Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Vagina Sebagai Axis Mundi Tubuh Perempuan
Perspektif Luce Irigaray Tentang Bahasa dan Tubuh Perempuan, Suatu Upaya
Mengimajinasikan Ulang Konsep Keperawanan Pada Pemuda dan Pemudi GPM Imanuel
Karang Panjang, Ambon
Oleh:
DENIS PATTINASARANY
(712014028)
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Tubuh manusia memiliki ambiguitas tersendiri, hina sekaligus suci, ringkih
sekaligus kuat, serta lain sebagainya. Keunikan atas ambiguitas yang ada pada tubuh
manusia menjadikannya sebagai objek utama diproduksinya kekuasaan, baik yang
membebaskan maupun sebagai alat penakluk. Sayangnya bahasa sebagai salah satu media
utama pembebas, terus diproduksi untuk melanggengkan berbagai hal yang
mengobyektifikasi tubuh manusia, yang daripadanya proses penaklukan atas yang sang
lian terus terjadi, sendangkan keunikan tubuh sebagai pembebas, yang suci, dll, sering
berada di jalan yang sunyi dan gelap. Berangkat dari keresahan ini, tulisan ini pun di buat.
Saya menyadari sungguh bahwa cinta Tuhan, serta relasi saya bersama denganNya,
menjadi daya utama selama proses penulisan ini berlangsung hingga tulisan ini boleh
terselesaikan. Daya utama ini juga yang menuntut saya untuk terus berjalan, menangis
serta menari dalam jalan sunyi dan gelap, bersama dengan mereka yang terluka. Sebab di
dalam jalan yang sunyi dan gelap saya menyentuh, meraba, tak tergesa-gesa, serta belajar
menyadari yang tak terpandang. Tidak memiliki serta mengobyektivikasi. Pada akhirnya
tulisan ini saya persembahkan kepada setiap orang yang tubuhnya terpecah-pecah akibat
berbagai ketidakadilan.
Penulis,
Denis Pattinasarany
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Menyadari kerapuhan saya sebagai seorang manusia, yang tanpa kehadiran orang
lain sangat tidak mungkin proyek penulisan tugas akhir ini dapat terselesaikan. Oleh
karena itu, kepada mereka saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya.
Secara khusus saya sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu memberikan
dukungan yang berarti bagi saya, kedua orang tua saya , Willem Pattinasarany, dan Josina
Naomi Maruwella, terima kasih untuk cinta yang tulus, yang dari pada mereka bahasa yang
penuh dengan cinta selalu tersingkap. Kedua saudara perempuan saya, Vegi Pattinasarany,
dan Frenska Pattinasarany, terima kasih karena selalu mengalah dan meletakan
kepentingan saya di atas kepentingan kalian berdua, tulisan ini sekaligus menjadi
permohonan maaf saya karena telah menjadi adik yang sangat melanggengkan praktek
patriarki dalam relasi persaudaraan kita. Untuk Rensra, Valen, Chery, Naya, Nevilia, Clarita,
Terima kasih untuk keceriaan yang selalu dihadirkan ketika proses penulisan terasa sangat
memberatkan.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Pdt. Yusak B. Setyawan selaku
pembimbing, Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo selaku dosen wali, serta Ibu Budi selaku TU,
yang dengan punuh kesabaran telah membantu saya selama berproses di kampus ini.
Terima kasih juga kepada teman-teman kelompok diskusi Bonafide, teman-teman
Pimpinan LKF F.Teologi periode 2016-2017, serta teman-teman F.Teologi UKSW 2014.
Saya mengingat berbagai proses yang begitu indah bersama dengan mereka, relasi
bersama mereka menjadikan saya lebih matang dalam berorganisasi serta berpikir.
Ungkapan syukur dan terima kasih yang sama pun saya rasakan ketika berada dalam
forum 4th Annual Meeting ATI di STT Satya Bahkti, Malang, dimana saya bertemu dengan
berbagai Teolog Indonesia dari berbagai denominasi gereja serta sekolah teologi yang
berbeda. Dalam relasi bersama dengan mereka saya dapat lebih memahami betapa
menyenangkannya dunia Teologi dan Filsafat. Di sisi yang lain, dalam forum yang sama (4th
AM ATI, Malang) saya sangat bersyukur ketika dipertemukan dengan Pdt. Septemmy E.
Lakawa. Melalui diskusi singkat bersama dengan ibu Temmy, saya diajak dalam
vii
pembicaraan yang sangat menubuh, berkiatan dengan Filsafat dan Teologi Feminis, yang
tentunya sangat membantu penulisan ini. Kepada Ibu Temmy saya berterimakasih, dan
tulisan ini sekaligus menjadi afirmasi bahwa Penis can talk and write about Vagina.
Untuk persahabatan yang selama ini dibangun bersama Pakde, Tante Feri, Aa Bayu,
Mams Ira, Azura, Lily, Eman, Kak Fir, Ndust, Put, Yulfan, Mauren, kak Ona, Kak Egi, Jeny,
Nata, Omi, Thelma, Keki. What can I possibly to say? Every word irritates me, but
remember it well. Between us, there is transcendence.
Dari berbagai ungkapan syukur serta rasa terima kasih saya atas perjumpaan
bersama dengan setiap orang yang memberikan kontribusi dalam penulisan ini. Saya
menyadari sungguh pertemuan yang indah bersama dengan mereka tidak akan terjadi
tanpa penerytaan Tuhan yang hadir dalam setiap proses kehidupan saya. Cinta kasih dari
Tuhan, sungguh tersingkap dalam relasi bersama dengan orang-orang yang saya jumpai,
serta dalam relasi yang intim antara saya denganNya.
viii
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL i
LEMBARAN PENGESAHAN ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES iv
KATA PENGANTAR v
UCAPAN TERIMA KASIH vi
DAFTAR ISI ix
MOTTO x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
Identifikasi Masalah 3
Rumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Metode Penelitian 4
Sistematika Penulisan 5
TUBUH DAN KEPERAWANAN DALAM PERSPEKTIF LUCE IRIGARAY 5
Luce Irigaray dan landasan pemikirannya 6
Luce Irigaray Bahasa dan Tubuh Perempuan 10
Estetika dan Keperawanan dalam Pemikiran Luce Irigaray 12
ix
PEMAHAM PEMUDA PEMUDI GPM IMANUEL KARANG PANJANG AMBON,
TENTANG KEPERAWANAN 15
Keperawanan dan Bahasa dalam Wacana Pemuda Pemudi GPM Imanuel
Karang Panjang, Ambon 16
Keperawanan Sebagai Identitas 16
Keperawanan Sebagai Harga Dari 17
Keperawanan Sebagai Bait Allah 19
BAHASA BARU: SUATU UPAYA MENGIMAJINASIKAN ULANG KONSEP
KEPERAWANAN DALAM WACANA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI 20
Axis Mundi sebagai simbol dalam agama-agama: suatu langkah estetis melihat
vagina dengan kaca mata bahasa baru 23
Vagina sebagai Axis Mundi tubuh perempuan 24
KESIMPULAN 28
SARAN 28
DAFTAR PUSTAKA 30
x
If you don’t fight for what you want,
then don’t cry for what you lost
JOKER
Every Women’s Uterus (Vagina) Needs Attention
Love and Gratitude.
When they are one with the Womb (Vagina).
They are with Goddes
DR. ROSITA ARVIGO
But He Said to Me, “My Grace is sufficient for you,
For My power is made perfect in weakness”.
2 CORINTHIANS 12:9
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang masalah
Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia dan di Asia pada umumnya,
masyarakat kota Ambon sangat kental dengan kebudayaan patriarki. Hal ini dapat dilihat
dari praktek kehidupan keseharian, misalnya masyarakat masih memandang laki-laki
sebagai acuan pembentukan sistem pengetahuan dalam masyarakat (nilai dan norma).1
Lebih daripada itu, budaya patriarki juga menentukan serta memengaruhi bahasa dan
sebaliknya bahasa terus memproduksi berbagai hal yang budaya patriarki.2 Misalnya,
bahasa yang tersistematisasikan dalam pola pikir biner.
Dalam model berpikir biner, segala sesuatu di tempatkan dalam oposisi dengan
yang lain, misalnya baik-buruk, maskulin (laki-laki)-feminin (perempuan). Dalam model
berpikir ini tubuh perempuan kehilangan nilai, dikarenakan eksistensinya selalu
didefinisikan dari biasan laki-laki. Dengan kata lain feminin sebagai yang bukan maskulin
dan biasan dari laki-laki yang rasional adalah perempuan yang irasional. Pola pikir ini
memengaruhi tutur bicara serta pembahasaan berbagai hal, termasuk cara masyarakat
membahasakan keperawanan. 3
Pada masyarakat yang masih bernafaskan kebudayaan patriarki seperti kota
Ambon, keperawanan dilihat sebagai identitas pada perempuan. Dalam hal ini, jika
perempuan berhasil menjaga keperawanannya, maka akan diidentifikasikan oleh
masyarakat sebagai perempuan yang baik, sebaliknya, menjadi buruk apabila tidak mampu
menjaga keperawanannya. Dengan ini dapat dilihat bahwa konsep keperawanan berjalan
bersama dengan penindasan yang terjadi pada perempuan. Baik antara perempuan dan
laki-laki maupun di antara kaum perempuan, misalnya perbincangan yang sering terjadi di
antara pemuda dan pemudi kota Ambon seperti lomba untuk mendapatkan keperawanan.
Banyak dari mereka merasa lebih menjadi lelaki sejati jika mereka bisa menaklukan
1 T.O. Ihromi. dan Maria Uldah Subadio. Peranan dan Kedudukan wanita indonesia (Yogyakarta: Gadja
Mada University Press,1986), 201. 2 Luce Irigaray. Aku, kamu, kita: belajar berbeda: Je, tu, nous. Pour une culture de la difference ed. Rahayu
S. Hidayat. (Jakarta: KPG-Kepustakaan Populer Gramedia, 2005) Forum Jakarta-Paris. 21 3 A. A. Setyawan, Teologi Seksual: Obrolan Serius tentang Sex (Yogyakarta: Kanisius, 2014), 12.
