1
[JAKARTA] Jumlah anak telantar masih sangat banyak. Kementerian Sosial (Kemsos) menyebut, jum- lahnya mencapai 4,1 juta anak, dan jumlah itu bertambah. Kondisi tersebut mencerminkan amanat Konstitusi agar fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, Kemsos juga menyebut sedikitnya 35.000 anak mengalami eksploitasi. Keberadaan anak-anak telantar tersebut, antara lain masih minimnya rumah singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA). Belum semua provinsi memiliki RSPA. Menurut sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi, jutaan anak telantar tersebut mencerminkan kondisi ketimpangan sosial di Tanah Air. Rasio gini tercatat masih relatif tinggi, yakni mencapai 0,394. Rasio itu bermakna pemerataan kesejah- teraan menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. “Ada sekelompok kecil orang yang menguasai sumber-sumber ekonomi, tapi sebagian besar orang yang tidak memiliki pendapatan,” jelasnya, di Jakarta, Rabu (15/3). Hal itu mengakibatkan masih banyak fakir miskin dan anak telantar di jalanan, khususnya di kota-kota besar. “Jadi kalau Presiden punya perhatian ke pemerataan sosial ini maka kita patut apresiasi. Ini lang- kah yang sangat bagus, tapi tentunya harus ada tindakan nyata berupa kebijakan konkret yang dikawal dari bulan ke bulan untuk memangkas ketimpangan sosial,” katanya. Menurut Sigit, model pembina- an anak telantar oleh pemerintah selama ini selalu pendekatan proyek. Pemerintah mengajukan anggaran tiap tahun kemudian digunakan untuk pembinaan. Pendekatan seperti ini harus diubah. Pemerintah harus bermitra dengan lembaga swadaya masyara- kat (LSM) dengan memfasilitasi mereka. LSM inilah yang berperan di depan, sedangkan pemerintah cukup dengan menyiapkan aturan dan anggaran. “Sinergi pemerintah dengan LSM ini belum berjalan. Padahal banyak panti asuhan dan panti sosial yang dikelola masyarakat sukses menge- lola dan membina anak telantar karena mereka menjadikannya sebagai pekerjaan 24 jam,” jelasnya. Penanggulangan anak telantar dan fakir miskin, lanjut Sigit, sebe- narnya merupakan pekerjaan peme- rintah daerah (pemda). Sebab pemda yang memiliki data detail mengenai penduduknya. Program pemerintah pusat sendiri sudah mengarah kepa- da pengentasan fakir miskin melalui Kementerian Sosial dan kemente- rian lain,” ungkapnya. Persoalannya, kata Sigit, pemda belum menjadikan penanganan masalah sosial sebagai paradigma atau langkah untuk menyelesaikan masalah. Masalah sosial dipandang sebelah mata oleh pejabat di daerah. Mereka lebih banyak memperhati- kan masalah pertumbuhan ekonomi. Padahal dengan menyelesaikan masalah sosial, otomatis pertum- buhan ekonomi jalan. Paradigma tentang pembangun- an ini harus diubah, dengan menem- patkan penanganan masalah sosial di depan program lainnya. Kurangnya perhatian pemda ini terlihat dari nomenklatur atau penamaan Dinas Sosial yang selalu ditempatkan di belakang sektor lain, seperti tenaga kerja dan lain- lain. Tidak kuatnya institusi terkait di daerah ini mengakibatkan ang- garan untuk menyelesaikan masalah sosial pun sangat terbatas. Akibatnya penanganan masalah sosial dilaku- kan serampangan, sehingga orang miskin yang ingin terus memperta- hankan hidupnya selalu berpindah pindah tempat, seperti anak-anak telantar dan anak jalanan di kota besar. Menurut Sigit, yang menjadi tantangan dan kendala paling serius bagi pemerintah adalah keberanian untuk mengubah paradigma dalam menangani masalah sosial. Harus dimulai dari memprioritaskan masa- lah sosial, bukan dianggap sebagai beban, yang mana anggarannya menunggu sisa dari program lainnya. Bukan Kemiskinan Secara terpisah, peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Muhadjir Darwin menilai, keberadaan anak telantar, serta gelandangan dan pengemis, belum tentu sebanding dengan kondisi riil perekonomian pelaku. Sebab, dalam banyak kasus, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Satu contoh, seorang pengemis di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang kedapatan memiliki mobil sedan, kartu ATM dan kartu kredit. Menurutnya, ada fenomena pengemis, termasuk mengerahkan anak-anak telantar, yang muncul, bukan karena kemiskinan, tapi sebagai