17
USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI IDENTITAS Nama : Fakhriya Hakim NIM : 07210021 Semester : VII Jurusan : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Dosen Wali : Drs. M. Nur Yasin, M. Ag Alamat : Jl. Batujajar II/14 Malang HP : 085 649 692 024 JUDUL ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI PENGADILAN AGAMA USULAN PEMBIMBING SKRIPSI 1. 2. Malang, 11 Maret 2011 Mengetahui,

USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI

IDENTITAS

Nama : Fakhriya Hakim

NIM : 07210021

Semester : VII

Jurusan : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah

Dosen Wali : Drs. M. Nur Yasin, M. Ag

Alamat : Jl. Batujajar II/14 Malang

HP : 085 649 692 024

JUDUL

ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI

PENGADILAN AGAMA

USULAN PEMBIMBING SKRIPSI

1.

2.

Malang, 11 Maret 2011

Mengetahui,

Dosen Wali Mahasiswa

Drs. M. Nur Yasin, M. Ag Fakhriya Hakim

NIP. 196910241995031003 NIM. 07210021

Page 2: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

OUTLINE USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI

JUDUL:

ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI

PENGADILAN AGAMA

LATAR BELAKANG

N.J.Coulson menyatakan bahwa hukum senantiasa hidup dan berkembang

sejalan dengan laju perkembangan suatu masyarakat ( N.J.Coulson:1).1 Senada dengan

itu Satjipto Raharjo menegaskan bahwa pengadilan tidak hanya institusi hukum,

melainkan juga institusi sosial. Pengadilan tidak bisa dilihat sebagai institusi yang

berdiri sendiri dan bekerja secara otonom, tetapi senantiasa berada dalam proses

pertukaran (interaksi) dengan lingkungannya, (Satjipto Raharjo 204).2

Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat

dibagi dalam dua preode; yaitu preode Teori Receptio in complex dan preode teori

Receptei.3 Teori reception in complex adalah teori penerimaan Hukum Islam,

sepenuhnya bagi orangorang yang beragama Islam karena mereka telah memeluk agama

Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini

dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada teori

ini hanya terdapat dalam hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan

hukum kewarisan, yaitu dengan adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan

peraturan Resulutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori

Receptie adalah teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam

baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh

C.Snouck Hurgronje berdasarkan penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo. Teori ini

merupakn reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS

(indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi:”dalam hal

terjadi masalah perdata antar sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama

Islam apabila hukum adat mereka menghendakinnya”

1 N.J.Coulson, 1991, A. Histoiy of Islamic Law, Edinburgh: University Press,. Hal 12 Satjipto Raharjo, 1996, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, hal 2043 Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, di dalam Tjun Surjaman(Ed), Hukum Islam di Indonesia, cet.2, Bandung, Remaja Rosdakarya,1994, hlm.73

Page 3: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

Pasca kemerdekaan, dalam proses pembangunan bangsa khusunya pembangunan

hukum, teori receptionexit oleh Hazairin telah berkembang bersama dengan teori

reception a contrario oleh sayuti Thalib, bahkan harus di kembangkan juga teori

eksistensi yang menyatakan bahwa hukum Islam ada atau eksis di dalam hukum

nasional.4

Meskipun harapan adanya unifikasi hukum tidak pernah padam dan terus

diperjuangkan pembentukannya, namun masih sulit menyelesaikan pluralisme hukum

waris di negeri ini. Salah satu dari hasil keadaan semacam ini adalah serangkaian

perkara warisan yang teramat rumit yang muncul dari relasi antar personal antara orang-

orang yang berasal dari latar belakang tradisi hukum yang berbeda-beda.5

Bangsa indonesia yang enganut berbagai agama dan kepercayaan mempunyai

bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan

yang berbeda-beda ini berpengaruh terhadap sistem kewarisan dalam masyarakat

tersebut. Di antara orang-orang Indonesia asli tidak terdapat satu sifat kekeluargaan,

melainkan di berbagai daerah terdapat berbagai sifat kekeluargaan yang dapat

dimasukkan dalam tiga golongan. yaitu :

1. sifat kebapakan (patriarchaat),

2. sifat keibuan (matriarchaat), dan

3. sifat kebapak-ibuan (parental).6

Kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan adalah yang paling merata terdapat di