2
perempuan. Kesalahan fatal dalam model berpikir ini adalah dengan menganggap bahwa
hanya lelaki yang bisa memberikan identitas kelelakian kepada laki-laki yang lain.4
Lebih lanjut lagi, dalam kehidupan sosial masyarakat kota Ambon sangat
menekankan pada peran laki-laki atau menjunjung tinggi kejantanan. Kejantanan laki-laki
adalah suatu keutamaan terutama lewat pengakuan atas keperkasaan seksual. Hal ini
mengakibatkan penindasan perempuan terhadap keperawanannya terus berlangsung dan
sangat nampak dalam pemaknaan keperawanan yang dibahasakan oleh masyarakat
patriarki, misalnya ketika keperawanan dibahasakan sebagai pusat dari identitas, maka
perempuan yang hidup dalam budaya patriarki dituntut menjaga keutuhan vaginanya. Jika
tidak maka ia akan dimarginalkan dalam masyarakat. 5
Di sisi yang lain, dalam kebudayaan patriarki, keperawanan sering dikaitkan dengan
harga diri perempuan.6 Pada basis keluarga, keperawanan menjadi lambang dari
kehormatan keluarga. Apabila anak perempuan tidak dapat menjaganya, maka keluarga
dianggap telah kehilangan kehormatan. Selain itu, keperawanan juga dijadikan komoditas,
misalnya dalam konteks pelacur. Pelacur yang masih perawan akan dihargai dengan
bayaran yang lebih tinggi dari pada yang tidak perawan.7
Berdasarkan latar belakang di atas terhadap pengobyektifikasikan tubuh
perempuan, maka penulis akan melakukan penelitian lebih mendalam lagi tentang organ
vagina yang kehilangan nilainya ketika dibahasakan oleh masyarakat secara umum,
khususunya pemuda dan pemudi GPM Imanuel Karang Panjang, Ambon. Penulis menyadari
bahwa konstruksi yang berkembang dalam masyarakat kota Ambon telah mengaburkan
nilai dari vagina, dengan membahasakan vagina yang hanya merujuk pada genealogi laki-
laki. Karena itu judul yang penulis berikan untuk tulisan ini adalah: Vagina sebagai Axis
Mundi Tubuh Perempuan. Perspektif Luce Irigaray tentang bahasa dan tubuh perempuan,
4 Deshi Ramdhani, Adam harus bicara, sebuah buku lelaki. (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 64.
5 Pierre Bourdieu, La domination masculine: Dominasi Maskulin, ed. Stephanus Aswar Herwinako
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 16. 6 Biasanya ditemukan dalam budaya sosial yang bersifat komunal, dimana identitas seseorang dibentuk
oleh kelompoknya. 7 Arthur Golden, Memoar seorang Geisha (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama) Hal demikian dapat
ditemukan dalam kebudayaan Geisha di Jepang. Pada kebudayaan ini keperawanan seorang perempuan geisha dijadikan objek. Dimana keperawanan dilelang kepada penawar tertinggi.
3
suatu upaya mengimajinasikan ulang konsep keperawanan pada pemuda dan pemudi GPM
Imanuel, Karang Panjang Ambon.
Dalam mengkaji permasalahan ini, saya akan menggunakan pandangan Luce
Irigaray mengenai bahasa dan tubuh perempuan yang sudah dihilangkan nilainya oleh
bahasa lelaki (kajantanan) sebagai anak kandung yang keluar dari rahim kebudayaan
patriarki. Irigaray selama ini melihat terdapat berbagai macam nilai serta kebudayaan yang
ada justru memenjarakan tubuh manusia terkhususnya perempuan, maka dari itu bagi
Irigaray berbagai nilai sosial budaya yang usianya ratusan tahun dirasa perlu untuk
dipikirkan dan dirumuskan kembali.8 Dalam upaya itu, bahasa merupakan jalan masuk
yang penting dalam pemikiran Irigaray karena baginya bahasa yang berkembang dalam
masyarakat selama ini adalah bahasa lelaki (phallocentiric linguistic) yang mengharuskan
berbagai bentuk pemaknaan harus merujuk pada kaidah dan aturan yang ditetapkan dalam
bahasa lelaki. Dalam bahasa lelaki perempuan kehilangan nilai pada tubuhnya. Oleh karena
itu, bagi Irigaray suatu keadilan sosial, khususnya keadilan seksual hanya dapat
diwujudkan jika ada perubahan kaidah bahasa dan konsepsi mengenai kebenaran serta
nilai-nilai yang mengatur tatanan masyarakat.9
1.2 Identifikasi masalah
Konsep keperawanan menurut pemuda dan pemudi GPM Imanuel Ambon
berkembang dengan begitu liarnya, mengakibatkan keadaan terobyektifikasinya tubuh
perempuan. Hal ini di latarbelakangi oleh kebudayaan patriarki dalam masyarakat kota
Ambon yang melanggengkan berbagai hal yang menguntungkan genealogi laki-laki. Hal ini
sangat terlihat jelas dalam berbagai praktek keseharian masyarakat, hingga cara berbicara
dalam merumuskan suatu nilai. Eksistensi perempuan dalam budaya seperti ini
bergantung pada relasinya dengan laki-laki. Oleh karena itu, ketika laki-laki mengidealkan
keperawanan, maka perempuan tidak memiliki pilihan lain selain harus menjaga
keperawanannya agar dapat diterima oleh laki-laki dan masyarakat secara umum. Untuk
memutuskan rantai ini, maka dirasa perlunya upaya merumuskan bahasa baru yang lebih
8 Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 10
9 Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 24
4
adil pada kedua jenis kelamin. Hal ini dapat diwujudkan jika ada perubahan kaidah bahasa
dan konsepsi mengenai kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatanan masyarakat.
1.3 Rumusan masalah
Dari masalah yang sudah dijelaskan, maka tulisan ini akan berfokus pada, Pertama,
apa makna dari keperawanan pada pemuda dan pemudi GPM Imanuel Karang Panjang,
Ambon. Kedua, bagaimana kajian tentang bahasa dan tubuh perempuan dari Luce Irigaray
untuk mengkaji konsep keperawanan yang selama ini dimaknai oleh pemuda pemudi GPM
Imanuel Karang Panjang, Ambon.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan yang sudah dipaparkan maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan pemahaman pemuda dan pemudi GPM Imanuel Karang Panjang,
Ambon terhadap konsep keperawanan yang berkembang dan mengobyekfikasi tubuh
perempuan, serta melakukan kajian kritis melalui proses mengimajinasikan ulang konsep
keperawanan pada pemuda dan pemudi GPM Imanuel Karang Panjang, Ambon dengan
menggunakan kajian teori bahasa dan tubuh perempuan dari Luce Irigaray.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap cara
berpikir yang lebih memberikan penghargaan terhadap tubuh sendiri maupun tubuh
sesama manusia. Serta upaya menciptakan kehidupan sosial yang lebih manusiawi, di
dalamnya meliputi kehidupan yang saling menghargai dan adanya relasi inter subjektif, dll.
1.6 Metode Penelitian
Metode yang dipakai adalah dengan pendekatan kualitatif didukung oleh
pendekatan kepustakaan. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan
penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah, dengan maksud
menginvestigasi dan memahami berbagai fenomena yang terjadi. Maka dari itu tidak
diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, atau perhitungan statistik. Sifatnya naturalistik
dan mendasar serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus langsung di
5
lapangan.10 Dengan melakukan pendekatan kualitatif, penulis bertujuan untuk meneliti
objek secara mendalam.
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang di dapatkan
melalui metode wawancara yang dilakukan kepada pemuda dan pemudi GPM Imanuel
Karang Panjang, Ambon, dikarenakan perbincangan mengenai keperawanan perempuan
lebih sering terjadi pada usia 18-25 tahun.
1.7 Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama merupakan
pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, identifikasi serta rumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan. Pada bagian pendahuluan akan dikemukakan akar permasalahan
dan opini awal penulis yang mendasari penulisan. Bagian kedua berisi teori dari Luce
Irigaray berkaitan dengan bahasa dan tubuh perempuan yang terobyektifikasi pada budaya
patriarki. Bagian ketiga berisi pemaparan hasil wawancara yang dilakukan pada pemuda
dan pemudi di Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang, Ambon. Bagian keempat berisi analisa
dan upaya mengimajinasikan ulang konsep keperawanan pada pemuda pemudi GPM
Imanuel Karang Panjang Ambon dan masyarakat umumnya menggunakan kajian teori
bahasa dan tubuh perempuan dalam peta pemikiran Luce Irigaray, dan yang terakhir pada
bagian kelima berisikan kesimpulan dan saran.
2. Tubuh dan Keperawanan dalam Perspektif Luce Irigaray
Luce Irigaray11 merupakan ahli lingustik Prancis, filsuf perempuan serta seorang
psikoanalisis kelahiran Belgia (1932) yang memperoleh dua gelar doktor dalam bidang
10 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitan Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika,
2010), 25-26. 11
Selain Irigaray terdapat juga Helene Cixous dan Julia Kristeva. Mereka bertiga dikenal sebagai pemikir perempuan Prancis yang sangat vokal terkait cita-cita feminis postmodernisme. Mereka menentang ide-ide Freudian yang patriarki, yang melanggengkan pemikiran Phalleogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut yakni “laki-laki” bereferensi pada phallus). Ketiga pemikir feminis postmodernisme ini memiliki idealisasi perjuangan yang berbeda dari pemikir feminisme pada umumnya yang masih berkutat dengan upaya memperjuangkan kesetaraan dan kenetralan seksualitas. Mereka bertiga lebih menekankan sisi isu-isu kontemporer yang lebih kompleks dan berdiri pada posisi tidak menetralkan perbedaan tubuh perempuan dan laki-laki. Di sini, perbedaan adalah unsur yang berterima dan harus tetap ada. Tubuh perempuan tidak bisa serta-
6
lingustik dan filsafat serta menjadi pengajar di University of Vincennes. Pada usianya yang
masih muda Irigaray sudah bekerja dan melakukan berbagai penelitian di the Ecole
Freudienne de paris yang didirikan oleh Jacques Lacan dan the Centre National de la
Recherche Scientifique (CNRS), di mana ia menjabat sebagai direktur penelitian filsafat
pada centre tersebut. Irigaray dikenal sebagai pemikir yang brilian ketika berhasil
merumuskan pemikirannya dalam tesis yang berjudul Speculum, de l’autre femme
(Speculum of The Other Woman). Dalam tesis tersebut Irigaray mengkritisi berbagai
konsep yang berpusat pada kejantanan yang diimani oleh kaum Freudian dan Lacanian
serta membahas ketidakhadiran segala sesuatu yang feminin dari pemikir tradisional
seperti Aristoteles, Descartes, Kant dan Hegel. Publikasi tesis ini kemudian menjadikannya
sebagai pemikir yang sangat berpengaruh pada masanya namun berdampak buruk pada
karirnya. Tesisnya dilihat sebagai tulisan yang provokatif dan menyalahi prinsip dasar
psikoanalisis, karena itu Irigaray dibebastugaskan sebagai dosen dan dikeluarkan dari
komunitas Lacanian serta berbagai hambatan yang dialaminya untuk menyatakan
pendapat secara lisan.12
2.1. Luce Irigaray dan landasan Pemikirannya
Sebagai seorang pemikir yang dibesarkan dalam tradisi berpikir filosofi barat dan
psikoanalisis yang sangat kental dengan mitos dan hegemoni kaum laki-laki, serta
bernafaskan ide-ide yang berpusat pada kejantanan. Membuat pemikiran Irigaray berpusat
pada kritiknya terhadap dua hal tersebut, baginya cara berpikir filosofi barat dan
psikoanalisis mengakibatkan ketidakhadiran segala sesuatu yang feminin dalam
pembentukan kebudayaan.
Salah satu cara berpikir filosofi barat yang dikritik oleh Irigaray adalah rasionalitas
abad pencerahan oleh Descartes. Sama seperti pendahulunya Simone De Beauvoir,13
merta disetarakan dengan tubuh laki-laki, karena baik tubuh perempuan maupun laki-laki menyimpan keunikan tersendiri. Lihat: Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: a More Comperhensive Introduction (USA: Westview Press, 2009) 155.
