318
ii TIM PROMOTOR DAN PENGUJI DISERTASI JUDUL DISERTASI: VISUM AKUNTANSI FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Nama Mahasiswa : M. Achsin NIM : 0530200042 Program Studi : Program Doktor Ilmu Akuntansi KOMISI PROMOTOR Promotor : Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak, M.Ec., Ph.D Ko-Promotor 1 : Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., Ph.D Ko-Promotor 2 : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH TIM DOSEN PENGUJI Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., Ak., MM Prof. Dr. Sutrisno, SE., Ak., M.Si Prof. Dr. Made Sudarma, SE., Ak., MM Dr. Ali Djamhuri, SE, Ak., M.Com, CPA Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., M.Si Tanggal Ujian : 13 Agustus 2010 File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

VIISUUMM SA AKKUUNNTTAANNSI INFFOORRE ENNSSIIKK … · 2014-12-17 · dan membangun visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi. Visum ... Mengapa ketidakkonsistenan seperti

Embed Size (px)

Citation preview

ii

TIM PROMOTOR DAN PENGUJI DISERTASI

JUDUL DISERTASI:

VVIISSUUMM AAKKUUNNTTAANNSSII FFOORREENNSSIIKK DDAALLAAMM TTIINNDDAAKK PPIIDDAANNAA

KKOORRUUPPSSII

Nama Mahasiswa : M. Achsin

NIM : 0530200042

Program Studi : Program Doktor Ilmu Akuntansi

KOMISI PROMOTOR

Promotor : Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak, M.Ec., Ph.D

Ko-Promotor 1 : Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., Ph.D

Ko-Promotor 2 : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH

TIM DOSEN PENGUJI

Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., Ak., MM

Prof. Dr. Sutrisno, SE., Ak., M.Si

Prof. Dr. Made Sudarma, SE., Ak., MM

Dr. Ali Djamhuri, SE, Ak., M.Com, CPA

Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., M.Si

Tanggal Ujian : 13 Agustus 2010

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

iii

HALAMAN PERUNTUKAN

Tesis ini kupersembahkan untuk :

Bapak dan Ibu tercinta

Terima kasih atas

Curahan kasih sayang dan do’a

Istri-istri dan anak-anak tersayang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

iv

RIWAYAT HIDUP

M. ACHSIN, lahir di Bojonegoro pada 11 Mei 1958, meraih gelar Sarjana

Ekonomi (SE) dari Jurusan Akuntansi (Ak), Fakultas Ekonomi Universitas

Brawijaya pada 1985, meraih gelar Magister Manajemen (MM) dari Program

Pascasarjana Universitas Brawijaya pada 1997, memperoleh gelar Sarjana

Hukum (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada 2001,

mendapatkan Certified Public Accountant (CPA) yang terdaftar di Kementerian

Keuangan Indonesia pada 2009, dan memperolah Sertifikasi Kurator dan

Pengurus Indonesia (IKAPI) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM

tahun 2009.

Penulis sekarang sedang menyelesaikan pendidikan Magister

Kenotariatan (M.Kn) di Pascasarjana Universitas Brawijaya dan Magister

Ekonomika Pembangunan konsentrasi bidang Penilaian (MEc.Dev., MAPPI

(Cert.)) pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak, M.Ec., Ph.D

2. Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., Ph.D

3. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH

yang telah membimbing penulisan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada:

1. Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., Ak., MM

2. Prof. Dr. Sutrisno, SE., Ak., M.Si

3. Prof. Dr. Made Sudarma, SE., Ak., MM.,CPA

4. Dr. Ali Djamhuri, SE, Ak., M.Com, CPA

5. Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., M.Si

atas kesediaannya menjadi penguji disertasi ini serta atas saran-saran yang diberikan

untuk disertasi ini dalam Ujian Akhir Disertasi pada 13 Agustus 2010.

Di samping itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan seting-tingginya

kepada:

1. Bondan Gunawan (Mantan Menteri Sekretaris Negara)

2. Erry Riyana Hardjapamekas (Mantan Komisioner KPK),

3. Iswan Elmi (Direktur Penyelidikan KPK),

4. Yunus Husein (Ketua PPATK)

5. Budi Handaka (Kejaksaan Agung)

6. Syamsul Bahri (Anggota KPU Pusat dan Mantan Ketua LPM UB)

7. Theodorus M. Tuanakotta (Ahli Akuntansi Forensik dan Akuntan Publik mantan

partner DTT Indonesia),

8. Adami Chazawi (Ahli Hukum Korupsi)

9. Haris Fajar Kustaryo (Advokat),

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

vi

10. Mustofa (Akuntan Publik),

11. Jusuf Wibisana (Managing Partner PWC Indonesia),

12. Yanuar Rizki (ICW)

13. Andik Ma‘ruf (BPKP Jawa Timur)

14. Khairiansyah Salman (Mantan Auditor BPK)

15. Jose Rizal Joesoef (Sobat karib di S-3 FE UB)

Atas bantuan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan disertasi ini

Last but not least, terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada kedua

orang tua Bapakku H. Slamet Mansyur dan Ibuku Hj, Nasrifah Ahmad, juga kepada

istri-istri dan anak-anakku, serta kepada teman-temanku, atas dukungan tenaga dan

pikiran demi terwujudnya disertasi ini.

Malang, 13 Agustus 2010

Mahasiswa,

M. Achsin

NIM: 0530200042

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

vii

ABSTRAK

M. ACHSIN, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010. Visum Akuntansi Forensik Dalam Tindak Pidana Korupsi, Promotor: Iwan Triyuwono, Ko-Promotor: Gugus Irianto, Jamal Wiwoho

Dalam proses penanganan tindak pidana korupsi, alat bukti dan pem-buktian pada umumnya dilakukan pada audit investigatif, penyelidikan, dan penyidikan. Kekuatan alat bukti dan pembuktian yang dihasilkan dari ketiga proses tersebut menentukan seseorang dapat dinyatakan sebagai tersangka korupsi dan dapat dibawa ke pengadilan.

Dalam persidangan tindak pidana korupsi, alat bukti dan pembuktian senantiasa menjadi basis utama bagi putusan hakim. Bukti dan pembuktian merupakan sarana kepastian apakah seseorang dapat diputuskan sebagai koruptor atau tidak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari, menemukan, mengumpulkan dan membangun visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensic merupakan suatu bentuk bukti akuntansi yang memiliki kriteria hukum yang berguna bagi proses litigasi di pengadilan.Dengan menggunakan metodologi grounded theory, studi ini menyimpulkan bahwa visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi, harus memuat paling tidak dua dari lima macam alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan kata lain, visum akuntansi forensik tersebut telah mampu memberikan jawaban kongkrit terhadap tujuh hypothetical construction of crime secara cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Tujuh hipotesis itu adalah 2H +5W (how, how much, what, why, when, where, who).

Kata kunci: Visum, akuntansi, audit, forensik, korupsi, dan

hypothetical construction of crime

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

viii

ABSTRACT

M. ACHSIN, Doctoral Program of Accountancy, Postgraduate Program of Faculty of Economics, Brawijaya University, 2010; Forensic Accounting Visum in Corruption Case; Supervisor: Iwan Triyuwono, Co-Supervisor: Gugus Irianto, Jamal Wiwoho

In coping with corruption cases, an evidence basis and a process of proving usually are held in phase of investigative audit, pre-investigation, and investigation. The strength of the evidence basis and the process of proving determine whether or not one will have to be a corruption accused and then put on trial.

In the trial of corruption case, the evidence basis and the process of proving are important for judge decision. Both will determines whether one to be judged as corruptor or not.

This dissertation attempts to search, to collect, and to construct a forensic accounting visum in corruption cases. The forensic accounting visum is a kind of an evidence basis based on law crirteria for litigation process in a trial. With using methodology of grounded theory, this dissertation concludes that forensic accounting visum in the corruption case has to have at least two of five evidence bases, that are explanation of the witness, explanation of the expert, documentary or written evidence, indicative evidence, and explanation of the accused. In other words, the forensic accounting visum has to answer clearly seven hypothetical constructions of crime or 2H + 5W (how, how much, what, why, when, where, who).

Key words: Visum, accounting, audit, forensic, corruption, hypothetical construction of crime

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

ix

R E S O N A N S I

AVANT-PROPOS:

PERJALANAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK

SUDAH hampir lima tahun ini saya melakukan studi bidang akuntansi mencari bentuk

dan rupa ―visum Akuntansi forensik‖. Tiba-tiba Sang Promotor mengatakan: segera

selesaikan disertasi, atau menunggu upaya paksa! Saya terhenyak, inikah bentuk

motivasi [?], provokasi [?] ancaman [?] atau ekspresi ketulusan dari sang guru bijak

bestari [?]. Wallahu a‟lam bisshowab,

Sejujurnya, studi ini terformulasikan atas munculnya kegalauan yang menerpa

benak, saat saya melihat dan memperhatikan fenomena penanganan tindak pidana

korupsi. Kegalauan itu lebih disebabkan karena, saya melihat pada penanganan tindak

pidana korupsi pada satu kasus si terdakwa dapat dijebloskan ke dalam penjara,

namun pada penanganan kasus yang lain si terdakwa dapat berlenggang dengan

bebas. Mengapa ketidakkonsistenan seperti itu terjadi? Padahal untuk menyeret

terdakwa kasus korupsi itu ke sidang pengadilan, Negara telah mengeluarkan biaya

penanganan yang tidak kecil, dan mengapa si terdakwa bisa bebas? Pertanyaan dan

fenomena seperti itulah yang menggugah ketertarikan saya untuk melakukan

penelitian ini.

Fenomena membingungkan seperti itulah yang oleh Erving Goffmann dalam

Filsafat Dramaturginya sebagai adanya acting para actor dalam ―front stage‖ dan ―back

stage‖ Suatu peran penuh hipokrisi yang dengan entheng diperagakan sang pelaku,

suatu bentuk representasi yang mendua dan sarat dengan ketidakjujuran. Itulah dunia

keculasan, dongenge wong culiko, suatu dunia yang banyak dihuni oleh para koruptor.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

x

Saya memang masih optimis, keadilan tetap bisa ditegakkan meskipun langit

runtuh (fiat justitia et pereat mundus) karena saya yakin bahwa untuk menjadikan

masyarakat tertib dan teratur, eksistensi suatu aturan yang didukung oleh substansi,

struktur dan kultur yang baik menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan. Di samping

itu, saya juga masih percaya bahwa mewujudnya aturan, eksistensinya lebih

disebabkan karena masyarakat itu sendirilah yang memerlukan suatu aturan yang

mengatur dirinya, orang lain dan lingkungannya (ibi ius ibi societas).

Kembali pada penelitian ini, untuk menjawab kerisauan yang saya ungkapkan

pada sebelumnya, kemudian saya terjun dan menceburkan diri untuk melakukan

penelitian dengan membawa dua pertanyaan utama, yaitu: (1) bagaimanakah auditor

investigatif, penyelidik dan penyidik mencari, menemukan dan mengumpulkan alat-alat

bukti dan barang bukti yang siap dibawa ke pengadilan. (2) bagaimana wujud dari alat

bukti dan barang bukti yang dibawa ke pengadilan itu?.

Dua pertanyaan itu, untuk tahap pertama, saya tujukan pada auditor investigatif,

baik auditor BPK maupun BPKP. Kenapa pertanyaan tidak ditujukan kepada akuntan

publik? Karena auditor pada lembaga BPK dan BPKP itulah yang sering melakukan

audit investigatif dan diminta untuk menghitung dugaan angka kerugian keuangan

negara pada perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan akuntan publik sampai dengan

hari ini belum mengatur mengenai jasa audit investigatif yang sarat dengan perburuan

eksistensi fraud, kejahatan keuangan dan tindak pidana korupsi.

Pertanyaan yang sama, pada gilirannya juga saya ajukan kepada penyelidik dan

penyidik, Karena dari tangan-tangan merekalah suatu perkara tindak pidana korupsi

dapat ditindaklanjuti hingga menjadi dakwaan, atau kasus itu dihentikan karena tidak

diperoleh bukti yang cukup.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xi

Dua pertanyaan itu membawa saya untuk melakukan pencarian jawaban yang

terkontruksikan secara cermat, jelas dan lengkap atau a beyond reasonabale doubt.

Suatu jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime, suatu hipotesis yang

dibangun untuk mengarahkan fokus pencarian jawaban pada pertanyaaan: How Much,

How, What, Why, Who, When, and Where (2H+5W).

Saya sadar bahwa dalam penelitian ini, saya harus memiliki alat untuk

menangkap dan melakukan analisis serta melakukan sintesis terhadap fenomena

tindak pidana korupsi itu. Kemudian dengan sengaja saya pilih metodologi grounded

theory yang mensyaratkan bekal theoretical sensitivity, creativity dan imagination.

Grounded theory, bergerak layaknya spionase dengan pengumpulan bahan bukti mirip

kayak akumulasi snow-ball.

Pilihan grounded theory karena ia sangat ideal, handal dan efektif untuk

diterapkan manakala teori-teori tidak lagi mampu memberikan jawaban secara

seragam terhadap fenomena yang ada, atau jika ada jawaban maka jawaban yang

diberikan akan menelorkan hasil yang berbeda-beda. Karena alasan inilah grounded

theory menjadi bagian yang tak terpisahkan dan keniscayaan dalam penelitian ini

(untuk lebih jelas dan detilnya, silahkan membaca bab II).

Kemudian, saya secara terus menerus bergerak, kadang saya mengintip

kesempatan, saat lain saya harus mencuri dengar, dan pada situasi tertentu saya juga

diharuskan untuk memburu bahan-bahan penelitian. Semua itu saya lakukan demi dan

untuk selalu menambah dan memperkaya perbendaharaan bahan-bahan penelitian.

Saya berharap, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, koleksi bahan-

bahan penelitian menjadi semakin lengkap dan dapat membantu saya untuk

membangun :‖proposisi‖ (hipotesis teori) yang merupakan jawaban atas kerisauan

yang menerpa yang telah saya ungkapkan pada sebelumnya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xii

Kebosanan dan kejenuhan kadang menerpa serta mengiringi perjalanan

penelitian ini. Namun, saya selalu membangunkan semangat juang agar selalu tegar

dan terjauh dari rasa putus asa. Hanya dengan cara itu – saya yakin seyakin-yakinnya

– pada saatnya, disertasi ini pasti selesai, dan pada saatnya pula ―keindahan‖

menyandang gelar akademik tertinggi akan saya raih dan menjadi bagian hidup untuk

selamanya.

Kegigihan dan keuletan yang saya bangun membawa hasil. Perlahan-lahan

tetpi pasti bahan-bahan penelitian mengalir. Kadang deras sekali, namun pada saat

yang lain kucurannya mampet dan seret. Meski data masih terbatas, saya mencoba

menulis abstraksi atau proposisi sementara atas apa yang telah saya peroleh,

meskipun bentuknya masih ―buram‘ dan jauh dari sempurna.

Saya tunggu data tambahan, lalu saya poles kembali abstraksi penelitian dengan

data tambahan yang masuk. Demikianlah upaya dan perjuangan yang saya lakukan.

Manakala ada tambahan bahan-bahan lagi yang masuk, maka bahan itu akan saya

gunakan untuk menambal mana yang kurang dan atau tidak ―pas‖. Bahan-bahan itu

juga saya dayagunakan untuk memperkuat mana yang masih lemah, mengikat mana

yang masih kendor. Secara gradual, perlahan tetapi pasti, pada akhirnya terbentuklah

―visum akuntansi forensik‖ yang saya idam-idamkan.

Di tengah-tengah perjalanan eksplorasi itu, hal menarik dan menantang adalah

munculnya pertanyaan baru, yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan dan duga.

Pertanyaan itu adalah, bahan-bahan yang saya peroleh tersebut harus golongkan

dalam ketegorisasi versi disiplin ilmu apa? Apakah pemilahan harus saya lakukan

berbasiskan ilmu akuntansi, atau berlandaskan ilmu auditing atau versi ilmu hukum?

Karena, pada dasarnya terdapat perbedaan kategorisasi bukti dalam tiga bidang ilmu

pengetahuan tersebut.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xiii

Pertanyaan kategorisasi bahan penelitian itu, menggugah kreativitas, imajinasi,

dan sensitivitas teoritik yang saya miliki. Saya harus mengambil keputusan. Bagi

pandangan saya, meskipun penelitian ini berada dalam ranah atau domain

pengetahuan akuntansi, namun akuntansi forensik adalah suatu disiplin pengetahuan

akuntansi yang telah menerobos batas demarkasinya dan kemudian ―berkolaborasi‖

dengan ilmu auditing dan hukum. Atas perkenan pembimbing dan budi baiknya dari

sang arif dan bijaksana itu, selanjutnya saya klasifikasikan data, fakta, informasi dan

keterangan serta bahan-bahan yang saya peroleh dengan basis jenis alat-alat bukti

yang terdapat dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Dalam

KUHAP, terdapat lima macam kategorisasi alat bukti, yakni alat bukti keterangan saksi,

alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan alat bukti keterangan

terdakwa. Karena itu, pada bab III, IV, V dan VI semua uraian penelitian mengacu

pada pola lima macam ketegorisasi alat bukti tersebut.

Pilihan pola klasifikasi itu juga saya maksudkan, agar semua data, fakta,

informasi dan keterangan serta bahan bukti, terdapat sinkronisasi dan match and link

dengan pola klasifikasi bukti dalam penegakan hukum di Indonesia. Suatu format

pengklasikasian alat bukti yang telah membatin (internalized) pada subjek (informan)

penelitian ini.

AUDIT INVESTIGATIF (AI) DAN PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) Berbasis fenomena penanganan perkara tindak pidana korupsi, pertanyaan

spesifik yang saya lontarkan pada level AI (Audit Investigatif) dan PKKN (Perhitungan

Kerugian Keuangan Negara) adalah, bagaimanakah auditor investigatif melakukan

eksplorasi dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan bahan bukti? Pertanyaan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xiv

berikutnya adalah, bagaimanakah wujud bangunan rekonstruksi sejarah fakta/bukti

yang dibuat auditor investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi itu?

Studi yang saya lakukan, ternyata dapat menjawab pertanyaan atas kerisauan

saya pada fenomena penanganan tindak pidana korupsi. Dalam AI atau PKKN, yang

merupakan salah satu proses penanganan tindak pidana korupsi, prosedur utama

yang menjadi acuan dan menjadi tumpuan auditor investigatif, pertama-tama adalah

harus dapat memastikan dan menemukan adanya penyimpangan. Penyimpangan

akan terjadi bilamana terdapat jarak (gap) antara yang sebenarnya (de-facto) dengan

yang seharusnya (de-jure). Bilamana penyimpangan telah dapat ditemukan, maka

auditor akan menindak lanjuti dengan melakukan penghitungan atas berapa jumlah

atau nilai penyimpangan itu. Hitungan rupiah pada angka penyimpangan itulah yang

disebut dengan angka kerugian keuangan negara (uraian lebih lengkapnya dapat

dilihat pada bab IV).

Demikian juga, prosedur-prosedur audit lain, seperti tracing, footing/cross footing,

documenting, reconciling, vouching, konfirmasi, reperforming, observasi dan prosedur

audit lainnya tentu akan mengikuti dan selaras dengan adanya temuan penyimpangan

itu. Prosedur ini merupakan standar baku untuk memperkuat temuan penyimpangan

yang diperpleh tersebut

Pelaksanaan PKKN, pada umumnya dilakukan oleh auditor investigatif

berdasarkan permintaan dari penyidik. Permintaan PKKN penyidik, biasanya pada

perkara yang telah matang. Artinya perkara dugaan tindak pidana korupsi itu telah

dilakukan penyidikan oleh penyidik. Dengan demikian, permintaan PKKN ke instansi

BPKP itu pada umumnya data, fakta dan informasi relatif telah lengkap, tinggal

menghitung berapa besar kerugian keuangan negaranya. Artinya modus operandi,

siapa yang berbuat, dan di mana perbuatan itu dilakukan, kapan terjadinya dan lainnya

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xv

telah dihimpun oleh penyidik dalam berkas penyidikan. Karena itu, penugasan PKKN

ini dalam komunitas auditor BPKP sering disebut sebagai tugas yang telah ―masak

pohon‖.

Tidak demikian halnya dengan penugasan AI. Penugasan AI mengharuskan

auditor investigatif untuk melakukan upaya ekstra, yakni auditor harus masuk pada

kedalaman persoalan. Hypothetical construction of crime menjadi radar utama dalam

mencari, menemukan dan mengumpulkan bahan bukti hingga tercipta visum akuntansi

forensic level audit investigatif. Visum akuntansi forensik level ini, pada umumnya

digambarkan dalam bentuk chart and matrix, yang merupakan rangkaian alat bukti dan

barang yang terjalin secara berkelindan.

Dalam AI versi BPKP, simpulan akan diformulasikan dalam bentuk penyebutan

nama seseorang yang ―bertanggung jawab‖ atas penyimpangan yang terjadi dan

disertai dengan besarnya jumlah angka kerugian keuangan negara. Namun, dalam

laporan hasil AI versi BPK, umumnya akan menyebut nama seseorang (orang-orang)

yang ―patut diduga atau diindikasikan‖ terlibat perkara tindak perkara korupsi, yang

disertai dengan jumlah perhitungan angka kerugian keuangan negara. Laporan AI versi

BPK itu menguraikan tentang 2H+5W juga secara jelas dan transparan mengungkap

unsur-unsur pelanggaran undang-undang tindak pidana korupsi. Dengan kata lain,

dalam Laporan AI versi BPK chart and matrix lebih tergambarkan secara jelas

dibandingkan laporan hasil AI versi BPKP.

Uraian atas AI dan PKKN di atas, telah menjawab dua pertanyaan terhadap

kerisauan saya. Dari proses dan hasil AI dan PKKN itu, saya simpulkan bahwa jika

eksplorasi yang dilakukan auditor investigatif terhadap bahan bukti yang tersaji telah

dapat memberikan jawaban hypothesis construction of crime secara cermat, jelas dan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xvi

lengkap (a beyond reasonable doubt), maka rekonstruksi sejarah fakta/bukti atau

konstruksi Visum Akuntansi Level Audit Investigatif telah terwujud dengan sempurna.

PULBAKET LIDIK (PENGUMPULAN BAHAN BUKTI DAN KETERANGAN PENYELIDIKAN) Perjalanan harus saya teruskan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang

belum tuntas, yakni bagaimanakah pulbaket lidik (pengumpulan bahan bukti dan

keterangan tahap penyelidikan) untuk mencari dan menemukan bahan bukti atas

dugaan tindak pidana korupsi itu? Bagaimanakah wujud bangunan rekonstruksi

sejarah fakta/bukti dari penyelidik atas dugaan tindak pidana korupsi?

Ternyata dalam pulbaket lidik prosedur utama yang menjadi acuan dan panduan

Penyelidik sama persis dengan apa yang menjadi pedoman auditor investigatif, yakni

memastikan dan menemukan penyimpangan antara yang sebenarnya (de-facto)

dengan yang seharusnya (de-jure). Bilamana terdapat penyimpangan antara yang

sebenarnya dengan seharusnya, maka penyelidik akan mencari persesuaian antara

perbuatan dengan unsur-unsur aturan hukum yang telah dilanggar oleh si pelaku

(bestendelen). Kemudian untuk menambah kekuatan alat bukti, umumnya penyelidik

akan meminta keterangan dari saksi-saksi yang didokumentasikan dalam Berita Acara

Permintaan Keterangan atau BAPK (untuk uraian lebih lengkap dan menarik dapat

dilihat pada bab IV).

PULBAKET SIDIK (PENGUMPULAN BAHAN BUKTI DAN KETERANGAN

PENYIDIKAN)

Perjalanan masih harus saya lanjutkan. Pertanyaan yang belum terjawab adalah,

bagaimanakah pulbaket sidik (pengumpulan bahan bukti dan keterangan tahap

penyidikan) yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka untuk mencari, menemukan

dan mengumpulkan bahan bukti atas sangkaan tindak pidana korupsi itu?. Pada tahap

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xvii

ini, Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana wujud bangunan rekonstruksi sejarah

fakta/bukti yang dibuat penyidik atas sangkaan tindak pidana korupsi itu?

Ternyata dalam pulbaket sidik juga menggunakan acuan yang persis sama dan

tidak berbeda dengan pulbaket lidik, yakni memastikan, menemukan dan

mengumpulkan penyimpangan antara yang sebenarnya (de-facto) dengan yang

seharusnya (de-jure). Bilamana terdapat penyimpangan antara yang sebenarnya

dengan seharusnya maka penyidik akan mencari persesuaian atau kesepaduan antara

perbuatan dengan aturan hukum yang telah dilanggar oleh si pelaku. Kemudian untuk

menambah kekuatan alat bukti, umumnya penyidik akan meminta keterangan dari

saksi-saksi, ahli dan tersangka yang didokumentasikan dalam Berita Acara

Pemeriksan atau BAP (untuk uraian lebih lengkap dapat dilihat pada bab V).

Sementara itu, bantuan PKKN akan segera diminta penyidik ke instansi BPKP,

pada saat mana penyidik telah dapat mengantongi alat bukti dan barang bukti yang

cukup serta telah terdapat kesepaduan antara perbuatan dengan fakta-faktanya. Suatu

persesuaian atau kesepaduan antara perbuatan dengan pelanggaran unsur-unsur

yang terdapat pada aturan hukumnya.

Perbedaan utama antara pulbaket lidik dengan pulbaket sidik adalah, pada dalam

pulbaket sidik undang-undang memberi ruang kepada penyidik untuk melakukan

upaya paksa seperti penahanan, penangkapan, penggeledahan dan lainnya. Upaya

paksa seperti ini tidak dimiliki oleh penyelidik.

Selanjutnya, salah satu perbedaan lain antara sidik dan lidik adalah adanya kata

―Projustitia‖ atau ―Demi Keadilan‖, suatu kalimat yang biasa ditulis/dicetak pada ―kiri

atas‖ pada setiap administrasi persuratan. Artinya dengan surat-surat yang telah

berlabel ―Projustitia‖ itu akan mengubah semua bukti, data, fakta, informasi dan

keterangan menjadi telah ―bernilai hukum‖

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xviii

Untuk sementara perjalanan penelitian ini saya hentikan sampai di sini, sampai

tahap penyidikan saja. Sebenarnya perjalanan visum akuntansi forensik masih jauh

dan panjang. Untuk sampai pada jawaban komprehensif dan memuaskan dahaga atas

kerisauan yang melanda, seharusnya visum akuntansi forensik itu harus saya ikuti

terus hingga titik akhir pemberhentian, yakni di Mahkamah Agung.

Visum akuntansi forensik itu akan menempuh perjalanan berikutnya, seperti:

tahap pembuatan berkas Dakwaan, tahap pemeriksaan di persidangan pengadilan

(cross examination), tahap putusan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), tahap

putusan tingkat kedua (tingkat banding pada Pengadilan Tinggi), dan proses kasasi

pada Mahkamah Agung, di mana putusan MA ini, akan memiliki kekuatan hukum yang

tetap (inkracht). Perjalanan visum akuntansi forensik juga masih dapat dimungkinkan

karena masih adanya upaya hukum lain, yakni Peninjauan Kembali (PK)..

Uraian atas proses dan hasil audit investigatif, penyelidikan dan penyidikan,

pada langkah berikutnya adalah saya harus membangun proposisi. Proposisi pertama

sebagai berikut: mutatis mutandis, visum akuntansi forensik merupakan rekonstruksi

sejarah fakta, yang terdiri dari paling tidak dua dari lima macam alat bukti, menjadi

dasar bagi penetapan status seseorang menjadi terperiksa, tersangka atau terdakwa.

Visum akuntansi foreensik itu dapat berbentuk rangkaian chart and matrix yang

merupakan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W yang cermat, jelas dan

lengkap (a beyond reasonable doubt). Visum akuntansi forensik berfungsi sebagai

bahan bukti bagi pendalaman level/tahap pemeriksaan selanjutnya.

Proposisi kedua adalah mutatis mutandis, visum akuntansi forensik dapat

dikatakan sebagai suatu hasil sinergi oposisi-biner (sinergi dari on-off). Sinergi antara

satu sisi dengan sisi lainnya, antara sudut satu dengan sudut lainnya dan antara

bagian satu dengan bagian lainnya. Artinya, visum akuntansi forensik itu dapat

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xix

berbentuk potongan-potongan bahan bukti yang boleh jadi bertentangan antara satu

dengan lainnya kemudian dihubungkan kembali sehingga menjadi suatu ikatan ―Bukti

dan Pembuktian‖ yang utuh, holistik dan komprehensif. Masing-masing bagian berdiri

sendiri namun tidak dapat melepaskan diri dalam rangkaian hubungan secara integral

dengan bagian-bagian lainnya. Hubungan dalam rangkaian visum akuntansi forensik

itu akan terjalin secara berkelindan dengan bagian-bagian lainnya. Jika bagian-bagian

itu berdiri secara sendiri-sendiri maka tidak akan mempunyai arti apa-apa di luar

kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya konflik

atau kontradiksi. Pertautan dan persesuaian, antara bukti akuntansi, bukti auditing dan

bukti hukum melalui terobosan paradigma lintas ilmu dan holistik itulah yang akan

membentuk konstruksi wujud visum akuntansi forensik harus berkriteria cermat, jelas

dan lengkap (a beyond reasonable doubt).

REKOMENDASI

Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, alat bukti keterangan

ternyata memainkan peranan sangat menentukan. Alat bukti keterangan yang terdiri

dari; keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa dihasilkan dari

kepiawaian auditor investigatif, penyelidik dan penyidik dalam melakuan berbagai

teknik dan strategi dalam interview maupun interogasi.

Keberhasilan mengorek keterangan saksi dapat berakibat positif yakni

diperolehnya berbagai informasi dan keterangan baik mengenai apa, siapa, mengapa,

di mana, kapan, bagaimana, dan berapa banyak dampak negatif berupa kerugian

negara yang ditimbulkan atas tindak pidana korupsi. Dengan diperolehnya berbagai

keterangan saksi, tentu mempunyai dampak positif yakni pada tahap selanjutnya akan

dengan mudah untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti serta

mendapatkan informasi mengenai motif perbuatan dan data lainnya yang diperlukan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xx

Kesuksesan mendapatkan keterangan dari ahli, juga akan menunjukkan

mengenai berbagai hal rinci tentang perkara yang ditangani dengan berbagai

permasalahannya sesuai dengan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh ahli

tersebut. Misalnya dari keterangan ahli akuntansi dan keuangan, akan diperoleh

secara rinci tentang cara-cara si pelaku mengambil uang negara secara melawan

hukum, misalnya data manipulasian, dokumen palsu, laporan keuangan rekayasaan,

mark-up, kontrak fiktif, letter of credit (L/C) bodong, pekerjaan asal-asalan, dan

keterangan-keterangan berharga lainnya.

Demikian juga, kelengkapan dalam menguak keterangan terdakwa akan

didapatkan informasi mengenai perbuatan apa yang telah dilakukan oleh si pelaku,

alibi yang dibangun, justifikasi dan rasionalisasi atas perbuatannya, bahkan boleh jadi,

akan memperoleh pengakuan jujur dan komprehensif atas perbuatan dan cara-cara

melakukan perbuatan serta motif yang mendasari si pelaku.

Oleh karena itu, ada baiknya elaborasi terhadap teknik hypnosis, mungkin saja

dan boleh jadi, dapat memberikan penguatan terhadap alat bukti keterangan.

Pertanyaannya adalah apakah hipnosis dapat didayagunakan untuk menguak

keterangan para saksi? Menurut Adrie Gunawan (2010,77) pada konsteks hukum

indonesia, teknik hipnotis dapat didayagunakan hanya untuk mengungkap keterangan

saksi dan/atau saksi korban saja. Bagi Gunawan, berbasis teknik regresi dan

hypernesia baik saksi atau korban akan dapat dengan leluasa menceritakan mengenai

kejadian-kejadian di sekitar peristiwa yang ia saksikan, ia dengar dan/atau ia alami.

Saksi atau korban dapat menjelaskannya secara sangat rinci, gamblang dan

komprehensif. Namun sayangnya, teknik hipnotis itu tidak akan bisa digunakan

untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan yang jujur dari pelaku tindak pidana.

Hipnotis tidak bisa digunakan karena pertama si pelaku tidak akan pernah bersedia

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xxi

dirinya untuk di hipnotis, dan kedua dalam kondisi hipnosis seseorang masih dapat

melakukan kebohongan atas keadaan yang sebenarnya.

REFLEKSI DIRI

Setelah saya mencermati serta melakukan kajian komprehensif, saya

mengambil simpulan bahwa pada akhirnya kasus-kasus tindak pidana korupsi,

meskipun kasus telah diselesaikan hingga tahap akhir (inkraht), dalam keyakinan saya,

kasus tersebut masih tetap menyisakan ruang yang masih memiliki interpretasi dari

masing-masing pihak yang berkepentingan dan terlibat pada kasus tersebut.

Pada penelitian ini, saya juga menemukan banyak hal yang menjadi penyebab

esensial atas kasus-kasus korupsi. Tidak semua persoalan dapat terjawab hanya

dengan keberhasilan rekonstruksi sejarah fakta/bukti atau mewujudnya visum

akuntansi forensik. Demikian juga, pada putusan hakim yang membebaskan atau

memasukkan terdakwa ke dalam penjara, masih menyiasakan pertanyaan atas

kebenaran hakikinya.

Kenyataan ini makin menguatkan keyakinan pada diri saya bahwa ―meaning,

understanding, and sense‖ yang banyak dikaji dalam filsafat hermeneutika menjadi

realitas yang nyata. Proses penegakan hukum yang diolah melalui interpretasi secara

subjektif dan intersubjektif atau diklaim sebagai suatu argumentasi objektif oleh pihak-

pihak yang berperkara, hingga putusan akhir, bagi saya masih merupakan discource

yang mengandung kebenaran nisbi. Bahkan putusan Majelis Hakim di Mahkamah

Agung menurut pandangan saya masih berbentuk discource dan juga mengandung

kebenaran nisbi.

Sejujurnya dapat saya katakan bahwa tulisan ini masih berstatus ―koma‖ dan

belum ―titik‖, dan masih banyak kekurangan yang perlu upaya penyempurnaan-

penyempurnaan. Harapan saya pada penelitian-penelitian selanjutnya dapat

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xxii

melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan

agar kasus-kasus korupsi dapat terkuak secara holistic, baik formal, material maupun

hakikinya.

Perkenankanlah saya untuk mengingatkan kembali kepada diri saya sendiri,

para akuntan forensik dan/atau financial criminalist dan/atau para penegak hukum atau

siapa saja atas statement yang pernah dilontarkan oleh Abraham Lincoln, yakni ―You

can fool some people, but you can not fool all the people‖.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xxiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... I

TIM PROMOTOR DAN PENGUJI DISERTASI ....................................... II

HALAMAN PERUNTUKAN ..................................................................... III

RIWAYAT HIDUP ................................................................................... IV

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... V

ABSTRAK .............................................................................................. VII

ABSTRACT .......................................................................................... VIII

R E S O N A N S I................................................................................... IX

DAFTAR ISI ....................................................................................... XXIII

DAFTAR TABEL ................................................................................ XXVI

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... XXVII

BBaabb 11 PENDAHULUAN........................................................ 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2. Permasalahan dan Fokus Penelitian ................................................... 17

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 25

1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 26

BBaabb 22 METODOLOGI PENELITIAN ................................... 27

2.1. Pengantar ............................................................................................ 27

2.2. Obyek dan Setting ............................................................................... 30

2.3. Grounded Theory ................................................................................ 31

2.4. Operasionalisasi Grounded Theory ..................................................... 34

2.5. Pengumpulan Data.............................................................................. 37

2.5.1. Wawancara ................................................................................... 37

2.5.2. Observasi ..................................................................................... 38

2.5.3. Sumber Data................................................................................. 40

2.5.4. Analisis Data ................................................................................. 40

BBaabb 33 VISUM AKUNTANSI FORENSIK AI DAN PKKN ....... 42

3.1. Pengantar ............................................................................................ 42

3.2. Pelaksanaan Audit Investigatif ............................................................ 46

3.3. Peranan dan Kontribusi Hasil Audit Investigatif ................................... 55

3.4. Menemukan Alat Bukti – Level Audit Investigatif ................................. 63

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xxiv

BBaabb 44 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN ................................................................ 116

4.1. Pengantar .......................................................................................... 116

4.2. Menemukan Alat Bukti – Level Penyelidikan ..................................... 125

4.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 133

4.2.2. Alat Bukti Keterangan Terdakwa ................................................ 138

4.2.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 142

4.2.4. Alat Bukti Petunjuk ...................................................................... 158

4.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka ............................................... 159

4.3. Catatan Akhir dan Proposisi .............................................................. 160

BBaabb 55 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN 167

5.1. Pengantar .......................................................................................... 167

5.2. Menemukan Alat Bukti – Level Penyidikan ....................................... 174

5.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 183

5.2.2. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................................... 188

5.2.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 192

5.2.4. Alat Bukti Petunjuk ...................................................................... 196

5.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka ............................................... 202

5.3. Catatan Akhir dan Proposisi .............................................................. 217

BBaabb 66 VISUM AKUNTANSI FORENSIK SEBAGAI BUKTI PENDUKUNG LITIGASI .................................................... 229

6.1. Pengantar .......................................................................................... 229

6.2. Akuntansi Forensik, Bukti dan Pembuktian ....................................... 231

6.3. Visum Akuntansi Forensik ................................................................. 236

6.3.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 240

6.3.2. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................................... 246

6.3.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 251

6.3.4. Alat Bukti Petunjuk ...................................................................... 254

6.3.5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa ................................................ 256

6.4. CATATAN AKHIR.............................................................................. 266

BBaabb 77 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN CATATAN AKHIR ... 270

7.1. SIMPULAN ........................................................................................ 270

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xxv

7.1.1. Visum Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif ...................... 271

7.1.2. Visum Akuntansi Forensik Level Lidik ........................................ 271

7.1.3. Visum Akuntansi Forensik Level Sidik ........................................ 273

7.2. Implikasi ............................................................................................ 275

7.3. Catatan Akhir .................................................................................... 276

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 279

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xxvi

DAFTAR TABEL TABEL 1-1 COMPARATIVE CLASSIFICATION OF 16 TABEL 1-2 PERBANDINGAN SIFAT ANTARA EVIDENTIAL MATTER DAN EVIDENCE 19 TABEL 2-1 PERBANDINGAN METODE PENELITIAN 28 TABEL 2-2 DAFTAR INFORMAN, ASAL LEMBAGA DAN JABATAN 38 TABEL 3-1 INDIKASI AWAL ATAS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP 54 TABEL 3-2 PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF (AI) YANG DILAKSANAKAN BPKP TAHUN 2003 – 2007 58 TABEL 3-3 PELAKSANAAN PERRHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) YANG DILAKSANAKAN

BPKP 58 TABEL 3-4 PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA KASUS PENGADAAN BARANG DAN

JASA KPU PUSAT ERA KEPEMIMPINAN NAZARUDDIN SJAMSUDDIN 63 TABEL 3-5 MATRIKS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI JEMBER 2000 – 2005 94 TABEL 3-6 JENIS- JENIS ALAT BUKTI DAN BEBERAPA PERBEDAAN ANTARA INDONESIA DAN AMERIKA 109 TABEL 4-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYELIDIKAN DAN AUDIT INVESTIGATIF 122 TABEL 4-2 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI BPKP ATAS TUKAR GULING BENGKOK

LAWANG MALANG 129 TABEL 4-3 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI PT. SUCOFINDO APPRAISAL UTAMA

ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG 131 TABEL 4-4 PENGELUARAN INVESTASI PEMKAB MALANG PADA PABRIK GULA MINI PT. KIGUMAS 134 TABEL 4-5 DAFTAR REKANAN PT. KIGUMAS 154 TABEL 4-6 PERHITUNGAN PPN PT SUMBER SARANA MITRA SEJATI 155 TABEL 4-7 DAFTAR SURAT PERINTAH MEMBAYAR UANG (SPMU) 156 TABEL 5-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYIDIKAN (SIDIK) DENGAN PENYELIDIKAN (LIDIK)

170 TABEL 6-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA, SIDIK, LIDIK, DAN AI 237 TABEL 6-2 NAMA TERSANGKA, JUMLAH SAKSI DAN ANGKA PKKN 245 TABEL 6-3 NAMA TERSANGKA, NAMA AHLI BPKP ANGKA PKKN 250 TABEL 6-4 KONSEP ATAU METODA PKKN 251 TABEL 6-5 NAMA TERSANGKA, BARANG BUKTI ANGKA PKKN 253 TABEL 6-6 NAMA TERSANGKA, ALAT BUKTIDAN BARANG BUKTI ANGKA KERUGIAN NEGARA 255 TABEL 6-7 NAMA TERSANGKA, KETERANGAN DAN PENGAKUAN ANGKA PKKN 262 TABEL 6-8 PERTIMBANGAN DAN POSISI PARA PIHAK YANG BERPERKARA DALAM SUATU PERISTIWA

HUKUM 266

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

xxvii

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 3-1 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF 114 GAMBAR 3-2 BENTUK VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF 115 GAMBAR 4-1 PROSES PENEMUAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK 165 GAMBAR 4-2 WUJUD VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN 166 GAMBAR 5-1 POLA SPIRALISASI PENCARIAN DAN PENEMUAN BUKTI DALAM BERITA ACARA

PEMERIKSAAN (BAP) 212 GAMBAR 5-2 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN 227 GAMBAR 5-3 WUJUD RANGKAIAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN 228 GAMBAR 6-1 RANGKAIAN INTEGRATIF PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK 238 GAMBAR 6-2 VISUM AKUNTANSI FORENSIK 239

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

1

BBaabb 11 PENDAHULUAN

Wolak-walik ing jaman Kalabendhu…

Wong bener tan saya thenger-thenger;

Wong apik bakal ditampik;

Wong salah tan saya bungah;

Wong jahat bakal munggah pangkat;

Wong ala kapuja;

Wong pinter diinger-inger;

Angkara murka tan saya ndadi…

(Prabu Jayabaya)

1.1. LATAR BELAKANG Membangun Grand Design Dalam Mencari Visum Akuntansi Forensik

Studi ini berkait erat dan terjalin secara berkelindan dengan bagaimana auditor

investigatif, penyelidik dan penyidik mencari, menemukan serta mengumpulkan alat-

alat bukti dan barang bukti terhadap tindak pidana korupsi hingga terbentuk visum

akuntansi forensik yang berfungsi sebagai dukungan litigasi atau ―berperkara‖ dii

pengadilan.

Kata ―forensik‖ itu biasanya diasosiasikan dengan dokter bedah atau otopsi

mayat guna menentukan penyebab dan kapan kematian si korban terjadi. Otopsi

dokter forensik itu akan menghasilkan apa yang disebut dengan visum et repertum1.

Pada tahap berikutnya, pengetahuan forensik ini telah menjadi bagian yang niscaya

dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk menjadi dukungan

bagi pencarian dan penemuan alat bukti dan pembuktian proses litigasi.

1 Visum Et Repertum mempunyai arti Visum = something seen, Et = and dan Repertum = invention, find out, jadi

arti visum et repertum merupakan something seen and invention or find-out. Dengan demikian arti Visum Et Repertum adalah sesuatu atau apa-apa yang dilihat pada si korban (Tuanakotta, 2007, 5 dan Abdussalam, 2006, 6)..

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

2

Pengembangan ilmu pengetahuan ini terjadi pada misalnya fisika forensik, kimia

forensik, metalurgi balistik forensik, antropologi forensik, psikologi forensik dan ilmu

pengetahuan lainnya termasuk di dalamnya adalah akuntansi forensik.

Berbasis dialog sebelumnya, dapat saya nyatakan bahwa akuntansi forensik

merupakan suatu disiplin ilmu akuntansi yang telah menerobos batas-batas demarkasi

yang kemudian didayagunakan untuk kepentingan hukum (as support for a litigation).

Terobosan ilmu akuntansi ini kemudian berkolaborasi dengan ilmu auditing dan ilmu

hukum. Jadi, inheren dalam akuntansi forensik adalah ilmu akuntansi, ilmu auditing

dan pengetahuan hukum.

Untuk lebih memperjelas uraian sebelumnya, berikut ini saya gambarkan

mengenai implementasi dan daya kerja akuntansi forensik dalam tindak pidana

korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, bagi saya, penghitungan kerugian keuangan

negara (PKKN) berada pada domain ilmu akuntansi. Mengapa? Karena, untuk

menghasilkan sebuah angka PKKN itu, dilakukan dengan cara yakni berbasis

dokumen-dokumen dan data akuntansi yang terkumpul, kemudian dilakukan konstruksi

angka PKKN. Langkah konstruktif atas angka-angka semacam itu merupakan

karakteristik utama dan niscaya bagi disiplin ilmu akuntansi.

Pada upaya mencari dan mengumpulkan dokumen dan data, termasuk

mengenai mencari tahu siapa pelakunya, bagaimana pelaku melakukannya, kapan

kejahatan itu terjadi, di mana kejadiannya, mengapa kejahatan ini dilakukan oleh si

pelaku tentu akan masuk pada wilayah audit investigatif. Karena itu tracing, vouching,

reperforming, reconciling, interviewing, inquring dan prosedur serta teknik-teknik audit

lainnya yang terdapat dalam domain ilmu auditing merupakan bagian yang niscaya dan

tidak terhindarkan dalam ilmu akuntansi forensik.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

3

Arsitektur akuntansi forensik yang merupakan kolaborasi atas tiga macam ilmu

pengetahuan itu disetujui oleh Lorie (1998, 6) dengan mengatakan bahwa forensic

accounting may be difined as the practice of accounting in connection with

administration of justice. Forensic accounting, like forensic chemistry, might properly

include examination for the purpose of obtaining evidence; however, auditing includes

this subject. The preparation of fiduciaries report for submission to courts, is included in

estate accounting… both written and oral evidence by the accountant.

Pada akhirnya dalam litigasi, baik laporan PKKN, bukti akuntansi maupun bukti

audit investigatif harus terklasifikasikan ke dalam salah satu dari lima macam alat bukti

yang diatur oleh KUHAP. Jadi, dari diskusi sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa

penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dan kejahatan keuangan, keniscayaan

atas elaborasi atas akuntansi forensik merupakan hal yang tidak terbantahkan.

Akuntansi forensik merupakan suatu kolaborasi antara pengetahuan akuntansi,

auditing dan ilmu hukum akan menjadi dasar utama bagi dukungan proses dan

penyelesaian litigasi.

Selanjutnya, fokus studi ini lebih saya tekankan pada bagaimana pencarian

mendalam dilakukan oleh auditor investigatif, penyelidik dan penyidik hingga

terwujudnya suatu potret ―visum akuntansi forensik‖. Bentuk visum akuntansi forensik

dapat saya gambarkan sebagai suatu pertautan antara bukti akuntansi, bukti auditing

dan bukti hukum yang terpecah-pecah dan tersebar (fragmented). Bukti yang

terfragmentasi itu kemudian diikat dalam suatu ikatan yang saling menguatkan antara

satu dengan lainnya. Visum akuntansi forensik inilah yang pada gilirannya akan

menjadi basis pembuktian pada seluruh proses litigasi dalam perkara tindak pidana

korupsi.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

4

Visum akuntansi forensik juga menggambarkan jejaring alat bukti tindak pidana

korupsi berdasarkan teknik, metoda, strategi, dan cara pandang, serta persepsi yang

telah membatin (internalized) pada diri auditor investigatif, penyelidik dan penyidik.

Visum akuntansi forensik sebagai jejaring alat bukti, dapat saya artikan sebagaimana

bangunan alat bukti yang disebut Mautz dan Sharaf2 (1963, 83) sebagai ―rational

argumentation” atau ―rational basis for forming judgement” melalui an extremely

convincing “case” based on a number of established facts and great deal of

rationalization.

Bentuk visum akuntansi forensik akan direpresentasikan dalam suatu jejaring

chart and matrix3 yang di dalamnya berupa alat-alat bukti dan barang bukti. Sebuah

representasi yang dapat memberikan gambaran cermat jelas, dan lengkap (a beyond

reasonable doubt) atas eksistensi tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, visum

akuntansi forensik adalah sebuah uraian komprehensif mengenai unsur-unsur

pelanggaran yang disangkakan yang dipadukan dengan perbuatan hukum si pelaku

disertai dengan dukungan alat bukti dan barang bukti atas pelanggaran tersebut.

Jejaring chart and matrix yang terajut dalam layaknya suatu mozaik4 yang tertata

dalam satu gambar yang indah dan mempesona.

2 Dalam American Accounting Association Monograph No. 6, Mautz and Sharaf (1993,82-83) menyatakan

evidence dapat dikategorikan dalam bentuk natural, created, and rational argumentation. “Natural evidence” exist all around us and it relied upon commonly in every mental activity we perform. Natural evidence is the most convincing evidence available. “Created Evidence” is not naturally existent in the world about us; some effort is required to bring it forth. When scientiest performs an experiment he is creating evidence. “Rational Argumentation”, in legal proceedings, for example, a skilfull of attorney may develop and extremely convincing “case” based on number of established facts and great deal of rationalization 3Chart merupakan uraian mengenai modus operandi perbuatan yang dilanggar si pelaku berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku, sedangkan matrix merupakan hubungan relasional yang berkait erat dengan perbuatan si pelaku yang berupa rangkaian satu fakta dengan fakta lainnya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, serta antara satu dokumen dengan dokumen lainnya sehingga terbentuk suatu gambaran kepastian yang kuat bahwa eksistensi kejahatan korupsi telah terjadi Lilik Mulyadi (2007, 150) 4 Mozaik merupakan potongan-potongan gambar, kemudian dihubungkan kembali sehingga menjadi sebuah gambar yang utuh. Masing-masing bagian gambar berdiri sendiri-sendiri namun tidak tidak lepas hubungannya secara integral dengan bagian-bagian yang lainnya. Hubungan tersebut terjadi berkait erat dan terjalin secara berkelindan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

5

Studi ini bersifat eksploratif beraliran paradigma konstruktivis. Langkah eksploratif

dilakukan dengan melakukan kajian mendalam atas kasus-kasus tindak pidana korupsi

yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van bewijs) ditambah dengan kajian

berupa pandangan, doktrin serta sumber-sumber lain yang berkaitan secara erat

dengan kasus tindak pidana korupsi. Kajian akan saya mulai sejak dari informasi awal

yang dapat menggambarkan dari mana sumber-sumber informasi awal itu diperoleh,

bagaimana formulasi indikasi tindak pidana korupsi diyakini hingga visum akuntansi

forensic dalam tindak pidana korupsi itu dapat terwujud secara pasti dan nyata.

Metodologi yang saya gunakan dalam studi ini adalah grounded theory. Suatu

metodologi penelitian yang ditemukan oleh Glasser dan Strauss. Grounded theory

merupakan suatu cara membangun teori berbasis data empirik dengan bekal theoritical

sensitivity, creativity and imagination. Grounded theory adalah suatu cara membangun

teoritisasi data berbasiskan apa yang diungkap subjek (informan) yang diperkaya

dengan sumber-sumber teoritik. Peneliti secara kontinyu akan memoles temuan-

temuan yang didapatkan hingga menjadi sebuah proposisi (hipotesis teori).

Selanjutnya, berkaitan dengan bangunan dan penciptaan proposisi, pada

dasarnya saat manusia berhadapan dengan kompleksitas realitas kehidupan dapat

dipastikan bahwa manusia itu akan menderita apa yang disebut dengan a bounded

rationality. Untuk mengatasi keterbatasannya itu, manusia kemudian membangun

abstraksi dan gagasan berupa simbol (penanda atau metafor) yang dapat dijadikannya

sebagai bentuk representasi kehendak dan pikiran atas wujud realitas itu sendiri.

Abstraksi atau label tersebut akan mewujud dalam bentuk simbol-simbol berupa

bahasa atau konsep atau proposisi. Oleh karena itu, adanya perbedaan preconception

dengan bagian-bagian lainnya. Bagian-bagian itu, bilamana berdiri secara sendiriantidak mempunyai arti di luar kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Bilamana terjadi konflik atau kontradiksi akan dan harus diselesaikan oleh dan dalam sistem mozaik itu sendiri.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

6

yang dimiliki pada setiap manusia membawa konsekuensi atas simbol yang dibuat

tersebut, dan boleh jadi serta mungkin saja akan memiliki bentuk yang berbeda-beda

serta dimaknai secara berbeda oleh manusia lain.

Jadi, pemaknaan atas realitas sosial senantiasa cenderung berpola variatif.

Keanekaragaman pola membawa konsekuensi pada sudut pandang dan hasil

pemikiran yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila ada manusia

yang sangat antusias pada masalah politik, lalu membuat label zoon politicon. Label

itu mengasumsikan pada stigma bahwa manusia senang pada kekuasaan, suka

mengejar kekuasaan dan cenderung mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya

(Machiavellian). Dari stigma ini kemudian muncul gagasan, ide, konsep maupun teori

yang mengisi cakrawala dalam khasanah ilmu politik dan kekuasaan.

Di samping pada masalah politik, ada juga manusia yang tertarik pada masalah

ekonomi, yang kemudian berusaha untuk mencari dan mewujudkan kesejahteraan

bagi dirinya sendiri dan orang lain, lalu lahirlah label homo economicus. Label ini

mengasumsikan bahwa manusia sebagai hewan ekonomi (economic animal) yang

akan selalu mengejar kepuasan materi belaka. Homo economicus mempunyai ciri

utama yakni di satu sisi dia adalah pemburu tangguh benefit maximizer, dan pada sisi

yang lain ia merupakan sosok reduksionis tulen yang senantiasa berfikir atas

terciptanya cost minimizer. Kesadaran, kreasi, kreativitas dan imajinasinya terpateri

kuat untuk selalu berupaya mewujudkan hasil yang optimal dengan biaya yang

minimal.

Namun, ada juga manusia yang mengarahkan sudut pandangnya pada

bagaimana pola perilaku dan interaksi antar individu serta proses sosial masyarakat

berlangsung. Dari sini muncullah kajian di bidang sosiologi yang menekankan pada

understandings, meanings and sense-nya terhadap sistem sosial serta fenomena

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

7

dalam realitas sosial masyarakat. Bagi yang mengandaikan masyarakat menguasai

individu tentu akan menekankan studinya pada pentingnya sistem sosial, yang pada

akhirnya melahirkan berbagai teori mengenai struktur dan fungsi dalam masyarakat.

Lalu muncullah tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim, Talcott Parsons, Anthony

Giddens, dan lainnya. Namun, bagi mereka yang menekankan studi dan tilikannya

pada manusia dalam masyarakat akan selalu mengedepankan proses konstruksi

individu atas dunia sekitarnya. Pandangan demikian itu kemudian menelorkan karya-

karya besar semisal adikarya hasil kreasi Max Weber, Herbert Mead, Georg Simmel,

Erving Goffman maupun kalangan interaksionis simbolik, fenomenologis,

etnometodologis dan kaum konstruktivis lainnya (Maliki, 2003, viii dan Hidayat, 2004,

19]).

Konfigurasi-konfigurasi berbagai macam titik pandang itulah yang kemudian

memunculkan pembagian garis demarkasi pengetahuan secara tegas namun parsial.

Pembelahan itu kemudian menciptakan blok-blok dan sekat-sekat pada berbagai

cabang ilmu pengetahuan yang mandiri. Kondisi seperti di atas itu juga diungkapkan

oleh Max Scheler yang dikutip oleh Abidin (2006,6) sebagai berikut:

“Tidak ada periode lain dalam pengetahuan manusia, di mana manusia menjadi semakin problematis, seperti pada periode kita ini… kita tidak lagi memiliki gambaran yang jelas dan konsisten tentang manusia. Semakin banyak ilmu-ilmu khusus yang terjun untuk mempelajari manusia, tidak semakin menjernihkan konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya malah semakin membingungkan dan mengaburkan... mereka (para ilmuwan) itu tidak ubahnya seperti seorang seniman yang menyambung-sambungkan antara tangan, kaki, kepala, dan anggota-anggota tubuh secara tidak pas, sehingga hasilnya lebih menyerupai monster ketimbang manusia.”

Karena perbedaan sudut pandang itulah tak pelak lalu terhampar panorama

beragam atas cabang dan ranting ilmu pengetahuan yang menghegemoni pikiran

manusia. Konfigurasi fragmentasi itu kemudian dapat kita lihat pada lahir, muncul dan

berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan seperti: fisika, kimia, biologi, psikologi,

sosiologi, antropologi, astronomi, bahasa dan lainnya termasuk hukum, akuntansi dan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

8

auditing. Fragmentasi itu, secara historis membangun komunitas-komunitas sempalan

atau sekte-sekte sendiri yang mengkonstruksi dan mengabstraksi konsepsi yang

dibatinkan (internalized) dalam kesadaran dan nalar-budinya, yang dalam pemahaman

Marxian disebut sebagai memiliki ―suprastruktur‖ yang berbeda baik dalam perspektif,

pola pikir (paradigm) dan sudut pandang (mindset) yang variatif dan berpuspa ragam.

Kondisi semacam itu juga menjadi bagian dari pemikiran fiosofis Gramcian.

(Wahid, 2005, 18). Antonio Gramci mengungkapkan bahwa dunia gagasan,

kebudayaan, superstruktur, bukan hanya refleksi struktur kelas ekonomi atau

infrastruktur yang bersifat material, melainkan juga sebagai salah satu kekuatan

material itu sendiri. Hubungan yang ideal dan material berlangsung tidak searah,

melainkan saling bergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi dan

sekaligus ideologi. Kemampuan gagasan yang menguasai lapisan kesadaran

masyarakat itulah yang disebut sebagai ―hegemoni‖ (Wahid, 2005, 18). Eksistensi

hegemoni atas kesadaran pada benak dan nalar, menjadikan manusia tidak lagi

menjadi ―agen-aktif‖ melainkan sosok ―agen-pasif‖ yang tidak lagi bebas melakukan

kreativitas baru, ide-ide cemerlang dan gagasan-gagasan menantang. Penguasaan

kesadaran secara hegemonik membawa cara pandang bahwa apa yang telah mereka

miliki merupakan sesuatu yang niscaya benar dan menjadi ideologi yang harus dianut

oleh manusia lain. Klaim-klaim kebenaran akan senantiasa berlandaskan dan

bermuara pada ideologi yang diyakini dan menghegemoni pikiran mereka itu.

Selanjutnya, pada aliran paradigma kritikal (critical paradigm) yang mewarnai

pandangan Gramci merupakan era postpositivist yang memiliki ciri utama yakni

menolak ketidakadilan dan menuntut eksistensi keadilan dan emansipasi

(Udiyaningsih, 2007,1). Teori kritik tradisional yang biasa disebut sebagai teori kritik

strukturalis menuntut perubahan total sosial yang adil yang mengambil inspirasi dari

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

9

ajaran Karl Marx yang dikembangkan secara matang yang bermetamorfosis dalam

wujud gerakan New-left dengan Althusser dan Dahrendorf sebagai tokohnya.

Selanjutnya, Udyaningsih (2007, 2) mengatakan bahwa ajaran New-left

memiliki ciri khas yakni mengendepankan human conciousness. Ajaran inilah yang

kemudian dikembangkan oleh Georg Lucacs, Antonio Gramci dan Theodore Adorno

serta Jurgen Habermas5. Mereka melihat dan meyakini bahwa realitas sosial tidak

diciptakan oleh alam tetapi oleh manusia. Realitas sosial itulah yang berkuasa dan

selalu mengkondisikan dan mencuci otak manusia agar memahami atau

menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Habermas dan

kawan-kawannya itu sangat meyakini bahwa realitas yang nampak bukan realitas itu

sendiri. Apa yang nampak dipermukaan merupakan illusi dan distorsi (nemona di balik

fenomena). Para penganut teori kritis akan senantiasa berusaha untuk membuat

realitas yang ada menjadi seimbang, tidak ada yang dikalahkan, disisihkan dan tidak

ada diskriminasi.

Dalam pandangan paradigma kritis, diyakini bahwa manusia memiliki potensi

besar untuk berkreasi. Namun, karena mereka ditekan dan dibatasi oleh kondisi dan

faktor sosial lainnya serta dieksploitasi untuk meyakini bahwa destinasinya telah benar,

lalu keyakinan terhadap illusi yang dianggap benar tersebut (hegemonik), yang pada

ujungnya menciptakan kesadaran yang tidak benar dan mencegah serta membatasi

manusia dalam merealisasikan potensi dirinya secara penuh dan utuh.

Oleh karena itu, Triyuwono (2000, 56) menyatakan bahwa manakala seseorang

memandang dirinya sebagai ―agen pasif‖ yang tak berdaya untuk menciptakan

dunianya sendiri, dia akan masuk dan terperangkap dalam sistem sosial yang ada,

5 Mereka adalah penganut ajaran Karl Mark. Karl Marx dalam materialisme historisnya, mengungkapkan sebuah

proposisi: “bukan kesadaran yang membentuk keadaan, melainkan keadaanlah yang membentuk kesadaran”. Proposisi ini merupakan buah sintesis dari ajaran dialektika Hegelian, Materialisme Feurbach dan teori evolusinya Charles Darwin. (Dawan Rahardjo, 1992, Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, hal. 5-6)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

10

layaknya kehidupan ikan yang tak tahu kehidupan di darat. Triyuwono melanjutkan

bahwa dengan persepsi manusia adalah ―agen aktif‖ tentu dia akan mampu

mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang ditandai maraknya riset etnografik, historik,

fenomenologik, studi kasus, observasi partisipasi dan termasuk grounded theory guna

mendapatkan penjelasan ilmiah, temporer, kontekstual tentang kehendak manusia dan

realitas sosial secara komprehensif.

Seirama dengan yang diungkap Triyuwono, bagi pandangan Michel Foucault,

yang ditulis kembali oleh Boulatta (2001, 194) mengatakan bahwa ‗pemikiran‘ dapat

mengendalikan realitas, seberapa pun tingkatan penguasaan itu. Pandangan Foucault

ini merupakan sebuah pengakuan terhadap kekuatan pengetahuan yang hegemonik.

Pengakuan atas sebuah sistem pengetahuan yang tumbuh, berakumulasi, dan

berputar dalam masyarakat akan menjadi sebuah wacana kultural yang menyebar,

memberi ciri dan membentuk dunia sosial, institusi, nilai, dan perilaku kepada anggota-

anggotanya. Wacana itu akan terdiri dari pemikiran yang diungkapkan dalam

pembicaraan, pernyataan, teks dan cara-cara komunikasi kebahasaan lainnya, dan

umumnya mereka berpegang dan meyakini bahwa wacana tersebut memuat

―kebenaran‖. Bagi Foucault, di mana pun terdapat wacana (discourse), niscaya di sana

kekuasaan akan diterapkan. Agar wacana mengandung kebenaran, maka wacana

harus mampu melakukan konstruksi makna secara verbal dalam suatu cara yang

dapat diterima oleh orang tertentu dan persepsinya terhadap realitas. Dengan kata

lain, ―makna‖ tidak hanya ditemukan dalam pemikiran yang diungkapkan secara verbal,

tetapi juga direpresentasikan dalam masyarakat yang institusinya termasuk dalam

praktik-praktik sosial dan teknik-teknik institusional.

Oleh karena itu, fragmentasi ilmu pengetahuan yang telah didiskusikan

sebelumnya membawa konsekuensi logis dalam komunitas-komunitas pengikutnya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

11

Misalnya, dalam komunitas akuntansi mengartikan suatu teori, asumsi dan simbol yang

dibangun boleh jadi tidak sesuai dan sebangun (tidak berartikulasi) dengan komunitas

lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep, teori-teori dan asumsi-asumsi pada

komunitas akuntansi bisa jadi dan boleh saja tidak sesuai dengan asas-asas atau

kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu hukum. Hal itu terlihat pada misalnya accrual

basis concept dalam komunitas akuntansi telah digunakan begitu luas dan diyakini

mampu menangkap dan merepresentasikan realitas objektif secara holistik, namun

accrual basis concept itu tidak sesuai dengan pola pikir pada komunitas hukum yang

lebih dapat memahami dan menerima secara penuh cash basis concept. Contohnya

saja, depreciation expenses yang merupakan bagian dari cost allocation serta bad debt

expenses yang merupakan wujud implementasi conservatism concepts yang masing-

masing merupakan hasil analisis, estimasi dan perhitungan (suatu biaya yang tidak

berupa uang tunai) kemudian masuk dalam laporan laba rugi dan menjadi pengurang

laba (accounting income) tentu agak sukar untuk dapat diterima dan dipahami oleh

pola pikir komunitas hukum. Laba dalam pola pikir hukum akan senantiasa

dipersepsikan sebagai laba tunai, dan bukan sebagai konsep laba akuntansi atau

lainnya. Komunitas hukum, akan mengalami kesulitan untuk dapat menerima

terjadinya pengurangan laba tanpa adanya uang tunai yang keluar (cash-out flow).

Demikian juga, konsep materialitas (materiality) yang sangat akrab dan selalu

menjadi pegangan komunitas auditor, di mana konsep itu senantiasa akan mentolerir

(excuse) ―jumlah tertentu‖ atas errors and irregularities yang biasa disebut sebagai

misstatement dan/atau misappropriation, boleh jadi konsep materialitas akan

mengandung ketidaksepahaman dengan komunitas hukum. Dalam soal materialitas

itu, komunitas hukum lebih menekankan materialitas pada hubungan antara nilai bukti

dengan persangkaan atau klaim yang dipersengketakan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

12

Tedapat contoh yang dapat kita lihat secara jelas, yakni kasus aliran dana Bank

Indonesia (BI) ke Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar

Rp.100 Milyar. Kasus aliran dana BI itu, saat audit umum (general audit) atas laporan

keuangan BI, penyimpangan angka Rp.100 miliar itu oleh BPK dinyatakan tidak

material, dan karenanya opini atas laporan keuangan BI menjadi wajar tanpa

pengecualian (unqualified opinion). Namun terhadap kasus aliran dana yang sama,

pada perkara hukumnya (tindak pidana korupsi) ternyata Dewan Gubernur BI seperti

Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin, Roswita

Roza, dan pejabat BI lainnya seperti Rusly Simanjutak dan Oey Hoey Tiong terjaring

dalam jeratan kasus hukum.

Demikian juga dalam mengartikan ―kesalahan‖ (wrongs, errors), komunitas

hukum (aliran legalistis positivis-normatif) pada umumnya mengarahkan makna

kesalahan pada isi, maksud dan semangat yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan

yang termaktub dalam Undang-undang, yakni apakah dalam kesalahan (pidana) itu

terdapat perbuatan yang mengandung unsur-unsur pelanggaran yang sudah

diabstraksikan dalam ketentuan undang-undang? Dengan demikian, titik tekan

kesalahan dalam komunitas hukum bukan pada nilai materialitas atau signifikansi nilai

rupiah kesalahan, melainkan lebih pada unsur perbuatannya yang melanggar hukum

(ketentuan), misalnya bukti notulen rapat boleh jadi akan mengandung nilai signifikan

meski secara nominalitas rupiah atas bukti ini memiliki nilai yang sangat kecil.

Perbedaan sudut pandang dalam komunitas akuntansi, auditing dan hukum

sudah tentu membawa konsekuensi terjadinya celah (gap) yang menganga. Kerumitan

akan hadir saat mana komunitas itu dihadapkan secara langsung pada problema

mengenai bagaimana membangun bukti tindak pidana korupsi. Bilamana tidak

dilakukan pertautan atau integrasian diantara komunitas-komunitas tersebut maka

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

13

komunitas akuntansi yang memiliki tradisi berbeda dengan komunitas hukum tentu

mengalami kerancuan (gagap [?]) dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan

alat bukti dan barang bukti atas tindak pidana korupsi.

Komunitas akuntansi dan auditor akan membangun bukti dari jejak-jejak

terjadinya transaksi keuangan seperti keluar-masuknya uang, kontrak-kontrak yang

dibuat dan ditandangani, dan/atau komitmen-komitmen keuangan yang telah dan akan

ditindaklanjuti. Dengan kata lain, bukti akuntansi lebih bersifat konstruktif. Demikian

juga, komunitas auditing, bukti akan dibangun melalui prosedur dan teknik penelusuran

melalui inspeksi, observasi, konfirmasi, wawancara, vouching, tracing, reconciling,

reperforming dan teknik-teknik audit lainnya (lebih bersifat analitik). Sedangkan pada

komunitas hukum, dalam membangun bukti tindak pidana korupsi akan sarat dengan

sifat legal-formalnya di mana bukti akan dihimpun dan diarahkan terhadap kesesuaian

dan kesepaduannya dengan ketentuan yang ada dalam pasal-pasal yang

terformulasikan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.

Perbedaan terhadap ketiga bangunan bukti itu akan sangat terasa kental

manakala kita melihat pada fakta-fakta empiris atas berbagai kasus penanganan tindak

pidana korupsi. Banyak para koruptor yang dilepas begitu saja dengan dalih kurang

atau lemahnya alat bukti atau tidak terbuktinya perbuatan melawan hukum si pelaku

(koruptor), atau tidak adanya nilai kerugian keuangan Negara (PKKN). Di sinilah letak

permasalahannya, fragmentasi ilmu pengetahuan telah melahirkan pandangan rabun

jauh (myopic) dan sikap chauvisnistic yang menegasikan dan mencoba mengeliminasi

bidang ilmu lain atau tidak sejenis. Mereka lupa, sejatinya ilmu pengetahuan adalah

sebuah bentuk human science, yakni suatu ilmu pengetahuan yang berguna bagi

hidup dan kehidupan manusia, bukan ilmu pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

14

Pandangan sempit seperti itu dapat kita lihat misalnya pada pengetahuan

akuntansi yang lebih tunduk pada tyranny of numbers. Angka-angka menjadi berhala

dan sumber kebenaran. Padahal realitas masyakat tidak mungkin hanya dapat

dideskripsikan, dieksplanasi dan/atau diprediksi melalui angka-angka an sich, hal itu

mengingat luasnya rentang dimensi dan variasi yang berada dalam hidup dan

kehidupan manusia. Karena itu, sudah seharusnya akuntansi juga harus sanggup

menoleh pada ilmu pengetahuan lain dan mengembalikan kegunaan ilmu pengetahuan

bagi manusia dan memberikan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian problema hidup

dan kehidupan manusia yang kompleks ini.

Demikian juga halnya pada ilmu pengetahuan hukum, sudah seharusnya tidak

lagi memiliki sifat normatif, doktrinal, formal, dan legalistik semata. Ilmu hukum harus

memiliki corak responsif dan progresif6 serta berada pada aras hubungan yang berkait

erat antara manusia dengan hukum. Ilmu hukum sebagai human science, seharusnya

dibuat, dirumuskan, diabstraksikan, dipahami dan dijalankan oleh manusia serta dapat

mengayomi dan melayani kepentingan manusia dan terbuka serta menyentuh atas

jejaring sosial kemanusiaan. Karakter responsif akan menggambarkan suatu kapasitas

adaptasi yang bertanggung jawab, selektif dan tidak serampangan. Responsif, adalah

sebuah bentuk bukti yang mampu mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial

bagi integritasnya, sembari tetap memperhatikan eksistensi kekuatan-kekuatan baru

dalam lingkungannya (Nonet, 2007, 91).

Karakter responsif ala Nonet tersebut akan dibangun melalui tekanan-tekanan

sosial sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus peluang bagi koreksi-diri,

mengedepankan pertimbangan tujuan (result-oriented) daripada peraturan (legisme)

6 “Progresif“ berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mengikuti perkembangan

zaman dan sekaligus mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri (Susanto, 2007, 28-29).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

15

belaka. Karakter responsif akan mengandung kekangan erat untuk tidak dikonstruksi

melampaui batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Doktrin tersebut

sering dikenal dengan “ultra-vires doctrine” 7. Karakter progresif akan dikonstruksi

dengan ciri holistik tentu memiliki sifat yang selalu begerak baik secara evolutif

maupun revolusioner. Sebuah sifat pergerakan yang tidak dapat dihilangkan atau

ditiadakan namun sesuatu yang eksis dan prinsipil (Satjipto Rahardjo, 2006, 18).

Dengan demikian, esensi dan substansinya adalah ―pemaknaan‖ yang tak

pernah berhenti, dan senantiasa melakukan upaya pendewasaan sekaligus

pematangan bagi pembebasan serta selalu melakukan searching for the thruth. Bila

perlu, dalam visum akuntansi yang baru tersebut memiliki respons dalam melakukan

pergeseran paradigmatik (shifting paradigm) dan dapat dilakukan ―referendum‖ secara

terus menerus dalam rangka untuk membangun konsep, teori, asas, prinsip, standar,

treatment yang boleh jadi baru yang mengedepankan rasa keadilan, dimensi kegunaan

serta menciptakan ketertiban atas hidup dan kehidupan manusia.

Dengan mencuatnya perbedaan sudut pandang terhadap bukti dalam

penyelesaian kasus korupsi misalnya, ditambah dengan kedekatan akuntansi, auditing

dan hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi tentu merupakan sebuah

kajian menarik dan menantang. Studi mengenai akuntansi forensik yang fokus

utamanya mengarah pada bagaimana proses membangun hingga terbentuknya visum

akuntansi forensik merupakan sebuah studi yang promising and bridging the gap.

7 Dengan diakuinya badan hukum sebagai badan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah dengan para pribadi-pribadi dilandasai oleh berbagai dasar dan filosofi hukum. Akan tetapi eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum. Dengan demikian, eksistensi suatu perseroan terbatas sebagai suatu badan hukum mandiri hanya dapat terlaksana dengan suatu konsesi khusus dari negara. Salah satu cara untuk menjaga agar perseroan tidak menyimpang dari misinya semula, sehingga selalu dapat diawasi adalah dengan membatasi dan mengawasi secara ketat kewenangan-kewenangannya, yang harus ditulis secara tegas dalam anggaran dasarnya. Dalam melaksanakan kewenangannya suatu perseroan tidak diperkenankan ke luar dari kewenangan yang sudah ditulis dalam anggaran dasar tersebut. Dari latar belakang filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin ultra vires (Fuady, 2002, 114-115)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

16

Visum akuntansi forensik ini menjanjikan solusi dan sekaligus dapat menjembatani

kesenjangan yang menjadi kendala utama dalam praktik mencari, menemukan dan

mengumpulkan alat bukti, barang bukti dan pembuktian bagi proses litigasi atas kasus-

kasus tindak pidana korupsi.

Terkait dengan combat to corruption, yang masalah utamanya adalah

bagaimana proses mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, barang bukti

dan pembuktian merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan bagi

berkurangnya tindak pidana korupsi. Namun, banyak auditor yang berlatar pendidikan

akuntansi an sich mengira bahwa bukti dalam auditing sama dengan bukti yang

digunakan di pengadilan. Padahal, terdapat perbedaan karakteristik signifikan antara

bukti audit dengan bukti yang dipergunakan dalam proses litigasi di pengadilan .

Tabel 1-1 COMPARATIVE CLASSIFICATION OF EVIDENCE IN THREE FIELDS

SIGNIFICANT

CHARACTERISTICS

LAW

AUDITING

ACCOUNTING

Special purpose of area to which evidence pertinent

Maintenance of justice

Protection of statement readers

Protection for stockholders, creditors and stakeholders

Subject matter to which evidence is pertinent

Occurences at given times and places

Financial statement propositions

Financial statement propositions

Method of collection or development

Presentation by opposing parties; rational deduction and inference.

Submission by interested and disinterested parties; Collected and developed by independent party; Rationalization

Submission by management; standarized by GAAP or/and IFAC i.e. IAS, IFRS and ICQS.

Role of judgement formation and evidence collection or development

Passive Both positive and passive Both positive and passive

Nature of rules governing the study of evidence

Logical presumptions; Rules of admissibility and relevance

Professional standards Professional standards

Importance of time in judgement formation and evidence collection

A controlling factor A controlling factor

A controlling factor

Compulsiveness of evidence in judgement formation

Persuasive Varies from absolute to persuasive

Absolute

Sumber: Mautz dan Sharaf (1993, 92) dan Tuanakotta, (2007, 225), yang telah saya tambah dan olah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

17

Tabel 1.1. bukti hukum akan senantiasa berkait-erat dengan hal-hal yang

spesifik. Dalam proses litigasi, bukti hukum akan disampaikan kepada hakim untuk

membangun keyakinannya sendiri (hti nurani) dalam memberikan keputusan hukum.

Dengan demikian, dalam perkara pidana, bukti hukumnya itu harus memiliki

kriteria a beyond reasonable doubt. Sedangkan pada sisi lain, bukti akuntansi dan

auditing (dapat dilihat pada tabel 1.1.) Jadi, bukti hukum, bukti audit dan bukti

akuntansi memang berbeda. Perbedaan lebih disebabkan karena memiliki tujuan yang

berbeda. Artinya, bukti hukum akan digunakan untuk meyakinkan (to convince) kepada

hakim dalam mengambil putusan hukum, sedangkan bukti akuntansi digunakan untuk

mengkonstruksi suatu asersi dan bukti audit ditujukan membangun opini atau laporan

yang menghasilkan suatu kepastian bahwa asersi telah sesuai dengan standar yang

telah ditetapkan atau suatu aturan yang niscaya berlaku umum.

1.2. PERMASALAHAN DAN FOKUS PENELITIAN Membangun Arah menuju Visum Akuntansi Forensik

―Kecurangan tidak selalu menyisakan bukti yang cukup laiknya smoking gun‖ kata

Douglas W Squires (2003, 43) dalam ―Problems solved with forensic accounting:

a legal perspectives‖. Kalimat Squires itu menyiratkan bahwa kejahatan keuangan atau

tindak pidana korupsi, boleh jadi tidak banyak menyisakan jejak kejahatannya. Para

penjahat keuangan itu telah membungkus perbuatan jahatnya secara berlapis-lapis

sehingga sulit untuk dilacak dan ditemukan alat bukti dan barang buktinya.

Seirama dengan hal di atas, dalam rangka perang melawan tindak pidana

korupsi tentu kehadiran akuntan forensik atau financial criminalist merupakan

keniscayaan yang tak terpungkiri. Lebih-lebih, seperti pada kondisi dan situasi tekanan

resesi keuangan global seperti yang terjadi saat ini, tentu memunculkan creative

(negative) accounting bahkan financial shananigan berupa cooking the book secara

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

18

gila-gilaan. Munculnya financial shananigan, mungkin saja menjadi bagian dari strategi

culas dari para pengelola, direktur dan manajemen baik perusahaan swasta, BUMN

maupun aparatur Pemerintah untuk melakukan othak-atik-gathuk pada sisi

perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban keuangan. Akibatnya, fraud

and corruption akan mengemuka seiring dengan perilaku jahat tersebut. Manakala

kejahatan keuangan itu eksis, maka pertanyaan besarnya adalah bagaimanakah

auditor, penyelidik dan penyidik melakukan eksplorasi untuk mencari alat bukti dan

barang atas tindak pidana yang mereka lakukan itu? Di samping itu, pertanyaan

strategik berikutnya adalah bagaimana bentuk alat bukti yang mereka temukan itu?

