Upload
trinhxuyen
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ii
TIM PROMOTOR DAN PENGUJI DISERTASI
JUDUL DISERTASI:
VVIISSUUMM AAKKUUNNTTAANNSSII FFOORREENNSSIIKK DDAALLAAMM TTIINNDDAAKK PPIIDDAANNAA
KKOORRUUPPSSII
Nama Mahasiswa : M. Achsin
NIM : 0530200042
Program Studi : Program Doktor Ilmu Akuntansi
KOMISI PROMOTOR
Promotor : Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak, M.Ec., Ph.D
Ko-Promotor 1 : Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., Ph.D
Ko-Promotor 2 : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH
TIM DOSEN PENGUJI
Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., Ak., MM
Prof. Dr. Sutrisno, SE., Ak., M.Si
Prof. Dr. Made Sudarma, SE., Ak., MM
Dr. Ali Djamhuri, SE, Ak., M.Com, CPA
Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., M.Si
Tanggal Ujian : 13 Agustus 2010
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
iii
HALAMAN PERUNTUKAN
Tesis ini kupersembahkan untuk :
Bapak dan Ibu tercinta
Terima kasih atas
Curahan kasih sayang dan do’a
Istri-istri dan anak-anak tersayang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
iv
RIWAYAT HIDUP
M. ACHSIN, lahir di Bojonegoro pada 11 Mei 1958, meraih gelar Sarjana
Ekonomi (SE) dari Jurusan Akuntansi (Ak), Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya pada 1985, meraih gelar Magister Manajemen (MM) dari Program
Pascasarjana Universitas Brawijaya pada 1997, memperoleh gelar Sarjana
Hukum (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada 2001,
mendapatkan Certified Public Accountant (CPA) yang terdaftar di Kementerian
Keuangan Indonesia pada 2009, dan memperolah Sertifikasi Kurator dan
Pengurus Indonesia (IKAPI) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM
tahun 2009.
Penulis sekarang sedang menyelesaikan pendidikan Magister
Kenotariatan (M.Kn) di Pascasarjana Universitas Brawijaya dan Magister
Ekonomika Pembangunan konsentrasi bidang Penilaian (MEc.Dev., MAPPI
(Cert.)) pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Iwan Triyuwono, SE., Ak, M.Ec., Ph.D
2. Gugus Irianto, SE., Ak., MSA., Ph.D
3. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH
yang telah membimbing penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., Ak., MM
2. Prof. Dr. Sutrisno, SE., Ak., M.Si
3. Prof. Dr. Made Sudarma, SE., Ak., MM.,CPA
4. Dr. Ali Djamhuri, SE, Ak., M.Com, CPA
5. Dr. Unti Ludigdo, SE., Ak., M.Si
atas kesediaannya menjadi penguji disertasi ini serta atas saran-saran yang diberikan
untuk disertasi ini dalam Ujian Akhir Disertasi pada 13 Agustus 2010.
Di samping itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan seting-tingginya
kepada:
1. Bondan Gunawan (Mantan Menteri Sekretaris Negara)
2. Erry Riyana Hardjapamekas (Mantan Komisioner KPK),
3. Iswan Elmi (Direktur Penyelidikan KPK),
4. Yunus Husein (Ketua PPATK)
5. Budi Handaka (Kejaksaan Agung)
6. Syamsul Bahri (Anggota KPU Pusat dan Mantan Ketua LPM UB)
7. Theodorus M. Tuanakotta (Ahli Akuntansi Forensik dan Akuntan Publik mantan
partner DTT Indonesia),
8. Adami Chazawi (Ahli Hukum Korupsi)
9. Haris Fajar Kustaryo (Advokat),
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
vi
10. Mustofa (Akuntan Publik),
11. Jusuf Wibisana (Managing Partner PWC Indonesia),
12. Yanuar Rizki (ICW)
13. Andik Ma‘ruf (BPKP Jawa Timur)
14. Khairiansyah Salman (Mantan Auditor BPK)
15. Jose Rizal Joesoef (Sobat karib di S-3 FE UB)
Atas bantuan yang diberikan kepada saya dalam menyelesaikan disertasi ini
Last but not least, terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada kedua
orang tua Bapakku H. Slamet Mansyur dan Ibuku Hj, Nasrifah Ahmad, juga kepada
istri-istri dan anak-anakku, serta kepada teman-temanku, atas dukungan tenaga dan
pikiran demi terwujudnya disertasi ini.
Malang, 13 Agustus 2010
Mahasiswa,
M. Achsin
NIM: 0530200042
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
vii
ABSTRAK
M. ACHSIN, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010. Visum Akuntansi Forensik Dalam Tindak Pidana Korupsi, Promotor: Iwan Triyuwono, Ko-Promotor: Gugus Irianto, Jamal Wiwoho
Dalam proses penanganan tindak pidana korupsi, alat bukti dan pem-buktian pada umumnya dilakukan pada audit investigatif, penyelidikan, dan penyidikan. Kekuatan alat bukti dan pembuktian yang dihasilkan dari ketiga proses tersebut menentukan seseorang dapat dinyatakan sebagai tersangka korupsi dan dapat dibawa ke pengadilan.
Dalam persidangan tindak pidana korupsi, alat bukti dan pembuktian senantiasa menjadi basis utama bagi putusan hakim. Bukti dan pembuktian merupakan sarana kepastian apakah seseorang dapat diputuskan sebagai koruptor atau tidak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari, menemukan, mengumpulkan dan membangun visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensic merupakan suatu bentuk bukti akuntansi yang memiliki kriteria hukum yang berguna bagi proses litigasi di pengadilan.Dengan menggunakan metodologi grounded theory, studi ini menyimpulkan bahwa visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi, harus memuat paling tidak dua dari lima macam alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan kata lain, visum akuntansi forensik tersebut telah mampu memberikan jawaban kongkrit terhadap tujuh hypothetical construction of crime secara cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Tujuh hipotesis itu adalah 2H +5W (how, how much, what, why, when, where, who).
Kata kunci: Visum, akuntansi, audit, forensik, korupsi, dan
hypothetical construction of crime
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
viii
ABSTRACT
M. ACHSIN, Doctoral Program of Accountancy, Postgraduate Program of Faculty of Economics, Brawijaya University, 2010; Forensic Accounting Visum in Corruption Case; Supervisor: Iwan Triyuwono, Co-Supervisor: Gugus Irianto, Jamal Wiwoho
In coping with corruption cases, an evidence basis and a process of proving usually are held in phase of investigative audit, pre-investigation, and investigation. The strength of the evidence basis and the process of proving determine whether or not one will have to be a corruption accused and then put on trial.
In the trial of corruption case, the evidence basis and the process of proving are important for judge decision. Both will determines whether one to be judged as corruptor or not.
This dissertation attempts to search, to collect, and to construct a forensic accounting visum in corruption cases. The forensic accounting visum is a kind of an evidence basis based on law crirteria for litigation process in a trial. With using methodology of grounded theory, this dissertation concludes that forensic accounting visum in the corruption case has to have at least two of five evidence bases, that are explanation of the witness, explanation of the expert, documentary or written evidence, indicative evidence, and explanation of the accused. In other words, the forensic accounting visum has to answer clearly seven hypothetical constructions of crime or 2H + 5W (how, how much, what, why, when, where, who).
Key words: Visum, accounting, audit, forensic, corruption, hypothetical construction of crime
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
ix
R E S O N A N S I
AVANT-PROPOS:
PERJALANAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK
SUDAH hampir lima tahun ini saya melakukan studi bidang akuntansi mencari bentuk
dan rupa ―visum Akuntansi forensik‖. Tiba-tiba Sang Promotor mengatakan: segera
selesaikan disertasi, atau menunggu upaya paksa! Saya terhenyak, inikah bentuk
motivasi [?], provokasi [?] ancaman [?] atau ekspresi ketulusan dari sang guru bijak
bestari [?]. Wallahu a‟lam bisshowab,
Sejujurnya, studi ini terformulasikan atas munculnya kegalauan yang menerpa
benak, saat saya melihat dan memperhatikan fenomena penanganan tindak pidana
korupsi. Kegalauan itu lebih disebabkan karena, saya melihat pada penanganan tindak
pidana korupsi pada satu kasus si terdakwa dapat dijebloskan ke dalam penjara,
namun pada penanganan kasus yang lain si terdakwa dapat berlenggang dengan
bebas. Mengapa ketidakkonsistenan seperti itu terjadi? Padahal untuk menyeret
terdakwa kasus korupsi itu ke sidang pengadilan, Negara telah mengeluarkan biaya
penanganan yang tidak kecil, dan mengapa si terdakwa bisa bebas? Pertanyaan dan
fenomena seperti itulah yang menggugah ketertarikan saya untuk melakukan
penelitian ini.
Fenomena membingungkan seperti itulah yang oleh Erving Goffmann dalam
Filsafat Dramaturginya sebagai adanya acting para actor dalam ―front stage‖ dan ―back
stage‖ Suatu peran penuh hipokrisi yang dengan entheng diperagakan sang pelaku,
suatu bentuk representasi yang mendua dan sarat dengan ketidakjujuran. Itulah dunia
keculasan, dongenge wong culiko, suatu dunia yang banyak dihuni oleh para koruptor.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
x
Saya memang masih optimis, keadilan tetap bisa ditegakkan meskipun langit
runtuh (fiat justitia et pereat mundus) karena saya yakin bahwa untuk menjadikan
masyarakat tertib dan teratur, eksistensi suatu aturan yang didukung oleh substansi,
struktur dan kultur yang baik menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan. Di samping
itu, saya juga masih percaya bahwa mewujudnya aturan, eksistensinya lebih
disebabkan karena masyarakat itu sendirilah yang memerlukan suatu aturan yang
mengatur dirinya, orang lain dan lingkungannya (ibi ius ibi societas).
Kembali pada penelitian ini, untuk menjawab kerisauan yang saya ungkapkan
pada sebelumnya, kemudian saya terjun dan menceburkan diri untuk melakukan
penelitian dengan membawa dua pertanyaan utama, yaitu: (1) bagaimanakah auditor
investigatif, penyelidik dan penyidik mencari, menemukan dan mengumpulkan alat-alat
bukti dan barang bukti yang siap dibawa ke pengadilan. (2) bagaimana wujud dari alat
bukti dan barang bukti yang dibawa ke pengadilan itu?.
Dua pertanyaan itu, untuk tahap pertama, saya tujukan pada auditor investigatif,
baik auditor BPK maupun BPKP. Kenapa pertanyaan tidak ditujukan kepada akuntan
publik? Karena auditor pada lembaga BPK dan BPKP itulah yang sering melakukan
audit investigatif dan diminta untuk menghitung dugaan angka kerugian keuangan
negara pada perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan akuntan publik sampai dengan
hari ini belum mengatur mengenai jasa audit investigatif yang sarat dengan perburuan
eksistensi fraud, kejahatan keuangan dan tindak pidana korupsi.
Pertanyaan yang sama, pada gilirannya juga saya ajukan kepada penyelidik dan
penyidik, Karena dari tangan-tangan merekalah suatu perkara tindak pidana korupsi
dapat ditindaklanjuti hingga menjadi dakwaan, atau kasus itu dihentikan karena tidak
diperoleh bukti yang cukup.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xi
Dua pertanyaan itu membawa saya untuk melakukan pencarian jawaban yang
terkontruksikan secara cermat, jelas dan lengkap atau a beyond reasonabale doubt.
Suatu jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime, suatu hipotesis yang
dibangun untuk mengarahkan fokus pencarian jawaban pada pertanyaaan: How Much,
How, What, Why, Who, When, and Where (2H+5W).
Saya sadar bahwa dalam penelitian ini, saya harus memiliki alat untuk
menangkap dan melakukan analisis serta melakukan sintesis terhadap fenomena
tindak pidana korupsi itu. Kemudian dengan sengaja saya pilih metodologi grounded
theory yang mensyaratkan bekal theoretical sensitivity, creativity dan imagination.
Grounded theory, bergerak layaknya spionase dengan pengumpulan bahan bukti mirip
kayak akumulasi snow-ball.
Pilihan grounded theory karena ia sangat ideal, handal dan efektif untuk
diterapkan manakala teori-teori tidak lagi mampu memberikan jawaban secara
seragam terhadap fenomena yang ada, atau jika ada jawaban maka jawaban yang
diberikan akan menelorkan hasil yang berbeda-beda. Karena alasan inilah grounded
theory menjadi bagian yang tak terpisahkan dan keniscayaan dalam penelitian ini
(untuk lebih jelas dan detilnya, silahkan membaca bab II).
Kemudian, saya secara terus menerus bergerak, kadang saya mengintip
kesempatan, saat lain saya harus mencuri dengar, dan pada situasi tertentu saya juga
diharuskan untuk memburu bahan-bahan penelitian. Semua itu saya lakukan demi dan
untuk selalu menambah dan memperkaya perbendaharaan bahan-bahan penelitian.
Saya berharap, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, koleksi bahan-
bahan penelitian menjadi semakin lengkap dan dapat membantu saya untuk
membangun :‖proposisi‖ (hipotesis teori) yang merupakan jawaban atas kerisauan
yang menerpa yang telah saya ungkapkan pada sebelumnya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xii
Kebosanan dan kejenuhan kadang menerpa serta mengiringi perjalanan
penelitian ini. Namun, saya selalu membangunkan semangat juang agar selalu tegar
dan terjauh dari rasa putus asa. Hanya dengan cara itu – saya yakin seyakin-yakinnya
– pada saatnya, disertasi ini pasti selesai, dan pada saatnya pula ―keindahan‖
menyandang gelar akademik tertinggi akan saya raih dan menjadi bagian hidup untuk
selamanya.
Kegigihan dan keuletan yang saya bangun membawa hasil. Perlahan-lahan
tetpi pasti bahan-bahan penelitian mengalir. Kadang deras sekali, namun pada saat
yang lain kucurannya mampet dan seret. Meski data masih terbatas, saya mencoba
menulis abstraksi atau proposisi sementara atas apa yang telah saya peroleh,
meskipun bentuknya masih ―buram‘ dan jauh dari sempurna.
Saya tunggu data tambahan, lalu saya poles kembali abstraksi penelitian dengan
data tambahan yang masuk. Demikianlah upaya dan perjuangan yang saya lakukan.
Manakala ada tambahan bahan-bahan lagi yang masuk, maka bahan itu akan saya
gunakan untuk menambal mana yang kurang dan atau tidak ―pas‖. Bahan-bahan itu
juga saya dayagunakan untuk memperkuat mana yang masih lemah, mengikat mana
yang masih kendor. Secara gradual, perlahan tetapi pasti, pada akhirnya terbentuklah
―visum akuntansi forensik‖ yang saya idam-idamkan.
Di tengah-tengah perjalanan eksplorasi itu, hal menarik dan menantang adalah
munculnya pertanyaan baru, yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan dan duga.
Pertanyaan itu adalah, bahan-bahan yang saya peroleh tersebut harus golongkan
dalam ketegorisasi versi disiplin ilmu apa? Apakah pemilahan harus saya lakukan
berbasiskan ilmu akuntansi, atau berlandaskan ilmu auditing atau versi ilmu hukum?
Karena, pada dasarnya terdapat perbedaan kategorisasi bukti dalam tiga bidang ilmu
pengetahuan tersebut.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xiii
Pertanyaan kategorisasi bahan penelitian itu, menggugah kreativitas, imajinasi,
dan sensitivitas teoritik yang saya miliki. Saya harus mengambil keputusan. Bagi
pandangan saya, meskipun penelitian ini berada dalam ranah atau domain
pengetahuan akuntansi, namun akuntansi forensik adalah suatu disiplin pengetahuan
akuntansi yang telah menerobos batas demarkasinya dan kemudian ―berkolaborasi‖
dengan ilmu auditing dan hukum. Atas perkenan pembimbing dan budi baiknya dari
sang arif dan bijaksana itu, selanjutnya saya klasifikasikan data, fakta, informasi dan
keterangan serta bahan-bahan yang saya peroleh dengan basis jenis alat-alat bukti
yang terdapat dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Dalam
KUHAP, terdapat lima macam kategorisasi alat bukti, yakni alat bukti keterangan saksi,
alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan alat bukti keterangan
terdakwa. Karena itu, pada bab III, IV, V dan VI semua uraian penelitian mengacu
pada pola lima macam ketegorisasi alat bukti tersebut.
Pilihan pola klasifikasi itu juga saya maksudkan, agar semua data, fakta,
informasi dan keterangan serta bahan bukti, terdapat sinkronisasi dan match and link
dengan pola klasifikasi bukti dalam penegakan hukum di Indonesia. Suatu format
pengklasikasian alat bukti yang telah membatin (internalized) pada subjek (informan)
penelitian ini.
AUDIT INVESTIGATIF (AI) DAN PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) Berbasis fenomena penanganan perkara tindak pidana korupsi, pertanyaan
spesifik yang saya lontarkan pada level AI (Audit Investigatif) dan PKKN (Perhitungan
Kerugian Keuangan Negara) adalah, bagaimanakah auditor investigatif melakukan
eksplorasi dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan bahan bukti? Pertanyaan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xiv
berikutnya adalah, bagaimanakah wujud bangunan rekonstruksi sejarah fakta/bukti
yang dibuat auditor investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi itu?
Studi yang saya lakukan, ternyata dapat menjawab pertanyaan atas kerisauan
saya pada fenomena penanganan tindak pidana korupsi. Dalam AI atau PKKN, yang
merupakan salah satu proses penanganan tindak pidana korupsi, prosedur utama
yang menjadi acuan dan menjadi tumpuan auditor investigatif, pertama-tama adalah
harus dapat memastikan dan menemukan adanya penyimpangan. Penyimpangan
akan terjadi bilamana terdapat jarak (gap) antara yang sebenarnya (de-facto) dengan
yang seharusnya (de-jure). Bilamana penyimpangan telah dapat ditemukan, maka
auditor akan menindak lanjuti dengan melakukan penghitungan atas berapa jumlah
atau nilai penyimpangan itu. Hitungan rupiah pada angka penyimpangan itulah yang
disebut dengan angka kerugian keuangan negara (uraian lebih lengkapnya dapat
dilihat pada bab IV).
Demikian juga, prosedur-prosedur audit lain, seperti tracing, footing/cross footing,
documenting, reconciling, vouching, konfirmasi, reperforming, observasi dan prosedur
audit lainnya tentu akan mengikuti dan selaras dengan adanya temuan penyimpangan
itu. Prosedur ini merupakan standar baku untuk memperkuat temuan penyimpangan
yang diperpleh tersebut
Pelaksanaan PKKN, pada umumnya dilakukan oleh auditor investigatif
berdasarkan permintaan dari penyidik. Permintaan PKKN penyidik, biasanya pada
perkara yang telah matang. Artinya perkara dugaan tindak pidana korupsi itu telah
dilakukan penyidikan oleh penyidik. Dengan demikian, permintaan PKKN ke instansi
BPKP itu pada umumnya data, fakta dan informasi relatif telah lengkap, tinggal
menghitung berapa besar kerugian keuangan negaranya. Artinya modus operandi,
siapa yang berbuat, dan di mana perbuatan itu dilakukan, kapan terjadinya dan lainnya
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xv
telah dihimpun oleh penyidik dalam berkas penyidikan. Karena itu, penugasan PKKN
ini dalam komunitas auditor BPKP sering disebut sebagai tugas yang telah ―masak
pohon‖.
Tidak demikian halnya dengan penugasan AI. Penugasan AI mengharuskan
auditor investigatif untuk melakukan upaya ekstra, yakni auditor harus masuk pada
kedalaman persoalan. Hypothetical construction of crime menjadi radar utama dalam
mencari, menemukan dan mengumpulkan bahan bukti hingga tercipta visum akuntansi
forensic level audit investigatif. Visum akuntansi forensik level ini, pada umumnya
digambarkan dalam bentuk chart and matrix, yang merupakan rangkaian alat bukti dan
barang yang terjalin secara berkelindan.
Dalam AI versi BPKP, simpulan akan diformulasikan dalam bentuk penyebutan
nama seseorang yang ―bertanggung jawab‖ atas penyimpangan yang terjadi dan
disertai dengan besarnya jumlah angka kerugian keuangan negara. Namun, dalam
laporan hasil AI versi BPK, umumnya akan menyebut nama seseorang (orang-orang)
yang ―patut diduga atau diindikasikan‖ terlibat perkara tindak perkara korupsi, yang
disertai dengan jumlah perhitungan angka kerugian keuangan negara. Laporan AI versi
BPK itu menguraikan tentang 2H+5W juga secara jelas dan transparan mengungkap
unsur-unsur pelanggaran undang-undang tindak pidana korupsi. Dengan kata lain,
dalam Laporan AI versi BPK chart and matrix lebih tergambarkan secara jelas
dibandingkan laporan hasil AI versi BPKP.
Uraian atas AI dan PKKN di atas, telah menjawab dua pertanyaan terhadap
kerisauan saya. Dari proses dan hasil AI dan PKKN itu, saya simpulkan bahwa jika
eksplorasi yang dilakukan auditor investigatif terhadap bahan bukti yang tersaji telah
dapat memberikan jawaban hypothesis construction of crime secara cermat, jelas dan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xvi
lengkap (a beyond reasonable doubt), maka rekonstruksi sejarah fakta/bukti atau
konstruksi Visum Akuntansi Level Audit Investigatif telah terwujud dengan sempurna.
PULBAKET LIDIK (PENGUMPULAN BAHAN BUKTI DAN KETERANGAN PENYELIDIKAN) Perjalanan harus saya teruskan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang
belum tuntas, yakni bagaimanakah pulbaket lidik (pengumpulan bahan bukti dan
keterangan tahap penyelidikan) untuk mencari dan menemukan bahan bukti atas
dugaan tindak pidana korupsi itu? Bagaimanakah wujud bangunan rekonstruksi
sejarah fakta/bukti dari penyelidik atas dugaan tindak pidana korupsi?
Ternyata dalam pulbaket lidik prosedur utama yang menjadi acuan dan panduan
Penyelidik sama persis dengan apa yang menjadi pedoman auditor investigatif, yakni
memastikan dan menemukan penyimpangan antara yang sebenarnya (de-facto)
dengan yang seharusnya (de-jure). Bilamana terdapat penyimpangan antara yang
sebenarnya dengan seharusnya, maka penyelidik akan mencari persesuaian antara
perbuatan dengan unsur-unsur aturan hukum yang telah dilanggar oleh si pelaku
(bestendelen). Kemudian untuk menambah kekuatan alat bukti, umumnya penyelidik
akan meminta keterangan dari saksi-saksi yang didokumentasikan dalam Berita Acara
Permintaan Keterangan atau BAPK (untuk uraian lebih lengkap dan menarik dapat
dilihat pada bab IV).
PULBAKET SIDIK (PENGUMPULAN BAHAN BUKTI DAN KETERANGAN
PENYIDIKAN)
Perjalanan masih harus saya lanjutkan. Pertanyaan yang belum terjawab adalah,
bagaimanakah pulbaket sidik (pengumpulan bahan bukti dan keterangan tahap
penyidikan) yang dilakukan oleh penyidik dalam rangka untuk mencari, menemukan
dan mengumpulkan bahan bukti atas sangkaan tindak pidana korupsi itu?. Pada tahap
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xvii
ini, Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana wujud bangunan rekonstruksi sejarah
fakta/bukti yang dibuat penyidik atas sangkaan tindak pidana korupsi itu?
Ternyata dalam pulbaket sidik juga menggunakan acuan yang persis sama dan
tidak berbeda dengan pulbaket lidik, yakni memastikan, menemukan dan
mengumpulkan penyimpangan antara yang sebenarnya (de-facto) dengan yang
seharusnya (de-jure). Bilamana terdapat penyimpangan antara yang sebenarnya
dengan seharusnya maka penyidik akan mencari persesuaian atau kesepaduan antara
perbuatan dengan aturan hukum yang telah dilanggar oleh si pelaku. Kemudian untuk
menambah kekuatan alat bukti, umumnya penyidik akan meminta keterangan dari
saksi-saksi, ahli dan tersangka yang didokumentasikan dalam Berita Acara
Pemeriksan atau BAP (untuk uraian lebih lengkap dapat dilihat pada bab V).
Sementara itu, bantuan PKKN akan segera diminta penyidik ke instansi BPKP,
pada saat mana penyidik telah dapat mengantongi alat bukti dan barang bukti yang
cukup serta telah terdapat kesepaduan antara perbuatan dengan fakta-faktanya. Suatu
persesuaian atau kesepaduan antara perbuatan dengan pelanggaran unsur-unsur
yang terdapat pada aturan hukumnya.
Perbedaan utama antara pulbaket lidik dengan pulbaket sidik adalah, pada dalam
pulbaket sidik undang-undang memberi ruang kepada penyidik untuk melakukan
upaya paksa seperti penahanan, penangkapan, penggeledahan dan lainnya. Upaya
paksa seperti ini tidak dimiliki oleh penyelidik.
Selanjutnya, salah satu perbedaan lain antara sidik dan lidik adalah adanya kata
―Projustitia‖ atau ―Demi Keadilan‖, suatu kalimat yang biasa ditulis/dicetak pada ―kiri
atas‖ pada setiap administrasi persuratan. Artinya dengan surat-surat yang telah
berlabel ―Projustitia‖ itu akan mengubah semua bukti, data, fakta, informasi dan
keterangan menjadi telah ―bernilai hukum‖
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xviii
Untuk sementara perjalanan penelitian ini saya hentikan sampai di sini, sampai
tahap penyidikan saja. Sebenarnya perjalanan visum akuntansi forensik masih jauh
dan panjang. Untuk sampai pada jawaban komprehensif dan memuaskan dahaga atas
kerisauan yang melanda, seharusnya visum akuntansi forensik itu harus saya ikuti
terus hingga titik akhir pemberhentian, yakni di Mahkamah Agung.
Visum akuntansi forensik itu akan menempuh perjalanan berikutnya, seperti:
tahap pembuatan berkas Dakwaan, tahap pemeriksaan di persidangan pengadilan
(cross examination), tahap putusan tingkat pertama (Pengadilan Negeri), tahap
putusan tingkat kedua (tingkat banding pada Pengadilan Tinggi), dan proses kasasi
pada Mahkamah Agung, di mana putusan MA ini, akan memiliki kekuatan hukum yang
tetap (inkracht). Perjalanan visum akuntansi forensik juga masih dapat dimungkinkan
karena masih adanya upaya hukum lain, yakni Peninjauan Kembali (PK)..
Uraian atas proses dan hasil audit investigatif, penyelidikan dan penyidikan,
pada langkah berikutnya adalah saya harus membangun proposisi. Proposisi pertama
sebagai berikut: mutatis mutandis, visum akuntansi forensik merupakan rekonstruksi
sejarah fakta, yang terdiri dari paling tidak dua dari lima macam alat bukti, menjadi
dasar bagi penetapan status seseorang menjadi terperiksa, tersangka atau terdakwa.
Visum akuntansi foreensik itu dapat berbentuk rangkaian chart and matrix yang
merupakan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W yang cermat, jelas dan
lengkap (a beyond reasonable doubt). Visum akuntansi forensik berfungsi sebagai
bahan bukti bagi pendalaman level/tahap pemeriksaan selanjutnya.
Proposisi kedua adalah mutatis mutandis, visum akuntansi forensik dapat
dikatakan sebagai suatu hasil sinergi oposisi-biner (sinergi dari on-off). Sinergi antara
satu sisi dengan sisi lainnya, antara sudut satu dengan sudut lainnya dan antara
bagian satu dengan bagian lainnya. Artinya, visum akuntansi forensik itu dapat
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xix
berbentuk potongan-potongan bahan bukti yang boleh jadi bertentangan antara satu
dengan lainnya kemudian dihubungkan kembali sehingga menjadi suatu ikatan ―Bukti
dan Pembuktian‖ yang utuh, holistik dan komprehensif. Masing-masing bagian berdiri
sendiri namun tidak dapat melepaskan diri dalam rangkaian hubungan secara integral
dengan bagian-bagian lainnya. Hubungan dalam rangkaian visum akuntansi forensik
itu akan terjalin secara berkelindan dengan bagian-bagian lainnya. Jika bagian-bagian
itu berdiri secara sendiri-sendiri maka tidak akan mempunyai arti apa-apa di luar
kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya konflik
atau kontradiksi. Pertautan dan persesuaian, antara bukti akuntansi, bukti auditing dan
bukti hukum melalui terobosan paradigma lintas ilmu dan holistik itulah yang akan
membentuk konstruksi wujud visum akuntansi forensik harus berkriteria cermat, jelas
dan lengkap (a beyond reasonable doubt).
REKOMENDASI
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, alat bukti keterangan
ternyata memainkan peranan sangat menentukan. Alat bukti keterangan yang terdiri
dari; keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa dihasilkan dari
kepiawaian auditor investigatif, penyelidik dan penyidik dalam melakuan berbagai
teknik dan strategi dalam interview maupun interogasi.
Keberhasilan mengorek keterangan saksi dapat berakibat positif yakni
diperolehnya berbagai informasi dan keterangan baik mengenai apa, siapa, mengapa,
di mana, kapan, bagaimana, dan berapa banyak dampak negatif berupa kerugian
negara yang ditimbulkan atas tindak pidana korupsi. Dengan diperolehnya berbagai
keterangan saksi, tentu mempunyai dampak positif yakni pada tahap selanjutnya akan
dengan mudah untuk mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti serta
mendapatkan informasi mengenai motif perbuatan dan data lainnya yang diperlukan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xx
Kesuksesan mendapatkan keterangan dari ahli, juga akan menunjukkan
mengenai berbagai hal rinci tentang perkara yang ditangani dengan berbagai
permasalahannya sesuai dengan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh ahli
tersebut. Misalnya dari keterangan ahli akuntansi dan keuangan, akan diperoleh
secara rinci tentang cara-cara si pelaku mengambil uang negara secara melawan
hukum, misalnya data manipulasian, dokumen palsu, laporan keuangan rekayasaan,
mark-up, kontrak fiktif, letter of credit (L/C) bodong, pekerjaan asal-asalan, dan
keterangan-keterangan berharga lainnya.
Demikian juga, kelengkapan dalam menguak keterangan terdakwa akan
didapatkan informasi mengenai perbuatan apa yang telah dilakukan oleh si pelaku,
alibi yang dibangun, justifikasi dan rasionalisasi atas perbuatannya, bahkan boleh jadi,
akan memperoleh pengakuan jujur dan komprehensif atas perbuatan dan cara-cara
melakukan perbuatan serta motif yang mendasari si pelaku.
Oleh karena itu, ada baiknya elaborasi terhadap teknik hypnosis, mungkin saja
dan boleh jadi, dapat memberikan penguatan terhadap alat bukti keterangan.
Pertanyaannya adalah apakah hipnosis dapat didayagunakan untuk menguak
keterangan para saksi? Menurut Adrie Gunawan (2010,77) pada konsteks hukum
indonesia, teknik hipnotis dapat didayagunakan hanya untuk mengungkap keterangan
saksi dan/atau saksi korban saja. Bagi Gunawan, berbasis teknik regresi dan
hypernesia baik saksi atau korban akan dapat dengan leluasa menceritakan mengenai
kejadian-kejadian di sekitar peristiwa yang ia saksikan, ia dengar dan/atau ia alami.
Saksi atau korban dapat menjelaskannya secara sangat rinci, gamblang dan
komprehensif. Namun sayangnya, teknik hipnotis itu tidak akan bisa digunakan
untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan yang jujur dari pelaku tindak pidana.
Hipnotis tidak bisa digunakan karena pertama si pelaku tidak akan pernah bersedia
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xxi
dirinya untuk di hipnotis, dan kedua dalam kondisi hipnosis seseorang masih dapat
melakukan kebohongan atas keadaan yang sebenarnya.
REFLEKSI DIRI
Setelah saya mencermati serta melakukan kajian komprehensif, saya
mengambil simpulan bahwa pada akhirnya kasus-kasus tindak pidana korupsi,
meskipun kasus telah diselesaikan hingga tahap akhir (inkraht), dalam keyakinan saya,
kasus tersebut masih tetap menyisakan ruang yang masih memiliki interpretasi dari
masing-masing pihak yang berkepentingan dan terlibat pada kasus tersebut.
Pada penelitian ini, saya juga menemukan banyak hal yang menjadi penyebab
esensial atas kasus-kasus korupsi. Tidak semua persoalan dapat terjawab hanya
dengan keberhasilan rekonstruksi sejarah fakta/bukti atau mewujudnya visum
akuntansi forensik. Demikian juga, pada putusan hakim yang membebaskan atau
memasukkan terdakwa ke dalam penjara, masih menyiasakan pertanyaan atas
kebenaran hakikinya.
Kenyataan ini makin menguatkan keyakinan pada diri saya bahwa ―meaning,
understanding, and sense‖ yang banyak dikaji dalam filsafat hermeneutika menjadi
realitas yang nyata. Proses penegakan hukum yang diolah melalui interpretasi secara
subjektif dan intersubjektif atau diklaim sebagai suatu argumentasi objektif oleh pihak-
pihak yang berperkara, hingga putusan akhir, bagi saya masih merupakan discource
yang mengandung kebenaran nisbi. Bahkan putusan Majelis Hakim di Mahkamah
Agung menurut pandangan saya masih berbentuk discource dan juga mengandung
kebenaran nisbi.
Sejujurnya dapat saya katakan bahwa tulisan ini masih berstatus ―koma‖ dan
belum ―titik‖, dan masih banyak kekurangan yang perlu upaya penyempurnaan-
penyempurnaan. Harapan saya pada penelitian-penelitian selanjutnya dapat
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xxii
melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan
agar kasus-kasus korupsi dapat terkuak secara holistic, baik formal, material maupun
hakikinya.
Perkenankanlah saya untuk mengingatkan kembali kepada diri saya sendiri,
para akuntan forensik dan/atau financial criminalist dan/atau para penegak hukum atau
siapa saja atas statement yang pernah dilontarkan oleh Abraham Lincoln, yakni ―You
can fool some people, but you can not fool all the people‖.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xxiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... I
TIM PROMOTOR DAN PENGUJI DISERTASI ....................................... II
HALAMAN PERUNTUKAN ..................................................................... III
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... IV
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... V
ABSTRAK .............................................................................................. VII
ABSTRACT .......................................................................................... VIII
R E S O N A N S I................................................................................... IX
DAFTAR ISI ....................................................................................... XXIII
DAFTAR TABEL ................................................................................ XXVI
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... XXVII
BBaabb 11 PENDAHULUAN........................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Permasalahan dan Fokus Penelitian ................................................... 17
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 25
1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 26
BBaabb 22 METODOLOGI PENELITIAN ................................... 27
2.1. Pengantar ............................................................................................ 27
2.2. Obyek dan Setting ............................................................................... 30
2.3. Grounded Theory ................................................................................ 31
2.4. Operasionalisasi Grounded Theory ..................................................... 34
2.5. Pengumpulan Data.............................................................................. 37
2.5.1. Wawancara ................................................................................... 37
2.5.2. Observasi ..................................................................................... 38
2.5.3. Sumber Data................................................................................. 40
2.5.4. Analisis Data ................................................................................. 40
BBaabb 33 VISUM AKUNTANSI FORENSIK AI DAN PKKN ....... 42
3.1. Pengantar ............................................................................................ 42
3.2. Pelaksanaan Audit Investigatif ............................................................ 46
3.3. Peranan dan Kontribusi Hasil Audit Investigatif ................................... 55
3.4. Menemukan Alat Bukti – Level Audit Investigatif ................................. 63
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xxiv
BBaabb 44 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN ................................................................ 116
4.1. Pengantar .......................................................................................... 116
4.2. Menemukan Alat Bukti – Level Penyelidikan ..................................... 125
4.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 133
4.2.2. Alat Bukti Keterangan Terdakwa ................................................ 138
4.2.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 142
4.2.4. Alat Bukti Petunjuk ...................................................................... 158
4.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka ............................................... 159
4.3. Catatan Akhir dan Proposisi .............................................................. 160
BBaabb 55 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN 167
5.1. Pengantar .......................................................................................... 167
5.2. Menemukan Alat Bukti – Level Penyidikan ....................................... 174
5.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 183
5.2.2. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................................... 188
5.2.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 192
5.2.4. Alat Bukti Petunjuk ...................................................................... 196
5.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka ............................................... 202
5.3. Catatan Akhir dan Proposisi .............................................................. 217
BBaabb 66 VISUM AKUNTANSI FORENSIK SEBAGAI BUKTI PENDUKUNG LITIGASI .................................................... 229
6.1. Pengantar .......................................................................................... 229
6.2. Akuntansi Forensik, Bukti dan Pembuktian ....................................... 231
6.3. Visum Akuntansi Forensik ................................................................. 236
6.3.1. Alat Bukti Keterangan Saksi ....................................................... 240
6.3.2. Alat Bukti Keterangan Ahli .......................................................... 246
6.3.3. Alat Bukti Surat ........................................................................... 251
6.3.4. Alat Bukti Petunjuk ...................................................................... 254
6.3.5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa ................................................ 256
6.4. CATATAN AKHIR.............................................................................. 266
BBaabb 77 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN CATATAN AKHIR ... 270
7.1. SIMPULAN ........................................................................................ 270
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xxv
7.1.1. Visum Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif ...................... 271
7.1.2. Visum Akuntansi Forensik Level Lidik ........................................ 271
7.1.3. Visum Akuntansi Forensik Level Sidik ........................................ 273
7.2. Implikasi ............................................................................................ 275
7.3. Catatan Akhir .................................................................................... 276
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 279
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xxvi
DAFTAR TABEL TABEL 1-1 COMPARATIVE CLASSIFICATION OF 16 TABEL 1-2 PERBANDINGAN SIFAT ANTARA EVIDENTIAL MATTER DAN EVIDENCE 19 TABEL 2-1 PERBANDINGAN METODE PENELITIAN 28 TABEL 2-2 DAFTAR INFORMAN, ASAL LEMBAGA DAN JABATAN 38 TABEL 3-1 INDIKASI AWAL ATAS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP 54 TABEL 3-2 PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF (AI) YANG DILAKSANAKAN BPKP TAHUN 2003 – 2007 58 TABEL 3-3 PELAKSANAAN PERRHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) YANG DILAKSANAKAN
BPKP 58 TABEL 3-4 PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA KASUS PENGADAAN BARANG DAN
JASA KPU PUSAT ERA KEPEMIMPINAN NAZARUDDIN SJAMSUDDIN 63 TABEL 3-5 MATRIKS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI JEMBER 2000 – 2005 94 TABEL 3-6 JENIS- JENIS ALAT BUKTI DAN BEBERAPA PERBEDAAN ANTARA INDONESIA DAN AMERIKA 109 TABEL 4-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYELIDIKAN DAN AUDIT INVESTIGATIF 122 TABEL 4-2 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI BPKP ATAS TUKAR GULING BENGKOK
LAWANG MALANG 129 TABEL 4-3 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI PT. SUCOFINDO APPRAISAL UTAMA
ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG 131 TABEL 4-4 PENGELUARAN INVESTASI PEMKAB MALANG PADA PABRIK GULA MINI PT. KIGUMAS 134 TABEL 4-5 DAFTAR REKANAN PT. KIGUMAS 154 TABEL 4-6 PERHITUNGAN PPN PT SUMBER SARANA MITRA SEJATI 155 TABEL 4-7 DAFTAR SURAT PERINTAH MEMBAYAR UANG (SPMU) 156 TABEL 5-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYIDIKAN (SIDIK) DENGAN PENYELIDIKAN (LIDIK)
170 TABEL 6-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA, SIDIK, LIDIK, DAN AI 237 TABEL 6-2 NAMA TERSANGKA, JUMLAH SAKSI DAN ANGKA PKKN 245 TABEL 6-3 NAMA TERSANGKA, NAMA AHLI BPKP ANGKA PKKN 250 TABEL 6-4 KONSEP ATAU METODA PKKN 251 TABEL 6-5 NAMA TERSANGKA, BARANG BUKTI ANGKA PKKN 253 TABEL 6-6 NAMA TERSANGKA, ALAT BUKTIDAN BARANG BUKTI ANGKA KERUGIAN NEGARA 255 TABEL 6-7 NAMA TERSANGKA, KETERANGAN DAN PENGAKUAN ANGKA PKKN 262 TABEL 6-8 PERTIMBANGAN DAN POSISI PARA PIHAK YANG BERPERKARA DALAM SUATU PERISTIWA
HUKUM 266
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
xxvii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 3-1 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF 114 GAMBAR 3-2 BENTUK VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF 115 GAMBAR 4-1 PROSES PENEMUAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK 165 GAMBAR 4-2 WUJUD VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN 166 GAMBAR 5-1 POLA SPIRALISASI PENCARIAN DAN PENEMUAN BUKTI DALAM BERITA ACARA
PEMERIKSAAN (BAP) 212 GAMBAR 5-2 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN 227 GAMBAR 5-3 WUJUD RANGKAIAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN 228 GAMBAR 6-1 RANGKAIAN INTEGRATIF PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK 238 GAMBAR 6-2 VISUM AKUNTANSI FORENSIK 239
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
1
BBaabb 11 PENDAHULUAN
Wolak-walik ing jaman Kalabendhu…
Wong bener tan saya thenger-thenger;
Wong apik bakal ditampik;
Wong salah tan saya bungah;
Wong jahat bakal munggah pangkat;
Wong ala kapuja;
Wong pinter diinger-inger;
Angkara murka tan saya ndadi…
(Prabu Jayabaya)
1.1. LATAR BELAKANG Membangun Grand Design Dalam Mencari Visum Akuntansi Forensik
Studi ini berkait erat dan terjalin secara berkelindan dengan bagaimana auditor
investigatif, penyelidik dan penyidik mencari, menemukan serta mengumpulkan alat-
alat bukti dan barang bukti terhadap tindak pidana korupsi hingga terbentuk visum
akuntansi forensik yang berfungsi sebagai dukungan litigasi atau ―berperkara‖ dii
pengadilan.
Kata ―forensik‖ itu biasanya diasosiasikan dengan dokter bedah atau otopsi
mayat guna menentukan penyebab dan kapan kematian si korban terjadi. Otopsi
dokter forensik itu akan menghasilkan apa yang disebut dengan visum et repertum1.
Pada tahap berikutnya, pengetahuan forensik ini telah menjadi bagian yang niscaya
dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk menjadi dukungan
bagi pencarian dan penemuan alat bukti dan pembuktian proses litigasi.
1 Visum Et Repertum mempunyai arti Visum = something seen, Et = and dan Repertum = invention, find out, jadi
arti visum et repertum merupakan something seen and invention or find-out. Dengan demikian arti Visum Et Repertum adalah sesuatu atau apa-apa yang dilihat pada si korban (Tuanakotta, 2007, 5 dan Abdussalam, 2006, 6)..
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
2
Pengembangan ilmu pengetahuan ini terjadi pada misalnya fisika forensik, kimia
forensik, metalurgi balistik forensik, antropologi forensik, psikologi forensik dan ilmu
pengetahuan lainnya termasuk di dalamnya adalah akuntansi forensik.
Berbasis dialog sebelumnya, dapat saya nyatakan bahwa akuntansi forensik
merupakan suatu disiplin ilmu akuntansi yang telah menerobos batas-batas demarkasi
yang kemudian didayagunakan untuk kepentingan hukum (as support for a litigation).
Terobosan ilmu akuntansi ini kemudian berkolaborasi dengan ilmu auditing dan ilmu
hukum. Jadi, inheren dalam akuntansi forensik adalah ilmu akuntansi, ilmu auditing
dan pengetahuan hukum.
Untuk lebih memperjelas uraian sebelumnya, berikut ini saya gambarkan
mengenai implementasi dan daya kerja akuntansi forensik dalam tindak pidana
korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, bagi saya, penghitungan kerugian keuangan
negara (PKKN) berada pada domain ilmu akuntansi. Mengapa? Karena, untuk
menghasilkan sebuah angka PKKN itu, dilakukan dengan cara yakni berbasis
dokumen-dokumen dan data akuntansi yang terkumpul, kemudian dilakukan konstruksi
angka PKKN. Langkah konstruktif atas angka-angka semacam itu merupakan
karakteristik utama dan niscaya bagi disiplin ilmu akuntansi.
Pada upaya mencari dan mengumpulkan dokumen dan data, termasuk
mengenai mencari tahu siapa pelakunya, bagaimana pelaku melakukannya, kapan
kejahatan itu terjadi, di mana kejadiannya, mengapa kejahatan ini dilakukan oleh si
pelaku tentu akan masuk pada wilayah audit investigatif. Karena itu tracing, vouching,
reperforming, reconciling, interviewing, inquring dan prosedur serta teknik-teknik audit
lainnya yang terdapat dalam domain ilmu auditing merupakan bagian yang niscaya dan
tidak terhindarkan dalam ilmu akuntansi forensik.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
3
Arsitektur akuntansi forensik yang merupakan kolaborasi atas tiga macam ilmu
pengetahuan itu disetujui oleh Lorie (1998, 6) dengan mengatakan bahwa forensic
accounting may be difined as the practice of accounting in connection with
administration of justice. Forensic accounting, like forensic chemistry, might properly
include examination for the purpose of obtaining evidence; however, auditing includes
this subject. The preparation of fiduciaries report for submission to courts, is included in
estate accounting… both written and oral evidence by the accountant.
Pada akhirnya dalam litigasi, baik laporan PKKN, bukti akuntansi maupun bukti
audit investigatif harus terklasifikasikan ke dalam salah satu dari lima macam alat bukti
yang diatur oleh KUHAP. Jadi, dari diskusi sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dan kejahatan keuangan, keniscayaan
atas elaborasi atas akuntansi forensik merupakan hal yang tidak terbantahkan.
Akuntansi forensik merupakan suatu kolaborasi antara pengetahuan akuntansi,
auditing dan ilmu hukum akan menjadi dasar utama bagi dukungan proses dan
penyelesaian litigasi.
Selanjutnya, fokus studi ini lebih saya tekankan pada bagaimana pencarian
mendalam dilakukan oleh auditor investigatif, penyelidik dan penyidik hingga
terwujudnya suatu potret ―visum akuntansi forensik‖. Bentuk visum akuntansi forensik
dapat saya gambarkan sebagai suatu pertautan antara bukti akuntansi, bukti auditing
dan bukti hukum yang terpecah-pecah dan tersebar (fragmented). Bukti yang
terfragmentasi itu kemudian diikat dalam suatu ikatan yang saling menguatkan antara
satu dengan lainnya. Visum akuntansi forensik inilah yang pada gilirannya akan
menjadi basis pembuktian pada seluruh proses litigasi dalam perkara tindak pidana
korupsi.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
4
Visum akuntansi forensik juga menggambarkan jejaring alat bukti tindak pidana
korupsi berdasarkan teknik, metoda, strategi, dan cara pandang, serta persepsi yang
telah membatin (internalized) pada diri auditor investigatif, penyelidik dan penyidik.
Visum akuntansi forensik sebagai jejaring alat bukti, dapat saya artikan sebagaimana
bangunan alat bukti yang disebut Mautz dan Sharaf2 (1963, 83) sebagai ―rational
argumentation” atau ―rational basis for forming judgement” melalui an extremely
convincing “case” based on a number of established facts and great deal of
rationalization.
Bentuk visum akuntansi forensik akan direpresentasikan dalam suatu jejaring
chart and matrix3 yang di dalamnya berupa alat-alat bukti dan barang bukti. Sebuah
representasi yang dapat memberikan gambaran cermat jelas, dan lengkap (a beyond
reasonable doubt) atas eksistensi tindak pidana korupsi. Dengan kata lain, visum
akuntansi forensik adalah sebuah uraian komprehensif mengenai unsur-unsur
pelanggaran yang disangkakan yang dipadukan dengan perbuatan hukum si pelaku
disertai dengan dukungan alat bukti dan barang bukti atas pelanggaran tersebut.
Jejaring chart and matrix yang terajut dalam layaknya suatu mozaik4 yang tertata
dalam satu gambar yang indah dan mempesona.
2 Dalam American Accounting Association Monograph No. 6, Mautz and Sharaf (1993,82-83) menyatakan
evidence dapat dikategorikan dalam bentuk natural, created, and rational argumentation. “Natural evidence” exist all around us and it relied upon commonly in every mental activity we perform. Natural evidence is the most convincing evidence available. “Created Evidence” is not naturally existent in the world about us; some effort is required to bring it forth. When scientiest performs an experiment he is creating evidence. “Rational Argumentation”, in legal proceedings, for example, a skilfull of attorney may develop and extremely convincing “case” based on number of established facts and great deal of rationalization 3Chart merupakan uraian mengenai modus operandi perbuatan yang dilanggar si pelaku berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku, sedangkan matrix merupakan hubungan relasional yang berkait erat dengan perbuatan si pelaku yang berupa rangkaian satu fakta dengan fakta lainnya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, serta antara satu dokumen dengan dokumen lainnya sehingga terbentuk suatu gambaran kepastian yang kuat bahwa eksistensi kejahatan korupsi telah terjadi Lilik Mulyadi (2007, 150) 4 Mozaik merupakan potongan-potongan gambar, kemudian dihubungkan kembali sehingga menjadi sebuah gambar yang utuh. Masing-masing bagian gambar berdiri sendiri-sendiri namun tidak tidak lepas hubungannya secara integral dengan bagian-bagian yang lainnya. Hubungan tersebut terjadi berkait erat dan terjalin secara berkelindan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
5
Studi ini bersifat eksploratif beraliran paradigma konstruktivis. Langkah eksploratif
dilakukan dengan melakukan kajian mendalam atas kasus-kasus tindak pidana korupsi
yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van bewijs) ditambah dengan kajian
berupa pandangan, doktrin serta sumber-sumber lain yang berkaitan secara erat
dengan kasus tindak pidana korupsi. Kajian akan saya mulai sejak dari informasi awal
yang dapat menggambarkan dari mana sumber-sumber informasi awal itu diperoleh,
bagaimana formulasi indikasi tindak pidana korupsi diyakini hingga visum akuntansi
forensic dalam tindak pidana korupsi itu dapat terwujud secara pasti dan nyata.
Metodologi yang saya gunakan dalam studi ini adalah grounded theory. Suatu
metodologi penelitian yang ditemukan oleh Glasser dan Strauss. Grounded theory
merupakan suatu cara membangun teori berbasis data empirik dengan bekal theoritical
sensitivity, creativity and imagination. Grounded theory adalah suatu cara membangun
teoritisasi data berbasiskan apa yang diungkap subjek (informan) yang diperkaya
dengan sumber-sumber teoritik. Peneliti secara kontinyu akan memoles temuan-
temuan yang didapatkan hingga menjadi sebuah proposisi (hipotesis teori).
Selanjutnya, berkaitan dengan bangunan dan penciptaan proposisi, pada
dasarnya saat manusia berhadapan dengan kompleksitas realitas kehidupan dapat
dipastikan bahwa manusia itu akan menderita apa yang disebut dengan a bounded
rationality. Untuk mengatasi keterbatasannya itu, manusia kemudian membangun
abstraksi dan gagasan berupa simbol (penanda atau metafor) yang dapat dijadikannya
sebagai bentuk representasi kehendak dan pikiran atas wujud realitas itu sendiri.
Abstraksi atau label tersebut akan mewujud dalam bentuk simbol-simbol berupa
bahasa atau konsep atau proposisi. Oleh karena itu, adanya perbedaan preconception
dengan bagian-bagian lainnya. Bagian-bagian itu, bilamana berdiri secara sendiriantidak mempunyai arti di luar kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Bilamana terjadi konflik atau kontradiksi akan dan harus diselesaikan oleh dan dalam sistem mozaik itu sendiri.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
6
yang dimiliki pada setiap manusia membawa konsekuensi atas simbol yang dibuat
tersebut, dan boleh jadi serta mungkin saja akan memiliki bentuk yang berbeda-beda
serta dimaknai secara berbeda oleh manusia lain.
Jadi, pemaknaan atas realitas sosial senantiasa cenderung berpola variatif.
Keanekaragaman pola membawa konsekuensi pada sudut pandang dan hasil
pemikiran yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila ada manusia
yang sangat antusias pada masalah politik, lalu membuat label zoon politicon. Label
itu mengasumsikan pada stigma bahwa manusia senang pada kekuasaan, suka
mengejar kekuasaan dan cenderung mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya
(Machiavellian). Dari stigma ini kemudian muncul gagasan, ide, konsep maupun teori
yang mengisi cakrawala dalam khasanah ilmu politik dan kekuasaan.
Di samping pada masalah politik, ada juga manusia yang tertarik pada masalah
ekonomi, yang kemudian berusaha untuk mencari dan mewujudkan kesejahteraan
bagi dirinya sendiri dan orang lain, lalu lahirlah label homo economicus. Label ini
mengasumsikan bahwa manusia sebagai hewan ekonomi (economic animal) yang
akan selalu mengejar kepuasan materi belaka. Homo economicus mempunyai ciri
utama yakni di satu sisi dia adalah pemburu tangguh benefit maximizer, dan pada sisi
yang lain ia merupakan sosok reduksionis tulen yang senantiasa berfikir atas
terciptanya cost minimizer. Kesadaran, kreasi, kreativitas dan imajinasinya terpateri
kuat untuk selalu berupaya mewujudkan hasil yang optimal dengan biaya yang
minimal.
Namun, ada juga manusia yang mengarahkan sudut pandangnya pada
bagaimana pola perilaku dan interaksi antar individu serta proses sosial masyarakat
berlangsung. Dari sini muncullah kajian di bidang sosiologi yang menekankan pada
understandings, meanings and sense-nya terhadap sistem sosial serta fenomena
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
7
dalam realitas sosial masyarakat. Bagi yang mengandaikan masyarakat menguasai
individu tentu akan menekankan studinya pada pentingnya sistem sosial, yang pada
akhirnya melahirkan berbagai teori mengenai struktur dan fungsi dalam masyarakat.
Lalu muncullah tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim, Talcott Parsons, Anthony
Giddens, dan lainnya. Namun, bagi mereka yang menekankan studi dan tilikannya
pada manusia dalam masyarakat akan selalu mengedepankan proses konstruksi
individu atas dunia sekitarnya. Pandangan demikian itu kemudian menelorkan karya-
karya besar semisal adikarya hasil kreasi Max Weber, Herbert Mead, Georg Simmel,
Erving Goffman maupun kalangan interaksionis simbolik, fenomenologis,
etnometodologis dan kaum konstruktivis lainnya (Maliki, 2003, viii dan Hidayat, 2004,
19]).
Konfigurasi-konfigurasi berbagai macam titik pandang itulah yang kemudian
memunculkan pembagian garis demarkasi pengetahuan secara tegas namun parsial.
Pembelahan itu kemudian menciptakan blok-blok dan sekat-sekat pada berbagai
cabang ilmu pengetahuan yang mandiri. Kondisi seperti di atas itu juga diungkapkan
oleh Max Scheler yang dikutip oleh Abidin (2006,6) sebagai berikut:
“Tidak ada periode lain dalam pengetahuan manusia, di mana manusia menjadi semakin problematis, seperti pada periode kita ini… kita tidak lagi memiliki gambaran yang jelas dan konsisten tentang manusia. Semakin banyak ilmu-ilmu khusus yang terjun untuk mempelajari manusia, tidak semakin menjernihkan konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya malah semakin membingungkan dan mengaburkan... mereka (para ilmuwan) itu tidak ubahnya seperti seorang seniman yang menyambung-sambungkan antara tangan, kaki, kepala, dan anggota-anggota tubuh secara tidak pas, sehingga hasilnya lebih menyerupai monster ketimbang manusia.”
Karena perbedaan sudut pandang itulah tak pelak lalu terhampar panorama
beragam atas cabang dan ranting ilmu pengetahuan yang menghegemoni pikiran
manusia. Konfigurasi fragmentasi itu kemudian dapat kita lihat pada lahir, muncul dan
berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan seperti: fisika, kimia, biologi, psikologi,
sosiologi, antropologi, astronomi, bahasa dan lainnya termasuk hukum, akuntansi dan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
8
auditing. Fragmentasi itu, secara historis membangun komunitas-komunitas sempalan
atau sekte-sekte sendiri yang mengkonstruksi dan mengabstraksi konsepsi yang
dibatinkan (internalized) dalam kesadaran dan nalar-budinya, yang dalam pemahaman
Marxian disebut sebagai memiliki ―suprastruktur‖ yang berbeda baik dalam perspektif,
pola pikir (paradigm) dan sudut pandang (mindset) yang variatif dan berpuspa ragam.
Kondisi semacam itu juga menjadi bagian dari pemikiran fiosofis Gramcian.
(Wahid, 2005, 18). Antonio Gramci mengungkapkan bahwa dunia gagasan,
kebudayaan, superstruktur, bukan hanya refleksi struktur kelas ekonomi atau
infrastruktur yang bersifat material, melainkan juga sebagai salah satu kekuatan
material itu sendiri. Hubungan yang ideal dan material berlangsung tidak searah,
melainkan saling bergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi dan
sekaligus ideologi. Kemampuan gagasan yang menguasai lapisan kesadaran
masyarakat itulah yang disebut sebagai ―hegemoni‖ (Wahid, 2005, 18). Eksistensi
hegemoni atas kesadaran pada benak dan nalar, menjadikan manusia tidak lagi
menjadi ―agen-aktif‖ melainkan sosok ―agen-pasif‖ yang tidak lagi bebas melakukan
kreativitas baru, ide-ide cemerlang dan gagasan-gagasan menantang. Penguasaan
kesadaran secara hegemonik membawa cara pandang bahwa apa yang telah mereka
miliki merupakan sesuatu yang niscaya benar dan menjadi ideologi yang harus dianut
oleh manusia lain. Klaim-klaim kebenaran akan senantiasa berlandaskan dan
bermuara pada ideologi yang diyakini dan menghegemoni pikiran mereka itu.
Selanjutnya, pada aliran paradigma kritikal (critical paradigm) yang mewarnai
pandangan Gramci merupakan era postpositivist yang memiliki ciri utama yakni
menolak ketidakadilan dan menuntut eksistensi keadilan dan emansipasi
(Udiyaningsih, 2007,1). Teori kritik tradisional yang biasa disebut sebagai teori kritik
strukturalis menuntut perubahan total sosial yang adil yang mengambil inspirasi dari
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
9
ajaran Karl Marx yang dikembangkan secara matang yang bermetamorfosis dalam
wujud gerakan New-left dengan Althusser dan Dahrendorf sebagai tokohnya.
Selanjutnya, Udyaningsih (2007, 2) mengatakan bahwa ajaran New-left
memiliki ciri khas yakni mengendepankan human conciousness. Ajaran inilah yang
kemudian dikembangkan oleh Georg Lucacs, Antonio Gramci dan Theodore Adorno
serta Jurgen Habermas5. Mereka melihat dan meyakini bahwa realitas sosial tidak
diciptakan oleh alam tetapi oleh manusia. Realitas sosial itulah yang berkuasa dan
selalu mengkondisikan dan mencuci otak manusia agar memahami atau
menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Habermas dan
kawan-kawannya itu sangat meyakini bahwa realitas yang nampak bukan realitas itu
sendiri. Apa yang nampak dipermukaan merupakan illusi dan distorsi (nemona di balik
fenomena). Para penganut teori kritis akan senantiasa berusaha untuk membuat
realitas yang ada menjadi seimbang, tidak ada yang dikalahkan, disisihkan dan tidak
ada diskriminasi.
Dalam pandangan paradigma kritis, diyakini bahwa manusia memiliki potensi
besar untuk berkreasi. Namun, karena mereka ditekan dan dibatasi oleh kondisi dan
faktor sosial lainnya serta dieksploitasi untuk meyakini bahwa destinasinya telah benar,
lalu keyakinan terhadap illusi yang dianggap benar tersebut (hegemonik), yang pada
ujungnya menciptakan kesadaran yang tidak benar dan mencegah serta membatasi
manusia dalam merealisasikan potensi dirinya secara penuh dan utuh.
Oleh karena itu, Triyuwono (2000, 56) menyatakan bahwa manakala seseorang
memandang dirinya sebagai ―agen pasif‖ yang tak berdaya untuk menciptakan
dunianya sendiri, dia akan masuk dan terperangkap dalam sistem sosial yang ada,
5 Mereka adalah penganut ajaran Karl Mark. Karl Marx dalam materialisme historisnya, mengungkapkan sebuah
proposisi: “bukan kesadaran yang membentuk keadaan, melainkan keadaanlah yang membentuk kesadaran”. Proposisi ini merupakan buah sintesis dari ajaran dialektika Hegelian, Materialisme Feurbach dan teori evolusinya Charles Darwin. (Dawan Rahardjo, 1992, Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, hal. 5-6)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
10
layaknya kehidupan ikan yang tak tahu kehidupan di darat. Triyuwono melanjutkan
bahwa dengan persepsi manusia adalah ―agen aktif‖ tentu dia akan mampu
mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang ditandai maraknya riset etnografik, historik,
fenomenologik, studi kasus, observasi partisipasi dan termasuk grounded theory guna
mendapatkan penjelasan ilmiah, temporer, kontekstual tentang kehendak manusia dan
realitas sosial secara komprehensif.
Seirama dengan yang diungkap Triyuwono, bagi pandangan Michel Foucault,
yang ditulis kembali oleh Boulatta (2001, 194) mengatakan bahwa ‗pemikiran‘ dapat
mengendalikan realitas, seberapa pun tingkatan penguasaan itu. Pandangan Foucault
ini merupakan sebuah pengakuan terhadap kekuatan pengetahuan yang hegemonik.
Pengakuan atas sebuah sistem pengetahuan yang tumbuh, berakumulasi, dan
berputar dalam masyarakat akan menjadi sebuah wacana kultural yang menyebar,
memberi ciri dan membentuk dunia sosial, institusi, nilai, dan perilaku kepada anggota-
anggotanya. Wacana itu akan terdiri dari pemikiran yang diungkapkan dalam
pembicaraan, pernyataan, teks dan cara-cara komunikasi kebahasaan lainnya, dan
umumnya mereka berpegang dan meyakini bahwa wacana tersebut memuat
―kebenaran‖. Bagi Foucault, di mana pun terdapat wacana (discourse), niscaya di sana
kekuasaan akan diterapkan. Agar wacana mengandung kebenaran, maka wacana
harus mampu melakukan konstruksi makna secara verbal dalam suatu cara yang
dapat diterima oleh orang tertentu dan persepsinya terhadap realitas. Dengan kata
lain, ―makna‖ tidak hanya ditemukan dalam pemikiran yang diungkapkan secara verbal,
tetapi juga direpresentasikan dalam masyarakat yang institusinya termasuk dalam
praktik-praktik sosial dan teknik-teknik institusional.
Oleh karena itu, fragmentasi ilmu pengetahuan yang telah didiskusikan
sebelumnya membawa konsekuensi logis dalam komunitas-komunitas pengikutnya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
11
Misalnya, dalam komunitas akuntansi mengartikan suatu teori, asumsi dan simbol yang
dibangun boleh jadi tidak sesuai dan sebangun (tidak berartikulasi) dengan komunitas
lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep, teori-teori dan asumsi-asumsi pada
komunitas akuntansi bisa jadi dan boleh saja tidak sesuai dengan asas-asas atau
kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu hukum. Hal itu terlihat pada misalnya accrual
basis concept dalam komunitas akuntansi telah digunakan begitu luas dan diyakini
mampu menangkap dan merepresentasikan realitas objektif secara holistik, namun
accrual basis concept itu tidak sesuai dengan pola pikir pada komunitas hukum yang
lebih dapat memahami dan menerima secara penuh cash basis concept. Contohnya
saja, depreciation expenses yang merupakan bagian dari cost allocation serta bad debt
expenses yang merupakan wujud implementasi conservatism concepts yang masing-
masing merupakan hasil analisis, estimasi dan perhitungan (suatu biaya yang tidak
berupa uang tunai) kemudian masuk dalam laporan laba rugi dan menjadi pengurang
laba (accounting income) tentu agak sukar untuk dapat diterima dan dipahami oleh
pola pikir komunitas hukum. Laba dalam pola pikir hukum akan senantiasa
dipersepsikan sebagai laba tunai, dan bukan sebagai konsep laba akuntansi atau
lainnya. Komunitas hukum, akan mengalami kesulitan untuk dapat menerima
terjadinya pengurangan laba tanpa adanya uang tunai yang keluar (cash-out flow).
Demikian juga, konsep materialitas (materiality) yang sangat akrab dan selalu
menjadi pegangan komunitas auditor, di mana konsep itu senantiasa akan mentolerir
(excuse) ―jumlah tertentu‖ atas errors and irregularities yang biasa disebut sebagai
misstatement dan/atau misappropriation, boleh jadi konsep materialitas akan
mengandung ketidaksepahaman dengan komunitas hukum. Dalam soal materialitas
itu, komunitas hukum lebih menekankan materialitas pada hubungan antara nilai bukti
dengan persangkaan atau klaim yang dipersengketakan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
12
Tedapat contoh yang dapat kita lihat secara jelas, yakni kasus aliran dana Bank
Indonesia (BI) ke Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar
Rp.100 Milyar. Kasus aliran dana BI itu, saat audit umum (general audit) atas laporan
keuangan BI, penyimpangan angka Rp.100 miliar itu oleh BPK dinyatakan tidak
material, dan karenanya opini atas laporan keuangan BI menjadi wajar tanpa
pengecualian (unqualified opinion). Namun terhadap kasus aliran dana yang sama,
pada perkara hukumnya (tindak pidana korupsi) ternyata Dewan Gubernur BI seperti
Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin, Roswita
Roza, dan pejabat BI lainnya seperti Rusly Simanjutak dan Oey Hoey Tiong terjaring
dalam jeratan kasus hukum.
Demikian juga dalam mengartikan ―kesalahan‖ (wrongs, errors), komunitas
hukum (aliran legalistis positivis-normatif) pada umumnya mengarahkan makna
kesalahan pada isi, maksud dan semangat yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan
yang termaktub dalam Undang-undang, yakni apakah dalam kesalahan (pidana) itu
terdapat perbuatan yang mengandung unsur-unsur pelanggaran yang sudah
diabstraksikan dalam ketentuan undang-undang? Dengan demikian, titik tekan
kesalahan dalam komunitas hukum bukan pada nilai materialitas atau signifikansi nilai
rupiah kesalahan, melainkan lebih pada unsur perbuatannya yang melanggar hukum
(ketentuan), misalnya bukti notulen rapat boleh jadi akan mengandung nilai signifikan
meski secara nominalitas rupiah atas bukti ini memiliki nilai yang sangat kecil.
Perbedaan sudut pandang dalam komunitas akuntansi, auditing dan hukum
sudah tentu membawa konsekuensi terjadinya celah (gap) yang menganga. Kerumitan
akan hadir saat mana komunitas itu dihadapkan secara langsung pada problema
mengenai bagaimana membangun bukti tindak pidana korupsi. Bilamana tidak
dilakukan pertautan atau integrasian diantara komunitas-komunitas tersebut maka
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
13
komunitas akuntansi yang memiliki tradisi berbeda dengan komunitas hukum tentu
mengalami kerancuan (gagap [?]) dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan
alat bukti dan barang bukti atas tindak pidana korupsi.
Komunitas akuntansi dan auditor akan membangun bukti dari jejak-jejak
terjadinya transaksi keuangan seperti keluar-masuknya uang, kontrak-kontrak yang
dibuat dan ditandangani, dan/atau komitmen-komitmen keuangan yang telah dan akan
ditindaklanjuti. Dengan kata lain, bukti akuntansi lebih bersifat konstruktif. Demikian
juga, komunitas auditing, bukti akan dibangun melalui prosedur dan teknik penelusuran
melalui inspeksi, observasi, konfirmasi, wawancara, vouching, tracing, reconciling,
reperforming dan teknik-teknik audit lainnya (lebih bersifat analitik). Sedangkan pada
komunitas hukum, dalam membangun bukti tindak pidana korupsi akan sarat dengan
sifat legal-formalnya di mana bukti akan dihimpun dan diarahkan terhadap kesesuaian
dan kesepaduannya dengan ketentuan yang ada dalam pasal-pasal yang
terformulasikan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
Perbedaan terhadap ketiga bangunan bukti itu akan sangat terasa kental
manakala kita melihat pada fakta-fakta empiris atas berbagai kasus penanganan tindak
pidana korupsi. Banyak para koruptor yang dilepas begitu saja dengan dalih kurang
atau lemahnya alat bukti atau tidak terbuktinya perbuatan melawan hukum si pelaku
(koruptor), atau tidak adanya nilai kerugian keuangan Negara (PKKN). Di sinilah letak
permasalahannya, fragmentasi ilmu pengetahuan telah melahirkan pandangan rabun
jauh (myopic) dan sikap chauvisnistic yang menegasikan dan mencoba mengeliminasi
bidang ilmu lain atau tidak sejenis. Mereka lupa, sejatinya ilmu pengetahuan adalah
sebuah bentuk human science, yakni suatu ilmu pengetahuan yang berguna bagi
hidup dan kehidupan manusia, bukan ilmu pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
14
Pandangan sempit seperti itu dapat kita lihat misalnya pada pengetahuan
akuntansi yang lebih tunduk pada tyranny of numbers. Angka-angka menjadi berhala
dan sumber kebenaran. Padahal realitas masyakat tidak mungkin hanya dapat
dideskripsikan, dieksplanasi dan/atau diprediksi melalui angka-angka an sich, hal itu
mengingat luasnya rentang dimensi dan variasi yang berada dalam hidup dan
kehidupan manusia. Karena itu, sudah seharusnya akuntansi juga harus sanggup
menoleh pada ilmu pengetahuan lain dan mengembalikan kegunaan ilmu pengetahuan
bagi manusia dan memberikan jalan keluar terbaik bagi penyelesaian problema hidup
dan kehidupan manusia yang kompleks ini.
Demikian juga halnya pada ilmu pengetahuan hukum, sudah seharusnya tidak
lagi memiliki sifat normatif, doktrinal, formal, dan legalistik semata. Ilmu hukum harus
memiliki corak responsif dan progresif6 serta berada pada aras hubungan yang berkait
erat antara manusia dengan hukum. Ilmu hukum sebagai human science, seharusnya
dibuat, dirumuskan, diabstraksikan, dipahami dan dijalankan oleh manusia serta dapat
mengayomi dan melayani kepentingan manusia dan terbuka serta menyentuh atas
jejaring sosial kemanusiaan. Karakter responsif akan menggambarkan suatu kapasitas
adaptasi yang bertanggung jawab, selektif dan tidak serampangan. Responsif, adalah
sebuah bentuk bukti yang mampu mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial
bagi integritasnya, sembari tetap memperhatikan eksistensi kekuatan-kekuatan baru
dalam lingkungannya (Nonet, 2007, 91).
Karakter responsif ala Nonet tersebut akan dibangun melalui tekanan-tekanan
sosial sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus peluang bagi koreksi-diri,
mengedepankan pertimbangan tujuan (result-oriented) daripada peraturan (legisme)
6 “Progresif“ berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mengikuti perkembangan
zaman dan sekaligus mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri (Susanto, 2007, 28-29).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
15
belaka. Karakter responsif akan mengandung kekangan erat untuk tidak dikonstruksi
melampaui batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Doktrin tersebut
sering dikenal dengan “ultra-vires doctrine” 7. Karakter progresif akan dikonstruksi
dengan ciri holistik tentu memiliki sifat yang selalu begerak baik secara evolutif
maupun revolusioner. Sebuah sifat pergerakan yang tidak dapat dihilangkan atau
ditiadakan namun sesuatu yang eksis dan prinsipil (Satjipto Rahardjo, 2006, 18).
Dengan demikian, esensi dan substansinya adalah ―pemaknaan‖ yang tak
pernah berhenti, dan senantiasa melakukan upaya pendewasaan sekaligus
pematangan bagi pembebasan serta selalu melakukan searching for the thruth. Bila
perlu, dalam visum akuntansi yang baru tersebut memiliki respons dalam melakukan
pergeseran paradigmatik (shifting paradigm) dan dapat dilakukan ―referendum‖ secara
terus menerus dalam rangka untuk membangun konsep, teori, asas, prinsip, standar,
treatment yang boleh jadi baru yang mengedepankan rasa keadilan, dimensi kegunaan
serta menciptakan ketertiban atas hidup dan kehidupan manusia.
Dengan mencuatnya perbedaan sudut pandang terhadap bukti dalam
penyelesaian kasus korupsi misalnya, ditambah dengan kedekatan akuntansi, auditing
dan hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi tentu merupakan sebuah
kajian menarik dan menantang. Studi mengenai akuntansi forensik yang fokus
utamanya mengarah pada bagaimana proses membangun hingga terbentuknya visum
akuntansi forensik merupakan sebuah studi yang promising and bridging the gap.
7 Dengan diakuinya badan hukum sebagai badan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah dengan para pribadi-pribadi dilandasai oleh berbagai dasar dan filosofi hukum. Akan tetapi eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum. Dengan demikian, eksistensi suatu perseroan terbatas sebagai suatu badan hukum mandiri hanya dapat terlaksana dengan suatu konsesi khusus dari negara. Salah satu cara untuk menjaga agar perseroan tidak menyimpang dari misinya semula, sehingga selalu dapat diawasi adalah dengan membatasi dan mengawasi secara ketat kewenangan-kewenangannya, yang harus ditulis secara tegas dalam anggaran dasarnya. Dalam melaksanakan kewenangannya suatu perseroan tidak diperkenankan ke luar dari kewenangan yang sudah ditulis dalam anggaran dasar tersebut. Dari latar belakang filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin ultra vires (Fuady, 2002, 114-115)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
16
Visum akuntansi forensik ini menjanjikan solusi dan sekaligus dapat menjembatani
kesenjangan yang menjadi kendala utama dalam praktik mencari, menemukan dan
mengumpulkan alat bukti, barang bukti dan pembuktian bagi proses litigasi atas kasus-
kasus tindak pidana korupsi.
Terkait dengan combat to corruption, yang masalah utamanya adalah
bagaimana proses mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, barang bukti
dan pembuktian merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan bagi
berkurangnya tindak pidana korupsi. Namun, banyak auditor yang berlatar pendidikan
akuntansi an sich mengira bahwa bukti dalam auditing sama dengan bukti yang
digunakan di pengadilan. Padahal, terdapat perbedaan karakteristik signifikan antara
bukti audit dengan bukti yang dipergunakan dalam proses litigasi di pengadilan .
Tabel 1-1 COMPARATIVE CLASSIFICATION OF EVIDENCE IN THREE FIELDS
SIGNIFICANT
CHARACTERISTICS
LAW
AUDITING
ACCOUNTING
Special purpose of area to which evidence pertinent
Maintenance of justice
Protection of statement readers
Protection for stockholders, creditors and stakeholders
Subject matter to which evidence is pertinent
Occurences at given times and places
Financial statement propositions
Financial statement propositions
Method of collection or development
Presentation by opposing parties; rational deduction and inference.
Submission by interested and disinterested parties; Collected and developed by independent party; Rationalization
Submission by management; standarized by GAAP or/and IFAC i.e. IAS, IFRS and ICQS.
Role of judgement formation and evidence collection or development
Passive Both positive and passive Both positive and passive
Nature of rules governing the study of evidence
Logical presumptions; Rules of admissibility and relevance
Professional standards Professional standards
Importance of time in judgement formation and evidence collection
A controlling factor A controlling factor
A controlling factor
Compulsiveness of evidence in judgement formation
Persuasive Varies from absolute to persuasive
Absolute
Sumber: Mautz dan Sharaf (1993, 92) dan Tuanakotta, (2007, 225), yang telah saya tambah dan olah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
17
Tabel 1.1. bukti hukum akan senantiasa berkait-erat dengan hal-hal yang
spesifik. Dalam proses litigasi, bukti hukum akan disampaikan kepada hakim untuk
membangun keyakinannya sendiri (hti nurani) dalam memberikan keputusan hukum.
Dengan demikian, dalam perkara pidana, bukti hukumnya itu harus memiliki
kriteria a beyond reasonable doubt. Sedangkan pada sisi lain, bukti akuntansi dan
auditing (dapat dilihat pada tabel 1.1.) Jadi, bukti hukum, bukti audit dan bukti
akuntansi memang berbeda. Perbedaan lebih disebabkan karena memiliki tujuan yang
berbeda. Artinya, bukti hukum akan digunakan untuk meyakinkan (to convince) kepada
hakim dalam mengambil putusan hukum, sedangkan bukti akuntansi digunakan untuk
mengkonstruksi suatu asersi dan bukti audit ditujukan membangun opini atau laporan
yang menghasilkan suatu kepastian bahwa asersi telah sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan atau suatu aturan yang niscaya berlaku umum.
1.2. PERMASALAHAN DAN FOKUS PENELITIAN Membangun Arah menuju Visum Akuntansi Forensik
―Kecurangan tidak selalu menyisakan bukti yang cukup laiknya smoking gun‖ kata
Douglas W Squires (2003, 43) dalam ―Problems solved with forensic accounting:
a legal perspectives‖. Kalimat Squires itu menyiratkan bahwa kejahatan keuangan atau
tindak pidana korupsi, boleh jadi tidak banyak menyisakan jejak kejahatannya. Para
penjahat keuangan itu telah membungkus perbuatan jahatnya secara berlapis-lapis
sehingga sulit untuk dilacak dan ditemukan alat bukti dan barang buktinya.
Seirama dengan hal di atas, dalam rangka perang melawan tindak pidana
korupsi tentu kehadiran akuntan forensik atau financial criminalist merupakan
keniscayaan yang tak terpungkiri. Lebih-lebih, seperti pada kondisi dan situasi tekanan
resesi keuangan global seperti yang terjadi saat ini, tentu memunculkan creative
(negative) accounting bahkan financial shananigan berupa cooking the book secara
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
18
gila-gilaan. Munculnya financial shananigan, mungkin saja menjadi bagian dari strategi
culas dari para pengelola, direktur dan manajemen baik perusahaan swasta, BUMN
maupun aparatur Pemerintah untuk melakukan othak-atik-gathuk pada sisi
perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban keuangan. Akibatnya, fraud
and corruption akan mengemuka seiring dengan perilaku jahat tersebut. Manakala
kejahatan keuangan itu eksis, maka pertanyaan besarnya adalah bagaimanakah
auditor, penyelidik dan penyidik melakukan eksplorasi untuk mencari alat bukti dan
barang atas tindak pidana yang mereka lakukan itu? Di samping itu, pertanyaan
strategik berikutnya adalah bagaimana bentuk alat bukti yang mereka temukan itu?
Berbasis pengalaman panjang sebagai auditor (sejak 1990), dapat saya
katakan bahwa keabsahan dan relevansi bukti itu akan sangat tergantung pada
keadaan dan situasi yang berkait-erat dengan pemerolehan atas bukti tersebut. Jika
bukti itu berkaitan dengan audit laporan keuangan maka bukti audit akan lebih banyak
mengandalkan pada bukti yang bersifat mengarahkan (persuasive evidence) daripada
yang bersifat meyakinkan (convincing evidence). Namun untuk audit investigatif, bukti
akan lebih berfokus pada bukti yang dapat meyakinkan dan memastikan eksistensi
fraud, kejahatan keuangan atau tindak pidana korupsi .
