28
Laporan Utama : Reformulasi dan Reorientasi Koalisi Pasca-Century Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984 Tinjauan Bulanan Ekonomi, Hukum, Keamanan, Politik, dan Sosial

Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Laporan Utama : Reformulasi dan Reorientasi Koalisi Pasca-Century

Volume IV, No. 11 - April 2010ISSN 1979-1984

Tinjauan Bulanan Ekonomi, Hukum, Keamanan, Politik, dan Sosial

Page 2: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

1 KATA PENGANTAR

LAPORAN UTAMA

2 Reformulasi dan Reorientasi Koalisi Pasca-Century

EKONOMI

6 Pajak dan Pembangunan

9 Situasi Ekonomi Global Kuartal I 2010

11 Tentang Nilai Rupiah

POLITIK

13 Istri Incumbent di Pilkada

SOSIAL

16 Polemik Pelarangan Merokok

19 Rekayasa Kasus oleh Aparat

22 PROFILE INSTITUSI

23 PROGRAM RISET DAN PELATIHAN

25 ADVERTORIAL INDONESIA 2008

Daftar IsI

ISSN 1979-1984

Tim Penulis : Anies Baswedan (Direktur Eksekutif & Riset), Endang Srihadi (Koordinator), Aly Yusuf, Antonius Wiwan Koban, Hanta Yuda AR, Nawa Thalo.

Penulis Tamu : Tata Mustasya

Editor : Adinda Tenriangke Muchtar

Page 3: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 1

Kata PeNgaNtar

Partai-partai mitra koalisi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Golkar, PKS, dan PPP – berseberangan dengan pemerintah dalam voting Rapat Paripurna DPR dalam penetapan kesimpulan laporan Panitia Angket Century. Ketiga partai itu berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintahan, sekaligus menjalankan peran oposisi di DPR. Fenomena ini juga tidak jarang dijumpai pada masa lima tahun Pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Koalisi yang terbangun tidak pernah solid, selalu mengalami keretakan kendatipun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan besar, bahkan kebesaran.

Alih-alih menutup titik kelemahan ini – komunikasi elit – beberapa politisi Partai Demokrat di DPR justru melakukan hal-hal kontraproduktif yang justru merusak pola komunikasi Presiden dan elit politik. Hal ini justru berkontribusi dalam merapuhkan ikatan koalisi. Gertak reshuffle kabinet yang dilakukan beberapa politisi Demokrat juga terbukti gagal, dan justru memperparah hubungan antarpartai koalisi. Padahal yang paling membutuhkan koalisi adalah Yudhoyono dan Partai Demokrat. Update Indonesia kali ini mengangkat tema utama tentang Reformulasi dan Reorientasi Koalisi Pasca-Century

Update Indonesia kali ini juga mengangkat tema-tema penting di beberapa bidang. Di bidang ekonomi dan keuangan tentang pajak dan pembangunan, lalu mengenai situasi ekonomi global kuartal I 2010 dan tema tentang nilai rupiah. Di bidang politik mengangkat tema mengenai istri incumbent di pilkada. Di bidang sosial mengangkat tema mengenai rekayasa kasus oleh aparat dan tema tentang polemik pelarangan merokok

Penerbitan Update Indonesia dengan tema-tema aktual dan regular diharapkan akan membantu para pembuat kebijakan di pemerintahan dan lingkungan bisnis, serta kalangan akademisi dan think tank internasional dalam mendapatkan informasi aktual dan analisis kontekstual tentang perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya di Indonesia.

Selamat membaca.

Tim Penulis

Page 4: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 20102

Laporan Utama

Reformulasi dan Reorientasi Koalisi Pasca-Century

Partai-partai mitra koalisi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Golkar, PKS, dan PPP – berseberangan dengan pemerintah dalam voting Rapat Paripurna DPR dalam penetapan kesimpulan laporan Panitia Angket Century. Padahal partai-partai ini telah menandatangani kontrak koalisi dan mendapatkan jatah posisi menteri di kabinet.

Ketiga partai itu berdiri di dua kaki, berkoalisi dengan pemerintahan, sekaligus menjalankan peran oposisi di DPR. Fenomena ini juga tidak jarang dijumpai pada masa lima tahun Pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Koalisi yang terbangun tidak pernah solid, selalu mengalami keretakan kendatipun secara kuantitas persentase koalisi partai-partai pendukung pemerintahan besar, bahkan kebesaran.

Sumber keretakan

Paling tidak ada empat faktor yang menjadi sumber keretakan koalisi dalam konteks kasus Century. Pertama, kerentanan kombinasi sistem presidensial-multipartai. Sistem pemerintahan presidensial memang terbukti tidak kompatibel dengan sistem multipartai, karena dalam sistem multipartai yang terfragmentasi akan sulit melahirkan satu partai mayoritas yang cukup kuat untuk membentuk satu pemerintahan sendiri, kecuali dengan koalisi.

Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme, menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam situasi multipartai. Koalisi inilah menjadi pemicu utama sistem presidensial sering tampil dengan gaya parlementer dan pemerintah sering terserimpung oleh manuver partai-partai mitra koalisi, seperti halnya dalam kasus Century.

Page 5: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 3

Laporan Utama

Kedua, nir-ideologi partai dan kepentingan partai untuk investasi 2014. Ideologi partai-partai kita sangat lemah dan pragmatis menyebabkan karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, amat oportunistik, dan pragmatis, sehingga koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair.

Hal ini terjadi karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan-kepentingan pragmatisme politik kekuasaan, ketimbang berdasarkan kedekatan ideologi atau persamaan platform. Selain itu, politik dua kaki yang diperankan partai-partai mitra koalisi – sekaligus beroposisi di parlemen – merupakan bagian dari politik pencitraan untuk investasi di Pemilu 2014.

Ketiga, kelenturan kontak koalisi. Kontrak koalisi yang menjadi pengikat utama partai-partai dalam berkoalisi hanya bersifat normatif. Padahal kontrak koalisi mestinya mengatur substansi yang lebih konkret. Karena itu pula, tidak mengherankan jika partai-partai anggota koalisi memiliki multitafsir dan masing-masing beranggapan telah melaksanakan komitmen dalam kontrak koalisi. Partai Demokrat menuduh Golkar, PKS dan PPP keluar dari koridor kontrak koalisi, sementara PKS beranggapan mereka justru melaksanakan komitmen dalam kontrak koalisi untuk mengawal pemerintahan yang bersih. Kelenturan tafsir substansi koalisi inilah menjadikan mudah retaknya koalisi pemerintah, karena masing-masing memilih tafsir tentang poin-poin dalam kontrak koalisi.

Keempat, akumulasi kekeliruan pola komunikasi politik Yudhoyono dan Partai Demokrat. Yudhoyono memang figur yang sangat terampil dalam membangun komunikasi publik (politik pencitraan), tetapi lemah dalam mengelola komunikasi elit. Fungsi komunikasi elit yang lebih banyak dilakukan Jusuf Kalla pada lima tahun silam, di era Yudhoyono-Boediono terlihat tergopoh-gopoh dan agak berantakan. Fungsi ini memang agak sulit dilakukan oleh Boediono yang tidak memiliki basis politik seperti Kalla yang saat itu mengendalikan partai pemenang pemilu. Namun, peran itu mestinya dilakukan para politisi Partai Demokrat.