Berbasis pengalaman panjang sebagai auditor (sejak 1990), dapat saya

katakan bahwa keabsahan dan relevansi bukti itu akan sangat tergantung pada

keadaan dan situasi yang berkait-erat dengan pemerolehan atas bukti tersebut. Jika

bukti itu berkaitan dengan audit laporan keuangan maka bukti audit akan lebih banyak

mengandalkan pada bukti yang bersifat mengarahkan (persuasive evidence) daripada

yang bersifat meyakinkan (convincing evidence). Namun untuk audit investigatif, bukti

akan lebih berfokus pada bukti yang dapat meyakinkan dan memastikan eksistensi

fraud, kejahatan keuangan atau tindak pidana korupsi .

Sejalan dengan bukti audit, kritik tajam (self critic) telah dilakukan oleh

Bambang Sudibyo (2001, 3). Sudibyo mengatakan bahwa antara apa yang dimaksud

dengan keterjadian bukti (evidential matter) dengan bukti (evidence) itu mempunyai

makna yang berbeda. Evidence lebih mengarah pada makna hukumnya (form over

substance), sedangkan evidential matter lebih menekankan pada makna substansinya

(substance over form). Dengan demikian, menurut Sudibyo, bukti akuntansi

seharusnya tidak mereduksi pemahaman bukti sebagai substance over form dan

kemudian mengubahnya menjadi form over substance. Reduksi semacam itu

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

19

membawa dipertanyakannya atau diragukannya integritas auditor dalam menerbitkan

opini atas laporan keuangan auditan. Evidential matter harus diperoleh auditor dengan

mendayagunakan basis intelektual dan moral bagi penerbitan opini akuntan. Opini

seharusnya tidak hanya dilandaskan pada evidence semata. Hal itu disebabkan

karena, evidence lebih menekankan pada sisi formal legalnya belaka, sedangkan

evidential matter lebih memiliki dan juga mengedepankan makna sisi subtansinya,

lebih punya isi dan mampu mencerminkan realitas secara komprehensif (a double

mirror image). Karena itu, pereduksian evidential matter menjadi evidence

berkonsekuensi atas kurang dapatnya laporan keuangan auditan mencerminkan dan

berartikulasi dengan realitas objektif (perbandingan antara evidential matter dengan

evidence dapat dilihat pada tabel 1.2).

Tabel 1-2 PERBANDINGAN SIFAT ANTARA EVIDENTIAL MATTER DAN EVIDENCE DALAM BUKTI AUDIT LAPORAN KEUANGAN

No

EVIDENTIAL MATTER

EVIDENCE

1. Ada di dalam benak atau kesadaran intelektual dan mental (hati) auditor

Ada di luar benak auditor

2

Abstrak

Konkrit, empiris

3

Realitas subyektif

Realitas obyektif

4

Realitas substantive

Realitas bentuk

Sumber: Sudibyo (2001, 8)

Tabel 1.2. menjelaskan empat perbedaan utama antara evidential matter

dengan evidence. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tebaran bukti-bukti akuntansi yang

menjadi basis laporan keuangan dan atau asersi lainnya boleh jadi lebih bersifat

evidence belaka, yang mengandung formalitas saja dan tidak mencerminkan evidential

matter yang memiliki kandungan substansi dan keterjadiannya. Bisa jadi, bukti-bukti

tersebut hanya kamuflase dan disebut juga sebagai ―bukti-buktian‖ yang hanya

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

20

memiliki kandungan asal ada bukti, atau hanya sekedar memenuhi syarat formal

semata.

Selanjutnya, berkaitan dengan proses mencari dan membangun alat bukti dan

pembuktian bagi dukungan proses litigasi, ilmu akuntansi forensik ternyata menjadi

rujukan dan keniscayaan yang tidak terhindarkan. Sebagai akibatnya, dengan ilmu

akuntansi forensik menjadi rujukan utama, telah menggugah ketertarikan para

akademisi untuk lebih mendalami dan memperkaya isi pengetahuan ini.

Ketertarikan para akademisi itu tercermin dari salah satunya adalah Mary-Jo

Kranacher et. al (2008) mengajukan a model curriculum for education in fraud and

forensic accounting yang dimuat dalam issues in accounting education. Tulisan Mary

Jo berisi mengenai apa saja yang harus dimasukkan dalam bahan ajar dalam

akuntansi forensik.

Dalam hal pengembangan akuntansi forensik, West Virginia University juga

telah melakukan kerja sama dengan National Institute of Justice yang kemudian

membentuk a planning panel dan technical working group (TWG) yang akhirnya

membuat suatu rekomendasi yang berisi antara lain bahwa isi materi mata kuliah

akuntansi forensik seharusnya meliputi antara lain: (1) criminology, (2) fraud

prevention, detection, investigation and remediation, dan (3) forensik and litigation

advisory service, termasuk di dalamnya adalah materi mengenai valuation of losses

and damage, dispute investigation, conflict resolution serta materi mengenai arbitrase

dan mediasi (mediation).

Jadi, rekomendasi atas materi akuntansi forensik itu tidak lebih adalah sebuah

gabungan lintas ilmu, yakni antara ilmu akuntansi, auditing, appraisal/valuation, hukum,

kriminologi serta psikologi. Yang menarik pada salah satu isi tulisan rekomendasi itu

adalah adanya interrelasi dinamis antara auditing, fraud examination, dan forensic

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

21

accounting. Artinya, dalam pekerjaan auditor, fraud professionals dan akuntan forensik

akan senantiasa memiliki hubungan sinergis dan terjalin secara berkelindan di antara

ketiganya

Sridhar Ramamoorti (2008) memiliki pandangan berbeda dengan Mary-Jo

Kranacher. Ramamoorti mengemukakan bahwa dalam kurikulum fraud and forensic

accounting harus mengandung muatan komponen aspek psikologi dan sosiologi

bahkan antropologi, di mana ketiganya merupakan rumpun Behavioral Sciences.

Ramamoorti meyakini bahwa disiplin-disiplin ilmu tersebut akan menjadi dukungan

kuat dan bekal bagi kerja akuntan forensik. Ramamoorti menjelaskan pentingnya

behavioral science dalam kurikulum akuntansi forensik mengingat kerja akuntan

forensik harus selalu memahami dan sanggup menyibak motif perbuatan jahat si

pelaku. Di samping itu akuntan forensik akan senantiasa berhadapan dengan berbagai

bentuk karakter manusia yang beraneka ragam berikut modus operandi dari kejahatan

keuangan.

Di samping dua yang telah saya sebut terdahulu, Lester and Heitger (2008)

mengharapkan adanya incorporating forensic accounting and litigation advisory service

into the classroom. Demikian juga George E Curtis mengatakan bahwa legal and

regulatory environments and ethics merupakan essential components of a fraud and

forensic accounting curriculum. Jadi, dengan semakin penting peranan akuntansi

forensik dalam membangun alat bukti dan pembuktian dalam litigasi menjadikan para

akademisi tergugah untuk membangun gagasan terhadap pengkayaan bahan ajar dan

kurikulum bagi materi akuntansi forensik. Materi yang komprehensif dalam mata kuliah

akuntansi forensik diharapkan dapat membekali para calon akuntan bahan-bahan

yang cukup sebagai bekal dalam praktek mereka kelak.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

22

Di samping itu terdapat beberapa tulisan mengenai akuntansi forensik. Adalah

seperti Leonard W Vona (2008) yang menulis mengenai fraud risk assessment yang

berfokus pada bagaimana membangun audit program untuk melakukan fraud audit.,

Vona secara cantik dan rinci memberikan kisi-kisi tentang bagaimana seharusnya

menulis sebuah laporan hasil fraud audit yang baik dan benar bagi kebutuhan litigasi di

pengadilan. Menurut Vona, kesalahan penulisan dapat berakibat fatal dalam putusan

akhir proses litigasi. Salah satu ciri tulisan bagi hasil fraud audit adalah tulisan itu harus

sederhana, tidak bertele-tele dan tidak mengandung kalimat yang multi tafsir. Vona

menyarankan agar tulisan lebih mengedepankan pada fakta-fakta dan tidak memuat

opini-opini yang dapat membangun tafsir yang bermacam-macam.

Tidak ketinggalan, Thomas W Golden et.al (2006) yang menulis mengenai

a guide to forensic accounting investigation. Yang menarik Tulisan Golder ini, adalah

uraiannya mengenai teknik-teknik interviu dan data mining dalam computer-aided

forensic accounting investigation techniques. Golden mengingatkan bahwa forensic

technology techniques telah menjadi sebuah keniscayaan dalam banyak kasus

investigasi atas kasus kejahatan keuangan dan tindak pidana korupsi.

Tulisan lain mengenai akuntansi forensik dan fraud investigation dilakukan

seperti Hopwood et.al (2008), Linquist et. al ( 2008), Silverstone dan Sheet (2004 &

2007), Joseph T Wells (2007), Singelton et.al (2006), Tuanakotta (2008, 2009 dan

2010) dan para akademisi lainnya. Tulisan mereka memberi andil besar pada

perkembangan dan pematangan akuntansi forensik. Misalnya saja pada tulisan

Tuanakotta (2008 dan 2009) yang menguraikan dan mencoba mengkaitkan antara

dimensi fraud investigation dengan arah akhir dari tujuan forensic accounting.

Tuanakotta telah mencoba mengkaitkan antara teknik-teknik audit investigatif dengan

wilayah hukum yang berlaku di Indonesia. Tulisan Tuanakotta itu juga telah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

23

mengkaitkan antara perbuatan melawan hukum si pelaku dengan akibat perbuatannya

tersebut, yang kemudian bagaimana cara menghitung perbedaan antara yang

seharusnya dengan yang sebenarnya dalam angka kerugian keuangan negara,

terutama dalam tindak pidana korupsi.

Perkembangan akuntansi forensik itu juga menggugah hati peneliti Malaysia

Ibrahim dan Mazni (2006). Ibrahim dan Mazni melakukan penelitian kepada para

praktisi (direktur dan manajer) pada the big accounting firms, medium accounting firms,

professional bodies and regulatory bodies, senior executives dari Bursa Malaysia,

Securities Commissions, The Association of Chartered Certified Accountants/ACCA)

dan The Malaysian Institute of Certified Public Accountants (MICPA). Hasilnya adalah

bahwa perkembangan akuntansi forensik di Malaysia sangat lamban. Kelambanan

perkembangan akuntansi forensik di Malaysia disebabkan oleh yang pertama adalah

bahwa jasa akuntansi forensik sangat mahal karena hanya bisa dilakukan oleh the big

accounting firms; dan biaya akan menjadi lebih mahal manakala kasus dibawa ke

pengadilan yang menyertakan akuntan forensik sebagai saksi ahli. Kedua adalah di

Malaysia belum adanya regulasi yang mengharuskan mendayagunakan akuntansi

forensik manakala perusahaan-perusahaan masuk dalam kategori distress company.

Penelitian ini telah menunjukkan bahwa peran akuntan dan akuntansi forensik sangat

diperlukan bagi penanganan kasus keuangan dan korupsi.

Seirama dengan uraikan sebelumnya, studi ini akan berangkat melakukan

eksplorasi pada kasus korupsi. Research question yang dibangun adalah bagaimana

proses auditor investigatif, penyelidik dan penyidik dalam mencari, menemukan,

mengumpulkan dan kemudian membangun visum akuntansi forensik sebagai alat

dukung bagi proses litigasi.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

24

Dalam hubungannya dengan alat bukti dan pembuktian, sebuah dakwaan

dapat dinyatakan jelas, cermat dan lengkap manakala telah memenuhi syarat-syarat

mengenai bentuk atau jenis tindak kejahatan yang dilakukan, yakni siapa pelakunya, di

mana dilakukan (locus delicti), kapan dilakukan (tempus delicti), bagaimana

melakukannya (modus operandi), apakah yang mendorongnya (motif atau niat), apa

ketentuan yang dilanggarnya (Chazawi 2006, 44). Hal-hal itu adalah sederetan

pertanyaan yang harus masuk dalam alat bukti yang akan menjadi dasar pembuktian.

Berkait dengan bagaimana proses membangun bukti kejahatan korupsi, khususnya

pada soal bagaimana mencari, menemukan, mengumpulkan dan membangun alat

bukti, studi-studi berikut ini juga menjadi referensi berharga bagi penelitian ini.

Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi, penelitian Daniel (2001)

menyimpulkan bahwa aparat penegak hukum relatif tidak berdaya, atau tidak

mempunyai kekuatan untuk menghadapi jenis tindak pidana korupsi. Hal itu dapat

terjadi karena dua alasan pokok yaitu: (a) kedudukan ekonomi dan politik yang kuat

dari si pelaku, (b) keadaan-keadaan di sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu

sedemikian rupa, sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan.

Kesulitan membangun bukti juga menjadi simpulan studi Soemarto (2004)

bahwa banyak kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti sah khususnya dalam

mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti keterangan saksi dan surat.

Akibatnya adalah seringkali sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan,

penuntut umum sudah menyerah dan menyimpulkan bahwa perkara tersebut kurang

atau tidak cukup bukti. Sedang dalam hal menguak motif korupsi, studi Indrawati

(2001) menemukan bahwa motif-motif tindak pidana korupsi salah satunya adalah

ketidaksiapan mental dan manajemen penerima dana dalam mengelola utang tersebut,

kemudian memicu timbulnya penyimpangan dana KUT.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

25

Di samping uraian terdahulu itu, kita juga dapat menyaksikan bahwa banyak

kasus-kasus korupsi ditangani dengan susah payah dan berbiaya besar kemudian

pada akhirnya dibebaskan oleh Majelis Hakim. Penanganan kasus-kasus tindak pidana

korupsi yang kemudian si pelaku dibebaskan, membangunkan keingintahuan untuk

kemudian tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus-kasus tindak pidana

korupsi.

Dari uraian sebelumnya itu, fokus studi ini akan diarahkan untuk menjawab

pertanyaan penelitian (research question) yang saya formulasikan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah auditor investigatif, penyelidik dan penyidik melakukan proses eksplorasi dan integrasi untuk membangun visum akuntansi forensik pada kasus tindak pidana korupsi korupsi?

2. Bagaimanakah bentuk visum akuntansi forensik pada kasus

tindak pidana korupsi?

1.3. TUJUAN PENELITIAN Bentangan Horison dalam Mencari Panorama Wujud Visum Akuntansi Forensik

Alat Bukti dan barang bukti merupakan cara efektif untuk membuktikan

kebenaran, apakah si terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Namun, dalam mencari

alat bukti dan barang bukti dalam rangka untuk membuktikan suatu kejahatan tindak

pidana korupsi, kita sering menjumpai beberapa kerumitan dan banyaknya kendala

dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti tersebut.

Kerumitan dan kendala dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat

bukti dan barang bukti serta membuktikan eksistensi tindak pidana korupsi, telah

mengarahkan tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan eksplorasi mendalam

terhadap realitas obyektif mengenai bagaimanakah pola auditor investigatif, penyelidik

dan penyidik mencari, menemukan, mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

26

kemudian untuk membangun wujud dan deskripsi atas visum akuntansi forensik

as a support for a litigation.

1.4. KEGUNAAN PENELITIAN Upaya Membangun Monumen Bagi Anak Bangsa

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat antara lain:

(a) Mengetahui proses mencari, menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi

forensik;

(b) Menemukan wujud visum akuntansi forensik, sebagai bahan bagi penentuan

kebijakan dan perencanaan dalam membangun alat bukti dan pembuktian pada

kasus kejahatan keuangan (fraud) atau tindak pidana korupsi.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

27

BBaabb 22 METODOLOGI PENELITIAN

Kegiatan penelitian kualitatif, bila dilihat dari aktivitasnya

mirip dengan gerak kegiatan spionase. Karena peneliti

mencari, memata-matai, meneropong, mengintai untuk

mengambil data mentah dan kemudian menemukan

pengetahuan dari lapangan...

2.1. PENGANTAR Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory

Penelitian Ilmiah adalah proses memecahkan masalah dengan menerapkan

metode ilmiah. Dalam penelitian akuntansi, ada dua poros utama yakni kuantitatif dan

kualitatif. Pada kegiatan penelitian kualitatif, terutama pada aliran kritis dan

posmodern, bila dilihat dari aktivitasnya mirip dengan gerak kegiatan spionase. Karena

peneliti akan selalu mencari, memata-matai, meneropong, mengintai dan kemudian

menemukan pengetahuan dari lapangan (raw data). Meskipun demikian, temuan Ilmu

pengetahuan harus tetap dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah-kaidah ilmiah

agar gejala yang diteliti dan data yang diperoleh benar-benar cermat, andal, dan sahih.

Tuntutan atas keharusan penelitian dalam memenuhi kaidah-kaidah ilmiah

membawa konsekuensi bahwa, proyek penelitian harus memiliki asumsi-asumsi

mengenai apa itu ilmu pengetahuan (ontologi), bagaimana cara kita mengetahuinya

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

28

(epistemologi), apa nilai-nilai yang masuk ke dalamnya (aksiologi), bagaimana kita

menulis mengenai hal itu (retorika), dan bagaimana proses mengkajinya (metodologi).

Kegiatan penelitian kualitatif mirip tindakan subversif, karena dalam penelitian

kualitatif sering kali ilmu pengetahuan yang sudah mapan diprovokasi, digoyang,

digedor, dibongkar dan dipertanyakan kebenarannya. Tindakan provokasi semacam itu

dapat diibaratkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Galileo Galilei pada

ratusan tahun yang lalu, yakni membongkar total keyakinan bahwa matahari

mengelilingi bumi. Galileo membalik paradigma secara revolusioner dan dramatik

terhadap paradigma ―geosentris‖ yakni bumi sebagai pusat pergerakan bintang-

bintang, lalu diubahnya menjadi paradigma ―heliosentris‖, yang berarti matahari

sebagai pusat pergerakan bintang-bintang dan bumi. Suatu perubahan paradigma

yang membalik total paradigma yang telah mapan dan diyakini kebenarannya oleh

semua orang, termasuk keyakinan yang dimiliki gereja. Karena itu, sebagai imbalannya

Galileo Galilei bersama kawan seperjuangannya Copernicus harus membayar dengan

harga yang sangat mahal, mati di tiang gantungan!

Tabel 2-1 PERBANDINGAN METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF

KUALITATIF

KUANTITATIF

Mendasarkan diri pada kekuatan narasi dan deskripsi Mendasarkan diri pada angka dan kalkulasi matematis

Studi dalam situasi alamiah (natural) Mengambil jarak dari situasi alamiah

Kontak langsung di lapangan Menjaga jarak dari yang diteliti

Cara berfikir induktif Cara berfikir deduktif

Perspektif holistik (mengungkap seluruh persoalan) Perspektif reduktif (menyederhanakan persoalan)

Berorientasi pada kasus-kasus unik Berorientasi pada universalitas, generalisasi

Memiliki fleksibilitas desain Desain ditentukan dari awal

Peneliti instrumen kunci Desain penelitian adalah instrumen kunci

Sumber: Widoyoko, et.al (2006, 11-12)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

29

Tabel 2.1. menggambarkan perbedaan metode penelitian kualitatif dan

kuantitatif dalam berbagai sudut dan dimensi. Karena itu penelitian kualitatif itu

memiliki beberapa ciri yang khas. Ciri yang dimiliki penelitian kualitatif antara lain

adalah banyak mendasarkan pada kekuatan narasi. Artinya, untuk mengungkapkan

realitas sosial yang kompleks, peneliti akan senantiasa bertumpu pada kekuatan narasi

yang ditulisnya. Hal mana dilakukan untuk menunjukkan kedalaman persoalan dengan

segenap aspek interpretasi terhadap realitas. Ciri lainnya adalah, penelitian kualitatif

tidak selalu mendasarkan pertanyaan penelitian (research question) dari awal.

Pertanyaan penelitian awal boleh jadi akan berubah setelah data terkumpul atau

setelah peneliti telah dapat memahami dan menyelami fenomena yang diteliti itu.

Karena itu, pertanyaan penelitian dapat saja diganti atau direformulasi dalam

perjalanan penelitian.

Dalam soal pengumpulan data, penelitian kualitatif tidak memanipulasi dan/atau

membuat perlakuan khusus dan mengelompokkan data seperti penelitian kuantitatif.

Data diperlakukan sebagaimana adanya secara alamiah, dan data dikumpulkan

sepanjang proses penelitian. Peneliti secara terus menerus juga melakukan

penambahan dan melakukan pembaharuan data, baik melalui observasi dan/atau

wawancara mendalam, maupun studi pustaka.

Dalam soal analisis, penelitian kualitatif melakukan analisis dengan membuat

sintesis dari data yang telah terkumpul. Sedangkan dalam pengambilan simpulan

akhir, peneliti melakukan pengambilan keputusan secara terus-menerus dalam proses

penelitian sehingga terbuka kemungkinan simpulan berubah manakala ditemukan data

yang baru dan berbeda dengan data awal, yang dapat mengubah simpulan awal.

Bab dua ini akan menguraikan mengenai apa, bagaimana dan mengapa

grounded theory digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini saya lakukan dalam

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

30

perspektif konstruktivis. Strategi penelitian saya letakkan dalam hubungan antara

subjek dengan realitas. Demikian juga halnya, orientasi penemuan bukan pada

proposisi-proposisi yang sistematis sebagai good science melainkan lebih kepada

pemahaman (understandings). Sebuah pemahaman atas makna realitas yang

terhampar dalam realitas penelitian. pembentukan pemahaman lebih pada daya

refleksivitas dan indeksikalitas. Daya refleksivitas akan mengacu pada kemampuan

menemukan dan merefleksikan dunia pengalaman, sedangkan indeksikalitas mengacu

pada kemampuan membahasakan kembali refleksi dunia pengalaman ke dalam

lambang-lambang kebebasan guna memahami pertalian maknanya dengan objek

pemahaman (verstehen8) yang bercorak asosiatif.

2.2. OBYEK DAN SETTING Lahan Eksplorasi Bahan Dasar Bagi Visum Akuntansi Forensik

Obyek studi saya lakukan pada kasus-kasus tindak pidana korupsi yang

relevan dengan agenda penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara

wawancara mendalam (indepth interview) dan kajian kritis atas berbagai dokumen-

dokumen, berkas-berkas yang berkaitan dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, pengkayaan atas penelitian ini saya bangun melalui tambahan informan

dari Kejaksaan, Advokat, auditor BPKP dan BPK, Penyelidik dan Penyidik, Dosen serta

8Verstehen adalah sebuah istilah dalam bahasa Jerman yang memiliki arti dalam bahasa Inggris adalah understanding. Istilah ini dalam bahasa jerman untuk menunjukkan pemahaman dari dalam dengan cara empati, intuisi atau imajinasi sebagai oposisi dari pengetahuan dari luar, dengan cara observasi dan kalkulasi. Istilah ini khususnya digunakan oleh sosiolog Jerman Max Weber dan juga oleh filsuf-filsuf aliran neo-kantian seperti Dilthey dan Rickert. Beberapa ilmuwan menganggap verstehen merupakan karakteristik ilmu-ilmu sosial sebagai lawan dari ilmu-ilmu alam. Ada yang menyebut bahwa verstehen itu diperoleh atau berasal dari metode “hermeneutika”. Hermeneutika adalah sebuah pendekatan untuk memahami pemikiran pengarang dan struktur dasar dari suatu “teks” (Maryaeni, 2005, 33). Sementara itu, hal yang sama juga dinyatakan oleh Jujun Suriasumantri (1999, 144) bahwa Verstehen adalah suatu metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan, yang secara harfiah akan berarti “pengertian”, suatu kontras dengan apa yang disebut wissen yang berarti “mengetahui”. Dalam hal ini tujuan ilmu-ilmu sosial bukan untuk “mengetahui” namun harus “mengerti” terhadap suatu kejadian sosial. Oleh sebab itu metode untuk ilmu pengetahuan sosial hatus berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Sebuah “pengertian” akan didapat dengan jalan menempatkan diri kita (peneliti) pada tempat obyek yang ditelitinya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

31

sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. Wawancara mendalam saya lakukan

sebagai upaya untuk menambah, memperdalam dan memperkaya data yang telah

terkumpul.

2.3. GROUNDED THEORY Metode Penjelajahan Dalam Mencari Visum Akuntansi Forensik

Grounded theory ditemukan oleh dua orang ahli sosiologi yaitu Barney G.

Glasser dan Anselm L. Strauss pada tahun 1960-an. Berbeda dengan para teoritikus

a priori, mereka berdua memegang teguh pandangan bahwa teori-teori harus diasah

dalam data dari lapangan, khususnya dalam tindakan, interaksi dan proses sosial

seseorang (Creswell, 1994, 56).

Meskipun masing-masing berasal dari latar filsafat dan penelitian yang

berbeda, mereka memberi sumbangsih yang sama-sama besar dan sama-sama

pentingnya. Glasser berasal dari Universitas Columbia yang mempunyai tradisi

intelektual kental pada penelitian empiris dalam pengembangan teori. Glasser sangat

terpengaruh pola kerja dan pikiran induktif 9 yang pada awalnya dikembangkan oleh

Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (murid Talcott Parsons). Glasser lalu pindah ke

University of California Medical Center at San Fransisco. Di sini, Glasser bertemu

dengan Anselm L. Strauss yang membawa tradisi intelektual kualitatif versi Chicago

School. Aliran Chicago adalah aliran yang sarat dengan pengaruh pemikiran

interactionist yang dikembangkan oleh Robert E Park, W.I. Thomas, John Dewey, dan

George Herbert Mead, Everest Hughes dan Herbert Blumer. Latar belakang Strauss

9 Penalaran induktif berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan berakhir dengan pernyataan

umum yang merupakan generalisasi (perampatan) dari keadaan khusus tersebut. Berbeda dengan penalaran deduktif, kebenaran premis menjamin kebenaran konklusi yang bersifat perampatan atau generalisasi. Kebenaran konklusi hanya dapat dijamin dengan tingkat keyakinan (confidence level atau coeffecient) tertentu, misalnya 95% atau 99% (Suwardjono, 2005, 35). Sementara itu, Evans (2003, 17) juga menyatakan: “the inductive method attempt to bring order to a disorderly, cahotic world. It attempt to see the overall structure in seemingly unorganized phenomena. It involves reasoning from the specific to the general and has been very useful in the physical sciences.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

32

seperti itu kemudian memberikan sumbangsih yang besar pada pendekatan grounded

theory (Strauss & Corbin, 1990, 25). Hal itu dapat kita lihat pada ungkapannya yang

terdapat dalam pernyataan sebagai berikut:

“The need to get out into the field, if one wants to understand whats to understand what is going on; the importance of theory, grounded in reality, to the development of a discipline; nature of experience and undergoing as continually evolving; the active role of persons in shaping the worlds they live in; an emphasis on change and process, and the variability and complexity of life and; interrelationship among conditions, meanings, and actions.”

Selanjutnya, Strauss & Corbin (1990, 25) mengungkapkan atas perlunya teori

beralas pada data yang bermuara pada interaksi simbolis. Jadi, interaksi simbolis

menjadi landasan utama dalam membangun teori berbasiskan data. Mereka juga

mengatakan hal menarik tentang penelitian grounded theory sebagai berikut:

“When referring to the analytical process, “Like any set of skills, the learning involve hard work, persistence, and some, not always entirely, pleasurable experinces.” To be sure, it is often immensely exciting and enjoyable too. Furthermore, these experience are requisite to discovering how to use and adapt any method―including grounded theory. The use and adaptation will inevitably be a ”composite of situational contexts, and for [developing] biography, astuteness [in doing the work], plus theoritical and social sensitivity. On top of this, to complete any research project, one needs a bit of luck and courage”

Keasyikan metodologi grounded theory pasti muncul pada tahapan analisis

dalam temuan-temuannya. Suasana itu akan terus menjadi bagian dalam diri sang

peneliti, karenanya peneliti grounded theory pada umumnya akan kecanduan untuk

selalu meng-grounded-kan fenomena dengan menyelami kedalaman realitas yang

terhampar dihadapannya. Suasana bahagia itu akan membawanya untuk selalu

tergoda melakukan penelitian-penelitian berdasarkan grounded theory.

Sanafiah Faisal (yang pernah menggunakan grounded theory dalam penelitian

disertasinya) dari Universitas Negeri Malang (UM) mengatakan bahwa:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

33

“Grounded theory sangat ideal untuk diterapkan manakala teori-teori tidak mampu memberikan jawaban yang seragam terhadap fenomena yang ada, atau memberikan jawaban namun dengan hasil yang berbeda-beda. Dengan kata lain, teori yang ada tidak mampu lagi memberikan explanation and prediction atas realitas. Anomali seperti itulah yang menjadi kerisauan Glasser dan Strauss yang kemudian mengembangkan grounded theory, yakni membangun teori berbasiskan data lapangan.”

Sebagai tambahan, kita juga dapat melihat pandangan dari Menteuffel (2006)

yang dikutip Emzir (2008,190) atas metodologi grounded theory itu sebagai berikut:

“Grounded theory methodology is a general method of comparative analysis to discover theory with four central criteria. i.e. work (generality), relevance (understanding), fit (valid), and modiviability (control). Grounded Theory methodology is one of the interpretive methods that share the common philosophy of phenomology.”

Jadi, bagi saya, grounded theory termasuk dalam domain paradigma

konstruktivis. Hal ini saya dasarkan bahwa hasil penelitian dengan menggunakan

grounded hheory akan merupakan ‗konstruksi‘ teoritisasi data yang berupa simpulan

akhir atas hasil analisis dan sintesis data lapangan (raw data) dalam bentuk ‗proposisi‘

yang dapat menggambarkan realitas objektif secara holistik.

Hidayat (2004, 9) mengatakan bahwa dalam paradigma konstruktivis, secara

ontologis akan mempersepsikan realitas sebagai konstruksi sosial yang bersifat relatif

dan berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (relativism).

Hal ini juga berarti bahwa, realitas sosial akan tampil dan hadir sebagai konstruksi

mental serta dipahami secara beragam berdasarkan pengalaman serta konteks lokal

dan spesifik para individu yang bersangkutan (relativist).

Secara epistemologis, terdapat anggapan bahwa pemahaman suatu realitas

sosial atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang

diteliti yang biasa disebut sebagai transactionalist-subjectivist. Artinya, peneliti dan

realitas sosial yang diteliti menyatu sebagai satu entitas. Dengan kata lain, temuan

penelitian merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Hal itu juga

bermakna bahwa, konstruksi mental individu digali dan dibentuk dalam setting alamiah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

34

dan dilakukan secara hermeneutik serta diperbandingkan secara dialektik. Dalam hal

ini, penekanan empati dan interaksi dialektis antara peneliti-responden (informan)

untuk secara bersama akan melakukan rekonstruksi realitas sosial yang diteliti

(reflective-dialectical). Artinya, secara epistemologis, kriteria penelitian akan

mempertanyakan sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik yang dihayati oleh

para pelaku sosial.

Pada sisi aksiologisnya, paradigma konstruktivis menyatakan bahwa nilai, etika

dan pilihan-pilihan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penelitiannya.

Peneliti berperan sebagai passionate participant dan/atau fasilitator yang

menjembatani keragaman subjektivitas para pelaku sosial. Tujuan penelitian adalah

untuk merekonstruksi realitas sosial secara ‗interaktif-dialektis-hermeneutis‘ antara

peneliti dan objek yang diteliti, sebuah interaksi yang bersifat interaktif antara

researcher dengan informannya.

2.4. OPERASIONALISASI GROUNDED THEORY Membangun Pola Sebagai Titik Berangkat Visum Akuntansi Forensik

Studi ini disusun dengan tujuan untuk membangun proposisi dengan

pendekatan teoritisasi data. Teoritisasi data merupakan sebuah cara yang dilakukan

guna membangun teori yang membumi dengan basis sekumpulan data empirik. Arti

dari teori yang membumi (grounded) ini adalah sebuah teori yang diperoleh dari

penelitian induktif yang berkaitan dengan penjelasan fenomena. Karenanya, teori

dalam arti dan bentuk ini ditemukan, disusun dan dibuktikan melalui pengumpulan data

secara sistematis melalui analisis yang berkaitan dengan fenomena. Dengan demikian,

pengumpulan data, analisis, dan teoritisasi data akan saling terkait dan berjalan terjalin

secara berkelindan dalam suatu hubungan timbal-balik. Peneliti tidak memulai

penelitian ini dengan suatu teori tertentu lalu membuktikannya, namun penelitian akan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

35

dimulai pada ketertarikan peneliti atas suatu bidang kajian tertentu dan hal-hal yang

terkait dengan kajian bidang tersebut.

Cara induktif dalam grounded theory dikatakan Strauss & Corbin (2003, 15-23)

sebagai berikut :

“The grounded theory approach is a qualitative research method that uses a systematic set procedures to develop an inductively derived grounded theory about phenomenon. The research findings constitute a theoritical formulation of the reality under investigation, rather than consisting of a set of number, or a group of loosly related themes. Through this methodology, the concept and relationships among them are not only generated but they are also provisionally tested.”

... a grounded theory is one that is inductively derived from study of phenomenon it represents. That is, it is discovered, developed, and provisionally verified through systematic data collection, analysis of data pertaining to that phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory stand in reciprocal relationship with each other. One does not begin with a theory, than prove it. Rather, one begins with an area of study and what is relevant to that area is allowed to emerge.”

Oleh karena itu, hasil penelitian grounded theory akan dapat dinyatakan baik

bilamana teori yang dimunculkan sangat sesuai dengan kenyataan sehari-hari, dalam

bidang yang nyata, dan diatur secara cermat dari beragam data lapangan. Dengan

kata lain, teoritisasi data itu harus relevan dengan bidang nyata (realitas riil). Relevansi

teoritisasi data itu bisa diukur dengan dapat atau tidak dapatnya teori itu dijadikan

sebagai kendali (control) dan perlakuan (treatment) terhadap realitas sosial terhadap

fenomena tersebut.

Jadi, penelitian dengan pendekatan grounded theory mempunyai tujuan untuk

membangun teori yang dapat dipercaya. Peneliti yang bekerja dalam tradisi ini juga

berharap teori-teori mereka pada akhirnya akan berhubungan dengan teori-teori

lainnya di dalam disiplin-disiplin yang mereka perhatikan dalam suatu cara kumulatif,

dan bahwa teori tersebut akan memiliki implikasi yang bermanfaat bagi masyarakat

pada masa mendatang.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

36

Dalam grounded theory teknik dan prosedur sistematisnya memungkinkan

peneliti untuk mengembangkan teori mendasar yang memenuhi kriteria metode ilmu

pengetahuan yang baik yakni adanya kebermaknaan, kebersesuaian antara teori dan

observasi, dapat digeneralisasi, dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian,

serta dapat dibuktikan. Walau prosedur ini dirancang agar proses analisisnya tepat dan

ketat, namun kreativitas merupakan unsur yang sangat penting. Kreativitaslah yang

memungkinkan peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan (how and why) yang

berhubungan dengan data dan melakukan pembandingan antara pandangan yang

baru tentang fenomena dengan rumusan teori yang baru pula.

Pendekatan penelitian dalam tradisi grounded theory merupakan suatu bentuk

penelitian yang berusaha membangun horison cakrawala pemahaman yang lebih

mendasar. Fenomena objek yang diteliti akan dipahami secara holistik. Pemahaman

yang dilakukan mencakup hubungan antar konsep yang membentuk proposisi-

proposisi baru. Peluang membangun ―teori baru‖ itu dilakukan dengan memperjelas

model, postulat dan merangkainya dalam bingkai yang terjalin secara berkelindan

guna menemukan konsep yang baik, hingga muncul teori baru. Penataan konsep, dalil

dan proposisi merupakan upaya untuk melihat seberapa jauh suatu ‗bangunan teori‘ itu

dapat dilihat dengan jelas, sederhana dan memiliki konsistensi dengan data

empiriknya.

Selanjutnya, kualitas penelitian grounded theory, akan banyak ditentukan oleh

langkah-langkah yang baik, benar dan dengan disiplin tinggi. Proses yang benar akan

menjamin ditemukannya teori yang benar. Oleh karena itu, dalam tradisi penelitian ini

harus terdapat koherensi antara input, process dan output. Kualitas suatu teori dapat

diuji berdasarkan proses pembangunan teoritisasi itu sendiri. Sebab itu, grounded

theory menuntut peneliti mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dan benar-benar

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

37

mengerti segala permasalahannya, memiliki kreativitas tinggi serta mempunyai

kehandalan sensitivitas teoritis dan imajinasi komprehensif.

2.5. PENGUMPULAN DATA Mencari Data Terserak Dalam Upaya Visum Akuntansi Forensik

Metoda pengumpulan data merupakan jembatan yang menghubungkan peneliti

dengan realitas dunia sosial yang diteliti. Melalui metodologi yang dipilih, peneliti

mengumpulkan data yang diperlukan guna menjawab pertanyaan penelitian (research

question). Pengumpulan data, saya lakukan melalui wawancara mendalam (indept

interview), dan kemudian melakukan analisis dokumen secara cermat dan

komprehensif. Wawancara dipergunakan untuk mendapatkan tambahan data tentang

apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh subjek (informan).

2.5.1. Wawancara

Menangkap Meanings dan Understanding

Wawancara merupakan percakapan dengan tujuan tertentu. Wawancara dalam

penelitian ini saya lakukan kepada informan pada Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Kejaksaan, advokat dan lainnya yang dapat memperkuat, memperdalam dan

memperkaya penelitian ini. Wawancara-wawancara yang telah saya lakukan kepada

informan (daftar informan dapat dilihat pada tabel 2.4.)

Wawancara yang saya lakukan kepada informan itu, sebenarnya bertujuan

untuk mendapatkan data dan/atau informasi serta berbagai penjelasan yang

berhubungan dengan pengalaman, pemikiran, perilaku, percakapan, perasaan, dan

persepsi yang berkait erat dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Wawancara

saya lakukan untuk memperoleh data tentang suatu aktivitas baik yang telah usai

maupun yang sedang berlangsung.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

38

Tabel 2-2 DAFTAR INFORMAN, ASAL LEMBAGA DAN JABATAN

No. NAMA INFORMAN

ASAL LEMBAGA

JABATAN

1. Erry Ryana Hardjapamekas KPK Wakil Ketua (komisioner KPK)

2. Iswan Elmy KPK Direktur Penyelidikan

3. Bambang Herman KPK Direktur Penyidikan

4. Miftah KPK Staff Penyeldikan

5. Iguh KPK Staff Penyelidikan

6. Icha KPK Staff Administrasi Penyelidikan

7. Budi Handaka Kejaksaan Agung Staff Penyidik

8. Chandra Kejaksaan Agung Staff Penyidik

9. Prima Kejaksaan Agung Staff Penyidik

10 Nurhadi Pujo Kejaksaan Negeri Kepanjen Kasi Pidsus Kajari Kepanjen

11 Endra Thoyyib Kejaksaan Negeri Kepanjen Jaksa Pidus Kajari Kepanjen

12 Mulyani Mulyosudarmo Kejaksaan Tinggi Jatim Mantan Penyidik Tindak Pidana Khusus

13 Khairiansyah Salman BPK Mantan Auditor

15 Soekardi Hoesodo BPKP Mantan Deputy analisis dan Perencanaan BPKP

15 Andik Ma’ruf BPKP Pengendali Teknis Audit Investigatif BPKP Jawa Timur

16. Rasjidi BPKP Tim Quality Assurance BPKP Perwkilan Jawa Timur

17 Thomas Sulistyo Budi BPKP Auditor Investigatif BPKP Perwakilan Jawa Timur

18 Oka Mahendra Polri Reserse Kriminal Mabes Polri Bidang Ekonomi

19 Syarifuddin Pemda Sulteng Bawasda/inspektorat

20 Haris Fajar Kustaryo Law Firm Advokat

21 Fauzi Law Firm Advolkat

22 Tulus Law Firm Advokat

24 Agus Law Firm Advokat

25 Adami Chazawi FH UB Dosen dan BKBH UB

26 Azhar FH UB Dosen dan Mantan Jaksa

27 Ismail Navainto FH UB Dosen Hukum Pidana

28 Theodorus M Tuanakotta FE UI dan Kantor Akuntan Publik

Dosen, Akuntan Publik, penulis buku Audit Investigatif dan akuntansi Forensik serta Perhitungan Kerugian Keuangan Negara

29 Ahmad Erani Yustika FE UB Ekonomi Politik dan Kelembagaan 30 Sanafiah Faisal FE UM Malang Dosen dan ahli Grounded Theory 31 Yunus Husein PPATK Ketua PPATK 32 Bambang Soesatyo DPR Anggota Komisi III - 33 Syamsul Bahri Univ Brawijaya Mantan Ketua LPM UB 34 Yanuar Ryzky ICW Relawan dan Penggiat anti Korupsi (ICW) 35 Lutfi Kurniawan MCW Ketua MCW Malang 36 Soekrisno Agus FE Tarumanegara Professor bidang Auditing 37 Koento Adji Koerniawan Akuntan Publik Partner KAP Koento Adji

2.5.2. Observasi Menelisik Fenomena Untuk Mencari Tempat Sembunyi Visum Akuntansi Forensik

Observasi tidak dapat saya lakukan pada saat berlangsungnya kasus tindak

pidana korupsi itu terjadi (on going). Observasi itu tidak dapat saya lakukan karena

terdapat kendala yuridis, waktu dan biaya. Kendala yuridis karena semua kasus pada

saat on-going tidak boleh diteliti karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi proses

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

39

litigasi. Kendala waktu dan biaya, untuk mengikuti proses awal hingga akhir diperlukan

waktu yang panjang dan biaya yang besar. Untuk waktu boleh jadi proses itu bisa

bertahun-tahun dan akan berakibat pada biaya yang besar pula.

Namun, kendala-kendala itu dapat saya minimalkan dengan melihat hasil BAK

(Berita Acara Konfirmasi/Klarifikasi), BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan) dan

BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang telah dilakukan oleh Auditor Investigatif,

Penyelidik dan Penyidik yang tertuang dalam bendel dan bundel surat dakwaan,

putusan hakim, dan lainnya. Oleh karena itu, saya dapat memperoleh bahan-bahan

penelitian berbasis berkas-berkas kasus tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan

hukum tetap (inkrackt), antara lain adalah, kasus KPU (Nazaruddin Sjamsuddin),

Kasus percetakan buku-buku KPU (Bambang Budiarto), kasus pembelian helikopter

(Puteh) dan Kasus Pengadaan Bus-way (Sidabutar) dan yang paling lengkap adalah

kasus Bahri Mantan Ketua LPM UB tentang perkara sangkaan tindak pidana korupsi

pada proyek PGM Kigumas, seperti Laporan Hasil PKKN, Berkas Dakwaan, Pledoi,

legal opinion, gugatan praperadilan, putusan Pengadilan Negeri Malang, Kontra

memorie kasasi dan lainnya.

Di samping itu, saya juga memperoleh dari BPKP seperti laporan hasil

perhitungan keuangan negara (PKKN) dan audit investigatif. Dari BPK RI, saya

memperoleh bahan seperti beberapa laporan hasil audit investigatif.

Observasi ideal seharusnya saya arahkan pada pengamatan secara langsung

atas segala tindakan dan interaksi sosial yang relevan yang bertujuan serta simbol-

simbol yang muncul pada masing-masing individu (pelaku, saksi, ahli, auditor,

penyelidik, dan penyidik). Namun, dalam studi ini, observasi secara langsung (pada

saat si terdakwa dalam proses didakwa atau disidangkan) tidak mungkin untuk

dilakukan. Oleh karena itu, observasi hanya dapat saya lakukan bukan secara

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

40

langsung, tetapi dari hasil Laporan AI dan PKKN, BAK, BAPK maupun BAP. Kemudian

bahan-bahan penelitian itu saya lakukan kajian mendalam, lalu lakukan penafsiran apa

yang terjadi pada saat, sedang dan akhir proses tersebut. Bilamana terdapat

kekurangjelasan atas beberapa hal yang berkaitan dengan pertanyaan dan jawaban

dalam BAK, BAPK, maupun BAP, saya akan meminta penjelasan pada penyelidik dan

penyidik atau sumber lain yang dapat menjelaskannya.

2.5.3. Sumber Data Meretas Jalan, Membangun Bentuk Visum Akuntansi Forensik

Penetapan sumber data tentu akan berkait dengan research question yang

telah saya tetapkan pada sebelumnya. Dalam penelitian ini, untuk membangun visum

akuntansi forensik, di samping berbasis wawancara, saya juga mengambil data berupa

tulisan-tulisan (artifac) seperti berkas Dakwaan, putusan kasus korupsi, pembelaan

(pledoi) laporan hasil AI dan PKKN, BAK, BAPK, BAP, laporan keuangan tahunan

(annual report), dan data-data lain yang berguna dan dapat memperkaya bagi

penelitian ini.

2.5.4. Analisis Data

Melakukan Refleksi Diri Untuk Membangun Pola Visum AkuntansiForensik

Proses analisis data saya mulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia

dari berbagai sumber yang saya peroleh, yaitu dari berkas-berkas, hasil wawancara,

catatan-catatan, dan rekaman dari lapangan. Setelah saya baca, pelajari, dan telaah,

langkah berikutnya ialah saya lakukan reduksi data dengan jalan melakukan abstraksi.

Abstraksi adalah usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan..

Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah menyusun dalam satuan-

satuan kategorisasi. Tahap akhir dari analisis data itu kemudian saya adakan

pemeriksaan atas keabsahan data. Lalu saya lakukan penafsiran data dan mengolah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

41

hasil sementara menjadi teori substantif. Proses analisis data itu mencakup reduksi

data, kategorisasi data, sintesisasi, dan diakhiri dengan menyusun proposisi

(hipotesis).

Dengan demikian, dalam penelitian ini data yang saya hasilkan kemudian saya

olah dan saya analisis dengan cara: pertama menemukan makna-makna (meanings)

atau konsep-konsep yang terkandung dalam data (konseptualisasi). Hal ini saya

lakukan dengan cara memberi interpretasi terhadap data-data verbal berupa kata-kata

dan atau kalimat-kalimat. Kedua, saya kelompokkan konsep-konsep sejenis atau

berkaitan (kategorisasi). Ketiga, saya mencari hubungan (connection) di antara

berbagai kategori tersebut. Keempat, saya hubungkan antara berbagai kategori itu

dengan uraian dan penjelasan yang diperlukan. Penjelasan saya lakukan dengan

menggunakan perspektif pemikiran teroritis para sarjana akuntansi, auditing dan

hukum. Kelima, saya lakukan refleksi diri (self-reflection) untuk menemukan sebuah

proposisi.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

42

BBaabb 33 VISUM AKUNTANSI FORENSIK AI DAN PKKN

I may never find all the answers

I may never understand why

I may never prove

What I know to be true,

But I know that I still have to try….

(Audifax)

3.1. PENGANTAR Perjalanan Awal Mencari Visum Akuntansi

Eksplorasi data dan fakta untuk membangun visum akuntansi forensik, yang

dalam budaya BPKP dan BPK sering disebut sebagai ―AI‖10 dan ―PKKN‖11 merupakan

suatu kegiatan paling awal dalam pembentukan bangunan visum akuntansi forensik.

Aktivitas audit investigatif dilakukan sejak munculnya Aduan, Keluhan dan Petunjuk

(AKP). Meskipun, hasil audit investigatif ini masih berupa suatu ‗dugaan‘ atau

berbentuk ‗indikasi-indikasi‘ tetapi dugaan yang memiliki dukungan alat bukti dan

barang bukti. Meskipun demikian, dugaan itu (dalam konstruksi hukum Indonesia)

belum berkualifikasi hukum sehingga masih memerlukan upaya pendalaman dan

pengembangan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Pendalaman dan

10

AI merupakan singkatan dari Audit Investigatif. Pelaksanaan audit investigatif lebih disebabkan data, fakta dan keterangan yang dimiliki Penyelidik atau penyidik pada perkara dugaan tindak pidana korupsi masih mentah. AI bisa juga dilakukan berdasarkan tindak lanjut dari temuan dari hasil general audit atau compliance audit. 11

“PKKN” merupakan singkatan dari Penghitungan Kerugian Keuangan Negara. PKKN juga merupakan jenis audit investigative yang dilakukan auditor manakala data, fakta dan keterangan yang diperoleh penyidik atau penyelidik sudah “masak pohon”. Jadi auditor investigative tinggal menghitung berapa kerugian keuangan negaranya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

43

pengembangan itu bertujuan agar alat bukti dan barang bukti yang berupa fakta dan

data ini dapat menjadi suatu alat bukti yang berkriteria hukum dan layak serta

dibutuhkan dalam sidang di Pengadilan.

Pemilahan barang bukti, informasi, pengakuan, keterangan, data dan fakta dari

hasil audit investigatif, dapat kita belah ke dalam dua ranah, yakni ranah hukum dan

ranah akuntansi (auditing). Dalam ranah hukum, barang bukti, fakta, data dan

informasi dapat dikelompokkan dalam lima macam, yakni jenis alat bukti keterangan

saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (KUHAP pasal 184).

Sedangkan dalam ranah akuntansi, bukti dapat kita kelompokkan dalam dua kategori,

underlying financial evidence dan corroborating financial evidence (Konrath, 2001,

114), artinya bukti audit dalam underlying financial evidence itu akan berbentuk bukti

konstruksian seperti jurnal, buku besar, dan neraca saldo. Sedangkan corroborating

financial evidence itu akan berupa bukti penguat yang berupa faktur, dokumen dan

bukti penguat lainnya.

Karena pentingnya alat bukti untuk keperluan litigasi di muka pengadilan, maka

pada pembahasan dalam bab III ini dan bab-bab berikutnya, saya sengaja

mengklasifikasikan barang bukti, fakta, data, informasi, keterangan tersebut dalam

ranah hukum. Klassifikasi itu dimaksudkan agar kajian dan pembahasan menjadi lebih

relevan dengan tujuan dari penelitian ini, yakni eksplorasi bukti akuntansi, bukti audit

dan bukti hukum menuju visum akuntansi forensik yang merupakan bukti yang

menyertai dan mendukung seluruh proses pembuktian di pengadilan

Perkara tindak pidana korupsi, meskipun wujudnya adalah peristiwa hukum

namun peristiwa itu senantiasa berkait erat dan terjalin secara berkelindan dengan

angka-angka keuangan. Bukan perkara tindak pidana korupsi kalau tidak bertaut

dengan angka keuangan dan akuntansi. Visum akuntansi forensik ini memiliki arti

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

44

penting atas penyelesaian kasus-kasus korupsi. Arti penting visum akuntansi forensik

juga diungkapkan oleh informan Kustaryo yang berprofesi sebagai advokat yang

menangani kasus Bahri sebagai berikut:

“Bilamana unsur kerugian keuangan negara telah dapat dihitung secara benar, maka untuk menemukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum akan sangat mudah untuk diungkapkan. Karena dalam realitas penyelenggaraan Negara kita, akan sangat mudah menemukan berbagai penyimpangan prosedural yang dilakukan para aparat penyelenggara Negara,. Namun apakah penyimpangan itu merugikan keuangan Negara atau tidak? itu bukan pekerjaan yang mudah…

Ungkapan Kustaryo di atas dapat diartikan bahwa dalam kasus-kasus

penanganan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum akan lebih mudah mencari,

menemukan dan mengumpulkan alat bukti, barang bukti, fakta, data, informasi dan

keterangan lainnya. Eksistensi angka kerugian keuangan/kekayaan Negara, akan

memudahkan dalam mencari siapa yang diuntungkan dan bagaimana soal

penyalahgunaan wewenang itu terjadi, serta prosedur apa yang dilanggar.

Selanjutnya, penelitian ini diarahkan untuk melakukan kajian secara mendalam

mengenai alat bukti, barang bukti, fakta, data, keterangan dan informasi yang pada

ujungnya akan mengkonstruksi visum akuntansi forensik. Kajian saya fokuskan pada

perkara dugaan tindak pidana korupsi yang pernah disangkakan Jaksa Penuntut

kepada mantan Ketua LPM UB. Perkara Bahri itu lalu saya perkaya dengan kasus-

kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dan kasus-kasus tindak pidana korupsi lainnya yang relevan, baik yang

kasusnya baru berupa AKP (Aduan, Keluhan, Petunjuk) maupun yang telah dilakukan

audit investigatif, maupun yang telah berkekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu mulai bab ini dan bab-bab berikutnya, ilustrasi Dakwaan Jaksa

Penuntut Umum pada Bahri akan saya gunakan sebagai dasar utama uraian (plotting)

mengenai pencarian, penemuan dan bentuk visum akuntansi forensik untuk diikuti

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

45

pola-pola dan penguatan buktinya pada setiap level dan tahapannya. Hal ini sengaja

saya lakukan, karena dalam penelitian saya ini, data yang paling lengkap dan dapat

diikuti pada alur, fase, data, fakta, keterangan dan informasi dan informannya terdapat

pada kasus Bahri. Namun, kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi lain yang dapat

memperkuat dan/atau setara dan/atau berbeda, baik kontek maupun substansinya,

saya uraikan juga dalam rangka untuk pengkayaan bagi penelitian ini serta untuk

membangun visum akuntansi forensik as a support for a litigation. Langkah yang saya

uraikan itu juga dalam rangka untuk memenuhi persyaratan metodologis yang diminta

dalam penelitian grounded theory.

Bab tiga ini juga akan menjelaskan mengenai konstruksi visum akuntansi level

audit investigatif. Bab ini akan menekankan pada bagaimana auditor investigatif

merangkai dan membangun alat bukti, barang bukti dan pembuktian bukti pada kasus

tindak pidana korupsi

Dakwaan yang tercantum dalam kotak 3.1. merupakan titik kulminasi keyakinan

bagi Jaksa penuntut umum (JPU) untuk membawa Bahri ke sidang di pengadilan.

Berkas Dakwaan akan berisi visum akuntansi forensik yang merupakan representasi

jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W berupa temuan alat-alat bukti,

barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan yang telah dirangkai dan diikat

dalam chart and matrix. Suatu keyakinan yang memiliki tiga kriteria utama yakni

cermat, jelas dan lengkap atau a beyond reasonable doubt.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

46

Kotak 3.1.

KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG

KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS.

Kejaksaan Negeri Kepanjen ―Untuk Keadilan‖

Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: -

Uraian singkat perkara: Bahwa Tersangka Prof. Dr. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor : 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PG. KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar.

Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp.645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara DRS. H.ACHMAD SANTOSO No. 525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H.M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan addendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003.

Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Propinsi Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp. 645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp. 489.334.493,- (empat ratus delapan puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.

Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007

3.2. PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF Membangun Visum Berbekal Aduan, Keluhan dan Petunjuk

Audit Investigatif (AI) merupakan kegiatan yang dilakukan auditor investigatif

untuk mencari dan menemukan cukup tidaknya konstruksi visum akuntansi forensik

yang berupa alat-alat bukti atas dugaan eksistensi tindak pidana korupsi atau

kejahatan keuangan lainnya. Pelaksanaan audit investigatif bisa jadi merupakan tindak

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

47

lanjut dari AKP (Aduan, Keluhan, Petunjuk), temuan dan rekomendasi hasil audit

umum (general audit), temuan dan rekomendasi hasil audit ketaatan (compliance

audit), dan juga bisa dilakukan atas permintaan penyidik dan/atau perintah pengadilan.

Selanjutnya, suatu temuan audit, baik general audit maupun compliance audit,

dapat ditindak lanjuti dan kemudian dikembangkan serta didalami dengan audit

investigatif yang pada gilirannya diharapkan dapat menemukan visum akuntansi

forensik. Secara jelas pada Buku Pedoman Penugasan Bidang Investigatif (PPBI)

pada instansi BPKP (2009, hal 18), memberikan arahan dalam melakukan audit

investigatif secara jelas sebagai berikut:

“Hasil audit yang dapat dikembangkan menjadi penugasan bidang investigasi adalah yang memuat temuan berindikasi dapat menimbulkan kerugian Negara, dan/atau menghambat pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan, dan/atau menimbulkan kekurangan penerimaan Negara…

Hasil telaah atas Laporan Hasil Audit yang memenuhi kriteria sebagaimana

yang dimaksud di atas... dipaparkan/ekspose secara internal dengan menghadirkan Kepala Bidang Teknis/Pejabat Eselon III terkait serta Tim Audit yang bersangkutan dan pejabat fungsional auditor lainnya…

Tujuan ekspose internal adalah untuk meyakini layak tidaknya penyimpangan

yang diinformasikan dalam Laporan Hasil Audit untuk dapat dikembangkan atau ditindaklanjuti dengan penugasan bidang investigasi..”

Dengan demikian, hasil ekspose internal akan menentukan tindak lanjut,

pengembangan dan pendalaman atas AKP tersebut. Ekspose juga akan

menyimpulkan ada atau tidak indikasi kecukupan bahan bukti tindak pidana korupsi.

Hasil ekspose itu juga akan digunakan dasar untuk menentukan siapa tim auditornya,

bagaimana hypothetical construction of crime yang akan diuji coba buktikan, apa

program auditnya, teknik audit, metodologi audit yang dianggap sesuai dengan

keadaan, berapa anggaran biaya audit, berapa sumber daya pendukung dan lainnya

yang cocok dengan peristiwa hukum tersebut.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

48

Dalam telaah dan/atau evaluasi atas sebuah kasus, Andik Ma‘ruf, Informan

BPKP Perwakilan Jawa Timur yang sedang menjabat sebagai Anggota Tim

Pengendali Audit Investigatif menyatakan bahwa:

“Dalam hal melakukan evaluasi dan analisis terhadap bukti-bukti yang diperoleh atau untuk memastikan kecukupan bukti-bukti, dapat dilakukan klarifikasi atau konfirmasi secara langsung kepada pihak-pihak yang diduga/bertanggung jawab atau kepada pihak-pihak lain yang relevan. Hasil klarifikasi tersebut akan dituangkan dalam Berita Acara Klarifikasi (BAK)”

Evaluasi terhadap bukti-bukti yang diperoleh, dan dalam rangka pengujian,

analisis dan sintesis hypothetical construction of crime akan mengidentifikasi antara

lain jenis penyimpangannya, fakta dan proses keterjadiannya, kriteria apa yang

seharusnya dipatuhi, penyebab dan dampak apa yang ditimbulkan serta pihak-pihak

mana saja yang patut diduga terkait/terlibat dan/atau bertanggungjawab atas

kejadian/peristiwa hukum tersebut. Kualitas penugasan audit investigatif di BPKP akan

dilakukan melalui review berjenjang, review meeting, dan pembahasan internal agar

tercipta sebuah jaminan mutu, kecepatan dan percepatan proses audit serta untuk

mencari jalan keluar (bila ada) atas permasalahan-permasalahan yang timbul dan yang

mungkin akan timbul selama penugasan audit investigatif berlangsung.

Sejalan dengan apa yang dimaksud dengan audit investigatif, Rasjidi informan

yang menjabat sebagai audit quality assurance pada BPKP perwakilan Jawa Timur

menyatakan bahwa pada dasarnya, audit investigatif itu adalah suatu cara untuk

mencari, menemukan dan memastikan jawaban atas siapa melakukan apa, dan

buktinya apa. Kalimat Rasjidi itu dapat saya terjemahkan bahwa audit investigatif

adalah sebuah aktivitas audit yang akan senantiasa berupaya mencari dan

menemukan alat bukti berupa jawaban atas hypothetical construction of crime

terhadap kejahatan di bidang keuangan.

Oleh karena itu, audit investigatif akan senantiasa mengarahkan aktivitasnya

pada upaya untuk mencari dan menemukan bukti atas: ―siapa pelakunya‖ dan ―apa

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

49

niat‖ yang mendasari perbuatan yang dilakukannya itu. Sebuah upaya yang

mengarahkan aktivitasnya pada upaya mencari bukti dan/atau alat bukti berupa

jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime berupa: how much, how, what,

why, who, when, where atas suatu peristiwa hukum.

Untuk mengejar 2H+5W harus disimpulkan adanya predication. Khairiansyah

Salman, informan yang mantan auditor BPK-RI dan pernah melakukan praktik

surveilance and covert operation secara sukses dalam gaya western detective kepada

Mulyana Wira Kusuma – KPU Pusat) mengatakan sebagai berikut:

“Predication atau predikasi itu adalah suatu keseluruhan kondisi yang mengarahkan atau menunjukkan adanya keyakinan kuat yang didasari oleh professionalisme dan sikap kehati-hatian yang telah terlatih lama dalam memahami kejahatan korupsi. Predikasi adalah kristalisasi pengetahuan dan pengalaman tentang pemahaman tipologi tindak pidana korupsi yang telah sering ditanganinya...”

Jadi, predikasi (predication) merupakan sebuah pemahaman naluriah (intuitif)

yang dimiliki seorang investigator bahwa tindak korupsi telah terjadi, sedang terjadi

dan/atau akan terjadi. Dengan demikian, predication bukan sebuah formula baku,

namun lebih berupa professional feeling yang dimiliki oleh seseorang yang lama

berkecimpung dalam bidang yang digelutinya.

Bagan alur pada kotak 3.2. dapat memberikan arah dan/atau petunjuk yang

lebih pasti kepada auditor investigatif tentang bagaimana predication dibangun, yang

kemudian dapat dijadikan pedoman bagi pengambilan keputusan terhadap dapat atau

tidak dapatnya dilakukan audit investigatif. Simpulan predication, dapat membimbing

auditor investigatif untuk dapat mencari bukti dan alat bukti dan menjawab hypothetical

construction of crime.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

50

Kotak 3.2.

BAGAN ALUR PENGUJIAN PREDICATION

Sumber: Tuanakotta, (2007, 220)

Selanjutnya, di Indonesia, pengaduan-pengaduan masyarakat dan LSM atau

siapapun yang bermaksud mengadukan tindak pidana korupsi sangat terbuka. Karena

itu kadang kita jumpai adanya laporan yang masih sumir dan tidak mengindikasikan

eksistensi tindak pidana korupsi secara meyakinkan. Pengaduan yang tidak

meyakinkan dan asal-asalan itu diungkapkan oleh Kustaryo sebagai berikut:

“Saya pernah berdebat sengit dan marah dengan aktivis LSM yang mengadukan dugaan tindak pidana korupsi. Mereka telah membuat laporan yang tidak memiliki dasar pijakan yang kuat. Laporan mereka sumir dan hanya bersifat analisis dan menduga-duga belaka. Padahal, konsekuensi berat bagi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi akan diikuti dengan stigma-stigma buruk. Mestinya, mereka seharusnya lebih fair dan mencoba

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

51

lebih memahami kasus tersebut secara lebih mendalam dan komprehensif dan tidak asal-asalan”

Pengaduan yang tidak akurat itu kemudian saya tanyakan kepada Lutfi

Kurniawan mengenai bagaimana dan tata cara MCW (Malang Corruption Watch)

dalam melakukan watching terhadap tindak pidana korupsi. Kurniawan menjawab

sebagai berikut:

“Kami ini khan bukan aparat penyelidik atau penyidik. Kami khan juga bukan polisi atau jaksa. Kami hanya mampu membuat laporan atas indikasi adanya korupsi, umumnya berdasarkan analisis atau sumber-sumber yang layak kami percaya. Untuk masalah bukti-bukti korupsi, itu tugas mereka sebagai aparat penegak hukum. Akses kami ke kedalaman persoalan substansial juga terbatas. Kami mengadukan berdasarkan hasil rapat internal yang kami selenggarkan dengan mengundang pakar-pakar lintas ilmu. Hasil keputusan rapat itulah yang kami gunakan dasar sebagai pengaduan ke aparat penegak hukum”

Dengan demikian, sangat wajar bilamana laporan pengaduan masyarakat

boleh jadi masih banyak mengandung kelemahan dan kemudian tidak dapat

ditindaklanjuti dan/atau dihentikan oleh aparat penegak hukum karena kurangnya bukti

yang kuat atas indikasi korupsi.

Selanjutnya, manakala hypothetical construction of crime tersebut dapat

dijawab dan ditemukan alat-alat buktinya, maka akan dapat dibuat simpulan mengenai

adanya indikasi atau dugaan tindak pidana korupsi. Suatu dugaan atau indikasi yang

tidak hanya sekedar menduga-duga belaka atau mengira-ngira an sich, namun suatu

dugaan atau indikasi yang telah memiliki basis alat bukti, barang bukti, fakta dan data

yang memiliki kualifikasi relevan, kompeten, cukup dan material (rekocuma) dan

memiliki kesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti, kesaksian, fakta serta

data yang kemudian dirangkum dalam sebuah ikatan chart and matrix yang kemudian

saya sebut sebagai visum akuntansi forensik level audit investigatif‘.

Rasjidi Informan yang merupakan staff ahli BPKP bidang pengendalian kualitas

audit Investigatif menambahkan bahwa:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

52

―Dalam Audit investigatif auditor juga harus mencari bukti yang relevan, kompeten, cukup, dan material. Di samping itu, auditor harus menemukan modus operandi yang merupakan bagian penting dalam audit investigatif.

Relevan akan berarti auditor harus dapat mencari persesuain antara bukti

dengan perbuatan dan kasus yang diaudit, kompeten akan mengarah pada apakah

bukti yang digunakan itu memiliki kompetensi dalam mengungkap dan membuktikan

fakta-fakta terhadap kasus yang ada. Kecukupan bukti sangat tergantung pada

professional judgment yang dimiliki auditor. Sedangkan Materialitas akan bermuara

pada seberapa banyak bukti yang dapat mendukung simpulan audit investigatif yang

dilakukan tersebut. Kemudian, modus operandi akan menjadi jawaban atas mengapa

si pelaku melakukan perbuatan jahat tersebut, apakah bermotif ekonomi, tujuan

kekuasaan, atau mengarah pada motif lainnya. Motif akan memegang peran penting

dalam justifikasi dan rasionalisasi perbuatan si pelaku pada saat di sidang pengadilan.

Demikian juga halnya, pada kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK,

kajian atas informasi awal lazimnya akan dilakukan hingga mendapatkan simpulan

atas adanya ‗predication‟ yang kemudian dapat menghadirkan indikasi tindak pidana

korupsi. Miftah dan Iguh – auditor KPK menyatakan sebagai berikut:

“Pada kasus Nazaruddin Sjamsuddin Ketua KPU Pusat misalnya, kasus ini berawal dari laporan LSM dan kemudian ditindaklanjuti dengan compliance audit yang dilakukan BPK atas dana pemilu. Dengan audit itu, lalu ditemukan beberapa hal yang tidak comply, audit kemudian ditindak lanjuti dengan audit investigatif. Dari hasil audit investigatif itu ditemukan penyimpangan yang mengarah pada indikasi adanya tindak pidana korupsi…

Temuan-temuan BPK atas indikasi tindak pidana korupsi menjadi lebih meyakinkan lagi, saat Mulyana Wira Kusuma tertangkap tangan, sewaktu menyuap auditor BPK – Khariansyah Salman - di Hotel Ibis Jakarta… Setelah penangkapan itu, berdasarkan hasil interogasi kepada Mulyana memberi arah yang jelas dan mempermudah tugas KPK untuk mencari, mengumpulkan dan menemukan alat bukti dan bukti tindak pidana korupsi serta menemukan aktor-aktor yang terlibat dan motif yang menyelimutinya”.

Karena itu, dalam pengejaran alat bukti dan barang bukti, yang perlu kita sadari

adalah bahwa sifat tindak pidana korupsi akan selalu tersembunyi, berjamaah,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

53

mengandung tipuan dan dibungkus secara rapi. Karena itu, adagium ―tarik ekornya,

tentu akan kau dapatkan kepalanya”, artinya para auditor investigatif, penyelidik dan

penyidik harus selalu mencari titik terlemah dari serangkaian mata rantai yang telah

terindikasi tindak pidana korupsinya. Karena itu, audit investigatif yang bertujuan utama

mencari dan menemukan alat bukti, barang bukti, fakta dan data senantiasa mencari

celah dan peluang atas rantai terlemah yang bisa dibidik untuk mengeksplorasi temuan

(alat bukti) secara maksimal. Hal mana juga sesuai dengan maxim yang mengatakan

bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, setiap kajahatan pasti meninggalkan jejak.

Pada kasus dugaan tindak pidana pada KPU Pusat periode Nazaruddin

Sjamsuddin, dengan penangkapan atas Mulyana Wira Kusuma menjadi bekal utama

bagi penyidik, namun laporan hasil audit investigatif tetap menjadi bekal penting bagi

bangunan alat bukti dan pembuktian di pengadilan Tipikor.

Ajaran atas apa yang dimaksud dengan bukti awal dalam ranah hukum dapat

memiliki pengertian seperti yang diungkapkan oleh Prodjohamidjojo (1982, 35) sebagai

berikut:

“Bukti permulaan (prime facie evident) berarti adanya sedikit bukti untuk menduga ada tindak pidana, misalnya, pada seseorang yang kedapatan benda/barang curian, maka petugas penyidik dapat menduga keras bahwa seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian ataupun penadahan.”

Dengan demikian, bukti awal dalam perspektif hukum adalah bukti yang sudah

dapat menggambarkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Namun bukti awal

tersebut masih akan memerlukan upaya tambahan dan pendalaman, yakni upaya

penyelidikan untuk lebih menambah kekuatan alat bukti tersebut.

Berkaitan dengan bukti awal, Andy Hamzah (1982) yang dikutip kembali oleh

Rukmini (2003, 124-125) membedakan antara ―diduga telah terjadi tindak pidana‖

dengan ―diduga melakukan tindak pidana‖. Hamzah memberikan ilustrasi dalam bentuk

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

54

ceritera yang dapat dijadikan ―inspirasi‖ dalam mengartikan apa yang disebut dengan

―dugaan awal‖ atas terjadinya tindak pidana.

Pada suatu hari di suatu desa terjadi kecurian sepeda. Sebetulnya di desa itu tidak pernah terjadi demikian. Pada hari terjadinya pencurian itu lewat lah seorang gelandangan, yang sebelumnya telah diketahui melakukan pencurian. Maka gelandangan tersebut “patut diduga” telah melakukan pencurian sepeda itu. Selanjutnya, jika dalam ceritera itu dilengkapi dengan fakta-fakta atau kejadian-kejadian, bahwa gelandangan tersebut masuk desa itu dengan jalan kaki, sedangkan sewaktu meninggalkan desa ia naik sepeda, maka di sini “sangat diduga” dialah (gelandangan itu) yang melakukan pencurian...

Lebih-lebih, manakala dalam kejadian tindak pidana tersebut sudah ada

laporan saksi korban yang kecurian, atau saksi lain yang melihat tersangka masuk

rumah korban dan seterusnya. Dengan bukti permulaan tersebut akan timbul suatu

―dugaan keras‖ bahwa tersangkalah pelaku tindak pidana (delict) tersebut.

Tabel 3-1 INDIKASI AWAL ATAS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP NAZARUDDIN, ABDULLAH PUTEH, RUSTAM EFENDI, BAMBANG BUDIARTO

PIHAK-PIHAK YANG TERSANGKUT

PERKARA

INDIKASI AWAL (AKP)

PERKARA

Nazaruddin Sjamsuddin

Berasal dari laporan LSM mengenai adanya dugaan penyimpangan pengadaan logistik dan laporan hasil audit kinerja BPK yang dilanjutkan dengan audit investigatif

Penerimaan discount Asuransi atas premi asuransi aparat KPU/KPUD/KPPS yang tidak dimasukkan ke kas negara

Abdullah Puteh

Berasal dari laporan hasil audit kinerja BPK dan dilanjutkan dengan audit investigatif

Pembelian helikopter dengan menyalahgunakan bantuan dana alokasi khusus dari pusat

Rustam Efendi Sidabutar

Berasal dari laporan hasil audit kinerja BPK dan dilanjutkan dengan audit investigatif

Pengadaan bus-way Trans-Jakarta yang melampaui batas plafond (penyalahgunaan anggaran)

Bambang Budiarto

Berasal dari laporan LSM dan laporan hasil audit kinerja BPK, audit investigatif yang merupakan pengembangan dari tertangkapnya Mulyana Wira Kusuma

Pengadaan Buku-buku di KPU

Sumber: Putusan MA (Nazaruddin), Putusan PT (Puteh), Putusan PN (Rustam,) dan Surat Dakwaan (Bambang)

Tidak jauh berbeda dengan hal yang diuraikan dalam dialog sebelumnya,

bahwa pada masalah bukti awal, beberapa kasus yang saya peroleh dari KPK, yakni

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

55

kasus Nazaruddin Sjamsuddin, Abdullah Puteh, Rustam Efendi Sidabutar dan

Bambang Budiarto (lihat tabel 3.1.) menunjukkan bahwa informasi yang didapat KPK

dari sumber-sumber ―terpercaya‖ dan kemudian dikaji oleh Pusat Informasi dan

Pengaduan Masyarakat (PIPM) memberikan simpulan bahwa kasus-kasus dugaan

tindak pidana korupsi telah memberikan ―dugaan‖ atas adanya eksistensi kejahatan

korupsi.

3.3. PERANAN DAN KONTRIBUSI HASIL AUDIT INVESTIGATIF

Kontribusi Visum Akuntansi Forensik Di Pengadilan

Peranan dan konstribusi visum akuntansi forensik level audit investigatif di

pengadilan sangat besar dalam membuat terang benderangnya perkara tindak pidana

korupsi. Chazawi, informan yang berprofesi sebagai dosen FH UB dan seringkali

diminta memberikan keterangan ahli pada kasus-kasus tindak pidana korupsi serta

menjadi bagian dari Tim Bantuan Hukum kasus Bahri mengungkapkan kepada saya

mengenai peranan hasil audit investigatif dengan mengatakan sebagai berikut:

“Peran hasil audit investigatif pada dasarnya adalah untuk menghitung kerugian Negara. Audit ini umumnya dilakukan oleh BPKP. Dalam perkara pidana korupsi. Angka kerugian negara merupakan angka riil yang ditemukan Tim audit Investigatif. Angka itulah yang senantiasa digunakan sebagai dasar penentuan angka kerugian negara. Angka ini akan digunakan jaksa untuk mengembalikan kerugian Negara melalui penjatuhan pidana penggantian kerugian negara kepada terdakwa. Hampir pasti angka hasil audit investigatif itulah yang selalu digunakan sebagai dasar menentukan jumlah riil kerugian dalam surat dakwaan dan dalam hal penuntutan pengembalian kerugian keuangan negara.”

Dalam peranannya sebagai alat bukti, konstruksi visum akuntansi forensik level

audit investigatif yang merupakan rekonstruksi sejarah fakta, yang kemudian

digunakan dalam sidang-sidang di pengadilan. Pernyataan Chazawi sebelumnya,

menurut saya lebih mengarah pada jenis hasil audit investigatif dalam ‗jenis kedua‘,

yakni PKKN. Hasil audit yang dimaksud adalah hasil audit investigatif yang sering

dilakukan BPKP berdasarkan permintaan penyidik atau penetapan pengadilan yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

56

bertujuan untuk melakukan PKKN. Dalam posisi ini, Auditor BPKP akan berperan

sebagai pembantu penyidik untuk membantu dalam melakukan penghitungan kerugian

keuangan negara (PKKN).

Dalam audit jenis PKKN ini, pelaksanaan dapat dilakukan melalui tahapan yang

antara, pertama instansi penyidik atau penetapan oleh pengadilan yang harus

disampaikan secara tertulis kepada instansi BPKP, kemudian dilakukan ekspose dan

penelaahan atas kecukupan informasi yang memenuhi hypothetical construction of

crime. Manakala terdapat informasi yang masih sangat minimal, penugasan masih

tetap dapat dilakukan, asalkan informasi itu masih mengandung 3 W yakni What,

Where, When, meskipun Who, why, How and how Much belum terungkap dalam kasus

tersebut. Meskipun demikian, kondisi tersebut masih harus ditambah dengan

keyakinan kuat yang berbasis pertimbangan professional serta hati nurani auditor

Investigatif. Maksud dari pertimbangan professional itu adalah suatu pendapat reviewer

itu harus didasarkan pada data empiris atas kasus sejenis dan/atau dapat juga

didasarkan pada informasi lain yang dapat mendukung dan terjalin secara berkelindan

dengan informasi minimal yang diberikan oleh penyidik atau penetapan pengadilan

tersebut. Namun, bilamana dalam informasi minimal berupa 3 W tersebut tidak terdapat

sebuah keyakinan kuat dari reviewer dan tidak juga terdapat data empiris pada kasus

sejenis, langkah yang akan ditempuh adalah meminta penyidik untuk melakukan

ekspose atau meminta ringkasan perkara tersebut kepada pejabat pengadilan. Proses

kehati-hatian dan keseksamaan semacam itu dilakukan BPKP agar konstruksi visum

akuntansi forensik level audit investigatif dapat menjadi dukungan dan berkonstribusi

besar bagi proses sidang di pengadilan.

Budi, Auditor investigatif BPKP Jawa Timur yang melakukan PKKN atas Bahri

mengatakan sebagai berikut

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

57

“Untuk dapat menindak lanjuti permintaan tugas PKKN akan selalu berdasarkan keputusan seluruh staff BPKP bidang Investigasi yang hadir pada saat paparan kasus dilakukan oleh Penyidik. Hasil paparan itu akan diputuskan apakah permintaan PKKN bisa ditindaklanjuti atau tidak. Jika dapat ditindaklanjuti, maka pimpinan BPKP akan membuat surat tugas atas pelaksanaan PKKN itu”

Kalimat Budi itu menyiratkan bahwa penugasan PKKN dilakukan berbasis due-

professional care. Karena keputusan awal atas dapat atau tidaknya perkara dilanjutkan

dengan bantuan PKKN tidak diputuskan oleh individu atau Tim Auditor, namun dari

seluruh staff bidang investigasi pada BPKP Perwakilan Jawa Timur.

Selanjutnya, bilamana dalam pelaksanaan PKKN terdapat hambatan

pengumpulan bukti, auditor akan meminta bantuan penyidik untuk membantu mencari

dan mengumpulkan bukti tersebut. Bilamana hambatan tidak dapat terselesaikan,

maka auditor investigatif akan menuliskannya dalam laporan hasil audit investigatifnya

dalam sub judul ‗Hambatan Pemeriksaan‘. Jika sudah tidak ada lagi hambatan yang

berarti, artinya semua bukti telah cukup, kompeten dan relevan, maka

pembahasan/ekspose akan dilakukan untuk menangkap persesuaian, sinkronisasi

dan/atau koherensi perkara agar terpenuhi suatu hasil audit investigatif dengan aspek-

aspek hukumnya.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut saya tambahkan AI

maupun PKKN yang dilakukan BPKP di seluruh Indonesia sejak 2003 hingga 2007.