profesi. Bahkan, bukan tidak mungkin ada pengemis yang kaya juga beroperasi di kota-kota besar, yang sebenarnya memiliki fasilitas memadai di tempat tinggalnya. “Mengemis menjadi profesi yang relatif nyaman, hanya dengan ber- pakaian lusuh,” ujarnya. Dia mengungkapkan, beberapa penelitian mengungkapkan desa-desa atau wilayah yang menjadi sumber pengemis, meski jika melihat lang- sung asal desa pengemis tersebut, secara fisik kondisi rumah mereka cukup layak. Dengan kondisi tersebut, upaya pemberantasan pengemis juga harus sampai kepada sikap dan mental, termasuk mafia-mafia yang menjadi koordinator para pengemis tersebut, terutama yang melibatkan anak-anak telantar. “Harus dilakukan sesuai aturan hukum dengan melibatkan seluruh aparat penegak hukum. Pemberantasan mafia pengemis ini tidak bisa hanya dengan menangkap ‘gepeng’ (gelandangan pengemis) di jalanan. Aktor intelektualnya harus ditemukan. Dari mana mereka berasal itu harus dicari, yang ditin- dak jangan yang di lapangan saja, tapi orang yang melakukan itu,” jelasnya. Bahkan di wilayah Yogyakarta, lanjutnya, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, mengemis bukan hal baru. Ada isu keberadaan pengemis yang diorganisasi, sengaja didrop dari wilayah lain, khususnya pada saat-saat masyarakat menja- lankan ibadah puasa hingga perayaan hari-hari besar agama. Peneliti PSKK lainnya, Agus Joko Pitoyo menambahkan, jika fenomena gelandangan dan pengemis dikaitkan dengan kemiskinan, maka yang menjadi penyebabnya adalah akses penduduk miskin ke dunia kerja, maupun program-program sosial pemerintah. Keberadaan panti-panti sosial memang menjadi salah satu solusinya, namun tidak mampu sepenuhnya mengatasi masalah anak telantar, gelandangan, dan pengemis. Menurutnya, tingkat kemiskinan di Indonesia justru bersumber dari perdesaan, terkait dua hal yang menghambat penduduk di wilayah perdesaan untuk bisa keluar dari kemiskinan. Pertama, rendahnya penguasaan lahan terutama di saat sektor pertanian, penguasaan dan distribusi lahan pertanian. Kedua, pengeluaran biaya sosial yang cukup tinggi. Dengan demikian, cara yang efektif menurunkan kemiskinan sekaligus menekan kemunculan pengemis dan gelandangan, harus berdasar strategi lokal. Menurutnya, strategi pengentasan kemiskinan, tidak bisa hanya dilihat dari sisi moneter, karena kondisi kemiskinan di Indonesia dangan multidimensi, termasuk tantangan bonus demografi yang mulai terjadi pada 2020 mendatang. Di saat jumlah manusia produktif Indonesia jumlahnya meningkat, maka pelu- ang-peluang atau akses pada dunia kerja menjadi masalah utama di Indonesia. [D-13/152] Utama 2 Suara Pembaruan Rabu, 15 Maret 2017 AFP/BAY ISMOYO Anak jalanan tengah menghitung uang hasil mengemis di Jakarta. Kementerian Sosial menyebutkan masih ada 4,1 juta anak telantar di seluruh Indonesia. U sulan penggunaan angket DPR terkait dengan kasus e-KTP yang menyeret sejumlah pejabat negara, petinggi partai politik, dan anggo- ta-anggota dewan, bakal kandas. Inisiatif angket dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan sejumlah rekannya tersebut dinilai tidak serius sekalipun hak angket dibu- tuhkan untuk menggali keterang- an soal kronologi masuknya nama-nama tokoh politik dalam berkas dakwaan dua mantan peja- bat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). “"Hak angket itu sah saja karena hak tersebut melekat pada anggota dewan. Namun, belum ada sub- stansinya dan usulan itu tidak serius. Bakal kandas lagi,” ujar sumber SP, Selasa (15/3). Kandasnya hak angket itu diperkuat dengan respons dari sejumlah partai politik yang ada. Partai Hanura menegaskan meno- lak hak angket dan lebih baik diselesaikan dalam proses hukum. Demikian juga Partai Kebangkitan Bangsa menegaskan usulan hak angket belum perlu dan belum penting. "Dugaan korupsi pengadaan e-KTP yang saat ini sedang dipro- ses oleh KPK, sebaiknya diproses secara hukum di KPK agar disele- saikan hingga tuntas," kata Ketua Fraksi FKB Hajjah Ida Fauziah. Usulan hak angket juga akan melemahkan proses hukum di KPK yang akan menjadi bias dan memunculkan opini publik bahwa DPR melakukan intervensi hukum. [H-12] Hak Angket DPR Tidak Serius? 4,1 Juta Anak di Indonesia Telantar