Alih-alih menutup titik kelemahan ini – komunikasi elit – beberapa politisi Partai Demokrat di DPR justru melakukan hal-hal kontraproduktif yang justru merusak pola komunikasi Presiden dan elit politik. Hal ini justru berkontribusi dalam merapuhkan ikatan koalisi. Gertak reshuffle kabinet yang dilakukan beberapa politisi Demokrat juga terbukti gagal, dan justru memperparah hubungan antarpartai koalisi. Padahal yang paling membutuhkan koalisi adalah Yudhoyono dan Partai Demokrat.

Page 6: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 20104

Laporan Utama

Reformulasi koalisi

Kebijakan Yudhoyono dan Partai Demokrat melakukan reformulasi koalisi sebagai bentuk evaluasi sekaligus sanksi bagi partai-partai koalisi yang membelot, sangat ditentukan oleh sikap PDIP ke depan. Bagaimana sikap PDIP pasca-Kongres April mendatang sangat menentukan apakah akan ada atau tidak reshuffle kabinet.

Seandainya PDIP memutuskan untuk merapat ke koalisi, maka ruang manuver Yudhoyono dan Partai Demokrat lebih luas. Peluang reshuffle kabinet pun semakin terbuka. Ada beberapa alternatif kebijakan reformulasi koalisi yang dapat dilakukan Yudhoyono dan Partai Demokrat jika PDIP memutuskan bergabung ke pemrintah. Pertama, tetap mempertahankan komposisi koalisi seperti sebelumnya ditambah PDIP (Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB dan PDIP). Jika opsi ini yang terjadi, maka koalisi yang terbangun di pemerintahan akan semakin besar (92,26 persen).

Kedua, Partai Golkar dikeluarkan dari koalisi, dan PDIP menggantikan posisi Golkar. Jika opsi ini yang diambil, secara kuantitas persentase koalisi relatif tetap, yaitu sekitar 73 persen. Namun, tampaknya opsi ini kecil kemungkinan akan dipilih, karena Yudhoyono jelas masih membutuhkan Golkar yang terkenal memiliki pengalaman dan kepiawaian dalam melakukan lobi dan negosiasi politik dalam mengamankan pemerintahan lima tahun ke depan. Ketiga, antara PKS dan PPP, atau keduanya dikeluarkan dari koalisi. Seandainya PDIP bergabung, opsi ini mungkin saja dipilih Yudoyono. Tetapi mengeluarkan kedua partai itu dari koalisi tampaknya tetap berisiko, karena bagaimanapun SBY masih membutukan salah satu dari keduanya di dalam pemerintahan sebagai representasi kontituen Islam.

Namun sebaliknya, apabila PDIP tetap memilih berada di luar pemerintahan (oposisi), maka semakin kecil kemungkinan bagi Yudhoyono untuk melakukan reshuffle kabinet (reformulasi koalisi). Jika melihat karakter Yudhoyono yang sangat mementingkan keseimbangan dan harmoni politik serta cenderung ingin merangkul dan memuaskan semua kalangan, maka sangat kecil kemungkinannya akan mengeluarkan salah satu anggota koalisi dari pemerintahan. Jadi, kecenderungan paling kuat Yudhoyono akan memperluas koalisi – mengundang PDIP bergabung -- atau tetap mempertahankan komposisi koalisi sekarang. Sebaliknya, sangat kecil kemungkinan bagi Yudhoyono untuk menngurangi anggota koalisi.

Page 7: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 5

Laporan Utama

Reorientasi koalisi

Kekeliruan orientasi koalisi yang dibangun SBY dan Partai Demokrat selama ini adalah terlalu terfokus pada kuantitas (persentase kursi di parlemen) ketimbang kualitas (kohesivitas dan soliditas koalisi). Kondisi ini disebabkan oleh karekter SBY yang terlalu mementingkan keseimbangan dan harmoni politik, sehungga cenderung ingin merangkul dan memuaskan semua kalangan.

Keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan semua kalangan itulah mendorongnya untuk mengakomodasi hampir semua partai politik di dalam kabinet. Hal inilah yang menyebabkan Yudhoyono dan Partai Demokrat terperangkap pada logika kuantitas ketimbang kuatitas, yaitu lebih sibuk memperbesar jumlah anggota koalisi ketimbang mengikat soliditas koalisi. Padahal sebesar apapun koalisi, tanpa memperbaiki soliditas dan aturan main dalam berkoalisi, partai-partai berpotensi besar akan tetap menjalankan politik dua kaki dalam berkoalisi, yaitu berkoalisi di pemerintahan sekaligus beroposisi di parlemen.

Metode Yudhoyono dalam memenuhi kebutuhan politik pengamanan (sekuritas politik) untuk lima tahun ke depan dengan membangun koalisi sebesar-besarnya perlu berubah orientasi. Reorientasi yang perlu dilakukan dalam manata koalisi ke depan adalah lebih berorientasi pada kualitas (soliditas dan aturan main) ketimbang merangkul partai dalam koalisi sebanyak-banyaknya tetapi tidak solid.

Rekomendasi

Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk menata ulang koalisi agar lebih solid dan efektif. Pertama, Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat harus merubah orientasi dalam memenuhi kebutuhan sekuritas politik dari orientasi kauntitas (persentase) ke orientasi kualitas (soliditas dan kohesivitas koalisi). Selain itu juga diperlukan forum komunikasi anggota koalisi yang dipimpin langsung oleh Presiden.

Kedua, Yudhoyono dan Partai Demokrat perlu memperbaiki strategi komunikasi politik dalam mengelola koalisi, yaitu memperlakukan mitra koalisi sebagai pihak yang saling membutuhkan (komunikasi simetris). Ketiga kontrak koalisi (MoU) harus dibuat lebih konkret, jelas dan tidak terlalu normatif, serta disertai aturan sanksi. Ketiga, diperlukan forum komunikasi anggota koalisi dan Presiden perlu memimpin langsung.

— Hanta Yuda AR —

Metode Yudhoyono memenuhi kebutuhan politik pengamanan (sekuritas politik) dengan membangun koalisi sebesar-besarnya perlu berubah orientasi. Reorientasi yang perlu dilakukan dalam manata koalisi ke depan adalah lebih berorientasi pada kualitas (soliditas) ketimbang merangkul partai dalam koalisi sebanyak-banyaknya tetapi tidak solid.

Page 8: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 20106

ekonomi

Pajak dan Pembangunan

Pajak memberikan kontribusi signifikan dan semakin meningkat terhadap penerimaan negara. Saat ini, kontribusinya sekitar 80 persen dari total penerimaan negara. Implikasinya, pembiayaan pelayanan publik dan dan pengeluaran pemerintah lainnya sangat tergantung kepada penerimaan pajak tersebut. Dalam empat tahun ke depan, pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan pajak hampir dua kali lipat hingga mencapai Rp 1.000 triliun.