Tabel 3.2. menyajikan pelaksanaan AI yang dilakukan BPKP yang kemudian

digunakan oleh penyelidikan dan penyidikan oleh kejaksaan, kepolisian dan KPK.

Tabel 3.2. dan 3.3. menyajikan pelaksanaan AI dan PKKN yang dilakukan

BPKP. Hasil AI dan PKKN akan digunakan sebagai bahan bukti bagi Kejaksaan,

kepolisian dan KPK untuk melakukan pendalaman-pendalaman atas dugaan tindak

pidana korupsi. Selama tahun 2003 hingga 2007, terjadi kenaikan permintaan untuk

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

58

melakukan tugas AI maupun PKKN, baik itu berasal dari permintaan Kejaksaan,

Kepolisian dan KPK.

Dengan data seperti paparan 3.2. dan 3.3. di bawah ini, kita dapat mengartikan

dan memperkirakan bahwa tugas BPKP pada masa yang akan datang akan cenderung

meningkat. Perkiraan peningkatan tugas itu terjadi akan seirama dengan meningkatnya

kasus dugaan tindak pidana korupsi. Jadi, dapat saya simpulkan perkara bahwa tindak

pidana korupsi di Indonesia, pada masa mendatang pada setiap tahunnya tidak

menurun, melainkan malah cenderung untuk tambah meningkat.

Tabel 3-2 PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF (AI) YANG DILAKSANAKAN BPKP TAHUN 2003 – 2007

INSTANSI YANG

MEMINTA

2003

2004

2005

2006

2007

Jumlah AI

Kejaksaan

27

34

69

76

75

281

Kepolisian

17

53

60

68

77

275

KPK

0

7

28

37

38

110

Jumlah

44

94

157

181

190

666

Sumber: Tuanakotta (2007, 201)

Tabel 3-3 PELAKSANAAN PERRHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) YANG DILAKSANAKAN BPKP

TAHUN 2003 – 2007

INSTANSI YANG

MEMINTA

2003

2004

2005

2006

2007

Jumlah AI

Kejaksaan

76

85

103

172

177

613

Kepolisian

75

100

111

170

164 620

KPK

0

2

5

8

13

28

Jumlah

151

187

219

350

354

1.261

Sumber: Tuanakotta (2007, 201)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

59

Dengan demikian, pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan BPKP atas

permintaan instansi kepolisian, kejaksaan maupun KPK dapat berupa pelaksanaan

audit berupa permintaan melakukan audit investigatif (AI), penghitungan kerugian

keuangan negara (PKKN) atau permintaan untuk memberikan keterangan ahli di

pengadilan. Jadi, maksud pernyataan Chazawi, sebenarnya mengarah pada bentuk

audit jenis kedua, yakni hasil penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN).

Pada sisi lain, khusus untuk audit dalam rangka penghitungan keuangan

Negara (seperti yang dimintakan penyidik pada kasus Bahri), ketentuan standar yang

seharusnya diikuti Tim auditor BPKP, sesuai dengan Pedoman Penugasan Bidang

Investigasi (2009, hal 39) mengharuskan hasil ekspose atau hasil penelaahan

memenuhi kriteria bahwa penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan

negara telah cukup jelas, pihak-pihak yang diduga terkait dan bertanggungjawab atas

penyimpangan telah cukup jelas, bukti-bukti yang diperlukan untuk menghitung

kerugian negara sudah diperoleh secara lengkap, dan BPK-RI atau Inspektorat lain

belum melakukan audit investigatif untuk kasus yang sama. Namun, dalam

penanganan kasus Bahri tersebut, bagi saya kriteria-kriteria itu masih belum jelas

(samar/obscuur libel) dan bukti-bukti perkara masih terbatas pada bukti yang dipasok

dari penyidik, tanpa langkah kreatif dan konstruktif untuk melakukan pendalaman dan

pengembangannya.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan audit atas permintaan penyidik, bukti-bukti

yang diperoleh dari penyidik akan direkonstruksi sehingga akan merupakan rangkaian

fakta yang terjalin secara berkelindan dan proses kejadian akan dapat menunjukkan

adanya suatu penyimpangan yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan Negara.

Karena itu, metode penghitungan kerugian keuangan negara prosedur yang lazim

dikembangkan oleh BPKP sudah seharusnya dalam lingkup akuntansi dan auditing

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

60

yang dapat diterima secara umum, dan bukan metoda yang merupakan disiplin ilmu

lain, seperti metoda penilaian yang ada pada profesi penilai (valuer/appraisal). Profesi

Penilai biasa melakukan penilaian dengan metoda integratif dari yakni kombinasi

antara cost method, market dan income capitalization. Kompetensi yang dimiliki para

appraisal itu tentu bukan merupakan kompetensi utama auditor BPKP.

Jadi, menurut saya, penghitungan kerugian negara yang dapat dilakukan BPKP

itu sudah seharusnya menggunakan cost method saja, dan bukan menggunakan nilai

pasar (mark to market) atau nilai kapitalisasi pendapatan (income capitalization) yang

sering dipakai bagi profesi penilai. Namun, jika BPKP memerlukan suatu nilai yang

tidak berbasis cost method, BPKP harus meminta bantuan kepada profesi penilai untuk

melakukannya, atau bisa juga meminta bantuan kepada profesi lain yang sesuai

dengan konteks dan substansi perkara yang ditanganinya.

Persepsi pencatuman angka yang terlalu tinggi pada audit hasil penghitungan

kerugian keuangan Negara, juga dapat kita temukan seperti yang disampaikan

Chazawi sebagai berikut:

“Dalam banyak kasus yang saya saksikan, penentuan angka nilai kerugian negara yang digunakan Jaksa Penuntut Umum cenderung pada angka yang lebih besar, walaupun menurut logika tidak dapat dibenarkan. Kebiasaan membesar-besarkan nilai kerugian Negara atau mematok angka-angka yang lebih besar, mungkin saja dipengaruhi oleh fungsi dan tugas pekerjaan jaksa sebagai penuntut umum. Dengan pertimbangan, toh majelis hakimlah yang pada nantinya akan mempertimbangkan dan memutuskan nilai angka kerugian Negara tersebut”

Penghitungan kerugian keuangan negara yang tidak akurat, juga disampaikan

oleh informan Koestaryo, advokat yang sering menangani kasus tindak pidana korupsi.

Koetaryo mengatakan sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

61

“Saya juga menjumpai kasus perhitungan kerugian negara yang tidak akurat. Misalnya dalam hal yang sangat sepele saja, seperti dalam penjumlahan angka ke bawah pada kasus korupsi di Kabupaten Pasuruan dan Kodya Batu yang saya tangani, penjumlahannya tidak benar, perkalian juga tidak benar, sangat ceroboh dan tidak akurat”

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa pencatuman angka kerugian

keuangan negara, yang angkanya dapat dipersepsikan berlebihan itu, bisa saja karena

auditor investigatif yang berperan sebagai pembantu penyidik dan melakukan tugas

penghitungan kerugian keuangan negara, hanya memperoleh bukti yang berasal dari

jaksa semata dan kemudian tidak bebas dalam mengembangkan prosedur audit

investigatif sebagaimana mestinya. Oleh karena keterbatasan supply data dan/atau

akses data yang hanya bisa dilakukan melalui penuntut umum atau penyidik, yang

tentu hasilnya tidak bisa diharapkan secara optimal.

Dalam kasus Bahri misalnya, auditor hanya diberi data yang disiapkan penyidik

an sich dan tidak mengembangkan bukti, data dan fakta itu hingga ke bukti, data dan

fakta yang berada di LPM UB dan tempat serta lembaga lain yang berkait dan

dipandang perlu serta dapat memperkaya hasil akhir penghitungan angka kerugian

keuangan negara (PKKN).

Keadaan semacam ini, boleh jadi akan berakibat pada hasil perhitungan nilai

angka kerugian keuangan negara tidak sesuai dengan fakta-fakta yang semestinya.

Akibat hal seperti ini dapat kita lihat pada hasil nilai perhitungan kerugian keuangan

negara yang tidak akurat misalnya kasus sangkaan pada Bahri Ketua LPM UB Malang,

kasus Puteh Gubernur NAD dan kasus tindak pidana korupsi lainnya.

Dalam kasus Pabrik Gula Mini (PGM) Kigumas, tersangka Bahri dalam

pembelaannya (pledoi) menyatakan sebagai berikut:

“BPKP dalam melakukan audit hanya berdasarkan dari bahan-bahan yang diajukan JPU yang notabenenya adalah alat-alat bukti yang disita dari Pemkab Malang dan tidak meminta data maupun keterangan dari pihak LPM Universitas Brawijaya. Padahal LPM telah nyata-nyata ada pekerjaan disain dan mesin sipil 2003 dan semua itu lengkap dengan dokumen-dokumennya”.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

62

Uraian dan pernyataan di atas akan menjadikan ketidakpastian terhadap

perhitungan kerugian keuangan Negara. Padahal hasil perhitungan kerugian keuangan

negara itu sangat penting dan terpenting dari unsur-unsur yang terdapat dalam tindak

pidana korupsi. Karena estimasi atas adanya jumlah kerugian keuangan negara sangat

menentukan bagi formula adanya tindak pidana korupsi. Tanpa adanya kerugian

keuangan negara, meskipun telah terjadi salah prosedur, tentu tidak bisa dikategorikan

sebagai adanya tindak pidana korupsi. Manakala kerugian Negara tidak muncul, tentu

peristiwa salah prosedur itu hanya akan dikategorikan sebagai kesalahan administratif

belaka dan masuk dalam ranah hukum administratif serta bukan menjadi domain

hukum pidana (sebagai misal adalah kasus Dana Non-Budgeter Bulog, yang di MA

terdakwa Akbar Tanjung diputus bebas karena perkara itu dinyatakan sebagai

kesalahan administratif dan bukan kesalahan pidana (meskipun putusan MA itu tidak

bulat/dissenting opinion). Karena itu, adanya kesalahan administratif belum tentu akan

mengarah pada telah terjadinya tindak pidana korupsi.

Pada sisi lain, audit investigatif yang dilakukan BPK-RI pada umumnya

merupakan tindak lanjut atas hasil temuan atau rekomendasi dari general audit atas

laporan pertanggungjawaban Pengelolaan Pemda atau Institusi Milik Pemerintah yang

menghasilkan opini selain Unqualified Opinion (seperti Pemda Jember, Kabupaten

Situbondo, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kotamadya Batu dan lainnya).

Audit Investigatif yang dilakukan BPK-RI ini, boleh jadi merupakan tindak lanjut hasil

compliance audit, dimana dalam institusi yang menjadi objek audit ditemukan audit

findings yang tidaktaatan (uncompliance) terhadap aturan yang berlaku. Misalnya hasil

compliance audit atas KPU Pusat pada Era Kepemimpinan Nazaruddin Syamsuddin

dengan temuan prosedur yang tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya mencapai

jumlah 54 temuan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

63

Untuk sebagian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi yang melanda KPU Pusat

pada era kepemimpinan Nazaruddin Sjamsuddin dapat dilihat pada tabel 3.4.

Tabel 3-4 PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA KASUS PENGADAAN BARANG DAN JASA KPU PUSAT ERA KEPEMIMPINAN NAZARUDDIN SJAMSUDDIN

NOMOR

KASUS PENGADAAN

PENANGGUNG JAWAB

KERUGIAN

KEUANGAN NEGARA

1 Asuransi Petugas Pemilu Nazaruddin Sjamsuddin Rp.5,03 miliar

2 Pengadaan Buku Bambang Budiarto dan Safder M Yussac Rp.20,76 miliar

3 Pengadaan Tinta Pemilu Rusadi Kanta Prawira Rp.4,661 miliar

4. Pengadaan Segel Pemilu Daan Dimara Rp.3.540 miliar

5. Pengadaan Kotak suara Mulyana Wira Kusuma Rp.15,5 miliar

Sumber: berbagai sumber KPK yang saya olah sendiri

Jadi, audit investigatif dari BPKP dapat dikategorikan dalam dua jenis yakni:

pertama adalah pelaksanaan audit investigatif yang dilaksanakan atas permintaan

penyidik atau perintah pengadilan, dan kedua adalah pelaksanaan audit Investigatif

yang merupakan tindak lanjut dari hasil general audit atau temuan dari compliance

audit atau Aduan, Keluhan dan Petunjuk (AKP). Hasil audit BPK maupun BPKP, yang

merupakan alat bukti surat, baik dilakukan dengan tujuan penghitungan kerugian

keuangan Negara yang dilakukan atas permintaan penyidik maupun hasil audit

investigatif yang merupakan tindak lanjut dari general audit maupun compliance audit,

keduanya sama-sama memiliki peran sentral dan berkontribusi besar terhadap putusan

hakim atas bersalah atau tidak bersalahnya si terdakwa.

3.4. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL AUDIT INVESTIGATIF Pembentukan Janin Visum Akuntansi Forensik

Pelaksanaan audit investigatif (sering disebut AI atau PKKN) akan dilakukan

berbasis bukti awal. Basis itu dapat berupa aduan, keluhan, dan petunjuk awal (AKP).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

64

Basis bukti AKP itu setelah melalui analisis dan sintesis akan membangun suatu

predication (Tuanakotta, 2007, 219). Sintesis akan dilakukan manakala persesuaian

telah didapat, sedangkan eliminasi data dilakukan manakala terdapat ketidaksesuaian

antara satu bukti dengan bukti lainnya dan/atau antara satu perbuatan dengan

perbuatan lainnya dan/atau antara perbuatan dengan alat bukti yang diperoleh.

Manakala sudah terjadi kesesuaian dengan bukti maka alat bukti, barang bukti, fakta

dan data akan dirajut dalam bentuk chart and matrix yang merupakan wujud konstruksi

visum akuntansi forensik as a support for a litigation.

AKP bisa juga berupa tindak lanjut hasil temuan dari general audit. AKP dari

general audit dapat saya berikan contoh misalnya adalah laporan keuangan

Kementerian Kesehatan yang diaudit BPK RI dan menghasilkan disclaimer opinion

atau no opinion atau tidak menyatakan pandapat, yang terbit berkali-kali, sejak tahun

2006. Untuk pelaksanaan audit investigatif, BPK akan menggandeng KPK yang

tujuannya untuk menelsuri kemungkinan adanya kerugian keuangan Negara (Kompas,

1 Juli 2010).Salah satu temuan yang serius dari BPK adalah adanya 24 rekening liar

atas nama pribadi dan instansi yang off-budget senilai Rp.503 miliar. Selain itu,

terdapat saldo dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi Masyarakat

Miskin yang sampai dengan tanggal 31 Desember 2009 tercatat dana sebesar Rp.479

miliar. Dana tersebut di simpan di Kantor Pos. dan tidak dicairkan bagi masyarakat

miskin yang sangat memerlukannya. Pertanyaannya adalah, berapa bunga dari

simpanan itu dan bunga itu untuk apa dan untuk siapa? Siapa yang bertanggung jawab

atas penempatan dana itu? Mengapa menyimpannya dananya di Kantor Pos?

Mengapa tidak dimanfaatkan bagi masyarakat miskin? Dan pertanyaan-pertanyaan

lain yang perlu pendalaman-pendalaman yang mengarah pada pencarian jawaban

hypothetical construction of crime.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

65

AKP seperti di atas itulah yang biasanya dapat menjadi amunisi awal bagi

tindak lanjut untuk melakukan audit investigatif bagi BPK RI. AKP seperti itu seperti

pada kasus Bupati Jember, Bupati Situbondo, Bupati Kolaka, Bank Century dan

lainnya.

3.4.1. ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI

Keterangan saksi dapat berupa suatu keterangan dari seseorang mengenai

suatu peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖

dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Mulyadi, 2007, 61 dan Chazawi,

2006, 37). Jadi, seorang saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan investigasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan cross

examination di pengadilan tentang suatu perkara pidana. Keterangan saksi itu juga

harus dikuatkan dengan sumpah pada saat di pengadilan.

Sunaryo (2005, 414) menambahkan bahwa keterangan saksi itu harus

dikuatkan dengan sumpah. Di samping itu suatu keterangan saksi yang terdiri dari

hanya satu orang saja tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, karena satu saksi saja

akan dinyatakan sebagai bukan saksi (unus testis nulus testis). Selanjutnya, sebuah

keterangan yang diberikan satu saksi dengan saksi lainnya atas suatu perbuatan harus

bersangkut paut dan berkesuaian serta terjalin secara berkelindan antara satu dengan

lainnya dalam rangkaian rekonstruksi suatu peristiwa yang dapat mengungkapkan alur

perkara berbasis bukti secara terang benderang.

Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) atau

katanya atau ujarnya atau hersay evidence orang akan tidak dapat dimasukkan

sebagai keterangan. Testimonium de auditu atau hearsay evidence ini adalah suatu

bentuk keterangan saksi yang berasal bukan dari kesaksiannya sendiri melainkan yang

sumbernya diperoleh dari orang lain, yakni ada orang yang mengatakan atau

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

66

menceritakan sesuatu. Sebuah kesaksian yang bersumber dari kisah-kisah atau

celoteh yang didengar dari orang lain. Dalam soal mengungkap dan mengumpulkan

keterangan saksi-saksi bisa saja terjadi berbagai kompleksitas. Oleh karena itu,

Silverstone (2004, 134) mengingatkan method of questioning vary in

complexity─depending on the subject and purpose of the interogation─from simple

question and answer to a veritable game of psychological survivor.

Lebih lanjut, menurut Silverstone (2004,155) mengatakan bahwasanya

interviews with witnesses in financial crimes differ from interviews with witnesses in

other type of crimes, certain key interview techniques can help you as an investigator

develop as much information as possible. Jadi, dalam kompleksitas dalam mencari dan

mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi untuk dapat memberi penjelasan

gambaran konkrit mengenai perkara dugaan kejahatan keuangan dan/atau tindak

pidana korupsi sangat kompleks dan memerlukan teknik yang berbeda dengan cara

memperoleh keterangan dari tipe tindak pidana lainnya. karena itu tidak akan pernah

ada suatu daftar pertanyaan manjur (magical list of questions) yang dapat dirancang

investigator sebelumnya. Efektivitas hasil interview yang dilakukan para investigator

akan sangat tergantung pada kreativitas, imajinasi, sensitivitas dan pengalaman

panjang yang diperolehnya.

Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditimpakan kepada Bahri,

keterangan saksi yang digunakan auditor investigatif dalam menghitung PKKN berasal

dari BAP hasil penyidikan Jaksa, dan tidak melakukan permintaan keterangan

langsung kepada saksi-saksi. Kondisi dan fakta itu dapat kita lihat dari laporan

penghitungan kerugian keuangan negara, yang tertulis pada angka 3 huruf (a) yang

menguraikan prosedur penugasan yang dilakukan BPKP adalah sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

67

“Dalam prosedur penugasan, untuk menghitung kerugian keuangan Negara tersebut dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (a) mempelajari resume dan memperhatikan pemaparan kasus yang dilakukan Penyidik Kejaksaan... dan seterusnya...”

Audit BPKP itu memiliki tujuan untuk membangun alat bukti surat, yang akan

diperuntukkan sebagai kelengkapan alat bukti penyidikan. Dengan alat bukti surat yang

dibangun dengan hanya berlandaskan pada data, informasi dan resume yang dipasok

dan hasil pemaparan penyidik, boleh jadi dan mungkin saja, masih mengandung

potensi kelemahan. Dengan adanya potensi kelemahan yang melekat itu bisa saja

akan menjadi titik kritis dalam kriteria bangunan alat bukti. Kelemahan itu tentu akan

berdampak besar pada saat dilakukan cross examination di pengadilan (ternyata

kelemahan inilah yang membebaskan Bahri dkk dari jeratan hukum). Menurut saya,

prosedur audit yang dilakukan BPKP itu sudah semestinya juga meminta tambahan

data, informasi, barang bukti, keterangan kepada saksi-saksi dan/atau lembaga lain

yang terkait (LPM UB, CV. Sami Jaya dan lainnya) dalam rangka untuk lebih

memperkaya informasi dan kemudian dapat digunakan untuk lebih memastikan

penghitungan angka kerugian keuangan negara.

Dalam perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi terhadap Bahri,

keterangan, informasi dan penjelasan diperoleh dari 22 orang saksi, seperti saksi:

Guritno (Mantan Rektor UB), Sujud (Bupati Malang), Santoso (mantan Sekda Malang),

dan lainnya termasuk Bahri (mantan ketua LPM UB). Saksi-saksi inilah yang

memberikan petunjuk dan arah bagi proses penyelidikan dan penyidikan. Namun,

entah karena apa Auditor Investigatif hanya berbasis pada data yang dipasok dari

penyidik serta hasil paparan penyidik belaka.

Sayangnya, dalam audit Tim Pemeriksa yang terdiri dari lima orang, yakni

Yustra Iwata (Pembantu Penanggung jawab), A.Rasyid Usman (Pengendali Teknis),

Tri Agung Sumartono (Ketua Tim), Thomas Sulistyo Budi (Anggota Tim), dan Rr. Sri

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

68

Hartanti (Anggota Tim) tidak melakukan prosedur permintaan klarifikasi kepada si

Tersangka Bahri dan/atau kepada saksi lainnya. Padahal langkah klarifikasi atau

konfirmasi ini merupakan sebuah keniscayaan yang sudah seharusnya dilakukan, yang

dalam Pedoman Penugasan Audit Investigatif hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita

Acara Klarifikasi (BAK). Boleh jadi, bilamana hal ini dilakukan, mungkin saja Tim Audit

investigatif akan menemukan fakta, data, informasi dan keterangan lain dan mungkin

saja hasilnya bisa berbeda dengan simpulan yang dihasilkan.

Menurut Ma‘ruf, informan yang menjabat sebagai salah satu tim teknis audit

BPKP Jawa Timur menyatakan bahwa penghitungan kerugian keuangan negara yang

dilakukan dengan menggunakan basis data yang disiapkan penyidik itu disebabkan

karena:

Dalam bantuan untuk Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam kasus Syamsul Bahri itu, lebih disebabkan karena kami melaksanakan tugas audit itu berdasarkan isi surat tugas yang kami terima dari pimpinan... audit penghitungan keuangan kerugian negara kami laksanakan berdasarkan pasokan data dan resume penjelasan dari penyidik... sederhananya begini: „ini lho buktinya dan ini penjelasannya, tolong hitung berapa nilai kerugian keuangan negaranya‟... karena itu tugas semacam ini, kami dari BPKP tidak mengembangkan data yang kami peroleh kepada sumber lain... tidak sebagaimana kalau kami melaksanakan tugas audit investigatif yang mencari ke pucuk-pucuk, ranting-ranting hingga akar-akar permasalahan...“

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa dengan prosedur yang dilakukan

tidak meminta klarifikasi atau konfirmasi terhadap si terdakwa boleh jadi masih

mengandung kelemahan signifikan. Oleh karena itu, salah satu kalimat dalam

pembelaan (pledoi) yang dibuat Bahri dan dibacakan pada saat sidang di Pengadilan

Negeri Malang menyayangkan hasil audit BPKP tersebut. Kalimat Bahri dalam pledoi-

nya menyatakan sebagai berikut:

“Ternyata tim audit BPKP Jawa Timur tidak memeriksa Surat Perintah Pelaksanaan… yang berisis tentang perintah untuk melaksanakan kegiatan desain dan pengawasan pada pembinaan Kigumas TA 2003. Demikian juga, Tim audit BPKP tidak memeriksa LPM sebagi pihak konsultan perencanaan dan pengawasan, yang diperlukan data-data yang menyangkut produk-produknya terutama desain mesin dan sipil. Hasil audit yang demikian itu menjadi tidak objektif…”

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

69

“Hasil audit Kantor Akuntan Publik Drs. Kunto Aji dan juga dalam kesaksian Saudara Kunto Aji yang dibuat secara tertulis yang ditunjukkan oleh Hakim Anggota yang berisi mengenai desain 60% untuk di PAK – kan, merupakan dasar bagi addendum nomor 05 dan 06 karena adanya perubahan tugas pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan kontrak nomor 525/2003 di mana dalam kontrak tersebut juga dinyatakan bahwa pada pasal 14 bahwa segala sesuatu yang belum diatur dalam isi surat perjanjian ini atau perubahan yang dipandang perlu oleh kedua belah pihak, akan diatur lebih lanjut dalam Surat Perjanjian Tambahan (addendum) dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Surat Perjanjian ini… ”

Jadi, menurut Bahri jelas-jelas bahwa kontrak 05 dan 06 yang menjadi masalah

utama dalam perkara PGM Kigumas ternyata pekerjaan telah dilakukan. Dengan telah

dilaksanakannya pekerjaan tentu tidak ada pekerjaan yang fiktif. Semua pekerjaan

dalam addendum telah dikerjakan sesuai dengan kontrak. Hasil pekerjaan telah

diterma dan dibayar oleh Talahatu selaku Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten

Malang. Tuduhan pekerjaan fiktif tersebut, menurut Bahri, adalah suatu bentuk

ketidakcermatan Tim Audit BPKP Jawa Timur.

Dengan demikian, alat bukti surat yang berupa laporan penghitungan kerugian

keuangan negara (PKKN) menjadi titik lemah perkara Bahri. Dengan kelemahan yang

melekat pada alat bukti surat ini, pada akhirnya dapat membebaskan Bahri dari jeratan

hukum. Karena unsur tindak pidana korupsi harus meliputi tiga unsur, di mana salah

satu unsurnya adalah adanya kerugian keuangan negara. Jika salah satu unsur tidak

terbukti, maka tindak pidana korupsi itu tentu bukan delict tindak pidana korupsi.

Pada sisi lain, bukti keterangan saksi ini, dalam domain auditing akan

merupakan hasil dari wawancara. Hasil wawancara dapat direkam terlebih dahulu

dalam media elektronik kemudian di script dalam bentuk tulisan yang kemudian

ditandatangani oleh pemberi keterangan bersama petugas. Bisa juga, keterangan itu

langsung dicatat dan kemudian ditandatangani oleh para pemberi keterangan.

Uttuk memberikan gambaran perbandingan antara seseorang yang member

keterangan (saksi) yang terdapat dalam aturan di Indonesia dengan di Amerika adalah,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

70

di Amerika Serikat, keterangan saksi disebut sebagai ―Testimony‖. Dalam aturan

hukum Amerika, terdapat tiga jenis saksi, yaitu ―Lay witness‖, ―Expert witness‖ dan

―Character witness‖. Lay witness adalah saksi biasa, adalah orang yang melihat

peristiwa yang terjadi dan mampu menggambarkan apa yang ia lihat. Di Indonesia lay

witness ini akan dikategorikan sebagai alat bukti keterangan saksi (fakta).

Expert Witness, adalah seorang spesialis, yakni seseorang yang ahli dalam

suatu bidang dan memberikan kesaksian berdasarkan bidang keahliannya itu. Di

Indonesia expert witness secara spesifik tidak ada, yang ada adalah keterangan ahli,

yakni suatu permintaan keterangan yang berbasis keahlian yang dimilikinya. Karena

itu, bisa jadi keterangan ahli dalam perspektif Indonesia boleh jadi akan menuai protes

dan perdebatan di pengadilan

Dengan demikian, keterangan ahli dari BPKP atas PKKN yang dibuatnya, boleh

jadi masih akan menuai protes (objection) dan keberatan dari advokat saat mereka

dihadirkan dalam persidangan. Karena dalam konstruksi hukum Indonesia, yang

disebut expert adalah seseorang ahli, yang hanya akan diminta keterangannya atas

keahliannya, dan bukan seseorang ahli yang telah masuk dalam penguraian atas fakta

dan perkara tindak kejahatan keuangan atau tindak pidana korupsi (KUHP pasal 184).

Sedangkan character witness adalah seseorang yang mengenal korban,

karakter si pelaku atau orang lain yang terlibat dalam kasus tersebut12. Di Indonesia

character witness ini tidak dikenal. Karena KUHAP hanya mengenal tiga macam alat

bukti keterangan yakni alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti

keterangan terdakwa.

Masih di Amerika, manakala Jaksa (attorneys) telah merasa memiliki informasi

dan data kasus yang kuat, dengan beberapa orang saksi yang mendukung, serta

12 US Departement of Justice, Criminal Division, Management of The Prosecutional Function, yang ditulis kembali oleh Effendi Marwan (2005, 79-84)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

71

bersedia memberi kesaksian melawan terdakwa, maka jaksa kemudian akan

memberitahukan kepada terdakwa bahwa ia diyakini telah melakukan tindak pidana.

Surat dakwaan akan berisi informasi yang membantu terdakwa untuk memahami atau

mengerti tindak pidana yang telah ia lakukan. Simpulan itu akan diambil Jaksa,

manakala seluruh fakta yang ada itu telah mengarah pada seseorang sebagai pelaku

tindak pidana. Pertimbangan jaksa akan sangat berkait erat dengan bukti yang

diterimanya, baik langsung maupun bukti yang tidak langsung. Bukti langsung adalah

informasi yang diberikan oleh saksi yang melihat, atau dari video atau audio tentang

seseorang yang melakukan tindak pidana. Sedangkan alat bukti tidak langsung adalah

pernyataan-pernyataan atau informasi yang bukan berasal dari orang pertama. Alat

bukti tidak langsung meliputi kesan-kesan dari orang-orang tentang tindak pidana yang

telah terjadi yang tidak mereka saksikan sendiri (circumtantial evidence)

Salah satu tahap akhir saat akan dimulainya persidangan adalah, apa yang

disebut sebagai ―motion in time‖, yakni suatu tahapan untuk menentukan tempat

persidangan (venue) atau dikenal juga sebagai jurisdiksi, kemudian alat-alat bukti, dan

soal kesaksian. Dalam hal ini, hakimlah yang akan memutuskan motion in time

tersebut.

Jadi, di Amerika Serikat dalam soal membangun kesaksian untuk memastikan

eksistensi kejahatan, lebih banyak menyandarkan kepada kepiawaian agen-agen dari

FBI dan/atau DEA dan/atau agen sejenis lainnya. Jaksa hanya akan menerima dan

menilai kekuatan bukti-bukti kesaksian dari hasil kerja mereka. Dengan model seperti

ini, di Amerika Serikat tentu peranan penting akuntan forensik dalam mencari,

menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi forensik dan/atau bekerja sama

dengan agen-agen FBI menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

72

Berbeda dengan di Indonesia, peranan mencari, menemukan dan

mengumpulkan alat bukti, kewenangan itu lebih banyak diberikan kepada kepolisian,

kejaksaan atau KPK. Instansi itulah yang bertanggungjawab atas visum akuntansi

forensik as support for a litigation..

3.4.2. ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI

Keterangan ahli adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat

terang dan jelasnya suatu perkara (Chazawi, 2006,62). Pemberi keterangan adalah

seseorang yang mempunyai ‖keahlian khusus‖ yang berhubungan dengan ilmu

pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang dimintai

pertimbangannya. Seorang ahli adalah seseorang yang dapat didengar keterangannya

mengenai persoalan tertentu, yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui

suatu bidang ilmu pengetahuan secara khusus, mendalam dan komprehensif.

Keterangan ahli (expert testimonium) boleh jadi akan dilakukan oleh auditor

investigatif.

Mengapa auditor investigatif dapat disebut sebagai ahli? Pengertian ahli

menurut Andy Hamzah (1988, 282) adalah a person who is qualified to testify as an

expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to

qualification of him as an expert on the subject to which his testimony related. Dengan

demikian, seorang ahli akan diminta keterangan keahlian yang dimiliki untuk

menjelaskan duduk perkara atas kasus yang sedang disidangkan agar kasus yang

disidangkan menjadi terang benderang. Seperti yang saya uraikan sebelumnya,

pemberi keterangan ahli ini, di Amerika Serikat disebut sebagai expert witness.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

73

Informan Ismail Navianto, saat saya tanya mengenai apa peran penting

seorang ahli pada kasus tindak pidana korupsi. Navianto menjawab:

“Dalam perspektif hukum Indonesia, akuntan misalnya, akan menyatakan fakta-fakta berdasarkan audit yang dilakukannya. Peran utama akuntan adalah membuat terang dan jelasnya perkara berdasarkan audit yang dilakukannya. Temuan-temuan itu akan disampaikan dalam bentuk laporan yang kemudian akan disebut sebagai “alat bukti surat”.

Dengan demikian, bukti yang dibangun auditor investigatif niscaya memiliki

peran sentral dalam memberikan terang dan jelasnya perkara. Ia bukan penyelidik dan

bukan pula penyidik, namun ia adalah auditor. Peran seperti inilah yang sering

dilakukan oleh BPK maupun BPKP dalam bentuk audit investigatif (Soejono Karni

(2000,106). Namun, dalam hal-hal tertentu, penyidik dapat juga meminta bantuan

tenaga ahli13 untuk memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya, dan bukan

masuk pada pokok perkaranya. Permintaan kepada auditor pada umumnya akan

menyangkut dua hal pokok, yakni sebagai ahli keuangan dan akuntansi untuk mencari,

menemukan dan mengumpulkan fakta, peristiwa dan dokumen yang berkaitan dengan

perkara, atau dia akan diminta menghitung besarnya nilai kerugian keuangan negara

yang terjadi pada perkara tersebut 14.

Namun, Soejono Karni (2000, 230) terdapat kondisi ketidakjelasan penegakan

hukum di Indonesia. Berkait dengan soal suap misalnya, Karni berujar:

“Alat bukti surat─berdasarkan pengalaman saya di sidang pengadilan─harus sah menurut hukum, artinya alat bukti surat tersebut harus memenuhi syarat formal dan materiil. Lalu akan timbul pertanyaan besar, yakni sepanjang tidak ada kwitansi tanda terima suap, boleh jadi Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak akan pernah berani untuk mengajukan perkara tersebut ke sidang pengadilan.”

Dalam soal penyalahgunaan wewenang, konstruksi aturan hukum Indonesia

sungguh mengenaskan seperti yang dikatakan Karni (2000, 230) sebagai berikut:

13

KUHAP pasal 120 ayat (1) 14 Lihat pasal 183 dan pasal 187 butir (d) KUHAP

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

74

“Dalam kasus penyalahgunaan wewenang, misalnya harus ada bentuk perintah tertulis dari atasan agar bawahannya melaksanakan tugas yang menyimpang. Menurut advokat, barangkali surat perintah (bila ada) juga harus sah demi hukum. Kalau sistem pembuktian tetap seperti sekarang, sulit digunakan untuk memberantas korupsi. Jaksa bersama auditor telah bekerja berbulan-bulan dengan biaya yang tidak sedikit, apalagi kalau dalam rangka pembuktian perlu ke luar negeri, lalu di sidang pengadilan disanggah oleh advokat yang disiapkan hanya dalam beberapa jam belaka. Di negara kita sangat terbuka lebar untuk menyanggah Dakwaan Jaksa dengan hanya menggunakan pembenaran hukum semata”.

Tuduhan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara menggunakan

penyalahgunaan kekuasaan adalah mudah bagi advokat untuk menyanggah Dakwaan

jaksa. Misalnya saja, atas perintah lisan dari ―Atasan‖, sang petugas gudang (bagian

logistik) menandatangani berita acara penerimaan barang gudang yang fiktif. Dengan

demikian, saja sang atasan tentu tidak meninggalkan jejak tanda tangan atas

perinahnya tersebut. Sebagai akibatnya akan sangat sulit untuk menuntut atau

memperkarakan sang atasan, meski perintah menandatangani penerimaan barang

fiktif itu datangnya dari perintah lisan sang atasan. Sedangkan yang akan kena getah

dan mempertanggungjawabkan penerimaan barang fiktif adalah sang bawahan.

Seirama dengan perintah atasan di atas, dapat saya uraikan suatu ilustrasi

tentang kasus riil yang sama, yakni pada kasus PGN (Perusahaan Gas Negara) yang

menimpa Joko Pramono. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur

Umum dan SDM PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Pramono sebagai tersangka

dalam kasus dugaan korupsi pungutan uang proyek pembangunan jaringan pipa

distribusi gas dan atau penyuapan ke sejumlah anggota DPR RI. Pramono diduga

terlibat dalam kasus yang juga menjerat mantan Direktur Utama PT. PGN, Washington

Mampe Parulian Simanjuntak.

Ketika kasus ini terjadi pada saat Pramono menjabat sebagai Direktur

Keuangan PGN. Nama Pramono disebut di dalam surat dakwaan terhadap Simanjutak.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

75

Tim penuntut umum KPK menyatakan bahwa dana pungutan kontraktor PT. PGN

sebesar Rp1,6 miliar mengalir ke sejumlah anggota DPR RI pada 2003.

Simanjuntak memerintahkan pengumpulan dana dari sejumlah kontraktor PGN

dalam proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas. Sebagian uang itu diberikan

kepada anggota DPR RI yang telah mengegolkan anggaran PGN 2003. Atas

perbuatan itu, Simanjuntak dijerat dengan pasal 12 huruf e dan atau pasal 11 dan atau

pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1)

kesatu KUHP.

Kasus berawal dari Simanjuntak menerima telepon dari anggota DPR RI

Agusman dan Hamka Yandhu. Pada saat itu, Agusman meminta dana sebesar Rp.1

miliar yang akan dibagikan kepada anggota Komisi VIII DPR RI. Sedangkan Hamka

Yandhu meminta dana Rp.600 juta, yang separuhnya akan diteruskan kepada

pimpinan DPR, sedangkan sisanya untuk Yandhu sendiri.

Atas permintaan itu, Simanjuntak kemudian memerintahkan Direktur Keuangan

PGN, Pramono dan beberapa bawahannya untuk mengumpulkan uang dari para

kontaktor proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas di beberapa daerah di

Indonesia. Pengumpulan dana itu mencapai Rp3,6 miliar

Kemudian Simanjuntak memerintahkan penyerahan uang kepada anggota DPR

Agusman dan Hamka Yandhu. Penyerahan uang sebesar Rp.1 miliar kepada

Agusman dilakukan melalui orang bernama Tohir Nur Ilmani dan Darmojo.

Penyerahan uang sebesar Rp.1 miliar itu dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam

tas dan diserahkan kepada Agusman di sebuah rumah makan di Jakarta. Setelah

mengambil uang, Agusman mengembalikan tas itu.

Sementara itu, penyerahan uang kepada Yandhu dilakukan oleh Pramono.

Secara keseluruhan, Yandhu menerima uang dalam bentuk cek senilai Rp.600 juta.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

76

Separuh dari uang itu dinikmati Yandhu sendiri sebagai imbalan karena keluarnya izin

inisiatif penawaran saham PGN, yang separuh sisanya diteruskan kepada pimpinan

DPR RI. Sisa dana hasil pungutan terhadap kontraktor dinikmati oleh Pramono

sebesar Rp.700 juta, Simanjuntak sebesar Rp.300 juta, dan sisa yang lain dinikmati

oleh beberapa pejabat PGN lainnya.

Kasus itu merupakan pengembangan pengusutan kasus korupsi yang menjerat

mantan General Manager PGN Jawa Timur, Trijono. Dalam persidangan Trijono

terungkap bahwa aliran uang dari PT PGN kepada sejumlah anggota DPR. Ketika

bersaksi di persidangan, mantan Direktur Keuangan PT PGN, Pramono mengaku telah

menyerahkan cek senilai Rp.200 juta kepada Yandhu. Pramono juga mengatakan

telah membagikan cek senilai Rp.50 juta sampai Rp.75 juta kepada sejumlah anggota

DPR yang hadir dalam rapat dengan PT PGN.

Menurut Pramono, anggota DPR yang menerima antara lain Ferial, Agusman,

dan Asawi. Masih menurut Pramono, PT PGN telah menerima setoran uang sebesar

Rp.700 juta dari Trijono ketika menjabat sebagai General Manager PGN Jawa Timur.

Pramono mengaku diperintah oleh Direktur Utama PGN, untuk membagikan uang itu

kepada sejumlah anggota DPR. Dalam kasus ini, KPK juga sudah memeriksa mantan

anggota DPR Hamka Yandhu, Achmad Ferial Husein dan Agusman (TVone.com,

tanggal 19 Januari 2010, berita jam 22:32)

Bagi saya, uraian sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa perbuatan

Pramono telah dapat dimasukkan dalam perbuatan tindak pidak korupsi dan

diklasifikasikan sebagai tindak pemerasan dan penyuapan. Pemerasan kepada

suppliers PGN dan penyuapan kepada anggota DPR.

Selanjutnya, terdapat beberapa kendala bagi auditor dalam membantu penyidik

pada sidang pengadilan. Bilamana permintaan audit investigatif itu berasal dari

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

77

penyidik Kepolisian, dan kemudian hasil penyidikan diserahkan kepada Jaksa

Penuntut Umum (JPU). Hasil AI atau PKKN, JPU pada umumnya masih akan meminta

tambahan-tambahan keterangan dari auditor investigatif, dalam rangka untuk lebih

menguraikan dan menambah kejelasan laporan AI atau PKKN tersebut.

Permintaan tambahan keterangan itu akan timbul persoalan baru, yakni akan

terjadi pemberian keterangan secara berulang-ulang. Keadaan itu terjadi, karena salah

satu ciri tindak pidana korupsi adalah eksistensi kerugian negara sebagai akibat

adanya penyalahgunaan wewenang yang melibatkan tidak hanya satu pelaku.

Dengan pelaku yang banyak, tentu auditor investigatif harus selalu siap untuk

datang bolak-balik untuk memberikan keterangan ahli atas laporan AI dan PKKN pada

setiap persidangan terhadap masing-masing pelaku yang terlibat dalam tindak pidana

korupsi. Bilamana yang terlibat 5 orang, maka auditor akan hadir untuk pemberian

keterangan ahli atas 5 orang tersebut, demikian seterusnya.

Di samping persoalan atas bolak-balik untuk hadir dalam pemberian

keterangan ahli, dalam persidangan tindak pidana korupsi, auditor investigatif juga

akan mengalami kesulitan untuk mampu meyakinkan hakim atas konfigurasi, konsep

dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam arsitektur akuntansi dan keuangan.

Di samping berhadapan dengan kompleksitas dalam memberikan penjelasan

hasil AI dan PKKN, auditor juga akan berhadapan dengan argumentasi advokat yang

cenderung dan mencoba mematahkan laporan hasil AI atau PKKN yang dibuat auditor.

Misalnya saja, dalam soal menghitung kerugian keuangan negara yang melekat pada

perbuatan melawan hukum. Karni (2000, 238) mengungkapkan sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

78

“Dari pengalaman siding di pengadilan yang pernah saya ikuti, masih terdapat advokat yang mempermasalahkan soal menghitung kerugian negara yang melekat pada perbuatan melawan hukum. Pertanyaan advokat akan menggiring auditor kepada masalah hukum… biasanya advokat akan mempermasalahkan mengapa auditor masuk ke pokok perkara, padahal seorang ahli hanya diminta pendapat dan bukan penjelasan. Di sisi lain, untuk dapat menghitung kerugian keuangan negara yang melekat pada perbuatan melawan hukum harus terlebih dahulu melakukan audit. Tanpa melakukan audit terlebih dahulu, tidak mungkin auditor dapat membuat keterangan ahli.

Jadi, dari dialog sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa di samping auditor

investigatif harus mampu membangun laporan AI dan PKKN, dia harus juga

mempersiapkan diri untuk mampu mempresentasikan laporan hasil AI dan PKKN

dalam bahasa yang sederhana namun tidak mengurangi isi substansi dari laporan

tersebut. Kepiawaian dalam berkomunikasi verbal menjadi keniscayaan yang tidak

terhindarkan. Karena perkara akan dapat menjadi terang benderang manakala auditor

investigatif sanggup memberikan keterangan yang lengkap, jelas dan cermat serta

keterangan tersebut dapat ditangkap secara sempurna oleh para pihak yang

berperkara.

Selanjutnya pada sisi lain, yang perlu kita ketahui adalah, pada umumnya

dalam perkara tindak pidana - apapun jenis pidananya - bukti surat di bawah tangan

akan mempunyai nilai tinggi bilamana surat di bawah tangan tersebut memiliki

hubungan dengan isi dari alat pembuktian lain. Misalnya, terdapat pertautan antara

bukti surat di bawah tangan dengan keterangan saksi yang telah menyerahkan

sejumlah uang itu kepada terdakwa yang dilampiri dengan sebuah kwitansi. Pertautan

antara surat di bawah tangan dengan keterangan saksi itu dapat kita simpulkan

sebagai alat bukti surat. Proses pertautan semacam itu, dalam hukum pembuktian

dapat diklasifikasikan sebagai suatu bentuk pembuktian minimum.

Kembali pada soal ker, Informan Azhar (mantan jaksa) saat saya tanya

mengenai apa arti kerugian keuangan negara. Azhar mengatakan bahwa:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

79

“Manakala dalam suatu dugaan kasus tindak pidana korupsi, misalnya kasus Bahri, dinyatakan terdapat kerugian negara, maka sudah seharusnya ditemukan juga fakta lain, yaitu pihak-pihak yang diuntungkan. Bilamana terdapat keterangan ahli yang menyatakan mengenai kerugian negara, namun tidak ada pihak yang diuntungkan, lalu kerugian itu artinya apa? Khan tidak jelas makna kerugian negara itu?”

Dengan demikian, pemberi keterangan ahli dalam kasus tindak pidana korupsi,

harus dilakukan oleh seseorang yang berkriteria ―ahli‖. Artinya, seorang ahli itu harus

memberikan penjelasan yang berorientasi dan mengarah pada penjelasan profesional

yang memiliki ilmu pengetahuan dan atau ketrampilan di bidangnya secara mendalam

dan komprehensif. Pengetahuan itu bisa saja dalam bidang akuntansi, keuangan,

auditing, hukum atau bidang lain yang relevan dengan konteks dan substansi perkara.

Penjelasan yang diberikan harus berkorelasi dan berkait erat serta terjalin secara

berkelindan dengan perkara tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, dalam hal alat bukti keterangan ahli, pada kasus Bahri mantan

ketua LPM UB, ternyata Auditor BPKP telah meminta keterangan kepada pihak yang

secara kriteria tidak memenuhi syarat sebagai ‗ahli‘. Keterangan ahli yang dimintakan

dari PT. Boma Bisma Indra (BBI) yang dianggap independen bisa dibaca dalam

laporan penghitungan kerugian keuangan negara BPKP Perwakilan Jawa Timur pada

halaman 8 yang menyebutkan sebagai berikut:

“Pembayaran kepada CV. Teknika Utama untuk pengadaan peralatan Pabrik PG Kigumas atas kontrak … tanggal … sebesar Rp.981.877.600,00 yang prosedur pengadaannya hanya formalitas... Hasil audit yang kami lakukan bersama dengan ahli independen PT. Boma Bisma Indera (cetak tebal dari saya) menunjukkan selisih kontrak dibanding hasil audit. Selisih tersebut merupakan Kerugian Keuangan Negara yang besarnya adalah Rp.109.851.950,00

Dengan dasar kalimat seperti itu, tentu dapat kita simpulkan bahwa

kriteria PT Boma Bisma Indera (BBI) yang disebut sebagai ‗ahli independen‘ menjadi

persoalan serius. BBI tidak memenuhi kriteria sebagai pihak independen juga

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

80

disebabkan karena BBI adalah pesaing dari PT Weltes yang dikalahkan dalam lelang

pengadaan mesin PG Kigumas.

Di samping tidak independen, PT BBI juga tidak memiliki kewenangan dan

kompetensi, karena BBI adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengadaan

mesin-mesin pabrik yang tentu saja tidak memiliki kompetensi dan kewenangan dalam

melakukan penilaian asset/properti. Penunjukan BBI sebagai perusahaan yang diminta

penilaiannya tentu tidak punya kewenangan memberikan penilaian. BBI bukan KJPP

(kantor jasa penilai publik) yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian suatu

asset/properti. Kesalahan besar dan fatal seperti ini tentu akan membawa dampak

besar terhadap keyakinan hakim terhadap angka perhitungan kerugian keuangan

Negara (PKKN).

Kesalahan lain yang dilakukan tim BPKP, dapat kita temukan pada laporan

laporan PKKN halaman 7 berbunyi sebagai berikut:

“Pembayaran kepada CV. Samijaya sebesar Rp.994.392.647,00 hasil penghitungan kami bersama Dinas Kimpraswil Kabupaten Malang atas pekerjaan yang dibayar tersebut terdapat selisih harga kontrak dibanding hasil audit berupa kerugian Keuangan Negara sebesar Rp.259.630.481,41”

Padahal dalam struktur organisasi Pemkab Malang berdasarkan PERDA

Pemkab Malang Nomor 3 Tahun 2003 juncto Nomor 4 Tahun 2004, dalam dua perda

tersebut, kita bisa melihat bahwa tidak ada satker (satuan kerja) pemda yang namanya

Dinas Kimpraswil. Lalu BPKP menyebut laporan itu berbasis penghitungan bersama

Dinas Kimpraswil, pertanyaannya adalah sebenarnya lembaga mana? Inilah bentuk

ketidakcermatan yang dilakukan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian

keuangan negara.

Sebagai dampak atas ketidakkcermatan tersebut akan memiliki dampak serius,

kepada semua terdakwa. Mereka tentu akan ―berdarah-darah‖. Artinya para terdakwa

harus menjadi pesakitan terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan segala

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

81

perbuatan yang ―diduga salah‖ tersebut di pengadilan hingga munculnya putusan

hakim yang membebaskan tersangka.

PKKN dari BPKP yang tidak akurat dan tidak cermat seperti itu juga pernah

ditemui Kustaryo pada kliennya yang dijerat dugaan tindak pidana korupsi. Kustaryo,

mengatakan sebagai berikut:

“Nilai kerugian yang dihitung oleh BPKP untuk objek yang sama namun dalam tahun yang berbeda menghasilkan angka yang berbeda. Artinya perhitungan BPKP tahun 2005 menghasilkan laporan yang wajar, artinya angka tukar guling itu wajar dan tidak ada kerugian negara). Namun pada tahun 2007 untuk objek yang sama oleh BPKP setelah dihitung ulang terdapat angka kerugian negara sebesar Rp 5,3 milyar. Yang lebih aneh lagi adalah bahwa, pada tahun 2008 manakala PT.Sucofindo menghitung objek yang sama, hasilnya malah menunjukkan adanya keuntungan senilai Rp.300 juta, lalu nilai manakah yang paling akurat?”

Jadi, menurut saya penghitungan kerugian keuangan Negara (PKKN) dalam

tindak pidana korupsi harus pasti dan benar karena hal itu berkait erat dengan masalah

pembuktian. Karena itu, pada soal pengalian, pembagian, penjumlahan, dan

penambahan (ping-poro-lan-sudo atau disingkat dengan pipo londo) niscaya benar dan

pasti. Dalam pipo londo tidak boleh ada yang salah dan atau mengandung

ketidakcermatan.

Surat dakwaan adalah mahkota bagi jaksa penuntut umum. Karena itu surat

dakwaan harus dihindarkan baik kesalahan bahasa, angka-angka maupun kesalahan

pencantuman unsur dalam pasal-pasal yang dilanggar terdakwa.

Di samping itu, keakuratan angka PKKN, sesuai dengan asas konstitusionalitas

yang berarti adanya perlindungan hak untuk memperoleh jaminan dan perlindungan

hukum yang pasti (asas lex certa disebut juga sebagai bestimmheitsgeboot)), yang

dalam hukum pidana diterjemahkan sebagai ―asas legalitas‖ (tercantum dalam pasal 1

ayat (1) KUHP) yang berisi mengenai atas adanya kepastian hukum di mana orang

hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

82

tertulis (lex scipta). Selanjutnya orang juga dapat dipidana sesuai dengan rumusan

perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang

dilarang sehingga karenanya ia dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip

nullum crimen sine lege stricta atau biasa disingkat dengan lex stricta (sesuai apa

yang terdapat dalam tulisan).

Dalam hukum pidana juga dikenal luas adanya asas geen straaf zonder schuld,

yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Untuk membuktikan adanya unsur

kesalahan (sculd) maka harus dilihat mens rea dari si pelaku, yakni apakah perbuatan

yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan dikehendaki dan diketahui oleh si pelaklu

(witten en waten).

3.4.3. ALAT BUKTI SURAT

Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni

surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah

(Chazawi, 2006,68). Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis

seperti: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et

repertum, surat keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik,

laporan hasil audit investigatif, laporan penghitungan kerugian keuangan negara

termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian lain.

Laporan hasil perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dari BPKP, yang

dalam ranah hukum dapat dikategorikan sebagai ‗Alat Bukti Surat‘ merupakan salah

satu acuan utama bagi hakim dalam pengambilan putusan hukumnya. Dalam konteks

penanganan perkara tindak pidana korupsi di pengadilan, bukti surat yang berisi

adanya angka kerugian keuangan Negara akan dapat membangun keyakinan hakim

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

83

atas kepastian eksistensi tindak pidana korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, unsur

kerugian keuangan negara mutlak harus eksis dan benar-benar terjadi serta dengan

jumlah rupiah yang harus memunculkan angka riiil dan pasti.

Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bagian sebelumnya, pelaksanaan

audit investigatif yang dilakukan oleh BPKP perwakilan Jawa Timur ini berjenis audit

investigatif dalam area penghitungan kerugian keuangan negara yang pelaksanaanya

atas permintaan Kejaksaan Negeri Kepanjen No: R.01/0.5.43/Fd1/2005 tertanggal 24

Maret 2005 perihal bantuan investigasi audit keuangan. Kemudian surat tersebut

ditindaklnjuti dengan surat tugas kepala perwakilan BPKP Jawa Timur dengan Nomor

Surat Nomor: ST-2978/PW.13/5/2005 tertanggal 29 April 2005 perihal Bantuan

perhitungan kerugian keuangan negara dan Nomor: ST-4120/PW.13/5/2005 tertanggal

22 Juni 2005 terhadap perpanjangan waktu penugasan bantuan penghitungan

kerugian keuangan negara.

Dalam keterangan ahli, institusi BPKP perwakilan Jawa Timur diwakili oleh

SUMARTONO. Untuk pemerolehan keterangan ahli, penyidik melakukan

penyidikannya berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen Nomor:

Print-.04.5.43/Fd.1/4/2006, menyatakan dalam salah satu isi berita acara pemeriksaan

(BAP) menyatakan (lengkapnya lihat dalam Dakwaan JPU):

“Biaya jasa tenaga kerja non pegawai Rp.496.343.493 yang merupakan nilai pekerjaan penyempurnaan perencanaan yang fiktif kepada LPM Universitas Brawijaya Malang dari nilai total Rp.645.987.000. Pembiayaan fiktif dapat dirinci sebagai berikut: nilai addendum kontrak 05 Tahun 2003 Rp.380.047.250, nilai addendum kontrak 06 Tahun 2003 Rp.265.939.850 (total Rp.645.987.000) kemudian dikurangi dengan pekerjaan pengawasan yang dilaksanakan yaitu: addendum nomor 05 tahun 2003 Rp.143.700.667 dan ditambah nilai addendum nomor 6 tahun 2003 Rp.12.951.840 (total Rp.156.652.507).

Perhitungan nilai kerugian negara yang dihasilkan adalah Rp.645.987.000

dikurangi Rp.156.652.507= Rp.496.343.493. Angka nilai kerugian Negara ini kemudian

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

84

di justifikasi dengan kutipan beberapa aturan yang dilanggar. Kutipan aturan yang

dilanggar itu antara lain adalah sebagai berikut:

“Pola pendanaan “pre financing” dalam kegiatan KIMBUN berbasis tebu tidak dapat dibenarkan karena melanggar pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 Kepres 80 Tahun 2003. Di samping itu, dana yang tercantum dalam DASK Tahun 2004 dengan pendanaan pre-financing direkayasa supaya uang Negara dapat dibayarkan.

Bilamana kita kaji secara seksama, pada dasarnya dalam pasal 10 ayat (3)

tersebut mengatur mengenai soal pelarangan terhadap pengeluaran uang atas beban

APBD. Aturan itu lengkapnya adalah sebagai berikut: ―Setiap pejabat dilarang

melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak

tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut‖.

Pada dasarnya, kegiatan apapun dilarang untuk dibayarkan. Artinya jika anggaran

tidak ada dalam APBD dan/atau dalam perubahan anggaran keuangan (PAK), dilarang

melakukan pembayaran apapun. Aturan pelarangan pembayaran ini dimaksudkan

sebagai bagian dari implementasi pola anggaran yang berbasis kinerja yang telah

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari praktik-praktik manajemen keuangan

daerah secara keseluruhan.

Pelarangan pembayaran seperti di atas itu juga diatur dalam pasal 9 ayat (4)

Kepres 80 Tahun 2003 tentang aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah

pusat/daerah. Oleh karena itu, aturan ini juga menjadi acuan bagi auditor BPKP dalam

menjustifikasi terjadinya kerugian keuangan negara. Pasal 9 ayat (4) dalam Kepres 80

Tahun 2003 tercantum aturan yang mengatur tentang bagaimana pembayaran atas

pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan. Aturan itu berbunyi sebagai berikut:

―Pengguna barang/jasa dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia

barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

85

akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk

kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBN/APBD.

Jadi, meskipun simpulan auditor BPKP atas adanya jumlah kerugian keuangan

negara tersebut sangat logis dan berbasis legal formal (sesuai peraturan hukum yang

berlaku), hasil tersebut dapat dijadikan dasar bagi penyelidik untuk lebih memperdalam

dan lebih memperkaya perkara tersebut.

Pengertian kerugian keuangan negara, yang diambil BPKP adalah dari bunyi

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi 31/1999 yang telah diperbaharui dengan

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi No. 20/2001 dapat diartikan sebagai berikut:

(1) Berkurangnya kekayaan negara dan atau bertambahnya kewajiban negara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kekayaan negara merupakan konsekuensi dari adanya penerimaan pendapatan yang menguntungkan dan pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara (pendapatan dikurangi kerugian negara);

(2) Tidak diterimanya sebagian dan atau seluruh pendapatan yang menguntungkan keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(3) Sebagian atau seluruh pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara lebih besar atau seharusnya tidak menjadi beban keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(4) Setiap perubahan kewajiban negara yang diakibatkan oleh adanya komitmen yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam kasus Bahri, penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP

Perwakilan Jawa Timur mengarahkan arti kerugian keuangan negara pada poin 3 di

atas. Bahan-bahan yang diaudit oleh Tim BPKP perwakilan Jawa Timur merupakan

materi hasil penyidikan tim penyidik yang telah menyimpulkan atas adanya perbuatan

melawan hukum terhadap penggunaan dana kegiatan pembinaan KIMBUN TA 2004.

Dalam laporan BPKP pada kasus ini secara tegas dan jelas menyatakan bahwa

tanggung jawab BPKP dalam penugasan ini hanya menghitung jumlah kerugian

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

86

keuangan negara/daerah, dan bukan memberikan opini hukum atas kasus dugaan

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.

Alat bukti surat, pada kasus Bahri yang salah satu bentuknya berupa Laporan

Penghitungan Kerugian keuangan negara yang dibuat BPKP Jawa Timur bertanggal 14

September 2005. Laporan itu dibuat berbasis data dan paparan jaksa penyidik kepada

tim auditor BPKP. Simpulan Laporan itu berbunyi sebagai berikut:

“Berdasarkan hasil audit sebagaimana diuraikan di atas, serta bukti-bukti yang ada dan dapat kami peroleh, jumlah kerugian keuangan Negara/Daerah sekurang-kurangnya sebesar Rp.1.180.210.082,41 yang menjadi tanggung jawab Freddy Talahatu sebesar Rp.873.432.482,41 dan Hendro Soesanto sebesar Rp.306.777.600,00”

Padahal dalam laporan BPKP pada halaman 3 mengungkapkan bahwa data

yang dipergunakan sebaga dasar untuk menghitung kerugian keuangan negara oleh

tim auditor BPKP adalah sebagai berikut:

a. DASK, SPP, SPMU tahun 2004 beserta bukti pendukungnya; b. Surat Perjanjian Pemborongan /Kontrak dan addendum kontrak c. Laporan/resume hasil pemeriksaan tersangka/saksi dari penyidik; d. Hasil penghitungan volume pekerjaan bangunan oleh Dinas Kimpraswil

Kabupaten Malang dan hasil penghitungan nilai pengadaan/pemasangan peralatan/mesin pabrik oleh PT Boma Bisma Indra.

Dengan data yang terbatas semacam itu, tentu saja tuduhan pekerjaan fiktif

menjadi problematik. Karena itu bisa terperangkap dalam ketidakcermatan atau

kurangan prosedur audit. Hasil audit yang mengandung ketidakcermatan itu juga

menjadi bagian uraian pembelaan (pledoi) Bahri yang menyakan sebagai berikut:

“Kesimpulan inilah yang menyebabkan tuduhan fiktif karena ketidakcermatan saudara Soemartono dkk sebagai Tim Audit BPKP Jawa Timur yang telah beraninya menyimpulkan bahwa telah terjadi pekerjaan fiktif yang hanya berdasarkan analisis atas data-data yang diterima dari penyidik… “Padahal berdasarkan ketua tim proyek PG Kigumas, Sudjito dan wakil ketua Bisri serta saksi-saksi lain yang dihadirkan dalam persidangan terbukti menyatakan:

1. Kontrak dilakukan secara bertahap, artinya hak dan kewajiban jelas ada

batas waktunya; 2. Desain tahun 2001 hanya merupakan desain untuk menghitung investasi

yang disesuaikan dengan pagu anggaran Pemerintah Kabupaten Malang;

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

87

3. Desain yang dibuat konsultan dengan pelaksanaan yang dilakukan kontraktor tahun 2003 baik mesin maupun sipil dilaksanakan secara parallel;

4. Tugas pekerjaan pengawas berbeda dengan tugas desain; 5. Pekerjaan desain sudah disepakati oleh kedua belah pihak dalam

addendum nomor 05 dan 06.

Dari uraian sebelumnya itu dapat disimpulkan bahwa tuduhan BPKP bahwa

pekerjaan konsultan desain mesin dan sipil itu fiktif tentu saja tidak benar. Karena Tim

Konsultan LPM UB telah bekerja sejak dikeluarkannya surat perintah oleh kepala dinas

perkebunan Kabupaten Malang (Tuharto) tertanggal 20 Januari 2003. Terdapat

laporan lengkap dan berita acara serah terima pekerjaan dan penyerahan sesuai

dengan addendum nomor 05 dan 06,

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alat bukti surat yang dibangun BPKP

Jawa Timur mengandung ketidakcermatan yang parah. Ketidakcermatan seperti ini

pada gilirannya juga akan memperlemah visum akuntansi forensik secara keseluruhan,

karena terdapatnya alat bukti yang tidak akurat, tidak jelas, tidak lengkap dan tidak

cermat. Karena itu dalam akuntansi dan auditing, bukti harus mengandung sifat

competence, relevance, material

Seirama dengan persoalan bukti yang didialoglan sebelumnya, Singleton et. al,

(2006, 300) menyatakan sebagai berikut:

“To be legally acceptable as evidence, however, testimony, documents, objects, or facts must be relevant, material, and competent to the issues being litigated, an gathered lawfully. Otherwise, on motion by the opposite side, the evidence may be exclude…we should elaborate on relavancy, materiality, and competency.”

Jadi, bukti yang kompeten, relevan, cukup dan material (rekocuma) menjadi

keniscayaan bagai visum akuntansi forensik. Empat syarat yang melekat pada bukti itu

harus secara terus menerus dimunculkan dan menjadi mind-set dalam perjalanan

akuntan forensik atau investigator dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan

serta membangun visum akuntansi forensik.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

88

Untuk melengkapi alat bukti surat, berikut saya uraikan contoh lain bentuk

laporan hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI. Audit investigatif yang dilakukan

BPK RI dalam kasus ini merupakan pelaksanaan audit investigatif atas kekurangan

Kas dan Belanja Daerah Kabupaten Jember (Nomor 167/R/XIV.3/08/2005).

Pada kotak 3.2. gambaran bahwa hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI

menghasilkan sebuah simpulan adanya indikasi atau dugaan terjadinya kerugian

keuangan negara (bukti awal adanya selisih kurang kas daerah sebesar

Rp.11.758.082.865) dan menguntungkan pihak-pihak lain yang terjadi sebagai akibat

dari penyalahgunaan wewenang (perbuatan melawan hukum).

Pemunculan suatu dugaan atas eksistensi tindak pidana korupsi menjadi

auditor investigatif untuk menemukan dan meninjau kembali bukti-bukti yang

menguatkan atau melemahkan sangkaan itu. Karena dugaan yang belum terbukti

dapat berdampak fatal terhadap reputasi orang-orang yang diduga atau diindakasikan

terlibat kasus tindak pidana korupsi. Proses pengumpulan bukti awal ini harus

dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Bukti-bukti ini harus dikumpulkan dan

disimpan sedemikian rupa agar memenuhi standar-standar pembuktian yang berlaku di

persidangan. Inilah standar ―forensik‖ yang harus dipatuhi dalam investigasi bidang

akuntansi dan keuangan. Dalam kasus-kasus pidana, bukti-bukti harus mampu

membuktikan atas kesalahan tersangka serta dapat mengalahkan atau mengungguli

keraguan yang masuk akal terhadap kesalahan tersangka. Sebuah bukti yang

berkriteria a beyond reasonable doubt.

Berkaitan dengan proses pematangan bukti awal, informan Iguh (auditor KPK)

mengatakan sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

89

Lembaga peradilan akan bergerak untuk melakukan penyidikan bilamana ada laporan indikasi korupsi yang masuk, baik laporan itu berasal dari pengaduan masyarakat maupun dari sumber lainnya, dengan syarat bahwa laporan pengaduan tersebut memang telah memenuhi kriteria tertentu yang dapat kita tindak lanjuti…

Bentuk sumber informasi awal memang memiliki wujud yang berpuspa-ragam.

Bukti-bukti itu dapat saja berupa pengaduan masyarakat, baik bersumber dari whisle-

blower, LSM, laporan hasil audit umum (LHAU), laporan inspektorat, atau lainnya.

Laporan itu dapat juga hasil operasi intelejen dan informasi khusus atau secara

―kebetulan‖ ditemukan. Pada umumnya bukti awal, juga tidak dapat dipercaya 100%.

Boleh jadi banyak motif yang terkandung di dalamnya, baik itu motif ekonomi, politik

atau motif lainnya.

Dalam suatu pengaduan yang baik harus telah memiliki kriteria tertentu (lihat

kotak 3.3.). Salah satu contoh pengaduan masyarakat yang pernah ditindak lanjuti

KPK adalah, pengaduan LSM atas indikasi penyimpangan pengadaan logistik pemilu

2004. Pengaduan LSM itu dilakukan kajian secara serius dan komprehensif pada

direktorat pengaduan masyarakat di bawah kendali deputi pengawasan internal dan

pengaduan masyarakat KPK (Deputy of Internal Monitoring and Public Complaints)

atau sering disebut sebagai deputi PIPM (pelaporan informasi dan pengaduan

masyarakat). Hasil kajian disampaikan pada direktur penyelidikan (Directorat of Pre-

Investigations) pada deputi penindakan (Deputy of Repression)15.

Selanjutnya berbekal pengaduan, aparat KPK bergerak untuk melakukan kajian

dan telaah untuk memastikan apakah laporan tersebut terdapat indikasi kejahatan

korupsi. Kajian, verifikasi dan pengembangan serta pendalaman dilakukan dengan

15 Deputi penindakan KPK, membawahi tiga direktorat, yakni: Direktorat Penyelidikan (Directorat of Pre-Investigations), Direktorat Penyidikan (Directorat of Investigations) dan Direktorat Penuntutan (Directorat of Prosecution) di mana pada ketiga direktorat inilah bahan bukti berupa alat bukti dan barang bukti diteliti, dicari, diolah, dan dikumpulkan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

90

berbasiskan pada teknik-teknik analisis dengan mencermati apakah indikasi-indikasi

(red flags) atau gejala-gejala (symptoms) tersebut dapat dikaitkan dengan logika

rasional dapat membangun profiling, predication dan hypothesis construction of crime.

Kotak 3.3:

KRITERIA PENGADUAN MASYARAKAT

YANG DAPAT DITINDAK LANJUTI

Uraikan kejadiannya. Uraikan sedetail mungkin kejadian yang anda curigai sebagai bentuk perbuatan korupsi. Sebaiknya uraian dibatasi pada hal-hal yang berdasarkan fakta dan kejadian nyata, hindari hal-hal yang mendasarkan pada perasaan kebencian, permusuhan atau fitnah. Usahakan keseluruhan uraian dapat menggambarkan SIABIDIBA (Siapa, Apa, Bilamana, Di mana, Bagaimana) dari kejadian yang dilaporkan;

Pilih pasal-pasal yang sesuai. Cocokkan kejadian tersebut dengan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kira-kira pasal mana saja yang sesuai dengan kejadian tersebut (boleh lebih dari satu pasal);

Penuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi. Lihat unsur-unsur yang terdapat dalam undang-undang pemeberantasan tindak pidana korupsi (UU-PTPK) yang sesuai dengan kejadian tersebut, kemudian pastikan bahwa informasi dalam uraian yang dibuat dapat memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal atau pasal-pasal UU-PTPK tersebut. Semaksimal mungkin dapatkan informasi mengenai setiap unsur yang ada. Bilamana terdapat unsur-unsur yang tidak bisa dipenuhi, jelaskan mengapa unsur tersebut belum dapat dilengkapi;

Sertakan Bukti awal (bila ada). Apabila ada copy dokumen atau barang lain yang memperkuat uraian kejadian di atas dalam pengaduan yang dibuat tersebut.

Sertakan identitas anda. Akan sangat baik apabila identitas, alamat atau nomor telepon pelapor, sehingga bilamana masih dibutuhkan keterangan tambahan akan mudah untuk dihubungi.

Fokus pengaduan pada korupsi kelas kakap. Pengaduan atau laporan yang dibuat, fokuskan pada korupsi yang bukan kelas teri. Pengertian korupsi kelas kakap adalah:

Melibatkan orang dengan jabatan level tinggi atau memiliki pengaruh besar;

Terkait dengan aspek yang strategis atau menyangkut hajat hidup orang banyak;

Menyangkut nilai uang yang besar (lebih dari satu milyar rupiah). Sumber: KPK (2006 hal.131 -132)

Selanjutnya, bukti dalam perkara pidana ini biasanya berbasis dua sumber,

yakni pertama adalah dari arsip-arsip akuntansi, dokumen dasar dan data pendukung

yang tersedia. Pengalaman yang dimiliki auditor investigatif akan menentukan profil

‖penyimpangan‖, yakni mana yang sudah mendapatkan bukti cukup dan mana yang

masih perlu memperoleh bukti-bukti tambahan. Sumber kedua adalah informasi yang

didapatkan dari wawancara. Wawancara bisa dilakukan baik dengan pegawai internal

obyek audit, pelaku, atau pihak-pihak luar yang terkait seperti pemasok atau kontraktor

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

91

dan lainnya. Kapan dan bagaimana wawancara ini dilakukan akan tergantung pada

konteks perkaranya.

Kembali pada kasus mantan bupati Jember. Kasus ini bermula dari temuan dan

rekomendasi hasil general audit atas pertanggung jawaban keuangan periode 2000-

2005, Tim BPK RI Perwakilan Yogyakarta melakukan eksplorasi dan mengintegrasikan

alat bukti, barang bukti, fakta dan data yang dirangkum dalam chart and matrix yang

berupa konstruksi visum akuntansi forensik level audit investigatif. Tim audit investigatif

mengkonstruksi visum akuntansi forensik tersebut dengan menempuh teknik audit

investigatif antara lain adalah sebagai berikut: (1) menelaah informasi awal dari

temuan hasil audit keuangan (general audit), (2) mengumpulkan informasi tambahan

berupa laporan realisasi, bukti-bukti pengeluaran dan penerimaan, buku besar

penerimaan dan pengeluaran, data dari bank atas penerimaan, pengeluaran dan

perhitungannya, surat perintah membayar (SPM), cek pengeluaran, dan rekening

giro/tabungan dan dokumen keuangan lainnya yang terkait dengan kasus, dan

(3) menemukan tambahan informasi dari hasil pelaksanaan wawancara (interview)

dengan pelbagai pihak (keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan keterangan

tersangka) yang terkait dengan kasus yang ditangani tersebut.

Dengan langkah-langkah seperti di atas, audit investigatif yang dilakukan BPK

RI telah dapat memberikan simpulan atas indikasi tindak pidana korupsi, yang

kemudian membuat rekomendasi agar kasus tersebut ditindak lanjuti dengan proses

hukum, yakni berupa penyelidikan (lidik) dari aparat penegak hukum. Dalam

pandangan saya, simpulan dan rekomendasi itu telah dapat merekonstruksikan visum

akuntansi forensik yang dapat saya sebut juga as tool of justice and communication

yang berupa chart and matrix dalam tindak pidana korupsi. Bukti-bukti itu telah mampu

memberikan jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime 2H+5W.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

92

Demikian juga, mengenai masalah empat unsur yang melekat dalam kriteria

sebuah tindak pidana korupsi secara cermat, jelas dan lengkap dapat terjawab secara

meyakinkan. Sebuah jawaban hypothetical construction of crime berbasis bukti,

informasi, fakta dan data. Dengan kata lain simpulan yang dibuat auditor investigatif

tidak menyisakan keraguan atas indikasi dugaan eksistensi tindak pidana korupsi

(a beyond reasonable doubt).

Kotak 3.4:

LAPORAN HASIL AUDIT INVESTIGATIF

BUPATI JEMBER JAWA TIMUR

a. Penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu tidak melalui

penganggaran dalam APBD dan pengeluaran tidak melalui prosedur SPP/SPPMU tersebut adalah merupakan Kerugian Daerah, sebesar Rp.128.759.374.669 yang

menjadi tanggungjawab Pemegang Kekuasaan Umum Pengelola Keuangan Daerah. b. Pemalsuan dokumen untuk tujuan pemeriksaan BPK-RI atas Rekening Koran Giro

Nomor 0031090008 yang menunjukkan adanya selisih kurang atas saldo kas sebesar Rp.11.759.082.865

c. Kegiatan pengurusan pemindahan ijin Radio Kendedes dari Banyuwangi ke Jember tidak dapat diyakini kebenaran penggunaannya dan menimbulkan kerugian sebesar Rp.700.000.000

d. Pemotongan dana bantuan keuangan untuk pembinaan kecamatan merugikan keuangan daerah sebesar Rp.3.348.000.000

REKOMENDASI

Berdasarkan penyimpangan, modus operandi, pihak yang diindikasikan terlibat serta indikasi untuk tindak pidana yang telah diindikasikan dan telah didapatkan alat bukti serta yang kemudian dapat disimpulkan bahwa cukup bukti adanya indikasi tindak pidana korupsi, Tim audit investigatif merekomendasikan agar hasil audit investigatif ini ditindaklanjuti dengan penyerahan laporan ini kepada pihak Kejaksaan Agung dan atau Komisi Pemberantasan Korupsi agar segera ditindaklanjuti dengan proses penyidikan oleh jaksa Penyidik

Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, hal. 45, No. 167/R/XIV.4/08/2005, tanggal 30 Agustus 2005

Dalam kasus Bupati Jember yang tampak pada kotak 3.4. dan 3.5. serta tabel

3.5., konstruksi visum akuntansi forensik yang terdiri dari bukti akuntansi berupa

financial evidence (rekapitulasi, buku besar, laporan realisasi, APBD dan bukti lainnya)

serta corroborating evidence (rekening koran, bukti-bukti transaksi, lembaran cek,

kuitansi tanda terima dan lainnya) dan dan alat bukti keterangan saksi yang tersangkut

dan/atau terlibat dengan kasus (seperti Joewito, Sahuri, Mulyadi dan 33 orang lainnya).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

93

Pengembangan dan pengkayaan atas seluruh alat bukti dapat dirangkai dalam suatu

rangkaian dengan apa yang sering disebut sebagai ―chart and matrix” yang merupakan

visum akuntansi forensik level audit investigatif.

Kotak 3.5.

KASUS POSISI TINDAK PIDANA KORUPSI

BUPATI JEMBER 2000 – 2005

Kasus Posisi

Akibat kerugian keuangan Negara (how much) : Rp.132.807.374.669,36

Bagaimana (how) : Lihat pada tabel 3,5 matriks dan laporan hasil Audit Investigatif BPK

Dimana/Locus delictie (Where) : Di Pemda Kabupaten Jember

Apa yang terjadi (What) : Pengeluaran Kas di luar APBD (Non Budgeter) untuk Kepentingan di luar APBD

Siapa (Who) : SAMSUL HADI SISWOYO

Motivasi (Why) : Ekonomi

Bilamana/tempus delictie (when) : Kurun Waktu 2001 – 2005

Pasal 3 Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah)

Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, halaman 45, Nomor 167/R/XIV.4/08/2005, tertanggal 30 Agustus 2005

Demikian juga, hasil kajian saya atas berbagai laporan hasil audit investigatif

yang dilakukan BPK-RI terhadap kasus korupsi, seperti kasus DPRD Kabupaten

Badung Bali, kasus Pemda Kabupaten Kolaka Sulawesi Selatan, kasus Pemda

Kabupaten Agam Sumatera Barat dan lainnya, ternyata bukti akuntansi, bukti audit dan

bukti hukum berintegrasi menjadi visum akuntansi forensik, sehingga gambaran (chart)

indikasi tindak pidana korupsi serta matriks unsur-unsur perbuatan yang mendasari

tindak pidana korupsi dapat diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

94

Tabel 3-5 MATRIKS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI JEMBER 2000 – 2005

NO UNSUR TINDAK PIDANA

INDIKASI INDIKASI YANG DITEMUKAN DALAM AUDIT INVESTIGATIF

ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI YANG DAPAT DIIDENTIFIKASI

11. 1.

Setiap orang DRS H. SAMSUL HADI SISWOYO, MSi,

Jabatan Bupati Jember Periode 2000-2005 Kartu Penduduk Nomor: …. SK Mendagri Nomor: ….

