah
diri dan tidak berharga- Pesimis (Murmanto, 2007)