Penerimaan perpajakan terus meningkat dari tahun 2007 hingga 2010. Realisasi penerimaan pajak pada tahun 2007, misalnya, sebesar Rp 490,988 triliun. Realisasi tersebut meningkat pada tahun 2008 menjadi Rp 658,701 triliun. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp 729,165 triliun.

Proporsi pajak terhadap penerimaan negara juga menunjukkan tren meningkat. Pada tahun 2007, pajak berkontribusi sebesar 69,53 persen. Pada tahun 2010, angkanya ditargetkan menjadi 80,12 persen. Sebaliknya, kontribusi penerimaan bukan pajak menurun dari 30,47 persen pada tahun 2007 menjadi 19,88 persen pada APBN 2010.

Komposisi pajak dan target pemerintah

Penerimaan pajak di Indonesia berturut-turut didominasi oleh: (1) pajak penghasilan; (2) pajak pertambahan nilai; dan (3) cukai. Pada APBN 2010, pajak penghasilan ditargetkan berkontribusi sebesar 46,67 persen. Pajak pertambahan nilai dan cukai berturut- turut ditargetkan berkontribusi sebesar 36,62 persen dan 7,82 persen.

Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah berencana terus meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini pada dasarnya dapat dilakukan dengan: (1) adanya peningkatan rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) hingga mencapai sekitar 15—16 persen; (2) adanya peningkatan PDB. Pada tahun 2013, Dirjen

Page 9: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 7

ekonomi

Pajak memiliki target penerimaan pajak menembus Rp 1.000 triliun, tepatnya Rp 1.058,23 triliun.

Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi di poin pertama. Kebijakan yang bisa dilakukan adalah intensifikasi dengan meningkatkan penerimaan pajak di sektor-sektor yang selama ini telah berkontribusi dan ekstensifikasi dengan menggali sektor-sektor baru yang masih potensial berkontribusi terhadap penerimaan pajak.

Identifikasi peluang peningkatan penerimaan pajak juga dapat dilihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar. Per 31 Maret 2009, wajib pajak terdaftar berjumlah 11,167 juta orang dan Maret 2010 sekitar 16 juta. Peluang peningkatan pajak dapat dilakukan melalui: (1) optimalisasi/peningkatan pembayaran dari wajib pajak yang telah membayar; (2) penambahan jumlah wajib pajak yang membayar.

Sementara itu, poin peningkatan PDB sangat ditentukan oleh berbagai variabel, baik internal maupun eksternal. Penerimaan pajak yang menembus Rp 1.000 triliun pada tahun 2013, misalnya, memerlukan peningkatan PDB dari Rp 5.491 triliun menjadi Rp 10.000 triliun. Asumsinya, pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun sebesar 6,4 persen dan inflasi rata-rata pertahun 5,3 persen.

Pajak dan pembangunan

Pajak memiliki trade-off dengan pertumbuhan ekonomi. Di dalam komposisi PDB, pajak merupakan ‘kebocoran’ yang akan mengurangi konsumsi dan PDB. Namun, di sisi lain, penerimaan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah sehingga dapat meningkatkan PDB. Resultan akhirnya sangat tergantung kepada sejauh mana pengeluaran pemerintah tersebut memiliki multiplier effect yang tinggi, misalnya pembangunan infrastruktur. Pajak juga digunakan untuk membiayai pelayanan publik dan subsidi.

Ritonga (2009) menyebutkan fungsi Kurva Laffer untuk memvisualisasikan hubungan antara pajak dan PDB. Kurva tersebut menggambarkan jika pajak sebesar nol persen, pemerintah sama sekali tidak akan bisa membiayai pelayanan publik dan pembangunan. Jika pajak sebesar 100 persen, tidak ada masyarakat yang bekerja dan tidak ada aktivitas ekonomi sama sekali. Yang harus dilakukan dengan demikian adalah menentukan dengan tepat: (1) objek pajak; (2) besaran tarif pajak sehingga optimal bagi pembangunan dengan menyeimbangkan distribusi kesejahteraan dan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi.

Page 10: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 20108

ekonomi

Selain memperhitungkan trade-off antara pajak dan pertumbuhan ekonomi, tata kelola pemerintahan yang baik dalam pengelolaan pajak merupakan hal krusial untuk mengoptimalkan fungsi pajak bagi pembangunan. Tata kelola pemerintahan ini mencakup dua hal, yaitu:1. Tata kelola pemerintahan dalam pemungutan pajak mencakup

administrasi yang memberikan kepastian dan pemberantasan semua bentuk korupsi.

2. Tata kelola pemerintahan dalam alokasi dan penggunaan pajak mencakup perencanaan pembangunan dan pemberantasan semua bentuk korupsi dalam implementasi program pembangunan.

Rekomendasi kebijakan

Pemerintah harus menempuh langkah-langkah berikut untuk mengoptimalkan fungsi pajak bagi pembangunan:

Jangka pendek (dalam satu tahun)(1) Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan memperbaiki

administrasi, restitusi dan penyelesaian keberatan pajak dengan target yang jelas.

(2) Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan melakukan komunikasi yang efektif dengan publik dan wajib pajak. Menyeimbangkan kerahasiaan dan transparansi secara operasional dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan merupakan kebutuhan mendesak.

Jangka menengah dan panjangStrategi untuk mengoptimalkan fungsi pajak bagi pembangunan harus disusun dengan memperhitungkan partisipasi berbagai pemangku kepentingan kunci. Strategi tersebut mencakup:

(1) Arah perpajakan ke depan mencakup di antaranya objek pajak, wajib pajak, tarif dan rasio pajak terhadap PDB.

(2) Peningkatan efektivitas pelayanan publik dan pembangunan, serta pemberantasan korupsi dengan mengambil ‘angle’ pertanggungjawaban terhadap pembayar pajak dan penerima manfaat.

— Tata Mustasya —

Proporsi pajak terhadap penerimaan negara juga menunjukkan tren meningkat. Pada tahun 2007, pajak berkontribusi sebesar 69,53 persen. Pada tahun 2010, angkanya ditargetkan menjadi 80,12 persen. Sebaliknya, kontribusi penerimaan bukan pajak menurun dari 30,47 persen pada tahun 2007 menjadi 19,88 persen pada APBN 2010.

Page 11: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 9

ekonomi

Situasi Ekonomi Global Kuartal I 2010

Hingga kuartal pertama 2010, ekonomi global terus memperlihatkan perkembangan menggembirakan. Perekonomian negara-negara besar bertumbuh selama tahun 2009 (Grafik 1). Di tengah kecenderungan pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel, hal ini tentu memberi pengaruh positif terhadap angka penyerapan angkatan kerja.

Sebagaimana terlihat pada Grafik 2, pemulihan ekonomi ternyata ditopang oleh naiknya indeks produksi industri di berbagai wilayah tersebut. Hingga paruh pertama 2009 indeks produksi melorot tajam, namun pada semester berikutnya angka indeks menunjukkan pemulihan yang cepat.

Keyakinan konsumen

Kenaikan produksi tersebut bukan terjadi tanpa alasan. Di tengah keterbatasan likuiditas akibat sektor perbankan yang masih hati-hati dalam mengucurkan kredit, tampaknya dunia usaha melihat sinyal lain. Sinyal tersebut ialah pulihnya keyakinan konsumen dalam membelanjakan uang mereka. Ini terjadi baik di Amerika Serikat (AS), Jepang, Uni Eropa (UE), maupun Indonesia.

