Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
USAHA MEWUJUDKAN GAGASAN SANTA ANGELA MERICI TENTANG PENDIDIKAN DALAM KARYA URSULIN DI ZAMAN INI
MELALUI KATEKESE
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Maria Kristofora Bhoko
NIM: 011124001
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
• Tarekat Ordo Santa Ursula
• Para Pendidik Ursulin
v
MOTTO
“Semakin anda menghargai mereka, semakin anda mencintai mereka, semakin anda mencintai mereka, semakin besar kesanggupan anda
untuk melayani mereka dan melindungi mereka”
(Prakata Nasehat art. 10)
vii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah USAHA MEWUJUDKAN GAGASAN SANTA ANGELA MERICI TENTANG PENDIDIKAN DALAM KARYA URSULIN DI ZAMAN INI MELALUI KATEKESE. Penulis memilih judul ini untuk mendalami gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan dan menggali perwujudannya dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini.
Persoalan mendasar skripsi ini adalah bagaimana usaha lembaga pendidikan Ursulin menanggapi keprihatinan dunia pendidikan di zaman ini yang diwarnai dengan pergeseran nilai-nilai hidup. Pendidikan nilai merupakan salah satu usaha yang penting dilakukan oleh para pendidik baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Yang menjadi ciri khas pendidikan Ursulin adalah adanya usaha menanamkan pendidikan nilai kepada anak didik. Penanaman Pendidikan nilai terintegrasi dalam seluruh kegiatan pendidikan yang tujuan utamanya adalah pembentukan pribadi anak didik. Bagi St. Angela Merici pendiri Ordo Santa Ursula, pendidikan itu harus memungkinkan perkembangan pribadi anak didik yang berorientasi pada manusia. Aktivitas pendidikan harus berpedoman pada intisari pendidikan yakni memanusiakan manusia yang tujuan utamanya adalah demi perkembangan pribadi utuh yang mencakup aspek intelektualitas, keterampilan, kepribadian dan kepekaan sosial.
Lembaga pendidikan Ursulin yang berpola pada St. Angela Merici ini terus berusaha mewujudkan gagasan-gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat yang penuh dengan gejolak tuntutan kehidupan masyarakat yang bergerak maju dengan pesat, relevansi pendidikan menurut St. Angela Merici merupakan suatu langkah positif yang harus diwujudkan demi tercapainya pribadi-pribadi yang dewasa, mandiri, memiliki hati nurani yang jernih dan peduli terhadap kebutuhan sesama.
viii
ABSTRACT
The title of this Thesis is that “An Effort to Realize the Concept of Saint Angela Merici on Education in Deeds of Ursulin on Education in this Era through Catechism. The writer has chosen this Title to go deep into the concept of St. Angela Merici on Education and to delve deep to realize this, in the Deeds of Ursuline on Education in this Era.
In this modern world, where the value of life has been deterioated in the world of education, the main discussion of this Thesis is as to how the person responsible of Ursulines education institute make an effort to achieve the values of life. Because value education is one of the main effort of the educators both in the family, schools and in the society. The distinctive feature of Ursulines education is that there is sincere effort to plant the value education on students. And implementation of value education is an integral part of the whole system of education, aim of which is to form the personality of the students. For St. Angela Merici, the Founder of the Congregation of St. Ursula, Education must make possible, the personal development of the student who is oriented towards humanity. Educational activities mustbe oriented towards the prime principle. To make man more human, the main aim of which is personal development as whole and covers all aspects of intellectual, skills, personality and social mind.
Ursuline Education institute which has the same aim of St. Angela Merici, must make continues effort to achieve this vision of St. Angela Merici on Education in the deeds of Ursuline on Education in this modern era.
In the social order of the life of people who struggles with demands of people who move very fast, relevance of Education according to St. Angela Merici seem to be one of the positive step which must be concretized to realize individual maturity, self reliance, having the inner self, which is pure and to be sensitive to the needs of others.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan atas rahmat-Nya yang berlimpah hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: USAHA MEWUJUDKAN
GAGASAN SANTA ANGELA MERICI TENTANG PENDIDIKAN DALAM
KARYA URSULIN DI ZAMAN INI MELALUI KATEKESE. Dalam proses
penulisan dengan segala jerih payah, suka dan duka serta dukungan dari berbagai
pihak baik secara langsung maupun tidak langsung memberi petunjuk, nasehat,
kritikan dan saran, penulis terus terdorong untuk menyelesaikannya. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. F.X. Heryatno W.W.S.J.,M.Ed., sebagai Kaprodi dan segenap staf dosen
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Jurusan
Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata
Dharma, yang dengan caranya masing-masing telah mendidik, membimbing dan
memberikan bekal pengetahuan yang sangat berharga dan berguna dalam
penulisan skripsi ini.
2. Dr. J. Darminta, S.J., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan setia
membimbing, mengarahkan dan memberikan semangat serta peneguhan dalam
penulisan dan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Yoseph Kristianto, SFK., selaku dosen pembimbing akademik dan penguji
II yang telah dengan setia memberikan bimbingan, saran, serta dukungan selama
penulis menjalani studi dan yang telah bersedia menjadi dosen penguji II untuk
skripsi ini.
4. Ibu Dra. Yulia Supriyati, M.Pd., yang telah bersedia sebagai dosen penguji III
untuk skripsi ini.
5. Sr. Martini Suwitahartana, O.S.U., dan Para Suster sekomunitas yang dengan
caranya masing-masing memberikan dukungan, semangat dan peneguhan selama
penyusunan skripsi ini.
6. Sr. Maria Dolorosa Sasmita, O.S.U., dan Para Dewan yang telah memberikan
kesempatan, kepercayaan, perhatian dan dukungan kepada penulis untuk
xi
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL …………… ……………………………………………………. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………. ………………………. ii
PENGESAHAN ……………….…………………………………………. iii
PERSEMBAHAN ……………..………………………………………… iv
MOTTO …………………………………………………………………. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………. vi
ABSTRAK ………………………………………………………………… vii
ABSTRACT ……………………………………………………………… viii
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. x
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………….. xvii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ….………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah …...………………………………………………. 7
C. Tujuan Penulisan …..………………………………………………… 7
D. Manfaat Penulisan ….. …………………………………………….. 8
E. Metode Penulisan …. ………………………………………………. 9
F. Sistematika Penulisan ……. ………………………………………… 9
xii
BAB II: GAGASAN SANTA ANGELA MERICI TENTANG PENDIDIKAN
A. Tinjauan Historis ….………………………………………………… 12
1. Autobiografi Santa Angela Merici ………………………………… 12
2. Angela Merici dan Misinya ………………………………………. 15
3. Angela Merici dan Persekutuan Santa Ursula ……………………… 16
B. Subyek Pendidikan Menurut St. Angela Merici ……………….……. 18
1. Anak Didik: Anak Allah …………………………………………… 18
2. Pendidik …………………………………………………………… 19
C. Tuhan Adalah Pendidik Utama ……… ……………………………. 23
D. Tujuan Pendidikan: Perkembangan Pribadi ………...…………… 24
E. Prioritas Pendidikan Angela Merici: Gadis-Gadis ……………….… 26
F. Aspek-Aspek Pendidikan Menurut St. Angela Merici ………………… 27
1. Pembentukan Pribadi ……………………………………………… 27
2. Pembentukan Keluarga ……………………………………………. 27
3. Pembentukan Sikap Sosial yang Terlibat …………………………. 28
4. Membangun Relasi dengan Tuhan ………………………………. 29
G. Sarana Pendidikan ……… ………………………………………….. 30
1. Teladan …………………………………………………………… 30
2. Kegembiraan …………………………………………………….. 30
3. Tanggung Jawab: Sebagai Gembala, Ibu, Hamba ………………. 31
xiii
BAB III. KARYA PENDIDIKAN URSULIN DI INDONESIA
A. Gagasan St. Angela Merici Tentang Pendidikan Menjadi Dasar
Pendidikan Ursulin …………………………………………………. 34
B. Bentuk-Bentuk Pendidikan Ursulin ………….. …………………….. 37
1. Pendidikan Formal ………………………………………………..... 37
2. Pendidikan Nonformal …………………………………………….. 38
C. Faktor-Faktor Pendukung Pendidikan Ursulin ……………….. ……. 40
1. Subyek Pendidikan ………………………………………………… 40
a. Anak Didik ………………………………………………………. 40
b. Pendidik …………………………………………………………. 41
2. Komunitas Pendidikan ……………………………………………… 43
a. Keluarga ………………………………………………………….. 43
b. Sekolah …………………………………………………………… 45
c. Masyarakat ………………………………………………………. 46
3. Proses Pendidikan …………………………………………………. 48
a. Konteks Anak Didik ……………………………………………… 48
b. Pengalaman ……………………………………………………… 49
c. Refleksi …………………………………………………………. 49
d. Aksi …………………………………………………………….. 50
e. Evaluasi …………………………………………………………. 50
4. Sarana Pendidikan ………………………………………………… 52
1). Perbuatan Pendidikan (Software) …………………………….. 53
2). Alat Bantu (Hardware) ……………………………………… 55
xiv
5. Suasana Pendidikan ………………………… ……………………… 56
BAB IV. PERWUJUDAN GAGASAN SANTA ANGELA MERICI
TENTANG PENDIDIKAN DALAM KARYA PENDIDIKAN
URSULIN DI ZAMAN INI
A. Dampak Arus Zaman …………………… …………………………… 57
1. Perkembangan dalam Pelbagai Bidang Kehidupan ……………….. 58
2. Dampak Positif dan Negatif ………………………………………. 1
B. Perwujudan Gagasan St. Angela Merici Tentang Pendidikan dalam
Karya Pendidikan Ursulin di Zaman ini ……………………………. 64
1. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Ursulin ………………………… 64
2. Pembentukan yang Diupayakan dalam Pendidikan Ursulin ……….. 65
a. Pembentukan Pribadi …………………………………………… 65
b. Pembinaan Iman ………………………………………………. 67
c. Pembentukan Keluarga …………………………………………. 68
d. Pembentukan Tanggung Jawab Sosial …………………………… 69
C. Tantangan dan Peluang Pendidikan Ursulin di Zaman ini …………... 70
1. Tantangan …………………………………………………………… 70
a. Situasi Persaingan dan Kerja Sama Global …………………….. 70
b. SDM yang Kurang Memadai …………………………………... 71
c. Kurikulum ………………………………………………………. 72
2. Peluang ……………………………………………………………. 73
a. Pengakuan dan Kepercayaan Pemerintah dan Masyarakat ……... 73
b. Kemajuan Sains dan Teknologi …………………………. 73
xv
c. Sumber Daya Manusia Guru ..………………………………… 76
c. Komunitas Peduli Pendidikan Ursulin ………………………….. 76
d. Penanaman Nilai ………………………………………………. 77
BAB V. PERANAN KATEKESE DALAM USAHA MEWUJUDKAN
TUJUAN PENDIDIKAN URSULIN DI ZAMAN INI
A. Pengertian, Tujuan dan Model Katekese …………… ……………… 76
1. Pengertian …………………………………………………………… 76
2. Tujuan ……………………………………………………………… 77
3. Model – Model Katekese …………………………………………… 78
B. Peranan Katekese dalam Usaha Mewujudkan Tujuan Pendidikan
Ursulin di Zaman ini …………………………………………………. 82
1. Katekese Membantu Perkembangan Anak Didik …………………… 82
2. Katekese Membantu Meningkatkan Relasi dengan Tuhan ………… . 83
3. Katekese Membantu Menumbuhkan Kepekaan Sosial …………….. . 84
4. Katekese Membantu Berkembangnya Komunitas Pendidikan ………. 85
5. Katekese Membantu Pendidik untuk Mencapai Kedewasaan dalam
Iman dan Kepribadian ……………………………………………. 86
C. Model Shared Christian Praxis adalah Model Katekese yang Cocok
untuk Meningkatkan Pemahaman Pendidikan St. Angela Merici dalam
Karya Pendidikan Ursulin di Zaman ini …………………….. .…….. 87
D. Program Katekese sebagai Sarana Mendalami Gagasan Pendidikan
St. Angela Merici dalam Karya Pendidikan Ursulin di Zaman ini … 91
1. Dasar Pemilihan Tema ……………………………………………… 92
xvi
2. Usulan Tema Katekese ……………………………………………… 92
3. Pedoman Pelaksanaan Program Katekese …………………………. 93
4. Susunan Acara Sarasehan …………………………………………… 94
5. Usulan Program Sarasehan bagi Para Pendidik Ursulin …………….. 95
6. Contoh Katekese ……………………………………………………. 98
BAB VI: PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………….. 111
B. Saran ……………………………………………………………………. 115
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 117
LAMPIRAN
Lambang dan Arti SERVIAM …………………………………….. (1)
Mars “Serviam” ………………………………………………………. (2)
Lagu “Angela Doakan Kami ………………………………………….. (3)
Cuplikan Cerita Bergambar “Kisah Tentang St. Angela Merici” ……….. (4)
Kata-Kata St. Angela …………………………………………………… (5)
Lagu “Kembali Ke Yesus Kristus” ……………………………………. (6)
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. SINGKATAN KITAB SUCI
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian
Baru; dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (dipersembahkan kepada Umat Katolik
Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus,
1981/1982. halaman 8.
B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada
para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini,
16 Oktober 1979.
GE : Gravissimum Educationis, Dekrit tentang Pendidikan Katolik, 28 Oktober
1965.
PC : Perfectae Caritatis, Dekrit tentang Pembaharuan dan penyesuaian hidup
religius, 28 Oktober 1965.
VC : Vita Concecrata, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup
Bakti bagi para religius, 25 Maret 1996.
xviii
C. SINGKATAN LAIN
Art : Artikel
CSA : Congregatio Sancti Aloysii
KB : Kelompok Bermain
Konst. : Konstitusi
NTT : Nusa Tenggara Timur
OSU : Ordo Santa Ursula
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
SCP : Shared Christian Praxis
SD : Sekolah Dasar
SDM : Sumber Daya Manusia
SJ : Serikat Yesus
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMK : Sekolah Menengah Kejuruan
SMP : Sekolah Menengah Pertama
ST : Santa
STPM : Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
TK : Taman Kanak-Kanak
UU : Undang-Undang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada yang menyangkal bahwa dunia kita saat ini, berada dalam proses
globalisasi, yang ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
yang canggih. Perkembangan ini di satu pihak merupakan peluang untuk maju dan
berkembang, tapi di lain pihak juga menghadapkan manusia pada budaya baru
seperti adanya perubahan-perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak, cara
menghargai hidup dan kenyataan. Nilai-nilai budaya leluhur yang diwarnai
persaudaraan, komunikasi dan solidaritas dalam keluarga, makin lama makin pudar.