12 Danti Pudjiati, Pemikiran Kritis Luce Irigaray dalam Lingustik (Jakarta: Al-Turas, Vol. 13, No 1, 2007) 77
13 Penting untuk mengerti kritik Simone terhadap rasionalitas abad pencerahan karena kritik yang
dilakukan oleh irigaray terhadap rasionalitas abad pencerahan tidak lebih dari memperkaya kritik Simone sebelumnya. Simone melihat manusia yang dimaksud Descartes adalah manusia-laki-laki dengan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti, apakah perempuan berpikir, apakah perempuan bebas? Atau lebih
7
Irigaray melihat bahwa rasionalitas abad pencerahan yang seharusnya menjadi pembebas
atas pandangan abad pertengahan yang mengekang tubuh perempuan, justru
menitikberatkan pemaknaanya tentang tubuh sebagai bagian yang lebih rendah daripada
rasio. Melalui diktumnya cogito, ergo sum yang artinya saya berpikir maka saya ada,
Descartes memperlihatkan bagaimana rasio lebih dapat dipercaya dan rasio membuat
manusia menjadi subjek yang berpikir. Baginya pengetahuan sebagai makhluk yang
berpikir itu sangat jelas dan pasti. Seseorang bisa saja meragukan benda-benda yang ada
disekitarnya tidak ada, namun ia tidak dapat meragukan pikirannya. Kegiatan berpikir itu
menjadi bukti dari mengada seorang manusia. 14 Oleh karena itu, bagi Decartes manusia
adalah makhluk dualis yang terdiri dari pemikiran yang spiritual dan tubuh yang material.
Baginya tubuh adalah mesin sedangkan pikiran bersifat immortal.
Bagi Irigaray, terjadi ketidakhadiran sesuatu yang feminin dalam rasionalitas abad
pencerahan yang dipikirkan oleh Descartes. Irigaray menganggap bahwa hanya laki-lakilah
yang memiliki akses untuk berpikir, sedangkan yang ada pada parempuan justru keraguan
karena dirinya telah terfragmentaris oleh masyarakat. Di sisi yang lain, bagi Irigaray
sangat berbahaya apabila melihat rasionalitas sebagai prinsip berpikir yang mampu
menyelesaikan segala sesuatu, dikarenakan bisa saja atas dasar rasionalitas membuat
manusia berhak melakukan berbagai hal, termasuk menindas dan menghancurkan.
Lebih lanjut lagi, kritik Irigaray terhadap rasionalitas pencerahan bukanlah sebuah
penegasan bahwa perempuan adalah makhluk yang irasional. Melainkan Irigaray hanya
ingin menunjukan bahwa prinsip rasionalitas itu memiliki struktur yang khas, yakni
terdapat prinsip identitas yang non kontradiksi yang mengakibatkan ketidakhadiran
realitas abstrak. Misalnya, maskulin adalah maskulin, maskulin bukan feminin, dengan kata
lain, ketika yang feminin ingin berbicara maka ia harus berbicara sesuai dengan strukur
tepat lagi apakah perempuan boleh berpikir dan boleh menjadi bebas. Descartes melihat Cogito yang kekuasaannya mendasar pada saya berpikir (I Think) sebagai hal yang mampu menyelesaikan segala hal. Sementara, manusia perempuan tidak memiliki akses Cogito tetapi keraguan karena ia diidentifikasikan oleh masyarakat. Perlu diketahui perjuangan pembebasan irigaray diakuinya dipengaruhi oleh Simone. Lihat: Gadis Arivia, dkk. Subjek yang dikekang: Pengantar ke pemikiran Julia Kristeva, Simone de Beauvoir, Michael Foucault, Jacques Lacan (Jakarta: Salihara, 2013) Lihat: Filsafat, Hasrat, Seks dan Simone de Beavoir
14 Fitzerald Kennedy Sitorus, Rasionalisme Rene Descartes: “Saya berpikir maka saya ada” (Jakarta:
Salihara, 2016), Makalah Salihara.
8
maskulin. Prinsip dasar berpikir ini mengakibatkan ketidakhadiran serta hilangnya
keunikan dari sesuatu yang feminin.15
Sejalan dengan kritiknya terhadap rasionalitas pencerahan yang mengaburkan
sesuatu yang feminin, Irigaray menyadari bahwa dorongan seksuallah yang memengaruhi
kultur dan kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu Irigaray sangat dibantu dengan
kajian psikoanalisa yang melihat dorongan seksual sebagai dasar pembentukan subjek.
Landasan utama pemikiran psikoanalisa Irigaray dipengaruhi oleh teori Jacques Lacan
mengenai proses pembentukan subjek yang terbagi dalam tiga tahapan. Di antaranya,
tahapan Real (need), tahapan Imajiner (demand), dan tahapan Simbolik (desire).16 Tetapi
tidak sejalan dengan Lacan, bagi Irigaray teori Lacan justru telah menimbulkan bentuk-
bentuk pereduksian terhadap tubuh perempuan, oleh karena itu Irigaray melakukan
pembalikan makna terhadap teori Lacan dengan memperlihatkan aspek lain yang tidak
dilihat Lacan, sembari mengkritik pemikiran Lacan. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan di
bawah ini:
Pada tahapan Real (need-pra-lingustik), anak tidak dapat mengenali dirinya. Ia
masih berada dalam masa pengasuhan total sang ibu, di mana ia mendapatkan
kebutuhannya untuk diasi dan diasuh, oleh karena itu, ia mengidentifikasi dirinya dan
ibunya adalah satu. Sehingga dalam tatanan ini, anak tidak mengenal batasan egonya.
Bahasa sebagai penanda belum terjadi pada tatanan ini. Berakhirnya tatanan ini ketika
kebutuhan bergeser ke tuntutan yang diakibatkan oleh proses mirror-stage (pantulan
cermin).
Proses pantulan cermin terjadi pada tahapan Imajiner (demand). Pada tahapan ini,
anak melihat dirinya melalui pantulan cermin yang mengakibatkan ia menyadari bahwa
dirinya dan ibunya bukanlah satu, dengan demikian, anak mulai menyadari dirinya sebagai
subjek namun subjektifitasnya mengalami fragmentaris karena subjektifitasnya
bergantung pada ibunya; sebagai subjek yang diasi dan diasuh, serta melihat ibunya
sebagai sang liyan. Keterpisahan anak dengan ibu sekaligus membuat anak menjadi cemas
15
Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 20-22. 16
Lisa Lukman, Proses Pembentukan Subjek-Antroplogi Filosofis Jacques Lacan (Yogyakarta: Percetakan Kanisius, 2011), 74.
9
dikarenakan ia merasa ada sesuatu yang akan hilang daripadanya, yaitu kehangatan yang
selama ini ia rasakan pada tahapan real, dengan demikian tuntutan anak adalah untuk
tetap menyatu dengan ibunya agar ia tidak mengalami kastrasi oleh ayah sebagai sosok
orang ketiga, namun bagi Lacan proses ini tidak berlangsung lama karena sosok ayah
memainkan peranan yang sangat kuat melalui language game (permainan bahasa). Ingatan
akan kehilangan akibat tuntutan yang tidak dipenuhi mengakibatkan seorang anak harus
bergeser dari tuntutan ke keinginan.
Tahapan yang terakhir adalah tahapan Simbolik (desire-linguistik), merupakan
tahapan yang sama-sama menjadi inti dari pembentukan subjek yang ditekankan Lacan
dan Irigaray, serta menjadi dasar kritik Irigaray terhadap Lacan. Pada tahapan ini, bahasa
lelaki17 memainkan peran yang sangat penting. Oleh karena itu melalui permainan bahasa
anak mulai menampilkan keinginan untuk membentuk subjek yang utuh agar dapat
diterima dalam masyarakat. Bagi Irigaray pada tahap ini proses penindasan terhadap anak
perempuan dimulai, di mana ketika anak laki-laki berusaha untuk tidak meniru ibunya
karena takut dikebiri, yang terjadi pada anak perempuan adalah dikarenakan anatomi
tubuhnya membuat ia tidak dapat mengidentifikasi dirinya dengan bahasa lelaki.18 Maka
anak laki-laki mulai mengidentifikasi dirinya dengan ayahnya, mengakibatkan dirinya
dapat diterima dalam masyarakat karena berbicara dengan bahasa lelaki, sedangkan yang
dialami oleh anak perempuan adalah, jika ia ingin diterima dalam masyarakat maka ia
harus menyesuaikan diri dengan bahasa lelaki.
Irigaray menyayangkan Lacan yang hanya menggunakan bahasa lelaki untuk
menjelaskan pemisahan antara ibu dan anak. Seolah-olah kekacauan psikis yang berakhir
dengan trauma adalah satu-satunya cara untuk membahasakan pemisahan antara ibu dan
anak. Padahal bagi Irigaray, ada bahasa lain yang juga dapat menjelaskan pemisahan itu.
Bagi Irigaray pemisahan ibu dan anak sudah lama berlangsung ketika proses mengandung.
17
Bahasa lelaki yang dimaksudkan adalah berbagai sistem pengetahuan dalam masyarakat yang timbul dari pengaruh kehidupan budaya dan sosial yang sangat luas, namun sebagaimana yang diketahui bahwa kehidupan budaya dan sosial sudah terkonstruksi melalui berbagai bentuk pewacanaan sebagaimana yang dikatakan Michel Foucault, berbagai bentuk pewacanaan yang terjadi memproduski berbagai sistem yang menindas, salah satunya adalah sistem patriarki. Perlu diketahui bahwa Irigaray juga dipengaruhi oleh Foucault dalam melihat berbagai realitas yang terjadi dalam masyarakat.
18 Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, 129.
10
Sejak seorang ibu mengandung, pemisahan ibu dan anak terjadi melalui plasenta dan pada
saat kelahiran, pemisahan ibu dan anak terjadi melalui rongga uterus. Dengan demikian,
pemisahan ini tidak terjadi semata-mata seperti yang dipikirkan oleh kaum Freudian dan
Lacanian.19 Saat pemisahan yang terjadi selalu dikaitkan dengan kekacauan psikis yang
berujung trauma sebagaimana dijelaskan oleh bahasa lelaki, maka perempuan akan dilihat
semata sebagai biasan (Speculum) dari laki-laki. Itu berarti saat penis dilihat sebagai yang
aktif, maka vagina dikonsepkan sebagai yang pasif.
Perempuan di konsepkan hanya merujuk pada satu genealogi yang menekankan
pemaknaan bahasa lelaki.20 Sampai pada tahap ini Irigaray menyimpulkan betapa sulitnya
menjadi seorang anak yang dilahirkan tanpa direduksi oleh permaianan bahasa lelaki,
dimulai saat kelahirannya dan kemudian terhisap dalam masyarakat yang sangat
menekankan bahasa lelaki. Oleh sebab itu, bagi Irigaray sangat penting merumuskan
bahasa baru yang tidak direduksi sama sekali untuk kepentingan satu genealogi saja.21
2.1.1 Luce Irigaray Bahasa dan Tubuh Perempuan
Perumusan bahasa baru merupakan bagian penting dalam pemikiran Irigaray.