Page 12: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201010

ekonomi

Pulihnya keyakinan konsumen tersebut bukanlah angka semu belaka. Bukti konkritnya terlihat pada angka rata-rata penjualan ritel di sumber krisis, yakni AS (Grafik 3). Sebagai jantung konsumsi produk dari seluruh dunia, meningkatnya angka penjualan ritel merupakan kabar yang sangat bagus.

Bagi Indonesia sendiri, ini tentu berdampak positif bagi volume ekspor non-migas.Harga-harga komoditas di satu sisi memang tengah berada dalam posisi yang tidak menggembirakan, namun pulihnya keyakinan konsumen di negara-negara besar plus murahnya harga tersebut, seharusnya bisa merupakan peluang bagi eksportir di tanah air.

— Nawa Thalo —

Hingga kuartal pertama 2010, ekonomi global terus memperlihatkan perkembangan menggembirakan.

Page 13: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 11

ekonomi

Tentang Nilai Rupiah

Sebelum sektor riil global bangkit, sektor keuangan non-bank sudah mulai bergeliat. Jika dibandingkan secara year-on-year dari 2007 hingga 2010, indeks harga saham baik di Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), maupun Jepang menunjukkan pertumbuhan tinggi. Sebagai pasar negara berkembang, Indonesia menjadi salah satu pasar yang menikmati pertumbuhan indeks harga tertinggi (Grafik 1), meskipun pada tahun 2008-2009 sempat masuk dalam teritori negatif.

Lonjakan pertumbuhan indeks harga saham tersebut membuat investor asing berbondong-bondong menanamkan dananya di surat-surat berharga, termasuk saham yang dijual perusahaan-perusahaan di tanah air.

Faktor lain yang turut mempengaruhi masuknya aliran dana asing ialah tingkat inflasi Indonesia yang semakin terkendali. Hal ini memberikan sinyal bahwa Bank Indonesia akan cenderung mempertahankan suku bunga pada tingkat rendah. Selain itu, laporan keuangan perusahaan juga memperlihatkan perkembangan menggembirakan.

Page 14: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201012

ekonomi

Berbagai faktor tersebut telah memicu naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dengan menggunakan bingkai waktu yang sama dengan perhitungan indeks harga saham diatas, nilai rata-rata kurs tengan rupiah terhadap dolar jelas menguat dibanding periode sebelumnya (Grafik 2). Yang perlu dicatat ialah bahwa volatilitasnya menurun. Hal ini berdampak positif bagi dunia usaha terutama yang melakukan aktifitas bisnis internasional.

Namun eksportir Indonesia tetap harus waspada. Menguatnya nilai tukar di sisi lain akan menurunkan daya saing produk mereka di pasaran internasional.

Harga minyak

Selain itu, ada ancaman lain yang perlu diantisipasi. Menurunnya nilai tukar dolar AS terhadap mata uang global mengakibatkan naiknya harga minyak mentah di pasar dunia. Lebih jauh, kenaikan harga minyak kerapkali berdampak pada meningkatnya ekspektasi inflasi.

— Nawa Thalo —

Nilai rata-rata kurs tengan rupiah terhadap dolar jelas menguat dibanding periode sebelumnya.

Page 15: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 13

Politik

Istri Incumbent di Pilkada

Dinamika politik menjelang pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) di beberapa daerah memunculkan isu menarik yang menjadi perdebatan dan fenomena baru masyarakat, yaitu akan tampilnya istri incumbent menjadi calon kepala dan wakil kepala daerah.

Menjadi menarik mengingat hal ini menjadi tren politik baru di lingkaran kekuasaan. Banyak alasan yang mendasarinya, khususnya alasan incumbent yang sudah menjabat dua periode, sehingga tidak bisa mencalonkan lagi dan paternalistik politik lokal untuk menjaga sumber daya politik dan ekonomi yang selama ini sudah diinvestasikan.

Beberapa contoh nyata dari fenomena di atas adalah majunya Haryanti Sutrisno, istri Bupati Kediri, Jawa Timur, Sutrisno, yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam Pilkada Kabupaten Kediri 2010, yang menggandeng Camat Ngasem Masykuri sebagai pasangannya dengan kendaraan politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Istri Ali Umri, Walikota Binjai dan istri Risuddin Bupati Asahan di Pilkada 2010 Kota Binjai dan Kabupaten Asahan; istri Bupati Sidoarjo Win Hendrarso yaitu Emi Susanti, juga memilih mencalonkan diri sebagai bakal calon wali kota Surabaya, dan Martiani Setyaningtyas atau Tyas Sujud diprediksi akan meramaikan bursa pemilihan bupati (Pilbup) 2010.

Kemunculan para istri bupati dan walikota yang sedang menjabat maju untuk menggantikan posisi suaminya, dianggap akibat tidak berhasilnya kaderisasi yang dilakukan pejabat incumbent kepada orang-orang kepercayaan politiknya. Hakekatnya, pejabat incumbent harus mempersiapkan siapa kadernya yang akan menggantikan dirinya kelak.

Page 16: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201014

Politik

Kader tersebut bisa diambil dari tokoh satu partai, bawahan di pemerintahan atau dari teman dekat, jika ia masih berkeinginan memiliki pengaruh di pemerintahan yang akan datang, meski tidak menjabat lagi. Gagalnya kaderisasi itulah yang membuat sang incumbent mencalonkan istri atau keluarganya untuk menggantikan posisinya.

Hal lain yang mendasari munculnya fenomena ini adalah ketidakpercayaannya pejabat incumbent kepada kepada orang lain dari semua segi, termasuk segi strata sosial dan budayanya. Sehingga yang dianggap dapat “mengamankan dan meneruskan” kepentingan politik dan ekonominya yang selama ini diinvestasikan hanyalah lingkaran dalam yang mempunyai hubungan biologis, dalam hal ini sang istri, dibandingkan dengan hubungan ideologi politik maupun ekonomi.

Fenomena ini mengingatkan kita kembali ke masa kerajaan, dimana pengganti raja diangkat dari keluarga sendiri. Fenomena munculnya istri pejabat incumbent sebagai calon kepala daerah ini jelas ingin mengembalikan sistem pemerintahan seperti sistem kerajaan yang mengacu prinsip-prinsip kekerabatan. Bila istri incumbent tersebut terpilih sebagai pemenang, hal ini menandakan dimulainya lagi penerapan politik kekerabatan yang selama ini sudah dipinggirkan dalam sistem politik modern.

Kehadiran politik kekerabatan di pilkada akan berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia dan demokrasi . Dalam hal ini, pelaksanaan pilkada akan mengarah pada proses ningratisasi atau pembangsawanan yang ditandai dengan upaya para elit politik (incumbent) untuk mengaitkan dirinya dengan silsilah atau kekerabatan.

Lebih jauh, muncul dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain mandegnya perkembangan demokrasi dan regenerasi politik di tingkat lokal, yang berujung pada terbentuknya paternalistik politik lokal. Padahal regenerasi politik yang sehat sangat penting untuk menjalankan demokratisasi di tingkat lokal.