Indonesia, yaitu di Jawa, Madura, Sumatra Timur, Riau, Aceh, Sumatra Selatan,

Seluruh Kalimantan, Seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok7

Bagi orang-orang Indoneseia asli yang takluk kepada hukum adat, harus diingat

bahwa sebagian besar dari mereka beragama Islam maka bagi golongan terbesar ini

tidak dapat diabaikan pengaruh dari peraturan warisan yang terdapat dalam hukum

waris Islam.8

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, sebagai salah satu lembaga yang

berwenang menyelesaikan perkara kewarisan di Indonesia, Pengadilan Agama

4Ichtijanto,”Pembangunan Hukum Islam Perspektif Moral”, dalam Moh.Busyro M.dkk,(Ed) Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta UII Press, 1992), hlm.75.5 Ratno Lukito, Hukum sacral dan hukum sekuler, pustaka Alvabet, Jakarta, 2008, hlm. 3476 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung; Alumni. 1983, hlm. 337 Hilman Hadikusuma, ibid8 H.Moh.Muhibbin, H.Abdul Wahid ; Hukum Kewarisan Islam, Jakarta; Sinar grafika 2009, hlm 43

Page 4: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

(selanjutnya disebut PA) telah mengalami sebuah perjalanan panjang dari segi dinamika

hukum dan eksistensi yang secara kronologis, antara lain sebagai berikut:

1. Berdasarkan Stbl 1882 No. 152 Belanda mengakui keberadaan PA. Tetapi

pengakuan tersebut dibarengi dengan kewajiban PA memuat keputusannya dalam

suatu register yang setiap tiga bulan sekali harus disampaikan kepada Kepala

Daerah setempat (Bupati atau lainnya) untuk memperoleh penyaksian (visum). Stbl

1882 No. 152 ini tidak mengatur kewenangan PA, karenanya kewenangan PA

mengacu kepada Stbl 1835 No.58, (Qodri Azizy:138). Ketentuan tersebut

mengisyaratkan kemauan politik penjajah untuk selalu memantau putusan-putusan

PA, dan sekaligus menempatkan PA subordinasi eksekutif.

2. Dicabutnya kewenangan terhadap sengketa waris dan eksekusi putusan oleh Stbl

1937 No. 116 & 610 yo Stbl 1937 No. 638 & 639, dan diserahkannya kedua

kewenangan tersebut kepada Landraad (pengadilan negeri). Akibatnya setiap

putusan PA memerlukan fiat eksekusi (executoir verkiaring) dan PN, dan PN lah

selanjutnya yang mengeksekusi putusan PA. Lepasnya kewenangan mengeksekusi

putusan , menyebabkan PA menjadi peradilan semu, yang dikenal dengan quasi

peradilan. Kondisi tersebut berdampak negatif terhadap martabat dan wibawa PA.

3. Kalau di masa penjajahan dan di awal kemerdekaan PA berada di bawah

Departemen Kehakiman, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946, pada

tanggal 3 januari 1946 PA dialihkan dan Departemen Kehakiman ke Departemen

Agama. ltulah sebabnya PA dipandang sebagai pilar utama berdirinya Departemen

Agama.

4. PA bernasib baik dibanding Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Dua Peradilan

disebut terakhir dihapus oleh UU Darurat No.1/ 1951 tentang Tindakan-Tindakan

Sementara Penyatuan Peradilan Di Indonesia, Sementara PA dinyatakan

dikecualikan dari penghapusan.

5. Bedasarkan PP. 45 Tahun 1957, (dasar hukum berdirinya PA di luar Jawa &

Madura, Kal-Sel & Kal-Tim), PA di wilayah tersebut diberi kewenangan mengadili

perkara waris. Tetapi kewenangan tersebut dikaitkan dengan anak kalimat yang

berbunyi “apabila menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama

Islam”. Akibatnya di daerah-daerah yang kuat pengaruh hukum adat, maka

sengketa waris orang Islam diajukan ke PN. Hanya di daerah-daerah yang kuat

Page 5: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

pengaruh hukum Islam perkara waris diajukan ke PA. Seperti halnya dengan

daerah-daerah lain, eksekusi putusan PA di wilayah tersebut juga memerlukan fiat

eksekusi dari PN.