Sejalan dengan bukti audit, kritik tajam (self critic) telah dilakukan oleh
Bambang Sudibyo (2001, 3). Sudibyo mengatakan bahwa antara apa yang dimaksud
dengan keterjadian bukti (evidential matter) dengan bukti (evidence) itu mempunyai
makna yang berbeda. Evidence lebih mengarah pada makna hukumnya (form over
substance), sedangkan evidential matter lebih menekankan pada makna substansinya
(substance over form). Dengan demikian, menurut Sudibyo, bukti akuntansi
seharusnya tidak mereduksi pemahaman bukti sebagai substance over form dan
kemudian mengubahnya menjadi form over substance. Reduksi semacam itu
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
19
membawa dipertanyakannya atau diragukannya integritas auditor dalam menerbitkan
opini atas laporan keuangan auditan. Evidential matter harus diperoleh auditor dengan
mendayagunakan basis intelektual dan moral bagi penerbitan opini akuntan. Opini
seharusnya tidak hanya dilandaskan pada evidence semata. Hal itu disebabkan
karena, evidence lebih menekankan pada sisi formal legalnya belaka, sedangkan
evidential matter lebih memiliki dan juga mengedepankan makna sisi subtansinya,
lebih punya isi dan mampu mencerminkan realitas secara komprehensif (a double
mirror image). Karena itu, pereduksian evidential matter menjadi evidence
berkonsekuensi atas kurang dapatnya laporan keuangan auditan mencerminkan dan
berartikulasi dengan realitas objektif (perbandingan antara evidential matter dengan
evidence dapat dilihat pada tabel 1.2).
Tabel 1-2 PERBANDINGAN SIFAT ANTARA EVIDENTIAL MATTER DAN EVIDENCE DALAM BUKTI AUDIT LAPORAN KEUANGAN
No
EVIDENTIAL MATTER
EVIDENCE
1. Ada di dalam benak atau kesadaran intelektual dan mental (hati) auditor
Ada di luar benak auditor
2
Abstrak
Konkrit, empiris
3
Realitas subyektif
Realitas obyektif
4
Realitas substantive
Realitas bentuk
Sumber: Sudibyo (2001, 8)
Tabel 1.2. menjelaskan empat perbedaan utama antara evidential matter
dengan evidence. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tebaran bukti-bukti akuntansi yang
menjadi basis laporan keuangan dan atau asersi lainnya boleh jadi lebih bersifat
evidence belaka, yang mengandung formalitas saja dan tidak mencerminkan evidential
matter yang memiliki kandungan substansi dan keterjadiannya. Bisa jadi, bukti-bukti
tersebut hanya kamuflase dan disebut juga sebagai ―bukti-buktian‖ yang hanya
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
20
memiliki kandungan asal ada bukti, atau hanya sekedar memenuhi syarat formal
semata.
Selanjutnya, berkaitan dengan proses mencari dan membangun alat bukti dan
pembuktian bagi dukungan proses litigasi, ilmu akuntansi forensik ternyata menjadi
rujukan dan keniscayaan yang tidak terhindarkan. Sebagai akibatnya, dengan ilmu
akuntansi forensik menjadi rujukan utama, telah menggugah ketertarikan para
akademisi untuk lebih mendalami dan memperkaya isi pengetahuan ini.
Ketertarikan para akademisi itu tercermin dari salah satunya adalah Mary-Jo
Kranacher et. al (2008) mengajukan a model curriculum for education in fraud and
forensic accounting yang dimuat dalam issues in accounting education. Tulisan Mary
Jo berisi mengenai apa saja yang harus dimasukkan dalam bahan ajar dalam
akuntansi forensik.
Dalam hal pengembangan akuntansi forensik, West Virginia University juga
telah melakukan kerja sama dengan National Institute of Justice yang kemudian
membentuk a planning panel dan technical working group (TWG) yang akhirnya
membuat suatu rekomendasi yang berisi antara lain bahwa isi materi mata kuliah
akuntansi forensik seharusnya meliputi antara lain: (1) criminology, (2) fraud
prevention, detection, investigation and remediation, dan (3) forensik and litigation
advisory service, termasuk di dalamnya adalah materi mengenai valuation of losses
and damage, dispute investigation, conflict resolution serta materi mengenai arbitrase
dan mediasi (mediation).
Jadi, rekomendasi atas materi akuntansi forensik itu tidak lebih adalah sebuah
gabungan lintas ilmu, yakni antara ilmu akuntansi, auditing, appraisal/valuation, hukum,
kriminologi serta psikologi. Yang menarik pada salah satu isi tulisan rekomendasi itu
adalah adanya interrelasi dinamis antara auditing, fraud examination, dan forensic
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
21
accounting. Artinya, dalam pekerjaan auditor, fraud professionals dan akuntan forensik
akan senantiasa memiliki hubungan sinergis dan terjalin secara berkelindan di antara
ketiganya
Sridhar Ramamoorti (2008) memiliki pandangan berbeda dengan Mary-Jo
Kranacher. Ramamoorti mengemukakan bahwa dalam kurikulum fraud and forensic
accounting harus mengandung muatan komponen aspek psikologi dan sosiologi
bahkan antropologi, di mana ketiganya merupakan rumpun Behavioral Sciences.
Ramamoorti meyakini bahwa disiplin-disiplin ilmu tersebut akan menjadi dukungan
kuat dan bekal bagi kerja akuntan forensik. Ramamoorti menjelaskan pentingnya
behavioral science dalam kurikulum akuntansi forensik mengingat kerja akuntan
forensik harus selalu memahami dan sanggup menyibak motif perbuatan jahat si
pelaku. Di samping itu akuntan forensik akan senantiasa berhadapan dengan berbagai
bentuk karakter manusia yang beraneka ragam berikut modus operandi dari kejahatan
keuangan.
Di samping dua yang telah saya sebut terdahulu, Lester and Heitger (2008)
mengharapkan adanya incorporating forensic accounting and litigation advisory service
into the classroom. Demikian juga George E Curtis mengatakan bahwa legal and
regulatory environments and ethics merupakan essential components of a fraud and
forensic accounting curriculum. Jadi, dengan semakin penting peranan akuntansi
forensik dalam membangun alat bukti dan pembuktian dalam litigasi menjadikan para
akademisi tergugah untuk membangun gagasan terhadap pengkayaan bahan ajar dan
kurikulum bagi materi akuntansi forensik. Materi yang komprehensif dalam mata kuliah
akuntansi forensik diharapkan dapat membekali para calon akuntan bahan-bahan
yang cukup sebagai bekal dalam praktek mereka kelak.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
22
Di samping itu terdapat beberapa tulisan mengenai akuntansi forensik. Adalah
seperti Leonard W Vona (2008) yang menulis mengenai fraud risk assessment yang
berfokus pada bagaimana membangun audit program untuk melakukan fraud audit.,
Vona secara cantik dan rinci memberikan kisi-kisi tentang bagaimana seharusnya
menulis sebuah laporan hasil fraud audit yang baik dan benar bagi kebutuhan litigasi di
pengadilan. Menurut Vona, kesalahan penulisan dapat berakibat fatal dalam putusan
akhir proses litigasi. Salah satu ciri tulisan bagi hasil fraud audit adalah tulisan itu harus
sederhana, tidak bertele-tele dan tidak mengandung kalimat yang multi tafsir. Vona
menyarankan agar tulisan lebih mengedepankan pada fakta-fakta dan tidak memuat
opini-opini yang dapat membangun tafsir yang bermacam-macam.
Tidak ketinggalan, Thomas W Golden et.al (2006) yang menulis mengenai
a guide to forensic accounting investigation. Yang menarik Tulisan Golder ini, adalah
uraiannya mengenai teknik-teknik interviu dan data mining dalam computer-aided
forensic accounting investigation techniques. Golden mengingatkan bahwa forensic
technology techniques telah menjadi sebuah keniscayaan dalam banyak kasus
investigasi atas kasus kejahatan keuangan dan tindak pidana korupsi.
Tulisan lain mengenai akuntansi forensik dan fraud investigation dilakukan
seperti Hopwood et.al (2008), Linquist et. al ( 2008), Silverstone dan Sheet (2004 &
2007), Joseph T Wells (2007), Singelton et.al (2006), Tuanakotta (2008, 2009 dan
2010) dan para akademisi lainnya. Tulisan mereka memberi andil besar pada
perkembangan dan pematangan akuntansi forensik. Misalnya saja pada tulisan
Tuanakotta (2008 dan 2009) yang menguraikan dan mencoba mengkaitkan antara
dimensi fraud investigation dengan arah akhir dari tujuan forensic accounting.
Tuanakotta telah mencoba mengkaitkan antara teknik-teknik audit investigatif dengan
wilayah hukum yang berlaku di Indonesia. Tulisan Tuanakotta itu juga telah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
23
mengkaitkan antara perbuatan melawan hukum si pelaku dengan akibat perbuatannya
tersebut, yang kemudian bagaimana cara menghitung perbedaan antara yang
seharusnya dengan yang sebenarnya dalam angka kerugian keuangan negara,
terutama dalam tindak pidana korupsi.
Perkembangan akuntansi forensik itu juga menggugah hati peneliti Malaysia
Ibrahim dan Mazni (2006). Ibrahim dan Mazni melakukan penelitian kepada para
praktisi (direktur dan manajer) pada the big accounting firms, medium accounting firms,
professional bodies and regulatory bodies, senior executives dari Bursa Malaysia,
Securities Commissions, The Association of Chartered Certified Accountants/ACCA)
dan The Malaysian Institute of Certified Public Accountants (MICPA). Hasilnya adalah
bahwa perkembangan akuntansi forensik di Malaysia sangat lamban. Kelambanan
perkembangan akuntansi forensik di Malaysia disebabkan oleh yang pertama adalah
bahwa jasa akuntansi forensik sangat mahal karena hanya bisa dilakukan oleh the big
accounting firms; dan biaya akan menjadi lebih mahal manakala kasus dibawa ke
pengadilan yang menyertakan akuntan forensik sebagai saksi ahli. Kedua adalah di
Malaysia belum adanya regulasi yang mengharuskan mendayagunakan akuntansi
forensik manakala perusahaan-perusahaan masuk dalam kategori distress company.
Penelitian ini telah menunjukkan bahwa peran akuntan dan akuntansi forensik sangat
diperlukan bagi penanganan kasus keuangan dan korupsi.
Seirama dengan uraikan sebelumnya, studi ini akan berangkat melakukan
eksplorasi pada kasus korupsi. Research question yang dibangun adalah bagaimana
proses auditor investigatif, penyelidik dan penyidik dalam mencari, menemukan,
mengumpulkan dan kemudian membangun visum akuntansi forensik sebagai alat
dukung bagi proses litigasi.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
24
Dalam hubungannya dengan alat bukti dan pembuktian, sebuah dakwaan
dapat dinyatakan jelas, cermat dan lengkap manakala telah memenuhi syarat-syarat
mengenai bentuk atau jenis tindak kejahatan yang dilakukan, yakni siapa pelakunya, di
mana dilakukan (locus delicti), kapan dilakukan (tempus delicti), bagaimana
melakukannya (modus operandi), apakah yang mendorongnya (motif atau niat), apa
ketentuan yang dilanggarnya (Chazawi 2006, 44). Hal-hal itu adalah sederetan
pertanyaan yang harus masuk dalam alat bukti yang akan menjadi dasar pembuktian.
Berkait dengan bagaimana proses membangun bukti kejahatan korupsi, khususnya
pada soal bagaimana mencari, menemukan, mengumpulkan dan membangun alat
bukti, studi-studi berikut ini juga menjadi referensi berharga bagi penelitian ini.
Dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi, penelitian Daniel (2001)
menyimpulkan bahwa aparat penegak hukum relatif tidak berdaya, atau tidak
mempunyai kekuatan untuk menghadapi jenis tindak pidana korupsi. Hal itu dapat
terjadi karena dua alasan pokok yaitu: (a) kedudukan ekonomi dan politik yang kuat
dari si pelaku, (b) keadaan-keadaan di sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu
sedemikian rupa, sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan.
Kesulitan membangun bukti juga menjadi simpulan studi Soemarto (2004)
bahwa banyak kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti sah khususnya dalam
mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti keterangan saksi dan surat.
Akibatnya adalah seringkali sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan,
penuntut umum sudah menyerah dan menyimpulkan bahwa perkara tersebut kurang
atau tidak cukup bukti. Sedang dalam hal menguak motif korupsi, studi Indrawati
(2001) menemukan bahwa motif-motif tindak pidana korupsi salah satunya adalah
ketidaksiapan mental dan manajemen penerima dana dalam mengelola utang tersebut,
kemudian memicu timbulnya penyimpangan dana KUT.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
25
Di samping uraian terdahulu itu, kita juga dapat menyaksikan bahwa banyak
kasus-kasus korupsi ditangani dengan susah payah dan berbiaya besar kemudian
pada akhirnya dibebaskan oleh Majelis Hakim. Penanganan kasus-kasus tindak pidana
korupsi yang kemudian si pelaku dibebaskan, membangunkan keingintahuan untuk
kemudian tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus-kasus tindak pidana
korupsi.
Dari uraian sebelumnya itu, fokus studi ini akan diarahkan untuk menjawab
pertanyaan penelitian (research question) yang saya formulasikan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah auditor investigatif, penyelidik dan penyidik melakukan proses eksplorasi dan integrasi untuk membangun visum akuntansi forensik pada kasus tindak pidana korupsi korupsi?
2. Bagaimanakah bentuk visum akuntansi forensik pada kasus
tindak pidana korupsi?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Bentangan Horison dalam Mencari Panorama Wujud Visum Akuntansi Forensik
Alat Bukti dan barang bukti merupakan cara efektif untuk membuktikan
kebenaran, apakah si terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Namun, dalam mencari
alat bukti dan barang bukti dalam rangka untuk membuktikan suatu kejahatan tindak
pidana korupsi, kita sering menjumpai beberapa kerumitan dan banyaknya kendala
dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti tersebut.
Kerumitan dan kendala dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan alat
bukti dan barang bukti serta membuktikan eksistensi tindak pidana korupsi, telah
mengarahkan tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan eksplorasi mendalam
terhadap realitas obyektif mengenai bagaimanakah pola auditor investigatif, penyelidik
dan penyidik mencari, menemukan, mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
26
kemudian untuk membangun wujud dan deskripsi atas visum akuntansi forensik
as a support for a litigation.
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN Upaya Membangun Monumen Bagi Anak Bangsa
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat antara lain:
(a) Mengetahui proses mencari, menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi
forensik;
(b) Menemukan wujud visum akuntansi forensik, sebagai bahan bagi penentuan
kebijakan dan perencanaan dalam membangun alat bukti dan pembuktian pada
kasus kejahatan keuangan (fraud) atau tindak pidana korupsi.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
27
BBaabb 22 METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan penelitian kualitatif, bila dilihat dari aktivitasnya
mirip dengan gerak kegiatan spionase. Karena peneliti
mencari, memata-matai, meneropong, mengintai untuk
mengambil data mentah dan kemudian menemukan
pengetahuan dari lapangan...
2.1. PENGANTAR Penelitian Kualitatif dan Grounded Theory
Penelitian Ilmiah adalah proses memecahkan masalah dengan menerapkan
metode ilmiah. Dalam penelitian akuntansi, ada dua poros utama yakni kuantitatif dan
kualitatif. Pada kegiatan penelitian kualitatif, terutama pada aliran kritis dan
posmodern, bila dilihat dari aktivitasnya mirip dengan gerak kegiatan spionase. Karena
peneliti akan selalu mencari, memata-matai, meneropong, mengintai dan kemudian
menemukan pengetahuan dari lapangan (raw data). Meskipun demikian, temuan Ilmu
pengetahuan harus tetap dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah-kaidah ilmiah
agar gejala yang diteliti dan data yang diperoleh benar-benar cermat, andal, dan sahih.
Tuntutan atas keharusan penelitian dalam memenuhi kaidah-kaidah ilmiah
membawa konsekuensi bahwa, proyek penelitian harus memiliki asumsi-asumsi
mengenai apa itu ilmu pengetahuan (ontologi), bagaimana cara kita mengetahuinya
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
28
(epistemologi), apa nilai-nilai yang masuk ke dalamnya (aksiologi), bagaimana kita
menulis mengenai hal itu (retorika), dan bagaimana proses mengkajinya (metodologi).
Kegiatan penelitian kualitatif mirip tindakan subversif, karena dalam penelitian
kualitatif sering kali ilmu pengetahuan yang sudah mapan diprovokasi, digoyang,
digedor, dibongkar dan dipertanyakan kebenarannya. Tindakan provokasi semacam itu
dapat diibaratkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Galileo Galilei pada
ratusan tahun yang lalu, yakni membongkar total keyakinan bahwa matahari
mengelilingi bumi. Galileo membalik paradigma secara revolusioner dan dramatik
terhadap paradigma ―geosentris‖ yakni bumi sebagai pusat pergerakan bintang-
bintang, lalu diubahnya menjadi paradigma ―heliosentris‖, yang berarti matahari
sebagai pusat pergerakan bintang-bintang dan bumi. Suatu perubahan paradigma
yang membalik total paradigma yang telah mapan dan diyakini kebenarannya oleh
semua orang, termasuk keyakinan yang dimiliki gereja. Karena itu, sebagai imbalannya
Galileo Galilei bersama kawan seperjuangannya Copernicus harus membayar dengan
harga yang sangat mahal, mati di tiang gantungan!
Tabel 2-1 PERBANDINGAN METODE PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
KUALITATIF
KUANTITATIF
Mendasarkan diri pada kekuatan narasi dan deskripsi Mendasarkan diri pada angka dan kalkulasi matematis
Studi dalam situasi alamiah (natural) Mengambil jarak dari situasi alamiah
Kontak langsung di lapangan Menjaga jarak dari yang diteliti
Cara berfikir induktif Cara berfikir deduktif
Perspektif holistik (mengungkap seluruh persoalan) Perspektif reduktif (menyederhanakan persoalan)
Berorientasi pada kasus-kasus unik Berorientasi pada universalitas, generalisasi
Memiliki fleksibilitas desain Desain ditentukan dari awal
Peneliti instrumen kunci Desain penelitian adalah instrumen kunci
Sumber: Widoyoko, et.al (2006, 11-12)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
29
Tabel 2.1. menggambarkan perbedaan metode penelitian kualitatif dan
kuantitatif dalam berbagai sudut dan dimensi. Karena itu penelitian kualitatif itu
memiliki beberapa ciri yang khas. Ciri yang dimiliki penelitian kualitatif antara lain
adalah banyak mendasarkan pada kekuatan narasi. Artinya, untuk mengungkapkan
realitas sosial yang kompleks, peneliti akan senantiasa bertumpu pada kekuatan narasi
yang ditulisnya. Hal mana dilakukan untuk menunjukkan kedalaman persoalan dengan
segenap aspek interpretasi terhadap realitas. Ciri lainnya adalah, penelitian kualitatif
tidak selalu mendasarkan pertanyaan penelitian (research question) dari awal.
Pertanyaan penelitian awal boleh jadi akan berubah setelah data terkumpul atau
setelah peneliti telah dapat memahami dan menyelami fenomena yang diteliti itu.
Karena itu, pertanyaan penelitian dapat saja diganti atau direformulasi dalam
perjalanan penelitian.
Dalam soal pengumpulan data, penelitian kualitatif tidak memanipulasi dan/atau
membuat perlakuan khusus dan mengelompokkan data seperti penelitian kuantitatif.
Data diperlakukan sebagaimana adanya secara alamiah, dan data dikumpulkan
sepanjang proses penelitian. Peneliti secara terus menerus juga melakukan
penambahan dan melakukan pembaharuan data, baik melalui observasi dan/atau
wawancara mendalam, maupun studi pustaka.
Dalam soal analisis, penelitian kualitatif melakukan analisis dengan membuat
sintesis dari data yang telah terkumpul. Sedangkan dalam pengambilan simpulan
akhir, peneliti melakukan pengambilan keputusan secara terus-menerus dalam proses
penelitian sehingga terbuka kemungkinan simpulan berubah manakala ditemukan data
yang baru dan berbeda dengan data awal, yang dapat mengubah simpulan awal.
Bab dua ini akan menguraikan mengenai apa, bagaimana dan mengapa
grounded theory digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini saya lakukan dalam
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
30
perspektif konstruktivis. Strategi penelitian saya letakkan dalam hubungan antara
subjek dengan realitas. Demikian juga halnya, orientasi penemuan bukan pada
proposisi-proposisi yang sistematis sebagai good science melainkan lebih kepada
pemahaman (understandings). Sebuah pemahaman atas makna realitas yang
terhampar dalam realitas penelitian. pembentukan pemahaman lebih pada daya
refleksivitas dan indeksikalitas. Daya refleksivitas akan mengacu pada kemampuan
menemukan dan merefleksikan dunia pengalaman, sedangkan indeksikalitas mengacu
pada kemampuan membahasakan kembali refleksi dunia pengalaman ke dalam
lambang-lambang kebebasan guna memahami pertalian maknanya dengan objek
pemahaman (verstehen8) yang bercorak asosiatif.
2.2. OBYEK DAN SETTING Lahan Eksplorasi Bahan Dasar Bagi Visum Akuntansi Forensik
Obyek studi saya lakukan pada kasus-kasus tindak pidana korupsi yang
relevan dengan agenda penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara mendalam (indepth interview) dan kajian kritis atas berbagai dokumen-
dokumen, berkas-berkas yang berkaitan dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, pengkayaan atas penelitian ini saya bangun melalui tambahan informan
dari Kejaksaan, Advokat, auditor BPKP dan BPK, Penyelidik dan Penyidik, Dosen serta
8Verstehen adalah sebuah istilah dalam bahasa Jerman yang memiliki arti dalam bahasa Inggris adalah understanding. Istilah ini dalam bahasa jerman untuk menunjukkan pemahaman dari dalam dengan cara empati, intuisi atau imajinasi sebagai oposisi dari pengetahuan dari luar, dengan cara observasi dan kalkulasi. Istilah ini khususnya digunakan oleh sosiolog Jerman Max Weber dan juga oleh filsuf-filsuf aliran neo-kantian seperti Dilthey dan Rickert. Beberapa ilmuwan menganggap verstehen merupakan karakteristik ilmu-ilmu sosial sebagai lawan dari ilmu-ilmu alam. Ada yang menyebut bahwa verstehen itu diperoleh atau berasal dari metode “hermeneutika”. Hermeneutika adalah sebuah pendekatan untuk memahami pemikiran pengarang dan struktur dasar dari suatu “teks” (Maryaeni, 2005, 33). Sementara itu, hal yang sama juga dinyatakan oleh Jujun Suriasumantri (1999, 144) bahwa Verstehen adalah suatu metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan, yang secara harfiah akan berarti “pengertian”, suatu kontras dengan apa yang disebut wissen yang berarti “mengetahui”. Dalam hal ini tujuan ilmu-ilmu sosial bukan untuk “mengetahui” namun harus “mengerti” terhadap suatu kejadian sosial. Oleh sebab itu metode untuk ilmu pengetahuan sosial hatus berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Sebuah “pengertian” akan didapat dengan jalan menempatkan diri kita (peneliti) pada tempat obyek yang ditelitinya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
31
sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. Wawancara mendalam saya lakukan
sebagai upaya untuk menambah, memperdalam dan memperkaya data yang telah
terkumpul.
2.3. GROUNDED THEORY Metode Penjelajahan Dalam Mencari Visum Akuntansi Forensik
Grounded theory ditemukan oleh dua orang ahli sosiologi yaitu Barney G.
Glasser dan Anselm L. Strauss pada tahun 1960-an. Berbeda dengan para teoritikus
a priori, mereka berdua memegang teguh pandangan bahwa teori-teori harus diasah
dalam data dari lapangan, khususnya dalam tindakan, interaksi dan proses sosial
seseorang (Creswell, 1994, 56).
Meskipun masing-masing berasal dari latar filsafat dan penelitian yang
berbeda, mereka memberi sumbangsih yang sama-sama besar dan sama-sama
pentingnya. Glasser berasal dari Universitas Columbia yang mempunyai tradisi
intelektual kental pada penelitian empiris dalam pengembangan teori. Glasser sangat
terpengaruh pola kerja dan pikiran induktif 9 yang pada awalnya dikembangkan oleh
Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (murid Talcott Parsons). Glasser lalu pindah ke
University of California Medical Center at San Fransisco. Di sini, Glasser bertemu
dengan Anselm L. Strauss yang membawa tradisi intelektual kualitatif versi Chicago
School. Aliran Chicago adalah aliran yang sarat dengan pengaruh pemikiran
interactionist yang dikembangkan oleh Robert E Park, W.I. Thomas, John Dewey, dan
George Herbert Mead, Everest Hughes dan Herbert Blumer. Latar belakang Strauss
9 Penalaran induktif berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan berakhir dengan pernyataan
umum yang merupakan generalisasi (perampatan) dari keadaan khusus tersebut. Berbeda dengan penalaran deduktif, kebenaran premis menjamin kebenaran konklusi yang bersifat perampatan atau generalisasi. Kebenaran konklusi hanya dapat dijamin dengan tingkat keyakinan (confidence level atau coeffecient) tertentu, misalnya 95% atau 99% (Suwardjono, 2005, 35). Sementara itu, Evans (2003, 17) juga menyatakan: “the inductive method attempt to bring order to a disorderly, cahotic world. It attempt to see the overall structure in seemingly unorganized phenomena. It involves reasoning from the specific to the general and has been very useful in the physical sciences.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
32
seperti itu kemudian memberikan sumbangsih yang besar pada pendekatan grounded
theory (Strauss & Corbin, 1990, 25). Hal itu dapat kita lihat pada ungkapannya yang
terdapat dalam pernyataan sebagai berikut:
“The need to get out into the field, if one wants to understand whats to understand what is going on; the importance of theory, grounded in reality, to the development of a discipline; nature of experience and undergoing as continually evolving; the active role of persons in shaping the worlds they live in; an emphasis on change and process, and the variability and complexity of life and; interrelationship among conditions, meanings, and actions.”
Selanjutnya, Strauss & Corbin (1990, 25) mengungkapkan atas perlunya teori
beralas pada data yang bermuara pada interaksi simbolis. Jadi, interaksi simbolis
menjadi landasan utama dalam membangun teori berbasiskan data. Mereka juga
mengatakan hal menarik tentang penelitian grounded theory sebagai berikut:
“When referring to the analytical process, “Like any set of skills, the learning involve hard work, persistence, and some, not always entirely, pleasurable experinces.” To be sure, it is often immensely exciting and enjoyable too. Furthermore, these experience are requisite to discovering how to use and adapt any method―including grounded theory. The use and adaptation will inevitably be a ”composite of situational contexts, and for [developing] biography, astuteness [in doing the work], plus theoritical and social sensitivity. On top of this, to complete any research project, one needs a bit of luck and courage”
Keasyikan metodologi grounded theory pasti muncul pada tahapan analisis
dalam temuan-temuannya. Suasana itu akan terus menjadi bagian dalam diri sang
peneliti, karenanya peneliti grounded theory pada umumnya akan kecanduan untuk
selalu meng-grounded-kan fenomena dengan menyelami kedalaman realitas yang
terhampar dihadapannya. Suasana bahagia itu akan membawanya untuk selalu
tergoda melakukan penelitian-penelitian berdasarkan grounded theory.
Sanafiah Faisal (yang pernah menggunakan grounded theory dalam penelitian
disertasinya) dari Universitas Negeri Malang (UM) mengatakan bahwa:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
33
“Grounded theory sangat ideal untuk diterapkan manakala teori-teori tidak mampu memberikan jawaban yang seragam terhadap fenomena yang ada, atau memberikan jawaban namun dengan hasil yang berbeda-beda. Dengan kata lain, teori yang ada tidak mampu lagi memberikan explanation and prediction atas realitas. Anomali seperti itulah yang menjadi kerisauan Glasser dan Strauss yang kemudian mengembangkan grounded theory, yakni membangun teori berbasiskan data lapangan.”
Sebagai tambahan, kita juga dapat melihat pandangan dari Menteuffel (2006)
yang dikutip Emzir (2008,190) atas metodologi grounded theory itu sebagai berikut:
“Grounded theory methodology is a general method of comparative analysis to discover theory with four central criteria. i.e. work (generality), relevance (understanding), fit (valid), and modiviability (control). Grounded Theory methodology is one of the interpretive methods that share the common philosophy of phenomology.”
Jadi, bagi saya, grounded theory termasuk dalam domain paradigma
konstruktivis. Hal ini saya dasarkan bahwa hasil penelitian dengan menggunakan
grounded hheory akan merupakan ‗konstruksi‘ teoritisasi data yang berupa simpulan
akhir atas hasil analisis dan sintesis data lapangan (raw data) dalam bentuk ‗proposisi‘
yang dapat menggambarkan realitas objektif secara holistik.
Hidayat (2004, 9) mengatakan bahwa dalam paradigma konstruktivis, secara
ontologis akan mempersepsikan realitas sebagai konstruksi sosial yang bersifat relatif
dan berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (relativism).
Hal ini juga berarti bahwa, realitas sosial akan tampil dan hadir sebagai konstruksi
mental serta dipahami secara beragam berdasarkan pengalaman serta konteks lokal
dan spesifik para individu yang bersangkutan (relativist).
Secara epistemologis, terdapat anggapan bahwa pemahaman suatu realitas
sosial atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang
diteliti yang biasa disebut sebagai transactionalist-subjectivist. Artinya, peneliti dan
realitas sosial yang diteliti menyatu sebagai satu entitas. Dengan kata lain, temuan
penelitian merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Hal itu juga
bermakna bahwa, konstruksi mental individu digali dan dibentuk dalam setting alamiah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
34
dan dilakukan secara hermeneutik serta diperbandingkan secara dialektik. Dalam hal
ini, penekanan empati dan interaksi dialektis antara peneliti-responden (informan)
untuk secara bersama akan melakukan rekonstruksi realitas sosial yang diteliti
(reflective-dialectical). Artinya, secara epistemologis, kriteria penelitian akan
mempertanyakan sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik yang dihayati oleh
para pelaku sosial.
Pada sisi aksiologisnya, paradigma konstruktivis menyatakan bahwa nilai, etika
dan pilihan-pilihan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penelitiannya.
Peneliti berperan sebagai passionate participant dan/atau fasilitator yang
menjembatani keragaman subjektivitas para pelaku sosial. Tujuan penelitian adalah
untuk merekonstruksi realitas sosial secara ‗interaktif-dialektis-hermeneutis‘ antara
peneliti dan objek yang diteliti, sebuah interaksi yang bersifat interaktif antara
researcher dengan informannya.
2.4. OPERASIONALISASI GROUNDED THEORY Membangun Pola Sebagai Titik Berangkat Visum Akuntansi Forensik
Studi ini disusun dengan tujuan untuk membangun proposisi dengan
pendekatan teoritisasi data. Teoritisasi data merupakan sebuah cara yang dilakukan
guna membangun teori yang membumi dengan basis sekumpulan data empirik. Arti
dari teori yang membumi (grounded) ini adalah sebuah teori yang diperoleh dari
penelitian induktif yang berkaitan dengan penjelasan fenomena. Karenanya, teori
dalam arti dan bentuk ini ditemukan, disusun dan dibuktikan melalui pengumpulan data
secara sistematis melalui analisis yang berkaitan dengan fenomena. Dengan demikian,
pengumpulan data, analisis, dan teoritisasi data akan saling terkait dan berjalan terjalin
secara berkelindan dalam suatu hubungan timbal-balik. Peneliti tidak memulai
penelitian ini dengan suatu teori tertentu lalu membuktikannya, namun penelitian akan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
35
dimulai pada ketertarikan peneliti atas suatu bidang kajian tertentu dan hal-hal yang
terkait dengan kajian bidang tersebut.
Cara induktif dalam grounded theory dikatakan Strauss & Corbin (2003, 15-23)
sebagai berikut :
“The grounded theory approach is a qualitative research method that uses a systematic set procedures to develop an inductively derived grounded theory about phenomenon. The research findings constitute a theoritical formulation of the reality under investigation, rather than consisting of a set of number, or a group of loosly related themes. Through this methodology, the concept and relationships among them are not only generated but they are also provisionally tested.”
... a grounded theory is one that is inductively derived from study of phenomenon it represents. That is, it is discovered, developed, and provisionally verified through systematic data collection, analysis of data pertaining to that phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory stand in reciprocal relationship with each other. One does not begin with a theory, than prove it. Rather, one begins with an area of study and what is relevant to that area is allowed to emerge.”
Oleh karena itu, hasil penelitian grounded theory akan dapat dinyatakan baik
bilamana teori yang dimunculkan sangat sesuai dengan kenyataan sehari-hari, dalam
bidang yang nyata, dan diatur secara cermat dari beragam data lapangan. Dengan
kata lain, teoritisasi data itu harus relevan dengan bidang nyata (realitas riil). Relevansi
teoritisasi data itu bisa diukur dengan dapat atau tidak dapatnya teori itu dijadikan
sebagai kendali (control) dan perlakuan (treatment) terhadap realitas sosial terhadap
fenomena tersebut.
Jadi, penelitian dengan pendekatan grounded theory mempunyai tujuan untuk
membangun teori yang dapat dipercaya. Peneliti yang bekerja dalam tradisi ini juga
berharap teori-teori mereka pada akhirnya akan berhubungan dengan teori-teori
lainnya di dalam disiplin-disiplin yang mereka perhatikan dalam suatu cara kumulatif,
dan bahwa teori tersebut akan memiliki implikasi yang bermanfaat bagi masyarakat
pada masa mendatang.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
36
Dalam grounded theory teknik dan prosedur sistematisnya memungkinkan
peneliti untuk mengembangkan teori mendasar yang memenuhi kriteria metode ilmu
pengetahuan yang baik yakni adanya kebermaknaan, kebersesuaian antara teori dan
observasi, dapat digeneralisasi, dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian,
serta dapat dibuktikan. Walau prosedur ini dirancang agar proses analisisnya tepat dan
ketat, namun kreativitas merupakan unsur yang sangat penting. Kreativitaslah yang
memungkinkan peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan (how and why) yang
berhubungan dengan data dan melakukan pembandingan antara pandangan yang
baru tentang fenomena dengan rumusan teori yang baru pula.
Pendekatan penelitian dalam tradisi grounded theory merupakan suatu bentuk
penelitian yang berusaha membangun horison cakrawala pemahaman yang lebih
mendasar. Fenomena objek yang diteliti akan dipahami secara holistik. Pemahaman
yang dilakukan mencakup hubungan antar konsep yang membentuk proposisi-
proposisi baru. Peluang membangun ―teori baru‖ itu dilakukan dengan memperjelas
model, postulat dan merangkainya dalam bingkai yang terjalin secara berkelindan
guna menemukan konsep yang baik, hingga muncul teori baru. Penataan konsep, dalil
dan proposisi merupakan upaya untuk melihat seberapa jauh suatu ‗bangunan teori‘ itu
dapat dilihat dengan jelas, sederhana dan memiliki konsistensi dengan data
empiriknya.
Selanjutnya, kualitas penelitian grounded theory, akan banyak ditentukan oleh
langkah-langkah yang baik, benar dan dengan disiplin tinggi. Proses yang benar akan
menjamin ditemukannya teori yang benar. Oleh karena itu, dalam tradisi penelitian ini
harus terdapat koherensi antara input, process dan output. Kualitas suatu teori dapat
diuji berdasarkan proses pembangunan teoritisasi itu sendiri. Sebab itu, grounded
theory menuntut peneliti mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dan benar-benar
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
37
mengerti segala permasalahannya, memiliki kreativitas tinggi serta mempunyai
kehandalan sensitivitas teoritis dan imajinasi komprehensif.
2.5. PENGUMPULAN DATA Mencari Data Terserak Dalam Upaya Visum Akuntansi Forensik
Metoda pengumpulan data merupakan jembatan yang menghubungkan peneliti
dengan realitas dunia sosial yang diteliti. Melalui metodologi yang dipilih, peneliti
mengumpulkan data yang diperlukan guna menjawab pertanyaan penelitian (research
question). Pengumpulan data, saya lakukan melalui wawancara mendalam (indept
interview), dan kemudian melakukan analisis dokumen secara cermat dan
komprehensif. Wawancara dipergunakan untuk mendapatkan tambahan data tentang
apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh subjek (informan).
2.5.1. Wawancara
Menangkap Meanings dan Understanding
Wawancara merupakan percakapan dengan tujuan tertentu. Wawancara dalam
penelitian ini saya lakukan kepada informan pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kejaksaan, advokat dan lainnya yang dapat memperkuat, memperdalam dan
memperkaya penelitian ini. Wawancara-wawancara yang telah saya lakukan kepada
informan (daftar informan dapat dilihat pada tabel 2.4.)
Wawancara yang saya lakukan kepada informan itu, sebenarnya bertujuan
untuk mendapatkan data dan/atau informasi serta berbagai penjelasan yang
berhubungan dengan pengalaman, pemikiran, perilaku, percakapan, perasaan, dan
persepsi yang berkait erat dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Wawancara
saya lakukan untuk memperoleh data tentang suatu aktivitas baik yang telah usai
maupun yang sedang berlangsung.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
38
Tabel 2-2 DAFTAR INFORMAN, ASAL LEMBAGA DAN JABATAN
No. NAMA INFORMAN
ASAL LEMBAGA
JABATAN
1. Erry Ryana Hardjapamekas KPK Wakil Ketua (komisioner KPK)
2. Iswan Elmy KPK Direktur Penyelidikan
3. Bambang Herman KPK Direktur Penyidikan
4. Miftah KPK Staff Penyeldikan
5. Iguh KPK Staff Penyelidikan
6. Icha KPK Staff Administrasi Penyelidikan
7. Budi Handaka Kejaksaan Agung Staff Penyidik
8. Chandra Kejaksaan Agung Staff Penyidik
9. Prima Kejaksaan Agung Staff Penyidik
10 Nurhadi Pujo Kejaksaan Negeri Kepanjen Kasi Pidsus Kajari Kepanjen
11 Endra Thoyyib Kejaksaan Negeri Kepanjen Jaksa Pidus Kajari Kepanjen
12 Mulyani Mulyosudarmo Kejaksaan Tinggi Jatim Mantan Penyidik Tindak Pidana Khusus
13 Khairiansyah Salman BPK Mantan Auditor
15 Soekardi Hoesodo BPKP Mantan Deputy analisis dan Perencanaan BPKP
15 Andik Ma’ruf BPKP Pengendali Teknis Audit Investigatif BPKP Jawa Timur
16. Rasjidi BPKP Tim Quality Assurance BPKP Perwkilan Jawa Timur
17 Thomas Sulistyo Budi BPKP Auditor Investigatif BPKP Perwakilan Jawa Timur
18 Oka Mahendra Polri Reserse Kriminal Mabes Polri Bidang Ekonomi
19 Syarifuddin Pemda Sulteng Bawasda/inspektorat
20 Haris Fajar Kustaryo Law Firm Advokat
21 Fauzi Law Firm Advolkat
22 Tulus Law Firm Advokat
24 Agus Law Firm Advokat
25 Adami Chazawi FH UB Dosen dan BKBH UB
26 Azhar FH UB Dosen dan Mantan Jaksa
27 Ismail Navainto FH UB Dosen Hukum Pidana
28 Theodorus M Tuanakotta FE UI dan Kantor Akuntan Publik
Dosen, Akuntan Publik, penulis buku Audit Investigatif dan akuntansi Forensik serta Perhitungan Kerugian Keuangan Negara
29 Ahmad Erani Yustika FE UB Ekonomi Politik dan Kelembagaan 30 Sanafiah Faisal FE UM Malang Dosen dan ahli Grounded Theory 31 Yunus Husein PPATK Ketua PPATK 32 Bambang Soesatyo DPR Anggota Komisi III - 33 Syamsul Bahri Univ Brawijaya Mantan Ketua LPM UB 34 Yanuar Ryzky ICW Relawan dan Penggiat anti Korupsi (ICW) 35 Lutfi Kurniawan MCW Ketua MCW Malang 36 Soekrisno Agus FE Tarumanegara Professor bidang Auditing 37 Koento Adji Koerniawan Akuntan Publik Partner KAP Koento Adji
2.5.2. Observasi Menelisik Fenomena Untuk Mencari Tempat Sembunyi Visum Akuntansi Forensik
Observasi tidak dapat saya lakukan pada saat berlangsungnya kasus tindak
pidana korupsi itu terjadi (on going). Observasi itu tidak dapat saya lakukan karena
terdapat kendala yuridis, waktu dan biaya. Kendala yuridis karena semua kasus pada
saat on-going tidak boleh diteliti karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi proses
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
39
litigasi. Kendala waktu dan biaya, untuk mengikuti proses awal hingga akhir diperlukan
waktu yang panjang dan biaya yang besar. Untuk waktu boleh jadi proses itu bisa
bertahun-tahun dan akan berakibat pada biaya yang besar pula.
Namun, kendala-kendala itu dapat saya minimalkan dengan melihat hasil BAK
(Berita Acara Konfirmasi/Klarifikasi), BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan) dan
BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang telah dilakukan oleh Auditor Investigatif,
Penyelidik dan Penyidik yang tertuang dalam bendel dan bundel surat dakwaan,
putusan hakim, dan lainnya. Oleh karena itu, saya dapat memperoleh bahan-bahan
penelitian berbasis berkas-berkas kasus tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkrackt), antara lain adalah, kasus KPU (Nazaruddin Sjamsuddin),
Kasus percetakan buku-buku KPU (Bambang Budiarto), kasus pembelian helikopter
(Puteh) dan Kasus Pengadaan Bus-way (Sidabutar) dan yang paling lengkap adalah
kasus Bahri Mantan Ketua LPM UB tentang perkara sangkaan tindak pidana korupsi
pada proyek PGM Kigumas, seperti Laporan Hasil PKKN, Berkas Dakwaan, Pledoi,
legal opinion, gugatan praperadilan, putusan Pengadilan Negeri Malang, Kontra
memorie kasasi dan lainnya.
Di samping itu, saya juga memperoleh dari BPKP seperti laporan hasil
perhitungan keuangan negara (PKKN) dan audit investigatif. Dari BPK RI, saya
memperoleh bahan seperti beberapa laporan hasil audit investigatif.
Observasi ideal seharusnya saya arahkan pada pengamatan secara langsung
atas segala tindakan dan interaksi sosial yang relevan yang bertujuan serta simbol-
simbol yang muncul pada masing-masing individu (pelaku, saksi, ahli, auditor,
penyelidik, dan penyidik). Namun, dalam studi ini, observasi secara langsung (pada
saat si terdakwa dalam proses didakwa atau disidangkan) tidak mungkin untuk
dilakukan. Oleh karena itu, observasi hanya dapat saya lakukan bukan secara
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
40
langsung, tetapi dari hasil Laporan AI dan PKKN, BAK, BAPK maupun BAP. Kemudian
bahan-bahan penelitian itu saya lakukan kajian mendalam, lalu lakukan penafsiran apa
yang terjadi pada saat, sedang dan akhir proses tersebut. Bilamana terdapat
kekurangjelasan atas beberapa hal yang berkaitan dengan pertanyaan dan jawaban
dalam BAK, BAPK, maupun BAP, saya akan meminta penjelasan pada penyelidik dan
penyidik atau sumber lain yang dapat menjelaskannya.
2.5.3. Sumber Data Meretas Jalan, Membangun Bentuk Visum Akuntansi Forensik
Penetapan sumber data tentu akan berkait dengan research question yang
telah saya tetapkan pada sebelumnya. Dalam penelitian ini, untuk membangun visum
akuntansi forensik, di samping berbasis wawancara, saya juga mengambil data berupa
tulisan-tulisan (artifac) seperti berkas Dakwaan, putusan kasus korupsi, pembelaan
(pledoi) laporan hasil AI dan PKKN, BAK, BAPK, BAP, laporan keuangan tahunan
(annual report), dan data-data lain yang berguna dan dapat memperkaya bagi
penelitian ini.
2.5.4. Analisis Data
Melakukan Refleksi Diri Untuk Membangun Pola Visum AkuntansiForensik
Proses analisis data saya mulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia
dari berbagai sumber yang saya peroleh, yaitu dari berkas-berkas, hasil wawancara,
catatan-catatan, dan rekaman dari lapangan. Setelah saya baca, pelajari, dan telaah,
langkah berikutnya ialah saya lakukan reduksi data dengan jalan melakukan abstraksi.
Abstraksi adalah usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan..
Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah menyusun dalam satuan-
satuan kategorisasi. Tahap akhir dari analisis data itu kemudian saya adakan
pemeriksaan atas keabsahan data. Lalu saya lakukan penafsiran data dan mengolah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
41
hasil sementara menjadi teori substantif. Proses analisis data itu mencakup reduksi
data, kategorisasi data, sintesisasi, dan diakhiri dengan menyusun proposisi
(hipotesis).
Dengan demikian, dalam penelitian ini data yang saya hasilkan kemudian saya
olah dan saya analisis dengan cara: pertama menemukan makna-makna (meanings)
atau konsep-konsep yang terkandung dalam data (konseptualisasi). Hal ini saya
lakukan dengan cara memberi interpretasi terhadap data-data verbal berupa kata-kata
dan atau kalimat-kalimat. Kedua, saya kelompokkan konsep-konsep sejenis atau
berkaitan (kategorisasi). Ketiga, saya mencari hubungan (connection) di antara
berbagai kategori tersebut. Keempat, saya hubungkan antara berbagai kategori itu
dengan uraian dan penjelasan yang diperlukan. Penjelasan saya lakukan dengan
menggunakan perspektif pemikiran teroritis para sarjana akuntansi, auditing dan
hukum. Kelima, saya lakukan refleksi diri (self-reflection) untuk menemukan sebuah
proposisi.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
42
BBaabb 33 VISUM AKUNTANSI FORENSIK AI DAN PKKN
I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true,
But I know that I still have to try….
(Audifax)
3.1. PENGANTAR Perjalanan Awal Mencari Visum Akuntansi
Eksplorasi data dan fakta untuk membangun visum akuntansi forensik, yang
dalam budaya BPKP dan BPK sering disebut sebagai ―AI‖10 dan ―PKKN‖11 merupakan
suatu kegiatan paling awal dalam pembentukan bangunan visum akuntansi forensik.
Aktivitas audit investigatif dilakukan sejak munculnya Aduan, Keluhan dan Petunjuk
(AKP). Meskipun, hasil audit investigatif ini masih berupa suatu ‗dugaan‘ atau
berbentuk ‗indikasi-indikasi‘ tetapi dugaan yang memiliki dukungan alat bukti dan
barang bukti. Meskipun demikian, dugaan itu (dalam konstruksi hukum Indonesia)
belum berkualifikasi hukum sehingga masih memerlukan upaya pendalaman dan
pengembangan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Pendalaman dan
10
AI merupakan singkatan dari Audit Investigatif. Pelaksanaan audit investigatif lebih disebabkan data, fakta dan keterangan yang dimiliki Penyelidik atau penyidik pada perkara dugaan tindak pidana korupsi masih mentah. AI bisa juga dilakukan berdasarkan tindak lanjut dari temuan dari hasil general audit atau compliance audit. 11
“PKKN” merupakan singkatan dari Penghitungan Kerugian Keuangan Negara. PKKN juga merupakan jenis audit investigative yang dilakukan auditor manakala data, fakta dan keterangan yang diperoleh penyidik atau penyelidik sudah “masak pohon”. Jadi auditor investigative tinggal menghitung berapa kerugian keuangan negaranya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
43
pengembangan itu bertujuan agar alat bukti dan barang bukti yang berupa fakta dan
data ini dapat menjadi suatu alat bukti yang berkriteria hukum dan layak serta
dibutuhkan dalam sidang di Pengadilan.
Pemilahan barang bukti, informasi, pengakuan, keterangan, data dan fakta dari
hasil audit investigatif, dapat kita belah ke dalam dua ranah, yakni ranah hukum dan
ranah akuntansi (auditing). Dalam ranah hukum, barang bukti, fakta, data dan
informasi dapat dikelompokkan dalam lima macam, yakni jenis alat bukti keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (KUHAP pasal 184).
Sedangkan dalam ranah akuntansi, bukti dapat kita kelompokkan dalam dua kategori,
underlying financial evidence dan corroborating financial evidence (Konrath, 2001,
114), artinya bukti audit dalam underlying financial evidence itu akan berbentuk bukti
konstruksian seperti jurnal, buku besar, dan neraca saldo. Sedangkan corroborating
financial evidence itu akan berupa bukti penguat yang berupa faktur, dokumen dan
bukti penguat lainnya.
Karena pentingnya alat bukti untuk keperluan litigasi di muka pengadilan, maka
pada pembahasan dalam bab III ini dan bab-bab berikutnya, saya sengaja
mengklasifikasikan barang bukti, fakta, data, informasi, keterangan tersebut dalam
ranah hukum. Klassifikasi itu dimaksudkan agar kajian dan pembahasan menjadi lebih
relevan dengan tujuan dari penelitian ini, yakni eksplorasi bukti akuntansi, bukti audit
dan bukti hukum menuju visum akuntansi forensik yang merupakan bukti yang
menyertai dan mendukung seluruh proses pembuktian di pengadilan
Perkara tindak pidana korupsi, meskipun wujudnya adalah peristiwa hukum
namun peristiwa itu senantiasa berkait erat dan terjalin secara berkelindan dengan
angka-angka keuangan. Bukan perkara tindak pidana korupsi kalau tidak bertaut
dengan angka keuangan dan akuntansi. Visum akuntansi forensik ini memiliki arti
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
44
penting atas penyelesaian kasus-kasus korupsi. Arti penting visum akuntansi forensik
juga diungkapkan oleh informan Kustaryo yang berprofesi sebagai advokat yang
menangani kasus Bahri sebagai berikut:
“Bilamana unsur kerugian keuangan negara telah dapat dihitung secara benar, maka untuk menemukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum akan sangat mudah untuk diungkapkan. Karena dalam realitas penyelenggaraan Negara kita, akan sangat mudah menemukan berbagai penyimpangan prosedural yang dilakukan para aparat penyelenggara Negara,. Namun apakah penyimpangan itu merugikan keuangan Negara atau tidak? itu bukan pekerjaan yang mudah…
Ungkapan Kustaryo di atas dapat diartikan bahwa dalam kasus-kasus
penanganan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum akan lebih mudah mencari,
menemukan dan mengumpulkan alat bukti, barang bukti, fakta, data, informasi dan
keterangan lainnya. Eksistensi angka kerugian keuangan/kekayaan Negara, akan
memudahkan dalam mencari siapa yang diuntungkan dan bagaimana soal
penyalahgunaan wewenang itu terjadi, serta prosedur apa yang dilanggar.
Selanjutnya, penelitian ini diarahkan untuk melakukan kajian secara mendalam
mengenai alat bukti, barang bukti, fakta, data, keterangan dan informasi yang pada
ujungnya akan mengkonstruksi visum akuntansi forensik. Kajian saya fokuskan pada
perkara dugaan tindak pidana korupsi yang pernah disangkakan Jaksa Penuntut
kepada mantan Ketua LPM UB. Perkara Bahri itu lalu saya perkaya dengan kasus-
kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan kasus-kasus tindak pidana korupsi lainnya yang relevan, baik yang
kasusnya baru berupa AKP (Aduan, Keluhan, Petunjuk) maupun yang telah dilakukan
audit investigatif, maupun yang telah berkekuatan hukum tetap.
Oleh karena itu mulai bab ini dan bab-bab berikutnya, ilustrasi Dakwaan Jaksa
Penuntut Umum pada Bahri akan saya gunakan sebagai dasar utama uraian (plotting)
mengenai pencarian, penemuan dan bentuk visum akuntansi forensik untuk diikuti
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
45
pola-pola dan penguatan buktinya pada setiap level dan tahapannya. Hal ini sengaja
saya lakukan, karena dalam penelitian saya ini, data yang paling lengkap dan dapat
diikuti pada alur, fase, data, fakta, keterangan dan informasi dan informannya terdapat
pada kasus Bahri. Namun, kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi lain yang dapat
memperkuat dan/atau setara dan/atau berbeda, baik kontek maupun substansinya,
saya uraikan juga dalam rangka untuk pengkayaan bagi penelitian ini serta untuk
membangun visum akuntansi forensik as a support for a litigation. Langkah yang saya
uraikan itu juga dalam rangka untuk memenuhi persyaratan metodologis yang diminta
dalam penelitian grounded theory.
Bab tiga ini juga akan menjelaskan mengenai konstruksi visum akuntansi level
audit investigatif. Bab ini akan menekankan pada bagaimana auditor investigatif
merangkai dan membangun alat bukti, barang bukti dan pembuktian bukti pada kasus
tindak pidana korupsi
Dakwaan yang tercantum dalam kotak 3.1. merupakan titik kulminasi keyakinan
bagi Jaksa penuntut umum (JPU) untuk membawa Bahri ke sidang di pengadilan.
Berkas Dakwaan akan berisi visum akuntansi forensik yang merupakan representasi
jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W berupa temuan alat-alat bukti,
barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan yang telah dirangkai dan diikat
dalam chart and matrix. Suatu keyakinan yang memiliki tiga kriteria utama yakni
cermat, jelas dan lengkap atau a beyond reasonable doubt.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
46
Kotak 3.1.
KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG
KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS.
Kejaksaan Negeri Kepanjen ―Untuk Keadilan‖
Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: -
Uraian singkat perkara: Bahwa Tersangka Prof. Dr. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor : 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PG. KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar.
Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp.645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara DRS. H.ACHMAD SANTOSO No. 525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H.M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan addendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003.
Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Propinsi Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp. 645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp. 489.334.493,- (empat ratus delapan puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007
3.2. PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF Membangun Visum Berbekal Aduan, Keluhan dan Petunjuk
Audit Investigatif (AI) merupakan kegiatan yang dilakukan auditor investigatif
untuk mencari dan menemukan cukup tidaknya konstruksi visum akuntansi forensik
yang berupa alat-alat bukti atas dugaan eksistensi tindak pidana korupsi atau
kejahatan keuangan lainnya. Pelaksanaan audit investigatif bisa jadi merupakan tindak
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
47
lanjut dari AKP (Aduan, Keluhan, Petunjuk), temuan dan rekomendasi hasil audit
umum (general audit), temuan dan rekomendasi hasil audit ketaatan (compliance
audit), dan juga bisa dilakukan atas permintaan penyidik dan/atau perintah pengadilan.
Selanjutnya, suatu temuan audit, baik general audit maupun compliance audit,
dapat ditindak lanjuti dan kemudian dikembangkan serta didalami dengan audit
investigatif yang pada gilirannya diharapkan dapat menemukan visum akuntansi
forensik. Secara jelas pada Buku Pedoman Penugasan Bidang Investigatif (PPBI)
pada instansi BPKP (2009, hal 18), memberikan arahan dalam melakukan audit
investigatif secara jelas sebagai berikut:
“Hasil audit yang dapat dikembangkan menjadi penugasan bidang investigasi adalah yang memuat temuan berindikasi dapat menimbulkan kerugian Negara, dan/atau menghambat pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan, dan/atau menimbulkan kekurangan penerimaan Negara…
Hasil telaah atas Laporan Hasil Audit yang memenuhi kriteria sebagaimana
yang dimaksud di atas... dipaparkan/ekspose secara internal dengan menghadirkan Kepala Bidang Teknis/Pejabat Eselon III terkait serta Tim Audit yang bersangkutan dan pejabat fungsional auditor lainnya…
Tujuan ekspose internal adalah untuk meyakini layak tidaknya penyimpangan
yang diinformasikan dalam Laporan Hasil Audit untuk dapat dikembangkan atau ditindaklanjuti dengan penugasan bidang investigasi..”
Dengan demikian, hasil ekspose internal akan menentukan tindak lanjut,
pengembangan dan pendalaman atas AKP tersebut. Ekspose juga akan
menyimpulkan ada atau tidak indikasi kecukupan bahan bukti tindak pidana korupsi.
Hasil ekspose itu juga akan digunakan dasar untuk menentukan siapa tim auditornya,
bagaimana hypothetical construction of crime yang akan diuji coba buktikan, apa
program auditnya, teknik audit, metodologi audit yang dianggap sesuai dengan
keadaan, berapa anggaran biaya audit, berapa sumber daya pendukung dan lainnya
yang cocok dengan peristiwa hukum tersebut.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
48
Dalam telaah dan/atau evaluasi atas sebuah kasus, Andik Ma‘ruf, Informan
BPKP Perwakilan Jawa Timur yang sedang menjabat sebagai Anggota Tim
Pengendali Audit Investigatif menyatakan bahwa:
“Dalam hal melakukan evaluasi dan analisis terhadap bukti-bukti yang diperoleh atau untuk memastikan kecukupan bukti-bukti, dapat dilakukan klarifikasi atau konfirmasi secara langsung kepada pihak-pihak yang diduga/bertanggung jawab atau kepada pihak-pihak lain yang relevan. Hasil klarifikasi tersebut akan dituangkan dalam Berita Acara Klarifikasi (BAK)”
Evaluasi terhadap bukti-bukti yang diperoleh, dan dalam rangka pengujian,
analisis dan sintesis hypothetical construction of crime akan mengidentifikasi antara
lain jenis penyimpangannya, fakta dan proses keterjadiannya, kriteria apa yang
seharusnya dipatuhi, penyebab dan dampak apa yang ditimbulkan serta pihak-pihak
mana saja yang patut diduga terkait/terlibat dan/atau bertanggungjawab atas
kejadian/peristiwa hukum tersebut. Kualitas penugasan audit investigatif di BPKP akan
dilakukan melalui review berjenjang, review meeting, dan pembahasan internal agar
tercipta sebuah jaminan mutu, kecepatan dan percepatan proses audit serta untuk
mencari jalan keluar (bila ada) atas permasalahan-permasalahan yang timbul dan yang
mungkin akan timbul selama penugasan audit investigatif berlangsung.
Sejalan dengan apa yang dimaksud dengan audit investigatif, Rasjidi informan
yang menjabat sebagai audit quality assurance pada BPKP perwakilan Jawa Timur
menyatakan bahwa pada dasarnya, audit investigatif itu adalah suatu cara untuk
mencari, menemukan dan memastikan jawaban atas siapa melakukan apa, dan
buktinya apa. Kalimat Rasjidi itu dapat saya terjemahkan bahwa audit investigatif
adalah sebuah aktivitas audit yang akan senantiasa berupaya mencari dan
menemukan alat bukti berupa jawaban atas hypothetical construction of crime
terhadap kejahatan di bidang keuangan.
Oleh karena itu, audit investigatif akan senantiasa mengarahkan aktivitasnya
pada upaya untuk mencari dan menemukan bukti atas: ―siapa pelakunya‖ dan ―apa
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
49
niat‖ yang mendasari perbuatan yang dilakukannya itu. Sebuah upaya yang
mengarahkan aktivitasnya pada upaya mencari bukti dan/atau alat bukti berupa
jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime berupa: how much, how, what,
why, who, when, where atas suatu peristiwa hukum.
Untuk mengejar 2H+5W harus disimpulkan adanya predication. Khairiansyah
Salman, informan yang mantan auditor BPK-RI dan pernah melakukan praktik
surveilance and covert operation secara sukses dalam gaya western detective kepada
Mulyana Wira Kusuma – KPU Pusat) mengatakan sebagai berikut:
“Predication atau predikasi itu adalah suatu keseluruhan kondisi yang mengarahkan atau menunjukkan adanya keyakinan kuat yang didasari oleh professionalisme dan sikap kehati-hatian yang telah terlatih lama dalam memahami kejahatan korupsi. Predikasi adalah kristalisasi pengetahuan dan pengalaman tentang pemahaman tipologi tindak pidana korupsi yang telah sering ditanganinya...”
Jadi, predikasi (predication) merupakan sebuah pemahaman naluriah (intuitif)
yang dimiliki seorang investigator bahwa tindak korupsi telah terjadi, sedang terjadi
dan/atau akan terjadi. Dengan demikian, predication bukan sebuah formula baku,
namun lebih berupa professional feeling yang dimiliki oleh seseorang yang lama
berkecimpung dalam bidang yang digelutinya.
Bagan alur pada kotak 3.2. dapat memberikan arah dan/atau petunjuk yang
lebih pasti kepada auditor investigatif tentang bagaimana predication dibangun, yang
kemudian dapat dijadikan pedoman bagi pengambilan keputusan terhadap dapat atau
tidak dapatnya dilakukan audit investigatif. Simpulan predication, dapat membimbing
auditor investigatif untuk dapat mencari bukti dan alat bukti dan menjawab hypothetical
construction of crime.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
50
Kotak 3.2.
BAGAN ALUR PENGUJIAN PREDICATION
Sumber: Tuanakotta, (2007, 220)
Selanjutnya, di Indonesia, pengaduan-pengaduan masyarakat dan LSM atau
siapapun yang bermaksud mengadukan tindak pidana korupsi sangat terbuka. Karena
itu kadang kita jumpai adanya laporan yang masih sumir dan tidak mengindikasikan
eksistensi tindak pidana korupsi secara meyakinkan. Pengaduan yang tidak
meyakinkan dan asal-asalan itu diungkapkan oleh Kustaryo sebagai berikut:
“Saya pernah berdebat sengit dan marah dengan aktivis LSM yang mengadukan dugaan tindak pidana korupsi. Mereka telah membuat laporan yang tidak memiliki dasar pijakan yang kuat. Laporan mereka sumir dan hanya bersifat analisis dan menduga-duga belaka. Padahal, konsekuensi berat bagi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi akan diikuti dengan stigma-stigma buruk. Mestinya, mereka seharusnya lebih fair dan mencoba
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
51
lebih memahami kasus tersebut secara lebih mendalam dan komprehensif dan tidak asal-asalan”
Pengaduan yang tidak akurat itu kemudian saya tanyakan kepada Lutfi
Kurniawan mengenai bagaimana dan tata cara MCW (Malang Corruption Watch)
dalam melakukan watching terhadap tindak pidana korupsi. Kurniawan menjawab
sebagai berikut:
“Kami ini khan bukan aparat penyelidik atau penyidik. Kami khan juga bukan polisi atau jaksa. Kami hanya mampu membuat laporan atas indikasi adanya korupsi, umumnya berdasarkan analisis atau sumber-sumber yang layak kami percaya. Untuk masalah bukti-bukti korupsi, itu tugas mereka sebagai aparat penegak hukum. Akses kami ke kedalaman persoalan substansial juga terbatas. Kami mengadukan berdasarkan hasil rapat internal yang kami selenggarkan dengan mengundang pakar-pakar lintas ilmu. Hasil keputusan rapat itulah yang kami gunakan dasar sebagai pengaduan ke aparat penegak hukum”
Dengan demikian, sangat wajar bilamana laporan pengaduan masyarakat
boleh jadi masih banyak mengandung kelemahan dan kemudian tidak dapat
ditindaklanjuti dan/atau dihentikan oleh aparat penegak hukum karena kurangnya bukti
yang kuat atas indikasi korupsi.
Selanjutnya, manakala hypothetical construction of crime tersebut dapat
dijawab dan ditemukan alat-alat buktinya, maka akan dapat dibuat simpulan mengenai
adanya indikasi atau dugaan tindak pidana korupsi. Suatu dugaan atau indikasi yang
tidak hanya sekedar menduga-duga belaka atau mengira-ngira an sich, namun suatu
dugaan atau indikasi yang telah memiliki basis alat bukti, barang bukti, fakta dan data
yang memiliki kualifikasi relevan, kompeten, cukup dan material (rekocuma) dan
memiliki kesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti, kesaksian, fakta serta
data yang kemudian dirangkum dalam sebuah ikatan chart and matrix yang kemudian
saya sebut sebagai visum akuntansi forensik level audit investigatif‘.
Rasjidi Informan yang merupakan staff ahli BPKP bidang pengendalian kualitas
audit Investigatif menambahkan bahwa:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
52
―Dalam Audit investigatif auditor juga harus mencari bukti yang relevan, kompeten, cukup, dan material. Di samping itu, auditor harus menemukan modus operandi yang merupakan bagian penting dalam audit investigatif.
Relevan akan berarti auditor harus dapat mencari persesuain antara bukti
dengan perbuatan dan kasus yang diaudit, kompeten akan mengarah pada apakah
bukti yang digunakan itu memiliki kompetensi dalam mengungkap dan membuktikan
fakta-fakta terhadap kasus yang ada. Kecukupan bukti sangat tergantung pada
professional judgment yang dimiliki auditor. Sedangkan Materialitas akan bermuara
pada seberapa banyak bukti yang dapat mendukung simpulan audit investigatif yang
dilakukan tersebut. Kemudian, modus operandi akan menjadi jawaban atas mengapa
si pelaku melakukan perbuatan jahat tersebut, apakah bermotif ekonomi, tujuan
kekuasaan, atau mengarah pada motif lainnya. Motif akan memegang peran penting
dalam justifikasi dan rasionalisasi perbuatan si pelaku pada saat di sidang pengadilan.
Demikian juga halnya, pada kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK,
kajian atas informasi awal lazimnya akan dilakukan hingga mendapatkan simpulan
atas adanya ‗predication‟ yang kemudian dapat menghadirkan indikasi tindak pidana
korupsi. Miftah dan Iguh – auditor KPK menyatakan sebagai berikut:
“Pada kasus Nazaruddin Sjamsuddin Ketua KPU Pusat misalnya, kasus ini berawal dari laporan LSM dan kemudian ditindaklanjuti dengan compliance audit yang dilakukan BPK atas dana pemilu. Dengan audit itu, lalu ditemukan beberapa hal yang tidak comply, audit kemudian ditindak lanjuti dengan audit investigatif. Dari hasil audit investigatif itu ditemukan penyimpangan yang mengarah pada indikasi adanya tindak pidana korupsi…
Temuan-temuan BPK atas indikasi tindak pidana korupsi menjadi lebih meyakinkan lagi, saat Mulyana Wira Kusuma tertangkap tangan, sewaktu menyuap auditor BPK – Khariansyah Salman - di Hotel Ibis Jakarta… Setelah penangkapan itu, berdasarkan hasil interogasi kepada Mulyana memberi arah yang jelas dan mempermudah tugas KPK untuk mencari, mengumpulkan dan menemukan alat bukti dan bukti tindak pidana korupsi serta menemukan aktor-aktor yang terlibat dan motif yang menyelimutinya”.
Karena itu, dalam pengejaran alat bukti dan barang bukti, yang perlu kita sadari
adalah bahwa sifat tindak pidana korupsi akan selalu tersembunyi, berjamaah,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
53
mengandung tipuan dan dibungkus secara rapi. Karena itu, adagium ―tarik ekornya,
tentu akan kau dapatkan kepalanya”, artinya para auditor investigatif, penyelidik dan
penyidik harus selalu mencari titik terlemah dari serangkaian mata rantai yang telah
terindikasi tindak pidana korupsinya. Karena itu, audit investigatif yang bertujuan utama
mencari dan menemukan alat bukti, barang bukti, fakta dan data senantiasa mencari
celah dan peluang atas rantai terlemah yang bisa dibidik untuk mengeksplorasi temuan
(alat bukti) secara maksimal. Hal mana juga sesuai dengan maxim yang mengatakan
bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, setiap kajahatan pasti meninggalkan jejak.
Pada kasus dugaan tindak pidana pada KPU Pusat periode Nazaruddin
Sjamsuddin, dengan penangkapan atas Mulyana Wira Kusuma menjadi bekal utama
bagi penyidik, namun laporan hasil audit investigatif tetap menjadi bekal penting bagi
bangunan alat bukti dan pembuktian di pengadilan Tipikor.
Ajaran atas apa yang dimaksud dengan bukti awal dalam ranah hukum dapat
memiliki pengertian seperti yang diungkapkan oleh Prodjohamidjojo (1982, 35) sebagai
berikut:
“Bukti permulaan (prime facie evident) berarti adanya sedikit bukti untuk menduga ada tindak pidana, misalnya, pada seseorang yang kedapatan benda/barang curian, maka petugas penyidik dapat menduga keras bahwa seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian ataupun penadahan.”
Dengan demikian, bukti awal dalam perspektif hukum adalah bukti yang sudah
dapat menggambarkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Namun bukti awal
tersebut masih akan memerlukan upaya tambahan dan pendalaman, yakni upaya
penyelidikan untuk lebih menambah kekuatan alat bukti tersebut.
Berkaitan dengan bukti awal, Andy Hamzah (1982) yang dikutip kembali oleh
Rukmini (2003, 124-125) membedakan antara ―diduga telah terjadi tindak pidana‖
dengan ―diduga melakukan tindak pidana‖. Hamzah memberikan ilustrasi dalam bentuk
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
54
ceritera yang dapat dijadikan ―inspirasi‖ dalam mengartikan apa yang disebut dengan
―dugaan awal‖ atas terjadinya tindak pidana.
Pada suatu hari di suatu desa terjadi kecurian sepeda. Sebetulnya di desa itu tidak pernah terjadi demikian. Pada hari terjadinya pencurian itu lewat lah seorang gelandangan, yang sebelumnya telah diketahui melakukan pencurian. Maka gelandangan tersebut “patut diduga” telah melakukan pencurian sepeda itu. Selanjutnya, jika dalam ceritera itu dilengkapi dengan fakta-fakta atau kejadian-kejadian, bahwa gelandangan tersebut masuk desa itu dengan jalan kaki, sedangkan sewaktu meninggalkan desa ia naik sepeda, maka di sini “sangat diduga” dialah (gelandangan itu) yang melakukan pencurian...
Lebih-lebih, manakala dalam kejadian tindak pidana tersebut sudah ada
laporan saksi korban yang kecurian, atau saksi lain yang melihat tersangka masuk
rumah korban dan seterusnya. Dengan bukti permulaan tersebut akan timbul suatu
―dugaan keras‖ bahwa tersangkalah pelaku tindak pidana (delict) tersebut.
Tabel 3-1 INDIKASI AWAL ATAS DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP NAZARUDDIN, ABDULLAH PUTEH, RUSTAM EFENDI, BAMBANG BUDIARTO
PIHAK-PIHAK YANG TERSANGKUT
PERKARA
INDIKASI AWAL (AKP)
PERKARA
Nazaruddin Sjamsuddin
Berasal dari laporan LSM mengenai adanya dugaan penyimpangan pengadaan logistik dan laporan hasil audit kinerja BPK yang dilanjutkan dengan audit investigatif
Penerimaan discount Asuransi atas premi asuransi aparat KPU/KPUD/KPPS yang tidak dimasukkan ke kas negara
Abdullah Puteh
Berasal dari laporan hasil audit kinerja BPK dan dilanjutkan dengan audit investigatif
Pembelian helikopter dengan menyalahgunakan bantuan dana alokasi khusus dari pusat
Rustam Efendi Sidabutar
Berasal dari laporan hasil audit kinerja BPK dan dilanjutkan dengan audit investigatif
Pengadaan bus-way Trans-Jakarta yang melampaui batas plafond (penyalahgunaan anggaran)
Bambang Budiarto
Berasal dari laporan LSM dan laporan hasil audit kinerja BPK, audit investigatif yang merupakan pengembangan dari tertangkapnya Mulyana Wira Kusuma
Pengadaan Buku-buku di KPU
Sumber: Putusan MA (Nazaruddin), Putusan PT (Puteh), Putusan PN (Rustam,) dan Surat Dakwaan (Bambang)
Tidak jauh berbeda dengan hal yang diuraikan dalam dialog sebelumnya,
bahwa pada masalah bukti awal, beberapa kasus yang saya peroleh dari KPK, yakni
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
55
kasus Nazaruddin Sjamsuddin, Abdullah Puteh, Rustam Efendi Sidabutar dan
Bambang Budiarto (lihat tabel 3.1.) menunjukkan bahwa informasi yang didapat KPK
dari sumber-sumber ―terpercaya‖ dan kemudian dikaji oleh Pusat Informasi dan
Pengaduan Masyarakat (PIPM) memberikan simpulan bahwa kasus-kasus dugaan
tindak pidana korupsi telah memberikan ―dugaan‖ atas adanya eksistensi kejahatan
korupsi.
3.3. PERANAN DAN KONTRIBUSI HASIL AUDIT INVESTIGATIF
Kontribusi Visum Akuntansi Forensik Di Pengadilan
Peranan dan konstribusi visum akuntansi forensik level audit investigatif di
pengadilan sangat besar dalam membuat terang benderangnya perkara tindak pidana
korupsi. Chazawi, informan yang berprofesi sebagai dosen FH UB dan seringkali
diminta memberikan keterangan ahli pada kasus-kasus tindak pidana korupsi serta
menjadi bagian dari Tim Bantuan Hukum kasus Bahri mengungkapkan kepada saya
mengenai peranan hasil audit investigatif dengan mengatakan sebagai berikut:
“Peran hasil audit investigatif pada dasarnya adalah untuk menghitung kerugian Negara. Audit ini umumnya dilakukan oleh BPKP. Dalam perkara pidana korupsi. Angka kerugian negara merupakan angka riil yang ditemukan Tim audit Investigatif. Angka itulah yang senantiasa digunakan sebagai dasar penentuan angka kerugian negara. Angka ini akan digunakan jaksa untuk mengembalikan kerugian Negara melalui penjatuhan pidana penggantian kerugian negara kepada terdakwa. Hampir pasti angka hasil audit investigatif itulah yang selalu digunakan sebagai dasar menentukan jumlah riil kerugian dalam surat dakwaan dan dalam hal penuntutan pengembalian kerugian keuangan negara.”
Dalam peranannya sebagai alat bukti, konstruksi visum akuntansi forensik level
audit investigatif yang merupakan rekonstruksi sejarah fakta, yang kemudian
digunakan dalam sidang-sidang di pengadilan. Pernyataan Chazawi sebelumnya,
menurut saya lebih mengarah pada jenis hasil audit investigatif dalam ‗jenis kedua‘,
yakni PKKN. Hasil audit yang dimaksud adalah hasil audit investigatif yang sering
dilakukan BPKP berdasarkan permintaan penyidik atau penetapan pengadilan yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
56
bertujuan untuk melakukan PKKN. Dalam posisi ini, Auditor BPKP akan berperan
sebagai pembantu penyidik untuk membantu dalam melakukan penghitungan kerugian
keuangan negara (PKKN).
Dalam audit jenis PKKN ini, pelaksanaan dapat dilakukan melalui tahapan yang
antara, pertama instansi penyidik atau penetapan oleh pengadilan yang harus
disampaikan secara tertulis kepada instansi BPKP, kemudian dilakukan ekspose dan
penelaahan atas kecukupan informasi yang memenuhi hypothetical construction of
crime. Manakala terdapat informasi yang masih sangat minimal, penugasan masih
tetap dapat dilakukan, asalkan informasi itu masih mengandung 3 W yakni What,
Where, When, meskipun Who, why, How and how Much belum terungkap dalam kasus
tersebut. Meskipun demikian, kondisi tersebut masih harus ditambah dengan
keyakinan kuat yang berbasis pertimbangan professional serta hati nurani auditor
Investigatif. Maksud dari pertimbangan professional itu adalah suatu pendapat reviewer
itu harus didasarkan pada data empiris atas kasus sejenis dan/atau dapat juga
didasarkan pada informasi lain yang dapat mendukung dan terjalin secara berkelindan
dengan informasi minimal yang diberikan oleh penyidik atau penetapan pengadilan
tersebut. Namun, bilamana dalam informasi minimal berupa 3 W tersebut tidak terdapat
sebuah keyakinan kuat dari reviewer dan tidak juga terdapat data empiris pada kasus
sejenis, langkah yang akan ditempuh adalah meminta penyidik untuk melakukan
ekspose atau meminta ringkasan perkara tersebut kepada pejabat pengadilan. Proses
kehati-hatian dan keseksamaan semacam itu dilakukan BPKP agar konstruksi visum
akuntansi forensik level audit investigatif dapat menjadi dukungan dan berkonstribusi
besar bagi proses sidang di pengadilan.
Budi, Auditor investigatif BPKP Jawa Timur yang melakukan PKKN atas Bahri
mengatakan sebagai berikut
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
57
“Untuk dapat menindak lanjuti permintaan tugas PKKN akan selalu berdasarkan keputusan seluruh staff BPKP bidang Investigasi yang hadir pada saat paparan kasus dilakukan oleh Penyidik. Hasil paparan itu akan diputuskan apakah permintaan PKKN bisa ditindaklanjuti atau tidak. Jika dapat ditindaklanjuti, maka pimpinan BPKP akan membuat surat tugas atas pelaksanaan PKKN itu”
Kalimat Budi itu menyiratkan bahwa penugasan PKKN dilakukan berbasis due-
professional care. Karena keputusan awal atas dapat atau tidaknya perkara dilanjutkan
dengan bantuan PKKN tidak diputuskan oleh individu atau Tim Auditor, namun dari
seluruh staff bidang investigasi pada BPKP Perwakilan Jawa Timur.
Selanjutnya, bilamana dalam pelaksanaan PKKN terdapat hambatan
pengumpulan bukti, auditor akan meminta bantuan penyidik untuk membantu mencari
dan mengumpulkan bukti tersebut. Bilamana hambatan tidak dapat terselesaikan,
maka auditor investigatif akan menuliskannya dalam laporan hasil audit investigatifnya
dalam sub judul ‗Hambatan Pemeriksaan‘. Jika sudah tidak ada lagi hambatan yang
berarti, artinya semua bukti telah cukup, kompeten dan relevan, maka
pembahasan/ekspose akan dilakukan untuk menangkap persesuaian, sinkronisasi
dan/atau koherensi perkara agar terpenuhi suatu hasil audit investigatif dengan aspek-
aspek hukumnya.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut saya tambahkan AI
maupun PKKN yang dilakukan BPKP di seluruh Indonesia sejak 2003 hingga 2007.
Tabel 3.2. menyajikan pelaksanaan AI yang dilakukan BPKP yang kemudian
digunakan oleh penyelidikan dan penyidikan oleh kejaksaan, kepolisian dan KPK.
Tabel 3.2. dan 3.3. menyajikan pelaksanaan AI dan PKKN yang dilakukan
BPKP. Hasil AI dan PKKN akan digunakan sebagai bahan bukti bagi Kejaksaan,
kepolisian dan KPK untuk melakukan pendalaman-pendalaman atas dugaan tindak
pidana korupsi. Selama tahun 2003 hingga 2007, terjadi kenaikan permintaan untuk
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
58
melakukan tugas AI maupun PKKN, baik itu berasal dari permintaan Kejaksaan,
Kepolisian dan KPK.
Dengan data seperti paparan 3.2. dan 3.3. di bawah ini, kita dapat mengartikan
dan memperkirakan bahwa tugas BPKP pada masa yang akan datang akan cenderung
meningkat. Perkiraan peningkatan tugas itu terjadi akan seirama dengan meningkatnya
kasus dugaan tindak pidana korupsi. Jadi, dapat saya simpulkan perkara bahwa tindak
pidana korupsi di Indonesia, pada masa mendatang pada setiap tahunnya tidak
menurun, melainkan malah cenderung untuk tambah meningkat.