Di sisi lain, terjadinya politik kekerabatan menjelang pilkada merupakan budaya politik kontemporer, dan akan tetap aktual sepanjang masa. Dalam kajian antropologi, politik kekerabatan merupakan praktik yang banyak ditemui di lingkungan masyarakat tradisional, yang berbasis pada nilai-nilai budaya kesukuan yang amat kuat.

Page 17: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 15

Politik

Pola hubungan politik yang terbangun lebih didasarkan kesatuan garis keturunan. Di kalangan masyarakat tradisional, tradisi politik kekerabatan dijadikan mekanisme alamiah yang efektif guna mengontrol sumber daya politik dan ekonomi agar tidak jatuh ke pihak lain.

Politik kekerabatan merupakan penjelmaan paling nyata dari sentimen primordial. Pada masa Orde Baru, kita mengecam keras politik kekerabatan yang dipraktikkan Soeharto saat ia mengangkat anak, saudara, dan kroni terdekatnya menjadi anggota MPR dan Menteri, yang bertujuan mengamankan kekuasaannya. Dengan kemunculan istri dari incumbent Walikota dan Bupati pada pilkada nanti maka regenerasi politik di daerah tersebut akan mundur ke belakang.

Mencermati kecenderungan politik kekerabatan dalam pilkada di daerah yang ditandai munculnya para calon istri incumbent, tampak jelas jabatan bupati dan walikota akan dijadikan sebagai warisan keluarga, yang menggiurkan untuk diwariskan sampai ke anak cucu.

Padahal di manapun arena dan pertarungan politik dalam sistem demokrasi memiliki tujuan untuk bergerak dalam rasionalitas kolektif dan bekerja melayani kebaikan bersama. Apabila arena politik bekerja melayani kepentingan pragmatis personal elit-elit politik melalui politik kekerabatan, maka kepentingan personal dalam arena politik hanya akan menghasilkan keganjilan bersama.

Saat para elit politik hanya melayani kepentingan-kepentingan kerabatnya dengan meminggirkan kesempatan bagi yang lain, maka politik tidak akan bekerja bagi kepentingan masyarakat dan pilkadapun hanya menjadi sarana bagi elit politik dan keluarganya untuk mengeksploitasi kekuasaan demi keuntungan materi.

Akibatnya, kepentingan publik dan konstituen tidak pernah dilayani bahkan mungkin dilupakan. Agar politik lokal menjadi sehat dan regenerasi politik bisa berlanjut, mentradisikan demokrasi pada elit lokal menjadi hal utama. Tanpa adanya regenerasi politik, maka pembangunan daerah akan berjalan di tempat, karena tidak adanya ide-ide baru yang lebih baik.

— Aly Yusuf —

Akibat eksploitasi kekuasaan para elit politik, kepentingan publik dan konstituen tidak pernah dilayani, bahkan mungkin dilupakan. Agar politik lokal menjadi sehat dan regenerasi politik bisa berlanjut, mentradisikan demokrasi pada elit lokal menjadi hal utama. Tanpa adanya regenerasi politik, maka pembangunan daerah akan berjalan di tempat, karena tidak adanya ide-ide baru yang lebih baik.

Page 18: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201016

sosial

Polemik Pelarangan Merokok

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan fatwa merokok hukumnya haram. Keputusan tersebut diambil dalam halakah tentang Pengendalian Dampak Tembakau yang digelar di Yogyakarta pada 7 Maret 2010. Dengan fatwa ini, fatwa yang diterbitkan tahun 2005 dan 2007, yang menyatakan merokok hukumnya mubah, dinyatakan tidak berlaku.

Alasan PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa ini adalah merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khaba’is yang dilarang dalam Al Quran (QS 7:157). Selain itu, perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan, bahkan, merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan, sehingga bertentangan dengan Al Quran (QS 2:195 dan 4:29)

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar menambahkan, perbuatan merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan asap rokok, sebab rokok adalah zat adiktif dan berbahaya sebagaimana telah disepakati oleh para ahli medis dan para akademisi.

Pro kontra pelarangan merokokDalam beberapa hari terakhir isu tentang pelarangan merokok menjadi sorotan publik. Selain ikhwal fatwa haram tersebut, pemerintah juga sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Zat Adiktif bagi Kesehatan. RPP ini merupakan mandat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam RPP ini, Pasal 9 butir d menyebutkan setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara eceran (per batang). Pasal 10 dengan tegas menyatakan bahwa ”tembakau dan semua produk tembakau sebagai zat adiktif dilarang untuk diiklankan dan/atau dipromosikan di semua jenis media yang meliputi media luar ruang, media elektronik, media online, media cetak, media lainnya, dan di tempat penjualan”.

Page 19: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 17

sosial

Dalam Pasal 11 juga dinyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi dan atau mengimpor produk tembakau ke wilayah Indonesia dilarang untuk menawarkan atau memberikan secara cuma-cuma produk tembakau, menggunakan logo dan atau merek rokok pada produk atau barang bukan rokok, menjadi sponsor kegiatan lembaga atau perorangan dan melakukan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan yang bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau kepada masyarakat.

Tentu fatwa haram dan regulasi pembatasan rokok mendapat perlawanan dari industri rokok, terutama para petani, buruh, dan lembaga asosiasi lainnya. RPP ini berpotensi untuk mematikan industri rokok nasional yang sesungguhnya adalah industri legal. Sebab, RPP akan melarang seluruh aktivitas komunikasi (total ban) industri rokok dengan konsumennya, seperti iklan, promosi, sponsorship, bahkan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.

Kelompok pendukung “industri rokok” ini berkeyakinan secara faktual bahwa rokok lebih banyak mendatangkan kemaslahatan, sehingga terlalu berlebihan jika praksis ekonomi politik rokok harus diakhiri. Kenyataan ekonomi faktual, segala proses produksi rokok dari hulu hingga hilir menyerap banyak tenaga kerja dan memberi sumbangan besar pada penerimaan pendapatan negara.

Jumlah tenaga kerja yang bisa terserap di satu pabrik rokok dengan lingkaran distribusi dan petani tembakaunya bisa mencapai 300.000 orang. Contoh di Jawa Timur, ditambah keluarga dan semua pihak yang bekerja di jalur distribusi, ada sekitar enam juta penduduk Jatim yang menggantungkan hidupnya dari bisnis rokok.

Berkat pemasukan cukai, industri rokok menjadi sumber primadona pendapatan APBN. Pemasukan negara bersumber dari industri ini pada tahun 2009 sekitar Rp 53 triliun. Tahun ini penerimaan cukai rokok diperkirakan naik menjadi Rp 57 triliun. Dikhawatirkan daftar panjang persoalan membentang jika industri rokok berhenti.

Di sisi lain, argumen dari kelompok yang mendukung dikeluarkannya RPP ini juga cukup kuat. Diyakini ancaman konsumsi tembakau untuk kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat kini semakin nyata. Konsumsi tembakau juga telah menjadi perangkap kemiskinan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007 menunjukkan, pengeluaran rumah tangga untuk rokok rata-rata Rp 136.534 per tahun. Angka itu lima belas kali pengeluaran biaya kesehatan, atau sembilan kali pengeluaran biaya pendidikan.