Dikarenakan, baginya berbagai wacana yang melanggengkan sistem yang menindas
terkristalkan dalam bahasa. Irigaray melihat bahwa tidak ada satu struktur linguistik baku
yang digunakan sejak dulu oleh para penutur. Stuktur bahasa hadir dan dipengaruhi oleh
konteks dan kebutuhan, yang mana bagi Irigaray konteks dan kebutuhan para penutur jika
ditelusuri lebih dalam sangat dipengaruhi oleh sistem dan cara berpikir yang merujuk pada
satu genenologi semata.22
Pembentukan bahasa yang hanya menguntungkan satu genealogi mengakibatkan
perempuan selalu berada dalam keadaan terobyekfikasi. Hal ini dapat dengan jelas di lihat
pada strukur gender gramatikal yang memengaruhi identitas. Misalnya matahari
19
Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 54. 20
Luce Irigaray, This is Sex Which is Not One: Ce Sexe qui n’en est pas un, ed. Catherine Potrer. (Ithaca, NY: Cornell University Press,1985), 23.
21 Luce Irigaray, Speculum of The Other Women: Speculum, de l’autre femme, ed. Gillian C. Gill (Ithaca, NY:
Cornell University Press,1987) 61. 22
Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 35-42. Perlu ditegaskan bahwa konteks masyarakat yang dirumuskan oleh Irigaray adalah masyarakat eropa dan perancis secara khusus.
11
(maskulin), bulan (feminin), mobil (maskulin), sepeda (Feminin), dll.23 Gender gramatikal
yang memiliki fungsi penanda bagi identitas subjek justru memperkuat posisi laki-laki
dalam bahasa. Laki-laki menjadi tuhan penanda. Dengan demikian, gender gramatikal
sebagai hasil biasan patriarki akan selalu menindas perempuan. Lebih lanjut lagi, Irigaray
melihat berbagai hal yang berharga dan bernilai justru dimarkahi sebagai laki-laki. Dengan
demikian, bagi Irigaray pembebasan berbasis gender tidak mungkin dicapai tanpa diikuti
dekonstruksi kaidah bahasa yang berkaitan dengan gender gramatikal.24
Dekonstruksi kaidah bahasa yang berkaitan dengan gender gramatikal
dimungkinkan apabila bahasa lelaki diruntuhkan, oleh karena itu prinsip kerja bahasa baru
bukan hanya melakukan perubahan besar-besaran terhadap gramatikal bahasa, tetapi
pemaknaan ulang berbagai hal yang terobyektifikasi oleh bahasa lelaki, dalam konteks ini
tubuh perempuan. Mulai dari sini Irigaray melakukan pembalikan makna terhadap
pemikiran Simone mengenai sang liyan. Menurut Irigaray penanda liyan tetap dibutuhkan
oleh perempuan untuk menentukan nilai pada dirinya, dengan syarat pemaknaan negatif
dari sang liyan harus disucikan. Sang liyan harus tampil dengan subyektifitasnya sendiri,
dengan bahasanya sendiri di luar pemaknaan bahasa lelaki, sehingga dengan ini
perempuan akan menemukan nilai pada tubuhnya. Bagi Irigaray ada jenis perempuan lain
yang harus dikenali, yaitu perempuan feminis, yakni perempuan yang hidup dalam
bahasanya sendiri.25
Dalam proses merumuskan bahasa baru pada tubuh perempuan, Irigaray kemudian
berupaya untuk mendekonstruksi nilai internal pada laki-laki dan perempuan. Ia kemudian
mengkaji nilai tersebut melalui berbagai cara, diantaranya pembacaan ulang berbagai
mitos tentang tubuh dalam agama dan juga mengkaji genealogi perempuan yang telah
dilupakan.
23
Dalam struktur Bahasa perancis yang dipengaruhi oleh Bahasa Latin akan dengan sangat mudah dapat ditemukan bentuk penindasan pada identitas perempuan, dimana pada kata ganti persona il (dia maskulin) sering sekali dikaitkan hal-hal yang bernilai tinggi, sebaliknya elle (dia Feminin) untuk benda-benda yang dianggap kurang bernilai. Lihat: Irigaray. Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 20-45.
24 Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 40.
25 Irigaray, This is Sex Which is Not One, 24-33.
12
Pertama, terkait mitos tubuh dalam agama dan bangsa. Bagi Irigaray kebudayaan
(Prancis) sangat dipengaruhi oleh budaya dan agama besar seperti Yunani, Yahudi, dan
Kristen yang masih memiliki jejaknya hingga kini. Sistem patriarki adalah salah satu jejak
yang berhasil ditinggalkan dan terkristalkan dalam ortodoksi, doktrin, simbol dan ornamen
bangunan ibadah serta berbagai mitos dalam kekristenan. Kekristenan cenderung
memberikan pengagungan pada tubuh laki-laki, misalnya melalui kisah heroik penyaliban
dan setelah itu dibuat ke dalam bentuk ornamen dan simbol keagamaan. Padahal menurut
Irigaray kekristenan perlu seimbang dalam memberi penghargaan pada setiap jenis
kelamin, dengan memberikan pemaknaan yang lebih terhadap peristiwa pembuahan,
kelahiran, masa kanak kanak, masa remaja dan perkawinan perempuan. Dengan begitu
genealogi perempuan juga mempunyai tempat dalam keagamaan.26
Kedua, genealogi perempuan yang telah dilupakan. Menurutnya selama ini kita
hidup hanya mengikuti sistem genealogi laki-laki. Misalnya mengandung yang harusnya
menjadi bahasa perempuan dan media identitas perempuan sebagai subjek yang otentik,
telah direduksi oleh kepentingan laki-laki. Irigaray bahkan memberikan penjelasan sangat
menarik berkaitan dengan keunikan dalam proses mengandung, di mana mekanisme
plasenta bekerja dengan sangat indahnya untuk memperdamaikan berbagai ketegangan
yang mungkin saja terjadi antara embrio dan tubuh ibu. Plasenta yang ada pada tubuh
perempuan dapat berfungsi dalam pembentukan bahasa baru.27
2.1.2 Estetika dan Keperawanan dalam Pemikiran Luce Irigaray
Dalam bahasa lelaki, hampir setiap bagian tubuh manusia khusunya perempuan
tidak terlepas dari pengobyektifikasikan. Mulai dari bentuk payudara, bokong bahkan
vagina. Pada vagina khususnya hanya dilihat berdasarkan fungsinya untuk memenuhi
26
Ketika mengikuti konfrensi di beberapa kota yang ada di Italia, Irigaray menemukan suatu pengalaman yang secara indrawi dan mental. Ketika ia berkunjung ke museum ia melihat patung Ibu Maria (Anna) sedang menggendong Maria, patung yang sebelumnya ia kira adalah patung Maria dan Yesus. Melalui pengalamannya berjumpa dengan patung ibu maria dan maria membuat ia semakin yakin bahwa perlu adanya ruang dalam agama agar bahasa perempuan juga mendapatkan tempat. Lihat: Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 28-29.
27 Bahasa baru yang dimakusd Irigaray adalah Bahasa yang menyentuh aspek non-rasional (estetis) seperti
cinta, keadilan, penghargaan terhadap kepelbagaian setiap geneologi. Proses kehamilan hingga kelahairan merupakan metafora yang digunakan untuk menjelaskan bahasa baru sebagai tandingan dari proses kekacauan psikis yang berujung trauma akibat kastrasi yang dijelaskan oleh bahasa lelaki. Lihat: Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 16.
13
libido primitif laki-laki. Perlu ada bahasa baru untuk memberikan pemaknaan yang baru
terkait dengan genealogi perempuan, yang melihat vagina tidak hanya pada fungsinya
untuk memenuhi libido primitif laki-laki, tetapi lebih dari pada itu memiliki kedalaman
nilai yang tidak dapat seutuhnya dijelaskan oleh cara berpikir rasional yang
melanggengkan bahasa lelaki.
Irigaray menyadari bahwa bahasa lelaki sudah sekian lama terkristalkan dalam cara
berpikir rasionalitas yang menghilangkan nilai-nilai non-rasional seperti cinta, keadilan,
kehangatan, dll.28 Oleh karena itu dalam merumuskan bahasa baru yang menghargai tubuh
manusia khususnya perempuan, Irigaray tidak hanya menyentuh aspek sistematis dari
gender gramatikal, melampaui itu, Irigaray juga menyentuh aspek estetika sebagai
upayanya untuk memperlihatkan aspek non-rasional yang juga memiliki posisi penting
dalam memberikan pemaknaan terhadap bahasa.29 Upaya itu sangat jelas tergambar dalam
tulisan-tulisannya yang tidak hanya berupa pemaparan sistematis sebuah ide, tatapi juga
menyertakan unsur estetis melalui media, prosa, puisi, serta mengimajinasikan ulang
tubuh perempuan yang telah kehilangan nilainya dengan cara menggali nilai-nilai estetis
pada ajaran keagamaan dan mitologi-mitologi besar dunia.30 Penggalian nilai-nilai estetis
ini tidak terbatas pada kritik Irigaray terhadap cara berpikir rasional, melampaui itu,
dengan melihat nilai estetis maka akan ditemukan bagian lain dari tubuh perempuan yang
tidak terepresentasikan oleh bahasa. Bagaimanapun yang estetis selalu memanifestasikan
yang ilahi dan spiritual.
Dalam konteks menemukan nilai estetis yang dapat memberikan nilai pada
keperawanan perempuan, Irigaray mulai berangkat dari mitologi Yunani yang bercerita
tentang dewi Hestia, dewi penjaga api rumah tangga. Cerita dewi Hestia diceritakan turun
temurun oleh ibu kepada anak perempuan. Singkatnya dalam tradisi ini ibu akan
menyalakan obor pada altar rumah anak perempuannya, lalu mendahului anak perempuan
28
Mekanisme kerja plasenta yang memperdamaikan antara embrio dan tubuh ibu merupakan gambaran paling jelas dari aspek non-rasional yang digambarkan Irigaray.
29 Bagi Irigaray, cara berfikir rasional dan no-rasional harus berjalan berdampingan, tidak satu
mengharamkan yang lain. 30
Dapat di lihat dalam beberapa karyanya: This is Sex Which is Not One, To Be Born, Elemental Passion, Key Writings. hal yang sama pulah akan saya lakukan dalam mengimajinasikan Vagina Sebagai Axis Mundi pada tubuh perempuan.
14
dan suaminya, ibu pergi ke rumah kediaman mereka yang baru untuk menyalakan api
(Hestia) di rumah putrinya. Api yang dinyalakan merupakan lambang dari kemurnian
perempuan, bahwa meskipun perempuan telah menikah, api kemurnian genealogi
perempuan tetap menyala dan tidak terhisap ke dalam genealogi laki-laki. Kemurnian
bermakna kesetiaan perempuan terhadap genealogi perempuan.31 Bukan pada
keperawanan sebagai konsep yang dipahami oleh orang kafir zaman ini.