Utama Sua ra Pembaru an Rabu, 15 Maret 2017 Hak Angket DPR ... file[JAKARTA] Jumlah anak telantar masih sangat banyak. Kementerian Sosial (Kemsos) menyebut, jum-lahnya mencapai 4,1

Embed Size (px)

Citation preview

[JAKARTA] Jumlah anak telantar masih sangat banyak. Kementerian Sosial (Kemsos) menyebut, jum-lahnya mencapai 4,1 juta anak, dan jumlah itu bertambah.

Kondisi tersebut mencerminkan amanat Konstitusi agar fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, Kemsos juga menyebut sedikitnya 35.000 anak mengalami eksploitasi.

Keberadaan anak-anak telantar tersebut, antara lain masih minimnya rumah singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA). Belum semua provinsi memiliki RSPA.

Menurut sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi, jutaan anak telantar tersebut mencerminkan kondisi ketimpangan sosial di Tanah Air. Rasio gini tercatat masih relatif tinggi, yakni mencapai 0,394. Rasio itu bermakna pemerataan kesejah-teraan menjadi persoalan yang mengkhawatirkan.

“Ada sekelompok kecil orang yang menguasai sumber-sumber ekonomi, tapi sebagian besar orang yang tidak memiliki pendapatan,” jelasnya, di Jakarta, Rabu (15/3). Hal itu mengakibatkan masih banyak fakir miskin dan anak telantar di jalanan, khususnya di kota-kota besar. “Jadi kalau Presiden punya perhatian ke pemerataan sosial ini maka kita patut apresiasi. Ini lang-kah yang sangat bagus, tapi tentunya harus ada tindakan nyata berupa kebijakan konkret yang dikawal dari bulan ke bulan untuk memangkas ketimpangan sosial,” katanya.

Menurut Sigit, model pembina-an anak telantar oleh pemerintah selama ini selalu pendekatan proyek. Pemerintah mengajukan anggaran tiap tahun kemudian digunakan untuk pembinaan.

Pendekatan seperti ini harus diubah. Pemerintah harus bermitra dengan lembaga swadaya masyara-kat (LSM) dengan memfasilitasi mereka. LSM inilah yang berperan di depan, sedangkan pemerintah cukup dengan menyiapkan aturan dan anggaran.