Keluarga sulit berkumpul, karena anggota keluarga sibuk dengan sinetron/film dalam
televisi. Situasi pun mendukung orang untuk semakin individualistis, orang tua sibuk
mencari nafkah, anak dibiarkan dan diperbolehkan memiliki televisi sendiri di
kamar, memiliki handphone. Cara hidup ini juga ikut membentuk anak zaman ini
menjadi sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain. Demikian juga dengan yang
terjadi di masyarakat, di mana-mana terjadi kerusuhan, pembakaran, bentrok dan
aneka kekerasan, ketidakadilan bahkan tawuran antar pelajar sering disaksikan atau
dialami melalui media massa dan pengalaman hidup sehari-hari yang membentuk
kecerdasan emosional seseorang kurang terolah sehingga generasi muda mudah
rapuh dan terpengaruh dalam pengaruh arus zaman ini (Martasudjita, Fenomena,
Edisi IX/2001, hal. 1). Selain itu, terjadi juga perubahan sikap hidup seperti
kemandirian, tanggung jawab, daya kritis, daya juang serta sekian banyak kualitas
2
pribadi yang sudah makin langka di miliki oleh generasi muda di zaman ini. Bertolak
dari kenyataan ini, maka pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan semuanya ini
bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah praktek pendidikan di Indonesia yang
dirasa kurang mendukung untuk diadakannya penanaman nilai-nilai hidup pada anak
didik.
Melihat kompleksitas dan pluralitas problem atau permasalahan yang
mempengaruhi proses pendewasaan diri generasi muda, Gereja sadar bahwa
pendidikan merupakan cara yang efektif untuk membantu dan mengarahkan generasi
muda untuk menjadi pribadi yang dewasa, mandiri, bertanggungjawab atas pilihan
dan masa depan hidupnya. Gereja secara tegas mengungkapkan bahwa generasi
muda merupakan sosok harapan dan tulang punggung Gereja dan masyarakat.
Darminta mengatakan bahwa, ada dua hal dalam hidup yang dapat diberikan oleh
orang tua dan pendidik. Yang pertama: perlu membekali generasi muda dengan
sebuah perangkat tata nilai, agar mampu berdiri tegak dan tak lapuk menghadapi
topan kehidupan serta mampu membedakan realitas dan bayangan, membedakan
mana yang tahan lama dan mana yang hanya sekadar “mode” belaka. Generasi muda
perlu memiliki dasar yang kuat, kokoh dan benar, sehingga mereka memiliki arah
dalam hidup dan mampu mengarungi perjalanan dalam dunia yang begitu cepat
berubah tanpa terperangkap oleh segala bentuk modernitas. Sedangkan hal yang
kedua adalah mengembangkan sayap sebagai dimensi kemerdekaan dalam hidup
yang memampukan generasi muda untuk mengadakan pilihan-pilihan secara
bertanggung jawab atas nilai-nilai (Darminta, 2006: 10-11).
Pendidikan merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia. Apapun
bentuk pendidikan selalu terarah pada pembentukan dan perkembangan manusia.
3
Pendidikan adalah suatu usaha untuk menciptakan kader-kader manusia yang mau
membangun dunia ini dan mampu melihat ke depan dan mengarahkan anak didik
untuk lebih bersikap kritis terhadap situasi yang dialaminya untuk sampai pada
pilihan alternatif menyongsong masa depan. Pendidikan juga membantu anak didik
untuk mampu menyesuaikan diri dengan arus dan pengaruh yang ada (Banawiratma,
1991: 13). Lebih lanjut Driyarkara mengatakan bahwa pendidikan adalah
pemanusiaan manusia muda artinya pendidikan membantu seseorang agar tahu dan
mau bertindak sebagai manusia: membantu seseorang untuk menangkap nilai-nilai
hidup manusia dan mewartakannya (Driyarkara, 1980: 69).
Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah suatu usaha untuk membantu seseorang untuk menangkap nilai-nilai hidup
manusia dan menciptakan kader-kader manusia yang mau membangun dunia dan
mengarahkan seseorang untuk bersikap kritis terhadap situasi yang dialaminya
sehingga mampu menyesuaikan diri dengan arus dan pengaruh yang ada.
Pendidikan merupakan salah satu segi kehidupan manusia yang mendapat
perhatian besar dari Gereja. Gereja memberi perhatian karena pendidikan
mempunyai makna penting bagi kehidupan manusia dalam segala seginya. Di
samping itu, pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas Gereja
sekaligus menjadi medan untuk mewartakan penyelamatan Allah kepada manusia
dan memulihkannya di dalam Kristus. Pada dasarnya tujuan pendidikan mengarah
pada pembentukan manusia pembangun yang utuh dan mengadakan komunikasi
kebudayaan manusia secara kritis yang berpedoman pada Kristus. Mengingat
kenyataan bahwa manusia ditebus oleh Kristus maka sekolah-sekolah Katolik
bercita-cita membentuk dalam diri orang Kristen keutamaan-keutamaan khusus yang
4
memungkinkan dia menghayati hidup baru dalam Kristus dan membantunya
memainkan peranan dengan setia dalam membangun Kerajaan Allah (GE, art. 2).
Santa Angela Merici sebagai pendiri Ordo Santa Ursula menyadari
pendidikan sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia dan mempunyai
dampak besar dalam pembentukan pribadi. Walaupun St. Angela Merici tidak
mendapat kesempatan menikmati pendidikan, namun ia memahami bahwa
pendidikan sangat penting bagi manusia khususnya dalam menghadapi situasi dan
perubahan yang terjadi. Bagi Angela Merici, Pendidikan itu harus memungkinkan
perkembangan pribadi anak didik yang berorientasi pada manusia dan aktivitas
pendidikan harus berpedoman pada intisari pendidikan yakni memanusiakan manusia
(Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 20). Angela Merici adalah tokoh wanita pertama
yang membuka tirai baru dalam sejarah Gereja dengan mendobrak sistem monastik.
Ia mulai menghimpun gadis-gadis pada waktu-waktu tertentu untuk berdoa bersama
dan membekali mereka dengan ajaran iman sebagai kegiatan utama, membaca,
menulis dan menjahit (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 37).
St. Angela Merici sendiri tidak pernah mendapatkan pendidikan secara
formal. Tetapi Angela Merici memiliki kemampuan yang luar biasa dalam hal
pendidikan. Melalui ajaran iman, membaca, menulis, menjahit, Angela mendidik dan
mempersiapkan puteri-puterinya untuk menjalani hidup yang murni dan benar.
Angela Merici ingin agar puteri-puterinya mendapat pengajaran iman, karena hanya
iman yang teguh akan Yesus Kristus mereka tetap kuat dan bertahan dalam
menghadapi tantangan zaman. Selain itu, Angela ingin agar puteri-puterinya
menyadari potensi yang dimiliki agar bisa hidup mandiri, tanggung jawab serta
peduli pada kebutuhan orang lain. Dengan demikian mereka diharapkan mampu
5
menjadi saksi dan terang bagi sesamanya baik dalam keluarga maupun masyarakat
sekitarnya (Marie de Saint Jean Martin, 1946: 60).
Sesuai dengan semangat awal pendiri, Para Suster Ursulin menanggapi
harapan Gereja dengan mendirikan sekolah sebagai kerasulan di bidang pendidikan
yang memberi perhatian besar pada pembentukan hidup religius yaitu penanaman
nilai-nilai Kristiani (Konst. Ordo, art. 96). Salah satu pola pendidikan yang
digunakan adalah pola pendidikan St. Angela Merici sebagai sumber inspirasi
sekaligus menjadi dasar dalam pendidikan Ursulin.
Karya kerasulan pendidikan Ursulin saat ini pada dasarnya menekankan apa
yang telah menjadi cita-cita St. Angela Merici yakni terlibat aktif dalam mewartakan
Injil Tuhan melalui karya pendidikan. Yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan
dalam arti umum, bukan hanya secara formal saja tetapi juga bidang nonformal dan
informal. Hal ini ditekankan dalam Konstitusi Ordo, art. 5:
Misi yang dipercayakan Gereja kepada Ursulin untuk dilakukan adalah karya pendidikan dalam bentuknya yang bermacam ragam demi pewartaan Injil. Ursulin mau mewartakan Yesus Kristus dan setia pada tradisi misioner, meluaskan Kerajaan-Nya sampai ke ujung-ujung bumi supaya Kristus “dikenal, dicintai, dan disembah oleh semua bangsa (Konst. Ordo, art. 5).
Pendidikan yang bermacam ragam tersebut mengarahkan anak didik
untuk memperdalam relasi dengan Tuhan, mencapai kesadaran pribadi yang
bermartabat, tangguh, mandiri, peka terhadap situasi dan mampu terlibat dalam
Gereja dan Masyarakat. Adalah merupakan tanggung jawab kaum religius untuk
menyediakan, dengan perantaraan sekolah-sekolah, apa yang diharapkan Allah dan
Gereja dari karya pelayanan menurut keyakinan iman akan Kristus. Semangat
Serviam (terlampir) yang artinya saya mengabdi dan sikap peduli St. Angela
6
terhadap sekelilingnya sudah seharusnya mewarnai karya pendidikan Ursulin
(Francesco, 2002: 49).
Salah satu cara untuk menghadapi tantangan di era globalisasi ini adalah
kembali kepada visi atau warisan pendiri. Dalam Dekrit Perfectae Caritatis
dikatakan bahwa: “Akan bermanfaat bagi Gereja, bila tarekat-tarekat mempunyai
corak serta perannya yang khas. Maka hendaknya diakui dan dipelihara dengan setia
semangat para Pendiri serta maksud-maksud mereka yang khas” (PC, art. 2). Dalam
hal ini para pengikut Angela hendaknya tetap berusaha untuk menghidupi dan
menjiwai semangat dan kharisma pendiri dalam hidup dan karya pendidikan.
Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan pada umumnya juga mempengaruhi
pendidikan Ursulin. Sebagai suatu gerakan, pendidikan Ursulin harus mulai secara
kritis merefleksikan kembali gagasan-gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan
dan dijadikan inspirasi dalam mempersiapkan generasi muda: nilai-nilai apa saja
yang dibutuhkan generasi muda dan bagaimana nilai itu ditanamkan dalam diri
mereka dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini. Upaya untuk merefleksikan ini
dapat dilakukan melalui katekese. Katekese diharapkan dapat membantu para
pendidik untuk lebih menyadari tugas dan peran yang dilakukan demi perkembangan
anak didik. Adapun model katekese yang dirasa cocok adalah SCP (Shared Christian
Praxis) karena model ini dapat membantu pendidik untuk merefleksikan pengalaman
mereka dalam mendidik, mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam gagasan St.
Angela tentang pendidikan kemudian diharapkan dapat berusaha mewujudkannya
dalam tugasnya sebagai pendidik. Untuk itu sebagai pengikut St. Angela dan sebagai
calon pendidik, penulis tergerak untuk mengkaji lebih jauh usaha para suster Ursulin
untuk mewujudkan gagasan St. Angela dalam karya pendidikan yang dituangkan
7
dalam skripsi dengan judul: USAHA MEWUJUDKAN GAGASAN SANTA
ANGELA MERICI TENTANG PENDIDIKAN DALAM KARYA URSULIN DI
ZAMAN INI MELALUI KATEKESE.
Melalui skripsi ini penulis ingin mengajak para pengelola pendidikan Ursulin
untuk semakin mengenal, memperdalam dan mewujudkan gagasan St. Angela
Merici tentang pendidikan dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini. Dengan
demikian dapat dijadikan inspirasi dalam menjalankan tugas dalam mempersiapkan
generasi muda yang tangguh dan bersedia mengabdi nusa dan bangsa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan pokok yang muncul
dalam penulisan ini adalah “Bagaimana usaha para suster Ursulin menanggapi
keprihatinan dunia pendidikan di zaman ini?” Pertanyaan ini kemudian dirumuskan
dalam pertanyaan penulisan sebagai berikut:
1. Bagaimana usaha mewujudkan gagasan-gagasan St. Angela Merici tentang
Pendidikan dalam karya Ursulin di zaman ini?
2. Bagaimana peranan katekese dalam usaha mewujudkan gagasan-gagasan St.
Angela Merici tentang pendidikan dalam karya Ursulin di zaman ini?
C. Tujuan Penulisan
1. Memaparkan gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan.
2. Memaparkan karya pendidikan Ursulin Indonesia di zaman ini.
8
3. Menggali usaha lembaga pendidikan Ursulin dalam mewujudkan gagasan St.
Angela Merici tentang pendidikan, tantangan dan peluang dalam karya
pendidikan di zaman ini.
4. Menggali peranan katekese dalam usaha mewujudkan gagasan St. Angela
Merici tentang pendidikan dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini.
5. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Strata 1 Program Studi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi Para Pengelola Pendidikan Ursulin
Menjadi salah satu pendorong bagi para pengelola pendidikan Ursulin agar
semakin bersemangat dalam usaha mengenal, memperdalam, menghayati,
dan mewujudkan gagasan St. Angela Merici mengenai pendidikan dalam
karya pendidikan.
2. Bagi Penulis
Membantu penulis untuk semakin memperdalam, menghayati dan
mewujudkan gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan dalam karya
pelayanan yang akan dijalani.
9
3. Bagi Mahasiswa IPPAK
Membantu mahasiswa untuk mengenal gagasan St. Angela Merici tentang
pendidikan dan semakin diperkaya dalam usaha mewartakan Kerajaan Allah
sebagai pendidik dan katekis.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis
berdasarkan apa yang muncul dalam dokumen-dokumen Ordo Santa Ursula yaitu
Konstitusi Ordo St. Ursula dan Kata-Kata St. Angela, mendialogkannya dengan studi
pustaka, menginterpretasikannya dan kemudian mengambil maknanya untuk
meningkatkan penghayatan nilai-nilai hidup dalam karya pendidikan Ursulin di
zaman ini.
F. Sistematika Penulisan
USAHA MEWUJUDKAN GAGASAN SANTA ANGELA MERICI
TENTANG PENDIDIKAN DALAM KARYA URSULIN DI ZAMAN INI
MELALUI KATEKESE adalah judul skripsi yang disusun penulis. Skripsi ini
terbagi menjadi enam bagian yaitu:
Bab I merupakan bagian pendahuluan, dengan menguraikan latar belakang
permasalahan yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini, rumusan permasalahan,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
10
Pada bab II menguraikan gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan
yang terbagi menjadi enam bagian yakni, pertama, tentang tinjauan historis yang
menguraikan tentang autobiografi St. Angela Merici, Angela Merici dan misinya,
dan Angela Merici dan Persekutuan Santa Ursula. Yang ke dua, tentang subyek
pendidikan menurut St. Angela Merici yang membahas tentang anak didik, pendidik,
Yang ke tiga, tentang Tuhan sebagai pendidik utama dalam pendidikan. Yang ke
empat membahas mengenai tujuan pendidikan: perkembangan pribadi anak didik.
Pada bagian ke lima akan menguraikan tentang prioritas pendidikan Angela Merici
yakni bagi gadis-gadis. Selanjutnya, akan diuraikan tentang aspek-aspek pendidikan
Angela Merici yakni pembentukan kepribadian, pembentukan keluarga,
pembentukan sikap sosial yang terlibat dan aspek membangun relasi dengan Tuhan.
Pada bagian akhir dari bab ini akan diuraikan mengenai sarana pendidikan yakni
teladan, kegembiraan, tanggung jawab sebagai gembala, ibu dan hamba.
Bab III menguraikan karya pendidikan Ursulin Indonesia di zaman ini yang
membahas tiga hal yakni, pertama, tentang gagasan St. Angela Merici yang menjadi
dasar pendidikan Ursulin, yang ke dua, tentang bentuk-bentuk pendidikan (formal
dan nonformal dan yang ke tiga membahas tentang faktor-faktor yang mendukung
pendidikan Ursulin yakni subyek pendidikan, komunitas pendidikan (keluarga,
sekolah, dan masyarakat) dan proses pendidikan Ursulin dan sarana pendidikan.