2 Dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara

Terdapat kerugian Negara dari : - Rekening giro pemkab jember nomor

0031004000/0031000008/0031000007 sebesar Rp 14.287.000.657,79

- Rekening giro bupati (DAU) Nomor 0031050000 sebesar Rp 105.450.086.667,57

- Rekening SIMPEDA Nomor 0032020020 sebesar Rp 9.022.297.344,00

- Biaya Pengurusan Pemindahan ijin radio Kendedes sebesar Rp 700.000.000,00

- Pemotogan dana bantuan kecamatan sebesar Rp 3.348.000.000,00

- Aliran dana yang tertera dalam rekening giro / tabungan bank jatim cabang jember nomor 200.03.00/15.20, 0031050000, 0032020020

- B-IX BUku Besar penerimaan dan pengeluaran - Lembaran Cek Rekening giro nomor 00.1090008

dab 0031090007 - Kuitansi tanda terima

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabayan atau kedudukan

- Memerintahkan kepala para pejabat pengelola keuangan daerah untuk mengeluarkan kas daerah kabupaten jember di luar APBD sejak tahun 2001 s.d 2005 dari rekening Kas Daerah;

- Memerintahkan untuk menyimpan dan mengelola/mengeluarkan dana kas daerah di rekening yang tidak dimasukkan sebagai bagian dari rekening kas daerah

- Memerintahkan ... - Memerintahkan ...

- Disposisi bupati jember kepada kepala bagian keuangan pada setiap pengeluaran yang dilakukan di luar APBD

- Laporan realisasi pengeluaran non budgeter yang dibuat oleh kepala bagian keuangan secretariat daerah kabupaten jember

- Hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat (38 orang saksi)

4. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

- Menggunakan uang kas daerah tidak melalui prosedur

- Menguasai dan menggunakan rekening penampungan 0031050000 untuk kegiatan di luar APBD

- Menguasai dan menggunakan rekening simpeda nomor 0032020020 untuk kegiatan dan kepentingan yang cenderung untuk kepentingan pribadi

- Dan lainnya

1. Rekening Koran giro bendahara umum pemerintah kabupaten jember bulan desember 2004 yang dikeluarkan oleh Plt Kepala bagian keuangan

2. Pernyataan kepemilikan rekening yang dikeluarkan oleh plt kepala bagian keuangan

3. Rekening Koran giro bendahara umum pemerintah kabupaten jember yang dikeluarkan oleh bank jatim

4. Pernyataan saldo rekening giro bendahara umum pemkab dikeluarkan bank jatim

5. Rekening Koran giro bupati (DAU) jember 6. Rekening SIMPEDA Drs H. Samsul Hadi Siswoyo

MSi 7. Bukti bukti transaksi dari Bank Jatim cabang

Jember tahun 2002-2005 8. APBD Tahun Anggaran 2004 9. Dan lainnya

Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, halaman 45-49, Nomor 167/R/XIV.4/08/2005, tertanggal 30 Agustus 2005

Namun dalam laporan hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI pada

kasus lain simpulan hasil auditnya berbeda dengan yang saya utarakan sebelumnya.

Meskipun pada kasus tersebut alat bukti dan barang bukti, fakta dan data telah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

95

diperoleh secara lengkap dan komprehensif. Di mana bukti-bukti tersebut sebenarnya

dapat diikat dalam visum akuntansi forensik

Laporan hasil audit investigatif lain yang tidak lazim dilakukan BPK RI dapat

kita lihat misalnya pada laporan hasil audit investigatif Bank Century. Bilamana kita

lakukan analisis atas laporan hasil investigatif kasus Bank Century yang menerima

bail-out (talangan) berupa FPJP (fasilitas pinjaman jangka pendek) dari Bank

Indonesia yang kemudian diubah menjadi PMS (penanaman modal Sementara) dari

LPS (lembaga penjamin simpanan) sebesar Rp.6.762.361.000.000 (enam triliun tujuh

ratus enam puluh dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta rupiah), ternyata dalam

laporan hasil audit investigatif BPK RI tersebut menyajikan laporan yang tidak standar.

Artinya, dalam laporan BPK RI itu tidak tampak simpulan kasus posisi dan matriks atas

unsur-unsur indikasi tindak pidana korupsi simpulan dan rekomendasi yang umumnya

menyertai laporan hasil audit investigatif tidak terlihat secara jelas. Artinya hypothetical

construction of crime 2H+5W tidak terdiskripsikan secara cermat, jelas, lengkap,

kongkrit dan terang benderang.

Laporan hasil audit investigatif Bank Century, dapat dikatakan hanya sekedar

menyimpulkan temuan-temuan yang menjadi masalah sentral seperti: (1) proses

merger dan pengawasan BC (Bank Century) oleh Bank Indonesia, (2) pemberian FPJP

(fasilitas pinjaman jangka pendek), (3) penetapan BC sebagai bank gagal berdampak

sistemik dan penanganannya oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),

(4). penggunaan dana FPJP dan PMS, dan (5) praktik-praktik tidak sehat dan

pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan

pihak-pihak dalam pengelolaan BC yang merugikan BC itu sendiri.

Simpulan laporan hasil audit investigatif semacam itu dapat dikatakan sebagai

laporan yang bersifat normatif atau mengambang. Kondisi simpulan semacam ini, tentu

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

96

masih menyisakan pekerjaan lanjutan bagi penyelidik dan penyidik untuk membangun

hypothetical construction of crime 2H+5W dengan mencari, menemukan dan

mengumpulkan kembali alat bukti, barang bukti, fakta dan data yang kemudian akan

dirangkum dalam visum akuntansi forensik as a support for a ligation.

Dalam kasus Bank Century mengenai soal merger misalnya, audit investigatif

BPK menyatakan secara jelas-jelas bahwa persetujuan merger yang diputuskan oleh

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 27 Nopember 2001, walaupun PT. Chinkara

(sebagai pemilik Bank Danpak dan CIC) tidak memenuhi persyaratan administratif

sebagai bank yang layak merger, hasil pemeriksaan BI juga menemukan adanya

beberapa pelanggaran, bahkan dalam pengujian fit and proper test yang merupakan

persyaratan utama bagi pemilik bank, juga tidak lulus, namun ternyata Ijin merger tetap

ditandatangani pada tanggal 5 Juli 2002. Fakta itu, BPK hanya mengambil simpulan

bahwa BI tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan

dalam proses akusisi dan merger atas Bank Danpac, Bank Pikko serta Bank CIC yang

kemudian berubah nama menjadi Bank Century. Dengan demikian Bank Century ini

dapat kita katakan sebagai Bank yang cacat sejak dalam kandungan. Seharusnya,

dengan simpulan seperti itu dapat dilanjutkan dengan sebuah Chart and Matrix yang

dapat mengarah pada konstruksi visum akuntansi forensik as a support for a litigation.

Dalam wawancara saya dengan Bambang Susatyo (Panitia Angket dari Fraksi

Golkar) saat saya mengikuti seminar di Fakultas Hukum Universitas Trisaksi yang

bertopik ―Menguak Skandal Bank Century Dalam Teropong Hukum‖, hasil audit

investigatif semacam itu saya tanyakan kepada Susatyo, mengapa konklusi audit BPK

RI tidak dibangun seperti biasanya? Soesatyo menjawab: ―Saya menduga bahwa

laporan hasil audit investigatif BPK tersebut telah disertai adanya kompromi-kompromi

tertentu‖. Dengan demikian, jika statement Susatyo benar maka patut diduga bahwa

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

97

tidak terwujudnya chart and matrix terhadap unsur-unsur tindak pidana yang biasanya

muncul dalam laporan hasil audit investigatif BPK RI, boleh jadi dan siapa tahu

terdapat variabel atau unsur lain yang mengganggu. Oleh karena itu, dengan laporan

hasil audit investigative semacam ini tentu masih memerlukan kerja keras para aparat

penegak hukum untuk dapat mewujudkan konstruksi visum akuntansi forensik. Pada

akhirnya, boleh jadi penyelesaian terhadap kasus BC masih jauh panggang dari

apinya.

Hal lain yang dapat diuraikan adalah, pada dasarnya FPJP seharusnya hanya

dapat diberikan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas atau kalah kliring.

Demikian juga, sesuai PBI (Peraturan BI) Syarat pemberian CAR tersebut Bank

Penerima harus memiliki skor CAR (Capital Adequacy Ratio) minimal harus berangka

8%. Namun Saat direksi BC minta FPJP sebesar Rp.1 triliun pada tanggal 30 Oktober

2008, posisi CAR BC adalah 2,35%. Posisi CAR itu berbasis laporan keuangan BC

pada bulan sebelumnya yakni per 30 September 2008. Sebenarya pada tanggal 30

Oktober 2008 itu – saat meminta FPJP - posisi CAR BC sudah minus 3,54%.

Hal yang harus menjadi perhatian utama adalah pada tanggal 14 Nopember

2008 BI telah dengan sengaja mengubah persyaratan CAR. Persyaratan untuk

memperoleh FPJB tidak lagi sebesar 8% namun persyaratannya menjadi asal CAR

positif bisa diberi FPJP dengan jaminan (collateral) harus 150% dari plafond FPJP.

Meskipun demikian, pertanyaannya adalah, pada saat cairnya FPJP CAR BC pada

bulan oktober 2008 CAR telah minus dan jaminan FPJP hanya 83% dari dana yang

diberikan bahkan jaminan tersebut tidak aman (unsecure) alias banyak yang bolong

dan bodong.

Selanjutnya, pada tanggal 6 Nopember 2008, BC dinyatakan sebagai bank

dalam pengawasan khusus (SSU – Special Surveilance Unit) dan karenanya sesuai

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

98

PBI (Peraturan Bank Indonesia), BC dilarang melakukan transaksi, kecuali ada ijin BI

dan diberi waktu 6 (enam) hingga 9 (sembilan) bulan untuk memperbaiki kinerjanya.

Bilamana waktu tersebut dilalui, dan ternyata tetap tak bisa memperbaiki kinerjanya,

maka bank tersebut akan ditetapkan sebagai ‗Bank Gagal‘.

Namun, pada tanggal 20 Nopember 2008 jam 19.44 secara tiba-tiba RDG

(Rapat Dewan Gubernur BI) menyatakan bahwa BC sebagai Bank Gagal. Pernyataan

RDG ini dapat dikatakan sebagai inkonsistensi penegakan peraturan BI. RDG

menyatakan bahwa BC dinyatakan sebagai Bank Gagal didasarkan atas pertimbangan

sebagai berikut: (1) dampak pada institusi keuangan, (2) dampak pada sistem

pembayaran, (3) dampak pada pasar keuangan, (4) dampak pada sektor riil, dan (5)

psikologi pasar/masyarakat. Putusan RDG bahwa BC adalah bank gagal berdampak

sistemik disampaikan ke Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK (Komisi Stabilitas

Sistem Keuangan) tanggal 20 Nop 2008. Lebih aneh lagi, sebelum putusan RDG

tersebut dibuat, ternyata KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) telah melakukan

rapat yang membicarakan BC pada tanggal-tanggal 14, 17, 18 dan 19 Nopember 2008

di Departemen Keuangan. Padahal pernyataan BC sebagai Bank Gagal yang dibuat

RDG ditetapkan pada tanggal 20 Nopember 2008.

Galibnya lagi, pada tanggal 21 Nop 2008 jam 04.25 KSSK (Ketua KSSK

Menkeu, anggota KSSK Gubernur BI dan Sekretaris KSSK Sdr Raden Pardede)

menetapkan BC sebagai Bank Gagal yang harus di bail-out oleh LPS (keputusan itu

sesuai UU 24/2004 tentang LPS dan Perpu tentang JPSK No. 4/2004) dan pada 21

Nopember 2008 jam 05.30 KK – Komite Koordinasi (Menkeu, Gubernur BI dan Ketua

Dewan Komisioner LPS) menyerahkan BC sebagai Bank Gagal yang harus di bail-out

kepada LPS. Bail-out yang seharusnya Rp.632 M (saat putusan itu adalah hari jum‘at,

20 Nop 2008) ternyata pencairan membengkak menjadi sebesar Rp.2,7 Triliun (pada

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

99

sabtu dan minggu 22 sampai 23 Nop 2008). Perubahan jumlah rupiah bail-out tersebut

bukan karena transaksi, namun lebih disebabkan karena kesalahan asumsi BI yakni

adalah SSB (surat-surat berharga valas yang bodong). Dan pada saat itu, ternyata

CAR BC telah menjadi minus 35,9 % dan terus dan terus bertambah hingga bail-out

membengkak menjadi Rp. 6,7 triliun. Kondisi semacam itu, BPK menyimpulkan, bahwa

BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap dan mutakhir tentang

kondisi BC yang sesungguhnya, karena itu patut diduga terdapat itikad tidak baik atas

berbagai kebijakan yang diberikan kepada BC, artinya Bank Century dapat dikatakan

sebagai bank terlalu dimanjakan oleh BI dengan berbagai fasilitas yang ada.

Temuan-temuan atas alat bukti, bukti, informasi, fakta dan data semacam ini,

pada Laporan Hasil Audit Investigatif BPK lainnya tentu akan dilakukan pengejaran

hingga Konstruksi visum akuntansi forensik itu dapat terwujud, artinya pertanyaan

hypothetical construction of crime akan mendapat jawaban yang lebih pasti, yang

pada gilirannya akan menjadi sebuah simpulan akhir atas indikasi atau dugaan tindak

pidana korupsi.

Untuk gambaran yang semacam itu, saya tanyakan kepada Yanuar Rizky (dari

Indonesia Corrruption Watch) mengapa audit BPK-RI itu bersifat normatif dan kurang

menggigit? Rizky menjawab:

“Seharusnya BPK lebih mempertajam langkah-langkah audit investigatifnya pada pengejaran bukti dan jawaban atas 5W dan 2H nya, dan tidak hanya bersifat normatif dan memunculkan temuan-temuan yang masih memerlukan pendalaman-pendalaman selanjutnya. Follow the money masih kurang dilakukan oleh BPK RI.

Jadi, menurut saya, chart and matrix tidak bisa dibuat BPK itu, boleh jadi lebih

disebabkan auditor investigatif tidak melakukan prosedur follow the money – atau

boleh jadi karena terkendala oleh sesuatu (?) – sehingga BPK tidak melakukan

pengejaran kemana saja penggunaan aliran dana bail-out itu. Namun, mungkin saja

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

100

dan boleh jadi data itu akan dapat diperoleh pada saat PPATK (Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan) memberikan laporan aliran dana bail-out tersebut.

Namun, setelah saya tanyakan kepada Ketua PPATK Husein, lalu menjawab sebagai

berikut:

Karena rekening Bank Century atas dana bail-out tersebut - waktunya sudah melebihi delapan bulan, karena kejadian pada tahun 2008 maka yang harus ditelusuri jumlahnya cukup banyak yakni tidak kurang dari 65.000 (enam puluh lima ribu) rekening

Husein menambahkan bahwa:

Sistem perbankan Indonesia akan masih “on-line” dan follow the money dapat dengan cepat dilakukan, manakala kasus itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari delapan bulan, karena setelah delapan bulan on-line system perbankan akan dilakukan up-dating data”.

Pertanyaan saya lanjutkan, apakah benar bila telah 7 layer kejadian

pentransferan dana maka dana akan sulit dilacak? Husein menjawab:

“Kasus follow the money di Indonesia tidak sampai 7 atau delapan layer, umumnya hanya pada 3 layer saja. PPATK selama ini tidak mengalami kesulitan dalam follow the money asal waktunya tidak kurang dari 8 bulan.

Jadi dari uraian terhadap kasus Bank Century, laporan hasil audit

investigatifnya dapat saya katakan sebagai bentuk laporan yang bukan standar BPK.

Demikian juga, pengejaran atas follow the money, yang meskipun dikatakan oleh

Ketua PPATK terkendala oleh ribuan data, tentu ini tidak menjadi alasan yang kuat

atas tidak terlaksananya follow the money. Karena BPK pada waktu yang lalu telah

pernah menyewa Kantor Akuntan Publik PricewaterhouseCoopers untuk melakukan

follow the money pada kasus Cessie Bank Bali dan sukses hanya dalam waktu 20

(dua puluh) hari saja.

Jadi, sebagai uraian akhir dari alat bukti surat ini, dapat saya simpulkan bahwa

alat bukti surat pada perkara tindak pidana korupsi akan senantiasa mencari dokumen-

dokumen, surat, rekening koran, faktur, kontrak dan lainnya yang berisi angka-angka

keuangan yang mendukung penyimpangan yang dilakukan si pelaku. Angka-angka

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

101

keuangan yang ditemukan itu merupakan bukti konkrit atas eksistensi tindak pidana

korupsi.

Berkait alat bukti surat yang terjalin secara berkelindan dengan persoalan

penghitungan kerugian Negara, Soejatna Soenoesoebrata (mantan deputy BPKP)

dalam persidangan tanggal 11 Mei 2006 di Mahkamah Konstitusi memberikan

keterangan ahli sebagai berikut, bahwasanya tindak pidana korupsi itu merupakan

suatu tindak pidana yang berkaitan dengan ―penggunaan wewenang‖ di dalam suatu

sistem lembaga (birokrasi). Untuk dapat membuktikan adanya tindak pidana korupsi,

penyidik harus meneliti jejak-jejak perbuatan para pejabat dalam melaksanakan

tugasnya. Penyelidik harus menguji dan meneliti rekam jejak yang terdapat pada unsur

kendali manajemen yang dimiliki lembaga birokrasi tersebut sebagai acuan (referensi)

kerjanya. Unsur kendali manajemen berupa kebijakan, struktur dan sistem. Kebijakan,

akan merupakan pernyataan niat dari setiap kegiatan yang dilakukan (arah dan

tujuan). Struktur merupakan organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas yang

menggambarkan wewenang yang dimiliki setiap pejabat dan prosedur kerja yang

terkait dengan cara penggunaan wewenang tersebut. sistem merupakan

pencatatan/pelaporan yang dapat mengabadikan (memotret) semua

langkah/perbuatan setiap pejabat dan hasil-hasilnya.

Uraian Soenosoebrata di atas dapat saya simpulkan bahwa, auditor (dalam

kapasitas sebagai pembantu penyelidik), untuk membangun PKKN harus meneliti dan

menguji rekam jejak berupa asersi serta bukti pendukungnya. Karena tanpa masuk

dalam fakta dan data, tentu auditor tidak akan dapat menguraikan berbagai kejadian

dan fakta-fakta di sekitar peristiwa tindak pidana korupsi tersebut.

Hal yang menarik dalam keterangan ahli yang disampaikan Soenoesoebrata

dalam Mahkamah Konstitusi itu bahwa, dalam proses audit investigatif yang berkaitan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

102

dengan tindak pidana korupsi, prosedur audit wajib (mandatory procedures) harus

dijalankan. Bilamana mandatory procedures diabaikan maka laporan bisa menjadi

cacat. Karena akuntan adalah jabatan profesional, dan sebagai akibat kelalaian

menerbitkan laporan yang cacat itu, akuntan dapat dituntut balik oleh para terdakwa,

Berkaitan dengan kerugian Negara, Romli Atmasasmita, pada tanggal 26 Juni

2006 di persidangan yang sama menyatakan bahwa kalimat ―dapat‖ merugikan

keuangan Negara harus ditafsirkan secara holistic, artinya pasal 2 ayat (1) UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kalimat ―setiap orang yang secara

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sedniri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara‖, harus

dibaca dalam satu nafas, tidak terpisah dan tidak parsial. Dengan demikian, bilamana

pembacaan dilakukan dalam satu nafas, maka rumusan dalam pasal itu telah

memenuhi asas lex scrita (ketentuan harus tertulis), lex certa (ketentuan itu harus

jelas), dan lex scripta (ketentuan itu tidak boleh ditafsirkan secara analogi atau harus

ditafsirkan secara sempit atau sesuai dengan yang tertulis). Dengan demikian, aspek

lain yang harus diperhitungkan dalam penerapan hukum adalah aspek dapat

diperkirakan akibatnya dari suatu perbuatan (requirement of causality) yakni hubungan

kasulaitas (causal verband), dipenuhinya aspek dapat diketahui langsung (requirement

of forseeability) dan mudah dipahaminya suatu ketentuan undang-undang (requirement

of accessibility).

Jadi, dari disdkusi di atas dapat saya simpulkan bahwa laporan PKKN harus

menunjukkan angka yang nyata dan pasti. Angka PKKN tidak boleh ada kesalahan

jumlah, kali, bagi dan kurang. Cacatnya angka PKKN dapat berakibat dakwaan ditolak

oleh Majelis Hakim.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

103

3.4.4. ALAT BUKTI PETUNJUK

Bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Penilaian hakim atas kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan dilakukan

hakim dengan cara mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan

keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dengan demikian, hakekat fundamental alat

bukti petunjuk ini adalah identik dengan ―pengamatan hakim‖ karena pada akhirnya

penilaian atas kekuatan pembuktian akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan

kearifan hakim. Pengamatan itu akan dilakukan hakim pada saat berlangsungnya

persidangan.

Berkaitan dengan hal di atas, visum akuntansi forensik dalam bentuk alat bukti

petunjuk dalam kasus Bahri adalah berkesesuain dengan kasus dugaan tindak pidana

korupsi yang ditimpakan terhadap Talahatu dan Soesanto (sebagai pihak pemberi

kerja dan pengeluar dana), sedangkan Bahri adalah pihak penerima dananya. Dengan

demikian, munculnya dugaan korupsi terhadap Bahri lebih dikarenakan eksistensi

dugaan tindak pidana korupsi terhadap Talahatu dan Soesanto.

Keterkaitan tersebut dapat dilihat juga pada analisis yuridis yang dilakukan

Penyidik berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi: Saksi Soeparto, Saksi

Pratjoyo, Suwignyo dan Widjonarko. Dalam keterangannya kepada penyidik,

Widjonarko (Kasi Pengolahan Hasil dan Pemasaran Dinas Pertanian dan Perkebunan

Kabupaten Malang) penyidik menyimpulkan sebagai berikut:

“Bahwa proses pencairan dana yang diterima tersangka Bahri, sebesar Rp.645.987.000 dalam tahun 2004 karena adanya addendum kontrak 05 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 tentang pekerjaan konsultan pengawasan pengadaan mesin pabrikasi PG Kigumas tahap II dan Addendum Kontrak Nomor 06 Tahun 2003 Tanggal 09 Agustus 2003 tentang konsultan pengawasan pembangunan gedung dan sumur bor PG Kigumas Tahap III ... berdasarkan Nota Kesepakatan antara Ketua Tim Anggaran Pemerintah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

104

Kabupaten Malang yang ditandatangani oleh Santoso selaku Seketraris Daerah Kabupaten Malang dengan Hasan selaku Ketua DPRD Malang sekaligus ketua panitia anggaran (panggar) DPRD Malang...”

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan alat bukti lainnya, kemudian perbuatan

Bahri tersebut, menurut penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang, dapat

diklasifikasikan sebagai ‗bersama-sama dan/atau turut serta‖. Perbuatan seperti itu

diformulasikan dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berbunyi: ―mereka yang

melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan.‖ Artinya dapat dijelaskan

bahwa pada pasal itu merupakan sebuah ketentuan yang mengatur dan membedakan

peranan/kedudukan masing-masing pelaku perbuatan pidana yang dilakukan bersama

lebih dari 1 (satu) orang. Manakala pasal itu dirinci atau dikelompokkan maka akan

dijumpai yang dianggap sebagai pelaku suatu perbuatan pidana.

Dengan pasal itu, kemudian kejaksaan mengambil simpulan berburu dalam

kasus PG Kigumas Malang bahwa yang menyuruh melakukan, yang turut serta

melakukan adalah (1) Talahatu, (2) Bahri, (3) Santoso, dan (4) Sami‘an. Simpulan

tersebut diambil oleh JPU Kejaksaan Negeri Kepanjen sesuai dengan domain Ilmu

Pengetahuan Hukum Pidana.

Sebagai tambahan, dalam perkara tindak pidana korupsi, alat bukti petunjuk ini

telah dikembangkan sedemikian rupa dan oleh pembuat undang-undang, yang

kemudian dicantumkan dalam pasal 26A undang-undang Nomor 20 /2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

105

Perubahan dalam alat bukti petunjuk itu membawa dampak signifikan pada

relevansi penguatan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan pada sidang di pengadilan.

Lebih-lebih dalam penjelasan pasal 26 UU 20/2001 juga dinyatakan secara jelas

bahwa penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan (wiretaping) untuk

kasus-kasus kejahatan korupsi.

Praktek penyadapan dapat kita saksikan pada penyadapan terhadap Iqbal

(Komisioner KPPU) yang menerima uang suap dan ditangkap tangan oleh KPK.

Selasa petang tanggal 16 September 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Iqbal dan

Billy Sundoro (Direktur First Media, Tbk) ditangkap petugas KPK. Mereka diduga

terlibat penyuapan dengan barang bukti berupa pecahan Rp.100 ribuan yang totalnya

sejumlah Rp.500 juta.

Sebelum ditangkap, iqbal dan Billy turun bersama dari lantai 17 Hotel Aryaduta

dengan menggunakan lift. Dalam lift, Billy menyerahkan tas berisi uang Rp.500 juta

kepada Iqbal. Mereka ditangkap KPK yang menunggu di lobbi hotel. Menurut wakil

ketua KPK, Chandra M Hamzah, pemberian uang itu terkait perkara PT. Indosat Mega

Media, Indonesia Tele Media dan MNC Sky Network kepada KPPU pada September

2007. Mereka melaporkan televisi berbayar Asro TV dan Direct Vision yang perkaranya

ditangani oleh KPPU dengan tuduhan telah melakukan monopoli siaran Liga Inggris.

Kasus penyuapan ini pada akhirnya bermuara pada Iqbal harus mendekam di penjara

karena menerima suap dari Billy.

Kasus penyadapan lain adalah terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dengan

Arthalyta Suryani. Gunawan menerima uang sekitar Rp.6,1 milyar dari Suryani dalam

bentuk dollar US $660,000 dalam kotak yang terbungkus rapi. Demikian juga halnya,

penyadapan terhadap Mulyana Wira Kusuma di Hotel Ibis yang menyuap Khairiansyah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

106

Salman (Auditor BPK) sebesar Rp.300.000.000 yang sedang melakukan tugas audit di

KPU Pusat.

Jadi, sebagai akhir dari dialog mengenai alat bukti petunjuk ini, dapat saya

simpulkan bahwa alat bukti petunjuk ini akan berupa suatu analisis dari berbagai alat

bukti dan barang bukti yang kemudian disintesiskan lalu dibangun suatu simpulan

bahwa tindak pidana korupsi telah eksis dan dilakukan oleh si pelaku. Alat bukti

petunjuk ini juga merupakan salah satu variabel visum akuntansi forensik yang sangat

menentukan bagi putusan auditor investigatif, penyelidik, penyidik hingga hakim untuk

memastikan eksistensi atau tidak eksisnya tindak pidana korupsi. Karena di dalam alat

bukti petunjuk ini mengandung suatu kreativitas, imajinasi, logika rasional dan nurani

yang pada ujungnya dapat memberikan keyakinan kuat bagi keputusan dan putusan

yang mereka buat.

3.4.5. ALAT BUKTI KETERANGAN TERINDIKASI/TERDUGA

Keterangan terindikasi/terduga ini lebih dikenal sebagai keterangan terdakwa.

Namun karena masih dalam proses audit investigatif, keterangan yang dibuat mereka

saya sebut alat bukti keterangan terindikasi/terduga. Alat bukti keterangan terindikasi

adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terindikasi yang pada nantinya akan menjadi

terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami

sendiri.

Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di

sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau

alami sendiri (Mulyadi, 2007, 102 dan Chazawi, 2006, 87). Meskipun demikian,

terdapat juga keterangan terdakwa yang diberikan di luar pengadilan asalkan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

107

keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal

yang didakwakan kepadanya.

Berkaitan dengan alat bukti, Andy Hamzah (1996, 266) memberikan suatu

perbedaan menarik mengenai alat bukti yang berlaku di Indonesia dan di Amerika

Serikat. Di negara Paman Sam (uncle Sam) dalam hal alat bukti dan pembuktian

menurut criminal procedure law (KUHAP-nya Amerika) yang disebut juga sebagai form

of evidence terdiri dari empat macam bukti yakni real evidence, documentary evidence,

testimonial evidence dan judicial notice.

Perbedaan dengan KUHAP adalah pada adanya real evidence. Bukti jenis ini

tidak dikenal dalam aturan dalam KUHAP Indonesia. Real evidence adalah bukti yang

berupa obyek materiil (materiel object) yang meliputi namun tidak terbatas pada bukti-

bukti seperti: peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi dan lainnya

yang merupakan aneka benda berwujud. Real evidence biasa disebut sebagai ―bukti

yang berbicara untuk diri sendiri‖ (speak for its self). Sebaliknya, dalam konstruksi

KUHAP real evidence ini termasuk dalam klasifikasi sebagai barang bukti semata.

Real evidence mempunyai kekuatan pembuktian paling tinggi dibanding dengan alat

bukti lainnya. Padahal di Indonesia, bukti-bukti semacam itu hanya disebut sebagai

―barang bukti‖ saja yang mempunyai kekuatan pembuktian rendah atau sebagai

pendukung (corroboroting evIdience) belaka. Bahkan, di Indonesia barang bukti

semacam itu tidak mempunyai nilai tinggi jika tidak diidentifikasi atau diakui oleh saksi-

saksi dan/atau terdakwa.

Karena itu, dalam konstruksi hukum Indonesia, barang-barang bukti berupa

deposito, surat berharga (obligasi), rekening koran, mobil, gedung, tanah, uang tunai,

traveler cheque dan lainnya harus memperoleh pengakuan terlebih dahulu dari saksi

dan/atau terdakwa barulah memiliki nilai tinggi dan dapat memperkuat keyakinan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

108

hakim atas keberadaan barang bukti yang ada tersebut. Di Amerika Serikat, tidak

menyebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Keterangan ahli akan

digabungkan dengan bukti kesaksian (testimonial evidence).

Testimonial evidence adalah bukti yang dihasilkan dari interview, interogasi dan

test kejujuran. Sedangkan, documentary evidence adalah bukti yang dihasilkan dari

bukti kertas, computer dan segala sesuatu yang dicetak dari sumber buktinya. Bukti

dokumen ini dapat diperoleh melalui document examination, public record searchs,

audits, computer searches, net worth calculation and financial statement analysis

(Albrecht, 2003, 71).

Selanjutnya, physical evidence termasuk fingerprints, tire-marks, weapons,

stolen property, identification numbers or marks on stolen objects, and other tangible

evidence that can be associated with the act. Sedangkan bukti personal observation

adalah bukti-bukti yang diumpulkan investigator seperti invigilation, surveillance and

covert operation, dan lainnya.

Fuady (2007, 4) menambahkan bahwa dalam doktrin Teori Hukum Pembuktian

mengajarkan agar suatu alat bukti dapat dipakai di pengadilan diperlukan beberapa

syarat, yakni: (1) diperkenankan oleh undang-undang sebagai alat bukti, (2) realibility,

yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu),

(3) Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu

fakta, dan (4) relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta

yang akan dibuktikan.

Selanjutnya, menurut Fuady—jika dilihat dari kedekatannya antara alat bukti

dengan fakta yang akan dibuktikan—terdapat dua macam alat bukti yakni alat bukti

langsung (direct evidence) dan tidak langsung (indirect evidence). Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, bukti langsung adalah alat bukti di mana saksi melihat

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

109

langsung fakta-fakta yang akan dibuktikan sehingga dengan adanya fakta tersebut

terbukti secara langsung ―dalam satu tahap saja‖ dapat menggambarkan secara jelas

apa yang terjadi. Sedangkan alat bukti tidak langsung (circumtantial evidence)

merupakan alat bukti di mana antara fakta yang terjadi dengan alat bukti tesebut hanya

dapat dilihat dari hubungan atau relasi keduanya setelah dilakukan simpulan-simpulan

tertentu. Perbedaan aalat bukti antara Indonesia dan Amerika Serikat dapat dilihat

pada tabel 3.6.

Tabel 3-6 JENIS- JENIS ALAT BUKTI DAN BEBERAPA PERBEDAAN ANTARA

INDONESIA DAN AMERIKA

NEGARA

JENIS-JENIS ALAT BUKTI

PERBEDAAN

INDONESIA Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa

Keterangan saksi memiliki nilai paling tinggi

Dalam pembuktian, hakim merupakan pemutus akhir salah atau tidak salahnya terdakwa

Dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan

bukti senantiasa bertumpu pada rule based law

AMERIKA Real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice

Real evidence memiliki nilai paling tinggi

Dalam pembuktian, jury merupakan pumutus akhir guilty or not guilty

Dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan

bukti senantiasa bertumpu pada rule base precedence

Sumber: Fuady (2007, 231)

Selanjutnya, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga peradilan

manakala menerima Informasi permulaan maka akan melakukan kajian-kajian

mendalam untuk memastikan apakah informasi tersebut mengandung indikasi korupsi

yang layak untuk ditindaklanjuti. Indikasi itu harus mengarahkan secara rasional pada

langkah-langkah upaya pencarian bukti korupsi dalam bentuk keterangan saksi,

keterangan ahli, keterangan surat, petunjuk dan/atau keterangan terdakwa.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

110

Dalam kasus Bahri, pada alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu

visum akuntansi forensik level audit investigatif, tergambar pada Berita Acara

Pemeriksaan (BAP). Metoda dialektika Sokrates yang digunakan penyidik (Jaksa

Timbul Tamba) untuk mengorek keterangan Bahri (Tersangka) yang dilakukan pada

tanggal 04 Oktober 2006 antara lain adalah sebagai berikut:

Penyidik (P): apakah sebelum penandatanganan kontrak 05 dan 06 tahun

2003 tanggal 9 Agustus 2003 telah membaca dan mengetahui isi addendum kontrak

tersebut?

Bahri : saya telah mengetahui dan membaca isi addendum kontrak -5 dan 06

tersebut.

Penyidik: Berdasarkan DASK Disbun 2004 (penyidik menunjukkan DASK

kepada Bahri) tertera kegiatan jasa konsultan untuk penyempurnaan perencanaan dan

pengawasan, apakah dalam tahun 2004 ada kegiatan penyempurnaan perencanaan

dan pengawasan?

Bahri: Tidak tahu, karena tidak ada kontrak dalam tahun 2004 yang

menyangkut kegiatan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan

Penyidik: sehubungan dengan selesaianya pekerjaan penyempurnaan

perencanaan dan pengawasan dalam tahun 2003, apakah ada berita acara

penyerahan pekerjaan penyempurnaan perencanaan kepada pengguna anggaran

(Disbun) Malang?

Bahri: ada (bukti menyusul)

Penyidik: sesuai dengan addendum 05 dan 06, apakah LPM UB ada membuat

gambar perencanaan sehubungan adanya penyempurnaan perencanaan yang

terdapat dalam addendum 05 dan 05 dan apakah gambar tersebut ditandatangani oleh

pihak yang berwenang?

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

111

Bahri: Lupa

Penyidik: apakah dalam tahun 2003, sebelum diadakannya addendum 05 dan

06 telah diadakan pertemuan di kantor akuntan publik Koenta Adji (sekitar 23 Juni

2003), sehingga adanya addendum kontrak tersebut menambah anggaran

Rp.645.987.000?

Bahri: lupa, kami pernah hadir di KAP Koento Adji bersama Soedjito dan

M. Bisri membicarakan mengenai pekerjaan yang belum ada perikatannya terhadap

penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pembangunan PG Kigumas.

Demikianlah interogasi dengan model dialektika Sokrates dilakukan penyidik

untuk mengorek keterangan dan pengakuan dari Bahri. Dengan menggunakan pola

spiraling, penyidik menggiring keterangan dan pengakuan Bahri. Pola spiralling adalah

pola yang mengurut keterangan dan pengakuan dari saksi-saksi, kemudian diikuti

pencarian yang mirip snow-ball yang pada ujungnya menuju kepada si tersangkanya.

Dengan demikian, uraian atas alat bukti keterangan terdakwa ini, akan menjadi

salah satu dari visum akuntansi forensik. Mengapa? Karena tujuan utama pencarian

alat bukti dan barang bukti pada alat bukti keterangan terdakwa, akan mengarah pada

berapa angka kerugian keuangan Negara. Karena itu, kalau kita ikuti seluruh BAP

terhadap Bahri, yang ingin diraih penyidik adalah pengakuan angka kerugian keuangan

negara yang telah dihitung oleh BPKP Jawa Timur yakni Rp.489.334.493.

3.5. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI

Seiring dengan masalah alat bukti, barang bukti dan pembuktian. Pertanyaannya

adalah bagaimana sebenarnya mencari, menemukan dan membangun alat bukti dari

barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan bagi kasus tindak pidana korupsi?

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

112

Fauzi seorang informan yang berprofesi sebagai advokat yang juga terlibat dalam

pembelaan terhadap kasus Bahri mengatakan sebagai berikut:

“Menurut saya, dalam kasus-kasus korupsi, sebenarnya tidak ada standar baku dalam membangun bukti yang kuat. Bukti akan sangat tergantung pada variasi kasusnya. Misalnya, kasus KPU Jakarta lebih banyak berkaitan dengan pelanggaran Kepres 80 Tahun 2003. Sedangkan kasus Samsul Bahri Malang merupakan perkara penyimpangan yang berkaitan dengan anggaran. Demikian juga, pada kasus korupsi yang saya tangani di Surabaya, merupakan kasus korupsi yang berkaitan UU Kesehatan dan Sekuritas. Dengan demikian, membangun bukti yang kuat akan sangat tergantung pada kemampuan penyelidik, penyidik dan/atau jaksa dalam memahami berbagai peraturan yang terkait dengan kasus-kasus korupsi. Saya berpendapat bahwa kekuatan dan kelemahan SDM-lah yang sangat menentukan kuat tidaknya bukti yang dihasilkan. Namun, saya menengarai bahwa lemahnya alat bukti yang dibawa ke pengadilan lebih kepada lemahnya aparat yang hanya mumpuni pada bidang hukum belaka. Dengan kelemahan seperti tentu banyak menyebabkan bebasnya para terdakwa korupsi.”

Ungkapan Fauzi di atas menunjukkan bahwa dalam soal membangun alat bukti

dan mencari barang bukti banyak tergantung pada keandalan sumber daya manusia.

Kecerdasan, kreativitas dan luasnya pengetahuan yang dimiliki aparat penegak

hukum. Demikian juga, model due process of law yang mewujud dalam KUHAP

mencerminkan sebuah prosedur kaku-ketat (sensu-stricto) yang oleh para pembuat

undang-undang dimaksudkan untuk memberikan arah pada sikap batin para penegak

hukum untuk senantiasa menghormati hak-hak warga negara.

Pada dasarnya, syarat ideal yang seharusnya dimiliki auditor investigatif

(akuntan forensik) adalah memiliki pengetahuan mendalam di bidang akuntansi,

auditing dan hukum serta piawai melakukan komunikasi baik lisan maupun tulisan.

Syarat seperti itu sebagaimana yang dikatakan Crumbley (2006): .

A qualified forensic accountant is like a three-layered wedding cake. The largest, bottom layer is a strong accounting background. A middle, smaller layer is a thorough knowledge of auditing, internal controls, risk assessment and fraud detection... The smallest top layer of the cake is a basic understanding of the legal environment. The icing on the cake is a strong set of communication skills, both written and oral. In general, a forensic accountant is engaged in combination of fraud detection and litigation support.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

113

Metafora wedding cake atas pengetahuan yang seharusnya dimiliki akuntan

forensik itu, menurut saya masih perlu ditambah dengan pengetahuan lain yang juga

memiliki urgensi tinggi, yakni ilmu psikologi. Bekal Ilmu pengetahuan ini penting karena

akuntan forensik akan senantiasa berinteraksi dengan berbagai persoalan manusia,

dengan segala karakter dan variasi perilakunya. Apalagi, dalam menangani perkara

tindak pidana korupsi, yang banyak mengandalkan pada teknik wawancara dan

interogasi untuk membongkar dan menemukan keterangan, pengakuan dan barang

bukti serta informasi di sekitar peristiwa, tentu ilmu pengetahuan psikologi itu sangat

besar peranan dan kontribusinya.

Dengan demikian, restriksi, konstrain dan kompleksitas permasalahan yang

boleh jadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kreativitas,

sensitivitas, imajinasi, dan kegigihan merupakan bekal utama bagi auditor investigatif

dalam proses mencari dan menemukan alat bukti dan barang bukti atas indikasi tindak

pidana korupsi.

Dalam kaitan dengan grounded theory sebagai metodologi, grounded theory

mensyaratkan dilakukannya suatu constant comparative analysis untuk menghasilkan

kategorisasi dan membangun proposisi. Di samping itu, grounded theory juga meminta

dilakukannya upaya theoritical maturation dalam rangka lebih memperkuat bangunan

proposisi (the second order understanding of scientist). Teori-teori yang ada juga harus

menunjukkan kesesuaian dan penguatan atas bangunan proposisi tersebut (Emzir,

2008, 203). Jadi, bangunan proposisi harus logis (masuk akal) dan layak untuk

diterima serta dapat dilakukan penelitian dan pengujian lebih lanjut.

Dengan demikian, grounded theory dapat dikatakan sebagai suatu usaha

rekonstruksi sejarah fakta yang berorientasi pada masalah di mana teori-teori secara

induktif diturunkan dari pola data yang kuat, dielaborasi melalui konstruksi model yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

114

masuk akal, dan dijustistifikasi dalam koherensi penjelasannya dengan teori yang ada.

Inilah yang disebut dengan ―abductive explanatory inferentialism‖. Batasan yang

mengatur penurunan teori ilmiah secara abduktif meliputi sejumlah besar heuristik

untuk menjelaskan fenomena. Pekerjaan terakhir pada grounded theory menekankan

sentralitas heuristik pada metodologi dan memperhitungkan komposisi batasan

permasalahan secara strategis yang diposisikan di dalam metoda abductive

explanatory inferentialism untuk memudahkan operasi heuristiknya.

Setelah saya menguraikan bagaimana auditor investigatif mencari, menemukan

dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, data, fakta, informasi dan keterangan

atas tindak pidana korupsi kemudian memadukannya dengan aturan-aturan yang

melingkupi perkara tersebut. Berikut ini konstruksi visum akuntansi forensik level audit

investigatif, proposisi baik dalam gambar maupun formula naratif adalah sebagai

berikut:

Gambar 3-1 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF

PROPOSISI:

Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik level audit investigatif merupakan hasil

temuan auditor investigatif terhadap paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang

dapat menjadi dasar utama bagi penetapan status terduga/terindikasi tindak pidana

korupsi. Visum akuntansi forensik tersebut terangkai dalam suatu chart and matrix

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

115

yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W. Visum

akuntansi ini berisi rangkaian keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan tersangka yang diikat dalam Berita Acara Klarifikasi/Konfirmasi (BAK)

yang berfungsi sebagai bahan bukti bagi tahap penyelidikan.

Gambar 3-2 BENTUK VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

116

BBaabb 44 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN

I keep seven honest serving-men

They taught me all I Knew

Their names are “How Much, How, What, Why, When, Where, and Who”

(Tuanakotta)

4.1. PENGANTAR

Mencari Persembunyian Mozaik Bukti Akuntansi Forensik

Penyelidikan merupakan langkah lanjutan dari audit investigatif dan/atau tindak

lanjut terhadap diterimanya Aduan, Keluhan dan Petunjuk (AKP). Bahan bukti yang

digunakan dalam penyelidikan dapat berasal dari laporan hasil audit investigatif.

Tujuan penyelidikan adalah pendalaman terhadap bahan bukti yang berupa visum

akuntansi forensik level audit investigatif dan/atau bisa saja bahan bukti berasal dari

AKP. Hasil penyelidikan bisa dipakai bahan bukti bagi penyidik untuk melakukan

pendalaman dan mengumpulkan bahan bukti yang berkriteria hukum. Hasil

penyelidikan akan dilaporkan ke penyidik untuk dilakukan pendalaman-pendalaman

berikutnya.

Untuk soal AKP, semisal AKP kasus Bank Indonesia dapat saya uraikan bahwa

AKP berawal dari laporan Ketua BPK Anwar Nasution yang masuk ke KPK pada

sekitar akhir tahun 2006. Laporan tersebut mengungkapkan sejumlah dugaan

penyalahgunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh

Direksi Bank Indonesia. Aliran dana tersebut merupakan keputusan sejumlah Rapat

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

117

Dewan Gubernur (RDG) selama 2003. Laporan itu juga menyebutkan bahwa RDG

yang pertama dilakukan pada tanggal 3 Juni 2003. Rapat itu dihadiri Burhanuddin

Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin dan Roswita Roza yang

meminta YPPI menanggulangi kebutuhan Bank Indonesia dalam membiayai kegiatan

insidental dan mendesak.

Dalam rapat berikutnya tanggal 22 Juli 2003 disepakati pembentukan Panitia

Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) untuk mengelola dana Rp.100 miliar

yang berasal dari YPPI. Ketua PPSK Rusli Simanjuntak dan wakil ketua Oey Hoey

Tiong, Dana banttuan hukum dialirkan melalui Tiong dan dana disseminasi melalui

tangani Simanjutak.

Dari dana yang mengalitr Rp.100 Miliar ke YPPI, yang sebesar Rp. 31,5 Miliar

diberikan kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 1999-2004. Mengalirnya

dana itu diduga untuk memuluskan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 yang

menguntungkan BI. Dana itu diterima dua anggota DPR yakni Hamka Yandhu dan

Anthony Zeidra Abidin.

Sisa Dana YPPI yang sebesar Rp.68,5 miliar, untuk menyelesaiakan masalah

hukum kasus BLBI yang menjerat mantan petinggi BI, antara lain Soedradjad

Djiwandono (gubernur), Iwan R Prawinata (Deputi Guberneur), serta tiga direktur

lainnya, yakni Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo. Dana yang

mengalir untuk urusan perkara lima orang itu disebut-sebut juga mengalir ke polisi,

jaksa dan hakim. Pada akhirnya, mantan pejabat tinggi BI tersebut terbebas dari jerat

hukum.

Dari AKP yang dilaporkan Nasution tersebut, KPK menangani kasus ini dipecah

dalam tiga bagian, yaitu pertama adalah dugaan penyelewengan dana oleh direksi BI,

kedua adalah dugaan aliran dana kepada anggota DPR, dan ketiga adalah aliran dana

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

118

ke aparat penegak hukum. Demikianlah bagaimana suatu AKP ditindaklanjuti dengan

pulbaket lidik oleh KPK.

Pulbaket lidik merupakan pengumpulan bahan bukti dan keterangan atau

operasi yustisial atau operasi reserse yang bersifat mendalam dan komprehensif.

Operasi ini biasa dilakukan oleh bagian penyelidik, intelejen Kejaksaan, reserse polri

maupun KPK. Operasi yustisial ini dilakukan dalam rangka untuk mengumpulkan

informasi, data, fakta, informasi dan keterangan yang tujuannya untuk membuktikan

hypothetical construction of crime serta memastikan apakah konstruksi visum

akuntansi forensik level audit investigatif dapat ditingkatkan statusnya pada peringkat

berikutnya yakni level penyidikan (sidik). Karena itu, aktivitas penyelidikan juga disebut

sebagai ‗operasi intelejen yustisial‘.

Pada institusi Polri, aktivitas penyelidikan akan dilakukan oleh Reserse.

Penyelidikan oleh reserse ini juga bertujuan untuk mencari barang bukti, data, fakta,

informasi dan keterangan guna menentukan apakah suatu peristiwa yang dilaporkan,

dikeluhkan atau diadukan (AKP) merupakan tindak pidana atau bukan? Di samping itu,

operasi Reserse juga untuk melengkapi keterangan-keterangan yang telah diperoleh

sebelumnya atau menambah bukti baru agar perkara menjadi lebih jelas bagi proses

penindakan atau persiapan penindakan atau memberikan petunjuk-petunjuk tambahan

bagi pemeriksaan selanjutnya. Karena itu, penyelidikan disebut juga sebagai ‗operasi

reserse‘.

Petugas reserse pada umumnya terlibat dalam operasi penyamaran,

pengumpanan, penjebakan dan pengintaian untuk menyelidiki kegiatan kejahatan yang

berkelanjutan. Data awal biasanya diterima dari operasi intelejen. Posisi sebagai

reserse merupakan posisi dambaan. Karakter dasar reserse adalah cerdik, rajin, pintar,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

119

street smart, terampil melakukan wawancara, dan bijak dalam menanggapi informan-

informan.

Selanjutnya, pencarian konstruksi visum akuntansi forensik level penyelidikan

ini diharapkan bisa menemukan minimal dua alat bukti sah dari lima macam alat bukti

dan mengungkap modus kejahatan serta menyibak ‗niat‘ jahat si terperiksa (opzet atau

mensrea). Dalam konteks tindak pidana korupsi, hasil akhir penyelidikan akan dipakai

sebagai bahan bukti dan dasar pengambilan keputusan apakah sebuah ‗dugaan‘

terjadinya tindak pidana korupsi dapat ditingkatkan menjadi ‗sangkaan‘ yang

―berkualitas hukum‖ atas eksistensi tindak pidana korupsi tersebut.

Keputusan penting itu akan menjadi sebuah primary starting point dan

pegangan utama bagi proses litigasi pada tahap-tahap berikutnya. Bilamana dugaan

tindak pidana korupsi (level audit investigatif) tetap tidak berubah, artinya hanya tetap

sekedar dugaan belaka dan tidak dapat ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan,

maka upaya penyelidikan akan dihentikan, kemudian penyelidik akan mengeluarkan

surat penghentian pemeriksaan perkara (SP-3).

Sangkaan berkualitas hukum tersebut, yang di dalamnya melekat sebuah

uraian cermat, jelas dan lengkap atas suatu peristiwa hukum, akan memberikan suatu

gambaran komprehensif terhadap keadaan yang telah berkesuaian dengan fakta-fakta.

Fakta-fakta itu juga terjalin secara berkelindan dengan perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh si terperiksa. Kesesuaian dan kesepaduan antara fakta dengan

perbuatan akan dirangkai dalam suatu chart and matrix yang merupakan wujud

konstruksian visum akuntansi forensik level penyelidikan. Persamaan dan perbedaan

antara ‗penyelidikan‘ dengan ‗audit investigatif‘, akan saya paparkan sebagaimana

terlihat pada tabel 4.1.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

120

Kembali pada masalah alat bukti dan pembuktian atas tindak pidana korupsi,

mencari jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime, di satu sisi memiliki

kendala dan kesulitan namun pada sisi yang lain menyimpan peluang. Kesulitan dan

peluang itu diungkapkan oleh Miftah penyelidik KPK mengatakan sebagai berikut:

“Untuk menemukan bukti tindak pidana korupsi yang harus kita cari terlebih dahulu adalah dimana letak rantai terlemahnya. Bila berhasil ditemukan, pendobrakan harus segera dilakukan, dan dari sana baru dilakukan penelusuran dan penyelidikan pada rantai-rantai, ranting-ranting lain sehingga akhirnya menuju pada si tersangkanya. Sebagai misal adalah, kasus Asuransi KPU, yang kita panggil pertama kali adalah bagian pembukuan perusahaan Asuransi. Jawaban-jawaban yang diperoleh ternyata mampu mendobrak kebuntuan dan memberikan arah penyelidikan dengan sukses…”

Kalimat Miftah itu menyiratkan adanya “Profiling”. Profiling ini dalam domain

general audit lebih dikenal dengan istilah understanding of the client business. Profiling

akan sangat menentukan kecepatan dan keberhasilan penyelidikan.

Berkaitan dengan understanding of the client business, Alvin A Arens et.al

(2003, 297) mengatakan bahwa sebuah pemahaman menyeluruh terhadap bisnis dan

industri klien serta pengetahuan secara mendalam atas operasional perusahaan

adalah penting untuk melakukan suatu audit yang memadai. Karena itu understanding

of the client business menjadi keniscayaan sebelum audit dilaksanakan.

Selanjutnya, profiling itu dalam pandangan Tuanakotta (2010, 145) adalah

FOSA (Fraud Oriented System Audit) atau COSA (Crime/Corruption Oriented System

Audit). FOSA atau COSA merupakan sebuah profiling yang menjadi keniscayaan

(conditio sine quanon) sejak dimulainya proses penyelidikan tindak pidana korupsi.

FOSA atau COSA harus sudah menjadi instrumen dan bekal strategik yang inheren

dengan mind set serta pegangan awal bagi penyelidik pada aktivitas-aktiivitas

penyelidikannya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

121

Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Tuanakotta sebelumnya, Sullivan

dan Marie (2010, 499) mengatakan bahwa pada saat ini di Amerika Serikat profiling itu

telah dikembangkan secara intensif. Pengembangan dan penelitian itu dibantu oleh

FBI (Federal Bureau of Investigation). Saat ini, Amerika Serikat telah memiliki ―reserse

profiler‖ yang tersebar di kepolisian. Profiling penjahat merupakan pengetahuan baru

yang diberi nama sebagai ―psikologi forensik‖. Psikologi forensik bertujuan untuk

mengetahui karakteristik pelaku kejahatan dan perilaku melalui analisis forensik

profesional terhadap pola-pola kejahatan dan tempat yang menjadi lokasi kejadian

kejahatan.

Dengan demikian, profiling merupakan suatu aktivitas yang mendahului dari

proses penyelidikan itu sendiri. Kepiawaian dalam melakukan FOSA atau COSA juga

akan dapat berkontribusi besar dalam membangun instink atas gambaran eksistensi

‗predication‘. Kemampuan melakukan Profiling menjadi sebuah keniscayaan yang

harus dimiliki oleh seorang penyelidik handal.

Jadi, proses penyelidikan itu dapat saya simpulkan sebagai sebuah cara yang

dapat menjamin sebuah prosesi dapat berkesesuaian atau berkorelasi dengan agenda

―acara‖ yang telah disusun. Penyelidikan juga dapat saya metaforakan sebagaimana

layaknya sebuah jadual agenda acara atau susunan tata-tertib untuk dapat

terselenggaranya suatu perhelatan/seremonial tertentu. Artinya, agenda acara

penyelidikan itu akan disusun secara bertahap dan berlanjut dengan tujuan utama

untuk mengambil simpulan akhir secara meyakinkan atas sebuah peristiwa hukum

mengenai apakah ‗dugaan‘ tindak pidana korupsi itu dapat berubah bentuknya menjadi

sebuah ‗sangkaan‘ yang berkualitas hukum atau tidak?.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

122

Tabel 4-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYELIDIKAN DAN AUDIT INVESTIGATIF

KETERANGAN

PENYELIDIKAN

AUDIT INVESTIGATIF

PERSAMAAN

1. Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa visum akuntansi forensik

2. Menemukan lima macam alat bukti tindak pidana korupsi

3. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi

4. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih bersifat AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk)

1. Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa visum akuntansi forensik

2. Menemukan lima macam alat bukti tindak pidana korupsi

3. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi

4. Dapat dilaksanakan dari yang masih bersifat

AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk)

PERBEDAAN

1. Hanya dapat dilakukan oleh penyelidik Polri atau

Kejaksaan atau KPK

2. Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau

saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan)

3. Dalam mencari dan menemukan konstruksi Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyelidikan, Penyelidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)

4. Atas dasar bukti permulaan yang cukup,

Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan atas ijin penyidik

5. Penyelidikan merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari penyidikan., Laporan hasil audit investigatif didayagunakan bagi penyelidikan yang berperan sebagai bukti permulaan.

6. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan

kepada Penyidik 7. Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan

“terperiksa”

1. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih

bersifat AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk dapat dilakukan oleh auditor investigatif BPK atau BPKP atau Akuntan Publik atau expert.

2. Hasil Permintaan Keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAK (Berita Acara Klarifikasi/Konfirmasi)

3. Dalam mencari dan menemukan konstruksi

Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif akan mendasarkan pada metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif auditing (due professional care).

4. Tidak memiliki kewenangan untuk melakukan

penahanan atau penangkapan, meskipun terdapat bukti permulaan yang cukup.

5. Audit Investigatif merupakan bagian yang

berdiri sendiri (terpisah) dari fungsi penyidikan. Namun, hasil audit investigatif berperan dan berkorelasi dengan penyelidikan.

6. Menyampaikan Laporan Hasil Audit Investigatif

kepada instansi peminta audit investigatif. 7. Sebutan bagi objek yang dilakukan

pengauditan disebut dengan “auditee”

Pada sisi lain, prosesi penyelidikan dalam institusi Kejaksaan dapat saya

uraikan dengan langkah “P”. Langkah “P” yang dilakukan penyelidik Kejaksaan

tersebut adalah sebagai berikut: Aduan, Keluhan, Petunjuk (AKP) atau informasi awal

akan dimasukkan dalam dokumen yang disebut formulir P-1. Hasil penyelidikan awal

(operasi intelejen yustisial) akan menentukan apakah perkara pidana itu bisa dilanjut

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

123

atau tidak? Jika hasil pra-ekspose itu menyimpulkan bahwa perkara dapat diteruskan,

maka akan dibuat Surat Perintah Penyelidikan yang didokumentasikan dalam bentuk

P-2. Selanjutnya Penyelidik akan membuat rencana penyelidikan dalam bentuk

P-3. Kemudian Penyelidik akan meminta keterangan saksi-saksi yang

didokumentasikan dalam bentuk P-4. Hasil penyelidikan itu akan dibuat

simpulan/pendapat dan saran dalam formulir P-5. Tahap selanjutnya, penyelidik akan

membuat chart berupa uraian modus operandi perkara dan matrix yang menguraikan

unsur-unsur pasal (delict) yang disangkakan, yang didokumentasikan dalam P-6. Jika

ekpose internal tersebut menyimpulkan terdapat cukup bukti untuk dilakukan

peningkatan status tersangka ke tahap penyidikan, maka akan dibuat Surat Perintah

Penyidikan yang didokumentasikan dalam formulir P-7. Tujuh langkah dalam tujuh

formulir inilah yang merupakan kertas kerja standar bagi penyelidikan. Kertas kerja

semacam ini dalam ranah audit dikenal dengan sebutan audit working paper.

Dengan P-7 kemudian penyelidik dapat menyimpulkan perkara tindak pidana

korupsi yang ditangani itu bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan maka formulir P-8 dan

formulir P berikutnya (sesuai dengan tempatnya) akan saya jelaskan seirama dan

menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat saya menguraian proses penyidikan.

Uraian dalam bab IV ini akan saya lakukan masih tetap dengan basis perkara

dugaan korupsi PGM Kigumas Malang kepada Mantan Ketua LPM UB. Sangkaan

tindak pidana korupsi dapat dilihat kotak 4.1.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

124

Kotak 4.1.

KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG

KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS.

Kejaksaan Negeri Kepanjen ―Untuk Keadilan‖

Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: - URAIAN SINGKAT PERKARA:

Bahwa Tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua

Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor : 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam

ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PG. KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar. Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN

sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof.DR. Ir.H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO No.

525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H. M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak

No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan addendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003. Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Propinsi Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp. 645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp. 489.334.493,- (empat ratus delapan puluh

sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

125

Dari kotak 4.1 dapat saya simpulkan bahwa laporan akhir atas penyelidikan terhadap

dugaan tindak pidana korupsi terhadap Syamsul Bahri pada dasarnya adalah

bagaimana penyelidik mampu mendayagunakan taktik, teknik, strategi, kreativitasnya

atas serangkaian pertanyaan yang lazim dikenal dengan ―LANGKAH DELAPAN -

KAH‖. Jawaban atas 8-kah itu kemudian menjadi dasar pijakan utama bagi penyelidik

untuk membuat simpulan apakah seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka atau

tidak. Pertanyaan ‗8-Kah‘ tersebut adalah sebagai berikut: (1). Apakah persoalan

(kejadian) yang melekat dalam peristiwa itu? (2) Dimanakah (tempat) perbuatan itu

dilakukan? (3) Kapan (waktu) perbuatan itu dilakukan? (4) Dengan (alat) apakah

perbuatan itu dilakukan? (5) Bagaimanakah (cara) perbuatan itu dilakukan? (6)

Mengapakah (alasan) perbuatan itu dilakukan? (7) Siapakah (orang/pelaku) yang

melakukan? langkah (8) Berapakah (jumlah) kerugian keuangan/perekonomian

Negaranya? Pengungkapan jawaban terhadap “8-KAH” akan menggiring dan

mengubah ‗dugaan‘ menjadi ‗sangkaan‘ yang memiliki kualitas hukum. Dengan

jawaban tersebut, pada gilirannya, proses pencarian konstruksi visum akuntansi

forensik level penyelidikan ini dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya yakni tahap

penyidikan (sidik).

4.2. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL PENYELIDIKAN Langkah Kedua, Membangun Mozaik Bukti Akuntansi Forensik

Penyelidikan atau Pulbaket Lidik adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur

Undang-undang (Tuanakotta, 2007, 442). Tata cara mengenai apa dan bagaimana

penyelidikan ini di atur KUHAP bab XIV pada pasal 102 sampai dengan pasal 105.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

126

Penyelidik, pada dasarnya mempunyai kewenangan yang besar dalam

menerima laporan atau pengaduan atas adanya tindak pidana korupsi, mencari

keterangan pada saksi-saksi dan meminta barang bukti dan data pendukungnya.

Bahkan atas perintah penyidik, penyelidik juga dapat melakukan penangkapan,

pelarangan meninggalkan tempat (cegah), penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan

dan membawa seseorang kepada penyidik.

Jika hasil operasi intelejen yustisia atau operasi reserse ini menemukan

kesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti, lalu barang bukti itu berkorelasi

positif dengan keterangan yang diperoleh dari para saksi, maka penyelidik dapat

menyimpulkan bahwa eksistensi tindak pidana korupsi telah nyata-nyata ada.

Berkaitan dengan proses penyelidikan perkara Bahri ini, kepada Kustaryo,

advokat Malang pembela hukum bagi kasus Bahri, saat saya tanyakan mengenai

bagaimana penyelidikan itu dilakukan? Kustaryo menjawab sebagai berikut:

“Proses penyelidikan itu ya persis sama dengan ketika auditor melakukan audit. Caranya ya para terperiksa itu dipanggil penyelidik dan diminta membawa laporan dan data pendukung… Untuk kasus Syamsul Bahri seingat saya yang dipanggil sebagai terperiksanya untuk pertama kali ada tiga orang…

Laporan dan data yang dibawa terperiksa tersebut dicocokkan, diuji dan kemudian ditanyakan kepada terperiksa terhadap hal-hal yang tidak jelas dan perlu tambahan keterangan. Pemeriksaan difokuskan pada laporan pengaduan yang telah masuk ke penyelidik… Jika dalam pemeriksaan itu kemudian ditemukan bahwa laporan, data dan keterangan sesuai dengan pengaduan tindak pidana korupsi lalu penyelidik dapat memastikan bahwa terperiksa terlibat dalam perkara tersebut, maka penyelidik akan menetapkan status terperiksa tersebut menjadi status tersangka...”

Uraian Haris tersebut, menyiratkan secara jelas bahwa proses penyelidikan

terhadap kasus Bahri (atau kasus-kasus lain) harus sampai pada suatu simpulan atas

terbukti atau tidaknya suatu dugaan menjadi sangkaan yang berkualitas hukum.

Demikian juga, simpulan peningkatan status ‗terperiksa‘ menjadi ‗tersangka‘,

merupakan putusan penyelidik yang mendasarkan pada persesuaian antara temuan,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

127

informasi, bukti, fakta, dan data yang telah diterima dan dikumpulkan pada tahap

sebelumnya. Temuan atas informasi, bukti, data, fakta, keterangan yang merupakan

hasil upaya pencarian yang memakan waktu, tenaga, energi yang boleh jadi sangat

melelahkan itu akan dirangkai dalam bentuk chart and matrix yang memuat jawaban

atas hypothetical construction of crime 2H+5W.

Oleh karena itu, jika dalam tahap ini harus digunakan kata ―mencari‖ maka arti

kata ―mencari‖ itu adalah pencarian atas alat bukti dan barang bukti yang masih

tersembunyi, masih gelap, belum terungkap, belum jelas dan tidak terang. Jadi,

mencari dalam penyelidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk menelusuri segala

tapak-jejak atas peninggalan dan sisa-sisa petilasan (artifak), tanda-tanda, dan alat-

alat dan barang-barang yang digunakan dalam peristiwa tindak pidana korupsi.

Mencari juga aktivitas untuk memburu keterangan dari saksi-saksi yang telah melihat,

mendengar dan menyaksikan peristiwa tindak pidana korupsi itu agar ditemukan

kebesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti dan antara fakta dengan

perbuatan yang terjalin secara berkelindan.

Sejalan dengan uraian di atas, pencarian visum akuntansi forensik ini akan

dilakukan ke mana saja, kepada siapa saja, di mana saja terhadap semua alur dan

semua arah serta semua peristiwa yang saling berhubungan dan terkait. Pengejaran

akan terus dilakukan (semacam snow ball method), artinya jika terdapat adanya

hubungan yang berkesesuaian antara peristiwa itu dengan peristiwa lain maka

peristiwa lain itu harus dikejar, termasuk ke semua tempat yang tersembunyi atau yang

sengaja disembunyikan.

Berbeda dengan kasus Bahri, pada kasus tukar guling (ruislag) tanah eks

bengkok kelurahan Lawang Malang tahun 2004 yang di tangani Polwil Malang. Pada

kasus dugaan tindak pidana korupsi ini dilakukan dua kali PKKN oleh BPKP. Anehnya,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

128

hasil PKKN yang pertama menyimpulkan bahwa proses tukar guling itu tidak terjadi

kerugian keuangan negara, namun laporan hasil PKKN yang kedua bahwa proses

ruislag terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp.5.313.383.500. Satu obyek

terdapat dua simpulan yang berbeda, yang mengakibatkan Sulistyadi Tikno (mantan

kabag hukum Pemkab Malang) harus bolak-balik ke Polwil Malang untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Laporan PKKN BPKP Jawa Timur yang pertama, terbit pada tanggal 21Juli

2006, antara lain menyimpulkan bahwa (1) terdapat penyimpangan penggunaan dana

kompensasi yang tidak disetor ke Kas Daerah, tetapi langsung dipergunakan oleh

kelurahan Lawang untuk berbagai keperluan, (2) perbandingan antara NJOP tanah

ganjaran yang ditukargulingkan (ruislag) dengan NJOP tanah pengganti dari

PT. Permata Imperium Abadi (PIA) ditambah dana kompensasi sebesar

Rp.600.000.000 adalah ―wajar”, (3) tukar guling telah disetujui oleh komisi A DPRD

Kabupaten Malang tanggal 31 Mei 2004 dan persetujuan DPRD tanggal 1 Juni 2004.

Tim PKKN BPKP Jawa Timur yang pertama, bertugas dengan basis surat

tugas Kepala Perwakilan BPKP Jawa Timur Nomor ST-8084/PW.13.5/3/2005

tertanggal 17 Nopember 2005. Surat tugas ini dikeluarkan berdasarkan Surat Direktur

Investigasi Instansi Pemerintah Nomor: S-410/D6.1/1/2005 tanggal 15 September

2005. Tim PKKN terdiri dari 2 (dua) orang, yaitu Bernard Pasaribu (Ketua tim) dan

Yustra Iwata Alsa (Pengendali Mutu). Laporan Nomor: LHAI-6586/PW13/5/2006 yang

diterbitkan pada tanggal 21 Juli 2006 merupakan laporan PKKN yang dibuat BPKP

Jawa Timur Versi pertama yang menyatakan bahwa tukar-guling (ruislag) itu wajar..

Selanjutnya, pada laporan PKKN yang kedua, No: SR.10463/PW.135/2007

yang terbit tanggal 06 Nopember 2007 atau sekitar satu setengah tahun setelah

laporan PKKN yang pertama, menyimpulkan hal berbeda. Sesuai dengan metoda yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

129

digunakan oleh BPKP, hasil perhitungan kerugian keuangan Negara (PKKN) atas

ruislag tersebut sebesar Rp.5.313.383.500. Rincian PKKN adalah sebagai berikut:

Tabel 4-2 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI BPKP ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG

NOMOR

KETERANGAN

JUMLAH RUPIAH

1. Nilai tanah kelurahan lawang yang dilepas: Rp.158.000. x 43,016 meter

6.796.844.000

2. Dikurangi dengan nilai tanah pengganti: - Dana tunai diterima Lurah Lawang Rp.600.000.000 - Nilai beli tanah pengganti ……….. Rp.799.000.000 - BPHTB atas tanah pengganti……. Rp 75.390.000 - Biaya sertifikasi tanah …………….. Rp. 9.070.500

1.483.460.500

3. Nilai kerugian Negara (keuangan Pemkab Malang) 5.313.383.500

Sumber: Laporan hasil PKKN BPKP Jawa Timur, Tanggal 06 Nopember 2007

Tim PKKN BPKP Jawa Timur yang kedua tersebut dibentuk berdasarkan surat

tugas kepala perwakilan BPKP Jawa Timur No: ST-13025/PW13.5/2006 tanggal 08

Desember 2006. Surat tugas didasrkan pada surat Kapolwil Malang

No:B/1488/XI/2006 tertanggal 29 Nopember 2006. TIM PKKN terdiri dari 4 (empat

orang) auditor investigatif, yaitu: Djoko Wirawan (selaku pengendali mutu),

Kushandoyo (selaku pengendali teknis), Sugeng Widiyanto (selaku ketua tim), dan Eko

Cahyono (anggota tim).

Metoda yang digunakan dalam PKKN adalah menghitung selisih antara nilai

tanah yang dilepas dengan nilai penggantinya yang menyimpang dari ketentuan

perundang-undangan. Sedangkan prosedur pemeriksaan yang digunakan adalah (1)

mengidentifikasi penyimpangan, (2) menelaah dasar hukum,(3). Meneliti apakah kasus

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

130

yang diaudit masuk kategori keuangan negara, (4) melakukan review bukti,

rekonstruksi bukti, verifikasi bukti, dan melakukan analisis atas bukti-bukti yang

berhubungan dengan PKKN atas kasus penyimpangan yang diaudit serta prosedur lain

yang dianggap perlu. Dalam PKKN kedua ini juga tidak dijumpai hambatan yang berarti

atas pelaksanaan audit PKKN tersebut.

Dengan dua laporan PKKN dari BPKP Jawa Timur yang berbeda tersebut,

kemudian PT. Permata Imperium Abadi (PIA) meminta kepada PT. Sucofindo

Appraisal Utama (SAU) untuk melakukan penilaian independen atas tukar guling

tersebut. Tim penilai lapangan terdiri dari 2 (dua) orang yaitu: (1) Trimartono Irawan

(MAPPI: 96 - T – 0878) dan (2) IB Adhika Wirananda (MAPPI: 05 – P – 081840)

Dalam rangka untuk menentukan pendapat (opini) atas review yang

dilakukannya, PT. SAU melakukan prosedur penilaian dengan langkah-langkah

sebagai berikut:(1) survey lapangan serta pengumpulan data primer, (2) survey

terhadap data pasar baik berupa penawaran maupun transaksi, (3) analisis terhadap

tanah dengan menggunakan pendekatan market data approach, (4) melakukan

adjustment dan verifikasi sampai diperoleh harga pasar saat ini kemudian melakukan

review dengan mempertimbangkan NJOP dari tahun 2004 sampai dengan 2008 untuk

mendapatkan indeks yang akan digunakan sebagai perhitungan harga pasar tahun

2004. Ikhtisar hasil penilaian PT. SAU tersebut menyatakan bahwa berdasarkan

metoda data pasar (market data approach), review harga pasar aktiva tetap: (1) tanah

kosong desa Lawang, Malang, (2) tanah sawah desa Sumber Ngepoh, Lawang,

Malang pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

131

Tabel 4-3 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI PT. SUCOFINDO APPRAISAL UTAMA ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG

NOMOR

KETERANGAN

JUMLAH RUPIAH

1. Harga Pasar tanah Desa Lawang tahun 2004 berdasarkan perhitungan tanggal 12 Februari 2008: Rp.36.281 x 43,016 meter

1.589.761.000

2. Nilai pengganti: - Dana tunai diterima Lurah Lawang Rp. 600.000.000 - Nilai beli tanah pengganti ……….. Rp.1.074.308.000 - BPHTB atas tanah pengganti……. Rp 75.390.000 - Biaya sertifikasi tanah …………….. Rp. 9.070.500 - Jasa pnguerusan Sertifikat ………. Rp. 175.000.000 - Jumlah Nilai Pengganti

1.933.768.500

3. Nilai keuntungan Negara 344.007.500

Sumber: Laporan No. 003/SA-ADV/SBA-II/2008, tanggal 13 Februari 2008

Dari paparan sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa dalam perkara tukar

guling (ruislag) tabnah bengkok di Lawang malang itu, terdapat tiga nilai (angka) yang

berbeda-beda pada satu obyek yang sama. Dua nilai (angka) dari BPKP Jawa Timur

dan satu nilai (angka) dari PT. Sucofindo Appraisal Utama. Lalu manakah angka yang

benar dan dapat dipakai sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan?

Ternyata, dengan keluarnya hasil penilaian dari PT. Sucofindo Appraisal Utama

menjadikan kasus tindak pidana korupsi atas ruislag tanah bengkok di Lawang Malang

itu menjadi tidak jelas (obscuur) berapa kerugian negaranya secara riil dan nyata.

Kemudian, dengan keluarnya laporan atau opini review hasil penilaian PT. SAU itu, lalu

terbitlah Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3) yang secara lengkap

dapat dilihat pada kotak 4.2.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

132

Kotak 4.2.

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAWA TIMUR WILAYAH MALANG JL. P. Sudirman No. 181-a Singosari Malang, 65135

Malang, 7 Mei 2008 No.Pol : B/170.b/V/2008 Klasifikasi : BIASA Lampiran : Satu Bendel Perihal : Pemberitahuan Penghentian Penyidikan Kepada Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen Di Kepanjen

1. Rujukan: a. Pasal 109 ayat 2 KUHAP b. UU Nomor 2 2002 Tentang Kepolisaian Negara Repuublik Indonesia c. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No.Pol: B/170/XII/2008/Reskrim, tanggal

28 Desember 2007 d. Surat Ketetapan Kapolwil malang No. Pol: S-Tap/41.b/V/2008/Reskrim, tanggal 7 Mei

2008, tentang Penghentian Penyidikan e. Berita Acara Pendapat (Resume) hasil penyidikan tanggal Mei 2008 (sebagaimana

terlampir)

2. Dengan ini diberitahukan bahwa terhitung mulai tanggal 7 Mei 2008, penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi Ruislag tanah eks bengkok Kel. Lawang Kab. Malang, sebagaimana dimaksud dalam pasdal 2 dan atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 199 atas nama tersangka: N a m a : AM SULISTYADI TIKNO, SH., MH Tempat tanggal lahir : Jenis Kelamin : Agama : Pekerjaan : Alamat :

Dihentikan penyidikannya oleh karena Tidak cukup bukti

3. Demikian untuk menjadi maklum Kepala Kepolisian Wilayah malang Selaku P E N Y I D I K ttd YAHRIZAL AHIAR, SH.,MH Komisaris Besar Polisi NRP 56090578

Tembusan: 1. Ketua PN Kepanjen 2. Tersangka / Keluarga Tersangka

Sumber: Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3), tanggal 7 Mei 2008

Jadi, dari uraian sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa fungsi pokok dan

fokus utama penyelidikan (pulbaket lidik) pada intinya adalah mencari dan menemukan

segala macam alat-alat bukti dengan cara melakukan pemeriksaan kepada

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

133

terindikasi/terduga dan saksi-saksinya. Bilamana dianggap perlu, pencarian bukti dapat

pula dilakukan dengan meminta keterangan kepada ahli dan melakukan cara-cara lain

yang dianggap perlu agar perkara dugaan tindak pidana korupsi menjadi lebih jelas

dan lebih terang benderang. Pada sisi lain, pada proses penyelidikan ini, dapat saja

tersangka meminta kehadiran advokat untuk mendampingi dan membela hak-haknya

agar dapat menjamin bahwa proses penyelidikan adalah sesuai dengan koridor hukum

(due process of law).

4.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi

Keterangan saksi itu akan dapat berupa suatu keterangan mengenai suatu

peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖ dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sebelum sampai pada alat bukti

keterangan saksi, terlebih dahulu akan saya uraikan berbagai kondisi yang menyertai

sehingga terjadinya penyelidikan terhadap kasus Bahri selaku Ketua LPM UB Malang

Kasus ini berawal dari temuan dan rekomendasi hasil audit umum (general

audit) BPK RI BPK RI Perwakilan Yogyakarta tahun buku 2004 atas laporan keuangan

Pemkab Malang bernomor 70/R/XIV.4/04/2005 tertanggal 26 April 2005. Dalam

laporan tersebut, BPK menemukan adanya penyertaan modal Pemkab Malang ke

PGM Kigumas yang aliran jumlah uangnya mencapai sebesar Rp.27.225.853.500

yang merupakan akumulasi dari pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Pemkab

untuk investasi PGM Kigumas sejak tahun 2001. Jumlah angka itu terdiri dari

akumulasi pengeluaran-pengeluaran yang terinci sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

134

Tabel 4-4 PENGELUARAN INVESTASI PEMKAB MALANG PADA PABRIK GULA MINI PT. KIGUMAS

DIP/DASK/TAHUN

ANGGARAN ANGGARAN REALISASI

DIP 2001 Rp. 2.311.003.000,00 Rp. 1.209.593.000

DIP-L 2001 Rp. 1.101.500.000

DIP 2002 Rp. 6.890.842.000 Rp. 6.656.747.500

DASK 2003 Rp.15.872.000.000 Rp.15.872.000.000

DASK 2004 Rp. 3.032.200.000 Rp 2.386.013.000

Jumlah Rp. 28.106.045.000 Rp.27.225.853.500 Sumber: Hasil Pemeriksaan BPK RI Nomor : 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005

Angka Realisasi Rp.27.225.853.500 tersebut tidak termasuk biaya-biaya bagi

jasa konsultan yang dilakukan LPM UB yang jumlahnya sebesar Rp.645.987.000.

Angka inilah kemudian menyeret dan menjerat Bahri ke perkara dugaan tindak pidana

korupsi.

Laporan hasil audit BPK RI itu juga menyebut adanya piutang kepada Pihak

Ketiga sebesar Rp.1.000.000.000. Tagihan itu ternyata adalah jumlah pinjaman

keuangan yang diberikan Pemkab Malang kepada PT Kigumas. Sebagai tambahan

informasi, saat itu PT.Kigumas telah memiliki akta pendirian dengan akta Notaris

Nomor 157 yang dibuat tanggal 10 Desember 2003 di depan Notaris Benediktus Bosu.

Sedangkan pengesahan Badan Hukum telah diterima dari Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia pada tanggal 15 Juli 2004. Pemilihan status Badan Hukum Perseroan

Terbatas (PT) ini dimaksudkan agar biaya operasional PT Kigumas tidak senantiasa

membebani APBD Pemkab Malang.

Meskipun telah berbadan hukum Perseroan Terbatas, pada kenyataannya

status badan hukum PG Kigumas tersebut tidak bisa didayagunakan untuk membantu

kesulitan keuangan yang dihadapinya. Kesulitan yang dihadapi PT. Kigumas itu antara

lain karena mengalami kekurangan dana atau kesulitan likuiditas sehingga tidak bisa

beroperasi secara normal. Di samping itu ketidaklayakan teknis atas beberapa

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

135

komponen mesin pabrik juga menjadi penyebab tidak beroperasinya PG Kigumas

secara normal.