6. UU No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

adalah undang-undang yang untuk pertama kali mengakui bahwa PA adalah

peradilan negara. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa PA merupakan salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah MA. Pengakuan tersebut merupakan

awal dan cikal bakal yang signifikan bagi perkembangan PA selanjutnya.

7. Diundangkannya UU No.1/1974 Tentang Perkawinan, berdampak positif terhadap

yurisdiksi absolut PA, di mana PA mendapat tambahan kewenangan yang luas

terkait dengan masalah perkawinan umat Islam. Semangat undang-undang ini

menjadikan masalah perkawinan bukan lagi private affair, melainkan public orde.

Akan tetapi titik lemahnya bahwa setiap putusan PA perlu dikukuhkan oleh PN.

Lembaga pengukuhan tersebut sesungguhnya kontradiksi dengan semangat

kesetaraan empat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 10 ayat

(1) UU No.14 Tahun 1970.

8. Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, menuntut adanya lembaga kasasi

terhadap putusan tingkat banding. Dalam upaya mengisi kekosongan hukum

tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan MA No.1/1977 tanggal 26

Nofember 1977 yang membuka peluang diajukannya permohonan kasasi oleh pihak

yang tidak puas terhadap putusan tingkat banding. PERMA tersebut diiringi oleh

Surat Edaran MA NO. 4/1977 tentang jalannya pengadilan pemeriksaan kasasi

dalam perkara perdata dan pidana oleh Peradilan Agama dan Peradilan Militer,

(MA, 341-343).

9. Karena titelatur dan nomenklatur PA tidak seragam, karena berbeda dasar hukum

berdirinya, hal mana sering menimbulkan kebingungan masyarakat, maka Menteri

Agama menerbitkan KMA No.6 Tahun 1980 pada tanggal 28 Januari 1980 yang

mengatur penyatuan nomenklatur tersebut yakni Pengadilan Agama untuk tingkat

pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding. Namun kewenangan

belum dapat diseragamkan.

10. Eksistensi PA sebagai peradilan yang mandiri terwujud dengan diundangkannya

UU No.7/1989. Undang-undang ini mengatur kedudukan, hukum acara dan

Page 6: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

kewenangan PA secara eksplisit. Hakim yang merupakan personifikasi pengadilan,

pengangkatannya tidak lagi dilakukan oleh Menteri Agama, tetapi oleh Presiden

selaku Kepala Negara. Di samping itu, PA diberi kewenangan mengeksekusi

putusannya, karena organisasi PA sudah memiliki Juru Sita. Lembaga pengukuhan

dihapus. Penantian panjang umat Islam, yakni dikembalikannya kewenangan

menangani perkara waris menjadi kenyataan. Hanya saja kewenangan tersebut

belum optimal, karena dimungkinkannya hak opsi. Tuntutan pembagian harta

bersama, dapat digabung dengan perkara perceraian dalam bentuk kumulasi

objektif, atau diajukan tersendiri sesudah putusan perceraian mempunyai kekuatan

hukum yang tetap. Dalam hal Penggugat atau Pemohon tidak mengajukan, maka

pihak lawan (Tergugat atau Termohon) dapat mengajukan tuntutan pembagian

harta bersama tersebut dalam gugat rekonpensi. Persoalan yang mengganjal adalah

masalah sengketa milik dalam perkara yang menjadi kewenangan PA.

11. Buah reformasi di bidang hukum antara lain diundangkannya Undang-undang

No.35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-undang No.14 Tahun 1970, yang

mengakomodir ide satu atap keempat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah

Agung. Buat Peradilan Agama ide tersebut baru terealisir pada tanggal 30 Juni

2004 dengan terbitnya Keppres No.21 Tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004 yang

mengatur pengalihan Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah

Agung. Mengingat karakteristik dan latar belakang historisnya, maka pembinaan

badan Peradilan Agama dilakukan oleh MA dengan memperhatikan saran dan

pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia, sebagaimana diamanatkan

oleh Penjelasan Umum Alinea 4 Undang-undang No.4/ 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