“Sinergi pemerintah dengan LSM ini belum berjalan. Padahal banyak panti asuhan dan panti sosial yang dikelola masyarakat sukses menge-lola dan membina anak telantar karena mereka menjadikannya

sebagai pekerjaan 24 jam,” jelasnya.Penanggulangan anak telantar

dan fakir miskin, lanjut Sigit, sebe-narnya merupakan pekerjaan peme-rintah daerah (pemda). Sebab pemda yang memiliki data detail mengenai penduduknya. Program pemerintah pusat sendiri sudah mengarah kepa-da pengentasan fakir miskin melalui Kementerian Sosial dan kemente-rian lain,” ungkapnya.

Persoalannya, kata Sigit, pemda belum menjadikan penanganan masalah sosial sebagai paradigma atau langkah untuk menyelesaikan masalah. Masalah sosial dipandang sebelah mata oleh pejabat di daerah. Mereka lebih banyak memperhati-kan masalah pertumbuhan ekonomi. Padahal dengan menyelesaikan masalah sosial, otomatis pertum-buhan ekonomi jalan.

Paradigma tentang pembangun-an ini harus diubah, dengan menem-patkan penanganan masalah sosial di depan program lainnya. Kurangnya perhatian pemda ini terlihat dari nomenklatur atau penamaan Dinas Sosial yang selalu ditempatkan di belakang sektor lain, seperti tenaga kerja dan lain- lain.

Tidak kuatnya institusi terkait di daerah ini mengakibatkan ang-garan untuk menyelesaikan masalah sosial pun sangat terbatas. Akibatnya penanganan masalah sosial dilaku-kan serampangan, sehingga orang miskin yang ingin terus memperta-hankan hidupnya selalu berpindah pindah tempat, seperti anak-anak telantar dan anak jalanan di kota besar.

Menurut Sigit, yang menjadi tantangan dan kendala paling serius bagi pemerintah adalah keberanian untuk mengubah paradigma dalam menangani masalah sosial. Harus dimulai dari memprioritaskan masa-lah sosial, bukan dianggap sebagai beban, yang mana anggarannya menunggu sisa dari program lainnya.

Bukan KemiskinanSecara terpisah, peneliti senior

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Muhadjir Darwin menilai, keberadaan anak telantar, serta gelandangan dan pengemis, belum tentu sebanding dengan kondisi riil perekonomian pelaku. Sebab, dalam banyak kasus,

justru yang terjadi adalah sebaliknya. Satu contoh, seorang pengemis di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang kedapatan memiliki mobil sedan, kartu ATM dan kartu kredit.

Menurutnya, ada fenomena pengemis, termasuk mengerahkan anak-anak telantar, yang muncul, bukan karena kemiskinan, tapi sebagai profesi. Bahkan, bukan tidak mungkin ada pengemis yang kaya juga beroperasi di kota-kota besar, yang sebenarnya memiliki fasilitas memadai di tempat tinggalnya. “Mengemis menjadi profesi yang relatif nyaman, hanya dengan ber-pakaian lusuh,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, beberapa penelitian mengungkapkan desa-desa atau wilayah yang menjadi sumber pengemis, meski jika melihat lang-sung asal desa pengemis tersebut, secara fisik kondisi rumah mereka cukup layak.

Dengan kondisi tersebut, upaya pemberantasan pengemis juga harus sampai kepada sikap dan mental, termasuk mafia-mafia yang menjadi koordinator para pengemis tersebut, terutama yang melibatkan anak-anak

telantar. “Harus dilakukan sesuai aturan hukum dengan melibatkan seluruh aparat penegak hukum. Pemberantasan mafia pengemis ini tidak bisa hanya dengan menangkap ‘gepeng’ (gelandangan pengemis) di jalanan. Aktor intelektualnya harus ditemukan. Dari mana mereka berasal itu harus dicari, yang ditin-dak jangan yang di lapangan saja, tapi orang yang melakukan itu,” jelasnya.