Pada bab IV ini menguraikan perwujudan pendidikan menurut St. Angela
dalam karya pendidikan Ursulin di zaman in. Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian
yakni, tentang dampak arus zaman yang menguraikan tentang pelbagai
perkembangan dalam bidang kehidupan, dampak positif dan negatif dari
perkembangan ini. Selanjutnya, menguraikan perwujudan gagasan St. Angela Merici
11
tentang pendidikan dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini yang terdiri dari
visi, misi dan tujuan pendidikan Ursulin, macam-macam pembentukan yang
diupayakan dalam pendidikan Ursulin dan yang terakhir menguraikan tentang
tantangan dan peluang pendidikan Ursulin di zaman ini.
Salah satu upaya untuk membantu perkembangan anak didik dan untuk
merefleksikan, mendalami dan mewujudkan gagasan St. Angela Merici tentang
pendidikan bagi para pengelola pendidikan Ursulin di zaman ini adalah melalui
katekese. Maka, dalam bab V ini akan diuraikan mengenai peranan katekese dalam
pendidikan Ursulin. Bagian pertama yang diuraikan adalah mengenai pengertian,
tujuan, model dalam katekese. Yang ke dua membahas tentang peranan katekese
dalam usaha membantu perkembangan pribadi anak didik, meningkatkan relasi
dengan Tuhan, membantu menumbuhkan kepekaan sosial, berkembangnya
komunitas pendidikan dan membantu pendidik agar dewasa dalam iman dan
kepribadian. Selanjutnya akan diuraikan mengenai model SCP sebagai model
katekese yang dirasa cocok untuk meningkatkan pemahaman gagasan pendidikan St.
Angela Merici tentang pendidikan, program katekese yang terdiri dari dasar
pemilihan tema, usulan tema katekese, pedoman pelaksanaan program katekese,
susunan acara, usulan program katekese bagi pendidik Ursulin dan contoh katekese.
Bab VI merupakan kesimpulan dari keseluruhan permasalahan skripsi dan
saran yang sebaiknya dilakukan untuk semakin mewujudkan gagasan St. Angela
Merici tentang pendidikan dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini.
12
BAB II
GAGASAN SANTA ANGELA MERICI TENTANG PENDIDIKAN
A. Tinjauan Historis
1. Autobiografi Santa Angela Merici
Angela Merici lahir pada tahun 1474 di Desenzano di tepi danau Garda.
Ayahnya, Giovanni Merici adalah seorang petani, tidak kaya, tetapi cukup terdidik.
Ibunya, Caterina Biancosi tergolong keluarga terpandang di kota kecil Desenzano,
Italia Utara. Kendati cukup terpandang, ibunya tetap menanamkan kesederhanaan
terhadap anak-anaknya. Berbagai keterampilan seperti pelajaran merenda, merajut
dan pekerjaan tangan lainnya diajarkan kepada Angela. Angela dibesarkan dalam
keluarga Kristen sejati. Orang tuanya sangat gigih menjaga keutuhan dan
kesejahteraan keluarga mereka di tengah kemerosotan moral. Mereka selalu berusaha
memberikan teladan dan nasehat yang baik kepada Angela dan adiknya (hingga kini
belum diketahui secara jelas nama adik perempuan Angela ini). Bagi mereka,
teladan merupakan faktor penting dalam pendidikan. Kesalehan orang tua sangat
mempengaruhi penghayatan hidup rohani Angela. Sikap saleh juga ditanamkan
ayahnya melalui cerita tentang para kudus yang diceritakan pada malam hari
menjelang tidur (Luciana Mariani, 2004: 5).
Keharmonisan keluarga, ketenangan dan keindahan alam sekitar sangat
membantu menyuburkan benih panggilan yang ditanamkan Tuhan dalam hati
Angela, sehingga dia memiliki pribadi yang kuat, tidak mudah terjerumus dalam arus
pengaruh-pengaruh negatif di zaman itu. Kebahagiaan Angela bersama keluarganya
13
tidak berlangsung lama. Wabah penyakit menular yang melanda kota Desenzano
memusnahkan keluarganya, sehingga orang tua dan adiknya meninggal dunia.
Angela akhirnya hidup sebagai yatim piatu. Ia kemudian pindah ke rumah pamannya
Biancosi di Salo. Segala sesuatu yang dibutuhkannya selalu terjamin karena
pamannya tergolong kaya. Namun, Angela tetap bersikap sederhana. Ia melakukan
pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukannya sewaktu masih di Desenzano
(Luciana Mariana, 2004: 16-17).
Di Salo, Angela memiliki banyak kesempatan untuk membina persatuan
dengan Tuhan. Kehausan untuk menyambut Komuni Kudus setiap hari
menggerakkan Angela untuk bergabung dengan anggota ordo ke tiga Fransiskan.
Rahmat ini merupakan kesempatan bagi Angela untuk dapat meningkatkan hidup
sederhana, tekun dalam doa, puasa dan matiraga yang menjadi dasar bagi Angela
untuk menjadi saksi kebaikan Tuhan di mana pun dia berada. Hal itu nampak dalam
iman dan sikap Angela yang menaruh perhatian besar kepada orang lain karena cinta,
penghargaannya terhadap setiap pribadi dan keyakinannya yang kuat akan bimbingan
dan kasih Allah (Luciana Mariana, 2004: 19-21).
Pada masa itu emansipasi dan gerakan feminis belum berkembang seperti
zaman ini. Para gadis dan kaum wanita tidak boleh mengambil keputusan untuk
dirinya sendiri. Para gadis sangat tergantung pada kemauan orang tua (masuk biara
atau menikah) dan wanita yang bersuami tergantung pada suami mereka. Angela
memberikan pilihan ke tiga pada para wanita yang tidak mau menikah dan juga tidak
mau masuk biara. Maka Pada tanggal 25 November 1535 dibentuklah suatu
persekutuan bagi para wanita itu di bawah perlindungan Santa Ursula dengan jumlah
anggota 28 orang.
14
Bagi Angela, keluarga adalah titik awal kehidupan bagi seseorang, maka para
wanita yang menjadi anggota persekutuan Santa Ursula dibimbing dan disiapkan
untuk dapat menjadi garam dan terang bagi keluarga. Sikap hidup Angela Merici
yang selalu mendekatkan diri dengan Tuhan dalam doa dan cinta pada sesama,
hidup sederhana dan matiraga, diajarkan kepada para puterinya. Kebersamaan,
kegembiraan dan persatuan di antara para puteri Angela menjadi dasar bagi
berkembangnya persekutuan ini. Angela yakin bahwa persekutuan ini akan
bertumbuh dengan teguh dan berakar dalam masyarakat, sebab persekutuan ini
berasal dari Tuhan. Keyakinan ini tertulis dalam wasiat terakhir kepada para
puterinya yakni “Jika Tuhan sendiri yang menanam persekutuan ini, siapa gerangan
yang dapat mencabutnya?” (Warisan terakhir, art. 8). Hal ini terbukti dengan
semakin bertambahnya jumlah anggota. Pada tahun 1539 jumlah anggota
persekutuan Santa Ursula sudah berjumlah 150 orang. Berkat kontak dengan para
puteri Angela dan pelajaran yang diberikan, banyak orang bertobat bahkan
menyadari keutuhan martabatnya sebagai anak Allah (Sasmita Maria Dolorosa,
1980: 52).
Sadar akan kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk memegang
tugasnya sebagai ibu pembesar umum maka Angela memilih seorang penggantinya
yang memiliki pengalaman memimpin, kedudukan sosial, kecakapan dan kekayaan
yakni Nyonya Lucrezia Lodrone, untuk melanjutkan tugas Angela dalam
membimbing dan mendidik para puterinya. Hari demi hari, kesehatan Angela
semakin mundur, dan pada tanggal 27 Januari 1540 malam, di tempat kediamannya
dekat Gereja St. Afra, Angela menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dan
damai, disaksikan Barbara Fontana, murid yang tinggal bersama Angela. Selama
15
sebulan jenazah Angela dibaringkan di Gereja St. Afra, namun sama sekali tidak ada
tanda-tanda kerusakan (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 56).
Akhirnya, berkat perjuangan para pengikutnya, pada tanggal 30 April 1768
Angela dinyatakan menjadi “Beata”, dan pada tanggal 24 Mei 1807 melalui bulla
“Aeterni Patres Sapientia”, Paus Pius VII menyatakan Angela menjadi “Santa” di
Basilika Vatikan (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 57).
2. Angela Merici dan Misinya
Situasi masyarakat dan Gereja Brescia yang kacau, seperti pendidikan tidak
merata, penyelewengan-penyelewengan dalam Gereja, pertentangan dalam keluarga,
kemerosotan moral, menjadi latar belakang dan titik tolak dari seluruh karya dan misi
Angela Merici. Keadaan tersebut semakin menantang Angela Merici untuk berani
berbuat sesuatu, dengan menunjukkan kepeduliannya dalam usaha mengatasi
permasalahan yang dihadapinya (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 19).
Atas permintaan seorang imam Fransiskan, Angela datang ke Brescia untuk
menghibur Catherine Patengola yang baru saja kehilangan suami dan ke dua anaknya
karena diserang wabah penyakit. Di rumah Patengola, Angela menghibur dan
membimbing Catherine Patengola dan juga menceritakan riwayat para kudus seperti
yang pernah dialaminya waktu kecil kepada Isabel puteri Patengola (Luciana
Mariani, 2004: 33).
Di Brescia, Angela juga diperkenalkan kelompok kerasulan awam yakni
“Perhimpunan Del Divino Amore”. Bentuk kerasulan kelompok ini adalah
menyiapkan rumah untuk menampung para korban wabah, anak-anak yatim piatu,
para pelacur yang berminat untuk memperbaiki hidupnya dan orang-orang yang
16
dipenjarakan maupun dijatuhi hukuman mati. Perhimpunan Del Divino Amore ini
juga mendirikan rumah sakit Incurabili yang diperuntukkan bagi para penderita
penyakit siphilis. Disini Angela bekerja sama dengan Elisabeth Prato untuk
membantu para korban yang mengalami penderitaan fisik dan moral. Gadis-gadis
yang telah terjerumus dalam dunia pelacuran, ditampung dalam sebuah rumah yang
didirikan oleh Divino Amore. Gadis-gadis itu akhirnya menggabungkan diri dalam
karya amal, seperti menolong orang sakit, menampung anak yatim piatu, membantu
orang yang telah terjerumus dalam ajaran sesat (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 27).
Pada waktu-waktu tertentu, Angela mulai menghimpun gadis-gadis untuk
berdoa bersama. Ia membekali mereka dengan ajaran iman sebagai kegiatan utama,
membaca, menulis dan berbagai macam keterampilan (Sasmita Maria Dolorosa,
1980: 37). Dalam hal pendidikan ternyata Angela memiliki kemampuan yang luar
biasa. Pengertian yang mendalam tentang hakekat manusia dan penghargaannya
terhadap setiap pribadi, tampak dalam cara mendidik yang digunakannya. Ia
membimbing mereka dengan penuh perhatian, sabar, gembira dan tidak pernah
memaksa kehendaknya. Kadang dia bersikap tegas, tetapi tidak mengurangi cintanya
kepada mereka. Angela mendidik para gadis dengan teladan, baik dalam tindakan
maupun dalam semangat doa (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 38).
3. Angela Merici dan Persekutuan Santa Ursula
Perang Perancis-Italia mengakibatkan kehancuran fisik serta terabaikannya
nilai moralitas. Angela sangat prihatin akan kehidupan para wanita yang dianggap
sebagai pribadi tak berdaya. Kebutuhan ini mendorong Angela menciptakan sesuatu
yang baru dalam Gereja (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 19).
17
Setelah Angela merasa mantap dengan panggilan hidupnya dan jumlah
puteri-puteri pengikutnya bertambah banyak, maka pada tanggal 25 November 1535
secara resmi Angela mendirikan persekutuan yang diberi nama “Persekutuan Santa
Ursula”, dengan jumlah anggota 28 orang. Acara dimulai dengan perayaan Ekaristi
bersama, kemudian secara bergiliran, mereka membubuhkan tanda tangan dalam
“Buku Persekutuan” (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 40).
Persekutuan ini diberi nama “Persekutuan Santa Ursula”. Angela memilih
“Santa Ursula” sebagai pelindung persekutuan karena Santa Ursula adalah seorang
perawan martir yang pada zaman itu menjadi orang yang diidolakan hampir di
seluruh Eropa dan Angela sangat mengagumi sikap hidup Santa Ursula yang berani
membela keperawanannya demi Tuhan di tengah-tengah dunia dan mampu
membawa banyak gadis untuk membaktikan diri kepada Tuhan. Angela melihat ada
kesamaan tujuan antara kehidupan persekutuan yang dibentuknya dengan kehidupan
para martir, yang dipanggil untuk membaktikan diri kepada Tuhan di tengah-tengah
keramaian dan kesibukan dunia. Agar para pengikutnya tetap setia akan martabat dan
cita-cita mereka yang luhur yaitu menjadi pengantin yang setia dari Putera Allah,
Angela memilih Santa Ursula sebagai lambang dan pelindung bagi Persekutuan yang
didirikannya (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 40).
Persekutuan yang didirikan Angela mengambil bentuk yang tidak lazim pada
zaman itu, bahkan sesuatu yang baru sama sekali. Hanya kepekaan Angela terhadap
kebutuhan masyarakat pada zaman itu serta kepekaannya menanggapi kehendak
Tuhan, memungkinkan semuanya terjadi. Ada dua hal yang membuat Angela
menghendaki cara seperti itu yakni:
18
Pertama, Banyak gadis muda yang merasa terpanggil untuk membaktikan diri pada
Tuhan dalam biara, namun banyak yang tidak dapat menanggapi panggilan luhur
tersebut karena tidak cukup emas kawin sebagai persyaratan masuk biara (Teresa
Ledochowska, 1967: 166). Bagi Angela, yang paling penting adalah
memperjuangkan hak-hak Allah atas pribadi manusia dan tidak cukup hanya
membangun suatu lembaga yang semata-mata bertujuan mengurangi kemiskinan
atau penderitaan yang ada di tengah masyarakat (Luciana Mariani, 2004: 83).
Alasan ke dua, Angela berpedoman bahwa suatu masyarakat akan menjadi baik
kalau keluarga-keluarga baik. Dengan demikian, puteri-puteri yang dibimbing
Angela tetap tinggal di rumah mereka masing-masing, berada di tengah-tengah
keluarga dan tetangga sekitarnya. Dengan cara ini, mereka diharapkan dapat menjadi
garam dan cahaya kecil yang membawa terang dalam kegelapan bagi kehidupan
masyarakat (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 44).
B. Subyek Pendidikan Menurut Santa Angela Merici
1. Anak Didik: Anak-Anak Allah
Bagi St. Angela Merici, pendidikan harus memungkinkan perkembangan
pribadi anak didik yang berorientasi pada manusia. Anak didik adalah pribadi ciptaan
Allah yang sempurna dan berharga. Untuk itu pendidik senantiasa mengarahkan
mereka pada kepenuhan anak-anak Allah. Hal ini dengan jelas dan tegas Angela
katakan dalam nasehatnya yang ke-8, “Cintailah semua puteri-puteri anda tanpa pilih
kasih, karena mereka semua adalah anak Allah” (Nasehat 8, art.1-2).