Pada saat itu, modal kerja yang tersedia jumlahnya sangat minim sekali, yakni

hanya sebesar Rp.1,5 milyar (6 % dari modal tetap). Kondisi itu diperparah lagi dengan

tenaga kerja yang dimiliki PGM Kigumas yang sebagian besar (90%) tergolong tenaga

kurang atau tidak memiliki pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan dalam

menjalankan proses pembuatan gula atau bagaimana memproduksi gula yang

berbahan baku tebu itu.

Lebih lanjut, Tim Auditor BPK juga menemukan pengeluaran Pemkab Malang

untuk investasi pada PT Kigumas yang belum tercatat dalam laporan keuangan tahun

buku 2004. Belum tercatatnya pengeluaran Pemerintah Kabupaten Malang sebagai

investasi (dan pelanggaran atas alokasi dana Kimbun ke Kigumas), dapat disimpulkan

sebagai telah bertentangan dengan pertama adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri

Nomor 29 Tahun 2002 mengenai Kebijakan Akuntansi Aktiva berupa Investasi Jangka

Panjang yang menyatakan bahwa Investasi jangka panjang adalah penyertaan modal

yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomis dalam jangka waktu lebih

dari satu periode akuntansi. Kedua adalah, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun

2000 tentang Pengelolaan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan investasi dalam bentuk penyertaan modal adalah

penyertaan modal Pemerintah Daerah yang dilakukan melalui Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD).

Langkah antisipatif untuk memastikan ada atau tidaknya persoalan pada PGM

Kigumas dilakukan Pemda Kabupaten Malang adalah melakukan audit ketaatan

(compliance audit). Pemkab Malang menunjuk KAP Koenta Adji Koerniawan untuk

melakukan audit tersebut. Hasil audit ketaatan terhadap PT.Kigumas mengungkapkan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

136

adanya temuan (audit findings) berupa 17 item pekerjaan mesin dan 22 item pekerjaan

sipil yang belum ada perjanjiannya. Saran auditor adalah agar pekerjaan-pekerjaan

tersebut dibuatkan addendum kontraknya.

Hasil audit KAP bernomor: 10/ATS.GA10/240603/S/2003 tanggal 24 Juni 2003

yang mencakup periode tahun 2001 sampai tanggal 13 Juni 2003 (tanggal cut-off),

antara lain menyatakan bahwa hasil audit atas Investasi Pemerintah Kabupaten

Malang pada Proyek PT. Kigumas di Desa Ganjaran Gondanglegi Malang tersebut

adalah sebagai berikut:

“.… kegiatan investasi Kigumas sampai dengan tahun 2003, kecuali atas hal-hal yang dimuat dalam uraian hasil audit (terlampir), telah dilaksanakan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam perundang-undangan…perubahan dan penambahan volume desain berakibat pada bertambahnya dana yang harus dianggarkan maupun dikeluarkan oleh pihak manajemen dalam hal ini Pemkab Malang…”

Temuan dalam general audit BPK RI dan hasil audit ketaatan merupakan modal

awal yang dimiliki penyelidik Kejaksaan Negeri Kepanjen. Pemanggilan atas terperiksa

dilakukan penyelidik kepada terperiksa yang antara lain adalah: Pratjojo, Sutarto, dan

Talahatu yang dilakukan penyelidik serta berdasarkan pada data, fakta, bukti,

keterangan dan informasi yang ada telah berkesesuaian dengan perbuatan Bahri lalu

terbentuklah visum akuntansi forensik level penyelidikan. Dengan demikian penyelidik

dapat menyimpulkan bahwa Konsultan Pengawas dan Perencanaan untuk pekerjaan

Pabrik Gula Kigumas yang dalam hal ini adalah Bahri selaku Ketua LPM UB dapat

disangka terlibat tindak pidana korupsi. .

Sebagaimana tertulis dalam Dakwaan, Penyelidik dapat menyimpulkan

keterangan Pratjoyo sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

137

Bahwa Pratjojo ikut dalam menyusun RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) sehinggan menjadi DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) Kimbun (Kawasan Industri Perkebunan) berbasis tebu Tahun 2004… Keikutsertaan Pratjoyo tersebut karena dalam penyusunan RASK itu adalah karena jabatan Pratjojo sebagai Kepala Seksi Dinas Produksi dan Perlindungan tanaman. Tim penyusunan RASK adalah Kepala Dinas, para Kasubdin, Kabag TU, dan para Kasi… Bahwa dalam tahun 2004 tidak ada pekerjaan yang dilakukan LPM UB yang diketuai oleh Tersangka Bahri … Bahwa proses pencairan yang diterima tersangka Bahri sebesar Rp.645.987.000 dalam tahun 2004 karena adanya addendum kontrak No. 05 Tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 tentang pekerjaan pengawasan keadaan mesin pabrikasi PGM Kigumas tahap II dan addendum No. 06 Tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 tentang Konsultan Pengawasan Pembangunan Gedung dan Sumur Bor PG Kigumas tahap III..” “Bahwa dasar sehingga diketahui bahwa pekerjaan perencanaan LPM UB tidak ada lagi adalah karena dalam addendum pekerjaan bangunan sipil dan mesin pabrikasi dibuat pada tanggal 6 Agustus 2003, dengan demikian kontraktor bangunan sipil dan bangunan mesin pabrikasi bekerja lebih dahulu daripada pekerjaan konsultan. Bahwa pada bulan Juni 2003 LPM UB Malang telah menerbitkan leaflet hasil pengawasan pelaksanaan pekerjaan bangunan mesin dan bangunan pabrik yang didalamnya berisi saran penyempurnaan pabrikasi dan penambahan 1 (satu) unit gilingan dan 1 (satu) unit Bagase Drier. Sedangkan 11 (sebelas) pekerjaan dalam addendum kontrak bangunan sipil sudah direncanakan dan masuk dalam justifikasi penentuan biaya investasi dan rencana penyelesaian pembangunan pilot proyek PG. Kigumas.

Sedangkan berdasarkan keterangan Sutarto Kepala Seksi Penyiapan Lahan,

sekaligus menjabat sebagai Pelaksana Kegiatan (PK) pemantau pelaksanaan

perkembangan kegiatan PGM Kigumas, dalam sebagian keterangannya dapat

disimpulkan sebagai berikut:

“Bahwa dalam tahun 2004 tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan oleh LPM Universitas Brawijata Malang… “Bahwa dana kimbun berbasis tebu TA 2004 telah dipertanggungjawabkan oleh Ketua LPM Universitas Brawijaya Malang Syamsul Bahri pada tanggal 12 Februari 2004 selanjutnya dari Kasda pada tanggal 4 Maret 2004 yang diterima Bendaraha LPM UB sebesar Rp.645.987.000. Bahwa proses pencairan yang diterima Bahri sebesar Rp.645.987.000 dalam TA 2004 karena adanya addendum kontrak Nomor 5 ... Bahwa sisa Rp.948.859.800 dikurangi Rp.645.987.000 = Rp302.872.800 sudah dicairkan dan diterima oleh pihak LPM UB

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

138

Bahwa permintaan biaya perencanaan yang dilakukan LPM UB sebagaimana yang dimaksud dalam addendum tersebut Tidak ada lagi

Bahwa sesuai dengan Keppres 18 Tahun 2000 bahwa pekerjaan konsultan pengawasan tidak boleh digabungkan dengan konsultan perencanaan dalam addendum kontrak karena konsultan pengawas dan konsultan perencanaan mempunyai spesifikasi keahlian yang berbeda.

Dari dua keterangan yang diperoleh penyelidik dari Pratjoyo dan Purnomo dan

keterangan saksi-saksi lainnya, penyelidik sudah dapat meyakinkan dirinya bahwa

Bahri selaku Ketua LPM UB terlibat/tersangkut perkara PGM Kigumas. Persesuaian

dan korelasi adanya keterlibatan tersebut dapat kita lihat pada konsitensi keterangan

yang digaris bawahi dan dihitamkan tersebut. Karena itu Bahri kemudian dipanggil

untuk diminta keterangannya yang pada akhirnya dijadikan tersangka dalam tindak

pidana korupsi PGM Kigumas.

4.2.2. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Keterangan ahli adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat terang

dan jelasnya suatu perkara. Pemberi keterangan adalah seseorang yang mempunyai

keahlian pada suatu bidang ilmu pengetahuan khusus, mendalam dan komprehensif

yang berguna bagi terang benderangnya perkara.

Dari hasil keterangan ahli Sugitario yang merupakan seorang yang ahli di

bidang Filsafat Hukum, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang

dalam sebagian keterangannya dapat disimpulkan sebagai berikut:

“Bahwa apabila dana APBD TA.2004 untuk kegiatan KIMBUN berbasis tebu digunakan untuk PGM Kigumas yang telah dinyatakan selesai bulan September Tahun 2003 (dari penggunaan dana APBD tahun 2001, 2002, dan 2003) padahal sejak tanggal 10 September 2003 PG Kigumas telah berbadan hukum Perseroan Terbatas… adalah bertentangan dengan asas spesialitas dalam pengelolaan anggaran. Pelanggaran asas tersebut merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang…

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

139

Bahwa tidak diperbolehkan kegiatan pekerjaan pada TA 2003 tetapi anggaran untuk kegiatan tersebut tidak cukup tersedia atau tidak ada, sehingga dilakukan dengan pola pre-financing dan dibayar dari dana APBD tahun 2004 dari kegiatan lain. Justru jika dibayarkan maka akan terdapat perbuatan melawan hukum… dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan wewenang… melanggar asas akuntabilitas, asas tahunan dan asas spesialitas… yang dianut UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Bahwa sesuai dengan UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbedaharaan Negara

yang menganut asas kesatuan, universalitas, tahunan dan spesialitas… PP Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang mengatur APBD disusun berdasarkan pendekatan kinerja… tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan Peraturan daerah dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah… pembayaran kepada Bahri sebagai Ketua LPM UB… sebesar Rp.645.987.000 dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA 2004 tidak dapat dibenarkan karena tidak ada perubahan anggaran keuangan (PAK) dari DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) Kimbun awal untuk kegiatan PGM Kigumas.

Dengan demikian keterangan ahli yang disampaikan Sugitario, tersebut pada

dasarnya menyimpulkan bahwa pembayaran yang dilakukan Pemkab Malang kepada

LPM UB tersebut, tidak dapat dibenarkan, karena pembayaran seperti itu tidak

memenuhi asas spesialitas, asas akuntabilitas, dan asas-asas lainnya yang tercantum

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan PP

Nomor 105 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Di

samping itu, pembayaran semacam itu juga merupakan pelanggaran hukum karena

APBD Pemkab Malang TA 2004 tidak menganggarkan pembayaran pada PGM

Kigumas. Lebih lanjut, pembayaran itu juga merupakan kesalahan karena dalam

Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) juga tidak ada atau tidak tercantum perubahan

terhadap penggunaan dana KIMBUN untuk pendanaan kegiatan Kigumas,

Oleh karena itu, pembayaran yang dilakukan Pemkab Malang kepada LPM UB

yang dilakukan pada tahun 2004 itulah yang kemudian menjadi salah satu bukti atas

perkara tindak pidana korupsi. Salah satu alasannya adalah pembayaran itu dilakukan

pada tahun 2004 yang diambilkan dari dana Kimbun, padahal anggaran dana untuk

Kigumas telah habis di tahun 2003. Sebagai akibatnya, pembayaran kepada tersangka

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

140

Bahri yang mewakili LPM UB sebesar Rp.645.987.000,- sebagai jasa konsultan

pengawasan, ternyata dalam pelaksanaan pekerjaan perencanaan dan pengawasan

tersebut mengandung pekerjaan yang diduga fiktif yang jumlahnya sebesar

Rp.489.334.493,- sehingga dianggap dapat menimbulkan akibat terjadinya kerugian

keuangan Negara.

Berkaitan dengan pentingnya mengungkap niat jahat si pelaku, Tuanakotta

(2007, 48) mengatakan bahwa dalam melakukan korupsi (perpetrators‟ intent to

commit corruption) lebih banyak disebabkan karena tujuan proses litigasi di pengadilan

adalah ‗menilai perbuatan orang‘ dan bukan mendengar celoteh berkepanjangan

tentang kejahatan korupsi (the purpose of the court is to judge people not to hear

detail-rich stories of the crimes involved). Karena itu, proses penyelidikan harus

mampu memberikan gambaran jelas berupa chart and matrix serta deskripsi hubungan

antara satu fakta dengan fakta lainnya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya,

antara bukti satu dengan bukti lainnya yang terjalin secara berkelindan dan

komprehensif. Penyelidikan juga harus dapat menemukan bukti-bukti penguat, baik

berupa underlying financial evidence maupun corroboroting evidence serta alat bukti

lainnya sebagai dukungan atas eksistensi kejahatan yang diperbuat oleh si pelaku.

Yang dimaksud dengan underlying financial evidence adalah the book of original entry

(journal), ledgers, sub-ledgers and supporting worksheets, sedangkan corroboroting

evidence adalah documentation as canceled checks, bank statements, sales invoice,

vendor‟s invoices, vouchers, time cards, requisitions, purchase orders, bill of lading,

and shipping orders (Konrath, 2001, 114). Gejala atau simptom tindak pidana korupsi

dalam underlying financial evidence misalnya adalah dengan ditemukan adanya

kegagalan jurnal, tidak akuratnya buku besar (inaccurate ledgers), dokumen-dokumen

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

141

tidak asli (photocopy) dan/atau terjadinya pengubahan dokumen dengan membuat

dokumen baru, penulisan cek yang dilakukan secara berulang kali dan lainnya.

Berkaitan dengan keterangan ahli, Advokat Kaligis (2008, v) yang sering

mendampingi kliennya pada perkara tindak pidana korupsi mengeluh dengan

menyatakan dalam tulisannya sebagai berikut:

“Di dalam praktik, baik judex factie16

, judex juris, Jaksa Penuntut Umum, dengan mudahnya mengenyampingkan pendapat ahli, meskipun pendapatnya itu sangat menentukan… Sangat umum kita melihat satu putusan hakim dengan pertimbangan yang menyatakan sebagai berikut: “Pendapat ahli dari penasehat hukum telah dipertimbangkan”,.. padahal, kalau saya melihat konsiderans halaman per halaman, justru pertimbangan itu tidak saya temukan… ”

Pengenyampingan pendapat ahli (yang merupakan alat bukti keterangan ahli)

seperti yang dikatakan Kaligis tersebut tentu merugikan para pencari keadilan dan tidak

dapat dibenarkan. Bagi saya, pengenyampingan atas pendapat ahli tersebut sudah

seharusnya disertasi dengan alasan yang rasional atau berbasis hukum oleh hakim

yang memutus perkara atas tidak dimuatnya pendapat/keterangan ahli dalam

konsideran-konsideran putusannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka putusan hakim

akan jauh dari rasa keadilan..

Dalam praktik persidangan pada perkara tindak pidana korupsi, pada dasarnya

saksi dapat kita bedakan dalam dua kategori, yakni saksi yang meringankan (a de-

charge) dan saksi yang memberatkan tersangka (a-charge). Ungkapan Kaligis

menyiratkan bahwa dalam putusan hakim banyak terjadi pengenyampingan pendapat

(keterangan) ahli manakala keterangan ahli yang disampaikan di persidangan tersebut

adalah saksi yang dibawa oleh terdakwa untuk meringankan atau membebaskannya

dari jeratan hukum.

16

Judex factie adalah sebutan bagi Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama) dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (Majelis Hakim Tingkat Banding. Sedangkan Judex Jurist adalah sebutan bagi Majelis Hakim pada Mahkamah Agung (Majelis Hakim Tingkat Kasasi).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

142

4.2.3. Alat Bukti Surat

Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni

surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah.

Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah seperti: Berita Acara Pemeriksaan

(BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan ahli sidik jari

(daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, Laporan Hasil Audit Investigatif, Laporan

Penghitungan Kerugian Keuangan Negara termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau

surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.

Pada perkara Bahri, fokus penyelidikan lebih diarahkan pada mencari dan

menemukan alat bukti surat yaitu memastikan dan menghitung jumlah Kerugian

Keuangan Negara, karena, pembuktian yang paling rumit dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi adalah pada pembuktian adanya unsur jumlah kerugian keuangan

Negara. Laporan hasil penghitungan keuangan Negara itu akan disebut sebagai ‗alat

bukti surat‘. Pada perkara Bahri, salah satu alat bukti surat yang penting adalah

diperolehnya Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dihitung

oleh BPKP Perwakilan Jawa Timur oleh Penyelidik.

Mengapa angka kerugian keuangan negara ini penting bagi perkara Bahri?

Karena kesalahan prosedur atas perkara ini sangat jelas. Misalnya pekerjaan fisik dan

mesin dilakukan tetapi kontrak atas pekerjaan itu tidak ada. Kesalahan lain yang dapat

ditemukan adalah penggunaan dana KIMBUN untuk pembayaran KIGUMAS, dan

lainnya. Namun adanya pelanggaran semacam itu yang kemudian dilengkapi dengan

mewujudnya unsur kerugian keuangan Negara dan ada pihak lain yang diuntungkan

bukanlah pekerjaan yang mudah.

Karena itu, dengan sangat percaya diri kemudian Bahri dalam pembelaan

(pledoi)-nya mengatakan bahwa tidak semua perbuatan memperkaya itu mengandung

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

143

sifat melawan hukum dan tidak semua perbuatan memperkaya yang melawan hukum

itu merupakan tindak pidana korupsi (Lihat Pledoi Bahri, pada hal. 40). Kalimat Bahri itu

dapat diterjemahkan bahwa suatu perbuatan memperkaya diri itu akan dapat

berkategori sebagai tindak pidana korupsi, manakala perbuatan memperkaya diri yang

melawan hukum itu harus dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara. Adanya kerugian negara tentu akan berdampak pada adanya

keuntungan pada pihak lain. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa

pelanggaran atas suatu ketentuan tertulis atau Undang-undang, jika tidak

memunculkan adanya kerugian keuangan negara akan hanya disebut sebagai

pelanggaran hukum administrasi semata dan bukan merupakan tindak pidana korupsi.

Pelanggaran administrasi bisa dilakukan perbaikannya dengan memperbaiki

administratifnya yang dilanggar hingga administrasi itu menjadi benar.

Berbasis Alat Bukti Surat, tuduhan kepada Bahri atas penerimaan dana

pembayaran kepada LPM UB sebesar Rp.489.334.493,- (atas tuduhan pekerjaan

―fiktif‖) dimana pembayaran tersebut dilakukan oleh Talahatu (Kepala Disbun Pemkab

Malang), menurut Bahri tuduhan itu merupakan tuduhan yang mengada-ada dan tidak

logis. Saat saya tanyakan kepada Bahri, apa benar pekerjaan LPM UB itu fiktif? Bahri

menjawab:

“Saya heran kenapa pekerjaan LPM UB dikatakan fiktif? Padahal pekerjaan LPM UB telah dilakukan secara keseluruhan, Berita Acara Penyerahan Pekerjaan ke Pemkab Malang ada, kemudian pekerjaan LPM UB itu ada dan riil, kok dikatakan fiktif itu bagaimana?, logika macam apa yang dipakai? Ada motif apa dibelakangnya? Apakah karena saya terpilih sebagai Anggota KPU Pusat, kemudian ada orang yang tidak suka atau motif-motif jahat lainnya lalu memperkarakan saya… Pak Djito sebagai Ketua Tim juga telah mengatakan kepada saya bahwa pekerjaan telah dilaksanakan, lalu kok masih juga dikatakan fiktif ini bagaimana? “

Pada dasarnya, menurut Bahri pekerjaan fisik dan mesin itu telah dilakukan

oleh LPM UB pada tahun 2003 dan pekerjaan itulah yang kemudian dibayar Talahatu.

Pembayaran atas addendum No. 05 dan No. 06 tahun 2003 yang bertanggal sama,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

144

yakni 9 Agustus 2003 itu logis dan wajar, karena addendum pekerjaan penambahan

dan perubahan (CCO atau Contract Change Order) Nomor 05 dan 06 itu

pertanggungjawaban pekerjaannya telah dibuat Berita Acara Serah Terima

pekerjaan pada tanggal 31 Oktober 2003 dengan Nomor: 742-1/J10.3/PM/2003

Perlu kita ketahui bahwa dasar sangkaan kepada Bahri sebenarnya juga

berasal dari Dakwaan kepada Talahatu yang didakwa melakukan 3 (tiga) tindak pidana

korupsi, yaitu: pertama adalah, membayar Sami‘an (CV.Sami Jaya) sebesar

Rp.994.392.647 dengan mark-up atas pekerjaan (hasil audit BPKP Negara dirugikan

sebesar Rp.259.630.481). Kedua adalah, membayar LPM UB sebesar

Rp.489.334.439 atas pekerjaan fiktif, dan ketiga membayar Rp.170 juta kepada

Sami‘an atas pinjaman DPRD atas perintah Santoso, Fakta, data dan barang bukti

tersebut dapat disimpulkan oleh BPKP bahwa telah terjadi kerugian Negara paling

tidak sebesar Rp.259.630.489. Perkara Talahatu inilah kemudian dihubungkan dengan

Bahri (bersama-sama dan/atau turut serta) melalui pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP,

dimana dalam tuduhan primer, Bahri dituduh menerima pembayaran fiktif, sedangkan

Talahatu adalah orang yang melakukan pembayaran fiktif tersebut. Pada tuduhan

subsidair, Bahri dituduh dengan menyalahgunakan wewenang sebagai Ketua LPM UB,

kemudian mengajukan permohonan pembayaran pekerjaan kepada Talahatu, dimana

pekerjaan yang diminta pembayarannya itu adalah fiktif.

Perlu diketahui juga bahwa hasil audit investigatif BPKP Perwakilan Jawa

Timur menyatakan bahwa produk penyempurnaan (tambahan dan perubahan –

dikenal dengan istilah CCO) atas perencanaan LPM UB itu tidak ada (nihil), tetapi

produk pengawasan itu ada, yakni senilai Rp.156.625.507. Padahal terdapat

pembayaran kepada LPM UB sebesar Rp.645.987.0000. Jadi, menurut simpulan audit

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

145

BPKP, Negara telah dirugikan sebesar Rp.489.334.493,- (hasil dari Rp.645.987.0000

dikurangi dengan Rp.156.625.507).

Berkaitan dengan apa kaitan antara kerugian Negara, memperkaya dan

melawan hukum, Chazawi yang terlibat dalam Tim Bantuan Hukum atas Perkara Bahri

berpendapat sebagai berikut:

“Perbuatan memperkaya dan melawan hukum merupakan satu kesatuan, dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pada dasarnya perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi merupakan perbuatan hukum. Singkatnya perbuatan memperkaya diri adalah segala wujud perbuatan - bagaimanapun dan apapun caranya – yang dari perbuatan itu seseorang memperoleh kekayaan. Kekayaan merupakan segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Barulah perbuatan memperkaya tersebut dilarang, dan apabila di dalam perbuatan tersebut mengandung sifat melawan hukumnya.”

Dengan demikian, ungkapan Chazawi tersebut dapat diterjemahkan bahwa

suatu perbuatan untuk memperkaya (diri sendiri, orang lain atau korporasi) dapat saja

mengandung sifat melawan hukum hanya jika perbuatan tersebut tercela atau dicela

baik oleh perundang-undangan (biasa disebut sebagai melawan hukum formil) maupun

berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan masyarakat (biasa disebut sebagai

melawan hukum materiil). Artinya sifat melawan hukum memperkaya tersebut, bisa

jadi dan mungkin saja terjadi dapat disebabkan oleh perbuatan yang dilakukan si

pelaku tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (melawan

hukum formil), dan bisa saja karena bertentangan dengan asas kepatutan dan nilai-

nilai yang hidup serta melekat dan terbatinkan dalam kehidupan masyarakat (melawan

hukum materiil).

Masih berkaitan dengan alat bukti surat, pada kasus korupsi yang lain, yakni

kasus dakwaan tindak pidana korupsi yang menimpa Mantan Gubernur NAD Puteh

dilakukan penyelidik dengan bermodalkan AKP dari hasil audit BPK yang

menyimpulkan indikasi adanya tindak pidana korupsi terhadap pembelian Helikopter

MI-2 buatan PLC Rostov Rusia. Dalam pembelian helikopter yang kemudian

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

146

diserahterimakan sekitar bulan Maret 2003 ini diduga terjadi penggelembungan dana

alias mark-up. Rekanan pemerintah NAD adalah PT. Putra Pobiangan Mandiri.

Sinyalemen terjadinya mark-up dalam pembelian heli jenis MI-2 ini diketahui setelah

dihitung dengan cara membandingkan harga helikopter sejenis yang dibeli oleh TNI

Angkatan Laut. Helikopter MI-2 buatan PLC Rostov Rusia dibeli oleh Gubernur NAD

sebagai kendaraan operasional Pemerintah Provinsi seharga USD 1,25 juta, atau

sebanding dengan Rp 12,6 milyar. Di lain pihak, menurut informasi Kepala Dinas

Penerbangan TNI Angkatan Laut (Disnebal) Laksamana Pertama Yayun Riyanto,

harga pembelian helikopter dengan spesifikasi militer seperti ini adalah USD 350 ribu,

atau sebanding dengan cuma Rp.3,528 milyar. Manakala helikopter yang dibeli ini

dimodifikasi menjadi kendaraan VIP anti peluru, maka diperlukan dana tambahan

sebesar 50 persen dari harga helikopter. Jadi, harganya menurut hitung-hitungan TNI

AL paling banter akan menjadi USD 350 ribu + USD 175 ribu = USD 525 ribu, atau

sebanding dengan Rp 5,292 milyar. Artinya, Puteh diduga telah membeli helikopter

dengan harga yang terlalu mahal. Tak tanggung-tanggung, selisih harganya mencapai

sekitar USD 725 ribu, atau sebanding dengan Rp 7,308 milyar. Selisih harga inilah

yang menjadi sumber dugaan korupsi.

Kasus Puteh merupakan kasus pengalaman pertama bagi KPK untuk

melakukan penindakan terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Pada era ini, banyak

pengalaman KPK yang tidak mengenakkan. Salah satunya adalah ketika Sjahruddin

Rasul - Wakil Ketua KPK, yang juga Mantan Direktur Pengawasan Khusus BPKP,

yang memiliki spesialisasi penanganan terhadap perkara korupsi - mengatakan bahwa

di 6 (enam) bulan pertama saat harus berhadapan dengan masyarakat, tak jarang

ketika melakukan sosialiasi khususnya kepada mahasiswa, Rasul dicela oleh

Mahasiswa: ‖Ah cuma bicara kosong doang nich, nggak pernah menangkap satu pun

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

147

koruptor.‖ Rasul tak bisa menjawab, karena realitasnya adalah seperti itu. ‖Mana

koruptor yang sudah ditangkap KPK? Bisanya cuma ngomong doang nggak ada

koruptor yang digantung tuh. Sudah gaji besar nggak ada yang ditangkap makan gaji

buta lah.‖ Rasul hanya bisa mengelus dada. ‖padahal, waktu itu kami belum terima

gaji‖ katanya.

Karena kasus Puteh adalah kasus pertama yang ditangani KPK, maka untuk

melakukan penyelidikan dan penggalian dan pencarian informasi atas keterlibatan

Puteh dalam kasus mark up pembelian helikopter jenis MI-2 itu bukan hal mudah, dan

itu merupakan tantangan besar bagi KPK. Dengan tantangan besar seperti itu,

penyelidik KPK sengaja melibatkan pimpinan KPK Sjahruddin Rasul untuk terlibat

dalam penyelidikan kasus Puteh ini. Bekerja dengan peralatan seadanya, penyelidikan

dan penggalian informasi dilakukan dari berbagai sumber, termasuk sambil jalan-jalan

untuk sekadar minum kopi Aceh yang terkenal itu. Ketika menyisir untuk menggali

informasi, Rasul sempat nyasar sampai ke wilayah kekuasaan Gerakan Aceh Merdeka

(GAM). Namun, tak sia-sia upaya berani yang dilakukan tim KPK tersebut, berbagai

informasi dapat masuk dengan lancar, dan KPK juga bisa mendapatkan bukti kuat atas

adanya penggelembungan dana pembelian helikopter jenis MI-2 yang melibatkan

Gubernur NAD, Puteh. Tumpak Hatorangan Panggabean (yang biasa dipanggil ―THP‖)

mengatakan bahwa dari sekian banyak bukti yang diperoleh itu, yang jelas-jelas dapat

menguatkan penyelidikan untuk ditingkatkan menjadi penyidikan serta menyeret ke

pengadilan adalah ditemukannya bukti ―transfer uang‖ ke rekening pribadi Puteh.

Dengan ditemukannya bukti transfer uang ke rekening pribadi tersebut, sesuai

dengan bunyi UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada

pasal 44 yang memformulasikan bahwa jika penyelidik dalam melakukan

penyelidikannya menemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya dugaan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

148

tindak pidana korupsi maka dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung

sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik wajib

melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Bukti permulaan yang cukup

tersebut dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat

bukti yang sah - termasuk dan tidak terbatas - pada informasi atau data yang

diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun secara

elektronik atau optik.

Pada kasus Puteh, berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang terkumpul,

Jaksa Penuntut Umum membangun Dakwaannya sebagai berikut:

“Bahwa terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, M.Si Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik bertindak sendiri-sendiri atau bersama dan bersekutu dengan saksi BRAM HD MANOPPO, MBA Presiden Direktur PT PUTRA POBIAGAN MANDIRI (PPM) yang perkaranya diajukan secara tersendiri, telah melakukan serangkaian perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan yang dilanjutkan, pada hari tanggal yang tak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Pebruari 2001 sampai dengan Juli 2004 atau setidak-tidaknya tahun 2001 sampai dengan tahun 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam atau setidak-tidaknya di temapt-tempat lain yang berdasarkan pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, rangkaian perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut… Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa, telah memperkaya terdakwa sendiri atau saksi BRAM HD MANOPPO, MBA atau orang laian atau PT PUTRA POBIAGAN MANDIRI (PPM) yang telah atau setidak-tidaknya dapat merugikan keuangan Negara Rp13.687.500.000 (tiga belas miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sejumlah Rp.10.087.500.000 (sepuluh miliar delapan ratus delapan puluh juta lima ratus ribu rupiah) yang dihitung dari jumlah pengeluaran uang kas Bendaharawan Umum Daerah Rp.13.687.500.000 (tiga belas miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dikurangi dengan jumlah pengembalian ke rekening Kas Daerah yang disetor kembali oleh terdakwa Rp.3.600.000.000 (tiga miliar enam ratus juta rupiah) sebagaimana hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan sesuai surat nomor SR-548/D6/1/2004 tanggal 9 Nopember 2004, atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

149

Dalam konstruksi Dakwaan tersebut, masih menyisakan problematika soal

penafsiran ―status akuntan BPKP‖ dalam kapasitasnya sebagai penghitung besarnya

kerugian keuangan negara. Pertanyaannya adalah, apakah BPKP yang ditugaskan

untuk menghitung dan memastikan besarnya kerugian keuangan negara akan

dimasukkan dalam kategori sebagai ―saksi fakta‖ (karena auditor telah masuk pada

materi perkara, atau sebagai seorang ahli yang memberikan keterangan (yang

seharusnya tidak menyentuh materi perkara) ?

Kerancuan penafsiran tersebut mengemuka karena sistem hukum Indonesia

tidak mengenal ―expert witness‖ sebagaimana negara-negara yang menganut common

law (anglo saxon) yang dapat mengemukakan pandangannya mengenai kasus yang

ditanganinya. Dalam sistem common law, expert witness dapat membantu

menjernihkan persoalan dan/atau membuat terangnya perkara dengan cara dia masuk

pada materi perkara yang kemudian melakukan eksplorasi dan mempertautkan apa

saja yang dapat memperkuat bukti Dakwaan yang diperlukan di pengadilan.

Oleh karena itu, di Indonesia, kerancuan tersebut terjadi lebih disebabkan

karena auditor BPKP untuk dapat menghitung kerugian Negara tentu terlebih dahulu

harus mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta berupa angka dan

dokumen, hal ini dalam perspektif hukum pembuktian, auditor tersebut telah

menyentuh materi perkara. Bilamana seseorang telah menyentuh materi perkara tentu

dia bukan lagi sebagai pemberi keterangan ahli, namun ia termasuk ―saksi‖ (saksi

fakta). Sosok pemberi ―keterangan ahli‖ dalam perspektif hukum Indonesia akan

memberikan pandangan atau pendapat ilmiahnya, atau kemampuan akademisnya,

atau profesionalitasnya atas hal-hal tertentuyang sangat dikuasainya. Dia tidak

menyentuh materi perkara, dia adalah orang yang jauh dari fakta-fakta perkara.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

150

Hal mana juga diungkapkan oleh Kustaryo dengan mengatakan sebagai

berikut:

“Saat sidang di Surabaya, saat ahli dari BPKP menjelaskan temuannya di Pengadilan atas kerugian Negara yang dihitungnya, saya kemudian bertanya: apakah saudara ini seorang ahli yang memberikan keterangan ahlinya? ataukah saudara ini adalah saksi yang menjelaskan fakta-fakta atas perkara korupsi ini? Karena agenda persidangan saat ini adalah mendengarkan keterangan dari ahli, dan bukan mendengarkan saksi? Kalau saudara memberi keterangan ahli sudah seharusnya saudara tidak mengetahui fakta-fakta dalam perkara ini, dan jika sudara fakta-fakta atau materi perkara, berarti saudara bukan ahli.

Perbedaan penafsiran ―teks‖ aturan seperti ini, manakala tidak segera

diselesaikan, tentu akan senantiasa memunculkan perdebatan dan ketidakjelasan atas

status auditor penghitung kerugian keuangan negara, apakah dia termasuk menjadi

saksi [?] atau pemberi keterangan ahli [?] Karena keduanya memiliki kekuatan

pembuktian yang berbeda dan konsekuensi hukum yang berbeda pula.

Sebagai tambahan, dalam perspektif hukum Indonesia, tidak dikenal apa yang

disebut dengan ―expert witness‖ seperti yang banyak disebut dalam literatur luar negeri

yang mendayagunakan hasil audit forensik yang dilakukan akuntan. Indonesia hanya

mengenal ―ahli‖ yakni seseorang yang dimintai keterangan mengenai keahliannya dan

bukan orang yang menyentuh materi perkara.

Namun, Agus (advokat) mengungkapan hal yang sebaliknya, sebenarnya saat

saya tanya, kalau akuntan telah menyentuh materi perkara dalam investigasinya untuk

menghitung nilai kerugian keuangan negara, lalu apakah status auditor investigatif

BPKP tersebut menjadi ―saksi fakta‖ atau sebagai ―ahli‖? Agus menjawab:

―Sebenarnya status akuntan akan menjadi saksi fakta atau ahli akan terlihat secara jelas dalam pertimbangan hakim saat hakim memutus perkaranya. Di sana hakim akan memilah-milah mana yang masuk dalam keterangan ahli dan mana yang masuk saksi fakta. Karena dalam diri si akuntan, boleh jadi dalam persidangan yakni saat cross examination, boleh jadi akan mengutarakan temuan dan perhitungan kerugian negara maupun beberapa hal yang berkaitan dengan keahliannya. Karena dalam persidangan hakim, jaksa maupun advokat bisa saja bertanya mengenai temuan auditor maupun hal-hal yang berkait dengan keahlian auditor.”

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

151

Jawaban Agus sangat normatif, yakni akan terlihat statusnya dalam

pertimbangan hakim saat mengambil putusan hukum, padahal status ini penting saat

persidangan sedang berlangsung. Artinya, persoalan status itui bukan pada soal

pemilahan hakim dalam memilah keterangan auditor tersebut sebagai keterangan dari

saksi atau dari seorang ahli, melainkan lebih pada saat persidangan berlangsung.

Pada umumnya pertanyaan standar yang disampaikan advokat adalah status auditor

tersebut. Lalu pertanyaan saya kepada informan Fauzi, bagaimana halnya dengan

dokter forensik, apakah ia dalam kategori saksi fakta atau ahli? Fauzi menjawab:

Dokter forensik adalah ahli, karena dia tidak menyentuh materi perkara. Kalau ia melakukan otopsi atau bedah mayat, mayat itu didatangkan penyidik dan bukan oleh dokter forensik. Cara kerja akuntan berbeda dengan dokter, akuntan akan diberi dan mempelajari BAP, kemudian datang ke lapangan dan mencari data-data dan baru kemudian melakukan investigasi atau audit dan ujungnya adalah temuan audit dan puncaknya adalah perhitungan kerugian negara. Dengan demikian, menurut saya, akuntan adalah saksi fakta dan bukan ahli karena itu akuntan masuk keterangan akuntan di pengadilan termasuk dalam jenis alat bukti saksi, sedangkan dokter forensik, akan termasuk dalam jenis alat bukti keterangan ahli”

Menurut saya, sebenarnya kerja dokter forensik dengan auditor investigatif itu

sama saja, yakni bahan-bahan untuk dijadikan bukti forensik (bukti yang dibawa ke

pengadilan) adalah sama, yakni bahan bukti sama-sama dari penyidik. Perbedaannya

adalah pada obyeknya, dokter forensik obyeknya berupa mayat, sedangkan auditor

investigatif bahan buktinya berupa sederetan angka-angka, jurnal, buku besar,

rekening Koran dan lainnya.

Dari dialog di atas, dapat disimpulkan bahwa ―status‖ akuntan sebagai auditor

investigatif dan kemudian malakukan perhitungan kerugian Negara, dalam domain

hukum acara (KUHAP) di Indonesia masih ―problematis‖. Problematika itu akan dapat

diatasi dan memiliki kepastian penafsiran seyogyanya dilakuan suatu permohonan

judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan judicial review itu penting untuk

lebih memastikan terhadap status auditor investigatif dalam persidangan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

152

Pada sisi yang lain, namun masih terkait dengan persoalan kerugian Negara,

yakni vonis hakim di pengadilan banding atas kasus Puteh ditemukan angka riil

kerugian negara sebesar Rp.1.714.350.000. Angka ini diperoleh dengan pertimbangan

hukum sebagai berikut:

―Memperhitungkan dari jumlah milik Pemerintah Daerah NAD yang masih ada dalam kekuasaannya (Rp.750.000.000) ditambah dengan uang yang oleh terdakwa diperintahkan diserahkan pada orang lain yang tidak berhak untuk itu yakni TEUKU DJOHAN BASYAR sebesar Rp.964.350.000 di mana uang yang telah dikuasainya oleh terdakwa sudah dibayarkan untuk pembayaran Helikopter M1-2 tersebut dan selebihnya seluruhnya telah dikembalikan ke Kas Daerah Pripinsi NAD… yang harus dijadikan uang pengganti adalah sebesar Rp.750.000.000 ditambah Rp.964.350.000 sama dengan Rp.1.714.350.000.

Sebenarnya dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi Tipikor tersebut tidak

terdapat pertimbangan yang dapat ditarik dari penjelasan atau keterangan tentang

peranan hasil audit investigatif BPKP (kerugian negara vesi BPKP adalah

Rp.13.687.500.000) yang dipakai dasar oleh JPU dalam surat dakwaannya ditambah

dengan perhitungan JPU sendiri yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh di

persidangan yang kemudian angkanya menjadi Rp.10.087.500.000.

Menurut saya, perhitungan kerugian negara yang dbuat oleh hakim Pengadilan

Tinggi lebih rasional dibanding dengan perhitungan JPU maupun BPKP. Penentuan

kerugian negara oleh JPU maupun BPKP cenderung untuk dibesar-besarkan yang

sebenarnya kurang logis. Kebiasaan membesar-besarkan angka kerugian atau

mematok angka yang lebih besar mungkin dan boleh jadi dipengaruhi oleh fungsi dan

tugas jaksa sebagai penuntut umum. Dengan pertimbangan toh hakimlah yang pada

akhirnya akan memutuskan berapa nilai kerugian negara tersebut.

Dengan demikian, hasil audit BPKP telah tidak berfungsi maksimal. Hanya JPU

yang lebih percaya dan digunakan sebagai landasan dakwaan dan tuntutannya,

sedangkan hakim tidak terpengaruh dengan angka perhitungan negara yang dibuat

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

153

oleh BPKP. Hakim pengadilan tinggi telah membuat perhitungan sendiri berdasarkan

logika dan kepatutan.

Dengan fakta seperti itu, dapat disimpulkan bahwa dalam soal perhitungan

negara terjadi gap yang menganga antara auditor BPKP, JPU dan Hakim. Gap itu

menjadikan angka kerugian negara yang dibuat oleh ketiganya menghasilkan angka

yang berbeda-beda. Menurut saya itu terjadi karena penguasaan pengetahuan hukum

yang dimiliki BPKP tidak sejalan dengan JPU dan Hakim, demikian juga sebaliknya

pengetahuan akuntansi dan keuangan yang dimiliki JPU dan Hakim juga tidak sesuai

dengan yang dimiliki BPKP. Inilah persoalan tafsir menafsir (hermeneutika).

Pada sisi lain, dalam alat bukti surat pada perkara dakwaan tindak pidana

korupsi yang didakwakan kepada Puteh, jumlah Kerugian Keuangan Negara yang

dihitung BPKP adalah sebesar Rp.11 Milyar setara dengan harga beli Helikopter itu.

Oleh karena itu, Kaligis, Advokat yang menjadi pembela hukum Puteh menyatakan

bahwa jumlah perhitungan keuangan Negara yang dilakukan terhadap kasus ini tidak

fair dan tidak valid. Kaligis mengatakan sebagai berikut:

“Penghitungan kerugian keuangan Negara/Daerah dengan tidak memasukkan dan/atau menghitung dan/atau memperhitungkan harga jual Helikopter dan/atau jumlah pembayaran yang dilakukan… dan kemudian dijadikan dasar tuntutan adalah sangat bertentangan dan sangat keliru serta sangat mengandung kesalahan yang mendasar baik menurut standar akuntansi umum maupun standar akuntansi pemerintah daerah… Dalam perhitungan keuangan… secara umum bahwa sesuatu barang baik yang telah dibeli.. telah memiliki nilai-nilai yang harus diperhitungkan terutama bila pihak pembeli telah mengeluarkan sejumlah uang. Dalam perhitungan keuangan, setiap barang ekonomis pasti memiliki suatu harga dan/atau nilai ekonomis.. dan tidak ada barang ekonomis tidak mempunyai harga dan/atau nilai ekonomis yang dapat diterjemahkan dalam satuan nilai tukar uang... Dalam dakwaan maupun dalam tuntutan.. tidak ada suatu dasar dalam menghitung harga helikopter… padahal fakta-fakta yang terungkap dalam sidang di pengadilan.. helikopter tersebut mempunyai harga dan nilai ekonomis yang dapat dikuantifikasikan ke dalam nilai satuan mata uang sehingga kerugian Negara tidaklah dalam jumlah yang didalilkan Penuntut Umum…”

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

154

Ungkapan Kaligis merupakan wujud bentuk protesnya terhadap hasil

penghitungan kerugian Negara yang tidak akurat. Artinya, penghitungan kerugian itu

harusnya tidak pada harga (net out-flows) pembelian helikopter saja, namun juga harus

mempertimbangkan pengurang dari nilai/harga pasar helikopter itu. Perhitungan

kerugian negara semacam itu dikatakannya sebagai perhitungan yang tidak fair, tidak

akurat dan tidak valid.

Kembali ke perkara Bahri, temuan BPK RI dalam general audit atas Laporan

Pertanggungjawaban Keuangan Pemkab Malang, untuk Tahun Anggaran 2003,

berdasarkan DASK No. 180/577/KEP/421.012/2003 tertanggal 18 September 2003

Pemerintah Kabupaten Malang telah mengalokasikan Belanja Modal untuk kegiatan

Pembangunan Gedung Utama dan Sumur Bor Pabrik Gula KIGUMAS Tahap III

jumlahnya adalah Rp.2.315.551.164. Pekerjaan tersebut dilaksanakan melalui

pelelangan terbatas yang diikuti oleh 3 (tiga) rekanan sebagai berikut :

Tabel 4-5 DAFTAR REKANAN PT. KIGUMAS

REKANAN

ALAMAT

CV Sami Jaya Jalan Adimulyo No 77 Kepanjen Malang

CV Biro Bangunan Abadi Jalan Keramik No 308 Malang

PT Sumber Sarana Mitra Sejati Jalan Widodaren No 7 Malang

Sumber: Laporan BPK RI Perwakilan Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal : 26 April 2005

Dalam proses lelang, yang dinyatakan sebagai pemenang lelang adalah PT.

Sumber Sarana Mitra Sejati. Setelah ditetapkan sebagai pemenang, Pelaksanaan

pekerjaan dilakukan berbasis kontrak Nomor 525/391/Kontrak/429.117/2003 tertanggal

10 Maret 2003 senilai Rp.1.079.320.000. Berdasarkan penelitian terhadap dokumen-

dokumen kontrak, diketahui telah terjadi beberapa kejanggalan, antara lain

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

155

adalah Perhitungan PPN pada kontrak dengan PT. Sumber Sarana Mitra Sejati

tersebut tidak benar. Temuan itu adalah sebagai berikut:

Tabel 4-6 PERHITUNGAN PPN PT SUMBER SARANA MITRA SEJATI

URAIAN URAIAN SEHARUSNYA (Rp)

TERTULIS (Rp)

Nilai Fisik 981.200.000 989.377.205,82

Nilai PPN 10 % 98.120.000 89.993.382

Nilai Kontrak 1.079.320.000 1.079.320.588 Sumber: Laporan BPK RI Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005

Lebih lanjut, dokumen penawaran dari 3 (tiga) rekanan yang ikut pelelangan

sama persis dari segi format dan tampilannya. Hal ini terlihat antara lain dari pilihan

jenis huruf dan garis-garis pembatas dalam tabel perhitungan yang terdapat pada

Rencana Anggaran Biaya (RAB). Tim audit BPK RI, dalam hasil wawancara dengan

wakil LPM UB selaku pengawas lapangan, kemudian memperoleh bukti bahwa semua

penawaran rekanan tersebut memang dibuat oleh satu pihak, yaitu LPM UB sendiri.

Dalam proses pengajuan penawaran, rekanan hanya diminta menyediakan kertas ber-

‗kop‘ atas nama masing-masing dan menandatangani kontrak yang sudah jadi. Lebih

lanjut, diketahui bahwa selain membuatkan kontrak penawaran atas ketiga rekanan

tersebut, LPM UB juga menyusun Engineer Estimate (EE) dan Owner Estimate (OE)

yang seharusnya tidak dilakukannya.

Uraian tersebut di atas dapat membuktikan bahwa pelaksanaan pelelangan

dilakukan tidak sesuai ketentuan, penuh rekayasa atau dengan kata lain hanya

sekedar formalitas belaka. Tim Auditor BPK RI menilai bahwa dalam pelelangan ini

diduga diwarnai adanya/terjadinya ‗kolusi‘ antara perencana, pelaksana, dan pemberi

kerja. Kenyataan ini tidak dibantah baik oleh Panitia Lelang yang mewakili pemberi

kerja maupun pihak LPM Universitas Brawijaya selaku perencana.

Kolusi dalam pelelangan ini semakin tampak jelas dan nyata dengan adanya

addendum kontrak No. 04 Tahun 2003 tanggal 6 Agustus 2003 terhadap kontrak

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

156

nomor 525/391/Kontrak/429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 tersebut di atas. Dari

wawancara yang dilakukan Tim Auditor BPK-RI dengan Sami‘an (Direktur CV. Sami

Jaya sebagai pemenang Cadangan II), diperoleh pengakuan bahwa sejak kontrak

awal, pekerjaan dilaksanakan oleh CV. Sami Jaya, sedangkan PT. Sumber Sarana

Mitra Sejati hanya berperan menandatangani kontrak saja. Addendum Kontrak No. 04

tersebut meliputi perubahan volume pekerjaan, jaminan pelaksanaan pekerjaan,

jangka waktu pelaksanaan, jaminan pemeliharaan dan tata cara pembayaran. Sesuai

dengan Surat Perintah Perubahan Pekerjaan Nomor 525/469/421.108/2003 tanggal 5

Agustus 2003 volume pekerjaan berubah, semula senilai Rp.1.079.320.000 menjadi

Rp.3.917.443.000 sehingga nilai pekerjaan tambah sebesar Rp.2.838.123.000 atau

262,95 %. Sesuai dengan bukti-bukti kuitansi pembayaran, pekerjaan tambahan

tersebut telah dibayar dengan jumlah pembayaran keseluruhan sebesar

Rp.2.923.051.164 yang dapat dirinci sebagai berikut:

Tabel 4-7 DAFTAR SURAT PERINTAH MEMBAYAR UANG (SPMU) SPMU TANGGAL (RP)

No 1508/DAU//2003 14 Mei 2003 755.524.000

No. 4039/DAU/2003 4 September 2003 1.436.764.373

No. 6522/DAU/2003 12 Nopember 2003 584.610.232

No. 8464/PAD/2003 29 Desember 2003 146.152.559

Jumlah 2.923.051.164 Sumber: Laporan BPK RI Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005

Dengan data pencairan SPMU tersebut diketahui bahwa total realisasi

pembayaran pekerjaan melebihi nilai kontrak adalah sebesar Rp.2.923.051.164 minus

Rp.2.838.123.000=Rp.84.928.164. Berawal dari kejanggalan ini, Tim BPK RI

melakukan penelitian terhadap perhitungan nilai komponen pekerjaan yang

diperjanjikan dalam kontrak dan konfirmasi harga kepada pihak ketiga. Dari penelitian

dan konfirmasi tersebut, ternyata diketahui kelebihan pembayaran yang telah terjadi

tidak hanya Rp.84.928.164 melainkan sebesar Rp.223.568.38. Kelebihan pembayaran

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

157

ini terjadi pada pekerjaan pemasangan jaringan listrik dan pembelian timbangan,

dengan penjelasan bahwa tercantum uraian perijinan PLN jaringan TR 11.000 VA

seharga Rp.115.000.000 pada hal dari konfirmasi Tim kepada PLN setempat pada

tanggal 14 dan 15 Maret 2005 diperoleh informasi biaya pemasangan baru hanya akan

memakan biaya sebesar Rp.20.577.692.

Dari uraian di atas, kondisi yang demikian itu tentu tidak sesuai dengan

petunjuk Teknis Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah manakala terjadi

perubahan kegiatan pekerjaan menyebutkan bahwa pekerjaan tambah dalam rangka

penyelesaian pengadaan jasa pemborongan dan barang/jasa lainnya haruslah dengan

pertimbangan satu kesatuan tanggungjawab teknis, yang nilainya tidak boleh lebih dari

10 % (sepuluh per seratus) dari harga yang tercantum dalam surat perjanjian/kontrak

asal.

Selanjutnya, pada prosedur pelelangan dan evaluasi penawaran antara lain

menyatakan bahwa penawaran dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi,

apabila syarat-syarat yang diminta menurut dokumen lelang dipenuhi/dilengkapi dan isi

setiap dokumen benar serta dapat dipastikan bahwa dokumen penawaran ditanda

tangani oleh orang yang berwenang. Ternyata dokumen penawaran yang masuk

menunjukkan adanya persaingan yang tidak sehat, di mana telah terjadi pengaturan

bersama (kolusi) diantara para peserta dan atau dengan panitia lelang yang dapat

merugikan Negara dan atau peserta lainnya.

Dalam hasil auditnya, BPK RI juga menyatakan bahwa kondisi-kondisi

semacam itu tentu akan dapat mengakibatkan, Pertama adalah tidak tercapainya

tujuan dilakukannya pelelangan yaitu memperoleh rekanan yang professional dalam

bidangnya dengan harga penawaran terendah tetapi wajar. Kedua adalah, kerugian

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

158

pemerintah daerah minimal akan menuju pada angka Rp.223.568.381. Hal tersebut

terjadi karena unsur kesengajaan dari panitia lelang, perencana (LPM UB) dan

pelaksana (rekanan). Kemudian BPK-RI menyarankan kepada Bupati Malang agar

menegur Panitia Lelang atas kelalaiannya dalam melaksanakan tugas lalu

memerintahkan Kepala Dinas Perkebunan untuk menarik kelebihan pembayaran

sebesar Rp.223.568.381. kepada PT Sumber Sarana Mitra Sejati dan menyetorkan

hasilnya penagihan tersebut ke Kas Daerah.

Temuan-temuan AKP ini yang menjadi bekal penting bagi penyelidik untuk

melakukan penyelidikannya. Penyelidikan yang dilakukan merupakan pendalaman dan

pengkayaan hingga jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W dapat

mewujud dalam bentuk Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyelidikan. Pada

perkara Samsul Bahri ini, simpulan akhir yang dibuat penyelidik adalah bahwa perkara

ini bisa ditingkatkan ke tahap berikutnya yakni level penyidikan (sidik).

4.2.4. Alat Bukti Petunjuk

Bukti petunjuk adalah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya

(KUHAP pasal 184 ayat (1) pada huruf d). Penilaian atas kekuatan alat bukti petunjuk

dalam setiap keadaan dilakukan dengan cara mengadakan pemeriksaan dengan

penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani. Dengan demikian,

hakekat fundamental alat bukti petunjuk ini adalah identik dengan ―pengamatan

mendalam dan seksama‖ karena pada akhirnya penilaian atas kekuatan pembuktian

akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan kearifan penegak hukum.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

159

Alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari persesuaian antara alat bukti

keterangan saksi, alat bukti surat dan alat bukti keterangan terdakwa. Jadi, alat bukti

petunjuk ini dihasilkan dari cara menyimpulkan atas suatu fakta-fakta yang ditarik dari

keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Karena itu, alat bukti petunjuk ini

memerlukan prasyarat yakni suatu kejernihan hati (spiritual) dan kecerdasan intelektual

(IQ) sehingga penyelidik dapat merangkai dan membuat simpulan atas tiga alat bukti

yang telah diperolehnya.

Alat bukti petunjuk pada perkara Bahri, dapat dilihat adanya persesuaian antara

keterangan saksi dengan barang bukti berupa surat serta keterangan dari Bahri

sendiri. Korelasi dan konsitensi menjadi titik temu mewujudnya alat bukti petunjuk yang

dapat disangkakan kepada Bahri.

4.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka

Keterangan terdakwa (erkentenis) menempati derajat kelima. Alat bukti

keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di sidang

pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami

sendiri. Meskipun demikian, keterangan terdakwa juga bisa yang diberikan di luar

pengadilan asalkan keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah dan

sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa ini hanya

dapat digunakan untuk dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Keterangan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.

Alat bukti keterangan terdakwa, Pada level penyelidikan berupa keterangan-

keterangan yang diberikan oleh tersangka. Dalam hal ini keterangan yang diperoleh

penyidik dari penjelasan, uraian dan keterangan Bahri. Keterangan itu dapat

disimpulkan sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

160

.“Bahwa yang menandatangani kontrak jasa konsultasi pengadaan pabrik

(pabrikasi) Kigumas tahap II adalah Pihak I Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Malang … dan Ketua LPM Universitas Brawijaya Malang Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri., MS Bahwa tersangka telah mengetahui dan membaca isi kontrak Nomor 05 dan 06 tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 … Bahwa Nilai Kontrak Nomor 523/388 dan 523/390 tanggal 10 Maret 2003 sudah dibayarkan kepada LPM UB dari Kasda ke rekening LPM UB atas Nama Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri., MS Bahwa pembayaran Kontrak Nomor 523/388 dan 523/390 tanggal 10 Maret 2003 berasal dari dana alokasi umum (DAU) APBD Kota Malang… Bahwa tersangka tidak tahu kapan adanya penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pengadaan mesin Kigumas tahap II serta penyempurnaan perencanaan perencanaan dan pengawasan Pembangunan peningkatan gedung utama dan sumur bor pabrik gula Kigumas tahap III sebagaimana tertuang dalam kontrak no 05 dan 06 tahun 2003. Bahwa tersangka tidak tahu apakah ada atau tidak ada kegiatan penyempurnaan perencanaan atau pengawasan sesuai DSAK Dinas perkebunan Tahun 2004 tertera kegiatan jasa konsultan untuk penyempurnaan perencanaan dan pengawasan karena tidak ada kontrak dalam tahun 2004 menyangkut kegiatan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan. Bahwa tersangka pernah hadir di KAP Koenta Adji bersama dengan Soedjito dan Bisri membicarakan pekerjaan yang belum ada perikatannya terhadap penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pembangunan PG Kigumas…

Dari keterangan yang diperoleh dari Bahri tersebut, tentu saja penyelidik

Kejaksaan Negeri Kepanjen dapat mengambil kesimpulan bahwa Bahri dapat disangka

dan dipastikan terlibat dalam tindak pidana korupsi PGM Kigumas. Dari hasil

keterangan yang digaris bawahi dan dihitamkan tersebut jelas dapat menunjukkan

bahwa Bahri mengetahui, dan/atau ikut serta dan/atau bersama-sama dengan

tersangka lainnya melakukan tindak pidana korupsi.

4.3. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI

Sebelum hasil akhir penyelidikan dinaikkan ke proses penyidikan, sudah menjadi

kemestian (conditio sine quanon) bahwa penyelidik harus terlebih dahulu melakukan

apa yang disebut dengan gelar perkara (eksaminasi internal). Gelar perkara itu

dilakukan dalam rangka untuk lebih memastikan apakah masih ada hal-hal yang masih

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

161

mengandung kelemahan yang perlu dilakukan penyelidikan tambahan agar hasil

penyelidikan itu layak untuk diteruskan ke tahap penyidikan. Keharusan melakukan

penilaian (internal examination) itu karena penyelidikan merupakan ―tahap pertama

penyidikan‖ atau pre-investigation yang merupakan bagian integral dan tidak

terpisahkan dari proses penyidikan (legal investigation) secara keseluruhan.

Jadi, hasil penyelidikan merupakan simpulan untuk membuktikan apakah

penyelidik telah mampu membuktikan ada (tidak) nya ―dugaan‖ tindak pidana korupsi.

Tolok ukur keterbuktian adalah hasil temuan dari tindakan mencari. Oleh karena itu,

bilamana hasil temuan telah mampu membuktikan eksistensi dugaan itu. Dengan

demikian, fokus tujuan penyelidikan adalah untuk mengumpulkan bukti-bukti

permulaan atau dengan kata lain (dalam bahasa hukum) telah ―cukup bukti‖ untuk

dilakukan peningkatan statusnya menjadi proses ‖penyidikan‖. Hal mana juga

dimaksudkan agar dalam tahap penyidikan akan menjadi lebih mudah membuktikan

eksistensi tindak pidana korupsi karena sudah adanya dasar hukum atas temuan-

temuan pada proses penyelidikan.

Bentuk mind-set dalam mengejar dan membangun alat bukti tindak pidana

korupsi yang merupaan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W

diungkapkan oleh Direktur Penyelidikan KPK (Iswan Elmi) sebagai berikut:

“Upaya mencari dan menemukan bukti atas dugaan korupsi merupakan inti tugas pada Direktorat Penyelidikan KPK. Semua sumber daya yang ada kita arahkan untuk mencari dan menemukan paling tidak dua alat bukti sah atas dugaan korupsi. Bilamana minimal dua alat bukti tersebut telah kita temukan maka status perkara baru dapat ditingkatkan pada tahap berikutnya yaitu proses penyidikan…”

Sebagai konsekuensi atas ungkapan di atas, dapat ditarik suatu benang merah

yakni sudah menjadi kemestian (conditio sine quanon) bahwa alat bukti dan barang

bukti yang dicari dan ditemukan—secara idealita—harus memiliki fungsi sebagai

instrumen fasilitatif dan emansipatoris. Sebagai fungsi fasilitatif, Mozaik Bukti

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

162

Akuntansi Forensik niscaya memiliki fasilitas titik-temu dan tidak sekedar hanya

bertumpu pada teks peraturan belaka, namun juga harus membangun hubungan

kausalitas antara doktrin, teks dan konteks dalam realitas sosial. Emansipatoris artinya

adalah dalam proses penyidikan, penyidik juga harus tetap menjunjung tinggi

presupmtion of innosence dan bukan presumption of guilty. Presumption of guilty ini

adalah ―pembalikan beban pembuktian‖ (reversal burden of proof) atau sering disebut

sebagai ‗pembuktian terbalik‘ di mana penuntut umum tidak diwajibkan untuk

melakukan pembuktian terhadap terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana korupsi,

tetapi si terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya bukan seorang koruptor.

Karakter emansipatoris juga terletak pada pengedepanan basis nalar-rasional

(akal-budi) yang mengarah pada bentuk bukti yang substance over form dan bukan

hanya sekedar form over substance, atau dengan kata lain proses mencari dan

menemukan visum akuntansi forensik level penyelidikan ini tidak hanya sekedar

menonjol-nonjolkan proses prosedural belaka (sensu strickto), namun harus juga tidak

melupakan substansinya. Karena dalam kasus penanganan perkara tindak pidana

(korupsi) yang lebih ditekankan adalah substansi (materiil) perkara dan bukan hanya

formalitas procedural an sich.

Dalam penyelidiklan pelacakan (tracing) umumnya dilakukan dengan tiga pola

aktivitas korupsi yakni theft, concealment, dan conversion. Tindak pidana korupsi pada

umumnya memiliki tiga pola itu. Dengan tiga pola itu tentu penelusuran akan menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dan niscaya dari aktivitas penyelidikan.

Soekardi Hoesodo, mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Perencanaan dan

Analisis mengatakan bahwa dalam tugasnya saat di BPKP jejak-jejak tindak pidana

keuangan pada umumnya dapat ditelusuri dan kemudian ditemukan jawaban 2H+5W

itu. Karena itu Soekardi berbasis pengalamannya dapat memastikan bahwa pencarian

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

163

jejak itu pasti dapat menemukan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik dengan mengatakan

sebagai berikut:

When people enter financial transactions, such as buying assets, they leave „footprint‟. Jadi, tidak ada sentuhan yang tidak meninggalkan tapak-jejak, pasti kita dapat menelisik bekas-bekasnya. Setiap jejak korupsi pasti akan senantiasa diikuti dengan langkah penyembunyian, dan baru pada tahap berikutnya akan dikonversi.”

Dengan demikian jejak-jejak korupsi akan dapat diikuti dalam bentuk rumah,

mobil, deposito atau asset-asset lainnya. Dalam kaitan dengan aliran dana berbasis

rekening koran milik koruptor, fungsi lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) sangat membantu dan banyak berperan strategis dan menentukan

dalam memberikan data aliran-aliran dana haram tersebut (follow the money). Pola

aliran dana haram ini dapat kita lihat pada semisal aliran dana kasus beras Bulog

(Widjanarko Puspojo) atau aliran bank BNI (Adrian Woworuntu).

Hasil akhir dari penyelidikan, akan dilakuan sebuah expose atau pemaparan,

yang menurut Informan Icha (bagian Sekretariat pada Direktorat Penyelidikan KPK)

mengatakan bahwa ekspose pada umumnya dilakukan pada setiap hari Jum‘at.

“Expose atau examination dilakukan pada setiap hari Jum‟at, biasanya dihadiri oleh penyelidik dan penyidik serta bagian lain yang sedang tidak bertugas. Expose ini, kalau di fakultas ya mirip dengan ujian komprehensif. Hasilnya adalah apakah kasus dapat ditingkatkan, dihentikan atau dipertajam lagi dengan melakukan proses tambahan-tambahan dan penguatan-penguatan, penekanan-penekanan pada sisi-sisi yang masih lemah.”

Paparan hasil penyelidikan pada akhirnya akan memberikan simpulan atau

pendapat terhadap hasil penyelidikan yang dilengkapi dengan chart dan matrix. Chart

akan berupa penguaraian atas modus operandi perkara yang memberikan gambaran

penjelasan secara rinci dan detail mengenai uraian tentang perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh tersangka berdasarkan peraturan yang berlaku serta pasal-pasal yang

dilanggar. Sedangkan matrix akan berisi unsur-unsur atas pasal-pasal yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

164

disangkakan kepada tersangka dengan uraian fakta-fakta perbuatan yang dilakukan

oleh tersangka dan dukungan alat bukti dan barang buktinya.

Semua uraian yang saya paparkan pada sebelumnya, pada dasarnya akan

mengerucut pada formulasi ‗proposisi‘. Meskipun, uraian saya juga dapat disebut

sebagai bentuk deskriptif atas konstruksi viosum akuntansi forensik level investigatif

yang berupa sejarah fakta. Sejarah fakta dalam bentuk deskriptif, boleh jadi dalam

pandangan Cliffort Geertz akan disebutnya sebagai bentuk thick description. yang

merekonstruksi sejarah masa lalu untuk kemudian dihadirkan pada masa kini

mengenai berbagai kejadian, fakta, data, keterangan.

Seirama dengan pembentukan proposisi, dan berkait dengan pengujian atas

suatu proposisi, seharusnya dilakukan pada soal bagaimana menaksir kecukupan

empiriknya terhadap ketepatan pengujian atas sebuah proposisi. Grounded theory

meminta penilaian teoritik atas kecukupan empirik. Penilaian itu terletak pada

kejelasan, konsistensi, sifat hemat, kepadatan ruang lingkup, pengintegrasian,

kecocokan data, kemampuan menjelaskan, sifat prediktifnya, harga heuristik, dan

aplikasi atas semua itu sebagai kriteria penilaian. Penilaian teori harus dilakukan pada

dimensi evaluatif sebagai tambahan terhadap kecukupan empiris. Metode abductive

explanatory inferentialism dalam grounded theory mempertimbangkan secara

sistematis teori-teori yang sudah matang yang secara esensial menjadi materi

simpulan pada penjelasan yang paling baik, di mana suatu teori atau proposisi diterima

manakala diputuskan untuk memberi penjelasan yang lebih baik.

Thagat (2002) dalam Emzir (2008, 207) menyatakan bahwa peluang

perhitungan penilaian teori dapat dilakukan dengan mengambil kesimpulan terbaik itu

akan terkait secara sentral dengan penetapan koherensi yang bersifat menjelaskan.

Teori Thagat adalah sebuah teori koherensi eksplanatori di mana proposisinya

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

165

menjaga kesatuan karena relasi eksplanatorinya. Hubungan koherensi eksplanatori,

ditetapkan melalui operasi tujuh prinsip yakni: simetris, penjelasan, analogi, prioritas

data, kontradiksi, kompetisi, dan keberterimaan. Penentuan koherensi eksplanatori

suatu teori dibuat dalam istilah tiga kriteria: consilience (dapat menjelaskan secara

luas), penyederhanaan dan analogi. consilience artinya memiliki penjelasan terbaik

dan menangkap ide bahwa suatu teori lebih koherensi eksplanatori dari saingannya

serta teori tersebut dapat menjelaskan rentang fakta yang lebih besar. Karena itu,

pada the first order understanding of lay actors dapat dibuatkan proposisinya.

Kemudian, pada tahap berikutnya yakni the second order of social scientist dilakukan

theoritical maturation dengan melakukan konfirmasi teoritikal pada tebaran teori-teori.

Dari uraian-uraian yang saya kemukakan pada bab IV ini, pada proses

penyelidikan dapat saya tarik suatu simpulan dalam bentuk gambar (lihat gambar 4.1.

dan 4.2) berupa proposisi naratif sebagai berikut:

Gambar 4-1 Proses Penemuan Visum Akuntansi Forensik

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

166

PROPOSISI:

Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik level penyelidikan merupakan

temuan penyelidik terhadap paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang

menjadi dasar utama bagi penetapan status tersangka.

Visum akuntansi forensik level penyelidikan akan terangkai dalam suatu chart

and matrix yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime

2H+5W. Mozaik berisi rangkaian keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk dan keterangan tersangka yang diikat dalam Berita Acara Permintaan

Keterangan (BAPK) yang berfungsi sebagai bahan bukti bagi Penyidikan.

Gambar 4-2 Wujud Visum Akuntansi Forensik Level Penyelidikan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

167

BBaabb 55 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN

“Kata”...

Aku percaya kepada Sang Dzat Sejati Al-Haq karena kata,

Aku mencinta dan bahagia karena kata,

Aku yakin perubahanku terjadi karena kata,

Semua yang kuurai berikut ini karena keterpengaruhanku atas kata…

5.1. PENGANTAR Memburu Mozaik Akuntansi Forensik Level Penyidikan

Penyidikan (opsporing) atau dikenal dengan istilah pulbaket sidik merupakan

langkah lanjutan dari penyelidikan (lidik). Bahan bukti yang digunakan dalam

penyidikan juga berasal dari penyelidikan. Tujuan penyidikan adalah pendalaman

terhadap bahan bukti yang berupa visum akuntansi forensik level penyelidikan. Hasil

penyidikan akan menjadi bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk

membuat Dakwaan lalu mengirimkannya ke pengadilan yang disertai permintaan untuk

segara dilakukan sidang pengujian (cross examination) atas perkara yang didakwakan

tersebut.

Selanjutnya, pada sidang-sidang di pengadilan, Majelis Hakim akan memanggil

semua saksi yang tercatat dalam dakwaan, lalu mendengarkan keterangan saksi,

keterangan ahli, keterangan terdakwa dan kemudian melihat, mengkaji, mencermati

dan menganalisis alat bukti dan barang bukti yang untuk selanjutnya akan dijadikan

dasar putusan hukum terhadap terdakwa. Putusan hakim tersebut berbasis pada

minimal dua alat bukti yang sah dari lima macam alat bukti yang ada. Di samping

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

168

berbasis dua alat bukti sah, putusan hakim juga harus mengandung keyakinan yang

berbasis hati nurani.. Karena itulah para hakim sering menamai putusan yang

dibuatnya dengan suatu sebutan ―putusan yang sah dan meyakinkan‖.

Selanjutnya, dalam penyidikan, umumnya para penyidik mengelaborasi dan

mengembangkan ilmu forensik. Ilmu forensik merupakan suatu disiplin ilmu yang unik,

dengan prinsip kerja dan teknik operasionalisasi yang mengambil-oper ilmu

pengetahuan dasar seperti ilmu kimia, biologi, fisika, akuntansi, hukum dan lainnya

untuk melakukan analisis dan sintesis terhadap barang bukti, keterangan, informasi,

fakta, data dan keterangan untuk memecahkan perkara yang sedang ditanganinya.

Metoda Socrates (Socrates Method) sering kali didayagunakan dalam rangka untuk

mengembangkan pertanyaan dan jawaban untuk meraih sebuah kebenaran hakiki

(Sullivan dan Rosen, 2010, 108). Oleh karena itu, ilmuwan forensik keuangan yang

saya sebut juga sebagai Financial Criminalist atau Forensic Accountant bekerja untuk

mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti, fakta, data, informasi dan

keterangan di sekitar peristiwa hukum yang kemudian menganilisis barang bukti, data,

fakta, informasi, serta keterangan yang dapat menghubungkan tersangka dengan

perbuatannya, mencari motif tindakan, menemukan dan menghitung kerugian yang

diderita korban. Jadi, Forensic Accountant/Financial Criminalist akan merekonstruksi

semua kejadian tindak pidana korupsi atau kejahatan keuangan, menulis laporan hasil

kerjanya dan bersaksi di muka pengadilan mengenai temuan-temuannya tersebut.

Rekonstruksi kejahatan keuangan tersebut akan berbentuk chart and matrix yang

merupakan visum akuntansi forensik.

Selaras dengan visum akuntansi forensik, persyaratan mutlak yang wajib

dimiliki akuntan forensik atau financial criminalist, seperti yang dikatakan Allan

Pinkerton yang dikutip Tuanakotta (2007, 50) adalah sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

169

“The detective must posses certain qualifications of prudence, secrecy, inventiveness, persistency, personal courage and above other things; honesty while he must add to these the same qualify of reaching out and becoming possessed of that almost boundless information which will permit of the immediate and effective applicant of his detective talent in whatever degree that might be possessed…

Kemampuan dankepiawaian akuntan forensik dalam berhubungan dengan

manusia memiliki peran yang sangat menentukan. Karane ia harus mendapatkan

informasi, data, maupun keterangan atau pengakuan dan lain-lainnya dari manusia.

Karena itu kepribadian yang menarik, hangat dan mampu memotivasi dan

mempengaruhi orang lain akan banyak membantu sukses tugas yang diembannya.

Sebagai seorang investigator, dalam tugas-tugasnya akan banyak berjumpa dengan

berbagai macam jenis karakter manusia, dengan latar belakang sangat variatif. Oleh

karena itu investigator harus memiliki kepercayaan diri (self confidence) yang tinggi.

Selanjutnya, dalam membangun visum akuntansi forensik yang digunakan bagi

pengungkapan dan penindakan perkara tindak pidana korupsi, tahap penyidikan

merupakan tahapan penting dan menentukan. Pentingnya tahapan ini terletak pada

putusan untuk menarik simpulan akhir yang tepat, apakah perkara dapat dilanjutkan

menjadi bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum untuk membangun sebuah Dakwaan

yang cermat, jelas dan lengkap atau perkara dihentikan sampai di sini saja dan

dikeluarkan SP-3 (Surat Pemberitahuan Penghentian Pemeriksaan). Pengeluaran SP-

3 itu menurut Budi Handaka informan dari Kejagung RI dapat digambarkan sebagai

berikut:

Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3) tersebut dapat dikeluarkan dengan pertimbangan yang matang dan terukur, yang biasanya merupakan hasil dari pelaksanaan ekspose atau gelar perkara atau eksaminasi internal Kejaksaan.

Rangkaian kalimat di atas tersebut dapat diartikan bahwa semua berkas

perkara yang masuk Kejaksaan akan dipresentasikan atau digelar dalam suatu forum

internal kejaksaan (ekspose internal) untuk dapat dipastikan apakah pemeriksaan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

170

perkara bisa diteruskan atau dihentikan. Jika perkara diteruskan dan hasilnya diyakini

berkesimpulan ―tidak terbukti‖ maka SP-3 tersebut akan dikeluarkan.

Tabel 5-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYIDIKAN (SIDIK) DENGAN PENYELIDIKAN (LIDIK)

KETERANGAN

PENYIDIKAN (SIDIK)

PENYELIDIKAN (LIDIK)

PERSAMAAN

1. Mencari dan menemukan jawaban

hypothetical construction of crime 5W+2H berupa Visum Akuntansi Forensik

2. Menemukan minimal dua dari lima macam

alat bukti tindak pidana korupsi 3. Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau

Kejaksaan atau KPK 4. Dalam mencari dan menemukan konstruksi

Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)

1. Mencari dan menemukan jawaban

hypothetical construction of crime 5W+2H berupa Visum Akuntansi Forensik

2. Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi

3. Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau

Kejaksaan atau KPK 4. Dalam mencari dan menemukan konstruksi

Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level penyelidikan, Penyelidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)

PERBEDAAN

5. Menggunakan istilah “projustisia” (demi

keadilan atau demi hukum) 6. Hanya dapat dilaksanakan berbasis pada hasil

penyelidikan

7. Memiliki kewenangan upaya paksa dalam

pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi

8. Hasil permintaan keterangan tersangjka

dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan)

9. Atas dasar bukti permulaan yang cukup,

Penyidik dapat melakukan penahanan, penggeledahan, penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan

10. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan

kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)

11. Sebutan bagi objek penyidikan disebut dengan “tersangka”

5. Tidak Menggunakan istilah “projustisia” (demi

keadilan atau demi hukum)

6. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih bersifat hasil audit investigative dan atau AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk

7. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi

8. Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan)

9. Atas dasar bukti permulaan yang cukup,

Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan lain hanya atas ijin penyidik

10. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan

kepada Penyidik

11. Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terperiksa”

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

171

Penyidikan adalah adalah tindak lanjut langkah dan pendalaman tahap

penyelidikan. Untuk kejelasan mengenai kejelasan antara penyidikan dengan

penyelidikan mengenai persamaan dan perbedaannya dapat dilihat perbandingannya

seperti tampak pada tabel 5.1.

Secara naratif persamaan dan perbedaan antara penyelidikan dengan

penyidikan adalah bahwa pada sisi persamaan keduanya merupakan sebuah upaya

untuk membangun visum akuntansi forensik dalam mengungkap dan mencari alat bukti

yang berkualifikasi hukum. Pada sisi lain, perbedaannya adalah bahwa titik berat

aktivitas penyelidikan pada ‗pencarian‘ dan ‗penemuan‘, sedangkan pada level

penyidikan titik berat aktivitasnya, di samping upaya untuk ‗mencari dan menemukan‘

juga ‗mengumpulkan‘ atas semua pemrosesan alat bukti dan barang bukti. Jadi, dalam

penyidikan seluruh alat bukti akan diikat dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), di

mana BAP tersebut akan menjadi pegangan utama dalam pembuatan Dakwaan JPU

sekali bahan utama pada pemeriksaan di pengadilan (cross examination) yang pada

gilirannya akan menjadi landasan utama bagi putusan hakim.

Di samping itu, aktivitas yang dilakukan penyidik dalam tindakan penyidikannya

akan senantiasa mencantumkan kata ―projustitia‖. Projustitia merupakan sebuah kata

berupa simbol atau label yang dapat diartikan sebagai tindakan demi keadilan atau

dapat dimaknai sebagai ‗demi tegaknya hukum‘. Label atau title projustitia akan selalu

dicantumkan pada “kiri atas” dalam sebuah kertas pada semua administrasi bagi

setiap tindakan penyidik. Label itu senantiasa tercantum dalam dokumen-doukumen

seperti: Surat Panggilan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan tindakan-tindakan

penyidik lainnya. Artinya dengan surat-surat itu akan mengubah semua bukti, data,

fakta, informasi dan keterangan menjadi telah ―bernilai hukum‖ dan akan menjadi

bagian tidak terpisahkan secara keseluruhan dari visum akuntansi forensik. Alat bukti

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

172

yang dikumpulkan penyidik merupakan jawaban riil dan kongkrit atas hypothetical

construction of crime yang sekaligus dengan tertempelnya stempel ―projustitia‖ menjadi

bukti atas terjadinya proses hukum telah sesuai dengan koridor hukum (due process of

law) yang berlaku di Indonesia (KUHAP).

Seperti pada bab-bab sebelumnya, dalam bab ini, ilustrasi atau back-bones

uraian terhadap fakta, data, informasi dan ketarangan sebagai dasar dalam mencari,

menemukan dan mengumpulkan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik yang berkriteria

hukum masih menggunakan kasus sangkaan korupsi pada Bahri Ketua LPM UB.

Dalam ilustrasi ini akan dapat kita lihat bagaimana hypothetical construction of crime

dapat dijawab oleh penyidik yang kemudian mewujudkan konstruksi visum akuntansi

forensik level penyidikan.