Tabel 3-2 PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF (AI) YANG DILAKSANAKAN BPKP TAHUN 2003 – 2007
INSTANSI YANG
MEMINTA
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah AI
Kejaksaan
27
34
69
76
75
281
Kepolisian
17
53
60
68
77
275
KPK
0
7
28
37
38
110
Jumlah
44
94
157
181
190
666
Sumber: Tuanakotta (2007, 201)
Tabel 3-3 PELAKSANAAN PERRHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA (PKKN) YANG DILAKSANAKAN BPKP
TAHUN 2003 – 2007
INSTANSI YANG
MEMINTA
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah AI
Kejaksaan
76
85
103
172
177
613
Kepolisian
75
100
111
170
164 620
KPK
0
2
5
8
13
28
Jumlah
151
187
219
350
354
1.261
Sumber: Tuanakotta (2007, 201)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
59
Dengan demikian, pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan BPKP atas
permintaan instansi kepolisian, kejaksaan maupun KPK dapat berupa pelaksanaan
audit berupa permintaan melakukan audit investigatif (AI), penghitungan kerugian
keuangan negara (PKKN) atau permintaan untuk memberikan keterangan ahli di
pengadilan. Jadi, maksud pernyataan Chazawi, sebenarnya mengarah pada bentuk
audit jenis kedua, yakni hasil penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN).
Pada sisi lain, khusus untuk audit dalam rangka penghitungan keuangan
Negara (seperti yang dimintakan penyidik pada kasus Bahri), ketentuan standar yang
seharusnya diikuti Tim auditor BPKP, sesuai dengan Pedoman Penugasan Bidang
Investigasi (2009, hal 39) mengharuskan hasil ekspose atau hasil penelaahan
memenuhi kriteria bahwa penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan
negara telah cukup jelas, pihak-pihak yang diduga terkait dan bertanggungjawab atas
penyimpangan telah cukup jelas, bukti-bukti yang diperlukan untuk menghitung
kerugian negara sudah diperoleh secara lengkap, dan BPK-RI atau Inspektorat lain
belum melakukan audit investigatif untuk kasus yang sama. Namun, dalam
penanganan kasus Bahri tersebut, bagi saya kriteria-kriteria itu masih belum jelas
(samar/obscuur libel) dan bukti-bukti perkara masih terbatas pada bukti yang dipasok
dari penyidik, tanpa langkah kreatif dan konstruktif untuk melakukan pendalaman dan
pengembangannya.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan audit atas permintaan penyidik, bukti-bukti
yang diperoleh dari penyidik akan direkonstruksi sehingga akan merupakan rangkaian
fakta yang terjalin secara berkelindan dan proses kejadian akan dapat menunjukkan
adanya suatu penyimpangan yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan Negara.
Karena itu, metode penghitungan kerugian keuangan negara prosedur yang lazim
dikembangkan oleh BPKP sudah seharusnya dalam lingkup akuntansi dan auditing
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
60
yang dapat diterima secara umum, dan bukan metoda yang merupakan disiplin ilmu
lain, seperti metoda penilaian yang ada pada profesi penilai (valuer/appraisal). Profesi
Penilai biasa melakukan penilaian dengan metoda integratif dari yakni kombinasi
antara cost method, market dan income capitalization. Kompetensi yang dimiliki para
appraisal itu tentu bukan merupakan kompetensi utama auditor BPKP.
Jadi, menurut saya, penghitungan kerugian negara yang dapat dilakukan BPKP
itu sudah seharusnya menggunakan cost method saja, dan bukan menggunakan nilai
pasar (mark to market) atau nilai kapitalisasi pendapatan (income capitalization) yang
sering dipakai bagi profesi penilai. Namun, jika BPKP memerlukan suatu nilai yang
tidak berbasis cost method, BPKP harus meminta bantuan kepada profesi penilai untuk
melakukannya, atau bisa juga meminta bantuan kepada profesi lain yang sesuai
dengan konteks dan substansi perkara yang ditanganinya.
Persepsi pencatuman angka yang terlalu tinggi pada audit hasil penghitungan
kerugian keuangan Negara, juga dapat kita temukan seperti yang disampaikan
Chazawi sebagai berikut:
“Dalam banyak kasus yang saya saksikan, penentuan angka nilai kerugian negara yang digunakan Jaksa Penuntut Umum cenderung pada angka yang lebih besar, walaupun menurut logika tidak dapat dibenarkan. Kebiasaan membesar-besarkan nilai kerugian Negara atau mematok angka-angka yang lebih besar, mungkin saja dipengaruhi oleh fungsi dan tugas pekerjaan jaksa sebagai penuntut umum. Dengan pertimbangan, toh majelis hakimlah yang pada nantinya akan mempertimbangkan dan memutuskan nilai angka kerugian Negara tersebut”
Penghitungan kerugian keuangan negara yang tidak akurat, juga disampaikan
oleh informan Koestaryo, advokat yang sering menangani kasus tindak pidana korupsi.
Koetaryo mengatakan sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
61
“Saya juga menjumpai kasus perhitungan kerugian negara yang tidak akurat. Misalnya dalam hal yang sangat sepele saja, seperti dalam penjumlahan angka ke bawah pada kasus korupsi di Kabupaten Pasuruan dan Kodya Batu yang saya tangani, penjumlahannya tidak benar, perkalian juga tidak benar, sangat ceroboh dan tidak akurat”
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa pencatuman angka kerugian
keuangan negara, yang angkanya dapat dipersepsikan berlebihan itu, bisa saja karena
auditor investigatif yang berperan sebagai pembantu penyidik dan melakukan tugas
penghitungan kerugian keuangan negara, hanya memperoleh bukti yang berasal dari
jaksa semata dan kemudian tidak bebas dalam mengembangkan prosedur audit
investigatif sebagaimana mestinya. Oleh karena keterbatasan supply data dan/atau
akses data yang hanya bisa dilakukan melalui penuntut umum atau penyidik, yang
tentu hasilnya tidak bisa diharapkan secara optimal.
Dalam kasus Bahri misalnya, auditor hanya diberi data yang disiapkan penyidik
an sich dan tidak mengembangkan bukti, data dan fakta itu hingga ke bukti, data dan
fakta yang berada di LPM UB dan tempat serta lembaga lain yang berkait dan
dipandang perlu serta dapat memperkaya hasil akhir penghitungan angka kerugian
keuangan negara (PKKN).
Keadaan semacam ini, boleh jadi akan berakibat pada hasil perhitungan nilai
angka kerugian keuangan negara tidak sesuai dengan fakta-fakta yang semestinya.
Akibat hal seperti ini dapat kita lihat pada hasil nilai perhitungan kerugian keuangan
negara yang tidak akurat misalnya kasus sangkaan pada Bahri Ketua LPM UB Malang,
kasus Puteh Gubernur NAD dan kasus tindak pidana korupsi lainnya.
Dalam kasus Pabrik Gula Mini (PGM) Kigumas, tersangka Bahri dalam
pembelaannya (pledoi) menyatakan sebagai berikut:
“BPKP dalam melakukan audit hanya berdasarkan dari bahan-bahan yang diajukan JPU yang notabenenya adalah alat-alat bukti yang disita dari Pemkab Malang dan tidak meminta data maupun keterangan dari pihak LPM Universitas Brawijaya. Padahal LPM telah nyata-nyata ada pekerjaan disain dan mesin sipil 2003 dan semua itu lengkap dengan dokumen-dokumennya”.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
62
Uraian dan pernyataan di atas akan menjadikan ketidakpastian terhadap
perhitungan kerugian keuangan Negara. Padahal hasil perhitungan kerugian keuangan
negara itu sangat penting dan terpenting dari unsur-unsur yang terdapat dalam tindak
pidana korupsi. Karena estimasi atas adanya jumlah kerugian keuangan negara sangat
menentukan bagi formula adanya tindak pidana korupsi. Tanpa adanya kerugian
keuangan negara, meskipun telah terjadi salah prosedur, tentu tidak bisa dikategorikan
sebagai adanya tindak pidana korupsi. Manakala kerugian Negara tidak muncul, tentu
peristiwa salah prosedur itu hanya akan dikategorikan sebagai kesalahan administratif
belaka dan masuk dalam ranah hukum administratif serta bukan menjadi domain
hukum pidana (sebagai misal adalah kasus Dana Non-Budgeter Bulog, yang di MA
terdakwa Akbar Tanjung diputus bebas karena perkara itu dinyatakan sebagai
kesalahan administratif dan bukan kesalahan pidana (meskipun putusan MA itu tidak
bulat/dissenting opinion). Karena itu, adanya kesalahan administratif belum tentu akan
mengarah pada telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Pada sisi lain, audit investigatif yang dilakukan BPK-RI pada umumnya
merupakan tindak lanjut atas hasil temuan atau rekomendasi dari general audit atas
laporan pertanggungjawaban Pengelolaan Pemda atau Institusi Milik Pemerintah yang
menghasilkan opini selain Unqualified Opinion (seperti Pemda Jember, Kabupaten
Situbondo, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kotamadya Batu dan lainnya).
Audit Investigatif yang dilakukan BPK-RI ini, boleh jadi merupakan tindak lanjut hasil
compliance audit, dimana dalam institusi yang menjadi objek audit ditemukan audit
findings yang tidaktaatan (uncompliance) terhadap aturan yang berlaku. Misalnya hasil
compliance audit atas KPU Pusat pada Era Kepemimpinan Nazaruddin Syamsuddin
dengan temuan prosedur yang tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya mencapai
jumlah 54 temuan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
63
Untuk sebagian kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi yang melanda KPU Pusat
pada era kepemimpinan Nazaruddin Sjamsuddin dapat dilihat pada tabel 3.4.
Tabel 3-4 PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA PADA KASUS PENGADAAN BARANG DAN JASA KPU PUSAT ERA KEPEMIMPINAN NAZARUDDIN SJAMSUDDIN
NOMOR
KASUS PENGADAAN
PENANGGUNG JAWAB
KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA
1 Asuransi Petugas Pemilu Nazaruddin Sjamsuddin Rp.5,03 miliar
2 Pengadaan Buku Bambang Budiarto dan Safder M Yussac Rp.20,76 miliar
3 Pengadaan Tinta Pemilu Rusadi Kanta Prawira Rp.4,661 miliar
4. Pengadaan Segel Pemilu Daan Dimara Rp.3.540 miliar
5. Pengadaan Kotak suara Mulyana Wira Kusuma Rp.15,5 miliar
Sumber: berbagai sumber KPK yang saya olah sendiri
Jadi, audit investigatif dari BPKP dapat dikategorikan dalam dua jenis yakni:
pertama adalah pelaksanaan audit investigatif yang dilaksanakan atas permintaan
penyidik atau perintah pengadilan, dan kedua adalah pelaksanaan audit Investigatif
yang merupakan tindak lanjut dari hasil general audit atau temuan dari compliance
audit atau Aduan, Keluhan dan Petunjuk (AKP). Hasil audit BPK maupun BPKP, yang
merupakan alat bukti surat, baik dilakukan dengan tujuan penghitungan kerugian
keuangan Negara yang dilakukan atas permintaan penyidik maupun hasil audit
investigatif yang merupakan tindak lanjut dari general audit maupun compliance audit,
keduanya sama-sama memiliki peran sentral dan berkontribusi besar terhadap putusan
hakim atas bersalah atau tidak bersalahnya si terdakwa.
3.4. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL AUDIT INVESTIGATIF Pembentukan Janin Visum Akuntansi Forensik
Pelaksanaan audit investigatif (sering disebut AI atau PKKN) akan dilakukan
berbasis bukti awal. Basis itu dapat berupa aduan, keluhan, dan petunjuk awal (AKP).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
64
Basis bukti AKP itu setelah melalui analisis dan sintesis akan membangun suatu
predication (Tuanakotta, 2007, 219). Sintesis akan dilakukan manakala persesuaian
telah didapat, sedangkan eliminasi data dilakukan manakala terdapat ketidaksesuaian
antara satu bukti dengan bukti lainnya dan/atau antara satu perbuatan dengan
perbuatan lainnya dan/atau antara perbuatan dengan alat bukti yang diperoleh.
Manakala sudah terjadi kesesuaian dengan bukti maka alat bukti, barang bukti, fakta
dan data akan dirajut dalam bentuk chart and matrix yang merupakan wujud konstruksi
visum akuntansi forensik as a support for a litigation.
AKP bisa juga berupa tindak lanjut hasil temuan dari general audit. AKP dari
general audit dapat saya berikan contoh misalnya adalah laporan keuangan
Kementerian Kesehatan yang diaudit BPK RI dan menghasilkan disclaimer opinion
atau no opinion atau tidak menyatakan pandapat, yang terbit berkali-kali, sejak tahun
2006. Untuk pelaksanaan audit investigatif, BPK akan menggandeng KPK yang
tujuannya untuk menelsuri kemungkinan adanya kerugian keuangan Negara (Kompas,
1 Juli 2010).Salah satu temuan yang serius dari BPK adalah adanya 24 rekening liar
atas nama pribadi dan instansi yang off-budget senilai Rp.503 miliar. Selain itu,
terdapat saldo dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi Masyarakat
Miskin yang sampai dengan tanggal 31 Desember 2009 tercatat dana sebesar Rp.479
miliar. Dana tersebut di simpan di Kantor Pos. dan tidak dicairkan bagi masyarakat
miskin yang sangat memerlukannya. Pertanyaannya adalah, berapa bunga dari
simpanan itu dan bunga itu untuk apa dan untuk siapa? Siapa yang bertanggung jawab
atas penempatan dana itu? Mengapa menyimpannya dananya di Kantor Pos?
Mengapa tidak dimanfaatkan bagi masyarakat miskin? Dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang perlu pendalaman-pendalaman yang mengarah pada pencarian jawaban
hypothetical construction of crime.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
65
AKP seperti di atas itulah yang biasanya dapat menjadi amunisi awal bagi
tindak lanjut untuk melakukan audit investigatif bagi BPK RI. AKP seperti itu seperti
pada kasus Bupati Jember, Bupati Situbondo, Bupati Kolaka, Bank Century dan
lainnya.
3.4.1. ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI
Keterangan saksi dapat berupa suatu keterangan dari seseorang mengenai
suatu peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Mulyadi, 2007, 61 dan Chazawi,
2006, 37). Jadi, seorang saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan investigasi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan cross
examination di pengadilan tentang suatu perkara pidana. Keterangan saksi itu juga
harus dikuatkan dengan sumpah pada saat di pengadilan.
Sunaryo (2005, 414) menambahkan bahwa keterangan saksi itu harus
dikuatkan dengan sumpah. Di samping itu suatu keterangan saksi yang terdiri dari
hanya satu orang saja tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, karena satu saksi saja
akan dinyatakan sebagai bukan saksi (unus testis nulus testis). Selanjutnya, sebuah
keterangan yang diberikan satu saksi dengan saksi lainnya atas suatu perbuatan harus
bersangkut paut dan berkesuaian serta terjalin secara berkelindan antara satu dengan
lainnya dalam rangkaian rekonstruksi suatu peristiwa yang dapat mengungkapkan alur
perkara berbasis bukti secara terang benderang.
Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) atau
katanya atau ujarnya atau hersay evidence orang akan tidak dapat dimasukkan
sebagai keterangan. Testimonium de auditu atau hearsay evidence ini adalah suatu
bentuk keterangan saksi yang berasal bukan dari kesaksiannya sendiri melainkan yang
sumbernya diperoleh dari orang lain, yakni ada orang yang mengatakan atau
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
66
menceritakan sesuatu. Sebuah kesaksian yang bersumber dari kisah-kisah atau
celoteh yang didengar dari orang lain. Dalam soal mengungkap dan mengumpulkan
keterangan saksi-saksi bisa saja terjadi berbagai kompleksitas. Oleh karena itu,
Silverstone (2004, 134) mengingatkan method of questioning vary in
complexity─depending on the subject and purpose of the interogation─from simple
question and answer to a veritable game of psychological survivor.
Lebih lanjut, menurut Silverstone (2004,155) mengatakan bahwasanya
interviews with witnesses in financial crimes differ from interviews with witnesses in
other type of crimes, certain key interview techniques can help you as an investigator
develop as much information as possible. Jadi, dalam kompleksitas dalam mencari dan
mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi untuk dapat memberi penjelasan
gambaran konkrit mengenai perkara dugaan kejahatan keuangan dan/atau tindak
pidana korupsi sangat kompleks dan memerlukan teknik yang berbeda dengan cara
memperoleh keterangan dari tipe tindak pidana lainnya. karena itu tidak akan pernah
ada suatu daftar pertanyaan manjur (magical list of questions) yang dapat dirancang
investigator sebelumnya. Efektivitas hasil interview yang dilakukan para investigator
akan sangat tergantung pada kreativitas, imajinasi, sensitivitas dan pengalaman
panjang yang diperolehnya.
Pada kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditimpakan kepada Bahri,
keterangan saksi yang digunakan auditor investigatif dalam menghitung PKKN berasal
dari BAP hasil penyidikan Jaksa, dan tidak melakukan permintaan keterangan
langsung kepada saksi-saksi. Kondisi dan fakta itu dapat kita lihat dari laporan
penghitungan kerugian keuangan negara, yang tertulis pada angka 3 huruf (a) yang
menguraikan prosedur penugasan yang dilakukan BPKP adalah sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
67
“Dalam prosedur penugasan, untuk menghitung kerugian keuangan Negara tersebut dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (a) mempelajari resume dan memperhatikan pemaparan kasus yang dilakukan Penyidik Kejaksaan... dan seterusnya...”
Audit BPKP itu memiliki tujuan untuk membangun alat bukti surat, yang akan
diperuntukkan sebagai kelengkapan alat bukti penyidikan. Dengan alat bukti surat yang
dibangun dengan hanya berlandaskan pada data, informasi dan resume yang dipasok
dan hasil pemaparan penyidik, boleh jadi dan mungkin saja, masih mengandung
potensi kelemahan. Dengan adanya potensi kelemahan yang melekat itu bisa saja
akan menjadi titik kritis dalam kriteria bangunan alat bukti. Kelemahan itu tentu akan
berdampak besar pada saat dilakukan cross examination di pengadilan (ternyata
kelemahan inilah yang membebaskan Bahri dkk dari jeratan hukum). Menurut saya,
prosedur audit yang dilakukan BPKP itu sudah semestinya juga meminta tambahan
data, informasi, barang bukti, keterangan kepada saksi-saksi dan/atau lembaga lain
yang terkait (LPM UB, CV. Sami Jaya dan lainnya) dalam rangka untuk lebih
memperkaya informasi dan kemudian dapat digunakan untuk lebih memastikan
penghitungan angka kerugian keuangan negara.
Dalam perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi terhadap Bahri,
keterangan, informasi dan penjelasan diperoleh dari 22 orang saksi, seperti saksi:
Guritno (Mantan Rektor UB), Sujud (Bupati Malang), Santoso (mantan Sekda Malang),
dan lainnya termasuk Bahri (mantan ketua LPM UB). Saksi-saksi inilah yang
memberikan petunjuk dan arah bagi proses penyelidikan dan penyidikan. Namun,
entah karena apa Auditor Investigatif hanya berbasis pada data yang dipasok dari
penyidik serta hasil paparan penyidik belaka.
Sayangnya, dalam audit Tim Pemeriksa yang terdiri dari lima orang, yakni
Yustra Iwata (Pembantu Penanggung jawab), A.Rasyid Usman (Pengendali Teknis),
Tri Agung Sumartono (Ketua Tim), Thomas Sulistyo Budi (Anggota Tim), dan Rr. Sri
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
68
Hartanti (Anggota Tim) tidak melakukan prosedur permintaan klarifikasi kepada si
Tersangka Bahri dan/atau kepada saksi lainnya. Padahal langkah klarifikasi atau
konfirmasi ini merupakan sebuah keniscayaan yang sudah seharusnya dilakukan, yang
dalam Pedoman Penugasan Audit Investigatif hasilnya dituangkan dalam bentuk Berita
Acara Klarifikasi (BAK). Boleh jadi, bilamana hal ini dilakukan, mungkin saja Tim Audit
investigatif akan menemukan fakta, data, informasi dan keterangan lain dan mungkin
saja hasilnya bisa berbeda dengan simpulan yang dihasilkan.
Menurut Ma‘ruf, informan yang menjabat sebagai salah satu tim teknis audit
BPKP Jawa Timur menyatakan bahwa penghitungan kerugian keuangan negara yang
dilakukan dengan menggunakan basis data yang disiapkan penyidik itu disebabkan
karena:
Dalam bantuan untuk Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam kasus Syamsul Bahri itu, lebih disebabkan karena kami melaksanakan tugas audit itu berdasarkan isi surat tugas yang kami terima dari pimpinan... audit penghitungan keuangan kerugian negara kami laksanakan berdasarkan pasokan data dan resume penjelasan dari penyidik... sederhananya begini: „ini lho buktinya dan ini penjelasannya, tolong hitung berapa nilai kerugian keuangan negaranya‟... karena itu tugas semacam ini, kami dari BPKP tidak mengembangkan data yang kami peroleh kepada sumber lain... tidak sebagaimana kalau kami melaksanakan tugas audit investigatif yang mencari ke pucuk-pucuk, ranting-ranting hingga akar-akar permasalahan...“
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa dengan prosedur yang dilakukan
tidak meminta klarifikasi atau konfirmasi terhadap si terdakwa boleh jadi masih
mengandung kelemahan signifikan. Oleh karena itu, salah satu kalimat dalam
pembelaan (pledoi) yang dibuat Bahri dan dibacakan pada saat sidang di Pengadilan
Negeri Malang menyayangkan hasil audit BPKP tersebut. Kalimat Bahri dalam pledoi-
nya menyatakan sebagai berikut:
“Ternyata tim audit BPKP Jawa Timur tidak memeriksa Surat Perintah Pelaksanaan… yang berisis tentang perintah untuk melaksanakan kegiatan desain dan pengawasan pada pembinaan Kigumas TA 2003. Demikian juga, Tim audit BPKP tidak memeriksa LPM sebagi pihak konsultan perencanaan dan pengawasan, yang diperlukan data-data yang menyangkut produk-produknya terutama desain mesin dan sipil. Hasil audit yang demikian itu menjadi tidak objektif…”
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
69
“Hasil audit Kantor Akuntan Publik Drs. Kunto Aji dan juga dalam kesaksian Saudara Kunto Aji yang dibuat secara tertulis yang ditunjukkan oleh Hakim Anggota yang berisi mengenai desain 60% untuk di PAK – kan, merupakan dasar bagi addendum nomor 05 dan 06 karena adanya perubahan tugas pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan kontrak nomor 525/2003 di mana dalam kontrak tersebut juga dinyatakan bahwa pada pasal 14 bahwa segala sesuatu yang belum diatur dalam isi surat perjanjian ini atau perubahan yang dipandang perlu oleh kedua belah pihak, akan diatur lebih lanjut dalam Surat Perjanjian Tambahan (addendum) dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Surat Perjanjian ini… ”
Jadi, menurut Bahri jelas-jelas bahwa kontrak 05 dan 06 yang menjadi masalah
utama dalam perkara PGM Kigumas ternyata pekerjaan telah dilakukan. Dengan telah
dilaksanakannya pekerjaan tentu tidak ada pekerjaan yang fiktif. Semua pekerjaan
dalam addendum telah dikerjakan sesuai dengan kontrak. Hasil pekerjaan telah
diterma dan dibayar oleh Talahatu selaku Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten
Malang. Tuduhan pekerjaan fiktif tersebut, menurut Bahri, adalah suatu bentuk
ketidakcermatan Tim Audit BPKP Jawa Timur.
Dengan demikian, alat bukti surat yang berupa laporan penghitungan kerugian
keuangan negara (PKKN) menjadi titik lemah perkara Bahri. Dengan kelemahan yang
melekat pada alat bukti surat ini, pada akhirnya dapat membebaskan Bahri dari jeratan
hukum. Karena unsur tindak pidana korupsi harus meliputi tiga unsur, di mana salah
satu unsurnya adalah adanya kerugian keuangan negara. Jika salah satu unsur tidak
terbukti, maka tindak pidana korupsi itu tentu bukan delict tindak pidana korupsi.
Pada sisi lain, bukti keterangan saksi ini, dalam domain auditing akan
merupakan hasil dari wawancara. Hasil wawancara dapat direkam terlebih dahulu
dalam media elektronik kemudian di script dalam bentuk tulisan yang kemudian
ditandatangani oleh pemberi keterangan bersama petugas. Bisa juga, keterangan itu
langsung dicatat dan kemudian ditandatangani oleh para pemberi keterangan.
Uttuk memberikan gambaran perbandingan antara seseorang yang member
keterangan (saksi) yang terdapat dalam aturan di Indonesia dengan di Amerika adalah,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
70
di Amerika Serikat, keterangan saksi disebut sebagai ―Testimony‖. Dalam aturan
hukum Amerika, terdapat tiga jenis saksi, yaitu ―Lay witness‖, ―Expert witness‖ dan
―Character witness‖. Lay witness adalah saksi biasa, adalah orang yang melihat
peristiwa yang terjadi dan mampu menggambarkan apa yang ia lihat. Di Indonesia lay
witness ini akan dikategorikan sebagai alat bukti keterangan saksi (fakta).
Expert Witness, adalah seorang spesialis, yakni seseorang yang ahli dalam
suatu bidang dan memberikan kesaksian berdasarkan bidang keahliannya itu. Di
Indonesia expert witness secara spesifik tidak ada, yang ada adalah keterangan ahli,
yakni suatu permintaan keterangan yang berbasis keahlian yang dimilikinya. Karena
itu, bisa jadi keterangan ahli dalam perspektif Indonesia boleh jadi akan menuai protes
dan perdebatan di pengadilan
Dengan demikian, keterangan ahli dari BPKP atas PKKN yang dibuatnya, boleh
jadi masih akan menuai protes (objection) dan keberatan dari advokat saat mereka
dihadirkan dalam persidangan. Karena dalam konstruksi hukum Indonesia, yang
disebut expert adalah seseorang ahli, yang hanya akan diminta keterangannya atas
keahliannya, dan bukan seseorang ahli yang telah masuk dalam penguraian atas fakta
dan perkara tindak kejahatan keuangan atau tindak pidana korupsi (KUHP pasal 184).
Sedangkan character witness adalah seseorang yang mengenal korban,
karakter si pelaku atau orang lain yang terlibat dalam kasus tersebut12. Di Indonesia
character witness ini tidak dikenal. Karena KUHAP hanya mengenal tiga macam alat
bukti keterangan yakni alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti
keterangan terdakwa.
Masih di Amerika, manakala Jaksa (attorneys) telah merasa memiliki informasi
dan data kasus yang kuat, dengan beberapa orang saksi yang mendukung, serta
12 US Departement of Justice, Criminal Division, Management of The Prosecutional Function, yang ditulis kembali oleh Effendi Marwan (2005, 79-84)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
71
bersedia memberi kesaksian melawan terdakwa, maka jaksa kemudian akan
memberitahukan kepada terdakwa bahwa ia diyakini telah melakukan tindak pidana.
Surat dakwaan akan berisi informasi yang membantu terdakwa untuk memahami atau
mengerti tindak pidana yang telah ia lakukan. Simpulan itu akan diambil Jaksa,
manakala seluruh fakta yang ada itu telah mengarah pada seseorang sebagai pelaku
tindak pidana. Pertimbangan jaksa akan sangat berkait erat dengan bukti yang
diterimanya, baik langsung maupun bukti yang tidak langsung. Bukti langsung adalah
informasi yang diberikan oleh saksi yang melihat, atau dari video atau audio tentang
seseorang yang melakukan tindak pidana. Sedangkan alat bukti tidak langsung adalah
pernyataan-pernyataan atau informasi yang bukan berasal dari orang pertama. Alat
bukti tidak langsung meliputi kesan-kesan dari orang-orang tentang tindak pidana yang
telah terjadi yang tidak mereka saksikan sendiri (circumtantial evidence)
Salah satu tahap akhir saat akan dimulainya persidangan adalah, apa yang
disebut sebagai ―motion in time‖, yakni suatu tahapan untuk menentukan tempat
persidangan (venue) atau dikenal juga sebagai jurisdiksi, kemudian alat-alat bukti, dan
soal kesaksian. Dalam hal ini, hakimlah yang akan memutuskan motion in time
tersebut.
Jadi, di Amerika Serikat dalam soal membangun kesaksian untuk memastikan
eksistensi kejahatan, lebih banyak menyandarkan kepada kepiawaian agen-agen dari
FBI dan/atau DEA dan/atau agen sejenis lainnya. Jaksa hanya akan menerima dan
menilai kekuatan bukti-bukti kesaksian dari hasil kerja mereka. Dengan model seperti
ini, di Amerika Serikat tentu peranan penting akuntan forensik dalam mencari,
menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi forensik dan/atau bekerja sama
dengan agen-agen FBI menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
72
Berbeda dengan di Indonesia, peranan mencari, menemukan dan
mengumpulkan alat bukti, kewenangan itu lebih banyak diberikan kepada kepolisian,
kejaksaan atau KPK. Instansi itulah yang bertanggungjawab atas visum akuntansi
forensik as support for a litigation..
3.4.2. ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI
Keterangan ahli adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat
terang dan jelasnya suatu perkara (Chazawi, 2006,62). Pemberi keterangan adalah
seseorang yang mempunyai ‖keahlian khusus‖ yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang dimintai
pertimbangannya. Seorang ahli adalah seseorang yang dapat didengar keterangannya
mengenai persoalan tertentu, yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui
suatu bidang ilmu pengetahuan secara khusus, mendalam dan komprehensif.
Keterangan ahli (expert testimonium) boleh jadi akan dilakukan oleh auditor
investigatif.
Mengapa auditor investigatif dapat disebut sebagai ahli? Pengertian ahli
menurut Andy Hamzah (1988, 282) adalah a person who is qualified to testify as an
expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to
qualification of him as an expert on the subject to which his testimony related. Dengan
demikian, seorang ahli akan diminta keterangan keahlian yang dimiliki untuk
menjelaskan duduk perkara atas kasus yang sedang disidangkan agar kasus yang
disidangkan menjadi terang benderang. Seperti yang saya uraikan sebelumnya,
pemberi keterangan ahli ini, di Amerika Serikat disebut sebagai expert witness.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
73
Informan Ismail Navianto, saat saya tanya mengenai apa peran penting
seorang ahli pada kasus tindak pidana korupsi. Navianto menjawab:
“Dalam perspektif hukum Indonesia, akuntan misalnya, akan menyatakan fakta-fakta berdasarkan audit yang dilakukannya. Peran utama akuntan adalah membuat terang dan jelasnya perkara berdasarkan audit yang dilakukannya. Temuan-temuan itu akan disampaikan dalam bentuk laporan yang kemudian akan disebut sebagai “alat bukti surat”.
Dengan demikian, bukti yang dibangun auditor investigatif niscaya memiliki
peran sentral dalam memberikan terang dan jelasnya perkara. Ia bukan penyelidik dan
bukan pula penyidik, namun ia adalah auditor. Peran seperti inilah yang sering
dilakukan oleh BPK maupun BPKP dalam bentuk audit investigatif (Soejono Karni
(2000,106). Namun, dalam hal-hal tertentu, penyidik dapat juga meminta bantuan
tenaga ahli13 untuk memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya, dan bukan
masuk pada pokok perkaranya. Permintaan kepada auditor pada umumnya akan
menyangkut dua hal pokok, yakni sebagai ahli keuangan dan akuntansi untuk mencari,
menemukan dan mengumpulkan fakta, peristiwa dan dokumen yang berkaitan dengan
perkara, atau dia akan diminta menghitung besarnya nilai kerugian keuangan negara
yang terjadi pada perkara tersebut 14.
Namun, Soejono Karni (2000, 230) terdapat kondisi ketidakjelasan penegakan
hukum di Indonesia. Berkait dengan soal suap misalnya, Karni berujar:
“Alat bukti surat─berdasarkan pengalaman saya di sidang pengadilan─harus sah menurut hukum, artinya alat bukti surat tersebut harus memenuhi syarat formal dan materiil. Lalu akan timbul pertanyaan besar, yakni sepanjang tidak ada kwitansi tanda terima suap, boleh jadi Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak akan pernah berani untuk mengajukan perkara tersebut ke sidang pengadilan.”
Dalam soal penyalahgunaan wewenang, konstruksi aturan hukum Indonesia
sungguh mengenaskan seperti yang dikatakan Karni (2000, 230) sebagai berikut:
13
KUHAP pasal 120 ayat (1) 14 Lihat pasal 183 dan pasal 187 butir (d) KUHAP
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
74
“Dalam kasus penyalahgunaan wewenang, misalnya harus ada bentuk perintah tertulis dari atasan agar bawahannya melaksanakan tugas yang menyimpang. Menurut advokat, barangkali surat perintah (bila ada) juga harus sah demi hukum. Kalau sistem pembuktian tetap seperti sekarang, sulit digunakan untuk memberantas korupsi. Jaksa bersama auditor telah bekerja berbulan-bulan dengan biaya yang tidak sedikit, apalagi kalau dalam rangka pembuktian perlu ke luar negeri, lalu di sidang pengadilan disanggah oleh advokat yang disiapkan hanya dalam beberapa jam belaka. Di negara kita sangat terbuka lebar untuk menyanggah Dakwaan Jaksa dengan hanya menggunakan pembenaran hukum semata”.
Tuduhan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara menggunakan
penyalahgunaan kekuasaan adalah mudah bagi advokat untuk menyanggah Dakwaan
jaksa. Misalnya saja, atas perintah lisan dari ―Atasan‖, sang petugas gudang (bagian
logistik) menandatangani berita acara penerimaan barang gudang yang fiktif. Dengan
demikian, saja sang atasan tentu tidak meninggalkan jejak tanda tangan atas
perinahnya tersebut. Sebagai akibatnya akan sangat sulit untuk menuntut atau
memperkarakan sang atasan, meski perintah menandatangani penerimaan barang
fiktif itu datangnya dari perintah lisan sang atasan. Sedangkan yang akan kena getah
dan mempertanggungjawabkan penerimaan barang fiktif adalah sang bawahan.
Seirama dengan perintah atasan di atas, dapat saya uraikan suatu ilustrasi
tentang kasus riil yang sama, yakni pada kasus PGN (Perusahaan Gas Negara) yang
menimpa Joko Pramono. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur
Umum dan SDM PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Pramono sebagai tersangka
dalam kasus dugaan korupsi pungutan uang proyek pembangunan jaringan pipa
distribusi gas dan atau penyuapan ke sejumlah anggota DPR RI. Pramono diduga
terlibat dalam kasus yang juga menjerat mantan Direktur Utama PT. PGN, Washington
Mampe Parulian Simanjuntak.
Ketika kasus ini terjadi pada saat Pramono menjabat sebagai Direktur
Keuangan PGN. Nama Pramono disebut di dalam surat dakwaan terhadap Simanjutak.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
75
Tim penuntut umum KPK menyatakan bahwa dana pungutan kontraktor PT. PGN
sebesar Rp1,6 miliar mengalir ke sejumlah anggota DPR RI pada 2003.
Simanjuntak memerintahkan pengumpulan dana dari sejumlah kontraktor PGN
dalam proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas. Sebagian uang itu diberikan
kepada anggota DPR RI yang telah mengegolkan anggaran PGN 2003. Atas
perbuatan itu, Simanjuntak dijerat dengan pasal 12 huruf e dan atau pasal 11 dan atau
pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1)
kesatu KUHP.
Kasus berawal dari Simanjuntak menerima telepon dari anggota DPR RI
Agusman dan Hamka Yandhu. Pada saat itu, Agusman meminta dana sebesar Rp.1
miliar yang akan dibagikan kepada anggota Komisi VIII DPR RI. Sedangkan Hamka
Yandhu meminta dana Rp.600 juta, yang separuhnya akan diteruskan kepada
pimpinan DPR, sedangkan sisanya untuk Yandhu sendiri.
Atas permintaan itu, Simanjuntak kemudian memerintahkan Direktur Keuangan
PGN, Pramono dan beberapa bawahannya untuk mengumpulkan uang dari para
kontaktor proyek pembangunan jaringan pipa distribusi gas di beberapa daerah di
Indonesia. Pengumpulan dana itu mencapai Rp3,6 miliar
Kemudian Simanjuntak memerintahkan penyerahan uang kepada anggota DPR
Agusman dan Hamka Yandhu. Penyerahan uang sebesar Rp.1 miliar kepada
Agusman dilakukan melalui orang bernama Tohir Nur Ilmani dan Darmojo.
Penyerahan uang sebesar Rp.1 miliar itu dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam
tas dan diserahkan kepada Agusman di sebuah rumah makan di Jakarta. Setelah
mengambil uang, Agusman mengembalikan tas itu.
Sementara itu, penyerahan uang kepada Yandhu dilakukan oleh Pramono.
Secara keseluruhan, Yandhu menerima uang dalam bentuk cek senilai Rp.600 juta.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
76
Separuh dari uang itu dinikmati Yandhu sendiri sebagai imbalan karena keluarnya izin
inisiatif penawaran saham PGN, yang separuh sisanya diteruskan kepada pimpinan
DPR RI. Sisa dana hasil pungutan terhadap kontraktor dinikmati oleh Pramono
sebesar Rp.700 juta, Simanjuntak sebesar Rp.300 juta, dan sisa yang lain dinikmati
oleh beberapa pejabat PGN lainnya.
Kasus itu merupakan pengembangan pengusutan kasus korupsi yang menjerat
mantan General Manager PGN Jawa Timur, Trijono. Dalam persidangan Trijono
terungkap bahwa aliran uang dari PT PGN kepada sejumlah anggota DPR. Ketika
bersaksi di persidangan, mantan Direktur Keuangan PT PGN, Pramono mengaku telah
menyerahkan cek senilai Rp.200 juta kepada Yandhu. Pramono juga mengatakan
telah membagikan cek senilai Rp.50 juta sampai Rp.75 juta kepada sejumlah anggota
DPR yang hadir dalam rapat dengan PT PGN.
Menurut Pramono, anggota DPR yang menerima antara lain Ferial, Agusman,
dan Asawi. Masih menurut Pramono, PT PGN telah menerima setoran uang sebesar
Rp.700 juta dari Trijono ketika menjabat sebagai General Manager PGN Jawa Timur.
Pramono mengaku diperintah oleh Direktur Utama PGN, untuk membagikan uang itu
kepada sejumlah anggota DPR. Dalam kasus ini, KPK juga sudah memeriksa mantan
anggota DPR Hamka Yandhu, Achmad Ferial Husein dan Agusman (TVone.com,
tanggal 19 Januari 2010, berita jam 22:32)
Bagi saya, uraian sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa perbuatan
Pramono telah dapat dimasukkan dalam perbuatan tindak pidak korupsi dan
diklasifikasikan sebagai tindak pemerasan dan penyuapan. Pemerasan kepada
suppliers PGN dan penyuapan kepada anggota DPR.
Selanjutnya, terdapat beberapa kendala bagi auditor dalam membantu penyidik
pada sidang pengadilan. Bilamana permintaan audit investigatif itu berasal dari
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
77
penyidik Kepolisian, dan kemudian hasil penyidikan diserahkan kepada Jaksa
Penuntut Umum (JPU). Hasil AI atau PKKN, JPU pada umumnya masih akan meminta
tambahan-tambahan keterangan dari auditor investigatif, dalam rangka untuk lebih
menguraikan dan menambah kejelasan laporan AI atau PKKN tersebut.
Permintaan tambahan keterangan itu akan timbul persoalan baru, yakni akan
terjadi pemberian keterangan secara berulang-ulang. Keadaan itu terjadi, karena salah
satu ciri tindak pidana korupsi adalah eksistensi kerugian negara sebagai akibat
adanya penyalahgunaan wewenang yang melibatkan tidak hanya satu pelaku.
Dengan pelaku yang banyak, tentu auditor investigatif harus selalu siap untuk
datang bolak-balik untuk memberikan keterangan ahli atas laporan AI dan PKKN pada
setiap persidangan terhadap masing-masing pelaku yang terlibat dalam tindak pidana
korupsi. Bilamana yang terlibat 5 orang, maka auditor akan hadir untuk pemberian
keterangan ahli atas 5 orang tersebut, demikian seterusnya.
Di samping persoalan atas bolak-balik untuk hadir dalam pemberian
keterangan ahli, dalam persidangan tindak pidana korupsi, auditor investigatif juga
akan mengalami kesulitan untuk mampu meyakinkan hakim atas konfigurasi, konsep
dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam arsitektur akuntansi dan keuangan.
Di samping berhadapan dengan kompleksitas dalam memberikan penjelasan
hasil AI dan PKKN, auditor juga akan berhadapan dengan argumentasi advokat yang
cenderung dan mencoba mematahkan laporan hasil AI atau PKKN yang dibuat auditor.
Misalnya saja, dalam soal menghitung kerugian keuangan negara yang melekat pada
perbuatan melawan hukum. Karni (2000, 238) mengungkapkan sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
78
“Dari pengalaman siding di pengadilan yang pernah saya ikuti, masih terdapat advokat yang mempermasalahkan soal menghitung kerugian negara yang melekat pada perbuatan melawan hukum. Pertanyaan advokat akan menggiring auditor kepada masalah hukum… biasanya advokat akan mempermasalahkan mengapa auditor masuk ke pokok perkara, padahal seorang ahli hanya diminta pendapat dan bukan penjelasan. Di sisi lain, untuk dapat menghitung kerugian keuangan negara yang melekat pada perbuatan melawan hukum harus terlebih dahulu melakukan audit. Tanpa melakukan audit terlebih dahulu, tidak mungkin auditor dapat membuat keterangan ahli.
Jadi, dari dialog sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa di samping auditor
investigatif harus mampu membangun laporan AI dan PKKN, dia harus juga
mempersiapkan diri untuk mampu mempresentasikan laporan hasil AI dan PKKN
dalam bahasa yang sederhana namun tidak mengurangi isi substansi dari laporan
tersebut. Kepiawaian dalam berkomunikasi verbal menjadi keniscayaan yang tidak
terhindarkan. Karena perkara akan dapat menjadi terang benderang manakala auditor
investigatif sanggup memberikan keterangan yang lengkap, jelas dan cermat serta
keterangan tersebut dapat ditangkap secara sempurna oleh para pihak yang
berperkara.
Selanjutnya pada sisi lain, yang perlu kita ketahui adalah, pada umumnya
dalam perkara tindak pidana - apapun jenis pidananya - bukti surat di bawah tangan
akan mempunyai nilai tinggi bilamana surat di bawah tangan tersebut memiliki
hubungan dengan isi dari alat pembuktian lain. Misalnya, terdapat pertautan antara
bukti surat di bawah tangan dengan keterangan saksi yang telah menyerahkan
sejumlah uang itu kepada terdakwa yang dilampiri dengan sebuah kwitansi. Pertautan
antara surat di bawah tangan dengan keterangan saksi itu dapat kita simpulkan
sebagai alat bukti surat. Proses pertautan semacam itu, dalam hukum pembuktian
dapat diklasifikasikan sebagai suatu bentuk pembuktian minimum.
Kembali pada soal ker, Informan Azhar (mantan jaksa) saat saya tanya
mengenai apa arti kerugian keuangan negara. Azhar mengatakan bahwa:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
79
“Manakala dalam suatu dugaan kasus tindak pidana korupsi, misalnya kasus Bahri, dinyatakan terdapat kerugian negara, maka sudah seharusnya ditemukan juga fakta lain, yaitu pihak-pihak yang diuntungkan. Bilamana terdapat keterangan ahli yang menyatakan mengenai kerugian negara, namun tidak ada pihak yang diuntungkan, lalu kerugian itu artinya apa? Khan tidak jelas makna kerugian negara itu?”
Dengan demikian, pemberi keterangan ahli dalam kasus tindak pidana korupsi,
harus dilakukan oleh seseorang yang berkriteria ―ahli‖. Artinya, seorang ahli itu harus
memberikan penjelasan yang berorientasi dan mengarah pada penjelasan profesional
yang memiliki ilmu pengetahuan dan atau ketrampilan di bidangnya secara mendalam
dan komprehensif. Pengetahuan itu bisa saja dalam bidang akuntansi, keuangan,
auditing, hukum atau bidang lain yang relevan dengan konteks dan substansi perkara.
Penjelasan yang diberikan harus berkorelasi dan berkait erat serta terjalin secara
berkelindan dengan perkara tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, dalam hal alat bukti keterangan ahli, pada kasus Bahri mantan
ketua LPM UB, ternyata Auditor BPKP telah meminta keterangan kepada pihak yang
secara kriteria tidak memenuhi syarat sebagai ‗ahli‘. Keterangan ahli yang dimintakan
dari PT. Boma Bisma Indra (BBI) yang dianggap independen bisa dibaca dalam
laporan penghitungan kerugian keuangan negara BPKP Perwakilan Jawa Timur pada
halaman 8 yang menyebutkan sebagai berikut:
“Pembayaran kepada CV. Teknika Utama untuk pengadaan peralatan Pabrik PG Kigumas atas kontrak … tanggal … sebesar Rp.981.877.600,00 yang prosedur pengadaannya hanya formalitas... Hasil audit yang kami lakukan bersama dengan ahli independen PT. Boma Bisma Indera (cetak tebal dari saya) menunjukkan selisih kontrak dibanding hasil audit. Selisih tersebut merupakan Kerugian Keuangan Negara yang besarnya adalah Rp.109.851.950,00
Dengan dasar kalimat seperti itu, tentu dapat kita simpulkan bahwa
kriteria PT Boma Bisma Indera (BBI) yang disebut sebagai ‗ahli independen‘ menjadi
persoalan serius. BBI tidak memenuhi kriteria sebagai pihak independen juga
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
80
disebabkan karena BBI adalah pesaing dari PT Weltes yang dikalahkan dalam lelang
pengadaan mesin PG Kigumas.
Di samping tidak independen, PT BBI juga tidak memiliki kewenangan dan
kompetensi, karena BBI adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengadaan
mesin-mesin pabrik yang tentu saja tidak memiliki kompetensi dan kewenangan dalam
melakukan penilaian asset/properti. Penunjukan BBI sebagai perusahaan yang diminta
penilaiannya tentu tidak punya kewenangan memberikan penilaian. BBI bukan KJPP
(kantor jasa penilai publik) yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian suatu
asset/properti. Kesalahan besar dan fatal seperti ini tentu akan membawa dampak
besar terhadap keyakinan hakim terhadap angka perhitungan kerugian keuangan
Negara (PKKN).
Kesalahan lain yang dilakukan tim BPKP, dapat kita temukan pada laporan
laporan PKKN halaman 7 berbunyi sebagai berikut:
“Pembayaran kepada CV. Samijaya sebesar Rp.994.392.647,00 hasil penghitungan kami bersama Dinas Kimpraswil Kabupaten Malang atas pekerjaan yang dibayar tersebut terdapat selisih harga kontrak dibanding hasil audit berupa kerugian Keuangan Negara sebesar Rp.259.630.481,41”
Padahal dalam struktur organisasi Pemkab Malang berdasarkan PERDA
Pemkab Malang Nomor 3 Tahun 2003 juncto Nomor 4 Tahun 2004, dalam dua perda
tersebut, kita bisa melihat bahwa tidak ada satker (satuan kerja) pemda yang namanya
Dinas Kimpraswil. Lalu BPKP menyebut laporan itu berbasis penghitungan bersama
Dinas Kimpraswil, pertanyaannya adalah sebenarnya lembaga mana? Inilah bentuk
ketidakcermatan yang dilakukan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian
keuangan negara.
Sebagai dampak atas ketidakkcermatan tersebut akan memiliki dampak serius,
kepada semua terdakwa. Mereka tentu akan ―berdarah-darah‖. Artinya para terdakwa
harus menjadi pesakitan terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan segala
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
81
perbuatan yang ―diduga salah‖ tersebut di pengadilan hingga munculnya putusan
hakim yang membebaskan tersangka.
PKKN dari BPKP yang tidak akurat dan tidak cermat seperti itu juga pernah
ditemui Kustaryo pada kliennya yang dijerat dugaan tindak pidana korupsi. Kustaryo,
mengatakan sebagai berikut:
“Nilai kerugian yang dihitung oleh BPKP untuk objek yang sama namun dalam tahun yang berbeda menghasilkan angka yang berbeda. Artinya perhitungan BPKP tahun 2005 menghasilkan laporan yang wajar, artinya angka tukar guling itu wajar dan tidak ada kerugian negara). Namun pada tahun 2007 untuk objek yang sama oleh BPKP setelah dihitung ulang terdapat angka kerugian negara sebesar Rp 5,3 milyar. Yang lebih aneh lagi adalah bahwa, pada tahun 2008 manakala PT.Sucofindo menghitung objek yang sama, hasilnya malah menunjukkan adanya keuntungan senilai Rp.300 juta, lalu nilai manakah yang paling akurat?”
Jadi, menurut saya penghitungan kerugian keuangan Negara (PKKN) dalam
tindak pidana korupsi harus pasti dan benar karena hal itu berkait erat dengan masalah
pembuktian. Karena itu, pada soal pengalian, pembagian, penjumlahan, dan
penambahan (ping-poro-lan-sudo atau disingkat dengan pipo londo) niscaya benar dan
pasti. Dalam pipo londo tidak boleh ada yang salah dan atau mengandung
ketidakcermatan.
Surat dakwaan adalah mahkota bagi jaksa penuntut umum. Karena itu surat
dakwaan harus dihindarkan baik kesalahan bahasa, angka-angka maupun kesalahan
pencantuman unsur dalam pasal-pasal yang dilanggar terdakwa.
Di samping itu, keakuratan angka PKKN, sesuai dengan asas konstitusionalitas
yang berarti adanya perlindungan hak untuk memperoleh jaminan dan perlindungan
hukum yang pasti (asas lex certa disebut juga sebagai bestimmheitsgeboot)), yang
dalam hukum pidana diterjemahkan sebagai ―asas legalitas‖ (tercantum dalam pasal 1
ayat (1) KUHP) yang berisi mengenai atas adanya kepastian hukum di mana orang
hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
82
tertulis (lex scipta). Selanjutnya orang juga dapat dipidana sesuai dengan rumusan
perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang
dilarang sehingga karenanya ia dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip
nullum crimen sine lege stricta atau biasa disingkat dengan lex stricta (sesuai apa
yang terdapat dalam tulisan).
Dalam hukum pidana juga dikenal luas adanya asas geen straaf zonder schuld,
yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Untuk membuktikan adanya unsur
kesalahan (sculd) maka harus dilihat mens rea dari si pelaku, yakni apakah perbuatan
yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan dikehendaki dan diketahui oleh si pelaklu
(witten en waten).
3.4.3. ALAT BUKTI SURAT
Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni
surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah
(Chazawi, 2006,68). Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis
seperti: Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et
repertum, surat keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik,
laporan hasil audit investigatif, laporan penghitungan kerugian keuangan negara
termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian lain.
Laporan hasil perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dari BPKP, yang
dalam ranah hukum dapat dikategorikan sebagai ‗Alat Bukti Surat‘ merupakan salah
satu acuan utama bagi hakim dalam pengambilan putusan hukumnya. Dalam konteks
penanganan perkara tindak pidana korupsi di pengadilan, bukti surat yang berisi
adanya angka kerugian keuangan Negara akan dapat membangun keyakinan hakim
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
83
atas kepastian eksistensi tindak pidana korupsi. Dalam tindak pidana korupsi, unsur
kerugian keuangan negara mutlak harus eksis dan benar-benar terjadi serta dengan
jumlah rupiah yang harus memunculkan angka riiil dan pasti.
Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bagian sebelumnya, pelaksanaan
audit investigatif yang dilakukan oleh BPKP perwakilan Jawa Timur ini berjenis audit
investigatif dalam area penghitungan kerugian keuangan negara yang pelaksanaanya
atas permintaan Kejaksaan Negeri Kepanjen No: R.01/0.5.43/Fd1/2005 tertanggal 24
Maret 2005 perihal bantuan investigasi audit keuangan. Kemudian surat tersebut
ditindaklnjuti dengan surat tugas kepala perwakilan BPKP Jawa Timur dengan Nomor
Surat Nomor: ST-2978/PW.13/5/2005 tertanggal 29 April 2005 perihal Bantuan
perhitungan kerugian keuangan negara dan Nomor: ST-4120/PW.13/5/2005 tertanggal
22 Juni 2005 terhadap perpanjangan waktu penugasan bantuan penghitungan
kerugian keuangan negara.
Dalam keterangan ahli, institusi BPKP perwakilan Jawa Timur diwakili oleh
SUMARTONO. Untuk pemerolehan keterangan ahli, penyidik melakukan
penyidikannya berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen Nomor:
Print-.04.5.43/Fd.1/4/2006, menyatakan dalam salah satu isi berita acara pemeriksaan
(BAP) menyatakan (lengkapnya lihat dalam Dakwaan JPU):
“Biaya jasa tenaga kerja non pegawai Rp.496.343.493 yang merupakan nilai pekerjaan penyempurnaan perencanaan yang fiktif kepada LPM Universitas Brawijaya Malang dari nilai total Rp.645.987.000. Pembiayaan fiktif dapat dirinci sebagai berikut: nilai addendum kontrak 05 Tahun 2003 Rp.380.047.250, nilai addendum kontrak 06 Tahun 2003 Rp.265.939.850 (total Rp.645.987.000) kemudian dikurangi dengan pekerjaan pengawasan yang dilaksanakan yaitu: addendum nomor 05 tahun 2003 Rp.143.700.667 dan ditambah nilai addendum nomor 6 tahun 2003 Rp.12.951.840 (total Rp.156.652.507).
Perhitungan nilai kerugian negara yang dihasilkan adalah Rp.645.987.000
dikurangi Rp.156.652.507= Rp.496.343.493. Angka nilai kerugian Negara ini kemudian
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
84
di justifikasi dengan kutipan beberapa aturan yang dilanggar. Kutipan aturan yang
dilanggar itu antara lain adalah sebagai berikut:
“Pola pendanaan “pre financing” dalam kegiatan KIMBUN berbasis tebu tidak dapat dibenarkan karena melanggar pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 Kepres 80 Tahun 2003. Di samping itu, dana yang tercantum dalam DASK Tahun 2004 dengan pendanaan pre-financing direkayasa supaya uang Negara dapat dibayarkan.
Bilamana kita kaji secara seksama, pada dasarnya dalam pasal 10 ayat (3)
tersebut mengatur mengenai soal pelarangan terhadap pengeluaran uang atas beban
APBD. Aturan itu lengkapnya adalah sebagai berikut: ―Setiap pejabat dilarang
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut‖.
Pada dasarnya, kegiatan apapun dilarang untuk dibayarkan. Artinya jika anggaran
tidak ada dalam APBD dan/atau dalam perubahan anggaran keuangan (PAK), dilarang
melakukan pembayaran apapun. Aturan pelarangan pembayaran ini dimaksudkan
sebagai bagian dari implementasi pola anggaran yang berbasis kinerja yang telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari praktik-praktik manajemen keuangan
daerah secara keseluruhan.
Pelarangan pembayaran seperti di atas itu juga diatur dalam pasal 9 ayat (4)
Kepres 80 Tahun 2003 tentang aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah
pusat/daerah. Oleh karena itu, aturan ini juga menjadi acuan bagi auditor BPKP dalam
menjustifikasi terjadinya kerugian keuangan negara. Pasal 9 ayat (4) dalam Kepres 80
Tahun 2003 tercantum aturan yang mengatur tentang bagaimana pembayaran atas
pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan. Aturan itu berbunyi sebagai berikut:
―Pengguna barang/jasa dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia
barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
85
akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk
kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBN/APBD.
Jadi, meskipun simpulan auditor BPKP atas adanya jumlah kerugian keuangan
negara tersebut sangat logis dan berbasis legal formal (sesuai peraturan hukum yang
berlaku), hasil tersebut dapat dijadikan dasar bagi penyelidik untuk lebih memperdalam
dan lebih memperkaya perkara tersebut.
Pengertian kerugian keuangan negara, yang diambil BPKP adalah dari bunyi
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi 31/1999 yang telah diperbaharui dengan
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi No. 20/2001 dapat diartikan sebagai berikut:
(1) Berkurangnya kekayaan negara dan atau bertambahnya kewajiban negara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kekayaan negara merupakan konsekuensi dari adanya penerimaan pendapatan yang menguntungkan dan pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara (pendapatan dikurangi kerugian negara);
(2) Tidak diterimanya sebagian dan atau seluruh pendapatan yang menguntungkan keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Sebagian atau seluruh pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara lebih besar atau seharusnya tidak menjadi beban keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(4) Setiap perubahan kewajiban negara yang diakibatkan oleh adanya komitmen yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus Bahri, penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP
Perwakilan Jawa Timur mengarahkan arti kerugian keuangan negara pada poin 3 di
atas. Bahan-bahan yang diaudit oleh Tim BPKP perwakilan Jawa Timur merupakan
materi hasil penyidikan tim penyidik yang telah menyimpulkan atas adanya perbuatan
melawan hukum terhadap penggunaan dana kegiatan pembinaan KIMBUN TA 2004.
Dalam laporan BPKP pada kasus ini secara tegas dan jelas menyatakan bahwa
tanggung jawab BPKP dalam penugasan ini hanya menghitung jumlah kerugian
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
86
keuangan negara/daerah, dan bukan memberikan opini hukum atas kasus dugaan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Alat bukti surat, pada kasus Bahri yang salah satu bentuknya berupa Laporan
Penghitungan Kerugian keuangan negara yang dibuat BPKP Jawa Timur bertanggal 14
September 2005. Laporan itu dibuat berbasis data dan paparan jaksa penyidik kepada
tim auditor BPKP. Simpulan Laporan itu berbunyi sebagai berikut:
“Berdasarkan hasil audit sebagaimana diuraikan di atas, serta bukti-bukti yang ada dan dapat kami peroleh, jumlah kerugian keuangan Negara/Daerah sekurang-kurangnya sebesar Rp.1.180.210.082,41 yang menjadi tanggung jawab Freddy Talahatu sebesar Rp.873.432.482,41 dan Hendro Soesanto sebesar Rp.306.777.600,00”
Padahal dalam laporan BPKP pada halaman 3 mengungkapkan bahwa data
yang dipergunakan sebaga dasar untuk menghitung kerugian keuangan negara oleh
tim auditor BPKP adalah sebagai berikut:
a. DASK, SPP, SPMU tahun 2004 beserta bukti pendukungnya; b. Surat Perjanjian Pemborongan /Kontrak dan addendum kontrak c. Laporan/resume hasil pemeriksaan tersangka/saksi dari penyidik; d. Hasil penghitungan volume pekerjaan bangunan oleh Dinas Kimpraswil
Kabupaten Malang dan hasil penghitungan nilai pengadaan/pemasangan peralatan/mesin pabrik oleh PT Boma Bisma Indra.
Dengan data yang terbatas semacam itu, tentu saja tuduhan pekerjaan fiktif
menjadi problematik. Karena itu bisa terperangkap dalam ketidakcermatan atau
kurangan prosedur audit. Hasil audit yang mengandung ketidakcermatan itu juga
menjadi bagian uraian pembelaan (pledoi) Bahri yang menyakan sebagai berikut:
“Kesimpulan inilah yang menyebabkan tuduhan fiktif karena ketidakcermatan saudara Soemartono dkk sebagai Tim Audit BPKP Jawa Timur yang telah beraninya menyimpulkan bahwa telah terjadi pekerjaan fiktif yang hanya berdasarkan analisis atas data-data yang diterima dari penyidik… “Padahal berdasarkan ketua tim proyek PG Kigumas, Sudjito dan wakil ketua Bisri serta saksi-saksi lain yang dihadirkan dalam persidangan terbukti menyatakan:
1. Kontrak dilakukan secara bertahap, artinya hak dan kewajiban jelas ada
batas waktunya; 2. Desain tahun 2001 hanya merupakan desain untuk menghitung investasi
yang disesuaikan dengan pagu anggaran Pemerintah Kabupaten Malang;
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
87
3. Desain yang dibuat konsultan dengan pelaksanaan yang dilakukan kontraktor tahun 2003 baik mesin maupun sipil dilaksanakan secara parallel;
4. Tugas pekerjaan pengawas berbeda dengan tugas desain; 5. Pekerjaan desain sudah disepakati oleh kedua belah pihak dalam
addendum nomor 05 dan 06.
Dari uraian sebelumnya itu dapat disimpulkan bahwa tuduhan BPKP bahwa
pekerjaan konsultan desain mesin dan sipil itu fiktif tentu saja tidak benar. Karena Tim
Konsultan LPM UB telah bekerja sejak dikeluarkannya surat perintah oleh kepala dinas
perkebunan Kabupaten Malang (Tuharto) tertanggal 20 Januari 2003. Terdapat
laporan lengkap dan berita acara serah terima pekerjaan dan penyerahan sesuai
dengan addendum nomor 05 dan 06,
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alat bukti surat yang dibangun BPKP
Jawa Timur mengandung ketidakcermatan yang parah. Ketidakcermatan seperti ini
pada gilirannya juga akan memperlemah visum akuntansi forensik secara keseluruhan,
karena terdapatnya alat bukti yang tidak akurat, tidak jelas, tidak lengkap dan tidak
cermat. Karena itu dalam akuntansi dan auditing, bukti harus mengandung sifat
competence, relevance, material
Seirama dengan persoalan bukti yang didialoglan sebelumnya, Singleton et. al,
(2006, 300) menyatakan sebagai berikut:
“To be legally acceptable as evidence, however, testimony, documents, objects, or facts must be relevant, material, and competent to the issues being litigated, an gathered lawfully. Otherwise, on motion by the opposite side, the evidence may be exclude…we should elaborate on relavancy, materiality, and competency.”
Jadi, bukti yang kompeten, relevan, cukup dan material (rekocuma) menjadi
keniscayaan bagai visum akuntansi forensik. Empat syarat yang melekat pada bukti itu
harus secara terus menerus dimunculkan dan menjadi mind-set dalam perjalanan
akuntan forensik atau investigator dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan
serta membangun visum akuntansi forensik.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
88
Untuk melengkapi alat bukti surat, berikut saya uraikan contoh lain bentuk
laporan hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI. Audit investigatif yang dilakukan
BPK RI dalam kasus ini merupakan pelaksanaan audit investigatif atas kekurangan
Kas dan Belanja Daerah Kabupaten Jember (Nomor 167/R/XIV.3/08/2005).
Pada kotak 3.2. gambaran bahwa hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI
menghasilkan sebuah simpulan adanya indikasi atau dugaan terjadinya kerugian
keuangan negara (bukti awal adanya selisih kurang kas daerah sebesar
Rp.11.758.082.865) dan menguntungkan pihak-pihak lain yang terjadi sebagai akibat
dari penyalahgunaan wewenang (perbuatan melawan hukum).
Pemunculan suatu dugaan atas eksistensi tindak pidana korupsi menjadi
auditor investigatif untuk menemukan dan meninjau kembali bukti-bukti yang
menguatkan atau melemahkan sangkaan itu. Karena dugaan yang belum terbukti
dapat berdampak fatal terhadap reputasi orang-orang yang diduga atau diindakasikan
terlibat kasus tindak pidana korupsi. Proses pengumpulan bukti awal ini harus
dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Bukti-bukti ini harus dikumpulkan dan
disimpan sedemikian rupa agar memenuhi standar-standar pembuktian yang berlaku di
persidangan. Inilah standar ―forensik‖ yang harus dipatuhi dalam investigasi bidang
akuntansi dan keuangan. Dalam kasus-kasus pidana, bukti-bukti harus mampu
membuktikan atas kesalahan tersangka serta dapat mengalahkan atau mengungguli
keraguan yang masuk akal terhadap kesalahan tersangka. Sebuah bukti yang
berkriteria a beyond reasonable doubt.
Berkaitan dengan proses pematangan bukti awal, informan Iguh (auditor KPK)
mengatakan sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
89
Lembaga peradilan akan bergerak untuk melakukan penyidikan bilamana ada laporan indikasi korupsi yang masuk, baik laporan itu berasal dari pengaduan masyarakat maupun dari sumber lainnya, dengan syarat bahwa laporan pengaduan tersebut memang telah memenuhi kriteria tertentu yang dapat kita tindak lanjuti…
Bentuk sumber informasi awal memang memiliki wujud yang berpuspa-ragam.
Bukti-bukti itu dapat saja berupa pengaduan masyarakat, baik bersumber dari whisle-
blower, LSM, laporan hasil audit umum (LHAU), laporan inspektorat, atau lainnya.
Laporan itu dapat juga hasil operasi intelejen dan informasi khusus atau secara
―kebetulan‖ ditemukan. Pada umumnya bukti awal, juga tidak dapat dipercaya 100%.
Boleh jadi banyak motif yang terkandung di dalamnya, baik itu motif ekonomi, politik
atau motif lainnya.
Dalam suatu pengaduan yang baik harus telah memiliki kriteria tertentu (lihat
kotak 3.3.). Salah satu contoh pengaduan masyarakat yang pernah ditindak lanjuti
KPK adalah, pengaduan LSM atas indikasi penyimpangan pengadaan logistik pemilu
2004. Pengaduan LSM itu dilakukan kajian secara serius dan komprehensif pada
direktorat pengaduan masyarakat di bawah kendali deputi pengawasan internal dan
pengaduan masyarakat KPK (Deputy of Internal Monitoring and Public Complaints)
atau sering disebut sebagai deputi PIPM (pelaporan informasi dan pengaduan
masyarakat). Hasil kajian disampaikan pada direktur penyelidikan (Directorat of Pre-
Investigations) pada deputi penindakan (Deputy of Repression)15.
Selanjutnya berbekal pengaduan, aparat KPK bergerak untuk melakukan kajian
dan telaah untuk memastikan apakah laporan tersebut terdapat indikasi kejahatan
korupsi. Kajian, verifikasi dan pengembangan serta pendalaman dilakukan dengan
15 Deputi penindakan KPK, membawahi tiga direktorat, yakni: Direktorat Penyelidikan (Directorat of Pre-Investigations), Direktorat Penyidikan (Directorat of Investigations) dan Direktorat Penuntutan (Directorat of Prosecution) di mana pada ketiga direktorat inilah bahan bukti berupa alat bukti dan barang bukti diteliti, dicari, diolah, dan dikumpulkan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
90
berbasiskan pada teknik-teknik analisis dengan mencermati apakah indikasi-indikasi
(red flags) atau gejala-gejala (symptoms) tersebut dapat dikaitkan dengan logika
rasional dapat membangun profiling, predication dan hypothesis construction of crime.
Kotak 3.3:
KRITERIA PENGADUAN MASYARAKAT
YANG DAPAT DITINDAK LANJUTI
Uraikan kejadiannya. Uraikan sedetail mungkin kejadian yang anda curigai sebagai bentuk perbuatan korupsi. Sebaiknya uraian dibatasi pada hal-hal yang berdasarkan fakta dan kejadian nyata, hindari hal-hal yang mendasarkan pada perasaan kebencian, permusuhan atau fitnah. Usahakan keseluruhan uraian dapat menggambarkan SIABIDIBA (Siapa, Apa, Bilamana, Di mana, Bagaimana) dari kejadian yang dilaporkan;
Pilih pasal-pasal yang sesuai. Cocokkan kejadian tersebut dengan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kira-kira pasal mana saja yang sesuai dengan kejadian tersebut (boleh lebih dari satu pasal);
Penuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi. Lihat unsur-unsur yang terdapat dalam undang-undang pemeberantasan tindak pidana korupsi (UU-PTPK) yang sesuai dengan kejadian tersebut, kemudian pastikan bahwa informasi dalam uraian yang dibuat dapat memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal atau pasal-pasal UU-PTPK tersebut. Semaksimal mungkin dapatkan informasi mengenai setiap unsur yang ada. Bilamana terdapat unsur-unsur yang tidak bisa dipenuhi, jelaskan mengapa unsur tersebut belum dapat dilengkapi;
Sertakan Bukti awal (bila ada). Apabila ada copy dokumen atau barang lain yang memperkuat uraian kejadian di atas dalam pengaduan yang dibuat tersebut.
Sertakan identitas anda. Akan sangat baik apabila identitas, alamat atau nomor telepon pelapor, sehingga bilamana masih dibutuhkan keterangan tambahan akan mudah untuk dihubungi.
Fokus pengaduan pada korupsi kelas kakap. Pengaduan atau laporan yang dibuat, fokuskan pada korupsi yang bukan kelas teri. Pengertian korupsi kelas kakap adalah:
Melibatkan orang dengan jabatan level tinggi atau memiliki pengaruh besar;
Terkait dengan aspek yang strategis atau menyangkut hajat hidup orang banyak;
Menyangkut nilai uang yang besar (lebih dari satu milyar rupiah). Sumber: KPK (2006 hal.131 -132)
Selanjutnya, bukti dalam perkara pidana ini biasanya berbasis dua sumber,
yakni pertama adalah dari arsip-arsip akuntansi, dokumen dasar dan data pendukung
yang tersedia. Pengalaman yang dimiliki auditor investigatif akan menentukan profil
‖penyimpangan‖, yakni mana yang sudah mendapatkan bukti cukup dan mana yang
masih perlu memperoleh bukti-bukti tambahan. Sumber kedua adalah informasi yang
didapatkan dari wawancara. Wawancara bisa dilakukan baik dengan pegawai internal
obyek audit, pelaku, atau pihak-pihak luar yang terkait seperti pemasok atau kontraktor
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
91
dan lainnya. Kapan dan bagaimana wawancara ini dilakukan akan tergantung pada
konteks perkaranya.
Kembali pada kasus mantan bupati Jember. Kasus ini bermula dari temuan dan
rekomendasi hasil general audit atas pertanggung jawaban keuangan periode 2000-
2005, Tim BPK RI Perwakilan Yogyakarta melakukan eksplorasi dan mengintegrasikan
alat bukti, barang bukti, fakta dan data yang dirangkum dalam chart and matrix yang
berupa konstruksi visum akuntansi forensik level audit investigatif. Tim audit investigatif
mengkonstruksi visum akuntansi forensik tersebut dengan menempuh teknik audit
investigatif antara lain adalah sebagai berikut: (1) menelaah informasi awal dari
temuan hasil audit keuangan (general audit), (2) mengumpulkan informasi tambahan
berupa laporan realisasi, bukti-bukti pengeluaran dan penerimaan, buku besar
penerimaan dan pengeluaran, data dari bank atas penerimaan, pengeluaran dan
perhitungannya, surat perintah membayar (SPM), cek pengeluaran, dan rekening
giro/tabungan dan dokumen keuangan lainnya yang terkait dengan kasus, dan
(3) menemukan tambahan informasi dari hasil pelaksanaan wawancara (interview)
dengan pelbagai pihak (keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan keterangan
tersangka) yang terkait dengan kasus yang ditangani tersebut.
Dengan langkah-langkah seperti di atas, audit investigatif yang dilakukan BPK
RI telah dapat memberikan simpulan atas indikasi tindak pidana korupsi, yang
kemudian membuat rekomendasi agar kasus tersebut ditindak lanjuti dengan proses
hukum, yakni berupa penyelidikan (lidik) dari aparat penegak hukum. Dalam
pandangan saya, simpulan dan rekomendasi itu telah dapat merekonstruksikan visum
akuntansi forensik yang dapat saya sebut juga as tool of justice and communication
yang berupa chart and matrix dalam tindak pidana korupsi. Bukti-bukti itu telah mampu
memberikan jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime 2H+5W.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
92
Demikian juga, mengenai masalah empat unsur yang melekat dalam kriteria
sebuah tindak pidana korupsi secara cermat, jelas dan lengkap dapat terjawab secara
meyakinkan. Sebuah jawaban hypothetical construction of crime berbasis bukti,
informasi, fakta dan data. Dengan kata lain simpulan yang dibuat auditor investigatif
tidak menyisakan keraguan atas indikasi dugaan eksistensi tindak pidana korupsi
(a beyond reasonable doubt).
Kotak 3.4:
LAPORAN HASIL AUDIT INVESTIGATIF
BUPATI JEMBER JAWA TIMUR
a. Penerimaan dan pengeluaran kas yang tidak sesuai dengan prosedur yaitu tidak melalui
penganggaran dalam APBD dan pengeluaran tidak melalui prosedur SPP/SPPMU tersebut adalah merupakan Kerugian Daerah, sebesar Rp.128.759.374.669 yang
menjadi tanggungjawab Pemegang Kekuasaan Umum Pengelola Keuangan Daerah. b. Pemalsuan dokumen untuk tujuan pemeriksaan BPK-RI atas Rekening Koran Giro
Nomor 0031090008 yang menunjukkan adanya selisih kurang atas saldo kas sebesar Rp.11.759.082.865
c. Kegiatan pengurusan pemindahan ijin Radio Kendedes dari Banyuwangi ke Jember tidak dapat diyakini kebenaran penggunaannya dan menimbulkan kerugian sebesar Rp.700.000.000
d. Pemotongan dana bantuan keuangan untuk pembinaan kecamatan merugikan keuangan daerah sebesar Rp.3.348.000.000
REKOMENDASI
Berdasarkan penyimpangan, modus operandi, pihak yang diindikasikan terlibat serta indikasi untuk tindak pidana yang telah diindikasikan dan telah didapatkan alat bukti serta yang kemudian dapat disimpulkan bahwa cukup bukti adanya indikasi tindak pidana korupsi, Tim audit investigatif merekomendasikan agar hasil audit investigatif ini ditindaklanjuti dengan penyerahan laporan ini kepada pihak Kejaksaan Agung dan atau Komisi Pemberantasan Korupsi agar segera ditindaklanjuti dengan proses penyidikan oleh jaksa Penyidik
Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, hal. 45, No. 167/R/XIV.4/08/2005, tanggal 30 Agustus 2005
Dalam kasus Bupati Jember yang tampak pada kotak 3.4. dan 3.5. serta tabel
3.5., konstruksi visum akuntansi forensik yang terdiri dari bukti akuntansi berupa
financial evidence (rekapitulasi, buku besar, laporan realisasi, APBD dan bukti lainnya)
serta corroborating evidence (rekening koran, bukti-bukti transaksi, lembaran cek,
kuitansi tanda terima dan lainnya) dan dan alat bukti keterangan saksi yang tersangkut
dan/atau terlibat dengan kasus (seperti Joewito, Sahuri, Mulyadi dan 33 orang lainnya).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
93
Pengembangan dan pengkayaan atas seluruh alat bukti dapat dirangkai dalam suatu
rangkaian dengan apa yang sering disebut sebagai ―chart and matrix” yang merupakan
visum akuntansi forensik level audit investigatif.
Kotak 3.5.
KASUS POSISI TINDAK PIDANA KORUPSI
BUPATI JEMBER 2000 – 2005
Kasus Posisi
Akibat kerugian keuangan Negara (how much) : Rp.132.807.374.669,36
Bagaimana (how) : Lihat pada tabel 3,5 matriks dan laporan hasil Audit Investigatif BPK
Dimana/Locus delictie (Where) : Di Pemda Kabupaten Jember
Apa yang terjadi (What) : Pengeluaran Kas di luar APBD (Non Budgeter) untuk Kepentingan di luar APBD
Siapa (Who) : SAMSUL HADI SISWOYO
Motivasi (Why) : Ekonomi
Bilamana/tempus delictie (when) : Kurun Waktu 2001 – 2005
Pasal 3 Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, halaman 45, Nomor 167/R/XIV.4/08/2005, tertanggal 30 Agustus 2005
Demikian juga, hasil kajian saya atas berbagai laporan hasil audit investigatif
yang dilakukan BPK-RI terhadap kasus korupsi, seperti kasus DPRD Kabupaten
Badung Bali, kasus Pemda Kabupaten Kolaka Sulawesi Selatan, kasus Pemda
Kabupaten Agam Sumatera Barat dan lainnya, ternyata bukti akuntansi, bukti audit dan
bukti hukum berintegrasi menjadi visum akuntansi forensik, sehingga gambaran (chart)
indikasi tindak pidana korupsi serta matriks unsur-unsur perbuatan yang mendasari
tindak pidana korupsi dapat diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
94
Tabel 3-5 MATRIKS UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI JEMBER 2000 – 2005
NO UNSUR TINDAK PIDANA
INDIKASI INDIKASI YANG DITEMUKAN DALAM AUDIT INVESTIGATIF
ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI YANG DAPAT DIIDENTIFIKASI
11. 1.
Setiap orang DRS H. SAMSUL HADI SISWOYO, MSi,
Jabatan Bupati Jember Periode 2000-2005 Kartu Penduduk Nomor: …. SK Mendagri Nomor: ….
2 Dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Terdapat kerugian Negara dari : - Rekening giro pemkab jember nomor
0031004000/0031000008/0031000007 sebesar Rp 14.287.000.657,79
- Rekening giro bupati (DAU) Nomor 0031050000 sebesar Rp 105.450.086.667,57
- Rekening SIMPEDA Nomor 0032020020 sebesar Rp 9.022.297.344,00
- Biaya Pengurusan Pemindahan ijin radio Kendedes sebesar Rp 700.000.000,00
- Pemotogan dana bantuan kecamatan sebesar Rp 3.348.000.000,00
- Aliran dana yang tertera dalam rekening giro / tabungan bank jatim cabang jember nomor 200.03.00/15.20, 0031050000, 0032020020
- B-IX BUku Besar penerimaan dan pengeluaran - Lembaran Cek Rekening giro nomor 00.1090008
dab 0031090007 - Kuitansi tanda terima
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabayan atau kedudukan
- Memerintahkan kepala para pejabat pengelola keuangan daerah untuk mengeluarkan kas daerah kabupaten jember di luar APBD sejak tahun 2001 s.d 2005 dari rekening Kas Daerah;
- Memerintahkan untuk menyimpan dan mengelola/mengeluarkan dana kas daerah di rekening yang tidak dimasukkan sebagai bagian dari rekening kas daerah
- Memerintahkan ... - Memerintahkan ...
- Disposisi bupati jember kepada kepala bagian keuangan pada setiap pengeluaran yang dilakukan di luar APBD
- Laporan realisasi pengeluaran non budgeter yang dibuat oleh kepala bagian keuangan secretariat daerah kabupaten jember
- Hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat (38 orang saksi)
4. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
- Menggunakan uang kas daerah tidak melalui prosedur
- Menguasai dan menggunakan rekening penampungan 0031050000 untuk kegiatan di luar APBD
- Menguasai dan menggunakan rekening simpeda nomor 0032020020 untuk kegiatan dan kepentingan yang cenderung untuk kepentingan pribadi
- Dan lainnya
1. Rekening Koran giro bendahara umum pemerintah kabupaten jember bulan desember 2004 yang dikeluarkan oleh Plt Kepala bagian keuangan
2. Pernyataan kepemilikan rekening yang dikeluarkan oleh plt kepala bagian keuangan
3. Rekening Koran giro bendahara umum pemerintah kabupaten jember yang dikeluarkan oleh bank jatim
4. Pernyataan saldo rekening giro bendahara umum pemkab dikeluarkan bank jatim
5. Rekening Koran giro bupati (DAU) jember 6. Rekening SIMPEDA Drs H. Samsul Hadi Siswoyo
MSi 7. Bukti bukti transaksi dari Bank Jatim cabang
Jember tahun 2002-2005 8. APBD Tahun Anggaran 2004 9. Dan lainnya
Sumber: Laporan Hasil Audit Investigatif, halaman 45-49, Nomor 167/R/XIV.4/08/2005, tertanggal 30 Agustus 2005
Namun dalam laporan hasil audit investigatif yang dilakukan BPK-RI pada
kasus lain simpulan hasil auditnya berbeda dengan yang saya utarakan sebelumnya.