19
Penghargaan terhadap anak-anak Allah harus nyata dalam usaha untuk
mengenal, memahami dan mencintai setiap pribadi anak didik. “Perhatikanlah dan
bersungguh-sungguhlah mengerti dan memahami tingkah laku puteri-puteri anda.
Hendaknya anda mengetahui seluk beluk kebutuhan mereka baik yang rohani
maupun jasmani” (Nasehat 6, art. 1).
Anak didik sebagai subyek pendidikan adalah titipan Allah yang perlu
ditanamkan kesadaran akan pemberian Allah dan mengembalikan pada kemuliaan
Allah (Nasehat 8, art. 8–9).
2. Pendidik
Angela Merici menyadari bahwa menjadi seorang pendidik adalah suatu
rahmat yang diberikan Tuhan. Menjadi seorang pendidik berarti, bersedia
mengabdikan hidupnya demi kemuliaan Allah dan kebahagiaan jiwa-jiwa. Untuk
menjalankan tugas ini, para pendidik harus memiliki dasar hidup dalam dirinya.
Dasar hidup inilah yang menjadi kekuatan dalam menjalankan tugasnya sebagai
pendidik.
a. Dasar Seorang Pendidik
1). Iman dan Penyerahan kepada Tuhan
Iman merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu Allah yang nyata
dalam seluruh hidup dan penghayatan Angela Merici. Angela dalam seluruh
hidupnya hadir sebagai orang beriman secara mendalam. Hidupnya dipenuhi dengan
penyangkalan diri, doa yang rutin dan matiraga. Ia menyerahkan seluruh pergulatan
hidupnya pada kaki Salib dan ia selalu yakin dan percaya akan kasih dan penyertaan
20
Tuhan. Penghayatan Angela ini dengan jelas dinasehatkan kepada para pengikutnya
dalam Prakata Nasehat, art. 15 -16:
Yakinlah, percayalah sebulat-bulatnya bahwa Allah akan membantu anda dalam segala hal, berdoalah kepada-Nya dengan rendah hati percayakan dirimu kepada kekuasaan-Nya yang Maha Besar. Jangan ragu-ragu Dialah yang telah memilih anda untuk tugas yang berat ini, Dia jugalah yang memberi kekuatan untuk menyelesaikannya; asalkan dari pihak anda, anda tidak mengecewakan Dia (Prakata Nasehat, art.15 -16).
Bagi Angela, seorang pendidik harus hidup atas dasar iman
ataupun penyerahan diri. Angela mengharapkan agar para pendidik dapat menjadi
pribadi yang selalu yakin akan kehadiran Allah dalam tugas mulianya (Prakata
Nasehat, art.18).
2). Panggilan Khusus
Menjadi pendidik adalah suatu panggilan. Itu berarti seorang pendidik
mengemban suatu tugas yang agung dan mulia. Hal tersebut ditegaskan Angela
Merici dalam Prakata Nasehatnya:
Tak ada tugas yang lebih mulia daripada menjadi seorang pembimbing dari anak-anak Allah. Maka camkanlah penghargaan yang harus anda berikan kepada mereka, semakin anda menghargai mereka, semakin anda mencintai mereka; semakin anda mencintai mereka, semakin besar kesanggupan anda untuk melayani mereka dan melindungi mereka (Prakata Nasehat, art. 8-10).
Seorang pendidik diharapkan harus menyadari bahwa tugasnya merupakan
panggilan khusus yang mulia dari Allah. Penghayatan panggilan tersebut harus
dilandasi cinta dalam karya yang menjadi kekuatan untuk melayani dan membimbing
anak didik yang dipercayakan. Dalam proses pendidikan seringkali anak didik
membutuhkan perhatian dalam bentuk pujian, teguran, hukuman dan lain sebagainya.
Dalam hal ini pendidik harus pandai dan peka akan hal-hal yang dilakukannya.
21
Hendaknya semua dilakukan berdasarkan cinta dan demi perkembangan anak didik
(Nasehat 2, art. 2).
b. Sikap Seorang Pendidik
1). Ramah
Keramahan dan kelembutan adalah ciri khas pribadi Angela. Kekhasan ini
diungkapkan dalam nasehatnya yang ke dua:
Bersikaplah ramah dan lemah lembut bila menghadapi putri-putri anda. Bila memperingatkan mereka, menasehati mereka, mendorong mereka berbuat baik dan menjauhkannya dari yang jahat, hendaklah anda terdorong hanya karena cinta kepada Allah dan kepada sesama. Dengan kelembutan dan keramahan anda akan lebih berhasil daripada dengan celaan ataupun kata-kata keras. Yang terakhir ini hanya digunakan bila benar-benar perlu pada saat dan tempat yang tepat dengan mempertimbangkan pribadi yang dihadapi. Bila menghadapi seorang yang lemah, takut dan mudah kecil hati, hiburlah dia, berikan kepadanya semangat baru, dan yakinlah dia akan kebaikan Allah (Nasehat 2, art. 1-8).
Sikap ramah dan lembut terhadap anak didik dimotivasi oleh cinta Allah dan
cinta sesama, artinya bahwa pendidik akan berusaha untuk selalu dekat dengan
Tuhan dan dalam mendidik, pendidik akan tahu saat yang tepat untuk
memperingatkan, menasehati, mendorong atau menjauhkan anak didik dari tindakan
yang salah. Angela sendiri tidak melarang kata-kata atau celaan yang keras. Kadang-
kadang tindakan atau teguran yang tegas mungkin diperlukan, mengingat sifat alami
manusia yang ingin memberontak, tetapi tetap memperhatikan waktu dan tempat.
Hal itu harus ditentukan dengan penuh pertimbangan dan doa, begitu pula
kepribadian orang yang terlibat. “Untuk segala sesuatu ada masanya … ada waktu
untuk menyembuhkan, ada waktu untuk menghancurkan, ada waktu untuk
22
membangun… ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara (Pkh 3: 3-
7).
2). Menghargai Keunikan Pribadi
Setiap pribadi membutuhkan pemahaman dan penghargaan akan pribadi
dengan segala keunikannya. Dengan mengenal dan menghargai anak didik,
pendidikan atau bimbingan akan lebih nyata dan menyentuh setiap pribadi. Dengan
tegas dan jelas Angela mengatakan bahwa:
Kemudian saya mohon kepada anda supaya memperhatikan puteri-puteri anda, dengan mengenangkan mereka masing-masing sedalam-dalamnya di hati dan pikiran anda, bukan hanya nama mereka, melainkan latar belakang dan kepribadian mereka, dan setiap hal mengenai mereka. Ini tidak sukar apabila anda meliputi mereka dengan cinta sejati, anda dapat melihat bahwa ibu-ibu, meskipun mereka mempunyai seribu anak masih sanggup mengenangkan masing-masing di antara mereka dalam hatinya, karena demikian kerjanya cinta (Warisan 2, art. 1-6).
Angela merasa betapa penting seorang pendidik mengenal dan memahami
setiap anak didik yang dipercayakan kepadanya. Angela menggambarkan anak didik
sebagai sebuah ukiran yang diukir dalam diri para pendidik. Pendidik hendaknya
mengukir setiap sifat sekecil-kecilnya yang mungkin ada pada setiap anak didik di
dalam hati dan pikiran pendidik. Angela meneguhkan para pendidik bahwa tugas ini
bukanlah sesuatu yang sulit apabila setiap pendidik memiliki cinta yang sejati, cinta
yang murni yang sungguh mencerminkan pendekatan yang penuh kehangatan
kepada anak didik. Untuk itu, setiap anak didik hendaknya dilayani dan masing-
masing pribadi hendaknya dimengerti dan dicintai seperti adanya, yang mampu
membangkitkan kepercayaan yang tulus dari anak, bila ia melihat bahwa cinta yang
diberikan kepadanya tanpa syarat (Prakata Nasehat, art. 11).
23
3). Tanggap Terhadap Kebutuhan Anak Didik
Suatu proses pendidikan akan lebih berhasil dan tepat guna apabila
disesuaikan dengan kebutuhan anak didik. Hal ini sudah ditegaskan oleh Angela
dalam nasehatnya yang ke empat: “Kembangkanlah perhatian anda, kepekaan anda
dalam usaha mengerti dan memahami tingkah laku puteri-puteri anda, hendaknya
anda mengetahui seluk beluk kebutuhan mereka baik yang rohani maupun yang
jasmani (Nasehat 4, art.1).
Menanggapi kebutuhan setiap anak didik, para pendidik diharapkan agar
sungguh mengenal dan memahami kelebihan dan kelemahan setiap anak didik.
Setiap pribadi mempunyai kebutuhan yang berbeda, karena itu pendidik hendaknya
memiliki kepekaan yang tajam dalam melihat dan memenuhi kebutuhan setiap anak
didik tanpa pilih kasih.
C. Tuhan adalah Pendidik Utama
Menjadi seorang pendidik adalah merupakan tugas panggilan yang
dipercayakan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, para pendidik harus sadar
bahwa dirinya adalah alat, yang atas kehendak Tuhan turut serta membentuk jiwa
manusia. Jadi pendidik dalam melaksanakan tugasnya bukanlah semata-mata karena
kemampuannya melainkan terjadi atas penyelenggaraan Ilahi. Angela mengatakan
bahwa Tuhan adalah pendidik utama. Dia tahu secara tepat apa yang Dia inginkan
dari mereka. Berkaitan dengan ini, St. Angela Merici menasehatkan:
24
Cintailah semua puteri-puteri anda tanpa pilih kasih karena mereka semuanya Anak Allah dan anda tidak tahu apa yang Dia rencanakan bagi mereka. Bagaimana anda tahu bahwa mereka yang bagi anda tidak berharga dan tidak menarik justru sangat berbesar hati dan sangat berkenan bagi Allah yang Maha Agung? Janganlah berhenti memelihara pohon anggur yang telah dipercayakan kepadamu. Setelah itu serahkanlah selebihnya dalam tangan Tuhan supaya Dia berbuat mukjizat-Nya pada saat yang terbaik menurut Dia (Nasehat 8, art. 1-9).
Nasehat di atas mau menekankan bahwa pendidik hanyalah utusan,
sedangkan yang menjadi pendidik utama adalah Tuhan sendiri. Anak didik yang
didampingi adalah anak Allah. Kita tidak tahu rencana Allah terhadap puteri-puteri-
Nya karena itu, pendidik harus menghargai setiap pribadi dan mengangkat
martabatnya sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dan berharga. Penampilan
seseorang tidak bisa diukur berdasarkan penampilan lahiriah saja, melainkan harus
berusaha mengenal, memahami dan membimbingnya.
Dalam tugasnya, pendidik harus menimba pengetahuan dari Allah sendiri
yang dihayati sebagai guru sejati, segala pengetahuan dan kebijaksanaan berasal dari
Tuhan.
D. Tujuan Pendidikan: Perkembangan Pribadi
Bagi Santa Angela, pendidikan harus memungkinkan perkembangan pribadi
yang berorientasi pada manusia dengan tujuan utamanya ialah perkembangan pribadi
yang utuh, yang mencakup segi spiritualitas, kepribadian, keterampilan dan kepekaan
sosial. Pendidikan merupakan bagian terpenting bagi setiap orang dan merupakan
proses sejarah manusia, di mana anak didik mendapat kesempatan untuk
25
mengembangkan bakat dan profesinya: bertumbuh menjadi manusia yang lebih
manusiawi (Konst. Ordo, art. 103).
Manusia dilihat dari kepentingan pendidikan memiliki beberapa prinsip
yakni: manusia memiliki sejarah yang mampu melakukan self reflection untuk
melihat atau merenungkan kembali pengalaman masa lalu sehingga dapat
menemukan gagasan-gagasan baru untuk masa yang akan datang. Manusia juga
harus dipandang sebagai pribadi yang memiliki kemerdekaan dan pengertian yang
perlu dicintai dan mencintai sehingga bisa saling memperkaya. Manusia diharapkan
untuk selalu saling membutuhkan yang terungkap dalam bentuk sosialisasi dengan
sesamanya dan perlu sadar serta memahami bahwa ada hubungan dengan alam
sekitar. Dengan demikian manusia diarahkan untuk berusaha keras dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, dan dapat membantu manusia menjadi diri sendiri sebagai
pribadi. Manusia juga dapat mendidik diri untuk mandiri, bertanggung jawab
sehingga menghantar manusia untuk menyadari adanya Yang Transendental yakni
menjalin hubungan dengan Tuhan Sang Pencipta (Waidl, 2000: 22-23).
St. Angela Merici dalam warisannya menegaskan bahwa anak didik perlu
diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri secara menyeluruh. Hal itu
dilakukan dengan mengembangkan secara seimbang baik aspek jasmani dan rohani,
antara segi kepribadian, keterampilan dan segi iman anak didik. Dalam menghadapi
anak didik yang tidak mampu, pendidik harus sadar dan memahami keterbatasan
tiap-tiap individu. Setiap individu harus dihargai dan dicintai (Warisan 3, art. 1).
26
E. Prioritas Pendidikan Angela Merici: Gadis-Gadis
Angela Merici hidup dalam situasi zaman yang tidak menguntungkan,
terutama menyangkut kedudukan wanita pada umumnya. Kaum wanita tidak
mendapatkan kesempatan untuk belajar terutama dalam mendapatkan pendidikan
formal. Hanya kaum pria saja dan mereka yang memiliki status sosial “bangsawan”
yang boleh mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan. Sementara itu, kaum
wanita juga harus menanggung beban akibat perang yang diwarnai dengan
kemerosotan moral. Seorang wanita yang hidup wadat di luar biara tanpa
perlindungan seorang wali, akan dianggap hina dalam masyarakat. Oleh sebab itu,
bagi kaum wanita hanya ada dua kemungkinan, menikah dan aman dalam
perlindungan suami atau hidup membiara dan aman dalam tembok-tembok biara
(Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 25).
Hal ini menjadi titik tolak prioritas pendidikan Angela Merici yakni bagi para
gadis, agar mampu mengangkat derajat dan martabat sebagai citra Allah. Para gadis
ini dibekali dengan segala macam keterampilan, pengetahuan dan pengalaman-
pengalaman yang dapat menyadarkan mereka sebagai pribadi yang bermartabat dan
mampu mengembangkan diri. Selain itu, mereka diajak untuk peka terhadap situasi,
mengenali dan bertindak atas dasar suara hatinya. Para gadis tersebut juga
dipersiapkan menjadi ibu rumah tangga di kemudian hari. Usaha itu dilaksanakan
lebih-lebih secara pribadi dengan pantauan yang penuh cinta. Pembekalan calon ibu
ini dianggap penting karena pengaruh ibu dalam keluarga ataupun masyarakat sangat
dominan. Seorang ibu menentukan dasar pembentukan watak anak di kemudian hari.
Selain itu pendidikan bagi para gadis berorientasi untuk mempersiapkan para gadis
27
menjadi anggota masyarakat yang baik, dan terlibat dalam Gereja serta memiliki
relasi yang dalam dengan Tuhan (Sasmita Maria Dolorosa, 1980: 44).