Lebih menarik lagi, ketika Irigaray mencoba untuk mengimajinasikan ulang
keperawanan dengan kaitannya-dengan suku kata om. Suara resonansi yang biasanya
diucapkan dalam praktek Yoga untuk mencapai persatuan dengan yang ilahi. Ketika
diucapakan kata om suara secara bertahap memindahkan bibir yang terbuka ke posisi
tertutup. Proses ini menuju pada apa yang misterius dan belum termanifestasi. Jika
dikaitkan dengan seksualitas perempuan, tertutup dan terbukanya selaput dara pada
perempuan selalu berkaitan dengan nilai dan norma yang dapat diciptakan oleh bahasa
baru, bahasa yang selalu membawanya terhadap pengenalan akan ilahi.32
Dengan bahasa baru tubuh perempuan akan mendapatkan tempat yang adil dalam
masyarakat, serta melalui tubuh perempuan setiap orang dapat melihat hal-hal yang tak
termanifestasi. Lebih lanjut lagi, perempuan akan memiliki otoritas atas tubuh khususnya
keperawanannya. Hancur atau tidaknya selaput itu, perempuan akan selalu memiliki
bahasa untuk merumuskan nilai padanya, asalkan dunia yang dibangun adalah dunia yang
menghargai perbedaan di antara perempuan dan laki-laki. Jikalau dunia hanya bergerak
satu arah menguntungkan genealogi laki-laki, maka perempuan akan tetap berada dalam
ketertindasan, salah satunya perempuan akan terus berbicara menggunakan bahasa lelaki
yang menyetujui keperawanan secara anatomi sebagai lambang kesucian.33
Pada akhirnya Luce Irigaray berpendapat, selama ini kebudayaan antara laki-laki
dan perempuan adalah kebudayaan yang hanya bergerak satu arah, mengagungkan bahasa
lelaki yang menjadikan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai liyan.
Pendefenisian perempuan didasarkan pada kehadirannya bersama dengan laki-laki; laki-
31
Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 19. 32
Luce Irigaray, Teaching, (London: British Library cataloguing-in-Publication data, 2008), 23 33
Luce Irigaray, Key Writings (London-New York: Continuum, 2004), 161
15
laki adalah kuat dan aktif, maka perempuan adalah lemah dan pasif. Laki-laki memuja
keperawanan maka perempuan harus menjaga keperawanan. Perempuan yang tidak dapat
hidup dalam bahasa lelaki, akan diberikan penilaian buruk oleh masyarakat. Bagi irigaray,
satu-satunya cara untuk memutuskan rantai ini adalah dengan sang liyan harus hadir
dengan bahasanya sendiri, bahasa yang memberikan pengagungan pada setiap jenis
kelamin. Untuk mencapai konteks bahasa baru maka penting di lakukan perubahan gender
gramatikal dan pemeberian makna baru terhadap tubuh, dalam konteks ini Irigaray
melakukan penggalian nilai-nilai estetis pada mitologi, agama, dan berbagai hal lainnya
untuk memberikan makna baru pada tubuh.
3 Pemahaman pemuda-pemudi GPM Imanuel Karang Panjang, Ambon tentang
Keperawanan
Bahasa lelaki mengakibatkan perempuan selalu berada dalam wacana laki-laki,
bahkan untuk menjelaskan keperawanannya. Berangkat dari kenyataan ini, maka rasa
ingin tahu penulis terarah pada bentuk komunikasi serta bahasa yang digunakan oleh
pemuda pemudi di Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang Ambon, terkait pemaknaan
keperawanan serta dampak dari pemaknaan tersebut.34 Dengan demikian wawancara dan
analisa pada bagian ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan di GPM Imanuel Karang
Panjang Ambon pada bulan Agustus-September 2017.
Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang Ambon merupakan bagian dari klasis kota
Ambon- Sinode GPM yang terletak di pusat Pemerintahan Kecamatan Sirimau Kota Ambon.
Keberadaan Jemaat GPM Imanuel secara kuantitatif berjumlah 4086 jiwa, terdiri dari 2061
perempuan dan 2025 laki-laki dengan total jumlah kepala keluarga sebanyak 1041.35
Seluruh anggota Jemaat GPM Imanuel diwadahi oleh empat kelompok bina umat sesuai
34
Beberapa fakor utama dipilih Jemaat GPM Imannuel Karang Panjang, Ambon. Pertama, merupakan lingkungan saya dibesarkan. Kedua, saya pernah menyetujui Bahasa Ayah sebagai suatu kebenaran tunggal dan itu dipengaruhi oleh lingkungan saya dibesarkan. Ketiga, topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah seksulitas dan sangat jarang ditemukan orang yang ingin terbuka dengan seksulitas mereka oleh karena itu responden yang pun adalah pemuda/I yang memiliki hubungan emosional dengan saya, agar data yang didapatkan adalah data yang berangkat dari pengalaman mereka tanpa perlu malu untuk diutarakan. (antara responden pada umumnya tidak memiliki kedekatan emosional)
35 Rencana Strategis (RENSTRA) Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang, Ambon 2016-2020. 15
16
dengan pengkategorian usia,36 diantaranya Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil (SMTPI)
1-15 tahun, Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) 37 16-45 tahun, Wadah
Pelayanan Perempuan, 16 tahun ke atas (bagi yang sudah sidi) dan Wadah Pelayanan Laki-
Laki, 16 tahun ke atas (bagi yang sudah sidi). Kelompok bina yang belum terwadahi adalah
kelompok bina warga gereja senior atau Lanjut usia.
Dari data yang dipaparkan, memperlihatkan Jemaat GPM Imanuel di dominasi oleh
pemuda-pemudi yang sekaligus merupakan bagian dari AMGPM cabang Imanuel.38 Realitas
ini sekaligus memperlihatkan AMGPM cabang Imanuel sebagai aset penting bagi pelayanan
kedepannya. Di sisi yang lain, AMGPM cabang Imanuel memiliki tanggungjawab moral
untuk menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13a,14a).39 Dalam kepelbagaian menjadi
garam dan terang dunia, maka saya merasakan bahwa pembahasan mengenai
keperawanan sebagai suatu realitas sosial dalam dunia pemuda dan pemudi dapat menjadi
sumber ber-Teologi yang hidup.
3.1 Keperawanan dan Bahasa dalam wacana pemuda-pemudi GPM Imanuel Karang
Panjang Ambon.40
3.1.1 Keparawanan sebagai Identitas
Bagi pemuda dan pemudi GPM Imanuel Karang Panjang, Ambon, keperawanan
memiliki arti yang sangat penting. Sebab bukan hanya sekedar selaput dara pada vagina,
36
Rencana Strategis (RENSTRA) 2016-2020. 18 37
Anggaran dasar AMGPM, BAB VII, mengenai Status dan Bentuk, Pasal 10 “Sebagai bagian integral dari Gereja Protestan Maluku, AMGPM adalah organisasi pemuda gereja yang fungsional dan Organisasi Kemasyarakatn Pemuda (OKP) yang tetap berakar pada Gereja, dan terbuka kepada dunia.
38 Anggaran dasar AMGPM, BAB VIII mengenai keanggotaan, Pasal 13 “Anggota AMGPM adalah warga
GPM berusia 17-45” 39
Anggaran dasar AMGPM, BAB V mengenai Moto, Pasal 8 “Kamu adalah Garam dan terang dunia (Matius 5, ayt 13 a dan 14 b)
40 Pada bagian ini akan dipaparkan pandangan pemuda-pemudi jemaat GPM Imanuel Karang Panjang
Ambon mengenai Keperawanan. Data diperoleh melalui proses wawancara pada sepuluh orang muda dalam jemaat, diantaranya, lima pemuda dan lima pemudi mengikuti jumlah sektor/ranting yang ada dalam jemaat dengan kategori umur 18-25 tahun. Sengaja dipilih lima pemuda dan lima pemudi untuk menelusuri apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara Bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan dalam memaknai keperawanan. Perlu untuk diketahui, bahwa pemahaman sepuluh responden yang akan dinarasikan kemudian, tidaklah merepresentasikan pemahaman pemuda-pemudi Jemaat GPM Imanuel secara keseluruhan, namun, setidaknya dari hasil penelitian ini memperlihatkan kepada pembaca GPM Imanuel secara khusus dan masyarakat pada umumnya, bahwa masih terdapat pandangan tentang keperawanan yang berujung pada pengobjekfikasian tubuh perempuan.
17
lebih dari pada itu, keperawanan adalah identitas perempuan.41 Keperawanan sebagai
identitas, berjalan bersama dengan nilai baik dan buruk yang melekat padanya. Dengan
kata lain, identitas sebagai perempuan yang baik akan diberikan kepada perempuan yang
berhasil menjaga keperawanannya, begitupun sebaliknya.42
Di sisi yang lain, menjaga identitas sebagai perempuan perawan merupakan
tantangan tersendiri, terlebih lagi perempuan distigma sebagai makhluk yang lemah serta
berpotensi mengalami berbagai tindakan pelecehan.43 Oleh karena itu bagi pemuda dan
pemudi Imanuel Karang Panjang Ambon, perempuan sebagai mahkluk yang lemah, yang
dituntut untuk menjaga identitasnya memerlukan laki-laki sebagai pelindungnya, karena
sudah pasti ia tidak mampu untuk sendiri menjaga keperwanannya.44 Perempuan harus
tetap berada dibawah kontrol ayah atau laki-laki sekitarnya jika ia ingin melindungi
keperawanannya. Karena keperawanan sebagai identitas juga berkiatan erat dengan harga
diri orang disekitarnya, khususnya ayah, saudara laki-laki dan pacarnya.45 Dengan
demikian perempuan yang berhasil menjaga keperawanannya adalah perempuan yang
ideal dan patut untuk dihargai oleh masyarakat dan masyarakat laki-laki secara khusus.46
3.1.2 Keperawanan Sebagai Harga Diri
Harga diri dari perempuan yang sudah tidak perawan lagi tentunya berkaitan
dengan nilai buruk yang diberikan masyarakat kepadanya. Menariknya bagi pemuda dan
pemudi Imanuel Karang Panjang Ambon perosalan harga diri tidak hanya terbatas pada
harga diri perempuan yang tidak perawan saja, rasa kehilangan harga diripun dirasakan
oleh orang-orang sekitar perempuan itu, baik orang tua, saudara, lingkungan pertemanan
bahkan suami atau pacar.47 Dalam basis keluarga misalnya, orang tua dan saudara-
saudaranya terlebih lagi ayah dan saudara laki-laki akan dianggap masyarakat kurang
mendidik dan menjaga anak serta saudara perempuannya sehingga anak perempuan
41
Wawancara dengan Pemudi Pertama (5 September 2017) 42
Kesepuluh responden yang menyetujui nilai baik dan buruk berikaitan dengan keperawanan sebagi identitas.
43 Wawancara dengan Pemudi Kedua (29 Agustus 2017)
44 Wawancara dengan Pemudi Pertama (5 September 2017)
45 Wawancara dengan Pemuda Kelima (20 Agustus 2017)
46 Wawancara dengan Pemuda Pertama (5 September 2017)
47 Wawancara dengan Pemuda Kedua (17 Agustus 2017)
18
kehilangan keperawanannya. Dengan demikian keluarga dianggap kehilangan
kehormatannya atau harga diri. Hal serupapun terjadi dalam lingkungan pertemanan,
teman-teman dari lingkungan pertemanan anak perempuan yang kehilangan
keperawanannya akan diberikan penilaian buruk, sama buruk seperti anak perempuan
yang kehilangan keperawananya, serta dianggap memberikan pengaruh yang buruk
kepada masyarakat.48
Berbeda dengan keluarga dan lingkungan pertemanan, dalam relasi perempuan
yang tidak perawan dengan suami atau pacar, harga diri seorang laki-laki akan merasa
dipermainkan bahkan direndahkan ketika mendapati pasangannya tidak perawan lagi. Hal
ini dikarenakan perempuan yang tidak perawan dianggap sebagai bekas dari laki-laki lain.