Meskipun pada kasus tersebut alat bukti dan barang bukti, fakta dan data telah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
95
diperoleh secara lengkap dan komprehensif. Di mana bukti-bukti tersebut sebenarnya
dapat diikat dalam visum akuntansi forensik
Laporan hasil audit investigatif lain yang tidak lazim dilakukan BPK RI dapat
kita lihat misalnya pada laporan hasil audit investigatif Bank Century. Bilamana kita
lakukan analisis atas laporan hasil investigatif kasus Bank Century yang menerima
bail-out (talangan) berupa FPJP (fasilitas pinjaman jangka pendek) dari Bank
Indonesia yang kemudian diubah menjadi PMS (penanaman modal Sementara) dari
LPS (lembaga penjamin simpanan) sebesar Rp.6.762.361.000.000 (enam triliun tujuh
ratus enam puluh dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta rupiah), ternyata dalam
laporan hasil audit investigatif BPK RI tersebut menyajikan laporan yang tidak standar.
Artinya, dalam laporan BPK RI itu tidak tampak simpulan kasus posisi dan matriks atas
unsur-unsur indikasi tindak pidana korupsi simpulan dan rekomendasi yang umumnya
menyertai laporan hasil audit investigatif tidak terlihat secara jelas. Artinya hypothetical
construction of crime 2H+5W tidak terdiskripsikan secara cermat, jelas, lengkap,
kongkrit dan terang benderang.
Laporan hasil audit investigatif Bank Century, dapat dikatakan hanya sekedar
menyimpulkan temuan-temuan yang menjadi masalah sentral seperti: (1) proses
merger dan pengawasan BC (Bank Century) oleh Bank Indonesia, (2) pemberian FPJP
(fasilitas pinjaman jangka pendek), (3) penetapan BC sebagai bank gagal berdampak
sistemik dan penanganannya oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),
(4). penggunaan dana FPJP dan PMS, dan (5) praktik-praktik tidak sehat dan
pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan
pihak-pihak dalam pengelolaan BC yang merugikan BC itu sendiri.
Simpulan laporan hasil audit investigatif semacam itu dapat dikatakan sebagai
laporan yang bersifat normatif atau mengambang. Kondisi simpulan semacam ini, tentu
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
96
masih menyisakan pekerjaan lanjutan bagi penyelidik dan penyidik untuk membangun
hypothetical construction of crime 2H+5W dengan mencari, menemukan dan
mengumpulkan kembali alat bukti, barang bukti, fakta dan data yang kemudian akan
dirangkum dalam visum akuntansi forensik as a support for a ligation.
Dalam kasus Bank Century mengenai soal merger misalnya, audit investigatif
BPK menyatakan secara jelas-jelas bahwa persetujuan merger yang diputuskan oleh
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 27 Nopember 2001, walaupun PT. Chinkara
(sebagai pemilik Bank Danpak dan CIC) tidak memenuhi persyaratan administratif
sebagai bank yang layak merger, hasil pemeriksaan BI juga menemukan adanya
beberapa pelanggaran, bahkan dalam pengujian fit and proper test yang merupakan
persyaratan utama bagi pemilik bank, juga tidak lulus, namun ternyata Ijin merger tetap
ditandatangani pada tanggal 5 Juli 2002. Fakta itu, BPK hanya mengambil simpulan
bahwa BI tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan
dalam proses akusisi dan merger atas Bank Danpac, Bank Pikko serta Bank CIC yang
kemudian berubah nama menjadi Bank Century. Dengan demikian Bank Century ini
dapat kita katakan sebagai Bank yang cacat sejak dalam kandungan. Seharusnya,
dengan simpulan seperti itu dapat dilanjutkan dengan sebuah Chart and Matrix yang
dapat mengarah pada konstruksi visum akuntansi forensik as a support for a litigation.
Dalam wawancara saya dengan Bambang Susatyo (Panitia Angket dari Fraksi
Golkar) saat saya mengikuti seminar di Fakultas Hukum Universitas Trisaksi yang
bertopik ―Menguak Skandal Bank Century Dalam Teropong Hukum‖, hasil audit
investigatif semacam itu saya tanyakan kepada Susatyo, mengapa konklusi audit BPK
RI tidak dibangun seperti biasanya? Soesatyo menjawab: ―Saya menduga bahwa
laporan hasil audit investigatif BPK tersebut telah disertai adanya kompromi-kompromi
tertentu‖. Dengan demikian, jika statement Susatyo benar maka patut diduga bahwa
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
97
tidak terwujudnya chart and matrix terhadap unsur-unsur tindak pidana yang biasanya
muncul dalam laporan hasil audit investigatif BPK RI, boleh jadi dan siapa tahu
terdapat variabel atau unsur lain yang mengganggu. Oleh karena itu, dengan laporan
hasil audit investigative semacam ini tentu masih memerlukan kerja keras para aparat
penegak hukum untuk dapat mewujudkan konstruksi visum akuntansi forensik. Pada
akhirnya, boleh jadi penyelesaian terhadap kasus BC masih jauh panggang dari
apinya.
Hal lain yang dapat diuraikan adalah, pada dasarnya FPJP seharusnya hanya
dapat diberikan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas atau kalah kliring.
Demikian juga, sesuai PBI (Peraturan BI) Syarat pemberian CAR tersebut Bank
Penerima harus memiliki skor CAR (Capital Adequacy Ratio) minimal harus berangka
8%. Namun Saat direksi BC minta FPJP sebesar Rp.1 triliun pada tanggal 30 Oktober
2008, posisi CAR BC adalah 2,35%. Posisi CAR itu berbasis laporan keuangan BC
pada bulan sebelumnya yakni per 30 September 2008. Sebenarya pada tanggal 30
Oktober 2008 itu – saat meminta FPJP - posisi CAR BC sudah minus 3,54%.
Hal yang harus menjadi perhatian utama adalah pada tanggal 14 Nopember
2008 BI telah dengan sengaja mengubah persyaratan CAR. Persyaratan untuk
memperoleh FPJB tidak lagi sebesar 8% namun persyaratannya menjadi asal CAR
positif bisa diberi FPJP dengan jaminan (collateral) harus 150% dari plafond FPJP.
Meskipun demikian, pertanyaannya adalah, pada saat cairnya FPJP CAR BC pada
bulan oktober 2008 CAR telah minus dan jaminan FPJP hanya 83% dari dana yang
diberikan bahkan jaminan tersebut tidak aman (unsecure) alias banyak yang bolong
dan bodong.
Selanjutnya, pada tanggal 6 Nopember 2008, BC dinyatakan sebagai bank
dalam pengawasan khusus (SSU – Special Surveilance Unit) dan karenanya sesuai
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
98
PBI (Peraturan Bank Indonesia), BC dilarang melakukan transaksi, kecuali ada ijin BI
dan diberi waktu 6 (enam) hingga 9 (sembilan) bulan untuk memperbaiki kinerjanya.
Bilamana waktu tersebut dilalui, dan ternyata tetap tak bisa memperbaiki kinerjanya,
maka bank tersebut akan ditetapkan sebagai ‗Bank Gagal‘.
Namun, pada tanggal 20 Nopember 2008 jam 19.44 secara tiba-tiba RDG
(Rapat Dewan Gubernur BI) menyatakan bahwa BC sebagai Bank Gagal. Pernyataan
RDG ini dapat dikatakan sebagai inkonsistensi penegakan peraturan BI. RDG
menyatakan bahwa BC dinyatakan sebagai Bank Gagal didasarkan atas pertimbangan
sebagai berikut: (1) dampak pada institusi keuangan, (2) dampak pada sistem
pembayaran, (3) dampak pada pasar keuangan, (4) dampak pada sektor riil, dan (5)
psikologi pasar/masyarakat. Putusan RDG bahwa BC adalah bank gagal berdampak
sistemik disampaikan ke Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK (Komisi Stabilitas
Sistem Keuangan) tanggal 20 Nop 2008. Lebih aneh lagi, sebelum putusan RDG
tersebut dibuat, ternyata KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) telah melakukan
rapat yang membicarakan BC pada tanggal-tanggal 14, 17, 18 dan 19 Nopember 2008
di Departemen Keuangan. Padahal pernyataan BC sebagai Bank Gagal yang dibuat
RDG ditetapkan pada tanggal 20 Nopember 2008.
Galibnya lagi, pada tanggal 21 Nop 2008 jam 04.25 KSSK (Ketua KSSK
Menkeu, anggota KSSK Gubernur BI dan Sekretaris KSSK Sdr Raden Pardede)
menetapkan BC sebagai Bank Gagal yang harus di bail-out oleh LPS (keputusan itu
sesuai UU 24/2004 tentang LPS dan Perpu tentang JPSK No. 4/2004) dan pada 21
Nopember 2008 jam 05.30 KK – Komite Koordinasi (Menkeu, Gubernur BI dan Ketua
Dewan Komisioner LPS) menyerahkan BC sebagai Bank Gagal yang harus di bail-out
kepada LPS. Bail-out yang seharusnya Rp.632 M (saat putusan itu adalah hari jum‘at,
20 Nop 2008) ternyata pencairan membengkak menjadi sebesar Rp.2,7 Triliun (pada
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
99
sabtu dan minggu 22 sampai 23 Nop 2008). Perubahan jumlah rupiah bail-out tersebut
bukan karena transaksi, namun lebih disebabkan karena kesalahan asumsi BI yakni
adalah SSB (surat-surat berharga valas yang bodong). Dan pada saat itu, ternyata
CAR BC telah menjadi minus 35,9 % dan terus dan terus bertambah hingga bail-out
membengkak menjadi Rp. 6,7 triliun. Kondisi semacam itu, BPK menyimpulkan, bahwa
BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap dan mutakhir tentang
kondisi BC yang sesungguhnya, karena itu patut diduga terdapat itikad tidak baik atas
berbagai kebijakan yang diberikan kepada BC, artinya Bank Century dapat dikatakan
sebagai bank terlalu dimanjakan oleh BI dengan berbagai fasilitas yang ada.
Temuan-temuan atas alat bukti, bukti, informasi, fakta dan data semacam ini,
pada Laporan Hasil Audit Investigatif BPK lainnya tentu akan dilakukan pengejaran
hingga Konstruksi visum akuntansi forensik itu dapat terwujud, artinya pertanyaan
hypothetical construction of crime akan mendapat jawaban yang lebih pasti, yang
pada gilirannya akan menjadi sebuah simpulan akhir atas indikasi atau dugaan tindak
pidana korupsi.
Untuk gambaran yang semacam itu, saya tanyakan kepada Yanuar Rizky (dari
Indonesia Corrruption Watch) mengapa audit BPK-RI itu bersifat normatif dan kurang
menggigit? Rizky menjawab:
“Seharusnya BPK lebih mempertajam langkah-langkah audit investigatifnya pada pengejaran bukti dan jawaban atas 5W dan 2H nya, dan tidak hanya bersifat normatif dan memunculkan temuan-temuan yang masih memerlukan pendalaman-pendalaman selanjutnya. Follow the money masih kurang dilakukan oleh BPK RI.
Jadi, menurut saya, chart and matrix tidak bisa dibuat BPK itu, boleh jadi lebih
disebabkan auditor investigatif tidak melakukan prosedur follow the money – atau
boleh jadi karena terkendala oleh sesuatu (?) – sehingga BPK tidak melakukan
pengejaran kemana saja penggunaan aliran dana bail-out itu. Namun, mungkin saja
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
100
dan boleh jadi data itu akan dapat diperoleh pada saat PPATK (Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan) memberikan laporan aliran dana bail-out tersebut.
Namun, setelah saya tanyakan kepada Ketua PPATK Husein, lalu menjawab sebagai
berikut:
Karena rekening Bank Century atas dana bail-out tersebut - waktunya sudah melebihi delapan bulan, karena kejadian pada tahun 2008 maka yang harus ditelusuri jumlahnya cukup banyak yakni tidak kurang dari 65.000 (enam puluh lima ribu) rekening
Husein menambahkan bahwa:
Sistem perbankan Indonesia akan masih “on-line” dan follow the money dapat dengan cepat dilakukan, manakala kasus itu terjadi dalam kurun waktu kurang dari delapan bulan, karena setelah delapan bulan on-line system perbankan akan dilakukan up-dating data”.
Pertanyaan saya lanjutkan, apakah benar bila telah 7 layer kejadian
pentransferan dana maka dana akan sulit dilacak? Husein menjawab:
“Kasus follow the money di Indonesia tidak sampai 7 atau delapan layer, umumnya hanya pada 3 layer saja. PPATK selama ini tidak mengalami kesulitan dalam follow the money asal waktunya tidak kurang dari 8 bulan.
Jadi dari uraian terhadap kasus Bank Century, laporan hasil audit
investigatifnya dapat saya katakan sebagai bentuk laporan yang bukan standar BPK.
Demikian juga, pengejaran atas follow the money, yang meskipun dikatakan oleh
Ketua PPATK terkendala oleh ribuan data, tentu ini tidak menjadi alasan yang kuat
atas tidak terlaksananya follow the money. Karena BPK pada waktu yang lalu telah
pernah menyewa Kantor Akuntan Publik PricewaterhouseCoopers untuk melakukan
follow the money pada kasus Cessie Bank Bali dan sukses hanya dalam waktu 20
(dua puluh) hari saja.
Jadi, sebagai uraian akhir dari alat bukti surat ini, dapat saya simpulkan bahwa
alat bukti surat pada perkara tindak pidana korupsi akan senantiasa mencari dokumen-
dokumen, surat, rekening koran, faktur, kontrak dan lainnya yang berisi angka-angka
keuangan yang mendukung penyimpangan yang dilakukan si pelaku. Angka-angka
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
101
keuangan yang ditemukan itu merupakan bukti konkrit atas eksistensi tindak pidana
korupsi.
Berkait alat bukti surat yang terjalin secara berkelindan dengan persoalan
penghitungan kerugian Negara, Soejatna Soenoesoebrata (mantan deputy BPKP)
dalam persidangan tanggal 11 Mei 2006 di Mahkamah Konstitusi memberikan
keterangan ahli sebagai berikut, bahwasanya tindak pidana korupsi itu merupakan
suatu tindak pidana yang berkaitan dengan ―penggunaan wewenang‖ di dalam suatu
sistem lembaga (birokrasi). Untuk dapat membuktikan adanya tindak pidana korupsi,
penyidik harus meneliti jejak-jejak perbuatan para pejabat dalam melaksanakan
tugasnya. Penyelidik harus menguji dan meneliti rekam jejak yang terdapat pada unsur
kendali manajemen yang dimiliki lembaga birokrasi tersebut sebagai acuan (referensi)
kerjanya. Unsur kendali manajemen berupa kebijakan, struktur dan sistem. Kebijakan,
akan merupakan pernyataan niat dari setiap kegiatan yang dilakukan (arah dan
tujuan). Struktur merupakan organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas yang
menggambarkan wewenang yang dimiliki setiap pejabat dan prosedur kerja yang
terkait dengan cara penggunaan wewenang tersebut. sistem merupakan
pencatatan/pelaporan yang dapat mengabadikan (memotret) semua
langkah/perbuatan setiap pejabat dan hasil-hasilnya.
Uraian Soenosoebrata di atas dapat saya simpulkan bahwa, auditor (dalam
kapasitas sebagai pembantu penyelidik), untuk membangun PKKN harus meneliti dan
menguji rekam jejak berupa asersi serta bukti pendukungnya. Karena tanpa masuk
dalam fakta dan data, tentu auditor tidak akan dapat menguraikan berbagai kejadian
dan fakta-fakta di sekitar peristiwa tindak pidana korupsi tersebut.
Hal yang menarik dalam keterangan ahli yang disampaikan Soenoesoebrata
dalam Mahkamah Konstitusi itu bahwa, dalam proses audit investigatif yang berkaitan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
102
dengan tindak pidana korupsi, prosedur audit wajib (mandatory procedures) harus
dijalankan. Bilamana mandatory procedures diabaikan maka laporan bisa menjadi
cacat. Karena akuntan adalah jabatan profesional, dan sebagai akibat kelalaian
menerbitkan laporan yang cacat itu, akuntan dapat dituntut balik oleh para terdakwa,
Berkaitan dengan kerugian Negara, Romli Atmasasmita, pada tanggal 26 Juni
2006 di persidangan yang sama menyatakan bahwa kalimat ―dapat‖ merugikan
keuangan Negara harus ditafsirkan secara holistic, artinya pasal 2 ayat (1) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kalimat ―setiap orang yang secara
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sedniri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara‖, harus
dibaca dalam satu nafas, tidak terpisah dan tidak parsial. Dengan demikian, bilamana
pembacaan dilakukan dalam satu nafas, maka rumusan dalam pasal itu telah
memenuhi asas lex scrita (ketentuan harus tertulis), lex certa (ketentuan itu harus
jelas), dan lex scripta (ketentuan itu tidak boleh ditafsirkan secara analogi atau harus
ditafsirkan secara sempit atau sesuai dengan yang tertulis). Dengan demikian, aspek
lain yang harus diperhitungkan dalam penerapan hukum adalah aspek dapat
diperkirakan akibatnya dari suatu perbuatan (requirement of causality) yakni hubungan
kasulaitas (causal verband), dipenuhinya aspek dapat diketahui langsung (requirement
of forseeability) dan mudah dipahaminya suatu ketentuan undang-undang (requirement
of accessibility).
Jadi, dari disdkusi di atas dapat saya simpulkan bahwa laporan PKKN harus
menunjukkan angka yang nyata dan pasti. Angka PKKN tidak boleh ada kesalahan
jumlah, kali, bagi dan kurang. Cacatnya angka PKKN dapat berakibat dakwaan ditolak
oleh Majelis Hakim.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
103
3.4.4. ALAT BUKTI PETUNJUK
Bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Penilaian hakim atas kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan dilakukan
hakim dengan cara mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dengan demikian, hakekat fundamental alat
bukti petunjuk ini adalah identik dengan ―pengamatan hakim‖ karena pada akhirnya
penilaian atas kekuatan pembuktian akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan
kearifan hakim. Pengamatan itu akan dilakukan hakim pada saat berlangsungnya
persidangan.
Berkaitan dengan hal di atas, visum akuntansi forensik dalam bentuk alat bukti
petunjuk dalam kasus Bahri adalah berkesesuain dengan kasus dugaan tindak pidana
korupsi yang ditimpakan terhadap Talahatu dan Soesanto (sebagai pihak pemberi
kerja dan pengeluar dana), sedangkan Bahri adalah pihak penerima dananya. Dengan
demikian, munculnya dugaan korupsi terhadap Bahri lebih dikarenakan eksistensi
dugaan tindak pidana korupsi terhadap Talahatu dan Soesanto.
Keterkaitan tersebut dapat dilihat juga pada analisis yuridis yang dilakukan
Penyidik berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi: Saksi Soeparto, Saksi
Pratjoyo, Suwignyo dan Widjonarko. Dalam keterangannya kepada penyidik,
Widjonarko (Kasi Pengolahan Hasil dan Pemasaran Dinas Pertanian dan Perkebunan
Kabupaten Malang) penyidik menyimpulkan sebagai berikut:
“Bahwa proses pencairan dana yang diterima tersangka Bahri, sebesar Rp.645.987.000 dalam tahun 2004 karena adanya addendum kontrak 05 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 tentang pekerjaan konsultan pengawasan pengadaan mesin pabrikasi PG Kigumas tahap II dan Addendum Kontrak Nomor 06 Tahun 2003 Tanggal 09 Agustus 2003 tentang konsultan pengawasan pembangunan gedung dan sumur bor PG Kigumas Tahap III ... berdasarkan Nota Kesepakatan antara Ketua Tim Anggaran Pemerintah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
104
Kabupaten Malang yang ditandatangani oleh Santoso selaku Seketraris Daerah Kabupaten Malang dengan Hasan selaku Ketua DPRD Malang sekaligus ketua panitia anggaran (panggar) DPRD Malang...”
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan alat bukti lainnya, kemudian perbuatan
Bahri tersebut, menurut penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen Malang, dapat
diklasifikasikan sebagai ‗bersama-sama dan/atau turut serta‖. Perbuatan seperti itu
diformulasikan dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berbunyi: ―mereka yang
melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan.‖ Artinya dapat dijelaskan
bahwa pada pasal itu merupakan sebuah ketentuan yang mengatur dan membedakan
peranan/kedudukan masing-masing pelaku perbuatan pidana yang dilakukan bersama
lebih dari 1 (satu) orang. Manakala pasal itu dirinci atau dikelompokkan maka akan
dijumpai yang dianggap sebagai pelaku suatu perbuatan pidana.
Dengan pasal itu, kemudian kejaksaan mengambil simpulan berburu dalam
kasus PG Kigumas Malang bahwa yang menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan adalah (1) Talahatu, (2) Bahri, (3) Santoso, dan (4) Sami‘an. Simpulan
tersebut diambil oleh JPU Kejaksaan Negeri Kepanjen sesuai dengan domain Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana.
Sebagai tambahan, dalam perkara tindak pidana korupsi, alat bukti petunjuk ini
telah dikembangkan sedemikian rupa dan oleh pembuat undang-undang, yang
kemudian dicantumkan dalam pasal 26A undang-undang Nomor 20 /2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:
Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
105
Perubahan dalam alat bukti petunjuk itu membawa dampak signifikan pada
relevansi penguatan alat bukti petunjuk dalam pemeriksaan pada sidang di pengadilan.
Lebih-lebih dalam penjelasan pasal 26 UU 20/2001 juga dinyatakan secara jelas
bahwa penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan (wiretaping) untuk
kasus-kasus kejahatan korupsi.
Praktek penyadapan dapat kita saksikan pada penyadapan terhadap Iqbal
(Komisioner KPPU) yang menerima uang suap dan ditangkap tangan oleh KPK.
Selasa petang tanggal 16 September 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Iqbal dan
Billy Sundoro (Direktur First Media, Tbk) ditangkap petugas KPK. Mereka diduga
terlibat penyuapan dengan barang bukti berupa pecahan Rp.100 ribuan yang totalnya
sejumlah Rp.500 juta.
Sebelum ditangkap, iqbal dan Billy turun bersama dari lantai 17 Hotel Aryaduta
dengan menggunakan lift. Dalam lift, Billy menyerahkan tas berisi uang Rp.500 juta
kepada Iqbal. Mereka ditangkap KPK yang menunggu di lobbi hotel. Menurut wakil
ketua KPK, Chandra M Hamzah, pemberian uang itu terkait perkara PT. Indosat Mega
Media, Indonesia Tele Media dan MNC Sky Network kepada KPPU pada September
2007. Mereka melaporkan televisi berbayar Asro TV dan Direct Vision yang perkaranya
ditangani oleh KPPU dengan tuduhan telah melakukan monopoli siaran Liga Inggris.
Kasus penyuapan ini pada akhirnya bermuara pada Iqbal harus mendekam di penjara
karena menerima suap dari Billy.
Kasus penyadapan lain adalah terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dengan
Arthalyta Suryani. Gunawan menerima uang sekitar Rp.6,1 milyar dari Suryani dalam
bentuk dollar US $660,000 dalam kotak yang terbungkus rapi. Demikian juga halnya,
penyadapan terhadap Mulyana Wira Kusuma di Hotel Ibis yang menyuap Khairiansyah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
106
Salman (Auditor BPK) sebesar Rp.300.000.000 yang sedang melakukan tugas audit di
KPU Pusat.
Jadi, sebagai akhir dari dialog mengenai alat bukti petunjuk ini, dapat saya
simpulkan bahwa alat bukti petunjuk ini akan berupa suatu analisis dari berbagai alat
bukti dan barang bukti yang kemudian disintesiskan lalu dibangun suatu simpulan
bahwa tindak pidana korupsi telah eksis dan dilakukan oleh si pelaku. Alat bukti
petunjuk ini juga merupakan salah satu variabel visum akuntansi forensik yang sangat
menentukan bagi putusan auditor investigatif, penyelidik, penyidik hingga hakim untuk
memastikan eksistensi atau tidak eksisnya tindak pidana korupsi. Karena di dalam alat
bukti petunjuk ini mengandung suatu kreativitas, imajinasi, logika rasional dan nurani
yang pada ujungnya dapat memberikan keyakinan kuat bagi keputusan dan putusan
yang mereka buat.
3.4.5. ALAT BUKTI KETERANGAN TERINDIKASI/TERDUGA
Keterangan terindikasi/terduga ini lebih dikenal sebagai keterangan terdakwa.
Namun karena masih dalam proses audit investigatif, keterangan yang dibuat mereka
saya sebut alat bukti keterangan terindikasi/terduga. Alat bukti keterangan terindikasi
adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terindikasi yang pada nantinya akan menjadi
terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.
Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di
sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri (Mulyadi, 2007, 102 dan Chazawi, 2006, 87). Meskipun demikian,
terdapat juga keterangan terdakwa yang diberikan di luar pengadilan asalkan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
107
keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya.
Berkaitan dengan alat bukti, Andy Hamzah (1996, 266) memberikan suatu
perbedaan menarik mengenai alat bukti yang berlaku di Indonesia dan di Amerika
Serikat. Di negara Paman Sam (uncle Sam) dalam hal alat bukti dan pembuktian
menurut criminal procedure law (KUHAP-nya Amerika) yang disebut juga sebagai form
of evidence terdiri dari empat macam bukti yakni real evidence, documentary evidence,
testimonial evidence dan judicial notice.
Perbedaan dengan KUHAP adalah pada adanya real evidence. Bukti jenis ini
tidak dikenal dalam aturan dalam KUHAP Indonesia. Real evidence adalah bukti yang
berupa obyek materiil (materiel object) yang meliputi namun tidak terbatas pada bukti-
bukti seperti: peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi dan lainnya
yang merupakan aneka benda berwujud. Real evidence biasa disebut sebagai ―bukti
yang berbicara untuk diri sendiri‖ (speak for its self). Sebaliknya, dalam konstruksi
KUHAP real evidence ini termasuk dalam klasifikasi sebagai barang bukti semata.
Real evidence mempunyai kekuatan pembuktian paling tinggi dibanding dengan alat
bukti lainnya. Padahal di Indonesia, bukti-bukti semacam itu hanya disebut sebagai
―barang bukti‖ saja yang mempunyai kekuatan pembuktian rendah atau sebagai
pendukung (corroboroting evIdience) belaka. Bahkan, di Indonesia barang bukti
semacam itu tidak mempunyai nilai tinggi jika tidak diidentifikasi atau diakui oleh saksi-
saksi dan/atau terdakwa.
Karena itu, dalam konstruksi hukum Indonesia, barang-barang bukti berupa
deposito, surat berharga (obligasi), rekening koran, mobil, gedung, tanah, uang tunai,
traveler cheque dan lainnya harus memperoleh pengakuan terlebih dahulu dari saksi
dan/atau terdakwa barulah memiliki nilai tinggi dan dapat memperkuat keyakinan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
108
hakim atas keberadaan barang bukti yang ada tersebut. Di Amerika Serikat, tidak
menyebut alat bukti kesaksian ahli dan keterangan terdakwa. Keterangan ahli akan
digabungkan dengan bukti kesaksian (testimonial evidence).
Testimonial evidence adalah bukti yang dihasilkan dari interview, interogasi dan
test kejujuran. Sedangkan, documentary evidence adalah bukti yang dihasilkan dari
bukti kertas, computer dan segala sesuatu yang dicetak dari sumber buktinya. Bukti
dokumen ini dapat diperoleh melalui document examination, public record searchs,
audits, computer searches, net worth calculation and financial statement analysis
(Albrecht, 2003, 71).
Selanjutnya, physical evidence termasuk fingerprints, tire-marks, weapons,
stolen property, identification numbers or marks on stolen objects, and other tangible
evidence that can be associated with the act. Sedangkan bukti personal observation
adalah bukti-bukti yang diumpulkan investigator seperti invigilation, surveillance and
covert operation, dan lainnya.
Fuady (2007, 4) menambahkan bahwa dalam doktrin Teori Hukum Pembuktian
mengajarkan agar suatu alat bukti dapat dipakai di pengadilan diperlukan beberapa
syarat, yakni: (1) diperkenankan oleh undang-undang sebagai alat bukti, (2) realibility,
yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu),
(3) Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu
fakta, dan (4) relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta
yang akan dibuktikan.
Selanjutnya, menurut Fuady—jika dilihat dari kedekatannya antara alat bukti
dengan fakta yang akan dibuktikan—terdapat dua macam alat bukti yakni alat bukti
langsung (direct evidence) dan tidak langsung (indirect evidence). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bukti langsung adalah alat bukti di mana saksi melihat
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
109
langsung fakta-fakta yang akan dibuktikan sehingga dengan adanya fakta tersebut
terbukti secara langsung ―dalam satu tahap saja‖ dapat menggambarkan secara jelas
apa yang terjadi. Sedangkan alat bukti tidak langsung (circumtantial evidence)
merupakan alat bukti di mana antara fakta yang terjadi dengan alat bukti tesebut hanya
dapat dilihat dari hubungan atau relasi keduanya setelah dilakukan simpulan-simpulan
tertentu. Perbedaan aalat bukti antara Indonesia dan Amerika Serikat dapat dilihat
pada tabel 3.6.
Tabel 3-6 JENIS- JENIS ALAT BUKTI DAN BEBERAPA PERBEDAAN ANTARA
INDONESIA DAN AMERIKA
NEGARA
JENIS-JENIS ALAT BUKTI
PERBEDAAN
INDONESIA Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa
Keterangan saksi memiliki nilai paling tinggi
Dalam pembuktian, hakim merupakan pemutus akhir salah atau tidak salahnya terdakwa
Dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan
bukti senantiasa bertumpu pada rule based law
AMERIKA Real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice
Real evidence memiliki nilai paling tinggi
Dalam pembuktian, jury merupakan pumutus akhir guilty or not guilty
Dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan
bukti senantiasa bertumpu pada rule base precedence
Sumber: Fuady (2007, 231)
Selanjutnya, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga peradilan
manakala menerima Informasi permulaan maka akan melakukan kajian-kajian
mendalam untuk memastikan apakah informasi tersebut mengandung indikasi korupsi
yang layak untuk ditindaklanjuti. Indikasi itu harus mengarahkan secara rasional pada
langkah-langkah upaya pencarian bukti korupsi dalam bentuk keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan surat, petunjuk dan/atau keterangan terdakwa.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
110
Dalam kasus Bahri, pada alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu
visum akuntansi forensik level audit investigatif, tergambar pada Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Metoda dialektika Sokrates yang digunakan penyidik (Jaksa
Timbul Tamba) untuk mengorek keterangan Bahri (Tersangka) yang dilakukan pada
tanggal 04 Oktober 2006 antara lain adalah sebagai berikut:
Penyidik (P): apakah sebelum penandatanganan kontrak 05 dan 06 tahun
2003 tanggal 9 Agustus 2003 telah membaca dan mengetahui isi addendum kontrak
tersebut?
Bahri : saya telah mengetahui dan membaca isi addendum kontrak -5 dan 06
tersebut.
Penyidik: Berdasarkan DASK Disbun 2004 (penyidik menunjukkan DASK
kepada Bahri) tertera kegiatan jasa konsultan untuk penyempurnaan perencanaan dan
pengawasan, apakah dalam tahun 2004 ada kegiatan penyempurnaan perencanaan
dan pengawasan?
Bahri: Tidak tahu, karena tidak ada kontrak dalam tahun 2004 yang
menyangkut kegiatan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan
Penyidik: sehubungan dengan selesaianya pekerjaan penyempurnaan
perencanaan dan pengawasan dalam tahun 2003, apakah ada berita acara
penyerahan pekerjaan penyempurnaan perencanaan kepada pengguna anggaran
(Disbun) Malang?
Bahri: ada (bukti menyusul)
Penyidik: sesuai dengan addendum 05 dan 06, apakah LPM UB ada membuat
gambar perencanaan sehubungan adanya penyempurnaan perencanaan yang
terdapat dalam addendum 05 dan 05 dan apakah gambar tersebut ditandatangani oleh
pihak yang berwenang?
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
111
Bahri: Lupa
Penyidik: apakah dalam tahun 2003, sebelum diadakannya addendum 05 dan
06 telah diadakan pertemuan di kantor akuntan publik Koenta Adji (sekitar 23 Juni
2003), sehingga adanya addendum kontrak tersebut menambah anggaran
Rp.645.987.000?
Bahri: lupa, kami pernah hadir di KAP Koento Adji bersama Soedjito dan
M. Bisri membicarakan mengenai pekerjaan yang belum ada perikatannya terhadap
penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pembangunan PG Kigumas.
Demikianlah interogasi dengan model dialektika Sokrates dilakukan penyidik
untuk mengorek keterangan dan pengakuan dari Bahri. Dengan menggunakan pola
spiraling, penyidik menggiring keterangan dan pengakuan Bahri. Pola spiralling adalah
pola yang mengurut keterangan dan pengakuan dari saksi-saksi, kemudian diikuti
pencarian yang mirip snow-ball yang pada ujungnya menuju kepada si tersangkanya.
Dengan demikian, uraian atas alat bukti keterangan terdakwa ini, akan menjadi
salah satu dari visum akuntansi forensik. Mengapa? Karena tujuan utama pencarian
alat bukti dan barang bukti pada alat bukti keterangan terdakwa, akan mengarah pada
berapa angka kerugian keuangan Negara. Karena itu, kalau kita ikuti seluruh BAP
terhadap Bahri, yang ingin diraih penyidik adalah pengakuan angka kerugian keuangan
negara yang telah dihitung oleh BPKP Jawa Timur yakni Rp.489.334.493.
3.5. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI
Seiring dengan masalah alat bukti, barang bukti dan pembuktian. Pertanyaannya
adalah bagaimana sebenarnya mencari, menemukan dan membangun alat bukti dari
barang bukti, fakta, data, informasi dan keterangan bagi kasus tindak pidana korupsi?
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
112
Fauzi seorang informan yang berprofesi sebagai advokat yang juga terlibat dalam
pembelaan terhadap kasus Bahri mengatakan sebagai berikut:
“Menurut saya, dalam kasus-kasus korupsi, sebenarnya tidak ada standar baku dalam membangun bukti yang kuat. Bukti akan sangat tergantung pada variasi kasusnya. Misalnya, kasus KPU Jakarta lebih banyak berkaitan dengan pelanggaran Kepres 80 Tahun 2003. Sedangkan kasus Samsul Bahri Malang merupakan perkara penyimpangan yang berkaitan dengan anggaran. Demikian juga, pada kasus korupsi yang saya tangani di Surabaya, merupakan kasus korupsi yang berkaitan UU Kesehatan dan Sekuritas. Dengan demikian, membangun bukti yang kuat akan sangat tergantung pada kemampuan penyelidik, penyidik dan/atau jaksa dalam memahami berbagai peraturan yang terkait dengan kasus-kasus korupsi. Saya berpendapat bahwa kekuatan dan kelemahan SDM-lah yang sangat menentukan kuat tidaknya bukti yang dihasilkan. Namun, saya menengarai bahwa lemahnya alat bukti yang dibawa ke pengadilan lebih kepada lemahnya aparat yang hanya mumpuni pada bidang hukum belaka. Dengan kelemahan seperti tentu banyak menyebabkan bebasnya para terdakwa korupsi.”
Ungkapan Fauzi di atas menunjukkan bahwa dalam soal membangun alat bukti
dan mencari barang bukti banyak tergantung pada keandalan sumber daya manusia.
Kecerdasan, kreativitas dan luasnya pengetahuan yang dimiliki aparat penegak
hukum. Demikian juga, model due process of law yang mewujud dalam KUHAP
mencerminkan sebuah prosedur kaku-ketat (sensu-stricto) yang oleh para pembuat
undang-undang dimaksudkan untuk memberikan arah pada sikap batin para penegak
hukum untuk senantiasa menghormati hak-hak warga negara.
Pada dasarnya, syarat ideal yang seharusnya dimiliki auditor investigatif
(akuntan forensik) adalah memiliki pengetahuan mendalam di bidang akuntansi,
auditing dan hukum serta piawai melakukan komunikasi baik lisan maupun tulisan.
Syarat seperti itu sebagaimana yang dikatakan Crumbley (2006): .
A qualified forensic accountant is like a three-layered wedding cake. The largest, bottom layer is a strong accounting background. A middle, smaller layer is a thorough knowledge of auditing, internal controls, risk assessment and fraud detection... The smallest top layer of the cake is a basic understanding of the legal environment. The icing on the cake is a strong set of communication skills, both written and oral. In general, a forensic accountant is engaged in combination of fraud detection and litigation support.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
113
Metafora wedding cake atas pengetahuan yang seharusnya dimiliki akuntan
forensik itu, menurut saya masih perlu ditambah dengan pengetahuan lain yang juga
memiliki urgensi tinggi, yakni ilmu psikologi. Bekal Ilmu pengetahuan ini penting karena
akuntan forensik akan senantiasa berinteraksi dengan berbagai persoalan manusia,
dengan segala karakter dan variasi perilakunya. Apalagi, dalam menangani perkara
tindak pidana korupsi, yang banyak mengandalkan pada teknik wawancara dan
interogasi untuk membongkar dan menemukan keterangan, pengakuan dan barang
bukti serta informasi di sekitar peristiwa, tentu ilmu pengetahuan psikologi itu sangat
besar peranan dan kontribusinya.
Dengan demikian, restriksi, konstrain dan kompleksitas permasalahan yang
boleh jadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kreativitas,
sensitivitas, imajinasi, dan kegigihan merupakan bekal utama bagi auditor investigatif
dalam proses mencari dan menemukan alat bukti dan barang bukti atas indikasi tindak
pidana korupsi.
Dalam kaitan dengan grounded theory sebagai metodologi, grounded theory
mensyaratkan dilakukannya suatu constant comparative analysis untuk menghasilkan
kategorisasi dan membangun proposisi. Di samping itu, grounded theory juga meminta
dilakukannya upaya theoritical maturation dalam rangka lebih memperkuat bangunan
proposisi (the second order understanding of scientist). Teori-teori yang ada juga harus
menunjukkan kesesuaian dan penguatan atas bangunan proposisi tersebut (Emzir,
2008, 203). Jadi, bangunan proposisi harus logis (masuk akal) dan layak untuk
diterima serta dapat dilakukan penelitian dan pengujian lebih lanjut.
Dengan demikian, grounded theory dapat dikatakan sebagai suatu usaha
rekonstruksi sejarah fakta yang berorientasi pada masalah di mana teori-teori secara
induktif diturunkan dari pola data yang kuat, dielaborasi melalui konstruksi model yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
114
masuk akal, dan dijustistifikasi dalam koherensi penjelasannya dengan teori yang ada.
Inilah yang disebut dengan ―abductive explanatory inferentialism‖. Batasan yang
mengatur penurunan teori ilmiah secara abduktif meliputi sejumlah besar heuristik
untuk menjelaskan fenomena. Pekerjaan terakhir pada grounded theory menekankan
sentralitas heuristik pada metodologi dan memperhitungkan komposisi batasan
permasalahan secara strategis yang diposisikan di dalam metoda abductive
explanatory inferentialism untuk memudahkan operasi heuristiknya.
Setelah saya menguraikan bagaimana auditor investigatif mencari, menemukan
dan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti, data, fakta, informasi dan keterangan
atas tindak pidana korupsi kemudian memadukannya dengan aturan-aturan yang
melingkupi perkara tersebut. Berikut ini konstruksi visum akuntansi forensik level audit
investigatif, proposisi baik dalam gambar maupun formula naratif adalah sebagai
berikut:
Gambar 3-1 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF
PROPOSISI:
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik level audit investigatif merupakan hasil
temuan auditor investigatif terhadap paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang
dapat menjadi dasar utama bagi penetapan status terduga/terindikasi tindak pidana
korupsi. Visum akuntansi forensik tersebut terangkai dalam suatu chart and matrix
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
115
yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W. Visum
akuntansi ini berisi rangkaian keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan tersangka yang diikat dalam Berita Acara Klarifikasi/Konfirmasi (BAK)
yang berfungsi sebagai bahan bukti bagi tahap penyelidikan.
Gambar 3-2 BENTUK VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL AUDIT INVESTIGATIF
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
116
BBaabb 44 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYELIDIKAN
I keep seven honest serving-men
They taught me all I Knew
Their names are “How Much, How, What, Why, When, Where, and Who”
(Tuanakotta)
4.1. PENGANTAR
Mencari Persembunyian Mozaik Bukti Akuntansi Forensik
Penyelidikan merupakan langkah lanjutan dari audit investigatif dan/atau tindak
lanjut terhadap diterimanya Aduan, Keluhan dan Petunjuk (AKP). Bahan bukti yang
digunakan dalam penyelidikan dapat berasal dari laporan hasil audit investigatif.
Tujuan penyelidikan adalah pendalaman terhadap bahan bukti yang berupa visum
akuntansi forensik level audit investigatif dan/atau bisa saja bahan bukti berasal dari
AKP. Hasil penyelidikan bisa dipakai bahan bukti bagi penyidik untuk melakukan
pendalaman dan mengumpulkan bahan bukti yang berkriteria hukum. Hasil
penyelidikan akan dilaporkan ke penyidik untuk dilakukan pendalaman-pendalaman
berikutnya.
Untuk soal AKP, semisal AKP kasus Bank Indonesia dapat saya uraikan bahwa
AKP berawal dari laporan Ketua BPK Anwar Nasution yang masuk ke KPK pada
sekitar akhir tahun 2006. Laporan tersebut mengungkapkan sejumlah dugaan
penyalahgunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh
Direksi Bank Indonesia. Aliran dana tersebut merupakan keputusan sejumlah Rapat
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
117
Dewan Gubernur (RDG) selama 2003. Laporan itu juga menyebutkan bahwa RDG
yang pertama dilakukan pada tanggal 3 Juni 2003. Rapat itu dihadiri Burhanuddin
Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin dan Roswita Roza yang
meminta YPPI menanggulangi kebutuhan Bank Indonesia dalam membiayai kegiatan
insidental dan mendesak.
Dalam rapat berikutnya tanggal 22 Juli 2003 disepakati pembentukan Panitia
Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) untuk mengelola dana Rp.100 miliar
yang berasal dari YPPI. Ketua PPSK Rusli Simanjuntak dan wakil ketua Oey Hoey
Tiong, Dana banttuan hukum dialirkan melalui Tiong dan dana disseminasi melalui
tangani Simanjutak.
Dari dana yang mengalitr Rp.100 Miliar ke YPPI, yang sebesar Rp. 31,5 Miliar
diberikan kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 1999-2004. Mengalirnya
dana itu diduga untuk memuluskan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 yang
menguntungkan BI. Dana itu diterima dua anggota DPR yakni Hamka Yandhu dan
Anthony Zeidra Abidin.
Sisa Dana YPPI yang sebesar Rp.68,5 miliar, untuk menyelesaiakan masalah
hukum kasus BLBI yang menjerat mantan petinggi BI, antara lain Soedradjad
Djiwandono (gubernur), Iwan R Prawinata (Deputi Guberneur), serta tiga direktur
lainnya, yakni Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo. Dana yang
mengalir untuk urusan perkara lima orang itu disebut-sebut juga mengalir ke polisi,
jaksa dan hakim. Pada akhirnya, mantan pejabat tinggi BI tersebut terbebas dari jerat
hukum.
Dari AKP yang dilaporkan Nasution tersebut, KPK menangani kasus ini dipecah
dalam tiga bagian, yaitu pertama adalah dugaan penyelewengan dana oleh direksi BI,
kedua adalah dugaan aliran dana kepada anggota DPR, dan ketiga adalah aliran dana
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
118
ke aparat penegak hukum. Demikianlah bagaimana suatu AKP ditindaklanjuti dengan
pulbaket lidik oleh KPK.
Pulbaket lidik merupakan pengumpulan bahan bukti dan keterangan atau
operasi yustisial atau operasi reserse yang bersifat mendalam dan komprehensif.
Operasi ini biasa dilakukan oleh bagian penyelidik, intelejen Kejaksaan, reserse polri
maupun KPK. Operasi yustisial ini dilakukan dalam rangka untuk mengumpulkan
informasi, data, fakta, informasi dan keterangan yang tujuannya untuk membuktikan
hypothetical construction of crime serta memastikan apakah konstruksi visum
akuntansi forensik level audit investigatif dapat ditingkatkan statusnya pada peringkat
berikutnya yakni level penyidikan (sidik). Karena itu, aktivitas penyelidikan juga disebut
sebagai ‗operasi intelejen yustisial‘.
Pada institusi Polri, aktivitas penyelidikan akan dilakukan oleh Reserse.
Penyelidikan oleh reserse ini juga bertujuan untuk mencari barang bukti, data, fakta,
informasi dan keterangan guna menentukan apakah suatu peristiwa yang dilaporkan,
dikeluhkan atau diadukan (AKP) merupakan tindak pidana atau bukan? Di samping itu,
operasi Reserse juga untuk melengkapi keterangan-keterangan yang telah diperoleh
sebelumnya atau menambah bukti baru agar perkara menjadi lebih jelas bagi proses
penindakan atau persiapan penindakan atau memberikan petunjuk-petunjuk tambahan
bagi pemeriksaan selanjutnya. Karena itu, penyelidikan disebut juga sebagai ‗operasi
reserse‘.
Petugas reserse pada umumnya terlibat dalam operasi penyamaran,
pengumpanan, penjebakan dan pengintaian untuk menyelidiki kegiatan kejahatan yang
berkelanjutan. Data awal biasanya diterima dari operasi intelejen. Posisi sebagai
reserse merupakan posisi dambaan. Karakter dasar reserse adalah cerdik, rajin, pintar,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
119
street smart, terampil melakukan wawancara, dan bijak dalam menanggapi informan-
informan.
Selanjutnya, pencarian konstruksi visum akuntansi forensik level penyelidikan
ini diharapkan bisa menemukan minimal dua alat bukti sah dari lima macam alat bukti
dan mengungkap modus kejahatan serta menyibak ‗niat‘ jahat si terperiksa (opzet atau
mensrea). Dalam konteks tindak pidana korupsi, hasil akhir penyelidikan akan dipakai
sebagai bahan bukti dan dasar pengambilan keputusan apakah sebuah ‗dugaan‘
terjadinya tindak pidana korupsi dapat ditingkatkan menjadi ‗sangkaan‘ yang
―berkualitas hukum‖ atas eksistensi tindak pidana korupsi tersebut.
Keputusan penting itu akan menjadi sebuah primary starting point dan
pegangan utama bagi proses litigasi pada tahap-tahap berikutnya. Bilamana dugaan
tindak pidana korupsi (level audit investigatif) tetap tidak berubah, artinya hanya tetap
sekedar dugaan belaka dan tidak dapat ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan,
maka upaya penyelidikan akan dihentikan, kemudian penyelidik akan mengeluarkan
surat penghentian pemeriksaan perkara (SP-3).
Sangkaan berkualitas hukum tersebut, yang di dalamnya melekat sebuah
uraian cermat, jelas dan lengkap atas suatu peristiwa hukum, akan memberikan suatu
gambaran komprehensif terhadap keadaan yang telah berkesuaian dengan fakta-fakta.
Fakta-fakta itu juga terjalin secara berkelindan dengan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh si terperiksa. Kesesuaian dan kesepaduan antara fakta dengan
perbuatan akan dirangkai dalam suatu chart and matrix yang merupakan wujud
konstruksian visum akuntansi forensik level penyelidikan. Persamaan dan perbedaan
antara ‗penyelidikan‘ dengan ‗audit investigatif‘, akan saya paparkan sebagaimana
terlihat pada tabel 4.1.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
120
Kembali pada masalah alat bukti dan pembuktian atas tindak pidana korupsi,
mencari jawaban konkrit atas hypothetical construction of crime, di satu sisi memiliki
kendala dan kesulitan namun pada sisi yang lain menyimpan peluang. Kesulitan dan
peluang itu diungkapkan oleh Miftah penyelidik KPK mengatakan sebagai berikut:
“Untuk menemukan bukti tindak pidana korupsi yang harus kita cari terlebih dahulu adalah dimana letak rantai terlemahnya. Bila berhasil ditemukan, pendobrakan harus segera dilakukan, dan dari sana baru dilakukan penelusuran dan penyelidikan pada rantai-rantai, ranting-ranting lain sehingga akhirnya menuju pada si tersangkanya. Sebagai misal adalah, kasus Asuransi KPU, yang kita panggil pertama kali adalah bagian pembukuan perusahaan Asuransi. Jawaban-jawaban yang diperoleh ternyata mampu mendobrak kebuntuan dan memberikan arah penyelidikan dengan sukses…”
Kalimat Miftah itu menyiratkan adanya “Profiling”. Profiling ini dalam domain
general audit lebih dikenal dengan istilah understanding of the client business. Profiling
akan sangat menentukan kecepatan dan keberhasilan penyelidikan.
Berkaitan dengan understanding of the client business, Alvin A Arens et.al
(2003, 297) mengatakan bahwa sebuah pemahaman menyeluruh terhadap bisnis dan
industri klien serta pengetahuan secara mendalam atas operasional perusahaan
adalah penting untuk melakukan suatu audit yang memadai. Karena itu understanding
of the client business menjadi keniscayaan sebelum audit dilaksanakan.
Selanjutnya, profiling itu dalam pandangan Tuanakotta (2010, 145) adalah
FOSA (Fraud Oriented System Audit) atau COSA (Crime/Corruption Oriented System
Audit). FOSA atau COSA merupakan sebuah profiling yang menjadi keniscayaan
(conditio sine quanon) sejak dimulainya proses penyelidikan tindak pidana korupsi.
FOSA atau COSA harus sudah menjadi instrumen dan bekal strategik yang inheren
dengan mind set serta pegangan awal bagi penyelidik pada aktivitas-aktiivitas
penyelidikannya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
121
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Tuanakotta sebelumnya, Sullivan
dan Marie (2010, 499) mengatakan bahwa pada saat ini di Amerika Serikat profiling itu
telah dikembangkan secara intensif. Pengembangan dan penelitian itu dibantu oleh
FBI (Federal Bureau of Investigation). Saat ini, Amerika Serikat telah memiliki ―reserse
profiler‖ yang tersebar di kepolisian. Profiling penjahat merupakan pengetahuan baru
yang diberi nama sebagai ―psikologi forensik‖. Psikologi forensik bertujuan untuk
mengetahui karakteristik pelaku kejahatan dan perilaku melalui analisis forensik
profesional terhadap pola-pola kejahatan dan tempat yang menjadi lokasi kejadian
kejahatan.
Dengan demikian, profiling merupakan suatu aktivitas yang mendahului dari
proses penyelidikan itu sendiri. Kepiawaian dalam melakukan FOSA atau COSA juga
akan dapat berkontribusi besar dalam membangun instink atas gambaran eksistensi
‗predication‘. Kemampuan melakukan Profiling menjadi sebuah keniscayaan yang
harus dimiliki oleh seorang penyelidik handal.
Jadi, proses penyelidikan itu dapat saya simpulkan sebagai sebuah cara yang
dapat menjamin sebuah prosesi dapat berkesesuaian atau berkorelasi dengan agenda
―acara‖ yang telah disusun. Penyelidikan juga dapat saya metaforakan sebagaimana
layaknya sebuah jadual agenda acara atau susunan tata-tertib untuk dapat
terselenggaranya suatu perhelatan/seremonial tertentu. Artinya, agenda acara
penyelidikan itu akan disusun secara bertahap dan berlanjut dengan tujuan utama
untuk mengambil simpulan akhir secara meyakinkan atas sebuah peristiwa hukum
mengenai apakah ‗dugaan‘ tindak pidana korupsi itu dapat berubah bentuknya menjadi
sebuah ‗sangkaan‘ yang berkualitas hukum atau tidak?.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
122
Tabel 4-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYELIDIKAN DAN AUDIT INVESTIGATIF
KETERANGAN
PENYELIDIKAN
AUDIT INVESTIGATIF
PERSAMAAN
1. Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa visum akuntansi forensik
2. Menemukan lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
3. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi
4. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih bersifat AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk)
1. Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa visum akuntansi forensik
2. Menemukan lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
3. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi
4. Dapat dilaksanakan dari yang masih bersifat
AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk)
PERBEDAAN
1. Hanya dapat dilakukan oleh penyelidik Polri atau
Kejaksaan atau KPK
2. Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau
saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan)
3. Dalam mencari dan menemukan konstruksi Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyelidikan, Penyelidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
4. Atas dasar bukti permulaan yang cukup,
Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan atas ijin penyidik
5. Penyelidikan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari penyidikan., Laporan hasil audit investigatif didayagunakan bagi penyelidikan yang berperan sebagai bukti permulaan.
6. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan
kepada Penyidik 7. Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan
“terperiksa”
1. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih
bersifat AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk dapat dilakukan oleh auditor investigatif BPK atau BPKP atau Akuntan Publik atau expert.
2. Hasil Permintaan Keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAK (Berita Acara Klarifikasi/Konfirmasi)
3. Dalam mencari dan menemukan konstruksi
Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif akan mendasarkan pada metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif auditing (due professional care).
4. Tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
penahanan atau penangkapan, meskipun terdapat bukti permulaan yang cukup.
5. Audit Investigatif merupakan bagian yang
berdiri sendiri (terpisah) dari fungsi penyidikan. Namun, hasil audit investigatif berperan dan berkorelasi dengan penyelidikan.
6. Menyampaikan Laporan Hasil Audit Investigatif
kepada instansi peminta audit investigatif. 7. Sebutan bagi objek yang dilakukan
pengauditan disebut dengan “auditee”
Pada sisi lain, prosesi penyelidikan dalam institusi Kejaksaan dapat saya
uraikan dengan langkah “P”. Langkah “P” yang dilakukan penyelidik Kejaksaan
tersebut adalah sebagai berikut: Aduan, Keluhan, Petunjuk (AKP) atau informasi awal
akan dimasukkan dalam dokumen yang disebut formulir P-1. Hasil penyelidikan awal
(operasi intelejen yustisial) akan menentukan apakah perkara pidana itu bisa dilanjut
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
123
atau tidak? Jika hasil pra-ekspose itu menyimpulkan bahwa perkara dapat diteruskan,
maka akan dibuat Surat Perintah Penyelidikan yang didokumentasikan dalam bentuk
P-2. Selanjutnya Penyelidik akan membuat rencana penyelidikan dalam bentuk
P-3. Kemudian Penyelidik akan meminta keterangan saksi-saksi yang
didokumentasikan dalam bentuk P-4. Hasil penyelidikan itu akan dibuat
simpulan/pendapat dan saran dalam formulir P-5. Tahap selanjutnya, penyelidik akan
membuat chart berupa uraian modus operandi perkara dan matrix yang menguraikan
unsur-unsur pasal (delict) yang disangkakan, yang didokumentasikan dalam P-6. Jika
ekpose internal tersebut menyimpulkan terdapat cukup bukti untuk dilakukan
peningkatan status tersangka ke tahap penyidikan, maka akan dibuat Surat Perintah
Penyidikan yang didokumentasikan dalam formulir P-7. Tujuh langkah dalam tujuh
formulir inilah yang merupakan kertas kerja standar bagi penyelidikan. Kertas kerja
semacam ini dalam ranah audit dikenal dengan sebutan audit working paper.
Dengan P-7 kemudian penyelidik dapat menyimpulkan perkara tindak pidana
korupsi yang ditangani itu bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan maka formulir P-8 dan
formulir P berikutnya (sesuai dengan tempatnya) akan saya jelaskan seirama dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat saya menguraian proses penyidikan.
Uraian dalam bab IV ini akan saya lakukan masih tetap dengan basis perkara
dugaan korupsi PGM Kigumas Malang kepada Mantan Ketua LPM UB. Sangkaan
tindak pidana korupsi dapat dilihat kotak 4.1.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
124
Kotak 4.1.
KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG
KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS.
Kejaksaan Negeri Kepanjen ―Untuk Keadilan‖
Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: - URAIAN SINGKAT PERKARA:
Bahwa Tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua
Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor : 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam
ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PG. KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar. Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN
sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof.DR. Ir.H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO No.
525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H. M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak
No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan addendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003. Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp. 645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Propinsi Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp. 645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp. 489.334.493,- (empat ratus delapan puluh
sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
125
Dari kotak 4.1 dapat saya simpulkan bahwa laporan akhir atas penyelidikan terhadap
dugaan tindak pidana korupsi terhadap Syamsul Bahri pada dasarnya adalah
bagaimana penyelidik mampu mendayagunakan taktik, teknik, strategi, kreativitasnya
atas serangkaian pertanyaan yang lazim dikenal dengan ―LANGKAH DELAPAN -
KAH‖. Jawaban atas 8-kah itu kemudian menjadi dasar pijakan utama bagi penyelidik
untuk membuat simpulan apakah seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka atau
tidak. Pertanyaan ‗8-Kah‘ tersebut adalah sebagai berikut: (1). Apakah persoalan
(kejadian) yang melekat dalam peristiwa itu? (2) Dimanakah (tempat) perbuatan itu
dilakukan? (3) Kapan (waktu) perbuatan itu dilakukan? (4) Dengan (alat) apakah
perbuatan itu dilakukan? (5) Bagaimanakah (cara) perbuatan itu dilakukan? (6)
Mengapakah (alasan) perbuatan itu dilakukan? (7) Siapakah (orang/pelaku) yang
melakukan? langkah (8) Berapakah (jumlah) kerugian keuangan/perekonomian
Negaranya? Pengungkapan jawaban terhadap “8-KAH” akan menggiring dan
mengubah ‗dugaan‘ menjadi ‗sangkaan‘ yang memiliki kualitas hukum. Dengan
jawaban tersebut, pada gilirannya, proses pencarian konstruksi visum akuntansi
forensik level penyelidikan ini dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya yakni tahap
penyidikan (sidik).
4.2. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL PENYELIDIKAN Langkah Kedua, Membangun Mozaik Bukti Akuntansi Forensik
Penyelidikan atau Pulbaket Lidik adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
Undang-undang (Tuanakotta, 2007, 442). Tata cara mengenai apa dan bagaimana
penyelidikan ini di atur KUHAP bab XIV pada pasal 102 sampai dengan pasal 105.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
126
Penyelidik, pada dasarnya mempunyai kewenangan yang besar dalam
menerima laporan atau pengaduan atas adanya tindak pidana korupsi, mencari
keterangan pada saksi-saksi dan meminta barang bukti dan data pendukungnya.
Bahkan atas perintah penyidik, penyelidik juga dapat melakukan penangkapan,
pelarangan meninggalkan tempat (cegah), penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan
dan membawa seseorang kepada penyidik.
Jika hasil operasi intelejen yustisia atau operasi reserse ini menemukan
kesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti, lalu barang bukti itu berkorelasi
positif dengan keterangan yang diperoleh dari para saksi, maka penyelidik dapat
menyimpulkan bahwa eksistensi tindak pidana korupsi telah nyata-nyata ada.
Berkaitan dengan proses penyelidikan perkara Bahri ini, kepada Kustaryo,
advokat Malang pembela hukum bagi kasus Bahri, saat saya tanyakan mengenai
bagaimana penyelidikan itu dilakukan? Kustaryo menjawab sebagai berikut:
“Proses penyelidikan itu ya persis sama dengan ketika auditor melakukan audit. Caranya ya para terperiksa itu dipanggil penyelidik dan diminta membawa laporan dan data pendukung… Untuk kasus Syamsul Bahri seingat saya yang dipanggil sebagai terperiksanya untuk pertama kali ada tiga orang…
Laporan dan data yang dibawa terperiksa tersebut dicocokkan, diuji dan kemudian ditanyakan kepada terperiksa terhadap hal-hal yang tidak jelas dan perlu tambahan keterangan. Pemeriksaan difokuskan pada laporan pengaduan yang telah masuk ke penyelidik… Jika dalam pemeriksaan itu kemudian ditemukan bahwa laporan, data dan keterangan sesuai dengan pengaduan tindak pidana korupsi lalu penyelidik dapat memastikan bahwa terperiksa terlibat dalam perkara tersebut, maka penyelidik akan menetapkan status terperiksa tersebut menjadi status tersangka...”
Uraian Haris tersebut, menyiratkan secara jelas bahwa proses penyelidikan
terhadap kasus Bahri (atau kasus-kasus lain) harus sampai pada suatu simpulan atas
terbukti atau tidaknya suatu dugaan menjadi sangkaan yang berkualitas hukum.
Demikian juga, simpulan peningkatan status ‗terperiksa‘ menjadi ‗tersangka‘,
merupakan putusan penyelidik yang mendasarkan pada persesuaian antara temuan,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
127
informasi, bukti, fakta, dan data yang telah diterima dan dikumpulkan pada tahap
sebelumnya. Temuan atas informasi, bukti, data, fakta, keterangan yang merupakan
hasil upaya pencarian yang memakan waktu, tenaga, energi yang boleh jadi sangat
melelahkan itu akan dirangkai dalam bentuk chart and matrix yang memuat jawaban
atas hypothetical construction of crime 2H+5W.
Oleh karena itu, jika dalam tahap ini harus digunakan kata ―mencari‖ maka arti
kata ―mencari‖ itu adalah pencarian atas alat bukti dan barang bukti yang masih
tersembunyi, masih gelap, belum terungkap, belum jelas dan tidak terang. Jadi,
mencari dalam penyelidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk menelusuri segala
tapak-jejak atas peninggalan dan sisa-sisa petilasan (artifak), tanda-tanda, dan alat-
alat dan barang-barang yang digunakan dalam peristiwa tindak pidana korupsi.
Mencari juga aktivitas untuk memburu keterangan dari saksi-saksi yang telah melihat,
mendengar dan menyaksikan peristiwa tindak pidana korupsi itu agar ditemukan
kebesesuaian antara perbuatan dengan barang bukti dan antara fakta dengan
perbuatan yang terjalin secara berkelindan.
Sejalan dengan uraian di atas, pencarian visum akuntansi forensik ini akan
dilakukan ke mana saja, kepada siapa saja, di mana saja terhadap semua alur dan
semua arah serta semua peristiwa yang saling berhubungan dan terkait. Pengejaran
akan terus dilakukan (semacam snow ball method), artinya jika terdapat adanya
hubungan yang berkesesuaian antara peristiwa itu dengan peristiwa lain maka
peristiwa lain itu harus dikejar, termasuk ke semua tempat yang tersembunyi atau yang
sengaja disembunyikan.
Berbeda dengan kasus Bahri, pada kasus tukar guling (ruislag) tanah eks
bengkok kelurahan Lawang Malang tahun 2004 yang di tangani Polwil Malang. Pada
kasus dugaan tindak pidana korupsi ini dilakukan dua kali PKKN oleh BPKP. Anehnya,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
128
hasil PKKN yang pertama menyimpulkan bahwa proses tukar guling itu tidak terjadi
kerugian keuangan negara, namun laporan hasil PKKN yang kedua bahwa proses
ruislag terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp.5.313.383.500. Satu obyek
terdapat dua simpulan yang berbeda, yang mengakibatkan Sulistyadi Tikno (mantan
kabag hukum Pemkab Malang) harus bolak-balik ke Polwil Malang untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Laporan PKKN BPKP Jawa Timur yang pertama, terbit pada tanggal 21Juli
2006, antara lain menyimpulkan bahwa (1) terdapat penyimpangan penggunaan dana
kompensasi yang tidak disetor ke Kas Daerah, tetapi langsung dipergunakan oleh
kelurahan Lawang untuk berbagai keperluan, (2) perbandingan antara NJOP tanah
ganjaran yang ditukargulingkan (ruislag) dengan NJOP tanah pengganti dari
PT. Permata Imperium Abadi (PIA) ditambah dana kompensasi sebesar
Rp.600.000.000 adalah ―wajar”, (3) tukar guling telah disetujui oleh komisi A DPRD
Kabupaten Malang tanggal 31 Mei 2004 dan persetujuan DPRD tanggal 1 Juni 2004.
Tim PKKN BPKP Jawa Timur yang pertama, bertugas dengan basis surat
tugas Kepala Perwakilan BPKP Jawa Timur Nomor ST-8084/PW.13.5/3/2005
tertanggal 17 Nopember 2005. Surat tugas ini dikeluarkan berdasarkan Surat Direktur
Investigasi Instansi Pemerintah Nomor: S-410/D6.1/1/2005 tanggal 15 September
2005. Tim PKKN terdiri dari 2 (dua) orang, yaitu Bernard Pasaribu (Ketua tim) dan
Yustra Iwata Alsa (Pengendali Mutu). Laporan Nomor: LHAI-6586/PW13/5/2006 yang
diterbitkan pada tanggal 21 Juli 2006 merupakan laporan PKKN yang dibuat BPKP
Jawa Timur Versi pertama yang menyatakan bahwa tukar-guling (ruislag) itu wajar..
Selanjutnya, pada laporan PKKN yang kedua, No: SR.10463/PW.135/2007
yang terbit tanggal 06 Nopember 2007 atau sekitar satu setengah tahun setelah
laporan PKKN yang pertama, menyimpulkan hal berbeda. Sesuai dengan metoda yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
129
digunakan oleh BPKP, hasil perhitungan kerugian keuangan Negara (PKKN) atas
ruislag tersebut sebesar Rp.5.313.383.500. Rincian PKKN adalah sebagai berikut:
Tabel 4-2 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI BPKP ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG
NOMOR
KETERANGAN
JUMLAH RUPIAH
1. Nilai tanah kelurahan lawang yang dilepas: Rp.158.000. x 43,016 meter
6.796.844.000
2. Dikurangi dengan nilai tanah pengganti: - Dana tunai diterima Lurah Lawang Rp.600.000.000 - Nilai beli tanah pengganti ……….. Rp.799.000.000 - BPHTB atas tanah pengganti……. Rp 75.390.000 - Biaya sertifikasi tanah …………….. Rp. 9.070.500
1.483.460.500
3. Nilai kerugian Negara (keuangan Pemkab Malang) 5.313.383.500
Sumber: Laporan hasil PKKN BPKP Jawa Timur, Tanggal 06 Nopember 2007
Tim PKKN BPKP Jawa Timur yang kedua tersebut dibentuk berdasarkan surat
tugas kepala perwakilan BPKP Jawa Timur No: ST-13025/PW13.5/2006 tanggal 08
Desember 2006. Surat tugas didasrkan pada surat Kapolwil Malang
No:B/1488/XI/2006 tertanggal 29 Nopember 2006. TIM PKKN terdiri dari 4 (empat
orang) auditor investigatif, yaitu: Djoko Wirawan (selaku pengendali mutu),
Kushandoyo (selaku pengendali teknis), Sugeng Widiyanto (selaku ketua tim), dan Eko
Cahyono (anggota tim).
Metoda yang digunakan dalam PKKN adalah menghitung selisih antara nilai
tanah yang dilepas dengan nilai penggantinya yang menyimpang dari ketentuan
perundang-undangan. Sedangkan prosedur pemeriksaan yang digunakan adalah (1)
mengidentifikasi penyimpangan, (2) menelaah dasar hukum,(3). Meneliti apakah kasus
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
130
yang diaudit masuk kategori keuangan negara, (4) melakukan review bukti,
rekonstruksi bukti, verifikasi bukti, dan melakukan analisis atas bukti-bukti yang
berhubungan dengan PKKN atas kasus penyimpangan yang diaudit serta prosedur lain
yang dianggap perlu. Dalam PKKN kedua ini juga tidak dijumpai hambatan yang berarti
atas pelaksanaan audit PKKN tersebut.
Dengan dua laporan PKKN dari BPKP Jawa Timur yang berbeda tersebut,
kemudian PT. Permata Imperium Abadi (PIA) meminta kepada PT. Sucofindo
Appraisal Utama (SAU) untuk melakukan penilaian independen atas tukar guling
tersebut. Tim penilai lapangan terdiri dari 2 (dua) orang yaitu: (1) Trimartono Irawan
(MAPPI: 96 - T – 0878) dan (2) IB Adhika Wirananda (MAPPI: 05 – P – 081840)
Dalam rangka untuk menentukan pendapat (opini) atas review yang
dilakukannya, PT. SAU melakukan prosedur penilaian dengan langkah-langkah
sebagai berikut:(1) survey lapangan serta pengumpulan data primer, (2) survey
terhadap data pasar baik berupa penawaran maupun transaksi, (3) analisis terhadap
tanah dengan menggunakan pendekatan market data approach, (4) melakukan
adjustment dan verifikasi sampai diperoleh harga pasar saat ini kemudian melakukan
review dengan mempertimbangkan NJOP dari tahun 2004 sampai dengan 2008 untuk
mendapatkan indeks yang akan digunakan sebagai perhitungan harga pasar tahun
2004. Ikhtisar hasil penilaian PT. SAU tersebut menyatakan bahwa berdasarkan
metoda data pasar (market data approach), review harga pasar aktiva tetap: (1) tanah
kosong desa Lawang, Malang, (2) tanah sawah desa Sumber Ngepoh, Lawang,
Malang pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
131
Tabel 4-3 PERHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA VERSI PT. SUCOFINDO APPRAISAL UTAMA ATAS TUKAR GULING BENGKOK LAWANG MALANG
NOMOR
KETERANGAN
JUMLAH RUPIAH
1. Harga Pasar tanah Desa Lawang tahun 2004 berdasarkan perhitungan tanggal 12 Februari 2008: Rp.36.281 x 43,016 meter
1.589.761.000
2. Nilai pengganti: - Dana tunai diterima Lurah Lawang Rp. 600.000.000 - Nilai beli tanah pengganti ……….. Rp.1.074.308.000 - BPHTB atas tanah pengganti……. Rp 75.390.000 - Biaya sertifikasi tanah …………….. Rp. 9.070.500 - Jasa pnguerusan Sertifikat ………. Rp. 175.000.000 - Jumlah Nilai Pengganti
1.933.768.500
3. Nilai keuntungan Negara 344.007.500
Sumber: Laporan No. 003/SA-ADV/SBA-II/2008, tanggal 13 Februari 2008
Dari paparan sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa dalam perkara tukar
guling (ruislag) tabnah bengkok di Lawang malang itu, terdapat tiga nilai (angka) yang
berbeda-beda pada satu obyek yang sama. Dua nilai (angka) dari BPKP Jawa Timur
dan satu nilai (angka) dari PT. Sucofindo Appraisal Utama. Lalu manakah angka yang
benar dan dapat dipakai sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan?
Ternyata, dengan keluarnya hasil penilaian dari PT. Sucofindo Appraisal Utama
menjadikan kasus tindak pidana korupsi atas ruislag tanah bengkok di Lawang Malang
itu menjadi tidak jelas (obscuur) berapa kerugian negaranya secara riil dan nyata.
Kemudian, dengan keluarnya laporan atau opini review hasil penilaian PT. SAU itu, lalu
terbitlah Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3) yang secara lengkap
dapat dilihat pada kotak 4.2.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
132
Kotak 4.2.
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAWA TIMUR WILAYAH MALANG JL. P. Sudirman No. 181-a Singosari Malang, 65135
Malang, 7 Mei 2008 No.Pol : B/170.b/V/2008 Klasifikasi : BIASA Lampiran : Satu Bendel Perihal : Pemberitahuan Penghentian Penyidikan Kepada Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Kepanjen Di Kepanjen
1. Rujukan: a. Pasal 109 ayat 2 KUHAP b. UU Nomor 2 2002 Tentang Kepolisaian Negara Repuublik Indonesia c. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No.Pol: B/170/XII/2008/Reskrim, tanggal
28 Desember 2007 d. Surat Ketetapan Kapolwil malang No. Pol: S-Tap/41.b/V/2008/Reskrim, tanggal 7 Mei
2008, tentang Penghentian Penyidikan e. Berita Acara Pendapat (Resume) hasil penyidikan tanggal Mei 2008 (sebagaimana
terlampir)
2. Dengan ini diberitahukan bahwa terhitung mulai tanggal 7 Mei 2008, penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi Ruislag tanah eks bengkok Kel. Lawang Kab. Malang, sebagaimana dimaksud dalam pasdal 2 dan atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 199 atas nama tersangka: N a m a : AM SULISTYADI TIKNO, SH., MH Tempat tanggal lahir : Jenis Kelamin : Agama : Pekerjaan : Alamat :
Dihentikan penyidikannya oleh karena Tidak cukup bukti
3. Demikian untuk menjadi maklum Kepala Kepolisian Wilayah malang Selaku P E N Y I D I K ttd YAHRIZAL AHIAR, SH.,MH Komisaris Besar Polisi NRP 56090578
Tembusan: 1. Ketua PN Kepanjen 2. Tersangka / Keluarga Tersangka
Sumber: Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3), tanggal 7 Mei 2008
Jadi, dari uraian sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa fungsi pokok dan
fokus utama penyelidikan (pulbaket lidik) pada intinya adalah mencari dan menemukan
segala macam alat-alat bukti dengan cara melakukan pemeriksaan kepada
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
133
terindikasi/terduga dan saksi-saksinya. Bilamana dianggap perlu, pencarian bukti dapat
pula dilakukan dengan meminta keterangan kepada ahli dan melakukan cara-cara lain
yang dianggap perlu agar perkara dugaan tindak pidana korupsi menjadi lebih jelas
dan lebih terang benderang. Pada sisi lain, pada proses penyelidikan ini, dapat saja
tersangka meminta kehadiran advokat untuk mendampingi dan membela hak-haknya
agar dapat menjamin bahwa proses penyelidikan adalah sesuai dengan koridor hukum
(due process of law).
4.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi
Keterangan saksi itu akan dapat berupa suatu keterangan mengenai suatu
peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖ dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sebelum sampai pada alat bukti
keterangan saksi, terlebih dahulu akan saya uraikan berbagai kondisi yang menyertai
sehingga terjadinya penyelidikan terhadap kasus Bahri selaku Ketua LPM UB Malang
Kasus ini berawal dari temuan dan rekomendasi hasil audit umum (general
audit) BPK RI BPK RI Perwakilan Yogyakarta tahun buku 2004 atas laporan keuangan
Pemkab Malang bernomor 70/R/XIV.4/04/2005 tertanggal 26 April 2005. Dalam
laporan tersebut, BPK menemukan adanya penyertaan modal Pemkab Malang ke
PGM Kigumas yang aliran jumlah uangnya mencapai sebesar Rp.27.225.853.500
yang merupakan akumulasi dari pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Pemkab
untuk investasi PGM Kigumas sejak tahun 2001. Jumlah angka itu terdiri dari
akumulasi pengeluaran-pengeluaran yang terinci sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
134
Tabel 4-4 PENGELUARAN INVESTASI PEMKAB MALANG PADA PABRIK GULA MINI PT. KIGUMAS
DIP/DASK/TAHUN
ANGGARAN ANGGARAN REALISASI
DIP 2001 Rp. 2.311.003.000,00 Rp. 1.209.593.000
DIP-L 2001 Rp. 1.101.500.000
DIP 2002 Rp. 6.890.842.000 Rp. 6.656.747.500
DASK 2003 Rp.15.872.000.000 Rp.15.872.000.000
DASK 2004 Rp. 3.032.200.000 Rp 2.386.013.000
Jumlah Rp. 28.106.045.000 Rp.27.225.853.500 Sumber: Hasil Pemeriksaan BPK RI Nomor : 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005
Angka Realisasi Rp.27.225.853.500 tersebut tidak termasuk biaya-biaya bagi
jasa konsultan yang dilakukan LPM UB yang jumlahnya sebesar Rp.645.987.000.
Angka inilah kemudian menyeret dan menjerat Bahri ke perkara dugaan tindak pidana
korupsi.
Laporan hasil audit BPK RI itu juga menyebut adanya piutang kepada Pihak
Ketiga sebesar Rp.1.000.000.000. Tagihan itu ternyata adalah jumlah pinjaman
keuangan yang diberikan Pemkab Malang kepada PT Kigumas. Sebagai tambahan
informasi, saat itu PT.Kigumas telah memiliki akta pendirian dengan akta Notaris
Nomor 157 yang dibuat tanggal 10 Desember 2003 di depan Notaris Benediktus Bosu.
Sedangkan pengesahan Badan Hukum telah diterima dari Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia pada tanggal 15 Juli 2004. Pemilihan status Badan Hukum Perseroan
Terbatas (PT) ini dimaksudkan agar biaya operasional PT Kigumas tidak senantiasa
membebani APBD Pemkab Malang.
Meskipun telah berbadan hukum Perseroan Terbatas, pada kenyataannya
status badan hukum PG Kigumas tersebut tidak bisa didayagunakan untuk membantu
kesulitan keuangan yang dihadapinya. Kesulitan yang dihadapi PT. Kigumas itu antara
lain karena mengalami kekurangan dana atau kesulitan likuiditas sehingga tidak bisa
beroperasi secara normal. Di samping itu ketidaklayakan teknis atas beberapa
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
135
komponen mesin pabrik juga menjadi penyebab tidak beroperasinya PG Kigumas
secara normal.
Pada saat itu, modal kerja yang tersedia jumlahnya sangat minim sekali, yakni
hanya sebesar Rp.1,5 milyar (6 % dari modal tetap). Kondisi itu diperparah lagi dengan
tenaga kerja yang dimiliki PGM Kigumas yang sebagian besar (90%) tergolong tenaga
kurang atau tidak memiliki pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan dalam
menjalankan proses pembuatan gula atau bagaimana memproduksi gula yang
berbahan baku tebu itu.
Lebih lanjut, Tim Auditor BPK juga menemukan pengeluaran Pemkab Malang
untuk investasi pada PT Kigumas yang belum tercatat dalam laporan keuangan tahun
buku 2004. Belum tercatatnya pengeluaran Pemerintah Kabupaten Malang sebagai
investasi (dan pelanggaran atas alokasi dana Kimbun ke Kigumas), dapat disimpulkan
sebagai telah bertentangan dengan pertama adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 29 Tahun 2002 mengenai Kebijakan Akuntansi Aktiva berupa Investasi Jangka
Panjang yang menyatakan bahwa Investasi jangka panjang adalah penyertaan modal
yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomis dalam jangka waktu lebih
dari satu periode akuntansi. Kedua adalah, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan investasi dalam bentuk penyertaan modal adalah
penyertaan modal Pemerintah Daerah yang dilakukan melalui Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
Langkah antisipatif untuk memastikan ada atau tidaknya persoalan pada PGM
Kigumas dilakukan Pemda Kabupaten Malang adalah melakukan audit ketaatan
(compliance audit). Pemkab Malang menunjuk KAP Koenta Adji Koerniawan untuk
melakukan audit tersebut. Hasil audit ketaatan terhadap PT.Kigumas mengungkapkan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
136
adanya temuan (audit findings) berupa 17 item pekerjaan mesin dan 22 item pekerjaan
sipil yang belum ada perjanjiannya. Saran auditor adalah agar pekerjaan-pekerjaan
tersebut dibuatkan addendum kontraknya.