F. Aspek-Aspek Pendidikan Menurut St. Angela Merici
1. Pembentukan Pribadi
Angela Merici selalu menekankan agar pendidikan harus memungkinkan
perkembangan pribadi anak didik. Dalam nasehat yang ke dua St. Angela Merici
menulis dengan jelas bahwa dalam mendidik, hendaknya dilakukan berdasarkan
dorongan cinta pada Tuhan dan sesama. Pertimbangan pribadi menjadi sangat
penting dalam membantu pembentukan pribadi anak didik. Angela Merici
menasehatkan bila menghadapi anak didik yang lemah, takut, dan mudah kecil hati,
para pendidik hendaklah menghibur dan memberi semangat dan kekuatan baru, yakin
bahwa Allah pasti akan membantu. Bila menghadapi anak didik yang menganggap
diri tinggi, lebih besar, lebih pandai, pendidik harus berani memberi nasehat dengan
penuh cinta (Nasehat 2, art. 8).
2. Pembentukan Keluarga
Pembentukan pribadi seseorang tidaklah terlepas dari pembentukan dalam
keluarga, sebab ada kesinambungan antara keduanya. Pendidikan Angela Merici
adalah pendidikan yang mengusahakan sedapat mungkin menjadi teladan bagi orang-
orang yang ada disekitarnya. Perlunya pembentukan keluarga muncul karena pola
kesadaran akan hidup yang harmonis semakin rawan dan memudar. Kebutuhan dan
keprihatinan ini telah menjiwai Angela Merici dalam mempersiapkan diri
28
menanggapi panggilan Tuhan untuk mendirikan persekutuan. Ia menuntun, membina
dan mendukung para gadis ke arah karya suci yang penuh kasih agar mereka di mana
saja, khususnya di tengah-tengah keluarga, menjadi terang yang menghalau
kegelapan. Angela Merici memiliki sikap yang demikian karena pendidikan yang ia
rasakan dalam keluarga sangat bermanfaat. Pendidikan yang dilandasi cinta, saling
percaya ini sangat membantu Angela Merici dalam perjuangan selanjutnya (Luciana
Mariani, 2004: 88).
3. Pembentukan Sikap Sosial yang Terlibat
Manusia dan masyarakat merupakan dua hal yang saling melengkapi dan
merupakan salah satu dimensi yang fundamental dalam kehidupan manusia selaku
makhluk sosial. Dalam kebersamaan, mereka saling mendukung untuk maju dan
berkembang, dan kemajuan manusia tersebut bukanlah merupakan hasil seseorang
atau pribadi namun merupakan hasil kerja sama antar manusia. Pendidikan
diharapkan dapat mengarahkan anak didik menuju sikap pribadi yang matang dengan
menyadari pentingnya keterlibatan sebagai perwujudan dimensi sosial pribadinya.
Pendidikan harus menjadi bagian dari pembentukan sikap sosial yang membentuk
anak didik untuk lebih peka dan peduli pada sesamanya. Hal ini juga membentuk
anak didik untuk tidak mementingkan diri sendiri tetapi bersedia mengabdi
(serviam) pada keluarga, Gereja dan masyarakat. Angela Merici mempersiapkan para
puterinya dengan melibatkan mereka dalam karya-karya sosial dan mengarahkan
mereka untuk menyadari tugas dan tanggung jawabnya terhadap orang yang
29
membutuhkan bantuan dan bimbingan mereka (Marie de Saint Jean Martin, 1946:
99).
4. Membangun Relasi Dengan Tuhan
Salah satu ciri Pendidikan menurut Santa Angela adalah mengarahkan segala-
galanya pada penemuan kehendak Allah. Penemuan kehendak Allah akan tercapai
apabila ada keterbukaan hati dari setiap pribadi. Peristiwa atau pengalaman yang
dialami, diolah, direnungkan, direfleksikan dan diterima sebagai rahmat: Allah
mempunyai kehendak yang baik dalam setiap peristiwa. Keutamaan ini tidak terlepas
dari seluruh pengalaman hidup Angela Merici yang selalu menyandarkan diri pada
Tuhan satu-satunya sumber kekuatan dalam hidup. Angela sendiri menuliskan,
“Langkah Anda yang pertama senantiasa kembali ke Yesus Kristus”. Angela Merici
menyerahkan hidupnya untuk melayani dan mengantar orang pada Tuhan (Warisan
terakhir, art. 3).
Dalam usaha membangun relasi dengan Tuhan, Angela Merici menempatkan
Tuhan sebagai pendidik utama dan tujuan utama dari seluruh proses pendidikan.
Pendidikan mengarahkan anak didik untuk semakin dekat dengan Tuhan, mengenal
Tuhan melalui dirinya, sesama serta alam ciptaan dan semakin mampu mensyukuri
kasih karunia yang telah diterimanya.
30
G. Sarana Pendidikan
1. Teladan
Keberhasilan pendidikan tidak terlepas dari perjuangan para pendidik, dalam
memberikan teladan dan sikap hidup kepada anak didik. Pendidik diharapkan mampu
memberi ciri khas Kristiani, yang bukan semata-mata menjalankan tugasnya
berdasarkan profesi saja, tetapi juga perlu menyadari bahwa mereka bekerja dalam
usaha pembentukan jiwa manusia. Dalam melaksanakan tugas itu mereka perlu
memiliki dasar kehidupan religius yang kuat, kerendahan hati, kegembiraan dan
disiplin dalam diri. Dengan demikian anak didik terbantu meneladan sikap hidup
mereka. Angela Merici menegaskan dalam nasehatnya ke enam:
Bagi anda hiduplah sedemikian rupa hingga anda menjadi contoh bagi mereka; apa yang anda ingin mereka lakukan, lakukanlah sendiri itu lebih dahulu. Maka, berusahalah memimpin dan mendorong mereka dengan contoh anda sendiri sehingga mereka hidup lebih baik (Nasehat 6, art. 1-2).
Di sini dikatakan bahwa tindakan lebih penting daripada kata-kata. Kalau hal
ini benar-benar terwujud, maka tercipta iklim kepercayaan anak didik terhadap
pendidik, karena apa yang dikatakan oleh pendidik, itu juga yang dilakukan sehingga
anak didik dapat mengikuti dan meneladani apa yang dikatakan dan dilakukan oleh
pendidik.
2. Kegembiraan
Kegembiraan merupakan suatu rahmat yang mampu memberi semangat
kepada setiap orang yang dijumpai. Bagi Angela, suasana kegembiraan ini
31
merupakan sarana bagi anak didik untuk mampu menerima setiap bentuk pendidikan.
Kegembiraan ini membutuhkan suasana bathin dan sikap hati seorang pendidik
dalam mendidik yang memungkinkan terciptanya rasa nyaman bagi anak didik.
Untuk sarana ini Angela Merici menasehati para pendidik dalam prakata nasehatnya
yang ke-12, “Jangan sampai tugas ini menjadi suatu beban tetapi sebaliknya
berterima kasihlah kepada Allah dengan sepenuh hati, karena Dia telah berkenan
memilih anda, untuk membaktikan seluruh diri anda, untuk memelihara dan menjaga
harta miliki-Nya” (Prakata Nasehat, art.12). Kalimat ini mau mengatakan kepada
para pendidik untuk menyadari rahmat yang diberikan Tuhan dan bersyukur atas
panggilan menjadi pendidik.
3. Tanggung jawab: Sebagai Gembala, Ibu, Hamba
Berkaitan dengan panggilan sebagai pendidik, St. Angela Merici mengajak
para pendidik melalui warisannya yang ke-10: “Saya mohon dengan segenap hati
seperti gembala-gembala yang siaga, waspadalah dan lindungilah dengan hati-hati,
kawanan yang dipercayakan pada anda” (Warisan 10, art. 1-2). Sebagai seorang
gembala menurut Angela Merici peranannya adalah waspada dan melindungi anak
didik yang telah dipercayakan kepadanya, pendidik menjaga anak didik dari hasutan-
hasutan yang menyesatkan dan menyimpang dari gereja. Seorang gembala selalu
mengenal domba yang digembalakannya dan melindunginya dari ancaman-ancaman
hewan buas. Sebagai seorang gembala pendidik mengenal anak didiknya dengan
penuh cinta kasih, melindungi dari ancaman zaman yang penuh kesulitan ini.
Pendidik menjaga anak didik dalam dunia yang sulit: “Akulah gembala yang baik
dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama
32
seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-
Ku bagi domba-domba-Ku (Yohanes 10: 14-15).
Pendidik sebagai gembala harus meneladani Yesus Kristus, Sang Gembala
yang baik. Dalam usahanya tersebut pendidik haruslah senantiasa mohon kekuatan
dan bantuan dari Yesus Kristus. Dengan demikian sesuatu yang dilakukannya
sungguh sesuai dengan harapan anak didik yakni memperjuangkan demi kebahagiaan
anak didik yang dipercayakan kepadanya. Berkaitan dengan pendidik sebagai Ibu,
Angela Merici menegaskan bahwa “Memang pantas dan layak bahwa seorang ibu
menjadi contoh dan cermin hidup bagi puteri-puteri mereka, terutama dalam
kesederhanaan, tingkah laku dan sopan santun” (Nasehat 6, art. 8).
Bagi Angela Merici, seorang ibu adalah sosok yang penuh kelembutan,
perhatian dan cinta, setia dalam setiap tugas yang kecil maupun besar yang pantas
menjadi contoh dan cermin hidup bagi puteri-puteri mereka, terutama dalam
kesederhanaan, tingkah laku dan sopan santun.
Tugas pendidikan harus disadari pendidik sebagai panggilan dari Tuhan
untuk membahagiakan anak didik. Pendidik mewujudkan apa yang dikehendaki
Allah semata-mata demi kesejahteraan anak didiknya. Yesus dalam hidupnya disebut
sebagai hamba Tuhan yang dipilih dan diutus untuk menyembuhkan orang yang sakit
kusta, menghibur yang susah (Mat 12: 15b-21). Demikian juga, pendidik sebagai
hamba haruslah meneladani Yesus Kristus yang dalam hidup-Nya mengabdi pada
kehendak Tuhan dan menghayati diri-Nya sebagai hamba Allah. Angela Merici
dalam prakata nasehatnya mengatakan bahwa: “Anggaplah dirimu pembantu dan
hamba dan sadarilah bahwa kebutuhan anda untuk melayani puteri-puteri anda lebih
33
besar daripada kebutuhan mereka untuk dibantu dan dibimbing oleh anda” (Prakata
Nasehat, art. 13)..
Segala sesuatu yang telah dilakukan hendaknya senantiasa kembali ditujukan
demi kemuliaan Allah. Peranan pendidik sebagai seorang hamba penting dihayati,
dalam rangka mengantar anak didik untuk belajar rendah hati, saling membantu,
menolong dan merelakan diri untuk dikritik demi perkembangan pribadinya. Yang
menjadi dasar utama dan yang menggerakkan pendidik untuk mewujudkan sarana-
sarana pendidikan tersebut di atas adalah cinta kasih. Cinta kasihlah yang mendorong
hati dan kehendak pendidik untuk melakukan tugasnya hanya demi kemuliaan Allah
dan kebahagiaan anak didik.
34
BAB III
KARYA PENDIDIKAN URSULIN DI INDONESIA
A. Gagasan Santa Angela Merici tentang Pendidikan menjadi Dasar
Pendidikan Ursulin
St. Angela Merici mendirikan Persekutuan Santa Ursula pada tahun 1535 di
Brescia, Italia dengan tujuan menyehatkan keadaan masyarakat yang bobrok waktu
itu. Ia lalu mengumpulkan sejumlah gadis yang mempunyai keprihatinan yang sama
dengan mendidik dan mempersiapkan mereka untuk menangani berbagai masalah
dalam lingkungannya. Usaha St. Angela Merici ini terus berkembang sampai di bumi
pertiwi Indonesia hingga abad 21 ini. Meski zaman dan kebutuhan berbeda, tetapi
gagasan St. Angela tentang pendidikan masih dijadikan dasar dalam karya
pendidikan. Dan dalam melakukan kiprahnya dalam bidang pendidikan, Ursulin
berpedoman teguh pada semboyan Serviam yang berarti “Saya Mengabdi”.
Semboyan inilah yang kemudian menjadi karakter khas sekolah-sekolah Ursulin di
seluruh penjuru dunia (Francesco, 2002: 49).
Karya pendidikan Ursulin di zaman ini pada dasarnya menekankan apa yang
sudah menjadi cita-cita St. Angela Merici yakni ikut terlibat aktif dalam mewartakan
Injil Tuhan dengan mendidik dan mempersiapkan generasi muda untuk dapat
mewujudkan citranya sebagai generasi muda yang aktif dan bertanggung jawab bagi
generasinya. Hal ini ditekankan juga dalam Konstitusi Ordo, art. 5 yakni:
Misi yang dipercayakan Gereja kepada Ursulin untuk dilakukan atas namanya, adalah karya pendidikan dalam bentuknya yang bermacam ragam
35
demi pewartaan Injil. Ursulin mau mewartakan Yesus Kristus dan setia pada tradisi misioner, meluaskan Kerajaan-Nya sampai ke ujung-ujung bumi supaya Kristus dikenal, dicintai, dan disembah oleh semua bangsa (Konst. Ordo, art. 5).
Karya pendidikan yang dikelola para suster Ursulin ini berada di
bawah beberapa yayasan pendidikan yang pengelolaannya tidak tergantung dari
yayasan pusat. Yayasan-yayasan ini berusaha berdiri sendiri, agar bisa dengan bebas
mengelola dan mengembangkan pendidikan sesuai dengan keadaan dan situasi
setempat. Adapun yayasan-yayasan yang dibentuk oleh suster-suster Ursulin untuk
mengelola karya pendidikan, antara lain:
1. Yayasan Adi Bhakti: Jl. Otto Iskandardinata 76 Jakarta Timur. Yayasan ini
mengelola: KB, TK, SD, SMP, Panti Asuhan Vincentius Puteri dan Panti
Asuhan Pondok Damai Kampung Sawah, Bekasi.
2. Yayasan Ananta Bhakti: Jl. H. Agus. Salim 75 Jakarta Pusat. Yayasan ini
mengelola: TK, SD, SMP, SMA, SMK St. Theresia dan TK, SD St. Angela
Atambua-Timor serta 1 unit asrama puteri Timika - Papua.
3. Yayasan Nitya Bhakti: Jl. Ir. H. Juanda 29 Jakarta Pusat. Yayasan ini
mengelola: KB, TK, SD, SMP, SMK, dan 1 unit asrama Santa Maria Juanda.
4. Yayasan Satya Bhakti: Jl. Pos 2 Jakarta Pusat. Yayasan ini mengelola:
TK, SD, SMP, SMA St. Ursula I; KB, TK, SD, SMP, SMA St. Ursula II;
kursus Bahasa Inggris yang bertempat di Jln. Pos 2 dan kursus keterampilan
di Sunter Jakarta Utara. Yayasan ini juga mengelola: SMP, SMA Theodorus
Kotamobagu, 1 unit Asrama St. Angela Kotamobagu dan rumah retret
Sukabumi.
36
5. Yayasan Widya Bhakti: Jl. Merdeka 24 Bandung. Yayasan ini mengelola: TK,
SD, SMP, dan SMA St. Angela.
6. Yayasan Winaya Bhakti: Jl. Adisucipto Solo. Yayasan ini mengelola: SMP,
SMA Regina Pacis Solo dan TK, SD, SMP Maria Asumpta Klaten.
7. Yayasan Dhira Bhakti : Jl. Suprapto 55 Malang. Yayasan ini mengelola: TK,
SD, SMP, SMA, SMK dan 2 unit asrama puteri Cor Jesu.