Oleh karena itu setiap perempuan dituntut untuk menjaga keperawanannya, jika
perempuan tidak mampu untuk menjaga keperawanannya berarti ia tidak lebih daripada
“piala bergilir”.49 Oleh karena itu, tidak pantas untuk dijadikan istri, lebih pantas untuk
dijadikan pelampiasan hasrat seksual semata, 50 itupun belum tentu mendatangkan
kenikmatan pada laki-laki, dikarenakan bagi pemuda dan pemudi Imanuel Karang Panjang
Ambon, dinding atau lubang vagina perempuan yang tidak perawaan sudah pasti tidak
rapat, akibat berhubungan dengan banyak laki-laki.51 Dengan kata lain terdapat asumsi
dasar yang berkembang dalam pemikiran pemuda dan pemudi Imanuel Karang Panjang
Ambon, di mana perempuan yang sudah tidak perawan pastinya dia adalah piala bergilir
yang telah berhubungan seks dengan banyak laki-laki, hal ini mengakibatkan dinding atau
lubang vaginanya tidak rapat lagi dan oleh karena itu tidak dapat membawa kenikmatan
seksual pada laki-laki ketika berlangsungnya proses penetrasi saat berhubungan seks.
Maka dengan demikian, laki-laki perlu berhati-hati dalam melampiaskan hasrat seksual
48
Wawancara dengan Pemuda Kelima (20 Agustus 2017) 49
Wawancara dengan Pemuda Pertama (5 September 2017) 50
Wawancara dengan Pemudi Ketiga (30 Agustus 2017). Responden menceritakan, dirinya pernah tidak dihargai oleh pacaranya ketika pertama kali mereka melakukan hubungan sex dan Vaginanya tidak mengeluarkan darah. Ia dianggap sebagai perempuan yang tidak baik. Merasa masih memiliki selaput dara yang utuh, maka, hubungan sex yang keduapun dilakukan. Pada hubungan sex yang kedua, ia baru berhasil mengeluarkan darah, yang kemudian dirasa berhasil mengembalikan penghargaan laki-laki pada dirinya.
51 Wawancara dengan Pemuda Ketiga (17 Agustus 2017) Responden menyatakan bahwa perempuan ia
pacari sekarang tidak akan disentuhnya sebelum menikah agar tetap menjaga kekudusannya. Oleh karena itu perempuan-perempuan yang ia kenal sudah tidak perawan lagi merupakan objek yang baik untuk melampiaskan hasrat seksual pra-menikah.
19
mereka, dikarenakan perempuan yang tidak perawan sangat berpotensi mendatangkan
berbagai penyakit seksualitas.52
3.1.3 Keperawanan sebagai Bait Allah
Lebih lanjut lagi, bagi pemuda dan pemudi Imanuel Karang Panjang Ambon
keperawanan memang merupakan hak setiap perempuan. Perempuan memiliki kebebasan
atas tubuhnya sendiri, namun, hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa baik perempuan
ataupun laki-laki terikat pada sistem pengetahuan dalam masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai keperawanan. Oleh karena itu, perempuan yang baik adalah perempuan yang
dapat mematuhi serta mengikuti sistem pengetahuan dalam masyarakat.53 Perempuan
yang tidak mampu untuk berada dalam sistem dengan sendirinya akan nampak melalui
caranya bertutur, berpikir dan bertindak di dalam masyarakat. Misalnya dalam
pemikirannya selalu dipenuhi dengan berbagai hal yang negatif yang terepresentasikan
dalam bagaimana ia berbicara ataupun bertindak.54
Sistem pengetahuan dalam masyarakat yang paling mendarah daging adalah
sistem yang bernafaskan nilai dan norma kekristenan yang khas patriarki. Dalam sistem
ini, tubuh dilihat sebagai Bait Allah (1 Korintus 3:16), maka, menjaga keperawanan bagi
pemuda dan pemudi Imanuel Karang Panjang Ambon merupakan cara perempuan menjaga
bagian dari kekudusan Bait Allah.55 Pemahaman tubuh sebagai Bait Allah yang harus dijaga
kekudusannya, terkristalkan dalam pengajaran-pengajaran pada sub bidang pelayanan,
sekolah minggu tunas pekabaran injil (SMTPI)56 yang menekankan pengagungan tentang
tubuh secara spiritulitas sebagai Bait Allah.
Lebih lanjut lagi, tubuh sebagai Bait Allah yang kudus, dianggap kekudusannya
hanya boleh diberikan kepada laki-laki yang pantas untuk memilikinya melalui hubungan
52
Wawancara dengan Pemuda Kelima (20 Agustus 2017) 53
Wawancara dengan Pemudi Keempat (2 September 2017) 54 Wawancara dengan Pemudi Kelima (2 September 2017) 55
Wawancara dengan Pemudi Kedua (29 Agustus 2017) 56
Dalam temuan wawancara, sebagian besar pemuda dan pemudi menyatakan pemahaman yang sama, walaupun sebenarnya dalam konteks pengajaran tubuh sebagai Bait Allah yang diajarkan oleh para Guru Sekolah Minggu lebih ke konteks dirusak dengan hal-hal seperti merokok, bertato, dan pergaulan bebas, namun seiring bertambahnya usia pemikiran pemuda dan pemudi tidak hanya terbatas pada pelecahan seksual dalam artian yang sederhana, melampaui pemuda dan pemudi melihat hal-hal yag rusak (keperawanan) akibat pergaulan bebes (baca: sex bebas)
20
pernikahan. Bagaimanapun, laki-laki pasti akan sangat bahagia serta merasa dihargai
ketika perempuan yang dinikahinya menghadiahkan keperawanan yang berhasil dijaga
ditengah-tengah masyarakat yang sangat berpotensi menghilangkan keperawanannya.57
Perempuan yang berhasil menjaga keperawanannya adalah perempuan kristen yang baik,
begitupun pada laki-laki yang dapat menolong perempuan untuk menjaga
keperawanannya. Sebaliknya, menjadi perempuan berdosa apabila tidak dapat menjaga
Bait Allahnya.58 Dengan meyakini keperawanan sebagai hal yang penting, maka perempuan
yang tidak perawan bukannya hanya merusak Bait Allahnya tetapi juga merusak tubuh
jasmaninya.59
Dengan demikian keperawanan bagi pemuda-pemudi GPM Imanuel karang
panjang Ambon memiliki arti yang sangat penting. Di mana keperawanan dapat
merepresentasikan kehidupan seorang perempuan. Baik dan buruk serta berharga dan
tidaknya seorang perempuan tergantung pada selaput dara yang ada di vaginanya. Oleh
karena itu bagi pemuda dan pemudi GPM Imanuel karang panjang Ambon, tugas menjaga
keperawanan bukan hanya terletak pada pundak perempuan, namun orang-orang terdekat
perempuan juga, terlebih lagi masyarakat laki-laki. Dikarenakan harga diri merekapun
tergantung pada keperawanan perempuan, selain itu pemuda dan pemudi GPM Imanuel
Karang Panjang Ambon juga mengganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah yang
harus di lindungi. Tidak hanya terbatas pada fungsi anatomi keperawanan yang
menjadikan sebagai identitas dan harga diri. Keperawanan juga dilihat memiliki aspek
spiritual yakni sebagai bagian dari Bait Allah, apabila seorang perempuan berhasil menjaga
keperawanannya berarti ia berhasil menjaga kekudusan Bait Allah. Apabila ia kehilangan
kekudusannya, maka ia layaknya Hawa yang mudah digoda atau ular yang adalah
penggoda.
4 Bahasa baru: Suatu upaya mengimajinasikan ulang konsep keperawanan dalam wacana
perempuan dan laki-laki.
57
Wawancara dengan Pemudi Keempat (2 September 2017) 58
Wawancara dengan Pemudi Kelima (2 September 2017) 59
Wawancara dengan Pemuda Keempat (17 Agustus 2017)
21
Pemaknaan keperawanan60 yang diimajinasikan dan dipelihara oleh pemuda dan
pemudi GPM Imanuel karang panjang Ambon, merupakan pemaknaan yang masih berpusat
pada genealogi laki-laki. Berjalan bersama dengan itu, pemuda berbicara dengan bahasa
lelaki untuk memberikan pemaknaan terhadap keperawanan perempuan. Di sisi yang lain,
pemudi secara tidak sadar; bahkan mungkin sadar, tidak diberikan pilihan lain selain harus
berbicara menggunakan bahasa lelaki dalam memberikan pemaknaan terhadap
keperawanannya. Misalnya menyetujui keperawanan sebagai identitas dan Bait Allah yang
membuatnya dapat dihargai oleh masyarakat. Dalam bahasa lelaki perempuan lebih
menyetujui untuk berjuang melindungi keperawanannya, dibandingkan menuntut untuk
mengubah pola pikir primitif khas bahasa lelaki. Bersama dengan itu perempuan tidak
menyadari bahwa sistem itu justru mengobyektifikasi tubuhnya. 61
Lain halnya dengan laki-laki, karena diuntungkan oleh sistem, membuat laki-laki
terus berbicara menggunakan bahasa lelaki yang menyetujui keperawanan sebagai
identitas dan Bait Allah, serta letak dari harga diri seorang laki.62 Di sisi lain, pemuda dan
pemudi secara tidak sadar; bahkan mungkin sacara sadar, tetap membaca, memelihara,
menafsirkan Alkitab menggunakan kacamata kuda yang dilanggengkan oleh bahasa lelaki
yang mengakibatkan nilai-nilai etis dalam Alkitab yang seharusnya mampu melepaskan
setiap manusia dari berbagai bentuk pengobyektifikasian justru mengobyektifikasi tubuh
perempuan serta berlangsung turun-temurun. Bagi penulis, ini justru merupakan dosa
keturunan.
Berjalan di dalam pemaknaan keperawanan yang dinarasikan oleh pemuda pemudi
GPM Imanuel Karang Panjang Ambon, memaksa setiap orang, terpanggil untuk
merumuskan bahasa baru. Bahasa yang memberikan penghargaan terhadap setiap
60
Tidak hanya Gramatikal Perancis yang memiliki unsur seksisme dan memenjarakan tubuh perempuan, dalam gramatikal Bahasa Indonesia pun terdepat banyak leksikon yang menyerang tubuh perempuan. Konteks ini misalnya perawan: dalam KBBI, Perawan diartikan: anak perempuan yang sudah patut kawin, belum pernah bersetubuh dengan laki-laki, belum digarap, masih murni. Sedangkan Keperawanan diterjemahkan KBBI dengan kesucian. Berbeda dengan Perjaka yang dalam KBBI diterjemahkan laki-laki yang belum berumah tangga, bujang, jejaka, teruna, yang dari bentuk leksikon kata yang dipakai berkaitan dengan power pada laki-laki dan untuk perawan lebih menggunakan leksikon yang berkontasi pasif. Selain keperawan bisa juga dilihat kata menggagahi, dll.
61 Irigaray. Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 20-22
62 Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis. 129
22
genealogi. Bahasa yang tidak lahir dari rahim budaya patriarki tetapi dari relasi
kemanusiaan. Bahasa yang membebaskan perempuan dari berbagai bentuk
pengobyektifikasian yang dilanggengkan oleh bahasa lelaki.