Hasil audit KAP bernomor: 10/ATS.GA10/240603/S/2003 tanggal 24 Juni 2003
yang mencakup periode tahun 2001 sampai tanggal 13 Juni 2003 (tanggal cut-off),
antara lain menyatakan bahwa hasil audit atas Investasi Pemerintah Kabupaten
Malang pada Proyek PT. Kigumas di Desa Ganjaran Gondanglegi Malang tersebut
adalah sebagai berikut:
“.… kegiatan investasi Kigumas sampai dengan tahun 2003, kecuali atas hal-hal yang dimuat dalam uraian hasil audit (terlampir), telah dilaksanakan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam perundang-undangan…perubahan dan penambahan volume desain berakibat pada bertambahnya dana yang harus dianggarkan maupun dikeluarkan oleh pihak manajemen dalam hal ini Pemkab Malang…”
Temuan dalam general audit BPK RI dan hasil audit ketaatan merupakan modal
awal yang dimiliki penyelidik Kejaksaan Negeri Kepanjen. Pemanggilan atas terperiksa
dilakukan penyelidik kepada terperiksa yang antara lain adalah: Pratjojo, Sutarto, dan
Talahatu yang dilakukan penyelidik serta berdasarkan pada data, fakta, bukti,
keterangan dan informasi yang ada telah berkesesuaian dengan perbuatan Bahri lalu
terbentuklah visum akuntansi forensik level penyelidikan. Dengan demikian penyelidik
dapat menyimpulkan bahwa Konsultan Pengawas dan Perencanaan untuk pekerjaan
Pabrik Gula Kigumas yang dalam hal ini adalah Bahri selaku Ketua LPM UB dapat
disangka terlibat tindak pidana korupsi. .
Sebagaimana tertulis dalam Dakwaan, Penyelidik dapat menyimpulkan
keterangan Pratjoyo sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
137
Bahwa Pratjojo ikut dalam menyusun RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) sehinggan menjadi DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) Kimbun (Kawasan Industri Perkebunan) berbasis tebu Tahun 2004… Keikutsertaan Pratjoyo tersebut karena dalam penyusunan RASK itu adalah karena jabatan Pratjojo sebagai Kepala Seksi Dinas Produksi dan Perlindungan tanaman. Tim penyusunan RASK adalah Kepala Dinas, para Kasubdin, Kabag TU, dan para Kasi… Bahwa dalam tahun 2004 tidak ada pekerjaan yang dilakukan LPM UB yang diketuai oleh Tersangka Bahri … Bahwa proses pencairan yang diterima tersangka Bahri sebesar Rp.645.987.000 dalam tahun 2004 karena adanya addendum kontrak No. 05 Tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 tentang pekerjaan pengawasan keadaan mesin pabrikasi PGM Kigumas tahap II dan addendum No. 06 Tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 tentang Konsultan Pengawasan Pembangunan Gedung dan Sumur Bor PG Kigumas tahap III..” “Bahwa dasar sehingga diketahui bahwa pekerjaan perencanaan LPM UB tidak ada lagi adalah karena dalam addendum pekerjaan bangunan sipil dan mesin pabrikasi dibuat pada tanggal 6 Agustus 2003, dengan demikian kontraktor bangunan sipil dan bangunan mesin pabrikasi bekerja lebih dahulu daripada pekerjaan konsultan. Bahwa pada bulan Juni 2003 LPM UB Malang telah menerbitkan leaflet hasil pengawasan pelaksanaan pekerjaan bangunan mesin dan bangunan pabrik yang didalamnya berisi saran penyempurnaan pabrikasi dan penambahan 1 (satu) unit gilingan dan 1 (satu) unit Bagase Drier. Sedangkan 11 (sebelas) pekerjaan dalam addendum kontrak bangunan sipil sudah direncanakan dan masuk dalam justifikasi penentuan biaya investasi dan rencana penyelesaian pembangunan pilot proyek PG. Kigumas.
Sedangkan berdasarkan keterangan Sutarto Kepala Seksi Penyiapan Lahan,
sekaligus menjabat sebagai Pelaksana Kegiatan (PK) pemantau pelaksanaan
perkembangan kegiatan PGM Kigumas, dalam sebagian keterangannya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
“Bahwa dalam tahun 2004 tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan oleh LPM Universitas Brawijata Malang… “Bahwa dana kimbun berbasis tebu TA 2004 telah dipertanggungjawabkan oleh Ketua LPM Universitas Brawijaya Malang Syamsul Bahri pada tanggal 12 Februari 2004 selanjutnya dari Kasda pada tanggal 4 Maret 2004 yang diterima Bendaraha LPM UB sebesar Rp.645.987.000. Bahwa proses pencairan yang diterima Bahri sebesar Rp.645.987.000 dalam TA 2004 karena adanya addendum kontrak Nomor 5 ... Bahwa sisa Rp.948.859.800 dikurangi Rp.645.987.000 = Rp302.872.800 sudah dicairkan dan diterima oleh pihak LPM UB
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
138
Bahwa permintaan biaya perencanaan yang dilakukan LPM UB sebagaimana yang dimaksud dalam addendum tersebut Tidak ada lagi
Bahwa sesuai dengan Keppres 18 Tahun 2000 bahwa pekerjaan konsultan pengawasan tidak boleh digabungkan dengan konsultan perencanaan dalam addendum kontrak karena konsultan pengawas dan konsultan perencanaan mempunyai spesifikasi keahlian yang berbeda.
Dari dua keterangan yang diperoleh penyelidik dari Pratjoyo dan Purnomo dan
keterangan saksi-saksi lainnya, penyelidik sudah dapat meyakinkan dirinya bahwa
Bahri selaku Ketua LPM UB terlibat/tersangkut perkara PGM Kigumas. Persesuaian
dan korelasi adanya keterlibatan tersebut dapat kita lihat pada konsitensi keterangan
yang digaris bawahi dan dihitamkan tersebut. Karena itu Bahri kemudian dipanggil
untuk diminta keterangannya yang pada akhirnya dijadikan tersangka dalam tindak
pidana korupsi PGM Kigumas.
4.2.2. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Keterangan ahli adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat terang
dan jelasnya suatu perkara. Pemberi keterangan adalah seseorang yang mempunyai
keahlian pada suatu bidang ilmu pengetahuan khusus, mendalam dan komprehensif
yang berguna bagi terang benderangnya perkara.
Dari hasil keterangan ahli Sugitario yang merupakan seorang yang ahli di
bidang Filsafat Hukum, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang
dalam sebagian keterangannya dapat disimpulkan sebagai berikut:
“Bahwa apabila dana APBD TA.2004 untuk kegiatan KIMBUN berbasis tebu digunakan untuk PGM Kigumas yang telah dinyatakan selesai bulan September Tahun 2003 (dari penggunaan dana APBD tahun 2001, 2002, dan 2003) padahal sejak tanggal 10 September 2003 PG Kigumas telah berbadan hukum Perseroan Terbatas… adalah bertentangan dengan asas spesialitas dalam pengelolaan anggaran. Pelanggaran asas tersebut merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang…
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
139
Bahwa tidak diperbolehkan kegiatan pekerjaan pada TA 2003 tetapi anggaran untuk kegiatan tersebut tidak cukup tersedia atau tidak ada, sehingga dilakukan dengan pola pre-financing dan dibayar dari dana APBD tahun 2004 dari kegiatan lain. Justru jika dibayarkan maka akan terdapat perbuatan melawan hukum… dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan wewenang… melanggar asas akuntabilitas, asas tahunan dan asas spesialitas… yang dianut UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Bahwa sesuai dengan UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbedaharaan Negara
yang menganut asas kesatuan, universalitas, tahunan dan spesialitas… PP Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang mengatur APBD disusun berdasarkan pendekatan kinerja… tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan Peraturan daerah dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah… pembayaran kepada Bahri sebagai Ketua LPM UB… sebesar Rp.645.987.000 dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA 2004 tidak dapat dibenarkan karena tidak ada perubahan anggaran keuangan (PAK) dari DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) Kimbun awal untuk kegiatan PGM Kigumas.
Dengan demikian keterangan ahli yang disampaikan Sugitario, tersebut pada
dasarnya menyimpulkan bahwa pembayaran yang dilakukan Pemkab Malang kepada
LPM UB tersebut, tidak dapat dibenarkan, karena pembayaran seperti itu tidak
memenuhi asas spesialitas, asas akuntabilitas, dan asas-asas lainnya yang tercantum
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan PP
Nomor 105 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Di
samping itu, pembayaran semacam itu juga merupakan pelanggaran hukum karena
APBD Pemkab Malang TA 2004 tidak menganggarkan pembayaran pada PGM
Kigumas. Lebih lanjut, pembayaran itu juga merupakan kesalahan karena dalam
Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) juga tidak ada atau tidak tercantum perubahan
terhadap penggunaan dana KIMBUN untuk pendanaan kegiatan Kigumas,
Oleh karena itu, pembayaran yang dilakukan Pemkab Malang kepada LPM UB
yang dilakukan pada tahun 2004 itulah yang kemudian menjadi salah satu bukti atas
perkara tindak pidana korupsi. Salah satu alasannya adalah pembayaran itu dilakukan
pada tahun 2004 yang diambilkan dari dana Kimbun, padahal anggaran dana untuk
Kigumas telah habis di tahun 2003. Sebagai akibatnya, pembayaran kepada tersangka
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
140
Bahri yang mewakili LPM UB sebesar Rp.645.987.000,- sebagai jasa konsultan
pengawasan, ternyata dalam pelaksanaan pekerjaan perencanaan dan pengawasan
tersebut mengandung pekerjaan yang diduga fiktif yang jumlahnya sebesar
Rp.489.334.493,- sehingga dianggap dapat menimbulkan akibat terjadinya kerugian
keuangan Negara.
Berkaitan dengan pentingnya mengungkap niat jahat si pelaku, Tuanakotta
(2007, 48) mengatakan bahwa dalam melakukan korupsi (perpetrators‟ intent to
commit corruption) lebih banyak disebabkan karena tujuan proses litigasi di pengadilan
adalah ‗menilai perbuatan orang‘ dan bukan mendengar celoteh berkepanjangan
tentang kejahatan korupsi (the purpose of the court is to judge people not to hear
detail-rich stories of the crimes involved). Karena itu, proses penyelidikan harus
mampu memberikan gambaran jelas berupa chart and matrix serta deskripsi hubungan
antara satu fakta dengan fakta lainnya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya,
antara bukti satu dengan bukti lainnya yang terjalin secara berkelindan dan
komprehensif. Penyelidikan juga harus dapat menemukan bukti-bukti penguat, baik
berupa underlying financial evidence maupun corroboroting evidence serta alat bukti
lainnya sebagai dukungan atas eksistensi kejahatan yang diperbuat oleh si pelaku.
Yang dimaksud dengan underlying financial evidence adalah the book of original entry
(journal), ledgers, sub-ledgers and supporting worksheets, sedangkan corroboroting
evidence adalah documentation as canceled checks, bank statements, sales invoice,
vendor‟s invoices, vouchers, time cards, requisitions, purchase orders, bill of lading,
and shipping orders (Konrath, 2001, 114). Gejala atau simptom tindak pidana korupsi
dalam underlying financial evidence misalnya adalah dengan ditemukan adanya
kegagalan jurnal, tidak akuratnya buku besar (inaccurate ledgers), dokumen-dokumen
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
141
tidak asli (photocopy) dan/atau terjadinya pengubahan dokumen dengan membuat
dokumen baru, penulisan cek yang dilakukan secara berulang kali dan lainnya.
Berkaitan dengan keterangan ahli, Advokat Kaligis (2008, v) yang sering
mendampingi kliennya pada perkara tindak pidana korupsi mengeluh dengan
menyatakan dalam tulisannya sebagai berikut:
“Di dalam praktik, baik judex factie16
, judex juris, Jaksa Penuntut Umum, dengan mudahnya mengenyampingkan pendapat ahli, meskipun pendapatnya itu sangat menentukan… Sangat umum kita melihat satu putusan hakim dengan pertimbangan yang menyatakan sebagai berikut: “Pendapat ahli dari penasehat hukum telah dipertimbangkan”,.. padahal, kalau saya melihat konsiderans halaman per halaman, justru pertimbangan itu tidak saya temukan… ”
Pengenyampingan pendapat ahli (yang merupakan alat bukti keterangan ahli)
seperti yang dikatakan Kaligis tersebut tentu merugikan para pencari keadilan dan tidak
dapat dibenarkan. Bagi saya, pengenyampingan atas pendapat ahli tersebut sudah
seharusnya disertasi dengan alasan yang rasional atau berbasis hukum oleh hakim
yang memutus perkara atas tidak dimuatnya pendapat/keterangan ahli dalam
konsideran-konsideran putusannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka putusan hakim
akan jauh dari rasa keadilan..
Dalam praktik persidangan pada perkara tindak pidana korupsi, pada dasarnya
saksi dapat kita bedakan dalam dua kategori, yakni saksi yang meringankan (a de-
charge) dan saksi yang memberatkan tersangka (a-charge). Ungkapan Kaligis
menyiratkan bahwa dalam putusan hakim banyak terjadi pengenyampingan pendapat
(keterangan) ahli manakala keterangan ahli yang disampaikan di persidangan tersebut
adalah saksi yang dibawa oleh terdakwa untuk meringankan atau membebaskannya
dari jeratan hukum.
16
Judex factie adalah sebutan bagi Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama) dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (Majelis Hakim Tingkat Banding. Sedangkan Judex Jurist adalah sebutan bagi Majelis Hakim pada Mahkamah Agung (Majelis Hakim Tingkat Kasasi).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
142
4.2.3. Alat Bukti Surat
Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni
surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah.
Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah seperti: Berita Acara Pemeriksaan
(BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan ahli sidik jari
(daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, Laporan Hasil Audit Investigatif, Laporan
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara termasuk juga kontrak, kesepakatan, atau
surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.
Pada perkara Bahri, fokus penyelidikan lebih diarahkan pada mencari dan
menemukan alat bukti surat yaitu memastikan dan menghitung jumlah Kerugian
Keuangan Negara, karena, pembuktian yang paling rumit dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah pada pembuktian adanya unsur jumlah kerugian keuangan
Negara. Laporan hasil penghitungan keuangan Negara itu akan disebut sebagai ‗alat
bukti surat‘. Pada perkara Bahri, salah satu alat bukti surat yang penting adalah
diperolehnya Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dihitung
oleh BPKP Perwakilan Jawa Timur oleh Penyelidik.
Mengapa angka kerugian keuangan negara ini penting bagi perkara Bahri?
Karena kesalahan prosedur atas perkara ini sangat jelas. Misalnya pekerjaan fisik dan
mesin dilakukan tetapi kontrak atas pekerjaan itu tidak ada. Kesalahan lain yang dapat
ditemukan adalah penggunaan dana KIMBUN untuk pembayaran KIGUMAS, dan
lainnya. Namun adanya pelanggaran semacam itu yang kemudian dilengkapi dengan
mewujudnya unsur kerugian keuangan Negara dan ada pihak lain yang diuntungkan
bukanlah pekerjaan yang mudah.
Karena itu, dengan sangat percaya diri kemudian Bahri dalam pembelaan
(pledoi)-nya mengatakan bahwa tidak semua perbuatan memperkaya itu mengandung
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
143
sifat melawan hukum dan tidak semua perbuatan memperkaya yang melawan hukum
itu merupakan tindak pidana korupsi (Lihat Pledoi Bahri, pada hal. 40). Kalimat Bahri itu
dapat diterjemahkan bahwa suatu perbuatan memperkaya diri itu akan dapat
berkategori sebagai tindak pidana korupsi, manakala perbuatan memperkaya diri yang
melawan hukum itu harus dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara. Adanya kerugian negara tentu akan berdampak pada adanya
keuntungan pada pihak lain. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa
pelanggaran atas suatu ketentuan tertulis atau Undang-undang, jika tidak
memunculkan adanya kerugian keuangan negara akan hanya disebut sebagai
pelanggaran hukum administrasi semata dan bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Pelanggaran administrasi bisa dilakukan perbaikannya dengan memperbaiki
administratifnya yang dilanggar hingga administrasi itu menjadi benar.
Berbasis Alat Bukti Surat, tuduhan kepada Bahri atas penerimaan dana
pembayaran kepada LPM UB sebesar Rp.489.334.493,- (atas tuduhan pekerjaan
―fiktif‖) dimana pembayaran tersebut dilakukan oleh Talahatu (Kepala Disbun Pemkab
Malang), menurut Bahri tuduhan itu merupakan tuduhan yang mengada-ada dan tidak
logis. Saat saya tanyakan kepada Bahri, apa benar pekerjaan LPM UB itu fiktif? Bahri
menjawab:
“Saya heran kenapa pekerjaan LPM UB dikatakan fiktif? Padahal pekerjaan LPM UB telah dilakukan secara keseluruhan, Berita Acara Penyerahan Pekerjaan ke Pemkab Malang ada, kemudian pekerjaan LPM UB itu ada dan riil, kok dikatakan fiktif itu bagaimana?, logika macam apa yang dipakai? Ada motif apa dibelakangnya? Apakah karena saya terpilih sebagai Anggota KPU Pusat, kemudian ada orang yang tidak suka atau motif-motif jahat lainnya lalu memperkarakan saya… Pak Djito sebagai Ketua Tim juga telah mengatakan kepada saya bahwa pekerjaan telah dilaksanakan, lalu kok masih juga dikatakan fiktif ini bagaimana? “
Pada dasarnya, menurut Bahri pekerjaan fisik dan mesin itu telah dilakukan
oleh LPM UB pada tahun 2003 dan pekerjaan itulah yang kemudian dibayar Talahatu.
Pembayaran atas addendum No. 05 dan No. 06 tahun 2003 yang bertanggal sama,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
144
yakni 9 Agustus 2003 itu logis dan wajar, karena addendum pekerjaan penambahan
dan perubahan (CCO atau Contract Change Order) Nomor 05 dan 06 itu
pertanggungjawaban pekerjaannya telah dibuat Berita Acara Serah Terima
pekerjaan pada tanggal 31 Oktober 2003 dengan Nomor: 742-1/J10.3/PM/2003
Perlu kita ketahui bahwa dasar sangkaan kepada Bahri sebenarnya juga
berasal dari Dakwaan kepada Talahatu yang didakwa melakukan 3 (tiga) tindak pidana
korupsi, yaitu: pertama adalah, membayar Sami‘an (CV.Sami Jaya) sebesar
Rp.994.392.647 dengan mark-up atas pekerjaan (hasil audit BPKP Negara dirugikan
sebesar Rp.259.630.481). Kedua adalah, membayar LPM UB sebesar
Rp.489.334.439 atas pekerjaan fiktif, dan ketiga membayar Rp.170 juta kepada
Sami‘an atas pinjaman DPRD atas perintah Santoso, Fakta, data dan barang bukti
tersebut dapat disimpulkan oleh BPKP bahwa telah terjadi kerugian Negara paling
tidak sebesar Rp.259.630.489. Perkara Talahatu inilah kemudian dihubungkan dengan
Bahri (bersama-sama dan/atau turut serta) melalui pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP,
dimana dalam tuduhan primer, Bahri dituduh menerima pembayaran fiktif, sedangkan
Talahatu adalah orang yang melakukan pembayaran fiktif tersebut. Pada tuduhan
subsidair, Bahri dituduh dengan menyalahgunakan wewenang sebagai Ketua LPM UB,
kemudian mengajukan permohonan pembayaran pekerjaan kepada Talahatu, dimana
pekerjaan yang diminta pembayarannya itu adalah fiktif.
Perlu diketahui juga bahwa hasil audit investigatif BPKP Perwakilan Jawa
Timur menyatakan bahwa produk penyempurnaan (tambahan dan perubahan –
dikenal dengan istilah CCO) atas perencanaan LPM UB itu tidak ada (nihil), tetapi
produk pengawasan itu ada, yakni senilai Rp.156.625.507. Padahal terdapat
pembayaran kepada LPM UB sebesar Rp.645.987.0000. Jadi, menurut simpulan audit
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
145
BPKP, Negara telah dirugikan sebesar Rp.489.334.493,- (hasil dari Rp.645.987.0000
dikurangi dengan Rp.156.625.507).
Berkaitan dengan apa kaitan antara kerugian Negara, memperkaya dan
melawan hukum, Chazawi yang terlibat dalam Tim Bantuan Hukum atas Perkara Bahri
berpendapat sebagai berikut:
“Perbuatan memperkaya dan melawan hukum merupakan satu kesatuan, dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pada dasarnya perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi merupakan perbuatan hukum. Singkatnya perbuatan memperkaya diri adalah segala wujud perbuatan - bagaimanapun dan apapun caranya – yang dari perbuatan itu seseorang memperoleh kekayaan. Kekayaan merupakan segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Barulah perbuatan memperkaya tersebut dilarang, dan apabila di dalam perbuatan tersebut mengandung sifat melawan hukumnya.”
Dengan demikian, ungkapan Chazawi tersebut dapat diterjemahkan bahwa
suatu perbuatan untuk memperkaya (diri sendiri, orang lain atau korporasi) dapat saja
mengandung sifat melawan hukum hanya jika perbuatan tersebut tercela atau dicela
baik oleh perundang-undangan (biasa disebut sebagai melawan hukum formil) maupun
berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan masyarakat (biasa disebut sebagai
melawan hukum materiil). Artinya sifat melawan hukum memperkaya tersebut, bisa
jadi dan mungkin saja terjadi dapat disebabkan oleh perbuatan yang dilakukan si
pelaku tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (melawan
hukum formil), dan bisa saja karena bertentangan dengan asas kepatutan dan nilai-
nilai yang hidup serta melekat dan terbatinkan dalam kehidupan masyarakat (melawan
hukum materiil).
Masih berkaitan dengan alat bukti surat, pada kasus korupsi yang lain, yakni
kasus dakwaan tindak pidana korupsi yang menimpa Mantan Gubernur NAD Puteh
dilakukan penyelidik dengan bermodalkan AKP dari hasil audit BPK yang
menyimpulkan indikasi adanya tindak pidana korupsi terhadap pembelian Helikopter
MI-2 buatan PLC Rostov Rusia. Dalam pembelian helikopter yang kemudian
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
146
diserahterimakan sekitar bulan Maret 2003 ini diduga terjadi penggelembungan dana
alias mark-up. Rekanan pemerintah NAD adalah PT. Putra Pobiangan Mandiri.
Sinyalemen terjadinya mark-up dalam pembelian heli jenis MI-2 ini diketahui setelah
dihitung dengan cara membandingkan harga helikopter sejenis yang dibeli oleh TNI
Angkatan Laut. Helikopter MI-2 buatan PLC Rostov Rusia dibeli oleh Gubernur NAD
sebagai kendaraan operasional Pemerintah Provinsi seharga USD 1,25 juta, atau
sebanding dengan Rp 12,6 milyar. Di lain pihak, menurut informasi Kepala Dinas
Penerbangan TNI Angkatan Laut (Disnebal) Laksamana Pertama Yayun Riyanto,
harga pembelian helikopter dengan spesifikasi militer seperti ini adalah USD 350 ribu,
atau sebanding dengan cuma Rp.3,528 milyar. Manakala helikopter yang dibeli ini
dimodifikasi menjadi kendaraan VIP anti peluru, maka diperlukan dana tambahan
sebesar 50 persen dari harga helikopter. Jadi, harganya menurut hitung-hitungan TNI
AL paling banter akan menjadi USD 350 ribu + USD 175 ribu = USD 525 ribu, atau
sebanding dengan Rp 5,292 milyar. Artinya, Puteh diduga telah membeli helikopter
dengan harga yang terlalu mahal. Tak tanggung-tanggung, selisih harganya mencapai
sekitar USD 725 ribu, atau sebanding dengan Rp 7,308 milyar. Selisih harga inilah
yang menjadi sumber dugaan korupsi.
Kasus Puteh merupakan kasus pengalaman pertama bagi KPK untuk
melakukan penindakan terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Pada era ini, banyak
pengalaman KPK yang tidak mengenakkan. Salah satunya adalah ketika Sjahruddin
Rasul - Wakil Ketua KPK, yang juga Mantan Direktur Pengawasan Khusus BPKP,
yang memiliki spesialisasi penanganan terhadap perkara korupsi - mengatakan bahwa
di 6 (enam) bulan pertama saat harus berhadapan dengan masyarakat, tak jarang
ketika melakukan sosialiasi khususnya kepada mahasiswa, Rasul dicela oleh
Mahasiswa: ‖Ah cuma bicara kosong doang nich, nggak pernah menangkap satu pun
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
147
koruptor.‖ Rasul tak bisa menjawab, karena realitasnya adalah seperti itu. ‖Mana
koruptor yang sudah ditangkap KPK? Bisanya cuma ngomong doang nggak ada
koruptor yang digantung tuh. Sudah gaji besar nggak ada yang ditangkap makan gaji
buta lah.‖ Rasul hanya bisa mengelus dada. ‖padahal, waktu itu kami belum terima
gaji‖ katanya.
Karena kasus Puteh adalah kasus pertama yang ditangani KPK, maka untuk
melakukan penyelidikan dan penggalian dan pencarian informasi atas keterlibatan
Puteh dalam kasus mark up pembelian helikopter jenis MI-2 itu bukan hal mudah, dan
itu merupakan tantangan besar bagi KPK. Dengan tantangan besar seperti itu,
penyelidik KPK sengaja melibatkan pimpinan KPK Sjahruddin Rasul untuk terlibat
dalam penyelidikan kasus Puteh ini. Bekerja dengan peralatan seadanya, penyelidikan
dan penggalian informasi dilakukan dari berbagai sumber, termasuk sambil jalan-jalan
untuk sekadar minum kopi Aceh yang terkenal itu. Ketika menyisir untuk menggali
informasi, Rasul sempat nyasar sampai ke wilayah kekuasaan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Namun, tak sia-sia upaya berani yang dilakukan tim KPK tersebut, berbagai
informasi dapat masuk dengan lancar, dan KPK juga bisa mendapatkan bukti kuat atas
adanya penggelembungan dana pembelian helikopter jenis MI-2 yang melibatkan
Gubernur NAD, Puteh. Tumpak Hatorangan Panggabean (yang biasa dipanggil ―THP‖)
mengatakan bahwa dari sekian banyak bukti yang diperoleh itu, yang jelas-jelas dapat
menguatkan penyelidikan untuk ditingkatkan menjadi penyidikan serta menyeret ke
pengadilan adalah ditemukannya bukti ―transfer uang‖ ke rekening pribadi Puteh.
Dengan ditemukannya bukti transfer uang ke rekening pribadi tersebut, sesuai
dengan bunyi UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
pasal 44 yang memformulasikan bahwa jika penyelidik dalam melakukan
penyelidikannya menemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya dugaan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
148
tindak pidana korupsi maka dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Bukti permulaan yang cukup
tersebut dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti yang sah - termasuk dan tidak terbatas - pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun secara
elektronik atau optik.
Pada kasus Puteh, berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang terkumpul,
Jaksa Penuntut Umum membangun Dakwaannya sebagai berikut:
“Bahwa terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, M.Si Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik bertindak sendiri-sendiri atau bersama dan bersekutu dengan saksi BRAM HD MANOPPO, MBA Presiden Direktur PT PUTRA POBIAGAN MANDIRI (PPM) yang perkaranya diajukan secara tersendiri, telah melakukan serangkaian perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan yang dilanjutkan, pada hari tanggal yang tak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Pebruari 2001 sampai dengan Juli 2004 atau setidak-tidaknya tahun 2001 sampai dengan tahun 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam atau setidak-tidaknya di temapt-tempat lain yang berdasarkan pasal 54 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, rangkaian perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut… Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa, telah memperkaya terdakwa sendiri atau saksi BRAM HD MANOPPO, MBA atau orang laian atau PT PUTRA POBIAGAN MANDIRI (PPM) yang telah atau setidak-tidaknya dapat merugikan keuangan Negara Rp13.687.500.000 (tiga belas miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sejumlah Rp.10.087.500.000 (sepuluh miliar delapan ratus delapan puluh juta lima ratus ribu rupiah) yang dihitung dari jumlah pengeluaran uang kas Bendaharawan Umum Daerah Rp.13.687.500.000 (tiga belas miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dikurangi dengan jumlah pengembalian ke rekening Kas Daerah yang disetor kembali oleh terdakwa Rp.3.600.000.000 (tiga miliar enam ratus juta rupiah) sebagaimana hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh ahli dari Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan sesuai surat nomor SR-548/D6/1/2004 tanggal 9 Nopember 2004, atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
149
Dalam konstruksi Dakwaan tersebut, masih menyisakan problematika soal
penafsiran ―status akuntan BPKP‖ dalam kapasitasnya sebagai penghitung besarnya
kerugian keuangan negara. Pertanyaannya adalah, apakah BPKP yang ditugaskan
untuk menghitung dan memastikan besarnya kerugian keuangan negara akan
dimasukkan dalam kategori sebagai ―saksi fakta‖ (karena auditor telah masuk pada
materi perkara, atau sebagai seorang ahli yang memberikan keterangan (yang
seharusnya tidak menyentuh materi perkara) ?
Kerancuan penafsiran tersebut mengemuka karena sistem hukum Indonesia
tidak mengenal ―expert witness‖ sebagaimana negara-negara yang menganut common
law (anglo saxon) yang dapat mengemukakan pandangannya mengenai kasus yang
ditanganinya. Dalam sistem common law, expert witness dapat membantu
menjernihkan persoalan dan/atau membuat terangnya perkara dengan cara dia masuk
pada materi perkara yang kemudian melakukan eksplorasi dan mempertautkan apa
saja yang dapat memperkuat bukti Dakwaan yang diperlukan di pengadilan.
Oleh karena itu, di Indonesia, kerancuan tersebut terjadi lebih disebabkan
karena auditor BPKP untuk dapat menghitung kerugian Negara tentu terlebih dahulu
harus mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta berupa angka dan
dokumen, hal ini dalam perspektif hukum pembuktian, auditor tersebut telah
menyentuh materi perkara. Bilamana seseorang telah menyentuh materi perkara tentu
dia bukan lagi sebagai pemberi keterangan ahli, namun ia termasuk ―saksi‖ (saksi
fakta). Sosok pemberi ―keterangan ahli‖ dalam perspektif hukum Indonesia akan
memberikan pandangan atau pendapat ilmiahnya, atau kemampuan akademisnya,
atau profesionalitasnya atas hal-hal tertentuyang sangat dikuasainya. Dia tidak
menyentuh materi perkara, dia adalah orang yang jauh dari fakta-fakta perkara.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
150
Hal mana juga diungkapkan oleh Kustaryo dengan mengatakan sebagai
berikut:
“Saat sidang di Surabaya, saat ahli dari BPKP menjelaskan temuannya di Pengadilan atas kerugian Negara yang dihitungnya, saya kemudian bertanya: apakah saudara ini seorang ahli yang memberikan keterangan ahlinya? ataukah saudara ini adalah saksi yang menjelaskan fakta-fakta atas perkara korupsi ini? Karena agenda persidangan saat ini adalah mendengarkan keterangan dari ahli, dan bukan mendengarkan saksi? Kalau saudara memberi keterangan ahli sudah seharusnya saudara tidak mengetahui fakta-fakta dalam perkara ini, dan jika sudara fakta-fakta atau materi perkara, berarti saudara bukan ahli.
Perbedaan penafsiran ―teks‖ aturan seperti ini, manakala tidak segera
diselesaikan, tentu akan senantiasa memunculkan perdebatan dan ketidakjelasan atas
status auditor penghitung kerugian keuangan negara, apakah dia termasuk menjadi
saksi [?] atau pemberi keterangan ahli [?] Karena keduanya memiliki kekuatan
pembuktian yang berbeda dan konsekuensi hukum yang berbeda pula.
Sebagai tambahan, dalam perspektif hukum Indonesia, tidak dikenal apa yang
disebut dengan ―expert witness‖ seperti yang banyak disebut dalam literatur luar negeri
yang mendayagunakan hasil audit forensik yang dilakukan akuntan. Indonesia hanya
mengenal ―ahli‖ yakni seseorang yang dimintai keterangan mengenai keahliannya dan
bukan orang yang menyentuh materi perkara.
Namun, Agus (advokat) mengungkapan hal yang sebaliknya, sebenarnya saat
saya tanya, kalau akuntan telah menyentuh materi perkara dalam investigasinya untuk
menghitung nilai kerugian keuangan negara, lalu apakah status auditor investigatif
BPKP tersebut menjadi ―saksi fakta‖ atau sebagai ―ahli‖? Agus menjawab:
―Sebenarnya status akuntan akan menjadi saksi fakta atau ahli akan terlihat secara jelas dalam pertimbangan hakim saat hakim memutus perkaranya. Di sana hakim akan memilah-milah mana yang masuk dalam keterangan ahli dan mana yang masuk saksi fakta. Karena dalam diri si akuntan, boleh jadi dalam persidangan yakni saat cross examination, boleh jadi akan mengutarakan temuan dan perhitungan kerugian negara maupun beberapa hal yang berkaitan dengan keahliannya. Karena dalam persidangan hakim, jaksa maupun advokat bisa saja bertanya mengenai temuan auditor maupun hal-hal yang berkait dengan keahlian auditor.”
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
151
Jawaban Agus sangat normatif, yakni akan terlihat statusnya dalam
pertimbangan hakim saat mengambil putusan hukum, padahal status ini penting saat
persidangan sedang berlangsung. Artinya, persoalan status itui bukan pada soal
pemilahan hakim dalam memilah keterangan auditor tersebut sebagai keterangan dari
saksi atau dari seorang ahli, melainkan lebih pada saat persidangan berlangsung.
Pada umumnya pertanyaan standar yang disampaikan advokat adalah status auditor
tersebut. Lalu pertanyaan saya kepada informan Fauzi, bagaimana halnya dengan
dokter forensik, apakah ia dalam kategori saksi fakta atau ahli? Fauzi menjawab:
Dokter forensik adalah ahli, karena dia tidak menyentuh materi perkara. Kalau ia melakukan otopsi atau bedah mayat, mayat itu didatangkan penyidik dan bukan oleh dokter forensik. Cara kerja akuntan berbeda dengan dokter, akuntan akan diberi dan mempelajari BAP, kemudian datang ke lapangan dan mencari data-data dan baru kemudian melakukan investigasi atau audit dan ujungnya adalah temuan audit dan puncaknya adalah perhitungan kerugian negara. Dengan demikian, menurut saya, akuntan adalah saksi fakta dan bukan ahli karena itu akuntan masuk keterangan akuntan di pengadilan termasuk dalam jenis alat bukti saksi, sedangkan dokter forensik, akan termasuk dalam jenis alat bukti keterangan ahli”
Menurut saya, sebenarnya kerja dokter forensik dengan auditor investigatif itu
sama saja, yakni bahan-bahan untuk dijadikan bukti forensik (bukti yang dibawa ke
pengadilan) adalah sama, yakni bahan bukti sama-sama dari penyidik. Perbedaannya
adalah pada obyeknya, dokter forensik obyeknya berupa mayat, sedangkan auditor
investigatif bahan buktinya berupa sederetan angka-angka, jurnal, buku besar,
rekening Koran dan lainnya.
Dari dialog di atas, dapat disimpulkan bahwa ―status‖ akuntan sebagai auditor
investigatif dan kemudian malakukan perhitungan kerugian Negara, dalam domain
hukum acara (KUHAP) di Indonesia masih ―problematis‖. Problematika itu akan dapat
diatasi dan memiliki kepastian penafsiran seyogyanya dilakuan suatu permohonan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan judicial review itu penting untuk
lebih memastikan terhadap status auditor investigatif dalam persidangan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
152
Pada sisi yang lain, namun masih terkait dengan persoalan kerugian Negara,
yakni vonis hakim di pengadilan banding atas kasus Puteh ditemukan angka riil
kerugian negara sebesar Rp.1.714.350.000. Angka ini diperoleh dengan pertimbangan
hukum sebagai berikut:
―Memperhitungkan dari jumlah milik Pemerintah Daerah NAD yang masih ada dalam kekuasaannya (Rp.750.000.000) ditambah dengan uang yang oleh terdakwa diperintahkan diserahkan pada orang lain yang tidak berhak untuk itu yakni TEUKU DJOHAN BASYAR sebesar Rp.964.350.000 di mana uang yang telah dikuasainya oleh terdakwa sudah dibayarkan untuk pembayaran Helikopter M1-2 tersebut dan selebihnya seluruhnya telah dikembalikan ke Kas Daerah Pripinsi NAD… yang harus dijadikan uang pengganti adalah sebesar Rp.750.000.000 ditambah Rp.964.350.000 sama dengan Rp.1.714.350.000.
Sebenarnya dalam pertimbangan Pengadilan Tinggi Tipikor tersebut tidak
terdapat pertimbangan yang dapat ditarik dari penjelasan atau keterangan tentang
peranan hasil audit investigatif BPKP (kerugian negara vesi BPKP adalah
Rp.13.687.500.000) yang dipakai dasar oleh JPU dalam surat dakwaannya ditambah
dengan perhitungan JPU sendiri yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh di
persidangan yang kemudian angkanya menjadi Rp.10.087.500.000.
Menurut saya, perhitungan kerugian negara yang dbuat oleh hakim Pengadilan
Tinggi lebih rasional dibanding dengan perhitungan JPU maupun BPKP. Penentuan
kerugian negara oleh JPU maupun BPKP cenderung untuk dibesar-besarkan yang
sebenarnya kurang logis. Kebiasaan membesar-besarkan angka kerugian atau
mematok angka yang lebih besar mungkin dan boleh jadi dipengaruhi oleh fungsi dan
tugas jaksa sebagai penuntut umum. Dengan pertimbangan toh hakimlah yang pada
akhirnya akan memutuskan berapa nilai kerugian negara tersebut.
Dengan demikian, hasil audit BPKP telah tidak berfungsi maksimal. Hanya JPU
yang lebih percaya dan digunakan sebagai landasan dakwaan dan tuntutannya,
sedangkan hakim tidak terpengaruh dengan angka perhitungan negara yang dibuat
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
153
oleh BPKP. Hakim pengadilan tinggi telah membuat perhitungan sendiri berdasarkan
logika dan kepatutan.
Dengan fakta seperti itu, dapat disimpulkan bahwa dalam soal perhitungan
negara terjadi gap yang menganga antara auditor BPKP, JPU dan Hakim. Gap itu
menjadikan angka kerugian negara yang dibuat oleh ketiganya menghasilkan angka
yang berbeda-beda. Menurut saya itu terjadi karena penguasaan pengetahuan hukum
yang dimiliki BPKP tidak sejalan dengan JPU dan Hakim, demikian juga sebaliknya
pengetahuan akuntansi dan keuangan yang dimiliki JPU dan Hakim juga tidak sesuai
dengan yang dimiliki BPKP. Inilah persoalan tafsir menafsir (hermeneutika).
Pada sisi lain, dalam alat bukti surat pada perkara dakwaan tindak pidana
korupsi yang didakwakan kepada Puteh, jumlah Kerugian Keuangan Negara yang
dihitung BPKP adalah sebesar Rp.11 Milyar setara dengan harga beli Helikopter itu.
Oleh karena itu, Kaligis, Advokat yang menjadi pembela hukum Puteh menyatakan
bahwa jumlah perhitungan keuangan Negara yang dilakukan terhadap kasus ini tidak
fair dan tidak valid. Kaligis mengatakan sebagai berikut:
“Penghitungan kerugian keuangan Negara/Daerah dengan tidak memasukkan dan/atau menghitung dan/atau memperhitungkan harga jual Helikopter dan/atau jumlah pembayaran yang dilakukan… dan kemudian dijadikan dasar tuntutan adalah sangat bertentangan dan sangat keliru serta sangat mengandung kesalahan yang mendasar baik menurut standar akuntansi umum maupun standar akuntansi pemerintah daerah… Dalam perhitungan keuangan… secara umum bahwa sesuatu barang baik yang telah dibeli.. telah memiliki nilai-nilai yang harus diperhitungkan terutama bila pihak pembeli telah mengeluarkan sejumlah uang. Dalam perhitungan keuangan, setiap barang ekonomis pasti memiliki suatu harga dan/atau nilai ekonomis.. dan tidak ada barang ekonomis tidak mempunyai harga dan/atau nilai ekonomis yang dapat diterjemahkan dalam satuan nilai tukar uang... Dalam dakwaan maupun dalam tuntutan.. tidak ada suatu dasar dalam menghitung harga helikopter… padahal fakta-fakta yang terungkap dalam sidang di pengadilan.. helikopter tersebut mempunyai harga dan nilai ekonomis yang dapat dikuantifikasikan ke dalam nilai satuan mata uang sehingga kerugian Negara tidaklah dalam jumlah yang didalilkan Penuntut Umum…”
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
154
Ungkapan Kaligis merupakan wujud bentuk protesnya terhadap hasil
penghitungan kerugian Negara yang tidak akurat. Artinya, penghitungan kerugian itu
harusnya tidak pada harga (net out-flows) pembelian helikopter saja, namun juga harus
mempertimbangkan pengurang dari nilai/harga pasar helikopter itu. Perhitungan
kerugian negara semacam itu dikatakannya sebagai perhitungan yang tidak fair, tidak
akurat dan tidak valid.
Kembali ke perkara Bahri, temuan BPK RI dalam general audit atas Laporan
Pertanggungjawaban Keuangan Pemkab Malang, untuk Tahun Anggaran 2003,
berdasarkan DASK No. 180/577/KEP/421.012/2003 tertanggal 18 September 2003
Pemerintah Kabupaten Malang telah mengalokasikan Belanja Modal untuk kegiatan
Pembangunan Gedung Utama dan Sumur Bor Pabrik Gula KIGUMAS Tahap III
jumlahnya adalah Rp.2.315.551.164. Pekerjaan tersebut dilaksanakan melalui
pelelangan terbatas yang diikuti oleh 3 (tiga) rekanan sebagai berikut :
Tabel 4-5 DAFTAR REKANAN PT. KIGUMAS
REKANAN
ALAMAT
CV Sami Jaya Jalan Adimulyo No 77 Kepanjen Malang
CV Biro Bangunan Abadi Jalan Keramik No 308 Malang
PT Sumber Sarana Mitra Sejati Jalan Widodaren No 7 Malang
Sumber: Laporan BPK RI Perwakilan Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal : 26 April 2005
Dalam proses lelang, yang dinyatakan sebagai pemenang lelang adalah PT.
Sumber Sarana Mitra Sejati. Setelah ditetapkan sebagai pemenang, Pelaksanaan
pekerjaan dilakukan berbasis kontrak Nomor 525/391/Kontrak/429.117/2003 tertanggal
10 Maret 2003 senilai Rp.1.079.320.000. Berdasarkan penelitian terhadap dokumen-
dokumen kontrak, diketahui telah terjadi beberapa kejanggalan, antara lain
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
155
adalah Perhitungan PPN pada kontrak dengan PT. Sumber Sarana Mitra Sejati
tersebut tidak benar. Temuan itu adalah sebagai berikut:
Tabel 4-6 PERHITUNGAN PPN PT SUMBER SARANA MITRA SEJATI
URAIAN URAIAN SEHARUSNYA (Rp)
TERTULIS (Rp)
Nilai Fisik 981.200.000 989.377.205,82
Nilai PPN 10 % 98.120.000 89.993.382
Nilai Kontrak 1.079.320.000 1.079.320.588 Sumber: Laporan BPK RI Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005
Lebih lanjut, dokumen penawaran dari 3 (tiga) rekanan yang ikut pelelangan
sama persis dari segi format dan tampilannya. Hal ini terlihat antara lain dari pilihan
jenis huruf dan garis-garis pembatas dalam tabel perhitungan yang terdapat pada
Rencana Anggaran Biaya (RAB). Tim audit BPK RI, dalam hasil wawancara dengan
wakil LPM UB selaku pengawas lapangan, kemudian memperoleh bukti bahwa semua
penawaran rekanan tersebut memang dibuat oleh satu pihak, yaitu LPM UB sendiri.
Dalam proses pengajuan penawaran, rekanan hanya diminta menyediakan kertas ber-
‗kop‘ atas nama masing-masing dan menandatangani kontrak yang sudah jadi. Lebih
lanjut, diketahui bahwa selain membuatkan kontrak penawaran atas ketiga rekanan
tersebut, LPM UB juga menyusun Engineer Estimate (EE) dan Owner Estimate (OE)
yang seharusnya tidak dilakukannya.
Uraian tersebut di atas dapat membuktikan bahwa pelaksanaan pelelangan
dilakukan tidak sesuai ketentuan, penuh rekayasa atau dengan kata lain hanya
sekedar formalitas belaka. Tim Auditor BPK RI menilai bahwa dalam pelelangan ini
diduga diwarnai adanya/terjadinya ‗kolusi‘ antara perencana, pelaksana, dan pemberi
kerja. Kenyataan ini tidak dibantah baik oleh Panitia Lelang yang mewakili pemberi
kerja maupun pihak LPM Universitas Brawijaya selaku perencana.
Kolusi dalam pelelangan ini semakin tampak jelas dan nyata dengan adanya
addendum kontrak No. 04 Tahun 2003 tanggal 6 Agustus 2003 terhadap kontrak
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
156
nomor 525/391/Kontrak/429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 tersebut di atas. Dari
wawancara yang dilakukan Tim Auditor BPK-RI dengan Sami‘an (Direktur CV. Sami
Jaya sebagai pemenang Cadangan II), diperoleh pengakuan bahwa sejak kontrak
awal, pekerjaan dilaksanakan oleh CV. Sami Jaya, sedangkan PT. Sumber Sarana
Mitra Sejati hanya berperan menandatangani kontrak saja. Addendum Kontrak No. 04
tersebut meliputi perubahan volume pekerjaan, jaminan pelaksanaan pekerjaan,
jangka waktu pelaksanaan, jaminan pemeliharaan dan tata cara pembayaran. Sesuai
dengan Surat Perintah Perubahan Pekerjaan Nomor 525/469/421.108/2003 tanggal 5
Agustus 2003 volume pekerjaan berubah, semula senilai Rp.1.079.320.000 menjadi
Rp.3.917.443.000 sehingga nilai pekerjaan tambah sebesar Rp.2.838.123.000 atau
262,95 %. Sesuai dengan bukti-bukti kuitansi pembayaran, pekerjaan tambahan
tersebut telah dibayar dengan jumlah pembayaran keseluruhan sebesar
Rp.2.923.051.164 yang dapat dirinci sebagai berikut:
Tabel 4-7 DAFTAR SURAT PERINTAH MEMBAYAR UANG (SPMU) SPMU TANGGAL (RP)
No 1508/DAU//2003 14 Mei 2003 755.524.000
No. 4039/DAU/2003 4 September 2003 1.436.764.373
No. 6522/DAU/2003 12 Nopember 2003 584.610.232
No. 8464/PAD/2003 29 Desember 2003 146.152.559
Jumlah 2.923.051.164 Sumber: Laporan BPK RI Yogyakarta Nomor: 70/R/XIV.4/04/2005 Tanggal: 26 April 2005
Dengan data pencairan SPMU tersebut diketahui bahwa total realisasi
pembayaran pekerjaan melebihi nilai kontrak adalah sebesar Rp.2.923.051.164 minus
Rp.2.838.123.000=Rp.84.928.164. Berawal dari kejanggalan ini, Tim BPK RI
melakukan penelitian terhadap perhitungan nilai komponen pekerjaan yang
diperjanjikan dalam kontrak dan konfirmasi harga kepada pihak ketiga. Dari penelitian
dan konfirmasi tersebut, ternyata diketahui kelebihan pembayaran yang telah terjadi
tidak hanya Rp.84.928.164 melainkan sebesar Rp.223.568.38. Kelebihan pembayaran
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
157
ini terjadi pada pekerjaan pemasangan jaringan listrik dan pembelian timbangan,
dengan penjelasan bahwa tercantum uraian perijinan PLN jaringan TR 11.000 VA
seharga Rp.115.000.000 pada hal dari konfirmasi Tim kepada PLN setempat pada
tanggal 14 dan 15 Maret 2005 diperoleh informasi biaya pemasangan baru hanya akan
memakan biaya sebesar Rp.20.577.692.
Dari uraian di atas, kondisi yang demikian itu tentu tidak sesuai dengan
petunjuk Teknis Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah manakala terjadi
perubahan kegiatan pekerjaan menyebutkan bahwa pekerjaan tambah dalam rangka
penyelesaian pengadaan jasa pemborongan dan barang/jasa lainnya haruslah dengan
pertimbangan satu kesatuan tanggungjawab teknis, yang nilainya tidak boleh lebih dari
10 % (sepuluh per seratus) dari harga yang tercantum dalam surat perjanjian/kontrak
asal.
Selanjutnya, pada prosedur pelelangan dan evaluasi penawaran antara lain
menyatakan bahwa penawaran dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi,
apabila syarat-syarat yang diminta menurut dokumen lelang dipenuhi/dilengkapi dan isi
setiap dokumen benar serta dapat dipastikan bahwa dokumen penawaran ditanda
tangani oleh orang yang berwenang. Ternyata dokumen penawaran yang masuk
menunjukkan adanya persaingan yang tidak sehat, di mana telah terjadi pengaturan
bersama (kolusi) diantara para peserta dan atau dengan panitia lelang yang dapat
merugikan Negara dan atau peserta lainnya.
Dalam hasil auditnya, BPK RI juga menyatakan bahwa kondisi-kondisi
semacam itu tentu akan dapat mengakibatkan, Pertama adalah tidak tercapainya
tujuan dilakukannya pelelangan yaitu memperoleh rekanan yang professional dalam
bidangnya dengan harga penawaran terendah tetapi wajar. Kedua adalah, kerugian
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
158
pemerintah daerah minimal akan menuju pada angka Rp.223.568.381. Hal tersebut
terjadi karena unsur kesengajaan dari panitia lelang, perencana (LPM UB) dan
pelaksana (rekanan). Kemudian BPK-RI menyarankan kepada Bupati Malang agar
menegur Panitia Lelang atas kelalaiannya dalam melaksanakan tugas lalu
memerintahkan Kepala Dinas Perkebunan untuk menarik kelebihan pembayaran
sebesar Rp.223.568.381. kepada PT Sumber Sarana Mitra Sejati dan menyetorkan
hasilnya penagihan tersebut ke Kas Daerah.
Temuan-temuan AKP ini yang menjadi bekal penting bagi penyelidik untuk
melakukan penyelidikannya. Penyelidikan yang dilakukan merupakan pendalaman dan
pengkayaan hingga jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W dapat
mewujud dalam bentuk Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyelidikan. Pada
perkara Samsul Bahri ini, simpulan akhir yang dibuat penyelidik adalah bahwa perkara
ini bisa ditingkatkan ke tahap berikutnya yakni level penyidikan (sidik).
4.2.4. Alat Bukti Petunjuk
Bukti petunjuk adalah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya
(KUHAP pasal 184 ayat (1) pada huruf d). Penilaian atas kekuatan alat bukti petunjuk
dalam setiap keadaan dilakukan dengan cara mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani. Dengan demikian,
hakekat fundamental alat bukti petunjuk ini adalah identik dengan ―pengamatan
mendalam dan seksama‖ karena pada akhirnya penilaian atas kekuatan pembuktian
akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan kearifan penegak hukum.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
159
Alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari persesuaian antara alat bukti
keterangan saksi, alat bukti surat dan alat bukti keterangan terdakwa. Jadi, alat bukti
petunjuk ini dihasilkan dari cara menyimpulkan atas suatu fakta-fakta yang ditarik dari
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Karena itu, alat bukti petunjuk ini
memerlukan prasyarat yakni suatu kejernihan hati (spiritual) dan kecerdasan intelektual
(IQ) sehingga penyelidik dapat merangkai dan membuat simpulan atas tiga alat bukti
yang telah diperolehnya.
Alat bukti petunjuk pada perkara Bahri, dapat dilihat adanya persesuaian antara
keterangan saksi dengan barang bukti berupa surat serta keterangan dari Bahri
sendiri. Korelasi dan konsitensi menjadi titik temu mewujudnya alat bukti petunjuk yang
dapat disangkakan kepada Bahri.
4.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka
Keterangan terdakwa (erkentenis) menempati derajat kelima. Alat bukti
keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan (diberikan) terdakwa di sidang
pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri. Meskipun demikian, keterangan terdakwa juga bisa yang diberikan di luar
pengadilan asalkan keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah dan
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa ini hanya
dapat digunakan untuk dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Keterangan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.
Alat bukti keterangan terdakwa, Pada level penyelidikan berupa keterangan-
keterangan yang diberikan oleh tersangka. Dalam hal ini keterangan yang diperoleh
penyidik dari penjelasan, uraian dan keterangan Bahri. Keterangan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
160
.“Bahwa yang menandatangani kontrak jasa konsultasi pengadaan pabrik
(pabrikasi) Kigumas tahap II adalah Pihak I Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Malang … dan Ketua LPM Universitas Brawijaya Malang Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri., MS Bahwa tersangka telah mengetahui dan membaca isi kontrak Nomor 05 dan 06 tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 … Bahwa Nilai Kontrak Nomor 523/388 dan 523/390 tanggal 10 Maret 2003 sudah dibayarkan kepada LPM UB dari Kasda ke rekening LPM UB atas Nama Prof. Dr. Ir. Syamsul Bahri., MS Bahwa pembayaran Kontrak Nomor 523/388 dan 523/390 tanggal 10 Maret 2003 berasal dari dana alokasi umum (DAU) APBD Kota Malang… Bahwa tersangka tidak tahu kapan adanya penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pengadaan mesin Kigumas tahap II serta penyempurnaan perencanaan perencanaan dan pengawasan Pembangunan peningkatan gedung utama dan sumur bor pabrik gula Kigumas tahap III sebagaimana tertuang dalam kontrak no 05 dan 06 tahun 2003. Bahwa tersangka tidak tahu apakah ada atau tidak ada kegiatan penyempurnaan perencanaan atau pengawasan sesuai DSAK Dinas perkebunan Tahun 2004 tertera kegiatan jasa konsultan untuk penyempurnaan perencanaan dan pengawasan karena tidak ada kontrak dalam tahun 2004 menyangkut kegiatan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan. Bahwa tersangka pernah hadir di KAP Koenta Adji bersama dengan Soedjito dan Bisri membicarakan pekerjaan yang belum ada perikatannya terhadap penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pembangunan PG Kigumas…
Dari keterangan yang diperoleh dari Bahri tersebut, tentu saja penyelidik
Kejaksaan Negeri Kepanjen dapat mengambil kesimpulan bahwa Bahri dapat disangka
dan dipastikan terlibat dalam tindak pidana korupsi PGM Kigumas. Dari hasil
keterangan yang digaris bawahi dan dihitamkan tersebut jelas dapat menunjukkan
bahwa Bahri mengetahui, dan/atau ikut serta dan/atau bersama-sama dengan
tersangka lainnya melakukan tindak pidana korupsi.
4.3. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI
Sebelum hasil akhir penyelidikan dinaikkan ke proses penyidikan, sudah menjadi
kemestian (conditio sine quanon) bahwa penyelidik harus terlebih dahulu melakukan
apa yang disebut dengan gelar perkara (eksaminasi internal). Gelar perkara itu
dilakukan dalam rangka untuk lebih memastikan apakah masih ada hal-hal yang masih
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
161
mengandung kelemahan yang perlu dilakukan penyelidikan tambahan agar hasil
penyelidikan itu layak untuk diteruskan ke tahap penyidikan. Keharusan melakukan
penilaian (internal examination) itu karena penyelidikan merupakan ―tahap pertama
penyidikan‖ atau pre-investigation yang merupakan bagian integral dan tidak
terpisahkan dari proses penyidikan (legal investigation) secara keseluruhan.
Jadi, hasil penyelidikan merupakan simpulan untuk membuktikan apakah
penyelidik telah mampu membuktikan ada (tidak) nya ―dugaan‖ tindak pidana korupsi.
Tolok ukur keterbuktian adalah hasil temuan dari tindakan mencari. Oleh karena itu,
bilamana hasil temuan telah mampu membuktikan eksistensi dugaan itu. Dengan
demikian, fokus tujuan penyelidikan adalah untuk mengumpulkan bukti-bukti
permulaan atau dengan kata lain (dalam bahasa hukum) telah ―cukup bukti‖ untuk
dilakukan peningkatan statusnya menjadi proses ‖penyidikan‖. Hal mana juga
dimaksudkan agar dalam tahap penyidikan akan menjadi lebih mudah membuktikan
eksistensi tindak pidana korupsi karena sudah adanya dasar hukum atas temuan-
temuan pada proses penyelidikan.
Bentuk mind-set dalam mengejar dan membangun alat bukti tindak pidana
korupsi yang merupaan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W
diungkapkan oleh Direktur Penyelidikan KPK (Iswan Elmi) sebagai berikut:
“Upaya mencari dan menemukan bukti atas dugaan korupsi merupakan inti tugas pada Direktorat Penyelidikan KPK. Semua sumber daya yang ada kita arahkan untuk mencari dan menemukan paling tidak dua alat bukti sah atas dugaan korupsi. Bilamana minimal dua alat bukti tersebut telah kita temukan maka status perkara baru dapat ditingkatkan pada tahap berikutnya yaitu proses penyidikan…”
Sebagai konsekuensi atas ungkapan di atas, dapat ditarik suatu benang merah
yakni sudah menjadi kemestian (conditio sine quanon) bahwa alat bukti dan barang
bukti yang dicari dan ditemukan—secara idealita—harus memiliki fungsi sebagai
instrumen fasilitatif dan emansipatoris. Sebagai fungsi fasilitatif, Mozaik Bukti
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
162
Akuntansi Forensik niscaya memiliki fasilitas titik-temu dan tidak sekedar hanya
bertumpu pada teks peraturan belaka, namun juga harus membangun hubungan
kausalitas antara doktrin, teks dan konteks dalam realitas sosial. Emansipatoris artinya
adalah dalam proses penyidikan, penyidik juga harus tetap menjunjung tinggi
presupmtion of innosence dan bukan presumption of guilty. Presumption of guilty ini
adalah ―pembalikan beban pembuktian‖ (reversal burden of proof) atau sering disebut
sebagai ‗pembuktian terbalik‘ di mana penuntut umum tidak diwajibkan untuk
melakukan pembuktian terhadap terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana korupsi,
tetapi si terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya bukan seorang koruptor.
Karakter emansipatoris juga terletak pada pengedepanan basis nalar-rasional
(akal-budi) yang mengarah pada bentuk bukti yang substance over form dan bukan
hanya sekedar form over substance, atau dengan kata lain proses mencari dan
menemukan visum akuntansi forensik level penyelidikan ini tidak hanya sekedar
menonjol-nonjolkan proses prosedural belaka (sensu strickto), namun harus juga tidak
melupakan substansinya. Karena dalam kasus penanganan perkara tindak pidana
(korupsi) yang lebih ditekankan adalah substansi (materiil) perkara dan bukan hanya
formalitas procedural an sich.
Dalam penyelidiklan pelacakan (tracing) umumnya dilakukan dengan tiga pola
aktivitas korupsi yakni theft, concealment, dan conversion. Tindak pidana korupsi pada
umumnya memiliki tiga pola itu. Dengan tiga pola itu tentu penelusuran akan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dan niscaya dari aktivitas penyelidikan.
Soekardi Hoesodo, mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Perencanaan dan
Analisis mengatakan bahwa dalam tugasnya saat di BPKP jejak-jejak tindak pidana
keuangan pada umumnya dapat ditelusuri dan kemudian ditemukan jawaban 2H+5W
itu. Karena itu Soekardi berbasis pengalamannya dapat memastikan bahwa pencarian
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
163
jejak itu pasti dapat menemukan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik dengan mengatakan
sebagai berikut:
When people enter financial transactions, such as buying assets, they leave „footprint‟. Jadi, tidak ada sentuhan yang tidak meninggalkan tapak-jejak, pasti kita dapat menelisik bekas-bekasnya. Setiap jejak korupsi pasti akan senantiasa diikuti dengan langkah penyembunyian, dan baru pada tahap berikutnya akan dikonversi.”
Dengan demikian jejak-jejak korupsi akan dapat diikuti dalam bentuk rumah,
mobil, deposito atau asset-asset lainnya. Dalam kaitan dengan aliran dana berbasis
rekening koran milik koruptor, fungsi lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) sangat membantu dan banyak berperan strategis dan menentukan
dalam memberikan data aliran-aliran dana haram tersebut (follow the money). Pola
aliran dana haram ini dapat kita lihat pada semisal aliran dana kasus beras Bulog
(Widjanarko Puspojo) atau aliran bank BNI (Adrian Woworuntu).
Hasil akhir dari penyelidikan, akan dilakuan sebuah expose atau pemaparan,
yang menurut Informan Icha (bagian Sekretariat pada Direktorat Penyelidikan KPK)
mengatakan bahwa ekspose pada umumnya dilakukan pada setiap hari Jum‘at.
“Expose atau examination dilakukan pada setiap hari Jum‟at, biasanya dihadiri oleh penyelidik dan penyidik serta bagian lain yang sedang tidak bertugas. Expose ini, kalau di fakultas ya mirip dengan ujian komprehensif. Hasilnya adalah apakah kasus dapat ditingkatkan, dihentikan atau dipertajam lagi dengan melakukan proses tambahan-tambahan dan penguatan-penguatan, penekanan-penekanan pada sisi-sisi yang masih lemah.”
Paparan hasil penyelidikan pada akhirnya akan memberikan simpulan atau
pendapat terhadap hasil penyelidikan yang dilengkapi dengan chart dan matrix. Chart
akan berupa penguaraian atas modus operandi perkara yang memberikan gambaran
penjelasan secara rinci dan detail mengenai uraian tentang perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh tersangka berdasarkan peraturan yang berlaku serta pasal-pasal yang
dilanggar. Sedangkan matrix akan berisi unsur-unsur atas pasal-pasal yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
164
disangkakan kepada tersangka dengan uraian fakta-fakta perbuatan yang dilakukan
oleh tersangka dan dukungan alat bukti dan barang buktinya.
Semua uraian yang saya paparkan pada sebelumnya, pada dasarnya akan
mengerucut pada formulasi ‗proposisi‘. Meskipun, uraian saya juga dapat disebut
sebagai bentuk deskriptif atas konstruksi viosum akuntansi forensik level investigatif
yang berupa sejarah fakta. Sejarah fakta dalam bentuk deskriptif, boleh jadi dalam
pandangan Cliffort Geertz akan disebutnya sebagai bentuk thick description. yang
merekonstruksi sejarah masa lalu untuk kemudian dihadirkan pada masa kini
mengenai berbagai kejadian, fakta, data, keterangan.
Seirama dengan pembentukan proposisi, dan berkait dengan pengujian atas
suatu proposisi, seharusnya dilakukan pada soal bagaimana menaksir kecukupan
empiriknya terhadap ketepatan pengujian atas sebuah proposisi. Grounded theory
meminta penilaian teoritik atas kecukupan empirik. Penilaian itu terletak pada
kejelasan, konsistensi, sifat hemat, kepadatan ruang lingkup, pengintegrasian,
kecocokan data, kemampuan menjelaskan, sifat prediktifnya, harga heuristik, dan
aplikasi atas semua itu sebagai kriteria penilaian. Penilaian teori harus dilakukan pada
dimensi evaluatif sebagai tambahan terhadap kecukupan empiris. Metode abductive
explanatory inferentialism dalam grounded theory mempertimbangkan secara
sistematis teori-teori yang sudah matang yang secara esensial menjadi materi
simpulan pada penjelasan yang paling baik, di mana suatu teori atau proposisi diterima
manakala diputuskan untuk memberi penjelasan yang lebih baik.
Thagat (2002) dalam Emzir (2008, 207) menyatakan bahwa peluang
perhitungan penilaian teori dapat dilakukan dengan mengambil kesimpulan terbaik itu
akan terkait secara sentral dengan penetapan koherensi yang bersifat menjelaskan.
Teori Thagat adalah sebuah teori koherensi eksplanatori di mana proposisinya
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
165
menjaga kesatuan karena relasi eksplanatorinya. Hubungan koherensi eksplanatori,
ditetapkan melalui operasi tujuh prinsip yakni: simetris, penjelasan, analogi, prioritas
data, kontradiksi, kompetisi, dan keberterimaan. Penentuan koherensi eksplanatori
suatu teori dibuat dalam istilah tiga kriteria: consilience (dapat menjelaskan secara
luas), penyederhanaan dan analogi. consilience artinya memiliki penjelasan terbaik
dan menangkap ide bahwa suatu teori lebih koherensi eksplanatori dari saingannya
serta teori tersebut dapat menjelaskan rentang fakta yang lebih besar. Karena itu,
pada the first order understanding of lay actors dapat dibuatkan proposisinya.
Kemudian, pada tahap berikutnya yakni the second order of social scientist dilakukan
theoritical maturation dengan melakukan konfirmasi teoritikal pada tebaran teori-teori.
Dari uraian-uraian yang saya kemukakan pada bab IV ini, pada proses
penyelidikan dapat saya tarik suatu simpulan dalam bentuk gambar (lihat gambar 4.1.
dan 4.2) berupa proposisi naratif sebagai berikut:
Gambar 4-1 Proses Penemuan Visum Akuntansi Forensik
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
166
PROPOSISI:
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik level penyelidikan merupakan
temuan penyelidik terhadap paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang
menjadi dasar utama bagi penetapan status tersangka.
Visum akuntansi forensik level penyelidikan akan terangkai dalam suatu chart
and matrix yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime
2H+5W. Mozaik berisi rangkaian keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan tersangka yang diikat dalam Berita Acara Permintaan
Keterangan (BAPK) yang berfungsi sebagai bahan bukti bagi Penyidikan.
Gambar 4-2 Wujud Visum Akuntansi Forensik Level Penyelidikan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
167
BBaabb 55 VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN
“Kata”...
Aku percaya kepada Sang Dzat Sejati Al-Haq karena kata,
Aku mencinta dan bahagia karena kata,
Aku yakin perubahanku terjadi karena kata,
Semua yang kuurai berikut ini karena keterpengaruhanku atas kata…
5.1. PENGANTAR Memburu Mozaik Akuntansi Forensik Level Penyidikan
Penyidikan (opsporing) atau dikenal dengan istilah pulbaket sidik merupakan
langkah lanjutan dari penyelidikan (lidik). Bahan bukti yang digunakan dalam
penyidikan juga berasal dari penyelidikan. Tujuan penyidikan adalah pendalaman
terhadap bahan bukti yang berupa visum akuntansi forensik level penyelidikan. Hasil
penyidikan akan menjadi bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk
membuat Dakwaan lalu mengirimkannya ke pengadilan yang disertai permintaan untuk
segara dilakukan sidang pengujian (cross examination) atas perkara yang didakwakan
tersebut.
Selanjutnya, pada sidang-sidang di pengadilan, Majelis Hakim akan memanggil
semua saksi yang tercatat dalam dakwaan, lalu mendengarkan keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan terdakwa dan kemudian melihat, mengkaji, mencermati
dan menganalisis alat bukti dan barang bukti yang untuk selanjutnya akan dijadikan
dasar putusan hukum terhadap terdakwa. Putusan hakim tersebut berbasis pada
minimal dua alat bukti yang sah dari lima macam alat bukti yang ada. Di samping
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
168
berbasis dua alat bukti sah, putusan hakim juga harus mengandung keyakinan yang
berbasis hati nurani.. Karena itulah para hakim sering menamai putusan yang
dibuatnya dengan suatu sebutan ―putusan yang sah dan meyakinkan‖.
Selanjutnya, dalam penyidikan, umumnya para penyidik mengelaborasi dan
mengembangkan ilmu forensik. Ilmu forensik merupakan suatu disiplin ilmu yang unik,
dengan prinsip kerja dan teknik operasionalisasi yang mengambil-oper ilmu
pengetahuan dasar seperti ilmu kimia, biologi, fisika, akuntansi, hukum dan lainnya
untuk melakukan analisis dan sintesis terhadap barang bukti, keterangan, informasi,
fakta, data dan keterangan untuk memecahkan perkara yang sedang ditanganinya.
Metoda Socrates (Socrates Method) sering kali didayagunakan dalam rangka untuk
mengembangkan pertanyaan dan jawaban untuk meraih sebuah kebenaran hakiki
(Sullivan dan Rosen, 2010, 108). Oleh karena itu, ilmuwan forensik keuangan yang
saya sebut juga sebagai Financial Criminalist atau Forensic Accountant bekerja untuk
mencari, menemukan dan mengumpulkan barang bukti, fakta, data, informasi dan
keterangan di sekitar peristiwa hukum yang kemudian menganilisis barang bukti, data,
fakta, informasi, serta keterangan yang dapat menghubungkan tersangka dengan
perbuatannya, mencari motif tindakan, menemukan dan menghitung kerugian yang
diderita korban. Jadi, Forensic Accountant/Financial Criminalist akan merekonstruksi
semua kejadian tindak pidana korupsi atau kejahatan keuangan, menulis laporan hasil
kerjanya dan bersaksi di muka pengadilan mengenai temuan-temuannya tersebut.
Rekonstruksi kejahatan keuangan tersebut akan berbentuk chart and matrix yang
merupakan visum akuntansi forensik.
Selaras dengan visum akuntansi forensik, persyaratan mutlak yang wajib
dimiliki akuntan forensik atau financial criminalist, seperti yang dikatakan Allan
Pinkerton yang dikutip Tuanakotta (2007, 50) adalah sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
169
“The detective must posses certain qualifications of prudence, secrecy, inventiveness, persistency, personal courage and above other things; honesty while he must add to these the same qualify of reaching out and becoming possessed of that almost boundless information which will permit of the immediate and effective applicant of his detective talent in whatever degree that might be possessed…
Kemampuan dankepiawaian akuntan forensik dalam berhubungan dengan
manusia memiliki peran yang sangat menentukan. Karane ia harus mendapatkan
informasi, data, maupun keterangan atau pengakuan dan lain-lainnya dari manusia.
Karena itu kepribadian yang menarik, hangat dan mampu memotivasi dan
mempengaruhi orang lain akan banyak membantu sukses tugas yang diembannya.
Sebagai seorang investigator, dalam tugas-tugasnya akan banyak berjumpa dengan
berbagai macam jenis karakter manusia, dengan latar belakang sangat variatif. Oleh
karena itu investigator harus memiliki kepercayaan diri (self confidence) yang tinggi.
Selanjutnya, dalam membangun visum akuntansi forensik yang digunakan bagi
pengungkapan dan penindakan perkara tindak pidana korupsi, tahap penyidikan
merupakan tahapan penting dan menentukan. Pentingnya tahapan ini terletak pada
putusan untuk menarik simpulan akhir yang tepat, apakah perkara dapat dilanjutkan
menjadi bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum untuk membangun sebuah Dakwaan
yang cermat, jelas dan lengkap atau perkara dihentikan sampai di sini saja dan
dikeluarkan SP-3 (Surat Pemberitahuan Penghentian Pemeriksaan). Pengeluaran SP-
3 itu menurut Budi Handaka informan dari Kejagung RI dapat digambarkan sebagai
berikut:
Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP-3) tersebut dapat dikeluarkan dengan pertimbangan yang matang dan terukur, yang biasanya merupakan hasil dari pelaksanaan ekspose atau gelar perkara atau eksaminasi internal Kejaksaan.
Rangkaian kalimat di atas tersebut dapat diartikan bahwa semua berkas
perkara yang masuk Kejaksaan akan dipresentasikan atau digelar dalam suatu forum
internal kejaksaan (ekspose internal) untuk dapat dipastikan apakah pemeriksaan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
170
perkara bisa diteruskan atau dihentikan. Jika perkara diteruskan dan hasilnya diyakini
berkesimpulan ―tidak terbukti‖ maka SP-3 tersebut akan dikeluarkan.
Tabel 5-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENYIDIKAN (SIDIK) DENGAN PENYELIDIKAN (LIDIK)
KETERANGAN
PENYIDIKAN (SIDIK)
PENYELIDIKAN (LIDIK)
PERSAMAAN
1. Mencari dan menemukan jawaban
hypothetical construction of crime 5W+2H berupa Visum Akuntansi Forensik
2. Menemukan minimal dua dari lima macam
alat bukti tindak pidana korupsi 3. Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau
Kejaksaan atau KPK 4. Dalam mencari dan menemukan konstruksi
Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level Penyidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
1. Mencari dan menemukan jawaban
hypothetical construction of crime 5W+2H berupa Visum Akuntansi Forensik
2. Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
3. Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau
Kejaksaan atau KPK 4. Dalam mencari dan menemukan konstruksi
Mozaik Bukti Akuntansi Forensik Level penyelidikan, Penyelidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law)
PERBEDAAN
5. Menggunakan istilah “projustisia” (demi
keadilan atau demi hukum) 6. Hanya dapat dilaksanakan berbasis pada hasil
penyelidikan
7. Memiliki kewenangan upaya paksa dalam
pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi
8. Hasil permintaan keterangan tersangjka
dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
9. Atas dasar bukti permulaan yang cukup,
Penyidik dapat melakukan penahanan, penggeledahan, penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan
10. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan
kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)
11. Sebutan bagi objek penyidikan disebut dengan “tersangka”
5. Tidak Menggunakan istilah “projustisia” (demi
keadilan atau demi hukum)
6. Dapat dilaksanakan dari bukti yang masih bersifat hasil audit investigative dan atau AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk
7. Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan/permintaan keterangan saksi-saksi
8. Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan)
9. Atas dasar bukti permulaan yang cukup,
Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan lain hanya atas ijin penyidik
10. Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan
kepada Penyidik
11. Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terperiksa”
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
171
Penyidikan adalah adalah tindak lanjut langkah dan pendalaman tahap
penyelidikan. Untuk kejelasan mengenai kejelasan antara penyidikan dengan
penyelidikan mengenai persamaan dan perbedaannya dapat dilihat perbandingannya
seperti tampak pada tabel 5.1.
Secara naratif persamaan dan perbedaan antara penyelidikan dengan
penyidikan adalah bahwa pada sisi persamaan keduanya merupakan sebuah upaya
untuk membangun visum akuntansi forensik dalam mengungkap dan mencari alat bukti
yang berkualifikasi hukum. Pada sisi lain, perbedaannya adalah bahwa titik berat
aktivitas penyelidikan pada ‗pencarian‘ dan ‗penemuan‘, sedangkan pada level
penyidikan titik berat aktivitasnya, di samping upaya untuk ‗mencari dan menemukan‘
juga ‗mengumpulkan‘ atas semua pemrosesan alat bukti dan barang bukti. Jadi, dalam
penyidikan seluruh alat bukti akan diikat dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), di
mana BAP tersebut akan menjadi pegangan utama dalam pembuatan Dakwaan JPU
sekali bahan utama pada pemeriksaan di pengadilan (cross examination) yang pada
gilirannya akan menjadi landasan utama bagi putusan hakim.
Di samping itu, aktivitas yang dilakukan penyidik dalam tindakan penyidikannya
akan senantiasa mencantumkan kata ―projustitia‖. Projustitia merupakan sebuah kata
berupa simbol atau label yang dapat diartikan sebagai tindakan demi keadilan atau
dapat dimaknai sebagai ‗demi tegaknya hukum‘. Label atau title projustitia akan selalu
dicantumkan pada “kiri atas” dalam sebuah kertas pada semua administrasi bagi
setiap tindakan penyidik. Label itu senantiasa tercantum dalam dokumen-doukumen
seperti: Surat Panggilan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan tindakan-tindakan
penyidik lainnya. Artinya dengan surat-surat itu akan mengubah semua bukti, data,
fakta, informasi dan keterangan menjadi telah ―bernilai hukum‖ dan akan menjadi
bagian tidak terpisahkan secara keseluruhan dari visum akuntansi forensik. Alat bukti
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
172
yang dikumpulkan penyidik merupakan jawaban riil dan kongkrit atas hypothetical
construction of crime yang sekaligus dengan tertempelnya stempel ―projustitia‖ menjadi
bukti atas terjadinya proses hukum telah sesuai dengan koridor hukum (due process of
law) yang berlaku di Indonesia (KUHAP).
Seperti pada bab-bab sebelumnya, dalam bab ini, ilustrasi atau back-bones
uraian terhadap fakta, data, informasi dan ketarangan sebagai dasar dalam mencari,
menemukan dan mengumpulkan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik yang berkriteria
hukum masih menggunakan kasus sangkaan korupsi pada Bahri Ketua LPM UB.
Dalam ilustrasi ini akan dapat kita lihat bagaimana hypothetical construction of crime
dapat dijawab oleh penyidik yang kemudian mewujudkan konstruksi visum akuntansi
forensik level penyidikan.
Langkah “P” yang dilakukan penyidik Kejaksaan tersebut merupakan langkah
lanjutan yang dilakukan oleh penyelidik yang telah saya uraikan pada bab IV, yakni
dari P-1 hingga P-7. Langkah penyidik dengan dokumentasi “P” itu adalah: membuat
Surat Perintah Penyidikan didokumentasikan formulir P-8. Berikutnya adalah membuat
Rencana Jadual Penyidikan (Rendik) yang didokumentasikan dalam P-8A. Membuat
Surat Panggilan saksi/ahli dan tersangka yang didokumentasikan dalam bentuk P-9.
Membuat Berita Acara Keterangan ahli yang didokumentasikan P-10. Surat Usulan
Bantuan Pemanggilan saksi didokumentasikan pada formulir P-11. Membuat Surat
Pemanggilan Bantuan saksi/ahli didokumentasikan dalam P-12. Membuat Usul
Penghentian Penyidikan/Penuntutan (bila diperlukan) didokumentasikan dalam P-13.
Membuat Surat penghentian penyidikan P-14. Membuat Surat Pemberitahuan Berkas
Perkara P-15. Membuat Surat perintah jaksa penuntut umum untuk mengakhiri
penyidikan P-16. Membuat Surat Permintaan Perkembangan hasil penyidikan P-17.
Membuat Hasil Penyidikan berkas lengkap P-18. Melakukan Pengembalian berkas
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
173
perkara untuk dilengkapi di dokumentasikan pada P-19. Pemberitahuan bahwa waktu
penyidikan telah habis P-20. Pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap P-
21 dan seterusnya.
Kotak 5.1.
KASUS SANGKAAN DUGAAN KORUPSI PGM KIGUMAS MALANG
KEPADA Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS.
Kejaksaan Negeri Kepanjen
―Untuk Keadilan‖
Kejadian Perkara pidana korupsi bulan Maret 2004 di Dinas Perkebunan Kabupaten Malang. Dilaporkan tanggal: --- URAIAN SINGKAT PERKARA:
Bahwa Tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Yang menjabat sebagai Ketua
Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor: 001/SK/1999 tanggal 11 Pebruari 1999 tentang Pengangkatan Ketua dan Sekretaris Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, pada tanggal 4 Maret 2004 bertempat di Jl. Merdeka Timur No. 3 Malang telah menerima uang dari Kas Daerah Kabupaten Malang sebesar Rp.645.987.000,- (enam
ratus empat puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh tujuh ribu rupiah) sebagai pembayaran pekerjaan perencanaan dan pengawasan PGM KIGUMAS Tahun 2003 yang belum terbayar.
Pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. Sebesar Rp.645.987.000,- dilakukan oleh Ir. FREDDY TALAHATU selaku pengguna dan penanggung jawab anggaran Dinas Perkebunan Kab. Malang - termasuk pembayaran kepada H. SAMIAN
sebesar Rp.994.393.000 – yang diambil dari anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004; pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. dilakukan oleh Ir. FREDDI TALAHATU atas dasar Surat yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO No. 525/427.108/2003 tanggal 7 Agustus 2003, Nota Kesepakatan yang dibuat antara Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan H. M.ALI HASAN, SH. Tanggal 8 Agustus 2003, Addendum Kontrak
No 5 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak no 525 / 388 / KONTRAK /429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003 dan Ddendum Kontrak No. 06 Tahun 2003 tanggal 9 Agustus 2003 terhadap kontrak No. 525 / 390 / KONTRAK / 429.117/2003 tanggal 10 Maret 2003. Akibat adanya penyalahgunaan anggaran KIMBUN berbasis tebu TA. 2004 untuk pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI, MS. sebesar Rp.645.987.000,- maka kegiatan KIMBUN berbais tebu TA. 2004 tidak dilaksanakan (fiktif), dan berdasarkan audit BPKP Prop. Jawa Timur, pembayaran kepada tersangka Prof. DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI sebesar Rp.645.987.000,- untuk jasa konsultan pengawasan dan perencanaan ternyata pekerjaan perencanaan dan pengawasannya fiktif senilai Rp.489.334.493,- (empat ratus delapan puluh
sembilan juta tiga ratus tiga puluh empat ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sumber: Berkas Dakwaan, Nomor Perkara: PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007, tertanggal 31 Oktober 2007
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
174
Bilamana suatu perkara berjalan hingga putusan akhir, maka administrasi dan
dokumentasi dengan simbol “P” ini akan terus berlanjut seiring sejalan hingga
dokumen P-53. Dokumen “P” ini dapat saya sebut semacam check list atas working
paper yang sering dibuat oleh auditor. formulir “P” digunakan untuk lebih memastikan
apakah semua prosedur baku (standard operating procedures) telah dijalankan
seksama dan hati-hati oleh Petugas Kejaksaan. Sandi “P” merupakan juklah dan
juknis atau semacam check list terhadap impplementasi KUHAP.
Dari semua ―P‖ itu yang paling dikenal oleh masyarakat, karena sering disebut-
sebut oleh Jaksa Agung atau jaksa-jaksa penuntut umum (JPU) adalah “P-19” dan
P-21. Karena kedua dokumen itu sangat sentral dan menentukan. Dokumen ―P-21”
berisi mengenai telah lengkapnya suatu persyaratan dokumen untuk dibuat Dakwaan
yang cermat, jelas dan lengkap bagi si tersangka. Sedangkan “P-19” adalah bahan-
bahan untuk memberkas Dakwaan masih memerlukan perbaikan-perbaikan.
5.2. MENEMUKAN ALAT BUKTI – LEVEL PENYIDIKAN Menemukan Mozaik Bukti Akuntansi Forensik as a support for a ligation
Penyidikan atau pulbaket sidik (pengumpulan bahan bukti dan keterangan)
berupa serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari,
menemukan dan mengumpulkan alat bukti dimana dengan alat bukti tersebut akan
dapat membuat terang benderangnya kasus tindak pidana korupsi (Mulyadi, 2007,
121, Rukmini, 2003, 112, dan Tuanakotta, 2007,442). Tata cara mengenai apa dan
bagaimana penyidikan ini diatur dapat dilihat dalam KUHAP bab XIV pada pasal 106
sampai dengan pasal 136.
Penyidikan juga ditujukan untuk menemukan siapa atau siapa saja
tersangkanya. Oleh pembuat undang-undang penyidik diberi kewenangan besar agar
dapat melakukan penggeledahan, penahanan, penangkapan dan penyitaan barang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
175
bukti serta tindakan lain yang diperlukan bagi tugas penyidikannya. Semua aktivitas
tersebut akan dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Jadi, dapat
saya simpulkan bahwa penyidikan pada dasarnya akan mengarah pada tiga aktivitas
utama, yakni: (1) mencari, menemukan dan mengumpulkan alat bukti, (2) membuat
sangkaan tindak pidana korupsi menjadi terang benderang, dan (3) ditemukannya si
tersangka dan tersibaknya motif yang mendasarinya. Dengan kata lain, tujuan
penyidikan adalah untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil (setidaknya
mendekati kebenaran) atas perkara tindak pidana korupsi, lalu menemukan pelakunya
serta mengungkap motif yang mendasari perbuatan jahat si pelaku.
Dengan demikian, dalam rangka mengungkap modus operandi tindak
pidananya dan menemukan tersangkanya, maka dalam penyidikan sangat diperlukan
teknik dan taktik yang canggih. Untuk itu diperlukan SDM yang memiliki kesigapan
tinggi, kecepatan bergerak, memahami ketentuan teknis dan tertib pemeriksaan, dan
memiliki persepsi yang tepat tentang permasalahan yang diduga akan timbul serta
secara kreatif mencari solusi saat dugaan itu muncul (Mulyadi, 2007, 126). Dalam
taktik penyidikan tindak pidana, keterangan saksi menjadi kunci pembuka bagi
pencarian alat bukti dan barang bukti lainnya. Oleh karena itu, penyidik sudah
semestinya memiliki cara dan taktik untuk mendapatkan keterangan para saksi yang
benar dan jujur, sehingga keterangan yang benar dan jujur yang diberikan oleh saksi
tersebut dapat menjadi salah satu alat bukti yang tak terbantahkan di pengadilan.
Semua taktik dan strategi yang dilakukan penyidik dalam aktivitas
penyidikannya hanya mengarah pada tujuan utama yakni mencari, menemukan dan
mengumpulkan jawaban atas hypothetical construction of crime. Karena itu penyidik
perkara tindak pidana korupsi harus membekali dirinya dengan pengetahuan akuntansi
dan keuangan yang mendalam, mempelajari dan memahami berbagai variasi modus
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
176
operandi yang biasa dilakukan koruptor, mengasah kejelian, kreativitas, ketepatan dan
kecepatan dalam mengungkap dan mencari alat-alat bukti lain seperti surat-surat (asli
maupun fiktif), laporan keuangan dan bukti pendukungnya, dokumen-dokumen
keuangan lainnya yang dapat memberi arah ditemukannya perbuatan melawan hukum
dari tersangka dalam merugikan keuangan Negara.
Aktivitas penyidikan seperti yang saya uraikan di atas, dapat disebut sebagai
bentuk pencarian alat bukti yang lebih bernuansa dan menekankan pada penemuan
alat bukti yang besifat inderawi belaka, dan tidak mencoba melakukan elaborasi pada
dimensi psikologis dan intuitif. Tekanan utama pada pencarian alat bukti yang bersifat
inderawi boleh jadi masih akan menyisakan kelemahan dan ketidakakuratan
substansial. Elaborasi dimensi psikologi dan intusi dalam pencarian alat bukti akan
sangat berguna bagi upaya mencari, menemukan dan mengumpulkan mozaik bukti
akuntansi forensik bagi tindak kejahatan korupsi akan menjadi lebih cepat namun juga
lebih akurat.
Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersangka berhak memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik dan boleh didampingi oleh advokat yang
ditunjuknya. Penyidikan ini harus due process of law. Bilamana penyidikan dilakukan
dengan cara seperti kekerasan (violence) dan/atau penyiksaan (torture) tentu
bertentangan dengan due process of law dan bertentangan dengan asas presumption
of innosence serta tidak sejalan dengan prinsip non-self incrimination yang pada
ujungnya boleh jadi dakwaan JPU bisa saja dibatalkan oleh Hakim di sidang
pengadilan karena melanggar due process of law dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Jika violence and/or torture terjadi dan berakibat mempengaruhi pisik dan/atau
psikis tersangka Loebby Loqman (1984) sebagaimana dikutip kembali oleh Rukmini
(2003, 115) menyatakan sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
177
“Adanya tindakan yang “menyimpang” dari pejabat penyidik dalam penyidikan terhadap tersangka akan menimbulkan dua pandangan yang saling berlainan. Di satu pihak bahwa tindakan yang “menyimpang” dalam penyidikan terhadap tersangka akan membawa akibat bahwa perkara itu akan dibatalkan dan tersangka akan dibebaskan, meskipun faktualnya ada dugaan yuridis menjurus pada kesalahan tersangka. Pada sisi lain ada pendapat bahwa, bagi si tersangka tidak dengan begitu saja dikesampingkan atau dibebaskan, artinya tersangka tetap diajukan ke pengadilan, sedangkan tindakan yang “menyimpang” dari pejabat penyidik akan diberikan sanksi adminsitratif terhadap dirinya.”
Dengan demikian, apabila keterangan tersangka yang dipergunakan sebagai
alat bukti bagi penyidik itu yang masuk dalam voisum akuntansi forensik ternyata
diperoleh melalui cara-cara yang didasarkan pada tekanan atau paksaan, maka
keterangan─sebagai alat bukti keterangan saksi─harus dinyatakan tidak sah atau batal
demi hukum (nul and void).
Berkaitan dengan tindakan penyidikan, kita dapat menengok aturan pencarian
alat bukti dipraktikkan pada Negara lain. Di Amerika Serikat terdapat aturan yang
menyatakan bahwa suatu pemerolehan bukti dilakukan dilarang dilakukan dengan
melanggar aturan ‖Exclusionary Rules17. Exclusionary Rules dikembangkan oleh US
Supreme Court agar warga negara terhindar dari tindakan aparat penegak hukum yang
sewenang-wenang dan semau-maunya (Rukmini, 2003, 117).
Exclusionary Rules ini, menurut saya adalah suatu aturan yang hanya untuk
melindungi warga negara US saja Namun bagi warga non US, kita bisa melihat
ketidakkonsistenan (baca: kemunafikan) atas aturan ini secara kasat mata. Untuk
warga Non US, terutama bagi orang yang diduga teroris, Mujahiddin Afghanistan,
pejuang Iraq, atau mereka yang menentang kebijakan US ditangkap, ditahan, disiksa
dan diperlakukan semau-maunya dan melampaui batas Hak Asasi Manusia (HAM).
Guantanamo Jail merupakan bukti konkrit atas ketidakkonsistenan pelaksanaan
Exclusionary Rules. Sungguh ironis, tragis dan munafik.
17
Exclusionary Rules adalah suatu aturan yang mengatur larangan penggunaan alat-alat bukti yang diperoleh penyidik melalui cara-cara yang tidak sah dan melanggar hukum
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
178
Berkait dengan penyiksaan dan kekerasan (violence and/or torture), dalam
konteks Indonesia, tidak terdapat aturan tegas mengenai penyidikan yang
―menyimpang‖ dan melanggar HAM tersebut. Sehingga penyidikan yang dilakukan
dengan kekerasan dan penyiksaan terhadap tersangka maupun saksi kadang
menimbulkan kerumitan penyelesaiannya. Apalagi bilamana tindakan penyiksaan fisik
tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Bahkan akan lebih sulit manakala
kekerasan dan penyiksaan tersebut diarahkan pada penderitaan secara psikis. Kondisi
seperti itu terjadi misalnya adalah penyidik meminta pengakuan melalui rekayasa
dengan cara tersangka dipanggil dan diperiksa secara berulang-ulang hingga sampai
pada jawaban akan dinyatakan cukup manakala kesaksian atau keterangan saksi itu
sudah sesuai dengan arahan penyidik. Cara-cara seperti ini akan menimbulkan kesan
bahwa adanya suatu kesaksian rekayasa (fabricated witnessing).
Pada umumnya fabricated witnessing boleh jadi akan mewujud manakala ada
keinginan kuat dari petugas penyidik untuk bekerja secara cepat dan efesien sehingga
banyak menimbulkan tindakan ―menyimpang‖ dalam proses penyidikannya. Penyidikan
akan dilakukan tidak sesuai dengan aturan-aturan KUHAP.
Contoh kemungkinan terjadinya penyimpangan pada proses penyidikan, adalah
tidak terdapatnya suatu ketentuan hukum yang mengatur secara limitatif (pembatasan)
berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik
dari penyidik kepada penuntut umum, begitu juga sebaliknya. Implikasinya adalah hak
tersangka untuk diadili secara cepat, sederhana dan murah tidak tercipta.
Berlarut-larutnya penyidikan dapat membangun stigma bahwa penyidik dan
atau penuntut umum telah mempermainkan HAM tersangka. Konflik semacam
seringkali terjadi dan kita jumpai antara penyidik dengan penutut umum. Misalnya saja
pada kasus Bahri, seperti yang dikatakan Chazawi:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
179
“Syamsul Bahri ditetapkan sebagai tersangka dalam jangka waktu yang sangat lama, sekitar satu setengah tahun. Dari tersangka kemudian menjadi terdakwa dalam waktu yang begitu lama adalah tidak rasional. Seorang tersangka, seharusnya tidak boleh dibiarkan dalam kurun waktu sedemikian lama untuk tidak segera diadili. Bilamana memang alat buktinya tidak kuat dan/atau alat buktinya kurang, sudah seharusnya pihak Kejaksaan segera mengeluarkan SP-3 agar tersangka tidak dibiarkan terkatung-katung status hukumnya.”
Sejalan dengan apa yang diungkapkan Chazawi, Yudi Kristiana (2006,101-113)
hasil penelitian yang dilakukannya menyimpulkan bahwa adanya dua factor, yakni
factor politis dan sosio-kultural telah banyak mempengaruhi independensi jaksa dalam
penyidikan korupsi. Dalam kelompok faktor politis adalah, birokrasi kejaksaan yang
tidak netral, tidak transparannyaproses penyidikan korupsi, dan terdapatnya kendala
persepsi/perilaku/gaya manajerial kejaksaan. Pada kelompok faktor sosio-kultural
adalah integritas personal kejaksaan karena faktor ekonomi (kesejahteraan, gaji)
dan/atau promosi yang tersendat.
Seorang Informan, Budi (Kejaksaan Agung), berkaitan dengan hal di atas
mengatakan kepada saya sebagai berikut:
“Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, langkah-langkah yang ditempuh oleh Kejaksaan Agung untuk masalah itu, Kejaksaan Agung telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya adalah untuk tindak pidana yang pembuktiannya mudah dan sederhana paling lama tiga hari telah dinyatakan lengkap atau tidak. Sedangkan untuk perkara biasa paling lambat lima hari telah dikirim pemberitahuannya. Dan, untuk perkara yang sudah dinyatakan optimal penyidikannya oleh penyidik, tetapi jaksa memandang masih belum memenuhi syarat formil dan materiil, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan sendiri.”
Manakala berkas telah lengkap, penuntut umum akan membuat surat dakwaan
dan kemudian dibuat surat pelimpahan kepada Pengadilan Negeri setempat. Dakwaan
merupakan dasar pemeriksaan di pengadilan. Hakim tidak akan menjatuhkan hukuman
kepada terdakwa bilamana perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum
dalam dakwaannya. Pembuktian dan fakta-fakta di persidangan yang menentukan
(tidak) terbuktinya seseorang melakukan tindak kejahatan sebagaimana disebutkan
dalam surat dakwaan penuntut umum. Bilamana dalam pembuktian di persidangan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
180
kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, maka pengadilan akan
menderanya dengan hukuman penjara, demikian juga sebaliknya, bila tidak terbukti
maka pengadilan akan membebaskannya. Putusan pengadilan adalah pernyataan
atau simpulan yang telah dipertimbangkan dan dinilai secara masak-masak yang
diucapkan hakim dalam sidang di pengadilan (dengan melekatkan pertimbangan
sebelum putusan dilakukan (ex-ante) dan justifikasi setelah putusan terjadi (ex-ante).
Laporan hasil penyelidikan harus dilengkapi dengan kepastian mengenai ―saat‖
dan ―tempat‖ kejadian perkara (dalam ranah hukum dikenal dengan istilah tempus dan
locus delicti). Semua uraian hasil penyelidikan itu harus dapat memberi gambaran
jelas, detail dan rinci. Dalam uraian itu juga tidak boleh terdapat hal-hal yang
mengandung keraguan serta kekaburan (obscuur) sedikitpun. Dengan kata lain,
laporan investigasi atau penyidikan itu harus cermat, jelas dan dilengkapi dengan
dukungan barang bukti dan alat bukti yang relevan, kompeten, cukup dan material
(―rekocuma‖). Laporan tidak boleh terselip kalimat multi-tafsir yang boleh jadi dapat
membuat kesalahan interpretasi atas eksistensi tindak pidana korupsi saat
pemeriksaan perkara digelar dalam sidang di pengadilan.
Selaras dengan penyimpangan terhadap aturan KUHAP Sahetapi (2009, 65)
merasa heran mengapa formulasi yang terkandung dalam KUHAP tidak
mencamtumkan sanksi kepada penegak hukum yang menyimpang? Atau pada sat
penyusunan KUHAP itu dengan sengaja tidak memasukkan kemungkinan adanya
pelanggaran KUHAP oleh aparat penegak Hukum? atau para legislator itu menyusun
KUHAP dengan asumsi bahwa para penegak hukum pasti tidak akan pernah
melanggar KUHAP? Padahal kita tahu bahwa diformulasikannya KUHAP itu dengan
memiliki dua tujuan. Di satu sisi, untuk melindungi kepentingan tersangka dan
terdakwa dari pelanggaran HAM, pada sisi yang lain untuk memberikan suatu panduan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
181
(rule of the game) mulai dari kepolisian, kejaksaan, KPKP, Hakim dan aparat penegak
hukum lainnya harus tunduk pada aturan main tersebut.
Karena itu, berkait dengan Friedman yang dikutip Sahetapy (2007, 66)
mengatakan bahwa ―The subtantive law of crimes is intended to control the behavior of
people who wilfully injure persons or property., or engage in behavior eventually having
such concequence... criminal procedure, by contrast, is intended to control authorities
not criminals. Jadi KUHAP sebagai bentuk criminal procedures, pada substansinya
harus lebih pada pengontrolan terhadap para aparat penegak hukum yang melanggar
KUHAP (abuse of power and authority) dan bukan di titik beratkan kepada
perlindungan kepada tersangka atau terdakwanya dari pelanggaran HAM. Dengan
demikian, sudah menjadi keniscayaan para aparat hukum juga dapat memperoleh
sanksi manakala melanggar prosedur acara pemeriksaan yang tertuang dalam
KUHAP. Hilangnya sangsi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penegak
hukum agak sulit dijawab karena notulen hasil pembahasan rapat-rapat proses
legislasi DPR (notulen/memorie vantoelichting) saat dibuatnya KUHAP itu sulit untuk
didapatkan. Jika kita dapat melihat, mempelajari dan menyerap apa yang menjadi
perdebatan pada saat itu, tmaka kita akan bisa memperoleh jawaban secara pasti
mengapa sanksi kepada aparat nakal yang mempermainkan dan melecehkan KUHAP
serta memperjualbelikan perkara itu tidak terdapat dalam KUHAP. KUHAP merupakan
produk hukum yang dibuat sendiri oleh anak bangsa, dan ditetapkan sebagai Undang-
undang pada tahun 1981.
Kembali pada realitas yang memungkinkan adanya fabricated witnessing,
Herbert L. Pekcer membangun dua model yang dapat digunakan untuk melihat apak
proses pencarian bukti pidana dilakukan secara objektif. Dua model itu adalah ―Crime
Control Model‖ dan ―Due Process Model‖. Crime control model artinya adalah,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
182
kehadiran seorang advokat dalam proses penyidikan mutlak ada, karena pada tahap
ini yang diperlukan adalah masalah perolehan fakta-fakta tindak pidana (factual-guilt)
yang diperoleh tersebut telah dilakukan penyidik dengan cara-cara yang tidak
melanggar HAM, Pada due process model adalah untuk memastikan apakah proses
penyelidikan yang prosesinya telah sesuai dengan aturan KUHAP. Kehadiran dan
kesaksian advokat yang mendampingi tersangka akan dapat memastikan apakah
proses penyidikan yang dilakukan itu telah sesuai dengan due crime model dan due
process model. Kesaksian itu berperan penting pada saat proses pemeriksaan di
pengadilan (cross examination) karena jika pelanggaran dua model itu dinyakan oleh
advokat pada saat pemeriksaan di persidangan, maka Dakwaan JPU dapat batal demi
hukum.
Pada kasus Bahri, pelanggaran juga terjadi atas due process of law. Dengan
adanya pelanggaran itu kemudian di lakukan tuntutan pra-peradilan oleh para advokat
yang mendampingi Syamsul Bahri ke Pengadilan Negeri Kepanjen. Contoh lain atas
pelanggaran due process of law ini juga dapat kita lihat pada kasus penangkapan
kepada Susno Duadji (Mantan Kabareskrim Polri) yang menjadi whistle-blower kasus
Gayus Tambunan. Dengan adanya pelanggaran atas due process of law itu kemudian
para advokat pendamping/pembela Susno Duadji melakukan tuntutan pra-peradilan.
Crime control model dan due process model dapat didayagunakan untuk
―check point‖ apakah proses pencarian bukti telah dilaksanakan sesuai aturan-aturan
hukum yang berlaku secara benar dan dengan semestinya. Inilah tantangan bagi
Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Lembaga penegak hukum lainnya dalam mencari,
menemukan dan mengumpulkan visum akuntansi forensik yang merupakan bukti
tindak pidana korupsi, di mana alat bukti dan barang bukti yang dikumpulkan harus
senantiasa berbasiskan ―due process of law‖. Karena itu elaborasi pendayagunaan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
183
ilmu psikologi dan intuisi semakin patut untuk dipertimbangkan pelaksanaan dalam
mencari dan menemukan visum akuntansi forensik as a support for a litigation.
5.2.1. Alat Bukti Keterangan Saksi
Keterangan saksi itu akan dapat berupa suatu keterangan mengenai suatu
peristiwa pidana yang ―ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri‖ dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Berbasis visum akuntansi forensik level penyelidikan, Kejaksaan Negeri
Kepanjen memanggil saksi-saksi yang terkait dengan perkara PGM Kigumas. Saksi-
saksi yang dipanggil antara lain: (1) Soedjito dari LPM UB dengan surat panggilan
Nomor: SP-18/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 15 Mei 2006 (2) Talahatu selaku Kepala
Dinas Perkebunan dengan surat panggilan Nomor: SP-40/0.5.43/Fd.1/10/2006
tertanggal 24 Juli 2006. (3) Istadi selaku Direktur PT. PGM Kigumas dengan surat
panggilan Nomor: SP-88/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 10 Januari 2007. (4) Sujud
Pribadi, selaku Bupati Malang dengan surat panggilan Nomor: SP-
2357/0.5.43/Fd.1/10/2006 tertanggal 11 Oktober 2007, (5) Widjonarko Kasi
Pengolahan Hasil dan Pemasaran Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemda
Kabupaten Malang dengan surat panggilan Nomor: SP-107/0.5.43/Fd.1/10/2006
tertanggal 22 Oktober 2007 hingga berjumlah 26 orang. Pemanggilan terhadap
tersangka Bahri dilakukan dengan surat panggilan Nomor: SP-76/0.5.43/Fd.1/10/2006
tertanggal 18 September 2006.
Keterangan dari saksi-saksi (dan menjadi alat bukti keterangan saksi) oleh
penyidik diberkas dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Beberapa keterangan saksi
yang penting dapat saya uraikan sebagai berikut, misalnya adalah resume keterangan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
184
dari saksi Widjonarko yang tercantum dalam Dakwaan JPU yang menyakan sebagai
berikut::
―Bahwa PG Kigumas dinyatakan selesai pekerjaan fisik 100% pada tanggal 23 September 2003. Bahwa Kigumas dinyatakan berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) sejak tanggal 10 Desember 2003 berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2003 Tanggal 8 September 2003 dengan pengesahan Badan Hukum PT Kigumas oleh Menteri Kehakiman dan Ham pada tanggal 15 Juli 2004 Bahwa setelah membaca PP 105 tahun 2000 dan Kepmendagri No, 29 Tahun 2002 maka Kegiatan Kimbun berbasis tebu tahun 2004 dan kegiatan yang dilaksanakan dalam DASK 2004 bersifat bangunan sipil yang dikerjakan PT. Sumber Sarana Mitra Sejati dan penyempurnaan alat mesin yang dikerjakan CV. Teknika Utama serta membayar uang jasa konsultan pengawas kepala LPM UB adalah tidak dibenarkan Bahwa tidak dibenarkan kegiatan dalam tahun 2003 yang telah dilaksanakan oleh PT Sumber Sarana Mitra Sejati dan LPM UB dibayarkan dengan dana Kimbun APBD Tahun 2004 dengan alasan pre-financing karena tidak diatur dalam Keppres 80 Tahun 2003 Maupun Keppres 18 Tahun 2000 serta bertentangan dengan sistem penganggaran berbasis kinerja.
Bahwa dana Kimbun berbasis Tebu tahun 2004 yang dilakukan pergeseran anggaran menjadi kegiatan Kigumas yang telah berbadan Hukum PT tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan pasal 28 ayat (3) dan ayat (5) UU No 17 Tahun 2004 Tentang Keuangan Negara.
Demikian juga, sebagian keterangan yang diberikan oleh saksi Salamena yang
menerangkan kesaksiannya sebagai berikut:
“Bahwa sesuai dengan SPM Nomor:515/DAU/2004 tanggal 3 Maret 2004 untuk biaya jasa konsultan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pada kegiatan PG Kigumas Rp.645.987.000 kepada LPM UB dimana uang tersebut ditransfer ke rekening Bank Jatim Cabang Malang Nomor: 004/023222 atas nama Bahri, MS Bahwa pencairan dana Kimbun sesuai Surat Perintah Membayar (SPM) yang terbit melalui bagian keuangan Sekda Pemkab Malang sebanyak 12 SPM … dengan total Rp.2.915.522.600 dicairkan di Kantor Kasda Pemkab Malang Jl, Merdeka Timur No. 12 Malang, yaitu lima kali di masa Freddy Talahatu dan tujuh kali pada masa Hendro Soesanto Bahwa tidak ada persetujuan DPRD terhadap perubahan kegiatan proyek Kimbun menjadi Kigumas… Bahwa perubahan kegiatan proyek kimbun menjadi Kigumas tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Kep.Mendagri 29/2002 Pasal 55 ayat 2) maka hal tersebut tidak dibenarkan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
185
Bahwa mengingat Kigumas telah berbadan hukum sejak 10 Desember 2003, maka sesuai undang-undang yang berlaku bahwa ajuan kebutuhan apapun untuk PT Kigumas agar dapat dibiayai oleh APBD itu tidak dapat dibenarkan.
Keterangan yang didapat dari Sujud selaku Bupati Malang yang juga
merupakan penandatangan addendum kontrak nomor 05 dan 06 di depan penyidik
antara lain sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan DASK awal dan DASK perubahan TA 2004 di Dinas Perkebunan Kab Malang tidak ada anggaran untuk Kigumas, yang ada adalah dana pembinaan untuk Kimbun.
Dari hasil tiga orang yang memberikan keterangan di depan penyidik itu dan
juga berdasakan keterangan-keterangan saksi lainnya, penyidik memiliki keyakinan
kuat dan kemudian dapat mengambil simpulan bahwa pembayaran atas pekerjaan dari
addendum 05 dan 06 kepada Bahri selaku ketua LPM UB dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi. Karena perbuatan yang dilakukan Bahri tersebut telah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana korupsi yakni perbuatan melawan hukum, menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau korporasi serta merugikan keuangan Negara.
Namun, simpulan itu dibantah oleh Bahri dalam pledoi-nya bahwa pelaksanaan
pekerjaan tersebut terjadi karena adanya pekerjaan penyempurnaan pabrikasi dan
bangunan sipil, yang berarti juga menjadi sebuah kemestian atas adanya perubahan
atau penyempurnaan dan penambahan desain pabrikasi bangunan sipil yang terdiri
dari 17 item pabrikasi dan 22 item bangunan sipil. Karena itu, Bahri menjustifikasi
perbuatannya itu dengan mengutip Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kepres 18 Tahun
2000 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah
sebagai berikut:
“addendum kontrak adalah ketentuan mengenai perubahan kontrak yang dapat terjadi karena: (1) perubahan pekerjaan yang disebabkan oleh suatu hal yang dilakukan oleh pihak lain dalam kontrak sehingga merubah lingkup pekerjaan dalam kontrak, (2) perubahan jadual pelaksanaan pekerjaan akibat pekerjaan dan perubahan pekerjaan/pesanan…
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
186
Jadi, menurut Bahri, simpulan dan kemudian menjadi tuduhan bahwa LPM UB
melaksanakan pekerjaan fiktif itu merupakan bentuk ketidakcermatan, dan bentuk
kecerobohan yang hanya mendasarkan pada analisis belaka. Mestinya yang diungkap
BPKP adalah fakta dan data, dan bukan simpulan berupa tuduhan fiktif.
Justifikasi lain yang dikemukakan Bahri bahwa pekerjaan itu tidak fiktif adalah
bahwa berdasarkan laporan Tim yang diketuai oleh Sudjito dan Bisri serta saksi-saksi
lain mengatakan bahwa (1) kontrak dilakukan secara bertahap, artinya dalam kontrak
mengandung unsur hak dan kewajiban, (2) desain awal tahun 2001 hanya merupakan
desain untuk menghitung investasi yang disesuaikan dengan pagu anggaran
pemerintah Kabupaten Malang, (3) desain yang dibuat konsultan, dengan
pelaksanaannya yang dilakukan kontraktor tahun 2003 baik mesin maupun sipil
dilaksanakan secara paralel, (4) tugas pekerjaan pengawas berbeda dengan tugas
desain, dan (5) pekerjaan desain sudah disepakati oleh kedua belah pihak dalam
addendum Nomor: 05 dan 06,
Bahri menambahkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa berdasarkan
kesaksian dan barang bukti yang disampaikan Widjiastuti (pemegang Kas Uang Muka
Kerja/Bendahara LPM UB) pada tahun 2003 total kontrak antara LPM UB dengan
Pemkab Malang senilai Rp.948.859.800, dibayar di tahun 2003 sebesar Rp.43.172.800
yang kemudian dipergunakan untuk membayar pekerjaan konsultan bangunan sipil dan
yang sebesar Rp.259.700.000 untuk membayar pekerjaan konsultan dan
pabrikasi/mesin. Kekurangan pembayaran Rp.645.987.000 dilunasi pada tahun 2004
sesuai dengan addendum Nomor 05 dan 06 tahun 2003. Dengan demikian, pekerjaan
pengawasan telah dilaksanakan sejak tanggal 20 Januari 2003 sampai dengan tanggal
31 Oktober 2003. Jadi, tuduhan pekerjaan fiktif itu sangat mengada-ada, berlebihan
dan mengusik rasa keadilan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
187
Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwa persoalan utama dalam
perkara Syamsul adalah, pada satu sisi yakni pada sudut pandang Jaksa Penuntut
Umum pekerjaan LPM UB adalah fiktif dan atas pekerjaan fiktif itu kemudian dibayar
oleh Pemda Kabupaten Malang. Pada sisi yang lain yakni dalam pandangan Bahri,
pekerjaan itu riil dan telah dikerjakan serta layak dan wajib untuk dibayar Pemda
Kabupaten Malang. Sumber bukti pekerjaan itu fiktif adalah dari Hasil Laporan
Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat BPKP Perwakilan Jawa Timur.
Sedangkan salah satu sumber utama bahan bukti perbuatan melawan hukum adalah
addendum kontrak 05 dan 06 tersebut
Jadi, dari uraian sebelumnya dapat saya tarik simpulan bahwa peranan laporan
perhitungan kerugian keuangan negara yang isinya sarat dengan angka-angka dan
pengetahuan akuntansi serta kepiawaian auditor, ternyata menjadi titik sentral dalam
tindak pidana korupsi. Laporan BPKP itulah yang menjadikan Bahri harus mendekam
tidak kurang dari 41 (empat puluh satu) hari di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru
dan 60 (enam puluh) hari menjadi tahanan kota.
Tentang bagaimana teknik dan taktik penyidik untuk memperoleh keterangan
dari para saksi, cara KPK untuk menghindarkan dari tindakan violence and/or torture
dan akan senantiasa bekerja sesuai dengan due process of law, adalah dengan
membangun beberapa teknik interview dan interogasi yang baru. Teknik KPK seperti
yang dikatakan Fauzi – Advokat yang sering mendampingi tersangka dalam penyidikan
di KPK tergantar sebagai berikut :
“Untuk membantu penyidik yang melakukan tugas penyidikan adalah dengan cara menghubungkan ruang penyidikan dengan ruang lain, di mana ruang lain itu akan dapat memantau jalannya penyidikan. Mereka akan memandu dan mengarahkan petugas penyidik pada butir-butir interogasi yang lebih tajam dan menukik pada persoalan fundamental. Karena, bisa jadi petugas penyidik kurang menguasai semua permasalahan secara mendetail. Dengan demikian akan diperoleh alat bukti yang kuat dan komprehensif. Komputer yang digunakan penyidik untuk melakukan pengetikan „pertanyaan dan jawaban‟ dalam rangka menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dihubungkan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
188
dengan ruang lain tersebut. Manakala pertanyaan petugas penyidik menyimpang dan/atau kurang fokus, maka mereka yang berada dalam ruang lain tersebut akan mengirim pertanyaan-pertanyaan via komputer untuk mengarahkan petugas penyidik pada pertanyaan yang tajam, menukik dan menjurus pada substansi perkara yang sedang disidik tersebut.”
Cara KPK itu sangat efektif karena tidak semua penyidik mengusai
pengetahuan dan pengalaman atas detail perkara yang ditanganinya. Cara yang sama
seperti KPK itu juga dapat kita saksikan di acara ‗Bukan Empat mata‘ di acara yang
ditayangkan Trans-7. Dalam acara yang dipandu oleh Tukhul itu sering melontaran
kalimat ‗kembali ke laptop‘. Pertanyaan-pertanyaan itu bisa terlontar dengan baik dari
Thukul karena host memperoleh panduan yang dibuat oleh tim yang tidak tampak. Tim
itu bergerak di belakang layar yang sering disebut oleh si Thukul dengan panggilan
―TIA… TIA..‖.
5.2.2. Alat Bukti Keterangan Ahli
Seperti yang telah saya uraikan pada bab terdahulu, keterangan ahli (expert
testimonium) adalah sebuah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan dalam rangka membuat terang dan
jelasnya suatu perkara. Pemberi keterangan adalah seseorang yang mempunyai
‖keahlian khusus‖ yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Seorang ahli adalah
seseorang yang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu,dimana
orang tersebut mengetahui suatu bidang ilmu pengetahuan secara khusus, mendalam
dan komprehensif.
Dalam kapasitas sebagai orang yang diminta keterangan ahli untuk di BAP,
Koenta di depan penyidik Qohar pada tanggal 12 April 2006 pada sebagian
keterangannya mengatakan sebagai berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
189
“Bahwa saksi melakukan audit terhadap investasi Pemkab Malang pada Kigumas untuk periode 2001 sampai dengan 2003 (cut-off). audit dimulai pada tanggal 9 Juni 2003 sampai dengan 24 Juni 2003 Bahwa terdapat pekerjaan yang belum ada perikatannya. Bahwa terdapat pengalihan pekerjaan tambah kurang yang tidak didukung dokumen perubahan kontrak (CCO – contract change order). Bahwa terdapat pekerjaan yang belum ada perikatannya itu berupa pekerjaan sipil 22 item (60,1%) dengan nilai Rp.2,925.005.040 dan pekerjaan engine 12 item (73,87 %) dengan nilai Rp.5.603.637.600 dengan total Rp.8.528.642.640 Bahwa Investasi pemkab Malang tahun 2001 sampai dengan 13 Juni 2003 untuk pembangunan PGM Kigumas totalnya adalah Rp.19.856.865.000. Saat melakukan audit, auditor menemukan pengajuan PAK yang diperuntukkan sebagai tambahan dana kegiatan Kigumas sebesar Rp.10.382.838.562. Dalam jumlah tersebut terdapat pengajuan biaya bagi konsultan LPM UB sebesar Rp.645.987.423. Angka itu didapat dari Lampiran III/I-No:10/ATS.GA.10/240603/S/2003 dalam Pengajuan PAK Dinas Perkebunan Kabupaten Malang tahun 2003.
Demikian juga, keterangan ahli dari Sugatario menerangkan mengenai perkara
ini sebagai berikut:
Bahwa gambar rencana pembangunan pabrik gula mini Kigumas (rencana awal) telah memuat secara lengkap/keseluruhan rencana bangunan pabrik, termasuk gambar detil pekerjaan tambahan (addendum Nomor 4 tanggal 6 Agustus 2003) sehingga tidak perlu lagi ada pekerjaan penyempurnaan perencanaan konsultan. Bahwa adanya pekerjaan penyempurnaan fiktif yang dilakukan oleh Bahri selaku Ketua LPM UB sebagai konsultan perencana dan pengawas PG Kigumas sehingga menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp.489.334.493 merupakan pelanggaran pidana..
Dengan memperhatikan dua keterangan ahli tersebut di atas, penyidik dapat
menyimpulkan bahwa eksistensi tindak pidan korupsi telah nyata-nyata ada., dan
karenanya Bahri layak untuk ditetapkan sebagai tersangka. Namun, bagi Bahri
penetapan dirinya sebagai tersangka adalah tidak logis. Bantahan Bahri itu diperkuat
dengan kesaksian ahli Keuangan Daerah yakni dari Khusaini. Khusaeni menerangkan
bahwa yang berhak melakukan pengeluaran atas beban APBD adalah Pemerintah
Daerah yang diwakili Kepala Satuan Kerja Daeah (KSKD). Demikian juga yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
190
bertanggung jawab adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Malang atau Kepala Satuan
Kerja Daerah yang bersangkutan sesuai dengan kegiatan unitnya. Konsultan tidak mau
tahu uang berasal dari mana, tetapi hak konsultan harus dibayar.
Di samping itu, Bahri menolak mentah-mentah atas pernyataan bahwa
pekerjaan LPM UB tersebut fiktif. Bahri membantah mati-matian bahwa pekerjaan
penyempurnaan (tambahan dan perubahan) desain mesin dan sipil 2003 dengan
pelaksanaan pembangunan fisiknya berjalan secara parallel. Pekerjaan itu juga melalui
diskusi-diskusi setiap hari Jum‘at yang dihadiri Tim LPM UB, kontraktor mesin dan sipil,
Disbun termasuk Kadisbun. Oleh sebab itu tidak semua formalitas terpenuhi, namun
sebagian formalitas terpenuhi terutama desain bangunan sipil. Keadaan itu, menurut
Syamsul Bahri, membuktikan bahwa owner (pemkab Malang) setuju dengan kondisi itu.
Sebab jika owner menghendaki formalitas sudah pasti owner akan meminta
formalitasnya dipenuhi. Pada dasarnya, formalitas merupakan aspek kelengkapan
administrasi belaka dan tidak menentukan sah atau tidak benarnya isi yang terdapat
dalam gambar-gambar tersebut.
Selanjutnya, masih menurut Bahri bahwa hubungan hukum antara owner
dengan konsultan (Tim LPM UB) dan kontraktor adalah hubungan perdata. Suatu
pertjanjian kerja akan selalu mengedepankan dan mendasarkan pada kesepakatan.
Kesepakatan itulah yang paling menonjol dalam pelaksanaan pekerjaan
penyempurnaan (tambahan dan penyempurnaan) desain 2003. Dalam kesepakatan itu,
juga terdapat kata sepakat atas pelaksanaan pembangunan fisik sekaligus
pengawasan lapangan yang berlan secara paralel. Semua kesepakatan itu disadari dan
dikehendaki oleh owner dalam rapat-rapat yang dilakukan pada setiap hari Jum‘at.
Dengan demikian, pada satu sisi penyidik yakin bahwa Bahri layak untuk
dijadikan tersangka, sedangkan pada sisi lain, Bahri yakin bahwa tidak ada pekerjaan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
191
fiktif dan semua pekerjaan dilakukan atas sepengetahuan dan persetujuan dari owner
(Pemkab Malang – Disbun). Perbedaan cara pandang atas realitas dan fenomena
seperti ini, senantiasa muncul dalam setiap kasus tindak pidana korupsi. Perbedaan
tafsir, persepsi dan cara melihat atas fakta-fakta yang terjadi akan membuat seseorang
dapat divonis guilty or not guilty
Kembali pada keterangan ahli, pada dasarnya keterangan ahli dihadirkan dalam
persidangan tidak mutlak dipedomani oleh hakim dalam pengambilan putusan
hukumnya. Ketidakmutlakan memedomani keterangan ahli itu dapat kita lihat pada
kalimat Majelis Hakim perkara Bahri sebagai berikut:
―Karena saksi-saksi ahli diajukan ke persidangan demi kepntingan penuntutan dari penuntut umum maupun untuk kepentingan pembelaan terdakwa dan bukan atas permintaan Majelis Hakim, maka segala pendapat para saksi ahli terhadap peraturan perundang-undangan bersifat Novum Notoir tidak mutlak dipedomani oleh hakim (huruf tebal dan garis bawah tambahan dari saya) baik secara yuridis maupun teori hukum, hakim diberi wewenang melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap kata atau rumusan undang-undang. Demikian halnya dengan pendapat yang diberikan saksi-saksi biasa baik yang bersifat memberatkan (a-charge) maupun saksi yang meringankan (a-decharge) dan hakim akan menetukan pendapatnya sendiri tentang suatu peristiwa atau keadaan tertentu sesuai fakta yang terungkap di persidangan.. (Putusan perkara pidana No: 330/Pid.B/2007/PN.MLG, hal 129)
Dengan demikian, apabila seorang ahli memberikan keterangan di depan
sidang pengadilan pidana, belum tentu keterangan ahlinya itu dielaborasi hakim untuk
dijadikan pertimbangan dalam putusan hukumnya. Karena itu subjektivtas hakim
sangat tinggi dalam mempertimbangkan apakah keterangan ahli yang didatangkan baik
oleh advokat, terdakwa atau JPU di pengadilan akan dipertimbangkan sebagai dasar
pertimbangan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
192
5.2.3. Alat Bukti Surat
Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni
surat tersebut harus dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan
sumpah. Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis seperti:
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat
keterangan ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, Laporan Hasil
Audit Investigatif, Laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara termasuk juga
kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian lain.
Alat bukti surat yang menyeret Bahri adalah laporan hasil perhitungan kerugian
keuangan negara (PKKN) yang dibuat BPKP Perwakilan Jawa Timur. Sebagian
Laporan BPKP tersebut dapat dilihat pada kotak 5.2.
Dengan alat bukti surat tersebut dan alat bukti keterangan saksi, penyidik
Kejaksaan Negeri Kepanjen kemudian menyimpulkan bahwa Bahri telah dapat
ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan PG
Kigumas. Penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada minimal
dua alat bukti dari lima macam alat bukti. Dengan demikian, kriteria penetapan Bahri
sebagai tersangka telah terpenuhi.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
193
Kotak 5.2.
DAKWAAN ATAS NAMA TERSANGKA PROF.DR. Ir. H. SYAMSUL BAHRI.,MS
Nomor Perkara:PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007
Dari hasil audit investigatif yang telah kami lakukan untuk menghitung kerugian Negara dari penyalahgunaan kegiatan kimbun berbasis Tebu TA 2004 di Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten Malang dari realisasi Rp.3.023.587.647 terdapat kerugian Negara sebesar Rp.1.180.210.082,41 (satu milyar seratus delapan puluh juta dua ratus sepuluh ribu delapan puluh dua rupiah empat puluh sen) dengan rincian sebagai berikut: I. Masa Ir. HENDRO SOESANTO, MM
- BOP Rp.196.925.650 - Belanja Modal Rp.109.851.950
Total Rp.306.777.600 II. Masa Ir. FREDDY TALAHATU
- BOP Rp.613.801.993 - Belanja Modal Rp.259.630.489,41
Total Rp.873.432.482,41 Bahwa akibat penyalahgunaan kegiatan Kimbun berbasis Tebu TA 2004 di Dinas Peertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang yang dilakukan Tersangka (Prof.Dr. Ir. Syamsul Bahri MS mengakibatkan kerugian keuangan Negara dengan rincian: Biaya jasa tenaga kerja non pegawai Rp.498.334.493 yang merupakan nilai pekerjaan fiktif kepada LPM UB dari total nilai 645.987.000 Rincian pembayaran yang fiktif kepada LPM UB tersebut adalah:
(1) nilai addendum kontrak Nomor 05 Tahun 2003 Rp 380.047.250 (2) nilai addendum kontrak Nomor 06 Tahun 2003 Rp.265.939.850 Jumlah dibulatkan Rp.645.987.000
Dikurangi pekerjaan yang dilaksanakan: (1) Addendum Nomor 05 Tahun 2003 Rp.143,700.667 (2) Addendum Nomor 06 Tahun 2003 Rp. 12.951.840 Total nilai pekerjaan yang dilaksanakan Rp.156.652.507
Bahwa kontrak yang menggunakan pola pendanaan pre-financing dalam kegiatan Kimbun berbasis tebu tersebut tidak dapat dibenarkan karena melanggar pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003.
Bahwa pembayaran kepada Prof.Dr. Ir. H. Syamsul Bahri.,MS (Ketua LPM UB) selaku konsultan perencana dan pengawas pada PG Kigumas TA 2003 dengan menggunakan anggaran Kimbun berbasis tebu TA 2004 (pola pre-financing) tidak dapat dibenarkan karena dana yang tercantum dalam DASK Tahun 2004 dengan pendanaan pola pre-financing direkayasa supaya uang Negara dapat dibayarkan dimana bertentangan dengan pasal 10 ayat (3) PP 105 Tahun 2000 dan pasal 9 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003.
Sumber: Berkas Dakwaan,Nomor Perkara:PDS-01/0.5.43/Ft.1/10/2007,tertanggal 31 Oktober 2007.
.
Selaras dengan bagiamana memastikan penghitungan kerugian keuangan
Negara (PKPN), Pada Instansi KPK pun masih terdapat perbedaan pandangan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
194
mengenai akurasi PKKN tersebut Direktur Penyidikan KPK, Bambang Herman
mengatakan sebagai Berikut :
“Dalam soal kerugian keuangan negara, kadang kita berbeda pendapat dengan Direktur Penyelidikan. Dalam suatu kasus, buat kami gambaran kerugian Negara itu telah nampak nyata, namun bagi Direktur Penyelidikan, gambar kerugian Negara itu masing remang-remang, dan karenanya masih perlu dilakukan penguatan-penguatan dan pendalaman-pendalaman lebih lanjut.”
Ungkapan di atas menyiratkan bahwa memastikan angka kerugian negara
mengandung kompleksitas dan dimensi relativitas. Hasil PKKN akan sangat tergantung
pada data, fakta, asumsi, prinsip yang dianut dan dipilih. Dengan demikian, boleh jadi
hasil perhitungan kerugian keuangan negara pada suatu kasus korupsi dengan kasus
lainnya boleh jadi hasilnya bisa berbeda.
Berkaitan dengan hal di atas, Suyatna Sunu Soebrata, saat sidang kasus
Rustam Efendy Sidabutar mengatakan dalam keterangan ahlinya sebagai berikut:
”Prosedur untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara akan dilakukan audit investigasi. Pemeriksaan akan meliputi seluruh kegiatan dalam suatu instansi dengan tujuan untuk mengidentifikasi bagian mana yang terjadi penyimpangan dan siapa pejabat yang terkait dan bertanggungjawab terhadap penyimpangan tersebut. Bilamana terdapat indikasi penyimpangan maka dilakukan akan dilakukan penghitungan kerugian keuangan Negara... yang membuat laporan perhitungan kerugian negara adalah instansi penyidik itu sendiri dan tim auditor investigatif hanya membuat perhitungan dan disampaikan kepada instansi penyidik... kualifikasi persyaratan seorang auditor untuk menghitung kerugian negara yaitu auditor yang mempunyai keahlian auditing dan accounting. Auditor menghitung berdasarkan dokumen yang diterima dari penyidik dan hanya disampaikan ke penyidik dan hasilnya juga bukan tanggung jawab auditor yang menghitung”
Penghitungan kerugian keuangan negara akan mengandung kelemahan, kalau
kerugian itu berkaitan dengan penghitungan atas asset/properti. Auditor akan mudah
menghitung besarnya angka kerugian keuangan negara manakala yang dihitungnya
berkaitan dengan aliran uang kas (cash flow) semata, karena keahlian auditor adalah
di bidang akuntansi dan keuangan. Untuk kerugian yang berkaitan dengan nilai assets,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
195
di mana auditor investigatif tidak memiliki kompetensi, maka hasil perhitungannya akan
menjadi problematik.
Hasil PKKN akan menjadi tidak akan problematik, kalau auditor investigatif
dapat melibatkan appraisal/valuer independen (KJPP). Karena appraisal-lah yang
memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian asset/property atau penilaian bisnis
(corporate).
Relativitas ―nilai‖ itu dinyatakan dalam International Valuation Standards
Committee (2005, 71) sebagai berikut:
―At the most fundamental level, value is created and sustained by the interrelationship of four factors that are associated with any product, service, or commodity. These are utility, scarcity, desire, and purchasing power.”
Konsep nilai merepresentasikan sebuah harga yang paling mungkin untuk
disepakati baik oleh para pembeli dan penjual atas suatu barang atau jasa yang
tersedia untuk diperjualbelikan. Nilai juga harus mencerminkan harga hipotesis
(dugaan) yang paling mungkin untuk disepakati. Karena itu nilai berbeda dengan
harga.
Dengan demikian, nilai bukanlah suatu fakta, melainkan hanya sebuah estimasi
harga yang paling mungkin dibayar atas suatu barang atau jasa yang tersedia untuk
diperjualbelikan pada periode tertentu, dan waktu tertentu. Lalu bagaimanakah cara
kerja prinsip demand and supply dalam keempat faktor utama pembentuk nilai itu.
International Valuation Standards Committee (2005, 75) menyatakan sebagai berikut:
“The working of economic principle of supply and demand reflects the complex interaction of four factors of value. The supply of good or service is affected by its utility and desirability. The availability of the good or service is limited by its scarcity and effective checks on the purchasing power of likely consumers. The demand for a good or service is, likewise, created by its utility, influence by its scarcity and desirability and restrained by limits on purchasing power. The utility for which a good or service is produced and the scarcity, or limited availability, of the good or service are generally considered supply-related factors. Consumers preferences power, which reflect desire for the good or service and define the affordability of the item, are generally considered demand-related factors.”
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
196
5.2.4. Alat Bukti Petunjuk
Seperti yang telah saya uraikan pada bab terdahulu, bukti petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Penilaian atas kekuatan alat bukti
petunjuk dalam setiap keadaan dilakukan hakim dengan cara mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya. Dengan demikian, hakekat fundamental alat bukti petunjuk ini adalah identik
dengan ―pengamatan hakim‖ karena pada akhirnya penilaian atas kekuatan
pembuktian akan banyak diserahkan pada kebijaksanaan dan kearifan hakim.
Pengamatan itu akan dilakukan hakim pada saat berlangsungnya persidangan.
Bukti petunjuk ini diambil dari cara menyimpulkan yang hanya dapat ditarik atas
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Bukti petunjuk ini diperlukan jika alat
bukti lain belum mencukupi batas minimum pembuktian (Mulyadi, 2007, 239). Pada
praktiknya, penerapan atas eksistensi alat bukti petunjuk ini tidak mudah, komplek dan
rumit. Peranan alat bukti petunjuk ini sangat penting karena jika bukti ini diabaikan oleh
judex factie (Hakim pengadilan tingkat pertama dan banding) bisa saja putusan
hukumnya akan dibatalakan oleh judex jurist (Hakim Mahkamah Agung).
Alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat seperti dalam putusan Majelis Hakim atas
perkara Bahri (lihat Putusan Majelis Hakim pada halaman 154 dan 159) sebagai
berikut:
“Menimbang bahwa setelah Majelis Hakim melakukan pemeriksaan terhadap pabrik Gula Kigumas dan kemudian dihubungkan dengan alat bukti surat dan keterangan saksi, ternyata terdapat peningkatan pekerjaan fisik baik bangunan sipil maupun mesin, terdapat pembangunan sarana pendukung lainnya yang tidak ada dalam perjanjian awal (garis bawah dan huruf tebal dari saya).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
197
Menimbang bahwa terhadap penyempurnaan perencanaan yang dilaksanakan oleh LPM UB tersebut karena tidak ada ikatan kontrak, maka telah dibuat addendum Nomor 05 dan 06, sehingga dari bukti-bukti tersebut telah membuktikan bahwa pekerjaan Pabrik Gula Mini (PGM) Kawasan Industri Gula masyarakat (Kigumas) yang merupakan suatu hasil rekayasa teknologi … telah terbukti adanya, (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sehingga menurut Majelis Hakim tidaklah mungkin pembangunan pabrik gula yang demikian itu dilakukan tanpa perencanaan (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sebagaimana dimaksud dalam addendum Nomor 05 dan 06 tersebut. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pekerjaan penyempurnaan perencanaan telah terbukti adanya, dengan kata lain tidak ada pekerjaan penyempurnaan yang fiktif (garis bawah dan huruf tebal dari saya) yang dilakukan oleh konsultan perencana, dalam hal ini adalah LPM UB, sehingga dengan demikian pembayaran yang diterima… adalah merupakan haknya atas pekerjaan yang telah dilakukannya oleh karena itu perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan (garis bawah dan huruf tebal dari saya) sebagai bentuk perbuatan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Dengan perrtimbangan-pertimbangan yang dibuat Majelis Hakim seperti yang
saya kutip di atas, maka menjadi sangat beralasan bahwasanya Bahri kemudian
dibebaskan dari segala tuntutan. Bunyi putusan itu dapat kita lihat pada kotak 6.3.
Di samping itu, perkara Santoso – mantan Sekda Kabupaten Malang yang
masih berkait erat dengan kasus Bahri – yakni perkara PG Kigumas, dalam salah satu
pertimbangan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malang menyatakan bahwa
terhadap Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tentang terdakwa menguntungkan
konsultan perencana dan pengawasan pembangunan PG Kigumas yaitu Bahri selaku
Ketua LPM UB sebesar Rp.489.334.493, karena proses penganggaran dan pencairan
anggaran bukan merupakan tanggung jawab terdakwa, tetapi hal itu merupakan
pelaksanaan dari produk hukum yaitu Perda No. 1 Tahun 2004 dimana Perda dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan sesuai UU No. 10 Tahun 12004 diakui
sebagai produk legislasi daerah yang sah, dan sepanjang Perda tersebut tidak pernah
ditolak oleh Gubernur maka Perda tersebut berlaku sah dan mengikat sehingga
pelaksanaan pencairan anggaran sesuai dengan Perda tersebut tidak dapat
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
198
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum baik secara pidana, perdata maupun
penyalahgunaan wewenangan secara administratif (de Tournament de Pouvoir)
Lebih lanjut, dari fakta yang terungkap di persidangan kasus Achmad Santoso
yang berkaitan dengan kasus Bahri, bahwa perhitungan kerugian keuangan Negara
yang dibuat oleh BPKP ternyata tidak akurat. Ketidakakuratan perhitungan itu
terungkap melalui keterangan ahli dari BPKP Propinsi Jawa Timur sendiri, bahwa yang
diserahi tanggung jawab menghitung untuk bangunan sipil PG Kigumas adalah Yudhi
Hindarto. Hasil perhitungan itulah kemudian dijadikan dasar dan acuan oleh BPKP
untuk menghitung kerugian Negara. Ternyata dalam menghitung kembali atas 13 item
bangunan sipil PG Kigumas tersebut Hindarto telah menggunakan harga satuan yang
berbeda dengan harga menurut kontrak maupun harga menurut SK Bupati. Dengan
demikian, ketidakakuratan perhitungan yang dilakukan oleh Hindarto tentu berakibat
pula pada ketidakakuratan perhitungan yang dibuat oleh BPKP. Semua keterangan itu
terungkap dalam persidangan atas nama terdakwa Santoso mantan Sekda Malang
Selanjutnya, hakim kemudian melakukan penelitian ulang terhadap hasil kerja
Yudhi Hindarto, ternyata dari hasil penelitian Majelis Hakim itu ditemukan kesalahan-
kesalahan dalam lembaran kerja Hindarto sebagai berikut:
Kesalahan pertama Hindarto adalah pada Item pekerjaan lantai/keramik: 1). Pemasangan keramik 30/30 Rp.7.324.875; 2), KM + Tempat Wudhu 20/20 lantai . Rp. 606.665; 3) KM + Tempat wudhu 20/25 Rp.2.682.120 Di jumlah oleh Yudhi Rp.7.324.875. seharusnya jumlah yang benar adalah Rp10.793650
Kesalahan kedua dari Hindarto adalah pada item pekerjaan lalin-lain yang
terdapat 22 item yang penjumlahannya tertulis Rp.1.953.800 padahal yang seharusnya
adalah Rp.4.005.297,65. Kesalahan ketiga pada item pekerjaan lantai/keramik
terjumlahkan Rp.1.039.980 padahal yang benar Rp.2.998.743,38. Dan keslahan yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
199
keempat adalah pekerjaan pasangan terdapat jumlah Rp.1.189.013,50 padahal
perhitungan yang benar adalah Rp.16.388.577,50.
Di samping perhitungan yang salah tersebut, menurut Majelis Hakim,
perhitungan Hindarto juga cacad. Cacat hukum itu dikarenakan perhitungan yang
dilakukan Hindarto tidak berpedoman pada item pekerjaan yang telah dilakukan
berdasarkan kontrak yang hasil akhirnya terlihat dalam as build drawing. Dalam as
build drawing yang ditunjukkan di pengadilan, ternyata as build drawing yang terlihat
hanya gambarnya tetapi penanda tangan as build drawing tidak ada sehingga dalam
melakukan perhitungan itu saksi Hindarto dianggap membuat Rencana Anggaran
Belanja (RAB) sendiri dan baru kemudian melakukan penghitungan. Hasil kerja
Hindarto itu dapat disimpulkan bahwa pertama adalah, terdapat penamaan item
pekerjaan yang berbeda antara kontrak dengan penghitungan Hindarto. Celakanya.
hasil perhitungan Hindarto yang salah itu kemudian dijadikan dasar dalam perhitungan
kerugian keuangan negara oleh BPKP. Kedua, terdapat item-item baru yang tidak ada
dalam kontrak. Ketiga terdapat item-item tertentu yang ada dalam kontrak namun tidak
dihitung dalam lembaran kerja perhitungan Hindarto. Keempat, terdapat item-item
pekerjaan yang judul atau namanya sama antara dalam kontrak dengan lembaran
kerja yang dibuat Hindarto namun baik volume maupun harga satuan berbeda, di
mana harga satuan pada kontrak lebih tinggi dari lembaran kerja yang dibuat Hindarto.
Dengan perhitungan-perhitungan yang tidak akurat dalam lembaran kerja Hindarto itu
kemudian digunakan dasar perhitungan oleh auditor investigatif BPKP Jawa Timur.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
200
Kotak 5.3.
PENGADILAN NEGERI MALANG
PUTUSAN PERKARA PIDANA Nomor: 330/PID.B/2007/PN.ML
Tanggal 13 Maret 2007 ATAS NAMA TERDAKWA
Prof. Dr.Ir. H SYAMSUL BAHRI, MS
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Malang yang memeriksa dan mengadili perkara Pidana dengan acara Pemeriksaan Biasa pada Peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa … dan seterusnya Telah membaca berkas perkara; Telah mendengar pembacaan dakwaan Penuntut Umum; Telah mendengar eksepsi… dan seterusnya Telah memperhatikan Putusan Sela … dan seterusnya Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa; Telah melihat surat-surat bukti Telah mendengan tuntutan pidana atas diri terdakwa … dan seterusnya Menimbang… dan seterusnya Mengingat pasa 2 ayat (1) dan pasal 3 ….dan seterusnya
M E N G A D I L I
- Menyatakan Terdakwa Prof. Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (garis bawah dan huruf tebal dari saya) melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair;
- Membebaskan Terdakwa Prof. Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS tersebut dari semua dakwaan; - Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan kota setelah putusan ini diucapkan; - Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. - … dan seterusnya
Sumber: Putusan Perkara Pidana, Nomor: 330/Pid.B/2007/PN.ML, Tanggal 13 Maret 2007
Demikian juga halnya, patokan harga satuan yang dipakai Hindarto tidak sama
dengan harga satuan yang terdapat pada SK Bupati Malang Nomor 2 Tahun 2003
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Anggaran Satuan Kerja maupun harga satuan
yang ditetapkan dalam kontrak. Menurut Majelis Hakim, karena dalam perkara ini
terdapat perhitungan yang tidak valid namun kemudian dijadikan dasar atau pedoman
BPKP, maka dengan sendirinya perhitungan Auditor BPKP tersebut tentu berakibat
tidak valid dan cacad hukum, baik secara materiil maupun secara proseduralnya
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
201
sehingga kualitas keterangan ahli yang disampaikan auditor investigatif BPKP propinsi
Jawa Timur patut diragukan kebenarannya dan tidak layak untuk dipedomani.
Kotak 5.4.
PENGADILAN NEGERI MALANG
PUTUSAN PERKARA PIDANA Nomor: 825PID.B/2008/PN.MLG
Tanggal 17 September 2009 ATAS NAMA TERDAKWA
Drs. H. ACHMAD SANTOSO
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Malang yang memeriksa dan mengadili perkara Pidana dengan acara Pemeriksaan Biasa pada Peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa … dan seterusnya Telah membaca berkas perkara; Telah mendengar pembacaan dakwaan Penuntut Umum; Telah mendengar eksepsi… dan seterusnya Telah memperhatikan Putusan Sela … dan seterusnya Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa; Telah melihat surat-surat bukti Telah mendengan tuntutan pidana atas diri terdakwa … dan seterusnya Menimbang… dan seterusnya Mengingat pasa 2 ayat (1) dan pasal 3 ….dan seterusnya
M E N G A D I L I
- Menyatakan Terdakwa Drs. H. Achmad Santoso tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (garis bawah dan huruf tebal dari saya) melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primair dan dakwaan subsidair;
- Membebaskan Terdakwa Drs. H. Achmad Santoso tersebut dari semua dakwaan; - Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan kota setelah putusan ini diucapkan; - Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. - … dan seterusnya
Sumber: Putusan Perkara Pidana, Nomor: 825 Pid.B/2008/PN.MLG, Tanggal 17 September 2009
Sejalan dengan keterangan ahli, menurut Majelis Hakim, doktrin hukum
menyatakan bahwa dalam menentukan penilaian apakah sesuatu keterangan dapat
dinilai sebagai keterangan ahli, bukan ditentukan oleh faktor keahlian orangnya,
melainkan ditentukan oleh ―bentuk keterangan‖ yang dinyatakan oleh ahli itu sendiri
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
202
yakni dalam bentuk keterangan menurut ―pengetahuannya secara murni‖ atau
keterangan yang mengambil basis hasil kerja orang lain.
Jadi, pada ujungnya, laporan perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN)
yang direkonstruksi BPKP Perwakilan Jawa Timur ternyata tidak akurat, tidak valid dan
cacad hukum,. Dengan laporan dengan kualitas semacam itu tentu, Majelis Hakim baik
untuk Perkara Bahri maupun Santoso (Mantan Sekda Malang) mengambil putusan
hukum dengan membebaskan keduanya dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (lihat
kotak 5.3 dan 5.4).
5.2.5. Alat Bukti Keterangan Tersangka
Keterangan tersangka ini lebih dikenal sebagai keterangan terdakwa
(erkentenis), Namun karena masih dalam proses penyidikan, keterangan yang mereka
buat akan saya sebut sebagai alat bukti keterangan tersangka. Alat bukti keterangan
tersangka adalah apa yang dinyatakan (diberikan) tersangka - yang pada nantinya
akan menjadi terdakwa - tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri. Jenis alat bukti ini merupakan gradasi kelima dari lima
macam alat bukti yang ada.
Berikut ini adalah sebagian Keterangan tersangka Bahri yang tertuang dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dirangkum dalam Dakwaan JPU, yaitu:
“Bahwa tersangka telah mengetahui dan membaca isi addendum kontrak Nomor 05 dan 06 tahun 2003 tanggal 09 Agustus 2003 sebelum menandatanganinya;
Bahwa addendum kontrak Nomor 05 tanggal 9 Agustus 2003 tentang perubahan tugas, pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan, yang ditanadatangani oleh pihak pertama, Bupati Malang – Sujud Pribadi dan pihak kedua LPM UB. Yang semula pekerjaannya adalah pengawasan pabrik (pabrikasi) berubah menjadi pekerjaan penyempurnaan perencanaan dan pengawasan pengadaan mesin (pabrikasi) yang waktunya semula 150 hari terhitung 11 Maret 2003 sampai dengan 9 Agustus 2003 berubah menjadi 233 hari dengan mulai tanggal 11 Maret hingga 30 September 2003.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
203
Bahwa addendum kontrak Nomor 06 tanggal 9 Agustus 2003 tentang perubahan tugas, pekerjaan, jangka waktu, biaya serta cara pembayaran pekerjaan, yang ditanadatangani oleh pihak pertama, Bupati Malang – Sujud Pribadi dan pihak kedua LPM UB. Yang semula pekerjaannya adalah pengawasan pembangunan peningkatan gedung utama dan sumur bor berubah menjadi penyempurnaan perencanaan dan pengawasan peningkatan gedung utama dan sumur bor pabrik gula Kigumas tahap III dan berdasarkan addendum Nomor 7 tahun 2003 tanggal 26 Agustus 2003 sumur bor diganti menjadi pekerjaan pipanisasi, sanitasi, perpipaan air bersih dan kelengkapannya.
Bahwa nilai addendum kontrak Nomor 05 tahun 2003 adalah sebesar Rp.639.748.000 dan nilai addendum kontrak Nomor 06 tahun 2003 sebesar Rp.309.111.800
Bahwa LPM UB dalam melaksanakan pekerjaan Konsultan pengawasan dan penyempurnaan pengawasan pabrikasi dan bangunan sipil telah dilaksanakan 100% dan dinyatakan selesai sesuai Berita Acara Penyelesaian pekerjaan sesuai dengan addendum Nomor 05 dan 06 Tahun 2003 tanggal 31 Oktober 2003 yang ditandatangani oleh Soedjito dan Talahatu.
Meskipun keterangan dari Bahri tidak dapat mengungkapkan adanya pekerjaan
fiktif dan kemudian dibayar oleh Pemkab Malang, penyidik mendasarkan sangkaan
pada alat bukti dari keterangan saksi lain dan keterangan ahli serta alat bukti surat dari
BPKP serta temuan barang bukti lainnya.
Masih pada kasus Syamsul Bahri, jaksa penyidik Kejaksaan Negeri Kepanjen
dalam mencari jawaban atas hypothetical construction of crime 5W+2H telah
melakukan penyidikan yang tidak mendasarkan pada Surat Perintah Tugas (SPT) yang
diperintahkan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. SPT Kajati Nomor Print:
32/0.5.5/Fd.1/04/2006 (Surat Perintah Tugas dari kejaksaan Tinggi Jawa Timur dapat
kita lihat pada kotak 5.5).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
204
Kotak 5.5.
KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR
SURAT PERINTAH TUGAS
Nomor Print:32/0.55/Fd.I/04/2006
KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR
Dasar : (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 8 ayat (3), pasal 9, 45, 84,138, 139 (2) ... dan seterusnya
Pertimbangan: (1) Bahwa dari hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri Kepanjen atas adanya
dugaan penyimpangan dana kegiatan KIMBUN berbasis tebu pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang TA 2004 yang dilakukan oleh Tersangka H.SAMI’AN, Drs. H. ACHMAD SANTOSO dan SAMADI
telah dtingkatkan ke tahap Penyidikan Pidsus (2) Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Surat Perintah Tugas untuk
melakukan penyidikan dugaan dengan Tindak Pidana Korupsi dimaksud, mengingat terjadinya tindak pidana dimungkinkan terjadi didaerah hokum Kejaksaan Negeri Kepanjen ataupun Kejaksaan Negeri Malang
M E M E R I N T A H K A N
Kepada : Jaksa Penyidik:
(1) N a m a : Timbul Tamba, SH., M.Hum Pangkat/NIP : Jaksa Muda/230022066 Jabatan : Kasi Datun pada Kejari Kepanjen
(2) N a m a … dan seterusnya
Untuk: (1) Melakukan tugas selaku Jaksa Penyidik atas adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam penyimpangan dana kegiatan KIMBUN berbasis tebu pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang TA 2004 atas Nama Tersangka H.SAMI’AN, Drs. ACHMAD SANTOSO dan SAMIADI.
(2) Agar dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab dan membuat laporan pelaksanaannya.
Dikeluarkan di : Surabaya Pada tanggal : 11 April 2006
An. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Assisten Tindak Pidana Khusus
Selaku Jaksa Penyidik
SUGIYANTO, SH.,MH
JAKSA UTAMA PRATAMA NIP. 230018623
Sumber: Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Surat Perintah Tugas, Nomor Print:32/0.55/Fd.I/04/2006
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
205
Dengan demikian, seharusnya penyidik dari Kejaksaan Negeri (Kajari)
Kepanjen tidak dapat melakukan prosedur penyidikan terhadap Bahri. Kenapa?
Karena SPT yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur tidak
mencamtumkan nama Bahri. Oleh karena itu, Tim Pengacara Bahri kemudian
melakukan Praperadilan, yang menurut advokat Kustaryo adalah sebagai berikut:
“Menurut saya, penyidikan atas perkara Bahri mengandung dua kesalahan subjek hukum, yang pertama adalah, sesuai dengan pasal 20 UU Tindak Pidana Korupsi seharusnya yang diperkarakan itu bukan Syamsul Bahri, tetapi LPM UB. Kedua, dalam Surat Perintah Tugas yang dibuat Kajati tidak menyebut nama Syamsul Bahri. Padahal, berkas penyelidikan itu tentu telah melalui ekspose (eksaminasi/gelar perkara) internal Kajati, kemudian keluarlah Surat Perintah Tugas kepada Jaksa Penyidik. Lalu atas dasar apa penyidik dari Kejaksaan Negeri Kepanjen melakukan penyidikan atas Syamsul Bahri? Karena itu, Tim advokat Syamsul Bahri melakukan perlawanan dengan mengajukan pra-peradilan…”
Maksud pernyataan Koestaryo yang pernah menjadi salah satu tim advokat
Syamsul Bahri atas kesalahan ‗subjek‘ pada salah subjek hukum pada point pertama
tersebut adalah bahwa dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh/atau atas
nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi. Dengan demikian, tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, atau bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Kasus Bahri ini, menurut Kustaryo akan
lebih ‗pas‘ ditembakkan pada korporasi (LPM) dan bukan pada pribadi Bahri. Manakala
hal ini benar, maka visum akuntansi forensik itu akan tidak salah subjek.
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 yang telah
diperbaharui kembali dengan UU Nomor 20/2001 yang dinyatakan dalam pasal 20
menentukan bahwa dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,
maka korporasi tersebut akan diwakili oleh pengurus. Pengurus yang mewakili
korporasi sebagaimana dimaksud dapat diwakili oleh orang lain. Hakim juga dapat
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
206
memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan, dan
hakim dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan. Yang lebih penting lagi dan perlu kita garis bawahi adalah bahwa dalam
deraan pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Artinya
kerugian yang diderita Negara itu pidananya dapat ditambahkan dengan jumlah
sepertiganya lagi. Dengan demikian, menurut Tim Kuasa Hukum Bahri, seharusnya
yang diperkarakan adalah LPM UB dan bukan Bahri sebagai Ketua LPM, dan inilah
yang Tim Kuasa Hukum menyebutnya sebagai ―salah subjek‖.
Andaikan pandangan bahwa korporasi (LPM) yang harus dijatuhi hukuman, lalu
siapakah yang akan mewakili LPM UB, tentu Bahri sebagai Ketua LPM-nya. Kita juga
dapat menyaksikan bahwa dalam sejarah penegakan hukum pidana di Indonesia kita
mengetahui dan menyaksikan bahwa belum pernah terjadi peristiwa penjatuhan
hukuman pidana kepada korporasi. Dalam pandangan saya, bahwa korporasi adalah
realitas subjek hukum, kita akan mengalami a bounded rationality. Karena korporasi itu
dalam bekerjanya akan selalu diwakili oleh para pengurusnya. Jadi, bagi saya
formulasi dalam UU TPK itu terdapat penjatuhan hukuman kepada korporasi itu, hanya
ada dalam kertasa (das solen) belaka dan tidak pernah akan terjadi dalam realitanya
(das sein).
Salah subjek yang kedua itu menurut advokat yang memndampingi Bahri
adalah, berbasis pada Surat Perintah Tugas Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dengan
surat perintah tugas Nomor:32/0.5.5/Fd.1/04/2006 tertanggal 11 April 2006
memerintahkan 8 (delapan) Jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri Kepanjen untuk
memeriksa sebagai tersangka terbatas hanya pada tiga orang yakni SAMI‘AN,
SANTOSO dan SAMIADI dan tidak termasuk BAHRI. Namun ternyata pada tanggal 12
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
207
April 2006 Kejaksaan Negeri Kepanjen telah menerbitkan sendiri Surat Perintah Tugas
Nomor: Print-04/0.5.43/Fd.1/4/2006 yang memerintahkan jaksa penyidik Kejaksaan
Negeri Kepanjen untuk memeriksa BAHRI. Dengan kejadian ini, dalam pandangan Tim
Advokat Syamsul Bahri terjadi kesalahan ‗subjek hukum‘.
Dengan kesalahan subjek yang terdapat dalam penetapan dan pemeriksaan
Syamsul Bahri Tim Advokat mengajukan pra-peradilan kepada Ketaua Pengadilan
Negeri Kepanjen pada tanggal 19 Nopember 2007 bernomor: 008/Pid/TAPH/XI/2007.
Penetapan dan pemeriksaan Bahri sebagai tersangka, lebih khusus lagi kemudian
adanya perintah penahanan – menurut Tim Advokat - merupakan tindakan yang telah
keluar dari hirakhi perintah dan keputusan Kejaksaan Tinggi jawa Timur selaku instansi
yang membawahinya. Penggunaan kewenangan penahanan itu benar-benar dan
secara mencolok merupakan pelanggaran terhadap asas berlakunya kepastian hukum
dan asas proporsionalitas.
Namun, sayangnya pengadilan untuk pra-peradilan ini tidak dapat diteruskan,
karena telah didahului dengan dilaksanakannya atau digelarnya persidangan atas
pokok perkara atas diri Bahri yakni dakwaan melakukan tindak pidana korupsi pada
proyek KIGUMAS Gondanglegi Malang.
Berbeda dengan Kustaryo, Nurhadi Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Kepanjen
mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri
Kepanjen. Penyelidikan (lidik) maupun penyidikan (sidik) adalah wewenang penuh dari
Kejaksaan Negeri Kepanjen. Kalau Kajari Kepanjen meminta kepada Kajati itu lebih
disebabkan karena si pelaku berada di Kodya Malang, sedangkan perbuatan yang
dilakukan adalah dalam wilayah jurisdiksi hukum Kabupaten Malang. Karena itu tidak
ada persoalan atas disidiknya Bahri tersebut.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
208
Selanjutnya, mencari, menemukan dan mengumpulkan Mozaik Bukti Akuntansi
Forensik memang bukan perkara mudah. Kesulitan itu juga dikatakan oleh Jeremy
Pope (2003, 496) sebagai berikut:
“Berbeda dengan tindak pidana lainnya (tetapi sama dengan kejahatan yang dilakukan organisasi kejahatan), tindak pidana korupsi biasanya tidak memiliki korban yang jelas dan melapor. Semua orang yang terlibat mendapat untung, dan semuanya berkepentingan untuk merahasiakannya. Karena itu, bukti-bukti untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan sangatlah sulit diperoleh. Para pelaku, masing-masing, berkuasa atas pelaku lainnya.
Dalam soal saling merahasiakan tersebut, pada kasus tindak pidana korupsi,
banyak rantai penghubung yang terputus dan sengaja diputus agar sulit untuk
ditelusuri. Misalnya saja untuk menemukan alat bukti surat dalam soal penyuapan –
semisal Gayus Tambunan – bukan perkara mudah, karena tidak pernah ada
penyuapan menggunakan kwitansi, transfer rekening atau menggunakan traveller
check. Dana suap dibawa dengan menggunakan amplop, tas kresek, kardus, dan
sejenisnya bahkan bisa juga dalam bentuk karungan. Pada umumnya, mereka itu bisa
ditangkap, manakala ada informasi yang cukup meyakinkan dari whistle blowers,
dan/atau mereka ―tertangkap tangan‖ saat melakukan transaki. Seperti tertangkap
Hakim Ibrahim dengan Advokat Adner Sirait yang melakukan transaksi perkara – yang
merupakan covert operation dan surveilance operation yang dilakukan KPK.
Sepenggal kisah penangkapan itu adalah sebagai berikut: Hari Senin tanggal 30
Maret 2010, Adner Sirait menemui Hakim Ibrahim di Kantornya. Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (TUN) DKI Jakarta. Dengan berseragam biru, Ibrahim berkata kepada
Adner Sirait: ―mana uangnya, serahkan saja‖. Namun, sebelum uang diserahkan,
Ibrahim membatalkan, ia memberikan ―kode‖ pembatalan transaksi lantaran situasi
kantornya tidak memungkinkan transaksi itu dilakukan. Kemudian keduanya menuju
kawasan Cempaka putih Jakarta, dengan menggunakan mobil masing-masing. Di
tengah jalan, keduanya menghentikan mobilnya, lalu Sirait keluar dari mobilnya
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
209
membawa tas plastik berisi uang dan menyerahkannya ke Ibrahim. Setelah itu, tidak
lama kemudian, di jalan Mardani Raya, Cempaka Putih, keduanya ditangkap oleh
petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Petugas menemukan uang 300 juta
rupiah dengan pecahan 50 ribu rupiah dan 100 ribu rupiah yang diletakkan di bawah jok
mobil hakim Ibrahim. Transaksi itu dilakukan dengan maksud untuk memenangkan
perkara PT. Sabar Ganda yang ditangani Sirait (Koran Jakarta, 24 Juni 2010).
Demikian juga, kasus Jaksa Urip yang ditangkap petugas KPK saat menerima
uang suap dari Artalyta Suryani. Demikian juga halnya, setali tiga uang, saat Mulyana
Wirakusuma (Anggota KPU) ditangkap KPK saat melakukan penyuapan kepada
Khairiansyah Salman (auditor BPK-RI) di Hotel Ibis Jakarta.
Kejadian semcam itu, menurut Ahmad Erani Yustika, Pengamat Ekonomi
Politik yang Juga Pengajar Ekonomi Kelembagaan di FE UB mengatakan: ―ciri yang
melekat pada birokrat kita adalah kerja santai, ingin gaji tinggi tetapi ber-ethos kerja
rendah‖. Erani menyarankan agar diciptakannya suatu sistem yang dapat
mengantisipasi potensi munculnya moral hazard di kalangan birokrat. Sistem itu harus
mampu mengontrol para birookrat, terutama yang bekerja di bidang dengan tingkat
potensi moral hazard-nya cukup tinggi. Pembenahan birokrasi tidak perlu hanya
mengandalkan renumerasi semata, karena renumerasi tanpa diimbangi dengan sistem
pencegah moral hazard akan percuma saja.