8. Yayasan Paratha Bhakti : Jl. Raya Darmo 49 Surabaya. Yayasan ini
mengelola: TK, SD, SMP, SMA Santa Maria I; KB, TK, SD, SMP Santa
Maria II; SMP St. Yusuf Pacet-Mojokerto dan Rumah Retret Pacet-
Mojokerto.
9. Yayasan Nusa Taruni Bhakti: Jl. Wirajaya 3 Ende. Yayasan ini mengelola
sekolah-sekolah dan asrama yang ada di daerah Flores Seperti di Ende: SD,
SMP, STPM dan 2 unit asrama St. Ursula. Di Ruteng: mengelola 2 unit
asrama St. Angela, di Borong mengelola 1 unit asrama Bintang Laut Borong
di Labuan Bajo mengelola TK Stella Maris.
10. Yayasan Prasama Bhakti: Jl. Supratman 1 Bandung. Yayasan ini mengelola:
KB, TK, SD St. Ursula, SMP Providentia, dan 2 unit asrama mahasiswi
(Pondok Angela Yogyakarta dan Providentia Bandung).
11. Yayasan Yuwati Bhakti: Jl. Suryakencana 43 Sukabumi. Yayasan ini
mengelola: TK, SD dan SMP Yuwati Bhakti.
12. Yayasan Taruni Bhakti: Jl. Ahmad Yani 7 Madiun. Yayasan ini mengelola:
TK, SD, SMP St. Bernadus dan 1 unit asrama.
37
B. Bentuk-Bentuk Pendidikan
Berdasarkan bentuk pengelolaan pendidikan, pendidikan dibagi menjadi 3
bagian yakni pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal
(Tanlain, 1996: 43). Dari ke tiga bentuk pendidikan tersebut, bentuk pendidikan yang
dikelola Ursulin adalah pendidikan formal dan nonformal (Konst. Ordo, art. 5).
1. Pendidikan Formal
Pendidikan formal yang dikenal dengan pendidikan sekolah ialah pendidikan
yang diperoleh seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, berjenjang, dan
dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat mulai dari Taman Kanak-Kanak
sampai dengan Perguruan Tinggi (Tanlain, 1996: 43).
Yang menjadi formator utama di sekolah adalah pendidik. Misi utama profesi
pendidik adalah mengembangkan aspek kognitif yang membentuk anak didik
menjadi orang yang pandai yang mampu menguasai ilmu dan teknologi serta
informasi. Pada tataran pendidikan formal, tidak hanya menekankan aspek kognitif
tetapi juga harus ada sentuhan afektif dan arahan motorik. Aspek afektif dalam
pendidikan formal disentuh sejauh berkaitan dengan sikap konkret anak didik dalam
menerima dan menyerap ilmu. Sedangkan pelajaran-pelajaran yang berkaitan
langsung dengan aspek afektif, juga diberikan, tetapi itu lebih bersifat teoritis dan
selalu tidak luput dari tuntutan formal pendidikan, seperti beban kurikulum.
Sementara itu, aspek psikomotorik lebih diarahkan untuk mendukung proses
perkembangan psikologis anak didik (Kewuel, Educare. No. 03/III/Juni 2006: 20).
38
Berdasarkan data statistik yang dibuat Komdik Ursulin, usaha yang dilakukan
dalam pendidikan formal dimulai dari Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak,
Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas,
Sekolah Menengah Kejuruan, dan Perguruan Tinggi. Karya ini tersebar di seluruh
pelosok tanah air Indonesia yakni di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Sukabumi,
Bandung, Klaten, Solo, Madiun, Malang, Surabaya); NTT (Atambua, Ende, Labuan
Bajo); dan Sulawesi (Kotamobagu).
Secara kuantitas jumlah sekolah yang dikelola oleh Ursulin adalah sebagai
berikut:
NO. TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH
1. Kelompok Bermain 5
2. Taman Kanak-Kanak 13
3. Sekolah Dasar 15
4. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 17
5. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 8
6. Sekolah Menengah Kejuruan 3
7. Perguruan Tinggi 1
2. Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah pendidikan yang diperoleh secara teratur,
terarah, disengaja, tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat. Pendidikan
nonformal bersifat fungsional dan praktis yang bertujuan meningkatkan kemampuan
39
dan keterampilan kerja anak didik yang berguna bagi usaha perbaikan taraf hidup
mereka (Tanlain, 1996: 43).
Pendidikan nonformal juga merupakan pendidikan orang dewasa yang
berorientasi praktis demi pengembangan masyarakat yang mempunyai logika dan
metode tersendiri. Untuk itu memerlukan pengetahuan dan keterampilan mengelola
usaha keterampilan, kemantapan berorganisasi, kesempatan-kesempatan berkembang
yang memadai, tersedianya informasi dan tercukupinya penunjang-penunjang lain
(Ambroise, 1987: 2).
Pada tataran pendidikan nonformal, tekanan utama terletak pada aspek
psikomotorik. Ini berarti masyarakat melalui lembaga-lembaga kursus dan pelatihan
memikul tanggung jawab untuk menjadikan anak didik profesional di bidangnya,
sesuai dengan kemampuan yang sudah dibina baik di sekolah maupun di rumah
(Kewuel, Educare. No. 03/III/Juni 2006: 20).
Ursulin dalam karya pendidikan nonformal, pada awalnya diadakan untuk
membantu orang-orang miskin yang tidak mampu menikmati pendidikan formal.
Usaha yang dilakukan adalah dengan mengadakan kursus-kursus keterampilan
seperti menjahit, menyulam, membuat kue, pijat refleksi dan kursus kecantikan.
Seiring dengan perkembangan zaman karya ini makin lama makin merosot jumlah
peserta yang berminat bahkan di beberapa tempat karya ini terpaksa ditutup. Saat ini
kursus keterampilan yang masih dikembangkan adalah kursus menjahit dan pijat
refleksi di Sunter Jakarta Utara. Pendidikan nonformal lainnya adalah dengan
mengadakan asrama-asrama dengan tujuan utamanya adalah untuk memberi tempat
penampungan bagi anak-anak yang berasal dari luar daerah. Karya ini, hingga kini
masih terus bertahan dan berkembang. Berdasarkan data yang dibuat Komdik,
40
pendidikan nonformal yang dikelola Ursulin adalah asrama-asrama yang ada di
beberapa tempat seperti di Ruteng, Borong, dan Ende-Flores (masing-masing terdiri
dari 2 unit), Timika, Atambua, Malang, Solo, Madiun, Yogyakarta, Bandung,
Kotamobagu dan Juanda-Jakarta (masing-masing 1 unit). Selain kursus keterampilan
dan asrama-asrama, Ursulin juga megelola beberapa panti asuhan yakni panti asuhan
(Pondok Damai Kampung Sawah, Vincentius Putri Bidaracina dan St. Angela
Amurang Sulawesi). Karya pendidikan nonformal lainnya adalah kursus Bahasa
Inggris di daerah Ruteng Flores dan Jln. Pos 2 Jakarta (masing-masing 1 unit).
Secara kuantitas, jumlah karya pendidikan nonformal di Indonesia adalah
sebagai berikut:
NO. JENIS KEGIATAN JUMLAH
1. Asrama 11 unit
2. Kursus Bahasa Inggris 2 unit
3. Kursus Keterampilan 1 unit
4. Panti Asuhan 3 unit
C. Faktor-Faktor Pendukung Pendidikan Ursulin
1. Subyek Pendidikan
a. Anak Didik
Pendidikan selalu berhadapan dengan anak didik. Tanpa anak didik
pelaksanaan pendidikan tidak dapat berjalan. Anak didik oleh Tanlain (1989: 33)
41
dikatakan sebagai orang yang belum dewasa yang masih membutuhkan bimbingan
dari orang yang lebih dewasa. Setiap anak didik dikatakan sebagai individu yang
unik, karena masing-masing individu memiliki potensi-potensi yang berbeda satu
sama lain, namun saling melengkapi dan berharga (Seto, 2000: 86).
Anak didik juga dikatakan sebagai manusia dalam perjalanan menuju
kemanusiaannya (Driyakara, 1980: 79). Anak didik, dalam arti umum, setiap orang
yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan
kegiatan pendidikan. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Ordo bahwa setiap orang
yang dijumpai dalam tugas kerasulan harus dihargai dan dibantu agar melalui
hubungan pribadi memungkinkan pendidik mengerti dan menolong mereka dengan
menghormati panggilan Allah bagi hidup mereka. Apapun bentuk karya
pendidikan, Ursulin berusaha mengarahkan anak didik untuk mencapai
perkembangan sejati dan utuh pribadi manusia untuk mampu bekerja dengan aktif
bagi pembangunan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi (Konst. Ordo, art.
96 dan 103).
b. Pendidik
Dalam kamus Bahasa Indonesia (1989: 204) dikatakan bahwa pendidik
adalah orang yang mendidik. Mendidik adalah usaha membantu seseorang untuk
dapat menyadari adanya nilai-nilai dalam hidup, mendalaminya, memahami
hakekatnya, peranan dan kegunaannya bagi hidup bersama (Mardiatmadja, 1989:
21). Yang bertanggung jawab untuk mendidik adalah setiap orang dewasa yang
ada dalam masyarakat. Di dalam masyarakat orang yang berpribadi dewasa
mempunyai tanggung jawab tertentu terhadap orang yang belum dewasa. Dilihat
42
dari status kodrati, orang tualah yang berperan sebagai pendidik. Sedangkan dari
status sosial, orang dewasa yang ada di masyarakat di luar lingkungan keluarga
seperti guru, konselor, pemimpin agama, pemimpin organisasi (Tanlain, 1996: 29).
Ursulin yang berkarya di bidang pendidikan juga memaknai pendidik sebagai
orang yang bertanggung jawab untuk memanusiakan manusia yakni anak didik.
Sebagai pengikut St. Angela Merici, seorang pendidik hendaknya mempunyai
hasrat dan keinginan yang besar untuk membaktikan seluruh diri dalam usaha
memelihara dan menjaga harta milik Tuhan (Prakata Nasehat, art. 12). Hal ini
ditegaskan dalam visi pendidikan Ursulin, yakni membawa anak didiknya pada
suatu keutuhan manusia, dewasa, religius, peka terhadap lingkungan, sehingga
anak didiknya mampu mengembangkan diri dan berpartisipasi membangun
masyarakat sesuai peran mereka (Francesco, 2003:19).
Sebagai pendidik diharapkan untuk memiliki kemampuan dan keterampilan
untuk mendidik, mengajar, mendampingi, memiliki wawasan yang luas maupun
kreativitasnya. Singkatnya pendidik diharapkan memiliki kualitas sebagai
pendidik. Untuk menjadi pendidik yang berkualitas diharapkan memiliki SDM
yang memadai. Peningkatan SDM akan terjadi kalau ada kemauan dan keterbukaan
dari pendidik untuk terus menerus belajar.
Untuk meningkatkan SDM para pendidik, lembaga pendidikan Ursulin
berusaha agar para guru diarahkan dan diikutsertakan dalam berbagai seminar,
kursus dan pelatihan serta studi banding ke sekolah lain baik di dalam maupun
luar negeri. Selain itu untuk mengetahui kualifikasi sebagai seorang pendidik
diusahakan adanya test kompetensi bagi para pendidik Ursulin (Francesco, 2002:
56).
43
2. Komunitas Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 455) dikatakan bahwa
komunitas adalah suatu tempat di mana orang bisa berinteraksi satu sama lain.
Komunitas pendidikan adalah tempat di mana terjadinya proses pendidikan. Proses
itu tidak berhenti pada satu jenjang tertentu, tetapi berlangsung seumur hidup. Agar
pendidikan dapat dimiliki sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing
individu perlu ada yang harus bertanggung jawab. Dalam hal ini yang bertanggung
jawab dalam pendidikan seorang anak adalah orang dewasa yang ada dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat (Suwarso, 1982: 65). Penulis akan memaparkan
tanggung jawab dari ke tiga komunitas pendidikan tersebut dalam proses pendidikan
seseorang.
a. Komunitas Keluarga
Keluarga adalah komunitas pendidikan yang berstatus kodrati karena orang
tualah yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka. Karena
statusnya ini, maka orang tua adalah pendidik utama dan pertama bagi seorang
anak. Di dalam keluarga pendidikan dilakukan secara informal. Pendidikan yang
diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting bagi
perkembangan pribadi seorang anak. Orang tualah yang harus berperan untuk
membesarkan, merawat, memelihara, menjadi guru, mengajarkan ketangkasan
motorik, menanamkan dasar pendidikan moril melalui contoh-contoh konkret
dalam perbuatan hidup sehari-hari, menjamin kehidupan emosional dalam hal
kasih sayang dan rasa aman bagi seorang anak. Orang tua juga memberikan
pendidikan iman, pendidikan sosial seperti gotong royong, menolong saudara yang
44
sakit, bersama-sama menjaga ketertiban, kedamaian, kerukunan, kebersihan yang
memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak (Suwarso,
1982: 66-67).
Memang harus diakui, bahwa di zaman ini, anak tidak hanya diasuh oleh
orang tua. Ada kecenderungan bahwa orang tua “menyerahkan” perannya dalam
mendidik anak kepada orang lain seperti baby sitter, pembantu rumah tangga
ataupun kerabat dekat yang bisa dipercaya. Meskipun tugas mengasuh dan
mendidik anak tidak sepenuhnya dijalankan secara langsung oleh orang tua,
tanggung jawab akan pendidikan anak tetap terletak di tangan orang tua. Orang
tualah yang “mengupayakan dan mengatur segala sesuatu “agar anak tumbuh
menjadi pribadi yang mandiri dan berguna dalam hidup bermasyarakat (Sumargi,
2005: 48).
Keluarga adalah basis tumbuh-kembang seorang anak didik. Jelas fenomena
ini dipengaruhi oleh pola asuh orang tua karena merekalah sumber belajar utama
dan pertama bagi seorang anak. Perlakuan orang tua terhadap anak akan sangat
mempengaruhi pembentukan karakter kepribadian anak itu, karena itu
menanamkan nilai-nilai kemandirian, inisiatif membantu orang lain, harus
dilakukan sejak kecil (Francesco, 2002: 22).
Pendidikan dalam keluarga menekankan nilai-nilai kekeluargaan, budaya
keluarga, nilai-nilai keagamaan dan kekerabatan. Orang tua dan seluruh anggota
keluarga menjadi sumber belajar pertama dan utama dalam kehidupan anak.
Metode penyampaiannya pun penuh kekeluargaan dan ikatan persaudaraan yang
kuat (Widyatmoko, Educare. No. 13/III/Juni 2006: 36).
45
b. Komunitas Sekolah
Sekolah atau lembaga pendidikan adalah komunitas pendidikan yang ke dua
yang sering dimintai bantuan oleh orang tua untuk mendidik anak-anaknya.
Apabila dilihat prosesnya, dapat dibayangkan bahwa para orang tua, ketika
“menitipkan” anak-anaknya ke sekolah tertentu, mereka menaruh harapan agar
anak-anaknya “dididik” mengenai berbagai hal.
Sekolah merupakan lembaga sosial formal yang didirikan berdasarkan UU
negara sebagai tempat/lingkungan pendidikan. Di dalam kehidupan bersekolah
anak meneruskan pendidikan yang sudah diterima olehnya dalam keluarga dan
berusaha mengembangkan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi pandangan hidup bangsa-bangsa (Tanlain,
1996: 41).
