VISUM ET REPERTUM

Embed Size (px)

Citation preview

VISUM ET REPERTUM

1. Definisi Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Perbedaan Visum et Repertum dengan Catatan medis. Cacatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan pengobatan atau perawatan yang dilakukan oleh dokter. Catatan medis disimpan oleh dokter atau institusi dan bersifat rahasia, tidak boleh dibuka kecuali dengan izin dari pasien atau atas kesepakatan sebelumnya misalnya untuk keperluan asuransi. Catatan medis ini berkaitan dengan rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti yang terdapat dalam pasal 322 KUHP. Sedangkan Visum et Repertum dibuat berdasarkan Undang-Undang yaitu pasal 120, 179 dan 133 KUHAP dan dokter dilindungi dari ancaman membuka rahasia jabatan meskipun Visum et Repertum dibuat dan dibuka tanpa izin pasien, asalkan ada permintaan dari penyidik dan digunakan untuk kepentingan peradilan.

2. Dasar hukum Menurut Budiyanto et al, dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut: Pasal 133 KUHAP menyebutkan: a. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. b. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

3. Peranan dan fungsi VER Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VER terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan. Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau

penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP. Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk mengungkapkan

perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. 4. Jenis dan Bentuk Visum et Repertum Ada dua jenis visum et repertum, yaitu : A. Untuk orang hidup

a. Visum Et Repertum biasa, perlukaan (termasuk keracunan) Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang / berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik. Di dalam bagian pemberitaan biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum. Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindakan pidana penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka sedang dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaa (pasal 351 (1) atau 353 (1)). Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)). Derajat luka. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, sebagaimana bunyi pasal 352 KUHP. Umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa luka atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya / yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, tetapi jurisprudensi Hoge Raad tanggal 25 juni 1894 menjelaskan bahwa menganiayaan dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka. Yang penting bagi dokter adalah menentukan keadaan yang bagaimanakah yang dimaksud dengan sakit atau luka. Oeh karena batasan luka ringan sudah

disebutkan diatas, maka semua keadaan yang lebih berat dari luka ringan dimasukkan ke dalam batasan sakit atau luka . selanjutnya dokter tinggan membaginya ke dalam kategori luka sedang (luka derajat dua) dan luka berat (luka derajat tiga). KUHP pasal 90 telah membuktikan batasan tentang luka berat, yaitu jatuh sakit atau mendapakan luka berat yang tidak memberikan harapan akan sembuh sama sekali, atau menimbulkan bahaya maut ; yang menyebabkan seseorang terus menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebakan kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan kecacatan berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; tergangguanya daya piker selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau kematian kandungan seorang perempuan. b. Visum Et Repertum lanjutan, kejahatan susila Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul). Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut. Untuk memerikasa korban wanita tersebut, selain adanya surat permintantaan visum et repertum, dokter sebaiknya juga mempersiapkan si korban atau orang tuanya bila ia belum cukup umur, agar dapat dilakukan pemeriksaan serta saksi atau pendamping perawat wanita dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam runga tertutup yang terang.

Pembuktiaan

adanya

persetubuhan

dilakukan

dengan

pemeriksaan

fisik

terhadap

kemungkinan adanya deflorasi hymen, laserasi vulva atau vagina, serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama dalan forniks posterior. Pembuktian adanya sel sperma dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan usap vagina, baik langsung maupun dengan pewarnaan khusus. Selain sperma, adanya ejakulat juga dapat dibuktikan dengan pemeriksaan khusus untuk cairan mani. Adanya penyakit hubungan seksual atau kehamilan memperkuat adanya persetubuhan,meskipun tidak diketahui saat terjadinya. Bukti adanya persetubuhan tersebut baru mempunyai nilai bila sesuai waktu kejadiannya dengan persetubuhan yang diperkakan. Misalnya, adanya deflorasi hymen lama (tepi robekan berupa jaringan parut) atau ditemukannya sel sel sperma yang hampir lisis, bukanlah merupakan bukti persetubuhan yang diperkakan yang terjadi satu hari sebelum pemeriksaan. Jejak kekerasan harus dicari tidak hanya di daerah perineum, melainkan juga daerah daerah lain yang lazim, seperti wajah, leher, payudara, perut dan paha. Pengambilan sempel darah untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan bila ada kecuriagaan kearah tersebut, baik yang didapat dari anamnesa maupun dari pemeriksaan fisik. Usia korban biasanya dapat diketahui bila identitasnya dan asal usulnya jelas. Bila usianya tidak jelas, maka harus dicari tanda tanda medic guna memperkirakannya. Telah adanya haid menunjukkan usia 12 tahun atau lebih, sedangkan adanya tanda seks sekunder yang berkembang menunjukkan usia 15 tahun atau lebih. Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan c. Visum Et Repertum sementara, psikiatrik. Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing) , tidak dipidana. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini. Jadi yang padat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita penyakit jiwa (psikosis), tetapi juga orang yang retardasi mental. Apabila penyakit jiwa (psikosis) yang