Di samping itu, lanjut Yustika, harus diterapkan terhadap aktivitas birokrat yang
bekerja di bidang sensitif, misalnya di bidang pajak. Dalam cara kerja Sistem
Pengendalian itu, harus mengadopsi pola kerja intelejen. Selanjutnya, para Birokrat itu
juga harus dibuat bangga (esprit of de-corp) dengan jabatan dan tanggung jawab yang
diembannya, sehingga memiliki beban moral untuk menghindari penyelewengan.
Selain itu, pemakaian seragam juga perlu ditinjau kembali, karena selama ini baju
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
210
seragam justru dimanfaatkan untuk menakut-nakuti publik yang semestinya
dilayaninya.
Sejalan dengan usulan Yustika, namun berbeda konteks, Simanjutak (2009, 71)
menggagas atas bagaimana cara kerja efektif dalam mencari dan memburu alat bukti
dan barang bukti. Simanjutak mengatakan sebagai berikut:
“Untuk hal demikian... sangat penting adanya penyelidikan yang didukung oleh perangkat intelejen berkualitas tingkat tinggi... Praktek dunia spionase atau intelejen mengajarkan bahwa dalam setiap peristiwa akan selalau ada “jejak peninggalan” di tempat kejadian perkara. Cara kerja untuk menemukan itu dikenal dengan „crime scene processing‟ atau pengelolaan rangkaian peristiwa kejahatan. Beberapa teknik, taktik dan scientific crime investigation yang lazim dalam penyelidikan memerlukan observasi, interview, surveilance dan under cover, akan tetapi semuanya harus dilakukan dengan memenuhi aspek legalitas dan legitimasi, dalam arti harus sesuai dengan wewenang di dalam undang-undang sehingga hasilnya memperoleh kepercayaan publik (public trust) dan tidak masuk ke dalam perangkap risiko dituntut balik oleh pihak yang diselidiki...”
Apa yang diungkapkan Simanjutak itu tentu memerlukan eksistensi SDM
canggih yang terlatih. Karena ‗setan‘ dan ‗demit‘-nya ada di dalam detil teknik (the devil
is in details and technicalities). Dengan demikian, SDM itu harus memiliki kompetensi
dalam wujud knowldege, technical know how, personal integrity, professional integrity
serta otoritas yang dapat melindunginya secara hukum dalam menjalankan setiap
aktivitasnya.
Di samping itu, pertanyaannya adalah mengapa penyidikan itu tidak mudah
dilakukan, berbiaya mahal dan memakan waktu panjang? Jawabannya adalah, karena
yang mau dicari, ditemukan dan dikumpulkan adalah kebenaran suatu peristiwa yang
telah lalu (post-factum). Artinya, penyidikan harus merekam ulang (merekonstruksi)
kejadian yang lalu, sebagai sejarah fakta untuk dihadirkan kembali, diungkap kembali,
dan diuraikan kembali secara jelas dan terang berbasis alat bukti dan barang bukti,
dan bukan hanya sekedar celoteh dan dongeng tanpa bukti serta tanpa saksi. Sejarah
fakta itu akan digunakan sebagai bahan bukti formulasi Dakwaan, digunakan dalam
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
211
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, dan dielaborasi pada nota
pembelaan baik oleh terdakwa maupun advokat.
Selain dari pada itu, saat pertama kali penyidik melakukan penyidikan, dia
harus membuat surat pemberitahuan kepada penuntut umum, surat itu adalah
penjelasan mengenai Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Tahap
berikutnya penyidik membuat surat panggilan kepada saksi-saksi, terdakwa, dan ahli.
Pemanggilan pada umumnya meggunakan pola spiral atau mirip kumparan besar yang
menuju ke titik dan target akhir yakni ―terdakwa‖. Artinya, BAP akan dibuat penyidik
dimulai dari saksi-saksi lalu mengerucut dan berakhir pada si terdakwa. Dalam
penyidikan ini, akan dilakukan interogasi-interogasi (yang menghasilkan pengakuan-
pengakuan) kemudian akan berakhir pada penanda tanganan BAP oleh saksi maupun
terdakwa.
Persiapan atas kelengkapan berkas perkara yang menyertakan alat bukti dan
barang bukti merupakan tanggung jawab penuh penyidik untuk kemudian diserahkan
kepada jaksa penuntut umum (JPU) yang pada tahap berikutnya digunakan sebagai
dasar dalam sidang di pengadilan. Proses demikian disebut sebagai tahap
prapenuntutan (pretut), yakni persiapan sampai penyerahan semua berkas perkara,
alat-alat bukti, dan tersangka dari pihak penuntut pada JPU, sehingga sejak saat itu
akan beralih tanggung jawab tersangka dari pihak penyidik menjadi tanggung jawab
JPU.
Bilamana JPU mempertimbangkan berkas penyidikan belum lengkap untuk
diteruskan ke persidangan (dikenal dengan istilah sandi : P-19), maka dalam waktu 7
(tujuh) hari harus diberitahukan lagi kepada penyidik supaya dilengkapi menurut
pedoman dan petunjuk JPU. Penyidik hanya memiliki waktu 14 (empat belas) hari
untuk melengkapi lagi berkas itu sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Dalam hal
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
212
JPU mempertimbangkan bahwa berkas sudah lengkap, secara teknis yuridis (dikenal
dengan sandi: P-21, maka JPU segera memberitahukan supaya penyidik
menyerahkan berkas dan segala tanggung jawab dari penyidik beralih kepada JPU.
Dengan terjadinya serah terima BAP, segala barang bukti dalam visum akuntansi
forensik dan termasuk tersangkanya dialihkan tanggung jawabnya dari pihak penyidik
kepada pihak penuntut umum.
Gambar 5-1 POLA SPIRALISASI PENCARIAN DAN PENEMUAN BUKTI DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP)
Di situlah tampak secara jelas mekanisme saling kontrol antara penyidik dan
JPU. Karena itu, penyidik harus sejak awal memberitahuakan kepada JPU (SPDP)
ketika penyidik memulai penyidikannya: Keputusan JPU melakukan P- 19 atau P- 21
adalah sebagai kelanjutan mekanisme dari SPDP sebelumnya. Dengan kata lain,
begitu ada SPDP maka sejak itu JPU sudah wajib memantau dan mengikuti
perkembangan penyidikan supaya pada saatnya nanti JPU bisa mengatur jadual kerja
dalam menerima dan menangani perkara itu, atau JPU bisa menagih kelanjutan
penyidikan kepada penyidik.
Proses penyidikan ini menegaskan bahwa setiap berkas perkara yang sudah
lengkap akan diserahkan oleh penyidik kepada JPU. Dengan demikan, perkara harus
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
213
diteruskan JPU ke pengadilan. Dakwaan juga berisi permintaan supaya terdakwa
segera diperiksa dan diadili di sidang di pengadilan yang digelar secara terbuka.
Artinya, karena syarat-syaratnya sudah dipenuhi, semua yang terlibat dalam perkara
tindak pidana korupsi itu harus dihadapkan ke pengadilan. Prosedur yang berjalan
seperti itu dikenal sebagai penerapan ‗asas legalitas‘.
Asas legalitas yang tertuang dalam pasal 1 KUHP (Kitab Undang-undang
Hukum Pidana) merupakan suatu konsekuensi dari ketundukan pada paham rule of
law. Paham rule of law ini akan meliputi tiga pemahaman, yakni semua orang akan
sama derajadnya di hadapan hukum (equality before the law), semua orang
mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the
law), dan semua orang akan mendapatkan perlakuan keadilan yang sama di bawah
hukum (equal justice under the law). Tiga hal inilah yang menjadi tumpuan dan arah
dari asas legalitas yang dianut dalam madzab hukum Indonesia.
Selanjutnya, dalam soal berkas penyidikan yang diserahkan penyidik kepada
penuntut umum, hal paling esensial adalah ditemukannya unsur kerugian negara
dalam kasus-kasus korupsi. Essensialnya unsur ini diungkapkan oleh Kustaryo
mengungkapkan sebagai berikut:
“Jika kerugian negara telah ditemukan, maka pekerjaan penyidik pada umumnya akan sangat mudah untuk mencari dan menemukan unsur penyalahgunaan wewenang dan/atau perbuatan melawan hukumnya serta menguntungkan diri sendiri, orang lain dan/atau korporasi. Namun, sebaliknya kesulitan akan hadir secara nyata manakala nilai kerugian negara tersebut belum dapat dipastikan. Karena penyalahgunaan wewenang dan/atau perbuatan melawan hukum kita temukan akan tetapi kerugian negara tidak kita temukan maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan korupsi.”
Kalimat Kustaryo tersebut dapat kita buktikan dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 995.K/PID/2006, atas kasus Nazaruddin Sjamsuddin (Ketua KPU) yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
214
merupakan refleksi kerja keras penyidik KPK yang kemudian menghasilkan simpulan
sebagai berikut:
“Rangkaian perbuatan terdakwa, Nazaruddin Sjamsuddin… telah menguntungkan terdakwa sendiri atau saksi … atau setidaknya orang lain atau korporasi yaitu PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967; yang telah atau dapat merugikan keuangan Negara sejumlah Rp.14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) atau setidak-tidaknya Rp.14.193.000.000 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) yang dihitung dari seluruh pembayaran yang telah dibayarkan kepada PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu Rp.14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah) dikurangi keseluruhan klaim asuransi yang dibayarkan PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp.607.000.000 (enam ratus tujuh juta rupiah) sehingga menjadi Rp.14.193.000.000 (empat belas milyar seratus sembilan puluh tiga juta rupiah) sebagaimana perhitungan kerugian Keuangan Negara yang dilakukan ahli Slamet Tulus Wahyana, Ak, CFE dari Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan sesuai dengan Laporan Perhitungan Kerugian Negara atas kasus pengadaan jasa penutupan asuransi Komisi Pemilihan Umum tahun anggaran 2004 tertanggal 26 Juni 2005 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut… dan seterusnya…”
Dengan demikian, uraian dalam simpulan yang dibuat penyidik KPK di atas
sebenarnya menyiratkan pandangan paling tidak adalah pertama, meskipun alasan
Nazaruddin adalah dalam rangka untuk mensukseskan pemilu, namun perbuatan
Nazaruddin dengan mengenyampingkan Kepres 80/2003 adalah tidak dapat
dibenarkan. Kedua adalah, perjanjian penutupan asuransi dengan PT Bumida tersebut
tidak sesuai dengan Kepres 80/2003. Perjanjian penutupan asuransi mengandung
unsur perbuatan melawan hukum. Ketiga kesalahan terdakwa adalah telah menerima
tanda terima kasih dari rekanan meskipun uang itu digunakan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan pegawai dan anggota KPU yang kemudian dibagi-
bagikan kepada seluruh pegawai. Perbuatan tersebut merupakan bentuk perbuatan
melawan hukum sekaligus bentuk perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Pada kasus lain. Misalnya adalah Dakwaan dengan No. 12/TUT.KPK/X/2005
kepada Terdakwa I Budiarto dan Terdakwa II Yussac disebutkan hal-hal sebagai
berikut:
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
215
“Bahwa terdakwa I DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si, secara bersama-sama atau bertindak
secara sendiri-sendiri dengan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si dan saksi FTK HAREFA Als. TJETJEP HAREFA (tersangka yang berkas perkaranya diajukan secara terpisah), telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut (voorgezette handeling), pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Pebruari 2004 sampai dengan bulan September 2004 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2004, bertempat di Kantor Komisi Pemilihan Umum Jl Imam Bonjol No. 29 Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang berdasarkan pasal 54 (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara dan perekenomian Negara yang dilakukan dengan cara-cara… Bahwa terdakwa DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa keperluan Kantor Sekretariat Jenderal KPU yang diangkat berdasarkan SK KPU Nomor:07/SJ/KPU/2004 tanggal 06 Januari 2004, sesuai dengan Nota Dinas Ketua KPU Prof.Dr.NAZARUDDIN SJAMSUDDIN Nomor 35.1/ND/II/2004 tanggal 9 Februari 2004 dan nota dinas nomor 83/ND/II/2004 tanggal 20 Februari 2004 dan Buku Keputusan KPU Nomor 104 Tahun 2003 berikut Panduan Teknis Pemantau Pemilu 2004 serta pekerjaan pencetakan buku panduan KPPS dan calon Daftar Calon Anggota DPR RI dan DPD Tahun 2004 dengan metode pemilihan langsung, yang pembiayaannya bersumber dari dana operasional KPU yang seluruhnya dibebankan pada APBN
Bahwa dari rangkaian perbuatan Terdakwa I DRS. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si sebagaimana diuraikan di atas, telah menguntungkan Terdakwa I DRS. R. BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si atau saksi-saksi FTK HAREFA Als. TJETJEP HAREFA, atau orang lain, yaitu; saksi Muslim Hasan, Saksi SURYADI HERTANTO, saksi H. IRSAL YUNUS, Saksi SHE MING MINTARDJA, saksi AGUS SALIM dan saksi YONGKI WIJAYA atau suatu korporasi. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa I DRS. R. BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si tersebut telah merugikan keuangan negara sejumlah Rp.20.076.475.133 (dua puluh miliar tujuh puluh enam juta empat ratus tujuh puluh lima ribu seratus tiga puluh tiga rupiah) yang dihitung dari selisih antara jumlah pembayaran netto yang dikeluarkan oleh Bendaharawan Operasional KPU untuk pencetakan buku-buku dan daftar cetak warna dan hitam putih calon anggota DPR RI dan DPD dengan nilai buku-buku dan daftar cetak warna dan hitam putih calon anggota DPR RI dan DPD, sebagaimana perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh ahli ERNADHI SUDARMANTO, AK, CFE dari BPKP dan sesuai dengan laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Tim BPKP Nomor: SR-577/D6/1/2005 tanggal 23 September 2005 atau setidak-tidaknya dapat merugikan keuangan Negara sekitar jumlah tersebut… Perbuatan Terdakwa I Drs. R BAMBANG BUDIARTO, M.Si dan Terdakwa II H. SAFDER YUSSAC, S.Sos, M.Si diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat(1) ke-1 pasal 64 ayat (1) KUH Pidana .. Hal-hal yang manarik dari kasus tindak pidana korupsi dalam kasus-kasus
KPU, menurut kajian saya, pertama adalah persoalan diskresi. Sebagaimana
Keterangan Muchlis Hamdi yang disampaikannya di Pengadilan, sosok ahli bidang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
216
Adminsitrasi Publik menyatakan bahwa ―Keputusan Pleno‖ adalah keputusan tertinggi
dalam Organisasi KPU. Jika keputusan pleno masih menimbulkan kerugian Negara
maka keputusan itu harus menjadi tanggung jawab pleno. Kedua adalah, bilamana
terdapat memo/tulisan ―harap di proses‖ secara inheren akan mengandung makna
bahwa ‗agar diproses‘ harus diartikan sebagai dapat dilakukan manakala pelaksanaan
memo sesuai dengan peraturan yang berlaku. Memo dalam konteks pengadaan
barang/jasa sudah ada peraturannya seperti Keppres 80/2003 tentang tata cara
pengadaan barang/jasa. Demikian juga memo dinas yang isinya ―agar diproses‖ maka
perintah dinas itu harus dilaksanakan sesuai dengan alamat memo tersebut.
Namun, manakala perintah tidak dalam bentuk ―memo‖ tetapi ―lisan‖ tentu
tindak lanjut dari perintah lisan itu harus tertulis, dan manakala perintah lisan kemudian
ditindaklanjuti maka dapat ditafsirkan sebagai inisiatif pelaksanaan dari bawahan itu
sendiri. Dalam organisasi pemerintahan, antara atasan dan bawahan terdapat
―tingkatan-tingkatan (leveling)‖ yang di setiap jenjangnya terdapat wewenang dan
tanggung jawab sendiri-sendiri. Karena itu bilamana ada perintah atasan tidak sesuai
dengan aturan maka telaah staf (pertimbangan-pertimbangan bawahan) merupakan
salah satu fungsi dari tugas staff. Atasan memiliki fungsi pengawasan namun dari segi
substansinya, pelaksanaan suatu perintah merupakan tanggung jawab yang
melaksanakan.
Demikian juga halnya, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
17/Pid.B/TPK/2006/PN.JKT.PTS, yang di dalamnya terdapat ―Dakwaan‖ yang dibuat
oleh penuntut umum tertanggal 25 September 2006 antara lain berisi sebagai berikut:
“Bahwa ia, terdakwa Rustam Effendy Sidabutar, SH.,M.Si baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan Budhi Susanto dan Ir. Sylvira Ananda, M.Sc pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi dalam bulan Januari 2003 sampai dengan bulan Desember 2004, atau setidak-tidaknya dalam waktu-waktu lain didalam tahun 2003 sampai dengan tahun 2004, bertempat di ruang kerja Terdakwa pada kantor Dinas Perhubungan DKI Jakarta Jalan Taman Jatibaru No.1 Jakarta Pusat, atau setidaknya pada suatu tempat yang berdasarkan pasal 54 ayat (2) Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 masih termasuk dalam wilayah hukum
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
217
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut, secara melawan hukum yaitu dalam pengadaan bus untuk penyediaan sarana Bus Way Tahun anggaran 2003 dan tahun 2004 tidak mengindahkan atau bertentangan dengan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 80/2003 serta tidak mengindahkankanatau bertentangan dengan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 175/2003 dan 108.2003 tentang tata cara pelaksanaan APBD, memperkaya diri sendiri yaitu terdakwa atau orang lain yaitu Budhi Susanto, Ir. Sylvira Ananda, Saksi Hadi Wuryandanu, Saksi David Herman Jaya, atau suatu korporasi PT Irama sejuk Sentosa, dan PT. Armada Usaha Bersama, serta PT Mekar Armada Jaya yang dapat merugikan keuangan negara yaitu sebesar Rp.10.621.101.549,32 (sepuluh milyar enam ratus dua puluh satu juta seratus satu ribu lima ratus sembilan puluh empat ribu rupiah tiga puluh dua sen) sessuai dengan perhitungan ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang tertuang dalam laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan negara (PKKN) atau setidak-tidaknya sejumlah itu yang dilakukan terdakwa dengan cara… “
5.3. CATATAN AKHIR DAN PROPOSISI
Berkaitan dengan alat bukti pada dasarnya, kehandalan dan kekuatannya alat
bukti, barang bukti dan pembuktian masih mengandalkan pada bukti dan pembuktian
yang bersifat inderawi. Auditor Investigatif, penyelidik dan penyidik berupaya mencari
dan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan mereka atas
kebersalahan/pelanggaran yang dilakukan tersangka. Analisis pada tempat kejadian
perkara (TKP) atau tempus delicti mungkin saja dapat memberikan bukti-bukti fisik
berupa barang bukti, tetapi keterangan saksi-saksi dan keterangan terasangkalah yang
seringkali dapat menimbulkan keyakinan kuat atas kebersalahan tersangka. Dengan
demikian, tujuan wawancara dan interogasilah yang akan mendominasi keyakinan kuat
mereka itu.
Kemampuan membongkar kebohongan dan mengarahkan pada pengakuan
merupakan alat psikologi yang harus dimiliki auditor investigatif, penyelidik dan
penyidik. Namun, pada satu saat alat psikologi ini kadangkala dapat didayagunakan
untuk membujuk tersangka, pada saat yang lain alat yang sama ini menuntun
tersangka yang lemah tetapi tidak bersalah mengakui kejahatan yang sebenarnya tidak
dilakukannya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
218
Padahal, terdapat beberapa alasan mengapa auditor investigatif, penyelidik dan
penyidik lebih menyukai pengakuan bersalah dibanding bukti-bukti lainnya, antara lain
pertama adalah pengakuan bersalah menghemat waktu, karena mencari dan
mengumpulkan barang bukti, menanyai saksi-saksi lalu melakukan analisis berjalan
lamban, memakan banyak waktu, dan membosankan. Di samping pengakuan bersalah
dari tersangka seringkali diikuti pemberitahuan atas di mana tempat uang hasil korupsi
disembunyikan, kapan dilakukan, bersama siapa melakukannya, bagaimana cara
melakukannya dan lainnya. Kedua adalah, pengakuan bersalah adalah hal yang paling
terdekat, diyakini serta menguatkan dengan dakwaan tindak kejahatan yang dilakukan
terdakwa. Pengakuan bersalah adalah jalur cepat bagi pembuktian, yang juga
menempatkan terdakwa menuju putusan bersalah.
Karena pengakuan merupakan cara efektif dan efesien dalam putusan hukum,
maka pada masa lalu sesuai hasil penelitian Skolnick dan Fyfe (1993) untuk
memperoleh pengakuan bersalah itu banyak dilakukan pukulan dan kebutralan, seperti
memukul dengan tinju, gagang senjata, pipa karet, penthungan, membakar kulit
dengan rokok, menggunakan kejutan listrik dan lainnya hingga cara-cara terselubung
dengan menggunakan water cure (terapi air) yakni menekan kepala tersangka ke
dalam toilet hingga nyaris terebenam, atau menuangkan air ke dalam lubang hidung
yang berbaring terlentang.
Siksaan-siksaan fisik itu, bisa juga dikombinasikan dengan deprivasi, diisolasi, dan
diintimadasi. Deprivasi adalah cara efektif untuk menurunkan resistensinya, dengan
menunda makan, penundaan pemberian air minum, atau tidak memberikan ijin ke toilet
dapat membuat tersangka lebih mau mengaku. Isolasi di sel yang gelap
(incummunido) dapat juga untuk membujuk tersangka membuat pengakuan. Cara-cara
pencarian pengakuan kepada tersangka seperti itu, boleh jadi akan terjadi lomba
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
219
sumpah (swearing contest) di pengadilan, artinya petugas akan bersumpah tidak ada
koersi (paksaan) dan terdakwa juga bersumpah telah terjadi koersi, tetapi sumpah
petugas yang biasanya lebih dipercaya. Kadang petugas juga mengancam, jika
tersangka membuka koersi yang dilakukan petugas di muka pengadilan, pada saat
tersangka masuk tahanan, maka dia diancam akan diperlakuan dengan perlakuan
yang tak terbayangkan.
Bahkan, terhadap terhadap tersangka yang tidak koperatif, dia akan dipegang
dengan posisi terbalik, kaki di atas kepala di bawah , di luar jendela gedung atau ujung
tangga yang tinggi. Perlakuan kepada tersangka kadang mereka ditumpuki dengan
buku-buku yang ditumpuk di kepalanya, jika tersangka tidak menjawab pertanyaan
yang diajukan lalu buku-buku itu dipukul berulang-ulang maka akibatnya tersangka
akan mengalami kesakitan yang tak terhankan tetapi tidak meninggalkan bekas luka
atau lebam sedikitpun. Cara lain adalah, tersangka diminta berdiri tegak selama
berjam-jam secara terus menerus atau wajahnya dibenamkan pada muka mayat di
kamar mayat. Bisa juga, tersangka diperdengarkan suara jeritan menyayat dan
erangan yang menghiba-hiba dari ruang sebelah (meskipun itu sebenarnya hanya
suara dari tape-recorder saja)
Bisa juga skenario ―god and bad interogator‖ diperankan untuk memancing
pengakuan tersangka. Caranya adalah pada pertama kali yang berperan sebagai
interogator baik akan menemui tersangka dengan menebar simpati dan mengesankan
bahwa dia adalah petugas yang penuh pengertian, tetapi pada akhirnya dia berpura-
pura kecewa karena tersangka terus menerus melakukan kebohongan atas
keterlibatnnya pada tindak kejahatan. Pada saat itu, petugas jahat akan memasuki
ruang interogasi dan mencaci-maki petugas yang berbaik-baik dengan tersangka
karena yang dilakukan itu membuang-buang waktu dengan tersangka yang terus
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
220
menerus berbohong. Petugas yang berperan baik meninggalkan ruangan sambil
menggerutu dan sakit hati terhadap umpatan-umpatan petugas yang berperan jahat.
Berada dalam satu ruangan interogasi bersama tersangka, si peran jahat akan
memaki-maki tersangka, marah-marah, melempar kursi dan mengata-ngatai tersangka
dengan kata-kata yang menyakitkan. Lalu kembalilah si peran baik dan meminta si
peran jahat untuk keluar dari ruangan. Kemarahan yang ditunjukkan si peran jahat
membuat banyak tersangka mengakui kejahatannya saat berhadapan dengan si peran
baik.
Semua cara yang saya sebut pada uraian sebelumnya itu merupakan cara-cara
dan trik-trik teatrikal, tindakan koersif psikologis ambigu yang digunakan untuk meraih
pengakuan dari tersangka, namun cara seperti itu merupakan tindakan illegal telah
melanggar KUHAP dan HAM. Pengakuan tersangka yang seharusnya diraih adalah
―pengakuan sukarela‖ . suatu pengakuan yang bermartabat dan mengakui eksistensi
hak-hak asasi manusia.
Selanjutnya, penelitian Moston, Stephenson, dan Williamson (1992) dan Sofly
(1980) yang dikutip Constanzo (2006, 49) menyatakan bahwa sekitar 39% sampai 48%
tersangka akan membuat pengakuan bersalah ketika diwawancarai atau diinterogasi,
dan 13% hingga 16% tersangka lain membuat pernyataan kacau atau pengakuan
bersalah parsial.
Selanjutnya, pada dasarnya terdapat perbedaan antara psikologi dan hukum
dalam mendekati kebenaran dan keadilan. Psikologi bersifat deskriptif, sedangkan
hukum bersifat preskriptif. Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang
berperilaku secara aktual; hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya
berperilaku. Tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan lengkap dan
akurat mengenai perilaku manusia, sedangkan tujuan hukum adalah mengatur perilaku
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
221
,manusia. Jika seseorang berperilaku dengan cara yang dilarang hukum, maka hukum
akan memberikan hukuman untuk perilaku yang menyimpang dari aturan hukum itu
(Constanzo, 2006, 12). Dengan demikian, dalam arti idealis, ilmu psikologi cenderung
mengkaji untuk menemukan kebenaran sedangkan hukum cenderung mengkaji pada
dimensi keadilan.
Sejalan dengan hubungan antara psikologi dan hukum, hasil penelitian Melton,
Monahan, dan Saks (1987) yang dikutip Constanzo (2006, 36) mengatakan sebagai
berikut:
“Meskipun psikolog mungkin tidak selalu mampu menjawab pelbagai pertanyaan hukum tentang perilaku manusia,namun paling tidak mereka itu dapat memberikan apresiasi canggih dan realistis terhadap apa yang dibutuhkan untuk mendapat jawaban yang memadai, dan mereka dapat bersikap hati-hati dalam membuat asumsi mengenai realitas sosial.
Di samping itu, keyakinan atas alat bukti dan pembuktian yang bersifat inderawi
merupakan keterpengaruhan dengan paradigma yang dibangun Filasuf Rene
Descartes dalam kalimat ―cogito ergo sum‖ 18 yakni ―aku berfikir karena itu aku ada‖.
Mind-set atau world view yang dibangun Descartes kemudian menyeruak keseluruh
dunia lalu meracuni pikiran dan menjadi pegangan serta keyakinan bahwa semua hal,
semua persoalan dan semua realitas harus berasal dan dapat diverifikasi oleh indera,
bilamana tidak bisa diverifikasi secara inderawi berarti ia bukan realitas dan tidak perlu
dipercaya. Demikian juga halnya, dalam soal alat bukti dan pembuktian tindak pidana
korupsi bahan bukti itu harus dapat diverifikasi secara inderawi.
18
Rene Descartes yang hidup 1596 – 1650, sang filosuf Modern tengah berbaring di ranjang dalam ruangan gelap, saat itu ia melakukan permenungan dan melakukan ekperimen pemikiran mendalam, tiba-tiba ia menemukan jawaban yang ia cari-cari. Ia dapati bahwa ia tidak menyangsikan bahwa pada saat itu ia sedang sangsi. Kesangsian itu eksis tanpa ada yang melakukan penyangsian. Kesangsian merupakan bentuk pemikiran, sehingga menjadi dasar pembuktian atas eksistensinya sendiri. Lalu ia mengajukan ungkapan”cogito ergo sum”. Eksistensi yang “berada yang berpikir” (thingking being) ini merupakan fondasi yang pasti mutlak dan niscaya bagi semua ilmu pengetahuan. Saya atau ego berada di luar sejarah dan kebudayaan sebagai asumsi metafisis dasar, tidak tergantung pada jenis iman apapun, karena ketidakberdayaan itu mustahil selama saya tahu saya berpikir (Palmquis, 2000, 77)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
222
Metode Descartes bersifat analitik, suatu metoda yang terdiri atas pemecahan
pikiran dan masalah menjadipotongna-potongan kecil dan kemudian menyusun
kembali potongan-potongan itu ke dalam suatu tatanan logisnya (Susanto,2010, 43).
Metoda penalaran analitik model Descartes ini yang memberikan sumbangan terbesar
pada dunia ilmu. Namun sebaliknya, penekanan berlebihan terhadap metoda
Cartesian ini juga berdampak pada timbulnya karakteristik fragmentatif pada cara
berpikir keilmuan dan sifat reduksionis tulen yang meluas dalam dunia ilmu
pengetahuan (Chapra, 1982, 51). Sebuah keyakinan bahwa semua aspek fenomena
yang kompleks dapat dipahami dengan cara mereduksinya menjadi bagian-bagian
unsur pokok.
Dalam pandangan Descartes, alam ini akan bekerja sesuai dengan hukum-
hukum mekanika, dan segala sesuatu dalam alam materi ini dapat diterangkan baik
pada sisi pengertian dan gerakan bagian-bagiannya. Dalil cogito ergo sum merupakan
statement bahwa segala sesuatu itu jelas (clearly) dan terpilah (distinctly) dan itu
merupakan kebenaran (the truth). Artinya, segala sesuatu yang jelas dan terpilah pasti
benar adanya. Dalil ini memiliki konsekuensi bahwa terdapat pembedaan mencolok
antara rasio (cogito, think, mind) dengan tubuh (body), karena benak dan badan sama-
sama dipandang sebagai suatu yang nyata. Pandangan ini menempatkan Descartes
sebagai penganut madzab dualisme. Substansi rasio adalah res cogitans (pemikiran),
sedang substansi tubuh adalah res extensa (berkeluasan). Cogitans merupakan
bidang jiwa sedang extensa merupakan bidang materi, bidang ilmu alam. Pikiran
adalah kesadaran yang tidak mengambil tempat dalam ruang dan karenanya tidak
dapat dibagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tetapi materi adalah perluasan,
karena itu ia bisa mengambil tempat dalam ruang dan sehingga bisa dibagi-bagi
menjadi bagian kecil dan bagian itu masih dapat dibagi menjadi lebih kecil lagi, tetapi ia
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
223
tidak punya kesadaran. Keduanya berasal dari Tuhan (given, terberi). Pikiran sama
sekali tidak tergantung pada materi, dan sebaliknya, materi tidak tergantung pada
pikiran. Itulah esensi tulisan-tulisan pada tiga buku Descartes yakni Discourse de la
Methode (Wacana tentang Metode) tahun 1637, Meditations de Prima Philosophiae
(Renungan tentang Metafisika) tahun 1642, dan Principia Philosophiae (Prinsip-prinsip
dalam Filsafat) tahun 1644. Tiga buku itu adalah buku yang paling monumental, meski
Descartes juga menulis buku lain seperti Essais Philosophiques (1647) yang
membahas mengenai ilmu optik dan geometri (Susanto, 2010, 41).
Descartes selalu berusaha untuk membuktikan kebenaran-kebenaran dengan
dalil matematika yang dikuasainya. Dia mengawalinya dengan menggunakan metoda
―keraguan‖. Sebagai dasar pijakan kuat bagi filsafatnya, segala sesuatu harus
meragukan segala sesuatu selama bisa diragukannya. Pandangan Descartes ini
melengkapi revolusi ilmiah Isaac Newton (1664) bertepatan dengan tahun kematian
Galileo yang dihukum gantung. Newton mengembangkan suatu formulasi pandangan
dunia mekanistik yang matematis dan lengkap, sehingga melahirkan sintesis dan karya
agung pada babak selanjutnya yakni karya Copernicus, Kepler, dan Bacon. Nweton
dengan kekuatan pemahaman atas matematika yang mendalam, menciptakan teknik-
teknik matematika yang melampaui teknik matematika Galileo dan Descartes. Prestasi
intelektual yang luas biasa hingga Einstein-pun memuji bahwa kemajuan terbesar
dalam pemikiran dunia yang pernah dibuat manusia pada pribadi tunggal adalah
temuan adikarya milik Isaac Newton.
Selanjutnya, Filsafat Descartes itu telah memenjara pikiran manusia - sebagai
sosok ―agent aktif‖ yang berubah menjadi ―agent pasif‖ - dalam kurun waktu ribuan
tahun. Filsafat inilah yang membelah semua realitas obyektif menjadi oposisi-
pasangan (binary-opposition). Sebuah prinsip pertentangan di antara dua istilah dalam
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
224
strukturalisme, yang menganggap yang satu lebih superior dan yang lain adalah
inferior, seperti maskulin-feminin, barat-timur, benar-salah, hitam-putih, kuat-lemah dan
seterusnya.
Sejalan dengan keterpengaruhan pada oposisi-pasangan (binary opposition,
yang on-off) tersebut, pemerolehan visum akuntansi forensik mengelaborasi pola ini,
artinya penyimpangan yang berdampak pada kerugian keuangan itu diterjemahkan
sebagai suatu bentuk sesuatu yang ―salah‖ dari sesuatu yang ―benar‖. Prosedur yang
dibangun adalah melakukan perbandingan antara yang ―seharusnya‖ dengan
―sebenarnya‖, antara das-sollen dengan das-sein-nya, antara de-jure dengan de-facto-
nya, dan antara cita dan faktanya.
Sejalan dengan penjara pikiran itu, Erchart Tolle menyatakan (2009, 16) bahwa
penjara pikiran itu akan berakibat, kita memiliki pemikiran kompulsif. Pemikiran
kompulsif menghasilkan suatu formulasi dalam pikiran kita bahwa semua realitas
kehidupan ini, kelihatan secara terpisah, terpecah-pesah, terfragmentasi dan tidak
merupakan satu kesatuan holistic and wholness. Erchart Tolle melanjutkan dengan
mengatakan bahwa bilamana kita mengidentifikasi suatu realitas dengan pikiran, maka
kita telah memasang cermin buram yang berupa konsep, label, imaji, kata-kata,
definisi-definisi dan lainnya yang kemudian ―memblok‖ diri kita sendiri untuk tidak dapat
menerima realitas lain yang tidak sesuai dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah, asas-
asas dan lainnya yang berada dan bersemayam dalam pikiran kita. Misalnya, suatu
perasaan yang mendesir halus dalam persaan atau hati kita tentu akan kita tolak
sebagai suatu realitas yang nyata-nyata ada.
Realitas itu akan kita ingnkari sebagai suatu self-evidence. Mungkin saja getar
hati kita tadi akan dapat kita percayai sebagai sesuatu yang benar, tetapi pikiran kita
tidak akan pernah mampu memahami self evidence itu sebagai suatu realitas yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
225
benar. Hanya keyakinanlah yang mungkin bisa menolong bahwa realitas itu memang
ada dan benar.
Untuk contoh lain agar kita dapat memiliki pemahaman yang sama bahwa, kita
percaya kepada Sang Maha Pencipta dan Maha Benar itu, karena kita merasakan
akan kehadiran-Nya dalam hati dan dalam persaan kita, tetapi pikiran kita tentu akan
skesulitan dan boleh jadi tidak akan pernah sanggup membangun bahwa realitas itu
ada benar. Pikiran kita akan senantiasa melakukan resistensi atas ada dan
kekehadiran Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu, padahal realitas Sang
Maha Segalanya itu hadir dalam bathin atau nurani kita. Karena itu dalam agama,
dalam soal-soal seperti ini, kita selalu diyakinkan melalui ―dogma-dogma‖ untuk
membangun keyakinan pada diri kita. Karena pikiran kita akan mengalami kesulitan
(a bounded rationality) dalam menerima sesuatu realitas yang tak tampak dalam indera
kita. Dengan demikian, perlu disadari bahwa lima macam alat bukti yang bersifat
inderawi dan diagung-agungkan yang mampu menyelesaikan perkara tindak pidana
korupsi, dalam paradigma lain ternyata masih memiliki kelemahan substansial.
Nuril Ashuri, ahli Psikologi Transpersonal yang berdomisili di Malang
menambahkan dengan mengatakan bahwa kesadaran (conciousness) akal kita yang
menguasai dan mengendalikan manajemen tindakan, pengambilan keputusan,
mengarahkan gerak langkah kita dan semua hal yang berkait dengan diri kita ini.
Namun, pada saat kita dalam kondisi subconcious, di mana dalam kondisi itu kita tidak
dipengaruhi dan dipenjara lagi oleh pikiran, saat itulah suatu kejujuran dan keberanian
mengatakan apa adanya tercipta. Kondisi subconcious akan melahirkan pengakuan
jujur dan transparan, keterbukaan pengakuan terwujud dan sanggup menerangkan
kejadian, peristiwa dan apa saja akan muncul ke permukaan tanpa ada beban
apapun. Apalagi kita ini memiliki naluri binatang (reptile instink) yang akan senantiasa
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
226
menghela dan membela kita untuk selalu mempertahankan hal-hal yang dapat
menguntungkan diri kita. Insting binatang itu membuat kita mampu berbohong dan
mengatakan yang tidak sejujurnya dan tidak semestinya atas fakta, data dan informasi
yang sesungguhnya, yang menurut pikiran kita akan mampu menyelamatkan kita.
Dalam penelitian ini, wawancara mendalam (indepth interview) yang saya
lakukan adalah dalam rangka untuk dan demi menyerap (saturate) dan atau
menemukan informasi yang kontinyu untuk menambah data hingga tidak ada lagi data
yang dapat ditemukan dalam kategori. Suatu kategori adalah untuk mewakili unit
informasi yang tersusun dari peristiwa atau kejadian (Strauss and Corbin, 2003, 32 dan
Cresswell, 2003,56). Sambil mengumpulkan data, secara simultan analisis terus saya
lakukan. Pengumpulan data dalam grounded theory merupakan proses ―zig-zag‖
(Creswell, 2003, 56-57). Proses pengambilan informasi melalui pengumpulan data dan
membandingkannya dengan kategori yang muncul disebut constant comparative
analysis.
Dari uraian-uraian yang saya kemukakan pada sebelumnya dapat saya
simpulkan bahwa penyidikan merupakan tindak lanjut dan pendalaman bahan bukti
dari hasil konstruksi visum akuntansi forensik level penyelidikan. Hasil akhir
penyidikan, Penyidik menyimpulkan bahwa hypothetical construction of crime 5W+2H
telah terjawab atau konstruksi visum akuntansi forensik level penyidikan telah
mewujud. Visum akuntansi forensik merupakan hasil akhir dari penyidikan dan
merupakamn bahan bukti bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk membuat Dakwaan
yang cermat, jelas, dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Dakwaan akan menjadi
bahan bukti dan landasan utama bagi Majelis Hakim pada pemeriksaan perkara dalam
pemeriksaan silang (cross examination) pada sidang-sidang di pengadilan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
227
PROPOSISI:
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik merupakan temuan pulbaket lidik atas paling tidak dua dari lima macam alat bukti yang menjadi dasar penetapan status terdakwa.
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik terangkai dalam suatu chart
and matrix yang merupakan jawaban atas hypothetical construction of crime 2H+5W secara cermat, jelas dan lengkap.
Mutatis mutandis, visum akuntansi forensik lidik berisi rangkaian alat bukti
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka berfungsi sebagai bahan bukti penyusunan berkas Dakwaan bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Proses eksplorasi visum akuntansi forensik lidik dalam dapat dilihat pada
gambar 5.2. Sedangkan pada wujud rangkaian visum akuntansi level penyelidikan
terlihat dalam gambar 5.3.
Gambar 5-2 PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
228
Gambar 5-3 WUJUD RANGKAIAN VISUM AKUNTANSI FORENSIK LEVEL PENYIDIKAN
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
229
BBaabb 66 VISUM AKUNTANSI FORENSIK SEBAGAI BUKTI PENDUKUNG LITIGASI
Segala Kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan serta dibenarkan.
Padahal, kebenaran itu sendiri tidak memerlukannya, karena
kebenaranlah yang akan menunjukkan sendiri
apa yang diakui benar dan berlaku benar
(Paul Natorp)
6.1. PENGANTAR
Uraian bab III, IV dan V menggambarkan perjalanan rekonstruksi sejarah fakta
sejak Aduan, Keluhan, dan Petunjuk (AKP) yang ditindaklanjuti dengan audit
investigatif (AI atau PKKN), lalu pulbaket lidik dan kemudian pulbaket sidik hingga
menjadi visum akuntansi forensik. Pada bab ini, saya akan melakukan sintesis atas
tiga bab sebelumnya itu. Dengan demikian, dalam uraian saya ini akan secara spesifik
konkritisasi wujud visum akuntansi forensik itu.
Seperti ungkapan Natorp yang saya kutip di atas menunjukkan bahwa esensi
perjalanan pemikiran manusia hanyalah untuk mencari kebenaran sejati. Suatu upaya
yang pada ujungnya membawa konsekuensi pada klaim-klaim si pembawa untuk
diakui valid, kredibel dan dipakai pada zamannya. Namun, hal itu tentu saja akan
melalui berbagai pertarungan yang melampaui dimensi ruang, waktu, konteks dan
lokalitas para pemikir berada. Pencarian kebenaran akan senantiasa terdapat mata
rantai tataran praksis yang abadi, yakni sebuah bentuk falsifikasi pada tesis-antitesis,
aksi-reaksi, konstruksi-rekonstruksi bahkan dekonstruksi sekalipun (Shaleh, 2003,1).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
230
Kebenaran akan selalu bersifat sementara yang pada saatnya akan
terfalsifikasi dalam bentuk beragam sesuai dengan parameter dan indikator atau
dimensi yang mengelilinginya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas,
maupun karena lemahnya jari-jemari cengkeramannya. Munculnya falsifikasi, boleh
jadi dan mungkin saja karena sebuah kebenaran lain telah hadir. Kehadiran kebenaran
karena muncul dan berkembangnya berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia
yang bisa jadi bersifat destruktif bahkan menyesatkan. Yang pasti, suatu kebenaran itu
akan selalu mengalami falsifikasi sehingga membentuk lingkaran ilmiah (spesific-circle)
yang menghirup nafas esensi dan mencengkeram rantai filosofis.
Perubahan kebenaran, tidak selalu mengubah secara radikal, namun bisa jadi
hanya sekedar meneguhkan kebenaran lama dengan argumentasi baru, menempelkan
justifikasi bersama retorikanya atau mungkin saja hanya sekedar mengoreksi dan
menambal kebenaran yang ada kemudian membangun kebenaran dengan wajah baru.
Yang pasti, rangkaian falsifikasi akan terus berputar, berjalan, bergelut dan bergulat
serta selalu mencari muara pada kebenaran-kebenaran baru.
Kebenaran baru itu tidak memerlukan alat justifikasi bagi dirinya dan meminta
dibenarkan. Karena kebenaran itu akan tetap sendirian dan menunjukkan apa yang
diakui benar dan berlaku benar. Inilah esensi perjalanan kebenaran menuju ke
kebanaran yang lain.
Karena itu, kebenaran tidak mungkin dapat dicari dalam ranah filsafat aliran
apapun, domain teoritik manapun, dan madzab pemikiran dari mana pun. Kebenaran
hanyalah masalah penafsiran atas realitas yang dilihat dan kelogisan tafsir yang
dibangun. Kebenaran hanyalah soal sudut pandang yang digunakan, asumsi yang
dipakai, landasan argumentasi yang dimunculkan, dan seberapa banyak dukungan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
231
masyarakat ilmiah atas justifikasi berbasis retorika yang dibangun oleh si pengembara
kebenaran itu semata.
Dengan demikian, hal yang sama akan menjadi keniscayaan yang tak dapat
saya ingkari bahwa uraian sintesis sejarah fakta terhadap realitas obyektif atas tindak
pidana korupsi hanyalah sekedar mencoba mencari pada kebenaran. Boleh jadi hanya
sekedar menambal serpihan semata. Bisa saja, penelitian berikutnya dapat lebih
memperbaharui, memperkaya atau difalsifikasi dan diambrukkan lalu dibangun
proposisi baru yang merupakan representasi kebenaran baru yang ditemukan..
6.2. AKUNTANSI FORENSIK, BUKTI DAN PEMBUKTIAN “Kebenaran‖ dapat saya artikan sebagai suatu informasi yang sesuai dengan
realitas objektif. Kebenaran dalam akuntansi merupakan kesesuaian antara assersi19
dengan bukti-bukti pendukungnya (corroborating evidence), sedangkan kebenaran
dalam auditing adalah kesesuaian atau konformitas assersi dengan realitas objektif
yang ditemukan auditor dalam proses pengujian yang berbasis bukti (evidence [?] or
evidential matter [?]).
Kebenaran dalam domain hukum (KUHAP) adalah suatu kesesuaian atau
konformitas antara yang seharusnya dengan yang sebenarnya, antara das-sollen
dengan das-sein atau antara de-jure dengan de-facto. Kebenaran dalam domain
hukum selalu bermuara pada kepastian tidak terjadinya suatu penyimpangan yang
terjadi antara cita dan fakta berdasarkan bukti-bukti atau dengan kata lain suatu
kebenaran yang berbasis hasil pemeriksaan (penyelidikan, penyidikan dan lainnya).
Demi dan untuk kepastian suatu kebenaran itu, UU Nomor 15 tahun 2006
tentang BPK memberikan suatu kebenaran dalam bentuk definisi mengenai kalimat
19 Assersi (assertion) adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggung jawab atas deklarasi tersebut. assersi adalah pernyataan (statement) yang dibuat oleh satu pihak yang secara implicit dimkasudkan untuk digunakan oleh pihak lain pihak atau ketiga (SPAP, 326.1).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
232
hasil pemeriksaan. Definisi itu memformulasikan bahwa ―hasil pemeriksaan‖ adalah
suatu hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas,
dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan
standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai
keputusan BPK.
Dengan demikian, dari dialog di atas dapat saya simpulkan suatu kebenaran,
baik yang melekat pada akuntansi, auditing dan hukum senantiasa beralaskan pada
bukti-bukti yang dapat memastikan kebenaran itu sendiri. Suatu bukti yang dapat
memberikan keyakinan kebenaran memang faktual dan memiliki evidens.
Selanjutnya, bukti merupakan sarana persuasi atau alat pemaksa untuk
mempercayai terhadap suatu assersi atau realitas. Pengetahuan tanpa bukti akan
disebut sebagai ―kepercayaan‖. Bukti akan mengantarkan kita kepada suatu
pemahaman, simpulan atau pendapat atas kejadian-kejadian pada sebelumnya.
Dengan demikian, bukti akan meliputi suatu keyakinan terhadap eksistensi suatu
peristiwa di masa yang lalu. Jadi, bukti niscaya merupakan evidensi sejarah fakta pada
masa lalu, dan berfungsi sebagai basis utama bagi pengambilan simpulan dan
putusan.
Masih berkaitan dengan persoalan bukti, menurut SPKN (Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara), bukti digolongkan menjadi: bukti fisik, dokumenter, kesaksian
(testimonial) dan analisis. Bukti fisik diperoleh dari inspeksi langsung, atau
pengamatan yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap orang, aktiva, atau kejadian.
Bukti tersebut dapat didokumentasikan dalam bentuk memorandum, foto, gambar,
bagan, peta, atau contoh fisik. Bukti dokumenter terdiri atas informasi yang diciptakan
seperti surat, kontrak, catatan akuntansi, faktur, dan informasi manajemen atas kinerja.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
233
Bukti kesaksian diperoleh melalui permintaan keterangan, wawancara, atau kuesioner.
Bukti analisis meliputi perhitungan, pembandingan, pemisahan informasi menjadi
unsur-unsur, dan argumentasi yang masuk akal.
Selanjutnya, pada uraian dan diskusi saya pada bab III, IV dan V, saya dapat
menarik simpulan bahwa akuntansi forensik merupakan akuntansi yang
didayagunakan dalam domain hukum dalam tugas utamanya sebagai alat dukung bagi
proses litigasi. Akuntansi forensik merupakan gabungan disiplin pengetahuan
akuntansi, auditing dan hukum.
Sebagai fungsi akuntansi, akuntansi forensik akan mengkonstruksi bukti-bukti
yang diperoleh/ada menjadi suatu laporan (assersi). Fungsi ini dalam tindak pidana
korupsi tampak secara jelas dalam bagaimana akuntan forensik (auditor investigatif)
melakukan konstruksi perhitungan angka kerugian keuangan negara (PKKN) yang
berbasis bukti-bukti dimabil dari raw data.
Sebagai akitivitas audit, akuntansi forensik akan melakukan penelusuran,
pengujian, melakukan seperti uji bukti (tracing, vouching, reperforming, reconciling),
konfirmasi, observasi dan prosedur lain yang dianggap perlu hingga terkumpulnya
bukti yang memiliki kriteria relevan, kompeten, cukup dan material (rekocuma). Jadi
dalam akuntansi forensik niscaya terjadi hubungan harmonis antara akuntansi, audit
dan hukum yang saling tunjang menunjang dan terjalin secara berkelindan.
Bukti disebut [re]levan, jika bukti tersebut mempunyai hubungan yang logis
dan arti penting bagi temuan audit yang bersangkutan. Bukti disebut [ko]mpeten
apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam
menilai kompetensi suatu bukti,audit harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti
apakah bukti telah akurat, meyakinkan, tepat waktu dan asli.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
234
Sedangkan, dalam menentukan [cu]kup tidaknya suatu bukti, auditor harus
yakin bahwa bukti yang cukup tersebut akan bisa meyakinkan seseorang bahwa audit
finding adalah valid. Apabila mungkin, metode statistik bisa digunakan untuk
menentukan atas cukup tidaknya suatu bukti audit. [Ma]terial adalah signifikansi suatu
nilai bukti itu bagi professional judgement yang akan diambil auditor.
Jadi, ―rekocuma‖ merupakan suatu prasyarat bagi kriteria bukti yang akan
menjadi basis pembuktian suatu kebenaran. Suatu kebenaran yang berbasis bukti
akuntansi, audit dan hukum,yang akan dibawa sebagai bekal dalam perjalanan litigasi
yang panjang. Karena itu, rekocuma merupakan suatu keniscayaan dalam PKKN.
Dalam kotak 6.2. di atas dapat saya gambarkan, suatu contoh mengenai audit
investigatif yang biasa dilakukan BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian
keuangan negara (PKKN). Bagan alir (flow chart) itu menggambarkan mulai dari
proses awal, yakni adanya permintaan PKKN baik permintaan dari Kepolisian,
Kejaksaan atau KPK. Permintaan itu ditindaklanjuti dengan paparan kasus dari
instansi peminta yang disebut juga sebagai ekspose atau eksaminasi atau gelar
perkara. Ekspose itu bertujuan untuk memastikan dapat (tidak) permintaan tersebut
ditindaklanjuti dengan aktivitas audit investigatif (AI). Bilamana permintaan PKKN
diterima, pertanyaan berikutnya adalah apakah data yang melekat pada kasus tindak
pidana korupsi itu memiliki bukti lengkap (data masak pohon) atau buktinya masih
berceceran dan perlu aktivitas audit (pencarian bukti) tambahan yang lebih mendalam
lagi? .Jika bukti-bukti perkara tindak pidana korupsi itu memiliki kriteria rekocuma
(relevan, kompten, cukup dan material) maka aktivitas PKKN dapat dilakukan yang
pada akhirnya terciptalah angka PKKN yang merupakan salah satu alat bukti yang
andal yang menyertai dan dukungan pembuktian bagi proses litigasi.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
235
Kotak 6.1
START
PERMINTAAN PKKN
(POLRI, JAKSA, DAN KPK)
EKSPOSE
KASUS TIPIKOR?
FINISH
TOLAK
(BUKTI TIDAK REKOCUMA)TIDAK
BUKTI
REKOCUMA?
AUDIT INVESTIGATIF
(DATA MASAK POHON)
YA
EKSPOSE
DRAFT PKKN?
PKKN FINAL
YA
AUDIT INVESTIGATIF
(DATA MENTAH)TIDAK
EKSPOSE
DRAFT PKKN?
YA
TIDAK
TIDAK
YA / DITERIMA
DRAFT PKKN
DRAFT PKKN
DATA
COLLECTING
PROSES AI DAN PKKN
Selanjutnya, agar kita memiliki pemahaman yang sama, dengan mengelaborasi
UU 15/2006, bagi saya definisi pemeriksaan (audit) PKKN di atas adalah suatu proses
identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
236
dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan (audit), untuk menilai kebenaran,
kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Sedangkan, kerugian Negara/Daerah adalah suatu
kekurangan uang (shortage cash), surat berharga, dan barang yang ―nyata dan pasti‖
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Selanjutnya, Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
yang melekat pada pelaksanaan tugas yang diembannya itu.
6.3. VISUM AKUNTANSI FORENSIK
Seperti yang saya jelaskan pada bab III, IV dan V bahwa aktivitas AI, PKKN,
pulbaket lidik dan pulbaket sidik dapat saya katakan sebagai suatu perjalanan
eksplorasi mendalam untuk menemukan bahan-bahan bukti. Ia sejatinya adalah
sejarah fakta masa lalu yang direkonstruksi menjadi visum akuntansi forensik. Tabel
6.1. merupakan paparan perbedaan antara visum akuntansi forensik pada level audit
investigatif, penyelidikan dan penyidikan.
Dengan demikian, menurut saya, visum akuntansi forensik akan merupakan suatu
kumpulan bukti, fakta, data, informasi dan keterangan atas terjadinya peristiwa
penyimpangan keuangan, sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum
(penyimpangan prosedur) yang dilakukan si pelaku. Dengan demikian, eksistensi
visum akuntansi forensik tidak lain adalah representasi atas mewujudnya tindak pidana
korupsi. Visum akuntansi forensik dapat saya sebut sebagai sejarah bukti yang
mengurai fakta-fakta yang terjadi di sekitar peristiwa hukum itu.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
237
Tabel 6-1 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA, SIDIK, LIDIK, DAN AI
KETERANGAN
PENYIDIKAN (SIDIK)
PENYELIDIKAN (LIDIK)
AUDIT INVESTIGATIF (AI ATAU PKKN)
PERSAMAAN
Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik
Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
Mencari dan menemukan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W berupa Visum Akuntansi Forensik Menemukan minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi
PERBEDAAN
Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level Penyidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law) Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK
Menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum) Dilaksanakan berbasis pada hasil penyelidikan atau temuan langsung dari lapangan (tertangkap tangan)
Memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi
Hasil permintaan keterangan tersangjka dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyidik dapat melakukan penahanan, penggeledahan, penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Sebutan bagi objek penyidikan disebut dengan “tersangka”
Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level Penyelidikan, Penyidik akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam perspektif hukum (due process of law) Dapat dilakukan oleh penyidik Polri atau Kejaksaan atau KPK Tidak menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)
Dilaksanakan dari hasil audit investigatif dan atau AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi
Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAPK (Berita Acara Permintaan Keterangan) Atas dasar bukti permulaan yang cukup, Penyelidik dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan lain hanya atas ijin penyidik
Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik
Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terperiksa”
Dalam mencari dan menemukan konstruksi visum akuntansi forensik Level audit investigatif, auditor akan mendasarkan metoda, teknik dan prosedur dalam akuntansi dan auditing (due professional care) Dilakukan oleh Auditor BPK atau BPKP
Tidak menggunakan istilah “projustisia” (demi keadilan atau demi hukum)
Dilaksanakan dari bukti AKP (Aduan, Keluhan dan Petunjuk
Tidak memiliki kewenangan upaya paksa dalam pemanggilan atau permintaan keterangan saksi-saksi
Hasil permintaan keterangan terperiksa dan/atau saksi-saksi didokumentasikan dalam BAK (Berita Acara Konformasi/klarifikasi)
Auditor tidak dapat melakukan penahanan, penangkapan dan tindakan hukum lain Menyampaikan Laporan Hasil Penyelidikan kepada Penyidik Sebutan bagi objek penyelidikan disebut dengan “terduga”
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
238
Persoalan utama dalam tindak korupsi, bagi saya adalah, persoalan PKKN.
Dengan kata lain, temuan atas eksistensi kerugian keuangan negara merupakan suatu
petunjuk atau simpulan akhir yang dapat memastikan bahwa tindak pidana korupsi
eksis. Karena dalam perhitungan kerugian Negara itu secara inheren harus ada
penyimpangannnya. Eksistensi penyimpangan merupakan hasil dari perbandingan
antara prosedur yang seharusnya dengan pelaksanaan yang sebenarnya. Hasil
perbadingan itu (bila ada) itulah yang disebut sebagai kesalahan prosedur yang
disengaja/lalai, penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merupakan sesuatu
unsur yang melekat (embedded) dan diabsorsi dalam laporan PKKN.
Untuk memberikan gambaran mengenai penyidikan, penyelidikan, dan audit
investigatif, tabel 6.1. pada halaman sebelumnya dapat saya paparkan perbedaan dan
persamaannya.
Gambar 6-1 RANGKAIAN INTEGRATIF PROSES VISUM AKUNTANSI FORENSIK
Proses pencarian visum akuntansi forensik dapat dilihat pada gambar 6.1. yang
memberikan paparan mengenai proses pencarian, sejak dari AKP hingga dan
penyidikan yang pada ujungnya terbentuk suatu wujud visum akuntansi forensik.
Wujud akuntansi forensik merupakan alat bukti dan barang bukti yang berhasil
dikumpulkan untuk membantu dukungan litigasi pada perkara tindak pidana korupsi.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
239
Rangkaian ini dapat memberikan kejelasan mengenai bagaimana proses yang
dilakukan baik auditor, penyelidik dan penyidik untuk memburu dan kemudian
membangun visum akuntansi forensik.
Selanjutnya, wujud visum akuntansi forensik itu akan berisi sejumlah alat bukti dan
barang bukti serta keterangan-keterangan atas sejarah mengenai fakta-fakta terhadap
peristiwa di masa yang lalu. Suatu sejarah fakta yang dapat dihadirkan rekonstruksinya
pada masa kini (lihat gambar 6,2). Alat bukti, bilamana lengkap akan terdiri dari lima
macam alat bukti, yakni alat bukti keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli, alat
bukti surat, alat bukti petunjuk dan alat bukti keterangan terdakwa. Lima macam alat
bukti ini akan merupakan suatu kenisacayaan bagi terbentuknya visum akuntansi
forensik.
Gambar 6-2 VISUM AKUNTANSI FORENSIK
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
240
Unsur-unsur yang melekat dalam lima alat-alat bukti itu akan saya uraikan berikut
ini. Uraian akan bisa saja bersifat iterarif, reiterativ maupun interaktif (bolak balik dan
redundansi). Uraian semacam itu terjadi lebih disebabkan karena hubungan antara
satu alat bukti dengan alat bukti lainnya kadang searah, namun pada situasi yang lain
relasi bukti itu bersifat interaktif dan pengulangan (reiterative).
6.3.1. Alat Bukti Keterangan Saksi
Alat bukti keterangan saksi, dalam kasus tindak pidana korupsi akan berupa
keterangan-keterangan yang diberikan oleh seseorang mengenai penyimpangan
keuangan yang dilakukan si pelaku yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan
yang ia alami sendiri. Pada tabel 6.1 terlihat jumlah saksi-saksi yang diminta
keterangannya. Pada perkara Bahri misalnya, terdapat 22 orang yang diminta
keterangan untuk memastikan terhadap eksistensi tindak pidana korupsi itu. Pada
kasus Sjamsuddin sebanyak 23 orang, dan pada perkara lain bisa saja jumlahnya
pemberi keterangan bertambah atau berkurang, tergantung pada situasi, kondisi dan
kompleksitas perkara itu sendiri.
Keterangan saksi ini akan selalu mengarah dan diarahkan pada upaya
keterangan-keterangan yang dapat memperjelas gambaran terhadap jumlah uang
yang disimpangkan si pelaku sebagai akibat dari penyalahgunaan wewenang.
Keterangan-keterangan yang diperoleh harus selalu dapat mengarah pada angka
rupiah penyimpangan.
Karena itu, teknik wawancara dan interogasi yang efektif akan menentukan
kualitas dan keberhasilan penggalian keterangan saksi-saksi. Keterangan saksi harus
memberikan araha pada angka rupiah penyimpangan yang merugikan keuangan
negara. Keterangan saksi itu harus berkaitan dengan keterangan mengenai di mana
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
241
penyimpangan dilakukan, kapan dan mengapa dilakukan, bersama siapa serta
bagaimana cara ia melakukannya, lalu apa bukti penyimpangan itu. Karena seseorang
dapat disebut sebagai saksi adalah seseorang yang melihat, mendengar, mengalami
dan menyaksikan peristiwa penyimpangan keuangan yang merugikan negara tersebut.
Tujuan wawancara adalah mencari keterangan dan informasi penting kepada
saksi-saksi dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Dalam wawancara juga harus
dievaluasi dan disimpulkan ada hubungan apa saksi-saksi itu dengan si pelaku yang
dicurigai menjadi aktor utama dan otak dari tindak pidana korupsi. Hubungan tersebut
bisa saja berupa atasan-bawahan, pemasok-pemberi kerja, penyuruh-disuruh, dan
lainnya. kapan saksi mengenal si pelaku, dengan cara apa saksi mengenal, dalam
hubungan apa perkenalan itu terjadi hingga pewawancara dapat mengambil simpulan
bahwa saksi memberikan keterangan yang jujur dan akurat.
Dalam wawancara, pewawancara harus juga senantiasa mengamati gerak
perilaku saksi mengenai apakah ia memberikan keterangan yang jujur atau saksi telah
berbohong atau mencoba mengalihkan perhatian untuk menipu atau membelokkan
perkara. Hal yang perlu diperhatikan adalah bilamana si pewawancara telah memiliki
bekal yang cukup atas perkara yang ditanganinya, maka hasil wawancara akan
memiliki suatu daya guna dan hasil guna yang tinggi. karena itu, di akhir wawancara
akan ditutup dengan kalimat khas, apakah saudara bersedia memberi keterangan lagi
bilamana dibutuhkan? Apakah saudara perlu memberi keterangan tambahan, sebelum
kita akhiri wawancara ini?
Berkaitan dengan pertanyaan apakah pemberi keterangan jujur atau berbohong,
John Reid mengembangkan instrumen evaluasi yang diberi nama Behavior Symptom
Analysis (BSA). Reid yang dikutip kembali oleh Tuanakotta (2010, 505) mengatakan
bahwa terdapat beberapa tingkat (level) atau beberapa saluran (channel) komunikasi
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
242
yang dilakukan manusia. Makna atau maksud yang sebenarnya dari ucapan-ucapan
seseorang akan diperkuat (amplified) atau diubah (modified) oleh berbagai saluran
tadi, seperti kegagapan (speech hesitancy), sikap tubuh (body posture), gerak tangan
(hand gestures), mimik wajah (facial expression), atau nada suara (tone of voice).
Reid atas order dan pembiayaan dari kepolisian Chicago melakukan penelitian
mengenai perilaku tersangka yang menceritakan kebenaran (truthful suspects) dan
kebohongan (deceptive suspects) di luar pemakaian polygraph. Reid kemudian
menyimpulan bahwa terdapat tiga tingkat (level) atau saluran (channel) yang
digunakan seseorang dalam berkomunikasi, yaitu verbal channel, paralingustic
channel dan nonverbal channel
Verbal channel adalah ucapan yang keluar dari mulut seseorang, pilihan kata, dan
susunan kata-kata yang digunakannya untuk mengirim pesan (massages). Subjek
yang jiwanya sehat dan berinteraksi sosial secara baik dan normal akan mengalami
kecemasan (anxiety) ketika ia berbohong. Karena ia didera ketakutan, ia lalu khawatir
kebohongannya itu akan terungkap. Apapun penyebabnya, ketika subjek berbohong
dalam wawancara, gejala-gejala perilakunya mencerminkan kesadarannya untuk
menekan atau menghilangkan kecemasannya itu. Pada dasarnya pikiran dan tubuh
kita bekerja bersama-sama untuk mengurangi atau menghilangkan kecemasan tadi.
Paralingustic channel, adalah ciri-ciri percakapan (characteristic of speech) di luar
ucapan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar ucapan yang makna tidak
sesuai dengan apa yang diucapkan. Misalnya, darling hari ini masakanmu uueenak
sekali, padahal masakan itu sama sekali tidak enak. Ciri-ciri percakapan seperti ini
atau paralinguistic behavior yang harus diamati oleh pewawancara. Verbal channel
lebih bisa dikendalikan, paralinguistic channel ini sulit dikendalikan dan liar. Saluran ini
lebih banyak terkontaminasi oleh faktor-faktor eksternal dibandingkan dengan saluran
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
243
verbal. Karena itu paralingustic behavior merupakan sumber terbaik untuk mendeteksi
apakah seseorang itu melakukan kebohongan atau jujur.
Ada baiknya, di sini akan saya uraikan hasil penelitian Reid yang sangat berguna
bagi evaluasi atas suatu wawancara. Ada beberapa simpulan Reid, bahwa suatu
wawancara akan direspon oleh subjek dengan berbagai reaksi. Reaksi itu antara lain
adalah response latency, early response, response lenght, response delivery,
continuity of the response, erasure respon dan nonverbal response.
Hasil penelitian Reid menyatakan bahwa seseorang yang jujur akan merespon
jawaban rata-rata dalam 0,5 detik sedang seseorang yang sedang berbohong rata-rata
merespon jawaban dalam waktu sekitar 1,5 detik (response latency atau masa
keheningan). Karena itu, jika untuk menjawab suatu pertanyaan yang sederhana saja,
respon jawaban tersangka itu tertunda lama, atau menjawab dengan mengulang
pertanyaan, atau meminta klarifikasi atas pertanyaan yang diberikan kepadanya, atau
meminta pertanyaan tersebut diulang kembali, maka patut diduga bahwa ia
memberikan jawaban yang tidak sebenarnya (berbohong). Tersangka berpikir keras
untuk menjawab pertanyaan yang aman bagi dirinya (reptile instink).
Early Response adalah menjawab lebih awal. Ini merupakan salah satu
kategori dari paralingusitic behavior yang berkaitan dengan ukuran waktu dari suatu
jawaban (response time). Artinya, tersangka tidak menunggu pertanyaan itu selesai,
tetapi pertanyaan yang belum selesai langsung dijawab (karena ia gugup). Early
responses ini pada subjek yang jujur akan menjawab lagi setelah pertanyaan selesai,
namun untuk subjek yang berbohong dia tidak akan mengulangi lagi jawabannya.
Suatu jawaban yang merupakan bantahan atas pertanyaan yang memojokkannya atau
pertanyaan yang menuduhnya. Jawaban terlalu buru-buru itu merupakan bentuk
bantahan (denial response) yang mengandung kebohongan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
244
Response Lenght (panjang jawaban). Seseorang yang jujur akan menjawab
dengan uraian yang panjang bahkan kadang menambahkannya dengan informasi
yang tidak ditanyakan. Sebaliknya seseorang yang berbohong akan menjawab dengan
jawaban pendek-pendek atau sekedar memnuhi syarat menjawab saja. Namun, pada
seseorang yang berbohong bila menjawab panjang, isi jawaban akan cenderung
mengalihkan topik pertanyaan atau jawaban ke luar dari konteks pertanyaan.
Response Delivery (penyampaian jawaban). Penyampaian jawaban terlihat
dari kecepatan (rate), tinggi-rendah nada (pitch), dan kejelasan (clarity). Hal-hal
semacam itu bisa sejalan, konsisten, berkesesuaian dengan apa yang dikatakan,
namun bisa juga bertentangan. Ketika seseorang mengungkapkan secara jujur, rate
dan pitch akan meningkat. Bisa juga, tanggapan jujur dengan luapan kemarahan
sering disampaikan dalam penggalan kata-kata (clipped words) yang jelas, tegas dan
mantap. Selanjutnya, pada subjek yang jujur ingin pewawancara memahami
jawabannya sehingga ia akan berbicara dengan jelas dan dengan voume yang tepat.
Subjek yang berbohong cenderung menjawab dengan suara pelan, tidak jelas dan
menggumam (mumble).
Continuity Of The Response (keberlanjutan jawaban). Jawaban yang jujur
akan mengalir dengan bebas, jawaban itu merupakan suatu tanggapan spontan dan
apa adanya. Jawaban yang mengalir sebagaimana suatu alur pikir. Satu kalimat
disusul dengan kalimat yang lainnya secara sambung menyambung, dan tidak
meloncat-loncat dari satu alur ke alur lainnya. sebaliknya, dalam jawaban seseorang
yang berbohong, jawaban akan berperilaku ―berhenti – kemudian – jalan lagi‖ (―stop –
and start” behavior).
Erasure Behavior (perilaku penghapusan). Dalam komunikasi paralinguistic,
terdapat perilaku yang kedengarannya tidak menyenangkan, lalu ditindaklanjuti atau
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
245
dihapus dengan kalimat cuman bercanda, jangan dimasukkan hati ya. Kalimat terakhir
ini biasanya diikuti dengan gerakan alis atau senyum yang mengembang. Kalimat
cuman bercanda, jangan dimasukkan hati ya merupakan erasure behavior. Bisa juga
setelah kalimat itu diikuti dengan tertawa kecil, batuk-batuk kecil, atau berdehem.
Nonverbal Behavior (perilaku nonverbal). Dalam berhadapan dengan suatu
ancaman yang tinggi, seseorang akan melakukan tiga pilihan, yakni melawan (fight),
melarikan diri (flight) atau berdiam diri (freeze). Pilihan reaksi akan sangat tergantung
nyali seseorang itu sendiri. Dalam perilaku nonverbal, akan dapat diamati dari postur,
gerak tangan, gerak kaki, mimik muka dan tatap mata.
Tabel 6-2 NAMA TERSANGKA, JUMLAH SAKSI DAN ANGKA PKKN
NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI
JUMLAH SAKSI YANG MEMBERIKAN KETERANGAN
ANGKA PKKN
Syamsul Bahri
22 orang
Rp.489.334.493.
Nazaruddin Sjamsuddin
23 Orang
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh
28 orang
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto
27 orang saksi
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sifabutar
25 Orang
Rp.10.621.101.549
Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber
Selanjutnya, kontak mata merupakan salah satu nonverbal yang penting untuk
dievaluasi. Subjek yang jujur, pada umumnya tidak takut menatap mata pewawancara.
Dalam hat tatap mata, paling tidak terdapat empat hal untuk menilai apakah seseorang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
246
itu berbohong atau jujur dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pertama adalah,
subjek yang tidak berani menatap mata kepada pewawancara biasanya
menyembunyikan sesuatu. Namun perlu dipertimbangkan juga ―kerusakan mata‖
subjek (seperti subjek bermata juling, memiliki rasa rendah diri dan lainnya). kedua
adalah pewawancara sebaiknya tidak menantang untuk melakukan tatap mata kepada
subjek, karena akan kehilangan kesempatan untuk mengamati perilaku nonverbal
subjek. Ketiga adalah, pewawancara cukup mengamati secara casual agar membuat
subjek tetap nyaman. Tatap mata casual namun tajam akan dapat memberikan
gambaran apakah subjek menghindar dari kontak mata dengan pewawancara.
Keempat adalah, baik subjek maupun pewawancara tidak boleh memakai kacamata
hitam. Karena kacamata hitam tidak dapat untuk menangkap kejujuran jawaban subjek
maupun pertanyaan jujur dari pewawancara.
Sebagai penutup dalam alat keterangan saksi, bahwa dalam suatu penanganan
tindak pidana korupsi, banyak saksi yang harus diminta keterangan (lihat tabel 6.1).
Dengan jumlah saksi yang sedemikian banyak, tentu auditor dan investigator niscaya
memerlukan keahlian dan ketrampilan dalam teknik-teknik berwawancara. Tanpa
teknik piawai, tentu penanganan tindak pidana korupsi akan mengalami banyak
kendala, karena dari keterangan saksi-saksi akan banyak menemukan arah, petunjuk
dan kemana pemeriksaan harus dijalankan.
6.3.2. Alat Bukti Keterangan Ahli
Alat bukti keterangan ahli merupakan suatu keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus (profesional) mengenai sesuatu yang
diperlukan dalam rangka membuat terang benderang dan kejelasan suatu perkara
tindak pidana korupsi. Keahlian khusus yang dimiliki itu berhubungan dengan ilmu
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
247
pengetahuan yang telah dipelajarinya secara mendalam dan komprehensif tentang
sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.
Dengan demikian, keterangan ahli biasanya ditunjukkan dengan sertifikasi dari
ilmu pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman atas keilmuan yang pernah
dipunyai.misalnya, ahli PKKN biasanya oleh diminta menunjukkan ijasah akuntansinya
(akuntan), Certificate Fraud Examiner (CFE), Certificate Public Management
Accountant (CPMA), Certificate Financial Analyst (CFA) dan sertifikat lain yang
dimilikinya. Kalau ahli bersala dari kantor akuntan publik oleh hakim akan diminta untuk
menunjukkan Register akuntan Publik, ijin praktek akuntan publik, Certified Public
Accountant (CPA) dan sertifikasi lainnya yang dimiliki. Semua itu untuk mengukur
keahlian dan kepakaran serta luas pengetahuan yang dimiliki pemberi keterangan ahli.
Keterangan ahli ini bisa berasal dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk
memperkuat Dakwaannya (sebagai keterangan memberatkan atau getuige a charge).
Namun bisa juga keterangan ahli ini berasal dari terdakwa (keterangan meringankan
atau getuige a de-charge).
Pengalaman saya mengikuti beberapa sidang di pengadilan, bekal seorang ahli
yang diminta keterangan ahli-nya di pengadilan itu, tidak hanya cukup dengan bekal
kepakaran dan kedalaman ilmu pengetahuan serta profesionalitas yang dimilikinya
saja, namun perlu juga memiliki keberanian atau nyali dalam menghadapi tekanan
(intimidasi) dan gempuran argumentasi yang dilakukan pihak lawan. Ia niscaya
memiliki bekal ketangguhan untuk bisa survive dari perang logika yang biasa
dimainkan advokat, serta tidak mudah patah berhadapan dengan pertanyaan-
pertanyaan rumit yang membombardirnya. Ia harus mempunyai kepercayaan diri tinggi
dan berpenampilan elegance tanpa terlihat arogan. Logika keilmuan, konsep-konsep,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
248
teori-teori yang dikuasainya menjadi senjata andalan dalam menangkis serangan-
serangan itu.
Dalam cross examination di pengadilan, ahli akan menghadapi situasi
persidangan yang boleh jadi bersifat konfrontasional. Namun, ahli harus selalu ingat
bahwa yang dilayani adalah ―sidang‖ dan bukan lawan yang akan menyeretnya pada
arus keterangan yang tidak menguntungkannya. Karena kadangkala keterangan dari
ahli, dengan berbagai argumentasi dan cara, advokat atau jaksa akan berusaha
mematahkan keterangan yang diberikannya itu. Misalnya, advokat atau jaksa
mengatakan bahwa terdapat kasus lain yang mirip dengan perkara yang sedang
berlangsung namun keterangan yang diberikan ahli tidak sama dengan keterangan
yang diberikan oleh ahli yang lain itu. Bisa saja dengan mencuplik teori tertentu
advokat atau Jaksa, menandingkan keterangan ahli dengan teori tersebut, bahkan teori
yang diberikan ahli sudah kuno dan tidak lagi dipakai.
Pengalaman menarik yang pernah saya alami sebagai pemberi keterangan ahli
di pengadilan Negeri Malang adalah, suatu pertanyaan menggelitik. Pertanyaan itu
sebenarnya sangat mudah dijawab tetapi sulit memahamkannya, karena saya tahu
persis bahwa pertanyaan ini mengarah pada suatu konsep yang berbeda dalam cara
memnadang fenomena, artinya terdapat perbedaan antara konsep akuntansi yang
digunakan sebagai dasar menyusun laporan keuangan dengan konsep dalam
memahami laporan keuangan dalam domain hukum.
Kasus itu adalah kasus dugaan terhadap penggelapan uang di sebuah Baitul
Maal Wa Tamwil di Malang. Pertanyaan hakim kepada saya adalah: coba saudara ahli
jelaskan, di laporan ini terdapat laba Rp.100 juta, tetapi uang kas yang ada di neraca
sebesar Rp.30 juta? Sebuah pertanyaan yang mudah saya jawab, kalau saja yang
bertanya ini adalah mahasiswa akuntansi, tetapi saat itu saya sedang berperan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
249
sebagai ahli yang diminta keterangannya dalam cross examination di pengadilan serta
berhadapan dengan hakim, jaksa dan advokat yang tidak begitu banyak memahami
konsep-konsep accrual basis, concervatism, going-concern, substance over form yang
terjalin secara berkelindan dan menjadi bagian tak terpisahkan, inheren serta niscaya
dalam laporan keuangan Baitul Maal Watamwil itu. Mereka yang berada dalam
persiadangan itu lebih memahami konsep laba tunai. Karena itu, pada akhir sidang,
saat Jaksa ditanya Ketua Majelis Hakim mengenai keterangan yang saya berikan,
jawaban sang Jaksa secara spontan adalah ―keterangan yang diberikan oleh ahli tidak
relevan‖
Selanjutnya, dengan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan
pengalaman, pada umumnya seorang ahli akan cenderung banyak bicara. Ia ingin
memberikan keterangan yang mendalam, penjelasan yang mendetail, dan informasi
yang sebanyak-banyaknya. Justru dengan jawaban yang panjang dan lebar itu akan
membuka peluang untuk membuat kesalahan. Sebaiknya, ahli memberikan keterangan
secukupnya, yang ditanyakan saja yang dijawab dengan jawaban singkat dan padat.
Karena ahli tidak berhadapan dengan murid-muridnya yang lagi menyimak untk
memperoleh pencerahan, tidak sedang mengajar di depan kelas, dan tidak sedang
mendemonstrasikan kepiawaian dan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki. Karena
itu sifat menggurui harus ditahan, atau over-dosis memberikan keterangan juga tidak
menguntungkan, karena pemberian keterangan yang demikian itu mungkin saja dan
boleh jadi dapat membuat pihak yang memerlukan keterangan merasa direndahkan,
dilecehkan bahkan bisa juga merasa dipermalukan.
Di samping ahli bisa dihadirkan ke pengadilan untuk memberikan keterangan
terhadap perkara yang disidangkan, ia juga dapat dihadirkan dalam rangka untuk hal-
hal yang bersifat klarifikasi pada istilah-istilah teknis dalam ilmu pengetahuan yang
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
250
dkuasainya. Misalnya untuk menjelaskan apa arti restricted fund dan non-restricted
fund yang ada dalam Neraca LSM? Apa beda laporan aktivitias LSM dengan
perhitungan hasil usaha Koperasi? Dan klarifikasi lainnya yang bersifat teknis semata
Pada tabel 6.3 dapat dilihat bahwa dalam kasus tindak pidana korupsi, semua
keterangan ahli itu akan mengarah dan memperjelas pada persoalan angka keuangan
yang disimpangkan sebagai akibat dari perbuatan hukum. pertanyaan-pertanyaan dan
sanggahan-sanggahan dalam pemeriksaan silang (cross examination) di pengadilan,
akan senantiasa berfokus dan menegrucut pada persoalan yang berkaitan dengan
angka-angka keuangan, meskipun soal penyimpangan aturan hukum juga menjadi
bagian yang tak terpisahkan.