Peran utama komunitas sekolah bagi seorang anak adalah mengembangkan
kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan. Sebagai komunitas yang
berspesialisasi di bidang pendidikan dan pengajaran, pelaksanaan pendidikan akan
lebih efisien karena sekolah dapat membantu orang tua untuk mendidik anak-
anaknya di saat orang tua sibuk dengan pekerjaan. Sekolah juga membantu anak
untuk belajar bersosialisasi dengan orang lain dan memberi kesempatan untuk
melatih hidup mandiri dan bertanggung jawab sebagai persiapan sebelum terjun ke
masyarakat (Suwarso, 1982: 71).
Sekolah-sekolah harus menciptakan suasana yang kondusif dan harus
merupakan tempat orang dipercayai, dihormati dan diperhatikan, tempat bakat
alamiah dan kemampuan kreatif seseorang diakui dan disanjung, tempat
sumbangan tiap-tiap orang dan keberhasilan dihargai, tempat setiap orang
46
diperlakukan secara jujur dan adil, tempat semua orang ditantang, didorong dan
didukung untuk mencapai perkembangan pribadi yang utuh, bantu membantu dan
bekerja sama dengan bersemangat dan bermurah hati, guna menyatakan secara
konkret lewat kata dan tindakan cita-cita yang dituntut kepada anak didik (Drost,
2001: 5).
c. Komunitas Masyarakat
Jika pendidikan dalam keluarga mempunyai peranan penting di dalam
menanamkan dasar pendidikan moril dan agama sedangkan peranan sekolah
terutama dalam mengembangkan kecerdasan dan menyampaikan pengetahuan
maka peranan masyarakat ini terutama di dalam mengembangkan segi sosial dalam
mengembangkan pribadi seorang anak. Melalui masyarakat berkembanglah
kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan di dalam pergaulan dengan sesama dan
sikap yang tepat di dalam hubungan antar manusia (Suwarso, 1982: 76). Dalam
komunitas masyarakat, seorang anak akan banyak belajar melalui pengalaman
konkret, misalkan bagaimana anak yang tinggal di kota besar belajar untuk bisa
mengerti keadaan masyarakat yang tinggal di desa dan tempat yang miskin. Zaman
ini, kadang anak didik tidak dapat mengerti keadaan masyarakat secara benar
karena terasing dalam sekolah. Cukup banyak anak didik tidak mengerti apa yang
terjadi dengan masyarakat yang tinggal di desa dan di tempat yang miskin. Untuk
lebih menghargai dan memahami orang miskin, anak didik perlu diadakan
program live-in. Dengan live-in bersama dengan masyarakat terlebih yang situasi
ekonominya lain, dapat membuka mata dan kesadaran anak didik akan adanya
warga yang punya situasi lain. Yang perlu dipertimbangkan adalah tempat yang
47
akan digunakan untuk live-in. Tempat itu harus sungguh dapat memberikan banyak
pengalaman kepada anak didik dalam melatih kepekaan dan kecintaan kepada
masyarakat lain (Suparno, 1999: 38).
St. Angela Merici selalu menekankan pada prinsip kebersamaan, solidaritas
dan kepedulian terhadap orang lain. Salah satu nilai kehidupan yang diperlukan
bagi anak didik untuk mampu hidup berdampingan dengan orang lain di masa
yang akan datang, adalah kemampuan untuk mempedulikan sesamanya. Karena
kapanpun dan dimanapun anak didik nantinya akan hidup bersama orang lain, dia
akan belajar dari orang lain, namun juga dapat menolong orang lain. Hidup di sini
adalah hidup yang peduli, hidup yang memperhatikan sesama, bukan hidup untuk
diri sendiri. Inilah peran komunitas masyarakat yang diharapkan dapat membantu
anak didik untuk menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya (Eklas,
Educare. No.04/III/Juli 2006: 30).
Dalam beberapa sekolah Ursulin maupun asrama Ursulin diusahakan
beberapa kegiatan yang mendukung yang mengantar anak didik untuk bisa belajar
memaknai nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Anak-anak diarahkan untuk
memiliki kepedulian dan merasakan apa yang diperjuangkan masyarakat di
sekitarnya. Sebagai remaja yang hidup di kota besar, Ursulin menyadari bahwa
anak didik hidup dalam terpaan nilai-nilai kota besar yang cenderung
mengutamakan individualisme, konsumerisme, dan hedonisme. Itulah sebabnya
sekolah-sekolah Ursulin khususnya yang berada di kota-kota besar berusaha
menanamkan nilai-nilai seperti hidup beriman yang sehat, kemandirian, kerja
sama, kesederhanaan, kerja keras, kepedulian dan penghargaan terhadap sesama.
Program Live-in expore misalnya selalu diadakan setiap tahun oleh beberapa
48
sekolah Ursulin di daerah Danan-Wonogiri, Gunung Kidul, dan daerah Bantul
Pasca Gempa tanggal 27 Mei 2006 yang lalu (Francesco, 2002: 50-51).
Akhirnya, dapat dikatakan bahwa keluarga, sekolah dan masyarakat
merupakan tempat belajar seorang anak menuju dewasa. Namun dari ketiganya,
yang menjadi fondasi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak baik dari segi
afektif, kognitif dan psikomotorik adalah pendidikan keluarga. Diharapkan ke tiga
komunitas ini dapat menjadi satu kesatuan yang harus saling mengisi dan
menopang satu sama lain.
3. Proses Pendidikan
Salah satu syarat suksesnya sebuah sekolah adalah kemampuan sumber daya
manusianya untuk selalu melakukan evaluasi dan refleksi terhadap pelaksanaan
program kegiatan sekolah. Paulo Freire mengatakan bahwa Pendidikan mendorong
manusia untuk bertindak. Setiap aksi atau tindakannya, direfleksikan sehingga
muncul gagasan untuk dikembangkan dalam tindakan selanjutnya. Dengan begitu,
manusia senantiasa belajar mengenali realitas dirinya yang unik dan realitas dunia
yang bisa dipelajari, dunia yang sangat indah dan menarik untuk dihuni, dijaga dan
dilindungi kelestariannya. Bila manusia sudah mencapai tahapan aksi dan refleksi,
dapat dikatakan dia terus menerus belajar mengenali realitas dirinya dan realitas
sosial yang dibangun bersama dalam keberagaman (Freire, 1985: 125).
Ada 5 langkah besar dalam proses pendidikan adalah:
a. Konteks Anak Didik
Konteks hidup ini meliputi konteks nyata dari kehidupan anak didik yang
mencakup keluarga, kelompok baya, keadaan sosial, lembaga pendidikan dan
49
pengajaran, politik, ekonomi, suasana kebudayaan, keadaan Gereja, media, musik
dan kenyataan-kenyataan hidup lain. Konteks lain adalah lingkungan kelembagaan
dari sekolah atau pusat belajar yaitu pengertian-pengertian yang dibawa seorang anak
didik ketika memulai proses belajar, pendapat-pendapat dan pemahaman-
pemahaman yang mereka peroleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup
mereka (Drost, 2001: 5-7).
b. Pengalaman
Dari konteks di atas, langkah selanjutnya adalah melihat pengalaman, dengan
merancang segala kegiatan yang menyentuh pemahaman kognitif maupun unsur
afektif yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dari pengalaman,
orang dapat merasakan reaksi atas fakta itu. Untuk melibatkan anak didik lebih
mendalam dalam pengalaman belajar sebagai kegiatan manusiawi, anak didik
ditantang dengan rangsangan terhadap imajinasi dan indera mereka agar dapat
dengan sungguh-sungguh memasuki kenyataan yang sedang dipelajari. Situasi
historis, nilai-nilai masa kini, faktor-faktor kebudayaan, sosial, politik dan ekonomi
yang mempengaruhi kehidupan orang harus diperhitungkan (Drost, 2001: 7-9).
c. Refleksi
Refleksi adalah suatu proses yang menonjolkan makna pengalaman
manusiawi dengan memahami lebih baik kebenaran yang dipelajari, mengerti
sumber-sumber perasaan dan reaksi yang dialami dalam renungan, memperdalam
pemahaman tentang implikasi-implikasi dari yang ditangkap bagi dirinya dan bagi
orang lain, mendapatkan pengertian pribadi tentang kejadian-kejadian, ide-ide,
50
kebenaran atau pemutarbalikkan kebenaran dan memulai mengerti siapa dirinya kini
dan bagaimana seharusnya sikap yang harus dilakukan terhadap orang lain. Kalau
keadaan mengizinkan, refleksi harus diperluas sehingga anak didik dan para pendidik
dapat saling berbagi refleksi. Berbagi refleksi dapat memperkuat, menantang,
mendorong, menyimak kembali dan akhirnya memberi lebih banyak kepastian
bahwa apa yang akan dilaksanakan (sendiri atau bersama) lebih menyeluruh dan
lebih cocok dengan apa yang dimaksud dengan menjadi orang demi sesama (Drost,
2001: 9-10).
d. Aksi
Istilah aksi mengacu kepada pertumbuhan batin manusia berdasarkan
pengalaman yang telah direfleksikan, dan mengacu pada yang ditampilkan. Aksi ini
mencakup dua langkah yakni pertama, pilihan-pilihan dalam batin. Makna yang
ditangkap dan dinilai mengedepankan pilihan yang harus diambil dan ini bisa dalam
bentuk makin jelasnya prioritas-prioritas dalam hidup anak didik. Langkah yang ke
dua, pilihan yang dinyatakan secara lahir. Makna-makna hidup, sikap dan nilai-nilai
yang telah dimiliki akan mendorong anak didik untuk berbuat sesuatu yang konsisten
dengan keyakinannya yang baru (Drost, 2001: 11-12).
e. Evaluasi
Menurut pedagogi Ignatian, evaluasi tidak hanya mencakup kemajuan
akademis saja. Perhatian lebih ditujukan kepada pertumbuhan anak didik secara
menyeluruh sebagai pribadi demi sesama. Ada pelbagai cara untuk menilai
perkembangan menyeluruh. Yang harus diperhitungkan adalah umur, bakat,
51
kemampuan dan tingkat perkembangan dari masing-masing anak didik. Suasana
percaya mempercayai dan harga menghargai antara anak didik dan pendidik harus
dipertahankan, karena menentukan suasana diskusi tentang pertumbuhan. Penilaian
ini dapat menjadi saat yang sangat baik bagi pendidik untuk mengucapkan selamat
dan memberi semangat kepada anak didik karena kemajuannya. Juga merupakan
kesempatan untuk mendorongnya mengadakan refleksi. Lebih lanjut, karena
kekurangan-kekurangan dalam diri anak didik, pendidik dapat mendorong
penyimakkan kembali. Misalnya, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
bijaksana, mengusulkan sudut-sudut pandangan tambahan, memberikan informasi
yang dibutuhkan, dan mengajak memandang masalah dari sudut pandang yang lain
(Drost, 2001: 13).
Sejak awal, anak didik Ursulin sudah diperkenalkan dengan refleksi, aksi, dan
evaluasi melalui serangkaian pelatihan pengayaan diri seperti Reading and Writing,
Jurnalistik, Komunikasi dengan Orang Tua, Penemuan Jati Diri, Pemecahan
Masalah, Pemahaman Seksualitas, dan Pemahaman Gender. Dari hasil pelatihan
Reading and Writing, lahirlah beberapa buku seperti Potret-Potret Tak Berbingkai:
Studi Kasus Tentang Perempuan Pekerja Sektor Informal Jakarta (1992), Orang-
Orang Malam: Studi Tentang Perempuan Jakarta (1994), Mereka Bicara Tentang
Perempuan (1997). Buku ini dibuat oleh para siswi kelas I SMU St. Ursula, Jakarta.
Dalam buku itu dimuat hasil pengamatan, analisa dan refleksi para anak didik.
Sebagai contoh, dalam buku Potret-Potret Tak Berbingkai, salah satu kelompok yang
mengikuti pelatihan itu, menuliskan kisah pertemuannya dengan seorang pelacur
remaja bernama Ani, di Taman Monas, Jakarta. Ani – drop out dari sebuah SMK di
Jakarta – mengaku terdampar di Monas karena broken home. Selain itu, Ani pun
52
punya keinginan terpendam. “Lihat orang lain cakep, kita juga kepingin cakep,”
katanya. Misalnya saja, ketika sedang trend sepatu Spotec, Ani terus merongrong
ibunya untuk membelikan sepatu Spotec sehingga ibunya marah. Akhirnya ia
mengambil jalan pintas “jual diri” di Monas untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Dari kisah pertemuan mereka dengan Ani, para murid lalu
menuliskan hasil analisa dan refleksinya. Ternyata, para remaja berusia muda ini
mampu melakukan analisa yang cukup tajam, seperti yang dituangkan berikut ini:
sebelum kami berdialog dengan para pelacur, kami “memoles” kehidupan mereka
dengan warna hitam putih. Namun sekarang, rasa simpatilah yang muncul. Sebagai
pelajar, sebaiknya kita tidak terlalu memikirkan mode, atau iri melihat orang lain
yang lebih keren. Hal itu mendorong kita memaksakan diri untuk memenuhi
keinginan tersebut, walau kita harus melakukan hal-hal yang menyakitkan dan
merugikan kita. Jika sedang mengalami kesulitan, lari dari kenyataan dan mudah
putus asa (Francesco, 2002: 129 - 131).
Pengalaman di atas mendatangkan sebuah kesadaran baru dalam diri anak
didik, misalnya tentang pengaruh materi dalam kehidupan seseorang. Di sini sekolah
berusaha memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengalami peristiwa
sehari-hari anak didik. Dari pengalaman itulah, anak didik belajar tentang
masyarakat, yang amat berguna untuk proses pendewasaan diri.
4. Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan merupakan suatu perbuatan atau situasi yang dengan
sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan (Langveld, 1989: 52).
53
Ditinjau dari segi wujudnya, sarana pendidikan terdiri dari dua yakni perbuatan
pendidik yang sering disebut software dan benda-benda sebagai alat bantu yang
sering disebut hardware (Tanlain, 1989: 52).
a. Perbuatan Pendidik (Software)
1). Teladan
Teladan adalah tindakan pendidik yang disengaja untuk ditiru oleh anak
didik. Teladan merupakan sarana pendidikan yang utama, sebab keteladanan terkait
erat dalam pergaulan dan berlangsung secara wajar (Tanlain, 1989: 55-55). Dalam
pendidikan Ursulin, sarana pendidikan ini merupakan gagasan St. Angela yang harus
diperhatikan oleh seorang pendidik. Bagi St. Angela, teladan dan kesaksian hidup
merupakan hal yang penting. Tidak ada gunanya mengajarkan suatu kebajikan jika
dari pihak pendidik tidak ada usaha untuk menghayati kebajikan itu. Seorang
pendidik harus menjadi “cermin” bagi yang dididiknya (Nasehat 6, art. 1-6).
2). Disiplin
Kedisiplinan merupakan kekhasan dalam pendidikan Ursulin. Untuk
mencapai tujuan pendidikan, semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan
baik sebagai pendidik maupun anak didik perlu mengembangkan kedisiplinan dalam
diri. Sejak dini, anak didik perlu dilatih untuk berdisiplin. Yang dimaksudkan
dengan berdisiplin adalah menanamkan kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik.