Page 20: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201018

Rokok ditengarai sebagai penyebab kemiskinan. Kementerian Kesehatan mengungkapkan, 60 persen (84,84 juta jiwa) dari 141,4 juta perokok aktif berasal dari keluarga miskin, sementara survei Indonesia Forum on Parliamentarians for Population and Development (IFPPD) mencatat 12 juta ayah dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok dihisap dengan harga Rp 500 per batang, maka 12 juta keluarga miskin telah membelanjakan Rp 22 triliun per tahun untuk rokok.

Pada keluarga miskin tersebut lebih dari seperlima (22 persen) pendapatan dikeluarkan untuk rokok, sementara pengeluaran untuk membeli beras yang merupakan kebutuhan pokok hanya sebesar 19 persen. Survei terakhir juga menyatakan bahwa pengeluaran rokok rumah tangga miskin rata-rata Rp 113.000 per bulan, lebih besar daripada bantuan langsung tunai (BLT) Rp 100.000 per bulan.

Belum lagi jumlah uang yang “terbuang” percuma karena konsumsi rokok. Secara keseluruhan, konsumsi rokok di Indonesia mencapai 240 miliar batang per tahun atau 658 juta batang per hari (11 batang per kapita per hari). Angka tersebut merupakan angka tertinggi kelima di dunia, setelah Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang. Jika dipatok pada harga rata-rata Rp 500 per batang saja, berarti jumlah uang yang “dibakar” perokok di Indonesia mencapai Rp 329 miliar sehari atau Rp 120 triliun setahun.

Pemerintah memang berada di posisi dilematis dalam menyikapi persoalan rokok. Pemerintah tahu persis bahwa ancaman konsumsi tembakau untuk kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat kini semakin nyata. Tapi pemerintah juga masih memiliki ketergantungan terhadap manfaat ekonomi dari industri rokok, baik pemasukan cukai maupun jutaan tenaga kerja yang bergantung pada industri rokok.

Harus ada perencanaan matang dan strategik untuk menuju mimpi bebas rokok. Alih fungsi lahan tembakau menjadi lahan produktif lainnya adalah langkah mendasar yang harus diperhatikan. Selanjutnya adalah perencanaan alternatif terhadap para pekerja pabrik dan lingkup distribusi rokok,jika pabrik rokok harus dihentikan operasionalnya. Harus disiapkan juga alternatif penerimaan negara sebagai pengganti cukai rokok.

— Endang Srihadi —

Harus ada perencanaan matang dan strategik untuk menuju mimpi bebas rokok. Alih fungsi lahan tembakau menjadi lahan produktif lainnya adalah langkah mendasar yang harus diperhatikan. Selanjutnya adalah perencanaan alternatif terhadap para pekerja pabrik dan lingkup distribusi rokok jika pabrik rokok harus dihentikan operasionalnya. Harus disiapkan juga alternatif penerimaan negara sebagai pengganti cukai rokok.

sosial

Page 21: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 19

sosial

Rekayasa Kasus oleh Aparat

Kepolisian sebagai salah satu aparatur penegak hukum belakangan ini kembali disorot dalam hal fenomena rekayasa kasus pidana. Alih-alih melaksanakan tugas dan fungsi sebagai penegak hukum dan menjaga ketertiban masyarakat, sebagian aparat kepolisian ada yang melakukan praktik tidak terpuji, yaitu merekayasa kasus pidana.

Rekayasa kasus pidana dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Ada yang mulai dari salah tangkap lalu direkayasa seolah memang pelakunya adalah betul orang yang ditangkap itu. Ada yang sejak dari tuduhan yang dikenakan memang direkayasa, misalnya aparat sengaja menaruh barang bukti kejahatan pada properti orang yang kemudian dituduhkan.

Fenomena ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an dan masih ditemukan hingga sekarang. Seolah praktik rekayasa pidana terjadi dibiarkan begitu saja dan tidak dianggap sebagai tindak kejahatan. Padahal dampaknya sangat merugikan secara mental maupun material bagi masyarakat yang menjadi korban rekayasa kasus pidana.

Beberapa kasus

Dari tahun 1970 hingga 2009 yang berarti dalam rentang waktu empat dekade, tercatat beberapa kasus rekayasa pidana oleh aparat kepolisian. Kasus-kasus itu antara lain dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel. Beberapa contoh rekayasa kasus pidana (1970-2009)

Waktu Terdakwa/Tertuduh Kasus Tuduhan Keterangan

1970 Sumarijem(rekayasa penyidikan)

Korban perkosaan, saat melapor ke polisi malah disudutkan dan ditahan.

Vonis bebas (PN Yog-yakarta tanggal 17 Des 1970)

1974 Sengkon & Karta(salah tangkap)

Didakwa melakukan per-ampokan dan pembunu-han, divonis 12 tahun dan 7 tahun penjara.

Bebas setelah pelaku asli mengaku (Putusan MA tanggal 31 Jan 1980)

Page 22: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201020

sosial

Waktu Terdakwa/Tertuduh Kasus Tuduhan Keterangan2008 Imam Hambali & David

Eko Priyanto(salah tangkap)

Didakwa melakukan pembunuhan, divonis 17 tahun dan 12 tahun penjara.

Bebas setelah pelaku asli ditangkap (Putusan MA tanggal 3 Des 2008)

Sep 2009

Chairul Saleh Dituduh menyimpan ganja sebanyak 1,68 gram. Diduga terjadi rekayasa penangkapan dan peny-idikan.

Ditahan sejak 3 Sep 2009; Kasus masih dis-idangkan di PN Jakarta Pusat pada 22 Feb 2010

Nov 2009

Hartina Wood Dituduh memiliki sebutir pil ekstasi dan 0,8 gram shabu.Diduga terjadi rekayasa penangkapan dan peny-idikan.

Ditahan di Polda Metro Jaya. Pihaknya menga-jukan gugatan pra pera-dilan pada 1 Feb 2010

Nov 2009

Herman Susilo Dituduh memiliki dua linting ganja.Diduga terjadi rekayasa penangkapan dan pe-nyidikan. Polisi berdalih menerapkan teknik pem-belian terselubung.

Ditahan di Rutan Sa-lemba. Berkas perkara masih di Kejaksaan pada 7 Mar 2010

Des 2009

Aan Susandhi Dituduh memiliki satu butir pil ekstasi berben-tuk bubuk.Diduga terjadi rekayasa penangkapan dan peny-idikan.

Ditahan di Polda Metro Jaya. Kasus masih dis-idangkan di PN Jakarta Selatan pada 4 Mar 2010

Sumber: Harian Kompas (2010), Diolah

Dugaan rekayasa

Pada kasus-kasus yang sudah terbukti atau masih diduga terjadi rekayasa oleh aparat kepolisian, secara umum dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe rekayasa. Pertama, rekayasa penangkapan. Pada proses ini modusnya adalah aparat sudah menyiapkan lebih dahulu alat-alat bukti, yang kemudian di-klaim oleh aparat bahwa bukti-bukti tersebut ditemukan terdapat pada tersangka. Modus ini sering terjadi pada kasus penangkapan tersangka kejahatan narkotika dan obat terlarang.