12. Amandemen Ketiga Undang-undang Dasar 1945 pada tahun 2002 merupakan

klimaks reformasi di bidang kekuasan kehakiman, dengan lahirnya pasal 24 sampai

dengan pasal 24 C. Bagi keempat lingkungan peradilan khususnya PA, perubahan

tersebut merupakan peristiwa yang monumental, karena eksistensi dan tata urutan

keempat Iingkungan peradilan diakui dalam suatu hukum dasar. Dengan demikian,

eksistensi dan tata urutan keempat lingkungan peradilan tidak hanya diakui oleh

peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang, tetapi telah diakui oleh

suatu hukum dasar yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Page 7: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

Urutan tersebut seyogianya diimplementasikan dalam segala aspek hukum, karena

memiliki nilai filosofis dan historis, bukan sesuatu yang kebetulan dan tanpa

makna.

13. Dengan terlaksananya ide satu atap, maka UU No.7/1989 tidak relevan dengan

perkembangan yang ada, untuk itu perlu dilakukan penyesuaian seperlunya.

Kebutuhan hukum tersebut terpenuhi dengan diundangkannya Undang-undang

No.3/2006 pada tangga 20 Maret 2006. Tiga hal mendasar dalam UU No.7/1989

yang diubah, yakni mengenai kewenangan, pembinaan, dan hak opsi. Kewenangan

PA semakin luas, yang paling menonjol adalah sengketa ekonomi syari’ah.

Sementara pembinaan oleh MA tidak hanya di bidang teknis dan administrasi

yudisial, tetapi telah meliputi organisasi, administrasi, dan financial, yang

pelaksanaannya memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan MUI.

Sedangkan hak opsi dalam perkara waris dihapus. Absolute competentie terhadap

perkara waris ditentukan oleh agama pewaris.9

Dari periodisasi dinamika hukum dalam sejarah perjalanan Pengadilan Agama

diatas bisa dicermati bahwasannya pasang surut serta perkembangan hukum yang

panjang menuntut adanya pergeseran-pergesaran sudut pandang baik dalam melihat

hukum maupun pola penerapannya agar sesuai dengan tujuan-tujuan hukum itu sendiri.

Para hakim, praktisi, akademisi maupun masyarakat hukum pada umumnya diharapkan

bisa lebih fleksibel dalam upayanya menempatkan hukum secara proporsional sesuai

dengan perkembangannya.

Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Salah satu dari

tiga hal perubahan mendasar tersebut diatas (mengenai kewenangan, pembinaan, dan

hak opsi),hak opsi yang mana merupakan suatu penegasan mengenai kompetensi

absolut perkara kewarisan di Pengadilan Agama, Sudah sepatutnya mendapat suatu

porsi pembahasan tersendiri baik dari segi perbedaan materi dengan versi sumber-

sumber hukum yang terdahulu (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan lain-lain)

maupun dari segi social setting, apresiasi masyarakat, political will Pemerintah dan

sejarah tentunya, dirasa sangat urgen serta layak untuk dibahas dan dicermati kembali.

Berkaca pula kepada salahsatu poin perubahan kewenangan yg dibawa oleh Undang-

9http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/sengketa-milik%20artikel diakses pada 8 maret 2011 pukul 20.30

Page 8: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

Undang Nomor 3 Tahun 2006 (kewenangan Peradilan Agama terhadap sengketa

ekonomi syariah) yang mana mendapatkan porsi perhatian yang besar dari masyarakat

hukum terkait, maka sudah sepatutnya pula penyelesaian sengketa kewarisan di

Pengadilan Agama (yang juga salah satu unsur penting perubahan kewenangan)

diposisikan untuk dicermati dan dibahas pula. Hal tersebut semata-mata dimaksudkan

untuk memposisikan hukum kembali kepada tujuan-tujuan hukum itu sendiri secara

umum dan secara khusus dalam penyelesaian sengketa kewarisan di Pengadilan Agama

bisa meminimalisir kekeliruan penerapan hukum yang timbul sebagai konsekuensi

kesalahan konsep hukum penyelesaian sengketa kewarisan menurut para Hakim,

Praktisi, akademisi maupun masyarakat hukum secara luas.