Bahasa baru menjadi jalan masuk yang penting dalam merumuskan kembali nilai
pada setiap genealogi sebagaimana yang dipikirkan oleh Irigaray, dikarenakan bahasa yang
dipengaruhi kebudayaan patriarki menyebabkan tubuh manusia terkhususnya perempuan
terus terobyektifikasi. Hal ini mengakibatkan perempuan terkungkung dalam wilayah
seksualitas yang sempit, di sisi yang lain, gender gramatikal feminis sebagai dasar
pembentukan bahasa baru sirna, mengakibatkan leksikon untuk menggambarkan
perempuan dibentuk dari berbagai istilah yang merendahkan bahkan menghina
perempuan dalam hubungannnya dengan subjek maskulin.63 Lebih lanjut lagi, Irigaray
menegaskan apabila perempuan dan laki-laki terus berbicara dengan bahasa yang sama
maka yang akan diproduksi adalah sejarah yang sama. Sejarah yang terus
mengobyektifikasikan tubuh manusia.64
Bahasa baru sebagai bahasa yang membebaskan perempuan dari berbagai bentuk
pengobyekfikasian, tidaklah berarti hanya perempuan yang dapat merumuskan bahasa ini.
Laki-laki juga memiliki andil penting dalam perumusan bahasa baru, oleh karena itu perlu
dipahami lebih dalam lagi bahwa tujuan merumuskan bahasa baru bukan untuk melawan
genealogi laki-laki, tetapi dalam rangka melawan sistem patriarki yang melanggengkan
bahasa lelaki serta mengobyektifikasi baik tubuh laki-laki maupun perempuan.
Menyadari kenyataan ini, maka dengan menggunakan cara berpikir Luce Irigaray
yaitu mengimajinasikan ulang tubuh perempuan yang telah kehilangan nilainya, dengan
cara menggali nilai-nilai estetis pada ajaran keagamaan dan mitologi-mitologi besar dunia,
akan membantu untuk meruntuhkan pamaknaan terhadap keperawanan yang dibahasakan
oleh bahasa lelaki, serta dengan sendirinya akan memberikan pemaknaan baru
keperawanan yang telah tereduksi nilainya oleh bahasa lelaki. Untuk mencapai konteks ini
penulis mencoba untuk merumuskan bahasa baru sebagai upaya meruntuhkan bahasa
63
Irigaray. Aku, kamu, kita: belajar berbeda. 21 64
Luce Irigaray. To Be Born (Switzerland: palgrave macmillan, 2017) Lihat: Language to Produce Something or to Produce Someone?
23
lelaki dalam pemuda dan pemudi GPM Imanuel Karang Panjang Ambon, dan masyarakat
secara luas, dengan melihat Vagina Sebagai Axis Mundi pada tubuh perempuan. Perlu
untuk dipertegas bahwa upaya mengimajinasikan yang dimaksud bukanlah kegiatan
berangan-angan, tatapi lebih pada upaya meletakan dasar bahasa baru yang dapat
digunakan oleh setiap orang untuk memaknai keperawanan perempuan.65
4.1 Axis Mundi sebagai simbol dalam agama-agama: suatu langkah estetis melihat Vagina
dengan kaca mata Bahasa baru.
Simbol selalu mempunyai tempat untuk berbicara dalam kehidupan manusia
dengan bahasanya sendiri. Dari aktivitas yang sangat banal, aktivitas kontemplasi dan
refleksi, sampai pada aktivitas alam bawah sadar manusia (Carl G. Jung).66 Misalnya, simbol
rambu lalulintas yang berbicara sebagai penunjuk jalan, atau pada simbol salib yang
berbicara sebagai lambang penderitaan dan keselamatan. Di sisi lain, simbol bukan hanya
berbicara melalui benda atau bangunan, simbol juga dapat berbicara melalui bunyi, suara,
bentuk geometri, teks rahasia, tarian bahkan gesture tubuh. Pada dasarnya simbol
termanifestasikan dalam berbagai hal, namun bertujuan mengantarkan manusia pada
pengertian dan pemahaman akan sesuatu.67 Oleh karena itu tidak jarang terdapat berbagai
simbol terkenal dan diimani oleh komunitas tertentu sebagai simbol suci yang dapat
mengantarkan manusia pada pengertian akan yang ilahi.
Simbol-simbol itu diantaranya, Bintang Daud dan pohon pengetahuan pada agama
Yahudi, delapan simbol dan pohon Bodhi pada Agama Buddha, salib dan pohon
pengetahuan pada Agama Kristen, Kabah dan batu Hajar Aswad dalam Islam, Linggam dan
Yoni pada agama Hindu, dll.68 Pada umumnya simbol-simbol ini dipakai dalam ritual
keagamaan untuk menolong manusia mencapai kesatuan dengan Tuhan, misalnya,
Mandala berupa salib dan Foto Bunda Maria pada ibadah Taize serta Batu Hajar aswad dan
65
KBBI. Lihat: Imajinasi. Bukan digambarkan sebatas kegiatan berangan-angan. Lebih daripada itu imajinasi dilihat sebagai proses menciptakan. Serta proses melihat berbagai kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang.
66 Carl G. Jung, Psikologi dan Agama, uraian psikologi perihal dogma dan simbol: Psychology and Religion
ed. Afthonul Afif. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017) Lihat: Dogma dan simbol-simbol alamiah, 73-126 67
Erika Wilson, Emotions and Spirituality in Relgions and Spiritual Movments. (Lanham, Mayland: Universty Press of America, 2012), 60.
68 Wilson, Emotions and Spirituality in Relgions and Spiritual Movments. 60.
24
kabah pada ibadah haji.69 Simbol-simbol ini yang kemudian disebut sebagaiWorld Axis
(Axis Mundi) atau representasi pada Axis Mundi.70 Dengan demikian, setiap agama
merepresentasikan Axis Mundi dengan simbol dan cara yang berbeda-beda sesuai dengan
kepercayaannya.
Terlepas dari berbagai bentuk penggambaran Axis Mundi pada berbagai agama,
Axis Mundi pada umumnya sering disimbolkan dengan pohon.71 Pohon dilihat sebagai
poros utama dunia karena struktur dari pohon menggambarkan hubungan antara
kematian, kehidupan, bahkan surga. Akar yang merambat ke dalam tanah menunjuk pada
dunia bawah-dunia orang mati, batang pohon yang berada di permukaan tanah menunjuk
pada dunia manusia atau kehidupan, dan cabang serta daun menunjuk pada surga. Namun
pada umumnya lebih banyak dimaknai sebagai simbol kehidupan dan kematian.
Pemaknaan akan kehidupan dan kematian ini yang akan mengantarkan manusia pada
pengenalan akan keabadian.72 Seperti yang simbol salib yang dimaknai sebagai kematian
sekaligus kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan jahat pada taman eden yang
mengantarkan manusia pada pengenalan akan yang Ilahi.
4.2 Vagina sebagai Axis Mundi Tubuh Perempuan
Axis mundi sebagaimana dipaparkan di atas sangat kental dengan pemaknaan yang
spiritual, berbeda dengan vagina yang selama ini dimaknai dan dikonstruksikan dalam
bahasa lelaki sebatas pada fungsi anatominya. Dinding vagina yang tidak kendur dan
selaput dara yang masih utuh dianggap ideal, untuk pembenarannya ditambahkan tafsir
alkitab yang dangkal, yang melihat kudus dan hancurnya Bait Allah tegantung pada
perawan dan tidak perawan, tanpa menyadari bahwa tubuh perempuan telah
terobyektifikasikan dalam skema yang kompleks tersebut.
69
Jung, Psikologi dan Agama, 125
70 Pengecualian pada Agama Buddha, dalam ajarannya, Buddha sendiri merupakan Axis Mundi, sedangkan
pohon Bodhi sebagai representasi dari Axis Mundi, tempat Buddha mendapatkan pencerahan. 71
Butler, Joseph, Encyclopedia of Religion, Second Edition (USA: Thomson Gale, a part of Thomson Corporation,2005), 712. Termasuk di dalamnya Kristen dan Yahudi yang mensakralkan pohon pengetahun yang baik dan yang jahat, serta Bodhi pada ajaran Buddha. Selain disimbolkan sebagai pohon, axis mundi juga biasa disimbolkan dengan gunung kosmos dan tiang.
72 Wilson, Emotions and Spirituality in Relgions and Spiritual Movments. 61.
25
Perempuan yang ideal dalam bahasa lelaki menjadi korban dari hasrat, nasfu
primitif laki-laki, baik secara fisik saat penis terpuaskan melalui penetrasi berulang-ulang
kali,73 maupun secara psikis ketika penis berhasil merobek selaput dara pada vagina. Hal
ini kemudian tidak menegaskan bahwa hasrat seksual tidaklah penting, hanya saja selama
ini hasrat berada dalam pemaknaan bahasa lelaki yang menghilangkan nilai padanya. Hal
ini yang kemudian disesalkan oleh Irigaray, di mana ketika manusia diberikan berbagai
pilihan untuk membahasakan sesuatu, ia justru dikekang dalam budaya yang hanya
mengkristalkan satu bahasa.74 Untuk masuk ke dalam pemaknaan lebih mendalam terkait
vagina sebagai Axis Mundi, maka berbagai bentuk bahasa lelaki pada vagina yang
berlandaskan fungsi anatomi semata harus dihilangkan, demi mulai merumuskan bahasa
baru yang kaya akan nilai spiritual.
Dengan menggunakan peta berpikir Irigaray, maka vagina dapat dirumuskan
sebagai Axis Mundi dengan melihat kembali nilai pada vagina melalui genealogi
perempuan, salah satunya proses melahirkan. Konteks genealogi ini sebagai jalan
memaknai vagina secara baru. Dalam temuannya sejalan dengan cara memaknai Axis
Mundi yang terdapat pada agama-agama dan kebudayaan melalui bingkai kisah kelahiran
dan kematian.
Peristiwa mengandung dan melahirkan adalah proses alamiah yang hanya dimiliki
dan dilalui perempuan. Peristiwa itu dimulai dari pembentukan seorang bayi yang
berlangsung pada rahim sampai akhirnya ia dilahirkan. Selama sembilan bulan, uterus
memainkan peranan penting dalam menjamin kelangsungan hidup bayi dalam hal
perlindungan dan penyaluran nutrisi. Uterus seorang perempuan berfungsi seperti sebuah
rumah yang sempurna bagi sang bayi. Tubuh seorang perempuan hamil bekerja dalam satu
mekanisme hormonal yang kompleks, yang kemudian menentukan hidup sang bayi.
Dengan membentuk plasenta sebagai sumber makanan sang bayi, yang terhubung dengan
uterus. Manifestasi kerja sistem hormonal ini bertujuan akhir pada uterus, karena sang
bayi hidup di dalamnya. Pada akhirnya, seorang bayi harus mengalami proses kelahiran. Ia
73
Dalam seksualitas istilah penetrasi digunakan untuk menjelaskan aktivitas seksual ketika penis berusaha menerobos liang Vagina.