Kedua, rekayasa penyidikan. Pada proses ini modusnya adalah aparat merekayasa proses penyidikan, antara lain dengan tekanan terhadap tersangka, mulai dari tekanan psikis hingga siksaan fisik untuk membuat tersangka mengakui perbuatan yang dituduhkan, walaupun belum tentu tersangka yang melakukan kejahatan tersebut. Modus ini sering terjadi pada kasus-kasus kriminal berat, seperti pembunuhan. Rekayasa penyidikan umumnya terungkap setelah pelaku yang asli mengaku.

Page 23: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 21

sosial

Profesionalisme aparat

Praktik rekayasa pidana oleh aparat penegak hukum diduga terjadi karena dilatarbelakangi oleh beberapa motif. Antara lain adalah pertama, dan yang paling sering dilakukan oleh aparat di tingkat bawah, motif ekonomi dan materi. Aparat sengaja merekayasa kasus penangkapan untuk mendapatkan keuntungan materi dengan meminta kompensasi uang atau bahkan memeras pihak tersangka dan keluarga tersangka agar dibebaskan dari penyidikan.

Kedua, motif ambisi karir. Bagi aparat penyidik yang berhasil menyelesaikan kasus-kasus pidana besar hingga menangkap dan membuktikan tersangka pelakunya, tentunya akan mendapat ganjaran positif bagi jenjang kariernya. Seringkali ini menjadi jalan pintas bagi aparat yang nakal untuk merekayasa penyidikan dan berkas berita acara penyidikan (BAP), sehingga kerap kali terjadi vonis terhadap tersangka palsu, yang kemudian baru terbukti setelah pelaku asli tertangkap atau mengaku.

Melihat kemungkinan dua motif tersebut di atas, maka profesionalisme aparat kepolisian menjadi dipertanyakan kembali. Pada kasus tersangka narkotika dan obat terlarang, aparat kepolisian memang dimungkinkan untuk melakukan teknik terselubung, misalnya berpura-pura sebagai pembeli, dan berhak melakukan penggeledahan. Namun, dikuatirkan hak penggeledahan ini disalahgunakan aparat dengan sengaja menaruh bukti barang narkotika dan obat terlarang pada properti tersangka sehingga aparat dapat menangkap tersangka.

Untuk mencegah terjadinya rekayasa kasus pidana, beberapa hal harus menjadi perhatian serius. Pertama, peningkatan anggaran untuk kesejahteraan aparat penegak hukum. Kedua, audit yang ketat untuk proses penyidikan kasus-kasus pidana. Ketiga, menerapkan secara ketat larangan penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat tersangka. Keempat, penolakan atas bukti-bukti penyidikan yang didapatkan melalui penyiksaan dan penganiayaan.

— Antonius Wiwan Koban —

Rekayasa kasus pidana diduga ada yang terjadi pada proses penangkapan dengan alat bukti palsu, atau pada proses penyidikan dengan rekayasa berita acara penyidikan. Motif rekayasa kasus diduga karena motif ekonomi dan motif berprestasi.

Page 24: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201022

Profile Institusi

The Indonesian Institute (TII) adalah lembaga penelitian kebijakan publik (Center for Public Policy Research) yang resmi didirikan sejak 21 Oktober 2004 oleh sekelompok aktivis dan intelektual muda yang dinamis atas inisiatif Jeffrie Geovanie. Pada saat ini, Direktur Eksekutif dan Riset adalah Anies Baswedan dan Direktur Program adalah Adinda Tenriangke Muchtar.

TII merupakan lembaga yang independen, nonpartisan, dan nirlaba yang sumber dana utamanya berasal dari hibah dan sumbangan dari yayasan-yayasan, perusahaan-perusahaan, dan perorangan. TII bertujuan untuk menjadi pusat penelitian utama di Indonesia untuk masalah-masalah kebijakan publik dan berkomitmen untuk memberikan sumbangan kepada debat-debat kebijakan publik dan memperbaiki kualitas pembuatan dan hasil-hasil kebijakan publik dalam situasi demokrasi baru di Indonesia.

Misi TII adalah untuk melaksanakan penelitian yang dapat diandalkan, independen, dan nonpartisan, serta menyalurkan hasil-hasil penelitian kepada para pembuat kebijakan, kalangan bisnis, dan masyarakat sipil dalam rangka memperbaiki kualitas kebijakan publik di Indonesia. TII juga mempunyai misi untuk mendidik masyarakat dalam masalah-masalah kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup mereka. Dengan kata lain, TII memiliki posisi mendukung proses demokratisasi dan reformasi kebijakan publik, serta mengambil bagian penting dan aktif dalam proses itu.

Ruang lingkup penelitian dan kajian kebijakan publik yang dilakukan oleh TII meliputi bidang ekonomi, sosial, dan politik. Kegiatan utama yang dilakukan dalam rangka mencapai visi dan misi TII antara lain adalah penelitian, survei, pelatihan, diskusi publik, policy brief dan analisis mingguan (Weekly Analysis), penerbitan kajian bulanan (Update Indonesia) dan kajian tahunan (Indonesia Report).

Alamat kontak:Jl. K.H. Wahid Hasyim No. 194 Jakarta Pusat 10250 Indonesia

Tel. 021 390 5558 Fax. 021 3190 7814www.theindonesianinstitute.com

Page 25: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 23

Program riset dan Pelatihan

RISET BIDANG BISNIS & EKONOMI

Analisis bisnis

Dunia usaha membutuhkan analisis yang komprehensif dalam rangka meminimalisir risiko potensial, sehingga pada saat yang sama dapat meningkatkan nilai bisnisnya. Analisis bisnis merupakan solusi dalam perencanaan stratejik korporat untuk membuat keputusan yang dapat diandalkan. Divisi Riset Kebijakan Bisnis TII hadir untuk membantu para pemimpin perusahaan dengan memberikan berbagai rekomendasi praktis dalam proses pengambilan keputusan.

Riset di bidang bisnis yang dapat TII tawarkan antara lain: (1) Analisis Keuangan Perusahaan, yang meliputi analisis keuangan dan kajian risiko keuangan. (2) Konsultansi Perencanaan Korporat meliputi riset ekonomi dan industri, evaluasi kinerja, valuasi bisnis dan valuasi merk. (3) Analisis Pemasaran Strategis yang meliputi pemasaran strategis dan disain program Corporate Social Responsibility (CSR)

Riset bidang ekonomi

Ekonomi cenderung menjadi barometer kesuksesan Pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Keterbatasan sumber daya membuat pemerintah kerapkali menghadapi hambatan dalam menjalankan kebijakan ekonomi yang optimal bagi seluruh lapisan masyarakat. Semakin meningkatnya daya kritis masyarakat memaksa Pemerintah untuk melakukan kajian yang cermat pada setiap proses penentuan kebijakan. Bahkan, kajian tidak terhenti ketika kebijakan diberlakukan. Kajian terus dilaksanakan hingga evaluasi pelaksanaan kebijakan.