Berdasarkan paparan tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan

menganalisa lebih lanjut tentang sengketa kewarisan di Pengadilan Agama, khususnya

terkait dengan norma hukum yang terkandung di dalamnya maupun kesesuaian

penepannya menurut tujuan hukum, yang mana akan disusun dalam suatu karya ilmiah

berbentuk skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN

SENGKETA KEWARISAN DI PENGADILAN AGAMA.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan pokok dalam

penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana Norma Hukum Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia?

2. Apakah Ketentuan Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Pengadilan Agama yang

Ada Sekarang Ini Sudah Sesuai dengan Tujuan Hukum?

TUJUAN PENELITIAN

1. menelaah dan memahami dari perspektif ilmu hukum dan beberapa aspek lainnya

yang berubungan terkait norma hukum penyelesaian sengketa kewarisan di

indonesia.

2. memahami serta mencermati dari perspektif ilmu hukum bahwa ketentuan

penyelesaian sengketa kewarisan di pengadilan agama yang ada sekarang ini sudah

sesuai dengan tujuan hukum

DAFTAR ISI/TABLE OF CONTENTS

Cover/Tittle Page

Page 9: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

Lembar Persetujuan

Lembar Pengesahan

Lembar Persembahan

Surat Pernyataan

Motto

Kata Pengantar

Daftar Isi

Daftar Tabel

Abstrak

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian

E. Batasan Penelitian

F. Definisi Operasional

G. Sistematika Pembahasan

BAB II: KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

B. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

- Hukum Islam di Indonesia

- Hukum Kewarisan Islam sebagai Sumber Hukum Positif di Indonesia

C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama

- Pengadilan Agama sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

- Kompetensi Pengadilan Agama menurut Perundang-Undangan

D. Sengketa Kewarisan di Pengadilan Agama

- Kewenangan Pengadilan Agama pada Sengketa Kewarisan

- Sumber Hukum Kewarisan pada Peradilan Agama

BAB III: METODE PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

Page 10: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

B. Pendekatan Penelitian

C. Jenis Penelitian

D. Sumber Data

E. Teknik Pengumpulan Data

F. Analisa Data

G. Keabsahan Data

BAB IV: PEMBAHASAN

A. Norma Hukum Penyelesaian Sengketa Kewarisan pada Pengadilan Agama di

Indonesia

B. Praktik dan Ketentuan Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Pengadilan Agama

yang Sesuai dengan Tujuan Hukum

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka

Lampiran

METODE PENELITIAN

Page 11: USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI kewarisan

Dalam penelitian hukum, jenis penelitian yang akan diterapkan peneliti masuk

dalam kategori penelitian hukum normatif, dimana dalam pendekatannya menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan sehingga

bahan pustaka terbagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan hukum primer,bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier. Pada metode pengumpulan datanya, dapat

dirumuskan bahwa metode yang sesuai dengan penelitian ini adalah metode

dokumentasi. Lalu terakhir setelah semua data terkumpul maka analisa data yang

digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif, yang mana dimaksudkan memberi

keterangan, penjelasan, dan untuk memperoleh gambaran secara singkat mengenai

asas-asas dan segala informasi serta bahan hukum, kemudian menerapkannya menurut

landasan hukum yang berlaku dari teori-teori yang ada.

PENELITIAN TERDAHULU

Berdasarkan tema penelitian terkait, ditemukan beberapa penelitian yang telah

dilakukan dan memiliki relevansi terhadap tema yang diangkat peneliti. Penelitian-

penelitian tersebut antara lain :

- Analisis Yuridis terhadap Perkara Waris di Pengadilan Agama Ponorogo dalam

perkara No. 519/Pdt.G/2000/PA.PO oleh Syifaul Qulub pada tahun 2010

- Peran dan Kewenangan Peradilan Agama. Oleh Tia Rianto pada tahun 2002.

- Dualisme Kompetensi Absolut Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam

Masalah Waris (Studi di PA dan PN Kota Malang). Oleh Siti Mariatul Qibtiyah

pada tahun 2001.

- Analisis Yuridis terhadap Kompetensi Pengadilan Agama dalam Perkara Kewarisan

orang Islam dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Oleh

Syamsul Huda pada tahun 2004