Langkah “P” yang dilakukan penyidik Kejaksaan tersebut merupakan langkah

lanjutan yang dilakukan oleh penyelidik yang telah saya uraikan pada bab IV, yakni

dari P-1 hingga P-7. Langkah penyidik dengan dokumentasi “P” itu adalah: membuat

Surat Perintah Penyidikan didokumentasikan formulir P-8. Berikutnya adalah membuat

Rencana Jadual Penyidikan (Rendik) yang didokumentasikan dalam P-8A. Membuat

Surat Panggilan saksi/ahli dan tersangka yang didokumentasikan dalam bentuk P-9.

Membuat Berita Acara Keterangan ahli yang didokumentasikan P-10. Surat Usulan

Bantuan Pemanggilan saksi didokumentasikan pada formulir P-11. Membuat Surat

Pemanggilan Bantuan saksi/ahli didokumentasikan dalam P-12. Membuat Usul

Penghentian Penyidikan/Penuntutan (bila diperlukan) didokumentasikan dalam P-13.

Membuat Surat penghentian penyidikan P-14. Membuat Surat Pemberitahuan Berkas

Perkara P-15. Membuat Surat perintah jaksa penuntut umum untuk mengakhiri

penyidikan P-16. Membuat Surat Permintaan Perkembangan hasil penyidikan P-17.

Membuat Hasil Penyidikan berkas lengkap P-18. Melakukan Pengembalian berkas

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

173

perkara untuk dilengkapi di dokumentasikan pada P-19. Pemberitahuan bahwa waktu

penyidikan telah habis P-20. Pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap P-

21 dan seterusnya.

Kotak 5.1.

KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG

KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS.

Kejaksaan Negeri Kepanjen

―Untuk Keadilan‖

Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: --- URAIAN SINGKAT PERKARA:

Bahwa Tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua

Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor: 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam

ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PGM KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar.

Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Sebesar Rp.645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDY TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN

sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO No. 525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H. M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak

No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan Ddendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003. Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp.645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Prop. Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp.645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp.489.334.493,- (empat ratus delapan puluh

sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

174

Bilamana suatu perkara berjalan hingga putusan akhir, maka administrasi dan

dokumentasi dengan simbol “P” ini akan terus berlanjut seiring sejalan hingga

dokumen P-53. Dokumen “P” ini dapat saya sebut semacam check list atas working

paper yang sering dibuat oleh auditor. formulir “P” digunakan untuk lebih memastikan

apakah semua prosedur baku (standard operating procedures) telah dijalankan

seksama dan hati-hati oleh Petugas Kejaksaan. Sandi “P” merupakan juklah dan

juknis atau semacam check list terhadap impplementasi KUHAP.

Dari semua ―P‖ itu yang paling dikenal oleh masyarakat, karena sering disebut-

sebut oleh Jaksa Agung atau jaksa-jaksa penuntut umum (JPU) adalah “P-19” dan

P-21. Karena kedua dokumen itu sangat sentral dan menentukan. Dokumen ―P-21”

berisi mengenai telah lengkapnya suatu persyaratan dokumen untuk dibuat Dakwaan

yang cermat, jelas dan lengkap bagi si tersangka. Sedangkan “P-19” adalah bahan-

bahan untuk memberkas Dakwaan masih memerlukan perbaikan-perbaikan.

5.2. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL PENYIDIKAN Menemukan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik as a support for a ligation

Penyidikan atau pulbaket sidik (pengumpulan bahan bukti dan keterangan)

berupa serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari,

menemukan dan mengumpulkan alat bukti dimana dengan alat bukti tersebut akan

dapat membuat terang benderangnya kasus tindak pidana korupsi (Mulyadi, 2007,

121, Rukmini, 2003, 112, dan Tuanakotta, 2007,442). Tata cara mengenai apa dan

bagaimana penyidikan ini diatur dapat dilihat dalam KUHAP bab XIV pada pasal 106

sampai dengan pasal 136.

Penyidikan juga ditujukan untuk menemukan siapa atau siapa saja

tersangkanya. Oleh pembuat undang-undang penyidik diberi kewenangan besar agar

dapat melakukan penggeledahan, penahanan, penangkapan dan penyitaan barang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

175

bukti serta tindakan lain yang diperlukan bagi tugas penyidikannya. Semua aktivitas

tersebut akan dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Jadi, dapat

saya simpulkan bahwa penyidikan pada dasarnya akan mengarah pada tiga aktivitas

utama, yakni: (1) mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, (2) membuat

sangkaan tindak pidana korupsi menjadi terang benderang, dan (3) ditemukannya si

tersangka dan tersibaknya motif yang mendasarinya. Dengan kata lain, tujuan

penyidikan adalah untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil (setidaknya

mendekati kebenaran) atas perkara tindak pidana korupsi, lalu menemukan pelakunya

serta mengungkap motif yang mendasari perbuatan jahat si pelaku.

Dengan demikian, dalam rangka mengungkap modus operandi tindak

pidananya dan menemukan tersangkanya, maka dalam penyidikan sangat diperlukan

teknik dan taktik yang canggih. Untuk itu diperlukan SDM yang memiliki kesigapan

tinggi, kecepatan bergerak, memahami ketentuan teknis dan tertib pemeriksaan, dan

memiliki persepsi yang tepat tentang permasalahan yang diduga akan timbul serta

secara kreatif mencari solusi saat dugaan itu muncul (Mulyadi, 2007, 126). Dalam

taktik penyidikan tindak pidana, keterangan saksi menjadi kunci pembuka bagi

pencarian alat bukti dan barang bukti lainnya. Oleh karena itu, penyidik sudah

semestinya memiliki cara dan taktik untuk mendapatkan keterangan para saksi yang

benar dan jujur, sehingga keterangan yang benar dan jujur yang diberikan oleh saksi

tersebut dapat menjadi salah satu alat bukti yang tak terbantahkan di pengadilan.

Semua taktik dan strategi yang dilakukan penyidik dalam aktivitas

penyidikannya hanya mengarah pada tujuan utama yakni mencari, menemukan dan

mengumpulkan jawaban atas hypothetical construction of crime. Karena itu penyidik

perkara tindak pidana korupsi harus membekali dirinya dengan pengetahuan akuntansi

dan keuangan yang mendalam, mempelajari dan memahami berbagai variasi modus

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

176

operandi yang biasa dilakukan koruptor, mengasah kejelian, kreativitas, ketepatan dan

kecepatan dalam mengungkap dan mencari alat-alat bukti lain seperti surat-surat (asli

maupun fiktif), laporan keuangan dan bukti pendukungnya, dokumen-dokumen

keuangan lainnya yang dapat memberi arah ditemukannya perbuatan melawan hukum

dari tersangka dalam merugikan keuangan Negara.

Aktivitas penyidikan seperti yang saya uraikan di atas, dapat disebut sebagai

bentuk pencarian alat bukti yang lebih bernuansa dan menekankan pada penemuan

alat bukti yang besifat inderawi belaka, dan tidak mencoba melakukan elaborasi pada

dimensi psikologis dan intuitif. Tekanan utama pada pencarian alat bukti yang bersifat

inderawi boleh jadi masih akan menyisakan kelemahan dan ketidakakuratan

substansial. Elaborasi dimensi psikologi dan intusi dalam pencarian alat bukti akan

sangat berguna bagi upaya mencari, menemukan dan mengumpulkan mozaik bukti

akuntansi forensik bagi tindak kejahatan korupsi akan menjadi lebih cepat namun juga

lebih akurat.

Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersangka berhak memberikan

keterangan secara bebas kepada penyidik dan boleh didampingi oleh advokat yang

ditunjuknya. Penyidikan ini harus due process of law. Bilamana penyidikan dilakukan

dengan cara seperti kekerasan (violence) dan/atau penyiksaan (torture) tentu

bertentangan dengan due process of law dan bertentangan dengan asas presumption

of innosence serta tidak sejalan dengan prinsip non-self incrimination yang pada

ujungnya boleh jadi dakwaan JPU bisa saja dibatalkan oleh Hakim di sidang

pengadilan karena melanggar due process of law dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Jika violence and/or torture terjadi dan berakibat mempengaruhi pisik dan/atau

psikis tersangka Loebby Loqman (1984) sebagaimana dikutip kembali oleh Rukmini

(2003, 115) menyatakan sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

177

“Adanya tindakan yang “menyimpang” dari pejabat penyidik dalam penyidikan terhadap tersangka akan menimbulkan dua pandangan yang saling berlainan. Di satu pihak bahwa tindakan yang “menyimpang” dalam penyidikan terhadap tersangka akan membawa akibat bahwa perkara itu akan dibatalkan dan tersangka akan dibebaskan, meskipun faktualnya ada dugaan yuridis menjurus pada kesalahan tersangka. Pada sisi lain ada pendapat bahwa, bagi si tersangka tidak dengan begitu saja dikesampingkan atau dibebaskan, artinya tersangka tetap diajukan ke pengadilan, sedangkan tindakan yang “menyimpang” dari pejabat penyidik akan diberikan sanksi adminsitratif terhadap dirinya.”

Dengan demikian, apabila keterangan tersangka yang dipergunakan sebagai

alat bukti bagi penyidik itu yang masuk dalam voisum akuntansi forensik ternyata

diperoleh melalui cara-cara yang didasarkan pada tekanan atau paksaan, maka

keterangan─sebagai alat bukti keterangan saksi─harus dinyatakan tidak sah atau batal

demi hukum (nul and void).

Berkaitan dengan tindakan penyidikan, kita dapat menengok aturan pencarian

alat bukti dipraktikkan pada Negara lain. Di Amerika Serikat terdapat aturan yang

menyatakan bahwa suatu pemerolehan bukti dilakukan dilarang dilakukan dengan

melanggar aturan ‖Exclusionary Rules17. Exclusionary Rules dikembangkan oleh US

Supreme Court agar warga negara terhindar dari tindakan aparat penegak hukum yang

sewenang-wenang dan semau-maunya (Rukmini, 2003, 117).

Exclusionary Rules ini, menurut saya adalah suatu aturan yang hanya untuk

melindungi warga negara US saja Namun bagi warga non US, kita bisa melihat

ketidakkonsistenan (baca: kemunafikan) atas aturan ini secara kasat mata. Untuk

warga Non US, terutama bagi orang yang diduga teroris, Mujahiddin Afghanistan,

pejuang Iraq, atau mereka yang menentang kebijakan US ditangkap, ditahan, disiksa

dan diperlakukan semau-maunya dan melampaui batas Hak Asasi Manusia (HAM).

Guantanamo Jail merupakan bukti konkrit atas ketidakkonsistenan pelaksanaan

Exclusionary Rules. Sungguh ironis, tragis dan munafik.

17

Exclusionary Rules adalah suatu aturan yang mengatur larangan penggunaan alat-alat bukti yang diperoleh penyidik melalui cara-cara yang tidak sah dan melanggar hukum

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

178

Berkait dengan penyiksaan dan kekerasan (violence and/or torture), dalam

konteks Indonesia, tidak terdapat aturan tegas mengenai penyidikan yang

―menyimpang‖ dan melanggar HAM tersebut. Sehingga penyidikan yang dilakukan

dengan kekerasan dan penyiksaan terhadap tersangka maupun saksi kadang

menimbulkan kerumitan penyelesaiannya. Apalagi bilamana tindakan penyiksaan fisik

tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Bahkan akan lebih sulit manakala

kekerasan dan penyiksaan tersebut diarahkan pada penderitaan secara psikis. Kondisi

seperti itu terjadi misalnya adalah penyidik meminta pengakuan melalui rekayasa

dengan cara tersangka dipanggil dan diperiksa secara berulang-ulang hingga sampai

pada jawaban akan dinyatakan cukup manakala kesaksian atau keterangan saksi itu

sudah sesuai dengan arahan penyidik. Cara-cara seperti ini akan menimbulkan kesan

bahwa adanya suatu kesaksian rekayasa (fabricated witnessing).

Pada umumnya fabricated witnessing boleh jadi akan mewujud manakala ada

keinginan kuat dari petugas penyidik untuk bekerja secara cepat dan efesien sehingga

banyak menimbulkan tindakan ―menyimpang‖ dalam proses penyidikannya. Penyidikan

akan dilakukan tidak sesuai dengan aturan-aturan KUHAP.

Contoh kemungkinan terjadinya penyimpangan pada proses penyidikan, adalah

tidak terdapatnya suatu ketentuan hukum yang mengatur secara limitatif (pembatasan)

berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik

dari penyidik kepada penuntut umum, begitu juga sebaliknya. Implikasinya adalah hak

tersangka untuk diadili secara cepat, sederhana dan murah tidak tercipta.

Berlarut-larutnya penyidikan dapat membangun stigma bahwa penyidik dan

atau penuntut umum telah mempermainkan HAM tersangka. Konflik semacam

seringkali terjadi dan kita jumpai antara penyidik dengan penutut umum. Misalnya saja

pada kasus Bahri, seperti yang dikatakan Chazawi:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

179

“Syamsul Bahri ditetapkan sebagai tersangka dalam jangka waktu yang sangat lama, sekitar satu setengah tahun. Dari tersangka kemudian menjadi terdakwa dalam waktu yang begitu lama adalah tidak rasional. Seorang tersangka, seharusnya tidak boleh dibiarkan dalam kurun waktu sedemikian lama untuk tidak segera diadili. Bilamana memang alat buktinya tidak kuat dan/atau alat buktinya kurang, sudah seharusnya pihak Kejaksaan segera mengeluarkan SP-3 agar tersangka tidak dibiarkan terkatung-katung status hukumnya.”

Sejalan dengan apa yang diungkapkan Chazawi, Yudi Kristiana (2006,101-113)

hasil penelitian yang dilakukannya menyimpulkan bahwa adanya dua factor, yakni

factor politis dan sosio-kultural telah banyak mempengaruhi independensi jaksa dalam

penyidikan korupsi. Dalam kelompok faktor politis adalah, birokrasi kejaksaan yang

tidak netral, tidak transparannyaproses penyidikan korupsi, dan terdapatnya kendala

persepsi/perilaku/gaya manajerial kejaksaan. Pada kelompok faktor sosio-kultural

adalah integritas personal kejaksaan karena faktor ekonomi (kesejahteraan, gaji)

dan/atau promosi yang tersendat.

Seorang Informan, Budi (Kejaksaan Agung), berkaitan dengan hal di atas

mengatakan kepada saya sebagai berikut:

“Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, langkah-langkah yang ditempuh oleh Kejaksaan Agung untuk masalah itu, Kejaksaan Agung telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya adalah untuk tindak pidana yang pembuktiannya mudah dan sederhana paling lama tiga hari telah dinyatakan lengkap atau tidak. Sedangkan untuk perkara biasa paling lambat lima hari telah dikirim pemberitahuannya. Dan, untuk perkara yang sudah dinyatakan optimal penyidikannya oleh penyidik, tetapi jaksa memandang masih belum memenuhi syarat formil dan materiil, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan sendiri.”

Manakala berkas telah lengkap, penuntut umum akan membuat surat dakwaan

dan kemudian dibuat surat pelimpahan kepada Pengadilan Negeri setempat. Dakwaan

merupakan dasar pemeriksaan di pengadilan. Hakim tidak akan menjatuhkan hukuman

kepada terdakwa bilamana perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum

dalam dakwaannya. Pembuktian dan fakta-fakta di persidangan yang menentukan

(tidak) terbuktinya seseorang melakukan tindak kejahatan sebagaimana disebutkan

dalam surat dakwaan penuntut umum. Bilamana dalam pembuktian di persidangan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

180

kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, maka pengadilan akan

menderanya dengan hukuman penjara, demikian juga sebaliknya, bila tidak terbukti

maka pengadilan akan membebaskannya. Putusan pengadilan adalah pernyataan

atau simpulan yang telah dipertimbangkan dan dinilai secara masak-masak yang

diucapkan hakim dalam sidang di pengadilan (dengan melekatkan pertimbangan

sebelum putusan dilakukan (ex-ante) dan justifikasi setelah putusan terjadi (ex-ante).

Laporan hasil penyelidikan harus dilengkapi dengan kepastian mengenai ―saat‖

dan ―tempat‖ kejadian perkara (dalam ranah hukum dikenal dengan istilah tempus dan

locus delicti). Semua uraian hasil penyelidikan itu harus dapat memberi gambaran

jelas, detail dan rinci. Dalam uraian itu juga tidak boleh terdapat hal-hal yang

mengandung keraguan serta kekaburan (obscuur) sedikitpun. Dengan kata lain,

laporan investigasi atau penyidikan itu harus cermat, jelas dan dilengkapi dengan

dukungan barang bukti dan alat bukti yang relevan, kompeten, cukup dan material

(―rekocuma‖). Laporan tidak boleh terselip kalimat multi-tafsir yang boleh jadi dapat

membuat kesalahan interpretasi atas eksistensi tindak pidana korupsi saat

pemeriksaan perkara digelar dalam sidang di pengadilan.

Selaras dengan penyimpangan terhadap aturan KUHAP Sahetapi (2009, 65)

merasa heran mengapa formulasi yang terkandung dalam KUHAP tidak

mencamtumkan sanksi kepada penegak hukum yang menyimpang? Atau pada sat

penyusunan KUHAP itu dengan sengaja tidak memasukkan kemungkinan adanya

pelanggaran KUHAP oleh aparat penegak Hukum? atau para legislator itu menyusun

KUHAP dengan asumsi bahwa para penegak hukum pasti tidak akan pernah

melanggar KUHAP? Padahal kita tahu bahwa diformulasikannya KUHAP itu dengan

memiliki dua tujuan. Di satu sisi, untuk melindungi kepentingan tersangka dan

terdakwa dari pelanggaran HAM, pada sisi yang lain untuk memberikan suatu panduan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

181

(rule of the game) mulai dari kepolisian, kejaksaan, KPKP, Hakim dan aparat penegak

hukum lainnya harus tunduk pada aturan main tersebut.

Karena itu, berkait dengan Friedman yang dikutip Sahetapy (2007, 66)

mengatakan bahwa ―The subtantive law of crimes is intended to control the behavior of

people who wilfully injure persons or property., or engage in behavior eventually having

such concequence... criminal procedure, by contrast, is intended to control authorities

not criminals. Jadi KUHAP sebagai bentuk criminal procedures, pada substansinya

harus lebih pada pengontrolan terhadap para aparat penegak hukum yang melanggar

KUHAP (abuse of power and authority) dan bukan di titik beratkan kepada

perlindungan kepada tersangka atau terdakwanya dari pelanggaran HAM. Dengan

demikian, sudah menjadi keniscayaan para aparat hukum juga dapat memperoleh

sanksi manakala melanggar prosedur acara pemeriksaan yang tertuang dalam

KUHAP. Hilangnya sangsi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penegak

hukum agak sulit dijawab karena notulen hasil pembahasan rapat-rapat proses

legislasi DPR (notulen/memorie vantoelichting) saat dibuatnya KUHAP itu sulit untuk

didapatkan. Jika kita dapat melihat, mempelajari dan menyerap apa yang menjadi

perdebatan pada saat itu, tmaka kita akan bisa memperoleh jawaban secara pasti

mengapa sanksi kepada aparat nakal yang mempermainkan dan melecehkan KUHAP

serta memperjualbelikan perkara itu tidak terdapat dalam KUHAP. KUHAP merupakan

produk hukum yang dibuat sendiri oleh anak bangsa, dan ditetapkan sebagai Undang-

undang pada tahun 1981.

Kembali pada realitas yang memungkinkan adanya fabricated witnessing,

Herbert L. Pekcer membangun dua model yang dapat digunakan untuk melihat apak

proses pencarian bukti pidana dilakukan secara objektif. Dua model itu adalah ―Crime

Control Model‖ dan ―Due Process Model‖. Crime control model artinya adalah,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

182

kehadiran seorang advokat dalam proses penyidikan mutlak ada, karena pada tahap

ini yang diperlukan adalah masalah perolehan fakta-fakta tindak pidana (factual-guilt)

yang diperoleh tersebut telah dilakukan penyidik dengan cara-cara yang tidak

melanggar HAM, Pada due process model adalah untuk memastikan apakah proses

penyelidikan yang prosesinya telah sesuai dengan aturan KUHAP. Kehadiran dan

kesaksian advokat yang mendampingi tersangka akan dapat memastikan apakah

proses penyidikan yang dilakukan itu telah sesuai dengan due crime model dan due

process model. Kesaksian itu berperan penting pada saat proses pemeriksaan di

pengadilan (cross examination) karena jika pelanggaran dua model itu dinyakan oleh

advokat pada saat pemeriksaan di persidangan, maka Dakwaan JPU dapat batal demi

hukum.

Pada kasus Bahri, pelanggaran juga terjadi atas due process of law. Dengan

adanya pelanggaran itu kemudian di lakukan tuntutan pra-peradilan oleh para advokat

yang mendampingi Syamsul Bahri ke Pengadilan Negeri Kepanjen. Contoh lain atas

pelanggaran due process of law ini juga dapat kita lihat pada kasus penangkapan

kepada Susno Duadji (Mantan Kabareskrim Polri) yang menjadi whistle-blower kasus

Gayus Tambunan. Dengan adanya pelanggaran atas due process of law itu kemudian

para advokat pendamping/pembela Susno Duadji melakukan tuntutan pra-peradilan.

Crime control model dan due process model dapat didayagunakan untuk

―check point‖ apakah proses pencarian bukti telah dilaksanakan sesuai aturan-aturan

hukum yang berlaku secara benar dan dengan semestinya. Inilah tantangan bagi

Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Lembaga penegak hukum lainnya dalam mencari,

menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi forensik yang merupakan bukti

tindak pidana korupsi, di mana alat bukti dan barang bukti yang dikumpulkan harus

senantiasa berbasiskan ―due process of law‖. Karena itu elaborasi pendayagunaan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

183

ilmu psikologi dan intuisi semakin patut untuk dipertimbangkan pelaksanaan dalam

mencari dan menemukan visum akuntansi forensik as a support for a litigation.

5.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi

Keterangan saksi itu akan dapat berupa suatu keterangan mengenai suatu

peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖ dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Berbasis visum akuntansi forensik level penyelidikan, Kejaksaan Negeri

Kepanjen memanggil saksi-saksi yang terkait dengan perkara PGM Kigumas. Saksi-

saksi yang dipanggil antara lain: (1) Soedjito dari LPM UB dengan surat panggilan

Nomor: SP-18/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 15 Mei 2006 (2) Talahatu selaku Kepala

Dinas Perkebunan dengan surat panggilan Nomor: SP-40/0.5.43/Fd.1/10/2006

tertanggal 24 Juli 2006. (3) Istadi selaku Direktur PT. PGM Kigumas dengan surat

panggilan Nomor: SP-88/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 10 Januari 2007. (4) Sujud

Pribadi, selaku Bupati Malang dengan surat panggilan Nomor: SP-

2357/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 11 Oktober 2007, (5) Widjonarko Kasi

Pengolahan Hasil dan Pemasaran Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemda

Kabupaten Malang dengan surat panggilan Nomor: SP-107/0.5.43/Fd.1/10/2006

tertanggal 22 Oktober 2007 hingga berjumlah 26 orang. Pemanggilan terhadap

tersangka Bahri dilakukan dengan surat panggilan Nomor: SP-76/0.5.43/Fd.1/10/2006

tertanggal 18 September 2006.

Keterangan dari saksi-saksi (dan menjadi alat bukti keterangan saksi) oleh

penyidik diberkas dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Beberapa keterangan saksi

yang penting dapat saya uraikan sebagai berikut, misalnya adalah resume keterangan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

184

dari saksi Widjonarko yang tercantum dalam Dakwaan JPU yang menyakan sebagai

berikut::

―Bahwa PG Kigumas dinyatakan selesai pekerjaan fisik 100% pada tanggal 23 September 2003. Bahwa Kigumas dinyatakan berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) sejak tanggal 10 Desember 2003 berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2003 Tanggal 8 September 2003 dengan pengesahan Badan Hukum PT Kigumas oleh Menteri Kehakiman dan Ham pada tanggal 15 Juli 2004 Bahwa setelah membaca PP 105 tahun 2000 dan Kepmendagri No, 29 Tahun 2002 maka Kegiatan Kimbun berbasis tebu tahun 2004 dan kegiatan yang dilaksanakan dalam DASK 2004 bersifat bangunan sipil yang dikerjakan PT. Sumber Sarana Mitra Sejati dan penyempurnaan alat mesin yang dikerjakan CV. Teknika Utama serta membayar uang jasa konsultan pengawas kepala LPM UB adalah tidak dibenarkan Bahwa tidak dibenarkan kegiatan dalam tahun 2003 yang telah dilaksanakan oleh PT Sumber Sarana Mitra Sejati dan LPM UB dibayarkan dengan dana Kimbun APBD Tahun 2004 dengan alasan pre-financing karena tidak diatur dalam Keppres 80 Tahun 2003 Maupun Keppres 18 Tahun 2000 serta bertentangan dengan sistem penganggaran berbasis kinerja.

Bahwa dana Kimbun berbasis Tebu tahun 2004 yang dilakukan pergeseran anggaran menjadi kegiatan Kigumas yang telah berbadan Hukum PT tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan pasal 28 ayat (3) dan ayat (5) UU No 17 Tahun 2004 Tentang Keuangan Negara.

Demikian juga, sebagian keterangan yang diberikan oleh saksi Salamena yang

menerangkan kesaksiannya sebagai berikut:

“Bahwa sesuai dengan SPM Nomor:515/DAU/2004 tanggal 3 Maret 2004 untuk biaya jasa konsultan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pada kegiatan PG Kigumas Rp.645.987.000 kepada LPM UB dimana uang tersebut ditransfer ke rekening Bank Jatim Cabang Malang Nomor: 004/023222 atas nama Bahri, MS Bahwa pencairan dana Kimbun sesuai Surat Perintah Membayar (SPM) yang terbit melalui bagian keuangan Sekda Pemkab Malang sebanyak 12 SPM … dengan total Rp.2.915.522.600 dicairkan di Kantor Kasda Pemkab Malang Jl, Merdeka Timur No. 12 Malang, yaitu lima kali di masa Freddy Talahatu dan tujuh kali pada masa Hendro Soesanto Bahwa tidak ada persetujuan DPRD terhadap perubahan kegiatan proyek Kimbun menjadi Kigumas… Bahwa perubahan kegiatan proyek kimbun menjadi Kigumas tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Kep.Mendagri 29/2002 Pasal 55 ayat 2) maka hal tersebut tidak dibenarkan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

185

Bahwa mengingat Kigumas telah berbadan hukum sejak 10 Desember 2003, maka sesuai undang-undang yang berlaku bahwa ajuan kebutuhan apapun untuk PT Kigumas agar dapat dibiayai oleh APBD itu tidak dapat dibenarkan.

Keterangan yang didapat dari Sujud selaku Bupati Malang yang juga

merupakan penandatangan addendum kontrak nomor 05 dan 06 di depan penyidik

antara lain sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan DASK awal dan DASK perubahan TA 2004 di Dinas Perkebunan Kab Malang tidak ada anggaran untuk Kigumas, yang ada adalah dana pembinaan untuk Kimbun.

Dari hasil tiga orang yang memberikan keterangan di depan penyidik itu dan

juga berdasakan keterangan-keterangan saksi lainnya, penyidik memiliki keyakinan

kuat dan kemudian dapat mengambil simpulan bahwa pembayaran atas pekerjaan dari

addendum 05 dan 06 kepada Bahri selaku ketua LPM UB dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana korupsi. Karena perbuatan yang dilakukan Bahri tersebut telah memenuhi

unsur-unsur tindak pidana korupsi yakni perbuatan melawan hukum, menguntungkan

diri sendiri atau orang lain atau korporasi serta merugikan keuangan Negara.

Namun, simpulan itu dibantah oleh Bahri dalam pledoi-nya bahwa pelaksanaan

pekerjaan tersebut terjadi karena adanya pekerjaan penyempurnaan pabrikasi dan

bangunan sipil, yang berarti juga menjadi sebuah kemestian atas adanya perubahan

atau penyempurnaan dan penambahan desain pabrikasi bangunan sipil yang terdiri

dari 17 item pabrikasi dan 22 item bangunan sipil. Karena itu, Bahri menjustifikasi

perbuatannya itu dengan mengutip Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kepres 18 Tahun

2000 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah

sebagai berikut:

“addendum kontrak adalah ketentuan mengenai perubahan kontrak yang dapat terjadi karena: (1) perubahan pekerjaan yang disebabkan oleh suatu hal yang dilakukan oleh pihak lain dalam kontrak sehingga merubah lingkup pekerjaan dalam kontrak, (2) perubahan jadual pelaksanaan pekerjaan akibat pekerjaan dan perubahan pekerjaan/pesanan…

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

186

Jadi, menurut Bahri, simpulan dan kemudian menjadi tuduhan bahwa LPM UB

melaksanakan pekerjaan fiktif itu merupakan bentuk ketidakcermatan, dan bentuk

kecerobohan yang hanya mendasarkan pada analisis belaka. Mestinya yang diungkap

BPKP adalah fakta dan data, dan bukan simpulan berupa tuduhan fiktif.

Justifikasi lain yang dikemukakan Bahri bahwa pekerjaan itu tidak fiktif adalah

bahwa berdasarkan laporan Tim yang diketuai oleh Sudjito dan Bisri serta saksi-saksi

lain mengatakan bahwa (1) kontrak dilakukan secara bertahap, artinya dalam kontrak

mengandung unsur hak dan kewajiban, (2) desain awal tahun 2001 hanya merupakan

desain untuk menghitung investasi yang disesuaikan dengan pagu anggaran

pemerintah Kabupaten Malang, (3) desain yang dibuat konsultan, dengan

pelaksanaannya yang dilakukan kontraktor tahun 2003 baik mesin maupun sipil

dilaksanakan secara paralel, (4) tugas pekerjaan pengawas berbeda dengan tugas

desain, dan (5) pekerjaan desain sudah disepakati oleh kedua belah pihak dalam

addendum Nomor: 05 dan 06,

Bahri menambahkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa berdasarkan

kesaksian dan barang bukti yang disampaikan Widjiastuti (pemegang Kas Uang Muka

Kerja/Bendahara LPM UB) pada tahun 2003 total kontrak antara LPM UB dengan

Pemkab Malang senilai Rp.948.859.800, dibayar di tahun 2003 sebesar Rp.43.172.800

yang kemudian dipergunakan untuk membayar pekerjaan konsultan bangunan sipil dan

yang sebesar Rp.259.700.000 untuk membayar pekerjaan konsultan dan

pabrikasi/mesin. Kekurangan pembayaran Rp.645.987.000 dilunasi pada tahun 2004

sesuai dengan addendum Nomor 05 dan 06 tahun 2003. Dengan demikian, pekerjaan

pengawasan telah dilaksanakan sejak tanggal 20 Januari 2003 sampai dengan tanggal

31 Oktober 2003. Jadi, tuduhan pekerjaan fiktif itu sangat mengada-ada, berlebihan

dan mengusik rasa keadilan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

187

Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwa persoalan utama dalam

perkara Syamsul adalah, pada satu sisi yakni pada sudut pandang Jaksa Penuntut

Umum pekerjaan LPM UB adalah fiktif dan atas pekerjaan fiktif itu kemudian dibayar

oleh Pemda Kabupaten Malang. Pada sisi yang lain yakni dalam pandangan Bahri,

pekerjaan itu riil dan telah dikerjakan serta layak dan wajib untuk dibayar Pemda

Kabupaten Malang. Sumber bukti pekerjaan itu fiktif adalah dari Hasil Laporan

Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat BPKP Perwakilan Jawa Timur.

Sedangkan salah satu sumber utama bahan bukti perbuatan melawan hukum adalah

addendum kontrak 05 dan 06 tersebut

Jadi, dari uraian sebelumnya dapat saya tarik simpulan bahwa peranan laporan

perhitungan kerugian keuangan negara yang isinya sarat dengan angka-angka dan

pengetahuan akuntansi serta kepiawaian auditor, ternyata menjadi titik sentral dalam

tindak pidana korupsi. Laporan BPKP itulah yang menjadikan Bahri harus mendekam

tidak kurang dari 41 (empat puluh satu) hari di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru

dan 60 (enam puluh) hari menjadi tahanan kota.

Tentang bagaimana teknik dan taktik penyidik untuk memperoleh keterangan

dari para saksi, cara KPK untuk menghindarkan dari tindakan violence and/or torture

dan akan senantiasa bekerja sesuai dengan due process of law, adalah dengan

membangun beberapa teknik interview dan interogasi yang baru. Teknik KPK seperti

yang dikatakan Fauzi – Advokat yang sering mendampingi tersangka dalam penyidikan

di KPK tergantar sebagai berikut :

“Untuk membantu penyidik yang melakukan tugas penyidikan adalah dengan cara menghubungkan ruang penyidikan dengan ruang lain, di mana ruang lain itu akan dapat memantau jalannya penyidikan. Mereka akan memandu dan mengarahkan petugas penyidik pada butir-butir interogasi yang lebih tajam dan menukik pada persoalan fundamental. Karena, bisa jadi petugas penyidik kurang menguasai semua permasalahan secara mendetail. Dengan demikian akan diperoleh alat bukti yang kuat dan komprehensif. Komputer yang digunakan penyidik untuk melakukan pengetikan „pertanyaan dan jawaban‟ dalam rangka menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dihubungkan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

188

dengan ruang lain tersebut. Manakala pertanyaan petugas penyidik menyimpang dan/atau kurang fokus, maka mereka yang berada dalam ruang lain tersebut akan mengirim pertanyaan-pertanyaan via komputer untuk mengarahkan petugas penyidik pada pertanyaan yang tajam, menukik dan menjurus pada substansi perkara yang sedang disidik tersebut.”

Cara KPK itu sangat efektif karena tidak semua penyidik mengusai

pengetahuan dan pengalaman atas detail perkara yang ditanganinya. Cara yang sama

seperti KPK itu juga dapat kita saksikan di acara ‗Bukan Empat mata‘ di acara yang

ditayangkan Trans-7. Dalam acara yang dipandu oleh Tukhul itu sering melontaran

kalimat ‗kembali ke laptop‘. Pertanyaan-pertanyaan itu bisa terlontar dengan baik dari

Thukul karena host memperoleh panduan yang dibuat oleh tim yang tidak tampak. Tim

itu bergerak di belakang layar yang sering disebut oleh si Thukul dengan panggilan

―TIA… TIA..‖.

5.2.2. Alat Bukti Keterangan Ahli

Seperti yang telah saya uraikan pada bab terdahulu, keterangan ahli (expert

testimonium) adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat terang dan

jelasnya suatu perkara. Pemberi keterangan adalah seseorang yang mempunyai

‖keahlian khusus‖ yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah

dipelajarinya tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Seorang ahli adalah

seseorang yang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu,dimana

orang tersebut mengetahui suatu bidang ilmu pengetahuan secara khusus, mendalam

dan komprehensif.

Dalam kapasitas sebagai orang yang diminta keterangan ahli untuk di BAP,

Koenta di depan penyidik Qohar pada tanggal 12 April 2006 pada sebagian

keterangannya mengatakan sebagai berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

189

“Bahwa saksi melakukan audit terhadap investasi Pemkab Malang pada Kigumas untuk periode 2001 sampai dengan 2003 (cut-off). audit dimulai pada tanggal 9 Juni 2003 sampai dengan 24 Juni 2003 Bahwa terdapat pekerjaan yang belum ada perikatannya. Bahwa terdapat pengalihan pekerjaan tambah kurang yang tidak didukung dokumen perubahan kontrak (CCO – contract change order). Bahwa terdapat pekerjaan yang belum ada perikatannya itu berupa pekerjaan sipil 22 item (60,1%) dengan nilai Rp.2,925.005.040 dan pekerjaan engine 12 item (73,87 %) dengan nilai Rp.5.603.637.600 dengan total Rp.8.528.642.640 Bahwa Investasi pemkab Malang tahun 2001 sampai dengan 13 Juni 2003 untuk pembangunan PGM Kigumas totalnya adalah Rp.19.856.865.000. Saat melakukan audit, auditor menemukan pengajuan PAK yang diperuntukkan sebagai tambahan dana kegiatan Kigumas sebesar Rp.10.382.838.562. Dalam jumlah tersebut terdapat pengajuan biaya bagi konsultan LPM UB sebesar Rp.645.987.423. Angka itu didapat dari Lampiran III/I-No:10/ATS.GA.10/240603/S/2003 dalam Pengajuan PAK Dinas Perkebunan Kabupaten Malang tahun 2003.

Demikian juga, keterangan ahli dari Sugatario menerangkan mengenai perkara

ini sebagai berikut:

Bahwa gambar rencana pembangunan pabrik gula mini Kigumas (rencana awal) telah memuat secara lengkap/keseluruhan rencana bangunan pabrik, termasuk gambar detil pekerjaan tambahan (addendum Nomor 4 tanggal 6 Agustus 2003) sehingga tidak perlu lagi ada pekerjaan penyempurnaan perencanaan konsultan. Bahwa adanya pekerjaan penyempurnaan fiktif yang dilakukan oleh Bahri selaku Ketua LPM UB sebagai konsultan perencana dan pengawas PG Kigumas sehingga menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp.489.334.493 merupakan pelanggaran pidana..

Dengan memperhatikan dua keterangan ahli tersebut di atas, penyidik dapat

menyimpulkan bahwa eksistensi tindak pidan korupsi telah nyata-nyata ada., dan

karenanya Bahri layak untuk ditetapkan sebagai tersangka. Namun, bagi Bahri

penetapan dirinya sebagai tersangka adalah tidak logis. Bantahan Bahri itu diperkuat

dengan kesaksian ahli Keuangan Daerah yakni dari Khusaini. Khusaeni menerangkan

bahwa yang berhak melakukan pengeluaran atas beban APBD adalah Pemerintah

Daerah yang diwakili Kepala Satuan Kerja Daeah (KSKD). Demikian juga yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

190

bertanggung jawab adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Malang atau Kepala Satuan

Kerja Daerah yang bersangkutan sesuai dengan kegiatan unitnya. Konsultan tidak mau

tahu uang berasal dari mana, tetapi hak konsultan harus dibayar.

Di samping itu, Bahri menolak mentah-mentah atas pernyataan bahwa

pekerjaan LPM UB tersebut fiktif. Bahri membantah mati-matian bahwa pekerjaan

penyempurnaan (tambahan dan perubahan) desain mesin dan sipil 2003 dengan

pelaksanaan pembangunan fisiknya berjalan secara parallel. Pekerjaan itu juga melalui

diskusi-diskusi setiap hari Jum‘at yang dihadiri Tim LPM UB, kontraktor mesin dan sipil,

Disbun termasuk Kadisbun. Oleh sebab itu tidak semua formalitas terpenuhi, namun

sebagian formalitas terpenuhi terutama desain bangunan sipil. Keadaan itu, menurut

Syamsul Bahri, membuktikan bahwa owner (pemkab Malang) setuju dengan kondisi itu.

Sebab jika owner menghendaki formalitas sudah pasti owner akan meminta

formalitasnya dipenuhi. Pada dasarnya, formalitas merupakan aspek kelengkapan

administrasi belaka dan tidak menentukan sah atau tidak benarnya isi yang terdapat

dalam gambar-gambar tersebut.

Selanjutnya, masih menurut Bahri bahwa hubungan hukum antara owner

dengan konsultan (Tim LPM UB) dan kontraktor adalah hubungan perdata. Suatu

pertjanjian kerja akan selalu mengedepankan dan mendasarkan pada kesepakatan.

Kesepakatan itulah yang paling menonjol dalam pelaksanaan pekerjaan

penyempurnaan (tambahan dan penyempurnaan) desain 2003. Dalam kesepakatan itu,

juga terdapat kata sepakat atas pelaksanaan pembangunan fisik sekaligus

pengawasan lapangan yang berlan secara paralel. Semua kesepakatan itu disadari dan

dikehendaki oleh owner dalam rapat-rapat yang dilakukan pada setiap hari Jum‘at.

Dengan demikian, pada satu sisi penyidik yakin bahwa Bahri layak untuk

dijadikan tersangka, sedangkan pada sisi lain, Bahri yakin bahwa tidak ada pekerjaan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

191

fiktif dan semua pekerjaan dilakukan atas sepengetahuan dan persetujuan dari owner

(Pemkab Malang – Disbun). Perbedaan cara pandang atas realitas dan fenomena

seperti ini, senantiasa muncul dalam setiap kasus tindak pidana korupsi. Perbedaan

tafsir, persepsi dan cara melihat atas fakta-fakta yang terjadi akan membuat seseorang

dapat divonis guilty or not guilty

Kembali pada keterangan ahli, pada dasarnya keterangan ahli dihadirkan dalam

persidangan tidak mutlak dipedomani oleh hakim dalam pengambilan putusan

hukumnya. Ketidakmutlakan memedomani keterangan ahli itu dapat kita lihat pada

kalimat Majelis Hakim perkara Bahri sebagai berikut:

―Karena saksi-saksi ahli diajukan ke persidangan demi kepntingan penuntutan dari penuntut umum maupun untuk kepentingan pembelaan terdakwa dan bukan atas permintaan Majelis Hakim, maka segala pendapat para saksi ahli terhadap peraturan perundang-undangan bersifat Novum Notoir tidak mutlak dipedomani oleh hakim (huruf tebal dan garis bawah tambahan dari saya) baik secara yuridis maupun teori hukum, hakim diberi wewenang melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap kata atau rumusan undang-undang. Demikian halnya dengan pendapat yang diberikan saksi-saksi biasa baik yang bersifat memberatkan (a-charge) maupun saksi yang meringankan (a-decharge) dan hakim akan menetukan pendapatnya sendiri tentang suatu peristiwa atau keadaan tertentu sesuai fakta yang terungkap di persidangan.. (Putusan perkara pidana No: 330/Pid.B/2007/PN.MLG, hal 129)

Dengan demikian, apabila seorang ahli memberikan keterangan di depan

sidang pengadilan pidana, belum tentu keterangan ahlinya itu dielaborasi hakim untuk

dijadikan pertimbangan dalam putusan hukumnya. Karena itu subjektivtas hakim

sangat tinggi dalam mempertimbangkan apakah keterangan ahli yang didatangkan baik

oleh advokat, terdakwa atau JPU di pengadilan akan dipertimbangkan sebagai dasar

pertimbangan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

192

5.2.3. Alat Bukti Surat

Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni

surat tersebut harus dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan

sumpah. Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis seperti:

Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat

keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, Laporan Hasil

Audit Investigatif, Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara termasuk juga

kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian lain.

Alat bukti surat yang menyeret Bahri adalah laporan hasil perhitungan kerugian

keuangan negara (PKKN) yang dibuat BPKP Perwakilan Jawa Timur. Sebagian

Laporan BPKP tersebut dapat dilihat pada kotak 5.2.

Dengan alat bukti surat tersebut dan alat bukti keterangan saksi, penyidik

Kejaksaan Negeri Kepanjen kemudian menyimpulkan bahwa Bahri telah dapat

ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan PG

Kigumas. Penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada minimal

dua alat bukti dari lima macam alat bukti. Dengan demikian, kriteria penetapan Bahri

sebagai tersangka telah terpenuhi.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

193

Kotak 5.2.

DAKWAAN ATAS NAMA TERSANGKA PROF.DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI.,MS

Nomor Perkara:PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007

Dari hasil audit investigatif yang telah kami lakukan untuk menghitung kerugian Negara dari penyalahgunaan kegiatan kimbun berbasis Tebu TA 2004 di Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten Malang dari realisasi Rp.3.023.587.647 terdapat kerugian Negara sebesar Rp.1.180.210.082,41 (satu milyar seratus delapan puluh juta dua ratus sepuluh ribu delapan puluh dua rupiah empat puluh sen) dengan rincian sebagai berikut: I. Masa Ir. HENDRO SOESANTO, MM

- BOP Rp.196.925.650 - Belanja Modal Rp.109.851.950

Total Rp.306.777.600 II. Masa Ir. FREDDY TALAHATU

- BOP Rp.613.801.993 - Belanja Modal Rp.259.630.489,41

Total Rp.873.432.482,41 Bahwa akibat penyalahgunaan kegiatan Kimbun berbasis Tebu TA 2004 di Dinas Peertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang yang dilakukan Tersangka (Prof.Dr. Ir. Syamsul Bahri MS mengakibatkan kerugian keuangan Negara dengan rincian: Biaya jasa tenaga kerja non pegawai Rp.498.334.493 yang merupakan nilai pekerjaan fiktif kepada LPM UB dari total nilai 645.987.000 Rincian pembayaran yang fiktif kepada LPM UB tersebut adalah:

(1) nilai addendum kontrak Nomor 05 Tahun 2003 Rp 380.047.250 (2) nilai addendum kontrak Nomor 06 Tahun 2003 Rp.265.939.850 Jumlah dibulatkan Rp.645.987.000

Dikurangi pekerjaan yang dilaksanakan: (1) Addendum Nomor 05 Tahun 2003 Rp.143,700.667 (2) Addendum Nomor 06 Tahun 2003 Rp. 12.951.840 Total nilai pekerjaan yang dilaksanakan Rp.156.652.507

Bahwa kontrak yang menggunakan pola pendanaan pre-financing dalam kegiatan Kimbun berbasis tebu tersebut tidak dapat dibenarkan karena melanggar pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003.

Bahwa pembayaran kepada Prof.Dr. Ir. H. Syamsul Bahri.,MS (Ketua LPM UB) selaku konsultan perencana dan pengawas pada PG Kigumas TA 2003 dengan menggunakan anggaran Kimbun berbasis tebu TA 2004 (pola pre-financing) tidak dapat dibenarkan karena dana yang tercantum dalam DASK Tahun 2004 dengan pendanaan pola pre-financing direkayasa supaya uang Negara dapat dibayarkan dimana bertentangan dengan pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003.

Sumber: Berkas Dakwaan,Nomor Perkara:PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007,tertanggal 31 Oktober 2007.

.

Selaras dengan bagiamana memastikan penghitungan kerugian keuangan

Negara (PKPN), Pada Instansi KPK pun masih terdapat perbedaan pandangan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

194

mengenai akurasi PKKN tersebut Direktur Penyidikan KPK, Bambang Herman

mengatakan sebagai Berikut :

“Dalam soal kerugian keuangan negara, kadang kita berbeda pendapat dengan Direktur Penyelidikan. Dalam suatu kasus, buat kami gambaran kerugian Negara itu telah nampak nyata, namun bagi Direktur Penyelidikan, gambar kerugian Negara itu masing remang-remang, dan karenanya masih perlu dilakukan penguatan-penguatan dan pendalaman-pendalaman lebih lanjut.”

Ungkapan di atas menyiratkan bahwa memastikan angka kerugian negara

mengandung kompleksitas dan dimensi relativitas. Hasil PKKN akan sangat tergantung

pada data, fakta, asumsi, prinsip yang dianut dan dipilih. Dengan demikian, boleh jadi

hasil perhitungan kerugian keuangan negara pada suatu kasus korupsi dengan kasus

lainnya boleh jadi hasilnya bisa berbeda.

Berkaitan dengan hal di atas, Suyatna Sunu Soebrata, saat sidang kasus

Rustam Efendy Sidabutar mengatakan dalam keterangan ahlinya sebagai berikut:

”Prosedur untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara akan dilakukan audit investigasi. Pemeriksaan akan meliputi seluruh kegiatan dalam suatu instansi dengan tujuan untuk mengidentifikasi bagian mana yang terjadi penyimpangan dan siapa pejabat yang terkait dan bertanggungjawab terhadap penyimpangan tersebut. Bilamana terdapat indikasi penyimpangan maka dilakukan akan dilakukan penghitungan kerugian keuangan Negara... yang membuat laporan perhitungan kerugian negara adalah instansi penyidik itu sendiri dan tim auditor investigatif hanya membuat perhitungan dan disampaikan kepada instansi penyidik... kualifikasi persyaratan seorang auditor untuk menghitung kerugian negara yaitu auditor yang mempunyai keahlian auditing dan accounting. Auditor menghitung berdasarkan dokumen yang diterima dari penyidik dan hanya disampaikan ke penyidik dan hasilnya juga bukan tanggung jawab auditor yang menghitung”

Penghitungan kerugian keuangan negara akan mengandung kelemahan, kalau

kerugian itu berkaitan dengan penghitungan atas asset/properti. Auditor akan mudah

menghitung besarnya angka kerugian keuangan negara manakala yang dihitungnya

berkaitan dengan aliran uang kas (cash flow) semata, karena keahlian auditor adalah

di bidang akuntansi dan keuangan. Untuk kerugian yang berkaitan dengan nilai assets,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

195

di mana auditor investigatif tidak memiliki kompetensi, maka hasil perhitungannya akan

menjadi problematik.

Hasil PKKN akan menjadi tidak akan problematik, kalau auditor investigatif

dapat melibatkan appraisal/valuer independen (KJPP). Karena appraisal-lah yang

memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian asset/property atau penilaian bisnis

(corporate).

Relativitas ―nilai‖ itu dinyatakan dalam International Valuation Standards

Committee (2005, 71) sebagai berikut:

―At the most fundamental level, value is created and sustained by the interrelationship of four factors that are associated with any product, service, or commodity. These are utility, scarcity, desire, and purchasing power.”

Konsep nilai merepresentasikan sebuah harga yang paling mungkin untuk

disepakati baik oleh para pembeli dan penjual atas suatu barang atau jasa yang

tersedia untuk diperjualbelikan. Nilai juga harus mencerminkan harga hipotesis

(dugaan) yang paling mungkin untuk disepakati. Karena itu nilai berbeda dengan

harga.

Dengan demikian, nilai bukanlah suatu fakta, melainkan hanya sebuah estimasi

harga yang paling mungkin dibayar atas suatu barang atau jasa yang tersedia untuk

diperjualbelikan pada periode tertentu, dan waktu tertentu. Lalu bagaimanakah cara

kerja prinsip demand and supply dalam keempat faktor utama pembentuk nilai itu.

International Valuation Standards Committee (2005, 75) menyatakan sebagai berikut:

“The working of economic principle of supply and demand reflects the complex interaction of four factors of value. The supply of good or service is affected by its utility and desirability. The availability of the good or service is limited by its scarcity and effective checks on the purchasing power of likely consumers. The demand for a good or service is, likewise, created by its utility, influence by its scarcity and desirability and restrained by limits on purchasing power. The utility for which a good or service is produced and the scarcity, or limited availability, of the good or service are generally considered supply-related factors. Consumers preferences power, which reflect desire for the good or service and define the affordability of the item, are generally considered demand-related factors.”

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

196

5.2.4. Alat Bukti Petunjuk

Seperti yang telah saya uraikan pada bab terdahulu, bukti petunjuk adalah

perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu

dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah

terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Penilaian atas kekuatan alat bukti

petunjuk dalam setiap keadaan dilakukan hakim dengan cara mengadakan

pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati

nuraninya. Dengan demikian, hakekat fundamental alat bukti petunjuk ini adalah identik

dengan ―pengamatan hakim‖ karena pada akhirnya penilaian atas kekuatan

pembuktian akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan kearifan hakim.

Pengamatan itu akan dilakukan hakim pada saat berlangsungnya persidangan.

Bukti petunjuk ini diambil dari cara menyimpulkan yang hanya dapat ditarik atas

keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Bukti petunjuk ini diperlukan jika alat

bukti lain belum mencukupi batas minimum pembuktian (Mulyadi, 2007, 239). Pada

praktiknya, penerapan atas eksistensi alat bukti petunjuk ini tidak mudah, komplek dan

rumit. Peranan alat bukti petunjuk ini sangat penting karena jika bukti ini diabaikan oleh

judex factie (Hakim pengadilan tingkat pertama dan banding) bisa saja putusan

hukumnya akan dibatalakan oleh judex jurist (Hakim Mahkamah Agung).

Alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat seperti dalam putusan Majelis Hakim atas

perkara Bahri (lihat Putusan Majelis Hakim pada halaman 154 dan 159) sebagai

berikut:

“Menimbang bahwa setelah Majelis Hakim melakukan pemeriksaan terhadap pabrik Gula Kigumas dan kemudian dihubungkan dengan alat bukti surat dan keterangan saksi, ternyata terdapat peningkatan pekerjaan fisik baik bangunan sipil maupun mesin, terdapat pembangunan sarana pendukung lainnya yang tidak ada dalam perjanjian awal (garis bawah dan huruf tebal dari saya).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

197

Menimbang bahwa terhadap penyempurnaan perencanaan yang dilaksanakan oleh LPM UB tersebut karena tidak ada ikatan kontrak, maka telah dibuat addendum Nomor 05 dan 06, sehingga dari bukti-bukti tersebut telah membuktikan bahwa pekerjaan Pabrik Gula Mini (PGM) Kawasan Industri Gula masyarakat (Kigumas) yang merupakan suatu hasil rekayasa teknologi … telah terbukti adanya, (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sehingga menurut Majelis Hakim tidaklah mungkin pembangunan pabrik gula yang demikian itu dilakukan tanpa perencanaan (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sebagaimana dimaksud dalam addendum Nomor 05 dan 06 tersebut. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pekerjaan penyempurnaan perencanaan telah terbukti adanya, dengan kata lain tidak ada pekerjaan penyempurnaan yang fiktif (garis bawah dan huruf tebal dari saya) yang dilakukan oleh konsultan perencana, dalam hal ini adalah LPM UB, sehingga dengan demikian pembayaran yang diterima… adalah merupakan haknya atas pekerjaan yang telah dilakukannya oleh karena itu perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sebagai bentuk perbuatan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

Dengan perrtimbangan-pertimbangan yang dibuat Majelis Hakim seperti yang

saya kutip di atas, maka menjadi sangat beralasan bahwasanya Bahri kemudian

dibebaskan dari segala tuntutan. Bunyi putusan itu dapat kita lihat pada kotak 6.3.

Di samping itu, perkara Santoso – mantan Sekda Kabupaten Malang yang

masih berkait erat dengan kasus Bahri – yakni perkara PG Kigumas, dalam salah satu

pertimbangan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malang menyatakan bahwa

terhadap Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tentang terdakwa menguntungkan

konsultan perencana dan pengawasan pembangunan PG Kigumas yaitu Bahri selaku

Ketua LPM UB sebesar Rp.489.334.493, karena proses penganggaran dan pencairan

anggaran bukan merupakan tanggung jawab terdakwa, tetapi hal itu merupakan

pelaksanaan dari produk hukum yaitu Perda No. 1 Tahun 2004 dimana Perda dalam

tata urutan peraturan perundang-undangan sesuai UU No. 10 Tahun 12004 diakui

sebagai produk legislasi daerah yang sah, dan sepanjang Perda tersebut tidak pernah

ditolak oleh Gubernur maka Perda tersebut berlaku sah dan mengikat sehingga

pelaksanaan pencairan anggaran sesuai dengan Perda tersebut tidak dapat

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

198

dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum baik secara pidana, perdata maupun

penyalahgunaan wewenangan secara administratif (de Tournament de Pouvoir)

Lebih lanjut, dari fakta yang terungkap di persidangan kasus Achmad Santoso

yang berkaitan dengan kasus Bahri, bahwa perhitungan kerugian keuangan Negara

yang dibuat oleh BPKP ternyata tidak akurat. Ketidakakuratan perhitungan itu

terungkap melalui keterangan ahli dari BPKP Propinsi Jawa Timur sendiri, bahwa yang

diserahi tanggung jawab menghitung untuk bangunan sipil PG Kigumas adalah Yudhi

Hindarto. Hasil perhitungan itulah kemudian dijadikan dasar dan acuan oleh BPKP

untuk menghitung kerugian Negara. Ternyata dalam menghitung kembali atas 13 item

bangunan sipil PG Kigumas tersebut Hindarto telah menggunakan harga satuan yang

berbeda dengan harga menurut kontrak maupun harga menurut SK Bupati. Dengan

demikian, ketidakakuratan perhitungan yang dilakukan oleh Hindarto tentu berakibat

pula pada ketidakakuratan perhitungan yang dibuat oleh BPKP. Semua keterangan itu

terungkap dalam persidangan atas nama terdakwa Santoso mantan Sekda Malang

Selanjutnya, hakim kemudian melakukan penelitian ulang terhadap hasil kerja

Yudhi Hindarto, ternyata dari hasil penelitian Majelis Hakim itu ditemukan kesalahan-

kesalahan dalam lembaran kerja Hindarto sebagai berikut:

Kesalahan pertama Hindarto adalah pada Item pekerjaan lantai/keramik: 1). Pemasangan keramik 30/30 Rp.7.324.875; 2), KM + Tempat Wudhu 20/20 lantai . Rp. 606.665; 3) KM + Tempat wudhu 20/25 Rp.2.682.120 Di jumlah oleh Yudhi Rp.7.324.875. seharusnya jumlah yang benar adalah Rp10.793650

Kesalahan kedua dari Hindarto adalah pada item pekerjaan lalin-lain yang

terdapat 22 item yang penjumlahannya tertulis Rp.1.953.800 padahal yang seharusnya

adalah Rp.4.005.297,65. Kesalahan ketiga pada item pekerjaan lantai/keramik

terjumlahkan Rp.1.039.980 padahal yang benar Rp.2.998.743,38. Dan keslahan yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

199

keempat adalah pekerjaan pasangan terdapat jumlah Rp.1.189.013,50 padahal

perhitungan yang benar adalah Rp.16.388.577,50.

Di samping perhitungan yang salah tersebut, menurut Majelis Hakim,

perhitungan Hindarto juga cacad. Cacat hukum itu dikarenakan perhitungan yang

dilakukan Hindarto tidak berpedoman pada item pekerjaan yang telah dilakukan

berdasarkan kontrak yang hasil akhirnya terlihat dalam as build drawing. Dalam as

build drawing yang ditunjukkan di pengadilan, ternyata as build drawing yang terlihat

hanya gambarnya tetapi penanda tangan as build drawing tidak ada sehingga dalam

melakukan perhitungan itu saksi Hindarto dianggap membuat Rencana Anggaran

Belanja (RAB) sendiri dan baru kemudian melakukan penghitungan. Hasil kerja

Hindarto itu dapat disimpulkan bahwa pertama adalah, terdapat penamaan item

pekerjaan yang berbeda antara kontrak dengan penghitungan Hindarto. Celakanya.

hasil perhitungan Hindarto yang salah itu kemudian dijadikan dasar dalam perhitungan

kerugian keuangan negara oleh BPKP. Kedua, terdapat item-item baru yang tidak ada

dalam kontrak. Ketiga terdapat item-item tertentu yang ada dalam kontrak namun tidak

dihitung dalam lembaran kerja perhitungan Hindarto. Keempat, terdapat item-item

pekerjaan yang judul atau namanya sama antara dalam kontrak dengan lembaran

kerja yang dibuat Hindarto namun baik volume maupun harga satuan berbeda, di

mana harga satuan pada kontrak lebih tinggi dari lembaran kerja yang dibuat Hindarto.

Dengan perhitungan-perhitungan yang tidak akurat dalam lembaran kerja Hindarto itu

kemudian digunakan dasar perhitungan oleh auditor investigatif BPKP Jawa Timur.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

200

Kotak 5.3.

PENGADILAN NEGERI MALANG

PUTUSAN PERKARA PIDANA Nomor: 330/PID.B/2007/PN.ML

Tanggal 13 Maret 2007 ATAS NAMA TERDAKWA

Prof. Dr.Ir. H SYAMSUL BAHRI, MS

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Negeri Malang yang memeriksa dan mengadili perkara Pidana dengan acara Pemeriksaan Biasa pada Peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa … dan seterusnya Telah membaca berkas perkara; Telah mendengar pembacaan dakwaan Penuntut Umum; Telah mendengar eksepsi… dan seterusnya Telah memperhatikan Putusan Sela … dan seterusnya Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa; Telah melihat surat-surat bukti Telah mendengan tuntutan pidana atas diri terdakwa … dan seterusnya Menimbang… dan seterusnya Mengingat pasa 2 ayat (1) dan pasal 3 ….dan seterusnya

M E N G A D I L I

- Menyatakan Terdakwa Prof. Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (garis bawah dan huruf tebal dari saya) melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair;

- Membebaskan Terdakwa Prof. Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS tersebut dari semua dakwaan; - Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan kota setelah putusan ini diucapkan; - Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. - … dan seterusnya

Sumber: Putusan Perkara Pidana, Nomor: 330/Pid.B/2007/PN.ML, Tanggal 13 Maret 2007

Demikian juga halnya, patokan harga satuan yang dipakai Hindarto tidak sama

dengan harga satuan yang terdapat pada SK Bupati Malang Nomor 2 Tahun 2003

tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Anggaran Satuan Kerja maupun harga satuan

yang ditetapkan dalam kontrak. Menurut Majelis Hakim, karena dalam perkara ini

terdapat perhitungan yang tidak valid namun kemudian dijadikan dasar atau pedoman

BPKP, maka dengan sendirinya perhitungan Auditor BPKP tersebut tentu berakibat

tidak valid dan cacad hukum, baik secara materiil maupun secara proseduralnya

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

201

sehingga kualitas keterangan ahli yang disampaikan auditor investigatif BPKP propinsi

Jawa Timur patut diragukan kebenarannya dan tidak layak untuk dipedomani.

Kotak 5.4.

PENGADILAN NEGERI MALANG

PUTUSAN PERKARA PIDANA Nomor: 825PID.B/2008/PN.MLG

Tanggal 17 September 2009 ATAS NAMA TERDAKWA

Drs. H. ACHMAD SANTOSO

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Negeri Malang yang memeriksa dan mengadili perkara Pidana dengan acara Pemeriksaan Biasa pada Peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa … dan seterusnya Telah membaca berkas perkara; Telah mendengar pembacaan dakwaan Penuntut Umum; Telah mendengar eksepsi… dan seterusnya Telah memperhatikan Putusan Sela … dan seterusnya Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa; Telah melihat surat-surat bukti Telah mendengan tuntutan pidana atas diri terdakwa … dan seterusnya Menimbang… dan seterusnya Mengingat pasa 2 ayat (1) dan pasal 3 ….dan seterusnya

M E N G A D I L I

- Menyatakan Terdakwa Drs. H. Achmad Santoso tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (garis bawah dan huruf tebal dari saya) melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair;

- Membebaskan Terdakwa Drs. H. Achmad Santoso tersebut dari semua dakwaan; - Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan kota setelah putusan ini diucapkan; - Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. - … dan seterusnya

Sumber: Putusan Perkara Pidana, Nomor: 825 Pid.B/2008/PN.MLG, Tanggal 17 September 2009

Sejalan dengan keterangan ahli, menurut Majelis Hakim, doktrin hukum

menyatakan bahwa dalam menentukan penilaian apakah sesuatu keterangan dapat

dinilai sebagai keterangan ahli, bukan ditentukan oleh faktor keahlian orangnya,

melainkan ditentukan oleh ―bentuk keterangan‖ yang dinyatakan oleh ahli itu sendiri

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

202

yakni dalam bentuk keterangan menurut ―pengetahuannya secara murni‖ atau

keterangan yang mengambil basis hasil kerja orang lain.

Jadi, pada ujungnya, laporan perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN)

yang direkonstruksi BPKP Perwakilan Jawa Timur ternyata tidak akurat, tidak valid dan

cacad hukum,. Dengan laporan dengan kualitas semacam itu tentu, Majelis Hakim baik

untuk Perkara Bahri maupun Santoso (Mantan Sekda Malang) mengambil putusan

hukum dengan membebaskan keduanya dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (lihat

kotak 5.3 dan 5.4).

5.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka

Keterangan tersangka ini lebih dikenal sebagai keterangan terdakwa

(erkentenis), Namun karena masih dalam proses penyidikan, keterangan yang mereka

buat akan saya sebut sebagai alat bukti keterangan tersangka. Alat bukti keterangan

tersangka adalah apa yang dinyatakan (diberikan) tersangka - yang pada nantinya

akan menjadi terdakwa - tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui

sendiri atau alami sendiri. Jenis alat bukti ini merupakan gradasi kelima dari lima

macam alat bukti yang ada.

Berikut ini adalah sebagian Keterangan tersangka Bahri yang tertuang dalam

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dirangkum dalam Dakwaan JPU, yaitu:

“Bahwa tersangka telah mengetahui dan membaca isi addendum kontrak Nomor 05 dan 06 tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 sebelum menandatanganinya;

Bahwa addendum kontrak Nomor 05 tanggal 9 Agustus 2003 tentang perubahan tugas, pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan, yang ditanadatangani oleh pihak pertama, Bupati Malang – Sujud Pribadi dan pihak kedua LPM UB. Yang semula pekerjaannya adalah pengawasan pabrik (pabrikasi) berubah menjadi pekerjaan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pengadaan mesin (pabrikasi) yang waktunya semula 150 hari terhitung 11 Maret 2003 sampai dengan 9 Agustus 2003 berubah menjadi 233 hari dengan mulai tanggal 11 Maret hingga 30 September 2003.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

203

Bahwa addendum kontrak Nomor 06 tanggal 9 Agustus 2003 tentang perubahan tugas, pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan, yang ditanadatangani oleh pihak pertama, Bupati Malang – Sujud Pribadi dan pihak kedua LPM UB. Yang semula pekerjaannya adalah pengawasan pembangunan peningkatan gedung utama dan sumur bor berubah menjadi penyempurnaan perencanaan dan pengawasan peningkatan gedung utama dan sumur bor pabrik gula Kigumas tahap III dan berdasarkan addendum Nomor 7 tahun 2003 tanggal 26 Agustus 2003 sumur bor diganti menjadi pekerjaan pipanisasi, sanitasi, perpipaan air bersih dan kelengkapannya.

Bahwa nilai addendum kontrak Nomor 05 tahun 2003 adalah sebesar Rp.639.748.000 dan nilai addendum kontrak Nomor 06 tahun 2003 sebesar Rp.309.111.800

Bahwa LPM UB dalam melaksanakan pekerjaan Konsultan pengawasan dan penyempurnaan pengawasan pabrikasi dan bangunan sipil telah dilaksanakan 100% dan dinyatakan selesai sesuai Berita Acara Penyelesaian pekerjaan sesuai dengan addendum Nomor 05 dan 06 Tahun 2003 tanggal 31 Oktober 2003 yang ditandatangani oleh Soedjito dan Talahatu.

Meskipun keterangan dari Bahri tidak dapat mengungkapkan adanya pekerjaan

fiktif dan kemudian dibayar oleh Pemkab Malang, penyidik mendasarkan sangkaan

pada alat bukti dari keterangan saksi lain dan keterangan ahli serta alat bukti surat dari

BPKP serta temuan barang bukti lainnya.

Masih pada kasus Syamsul Bahri, jaksa penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen

dalam mencari jawaban atas hypothetical construction of crime 5W+2H telah

melakukan penyidikan yang tidak mendasarkan pada Surat Perintah Tugas (SPT) yang

diperintahkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. SPT Kajati Nomor Print:

32/0.5.5/Fd.1/04/2006 (Surat Perintah Tugas dari kejaksaan Tinggi Jawa Timur dapat

kita lihat pada kotak 5.5).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

204

Kotak 5.5.

KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR

SURAT PERINTAH TUGAS

Nomor Print:32/0.55/Fd.I/04/2006

KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR

Dasar : (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) pasal 8 ayat (3), pasal 9, 45, 84,138, 139 (2) ... dan seterusnya

Pertimbangan: (1) Bahwa dari hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri Kepanjen atas adanya

dugaan penyimpangan dana kegiatan KIMBUN berbasis tebu pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang TA 2004 yang dilakukan oleh Tersangka H.SAMI’AN, Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan SAMADI

telah dtingkatkan ke tahap Penyidikan Pidsus (2) Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Surat Perintah Tugas untuk

melakukan penyidikan dugaan dengan Tindak Pidana Korupsi dimaksud, mengingat terjadinya tindak pidana dimungkinkan terjadi didaerah hokum Kejaksaan Negeri Kepanjen ataupun Kejaksaan Negeri Malang

M E M E R I N T A H K A N

Kepada : Jaksa Penyidik:

(1) N a m a : Timbul Tamba, SH., M.Hum Pangkat/NIP : Jaksa Muda/230022066 Jabatan : Kasi Datun pada Kejari Kepanjen

(2) N a m a … dan seterusnya

Untuk: (1) Melakukan tugas selaku Jaksa Penyidik atas adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam penyimpangan dana kegiatan KIMBUN berbasis tebu pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang TA 2004 atas Nama Tersangka H.SAMI’AN, Drs. ACHMAD SANTOSO dan SAMIADI.

(2) Agar dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab dan membuat laporan pelaksanaannya.

Dikeluarkan di : Surabaya Pada tanggal : 11 April 2006

An. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Assisten Tindak Pidana Khusus

Selaku Jaksa Penyidik

SUGIYANTO, SH.,MH

JAKSA UTAMA PRATAMA NIP. 230018623

Sumber: Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Surat Perintah Tugas, Nomor Print:32/0.55/Fd.I/04/2006

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

205

Dengan demikian, seharusnya penyidik dari Kejaksaan Negeri (Kajari)

Kepanjen tidak dapat melakukan prosedur penyidikan terhadap Bahri. Kenapa?

Karena SPT yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur tidak

mencamtumkan nama Bahri. Oleh karena itu, Tim Pengacara Bahri kemudian

melakukan Praperadilan, yang menurut advokat Kustaryo adalah sebagai berikut:

“Menurut saya, penyidikan atas perkara Bahri mengandung dua kesalahan subjek hukum, yang pertama adalah, sesuai dengan pasal 20 UU Tindak Pidana Korupsi seharusnya yang diperkarakan itu bukan Syamsul Bahri, tetapi LPM UB. Kedua, dalam Surat Perintah Tugas yang dibuat Kajati tidak menyebut nama Syamsul Bahri. Padahal, berkas penyelidikan itu tentu telah melalui ekspose (eksaminasi/gelar perkara) internal Kajati, kemudian keluarlah Surat Perintah Tugas kepada Jaksa Penyidik. Lalu atas dasar apa penyidik dari Kejaksaan Negeri Kepanjen melakukan penyidikan atas Syamsul Bahri? Karena itu, Tim advokat Syamsul Bahri melakukan perlawanan dengan mengajukan pra-peradilan…”

Maksud pernyataan Koestaryo yang pernah menjadi salah satu tim advokat

Syamsul Bahri atas kesalahan ‗subjek‘ pada salah subjek hukum pada point pertama

tersebut adalah bahwa dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh/atau atas

nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi. Dengan demikian, tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila

tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja

maupun berdasarkan hubungan lain, atau bertindak dalam lingkungan korporasi

tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Kasus Bahri ini, menurut Kustaryo akan

lebih ‗pas‘ ditembakkan pada korporasi (LPM) dan bukan pada pribadi Bahri. Manakala

hal ini benar, maka visum akuntansi forensik itu akan tidak salah subjek.

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 yang telah

diperbaharui kembali dengan UU Nomor 20/2001 yang dinyatakan dalam pasal 20

menentukan bahwa dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,

maka korporasi tersebut akan diwakili oleh pengurus. Pengurus yang mewakili

korporasi sebagaimana dimaksud dapat diwakili oleh orang lain. Hakim juga dapat

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

206

memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan, dan

hakim dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang

pengadilan. Yang lebih penting lagi dan perlu kita garis bawahi adalah bahwa dalam

deraan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana

denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Artinya

kerugian yang diderita Negara itu pidananya dapat ditambahkan dengan jumlah

sepertiganya lagi. Dengan demikian, menurut Tim Kuasa Hukum Bahri, seharusnya

yang diperkarakan adalah LPM UB dan bukan Bahri sebagai Ketua LPM, dan inilah

yang Tim Kuasa Hukum menyebutnya sebagai ―salah subjek‖.

Andaikan pandangan bahwa korporasi (LPM) yang harus dijatuhi hukuman, lalu

siapakah yang akan mewakili LPM UB, tentu Bahri sebagai Ketua LPM-nya. Kita juga

dapat menyaksikan bahwa dalam sejarah penegakan hukum pidana di Indonesia kita

mengetahui dan menyaksikan bahwa belum pernah terjadi peristiwa penjatuhan

hukuman pidana kepada korporasi. Dalam pandangan saya, bahwa korporasi adalah

realitas subjek hukum, kita akan mengalami a bounded rationality. Karena korporasi itu

dalam bekerjanya akan selalu diwakili oleh para pengurusnya. Jadi, bagi saya

formulasi dalam UU TPK itu terdapat penjatuhan hukuman kepada korporasi itu, hanya

ada dalam kertasa (das solen) belaka dan tidak pernah akan terjadi dalam realitanya

(das sein).

Salah subjek yang kedua itu menurut advokat yang memndampingi Bahri

adalah, berbasis pada Surat Perintah Tugas Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dengan

surat perintah tugas Nomor:32/0.5.5/Fd.1/04/2006 tertanggal 11 April 2006

memerintahkan 8 (delapan) Jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri Kepanjen untuk

memeriksa sebagai tersangka terbatas hanya pada tiga orang yakni SAMI‘AN,

SANTOSO dan SAMIADI dan tidak termasuk BAHRI. Namun ternyata pada tanggal 12

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

207

April 2006 Kejaksaan Negeri Kepanjen telah menerbitkan sendiri Surat Perintah Tugas

Nomor: Print-04/0.5.43/Fd.1/4/2006 yang memerintahkan jaksa penyidik Kejaksaan

Negeri Kepanjen untuk memeriksa BAHRI. Dengan kejadian ini, dalam pandangan Tim

Advokat Syamsul Bahri terjadi kesalahan ‗subjek hukum‘.

Dengan kesalahan subjek yang terdapat dalam penetapan dan pemeriksaan

Syamsul Bahri Tim Advokat mengajukan pra-peradilan kepada Ketaua Pengadilan

Negeri Kepanjen pada tanggal 19 Nopember 2007 bernomor: 008/Pid/TAPH/XI/2007.

Penetapan dan pemeriksaan Bahri sebagai tersangka, lebih khusus lagi kemudian

adanya perintah penahanan – menurut Tim Advokat - merupakan tindakan yang telah

keluar dari hirakhi perintah dan keputusan Kejaksaan Tinggi jawa Timur selaku instansi

yang membawahinya. Penggunaan kewenangan penahanan itu benar-benar dan

secara mencolok merupakan pelanggaran terhadap asas berlakunya kepastian hukum

dan asas proporsionalitas.

Namun, sayangnya pengadilan untuk pra-peradilan ini tidak dapat diteruskan,

karena telah didahului dengan dilaksanakannya atau digelarnya persidangan atas

pokok perkara atas diri Bahri yakni dakwaan melakukan tindak pidana korupsi pada

proyek KIGUMAS Gondanglegi Malang.

Berbeda dengan Kustaryo, Nurhadi Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Kepanjen

mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri

Kepanjen. Penyelidikan (lidik) maupun penyidikan (sidik) adalah wewenang penuh dari

Kejaksaan Negeri Kepanjen. Kalau Kajari Kepanjen meminta kepada Kajati itu lebih

disebabkan karena si pelaku berada di Kodya Malang, sedangkan perbuatan yang

dilakukan adalah dalam wilayah jurisdiksi hukum Kabupaten Malang. Karena itu tidak

ada persoalan atas disidiknya Bahri tersebut.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

208

Selanjutnya, mencari, menemukan dan mengumpulkan Mozaik Bukti Akuntansi

Forensik memang bukan perkara mudah. Kesulitan itu juga dikatakan oleh Jeremy

Pope (2003, 496) sebagai berikut:

“Berbeda dengan tindak pidana lainnya (tetapi sama dengan kejahatan yang dilakukan organisasi kejahatan), tindak pidana korupsi biasanya tidak memiliki korban yang jelas dan melapor. Semua orang yang terlibat mendapat untung, dan semuanya berkepentingan untuk merahasiakannya. Karena itu, bukti-bukti untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan sangatlah sulit diperoleh. Para pelaku, masing-masing, berkuasa atas pelaku lainnya.

Dalam soal saling merahasiakan tersebut, pada kasus tindak pidana korupsi,

banyak rantai penghubung yang terputus dan sengaja diputus agar sulit untuk

ditelusuri. Misalnya saja untuk menemukan alat bukti surat dalam soal penyuapan –

semisal Gayus Tambunan – bukan perkara mudah, karena tidak pernah ada

penyuapan menggunakan kwitansi, transfer rekening atau menggunakan traveller

check. Dana suap dibawa dengan menggunakan amplop, tas kresek, kardus, dan

sejenisnya bahkan bisa juga dalam bentuk karungan. Pada umumnya, mereka itu bisa

ditangkap, manakala ada informasi yang cukup meyakinkan dari whistle blowers,

dan/atau mereka ―tertangkap tangan‖ saat melakukan transaki. Seperti tertangkap

Hakim Ibrahim dengan Advokat Adner Sirait yang melakukan transaksi perkara – yang

merupakan covert operation dan surveilance operation yang dilakukan KPK.

Sepenggal kisah penangkapan itu adalah sebagai berikut: Hari Senin tanggal 30

Maret 2010, Adner Sirait menemui Hakim Ibrahim di Kantornya. Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara (TUN) DKI Jakarta. Dengan berseragam biru, Ibrahim berkata kepada

Adner Sirait: ―mana uangnya, serahkan saja‖. Namun, sebelum uang diserahkan,

Ibrahim membatalkan, ia memberikan ―kode‖ pembatalan transaksi lantaran situasi

kantornya tidak memungkinkan transaksi itu dilakukan. Kemudian keduanya menuju

kawasan Cempaka putih Jakarta, dengan menggunakan mobil masing-masing. Di

tengah jalan, keduanya menghentikan mobilnya, lalu Sirait keluar dari mobilnya

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

209

membawa tas plastik berisi uang dan menyerahkannya ke Ibrahim. Setelah itu, tidak

lama kemudian, di jalan Mardani Raya, Cempaka Putih, keduanya ditangkap oleh

petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Petugas menemukan uang 300 juta

rupiah dengan pecahan 50 ribu rupiah dan 100 ribu rupiah yang diletakkan di bawah jok

mobil hakim Ibrahim. Transaksi itu dilakukan dengan maksud untuk memenangkan

perkara PT. Sabar Ganda yang ditangani Sirait (Koran Jakarta, 24 Juni 2010).

Demikian juga, kasus Jaksa Urip yang ditangkap petugas KPK saat menerima

uang suap dari Artalyta Suryani. Demikian juga halnya, setali tiga uang, saat Mulyana

Wirakusuma (Anggota KPU) ditangkap KPK saat melakukan penyuapan kepada

Khairiansyah Salman (auditor BPK-RI) di Hotel Ibis Jakarta.