Tabel 6-3 NAMA TERSANGKA, NAMA AHLI BPKP ANGKA PKKN
NAMA TERSANGKA
TINDAK PIDANA KORUPSI
NAMA AHLI DARI BPKP
ANGKA
HASIL PKKN
Syamsul Bahri
Tri Agung Sumartono
Rp.489.334.493.
Nazaruddin Sjamsuddin
Slamet Tulus Wahyana
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh
Handoyo Sudrajat
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto
Ernadhi Sudarmanto
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sidabutar
Hendri Juliver Sinaga
Rp.10.621.101.549
Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah keterangan akan selalu menjadi
pertimbangan hukum bagi penjatuhan hukuman si terdakwa? Jawabannya adalah tidak
selalu menjadi bagian pertimbangan bagi putusan hakim. Karena apakah keterangan
dimasukkan atau tidak dalam putusan hakim akan berpulang pada keyakinan dan
nurani hakim itu sendiri, artinya keterangan ahli bisa dipakai salah satu pertimbangan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
251
putusan tetapi bisa juga sebagian atau sama sekali diabaikan. Kita akan bisa melihat
apakah keterangan ahli dipertimbangkan atau tidak, pada putusan hakim. Apakah
dalam putusan tersebut dalam hal ―menimbang‖ dimuat atau ditemukan mengenai
keterangan-keterangan yang diberikan oleh ahli atau tidak.
6.3.3. Alat Bukti Surat
Surat sebagai alat bukti sah harus memenuhi salah satu dari dua kriteria, yakni
surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau surat tersebut dibuat dengan sumpah.
Yang dimaksud dengan alat bukti ―surat‖ adalah dokumen tertulis seperti: Berita Acara
Pemeriksaan (BAP), putusan hakim, akta otentik, visum et repertum, surat keterangan
ahli sidik jari (daktiloskopi), surat keterangan ahli balistik, laporan hasil audit investigatif
(AI), laporan penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) dan termasuk juga
kontrak, kesepakatan, atau surat yang ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian lain.
Tabel 6-4 KONSEP ATAU METODA PKKN
NOMOR
KONSEP ATAU METODA PKKN
1.
Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian
2.
Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi
3.
Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu
4.
Penerimaan yang menjadi hak negara tetapi tidak disetorkan ke kas negara
5.
Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu
Sumber: Tuanakotta (2009, 144)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
252
Dalam hubungannya dengan bukti surat, dalam perkara tindak pidana korupsi
yang paling menentukan adalah bukti surat beruipa laporan PKKN. Artinya dengan
terformulasikannya angka kerugian keuangan negara (biasanya dilakukan BPKP),
perkara tindak pidana korupsi menjadi jelas dan terang benderang. Jelas angka
penyimpangannya dan jelas cara-cara yang digunakan dalam penyimpangan tersebut.
Tuanakotta (2009, 143) mengatakan bahwa selama periode tahun 2007, KPK
telah membuat kajian tentang penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN)
dengan menggunakan 15 kasus tindak pidana korupsi sebagai sampelnya. Lima
konsep atau metoda perhitungan seperti terlihat pada tabel 6.4. dielaoborasi. Hasil
penelitian itu menyimpulkan bahwa pertama adalah penerapan metoda PKKN
seringkali tidak konsiten, meskipun secara umum penyimpangannya tidak jauh
berbeda. Tidak terlihat adanya suatu pola PKKN yang dapat digunakan sebagai
pedoman atau acuan dalam menghitung PKKN tersebut.
Kedua adalah hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum atau
penyalahgunaan wewenang, sarana dan kesempatan dengan timbulnya kerugian
keuangan negara, sering tidak dapat dilihat dengan jelas. Karena kadangkala tidak
mudah mengidentifikasi perbuatan yang benar-benar mengakibatkan kerugian
keuangan negara, apalagi jika dikaitkan dengan orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum atau menyalahgunkan wewenang, sarana dan kesempatan yang
dipunyainya tersebut. Pertanyaannya adalah apakah hubungan kausalitas harus
dibuktikan? Lalu apakah ahli yang menghitung PKKN harus yakin terlebih dahulu
adanya hubungan kausalitas antara perbuatan (melawan hukum) dengan kerugian
keuangan negara? Dua pertanyaan itu tidak mudah untuk memperoleh jawabanya.
Ketiga, pertanyaan sulit berikutnya adalah mengenai apakah suatu kerugian itu
menjadi bagian dari kerugian keuangan negara atau bukan? Terdapat tiga pertanyaan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
253
yang perlu kepastian yakni apakah pengadaan barang suatu Perjan (perusahaan
jawatan), pelepasan aset tetap milik BUMN, PNBP yang telah direkayasa menjadi
bagian kerugian keuangan negara atau bukan?
Tabel 6-5 NAMA TERSANGKA, BARANG BUKTI ANGKA PKKN
NAMA TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI
BARANG BUKTI
ANGKA PKKN
Syamsul Bahri
- PKKN - addendum No. 05 dan 06 - Nota Dinas Pengajuan Pencairan Anggaran - SPP dan SPMU - RASK dan DASK TA 2004 - Notulen Rapat tgl 5-2-2004
Rp.489.334.493.
Nazaruddin Sjamsuddin
- PKKN - Bukti pengeluaran uang - Kwitansi pembayaran premi asuransi dari BUMIDA - Polis asuransi Bumida - Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan lainnya
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh
- PKKN - Qanun NAD - DIPDA, SKO - Surat rekomendasi Gubernur atas PL pengadaan
helikopter - Surat perjanjian Pembelian helicopter - Surat Keputusan Gubernur NAD - Saving Account Bukopin - Berita Acara Serah Terima - Akte Notaris - Dan lainnya
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto
- PKKN - Nota Dinas - SK KPU tentang pengadaan buku - SPK Percetakan buku - Dan lainnya
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sifabutar
- PKKN - Uang tunai - Kwitansi - Bukti transfer - DASK DKI Tahun 2004 - RKS, SPP dan SPMK - 60 dokumen lainnya
Rp.10.621.101.549
Sumber: Saya olah sendiri dari berbagai sumber
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
254
Keempat adalah, pertanyaan berikutnya belum ada kepastian jawaban adalah
apakah dalam perkara tindak pidana korupsi diperlukan seorang ahli yang khusus
menghitung kerugian keuangan negara? Apa kompetensi dan kriteria yang dimiliki ahli
tersebut? Profesi apa yang paling tepat bagi penghitungan kerugian keuangan negara?
Kelima adalah sebagian besar bukti yang digunakan ahli dalam menghitung
PKKN berasal dari penyidik, pertanyaannya adalah apakah ahli tersebut objektif dan
independen? Lalu metoda perhitungan seperti apa yang harus digunakan ahli agar
hasil PKKN bisa diterima (acceptable) di pengadilan?
Pada tulisan lain, Tuanakotta (2010, 178) juga mengatakan bahwa terdapat
empat sumber asal usul atas terjadinya kerugian keuangan negara tindak pidana
korupsi. Asal usul itu diakronimkan dengan yakni simbol “R-E-A-L”. [R]eceipt
kerugian negara yang berasal dari penyimpangan penerimaan negara seperti pada
berbagai persoalan PNBP (penerimaan negara bukan pajak). [E]xpenditure kerugian
atas pengeluaran pada kegiatan fiktif. [A]ssets kerugian akibat penyimpangan dari
pengadaan barang (jasa), pelepasan aset, pemanfaatan aset, dan penempatan aset.
Selanjutnya [L]iability kerugian keuangan negara dengan membuat seakan-akan atau
seolah-olah ada kewajiban yang kemudian dibayar (Tuanakotta, 2009, 157-182).
R-E-A-L yang disebut sebagai ―Pohon Perhitungan Kerugian Keuangan Negara‖
(PKKN trees). Karena itu, taksonomi atas tindak pidana korupsi akan eksistensinya
akan mengacu pada salah satu dari empat macam dari PKKN tress tersebut.
6.3.4. Alat Bukti Petunjuk
Pada dasrnya, alat bukti petunjuk dihasilkan dari melakukan persesuaian
antara alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat dan alat bukti
keterangan terdakwa. Persesuaian dan kesepaduan itu membangun suatu sintesis dan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
255
pemahaman terhadap eksistensi tindak pidana korupsi. Alat bukti petunjuk bukan
merupakan alat bukti yang telah ada, tetapi ia merupakan bentukan hasil sinkronisasi
atas berbagai alat-alat bukti dan barang bukti yang menghasilkan suatu simpulan. Jadi
alat bukti petunjuk akan berupa simpulan atas adanya tindak pidana korupsi.
Tabel 6-6 NAMA TERSANGKA, ALAT BUKTIDAN BARANG BUKTI ANGKA KERUGIAN NEGARA
NAMA TERSANGKA
TINDAK PIDANA KORUPSI
ALAT BUKTI
DAN BARANG BUKTI
ANGKA PKKN
Syamsul Bahri
- Nota Dinas Pengajuan Pencairan Anggaran - Surat Permintaan Pembayaran (SPP) - RASK dan DASK Tahun 2004 - Notulen Rapat 05 Februari 2004 - Addendum 05 dan 06 - Hasil PKKN - Keterangan saksi - Keterangan ahli
Rp.489.334.493..
Nazaruddin Sjamsuddin
- Amplop coklat berisi uang - Tas plastik putih berisi uang - Traveller cheque - Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh
- LOI (letter of intent) - Surat Pernyataan Dana Special Treatment atas dana
alokasi perlakuan khusus. - Bukti transfer
- Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto
- SK KPU tentang pengadaan buku - SPK Percetakan buku - Rekening Koran BRI KCP Cikajang - Uang tunai - Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sifabutar
- Uang tunai - Kwitansi - Bukti transfer - DASK DKI Tahun 2004 - Kontrak, SPMK dan RKS - STNK, BPKB, Buku kir, - Keterangan saksi-saksi - Keterangan ahli dan lainnya
Rp.10.621.101.549
Sumber: Berbagai sumber yang saya olah sendiri
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
256
Alat bukti petunjuk ini, dalam aturan hukum di Amerika atau negara-negara
yang menggunakan aliran common law disebut dengan indirect evidence. Keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa dan barang bukti akan membangun
alat bukti petunjuk. Wawancara dan interogasi akan memiliki peran signifikan dalam
membangun alat bukti petunjuk ini.
Logika inferensial (inductive) berbasis fakta-fakta, data-data, keterangan dan
informasi serta barang bukti menjadi bahan baku utama bagi terciptanya suatu alat
bukti petunjuk. Meskipun demikian, menemukan dan menyimpulkan alat bukti petunjuk
juga tak dapat dilepaskan dari logika deduktif.
Arsitektur alat bukti petunjuk ini akan banyak mengandalkan pada penggunaan
logika rasional, analisis-sentesis, thesis-antithesis, dan opini dari keterangan ahli yang
akan memiliki karakter ―sains‖. Dengan jumlah dan bervariasinya barang bukti yang
didapat, pemehaman mendalam atas variabilitas modus operandi tindak pidana
korupsi, perilaku (behavior) tersangka, rekaman telepon yang disadap, foto, analisis
inferential yang rasional, akan membangun peningkatan kualitas dan validitas dari alat
bukti petunjuk ini. Kesimpulan akhirnya, alat bukti petunjuk akan dapat meyakinkan
hakim bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan terdakwalah si pelakunya itu.
6.3.5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa, pada umumnya dihasilkan dari interogasi.
Interogasi adalah tipe wawancara yang khas. Interogasi bertujuan untuk memperoleh
pengakuan si tersangka. Kapan suatu wawancara akan berubah menjadi suatu
interogasi, tidak selalu mudah untuk dipastikan dan ditentukan.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
257
Interogasi adalah perangkat penting dan sangat menentukan bagi terkuaknya
berbagai hal dalam peristiwa perkara tindak pidana korupsi. Seringkali, saksi dan bukti
terbaik bagi tindak kejahatan adalah pengakuan dari si pelaku itu sendiri.
Dalam hal teknik interogasi, interogator dapat menerapkan berbagai teknik
untuk memancing pengakuan, namun dilemma yang dihadapi adalah ―semakin hebat
teknik yang dipakai, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan pengakuan dari
si pelaku, tetapi semakin besar pula resiko pengakuan itu palsu dan tidak akurat‖.
Interogasi biasanya dilakukan saat si pelaku telah ditetapkan statusnya sebagai
tersangka atau saat ia ditahan atau saat penyidikan berlangsung. Keberhasilan
interogator dalam mengorek pengakuan akan banyak tergantung pada kemampuannya
untuk menciptakan dominasi psikologis pada si tersangka.
Metoda Good and bad interogator
Metode yang biasa dilakukan interogator adalah menampilkan drama dengan
aktor ―good and bad interogator”. Ini adalah cara yang umum dan biasa dilakukan oleh
interogator. Di samping cara itu masih terdapat cara-cara lain yang dapat dilakukan
interogator, yakni cara-cara seperti: cara langsung, cara emosional, cara otoriter, dan
cara menipu. Cara langsung adalah mengapa interogator berada di ruangan itu dan
langsung menanyakan detail-detail dari perkara yang terjadi. Cara emosional adalah
interogator mencoba memainkan emosi si tersangka (rasa takut, bersalah, simpati, iri,
simpati dan lainnya). Cara otoriter adalah mencoba menggunakan kekuatan atau
kekuasaan interogator untuk menekan si tersangka agar mengaku. Cara menipu
adalah interogator mengatakan telah mempunyai bukti-bukti yang cukup banyak atas
kejahatan yang dilakukan tersangka. Interogator memiliki segudang pengakuan dari
teman dan/atau bawahan tersangka. Bahkan interogator juga memperoleh sidik jari si
tersangka atas jejak kejahatannya. Bisa juga interogator melakukan kebohongan-
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
258
kebohongan untuk mendapatkan pengakuan si tersangka. Misalnya saja, interogator
mengatakan bahwa - sambil menunjuk alat di ruangan interogasi itu, yang sebenarnya
hanyalah mesin photocopy biasa - dikatakannya sebagai sebuah alat pendeteksi
kebohongan baru yang sangat canggih dan dapat mencatat suara si tersangka telah
melakukan kebohongan.
Metoda tertutup-terbuka dan langsung tidak langsung
Di samping metoda interogasi yang saya uraikan sebelumnya, terdapat tipe-tipe
pertanyaan interogasi, yakni tipe terbuka-tertutup (open-closed) dan tipe langsung-
tidak langsung. Pertanyaan tertutup adalah dengan jawaban ―ya‖ dan ―tidak‖, misalnya
adalah pertanyaan: apakah anda telah membaca isi addendum kontrak 05 dan 06
sebelum anda menandatanganinya? Jawaban tertutup akan memaksa si tersangka
untuk menjawan ―ya‖ atau ―tidak‖. Contoh lain, pertanyaan tertutup adalah:
Penandatanganan kontrak 05 dan 06 itu di ruangan bupati ya? Namun, jika
pertanyaan dilakukan dalam tipe pertanyaan terbuka, pertanyaan yang keluar adalah :
―coba anda bisa jelaskan mengenai addendum kontrak 05 dan 06 itu?‖ pertanyaan
terbuka akan menghasilkan jawaban yang panjang dan mengungkapkan banyak
informasi dibanding pertanyaan yang bertipe tertutup. Pertanyaan tertutup lebih efektif
untuk mengatur dan mengendalikan interogasi dibanding pertanyaan terbuka, tetapi
pertanyaan tertutup menghasilkan informasi yang sedikit.
Pertanyaan langsung lebih effektif menghasilkan respons khusus dibanding
pertanyaan tidak langsung. Pertanyaan langsung juga akan menghasillan banyak
ketegangan dan respons yang tidak benar . pertanyaan bisa dikombinasikan, pertama-
tama dilakukan pertanyaan tidak langsung untuk mengurangi ketegangan dan
menciptakan suasana keakraban, mewujudkan kondisi kedekatan batin dan
mengarahkan pengakuan bersalah. Di samping itu pertanyaan tidak langsung juga
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
259
dapat menciptakan suasana dan kondisi agar tersangka lebih rentan terhadap
pertanyaan langsung. Pertanyaan langsung, tersangka akan dapat menangkap secara
jitu dan menebak secara persis terhadap informasi macam apa yang dicari interogator
darinya. Pertanyaan tidak langsung akan menjebak tersangka untuk mengungkapkan
informasi yang memberatkan. ―Bukankah anda berada di KAP Koento di jalan
Dirgantara, sebelum addendum kontrak 05 dan 06 ditandatangani‖? adalah pertanyaan
langsung. ―Siapa saja yang berada di ruang KAP Koento, saat anda di sana‖? adalah
pertanyaan tidak langsung.
Metoda Psikologikal
Teknik yang memakai ukuran respons psikologis sebagai indikator atas deteksi
kebohongan. Pendekatan-pendekatan yang memadukan aspek psikologi dan biologi.
Thesisnya adalah tindakan kebohongan akan menciptakan konflik yang secara sadar
yang memicu kepanikan atau ketakutan dalam diri si tersangka, yang kemudian diikuti
dengan perubahan psikologikal yang dapat diukur dan diinterpretasikan.
Uji polygraph. Yang sering disebut sebagai uji kebohongan, polygraph
merupakan metoda yang paling dikenal luas. Uji poligrap mencakup serangkaian
pertanyaan ya/tidak yang direspons tersangka ketika ia dihubungkan ke sensor-sensor
yang mengirimkan, via kabel ke instrumen, reaksi fisiologis dari tersangka. Teknologi
analog atau digital digunakan untuk merekam perubahan dalam pola kardioviskular,
pernafasan dan elektrodermal (kulit) tersangka. Hasilnya kemudian digunakan untuk
menentukan penipuan dan didasarkan pada perbandingan yang dilakukan antara
respons fisiologis tersangka terhadap pertanyaan-pertanyaan yang relevan (yang
langsung menanyakan apakah tersangka melakukan kejahatan) dan pertanyaan
pembanding (yang dirancang untuk memberikan respons kebenaran atau
kebohongan). Jika tersangka menunjukkan reaksi secara konsitensi terhadap
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
260
pertanyaan relevan dibanding dengan pertanyaan pembanding, maka akan dianggap
jawabannya jujur. Sebaliknya bilamana tersangka menunjukkan reaksi tidak konsitensi
maka akan dianggap berbohong.
Kritikan atas uji poligrap menyatakan bahwa respons fisiologis yang diukur tidak
berhubungan dengan kebohongan, karena rasa takut ditetapkan sebagai tersangka
dan gelisah karena diperiksa juga bisa mempengaruhi respons fisiologis. Demikian
juga, perubahan fisiologis dan psikologis bisa saja dikendalikan oleh beberapa
tersangka sehingga memberi hasil yang salah. Sebagai konsekuensinya, meskipun uji
poligrap dalam hal mendeteksi ketakutan, namun antara kebohongan, konflik dan
reaksi tubuh dan emosi terlalu samar untuk mendukung klaim yang tinggi atas
akurasinya.
Computerized Voice Stress Analyzer (CVSA). CVSA adalah alat yang
mengukur tekanan yang diinduksi secara fisiologi tetapi hanya dalam suaranya saja.
CVSA itu disebut juga sebagai Psikological Stress Evaluator (PSE). CVSA atau PSE
ini didasarkan pada teori bahwa variasi dalam suara akan berubah jika tersangka
mengalami tekanan psikologis, dan suara itu dapat dideteksi dengan menganalisis
suara yang keluar dari mulut tersangka. Bersamaan dengan pertanyaan yang diberikan
kepada tersangka, sebuah mikrofon akan mencatat respon tersangka pada kertas
grafik dengan garis-garis melengkung. Puncak lancip mengdentifikasikan kebenaran,
sebaliknya puncak datar mengidentifikasikan kebohongan. Modulasi frekuensi yang tak
sengaja atau ―microtremors‖ di suara kemudian diukur oleh mesin dan
mengindikasikan tekanan yang dengan sendirinya akan dapat mengindikasikan
kejahatan yang dilakukan subjek.
Magnetic Resonance imaging atau disebut juga sebagai ―menyidik jaringan
otak‖. Metoda ini didasarkan pada teori bahwa laporan yang teliti mengenai sebuah
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
261
kejahatan tersimpan di otak pelakudan mungkin dapat digali kembali. Pengembalian ini
meliputi tiga tipe stimulus yang berbeda atau event-related potenstial (ERPS). Target
yang adalah penampakan, suara, atau stimuli lain yang diketahui tersangka;
pemeriksaan adalah stimuli yang hanya diketahui tersangka; dan irrelevant adalah
stimuli yang tidak diketahui tersangka. Untuk menentukan apakah seseorang
tersangka menyembunyikan pengetahuan/memori yang khusus mengenai
kejahatannya, elektroda ditempelkan ke kepala untuk mengukur reaksi eletrofisiologis
dari otak terhadap kata-kata, ungkapan, atau gambar khusus yang di-sort ke sebuah
layar. Gelombang otak yang dipancarkan oleh reaksi tersangka kemudian dibaca dan
diinterpretasikan. Para kritikus atas metoda MRI ini mengatakan bahwa, MRI hanya
memunculkan sidik jari otak yang mendemokan atau memunculkan hanya validasi
eksternal yang terbatas, padahal validasi internal ruangnya masih besar sekali ( seperti
pemunculan gunung es).
Dalam encyclopedia penegakan hukum yang ditulis Sullivan dan Marie (2010,
63-67) seperti yang uraikan di muka, sebenarnya masih banyak lagi metoda lain yang
dapat dileborasi dalam penanganan kejahatan, seperti: Thermal Imaging, Behavior
Detection, Facial Action Coding System, Neurolinguistic Programming Di samping itu
juga terdsapat beberapa teknik paralungistic seperti penghitungan jumlah kata,
grafologi, analisis isi dan lainnya yang sebagian telah saya uraikan pada penjelasan
sebelumnya.
Namun, apapun metoda ―scientific‖ uji dan evaluasi kebohongan itu dibangun,
ternyata sekarang ditemukan suatu terapi suntikan yang dapat melumpuhkan ekspresi
wajah. Seseorang yang telah disuntik senyawa botox (botulinum toxin) akan
berdampak, wajah seseorang itu akan sulit, menunjukkan ekspresi emosional seperti
layaknya orang berbohong, Ketika seseorang berbohong biasanya terlihat ada otot-otot
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
262
wajah yang berubah secara otomatis. Begitu pula ketika kita merasa sedih, marah atau
senang, otot-otot wajah akan bergerak untuk menampilkan perasaaan dengan kuat.
Otot-otot wajah akan bergerak dan merespon perasaan kuat itu dengan pantulan
wajah yang ―sumringah‖ (bila hati bersuasana senang), ―gelisah‖ jika dalam kondisi
ketakutan atau berbohong, atau ―muka perang, ditekuk persis kayak onta‖ manakala
lagi sedang marah atau jengkel.
Dengan demikian, dengan ditemukannya botox, berkonsekuensi bahwa uji dan
evaluasi kebohongan secanggih apapun teknik pengejian dan pengevaluasian itu,
belum tentu secara efektif untuk dapat memastikan bahwa si tersangka telah
berbohong. Pengguna suntikan botox, emosi atau perasaan yang berubah itu tidak
dapat ditampilkan secara maksimal. (Majalah Forum, 04 Juli 2010, 72)
Tabel 6-7 NAMA TERSANGKA, KETERANGAN DAN PENGAKUAN ANGKA PKKN
TINDAK PIDANA KORUPSI
KETERANGAN DAN PENGAKUAN
ANGKA
HASIL PKKN
Syamsul Bahri - PGM Kigumas Malang
Menolak atas sangkaan bahwa kontrak 05 dan 06 pekerjaannya fiktif
Rp.489.334.493.
Nazaruddin Sjamsuddin – KPU Pusat
Menolak atas dakwaan adanya penyimpangan uang kick-back dan pengadaan jasa asuransi PT.BUMIDA
Rp.14.193.000.000
Abdullah Puteh – Gubernur NAD
Menolak penyimpangan prosedur pengadaan helikopter terjadi dan mark-up harganya
Rp.10.087.500.000
Bambang Budiarto – KPU Pusat
Menolak pengadaan buku-buku KPU terjadi penyimpangan dan mark-up
Rp.20.076.475.133
Rustam Efendi Sifabutar – Pemda DKI
Menolak penyimpangan prosedur pengadaan bus-way dan mark-up harga
Rp.10.621.101.549
Sumber: Berbagai sumber yang saya olah sendiri
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
263
Dilemma interogasi
Terdapat dilemma yang melingkupi interogasi. Tugas interogator adalah untuk
mendorong dan mempengaruhi pengakuan pada tersangka yang enggan mengaku.
Interogator harus menawarkan rangsangan untuk mengatakan suatu kebenaran dan
menekan agar tersangka mengatakan pengakuan sejujurnya. Makin besar rangsangan
atau tekanannya, makin besar pula peluang adanya pengakuan palsu.
Selanjutnya pada soal tempat, interogasi biasanya merupakan tempat yang
asing bagi tersangka, bisa di kantor polisi, kejaksaan atau KPK. Temapt-tempat itu
adalah tempat menakutkan bagi tersangka. Isolasi dari teman dan keluarga akan dapat
menyebabkan tersangka lebih mudah dipengaruhi. Semakin lama diisolasi semakin
besar derajat kerentanannya. Namun, semakin tinggi derajat konfrontasi yang
dilakukan investigator kepada tersangka semakin besar pula munculnya pengakuan
palsu. Tanpa tekanan pun, faktor emosional dan psikologis dapat menghasilkan
pengakuan palsu. Tekanan pada tersangka, juga dapat menciptakan ingatan palsu.
Tersangka bisa mengingat kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi. Ingatan palsu
itu bisa tampak sama persis penampakannya di benak tersangka sebagaimana ia
teringat pada peristiwa yang sebenarnya yang ia alami sendiri meskipun itu tidak
benar.
Selanjutnya, pencarian jawaban hypothetical construction of crime, salah satu
prosedur eksplorasi tersebut dapat kita lihat dan kita saksikan pada pemeriksaan
perkara Bahri, saat saksi Widjonarko, selaku Pejabat Pengendali Pelaksana Kegiatan
(PKK) Dinas Perkebunan Pemkab Malang untuk memberikan keterangan yang ia lihat,
dengar dan ia alami sendiri.
Dalam tiga kali permintaan keterangan terhadap Widjonarko, kita dapat melihat
bahwa keterangan saksi ini memberikan arah jelas dan simpulan pasti bahwa
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
264
pembayaran atas addendum Nomor 05 dan 06 itu telah merugikan keuangan Negara,
menguntungkan pihak lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.
Dengan kata lain, dapat diartikan suatu perbuatan yang merugikan keuangan
negara sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum. Kutipan pertanyaan penyidik
dan jawaban saksi Widjonarko, untuk sebagian pertanyaan dan jawabannya dapat
saya uraikan dalam Socrates model sebagai mana saya uraikan pada tanya-jawab
berikut ini.
Penyidik bertanya: pada tahun 2004, siapa yang menjabat Kepala Dinas
Pertanian dan Perkebunan (DPP) Pemkab Malang? Saksi menjawab: sampai dengan
bulan Juli 2004, yang menjabat Kepala Dinas Perkebunan adalah FREDDY
TALAHATU, kemudian digabung dengan Dinas Pertanian mulai 09 Juli 2004 dan
Kepala Dinas dijabat oleh HENDRO SOESILO.
Pertanyaan penyidik berikutnya adalah: PGM Kigumas sudah berbadan hukum
sejak tanggal 8 September 2003, dan berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2003
pekerjaan fisik telah dinyatakan selesai 100% pada tanggal 23 September 2003,
apakah kegiatan bangunan sipil, penyempurnaan alat mesin, membayar jasa
pengawas kepada LPM UB pada TA 2004 itu sudah benar dan sesuai dengan sistem
penganggaran berbasis kinerja?
Saksi Widjonarko menjawab bahwa setelah dia membaca PP 105 Tahun 2000
dan Kepmendagri Nomor 25 Tahun 2002, kegiatan bangunan sipil, penyempurnaan
alat mesin, membayar jasa pengawas kepada LPM UB itu tidak dibenarkan oleh dua
peraturan itu. Untuk lebih memastikan keyakinannya, penyidik lalu menanyakan
apakah pada TA 2004 ada perubahan dana Kimbun dan diatur di mana?
Jawaban Widjonarko: pada TA 2004 Dana Kimbun sebesar Rp.1.900.000.000
yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2004. Kemudian terdapat Perubahan APBD
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
265
2004 sebesar Rp.3.032.200.000 yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2004
dikelola oleh Kadisbun Freddy Talahatu dan yang sebesar Rp.1.134.000.000 dikelola
oleh Kadis Pertanian dan Perkebunan (KPP) Hendro Soesanto (pengganti Kadisbun
Freddy Talahatu) sejak tanggal 9 Juli 2004.
Interview dan Interogasi terus dilakukan hingga penyidik yakin dan merasa
tidak ada lagi tambahan keterangan yang diperlukan dari saksi Widjonarko. Alat bukti
keterangan saksi ini dicari, ditemukan dan dikumpulkan dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) hingga layak dan memenuhi syarat untuk disebut sebagai alat
bukti keterangan saksi. Keterangan saksi merupakan mahkota dan petunjuk utama
bagi eksplorasi alat bukti dan penemuan barang bukti tindak pidana korupsi.
Pada dasarnya, wawancara dengan interogasi mempunyai karakteristik yang
berbeda (Tuanakotta, 2009, 338). Wawancara akan bersifat netral dan tidak menuduh
(an interview is non accusatory). Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi
investigatif (investigative information) dan perilaku terhadap orang yang diwawancarai
(behavior information). Wawancara seharusnya dilakukan secara cair, tidak terstruktur
dan bisa saja melompat dari satu pokok bahasan ke persoalan lainnya. Wawancara
harus bersifat tidak kaku, dinamis dan menyesuaiakan dengan kondisi dan keadaan.
Pewawancara juga harus pandai membaca suasana, kapan wawancara itu harus
dihentikan meskipun informasi belum lengkap dan kapan wawancara bisa dilanjutkan
kembali untuk menambah informasi yang belum lengkap. Tuanakotta menambahkan
bahwa sebelum wawancara dilaksanakan pewawancara sudah harus mempunyai
gambaran tentang informasi apa saja yang dibutuhkan serta seberapa banyak
informasi itu ingin dikumpulkannya.
Berbeda dengan interogasi, sifat interogasi adalah menuduh (an interrogation is
accusatory). Karena seseorang yang bersalah tidak akan secara sukarela memberi
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
266
keterangan yang bertentangan dengan kepentingan pribadinya (pada posisi terdesak,
animal instink akan selalu muncul). Interogasi hanya dapat dilakukan, setelah
investigator mempunyai keyakinan memadai mengenai salahnya orang (an
Interogation is conducted only when the investigator is reasonably certain of the
suspect‟s guilt).
Interogasi juga bisa dilakukan dengan cara persuasi aktif (an interrogation
involves active persuation) atau interogasi dengan cara membujuk. Teknik ini dilakukan
karena investigator pada sebelumnya telah melakukan banyak kebohongan. Untuk
membujuk menceritakan kebenaran, investigator mengajukan ―pernyataan‖ dan bukan
―pertanyaan‖.interogasi akan mengarah pada apa yang sebenarnya terjadi (the
purpose of interrogation is to learn the truth), artinya siapa pelaku sebenarnya, berapa
jumlah uang yang dikorupsi itu? Di mana tempatnya melakukannya? Bagaimana
caranya dan seterusnya hingga hypothetical construction of crime 2H+5W terjawab.
6.4. CATATAN AKHIR
Dalam kasus tindak pidana korupsi, yang perlu kita pahami bersama adalah
perbedaan posisi dan pertimbangan para pihak yang terlibat pada perkara. Perbedaan
posisi dan pertimbangan itu dapat saya rangkum pada tabel 6.8.
Tabel 6-8 PERTIMBANGAN DAN POSISI PARA PIHAK YANG BERPERKARA DALAM SUATU PERISTIWA HUKUM
PARA PIHAK YANG
BERPERKARA
PERTIMBANGAN
P O S I S I
SUBJEKTIF
OBJEKTIF
SUBJEKTIF
OBJEKTIF
HAKIM
√
√
JAKSA
√
√
ADVOKAT
√
√
TERDAKWA
√
√
SAKSI
√
√
√
√
6.
Sumber: Kaligis (2009, 34) dan Tuanakotta (2010, 243)
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
267
Para pihak di atas itu memiliki fungsi yang sama, yakni masing-masing pihak
akan berusaha untuk mencari kebenaran dengan memeriksa dan menyelidiki secara
jujur atas fakta (sejarah fakta) dan perbuatan terdakwa, maksud dan akibat yang
ditimbulkannya, sebagaimana yang dituduhkan. Mereka menilai, apakah fakta-fakta itu
memenuhi unsur pidana untuk menghukum terdakwa sebagaimana yang disyaratkan
undang-undang, dan mereka juga akan mengukur, hukuman apakah yang dapat dan
pantas diberikan kepada si terdakwa dengan seadil-adilnya, atau terdakwa harus
dibebakan dari segala Dakwaan.
Bagi Trapmann, sosok ahli pidana dari Negeri Belanda, yang pandangannya
dikutip oleh Tuanakotta (2009, 213) mengatakan bahwa karena posisi yang berbeda,
sudah sewajarnya berkonsekuensi pada pendirian berbeda. Jaksa, advokat, hakim,
terdakwa tentu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam soal understanding,
meanings and sense.
Jaksa misalnya, meskipun selaku pejabat umum (openbaar ambtenaar)
mempunyai posisi yang obyektif. Namun, sebagai akibat dari penuntutan (accusatoir)
pada proses peradilan pidana, di mana jaksa dan terdakwa saling berhadapan dalam
kedudukan yang sejajar, maka jaksa sebagai penuntut (wakil negara) dengan
sendirinya akan mempunyai pendirian yang subyektif.
Advokat, masih menurut Tuanakotta, oleh karena bukan pejabat umum, dengan
sendirinya mempunyai posisi subjektif. Akan tetapi, pada dasarnya advokat berfungsi
mengemukakan pendirian mengenai perbuatan-perbuatan tertuduh yang terjadi
dirinjau dari sudut aturan hukumnya, abik formil maupun materiil, dengan demikian
pendiriannya bersifat objektif.
Terdakwa, akan seperti advokat. Dia mempunyai posisi yang subjektif. Dalam
menghadapi tuntutan atau Dakwaan Jaksa, pendiriannya tentu juga akan subjektif.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
268
Hakim selaku pejabat umum dengan sendirinya mempunyai posisi yang
objektif karena menjalankan fungsi mengadili terhadap masing-masing pendirian
subjektif dari pihak-pihak yang bersebarangan. Kedua belah pihak itu adalah Jaksa
dengan Terdakwa/advokat. Karena itu Hakim wajib atau setidak-tidaknya diharapkan
memegang teguh pendirian yang tidak memihak dengan menerapkan pendirian
objektif.
Saksi, karena saksi - baik saksi fakta maupun saksi ahli - bisa saja kesaksiannya
itu berupa kesaksian yang meringankan (a decharge) maupun saksi yang
memberatkan (a charge) maka posisi maupun pendirian bisa objektif dan dapat saja
berisfat subjektif. Dengan demikian, dalam posisi bisa obyektif namun bisa juga
subjektif. Demikian pula dalam hal pertimbangan saksi dapat obyektif namun dapat
juga menjadi subjektif.
Di samping itu, pada penanganan perkara tindak pidana korupsi, dialektika
Socrates menjadi keniscayaan. Dialektika socrates merupakan uji bukti, uji nalar, uji
pemahaman, uji keluasan pengetahuan dan uji lainnya, yang semuanya itu dilakukan
dalam rangka untuk mencari dan membangun visum akuntansi forensik.
Dengan adanya pertarungan seperti itu, hukum Gresam yang dikutip Agoes
dan Hoesada (2009, 6) mengatakan yang rasional akan mengalahkan yang tidak
rasional, yang memiliki bukti akan mengungguli yang tanpa bukti, yang
berpengetahuan akan mengeliminasi yang tidak berpengetahuan, demikianlah
berlakunya hukum Gresam itu.
Demikian juga, adopsi dialektika Socrates dalam membnetruk visum akuntansi
forensik merupakan bentuk pencarian kebenaran. Elaborasi dialektika Socrates dapat
kita lihat pada adu argumentasi antara auditor, penyelidik, penyidik, jaksa, advokat,
hakim, saksi, dan ahli. Adu argumentasi, justifikasi pendapat dalam BAK, BAPK, BAP,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
269
AI, PKKN, pulbaket lidik maupun sidik merupakan ajang dan temapt rasionalisasi atas
bukti-bukti yang melekat dan inheren dengan penanganan perkara tindak pidana
korupsi.
Prosedur penyelesaian rasional merupakan tempat paling suci dalam penanganan
tindak pidana korupsi. Prosedur rasional itulah yang kemudian melandasi dan dasar
putusan hakim.
Bab VI ini tidak saya tutup baik dengan simpulan maupun proposisi seperti yang
saya lakukan pada tiga bab sebelumnya itu. Karena bab ini lebih bersifat mengurai,
menganalisis, memperjelas dan memunculkan, serta menambah keterangan, uraian,
pandangan, wacana terhadap pernik-pernik dan hal-hal yang masih perlu dimasukkan
atau kurang uraiannya pada tiga bab sebelumnya itu. Dalam istilah lain, dapat saya
katakan sebagai lebih memunculkan ―sinar mutiara‖ yang masih buram dan kurang
sinar kemilaunya pada tiga bab sebelumnya.
Perkenankan saya mengakhiri uraian dalam bab ini dengan kalimat Trapmann
yang dikutip Agoes dan Hoesada, 2009, 6) sebagai berikut:
“Opini manusia secara universal akan cenderung menyerah kepada suatu
bentuk definitif, yaitu “kebenaran”. Biarkanlah setiap manusia itu memperoleh
informasi secukupnya, dan memikirkan secara mendalam atas suatu masalah
yang menjadi kegalauannya, sehingga ia akan sampai pada suatu simpulan
yang jelas dan pasti, yang keadaannya sama dengan apa yang akan dicapai
oleh aliran pemikiran lain apapun, oleh siapapun, di manapun... dalam situasi,
kondisi, dan kejadian yang sama” .
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
270
BBaabb 77 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN CATATAN AKHIR
Bener ketenger, becik ketitik, ala ketara
Sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh
Sing salah mesthi owah, sing bener mesthi nggejejer
Sura sudira jayadiningrat, lebur dening pangastuti
Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo kumowani
Yen lali ndang elingo, yen eling ndang makarti, yen makarti kudu ngrumangsani
(Disarikan dari: Kearifan Lokal)
7.1. SIMPULAN
Mutatis mutandis, dengan basis metodologi grounded theory serta berbekal
theoritical sensitivity, creativity dan imagination, setelah saya melakukan studi
terhadap beberapa perkara tindak pidana korupsi, dapat saya simpulkan bahwa visum
akuntansi forensik - yang merupakan integrasian antara bukti akuntansi, bukti auditing
dan bukti hukum - merupakan bukti utama dan terpenting dalam kasus tindak pidana
korupsi.
Sebaliknya, bilamana visum akuntansi forensik tidak cermat, tidak lengkap dan
tidak jelas, maka para terdakwa dapat dibebaskan dari jeratan hukum sebagaimana
tampak pada kasus Samsul Bahri dan Ahmad Santoso. Demikian juga, manakala
visum akuntansi forensik memiliki kriteria cermat, jelas dan lengkap (a beyond
reasonable doubt), maka para terdakwa pasti tidak dapat menghindar dari jeratan
hukum, seperti pada kasus Nasruddin Sjamsuddin, Abdullah Puteh dan lainnya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
271
7.1.1. Visum Akuntansi Forensik Level Audit Investigatif
Berbasis permintaan AI atau PKKN, pencarian visum akuntansi forensik dalam
perkara dugaan tindak pidana korupsi, langkah yang ditempuh BPKP dapat saya bagi
dalam tiga aktivitas, yakni sebelum (ex-ante), pelaksanaan (process), dan
penyelesaian (ex-post).
pertama, sebelum penugasan (ex-ante) atau saat persiapan meliputi: ekspose
perkara, simpulan ekspose (penugasan diterima atau ditolak), pembuatan surat tugas
(AI untuk data mentah dan PKKN untuk data masak).
Langkah kedua, saat pelaksanaan (process) meliputi kajian dan penentuan
penyimpangan dengan melakukan perbandingan antara aturan (seharusnya) dengan
pelaksanaan (sebenarnya), meneliti bukti-bukti penyimpangan, melakukan pengujian
seperti reperforming, konfirmasi, observasi, tanya-jawab, tracing, vouching dan
lainnya, meminta bantuan ―ahli‖ dan kemudian menghitung dan membuat laporan
perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN).
Langkah ketiga (ex-post) meliputi: melakukan ekspose sekaligus memastikan
pihak (pihak-pihak) yang bertanggungjawab terhadap dugaan tindak pidana korupsi
tersebut. Dalam simpulan akhir AI atau PKKN, harus menjawab secara konkrit
hypothetical construction of crime 2H+5W, yang terangkai dalam chart and matrix dan
memuat minimal dua dari lima macam alat bukti tindak pidana korupsi.
7.1.2. Visum Akuntansi Forensik Level Lidik
Berbasis laporan yang masuk, penyelidik atau intelejen yustisia atau reserse
kepolisian melakukan pulbaket lidik untuk melakukan pendalamaman atas laporan
tersebut. Tindak lanjut ini berupa kajian mendalam dan komprehensif terhadap laporan
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
272
(laporan-laporan) yang masuk, dengan tujuan untuk memastikan apakah laporan atas
dugaan tindak pidana korupsi itu dapat ditingkatkan kasusnya ke level penyidikan.
Pulbaket lidik juga mencari jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W.
Tahap pertama adalah, mengkaji laporan-laporan yang masuk, menambah bahan
bukti dengan melakukan operasi intelejen, dan terakhir melakukan pra-ekspose. Jika
hasil pra-ekspose menyimpulkan bahwa perkara dapat diteruskan, maka akan dibuat
Surat Perintah Penyelidikan. Kedua adalah, membuat rencana penyelidikan (Renlid)
dan membangun hypothetical construction of crime. Lalu memanggil dan meminta
keterangan kepada saksi-saksi yang terkait kasus. Kemudian mencari dan meneliti
barang bukti yang terkait dengan kasus. Selanjutnya, melakukan pengujian terhadap
bukti yang terkait kasus, meneliti persesuaian antara barang bukti, keterangan saksi,
dan perbuatan si pelaku. Berikutnya adalah membuat chart berupa uraian modus
operandi perkara dan matrix yang menguraikan unsur-unsur pasal (delict) yang
disangkakan. Langkah terakhir adalah mengadakan ekpose internal yang akan
menyimpulkan atau memberikan pendapat akhir apakah terdapat cukup bukti untuk
dilakukan peningkatan status terperiksa menjadi tersangka dan ditingkatkan ke tahap
penyidikan
Dengan kata lain, laporan hasil pulbaket lidik yang merupakan visum akuntansi
forensik level lidik berisi mengenai uraian atas rangkaian perbuatan yang dilakukan
tersangka. Visum akuntansi forensik lidik juga memuat rangkaian alat bukti dan barang
bukti yang menggambarkan rangkaian persesuaian perbuatan dengan alat bukti dan
barang dalam bentuk chart and matrix yang merupakan bahan bukti bagi tahap
penyidikan (sidik).
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
273
7.1.3. Visum Akuntansi Forensik Level Sidik
Pulbaket sidik mempelajari, menganalisis mempertajam hasil dari pulbaket
lidik. Prosedur yang dilakukan penyidik adalah berbekal dengan hasil ekspose lidik
akan dibuat Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Lalu dibuatlah rencana
penyidikan (rendik) dan membangun hypothetical construction of crime. Berikutnya
adalah memanggil dan meminta keterangan saksi-saksi yang terkait kasus.
Selanjutnya, melakukan penajaman pengujian dan analisis terhadap bukti yang terkait
perkara. Hasil penyidikan dibuat simpulan atau pendapat, membuat chart berupa
uraian modus operandi perkara dan orang-orang yang terlibat atau terkait perkara, dan
matrix yang menguraikan unsur-unsur pasal (delict) yang didakwakan kepada si
pelaku. Akhirnya melakukan ekpose internal untuk menyimpulkan apakah terdapat
cukup bukti untuk memastikan status tersangka menjadi terdakwa, dan berkas
diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dibuat Surat Dakwaan.
Sebaliknya, bilamana ekspose internal menyimpulkan bahwa perkara tindak
pidana korupsi tidak cukup bukti, maka SP-3 (Surat Penghentian Pemeriksaan
Perkara) akan dibuat, perkara dihentikan dan tersangka dilepaskan. Sebagai
tambahan, SP-3 ini tidak dikenal pada lembaga KPK.
Laporan pulbaket lidik merupakan visum akuntansi forensik level sidik akan
berisi mengenai uraian atas rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh yang didakwa
pelaku tindak pidana korupsi. Visum akuntansi forensik lidik, merupakan uraian
rangkaian alat bukti dan barang bukti serta bukti-bukti pendukung lainnya. Rangkaian
itu berisi persesuaian perbuatan dengan alat bukti dan barang bukti yang dirajut dalam
chart and matrix dan/atau bisa dalam bentuk narratif atas detil perkara tindak pidana
korupsi,
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
274
Dalam visum akuntansi forensik lidik, juga akan memuat Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) dan pada setiap tindakan penyidik akan ditandai dengan simbol
―Projustitia‖. Simpulan Lidik merupakan jawaban hypothetical construction of crime
2H+5W yang merupakan bahan bukti bagi JPU untuk mengkonstruksi Dakwaan.
Simpulan utamanya adalah ada atau tidaknya eksistensi tindak pidana korupsi, yang
memuat tiga unsur temuan yakni angka kerugian keuangan Negara, pihak yang
diuntungkankan, dan adanya perbuatan melawan hukum.
Temuan-Temuan:
Bahwa visum akuntansi forensik merupakan rekonstruksi sejarah fakta, yang
terdiri dari paling tidak dua dari lima macam alat bukti, menjadi dasar bagi
penetapan status seseorang menjadi terperiksa, tersangka atau terdakwa.
Bahwa visum akuntansi itu akan berbentuk rangkaian chart and matrix yang
merupakan jawaban hypothetical construction of crime 2H+5W yang cermat,
jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt). Visum akuntansi forensik akan
berfungsi sebagai bahan bukti bagi pendalaman level/tahap pemeriksaan
selanjutnya.
Bahwa visum akuntansi forensik adalah suatu hasil sinergi oposisi-biner.
Sinergi antara satu sisi dengan sisi lainnya, antara sudut satu dengan sudut
lainnya dan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Artinya, visum
akuntansi itu dapat berbentuk potongan-potongan bahan bukti yang boleh jadi
bertentangan antara satu dengan lainnya kemudian dihubungkan kembali
sehingga menjadi suatu ikatan ―bukti dan pembuktian‖ yang utuh, holistik dan
komprehensif. Masing-masing bagian berdiri sendiri namun tidak dapat
melepaskan diri dalam rangkaian hubungan secara integral dengan bagian-
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
275
bagian lainnya. Hubungan dalam rangkaian visum akuntansi terjalin secara
berkelindan dengan bagian-bagian lainnya. Jika bagian-bagian itu berdiri
secara sendiri-sendiri maka tidak akan mempunyai arti apa-apa di luar
kesatuan secara keseluruhan. Di dalam kesatuan tidak dikehendaki adanya
konflik atau kontradiksi. Pertautan dan persesuaian, antara bukti akuntansi,
bukti auditing dan bukti hukum melalui terobosan paradigma lintas ilmu dan
holistik itulah yang akan membentuk konstruksi wujud visum akuntansi forensik
yang berkriteria cermat, jelas dan lengkap (a beyond reasonable doubt).
7.2. IMPLIKASI
Visum akuntansi forensik, yang merupakan alat bukti dan pembuktian yang
berguna dan berperan signifikan bagi proses litigasi di pengadilan, membawa implikasi
pada antara lain bahwa:
Pertama jika visum akuntansi forensik level audit investigatif mengandung
ketidakcermatan‘ terutama pada akurasi hasil perhitungan kerugian keuangan negara
maka akan berpengaruh secara signifikan pada seluruh proses litigasi pada tahapan
berikutnya dan akan dapat memperlemah konstruksi visum akuntansi forensik pada
level berikutnya dan memperlemah konstruksi dakwaan JPU.
Kedua untuk membangun visum akuntansi forensik niscaya memerlukan
pengetahuan mendalam di bidang akuntansi, auditing dan keuangan, serta ilmu
hukum.
Ketiga dengan visum akuntansi forensik yang masih berfokus pada bukti
inderawi belaka, dan tidak melakukan elaborasi pada dimensi psikologi dan intuisi,
visum akuntansi forensik hanya memiliki kebenaran inderawi belaka.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
276
7.3. CATATAN AKHIR
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, alat bukti keterangan
memainkan peranan sangat menentukan atas keberhasilan baik level audit
investigatif, penyelidikan maupun penyidikan. Alat bukti keterangan yang terdiri dari
keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa yang meruapakan hasil
kepiawaian dalam menerapkan berbagai teknik dan strategi interview maupun
interogasi.
Keberhasilan mengorek keterangan saksi berakibat positif atas diperolehnya
berbagai informasi dan keterangan baik mengenai apa, siapa, mengapa, di mana,
kapan, bagaimana, dan berapa banyak dampak kerugian yang ditimbulkan dari tindak
pidana korupsi. Dengan diperolehnya keterangan-keterangan terhadap keterangan
saksi, akan memudahkan tahap selanjutnya untuk mencari barang bukti dan informasi
mengenai motif perbuatan serta data lainnya.
Kesuksesan mendapatkan keterangan ahli juga akan menunjukkan mengenai
berbagai hal rinci tentang detail kasus dengan berbagai permasalahannya sesuai
dengan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Misalnya dari keterangan ahli
akuntansi dan keuangan, Majelis hakim akan memperoleh secara rinci tentang cara-
cara si pelaku mengambil uang negara secara melawan hukum, misalnya
pemanipulasian data dan dokumen, laporan keuangan yang telah direkayasa, mark-
up, kontrak fiktif, pekerjaan rekayasaan dan lainnya.
Demikian juga, kelengkapan dalam menguak keterangan terdakwa akan
didapatkan informasi mengenai perbuatan apa yang telah dilakukan oleh si pelaku,
alibi yang dibangun, justifikasi yang dibuat dan rasionalisasi atas perbuatannya,
bahkan boleh jadi, akan memperoleh pengakuan jujur dan komprehensif atas
perbuatan dan cara-cara melakukannya serta motif yang mendasari perbuatannya.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
277
Oleh karena itu, ada baiknya elaborasi terhadap teknik hypnosis, mungkin saja
dan boleh jadi, dapat memberikan penguatan terhadap alat bukti keterangan.
Pertanyaannya adalah apakah hipnosis dapat didayagunakan untuk menguak
keterangan para saksi? Menurut Adrie Gunawan (2010, 77) pada konsteks
keindonesiaan, teknik hipnotis dapat didayagunakan hanya untuk mengungkap
keterangan saksi dan/atau saksi korban saja. Bagi Adrie, berbasis teknik regresi dan
hypernesia baik saksi atau korban akan dapat dengan leluasa menceritakan mengenai
kejadian-kejadian di sekitar peristiwa yang ia saksikan, ia dengar dan/atau ia alami.
Saksi atau korban dapat menjelaskannya secara sangat rinci, gamblang dan
komprehensif. Sayangnya, hipnotis tidak akan bisa digunakan untuk mendapatkan
pengakuan atau keterangan yang jujur dari pelaku tindak pidananya. Hipnotis tidak
bisa digunakan karena pertama si pelaku tidak akan pernah bersedia dirinya untuk di
hipnotis, dan kedua dalam kondisi hipnosis seseorang masih dapat melakukan
kebohongan atas keadaan yang sebenarnya.
Sejujurnya saya katakan bahwa, studi ini masih berstatus ―koma‖ dan belum
―titik‖, dan masih banyak kekurangan yang perlu upaya penyempurnaan-. Harapan
saya pada penelitian selanjutnya dapat melakukan penyempurnaan dan perbaikan
yang diperlukan bagi lebih sumpurnanya studi ini.
Hal yang perlu disempurnakan dalam penelitian selanjutnya adalah
peningkatan kemampuan investigator dalam mendapatkan bukti di luar bukti inderawi.
karena, pada umumnya, para investigator lebih sering mendasarkan tuduhannya pada
bukti-bukti yang ada (there), dan bukan pada bukti-bukti yang tidak ada (not there).
Dengan kata lain, ―noisy‖ (bukti inderawi) itu dapat dijadikan dasar ekplorasi bukti dan
pembuktian. Namun, akurasi bukti dapat juga diperoleh melalui pola ―silence speaks
volumes‖, yang artinya manakala bukti-bukti yang ada – seperti bukti akuntansi
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
278
forensik – ternyata tidak cukup kuat untuk memastikan tersangkanya, maka
investigator diharapkan untuk lebih dapat mendeteksi seorang tersangka itu dari sudut
lain (instink) misalnya dari cara berbicaranya, tingkah lakunya, kecepatan merespon
pertanyaan, dan lain sebagainya
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
279
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, (2006), Forensik, Restu Agung, Jakarta Abidin, Zainal, (2006), Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung ACFE, Association of Certified Fraud Examiners, (2005), Fraud Examiner Manual,
Criminology and Ethics, Texas. Achsin, M, Ismail Navianto, dan Abdul Madjid, (2002), Aspek Hukum Pidana Dalam
Kaitannya Dengan Opini Akuntan Publik Atas Laporan Keuangan Yang Mengandung Salah Saji material, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Tidak Dipublikasikan
Adji, Indrianto Seno, (2007), Korupsi dan Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum
Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta. __,____________, (2006), Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta.
Agoes, Soekrisno dan Jan Hoesada, (2009), Bunga Rampai Auditing, Penerbit
Salemba Empat Jakarta Ali, Achmad, (2000), Wajah Hukum Di Era Reformasi: Dari Reformasi Legalistik Ke
Delegislasi¸ Menyambut 70 Tahun Prof. Satjipto Rahardjo, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Albrecht, W Steve dan Chad O Albrecht (2003), Fraud Examination, Thomson South-
Western Arens, Alvin A, Elder J Randal & Beasley S Mark (2004) Auditing dan Pelayanan
Verifikasi - Pendekatan Terpadu, edisi kesembilan, PT Intermasa, Jakarta Ardiwisastra, Yudha Bhakti, (2000), Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni,
Bandung Asyrof, Mukhsin (2006), Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam
Proses Peradilan, Varia Perdilan no. 252 Nopember, 2006 Audifax, (2007), Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan,
Pinus Book Publisher, Yogyakara Barda Nawawi Arif, (2003), Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada,
Jakarta
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
280
Baridwan, Zaki, (2000), Clean Goverment dan Pemberantasan Korupsi, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Edisi Desember, STIE, Yogyakarta
Berg, Lawrence Bruce, (2004), Qualitative Research Method for The Social Sciences,
Pearson Education, Inc Belkaoui, Ahmed, Riahi (2006), Accounting Theory, Five Edition, Terj: Ali Akbar
Yulianto dan Rinawati Dermauli, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. BPKP, (2009), Pedoman Penugasan Bidang Investigasi, Jakarta BPKP, (2009), Laporan Audit Investigatif, LHAI-21210/PW13/5/2009 BPK RI, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, SPKN, Nomor 01 Tahun 2007 BPK RI, Undang-undang Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Nomor 15
Tahun 2006 Boullata, Issa J, (2001), Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, LKIS,
Yogyakarta Borgantti, Steve (2005), Introduction to Grounded Theory,
http://www.analytech.com/mb870/introtoGT.html. Budiman, Kris (1999), Kosa Semiotika , LKIS, Yogyakarta Buku Pedoman Tesis dan Disertasi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya, Nomor 20/J10.1.12/SK/2008 Bruggink, JJ, (1996), Refleksi Tentang Hukum, Alih bahasa: B Arif Sidharta, Citra
Aditya Bakti, Bandung. Chaer, Abdul (2003), Psikolingusitik, PT. Rineka Cipta, Jakarta Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadilah, (2008), Strategi Pencegahan dan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung Chazawi, Adami, (2006), Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 tahun
1999 Diubah Dengan UU No. 20 Tahun 2001, Alumni, Bandung. Cortanzo, Mark (2006), Psychology Applied to Law, Terj: Helly Prajitno Soetjipto dan
Sri Mulyantini Soetjipto, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Corruption Eradication Commisions, (2006), Gap Analysis Study Report: Identification
of Gaps Between Laws/Regulations of The Republic of Indonesia and The United Nations Conventions Againts Corruption, First Edition, Nopember, Jakarta
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
281
Clarcson, Peter M, & Crig Emby, and Vanessa W-S Watt (2002) Debiasing The Out Come Effect: The Role of Instructions In an Audit Litigation Setting, Auditing: A Journal of Practice & Theory , Vol 21 No 2, September 2002, p.7-20
Creswell, John W, (2003), Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among
Five Tradition. London: Sage Publication Crumbley, D. Larry & Nicholas Apostolou, (2002), Forensic Accounting: A New Growth
Area in Accounting, Ohio CPA Journal, July-September 2002 Crumbley, D. Larry, (2006), Journal of Forensic Accounting, Volume VII (2006: 2
semiannual issues of approx) Cushing, Barry E & David L. Gilbertson, (2002), Strategic Analysis of Securities
Litigation Against independent Auditor, Auditing: Journal of Practice & Theory Vol 21 no 2, September 2002, p.57-80
Danil, Elwi, Loebby Loqman, dan Harkristuti Harkrisnowo, (2001), Fungsionalisasi
Hukum Pidana Dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi – Studi Tentang Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Tidak Dipublikasikan
Durheim, Emile, (1964), The Division of Labor in Society, New York: The Free Press,
New Delhy, Prentice Hall of India, 1969 Darwis, (2006), Refleksi Paradigma Holistik-Ekologis Untuk Merekonstruksi Konsep
Kinerja dalam Akuntansi Dan Sosio-Environmental Responsibility, Proposal Penelitian Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Dotzur, Mark, (1997), Groundwater Contamination and Residential Property Values,
The Appraisal Journal, July, Appraisal Institute, USA, 279-285 East, Laura J (2003), The Role of Forensic Accountant In A Criminal Investigation,
Journal of Forensic Accounting, Vol. IV, pp. 321-324, R.T. Edward, Inc, USA. Efferin, Sujoko, Darmadji, Hadi Stefanus dan Yuliawati Tan, (2004), Metode Penelitian
Untuk Akuntansi, Sebuah pendekatan Praktis, Bayu Media, Malang Effendi, Marwan (2005), Kejaksaan Republik Indonesia: Posisi dan Fungsinya dari
Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Emzir, (2008), Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif: Korelasional,
Eksperimen, Ex Post Facto, Etnografi, Grounded Theory, Action Research, PT. Rajagravindo Persada, Jakarta
Evans, Thomas G, (2003), Accounting Theory: Contemporary Accounting Issues,
Thomson South Western, USA
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
282
Eckert, Joseph K, Robert J Gloudemans dan Richard R. Almy, (1990), Property Appraisal and Assessment Administration, The International Association of Assessing Officers, USA.
Fletcher, George, (1998), Basic Concept of Criminal Law, Oxford University Press. Frankckh, Pierre, (2009), Law of Resonance, Membangkitkan Getaran Hati Untuk
Mereguk Kebahagiaan Sejati, Ufuk Press, Jakarta Fuady, Munir, (2007), Perbandingan Ilmu Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung _____, ____, (2006), Teori Hukum Pembuktian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _____, ____, (2005), Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti,
Bandung _____, ____, (2002), Doktrin-doktrim Modern Dalam Corporate Law, Eksistensi Dalam
Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Glassser, Barney G, & Anselm L Strauss (2003), The Discovey of Grounded Theory,
New York, Aldine Publising Company. Hamidi, Jazim, (2006), Revolusi Hukum Indonesia, Makna Kedudukan dan Implikasi
Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Kenegaraan RI, Penerbit Konstitusi Pers, Jakarta
______, ____, (2005), Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta Hamzah, Andy, (2005), Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta Hardiman, F, Budi (2007), Filsafat Fragmentaris, Kanisius, Yogyakarta Harahap, M Yahya, (2006), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Kedelapan, PT Sinar Grafika, Jakarta
Hidayat, Dedy N, (2004), Metodologi Penelitian Klasik dan Hypothetico-Deductive-
Method, Materi Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Tidak Dipublikasikan.
Huda, Chairul, (2006), Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana, Jakarta
Husein, Harun M, (2005), Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi dan
Permasalahnnya, Rineka Cipta, Jakarta.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
283
Ikatan Akuntan Indonesia, (2001), Standar Profesional Akuntan Publik, IAI – Kompartemen Akuntan Publik, Jakarta
Ikatan Akuntan Indonesia, (1994), Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat,
Jakarta Indrawati, (2001), Analisis Yuridis Kriminologis terhadap Tindak Pidana Korupsi Dana
Kredit Usaha Tanai (KUT) – Studi Kasus di Pengadilan Negeri Malang, Tesis, Pascasarjana Universitas Brawaijaya Malang, Tidak Dipulikasikan
Jusuf, Al-Haryono, (2001), Auditing (Pengauditan), Buku 1, Bagian Penerbitan Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi, Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, Yogyakarta Kaligis, Otto, Cornelis, (2007), Antologi Tulisan Hukum, Penerbit PT. Alumni Bandung Khairansyah (2006), Audit Investigatif: Metode Efektif Dalam Pengungkapan
Kecurangan, Economic Bussiness Accounting Review. Kizirian, Timothy G, Brian W, Mayhew, and L. Dwight Sneathen, Jr, (2005), The Impact
of Management Integrity On Audit Planning and Evidence, Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol 24 No 2, November 2005, pp 49-67.
Klitgaard, Robert, (1998), Controlling Corruption, University of California Press,
Barkeley, USA Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia, Laporan Tahunan Annual Report Tahun
2006 Konrath, Larry F, (2002), Auditing: A Risk Analysis Approach, South Western, a
division of Thomson Learning, Florida, USA. ______, ___, (2007b), Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik,
Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Koran Jakarta, Tanggal 24 Juni 2010. Kusharyanti, (2003), Temuan Penelitian Mengenai Kualitas Audit dan Kemungkinan
Topik Penelitian Di Masa Datang, Jurnal Akuntansi & Manajemen, Edisi Desember 2003, STIE Yogyakarta.
Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Dugaan Tindak Pidana
Korupsi Penyalah Gunaan Dana Pada Kegiatan Kimbun Pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Tahun 2004, BPKP Perwakilan Jawa Timur, Surabaya.
Laporan Hasil Audit Investigatif Atas Kekurangan Kas dan Belanja Daerah Pada
Kabupaten Jember, Nomor 167/R/XIV.3/08/2005, Tanggal 30 Agustus 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan IV, Yogyakarta
Laporan Hasil Audit Investigatif Pemberian Kas Bon Atas Hasil Pemriksaan Laporan
Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2003 dan 2004 Pemerintah Kabupaten
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
284
Kolaka, Nopember 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan VII Makassar
Laporan Hasil Audit Investigatif Atas Bantuan Keuangan Kepada DPRD, Biaya
Asuransi, Uang Purna Bakti, Dan Bantuan Keuangan Kunjungan Kerja DPRD Tahun 2004 Pada Kabupaten Badung, Tanggal 30 Agustus 2005, Badan Pemeriksa Keuangan, Perwakilan V Denpasar
Laporan Auditor Independen Atas Investasi Pemerintah Kabupaten Malang Pada
Pabrik Gula Mini Kigumas Periode 2001 – Juni 2003, Kantor Akuntan Publik Drs. Keonta Adji.
Laporan Akhir Hasil Ruislag Tanah Kas Desa Lawang Denga nTanah Sawah Desa
Sumberngepoh dan Desa Sumberporong Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, Tahun 2008, PT. Sucofindo Appraisal Utama, Surabaya.
Laporan Hasil Investigatif atas Pengaduan Masyarakat Tentang Dugaan adanya
Ketidakwajaran Dalam Proses Tukar Guling Tanah Eks Bengkok Desa Lawang yang terletak di Kleuarahan Lawang Kabupaten Malang, Nomor: LHAI-6586/PW13/5/2006, tanggal 21 Juli 2006, BPKP Perwakilan Jawa Timur.
Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Kasus Tindak Pidana
Korupsi Tukar Guling Tanah Kelurahan Lawang Kabbupaten Malang Tahun 2004, Nomor: SR.10463/PW13.5/2007 tanggal 06 November 2007, BPKP Perwakilan Jawa Timur.
Lacey, Anna & Donna Luff, (2001), Trend Focus for Research and Development in Primary Health Care: Qualitative Data Analysis, Sheffield: Trend Focus
Leyh, Gregory, (2008), Hermeneutika Hukum: Sejarah,Teori dan Praktik, Nusa Media,
Bandung Legal Opinion, (1006), Kedudukan Hukum Lembaga Pengabdian Masyarakat
Universitas Brawijaya Dalam Dugaan Penyertaan Konsultan Perencanaan dan Pengawasan Pembangunan Pabrik Gula Kigumas 2003 Bersama Ir. Freddy Talahatu Mantan Kadisbun Pemkab Malang Yang Didakwa Tindak Pidana Korupsi, Dibuat Oleh Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang,
Lourie, Max, (1998), Forensic Accounting, New York Certified Public Accountant Manan, Baqir, (2008), Due Process of Law, Varia Peradilan, Tahun ke XXIII No.266
Januari 2008. _____, _____, (2007), Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004,
FH UII, Yogyakarta Mautz, R.K dan Hussein A. Sharraf, (1993), The Philosophy of Auditing, Seventeenth
Printing, American Accounting Association Monograph No. 6, USA.
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
285
Millovanovic, Dragan, (1994), A Primer In The Sociology of Law, Harrow and Heston, New York
Majalah Investigasi, tanggal 16 Mei 2007 Maydew, E.I, (1997), Tax Induced Earnings Management Bu Firm With Net Operating
Losses. Jurnal of Accounting Research, 35-83-96 Manteuffel, Karl ―Chuck‖ B. Freicherr Von, (2006), An Introduction to Grounded Theory,
http://www.gtm.vlsm.org/gnm-gtm.html. Majalah forum keadilan,,Nomor 10/28 Juni -04 Juli tahun 2010 Maliki, Zainuddin, (2003), Narasi Agung: Tiga Sosok Teori Sosial Hegemonik,
Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat Mahkamah Konstitusi Indonesia, Putusan Nomor: 003/PPU-IV/2006 Tentang
permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 31 Tahun 1999 Terhadap Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Marpaung, Leden, (1992), Tindak Pidana Korupsi – Masalah dan Pemecahannya,
Sinar Grafika, Jakarta. Maryaeni, (2005), Metode Penelitian Kebudayaan, Bumi Aksara, Jakarta Mason, J, (1996), Qualitative Researching, London UK: Sage Publication Messier, William F, (2000), Auditing and Assurance Service: A Systematic Approach,
The Mc Graw Hill Companies, Inc. Mulyana, Deddy, (2006), Metodologi Kualitatif: Paradigma Baru Imu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung Mulyadi, (2002), Auditing, Buku 1, Edisi Keenam, Salemba Empat, Jakarta Mulyadi, Lilik, (2007), Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik
dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung Munawir, H.Slamet, (1999), Auditing Modern, Buku I, BPFE, Yogyakarta Nonet, Philipe dan Philip Setznick (2007), Law and Society In Transition: Toward
Responsive Law, Terj: Hukum Progresif, Raisul Muttaqin, Nusamedia Jakarta Novianto, Iskandar (2005), Financial Statement Fraud and Internal Investigation,
Makalah Seminar Nasional Investigative and Forensik Auditing An Integrated Approach, FE UGM, Yogyakarta, 6 Agustus.
Piliang, Yasraf Amir, (2003), Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna, Jalasutra, Yogyakarta
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
286
Pope, Jeremy, (20030, Confronting Corruption: The Elements of National Integrity
System, Terjemahan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Prasetyo, Teguh (2007), Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Pusat Info Data Indonesia (2007), Tindakan/Kebijakan Yang Dianggap Korupsi,
Jakarta Putusan Mahkamah Agung, Nomor: 995 K/PID/2006, Atas Nama Nazaruddin
Sjamsuddin Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Nomor:01/PID/TPK/PT.DKI, atas Nama
Abdullah Puteh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor:17/Pid.B/TPK/2006/PN.JKT.PST
atas nama Rustam Efendi Sidabutar Putusan Pengadilan Negeri Malang, Putusan Perkara Pidana, Nomor:
825/Pid.B/2008/PN.MLG, Tanggal 17 september 2009 Atas Nama Drs. H. Achmad Santoso.
Putusan Pengadilan Negeri Malang, Putusan Perkara Pidana, Nomor:
830/Pid.B/2007/PN.MLG, Tanggal 13 Maret 2008 Atas Nama Prof. Dr. Ir, H. Syamsul Bahri, MS
Rahardjo, Dawan, (1992), Pragmatisme dan Utopia, Corak Nasionalisme Ekonomi
Indonesia, LP3ES, Jakarta, Rahardjo, Satjipto, (2009), Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta
Pengalaman-pengalaman Di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta _______, _______, (1996), Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Jurnal Hukum
Progressif, Vol: 1/Nomor 2/Oktober/2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
_______, _______, (1996), Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung Rahardjo, Mudjia (2007), Hermeneutika Gadamerian, Kuasa bahasa Dalam Wacana
Politik Gus Dur, UIN Malang Pers. Rosjidi, (1999), Teori Akuntansi: Tujuan, Konsep dan Struktur, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Rawls, John (2006), A Theory of Justice, Terj: Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta Rahman, Arif, (1999), Auditing Forensik dan Kontribusi Akuntansi Dalam
Pemberantasan Korupsi, Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia (JAAI),
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
287
Volume 3 No 1, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta
Rukmini, Mien, (2006), Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi – Sebuah Bunga
Rampai, Alumni, Bandung ______, ____, (2003), Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan
Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, PT. Alumni, Bandung
Sahetapy, J.E, (2009), Runtuhnya Etik Hukum, PT KOmpas Media Nusantara, Jakarta Saleh, Ruslan (1983), Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru,
Jakarta. Salim, Agus, (2006a), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana,
Yogyakarta _____,____, (2006b), Bangunan Teori Metodologi penelitian Untuk Bidang Sosial,
Psikologi dan pendidikan, Tiara Wacana, Yogyakarta Salman, Otje dan Anton F Susanto, (2005), Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung Saprudin, Yusuf (2006: 26-27), Money Laudering – Kasus L/C Fiktif Bank BNI, Grafika
Mandiri, Jakarta. Santoso, Lystiono (2006), Epistemologi Kiri, Penerbit kelompok Arruzz Media,
Jogyakarta Sasangka, Hari (2007), Penyelidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam
Teori dan Praktek: Untuk Praktisi, Dosen dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung
Sasangka, Hari dan Lily Rosita (2000), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Dengan Komentar, Mandar Maju, Bandung Sawyer, B. Lawrence, Mortimer A Dittenhofer, James H. Scheiner, Anne Graham, and
Paul Makosz, (2003), Internal Audiing, 5th Edition, The Practice of Modern Internal Auditing, The Institute of Internal Auditors, Florida.
Shidarta, (2006), Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan,
CV.Utomo Bandung Silverstone, Howard & Michael Shetz, (2004), Forensic Accounting and Fraud
Investigation For Non-Experts, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey Simanjutak, Nikolas, (2009), Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia
Indonesia, Ciawi, Bogor
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
288
Singleton, Tommie W, Aaron J Singleton, G Jack Bologna & Robert J Lindquist, (20060, Fraud Auditing and Forensic Accounting, Third Edition, John Wiley & Sons, Inc.
Sjamsuddin, Helius, (2007), Metodologi Sejarah, Ombak, Yogyakarta. Strauss, Alselm & Juliet Corbin, (2003), Basic of Qualitative Research, Grounded
Theory Procedures and Techniques, Diterjemahkan: Muhammad Sodik & Imam Muttaqien, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sudibyo, Bambang (2001), Telaah Epistemologis Standar Evidential Matter Serta
Implikasinya Pada Kualitas Audit dan Integritas Pelaporan Keuangan Di Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi, Universitas Gajahmada, 24 Februari 2001, Tidak Dipublikasikan.
Sudirman, Antonius, (2007), Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan
dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence), Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Sugiyono, (2005), Memahami Penelitian Kualitatif, Alfa Beta, Bandung Sullivan, Larry, E dan Marie Simonetti Rosen, (2010), Encyclopedia of Law
Enforcement, Encyclopedy Penegakan Hukum, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Sumarto, Soehartono, (2004), Implementasi Pembuktian Terbalik Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi, Tesis, Universitas Brawijaya, Malang, Tidak dipublikasikan.
Sumaryono, Euginius, (2002), Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, Kanisius, Yogyakarta Sunarso, Siswanto, (2005), Wawasan Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung. Sunaryo, Sidik, (2005), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Ketiga, UMM
Press, Malang Susanto, Anthon, Freddy, (2010), Ilmu Hukum Non Sistematik, Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung _______,______,_______, , (2007), Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung _______,______,_______, (2007), Hukum Dari Concilience Menuju Paradigma
Hukum Konstruktif-Transgresif, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung ______,______,_______, (2004), Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang
Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
289
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, (1998), Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung Sutiyoso, (2006), Metoda Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti
dan Berkeadilan, UII Pers, Yogyakarta Sutrisno, Endang, (2007), Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press,
Yogyakarta Suriasumantri, Jujun S, (1999), Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Suryadi, Asep (tanpa tahun), Tinjauan Tingkat Nilai Sewa Pertokoan dan Faktor-faktor
Yang Mempengaruhinya, Studi Kasus: Lingkungan Alun-alun dan Pasar Besar Kota Malang, Jurnal Survey dan Penilaian Properti, Vol.47
Surat Dakwaan, Nomor: 12/TUT.KPK/X/2005 Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan, tanggal 07 Mei 2008, Polwil Malang,
Jawa Timur kepada: AM Sulistyadi Tikno Surat memorie Kasasi, Nomor 034/AP.VI/2005, tertanggal 1 Juli 2005 Surat Kontra Memorie Kasaso Terhadap Memori Kasasi JPU Kejaksaan Negeri
Kepanjen, Perkara Pidana Nomor:830/Pid.B/2007?PN/MLG, Diputus Tanggal 13 maret 2008, dibuat Prof. Dr. Ir, Syamsul Bahri Diserahkan Kepada Kantor Kepaniteraan Pengadilan Malang Hari Rabu Tanggal 21 Mei 2008.
Surat Dakwaan, Berkas perkara Tindak Pidana Korupsi, Atas nama Tersangka
Prof.DR.Ir. Syamsul Bahri, MS, Kejaksaan Negeri Kepanjen, tanggal 31 Oktober 2008.
Surat Pembelaan. Perkara No 830?Pid.B/2007/PN Malang, Judul: Perkara Pidana
Tanpa Bukti Yang Cukup Dipakasakan Ke Sidang Pengadilan Adalah Menyerang Hak Pribadi Mengenai Nama Baik dan Kehormatan Orang, Kezaliman Yang Keji dan Pelanggaran Hak Asasi Manuasia, Dibacakan Pada Hari Senin Tanggal 25 Februari 2008.
Surat Perintah Tugas, Nomor Print:32/05.5/Fd.I/04/2006, Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur, Surabaya Surat Permohonan Praperadilan, Nomor 008/Pd/TAPH/XI/2007, Tanggal 19 Nopember
2007, Tim Advokat – Penasehat Hukum, Prof.Dr. Ir. H. Syamsul Bahri, MS. Surat Tuntutan, Nomor Registrasi PER: BP-12/12/II/2006/KPK atas nama Terdakwa I
DRS. R. Bambang Budiarto, M.Si dan Terdakwa II H.Safder Yussac, S.Sos, M.Si. tertatanggal 20 Februari 2006
Suwardjono (2005), Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Badan
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gajahmada, Yogyakarta
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
290
Squires, Douglas W, (2003), Problems Solved With Forensic Accounting: A Legal
Perspective, Journal of Forensic Accounting, Vol. IV, pp. 311-320, R.T. Edward, Inc, USA.
Tolle, Eckhart, (2009), Panduan Pencerahan Spiritual, Penerbit Mitra Sejati,
Yogyakarta Tuanakotta, Theodorus, M, (2007a), Forensic Accounting dan Audit Investigatif,
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi 2 Tuanakotta, Theodorus, M, (2007a), Forensic Accounting dan Audit Investigatif,
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, edisi 1 _________, ________, __, (2007b), Setengah Abad Profesi Akuntansi, Lembaga
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta _________, ________, __, (2009), Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi, Salemba Empat, Jakarta _________, ________, __, (2010), Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Salemba
Empat, Jakarta Triyuwono, Iwan (2006b), Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syari‟ah,
Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Turkel, Gerald (1995), Law and Society: Critical Approach, Allyn and Bacon, Toronto Udiyaningsing, (2007), Paradigma Kritika Ilmu Pengetahuan, Jurnal Ilmu Sosial,
Volume 1 Nomor 1 Aril 2007, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya, ISSN 1907-1531
Varia Keadilan, Majalah Hukum Tahun XXIII Nomor 266, Januari 2008, ISSN 0215-
0247. Veronica, Sylvia & Yanivi S. Bachtiar (2005), The Role Of Corporate Governance In
Preventing Misstated Financial Statement, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Wachid, Abdul, (2005), Membaca Makna: Dari Chairil Anwar ke Achmad Mustofa Bisri,
Grafindo Litera, Yogyakarta Weber, Mark, (1954), On Law In Economy and Society, New York: A Clarion Book Weirich, Thomas R and Alan Reinstein (2000), Accounting & Auditing Research,
Practical Guide 5 th edition, South Western College Publising, USA. Widayanti dan Imam Subekti (2001), Analisis Keahlian BPK-RI menuju Pelaksanaan
Fraud Auditing, Telaah Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi (TEMA), Vol.II. No.2, September 2001, hal:97-101
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id
291
Widoyoko, Danang, Luki Djani, Ade Irawan, Agus Sunaryanto, Febri Katong Hendri,
(2006), Saatnya Warga Melawan Korupsi: Citizen Report Card Untuk Pendidikan, Indonesian Corruption Watch (ICW), Jakarta
Widodo, Eko, (2003), Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Pengembangan Akuntansi
Menuju Ke Arah Peningkatan Kualitas Profesi Akuntan, Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Edisi April 2003, hal: 1-12, STIE, Yogyakarta.
Widodo, Eko, (2003), pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Terhadap Konservatisme
Akuntansi, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 9. No.1, Januari. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntans Pendidik
Wilopo, (2006), Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Pengambilan
Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi Pada Perusahaan Publik dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 9 No 3, September, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartemen Akuntan Pendidik
Wignyosoebroto, Soetandyo, (2002), Hukum: Paradigma, Metoda, dan Dinamika
Masalahnya, Elsam Kerjama dengan Huma, Jakarta Wisnusubroto, Aloysius dan Gregorius Widiartana (2005), Pembaharuan Hukum Acara
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id