74 Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda, 54
26
akan mengalami keterpisahan dengan uterus, karena sistem hormonal sang Ibu juga
mendorong proses ini untuk segera terjadi. Terjadi chaos dalam organ reproduksi seorang
perempuan, ketika seorang bayi harus segera keluar. Ditandakan melalui rasa sakit luar
biasa, karena otot rahim, tekanan tulang panggul, dan otot vagina bekerja dalam satu irama
kontraksi agar mendorong bayi keluar. Proses panjang dari mekanisme kontraksi organ
reproduksi ini berakhir pada vagina yang dengan tingkat elastisitasnya menyebabkan
tubuh bayi dapat dikeluarkan. Keberhasilan seluruh proses perkembangan bayi dalam
tubuh perempuan dan proses kelahirannya bertumpu pada vagina. 75
Vagina sebagai ambang penentu akhir seluruh proses kelahiran bayi inilah yang
memanifestasikan Axis Mundi pada tubuh perempuan, karena pada akhirnya mekanisme
kerja dari vagina yang menentukan hidup dan matinya ibu dan anak, layaknya Axis Mundi
yang digambarkan sebagai pusat atau tempat bertemunya kematian dan kehidupan.
Sayangnya mekanisme pada vagina yang bekerja dengan sangat indah, tidak hadir dalam
bahasa lelaki yang hanya memberikan nilai pada vagina perempuan berdasarkan
kegunaannya, tanpa melihat nilai lain pada genealogi perempuan yang melampaui
pemahaman masyarakat patriarki. Atas keprihatinan ini Irigaray mengatakan:
Budaya antarlelaki bergerak terbalik. Artinya, menata diri dengan menyingkirkan dari
masyarakatnya sumbangan dari jenis kelamin yang lain. Ketika tubuh perempuan memberi
keturunan dengan menghormati perbedaan (menerima tubuh yang lain dalam dirinya), kelompok
masyarakat patriarki dibangun secara hierarkis dengan menyingkirkan perbedaan.76
Dengan mengimajinasikan ulang vagina sebagai Axis Mundi pada tubuh perempuan,
dapat kembali membukakan mata setiap setiap orang yang lahir daripada mekanisme yang
sangat indah ini, untuk dapat melihat bahwa pada tubuh perempuan terdapat berbagai
bentuk pemaknaan, melampaui pemaknaan pada masyarakat patriarki. Bahkan vagina
yang tidak elastis dan rahim yang tidak mampu lagi berprokreasi selalu memiliki nilai
tersendiri dalam pemaknaan bahasa yang berpusat pada pengalaman yang menubuh,
genealogi perempuan, dan keadilan.
75
Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda. Lihat: Mengenai garis ibu. 76
Irigaray, Aku, kamu, kita: belajar berbeda. 57
27
Di sisi yang lain, vagina sebagai Axis Mundi juga mengantarkan setiap orang untuk
mengerti keadilan melalui Yesus Kristus. Layaknya manusia, Yesus sebagai bayi
penyelamat juga melewati mekanisme yang indah pada organ reproduksi bunda Maria.
Mekanisme kelahiran ditandakan pada robekan vagina. Melalui vagina yang robek, jalan
penyelamatan manusia dimulai. Dalam dunia patriarki, kisah heroik perempuan yang
vaginanya robek ketika melahirkan selalu terlupakan. Orang hanya melihat produk yang
dihasilkan, yakni bayi. Bahkan akan ada pengagungan lebih, bila bayi berjenis kelamin laki-
laki. Yesus, seorang manusia bergenealogi laki-laki yang kudus, yang hadir di dunia melalui
mekanisme genealogi perempuan dapat menjadi sebuah impuls kekuatan yang
menyadarkan kaum patriarki. Ada pemulihan nilai terhadap vagina ketika Yesus lahir.
Bahwa kelahirannya yang agung, juga turut mengagungkan vagina yang robek dan vagina
sebagai lambang dan situs kekuatan kehidupan pada perempuan. 77
Dalam keadilan Yesus, Yesus juga membangun relasi yang luar biasa dengan
perempuan-perempuan yang dijumpainya. Perjumpaannya dengan perempuan pelacur
menjadi tamparan keras bagi kaum patriarki, karena Yesus justru menunjukkan
keberpihakannya pada keadilan yang diberikan bagi genealogi perempuan. Keberpihakan
ini yang menjadikan diri-Nya juga sebagai korban sistem patriarki. Yesus memang
dibesarkan dalam lingkungan patriarki, sehingga Ia memiliki keistimewaan dan keutamaan
dalam masyarakat Yahudi yang patriarki. Tetapi Ia justru mati dalam cara penyaliban yang
merupakan cara menghukum khas kaum patriarki. Penyaliban yang dialami Yesus telah
turut menyalibkan nilai-nilai patriarki yang tidak adil pada perempuan dalam semua
bentuk penindasan, termasuk pemaknaan keperawanan pada pemuda dan pemudi jemaat
GPM Imanuel Karang Panjang Ambon.
Yesus yang adalah representasi dari genealogi laki-laki menunjukkan diri-Nya,
sebagai korban kaum patriarki. Ia melepaskan semua keutamaan nilai patriarki dalam diri-
Nya. Dari seorang pelaku yang diterima dalam sejarah patriarki, menjadi seorang korban
dalam dunia patriarki. Dan hal ini menjadi kekuatan simpatik bagi perjuangan pembebasan
kemanusiaan.
77
Vagina sebagai situs (memiliki niai sejarah) dalam hal ini sejarah penyelamatan yang kudus maka mematahkan berbagai anggapan vagina sebagai bagian dari anatomi tubuh yang memuaskan laki-laki.
28
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Konsep keperawanan yang berkembang dalam masyarakat patriarki telah
menghilangkan nilai pada tubuh perempuan. Hal ini mengakibatkan pemaknaan pada
tubuh perempuan hanya dilihat sebatas fungsi antominya. Vagina yang masih suci dan
masih ada selaputnya dilihat sebagai yang ideal dalam keindahan hidup yang ditawarkan
oleh bahasa lelaki yang melanggengkan budaya patriarki. Namun bersama dengan seluruh
orang percaya pada setiap abad dan tempat kita diperhadapakan dengan pertenyaan
dilematis, Apakah keindahan itu, hingga kita lupa yang namanya akan keadilan?.78 Di dalam
keadilan, vagina tidak lagi dibahasakan merujuk pada fungsi anatomi semata, melampaui
itu, vagina adalah Axis Mundi pada tubuh yang padanya terdapat bentuk estetis yang
mengantarkan manusia pada pengenalan akan ilahi.
4.1 Saran
Dalam upaya melangsungkan kehidupan yang penuh dengan penghargaan terhadap
kepelbagaian dalam lingkup pemuda gereja secara khusus dan masyarakat secara umum,
maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah melihat orang lain sebagai manusia yang
di dalam tubuh dan jiwanya terdapat berbagai macam keunikan dan pengungkapan dari
rahasia-rahasia ilahi. Selain itu, saran yang dapat saya berikan kepada sinode GPM dan
AMGPM secara umum dan Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang dan AMGPM cabang
Imanuel secara khusus adalah dengan mulai menanamkan nilai-nilai atas dasar
penghargaan terhadap kepelbagaian yang ada pada setiap genealogi, baik laki-laki ataupun
perempuan. Namun tidaklah muda menanamkan nilai-nilai ini dalam masyarakat yang
dikenal masih memelihara sistem patriarki seperti kota Ambon yang melanggengkan
bahasa lelaki, oleh karena itu penanaman nilai-nilai ini dapat direalisasikan dalam bentuk
pengajaran dalam basis lingkungan paling kecil seperti keluarga sampai ke kehidupan
bergereja dan bermasyarakat. Setiap elemen harus saling mendidik satu dengan yang lain.
Selain itu secara khusus pada setiap wadah pelayanan yang ada di Jemaat GPM Imanuel
78
Pertanyaan ini terdapat dalam buku spiritualisme kritis dan estetika banal karya Ayu Utami dan Eka Prasetyo. Melalui hasil refleksi, mereka menantang kebudayaan ptariarki yang diwarisi oleh gereja dan kehidupan sekitar.
29
Karang Panjang Ambon, agar dapat membuat program atau materi mengajar yang
berkaitan dengan penghargaan akan tubuh manusia.
30
Daftar Pustaka
Anggaran Dasar Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku
Arivia Gadis. Filsafat Berprespektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 2003.
______________, dkk. Subjek yang dikekang: Pengantar ke pemikiran Julia Kristeva, Simone de
Beauvoir, Michael Foucault, Jacques Lacan. Jakarta: Salihara. 2013
Butler, Joseph. Encyclopedia of Religion: Second Edition. USA: Thomson Gale, a part of
Thomson Corporation. 2005
Beauvior De Semone. Second Sex: The Second Sex: Kehidupan Perempuan. ed. Toni B.
Febrianto dan Nurani Juliastuti Yogyakarta: Narasi-Pustaka Prometha. 2016
Bourdieu Pierre. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jalasutra.2010.
Creswell, Jhon W. Penelitian & Desain riset. memilih diantara lima pendekatan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014
Golden Arthur. Memoar seorang Geisha Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Herdiansyah Harish. Metodologi Penelitan Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. 2010
Ihromi T.O dan Subadio Maria Uldah. Peranan dan Kedudukan wanita indonesia
Yogyakarta: Gadja Mada University Press. 1986
Irigaray Luce. Aku, kamu, kita: belajar berbeda, terj, Rahayu S. Hidayat Jakarta: KPG-
Kepustakaam Populer Gramedia. Forum Jakarta-Paris. 2005
______________. This is Sex Which is Not One, Catherine Potrer. terj. Ithaca, NY: Cornell
University Press. 1985
______________. Speculum of The Other Women. Gillian C. Gill. terj. Ithaca. NY: Cornell
University Press. 1987
______________. Teaching, London: British Library cataloguing in Publication data. 2008
______________. To Be Born. Switzerland: palgrave macmillan. 2017
______________. Key Writings. London-New York: Continuum. 2004
______________. Elemental Passion. Joanne Collie dan Judith Still. Terj. NY: The Athlone Press
Jung. Carl. G Psikologi dan Agama. uraian psikologi perihal dogma dan simbol, terj Afthonul
Afif. Yogyakarta: IRCiSoD. 2017
31
Lukman Lisa. Proses Pembentukan Subjek-Antroplogi Filosofis Jacques Lacan. Yogyakarta:
Percetakan Kanisius. 2011
Pudjiati Danti. Pemikiran Kritis Luce Irigaray dalam Lingustik. Jakarta: Al-Turas. Vol. 13. No
1. 2007
Ramdhani Deshi. Adam harus bicara, sebuah buku lelaki. Yogyakarta: Kanisius. 2010
Rencana Strategis (RENSTRA) Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang, Ambon 2016-2020
Setyawan, A. Teologi Seksual: Obrolan Serius tentang Sex. Yogyakarta: Kanisius. 2014
Sitorus, Fitzerald Kennedy Rasionalisme Rene Descartes: Saya berpikir maka saya ada.
Jakarta: Salihara. 2016
Tong Rosemarie Putnam. Feminist Thought: a more Comperhensive Introduction. USA:
Westview Press. 2009
Wilson Erika. Emotions and Spirituality in Relgions and Spiritual Movments. Lanham,
Mayland: Universty Press of America. 2012