Upload
mirandasuwandi
View
66
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pembahasan mengenai besar bagian harta warisan bagi saudara tidak dapat dilepaskan
dari kalalah, karena saudara barulah dapat tampil sebagai ahli waris setelah pewaris
meninggal dunia dalam keadaan kalalah atau mati punah. Pengertian kalalah secara hukum
terdapat perbedaan pendapat di antara ketiga sistem hukum kewarisan islam yang dikenal dan
berlaku di Indonesia, namun semuanya menempatkan istilah kalalah sebagai kunci utama
bagi tampilnya saudara sebagai ahli waris.
Menurut Hazairin dan Sajuti Thalib beserta para murid beliau, kalalah adalah orang
meninggal dunia tanpa meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan beserta
keturunannya. Dalam ajaran bilateral Hazairin ini, eksistensi ayah tidak mempengaruhi dan
tidak menentukan kedudukan pewaris dalam keadaan kalalah atau tidak kalalah. Tetapi
eksistensi ayah berpengaruh terhadap tampilnya saudara pewaris dalam menggunakan
ketentuan bear bagian harta warisan bagi saudara berdasarkan surah an-Nisa ayat 12 g dan 12
h ( Q.4:12g dan Q.4:12h), atau an-Nisa ayat 176 (Q.4:176).
Dasar hukum saudara sebagai ahli waris sebagaimana dijelaskan diatas berada pada
Q.4:12g dan Q.4:12h serta Q.4:176. Satu-satu dari dasar hukum tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
- Surah an-Nisa Ayat 12
Mengenai saudara, “.... jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan daam
keadaan kalalah tetapi mempunyai seorang saudara laki-lak atau seorang saudara
perempuan, maka bagi masing-masing dari kedua orang saudara itu seperenam harta
warisan. Tetapi jika saudara-saidara itu lebih dari satu orang, maka mereka besekutu
dalam sepertiga, sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar
utangnya, dengan tidak memberi kemudaratan (kepada ahli waris), demikianlah
ketentuan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Hazairin dan Sajuti Thalib telah merumuskan beberapa garis hukum kewarisan bagi
saudara yang ditentukan dalam surah an-Nisa ayat 12 sebagai berikut.
1. Garis hukum mengenai ketentuan besar bagian bagi satu saudara berdasarkan
Q.4:12g: jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara penuh
sedangkan baginya ada seseorang saudara laki-laki atau seorang saudara
perempuan, maka setaip mereka itu mendapat seperenam.
Penyelesaian kasus kewarisan menurut Hazairin dikembangkan oleh Sajuti Thalib,
yang melanjutkan pemikiran Hazairin sebagai amanah Hazairin, diantaranya
mengenai saudara dan radd. Krena itu terdapat perbedaan pendapat anatara
Hazairin dengan Sajuti Thalib tentang jumlah saudara yang dapat menghijab-
nuqsan ibu (mengurangi jumlah bagian warisan ibu dari 1/3 menjadi 1/6).
Hazairin berpendapat bahwa jumlah saudara yang dapat mengurangi bagian
warisan ibu adalah dua orang saudara. Sedangkan Sajuti Thalib berpendapat
bahwa jumlah saudara tidak dibatasi minimal dua orang, tetapi satu orang
saudarapun sudah dapat menhijab-nuqsan ibu.
Pada mulanya, ajarah Hazairin yang dikemukakan oleh Hazairin sendiri, bahwa
besar bagian harta warisan ibu yang menjadi ahli waris bersama seorang saudara
pewaris, baik saudara sekandung, saudara seayah, maupun saudara seibu, adalah
sepertiga harta warisan.
Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Sjuti Thalib, dimana menurutnya ibu
mendapat 1/6 bagian jika mewaris bersama satu orang saudara atau lebih. Menurut
Hazairin ibu mnedapat 1/3 harta warisan bila:
Pewaris tidak berketurunan dan bersaudara, ibu mendapat 1/3
Pewaris bersaudara tetapi semuanya mati punah, ibu mendapat 1/3
Pewaris hanya mempu nyai seorang saudara yang masih hidup, baik
saudara sekandung, atau seayah, atau seibu, sedangkan saudara-saudara
yang lain mati punah, ibu mendapatkan 1/3
Pewaris hanya mempunyai seorang saudara yang masih hidup, atau
seorang saudara yang telah meninggal dunia tetapi meninggalkan
keturunan, baik saudara laki-laki maupun perempuan, baik sekandung,
seayah, ataupun seibu, maka ibu mendapatkan 1/3.
2. Garis hukum menegenai ketentuan besar bagian dua orang saudara atau lebih
berdasarkan Q.4:12h: jika ada seseorang perempuan diwarisi secara punah
sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlahnya dua orang, maka mereka
bersekutu untuk sepertiga.
3. Garis hukumQ.4:12 lainnya :
i. Pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut dalam garis hukum g dan h
sesudah dibayarkan wasiat/atau utang pewaris
j. Pembagian wasiat dan/atau pembayaran utag itu tidak boleh mendatangkan
kemudaratan kepada ahli waris
k. Demikianlah ketentuan Allah
l. Bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun
- Surah an-Nisa Ayat 176
Selain didalam an-Nisa ayat 12 g dan 12 h, besar bagian saudara juga diatur dalam an-
Nisa ayat 176, “Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah: jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak
meninggalkan anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai, jika ia tidak mempunyai anak tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Menurut Hazairin dan Sajuti Thalib, saudara termasuk dalam kelompok keutamaan
kedua, dengan tanpa membedakan jenis saudara, apakah saudara seayah, atau saudara
seibu, mereka secara bersama-sama dapat tampil sebagai ahli waris. Apabila pewaris
tidak meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan beserta
keturunannya, menurut kedua ahli hukum kewarisan Islam itu, maka saudara dapat
tampil sebagai ahli waris.
Jika ayah masih hidup, menurut ajaran Bilateral Hazairin, saudara berkedudukan
sebagai zul-fara’id semuanya, karena itu dasar hukum yang diterapkan adalah Q.4:12
gdan Q.4:12h. Tetapi, apabila ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris
maka bagian harta warisan bagi saudara diselesaikan berdasarkan Q.4:176.
Selain perbedaan pengertian kalalah di antara ketiga aliran kewarisan islam yang
terdapat di Indonesia, yang dapat menentukan tampil atau tidak tampilnya saudara sebagai
ahli waris, juga terdapat perbedaan kedudukan saudara yang dapat tampil sebgai ahli waris
berdasarkan garis hubungan darah antara pewais dengan saudara atau saudara-saudara
pewaris. Perbedaan kedudukan saudara yang dapat tampil sebagai ahli waris tersebut
sehubungan dengan adanya perbedaan ketentuan kedudukan ahli waris dan besar bagian harta
warisan yang ditentukan dalam surah an-Nisa ayat 12g dan 12h dengan surah an-Nisa ayat
176.
menurut Hazairin, garis hubungan darah yang mempertalikan pewaris dengan saudara
atau saudara-saudara pewaris tidak dibedakan. Dengan kata lain, Hazairin tidak membedakan
hubungan pewaris dengan saudara atau saudara-saudara pewaris, baik sebagai saudara
sekandung, saudara seayah, maupun saudara seibu. Menurutnya, saudara sekandung, seayah
dan seibu mempunyai kedududkan sederajat sehingga tidak dibedakan antara mereka selaras
dengan sistem kewarisan bilateral menurut al-Quran. Argumentasi yang diajukan Hazairin,
bahwa kata-kata yang digunakan dalam al-Quran tidak memberikan perincian tentang
hubungan perasaudaraan, apakah sekandung, seayah atau seibu. Oleh sebab itu yang
dimaksud akhun, ukhtun, ikhwatun adalah saudara dalam semua jenis hubungan
persaudaraan, baik karena adanya pertalian darah dengan ayah maupun pertalian darah
dengan ibu. Mereka semua dalam posisi yang sama, yaitu secara bersama-sama dapat tampil
dan menjadi ahli waris dari saudaranya yang telah meninggal dunia.Perbedaan bagian saudara
antara ketentuan ayat 12 dengan ayat 176, bukan karena perbedaan pertalian darah antara
ayah dan ibu (sekandung, seayah dan seibu), melainkan karena perbedaan keadaan (kasus)
yang terjadi. Artinya kasus kalalah pada ayat 12 tidak sama dengan kasus kalalah pada ayat
176.
