5
Pasal 44 ayat 3 Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pada ayat ke 2 dijelaskkan mengenai wewenang penyidik terhadap tindak pidana di bidang telekomunikasi. Berikut adalah contoh kasus penyadapan oleh Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat dan ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan tersebut. Akhir bulan Oktober 2013 Indonesia dikejutkan dengan sejumlah pemberitaan tentang tindakan Australia yang terbukti telah melakukan penyadapan terhadap sejumlah pejabat tinggi Pemerintah Indonesia, termasuk penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Indonesia kembali muncul dalam pemberitaan terkait skandal penyadapan oleh Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat. Isu tersebut dimuat dalam harian The New York Time yang dilansir tanggal 15 Pebruari 2014, yang dibocorkan oleh mantan kontraktor NSA Edward J Snowden. Informasi yang didapat NSA ini berasal dari Direktorat Sinyal Australia (ASD). ASD awalnya, memberitahu NSA bahwa mereka melakukan pemantauan komunikasi termasuk antara pejabat Indonesia dengan firma hukum di Amerika Serikat. Disebut dalam dokumen itu, ASD bersedia berbagi informasi dengan NSA. Terhadap masalah tersebut, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada tanggal 17 Pebruari 2014 telah menyatakan sikap kekecewaan Indonesia terhadap Australia.

UU RI No.36 Tahun 1999 (Pasal 44 Ayat 3 & Pasal 45)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UU RI No.36 Tahun 1999 (Pasal 44 Ayat 3 & Pasal 45)

Pasal 44 ayat 3

Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pada ayat ke 2 dijelaskkan mengenai wewenang penyidik terhadap tindak pidana di

bidang telekomunikasi. Berikut adalah contoh kasus penyadapan oleh Badan Keamanan

Nasional (NSA) Amerika Serikat dan ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan

tersebut.

Akhir bulan Oktober 2013 Indonesia dikejutkan dengan sejumlah pemberitaan tentang

tindakan Australia yang terbukti telah melakukan penyadapan terhadap sejumlah pejabat

tinggi Pemerintah Indonesia, termasuk penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono. Nama Indonesia kembali muncul dalam pemberitaan terkait skandal penyadapan

oleh Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat. Isu tersebut dimuat dalam harian

The New York Time yang dilansir tanggal 15 Pebruari 2014, yang dibocorkan oleh mantan

kontraktor NSA Edward J Snowden. Informasi yang didapat NSA ini berasal dari Direktorat

Sinyal Australia (ASD). ASD awalnya, memberitahu NSA bahwa mereka melakukan

pemantauan komunikasi termasuk antara pejabat Indonesia dengan firma hukum di Amerika

Serikat. Disebut dalam dokumen itu, ASD bersedia berbagi informasi dengan NSA. Terhadap

masalah tersebut, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada tanggal 17 Pebruari 2014

telah menyatakan sikap kekecewaan Indonesia terhadap Australia.

Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam

Pasal 56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 47 UU ITE

yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,-

Kementerian Kominfo sejauh ini berpandangan, bahwa kegiatan penyadapan tersebut belum

terbukti dilakukan atas kerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Namun

jika kemudian terbukti berdasarkan hasil kerja Satuan Tugas yang dibentuk oleh Menteri

Kominfo tersebut , maka penyeleggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai

pidana dan sanksi administratif yang diatur dalam UU Tekomunikasi dan UU ITE.

Page 2: UU RI No.36 Tahun 1999 (Pasal 44 Ayat 3 & Pasal 45)

Pasal 45

Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal

21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat

(1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi

administrasi.

Diambil dari salah satu ketentuan pasal yang disebutkan pada pasal 45 yaitu, pasal 16

ayat 1 dijelaskan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau

penyelenggara jasa teiekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.

Penyelenggaraan jasa telekomunikasi diwajibkan untuk pertama, menyediakan

fasilitas telekomunikasi yang menjamin adanya kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang

baik. Kedua, penyelenggara jasa telekomunikasi dituntut untuk tidak bersikap diskriminatif

dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa telekomunikasi. Ketiga, penyelenggara

jasa telekomunikasi diwajibkan untuk melakukan pencatatan/perekaman pemakaian jasa

telekomunikasi, serta wajib menyimpan catatan/rekaman dimaksud sekurang-kurangnya

selama 3 (tiga) bulan. Pengguna jasa telekomunikasi yang memerlukan catatan/rekaman

pemakaian jasa telekomunikasi dapat meminta catatan /rekaman dimaksud dengan membayar

biaya pencetakan atas catatan/rekaman tersebut.

Menteri menetapkan pelaksanaan kontribusi kewajiban pelayanan universal

(Universal Services Obligation) kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan

penyelenggara jasa telekomunikasi berupa penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi,

kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi, atau kontribusi lainnya.

Kewajiban Pelayanan Universal ini dimaksudkan sebagai kewajiban untuk

menyediakan jaringan dan layanan telekomunikasi di daerah terpencil dan atau belum

berkembang terutama yang berpotensi besar dapat menunjang sektor ekonomi dan

memperlancar pertukaran informasi yang sangat diperlukan untuk mendorong kegiatan

pembangunan dan pemerintahan.

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dikenakan biaya

penyelenggaraan telekomunikasi yang besarnya ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan

pemerintah tersendiri.

Page 3: UU RI No.36 Tahun 1999 (Pasal 44 Ayat 3 & Pasal 45)

Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu izin

prinsip dan izin penyelenggaraan telekomunikasi. Perizinan tsb dimaksudkan sebagai upaya

Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan

telekomunikasi. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas

wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi

wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.

Penyelenggara telekomunikasi diwajibkan untuk memberikan ganti rugi terhadap

kesalahan/kelalaian yang dilakukannya yang menimbulkan kerugian langsung kepada

pengguna jaringan dan atau jasa telekomunikasi.

Sebaiknya, penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat pula meminta ganti rugi

akibat pemindahan jaringan telekomunikasinya karena ada kegiatan atau permintaan dari

instansi/departemen/lembaga atau pihak lain.

Selanjutnya diatur mengenai peran serta masyarakat dibidang telekomunikasi. Dalam

rangka melibatkan peran aktif dari masyarakat dibentuk peran serta masyarakat dibidang

telekomunikasi. Masyarakat dapat membentuk beberapa lembaga tsb. Sesuai dengan

kebutuhannya. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah yang memiliki tugas untuk

menyampaikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai

arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan,

pengendalian, dan pengawasan dibidang telekomunikasi. Namun, perlu ditegaskan bahwa

pemikiran dan pandangan dari lembaga tsb tidak bersifat mengikat kepada Pemerintah.

Akhirnya, pelanggaran dari ketentuan-ketentuan yang telah ditegaskan dalam

peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi administrasi.

Sumber :

- http://sdppi.kominfo.go.id/?

mod=news&action=view&cid=26&page_id=2134&lang=en

- http://www.kemendag.go.id/files/regulasi/2000/07/pp52p.htm