Kejadian semcam itu, menurut Ahmad Erani Yustika, Pengamat Ekonomi

Politik yang Juga Pengajar Ekonomi Kelembagaan di FE UB mengatakan: ―ciri yang

melekat pada birokrat kita adalah kerja santai, ingin gaji tinggi tetapi ber-ethos kerja

rendah‖. Erani menyarankan agar diciptakannya suatu sistem yang dapat

mengantisipasi potensi munculnya moral hazard di kalangan birokrat. Sistem itu harus

mampu mengontrol para birookrat, terutama yang bekerja di bidang dengan tingkat

potensi moral hazard-nya cukup tinggi. Pembenahan birokrasi tidak perlu hanya

mengandalkan renumerasi semata, karena renumerasi tanpa diimbangi dengan sistem

pencegah moral hazard akan percuma saja.

Di samping itu, lanjut Yustika, harus diterapkan terhadap aktivitas birokrat yang

bekerja di bidang sensitif, misalnya di bidang pajak. Dalam cara kerja Sistem

Pengendalian itu, harus mengadopsi pola kerja intelejen. Selanjutnya, para Birokrat itu

juga harus dibuat bangga (esprit of de-corp) dengan jabatan dan tanggung jawab yang

diembannya, sehingga memiliki beban moral untuk menghindari penyelewengan.

Selain itu, pemakaian seragam juga perlu ditinjau kembali, karena selama ini baju

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

210

seragam justru dimanfaatkan untuk menakut-nakuti publik yang semestinya

dilayaninya.

Sejalan dengan usulan Yustika, namun berbeda konteks, Simanjutak (2009, 71)

menggagas atas bagaimana cara kerja efektif dalam mencari dan memburu alat bukti

dan barang bukti. Simanjutak mengatakan sebagai berikut:

“Untuk hal demikian... sangat penting adanya penyelidikan yang didukung oleh perangkat intelejen berkualitas tingkat tinggi... Praktek dunia spionase atau intelejen mengajarkan bahwa dalam setiap peristiwa akan selalau ada “jejak peninggalan” di tempat kejadian perkara. Cara kerja untuk menemukan itu dikenal dengan „crime scene processing‟ atau pengelolaan rangkaian peristiwa kejahatan. Beberapa teknik, taktik dan scientific crime investigation yang lazim dalam penyelidikan memerlukan observasi, interview, surveilance dan under cover, akan tetapi semuanya harus dilakukan dengan memenuhi aspek legalitas dan legitimasi, dalam arti harus sesuai dengan wewenang di dalam undang-undang sehingga hasilnya memperoleh kepercayaan publik (public trust) dan tidak masuk ke dalam perangkap risiko dituntut balik oleh pihak yang diselidiki...”

Apa yang diungkapkan Simanjutak itu tentu memerlukan eksistensi SDM

canggih yang terlatih. Karena ‗setan‘ dan ‗demit‘-nya ada di dalam detil teknik (the devil

is in details and technicalities). Dengan demikian, SDM itu harus memiliki kompetensi

dalam wujud knowldege, technical know how, personal integrity, professional integrity

serta otoritas yang dapat melindunginya secara hukum dalam menjalankan setiap

aktivitasnya.

Di samping itu, pertanyaannya adalah mengapa penyidikan itu tidak mudah

dilakukan, berbiaya mahal dan memakan waktu panjang? Jawabannya adalah, karena

yang mau dicari, ditemukan dan dikumpulkan adalah kebenaran suatu peristiwa yang

telah lalu (post-factum). Artinya, penyidikan harus merekam ulang (merekonstruksi)

kejadian yang lalu, sebagai sejarah fakta untuk dihadirkan kembali, diungkap kembali,

dan diuraikan kembali secara jelas dan terang berbasis alat bukti dan barang bukti,

dan bukan hanya sekedar celoteh dan dongeng tanpa bukti serta tanpa saksi. Sejarah

fakta itu akan digunakan sebagai bahan bukti formulasi Dakwaan, digunakan dalam

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

211

pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, dan dielaborasi pada nota

pembelaan baik oleh terdakwa maupun advokat.

Selain dari pada itu, saat pertama kali penyidik melakukan penyidikan, dia

harus membuat surat pemberitahuan kepada penuntut umum, surat itu adalah

penjelasan mengenai Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Tahap

berikutnya penyidik membuat surat panggilan kepada saksi-saksi, terdakwa, dan ahli.

Pemanggilan pada umumnya meggunakan pola spiral atau mirip kumparan besar yang

menuju ke titik dan target akhir yakni ―terdakwa‖. Artinya, BAP akan dibuat penyidik

dimulai dari saksi-saksi lalu mengerucut dan berakhir pada si terdakwa. Dalam

penyidikan ini, akan dilakukan interogasi-interogasi (yang menghasilkan pengakuan-

pengakuan) kemudian akan berakhir pada penanda tanganan BAP oleh saksi maupun

terdakwa.

Persiapan atas kelengkapan berkas perkara yang menyertakan alat bukti dan

barang bukti merupakan tanggung jawab penuh penyidik untuk kemudian diserahkan

kepada jaksa penuntut umum (JPU) yang pada tahap berikutnya digunakan sebagai

dasar dalam sidang di pengadilan. Proses demikian disebut sebagai tahap

prapenuntutan (pretut), yakni persiapan sampai penyerahan semua berkas perkara,

alat-alat bukti, dan tersangka dari pihak penuntut pada JPU, sehingga sejak saat itu

akan beralih tanggung jawab tersangka dari pihak penyidik menjadi tanggung jawab

JPU.

Bilamana JPU mempertimbangkan berkas penyidikan belum lengkap untuk

diteruskan ke persidangan (dikenal dengan istilah sandi : P-19), maka dalam waktu 7

(tujuh) hari harus diberitahukan lagi kepada penyidik supaya dilengkapi menurut

pedoman dan petunjuk JPU. Penyidik hanya memiliki waktu 14 (empat belas) hari

untuk melengkapi lagi berkas itu sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Dalam hal

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

212

JPU mempertimbangkan bahwa berkas sudah lengkap, secara teknis yuridis (dikenal

dengan sandi: P-21, maka JPU segera memberitahukan supaya penyidik

menyerahkan berkas dan segala tanggung jawab dari penyidik beralih kepada JPU.

Dengan terjadinya serah terima BAP, segala barang bukti dalam visum akuntansi

forensik dan termasuk tersangkanya dialihkan tanggung jawabnya dari pihak penyidik

kepada pihak penuntut umum.

Gambar 5-1 POLA SPIRALISASI PENCARIAN DAN PENEMUAN BUKTI DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP)

Di situlah tampak secara jelas mekanisme saling kontrol antara penyidik dan

JPU. Karena itu, penyidik harus sejak awal memberitahuakan kepada JPU (SPDP)

ketika penyidik memulai penyidikannya: Keputusan JPU melakukan P- 19 atau P- 21

adalah sebagai kelanjutan mekanisme dari SPDP sebelumnya. Dengan kata lain,

begitu ada SPDP maka sejak itu JPU sudah wajib memantau dan mengikuti

perkembangan penyidikan supaya pada saatnya nanti JPU bisa mengatur jadual kerja

dalam menerima dan menangani perkara itu, atau JPU bisa menagih kelanjutan

penyidikan kepada penyidik.

Proses penyidikan ini menegaskan bahwa setiap berkas perkara yang sudah

lengkap akan diserahkan oleh penyidik kepada JPU. Dengan demikan, perkara harus

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

213

diteruskan JPU ke pengadilan. Dakwaan juga berisi permintaan supaya terdakwa

segera diperiksa dan diadili di sidang di pengadilan yang digelar secara terbuka.

Artinya, karena syarat-syaratnya sudah dipenuhi, semua yang terlibat dalam perkara

tindak pidana korupsi itu harus dihadapkan ke pengadilan. Prosedur yang berjalan

seperti itu dikenal sebagai penerapan ‗asas legalitas‘.

Asas legalitas yang tertuang dalam pasal 1 KUHP (Kitab Undang-undang

Hukum Pidana) merupakan suatu konsekuensi dari ketundukan pada paham rule of

law. Paham rule of law ini akan meliputi tiga pemahaman, yakni semua orang akan

sama derajadnya di hadapan hukum (equality before the law), semua orang

mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the

law), dan semua orang akan mendapatkan perlakuan keadilan yang sama di bawah

hukum (equal justice under the law). Tiga hal inilah yang menjadi tumpuan dan arah

dari asas legalitas yang dianut dalam madzab hukum Indonesia.

Selanjutnya, dalam soal berkas penyidikan yang diserahkan penyidik kepada

penuntut umum, hal paling esensial adalah ditemukannya unsur kerugian negara

dalam kasus-kasus korupsi. Essensialnya unsur ini diungkapkan oleh Kustaryo

mengungkapkan sebagai berikut:

“Jika kerugian negara telah ditemukan, maka pekerjaan penyidik pada umumnya akan sangat mudah untuk mencari dan menemukan unsur penyalahgunaan wewenang dan/atau perbuatan melawan hukumnya serta menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau korporasi. Namun, sebaliknya kesulitan akan hadir secara nyata manakala nilai kerugian negara tersebut belum dapat dipastikan. Karena penyalahgunaan wewenang dan/atau perbuatan melawan hukum kita temukan akan tetapi kerugian negara tidak kita temukan maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan korupsi.”

Kalimat Kustaryo tersebut dapat kita buktikan dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 995.K/PID/2006, atas kasus Nazaruddin Sjamsuddin (Ketua KPU) yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

214

merupakan refleksi kerja keras penyidik KPK yang kemudian menghasilkan simpulan

sebagai berikut:

“Rangkaian perbuatan terdakwa, Nazaruddin Sjamsuddin… telah menguntungkan terdakwa sendiri atau saksi … atau setidaknya orang lain atau korporasi yaitu PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967; yang telah atau dapat merugikan keuangan Negara sejumlah Rp.14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) atau setidak-tidaknya Rp.14.193.000.000 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) yang dihitung dari seluruh pembayaran yang telah dibayarkan kepada PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu Rp.14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) dikurangi keseluruhan klaim asuransi yang dibayarkan PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp.607.000.000 (enam ratus tujuh juta rupiah) sehingga menjadi Rp.14.193.000.000 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) sebagaimana perhitungan kerugian Keuangan Negara yang dilakukan ahli Slamet Tulus Wahyana, Ak, CFE dari Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan sesuai dengan Laporan Perhitungan Kerugian Negara atas kasus pengadaan jasa penutupan asuransi Komisi Pemilihan Umum tahun anggaran 2004 tertanggal 26 Juni 2005 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut… dan seterusnya…”

Dengan demikian, uraian dalam simpulan yang dibuat penyidik KPK di atas

sebenarnya menyiratkan pandangan paling tidak adalah pertama, meskipun alasan

Nazaruddin adalah dalam rangka untuk mensukseskan pemilu, namun perbuatan

Nazaruddin dengan mengenyampingkan Kepres 80/2003 adalah tidak dapat

dibenarkan. Kedua adalah, perjanjian penutupan asuransi dengan PT Bumida tersebut

tidak sesuai dengan Kepres 80/2003. Perjanjian penutupan asuransi mengandung

unsur perbuatan melawan hukum. Ketiga kesalahan terdakwa adalah telah menerima

tanda terima kasih dari rekanan meskipun uang itu digunakan dengan tujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan pegawai dan anggota KPU yang kemudian dibagi-

bagikan kepada seluruh pegawai. Perbuatan tersebut merupakan bentuk perbuatan

melawan hukum sekaligus bentuk perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Pada kasus lain. Misalnya adalah Dakwaan dengan No. 12/TUT.KPK/X/2005

kepada Terdakwa I Budiarto dan Terdakwa II Yussac disebutkan hal-hal sebagai

berikut:

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

215

“Bahwa terdakwa I DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si, secara bersama-sama atau bertindak

secara sendiri-sendiri dengan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si dan saksi FTK HAREFA Als. TJETJEP HAREFA (tersangka yang berkas perkaranya diajukan secara terpisah), telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut (voorgezette handeling), pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Pebruari 2004 sampai dengan bulan September 2004 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2004, bertempat di Kantor Komisi Pemilihan Umum Jl Imam Bonjol No. 29 Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan pasal 54 (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara dan perekenomian Negara yang dilakukan dengan cara-cara… Bahwa terdakwa DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa keperluan Kantor Sekretariat Jenderal KPU yang diangkat berdasarkan SK KPU Nomor:07/SJ/KPU/2004 tanggal 06 Januari 2004, sesuai dengan Nota Dinas Ketua KPU Prof.Dr.NAZARUDDIN SJAMSUDDIN Nomor 35.1/ND/II/2004 tanggal 9 Februari 2004 dan nota dinas nomor 83/ND/II/2004 tanggal 20 Februari 2004 dan Buku Keputusan KPU Nomor 104 Tahun 2003 berikut Panduan Teknis Pemantau Pemilu 2004 serta pekerjaan pencetakan buku panduan KPPS dan calon Daftar Calon Anggota DPR RI dan DPD Tahun 2004 dengan metode pemilihan langsung, yang pembiayaannya bersumber dari dana operasional KPU yang seluruhnya dibebankan pada APBN

Bahwa dari rangkaian perbuatan Terdakwa I DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si sebagaimana diuraikan di atas, telah menguntungkan Terdakwa I DRS. R. BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si atau saksi-saksi FTK HAREFA Als. TJETJEP HAREFA, atau orang lain, yaitu; saksi Muslim Hasan, Saksi SURYADI HERTANTO, saksi H. IRSAL YUNUS, Saksi SHE MING MINTARDJA, saksi AGUS SALIM dan saksi YONGKI WIJAYA atau suatu korporasi. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa I DRS. R. BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si tersebut telah merugikan keuangan negara sejumlah Rp.20.076.475.133 (dua puluh miliar tujuh puluh enam juta empat ratus tujuh puluh lima ribu seratus tiga puluh tiga rupiah) yang dihitung dari selisih antara jumlah pembayaran netto yang dikeluarkan oleh Bendaharawan Operasional KPU untuk pencetakan buku-buku dan daftar cetak warna dan hitam putih calon anggota DPR RI dan DPD dengan nilai buku-buku dan daftar cetak warna dan hitam putih calon anggota DPR RI dan DPD, sebagaimana perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh ahli ERNADHI SUDARMANTO, AK, CFE dari BPKP dan sesuai dengan laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Tim BPKP Nomor: SR-577/D6/1/2005 tanggal 23 September 2005 atau setidak-tidaknya dapat merugikan keuangan Negara sekitar jumlah tersebut… Perbuatan Terdakwa I Drs. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat(1) ke-1 pasal 64 ayat (1) KUH Pidana .. Hal-hal yang manarik dari kasus tindak pidana korupsi dalam kasus-kasus

KPU, menurut kajian saya, pertama adalah persoalan diskresi. Sebagaimana

Keterangan Muchlis Hamdi yang disampaikannya di Pengadilan, sosok ahli bidang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

216

Adminsitrasi Publik menyatakan bahwa ―Keputusan Pleno‖ adalah keputusan tertinggi

dalam Organisasi KPU. Jika keputusan pleno masih menimbulkan kerugian Negara

maka keputusan itu harus menjadi tanggung jawab pleno. Kedua adalah, bilamana

terdapat memo/tulisan ―harap di proses‖ secara inheren akan mengandung makna

bahwa ‗agar diproses‘ harus diartikan sebagai dapat dilakukan manakala pelaksanaan

memo sesuai dengan peraturan yang berlaku. Memo dalam konteks pengadaan

barang/jasa sudah ada peraturannya seperti Keppres 80/2003 tentang tata cara

pengadaan barang/jasa. Demikian juga memo dinas yang isinya ―agar diproses‖ maka

perintah dinas itu harus dilaksanakan sesuai dengan alamat memo tersebut.

Namun, manakala perintah tidak dalam bentuk ―memo‖ tetapi ―lisan‖ tentu

tindak lanjut dari perintah lisan itu harus tertulis, dan manakala perintah lisan kemudian

ditindaklanjuti maka dapat ditafsirkan sebagai inisiatif pelaksanaan dari bawahan itu

sendiri. Dalam organisasi pemerintahan, antara atasan dan bawahan terdapat

―tingkatan-tingkatan (leveling)‖ yang di setiap jenjangnya terdapat wewenang dan

tanggung jawab sendiri-sendiri. Karena itu bilamana ada perintah atasan tidak sesuai

dengan aturan maka telaah staf (pertimbangan-pertimbangan bawahan) merupakan

salah satu fungsi dari tugas staff. Atasan memiliki fungsi pengawasan namun dari segi

substansinya, pelaksanaan suatu perintah merupakan tanggung jawab yang

melaksanakan.

Demikian juga halnya, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:

17/Pid.B/TPK/2006/PN.JKT.PTS, yang di dalamnya terdapat ―Dakwaan‖ yang dibuat

oleh penuntut umum tertanggal 25 September 2006 antara lain berisi sebagai berikut:

“Bahwa ia, terdakwa Rustam Effendy Sidabutar, SH.,M.Si baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan Budhi Susanto dan Ir. Sylvira Ananda, M.Sc pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi dalam bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Desember 2004, atau setidak-tidaknya dalam waktu-waktu lain didalam tahun 2003 sampai dengan tahun 2004, bertempat di ruang kerja Terdakwa pada kantor Dinas Perhubungan DKI Jakarta Jalan Taman Jatibaru No.1 Jakarta Pusat, atau setidaknya pada suatu tempat yang berdasarkan pasal 54 ayat (2) Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

217

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut, secara melawan hukum yaitu dalam pengadaan bus untuk penyediaan sarana Bus Way Tahun anggaran 2003 dan tahun 2004 tidak mengindahkan atau bertentangan dengan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 80/2003 serta tidak mengindahkankanatau bertentangan dengan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 175/2003 dan 108.2003 tentang tata cara pelaksanaan APBD, memperkaya diri sendiri yaitu terdakwa atau orang lain yaitu Budhi Susanto, Ir. Sylvira Ananda, Saksi Hadi Wuryandanu, Saksi David Herman Jaya, atau suatu korporasi PT Irama sejuk Sentosa, dan PT. Armada Usaha Bersama, serta PT Mekar Armada Jaya yang dapat merugikan keuangan negara yaitu sebesar Rp.10.621.101.549,32 (sepuluh milyar enam ratus dua puluh satu juta seratus satu ribu lima ratus sembilan puluh empat ribu rupiah tiga puluh dua sen) sessuai dengan perhitungan ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang tertuang dalam laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan negara (PKKN) atau setidak-tidaknya sejumlah itu yang dilakukan terdakwa dengan cara… “

5.3. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI

Berkaitan dengan alat bukti pada dasarnya, kehandalan dan kekuatannya alat

bukti, barang bukti dan pembuktian masih mengandalkan pada bukti dan pembuktian

yang bersifat inderawi. Auditor Investigatif, penyelidik dan penyidik berupaya mencari

dan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan mereka atas

kebersalahan/pelanggaran yang dilakukan tersangka. Analisis pada tempat kejadian

perkara (TKP) atau tempus delicti mungkin saja dapat memberikan bukti-bukti fisik

berupa barang bukti, tetapi keterangan saksi-saksi dan keterangan terasangkalah yang

seringkali dapat menimbulkan keyakinan kuat atas kebersalahan tersangka. Dengan

demikian, tujuan wawancara dan interogasilah yang akan mendominasi keyakinan kuat

mereka itu.

Kemampuan membongkar kebohongan dan mengarahkan pada pengakuan

merupakan alat psikologi yang harus dimiliki auditor investigatif, penyelidik dan

penyidik. Namun, pada satu saat alat psikologi ini kadangkala dapat didayagunakan

untuk membujuk tersangka, pada saat yang lain alat yang sama ini menuntun

tersangka yang lemah tetapi tidak bersalah mengakui kejahatan yang sebenarnya tidak

dilakukannya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

218

Padahal, terdapat beberapa alasan mengapa auditor investigatif, penyelidik dan

penyidik lebih menyukai pengakuan bersalah dibanding bukti-bukti lainnya, antara lain

pertama adalah pengakuan bersalah menghemat waktu, karena mencari dan

mengumpulkan barang bukti, menanyai saksi-saksi lalu melakukan analisis berjalan

lamban, memakan banyak waktu, dan membosankan. Di samping pengakuan bersalah

dari tersangka seringkali diikuti pemberitahuan atas di mana tempat uang hasil korupsi

disembunyikan, kapan dilakukan, bersama siapa melakukannya, bagaimana cara

melakukannya dan lainnya. Kedua adalah, pengakuan bersalah adalah hal yang paling

terdekat, diyakini serta menguatkan dengan dakwaan tindak kejahatan yang dilakukan

terdakwa. Pengakuan bersalah adalah jalur cepat bagi pembuktian, yang juga

menempatkan terdakwa menuju putusan bersalah.

Karena pengakuan merupakan cara efektif dan efesien dalam putusan hukum,

maka pada masa lalu sesuai hasil penelitian Skolnick dan Fyfe (1993) untuk

memperoleh pengakuan bersalah itu banyak dilakukan pukulan dan kebutralan, seperti

memukul dengan tinju, gagang senjata, pipa karet, penthungan, membakar kulit

dengan rokok, menggunakan kejutan listrik dan lainnya hingga cara-cara terselubung

dengan menggunakan water cure (terapi air) yakni menekan kepala tersangka ke

dalam toilet hingga nyaris terebenam, atau menuangkan air ke dalam lubang hidung

yang berbaring terlentang.

Siksaan-siksaan fisik itu, bisa juga dikombinasikan dengan deprivasi, diisolasi, dan

diintimadasi. Deprivasi adalah cara efektif untuk menurunkan resistensinya, dengan

menunda makan, penundaan pemberian air minum, atau tidak memberikan ijin ke toilet

dapat membuat tersangka lebih mau mengaku. Isolasi di sel yang gelap

(incummunido) dapat juga untuk membujuk tersangka membuat pengakuan. Cara-cara

pencarian pengakuan kepada tersangka seperti itu, boleh jadi akan terjadi lomba

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

219

sumpah (swearing contest) di pengadilan, artinya petugas akan bersumpah tidak ada

koersi (paksaan) dan terdakwa juga bersumpah telah terjadi koersi, tetapi sumpah

petugas yang biasanya lebih dipercaya. Kadang petugas juga mengancam, jika

tersangka membuka koersi yang dilakukan petugas di muka pengadilan, pada saat

tersangka masuk tahanan, maka dia diancam akan diperlakuan dengan perlakuan

yang tak terbayangkan.

Bahkan, terhadap terhadap tersangka yang tidak koperatif, dia akan dipegang

dengan posisi terbalik, kaki di atas kepala di bawah , di luar jendela gedung atau ujung

tangga yang tinggi. Perlakuan kepada tersangka kadang mereka ditumpuki dengan

buku-buku yang ditumpuk di kepalanya, jika tersangka tidak menjawab pertanyaan

yang diajukan lalu buku-buku itu dipukul berulang-ulang maka akibatnya tersangka

akan mengalami kesakitan yang tak terhankan tetapi tidak meninggalkan bekas luka

atau lebam sedikitpun. Cara lain adalah, tersangka diminta berdiri tegak selama

berjam-jam secara terus menerus atau wajahnya dibenamkan pada muka mayat di

kamar mayat. Bisa juga, tersangka diperdengarkan suara jeritan menyayat dan

erangan yang menghiba-hiba dari ruang sebelah (meskipun itu sebenarnya hanya

suara dari tape-recorder saja)

Bisa juga skenario ―god and bad interogator‖ diperankan untuk memancing

pengakuan tersangka. Caranya adalah pada pertama kali yang berperan sebagai

interogator baik akan menemui tersangka dengan menebar simpati dan mengesankan

bahwa dia adalah petugas yang penuh pengertian, tetapi pada akhirnya dia berpura-

pura kecewa karena tersangka terus menerus melakukan kebohongan atas

keterlibatnnya pada tindak kejahatan. Pada saat itu, petugas jahat akan memasuki

ruang interogasi dan mencaci-maki petugas yang berbaik-baik dengan tersangka

karena yang dilakukan itu membuang-buang waktu dengan tersangka yang terus

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

220

menerus berbohong. Petugas yang berperan baik meninggalkan ruangan sambil

menggerutu dan sakit hati terhadap umpatan-umpatan petugas yang berperan jahat.

Berada dalam satu ruangan interogasi bersama tersangka, si peran jahat akan

memaki-maki tersangka, marah-marah, melempar kursi dan mengata-ngatai tersangka

dengan kata-kata yang menyakitkan. Lalu kembalilah si peran baik dan meminta si

peran jahat untuk keluar dari ruangan. Kemarahan yang ditunjukkan si peran jahat

membuat banyak tersangka mengakui kejahatannya saat berhadapan dengan si peran

baik.

Semua cara yang saya sebut pada uraian sebelumnya itu merupakan cara-cara

dan trik-trik teatrikal, tindakan koersif psikologis ambigu yang digunakan untuk meraih

pengakuan dari tersangka, namun cara seperti itu merupakan tindakan illegal telah

melanggar KUHAP dan HAM. Pengakuan tersangka yang seharusnya diraih adalah

―pengakuan sukarela‖ . suatu pengakuan yang bermartabat dan mengakui eksistensi

hak-hak asasi manusia.

Selanjutnya, penelitian Moston, Stephenson, dan Williamson (1992) dan Sofly

(1980) yang dikutip Constanzo (2006, 49) menyatakan bahwa sekitar 39% sampai 48%

tersangka akan membuat pengakuan bersalah ketika diwawancarai atau diinterogasi,

dan 13% hingga 16% tersangka lain membuat pernyataan kacau atau pengakuan

bersalah parsial.

Selanjutnya, pada dasarnya terdapat perbedaan antara psikologi dan hukum

dalam mendekati kebenaran dan keadilan. Psikologi bersifat deskriptif, sedangkan

hukum bersifat preskriptif. Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang

berperilaku secara aktual; hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya

berperilaku. Tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan lengkap dan

akurat mengenai perilaku manusia, sedangkan tujuan hukum adalah mengatur perilaku

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

221

,manusia. Jika seseorang berperilaku dengan cara yang dilarang hukum, maka hukum

akan memberikan hukuman untuk perilaku yang menyimpang dari aturan hukum itu

(Constanzo, 2006, 12). Dengan demikian, dalam arti idealis, ilmu psikologi cenderung

mengkaji untuk menemukan kebenaran sedangkan hukum cenderung mengkaji pada

dimensi keadilan.

Sejalan dengan hubungan antara psikologi dan hukum, hasil penelitian Melton,

Monahan, dan Saks (1987) yang dikutip Constanzo (2006, 36) mengatakan sebagai

berikut:

“Meskipun psikolog mungkin tidak selalu mampu menjawab pelbagai pertanyaan hukum tentang perilaku manusia,namun paling tidak mereka itu dapat memberikan apresiasi canggih dan realistis terhadap apa yang dibutuhkan untuk mendapat jawaban yang memadai, dan mereka dapat bersikap hati-hati dalam membuat asumsi mengenai realitas sosial.

Di samping itu, keyakinan atas alat bukti dan pembuktian yang bersifat inderawi

merupakan keterpengaruhan dengan paradigma yang dibangun Filasuf Rene

Descartes dalam kalimat ―cogito ergo sum‖ 18 yakni ―aku berfikir karena itu aku ada‖.

Mind-set atau world view yang dibangun Descartes kemudian menyeruak keseluruh

dunia lalu meracuni pikiran dan menjadi pegangan serta keyakinan bahwa semua hal,

semua persoalan dan semua realitas harus berasal dan dapat diverifikasi oleh indera,

bilamana tidak bisa diverifikasi secara inderawi berarti ia bukan realitas dan tidak perlu

dipercaya. Demikian juga halnya, dalam soal alat bukti dan pembuktian tindak pidana

korupsi bahan bukti itu harus dapat diverifikasi secara inderawi.

18

Rene Descartes yang hidup 1596 – 1650, sang filosuf Modern tengah berbaring di ranjang dalam ruangan gelap, saat itu ia melakukan permenungan dan melakukan ekperimen pemikiran mendalam, tiba-tiba ia menemukan jawaban yang ia cari-cari. Ia dapati bahwa ia tidak menyangsikan bahwa pada saat itu ia sedang sangsi. Kesangsian itu eksis tanpa ada yang melakukan penyangsian. Kesangsian merupakan bentuk pemikiran, sehingga menjadi dasar pembuktian atas eksistensinya sendiri. Lalu ia mengajukan ungkapan”cogito ergo sum”. Eksistensi yang “berada yang berpikir” (thingking being) ini merupakan fondasi yang pasti mutlak dan niscaya bagi semua ilmu pengetahuan. Saya atau ego berada di luar sejarah dan kebudayaan sebagai asumsi metafisis dasar, tidak tergantung pada jenis iman apapun, karena ketidakberdayaan itu mustahil selama saya tahu saya berpikir (Palmquis, 2000, 77)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

222

Metode Descartes bersifat analitik, suatu metoda yang terdiri atas pemecahan

pikiran dan masalah menjadipotongna-potongan kecil dan kemudian menyusun

kembali potongan-potongan itu ke dalam suatu tatanan logisnya (Susanto,2010, 43).

Metoda penalaran analitik model Descartes ini yang memberikan sumbangan terbesar

pada dunia ilmu. Namun sebaliknya, penekanan berlebihan terhadap metoda

Cartesian ini juga berdampak pada timbulnya karakteristik fragmentatif pada cara

berpikir keilmuan dan sifat reduksionis tulen yang meluas dalam dunia ilmu

pengetahuan (Chapra, 1982, 51). Sebuah keyakinan bahwa semua aspek fenomena

yang kompleks dapat dipahami dengan cara mereduksinya menjadi bagian-bagian

unsur pokok.

Dalam pandangan Descartes, alam ini akan bekerja sesuai dengan hukum-

hukum mekanika, dan segala sesuatu dalam alam materi ini dapat diterangkan baik

pada sisi pengertian dan gerakan bagian-bagiannya. Dalil cogito ergo sum merupakan

statement bahwa segala sesuatu itu jelas (clearly) dan terpilah (distinctly) dan itu

merupakan kebenaran (the truth). Artinya, segala sesuatu yang jelas dan terpilah pasti

benar adanya. Dalil ini memiliki konsekuensi bahwa terdapat pembedaan mencolok

antara rasio (cogito, think, mind) dengan tubuh (body), karena benak dan badan sama-

sama dipandang sebagai suatu yang nyata. Pandangan ini menempatkan Descartes

sebagai penganut madzab dualisme. Substansi rasio adalah res cogitans (pemikiran),

sedang substansi tubuh adalah res extensa (berkeluasan). Cogitans merupakan

bidang jiwa sedang extensa merupakan bidang materi, bidang ilmu alam. Pikiran

adalah kesadaran yang tidak mengambil tempat dalam ruang dan karenanya tidak

dapat dibagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tetapi materi adalah perluasan,

karena itu ia bisa mengambil tempat dalam ruang dan sehingga bisa dibagi-bagi

menjadi bagian kecil dan bagian itu masih dapat dibagi menjadi lebih kecil lagi, tetapi ia

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

223

tidak punya kesadaran. Keduanya berasal dari Tuhan (given, terberi). Pikiran sama

sekali tidak tergantung pada materi, dan sebaliknya, materi tidak tergantung pada

pikiran. Itulah esensi tulisan-tulisan pada tiga buku Descartes yakni Discourse de la

Methode (Wacana tentang Metode) tahun 1637, Meditations de Prima Philosophiae

(Renungan tentang Metafisika) tahun 1642, dan Principia Philosophiae (Prinsip-prinsip

dalam Filsafat) tahun 1644. Tiga buku itu adalah buku yang paling monumental, meski

Descartes juga menulis buku lain seperti Essais Philosophiques (1647) yang

membahas mengenai ilmu optik dan geometri (Susanto, 2010, 41).

Descartes selalu berusaha untuk membuktikan kebenaran-kebenaran dengan

dalil matematika yang dikuasainya. Dia mengawalinya dengan menggunakan metoda

―keraguan‖. Sebagai dasar pijakan kuat bagi filsafatnya, segala sesuatu harus

meragukan segala sesuatu selama bisa diragukannya. Pandangan Descartes ini

melengkapi revolusi ilmiah Isaac Newton (1664) bertepatan dengan tahun kematian

Galileo yang dihukum gantung. Newton mengembangkan suatu formulasi pandangan

dunia mekanistik yang matematis dan lengkap, sehingga melahirkan sintesis dan karya

agung pada babak selanjutnya yakni karya Copernicus, Kepler, dan Bacon. Nweton

dengan kekuatan pemahaman atas matematika yang mendalam, menciptakan teknik-

teknik matematika yang melampaui teknik matematika Galileo dan Descartes. Prestasi

intelektual yang luas biasa hingga Einstein-pun memuji bahwa kemajuan terbesar

dalam pemikiran dunia yang pernah dibuat manusia pada pribadi tunggal adalah

temuan adikarya milik Isaac Newton.

Selanjutnya, Filsafat Descartes itu telah memenjara pikiran manusia - sebagai

sosok ―agent aktif‖ yang berubah menjadi ―agent pasif‖ - dalam kurun waktu ribuan

tahun. Filsafat inilah yang membelah semua realitas obyektif menjadi oposisi-

pasangan (binary-opposition). Sebuah prinsip pertentangan di antara dua istilah dalam

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

224

strukturalisme, yang menganggap yang satu lebih superior dan yang lain adalah

inferior, seperti maskulin-feminin, barat-timur, benar-salah, hitam-putih, kuat-lemah dan

seterusnya.

Sejalan dengan keterpengaruhan pada oposisi-pasangan (binary opposition,

yang on-off) tersebut, pemerolehan visum akuntansi forensik mengelaborasi pola ini,

artinya penyimpangan yang berdampak pada kerugian keuangan itu diterjemahkan

sebagai suatu bentuk sesuatu yang ―salah‖ dari sesuatu yang ―benar‖. Prosedur yang

dibangun adalah melakukan perbandingan antara yang ―seharusnya‖ dengan

―sebenarnya‖, antara das-sollen dengan das-sein-nya, antara de-jure dengan de-facto-

nya, dan antara cita dan faktanya.

Sejalan dengan penjara pikiran itu, Erchart Tolle menyatakan (2009, 16) bahwa

penjara pikiran itu akan berakibat, kita memiliki pemikiran kompulsif. Pemikiran

kompulsif menghasilkan suatu formulasi dalam pikiran kita bahwa semua realitas

kehidupan ini, kelihatan secara terpisah, terpecah-pesah, terfragmentasi dan tidak

merupakan satu kesatuan holistic and wholness. Erchart Tolle melanjutkan dengan

mengatakan bahwa bilamana kita mengidentifikasi suatu realitas dengan pikiran, maka

kita telah memasang cermin buram yang berupa konsep, label, imaji, kata-kata,

definisi-definisi dan lainnya yang kemudian ―memblok‖ diri kita sendiri untuk tidak dapat

menerima realitas lain yang tidak sesuai dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah, asas-

asas dan lainnya yang berada dan bersemayam dalam pikiran kita. Misalnya, suatu

perasaan yang mendesir halus dalam persaan atau hati kita tentu akan kita tolak

sebagai suatu realitas yang nyata-nyata ada.

Realitas itu akan kita ingnkari sebagai suatu self-evidence. Mungkin saja getar

hati kita tadi akan dapat kita percayai sebagai sesuatu yang benar, tetapi pikiran kita

tidak akan pernah mampu memahami self evidence itu sebagai suatu realitas yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

225

benar. Hanya keyakinanlah yang mungkin bisa menolong bahwa realitas itu memang

ada dan benar.

Untuk contoh lain agar kita dapat memiliki pemahaman yang sama bahwa, kita

percaya kepada Sang Maha Pencipta dan Maha Benar itu, karena kita merasakan

akan kehadiran-Nya dalam hati dan dalam persaan kita, tetapi pikiran kita tentu akan

skesulitan dan boleh jadi tidak akan pernah sanggup membangun bahwa realitas itu

ada benar. Pikiran kita akan senantiasa melakukan resistensi atas ada dan

kekehadiran Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu, padahal realitas Sang

Maha Segalanya itu hadir dalam bathin atau nurani kita. Karena itu dalam agama,

dalam soal-soal seperti ini, kita selalu diyakinkan melalui ―dogma-dogma‖ untuk

membangun keyakinan pada diri kita. Karena pikiran kita akan mengalami kesulitan

(a bounded rationality) dalam menerima sesuatu realitas yang tak tampak dalam indera

kita. Dengan demikian, perlu disadari bahwa lima macam alat bukti yang bersifat

inderawi dan diagung-agungkan yang mampu menyelesaikan perkara tindak pidana

korupsi, dalam paradigma lain ternyata masih memiliki kelemahan substansial.

Nuril Ashuri, ahli Psikologi Transpersonal yang berdomisili di Malang

menambahkan dengan mengatakan bahwa kesadaran (conciousness) akal kita yang

menguasai dan mengendalikan manajemen tindakan, pengambilan keputusan,

mengarahkan gerak langkah kita dan semua hal yang berkait dengan diri kita ini.

Namun, pada saat kita dalam kondisi subconcious, di mana dalam kondisi itu kita tidak

dipengaruhi dan dipenjara lagi oleh pikiran, saat itulah suatu kejujuran dan keberanian

mengatakan apa adanya tercipta. Kondisi subconcious akan melahirkan pengakuan

jujur dan transparan, keterbukaan pengakuan terwujud dan sanggup menerangkan

kejadian, peristiwa dan apa saja akan muncul ke permukaan tanpa ada beban

apapun. Apalagi kita ini memiliki naluri binatang (reptile instink) yang akan senantiasa

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

226

menghela dan membela kita untuk selalu mempertahankan hal-hal yang dapat

menguntungkan diri kita. Insting binatang itu membuat kita mampu berbohong dan

mengatakan yang tidak sejujurnya dan tidak semestinya atas fakta, data dan informasi

yang sesungguhnya, yang menurut pikiran kita akan mampu menyelamatkan kita.

Dalam penelitian ini, wawancara mendalam (indepth interview) yang saya

lakukan adalah dalam rangka untuk dan demi menyerap (saturate) dan atau

menemukan informasi yang kontinyu untuk menambah data hingga tidak ada lagi data

yang dapat ditemukan dalam kategori. Suatu kategori adalah untuk mewakili unit

informasi yang tersusun dari peristiwa atau kejadian (Strauss and Corbin, 2003, 32 dan

Cresswell, 2003,56). Sambil mengumpulkan data, secara simultan analisis terus saya

lakukan. Pengumpulan data dalam grounded theory merupakan proses ―zig-zag‖

(Creswell, 2003, 56-57). Proses pengambilan informasi melalui pengumpulan data dan

membandingkannya dengan kategori yang muncul disebut constant comparative

analysis.

Dari uraian-uraian yang saya kemukakan pada sebelumnya dapat saya

simpulkan bahwa penyidikan merupakan tindak lanjut dan pendalaman bahan bukti

dari hasil konstruksi visum akuntansi forensik level penyelidikan. Hasil akhir

penyidikan, Penyidik menyimpulkan bahwa hypothetical construction of crime 5W+2H

telah terjawab atau konstruksi visum akuntansi forensik level penyidikan telah

mewujud. Visum akuntansi forensik merupakan hasil akhir dari penyidikan dan

merupakamn bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk membuat Dakwaan

yang cermat, jelas, dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Dakwaan akan menjadi

bahan bukti dan landasan utama bagi Majelis Hakim pada pemeriksaan perkara dalam

pemeriksaan silang (cross examination) pada sidang-sidang di pengadilan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

227

PROPOSISI:

Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik merupakan temuan pulbaket lidik atas paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang menjadi dasar penetapan status terdakwa.

Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik terangkai dalam suatu chart

and matrix yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W secara cermat, jelas dan lengkap.

Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik berisi rangkaian alat bukti

berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka berfungsi sebagai bahan bukti penyusunan berkas Dakwaan bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Proses eksplorasi visum akuntansi forensik lidik dalam dapat dilihat pada

gambar 5.2. Sedangkan pada wujud rangkaian visum akuntansi level penyelidikan

terlihat dalam gambar 5.3.

Gambar 5-2 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

228

Gambar 5-3 WUJUD RANGKAIAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

229

BBaabb 66 VISUM AKUNTANSI FORENSIK SEBAGAI BUKTI PENDUKUNG LITIGASI

Segala Kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan serta dibenarkan.

Padahal, kebenaran itu sendiri tidak memerlukannya, karena

kebenaranlah yang akan menunjukkan sendiri

apa yang diakui benar dan berlaku benar

(Paul Natorp)

6.1. PENGANTAR

Uraian bab III, IV dan V menggambarkan perjalanan rekonstruksi sejarah fakta

sejak Aduan, Keluhan, dan Petunjuk (AKP) yang ditindaklanjuti dengan audit

investigatif (AI atau PKKN), lalu pulbaket lidik dan kemudian pulbaket sidik hingga

menjadi visum akuntansi forensik. Pada bab ini, saya akan melakukan sintesis atas

tiga bab sebelumnya itu. Dengan demikian, dalam uraian saya ini akan secara spesifik

konkritisasi wujud visum akuntansi forensik itu.

Seperti ungkapan Natorp yang saya kutip di atas menunjukkan bahwa esensi

perjalanan pemikiran manusia hanyalah untuk mencari kebenaran sejati. Suatu upaya

yang pada ujungnya membawa konsekuensi pada klaim-klaim si pembawa untuk

diakui valid, kredibel dan dipakai pada zamannya. Namun, hal itu tentu saja akan

melalui berbagai pertarungan yang melampaui dimensi ruang, waktu, konteks dan

lokalitas para pemikir berada. Pencarian kebenaran akan senantiasa terdapat mata

rantai tataran praksis yang abadi, yakni sebuah bentuk falsifikasi pada tesis-antitesis,

aksi-reaksi, konstruksi-rekonstruksi bahkan dekonstruksi sekalipun (Shaleh, 2003,1).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

230

Kebenaran akan selalu bersifat sementara yang pada saatnya akan

terfalsifikasi dalam bentuk beragam sesuai dengan parameter dan indikator atau

dimensi yang mengelilinginya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas,

maupun karena lemahnya jari-jemari cengkeramannya. Munculnya falsifikasi, boleh

jadi dan mungkin saja karena sebuah kebenaran lain telah hadir. Kehadiran kebenaran

karena muncul dan berkembangnya berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia

yang bisa jadi bersifat destruktif bahkan menyesatkan. Yang pasti, suatu kebenaran itu

akan selalu mengalami falsifikasi sehingga membentuk lingkaran ilmiah (spesific-circle)

yang menghirup nafas esensi dan mencengkeram rantai filosofis.

Perubahan kebenaran, tidak selalu mengubah secara radikal, namun bisa jadi

hanya sekedar meneguhkan kebenaran lama dengan argumentasi baru, menempelkan

justifikasi bersama retorikanya atau mungkin saja hanya sekedar mengoreksi dan

menambal kebenaran yang ada kemudian membangun kebenaran dengan wajah baru.

Yang pasti, rangkaian falsifikasi akan terus berputar, berjalan, bergelut dan bergulat

serta selalu mencari muara pada kebenaran-kebenaran baru.

Kebenaran baru itu tidak memerlukan alat justifikasi bagi dirinya dan meminta

dibenarkan. Karena kebenaran itu akan tetap sendirian dan menunjukkan apa yang

diakui benar dan berlaku benar. Inilah esensi perjalanan kebenaran menuju ke

kebanaran yang lain.

Karena itu, kebenaran tidak mungkin dapat dicari dalam ranah filsafat aliran

apapun, domain teoritik manapun, dan madzab pemikiran dari mana pun. Kebenaran

hanyalah masalah penafsiran atas realitas yang dilihat dan kelogisan tafsir yang

dibangun. Kebenaran hanyalah soal sudut pandang yang digunakan, asumsi yang

dipakai, landasan argumentasi yang dimunculkan, dan seberapa banyak dukungan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

231

masyarakat ilmiah atas justifikasi berbasis retorika yang dibangun oleh si pengembara

kebenaran itu semata.

Dengan demikian, hal yang sama akan menjadi keniscayaan yang tak dapat

saya ingkari bahwa uraian sintesis sejarah fakta terhadap realitas obyektif atas tindak

pidana korupsi hanyalah sekedar mencoba mencari pada kebenaran. Boleh jadi hanya

sekedar menambal serpihan semata. Bisa saja, penelitian berikutnya dapat lebih

memperbaharui, memperkaya atau difalsifikasi dan diambrukkan lalu dibangun

proposisi baru yang merupakan representasi kebenaran baru yang ditemukan..

6.2. AKUNTANSI FORENSIK, BUKTI DAN PEMBUKTIAN “Kebenaran‖ dapat saya artikan sebagai suatu informasi yang sesuai dengan

realitas objektif. Kebenaran dalam akuntansi merupakan kesesuaian antara assersi19

dengan bukti-bukti pendukungnya (corroborating evidence), sedangkan kebenaran

dalam auditing adalah kesesuaian atau konformitas assersi dengan realitas objektif

yang ditemukan auditor dalam proses pengujian yang berbasis bukti (evidence [?] or

evidential matter [?]).

Kebenaran dalam domain hukum (KUHAP) adalah suatu kesesuaian atau

konformitas antara yang seharusnya dengan yang sebenarnya, antara das-sollen

dengan das-sein atau antara de-jure dengan de-facto. Kebenaran dalam domain

hukum selalu bermuara pada kepastian tidak terjadinya suatu penyimpangan yang

terjadi antara cita dan fakta berdasarkan bukti-bukti atau dengan kata lain suatu

kebenaran yang berbasis hasil pemeriksaan (penyelidikan, penyidikan dan lainnya).

Demi dan untuk kepastian suatu kebenaran itu, UU Nomor 15 tahun 2006

tentang BPK memberikan suatu kebenaran dalam bentuk definisi mengenai kalimat

19 Assersi (assertion) adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggung jawab atas deklarasi tersebut. assersi adalah pernyataan (statement) yang dibuat oleh satu pihak yang secara implicit dimkasudkan untuk digunakan oleh pihak lain pihak atau ketiga (SPAP, 326.1).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

232

hasil pemeriksaan. Definisi itu memformulasikan bahwa ―hasil pemeriksaan‖ adalah

suatu hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas,

dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan

standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai

keputusan BPK.

Dengan demikian, dari dialog di atas dapat saya simpulkan suatu kebenaran,

baik yang melekat pada akuntansi, auditing dan hukum senantiasa beralaskan pada

bukti-bukti yang dapat memastikan kebenaran itu sendiri. Suatu bukti yang dapat

memberikan keyakinan kebenaran memang faktual dan memiliki evidens.

Selanjutnya, bukti merupakan sarana persuasi atau alat pemaksa untuk

mempercayai terhadap suatu assersi atau realitas. Pengetahuan tanpa bukti akan

disebut sebagai ―kepercayaan‖. Bukti akan mengantarkan kita kepada suatu

pemahaman, simpulan atau pendapat atas kejadian-kejadian pada sebelumnya.

Dengan demikian, bukti akan meliputi suatu keyakinan terhadap eksistensi suatu

peristiwa di masa yang lalu. Jadi, bukti niscaya merupakan evidensi sejarah fakta pada

masa lalu, dan berfungsi sebagai basis utama bagi pengambilan simpulan dan

putusan.

Masih berkaitan dengan persoalan bukti, menurut SPKN (Standar Pemeriksaan

Keuangan Negara), bukti digolongkan menjadi: bukti fisik, dokumenter, kesaksian

(testimonial) dan analisis. Bukti fisik diperoleh dari inspeksi langsung, atau

pengamatan yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap orang, aktiva, atau kejadian.

Bukti tersebut dapat didokumentasikan dalam bentuk memorandum, foto, gambar,

bagan, peta, atau contoh fisik. Bukti dokumenter terdiri atas informasi yang diciptakan

seperti surat, kontrak, catatan akuntansi, faktur, dan informasi manajemen atas kinerja.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

233

Bukti kesaksian diperoleh melalui permintaan keterangan, wawancara, atau kuesioner.

Bukti analisis meliputi perhitungan, pembandingan, pemisahan informasi menjadi

unsur-unsur, dan argumentasi yang masuk akal.

Selanjutnya, pada uraian dan diskusi saya pada bab III, IV dan V, saya dapat

menarik simpulan bahwa akuntansi forensik merupakan akuntansi yang

didayagunakan dalam domain hukum dalam tugas utamanya sebagai alat dukung bagi

proses litigasi. Akuntansi forensik merupakan gabungan disiplin pengetahuan

akuntansi, auditing dan hukum.

Sebagai fungsi akuntansi, akuntansi forensik akan mengkonstruksi bukti-bukti

yang diperoleh/ada menjadi suatu laporan (assersi). Fungsi ini dalam tindak pidana

korupsi tampak secara jelas dalam bagaimana akuntan forensik (auditor investigatif)

melakukan konstruksi perhitungan angka kerugian keuangan negara (PKKN) yang

berbasis bukti-bukti dimabil dari raw data.

Sebagai akitivitas audit, akuntansi forensik akan melakukan penelusuran,

pengujian, melakukan seperti uji bukti (tracing, vouching, reperforming, reconciling),

konfirmasi, observasi dan prosedur lain yang dianggap perlu hingga terkumpulnya

bukti yang memiliki kriteria relevan, kompeten, cukup dan material (rekocuma). Jadi

dalam akuntansi forensik niscaya terjadi hubungan harmonis antara akuntansi, audit

dan hukum yang saling tunjang menunjang dan terjalin secara berkelindan.

Bukti disebut [re]levan, jika bukti tersebut mempunyai hubungan yang logis

dan arti penting bagi temuan audit yang bersangkutan. Bukti disebut [ko]mpeten

apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam

menilai kompetensi suatu bukti,audit harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti

apakah bukti telah akurat, meyakinkan, tepat waktu dan asli.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

234

Sedangkan, dalam menentukan [cu]kup tidaknya suatu bukti, auditor harus

yakin bahwa bukti yang cukup tersebut akan bisa meyakinkan seseorang bahwa audit

finding adalah valid. Apabila mungkin, metode statistik bisa digunakan untuk

menentukan atas cukup tidaknya suatu bukti audit. [Ma]terial adalah signifikansi suatu

nilai bukti itu bagi professional judgement yang akan diambil auditor.

Jadi, ―rekocuma‖ merupakan suatu prasyarat bagi kriteria bukti yang akan

menjadi basis pembuktian suatu kebenaran. Suatu kebenaran yang berbasis bukti

akuntansi, audit dan hukum,yang akan dibawa sebagai bekal dalam perjalanan litigasi

yang panjang. Karena itu, rekocuma merupakan suatu keniscayaan dalam PKKN.

Dalam kotak 6.2. di atas dapat saya gambarkan, suatu contoh mengenai audit

investigatif yang biasa dilakukan BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian

keuangan negara (PKKN). Bagan alir (flow chart) itu menggambarkan mulai dari

proses awal, yakni adanya permintaan PKKN baik permintaan dari Kepolisian,

Kejaksaan atau KPK. Permintaan itu ditindaklanjuti dengan paparan kasus dari

instansi peminta yang disebut juga sebagai ekspose atau eksaminasi atau gelar

perkara. Ekspose itu bertujuan untuk memastikan dapat (tidak) permintaan tersebut

ditindaklanjuti dengan aktivitas audit investigatif (AI). Bilamana permintaan PKKN

diterima, pertanyaan berikutnya adalah apakah data yang melekat pada kasus tindak

pidana korupsi itu memiliki bukti lengkap (data masak pohon) atau buktinya masih

berceceran dan perlu aktivitas audit (pencarian bukti) tambahan yang lebih mendalam

lagi? .Jika bukti-bukti perkara tindak pidana korupsi itu memiliki kriteria rekocuma

(relevan, kompten, cukup dan material) maka aktivitas PKKN dapat dilakukan yang

pada akhirnya terciptalah angka PKKN yang merupakan salah satu alat bukti yang

andal yang menyertai dan dukungan pembuktian bagi proses litigasi.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

235

Kotak 6.1

START

PERMINTAAN PKKN

(POLRI, JAKSA, DAN KPK)

EKSPOSE

KASUS TIPIKOR?

FINISH

TOLAK

(BUKTI TIDAK REKOCUMA)TIDAK

BUKTI

REKOCUMA?

AUDIT INVESTIGATIF

(DATA MASAK POHON)

YA

EKSPOSE

DRAFT PKKN?

PKKN FINAL

YA

AUDIT INVESTIGATIF

(DATA MENTAH)TIDAK

EKSPOSE

DRAFT PKKN?

YA

TIDAK

TIDAK

YA / DITERIMA

DRAFT PKKN

DRAFT PKKN

DATA

COLLECTING

PROSES AI DAN PKKN

Selanjutnya, agar kita memiliki pemahaman yang sama, dengan mengelaborasi

UU 15/2006, bagi saya definisi pemeriksaan (audit) PKKN di atas adalah suatu proses

identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

236

dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan (audit), untuk menilai kebenaran,

kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara. Sedangkan, kerugian Negara/Daerah adalah suatu

kekurangan uang (shortage cash), surat berharga, dan barang yang ―nyata dan pasti‖

jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Selanjutnya, Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang

yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

yang melekat pada pelaksanaan tugas yang diembannya itu.

6.3. VISUM AKUNTANSI FORENSIK

Seperti yang saya jelaskan pada bab III, IV dan V bahwa aktivitas AI, PKKN,

pulbaket lidik dan pulbaket sidik dapat saya katakan sebagai suatu perjalanan

eksplorasi mendalam untuk menemukan bahan-bahan bukti. Ia sejatinya adalah

sejarah fakta masa lalu yang direkonstruksi menjadi visum akuntansi forensik. Tabel

6.1. merupakan paparan perbedaan antara visum akuntansi forensik pada level audit

investigatif, penyelidikan dan penyidikan.

Dengan demikian, menurut saya, visum akuntansi forensik akan merupakan suatu

kumpulan bukti, fakta, data, informasi dan keterangan atas terjadinya peristiwa

penyimpangan keuangan, sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum

(penyimpangan prosedur) yang dilakukan si pelaku. Dengan demikian, eksistensi

visum akuntansi forensik tidak lain adalah representasi atas mewujudnya tindak pidana

korupsi. Visum akuntansi forensik dapat saya sebut sebagai sejarah bukti yang

mengurai fakta-fakta yang terjadi di sekitar peristiwa hukum itu.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

237

Tabel 6-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA, SIDIK, LIDIK, DAN AI

KETERANGAN

PENYIDIKAN (SIDIK)

PENYELIDIKAN (LIDIK)

AUDIT INVESTIGATIF (AI ATAU PKKN)

PERSAMAAN

Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi

Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik

Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi

Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi

PERBEDAAN

Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level Penyidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law) Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK

Menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum) Dilaksanakan berbasis pada hasil penyelidikan atau temuan langsung dari lapangan (tertangkap tangan)

Memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi

Hasil permintaan keterangan tersangjka dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan)

Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyidik dapat melakukan penahanan, penggeledahan, penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)

Sebutan bagi objek penyidikan disebut dengan “tersangka”

Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level Penyelidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law) Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK Tidak menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)

Dilaksanakan dari hasil audit investigatif dan atau AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi

Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan) Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan lain hanya atas ijin penyidik

Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik

Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terperiksa”

Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level audit investigatif, auditor akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam akuntansi dan auditing (due professional care) Dilakukan oleh Auditor BPK atau BPKP

Tidak menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)

Dilaksanakan dari bukti AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk

Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi

Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAK (Berita Acara Konformasi/klarifikasi)

Auditor tidak dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan hukum lain Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terduga”

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

238

Persoalan utama dalam tindak korupsi, bagi saya adalah, persoalan PKKN.

Dengan kata lain, temuan atas eksistensi kerugian keuangan negara merupakan suatu

petunjuk atau simpulan akhir yang dapat memastikan bahwa tindak pidana korupsi

eksis. Karena dalam perhitungan kerugian Negara itu secara inheren harus ada

penyimpangannnya. Eksistensi penyimpangan merupakan hasil dari perbandingan

antara prosedur yang seharusnya dengan pelaksanaan yang sebenarnya. Hasil

perbadingan itu (bila ada) itulah yang disebut sebagai kesalahan prosedur yang

disengaja/lalai, penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merupakan sesuatu

unsur yang melekat (embedded) dan diabsorsi dalam laporan PKKN.

Untuk memberikan gambaran mengenai penyidikan, penyelidikan, dan audit

investigatif, tabel 6.1. pada halaman sebelumnya dapat saya paparkan perbedaan dan

persamaannya.

Gambar 6-1 RANGKAIAN INTEGRATIF PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK

Proses pencarian visum akuntansi forensik dapat dilihat pada gambar 6.1. yang

memberikan paparan mengenai proses pencarian, sejak dari AKP hingga dan

penyidikan yang pada ujungnya terbentuk suatu wujud visum akuntansi forensik.

Wujud akuntansi forensik merupakan alat bukti dan barang bukti yang berhasil

dikumpulkan untuk membantu dukungan litigasi pada perkara tindak pidana korupsi.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

239

Rangkaian ini dapat memberikan kejelasan mengenai bagaimana proses yang

dilakukan baik auditor, penyelidik dan penyidik untuk memburu dan kemudian

membangun visum akuntansi forensik.

Selanjutnya, wujud visum akuntansi forensik itu akan berisi sejumlah alat bukti dan

barang bukti serta keterangan-keterangan atas sejarah mengenai fakta-fakta terhadap

peristiwa di masa yang lalu. Suatu sejarah fakta yang dapat dihadirkan rekonstruksinya

pada masa kini (lihat gambar 6,2). Alat bukti, bilamana lengkap akan terdiri dari lima

macam alat bukti, yakni alat bukti keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli, alat

bukti surat, alat bukti petunjuk dan alat bukti keterangan terdakwa. Lima macam alat

bukti ini akan merupakan suatu kenisacayaan bagi terbentuknya visum akuntansi

forensik.

Gambar 6-2 VISUM AKUNTANSI FORENSIK

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

240

Unsur-unsur yang melekat dalam lima alat-alat bukti itu akan saya uraikan berikut

ini. Uraian akan bisa saja bersifat iterarif, reiterativ maupun interaktif (bolak balik dan

redundansi). Uraian semacam itu terjadi lebih disebabkan karena hubungan antara

satu alat bukti dengan alat bukti lainnya kadang searah, namun pada situasi yang lain

relasi bukti itu bersifat interaktif dan pengulangan (reiterative).

6.3.1. Alat Bukti Keterangan Saksi

Alat bukti keterangan saksi, dalam kasus tindak pidana korupsi akan berupa

keterangan-keterangan yang diberikan oleh seseorang mengenai penyimpangan

keuangan yang dilakukan si pelaku yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan

yang ia alami sendiri. Pada tabel 6.1 terlihat jumlah saksi-saksi yang diminta

keterangannya. Pada perkara Bahri misalnya, terdapat 22 orang yang diminta

keterangan untuk memastikan terhadap eksistensi tindak pidana korupsi itu. Pada

kasus Sjamsuddin sebanyak 23 orang, dan pada perkara lain bisa saja jumlahnya

pemberi keterangan bertambah atau berkurang, tergantung pada situasi, kondisi dan

kompleksitas perkara itu sendiri.

Keterangan saksi ini akan selalu mengarah dan diarahkan pada upaya

keterangan-keterangan yang dapat memperjelas gambaran terhadap jumlah uang

yang disimpangkan si pelaku sebagai akibat dari penyalahgunaan wewenang.

Keterangan-keterangan yang diperoleh harus selalu dapat mengarah pada angka

rupiah penyimpangan.

Karena itu, teknik wawancara dan interogasi yang efektif akan menentukan

kualitas dan keberhasilan penggalian keterangan saksi-saksi. Keterangan saksi harus

memberikan araha pada angka rupiah penyimpangan yang merugikan keuangan

negara. Keterangan saksi itu harus berkaitan dengan keterangan mengenai di mana

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

241

penyimpangan dilakukan, kapan dan mengapa dilakukan, bersama siapa serta

bagaimana cara ia melakukannya, lalu apa bukti penyimpangan itu. Karena seseorang

dapat disebut sebagai saksi adalah seseorang yang melihat, mendengar, mengalami

dan menyaksikan peristiwa penyimpangan keuangan yang merugikan negara tersebut.

Tujuan wawancara adalah mencari keterangan dan informasi penting kepada

saksi-saksi dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Dalam wawancara juga harus

dievaluasi dan disimpulkan ada hubungan apa saksi-saksi itu dengan si pelaku yang

dicurigai menjadi aktor utama dan otak dari tindak pidana korupsi. Hubungan tersebut

bisa saja berupa atasan-bawahan, pemasok-pemberi kerja, penyuruh-disuruh, dan

lainnya. kapan saksi mengenal si pelaku, dengan cara apa saksi mengenal, dalam

hubungan apa perkenalan itu terjadi hingga pewawancara dapat mengambil simpulan

bahwa saksi memberikan keterangan yang jujur dan akurat.

Dalam wawancara, pewawancara harus juga senantiasa mengamati gerak

perilaku saksi mengenai apakah ia memberikan keterangan yang jujur atau saksi telah

berbohong atau mencoba mengalihkan perhatian untuk menipu atau membelokkan

perkara. Hal yang perlu diperhatikan adalah bilamana si pewawancara telah memiliki

bekal yang cukup atas perkara yang ditanganinya, maka hasil wawancara akan

memiliki suatu daya guna dan hasil guna yang tinggi. karena itu, di akhir wawancara

akan ditutup dengan kalimat khas, apakah saudara bersedia memberi keterangan lagi

bilamana dibutuhkan? Apakah saudara perlu memberi keterangan tambahan, sebelum

kita akhiri wawancara ini?

Berkaitan dengan pertanyaan apakah pemberi keterangan jujur atau berbohong,

John Reid mengembangkan instrumen evaluasi yang diberi nama Behavior Symptom

Analysis (BSA). Reid yang dikutip kembali oleh Tuanakotta (2010, 505) mengatakan

bahwa terdapat beberapa tingkat (level) atau beberapa saluran (channel) komunikasi

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

242

yang dilakukan manusia. Makna atau maksud yang sebenarnya dari ucapan-ucapan

seseorang akan diperkuat (amplified) atau diubah (modified) oleh berbagai saluran

tadi, seperti kegagapan (speech hesitancy), sikap tubuh (body posture), gerak tangan

(hand gestures), mimik wajah (facial expression), atau nada suara (tone of voice).

Reid atas order dan pembiayaan dari kepolisian Chicago melakukan penelitian

mengenai perilaku tersangka yang menceritakan kebenaran (truthful suspects) dan

kebohongan (deceptive suspects) di luar pemakaian polygraph. Reid kemudian

menyimpulan bahwa terdapat tiga tingkat (level) atau saluran (channel) yang

digunakan seseorang dalam berkomunikasi, yaitu verbal channel, paralingustic

channel dan nonverbal channel

Verbal channel adalah ucapan yang keluar dari mulut seseorang, pilihan kata, dan

susunan kata-kata yang digunakannya untuk mengirim pesan (massages). Subjek

yang jiwanya sehat dan berinteraksi sosial secara baik dan normal akan mengalami

kecemasan (anxiety) ketika ia berbohong. Karena ia didera ketakutan, ia lalu khawatir

kebohongannya itu akan terungkap. Apapun penyebabnya, ketika subjek berbohong

dalam wawancara, gejala-gejala perilakunya mencerminkan kesadarannya untuk

menekan atau menghilangkan kecemasannya itu. Pada dasarnya pikiran dan tubuh

kita bekerja bersama-sama untuk mengurangi atau menghilangkan kecemasan tadi.

Paralingustic channel, adalah ciri-ciri percakapan (characteristic of speech) di luar

ucapan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ucapan yang makna tidak

sesuai dengan apa yang diucapkan. Misalnya, darling hari ini masakanmu uueenak

sekali, padahal masakan itu sama sekali tidak enak. Ciri-ciri percakapan seperti ini

atau paralinguistic behavior yang harus diamati oleh pewawancara. Verbal channel

lebih bisa dikendalikan, paralinguistic channel ini sulit dikendalikan dan liar. Saluran ini

lebih banyak terkontaminasi oleh faktor-faktor eksternal dibandingkan dengan saluran

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

243

verbal. Karena itu paralingustic behavior merupakan sumber terbaik untuk mendeteksi

apakah seseorang itu melakukan kebohongan atau jujur.

Ada baiknya, di sini akan saya uraikan hasil penelitian Reid yang sangat berguna

bagi evaluasi atas suatu wawancara. Ada beberapa simpulan Reid, bahwa suatu

wawancara akan direspon oleh subjek dengan berbagai reaksi. Reaksi itu antara lain

adalah response latency, early response, response lenght, response delivery,

continuity of the response, erasure respon dan nonverbal response.

Hasil penelitian Reid menyatakan bahwa seseorang yang jujur akan merespon

jawaban rata-rata dalam 0,5 detik sedang seseorang yang sedang berbohong rata-rata

merespon jawaban dalam waktu sekitar 1,5 detik (response latency atau masa

keheningan). Karena itu, jika untuk menjawab suatu pertanyaan yang sederhana saja,

respon jawaban tersangka itu tertunda lama, atau menjawab dengan mengulang

pertanyaan, atau meminta klarifikasi atas pertanyaan yang diberikan kepadanya, atau

meminta pertanyaan tersebut diulang kembali, maka patut diduga bahwa ia

memberikan jawaban yang tidak sebenarnya (berbohong). Tersangka berpikir keras

untuk menjawab pertanyaan yang aman bagi dirinya (reptile instink).

Early Response adalah menjawab lebih awal. Ini merupakan salah satu

kategori dari paralingusitic behavior yang berkaitan dengan ukuran waktu dari suatu

jawaban (response time). Artinya, tersangka tidak menunggu pertanyaan itu selesai,

tetapi pertanyaan yang belum selesai langsung dijawab (karena ia gugup). Early

responses ini pada subjek yang jujur akan menjawab lagi setelah pertanyaan selesai,

namun untuk subjek yang berbohong dia tidak akan mengulangi lagi jawabannya.

Suatu jawaban yang merupakan bantahan atas pertanyaan yang memojokkannya atau

pertanyaan yang menuduhnya. Jawaban terlalu buru-buru itu merupakan bentuk

bantahan (denial response) yang mengandung kebohongan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

244

Response Lenght (panjang jawaban). Seseorang yang jujur akan menjawab

dengan uraian yang panjang bahkan kadang menambahkannya dengan informasi

yang tidak ditanyakan. Sebaliknya seseorang yang berbohong akan menjawab dengan

jawaban pendek-pendek atau sekedar memnuhi syarat menjawab saja. Namun, pada

seseorang yang berbohong bila menjawab panjang, isi jawaban akan cenderung

mengalihkan topik pertanyaan atau jawaban ke luar dari konteks pertanyaan.

Response Delivery (penyampaian jawaban). Penyampaian jawaban terlihat

dari kecepatan (rate), tinggi-rendah nada (pitch), dan kejelasan (clarity). Hal-hal

semacam itu bisa sejalan, konsisten, berkesesuaian dengan apa yang dikatakan,

namun bisa juga bertentangan. Ketika seseorang mengungkapkan secara jujur, rate

dan pitch akan meningkat. Bisa juga, tanggapan jujur dengan luapan kemarahan

sering disampaikan dalam penggalan kata-kata (clipped words) yang jelas, tegas dan

mantap. Selanjutnya, pada subjek yang jujur ingin pewawancara memahami

jawabannya sehingga ia akan berbicara dengan jelas dan dengan voume yang tepat.

Subjek yang berbohong cenderung menjawab dengan suara pelan, tidak jelas dan

menggumam (mumble).

Continuity Of The Response (keberlanjutan jawaban). Jawaban yang jujur

akan mengalir dengan bebas, jawaban itu merupakan suatu tanggapan spontan dan

apa adanya. Jawaban yang mengalir sebagaimana suatu alur pikir. Satu kalimat

disusul dengan kalimat yang lainnya secara sambung menyambung, dan tidak

meloncat-loncat dari satu alur ke alur lainnya. sebaliknya, dalam jawaban seseorang

yang berbohong, jawaban akan berperilaku ―berhenti – kemudian – jalan lagi‖ (―stop –

and start” behavior).

Erasure Behavior (perilaku penghapusan). Dalam komunikasi paralinguistic,

terdapat perilaku yang kedengarannya tidak menyenangkan, lalu ditindaklanjuti atau

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

245

dihapus dengan kalimat cuman bercanda, jangan dimasukkan hati ya. Kalimat terakhir

ini biasanya diikuti dengan gerakan alis atau senyum yang mengembang. Kalimat

cuman bercanda, jangan dimasukkan hati ya merupakan erasure behavior. Bisa juga

setelah kalimat itu diikuti dengan tertawa kecil, batuk-batuk kecil, atau berdehem.

Nonverbal Behavior (perilaku nonverbal). Dalam berhadapan dengan suatu

ancaman yang tinggi, seseorang akan melakukan tiga pilihan, yakni melawan (fight),

melarikan diri (flight) atau berdiam diri (freeze). Pilihan reaksi akan sangat tergantung

nyali seseorang itu sendiri. Dalam perilaku nonverbal, akan dapat diamati dari postur,

gerak tangan, gerak kaki, mimik muka dan tatap mata.

Tabel 6-2 NAMA TERSANGKA, JUMLAH SAKSI DAN ANGKA PKKN

NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI

JUMLAH SAKSI YANG MEMBERIKAN KETERANGAN

ANGKA PKKN

Syamsul Bahri

22 orang

Rp.489.334.493.

Nazaruddin Sjamsuddin

23 Orang

Rp.14.193.000.000

Abdullah Puteh

28 orang

Rp.10.087.500.000

Bambang Budiarto

27 orang saksi

Rp.20.076.475.133

Rustam Efendi Sifabutar

25 Orang

Rp.10.621.101.549

Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber

Selanjutnya, kontak mata merupakan salah satu nonverbal yang penting untuk

dievaluasi. Subjek yang jujur, pada umumnya tidak takut menatap mata pewawancara.

Dalam hat tatap mata, paling tidak terdapat empat hal untuk menilai apakah seseorang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

246

itu berbohong atau jujur dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pertama adalah,

subjek yang tidak berani menatap mata kepada pewawancara biasanya

menyembunyikan sesuatu. Namun perlu dipertimbangkan juga ―kerusakan mata‖

subjek (seperti subjek bermata juling, memiliki rasa rendah diri dan lainnya). kedua

adalah pewawancara sebaiknya tidak menantang untuk melakukan tatap mata kepada

subjek, karena akan kehilangan kesempatan untuk mengamati perilaku nonverbal

subjek. Ketiga adalah, pewawancara cukup mengamati secara casual agar membuat

subjek tetap nyaman. Tatap mata casual namun tajam akan dapat memberikan

gambaran apakah subjek menghindar dari kontak mata dengan pewawancara.

Keempat adalah, baik subjek maupun pewawancara tidak boleh memakai kacamata

hitam. Karena kacamata hitam tidak dapat untuk menangkap kejujuran jawaban subjek

maupun pertanyaan jujur dari pewawancara.

Sebagai penutup dalam alat keterangan saksi, bahwa dalam suatu penanganan

tindak pidana korupsi, banyak saksi yang harus diminta keterangan (lihat tabel 6.1).

Dengan jumlah saksi yang sedemikian banyak, tentu auditor dan investigator niscaya

memerlukan keahlian dan ketrampilan dalam teknik-teknik berwawancara. Tanpa

teknik piawai, tentu penanganan tindak pidana korupsi akan mengalami banyak

kendala, karena dari keterangan saksi-saksi akan banyak menemukan arah, petunjuk

dan kemana pemeriksaan harus dijalankan.

6.3.2. Alat Bukti Keterangan Ahli

Alat bukti keterangan ahli merupakan suatu keterangan yang diberikan oleh

seseorang yang memiliki keahlian khusus (profesional) mengenai sesuatu yang

diperlukan dalam rangka membuat terang benderang dan kejelasan suatu perkara

tindak pidana korupsi. Keahlian khusus yang dimiliki itu berhubungan dengan ilmu

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

247

pengetahuan yang telah dipelajarinya secara mendalam dan komprehensif tentang

sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.

Dengan demikian, keterangan ahli biasanya ditunjukkan dengan sertifikasi dari

ilmu pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman atas keilmuan yang pernah

dipunyai.misalnya, ahli PKKN biasanya oleh diminta menunjukkan ijasah akuntansinya

(akuntan), Certificate Fraud Examiner (CFE), Certificate Public Management

Accountant (CPMA), Certificate Financial Analyst (CFA) dan sertifikat lain yang

dimilikinya. Kalau ahli bersala dari kantor akuntan publik oleh hakim akan diminta untuk

menunjukkan Register akuntan Publik, ijin praktek akuntan publik, Certified Public

Accountant (CPA) dan sertifikasi lainnya yang dimiliki. Semua itu untuk mengukur

keahlian dan kepakaran serta luas pengetahuan yang dimiliki pemberi keterangan ahli.

Keterangan ahli ini bisa berasal dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk

memperkuat Dakwaannya (sebagai keterangan memberatkan atau getuige a charge).

Namun bisa juga keterangan ahli ini berasal dari terdakwa (keterangan meringankan

atau getuige a de-charge).

Pengalaman saya mengikuti beberapa sidang di pengadilan, bekal seorang ahli

yang diminta keterangan ahli-nya di pengadilan itu, tidak hanya cukup dengan bekal

kepakaran dan kedalaman ilmu pengetahuan serta profesionalitas yang dimilikinya

saja, namun perlu juga memiliki keberanian atau nyali dalam menghadapi tekanan

(intimidasi) dan gempuran argumentasi yang dilakukan pihak lawan. Ia niscaya

memiliki bekal ketangguhan untuk bisa survive dari perang logika yang biasa

dimainkan advokat, serta tidak mudah patah berhadapan dengan pertanyaan-

pertanyaan rumit yang membombardirnya. Ia harus mempunyai kepercayaan diri tinggi

dan berpenampilan elegance tanpa terlihat arogan. Logika keilmuan, konsep-konsep,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

248

teori-teori yang dikuasainya menjadi senjata andalan dalam menangkis serangan-

serangan itu.

Dalam cross examination di pengadilan, ahli akan menghadapi situasi

persidangan yang boleh jadi bersifat konfrontasional. Namun, ahli harus selalu ingat

bahwa yang dilayani adalah ―sidang‖ dan bukan lawan yang akan menyeretnya pada

arus keterangan yang tidak menguntungkannya. Karena kadangkala keterangan dari

ahli, dengan berbagai argumentasi dan cara, advokat atau jaksa akan berusaha

mematahkan keterangan yang diberikannya itu. Misalnya, advokat atau jaksa

mengatakan bahwa terdapat kasus lain yang mirip dengan perkara yang sedang

berlangsung namun keterangan yang diberikan ahli tidak sama dengan keterangan

yang diberikan oleh ahli yang lain itu. Bisa saja dengan mencuplik teori tertentu

advokat atau Jaksa, menandingkan keterangan ahli dengan teori tersebut, bahkan teori

yang diberikan ahli sudah kuno dan tidak lagi dipakai.

Pengalaman menarik yang pernah saya alami sebagai pemberi keterangan ahli

di pengadilan Negeri Malang adalah, suatu pertanyaan menggelitik. Pertanyaan itu

sebenarnya sangat mudah dijawab tetapi sulit memahamkannya, karena saya tahu

persis bahwa pertanyaan ini mengarah pada suatu konsep yang berbeda dalam cara

memnadang fenomena, artinya terdapat perbedaan antara konsep akuntansi yang

digunakan sebagai dasar menyusun laporan keuangan dengan konsep dalam

memahami laporan keuangan dalam domain hukum.

Kasus itu adalah kasus dugaan terhadap penggelapan uang di sebuah Baitul

Maal Wa Tamwil di Malang. Pertanyaan hakim kepada saya adalah: coba saudara ahli

jelaskan, di laporan ini terdapat laba Rp.100 juta, tetapi uang kas yang ada di neraca

sebesar Rp.30 juta? Sebuah pertanyaan yang mudah saya jawab, kalau saja yang

bertanya ini adalah mahasiswa akuntansi, tetapi saat itu saya sedang berperan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

249

sebagai ahli yang diminta keterangannya dalam cross examination di pengadilan serta

berhadapan dengan hakim, jaksa dan advokat yang tidak begitu banyak memahami

konsep-konsep accrual basis, concervatism, going-concern, substance over form yang

terjalin secara berkelindan dan menjadi bagian tak terpisahkan, inheren serta niscaya

dalam laporan keuangan Baitul Maal Watamwil itu. Mereka yang berada dalam

persiadangan itu lebih memahami konsep laba tunai. Karena itu, pada akhir sidang,

saat Jaksa ditanya Ketua Majelis Hakim mengenai keterangan yang saya berikan,

jawaban sang Jaksa secara spontan adalah ―keterangan yang diberikan oleh ahli tidak

relevan‖

Selanjutnya, dengan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan

pengalaman, pada umumnya seorang ahli akan cenderung banyak bicara. Ia ingin

memberikan keterangan yang mendalam, penjelasan yang mendetail, dan informasi

yang sebanyak-banyaknya. Justru dengan jawaban yang panjang dan lebar itu akan

membuka peluang untuk membuat kesalahan. Sebaiknya, ahli memberikan keterangan

secukupnya, yang ditanyakan saja yang dijawab dengan jawaban singkat dan padat.

Karena ahli tidak berhadapan dengan murid-muridnya yang lagi menyimak untk

memperoleh pencerahan, tidak sedang mengajar di depan kelas, dan tidak sedang

mendemonstrasikan kepiawaian dan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki. Karena

itu sifat menggurui harus ditahan, atau over-dosis memberikan keterangan juga tidak

menguntungkan, karena pemberian keterangan yang demikian itu mungkin saja dan

boleh jadi dapat membuat pihak yang memerlukan keterangan merasa direndahkan,

dilecehkan bahkan bisa juga merasa dipermalukan.

Di samping ahli bisa dihadirkan ke pengadilan untuk memberikan keterangan

terhadap perkara yang disidangkan, ia juga dapat dihadirkan dalam rangka untuk hal-

hal yang bersifat klarifikasi pada istilah-istilah teknis dalam ilmu pengetahuan yang

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

250

dkuasainya. Misalnya untuk menjelaskan apa arti restricted fund dan non-restricted

fund yang ada dalam Neraca LSM? Apa beda laporan aktivitias LSM dengan

perhitungan hasil usaha Koperasi? Dan klarifikasi lainnya yang bersifat teknis semata

Pada tabel 6.3 dapat dilihat bahwa dalam kasus tindak pidana korupsi, semua

keterangan ahli itu akan mengarah dan memperjelas pada persoalan angka keuangan

yang disimpangkan sebagai akibat dari perbuatan hukum. pertanyaan-pertanyaan dan

sanggahan-sanggahan dalam pemeriksaan silang (cross examination) di pengadilan,

akan senantiasa berfokus dan menegrucut pada persoalan yang berkaitan dengan

angka-angka keuangan, meskipun soal penyimpangan aturan hukum juga menjadi

bagian yang tak terpisahkan.