ditemukan, maka harus dibuktikan apakah penyakit itu telah ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja semakin panjang jarak antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan akan semakin sulit bagi dokter untuk menentukannya. Demikian pula jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang timbul akan mempersulit pembuatan kesimpulan dokter. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. Dalam Keadaan tertentu dimana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik. B. Untuk orang mati Visum Et Repertum jenazah, Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah) (pasal 133 KUHP). Bila pemeriksaan autopsy yang diingikan, maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan tujuan pemeriksaan. Autopsy dilakukan setelah keluarga korban tidak keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga korban (pasal 134 KUHP). Jenazah yang diperiksa dapat juga berupa jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (pasal 135 KUHP). Jenazah hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang diminta oleh penyidik telah dilakukan. Apabila jenazah dibawa pulang paksa, maka baginya tidak ada surat keterangan kematian. Pemeriksaan forensik terhadap jenazah, tanpa melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenazah. Pemeriksaan dilakukan dengan teliti dan sestematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenazah, pakaian, benda benda sekitar jenazah,

perhiasan, ciri cirri umum identitas, tanda tanda tanatologik, gigi geligi dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan diseluruh bagian luar. Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi : 1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik. 2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi,

toksikologi, serologi, dan sebagainya. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas. 5. Srtuktur dan isi VeR Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut: a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa b. Bernomor dan bertanggal c. Mencantumkan kata Pro Justitia di bagian atas kiri (kiri atau tengah) d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan f. Tidak menggunakan istilah asing g. Ditandatangani dan diberi nama jelas h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun.

Isi VER 1. Pendahuluan a. Pro yustisia Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum CONTOH : Pekanbaru, 24 Agustus 2008

PRO JUSTITIA VISUM ET REPERTUM No. / TUM/VER/VIII/2008

b. Identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan, alasan dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban

meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang mengantar korban kerumah sakit. CONTOH : Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada RSUD Arifin Achmad, atas permintaan dari kepolisian sektor......... dengan suratnya nomor..................... tertanggal.......... maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal.......... pukul........... bertempat di RSUD Arifin Achmad, telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi..................yang menurut surat tersebut adalah : Nama : Umur : Jenis Kelamin : Warga negara : Pekerjaan : Agama : Alamat :

2. Pemberitaan Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari : a. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil

pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis). b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat -tidaknya kesimpulan yang diambil. c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan. CONTOH : HASIL PEMERIKSAAN : 1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada kepala -2. Pada korban ditemukan -------------------------------------------------------------------------a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor, sudut luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat senti meter ------------------------------------b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali setengah sentimeter dasar otot.------------------------------------------------c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri pada penekanan. ----------------------------------------------------------------------d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera kepala ringan. --------------------------------------------------------------------------------3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan. ---------------------------------------------------

4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan. ----------5. Korban dipulangkan dengan anjuran control seminggu sekali lagi ------------------------

3. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. CONTOH : KESIMPULAN : ------------------------------------------------------------------------------------------Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cedera kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah mengakibatkan penyakit / halangan dalam menjalankan pekerjaan / pencarian untuk sementara waktu. 4. Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan

mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan. Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum.

CONTOH : Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dokter pemeriksa 5. Tatacara permintaan Visum Et Repertum a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang.

b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi : Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi1.

Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi.

2. 3.

Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena Jabatannya adalah Penyidik

Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik. c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :1)

Korban Mati.

Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lakukan dengan diberi cap jabatan , diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat. Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.2)

Korban Hidup.

Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi.

Dalam perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia. Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan. Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya. d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelengkapan data data jalannya peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa. Contoh : 1. Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan

kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak. Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan. 2. Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api, racun. Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban. 3. Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab 4. Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan

e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya. Catatan : Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Fakultas Kedokteran nya Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter. Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya : 1. Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek partikelir) 2. Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu : Untuk korban hidup :

a. Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah b. Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman

3. Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat permintaannya 4. Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban. g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban seperti : 1. Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal. 2. Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan. 3. Apakah korban dipindah 4. Senjata/alat jenis apa yang melukai korban 5. Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada pada tubuh korban

6. Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban 7. Apakah ada tanda-tanda perlawanan 8. Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian 9. Kapan kira-kira korban meninggal 10. Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal(3) 6.Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain. b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah jenazah tersebut. Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik : 1. Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 / 1955. 2. Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 3. Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih dahulu membahasnya secara mendalam. 4. Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani. 7.ASPEK MEDIKOLEGAL VeR Prosedur Pengadaan Visum et Repertum

Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan korban sebagai barang bukti. Hal-hal yang merupakan barang bukti pada tubuh korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, Karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum. KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban yang dimintakan visum et repertumnya seperti yang tertulis di dalam surat permintaan visum et repertum. Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa. Dalam praktek sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (darurat). Adanya keharusan membuat visum et repertum pada korban hidup tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila

pemeriksaan ini sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien

disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan visum et repertum harus mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Surat permintaan visum et repertum pada korban hidup bukanlah surat yang meminta pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis. 8. Tata Laksana VeR pada Korban Hidup 1) Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup a) Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik. b) Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain. c) Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2). d) Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya. e) Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik a. Dokter b. Perawat c. Petugas Administrasi Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik. Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut. Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah ditangani

aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis. b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum. Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum. Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SpV. Sebagai berikut : 1. Setiap pasien dengan trauma 2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan 3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas 4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan 5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal pencatatan temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada map rekam medisnya (tanda VER), warna sampul rekam medis serta penyimpanan rekam medis yang tidak digabung dengan rekam medis pasien umum. c. Pemeriksaan korban secara medis Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Ada kemungkinan didapati benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti berupa pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak penyidik. Dalam hal pihak penyidik belum mengambilnya maka pihak petugas sarana kesehatan harus me-nyimpannya sebaik mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan. Status benda bukti itu adalah milik negara, dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui penyidik. d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan

peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Contoh : Pada pipi kanan ditemukan luka terbuka, tapi tidak rata sepanjang lima senti meter e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat, sedangkan dokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang harus menandatangani visum et repertun korban hidup tersebut. Hal yang sama juga terjadi bila korban ditangani beberapa dokter sekaligus sesuai dengan kondisi penyakitnya yang kompleks. Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa). Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan luka/cedera/racun/tindak pidana. Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (di luar kota) atau sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit tersebut. f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa. Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja dengan menggunakan berita acara. g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum. Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang memintanya saja.

CONTOH : Pekanbaru, 24 Agustus 2008 PRO JUSTITIA VISUM ET REPERTUM No. / TUM/VER/VIII/2008 Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada RSUD Arifin Achmad, atas permintaan dari kepolisian sektor......... dengan suratnya nomor..................... tertanggal.......... maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal.......... pukul........... bertempat di RSUD Arifin Achmad, telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi..................yang menurut surat tersebut adalah : Nama : Umur : Jenis Kelamin : Warga negara : Pekerjaan : Agama : Alamat : HASIL PEMERIKSAAN : Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada kepala -----------------------Pada korban ditemukan ----------------------------------------------------------------------------------Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor, sudut luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat senti meter --------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali setengah sentimeter dasar otot.--------------------------------------------------------------------------------------Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri pada penekanan. -------------------------------------------------------------------------------------------------Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera kepala ringan. ------------------------------------------------------------------------------------------------------Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan. -----------------------------------------------------------------------------------Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan. -------------------Korban dipulangkan dengan anjuran control seminggu sekali lagi --------------------------------KESIMPULAN : ------------------------------------------------------------------------------------------Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cedera kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah mengakibatkan penyakit / halangan dalam menjalankan pekerjaan / pencarian untuk sementara waktu. Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dokter pemeriksa