Bahkan di wilayah Yogyakarta, lanjutnya, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, mengemis bukan hal baru. Ada isu keberadaan pengemis yang diorganisasi, sengaja didrop dari wilayah lain, khususnya pada saat-saat masyarakat menja-lankan ibadah puasa hingga perayaan hari-hari besar agama.

Peneliti PSKK lainnya, Agus Joko Pitoyo menambahkan, jika fenomena gelandangan dan pengemis dikaitkan dengan kemiskinan, maka yang menjadi penyebabnya adalah akses penduduk miskin ke dunia kerja, maupun program-program sosial pemerintah. Keberadaan panti-panti sosial memang menjadi salah satu solusinya, namun tidak mampu sepenuhnya mengatasi masalah anak telantar, gelandangan, dan pengemis.

Menurutnya, tingkat kemiskinan di Indonesia justru bersumber dari perdesaan, terkait dua hal yang menghambat penduduk di wilayah perdesaan untuk bisa keluar dari kemiskinan. Pertama, rendahnya penguasaan lahan terutama di saat sektor pertanian, penguasaan dan distribusi lahan pertanian. Kedua, pengeluaran biaya sosial yang cukup tinggi.

Dengan demikian, cara yang efektif menurunkan kemiskinan sekaligus menekan kemunculan pengemis dan gelandangan, harus berdasar strategi lokal.

Menurutnya, strategi pengentasan kemiskinan, tidak bisa hanya dilihat dari sisi moneter, karena kondisi kemiskinan di Indonesia dangan multidimensi, termasuk tantangan bonus demografi yang mulai terjadi pada 2020 mendatang. Di saat jumlah manusia produktif Indonesia jumlahnya meningkat, maka pelu-ang-peluang atau akses pada dunia kerja menjadi masalah utama di Indonesia. [D-13/152]

Utama2 Sua ra Pem ba ru an Rabu, 15 Maret 2017

AFP/BAy ISMOyO

Anak jalanan tengah menghitung uang hasil mengemis di Jakarta. Kementerian Sosial menyebutkan masih ada 4,1 juta anak telantar di seluruh Indonesia.

Usulan penggunaan angket DPR terkait dengan kasus e-KTP yang menyeret

sejumlah pejabat negara, petinggi partai politik, dan anggo-ta-anggota dewan, bakal kandas. Inisiatif angket dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan sejumlah rekannya tersebut dinilai tidak serius sekalipun hak angket dibu-tuhkan untuk menggali keterang-an soal kronologi masuknya nama-nama tokoh politik dalam berkas dakwaan dua mantan peja-

bat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).

“"Hak angket itu sah saja karena hak tersebut melekat pada anggota dewan. Namun, belum ada sub-stansinya dan usulan itu tidak serius. Bakal kandas

lagi,” ujar sumber SP, Selasa (15/3).

Kandasnya hak angket itu diperkuat dengan respons dari sejumlah partai politik yang ada. Partai Hanura menegaskan meno-lak hak angket dan lebih baik diselesaikan dalam proses hukum.

Demikian juga Partai Kebangkitan Bangsa menegaskan usulan hak angket belum perlu dan belum penting. "Dugaan korupsi pengadaan e-KTP yang saat ini sedang dipro-ses oleh KPK, sebaiknya diproses secara hukum di KPK agar disele-saikan hingga tuntas," kata Ketua Fraksi FKB Hajjah Ida Fauziah.

Usulan hak angket juga akan melemahkan proses hukum di KPK yang akan menjadi bias dan memunculkan opini publik bahwa DPR melakukan intervensi hukum. [H-12]

Hak Angket DPR Tidak Serius?

4,1 Juta Anak di Indonesia Telantar