Tabel 6-3 NAMA TERSANGKA, NAMA AHLI BPKP ANGKA PKKN

NAMA TERSANGKA

TINDAK PIDANA KORUPSI

NAMA AHLI DARI BPKP

ANGKA

HASIL PKKN

Syamsul Bahri

Tri Agung Sumartono

Rp.489.334.493.

Nazaruddin Sjamsuddin

Slamet Tulus Wahyana

Rp.14.193.000.000

Abdullah Puteh

Handoyo Sudrajat

Rp.10.087.500.000

Bambang Budiarto

Ernadhi Sudarmanto

Rp.20.076.475.133

Rustam Efendi Sidabutar

Hendri Juliver Sinaga

Rp.10.621.101.549

Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah keterangan akan selalu menjadi

pertimbangan hukum bagi penjatuhan hukuman si terdakwa? Jawabannya adalah tidak

selalu menjadi bagian pertimbangan bagi putusan hakim. Karena apakah keterangan

dimasukkan atau tidak dalam putusan hakim akan berpulang pada keyakinan dan

nurani hakim itu sendiri, artinya keterangan ahli bisa dipakai salah satu pertimbangan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

251

putusan tetapi bisa juga sebagian atau sama sekali diabaikan. Kita akan bisa melihat

apakah keterangan ahli dipertimbangkan atau tidak, pada putusan hakim. Apakah

dalam putusan tersebut dalam hal ―menimbang‖ dimuat atau ditemukan mengenai

keterangan-keterangan yang diberikan oleh ahli atau tidak.

6.3.3. Alat Bukti Surat

Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni

surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah.

Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis seperti: Berita Acara

Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan

ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, laporan hasil audit investigatif

(AI), laporan penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dan termasuk juga

kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian lain.

Tabel 6-4 KONSEP ATAU METODA PKKN

NOMOR

KONSEP ATAU METODA PKKN

1.

Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian

2.

Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi

3.

Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu

4.

Penerimaan yang menjadi hak negara tetapi tidak disetorkan ke kas negara

5.

Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu

Sumber: Tuanakotta (2009, 144)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

252

Dalam hubungannya dengan bukti surat, dalam perkara tindak pidana korupsi

yang paling menentukan adalah bukti surat beruipa laporan PKKN. Artinya dengan

terformulasikannya angka kerugian keuangan negara (biasanya dilakukan BPKP),

perkara tindak pidana korupsi menjadi jelas dan terang benderang. Jelas angka

penyimpangannya dan jelas cara-cara yang digunakan dalam penyimpangan tersebut.

Tuanakotta (2009, 143) mengatakan bahwa selama periode tahun 2007, KPK

telah membuat kajian tentang penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN)

dengan menggunakan 15 kasus tindak pidana korupsi sebagai sampelnya. Lima

konsep atau metoda perhitungan seperti terlihat pada tabel 6.4. dielaoborasi. Hasil

penelitian itu menyimpulkan bahwa pertama adalah penerapan metoda PKKN

seringkali tidak konsiten, meskipun secara umum penyimpangannya tidak jauh

berbeda. Tidak terlihat adanya suatu pola PKKN yang dapat digunakan sebagai

pedoman atau acuan dalam menghitung PKKN tersebut.

Kedua adalah hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum atau

penyalahgunaan wewenang, sarana dan kesempatan dengan timbulnya kerugian

keuangan negara, sering tidak dapat dilihat dengan jelas. Karena kadangkala tidak

mudah mengidentifikasi perbuatan yang benar-benar mengakibatkan kerugian

keuangan negara, apalagi jika dikaitkan dengan orang yang melakukan perbuatan

melawan hukum atau menyalahgunkan wewenang, sarana dan kesempatan yang

dipunyainya tersebut. Pertanyaannya adalah apakah hubungan kausalitas harus

dibuktikan? Lalu apakah ahli yang menghitung PKKN harus yakin terlebih dahulu

adanya hubungan kausalitas antara perbuatan (melawan hukum) dengan kerugian

keuangan negara? Dua pertanyaan itu tidak mudah untuk memperoleh jawabanya.

Ketiga, pertanyaan sulit berikutnya adalah mengenai apakah suatu kerugian itu

menjadi bagian dari kerugian keuangan negara atau bukan? Terdapat tiga pertanyaan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

253

yang perlu kepastian yakni apakah pengadaan barang suatu Perjan (perusahaan

jawatan), pelepasan aset tetap milik BUMN, PNBP yang telah direkayasa menjadi

bagian kerugian keuangan negara atau bukan?

Tabel 6-5 NAMA TERSANGKA, BARANG BUKTI ANGKA PKKN

NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI

BARANG BUKTI

ANGKA PKKN

Syamsul Bahri

- PKKN - addendum No. 05 dan 06 - Nota Dinas Pengajuan Pencairan Anggaran - SPP dan SPMU - RASK dan DASK TA 2004 - Notulen Rapat tgl 5-2-2004

Rp.489.334.493.

Nazaruddin Sjamsuddin

- PKKN - Bukti pengeluaran uang - Kwitansi pembayaran premi asuransi dari BUMIDA - Polis asuransi Bumida - Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan lainnya

Rp.14.193.000.000

Abdullah Puteh

- PKKN - Qanun NAD - DIPDA, SKO - Surat rekomendasi Gubernur atas PL pengadaan

helikopter - Surat perjanjian Pembelian helicopter - Surat Keputusan Gubernur NAD - Saving Account Bukopin - Berita Acara Serah Terima - Akte Notaris - Dan lainnya

Rp.10.087.500.000

Bambang Budiarto

- PKKN - Nota Dinas - SK KPU tentang pengadaan buku - SPK Percetakan buku - Dan lainnya

Rp.20.076.475.133

Rustam Efendi Sifabutar

- PKKN - Uang tunai - Kwitansi - Bukti transfer - DASK DKI Tahun 2004 - RKS, SPP dan SPMK - 60 dokumen lainnya

Rp.10.621.101.549

Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

254

Keempat adalah, pertanyaan berikutnya belum ada kepastian jawaban adalah

apakah dalam perkara tindak pidana korupsi diperlukan seorang ahli yang khusus

menghitung kerugian keuangan negara? Apa kompetensi dan kriteria yang dimiliki ahli

tersebut? Profesi apa yang paling tepat bagi penghitungan kerugian keuangan negara?

Kelima adalah sebagian besar bukti yang digunakan ahli dalam menghitung

PKKN berasal dari penyidik, pertanyaannya adalah apakah ahli tersebut objektif dan

independen? Lalu metoda perhitungan seperti apa yang harus digunakan ahli agar

hasil PKKN bisa diterima (acceptable) di pengadilan?

Pada tulisan lain, Tuanakotta (2010, 178) juga mengatakan bahwa terdapat

empat sumber asal usul atas terjadinya kerugian keuangan negara tindak pidana

korupsi. Asal usul itu diakronimkan dengan yakni simbol “R-E-A-L”. [R]eceipt

kerugian negara yang berasal dari penyimpangan penerimaan negara seperti pada

berbagai persoalan PNBP (penerimaan negara bukan pajak). [E]xpenditure kerugian

atas pengeluaran pada kegiatan fiktif. [A]ssets kerugian akibat penyimpangan dari

pengadaan barang (jasa), pelepasan aset, pemanfaatan aset, dan penempatan aset.

Selanjutnya [L]iability kerugian keuangan negara dengan membuat seakan-akan atau

seolah-olah ada kewajiban yang kemudian dibayar (Tuanakotta, 2009, 157-182).

R-E-A-L yang disebut sebagai ―Pohon Perhitungan Kerugian Keuangan Negara‖

(PKKN trees). Karena itu, taksonomi atas tindak pidana korupsi akan eksistensinya

akan mengacu pada salah satu dari empat macam dari PKKN tress tersebut.

6.3.4. Alat Bukti Petunjuk

Pada dasrnya, alat bukti petunjuk dihasilkan dari melakukan persesuaian

antara alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat dan alat bukti

keterangan terdakwa. Persesuaian dan kesepaduan itu membangun suatu sintesis dan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

255

pemahaman terhadap eksistensi tindak pidana korupsi. Alat bukti petunjuk bukan

merupakan alat bukti yang telah ada, tetapi ia merupakan bentukan hasil sinkronisasi

atas berbagai alat-alat bukti dan barang bukti yang menghasilkan suatu simpulan. Jadi

alat bukti petunjuk akan berupa simpulan atas adanya tindak pidana korupsi.

Tabel 6-6 NAMA TERSANGKA, ALAT BUKTIDAN BARANG BUKTI ANGKA KERUGIAN NEGARA

NAMA TERSANGKA

TINDAK PIDANA KORUPSI

ALAT BUKTI

DAN BARANG BUKTI

ANGKA PKKN

Syamsul Bahri

- Nota Dinas Pengajuan Pencairan Anggaran - Surat Permintaan Pembayaran (SPP) - RASK dan DASK Tahun 2004 - Notulen Rapat 05 Februari 2004 - Addendum 05 dan 06 - Hasil PKKN - Keterangan saksi - Keterangan ahli

Rp.489.334.493..

Nazaruddin Sjamsuddin

- Amplop coklat berisi uang - Tas plastik putih berisi uang - Traveller cheque - Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya

Rp.14.193.000.000

Abdullah Puteh

- LOI (letter of intent) - Surat Pernyataan Dana Special Treatment atas dana

alokasi perlakuan khusus. - Bukti transfer

- Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya

Rp.10.087.500.000

Bambang Budiarto

- SK KPU tentang pengadaan buku - SPK Percetakan buku - Rekening Koran BRI KCP Cikajang - Uang tunai - Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya

Rp.20.076.475.133

Rustam Efendi Sifabutar

- Uang tunai - Kwitansi - Bukti transfer - DASK DKI Tahun 2004 - Kontrak, SPMK dan RKS - STNK, BPKB, Buku kir, - Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya

Rp.10.621.101.549

Sumber: Berbagai sumber yang saya olah sendiri

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

256

Alat bukti petunjuk ini, dalam aturan hukum di Amerika atau negara-negara

yang menggunakan aliran common law disebut dengan indirect evidence. Keterangan

saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa dan barang bukti akan membangun

alat bukti petunjuk. Wawancara dan interogasi akan memiliki peran signifikan dalam

membangun alat bukti petunjuk ini.

Logika inferensial (inductive) berbasis fakta-fakta, data-data, keterangan dan

informasi serta barang bukti menjadi bahan baku utama bagi terciptanya suatu alat

bukti petunjuk. Meskipun demikian, menemukan dan menyimpulkan alat bukti petunjuk

juga tak dapat dilepaskan dari logika deduktif.

Arsitektur alat bukti petunjuk ini akan banyak mengandalkan pada penggunaan

logika rasional, analisis-sentesis, thesis-antithesis, dan opini dari keterangan ahli yang

akan memiliki karakter ―sains‖. Dengan jumlah dan bervariasinya barang bukti yang

didapat, pemehaman mendalam atas variabilitas modus operandi tindak pidana

korupsi, perilaku (behavior) tersangka, rekaman telepon yang disadap, foto, analisis

inferential yang rasional, akan membangun peningkatan kualitas dan validitas dari alat

bukti petunjuk ini. Kesimpulan akhirnya, alat bukti petunjuk akan dapat meyakinkan

hakim bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan terdakwalah si pelakunya itu.

6.3.5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa, pada umumnya dihasilkan dari interogasi.

Interogasi adalah tipe wawancara yang khas. Interogasi bertujuan untuk memperoleh

pengakuan si tersangka. Kapan suatu wawancara akan berubah menjadi suatu

interogasi, tidak selalu mudah untuk dipastikan dan ditentukan.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

257

Interogasi adalah perangkat penting dan sangat menentukan bagi terkuaknya

berbagai hal dalam peristiwa perkara tindak pidana korupsi. Seringkali, saksi dan bukti

terbaik bagi tindak kejahatan adalah pengakuan dari si pelaku itu sendiri.

Dalam hal teknik interogasi, interogator dapat menerapkan berbagai teknik

untuk memancing pengakuan, namun dilemma yang dihadapi adalah ―semakin hebat

teknik yang dipakai, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan pengakuan dari

si pelaku, tetapi semakin besar pula resiko pengakuan itu palsu dan tidak akurat‖.

Interogasi biasanya dilakukan saat si pelaku telah ditetapkan statusnya sebagai

tersangka atau saat ia ditahan atau saat penyidikan berlangsung. Keberhasilan

interogator dalam mengorek pengakuan akan banyak tergantung pada kemampuannya

untuk menciptakan dominasi psikologis pada si tersangka.

Metoda Good and bad interogator

Metode yang biasa dilakukan interogator adalah menampilkan drama dengan

aktor ―good and bad interogator”. Ini adalah cara yang umum dan biasa dilakukan oleh

interogator. Di samping cara itu masih terdapat cara-cara lain yang dapat dilakukan

interogator, yakni cara-cara seperti: cara langsung, cara emosional, cara otoriter, dan

cara menipu. Cara langsung adalah mengapa interogator berada di ruangan itu dan

langsung menanyakan detail-detail dari perkara yang terjadi. Cara emosional adalah

interogator mencoba memainkan emosi si tersangka (rasa takut, bersalah, simpati, iri,

simpati dan lainnya). Cara otoriter adalah mencoba menggunakan kekuatan atau

kekuasaan interogator untuk menekan si tersangka agar mengaku. Cara menipu

adalah interogator mengatakan telah mempunyai bukti-bukti yang cukup banyak atas

kejahatan yang dilakukan tersangka. Interogator memiliki segudang pengakuan dari

teman dan/atau bawahan tersangka. Bahkan interogator juga memperoleh sidik jari si

tersangka atas jejak kejahatannya. Bisa juga interogator melakukan kebohongan-

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

258

kebohongan untuk mendapatkan pengakuan si tersangka. Misalnya saja, interogator

mengatakan bahwa - sambil menunjuk alat di ruangan interogasi itu, yang sebenarnya

hanyalah mesin photocopy biasa - dikatakannya sebagai sebuah alat pendeteksi

kebohongan baru yang sangat canggih dan dapat mencatat suara si tersangka telah

melakukan kebohongan.

Metoda tertutup-terbuka dan langsung tidak langsung

Di samping metoda interogasi yang saya uraikan sebelumnya, terdapat tipe-tipe

pertanyaan interogasi, yakni tipe terbuka-tertutup (open-closed) dan tipe langsung-

tidak langsung. Pertanyaan tertutup adalah dengan jawaban ―ya‖ dan ―tidak‖, misalnya

adalah pertanyaan: apakah anda telah membaca isi addendum kontrak 05 dan 06

sebelum anda menandatanganinya? Jawaban tertutup akan memaksa si tersangka

untuk menjawan ―ya‖ atau ―tidak‖. Contoh lain, pertanyaan tertutup adalah:

Penandatanganan kontrak 05 dan 06 itu di ruangan bupati ya? Namun, jika

pertanyaan dilakukan dalam tipe pertanyaan terbuka, pertanyaan yang keluar adalah :

―coba anda bisa jelaskan mengenai addendum kontrak 05 dan 06 itu?‖ pertanyaan

terbuka akan menghasilkan jawaban yang panjang dan mengungkapkan banyak

informasi dibanding pertanyaan yang bertipe tertutup. Pertanyaan tertutup lebih efektif

untuk mengatur dan mengendalikan interogasi dibanding pertanyaan terbuka, tetapi

pertanyaan tertutup menghasilkan informasi yang sedikit.

Pertanyaan langsung lebih effektif menghasilkan respons khusus dibanding

pertanyaan tidak langsung. Pertanyaan langsung juga akan menghasillan banyak

ketegangan dan respons yang tidak benar . pertanyaan bisa dikombinasikan, pertama-

tama dilakukan pertanyaan tidak langsung untuk mengurangi ketegangan dan

menciptakan suasana keakraban, mewujudkan kondisi kedekatan batin dan

mengarahkan pengakuan bersalah. Di samping itu pertanyaan tidak langsung juga

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

259

dapat menciptakan suasana dan kondisi agar tersangka lebih rentan terhadap

pertanyaan langsung. Pertanyaan langsung, tersangka akan dapat menangkap secara

jitu dan menebak secara persis terhadap informasi macam apa yang dicari interogator

darinya. Pertanyaan tidak langsung akan menjebak tersangka untuk mengungkapkan

informasi yang memberatkan. ―Bukankah anda berada di KAP Koento di jalan

Dirgantara, sebelum addendum kontrak 05 dan 06 ditandatangani‖? adalah pertanyaan

langsung. ―Siapa saja yang berada di ruang KAP Koento, saat anda di sana‖? adalah

pertanyaan tidak langsung.

Metoda Psikologikal

Teknik yang memakai ukuran respons psikologis sebagai indikator atas deteksi

kebohongan. Pendekatan-pendekatan yang memadukan aspek psikologi dan biologi.

Thesisnya adalah tindakan kebohongan akan menciptakan konflik yang secara sadar

yang memicu kepanikan atau ketakutan dalam diri si tersangka, yang kemudian diikuti

dengan perubahan psikologikal yang dapat diukur dan diinterpretasikan.

Uji polygraph. Yang sering disebut sebagai uji kebohongan, polygraph

merupakan metoda yang paling dikenal luas. Uji poligrap mencakup serangkaian

pertanyaan ya/tidak yang direspons tersangka ketika ia dihubungkan ke sensor-sensor

yang mengirimkan, via kabel ke instrumen, reaksi fisiologis dari tersangka. Teknologi

analog atau digital digunakan untuk merekam perubahan dalam pola kardioviskular,

pernafasan dan elektrodermal (kulit) tersangka. Hasilnya kemudian digunakan untuk

menentukan penipuan dan didasarkan pada perbandingan yang dilakukan antara

respons fisiologis tersangka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang relevan (yang

langsung menanyakan apakah tersangka melakukan kejahatan) dan pertanyaan

pembanding (yang dirancang untuk memberikan respons kebenaran atau

kebohongan). Jika tersangka menunjukkan reaksi secara konsitensi terhadap

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

260

pertanyaan relevan dibanding dengan pertanyaan pembanding, maka akan dianggap

jawabannya jujur. Sebaliknya bilamana tersangka menunjukkan reaksi tidak konsitensi

maka akan dianggap berbohong.

Kritikan atas uji poligrap menyatakan bahwa respons fisiologis yang diukur tidak

berhubungan dengan kebohongan, karena rasa takut ditetapkan sebagai tersangka

dan gelisah karena diperiksa juga bisa mempengaruhi respons fisiologis. Demikian

juga, perubahan fisiologis dan psikologis bisa saja dikendalikan oleh beberapa

tersangka sehingga memberi hasil yang salah. Sebagai konsekuensinya, meskipun uji

poligrap dalam hal mendeteksi ketakutan, namun antara kebohongan, konflik dan

reaksi tubuh dan emosi terlalu samar untuk mendukung klaim yang tinggi atas

akurasinya.

Computerized Voice Stress Analyzer (CVSA). CVSA adalah alat yang

mengukur tekanan yang diinduksi secara fisiologi tetapi hanya dalam suaranya saja.

CVSA itu disebut juga sebagai Psikological Stress Evaluator (PSE). CVSA atau PSE

ini didasarkan pada teori bahwa variasi dalam suara akan berubah jika tersangka

mengalami tekanan psikologis, dan suara itu dapat dideteksi dengan menganalisis

suara yang keluar dari mulut tersangka. Bersamaan dengan pertanyaan yang diberikan

kepada tersangka, sebuah mikrofon akan mencatat respon tersangka pada kertas

grafik dengan garis-garis melengkung. Puncak lancip mengdentifikasikan kebenaran,

sebaliknya puncak datar mengidentifikasikan kebohongan. Modulasi frekuensi yang tak

sengaja atau ―microtremors‖ di suara kemudian diukur oleh mesin dan

mengindikasikan tekanan yang dengan sendirinya akan dapat mengindikasikan

kejahatan yang dilakukan subjek.

Magnetic Resonance imaging atau disebut juga sebagai ―menyidik jaringan

otak‖. Metoda ini didasarkan pada teori bahwa laporan yang teliti mengenai sebuah

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

261

kejahatan tersimpan di otak pelakudan mungkin dapat digali kembali. Pengembalian ini

meliputi tiga tipe stimulus yang berbeda atau event-related potenstial (ERPS). Target

yang adalah penampakan, suara, atau stimuli lain yang diketahui tersangka;

pemeriksaan adalah stimuli yang hanya diketahui tersangka; dan irrelevant adalah

stimuli yang tidak diketahui tersangka. Untuk menentukan apakah seseorang

tersangka menyembunyikan pengetahuan/memori yang khusus mengenai

kejahatannya, elektroda ditempelkan ke kepala untuk mengukur reaksi eletrofisiologis

dari otak terhadap kata-kata, ungkapan, atau gambar khusus yang di-sort ke sebuah

layar. Gelombang otak yang dipancarkan oleh reaksi tersangka kemudian dibaca dan

diinterpretasikan. Para kritikus atas metoda MRI ini mengatakan bahwa, MRI hanya

memunculkan sidik jari otak yang mendemokan atau memunculkan hanya validasi

eksternal yang terbatas, padahal validasi internal ruangnya masih besar sekali ( seperti

pemunculan gunung es).

Dalam encyclopedia penegakan hukum yang ditulis Sullivan dan Marie (2010,

63-67) seperti yang uraikan di muka, sebenarnya masih banyak lagi metoda lain yang

dapat dileborasi dalam penanganan kejahatan, seperti: Thermal Imaging, Behavior

Detection, Facial Action Coding System, Neurolinguistic Programming Di samping itu

juga terdsapat beberapa teknik paralungistic seperti penghitungan jumlah kata,

grafologi, analisis isi dan lainnya yang sebagian telah saya uraikan pada penjelasan

sebelumnya.

Namun, apapun metoda ―scientific‖ uji dan evaluasi kebohongan itu dibangun,

ternyata sekarang ditemukan suatu terapi suntikan yang dapat melumpuhkan ekspresi

wajah. Seseorang yang telah disuntik senyawa botox (botulinum toxin) akan

berdampak, wajah seseorang itu akan sulit, menunjukkan ekspresi emosional seperti

layaknya orang berbohong, Ketika seseorang berbohong biasanya terlihat ada otot-otot

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

262

wajah yang berubah secara otomatis. Begitu pula ketika kita merasa sedih, marah atau

senang, otot-otot wajah akan bergerak untuk menampilkan perasaaan dengan kuat.

Otot-otot wajah akan bergerak dan merespon perasaan kuat itu dengan pantulan

wajah yang ―sumringah‖ (bila hati bersuasana senang), ―gelisah‖ jika dalam kondisi

ketakutan atau berbohong, atau ―muka perang, ditekuk persis kayak onta‖ manakala

lagi sedang marah atau jengkel.

Dengan demikian, dengan ditemukannya botox, berkonsekuensi bahwa uji dan

evaluasi kebohongan secanggih apapun teknik pengejian dan pengevaluasian itu,

belum tentu secara efektif untuk dapat memastikan bahwa si tersangka telah

berbohong. Pengguna suntikan botox, emosi atau perasaan yang berubah itu tidak

dapat ditampilkan secara maksimal. (Majalah Forum, 04 Juli 2010, 72)

Tabel 6-7 NAMA TERSANGKA, KETERANGAN DAN PENGAKUAN ANGKA PKKN

TINDAK PIDANA KORUPSI

KETERANGAN DAN PENGAKUAN

ANGKA

HASIL PKKN

Syamsul Bahri - PGM Kigumas Malang

Menolak atas sangkaan bahwa kontrak 05 dan 06 pekerjaannya fiktif

Rp.489.334.493.

Nazaruddin Sjamsuddin – KPU Pusat

Menolak atas dakwaan adanya penyimpangan uang kick-back dan pengadaan jasa asuransi PT.BUMIDA

Rp.14.193.000.000

Abdullah Puteh – Gubernur NAD

Menolak penyimpangan prosedur pengadaan helikopter terjadi dan mark-up harganya

Rp.10.087.500.000

Bambang Budiarto – KPU Pusat

Menolak pengadaan buku-buku KPU terjadi penyimpangan dan mark-up

Rp.20.076.475.133

Rustam Efendi Sifabutar – Pemda DKI

Menolak penyimpangan prosedur pengadaan bus-way dan mark-up harga

Rp.10.621.101.549

Sumber: Berbagai sumber yang saya olah sendiri

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

263

Dilemma interogasi

Terdapat dilemma yang melingkupi interogasi. Tugas interogator adalah untuk

mendorong dan mempengaruhi pengakuan pada tersangka yang enggan mengaku.

Interogator harus menawarkan rangsangan untuk mengatakan suatu kebenaran dan

menekan agar tersangka mengatakan pengakuan sejujurnya. Makin besar rangsangan

atau tekanannya, makin besar pula peluang adanya pengakuan palsu.

Selanjutnya pada soal tempat, interogasi biasanya merupakan tempat yang

asing bagi tersangka, bisa di kantor polisi, kejaksaan atau KPK. Temapt-tempat itu

adalah tempat menakutkan bagi tersangka. Isolasi dari teman dan keluarga akan dapat

menyebabkan tersangka lebih mudah dipengaruhi. Semakin lama diisolasi semakin

besar derajat kerentanannya. Namun, semakin tinggi derajat konfrontasi yang

dilakukan investigator kepada tersangka semakin besar pula munculnya pengakuan

palsu. Tanpa tekanan pun, faktor emosional dan psikologis dapat menghasilkan

pengakuan palsu. Tekanan pada tersangka, juga dapat menciptakan ingatan palsu.

Tersangka bisa mengingat kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi. Ingatan palsu

itu bisa tampak sama persis penampakannya di benak tersangka sebagaimana ia

teringat pada peristiwa yang sebenarnya yang ia alami sendiri meskipun itu tidak

benar.

Selanjutnya, pencarian jawaban hypothetical construction of crime, salah satu

prosedur eksplorasi tersebut dapat kita lihat dan kita saksikan pada pemeriksaan

perkara Bahri, saat saksi Widjonarko, selaku Pejabat Pengendali Pelaksana Kegiatan

(PKK) Dinas Perkebunan Pemkab Malang untuk memberikan keterangan yang ia lihat,

dengar dan ia alami sendiri.

Dalam tiga kali permintaan keterangan terhadap Widjonarko, kita dapat melihat

bahwa keterangan saksi ini memberikan arah jelas dan simpulan pasti bahwa

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

264

pembayaran atas addendum Nomor 05 dan 06 itu telah merugikan keuangan Negara,

menguntungkan pihak lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.

Dengan kata lain, dapat diartikan suatu perbuatan yang merugikan keuangan

negara sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum. Kutipan pertanyaan penyidik

dan jawaban saksi Widjonarko, untuk sebagian pertanyaan dan jawabannya dapat

saya uraikan dalam Socrates model sebagai mana saya uraikan pada tanya-jawab

berikut ini.

Penyidik bertanya: pada tahun 2004, siapa yang menjabat Kepala Dinas

Pertanian dan Perkebunan (DPP) Pemkab Malang? Saksi menjawab: sampai dengan

bulan Juli 2004, yang menjabat Kepala Dinas Perkebunan adalah FREDDY

TALAHATU, kemudian digabung dengan Dinas Pertanian mulai 09 Juli 2004 dan

Kepala Dinas dijabat oleh HENDRO SOESILO.

Pertanyaan penyidik berikutnya adalah: PGM Kigumas sudah berbadan hukum

sejak tanggal 8 September 2003, dan berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2003

pekerjaan fisik telah dinyatakan selesai 100% pada tanggal 23 September 2003,

apakah kegiatan bangunan sipil, penyempurnaan alat mesin, membayar jasa

pengawas kepada LPM UB pada TA 2004 itu sudah benar dan sesuai dengan sistem

penganggaran berbasis kinerja?

Saksi Widjonarko menjawab bahwa setelah dia membaca PP 105 Tahun 2000

dan Kepmendagri Nomor 25 Tahun 2002, kegiatan bangunan sipil, penyempurnaan

alat mesin, membayar jasa pengawas kepada LPM UB itu tidak dibenarkan oleh dua

peraturan itu. Untuk lebih memastikan keyakinannya, penyidik lalu menanyakan

apakah pada TA 2004 ada perubahan dana Kimbun dan diatur di mana?

Jawaban Widjonarko: pada TA 2004 Dana Kimbun sebesar Rp.1.900.000.000

yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2004. Kemudian terdapat Perubahan APBD

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

265

2004 sebesar Rp.3.032.200.000 yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2004

dikelola oleh Kadisbun Freddy Talahatu dan yang sebesar Rp.1.134.000.000 dikelola

oleh Kadis Pertanian dan Perkebunan (KPP) Hendro Soesanto (pengganti Kadisbun

Freddy Talahatu) sejak tanggal 9 Juli 2004.

Interview dan Interogasi terus dilakukan hingga penyidik yakin dan merasa

tidak ada lagi tambahan keterangan yang diperlukan dari saksi Widjonarko. Alat bukti

keterangan saksi ini dicari, ditemukan dan dikumpulkan dalam Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) hingga layak dan memenuhi syarat untuk disebut sebagai alat

bukti keterangan saksi. Keterangan saksi merupakan mahkota dan petunjuk utama

bagi eksplorasi alat bukti dan penemuan barang bukti tindak pidana korupsi.

Pada dasarnya, wawancara dengan interogasi mempunyai karakteristik yang

berbeda (Tuanakotta, 2009, 338). Wawancara akan bersifat netral dan tidak menuduh

(an interview is non accusatory). Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi

investigatif (investigative information) dan perilaku terhadap orang yang diwawancarai

(behavior information). Wawancara seharusnya dilakukan secara cair, tidak terstruktur

dan bisa saja melompat dari satu pokok bahasan ke persoalan lainnya. Wawancara

harus bersifat tidak kaku, dinamis dan menyesuaiakan dengan kondisi dan keadaan.

Pewawancara juga harus pandai membaca suasana, kapan wawancara itu harus

dihentikan meskipun informasi belum lengkap dan kapan wawancara bisa dilanjutkan

kembali untuk menambah informasi yang belum lengkap. Tuanakotta menambahkan

bahwa sebelum wawancara dilaksanakan pewawancara sudah harus mempunyai

gambaran tentang informasi apa saja yang dibutuhkan serta seberapa banyak

informasi itu ingin dikumpulkannya.

Berbeda dengan interogasi, sifat interogasi adalah menuduh (an interrogation is

accusatory). Karena seseorang yang bersalah tidak akan secara sukarela memberi

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

266

keterangan yang bertentangan dengan kepentingan pribadinya (pada posisi terdesak,

animal instink akan selalu muncul). Interogasi hanya dapat dilakukan, setelah

investigator mempunyai keyakinan memadai mengenai salahnya orang (an

Interogation is conducted only when the investigator is reasonably certain of the

suspect‟s guilt).

Interogasi juga bisa dilakukan dengan cara persuasi aktif (an interrogation

involves active persuation) atau interogasi dengan cara membujuk. Teknik ini dilakukan

karena investigator pada sebelumnya telah melakukan banyak kebohongan. Untuk

membujuk menceritakan kebenaran, investigator mengajukan ―pernyataan‖ dan bukan

―pertanyaan‖.interogasi akan mengarah pada apa yang sebenarnya terjadi (the

purpose of interrogation is to learn the truth), artinya siapa pelaku sebenarnya, berapa

jumlah uang yang dikorupsi itu? Di mana tempatnya melakukannya? Bagaimana

caranya dan seterusnya hingga hypothetical construction of crime 2H+5W terjawab.

6.4. CATATAN AKHIR

Dalam kasus tindak pidana korupsi, yang perlu kita pahami bersama adalah

perbedaan posisi dan pertimbangan para pihak yang terlibat pada perkara. Perbedaan

posisi dan pertimbangan itu dapat saya rangkum pada tabel 6.8.

Tabel 6-8 PERTIMBANGAN DAN POSISI PARA PIHAK YANG BERPERKARA DALAM SUATU PERISTIWA HUKUM

PARA PIHAK YANG

BERPERKARA

PERTIMBANGAN

P O S I S I

SUBJEKTIF

OBJEKTIF

SUBJEKTIF

OBJEKTIF

HAKIM

JAKSA

ADVOKAT

TERDAKWA

SAKSI

6.

Sumber: Kaligis (2009, 34) dan Tuanakotta (2010, 243)

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

267

Para pihak di atas itu memiliki fungsi yang sama, yakni masing-masing pihak

akan berusaha untuk mencari kebenaran dengan memeriksa dan menyelidiki secara

jujur atas fakta (sejarah fakta) dan perbuatan terdakwa, maksud dan akibat yang

ditimbulkannya, sebagaimana yang dituduhkan. Mereka menilai, apakah fakta-fakta itu

memenuhi unsur pidana untuk menghukum terdakwa sebagaimana yang disyaratkan

undang-undang, dan mereka juga akan mengukur, hukuman apakah yang dapat dan

pantas diberikan kepada si terdakwa dengan seadil-adilnya, atau terdakwa harus

dibebakan dari segala Dakwaan.

Bagi Trapmann, sosok ahli pidana dari Negeri Belanda, yang pandangannya

dikutip oleh Tuanakotta (2009, 213) mengatakan bahwa karena posisi yang berbeda,

sudah sewajarnya berkonsekuensi pada pendirian berbeda. Jaksa, advokat, hakim,

terdakwa tentu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam soal understanding,

meanings and sense.

Jaksa misalnya, meskipun selaku pejabat umum (openbaar ambtenaar)

mempunyai posisi yang obyektif. Namun, sebagai akibat dari penuntutan (accusatoir)

pada proses peradilan pidana, di mana jaksa dan terdakwa saling berhadapan dalam

kedudukan yang sejajar, maka jaksa sebagai penuntut (wakil negara) dengan

sendirinya akan mempunyai pendirian yang subyektif.

Advokat, masih menurut Tuanakotta, oleh karena bukan pejabat umum, dengan

sendirinya mempunyai posisi subjektif. Akan tetapi, pada dasarnya advokat berfungsi

mengemukakan pendirian mengenai perbuatan-perbuatan tertuduh yang terjadi

dirinjau dari sudut aturan hukumnya, abik formil maupun materiil, dengan demikian

pendiriannya bersifat objektif.

Terdakwa, akan seperti advokat. Dia mempunyai posisi yang subjektif. Dalam

menghadapi tuntutan atau Dakwaan Jaksa, pendiriannya tentu juga akan subjektif.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

268

Hakim selaku pejabat umum dengan sendirinya mempunyai posisi yang

objektif karena menjalankan fungsi mengadili terhadap masing-masing pendirian

subjektif dari pihak-pihak yang bersebarangan. Kedua belah pihak itu adalah Jaksa

dengan Terdakwa/advokat. Karena itu Hakim wajib atau setidak-tidaknya diharapkan

memegang teguh pendirian yang tidak memihak dengan menerapkan pendirian

objektif.

Saksi, karena saksi - baik saksi fakta maupun saksi ahli - bisa saja kesaksiannya

itu berupa kesaksian yang meringankan (a decharge) maupun saksi yang

memberatkan (a charge) maka posisi maupun pendirian bisa objektif dan dapat saja

berisfat subjektif. Dengan demikian, dalam posisi bisa obyektif namun bisa juga

subjektif. Demikian pula dalam hal pertimbangan saksi dapat obyektif namun dapat

juga menjadi subjektif.

Di samping itu, pada penanganan perkara tindak pidana korupsi, dialektika

Socrates menjadi keniscayaan. Dialektika socrates merupakan uji bukti, uji nalar, uji

pemahaman, uji keluasan pengetahuan dan uji lainnya, yang semuanya itu dilakukan

dalam rangka untuk mencari dan membangun visum akuntansi forensik.

Dengan adanya pertarungan seperti itu, hukum Gresam yang dikutip Agoes

dan Hoesada (2009, 6) mengatakan yang rasional akan mengalahkan yang tidak

rasional, yang memiliki bukti akan mengungguli yang tanpa bukti, yang

berpengetahuan akan mengeliminasi yang tidak berpengetahuan, demikianlah

berlakunya hukum Gresam itu.

Demikian juga, adopsi dialektika Socrates dalam membnetruk visum akuntansi

forensik merupakan bentuk pencarian kebenaran. Elaborasi dialektika Socrates dapat

kita lihat pada adu argumentasi antara auditor, penyelidik, penyidik, jaksa, advokat,

hakim, saksi, dan ahli. Adu argumentasi, justifikasi pendapat dalam BAK, BAPK, BAP,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

269

AI, PKKN, pulbaket lidik maupun sidik merupakan ajang dan temapt rasionalisasi atas

bukti-bukti yang melekat dan inheren dengan penanganan perkara tindak pidana

korupsi.

Prosedur penyelesaian rasional merupakan tempat paling suci dalam penanganan

tindak pidana korupsi. Prosedur rasional itulah yang kemudian melandasi dan dasar

putusan hakim.

Bab VI ini tidak saya tutup baik dengan simpulan maupun proposisi seperti yang

saya lakukan pada tiga bab sebelumnya itu. Karena bab ini lebih bersifat mengurai,

menganalisis, memperjelas dan memunculkan, serta menambah keterangan, uraian,

pandangan, wacana terhadap pernik-pernik dan hal-hal yang masih perlu dimasukkan

atau kurang uraiannya pada tiga bab sebelumnya itu. Dalam istilah lain, dapat saya

katakan sebagai lebih memunculkan ―sinar mutiara‖ yang masih buram dan kurang

sinar kemilaunya pada tiga bab sebelumnya.

Perkenankan saya mengakhiri uraian dalam bab ini dengan kalimat Trapmann

yang dikutip Agoes dan Hoesada, 2009, 6) sebagai berikut:

“Opini manusia secara universal akan cenderung menyerah kepada suatu

bentuk definitif, yaitu “kebenaran”. Biarkanlah setiap manusia itu memperoleh

informasi secukupnya, dan memikirkan secara mendalam atas suatu masalah

yang menjadi kegalauannya, sehingga ia akan sampai pada suatu simpulan

yang jelas dan pasti, yang keadaannya sama dengan apa yang akan dicapai

oleh aliran pemikiran lain apapun, oleh siapapun, di manapun... dalam situasi,

kondisi, dan kejadian yang sama” .

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

270

BBaabb 77 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN CATATAN AKHIR

Bener ketenger, becik ketitik, ala ketara

Sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh

Sing salah mesthi owah, sing bener mesthi nggejejer

Sura sudira jayadiningrat, lebur dening pangastuti

Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo kumowani

Yen lali ndang elingo, yen eling ndang makarti, yen makarti kudu ngrumangsani

(Disarikan dari: Kearifan Lokal)

7.1. SIMPULAN

Mutatis mutandis, dengan basis metodologi grounded theory serta berbekal

theoritical sensitivity, creativity dan imagination, setelah saya melakukan studi

terhadap beberapa perkara tindak pidana korupsi, dapat saya simpulkan bahwa visum

akuntansi forensik - yang merupakan integrasian antara bukti akuntansi, bukti auditing

dan bukti hukum - merupakan bukti utama dan terpenting dalam kasus tindak pidana

korupsi.

Sebaliknya, bilamana visum akuntansi forensik tidak cermat, tidak lengkap dan

tidak jelas, maka para terdakwa dapat dibebaskan dari jeratan hukum sebagaimana

tampak pada kasus Samsul Bahri dan Ahmad Santoso. Demikian juga, manakala

visum akuntansi forensik memiliki kriteria cermat, jelas dan lengkap (a beyond

reasonable doubt), maka para terdakwa pasti tidak dapat menghindar dari jeratan

hukum, seperti pada kasus Nasruddin Sjamsuddin, Abdullah Puteh dan lainnya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

271

7.1.1. Visum Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif

Berbasis permintaan AI atau PKKN, pencarian visum akuntansi forensik dalam

perkara dugaan tindak pidana korupsi, langkah yang ditempuh BPKP dapat saya bagi

dalam tiga aktivitas, yakni sebelum (ex-ante), pelaksanaan (process), dan

penyelesaian (ex-post).

pertama, sebelum penugasan (ex-ante) atau saat persiapan meliputi: ekspose

perkara, simpulan ekspose (penugasan diterima atau ditolak), pembuatan surat tugas

(AI untuk data mentah dan PKKN untuk data masak).

Langkah kedua, saat pelaksanaan (process) meliputi kajian dan penentuan

penyimpangan dengan melakukan perbandingan antara aturan (seharusnya) dengan

pelaksanaan (sebenarnya), meneliti bukti-bukti penyimpangan, melakukan pengujian

seperti reperforming, konfirmasi, observasi, tanya-jawab, tracing, vouching dan

lainnya, meminta bantuan ―ahli‖ dan kemudian menghitung dan membuat laporan

perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN).

Langkah ketiga (ex-post) meliputi: melakukan ekspose sekaligus memastikan

pihak (pihak-pihak) yang bertanggungjawab terhadap dugaan tindak pidana korupsi

tersebut. Dalam simpulan akhir AI atau PKKN, harus menjawab secara konkrit

hypothetical construction of crime 2H+5W, yang terangkai dalam chart and matrix dan

memuat minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi.

7.1.2. Visum Akuntansi Forensik Level Lidik

Berbasis laporan yang masuk, penyelidik atau intelejen yustisia atau reserse

kepolisian melakukan pulbaket lidik untuk melakukan pendalamaman atas laporan

tersebut. Tindak lanjut ini berupa kajian mendalam dan komprehensif terhadap laporan

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

272

(laporan-laporan) yang masuk, dengan tujuan untuk memastikan apakah laporan atas

dugaan tindak pidana korupsi itu dapat ditingkatkan kasusnya ke level penyidikan.

Pulbaket lidik juga mencari jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W.

Tahap pertama adalah, mengkaji laporan-laporan yang masuk, menambah bahan

bukti dengan melakukan operasi intelejen, dan terakhir melakukan pra-ekspose. Jika

hasil pra-ekspose menyimpulkan bahwa perkara dapat diteruskan, maka akan dibuat

Surat Perintah Penyelidikan. Kedua adalah, membuat rencana penyelidikan (Renlid)

dan membangun hypothetical construction of crime. Lalu memanggil dan meminta

keterangan kepada saksi-saksi yang terkait kasus. Kemudian mencari dan meneliti

barang bukti yang terkait dengan kasus. Selanjutnya, melakukan pengujian terhadap

bukti yang terkait kasus, meneliti persesuaian antara barang bukti, keterangan saksi,

dan perbuatan si pelaku. Berikutnya adalah membuat chart berupa uraian modus

operandi perkara dan matrix yang menguraikan unsur-unsur pasal (delict) yang

disangkakan. Langkah terakhir adalah mengadakan ekpose internal yang akan

menyimpulkan atau memberikan pendapat akhir apakah terdapat cukup bukti untuk

dilakukan peningkatan status terperiksa menjadi tersangka dan ditingkatkan ke tahap

penyidikan

Dengan kata lain, laporan hasil pulbaket lidik yang merupakan visum akuntansi

forensik level lidik berisi mengenai uraian atas rangkaian perbuatan yang dilakukan

tersangka. Visum akuntansi forensik lidik juga memuat rangkaian alat bukti dan barang

bukti yang menggambarkan rangkaian persesuaian perbuatan dengan alat bukti dan

barang dalam bentuk chart and matrix yang merupakan bahan bukti bagi tahap

penyidikan (sidik).

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

273

7.1.3. Visum Akuntansi Forensik Level Sidik

Pulbaket sidik mempelajari, menganalisis mempertajam hasil dari pulbaket

lidik. Prosedur yang dilakukan penyidik adalah berbekal dengan hasil ekspose lidik

akan dibuat Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Lalu dibuatlah rencana

penyidikan (rendik) dan membangun hypothetical construction of crime. Berikutnya

adalah memanggil dan meminta keterangan saksi-saksi yang terkait kasus.

Selanjutnya, melakukan penajaman pengujian dan analisis terhadap bukti yang terkait

perkara. Hasil penyidikan dibuat simpulan atau pendapat, membuat chart berupa

uraian modus operandi perkara dan orang-orang yang terlibat atau terkait perkara, dan

matrix yang menguraikan unsur-unsur pasal (delict) yang didakwakan kepada si

pelaku. Akhirnya melakukan ekpose internal untuk menyimpulkan apakah terdapat

cukup bukti untuk memastikan status tersangka menjadi terdakwa, dan berkas

diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dibuat Surat Dakwaan.

Sebaliknya, bilamana ekspose internal menyimpulkan bahwa perkara tindak

pidana korupsi tidak cukup bukti, maka SP-3 (Surat Penghentian Pemeriksaan

Perkara) akan dibuat, perkara dihentikan dan tersangka dilepaskan. Sebagai

tambahan, SP-3 ini tidak dikenal pada lembaga KPK.

Laporan pulbaket lidik merupakan visum akuntansi forensik level sidik akan

berisi mengenai uraian atas rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh yang didakwa

pelaku tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensik lidik, merupakan uraian

rangkaian alat bukti dan barang bukti serta bukti-bukti pendukung lainnya. Rangkaian

itu berisi persesuaian perbuatan dengan alat bukti dan barang bukti yang dirajut dalam

chart and matrix dan/atau bisa dalam bentuk narratif atas detil perkara tindak pidana

korupsi,

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

274

Dalam visum akuntansi forensik lidik, juga akan memuat Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) dan pada setiap tindakan penyidik akan ditandai dengan simbol

―Projustitia‖. Simpulan Lidik merupakan jawaban hypothetical construction of crime

2H+5W yang merupakan bahan bukti bagi JPU untuk mengkonstruksi Dakwaan.

Simpulan utamanya adalah ada atau tidaknya eksistensi tindak pidana korupsi, yang

memuat tiga unsur temuan yakni angka kerugian keuangan Negara, pihak yang

diuntungkankan, dan adanya perbuatan melawan hukum.

Temuan-Temuan:

Bahwa visum akuntansi forensik merupakan rekonstruksi sejarah fakta, yang

terdiri dari paling tidak dua dari lima macam alat bukti, menjadi dasar bagi

penetapan status seseorang menjadi terperiksa, tersangka atau terdakwa.

Bahwa visum akuntansi itu akan berbentuk rangkaian chart and matrix yang

merupakan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W yang cermat,

jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Visum akuntansi forensik akan

berfungsi sebagai bahan bukti bagi pendalaman level/tahap pemeriksaan

selanjutnya.

Bahwa visum akuntansi forensik adalah suatu hasil sinergi oposisi-biner.

Sinergi antara satu sisi dengan sisi lainnya, antara sudut satu dengan sudut

lainnya dan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Artinya, visum

akuntansi itu dapat berbentuk potongan-potongan bahan bukti yang boleh jadi

bertentangan antara satu dengan lainnya kemudian dihubungkan kembali

sehingga menjadi suatu ikatan ―bukti dan pembuktian‖ yang utuh, holistik dan

komprehensif. Masing-masing bagian berdiri sendiri namun tidak dapat

melepaskan diri dalam rangkaian hubungan secara integral dengan bagian-

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

275

bagian lainnya. Hubungan dalam rangkaian visum akuntansi terjalin secara

berkelindan dengan bagian-bagian lainnya. Jika bagian-bagian itu berdiri

secara sendiri-sendiri maka tidak akan mempunyai arti apa-apa di luar

kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya

konflik atau kontradiksi. Pertautan dan persesuaian, antara bukti akuntansi,

bukti auditing dan bukti hukum melalui terobosan paradigma lintas ilmu dan

holistik itulah yang akan membentuk konstruksi wujud visum akuntansi forensik

yang berkriteria cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt).

7.2. IMPLIKASI

Visum akuntansi forensik, yang merupakan alat bukti dan pembuktian yang

berguna dan berperan signifikan bagi proses litigasi di pengadilan, membawa implikasi

pada antara lain bahwa:

Pertama jika visum akuntansi forensik level audit investigatif mengandung

ketidakcermatan‘ terutama pada akurasi hasil perhitungan kerugian keuangan negara

maka akan berpengaruh secara signifikan pada seluruh proses litigasi pada tahapan

berikutnya dan akan dapat memperlemah konstruksi visum akuntansi forensik pada

level berikutnya dan memperlemah konstruksi dakwaan JPU.

Kedua untuk membangun visum akuntansi forensik niscaya memerlukan

pengetahuan mendalam di bidang akuntansi, auditing dan keuangan, serta ilmu

hukum.

Ketiga dengan visum akuntansi forensik yang masih berfokus pada bukti

inderawi belaka, dan tidak melakukan elaborasi pada dimensi psikologi dan intuisi,

visum akuntansi forensik hanya memiliki kebenaran inderawi belaka.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

276

7.3. CATATAN AKHIR

Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, alat bukti keterangan

memainkan peranan sangat menentukan atas keberhasilan baik level audit

investigatif, penyelidikan maupun penyidikan. Alat bukti keterangan yang terdiri dari

keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa yang meruapakan hasil

kepiawaian dalam menerapkan berbagai teknik dan strategi interview maupun

interogasi.

Keberhasilan mengorek keterangan saksi berakibat positif atas diperolehnya

berbagai informasi dan keterangan baik mengenai apa, siapa, mengapa, di mana,

kapan, bagaimana, dan berapa banyak dampak kerugian yang ditimbulkan dari tindak

pidana korupsi. Dengan diperolehnya keterangan-keterangan terhadap keterangan

saksi, akan memudahkan tahap selanjutnya untuk mencari barang bukti dan informasi

mengenai motif perbuatan serta data lainnya.

Kesuksesan mendapatkan keterangan ahli juga akan menunjukkan mengenai

berbagai hal rinci tentang detail kasus dengan berbagai permasalahannya sesuai

dengan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Misalnya dari keterangan ahli

akuntansi dan keuangan, Majelis hakim akan memperoleh secara rinci tentang cara-

cara si pelaku mengambil uang negara secara melawan hukum, misalnya

pemanipulasian data dan dokumen, laporan keuangan yang telah direkayasa, mark-

up, kontrak fiktif, pekerjaan rekayasaan dan lainnya.

Demikian juga, kelengkapan dalam menguak keterangan terdakwa akan

didapatkan informasi mengenai perbuatan apa yang telah dilakukan oleh si pelaku,

alibi yang dibangun, justifikasi yang dibuat dan rasionalisasi atas perbuatannya,

bahkan boleh jadi, akan memperoleh pengakuan jujur dan komprehensif atas

perbuatan dan cara-cara melakukannya serta motif yang mendasari perbuatannya.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

277

Oleh karena itu, ada baiknya elaborasi terhadap teknik hypnosis, mungkin saja

dan boleh jadi, dapat memberikan penguatan terhadap alat bukti keterangan.

Pertanyaannya adalah apakah hipnosis dapat didayagunakan untuk menguak

keterangan para saksi? Menurut Adrie Gunawan (2010, 77) pada konsteks

keindonesiaan, teknik hipnotis dapat didayagunakan hanya untuk mengungkap

keterangan saksi dan/atau saksi korban saja. Bagi Adrie, berbasis teknik regresi dan

hypernesia baik saksi atau korban akan dapat dengan leluasa menceritakan mengenai

kejadian-kejadian di sekitar peristiwa yang ia saksikan, ia dengar dan/atau ia alami.

Saksi atau korban dapat menjelaskannya secara sangat rinci, gamblang dan

komprehensif. Sayangnya, hipnotis tidak akan bisa digunakan untuk mendapatkan

pengakuan atau keterangan yang jujur dari pelaku tindak pidananya. Hipnotis tidak

bisa digunakan karena pertama si pelaku tidak akan pernah bersedia dirinya untuk di

hipnotis, dan kedua dalam kondisi hipnosis seseorang masih dapat melakukan

kebohongan atas keadaan yang sebenarnya.

Sejujurnya saya katakan bahwa, studi ini masih berstatus ―koma‖ dan belum

―titik‖, dan masih banyak kekurangan yang perlu upaya penyempurnaan-. Harapan

saya pada penelitian selanjutnya dapat melakukan penyempurnaan dan perbaikan

yang diperlukan bagi lebih sumpurnanya studi ini.

Hal yang perlu disempurnakan dalam penelitian selanjutnya adalah

peningkatan kemampuan investigator dalam mendapatkan bukti di luar bukti inderawi.

karena, pada umumnya, para investigator lebih sering mendasarkan tuduhannya pada

bukti-bukti yang ada (there), dan bukan pada bukti-bukti yang tidak ada (not there).

Dengan kata lain, ―noisy‖ (bukti inderawi) itu dapat dijadikan dasar ekplorasi bukti dan

pembuktian. Namun, akurasi bukti dapat juga diperoleh melalui pola ―silence speaks

volumes‖, yang artinya manakala bukti-bukti yang ada – seperti bukti akuntansi

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

278

forensik – ternyata tidak cukup kuat untuk memastikan tersangkanya, maka

investigator diharapkan untuk lebih dapat mendeteksi seorang tersangka itu dari sudut

lain (instink) misalnya dari cara berbicaranya, tingkah lakunya, kecepatan merespon

pertanyaan, dan lain sebagainya

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

279

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, (2006), Forensik, Restu Agung, Jakarta Abidin, Zainal, (2006), Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, PT

Remaja Rosdakarya, Bandung ACFE, Association of Certified Fraud Examiners, (2005), Fraud Examiner Manual,

Criminology and Ethics, Texas. Achsin, M, Ismail Navianto, dan Abdul Madjid, (2002), Aspek Hukum Pidana Dalam

Kaitannya Dengan Opini Akuntan Publik Atas Laporan Keuangan Yang Mengandung Salah Saji material, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Tidak Dipublikasikan

Adji, Indrianto Seno, (2007), Korupsi dan Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum

Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta. __,____________, (2006), Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor

Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta.

Agoes, Soekrisno dan Jan Hoesada, (2009), Bunga Rampai Auditing, Penerbit

Salemba Empat Jakarta Ali, Achmad, (2000), Wajah Hukum Di Era Reformasi: Dari Reformasi Legalistik Ke

Delegislasi¸ Menyambut 70 Tahun Prof. Satjipto Rahardjo, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Albrecht, W Steve dan Chad O Albrecht (2003), Fraud Examination, Thomson South-

Western Arens, Alvin A, Elder J Randal & Beasley S Mark (2004) Auditing dan Pelayanan

Verifikasi - Pendekatan Terpadu, edisi kesembilan, PT Intermasa, Jakarta Ardiwisastra, Yudha Bhakti, (2000), Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni,

Bandung Asyrof, Mukhsin (2006), Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam

Proses Peradilan, Varia Perdilan no. 252 Nopember, 2006 Audifax, (2007), Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan,

Pinus Book Publisher, Yogyakara Barda Nawawi Arif, (2003), Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada,

Jakarta

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

280

Baridwan, Zaki, (2000), Clean Goverment dan Pemberantasan Korupsi, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Edisi Desember, STIE, Yogyakarta

Berg, Lawrence Bruce, (2004), Qualitative Research Method for The Social Sciences,

Pearson Education, Inc Belkaoui, Ahmed, Riahi (2006), Accounting Theory, Five Edition, Terj: Ali Akbar

Yulianto dan Rinawati Dermauli, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. BPKP, (2009), Pedoman Penugasan Bidang Investigasi, Jakarta BPKP, (2009), Laporan Audit Investigatif, LHAI-21210/PW13/5/2009 BPK RI, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, SPKN, Nomor 01 Tahun 2007 BPK RI, Undang-undang Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Nomor 15

Tahun 2006 Boullata, Issa J, (2001), Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, LKIS,

Yogyakarta Borgantti, Steve (2005), Introduction to Grounded Theory,

http://www.analytech.com/mb870/introtoGT.html. Budiman, Kris (1999), Kosa Semiotika , LKIS, Yogyakarta Buku Pedoman Tesis dan Disertasi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas

Brawijaya, Nomor 20/J10.1.12/SK/2008 Bruggink, JJ, (1996), Refleksi Tentang Hukum, Alih bahasa: B Arif Sidharta, Citra

Aditya Bakti, Bandung. Chaer, Abdul (2003), Psikolingusitik, PT. Rineka Cipta, Jakarta Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadilah, (2008), Strategi Pencegahan dan

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung Chazawi, Adami, (2006), Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 tahun

1999 Diubah Dengan UU No. 20 Tahun 2001, Alumni, Bandung. Cortanzo, Mark (2006), Psychology Applied to Law, Terj: Helly Prajitno Soetjipto dan

Sri Mulyantini Soetjipto, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Corruption Eradication Commisions, (2006), Gap Analysis Study Report: Identification

of Gaps Between Laws/Regulations of The Republic of Indonesia and The United Nations Conventions Againts Corruption, First Edition, Nopember, Jakarta

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

281

Clarcson, Peter M, & Crig Emby, and Vanessa W-S Watt (2002) Debiasing The Out Come Effect: The Role of Instructions In an Audit Litigation Setting, Auditing: A Journal of Practice & Theory , Vol 21 No 2, September 2002, p.7-20

Creswell, John W, (2003), Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among

Five Tradition. London: Sage Publication Crumbley, D. Larry & Nicholas Apostolou, (2002), Forensic Accounting: A New Growth

Area in Accounting, Ohio CPA Journal, July-September 2002 Crumbley, D. Larry, (2006), Journal of Forensic Accounting, Volume VII (2006: 2

semiannual issues of approx) Cushing, Barry E & David L. Gilbertson, (2002), Strategic Analysis of Securities

Litigation Against independent Auditor, Auditing: Journal of Practice & Theory Vol 21 no 2, September 2002, p.57-80

Danil, Elwi, Loebby Loqman, dan Harkristuti Harkrisnowo, (2001), Fungsionalisasi

Hukum Pidana Dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi – Studi Tentang Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tidak Dipublikasikan

Durheim, Emile, (1964), The Division of Labor in Society, New York: The Free Press,

New Delhy, Prentice Hall of India, 1969 Darwis, (2006), Refleksi Paradigma Holistik-Ekologis Untuk Merekonstruksi Konsep

Kinerja dalam Akuntansi Dan Sosio-Environmental Responsibility, Proposal Penelitian Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Dotzur, Mark, (1997), Groundwater Contamination and Residential Property Values,

The Appraisal Journal, July, Appraisal Institute, USA, 279-285 East, Laura J (2003), The Role of Forensic Accountant In A Criminal Investigation,

Journal of Forensic Accounting, Vol. IV, pp. 321-324, R.T. Edward, Inc, USA. Efferin, Sujoko, Darmadji, Hadi Stefanus dan Yuliawati Tan, (2004), Metode Penelitian

Untuk Akuntansi, Sebuah pendekatan Praktis, Bayu Media, Malang Effendi, Marwan (2005), Kejaksaan Republik Indonesia: Posisi dan Fungsinya dari

Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Emzir, (2008), Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif: Korelasional,

Eksperimen, Ex Post Facto, Etnografi, Grounded Theory, Action Research, PT. Rajagravindo Persada, Jakarta

Evans, Thomas G, (2003), Accounting Theory: Contemporary Accounting Issues,

Thomson South Western, USA

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

282

Eckert, Joseph K, Robert J Gloudemans dan Richard R. Almy, (1990), Property Appraisal and Assessment Administration, The International Association of Assessing Officers, USA.

Fletcher, George, (1998), Basic Concept of Criminal Law, Oxford University Press. Frankckh, Pierre, (2009), Law of Resonance, Membangkitkan Getaran Hati Untuk

Mereguk Kebahagiaan Sejati, Ufuk Press, Jakarta Fuady, Munir, (2007), Perbandingan Ilmu Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung _____, ____, (2006), Teori Hukum Pembuktian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _____, ____, (2005), Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti,

Bandung _____, ____, (2002), Doktrin-doktrim Modern Dalam Corporate Law, Eksistensi Dalam

Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Glassser, Barney G, & Anselm L Strauss (2003), The Discovey of Grounded Theory,

New York, Aldine Publising Company. Hamidi, Jazim, (2006), Revolusi Hukum Indonesia, Makna Kedudukan dan Implikasi

Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Kenegaraan RI, Penerbit Konstitusi Pers, Jakarta

______, ____, (2005), Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan

Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta Hamzah, Andy, (2005), Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara,

Sinar Grafika, Jakarta Hardiman, F, Budi (2007), Filsafat Fragmentaris, Kanisius, Yogyakarta Harahap, M Yahya, (2006), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Kedelapan, PT Sinar Grafika, Jakarta

Hidayat, Dedy N, (2004), Metodologi Penelitian Klasik dan Hypothetico-Deductive-

Method, Materi Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Tidak Dipublikasikan.

Huda, Chairul, (2006), Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana, Jakarta

Husein, Harun M, (2005), Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi dan

Permasalahnnya, Rineka Cipta, Jakarta.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

283

Ikatan Akuntan Indonesia, (2001), Standar Profesional Akuntan Publik, IAI – Kompartemen Akuntan Publik, Jakarta

Ikatan Akuntan Indonesia, (1994), Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat,

Jakarta Indrawati, (2001), Analisis Yuridis Kriminologis terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana

Kredit Usaha Tanai (KUT) – Studi Kasus di Pengadilan Negeri Malang, Tesis, Pascasarjana Universitas Brawaijaya Malang, Tidak Dipulikasikan

Jusuf, Al-Haryono, (2001), Auditing (Pengauditan), Buku 1, Bagian Penerbitan Sekolah

Tinggi Ilmu Ekonomi, Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, Yogyakarta Kaligis, Otto, Cornelis, (2007), Antologi Tulisan Hukum, Penerbit PT. Alumni Bandung Khairansyah (2006), Audit Investigatif: Metode Efektif Dalam Pengungkapan

Kecurangan, Economic Bussiness Accounting Review. Kizirian, Timothy G, Brian W, Mayhew, and L. Dwight Sneathen, Jr, (2005), The Impact

of Management Integrity On Audit Planning and Evidence, Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol 24 No 2, November 2005, pp 49-67.

Klitgaard, Robert, (1998), Controlling Corruption, University of California Press,

Barkeley, USA Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia, Laporan Tahunan Annual Report Tahun

2006 Konrath, Larry F, (2002), Auditing: A Risk Analysis Approach, South Western, a

division of Thomson Learning, Florida, USA. ______, ___, (2007b), Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik,

Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Koran Jakarta, Tanggal 24 Juni 2010. Kusharyanti, (2003), Temuan Penelitian Mengenai Kualitas Audit dan Kemungkinan

Topik Penelitian Di Masa Datang, Jurnal Akuntansi & Manajemen, Edisi Desember 2003, STIE Yogyakarta.

Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana

Korupsi Penyalah Gunaan Dana Pada Kegiatan Kimbun Pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Tahun 2004, BPKP Perwakilan Jawa Timur, Surabaya.

Laporan Hasil Audit Investigatif Atas Kekurangan Kas dan Belanja Daerah Pada

Kabupaten Jember, Nomor 167/R/XIV.3/08/2005, Tanggal 30 Agustus 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan IV, Yogyakarta

Laporan Hasil Audit Investigatif Pemberian Kas Bon Atas Hasil Pemriksaan Laporan

Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2003 dan 2004 Pemerintah Kabupaten

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

284

Kolaka, Nopember 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan VII Makassar

Laporan Hasil Audit Investigatif Atas Bantuan Keuangan Kepada DPRD, Biaya

Asuransi, Uang Purna Bakti, Dan Bantuan Keuangan Kunjungan Kerja DPRD Tahun 2004 Pada Kabupaten Badung, Tanggal 30 Agustus 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan V Denpasar

Laporan Auditor Independen Atas Investasi Pemerintah Kabupaten Malang Pada

Pabrik Gula Mini Kigumas Periode 2001 – Juni 2003, Kantor Akuntan Publik Drs. Keonta Adji.

Laporan Akhir Hasil Ruislag Tanah Kas Desa Lawang Denga nTanah Sawah Desa

Sumberngepoh dan Desa Sumberporong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, Tahun 2008, PT. Sucofindo Appraisal Utama, Surabaya.

Laporan Hasil Investigatif atas Pengaduan Masyarakat Tentang Dugaan adanya

Ketidakwajaran Dalam Proses Tukar Guling Tanah Eks Bengkok Desa Lawang yang terletak di Kleuarahan Lawang Kabupaten Malang, Nomor: LHAI-6586/PW13/5/2006, tanggal 21 Juli 2006, BPKP Perwakilan Jawa Timur.

Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus Tindak Pidana

Korupsi Tukar Guling Tanah Kelurahan Lawang Kabbupaten Malang Tahun 2004, Nomor: SR.10463/PW13.5/2007 tanggal 06 November 2007, BPKP Perwakilan Jawa Timur.

Lacey, Anna & Donna Luff, (2001), Trend Focus for Research and Development in Primary Health Care: Qualitative Data Analysis, Sheffield: Trend Focus

Leyh, Gregory, (2008), Hermeneutika Hukum: Sejarah,Teori dan Praktik, Nusa Media,

Bandung Legal Opinion, (1006), Kedudukan Hukum Lembaga Pengabdian Masyarakat

Universitas Brawijaya Dalam Dugaan Penyertaan Konsultan Perencanaan dan Pengawasan Pembangunan Pabrik Gula Kigumas 2003 Bersama Ir. Freddy Talahatu Mantan Kadisbun Pemkab Malang Yang Didakwa Tindak Pidana Korupsi, Dibuat Oleh Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang,

Lourie, Max, (1998), Forensic Accounting, New York Certified Public Accountant Manan, Baqir, (2008), Due Process of Law, Varia Peradilan, Tahun ke XXIII No.266

Januari 2008. _____, _____, (2007), Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004,

FH UII, Yogyakarta Mautz, R.K dan Hussein A. Sharraf, (1993), The Philosophy of Auditing, Seventeenth

Printing, American Accounting Association Monograph No. 6, USA.

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

285

Millovanovic, Dragan, (1994), A Primer In The Sociology of Law, Harrow and Heston, New York

Majalah Investigasi, tanggal 16 Mei 2007 Maydew, E.I, (1997), Tax Induced Earnings Management Bu Firm With Net Operating

Losses. Jurnal of Accounting Research, 35-83-96 Manteuffel, Karl ―Chuck‖ B. Freicherr Von, (2006), An Introduction to Grounded Theory,

http://www.gtm.vlsm.org/gnm-gtm.html. Majalah forum keadilan,,Nomor 10/28 Juni -04 Juli tahun 2010 Maliki, Zainuddin, (2003), Narasi Agung: Tiga Sosok Teori Sosial Hegemonik,

Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat Mahkamah Konstitusi Indonesia, Putusan Nomor: 003/PPU-IV/2006 Tentang

permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 1999 Terhadap Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Marpaung, Leden, (1992), Tindak Pidana Korupsi – Masalah dan Pemecahannya,

Sinar Grafika, Jakarta. Maryaeni, (2005), Metode Penelitian Kebudayaan, Bumi Aksara, Jakarta Mason, J, (1996), Qualitative Researching, London UK: Sage Publication Messier, William F, (2000), Auditing and Assurance Service: A Systematic Approach,

The Mc Graw Hill Companies, Inc. Mulyana, Deddy, (2006), Metodologi Kualitatif: Paradigma Baru Imu Komunikasi dan

Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung Mulyadi, (2002), Auditing, Buku 1, Edisi Keenam, Salemba Empat, Jakarta Mulyadi, Lilik, (2007), Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik

dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung Munawir, H.Slamet, (1999), Auditing Modern, Buku I, BPFE, Yogyakarta Nonet, Philipe dan Philip Setznick (2007), Law and Society In Transition: Toward

Responsive Law, Terj: Hukum Progresif, Raisul Muttaqin, Nusamedia Jakarta Novianto, Iskandar (2005), Financial Statement Fraud and Internal Investigation,

Makalah Seminar Nasional Investigative and Forensik Auditing An Integrated Approach, FE UGM, Yogyakarta, 6 Agustus.

Piliang, Yasraf Amir, (2003), Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna, Jalasutra, Yogyakarta

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

286

Pope, Jeremy, (20030, Confronting Corruption: The Elements of National Integrity

System, Terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Prasetyo, Teguh (2007), Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum

Sepanjang Zaman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Pusat Info Data Indonesia (2007), Tindakan/Kebijakan Yang Dianggap Korupsi,

Jakarta Putusan Mahkamah Agung, Nomor: 995 K/PID/2006, Atas Nama Nazaruddin

Sjamsuddin Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor:01/PID/TPK/PT.DKI, atas Nama

Abdullah Puteh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor:17/Pid.B/TPK/2006/PN.JKT.PST

atas nama Rustam Efendi Sidabutar Putusan Pengadilan Negeri Malang, Putusan Perkara Pidana, Nomor:

825/Pid.B/2008/PN.MLG, Tanggal 17 september 2009 Atas Nama Drs. H. Achmad Santoso.

Putusan Pengadilan Negeri Malang, Putusan Perkara Pidana, Nomor:

830/Pid.B/2007/PN.MLG, Tanggal 13 Maret 2008 Atas Nama Prof. Dr. Ir, H. Syamsul Bahri, MS

Rahardjo, Dawan, (1992), Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi

Indonesia, LP3ES, Jakarta, Rahardjo, Satjipto, (2009), Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta

Pengalaman-pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta _______, _______, (1996), Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Jurnal Hukum

Progressif, Vol: 1/Nomor 2/Oktober/2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

_______, _______, (1996), Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung Rahardjo, Mudjia (2007), Hermeneutika Gadamerian, Kuasa bahasa Dalam Wacana

Politik Gus Dur, UIN Malang Pers. Rosjidi, (1999), Teori Akuntansi: Tujuan, Konsep dan Struktur, Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Rawls, John (2006), A Theory of Justice, Terj: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,

Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Rahman, Arif, (1999), Auditing Forensik dan Kontribusi Akuntansi Dalam

Pemberantasan Korupsi, Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia (JAAI),

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

287

Volume 3 No 1, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta

Rukmini, Mien, (2006), Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi – Sebuah Bunga

Rampai, Alumni, Bandung ______, ____, (2003), Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan

Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, PT. Alumni, Bandung

Sahetapy, J.E, (2009), Runtuhnya Etik Hukum, PT KOmpas Media Nusantara, Jakarta Saleh, Ruslan (1983), Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru,

Jakarta. Salim, Agus, (2006a), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana,

Yogyakarta _____,____, (2006b), Bangunan Teori Metodologi penelitian Untuk Bidang Sosial,

Psikologi dan pendidikan, Tiara Wacana, Yogyakarta Salman, Otje dan Anton F Susanto, (2005), Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan

dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung Saprudin, Yusuf (2006: 26-27), Money Laudering – Kasus L/C Fiktif Bank BNI, Grafika

Mandiri, Jakarta. Santoso, Lystiono (2006), Epistemologi Kiri, Penerbit kelompok Arruzz Media,

Jogyakarta Sasangka, Hari (2007), Penyelidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam

Teori dan Praktek: Untuk Praktisi, Dosen dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung

Sasangka, Hari dan Lily Rosita (2000), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) Dengan Komentar, Mandar Maju, Bandung Sawyer, B. Lawrence, Mortimer A Dittenhofer, James H. Scheiner, Anne Graham, and

Paul Makosz, (2003), Internal Audiing, 5th Edition, The Practice of Modern Internal Auditing, The Institute of Internal Auditors, Florida.

Shidarta, (2006), Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan,

CV.Utomo Bandung Silverstone, Howard & Michael Shetz, (2004), Forensic Accounting and Fraud

Investigation For Non-Experts, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey Simanjutak, Nikolas, (2009), Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia

Indonesia, Ciawi, Bogor

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

288

Singleton, Tommie W, Aaron J Singleton, G Jack Bologna & Robert J Lindquist, (20060, Fraud Auditing and Forensic Accounting, Third Edition, John Wiley & Sons, Inc.

Sjamsuddin, Helius, (2007), Metodologi Sejarah, Ombak, Yogyakarta. Strauss, Alselm & Juliet Corbin, (2003), Basic of Qualitative Research, Grounded

Theory Procedures and Techniques, Diterjemahkan: Muhammad Sodik & Imam Muttaqien, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sudibyo, Bambang (2001), Telaah Epistemologis Standar Evidential Matter Serta

Implikasinya Pada Kualitas Audit dan Integritas Pelaporan Keuangan Di Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi, Universitas Gajahmada, 24 Februari 2001, Tidak Dipublikasikan.

Sudirman, Antonius, (2007), Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan

dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence), Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Sugiyono, (2005), Memahami Penelitian Kualitatif, Alfa Beta, Bandung Sullivan, Larry, E dan Marie Simonetti Rosen, (2010), Encyclopedia of Law

Enforcement, Encyclopedy Penegakan Hukum, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta

Sumarto, Soehartono, (2004), Implementasi Pembuktian Terbalik Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi, Tesis, Universitas Brawijaya, Malang, Tidak dipublikasikan.

Sumaryono, Euginius, (2002), Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas, Kanisius, Yogyakarta Sunarso, Siswanto, (2005), Wawasan Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung. Sunaryo, Sidik, (2005), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Ketiga, UMM

Press, Malang Susanto, Anthon, Freddy, (2010), Ilmu Hukum Non Sistematik, Fondasi Filsafat

Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung _______,______,_______, , (2007), Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju

Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung _______,______,_______, (2007), Hukum Dari Concilience Menuju Paradigma

Hukum Konstruktif-Transgresif, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung ______,______,_______, (2004), Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang

Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

289

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, (1998), Hukum Acara Perdata

Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung Sutiyoso, (2006), Metoda Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti

dan Berkeadilan, UII Pers, Yogyakarta Sutrisno, Endang, (2007), Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press,

Yogyakarta Suriasumantri, Jujun S, (1999), Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan

Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Suryadi, Asep (tanpa tahun), Tinjauan Tingkat Nilai Sewa Pertokoan dan Faktor-faktor

Yang Mempengaruhinya, Studi Kasus: Lingkungan Alun-alun dan Pasar Besar Kota Malang, Jurnal Survey dan Penilaian Properti, Vol.47

Surat Dakwaan, Nomor: 12/TUT.KPK/X/2005 Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, tanggal 07 Mei 2008, Polwil Malang,

Jawa Timur kepada: AM Sulistyadi Tikno Surat memorie Kasasi, Nomor 034/AP.VI/2005, tertanggal 1 Juli 2005 Surat Kontra Memorie Kasaso Terhadap Memori Kasasi JPU Kejaksaan Negeri

Kepanjen, Perkara Pidana Nomor:830/Pid.B/2007?PN/MLG, Diputus Tanggal 13 maret 2008, dibuat Prof. Dr. Ir, Syamsul Bahri Diserahkan Kepada Kantor Kepaniteraan Pengadilan Malang Hari Rabu Tanggal 21 Mei 2008.

Surat Dakwaan, Berkas perkara Tindak Pidana Korupsi, Atas nama Tersangka

Prof.DR.Ir. Syamsul Bahri, MS, Kejaksaan Negeri Kepanjen, tanggal 31 Oktober 2008.

Surat Pembelaan. Perkara No 830?Pid.B/2007/PN Malang, Judul: Perkara Pidana

Tanpa Bukti Yang Cukup Dipakasakan Ke Sidang Pengadilan Adalah Menyerang Hak Pribadi Mengenai Nama Baik dan Kehormatan Orang, Kezaliman Yang Keji dan Pelanggaran Hak Asasi Manuasia, Dibacakan Pada Hari Senin Tanggal 25 Februari 2008.

Surat Perintah Tugas, Nomor Print:32/05.5/Fd.I/04/2006, Kejaksaan Tinggi Jawa

Timur, Surabaya Surat Permohonan Praperadilan, Nomor 008/Pd/TAPH/XI/2007, Tanggal 19 Nopember

2007, Tim Advokat – Penasehat Hukum, Prof.Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS. Surat Tuntutan, Nomor Registrasi PER: BP-12/12/II/2006/KPK atas nama Terdakwa I

DRS. R. Bambang Budiarto, M.Si dan Terdakwa II H.Safder Yussac, S.Sos, M.Si. tertatanggal 20 Februari 2006

Suwardjono (2005), Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Badan

Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gajahmada, Yogyakarta

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

290

Squires, Douglas W, (2003), Problems Solved With Forensic Accounting: A Legal

Perspective, Journal of Forensic Accounting, Vol. IV, pp. 311-320, R.T. Edward, Inc, USA.

Tolle, Eckhart, (2009), Panduan Pencerahan Spiritual, Penerbit Mitra Sejati,

Yogyakarta Tuanakotta, Theodorus, M, (2007a), Forensic Accounting dan Audit Investigatif,

Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi 2 Tuanakotta, Theodorus, M, (2007a), Forensic Accounting dan Audit Investigatif,

Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi 1 _________, ________, __, (2007b), Setengah Abad Profesi Akuntansi, Lembaga

Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta _________, ________, __, (2009), Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam

Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta _________, ________, __, (2010), Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Salemba

Empat, Jakarta Triyuwono, Iwan (2006b), Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syari‟ah,

Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Turkel, Gerald (1995), Law and Society: Critical Approach, Allyn and Bacon, Toronto Udiyaningsing, (2007), Paradigma Kritika Ilmu Pengetahuan, Jurnal Ilmu Sosial,

Volume 1 Nomor 1 Aril 2007, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, ISSN 1907-1531

Varia Keadilan, Majalah Hukum Tahun XXIII Nomor 266, Januari 2008, ISSN 0215-

0247. Veronica, Sylvia & Yanivi S. Bachtiar (2005), The Role Of Corporate Governance In

Preventing Misstated Financial Statement, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Wachid, Abdul, (2005), Membaca Makna: Dari Chairil Anwar ke Achmad Mustofa Bisri,

Grafindo Litera, Yogyakarta Weber, Mark, (1954), On Law In Economy and Society, New York: A Clarion Book Weirich, Thomas R and Alan Reinstein (2000), Accounting & Auditing Research,

Practical Guide 5 th edition, South Western College Publising, USA. Widayanti dan Imam Subekti (2001), Analisis Keahlian BPK-RI menuju Pelaksanaan

Fraud Auditing, Telaah Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (TEMA), Vol.II. No.2, September 2001, hal:97-101

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

291

Widoyoko, Danang, Luki Djani, Ade Irawan, Agus Sunaryanto, Febri Katong Hendri,

(2006), Saatnya Warga Melawan Korupsi: Citizen Report Card Untuk Pendidikan, Indonesian Corruption Watch (ICW), Jakarta

Widodo, Eko, (2003), Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Pengembangan Akuntansi

Menuju Ke Arah Peningkatan Kualitas Profesi Akuntan, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Edisi April 2003, hal: 1-12, STIE, Yogyakarta.

Widodo, Eko, (2003), pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Terhadap Konservatisme

Akuntansi, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 9. No.1, Januari. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntans Pendidik

Wilopo, (2006), Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Pengambilan

Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi Pada Perusahaan Publik dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 9 No 3, September, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartemen Akuntan Pendidik

Wignyosoebroto, Soetandyo, (2002), Hukum: Paradigma, Metoda, dan Dinamika

Masalahnya, Elsam Kerjama dengan Huma, Jakarta Wisnusubroto, Aloysius dan Gregorius Widiartana (2005), Pembaharuan Hukum Acara

Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung

File ini diunduh dari:

www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id