Penerapan surah an-Nisa ayat 12, menurut Hazairin, yaitu jika pewaris meninggal
dunia dalam keadaan kalalah, yaitu tidak meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun
anak perempuan beserta keturunannya, dan ayah masih hidup. Ketentuan yang diterapkan
untuk menetapkan besar bagian harta warisan bagi audara pewaris, baik saudara sekandung,
saudara seayah maupun saudara seibu, adalah berdasarkan an-Nisa ayat 12.
Sedangkan jika pewaris meninggal dunia dalam keadaan kalalah, yaitu tidak
meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan beserta keturunannya
sedangkan ayah pewaris pun telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka
menurut Hazairin, digunakan an-Nisa ayat 176.
Mengenai besar bagian saudara sebagai ahli waris menurut Hazairin maka dapatlah
kita untuk lebih memahaminya melihat pada duduk perkara kasusnya. Oleh karena dalam
sistem kewarisan bilateral Hazairin seperti yang dibahas diatas dinyatakan bahwa yang
menjadi patokan dalam menentukan dasar hukum yang akan dipakai dalam suatu pewarisan
ialah ada atau tidaknya ayah pewaris pada saat pewaris meninggal dunia. Sedangkan jenis-
jenis saudara tidaklah menjadi penentu dalam penentuan penggunaan dasar hukum karena
Hazairin tidaklah mengenal pembedaan diantara saudara-saudara seperti pada sistem
kewarisan menurut Patrilineal Syafi’i dan KHI. Dengan demikian maka apabila dalam kasus
yang terjadi :
- ayah dari si pewaris masih hidup, digunakan Q.4:12g dan Q.4:12h
Apabila pewaris meninggal dengan meninggalkan satu orang saudara laki-laki atau
seorang audara perempuan, maka saudara laki-laki atau perempuan tersebut
memperoleh 1/6 bagian (Q.4:12g). Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan dua
orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki atau perempuan, maka mereka
memperoleh 1/3 secara bersama-sama (Q.4:12h). Bila seorang saudara laki-laki atau
seorang saudara perempuan mewaris bersama dengan ibu, maka menurut Hazairin
bagian ibu adalah 1/3 (Q.4:11e) dan bagian saudara pewaris tersebut 1/6 bagian
(Q.4:12g). Bila dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki atau perempuan
mewaris bersama dengan ibu makabagian ibu adalah 1/6 (Q.4:11f) dan saudara-
saudara pewaris tersebut mendapatkan 1/3 secara bersama-sama (Q.4:12h).
- ayah dari si pewaris telah meninggal lebih dahulu, digunakan Q.4:176
Apabila pewaris meninggal dengan meninggalkan seorang saudara perempuan, maka
ia mendapatkan 1/2 dari harta warisan pewaris (Q.4:176b) mewaris dengan ibu maka
ibu mendapatkan 1/3 bagian (Q.4:11e). Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan
saudara laki-laki satu orang atau lebih, maka saudara laki-laki tersebut mendapatkan
seluruh harta warisan pewaris tersebut (Q.4:176c). Jika pewaris meninggal dengan
meninggalkan saudara perempuan dua orang atau lebih, maka mereka mendapatkan
2/3 harta warisan secara bersama-sama (Q.4:176d) mewaris bersama dengan ibu maka
ibu mendapatkan 1/6 bagian (Q.4:11f). Sedangkan bila pewaris meninggal dengan
meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan maka bagian laki-laki adalah dua kali
bagian perempuan (Q.4:176e) mewaris bersama dengan ibu,maka ibu mendapatkan
1/6 bagian (Q.4:11f).