Divisi Riset Kebijakan Ekonomi TII hadir bagi pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap kondisi ekonomi publik. Hasil kajian TII ditujukan untuk membantu para pengambil kebijakan, regulator, dan lembaga donor dalam setiap proses pengambilan keputusan. Bentuk riset yang TII tawarkan adalah (1) Analisis Kebijakan Ekonomi, (2) Kajian Prospek Sektoral dan Regional, (3) Evaluasi Program.

RISET BIDANG SOSIAL

Analisis sosial

Pembangunan bidang sosial membutuhkan fondasi kebijakan yang berangkat dari kajian yang akurat dan independen. Analisis sosial merupakan kebutuhan bagi Pemerintah, Kalangan Bisnis dan Profesional, Kalangan Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Donor, dan Masyarakat Sipil untuk memperbaiki pembangunan bidang-bidang sosial. Divisi Riset Kebijakan Sosial TII hadir untuk memberikan rekomendasi

Page 26: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 201024

Program riset dan Pelatihan

guna menghasilkan kebijakan, langkah, dan program yang strategis, efisien dan efektif dalam mengentaskan masalah-masalah pendidikan, kesehatan, kependudukan, lingkungan, perempuan dan anak.

Bentuk-bentuk riset bidang sosial yang ditawarkan oleh TII adalah (1) Analisis Kebijakan Sosial, (2) Explorative Research, (3) Mapping & Positioning Research, (4) Need Assessment Research, (5) Program Evaluation Research, dan (5) Survei Indikator.

SURVEI & PELATIHAN BIDANG POLITIK

Survei Pilkada

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan dan ditawarkan oleh TII adalah survei pra-pilkada. Ada beberapa alasan yang mendasari pentingnya pelaksanaan survei pra-pilkada, yaitu (1) Pilkada adalah proses demokrasi yang dapat diukur, dikalkulasi, dan diprediksi dalam proses maupun hasilnya, (2) Survei merupakan salah satu pendekatan penting dan lazim dilakukan untuk mengukur, mengkalkulasi, dan memprediksi bagaimana proses dan hasil pilkada yang akan berlangsung, terutama menyangkut peluang kandidat, (3) Sudah masanya meraih kemenangan dalam pilkada berdasarkan data empirik, ilmiah, terukur, dan dapat diuji.

Sebagai salah satu aspek penting strategi pemenangan kandidat pilkada, survei bermanfaat untuk melakukan pemetaan kekuatan politik. Dalam hal ini, tim sukses perlu mengadakan survei untuk: (1) memetakan posisi kandidat di mata masyarakat; (2) memetakan keinginan pemilih; (3) mendefinisikan mesin politik yang paling efektif digunakan sebagai vote getter; serta ( 4) mengetahui media yang paling efektif untuk kampanye.

Pelatihan DPRD

Peran dan fungsi DPRD sangat penting dalam mengawal lembaga eksekutif daerah, serta untuk mendorong dikeluarkannya kebijakan-kebijakan publik yang partisipatif, demokratis, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Anggota DPRD provinsi/kabupaten dituntut memiliki kapasitas yang kuat dalam memahami isu-isu demokratisasi, otonomi daerah, kemampuan teknik legislasi, budgeting, politik lokal dan pemasaran politik. Dengan demikian pemberdayaan anggota DPRD menjadi penting untuk dilakukan.

Agar DPRD mampu merespon setiap persoalan yang timbul baik sebagai implikasi kebijakan daerah yang ditetapkan oleh pusat maupun yang muncul dari aspirasi masyarakat setempat. Atas dasar itulah, The Indonesian Institute mengundang Pimpinan dan anggota DPRD, untuk mengadakan pelatihan penguatan kapasitas DPRD.

Page 27: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Update Indonesia — Volume IV, No. 11 - april 2010 25

Telah TerbitINDONESIA REPORT 2008The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) telah menerbitkan kembali publikasi kajian tahunan, Indonesia 2008 setelah sebelumnya menerbitkan laporan tahunan Indonesia 2005, 2006, dan 2007. Buku Indonesia 2008 merupakan salah satu edisi Indonesia Report yang dipublikasikan TII secara tahunan.

Tujuan penerbitan ini adalah untuk memberikan potret situasi ekonomi, hukum, lingkungan, sosial dan politik; serta kebijakan Pemerintah

Indonesia. Indonesia 2008 diterbitkan dengan tujuan agar bisa memberikan data yang lengkap tentang Indonesia di tahun 2008. Publikasi tahunan ini diharapkan bisa menjadi landasan dalam memprediksi kecenderungan jangka pendek dan jangka menengah Indonesia.

Penerbitan laporan tentang Indonesia secara tahunan ini juga diharapkan akan dapat membantu para pembuat kebijakan di pemerintahan dan lingkungan bisnis serta kalangan akademisi dan think tank nasional dan internasional dalam mendapatkan informasi aktual dan analisis kontekstual tentang perkembangan ekonomi, politik, keamanan, dan sosial di Indonesia.

Topik-topik yang diangkat dalam Indonesia 2008:1. Tinjauan Sektor Keuangan2. Tinjauan Ekonomi Makro3. Institusionalisasi Partai Politik Indonesia:

Dinamika, Karakter, dan Prospek Pemilu 20094. Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu Legislatif 20095. Partai Islam: Jalan Terjal Menuju Kemenangan6. Pemilu Multi Partai, Pemilu Multi Disfungsi7. Potret Perancangan dan Penerapan Sistem Pendidikan Nasional8. Program Bantuan Langsung Tunai Tahun 2008

Tim Penulis The Indonesian Institute:Adinda Tenriangke Muchtar Aly YusufAntonius Wiwan KobanBenni InayatullahEndang SrihadiHanta Yuda ARNawa Poerwana Thalo

Supervisi: Anies Baswedan (Direktur Eksekutif & Riset)

advertorial

Page 28: Volume IV, No. 11 - April 2010 ISSN 1979-1984

Direktur Eksekutif & Riset Anies Baswedan

Direktur Program Adinda Tenriangke Muchtar

Dewan Penasihat Rizal Sukma

Jeffrie Geovanie Jaleswari Pramodawardhani

Hamid Basyaib Ninasapti Triaswati

M. Ichsan Loulembah Debra Yatim

Irman G. Lanti Indra J. Piliang

Abd. Rohim Ghazali Saiful Mujani

Jeannette Sudjunadi Rizal Mallarangeng Sugeng Suparwoto

Effendi Ghazali Clara Joewono

Peneliti Bidang Ekonomi Awan Wibowo Laksono Poesoro, Nawa Thalo

Peneliti Bidang Politik Aly Yusuf, Benni Inayatullah, Hanta Yuda AR

Peneliti Bidang Sosial Antonius Wiwan Koban, Endang Srihadi

Staf Program dan Pendukung Edy Kuscahyanto, Hadi Joko S., Suci Mayang

Administrasi Diana Paramita, Meilya Rahmi.

Sekretaris: Lily Fachry

Keuangan: Rahmanita

Staf IT: Usman Effendy

Desain dan Layout Harhar, Benang Komunikasi

Jl. Wahid Hasyim No. 194 Tanah Abang, Jakarta 10250Telepon (021) 390-5558 Faksimili (021) 3190-7814

www.theindonesianinstitute.com e-mail: [email protected]