Dengan disiplin, hidup seseorang akan teratur dan produktif. Sebagai contoh, jika
terbiasa membuat rencana dalam hidup dan mengatur waktu dengan baik, seseorang
akan dapat melakukan banyak hal (Francesco, 2000: 89).
54
3). Tegas
Merupakan buah dari cinta kasih dan keinginan untuk menciptakan suasana
yang kondusif. Ketegasan ini diperlukan untuk pengembangan disiplin diri, yang
dapat mengembangkan kekuatan, kemampuan manusiawi dan kebebasan masing-
masing. Angela menegaskan bahwa:
“Saya tidak mengatakan bahwa kadang-kadang Anda tidak bersikap tegas, bahkan bersikap ketat dalam beberapa hal, pada tempat dan saatnya, itu semua tergantung pada pentingnya masalah, keadaan dan kebutuhan pribadi yang bersangkutan. Dalam hal itupun seharusnya hanya digerakkan oleh kasih sayang dan cinta akan sesama” (Warisan 3, art. 13-15).
Angela menginginkan agar pembinaan hati nurani seseorang perlu
diimbangi dengan ketegasan-ketegasan, bukan kekerasan dan kebencian. Sikap yang
tegas ini harus keluar dari hati yang lembut. Dengan kelembutan, ketegasan akan
dirasakan sebagai sarana yang mendorong diri untuk terus maju dan berjuang.
4). Semangat “Serviam”
Semboyan “serviam” yang artinya saya mengabdi merupakan karakter khas
sekolah-sekolah Ursulin di seluruh dunia. Dengan semangat serviam seorang
pendidik akan mengutamakan kepentingan mereka yang dididiknya. Dia akan tekun,
semangat dan kreatif dalam mencari cara dan sarana yang terbaik untuk mencapai
tujuannya yaitu semata-mata demi kebaikan mereka yang dibimbingnya. Untuk hal
ini, Angela menasehatkan bahwa:
“Bertindaklah, majulah, percayalah, berusahalah, yakinlah, berserulah kepada-Nya dengan segenap hati Anda. Anda tentu akan menyaksikan hal-hal yang mengagumkan bila Anda mengarahkan segalanya demi kemuliaan Allah dan kebahagiaan jiwa-jiwa” (Prakata Nasehat, art. 17-18).
55
Semangat “serviam” menggerakkan pendidik untuk dapat meluangkan
waktu, tenaga dan kemampuan demi anak didik yang dipercayakan dan mampu
mengarahkan anak didik untuk memiliki semangat “Serviam” sehingga lebih peduli
pada sesamanya.
5). Gembira
Sadar akan rahmat Allah yang diberikan, seorang pendidik diharapkan
mensyukuri dan menghayati panggilannya dengan kebahagiaan dan syukur. St.
Angela menegaskan bahwa “Jangan sampai tugas ini menjadi suatu beban bagimu,
tetapi sebaliknya berterima kasihlah kepada Allah dengan sepenuh hati, karena Dia
telah berkenan memilih Anda, untuk membaktikan seluruh diri Anda, untuk
memelihara dan menjaga harta milik-Nya (Prakata Nasehat, art. 12). Kegembiraan
adalah tanda bahwa seseorang melakukan pekerjaannya dengan bebas.
b. Alat Bantu (Hardware)
Proses pendidikan akan berjalan lancar dan mencapai tujuannya apabila
didukung oleh adanya fasilitas yang memadai. Selain perbuatan pendidik, alat
pendidikan juga mencakup benda-benda sebagai alat Bantu yang sering disebut
hardware (Tanlain, 1989: 52).
Dalam karya pendidikan Ursulin, selain pengadaaan meja, kursi, papan tulis,
buku juga mengadakan fasilitas lain seperti: perpustakaan, ruang dan lapangan
olahraga, ruang jahit, ruang masak, perangkat computer, laboratorium dan ruangan
multi media (Francesco, 2000: 56).
56
5. Suasana Pendidikan
Faktor pendukung lain yang juga penting bagi tercapainya tujuan pendidikan
adalah suasana pendidikan. Suasana pendidikan yang diharapkan adalah memberikan
rasa aman yang penuh dengan kasih dan merupakan tempat bagi pendidik maupun
anak didik untuk merasa dihargai, diperhatikan dan dijadikan sebagai pribadi. Anak
didik harus merasa bahwa sekolah bagi dia merupakan tempat dan waktu yang
menggembirakan, firdaus kecil atau oase sejuk di tengah kegersangan nasibnya,
tempat ia dipahami, diajak gembira (Mangunwijaya, 1998: 20).
Hal ini membutuhkan teladan atau model dari orang dewasa sebagai
pendidik yang dapat menanamkan nilai-nilai hidup karena anak didik membutuhkan
orang dewasa untuk mendemontrasikan nilai-nilai yang dapat ditiru dan dihidupi.
Demikian pula dengan rekan kerja perlu juga menciptakan suasana kerja yang penuh
dengan ‘nilai’ dan menjadi model ‘nilai’ bagi rekan kerja (Hasil seminar tentang
pendidikan nilai bagi para kepala sekolah Ursulin pada pertemuan pendidikan
Ursulin Asia Pasifik tgl. 3 - 7 April 2006 di Bandung).
Dalam proses pendidikan, suasana akrab dan kerja sama yang baik di antara
para pendidik, pendidik dengan anak didik, dan antara anak didik sangat dibutuhkan
karena akan sangat membantu proses berkembang baik anak didik maupun pendidik.
57
BAB IV
PERWUJUDAN GAGASAN SANTA ANGELA MERICI TENTANG
PENDIDIKAN DALAM KARYA PENDIDIKAN URSULIN
DI ZAMAN INI
A. Dampak Arus Zaman
Zaman yang diwarnai dengan adanya perkembangan teknologi dan
komunikasi yang canggih ini sering disebut zaman globalisasi. Globalisasi adalah
proses bersatunya dunia berdasarkan jalinan hubungan lintas negara, lintas
masyarakat dan lintas budaya, di dalam berbagai sektor kehidupan. Globalisasi
sebagai sebuah proses bergerak amat cepat dan meresapi ke segala aspek kehidupan
baik aspek ekonomi, sosio-budaya, politik maupun ilmu pengetahuan, membawa
serta perubahan dalam hidup manusia. Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang
dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat membawa
serta perubahan-perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, cara menghargai hidup
dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai yang ada dan kekaburan
dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan
masyarakat serta dalam pribadi seseorang (Sastrapatedja, 1993: 3). Melalui
kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi seperti adanya internet, televisi,
handphone, diakui sungguh memajukan kehidupan manusia. Di balik semua
kemajuan dan kecanggihan itu tersembunyi kekuatan yang menghancurkan
kehidupan dan nilai kemanusiaan.
58
1. Perkembangan yang Terjadi dalam Pelbagai Bidang Kehidupan
Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang. Karenanya tidak akan
luput dari pengaruh globalisasi, seperti sosial dan ekonomi, sosial-politik,
kebudayaan dan kemanusiaan dan pendidikan. Perkembangan ini di satu sisi
merupakan kesempatan untuk maju tetapi di sisi lain juga membawa dampak negatif
bagi yang belum siap menghadapinya. Adapun perkembangan yang terjadi dalam
beberapa aspek kehidupan tersebut antara lain:
a. Bidang Sosial dan Ekonomi
Dewasa ini berbagai berita dapat dengan cepat meluas ke seluruh penjuru
dunia, dan semakin menipisnya batas-batas kenegaraan suatu bangsa karena adanya
sarana teknologi dan komunikasi yang canggih. Dalam hal ini, sangat dirasakan
bahwa kemajuan di bidang sosial dan ekonomi, memiliki kaitan yang erat dengan
kehidupan manusia itu sendiri. Dalam kehidupan ekonomi, Indonesia sudah menjadi
bagian dari ekonomi dunia. Semua ini ditandai dengan masuknya berbagai macam
produk luar negeri ke Indonesia, meningkatnya perdagangan internasional, adanya
penanaman modal asing, serta semakin meningkatnya bentuk kerja sama dan
persaingan ekonomi dalam pasar global. Di sini tampak dengan jelas bahwa
hubungan kekerabatan manusia mulai berubah. Relasi kekerabatan tidak hanya
terbatas pada hubungan darah atau daerah setempat saja melainkan jauh melampaui
hubungan darah dan daerah. Perkembangan pola hubungan sosial ini dilihat sebagai
suatu dampak positif dari kemajuan zaman. Dalam bidang ekonomi, semakin
menuntut adanya tenaga-tenaga kerja yang mampu memperoleh, menguasai, dan
mengolah informasi secara luas. Selain itu tenaga-tenaga kerja dituntut juga dalam
59
hal penguasaan sains dan teknologi yang menjadi landasan untuk pembangunan
industri modern serta dalam hal kemampuan berkomunikasi (berbahasa asing).
Tidaklah mengherankan kalau perkembangan dalam bidang sosial dan ekonomi,
menuntut semakin banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang dituntut untuk
mampu menyiapkan SDM yang handal (Sudarminta, 2000: 5).
b. Bidang Politik
Era teknologi dan informasi memacu orang untuk terus belajar
mengembangkan diri. Dengan majunya tingkat pengetahuan, orang diharapkan
mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi dalam berbagai aspek
kehidupan. Hal ini berarti sangat dibutuhkan orang yang memiliki kecakapan
intelektual dalam persaingan politik yang semakin gencar dengan cara yang sehat.
Berpolitik sesungguhnya menuntut kemampuan memimpin diri sendiri dan
masyarakat untuk mengejar dan mewujudkan suatu masyarakat yang didambakan
bersama. Ini berarti dengan berpolitik orang mampu membawa masyarakat untuk
mewujudkan kebersamaan, mencapai masa depan yang lebih baik serta
menumbuhkan kepercayaan masyarakat, agar masyarakat terdorong membuka tabir
keterpurukan politik demi pembangunan masyarakat secara menyeluruh. Kesadaran
berpolitik yang tumbuh dari masyarakat secara nyata terus tumbuh dan berkembang
sampai dengan adanya gerakan reformasi yang menumbangkan rezim orde baru
(Mocthar Buchori, 2000: 22).
60
c. Bidang Kebudayaan dan Kemanusiaan
Setiap negara mempunyai kebudayaan masing-masing, tidak terkecuali
Indonesia juga termasuk negara yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan seringkali
meliputi suatu sistem nilai dan norma moral, dan menyangkut cara kita mengatur
hidup sebagai manusia atau lebih tepat sebagai anggota suatu kelompok manusia
yang tentu saja berbeda-beda (Bertens, 2000: 12).
Dalam peralihan era baru yang dihiasi sistem komunikasi yang canggih, nilai-
nilai budaya semakin menjadi budaya global. Di satu pihak, setiap bangsa ingin
mempertahankan nilai-nilai budaya sendiri, namun di pihak lain, gejala perubahan
dunia menarik minat orang untuk mengikuti trend yang ada. Pengaruh budaya asing
dan kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi ini juga mempengaruhi dan
membentuk manusia meninggalkan nilai dan norma-norma budaya setempat seperti
nilai kebersamaan, kejujuran, solidaritas dan pengampunan. Penghargaan setiap
pribadi yang bermartabat makin lama makin pudar. Karena persaingan, orang bisa
rela menghancurkan saudaranya. Hati nurani orang makin lama makin tumpul karena
setiap orang ingin menjadikannya lebih dari orang lain. Semangat individualistis dan
egoisme semakin merasuk dalam kehidupan bersama sehari-hari (Soedjati
Djiwandono, 2000: 106).
d. Bidang Pendidikan
Era baru dalam gerak globalisasi mempengaruhi dunia pendidikan. Dalam
mempelajari pendidikan, telah digunakan sarana teknologi sebagai alat bantu dalam
kegiatan pendidikan. Kenyataan yang bisa dilihat adalah seperti penggunaan
komputer di laboratorium praktek, internet dan lain-lain. Dalam pendidikan, anak
61
didik dan pendidik semakin mudah dalam mendapatkan informasi karena adanya
kemudahan mengakses informasi melalui berbagai sumber entah melalui media cetak
maupun elektronik. Informasi yang diperoleh bukan hanya dalam bentuk sekedar
kumpulan informasi yang jumlahnya banyak, melainkan juga dalam bentuk
kumpulan informasi yang sudah diramu menjadi expert sistem yang memiliki
sejumlah kepintaran (Soedjati Djiwandono, 2000: 99).
2. Dampak Positif dan Negatif
a. Dampak Positif
1) Faktor kecepatan dalam berkomunikasi dan berhubungan. Ini disebabkan
oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi
dalam bentuk faximile, internet dan e-mail maupun kemajuan yang pesat
khususnya komunikasi atau informasi antar benua (Soedjati Djiwandono,
2000: 104).
2) Kecepatan arus modal tingkat global dengan adanya peningkatan di bidang
perdagangan internasional dan penanaman modal asing. Hal ini juga mampu
meningkatkan kerja sama Indonesia dengan perusahaan-perusahaan
internasional, lembaga-lembaga moneter, finansial internasional dan Word
Bank (Soedjati Djiwandono, 2000: 104).
3) Terciptanya dunia yang semakin terbuka dan saling bekerja sama antar
negara dan antar bangsa, misalnya melalui bentuk kerja sama seperti kerja
sama Asia dan Pasifik, PBB dan sebagainya (Sudarminta, 2000: 5).
62
4) Peningkatan sarana dan prasarana seperti komputer, internet dan laboratorium
dalam dunia pendidikan untuk mempersiapkan SDM dalam menghadapi
tantangan era globalisasi (Ariel Heryanto, 2000: 37).
5) Adanya keterbukaan terhadap perkembangan dan keberanian untuk bersaing
demi mencapai kualitas pendidikan (Mochtar Buchori, 2001: 25).
b. Dampak Negatif
Adapun dampak negatif yang diakibatkan oleh perubahan tersebut antara lain:
1) Perubahan sosial yang menghadapkan manusia pada kemajemukan sistem
nilai (sebagai dampak pertemuan dalam budaya lain), telah menimbulkan
krisis nilai yang membuat orang kehilangan pegangan dan ketidakjelasan
dalam hidup karena lebih terpikat dengan nilai-nilai asing yang masuk dan
mulai mengabaikan nilai-nilai luhur yang diwariskan budaya setempat
(H.A.R. Tilaar, 2005: 16).
2) Perubahan struktur masyarakat tradisional-agraris menuju masyarakat
modern-industrial menyebabkan hilangnya mata pencaharian orang kecil
yang keterampilan SDM-nya belum terbentuk. Sebagian masyarakat
khususnya dari golongan buruh yang belum siap menghadapi perubahan ini
bahkan mengalami kehilangan lapangan pekerjaan sehingga terjadi banyak
pengangguran, karena lahan usaha mereka dialihkan menjadi usaha industri
(H.A.R. Tilaar, 2005: 17).
3) Hilangnya asas kekeluargaan dalam kehidupan bersama karena dengan
adanya televisi, radio, telepon, orang lebih tertarik berkomunikasi dengan alat
63
tersebut dibandingkan berbincang-bincang dengan anggota keluarga, maupun
dengan sesama (Iswarahadi, 2003: 20).
4) Berbagai iklan dalam televisi, radio maupun mas media lainnya, merangsang
minat masyarakat untuk membeli dan memakai semakin banyak barang dan
jasa yang disediakan. Uang, materi dan kenikmatan menjadi hal yang
didewakan (Darminta, 2006: 18).
5) Materialisme, konsumerisme dan hedonisme, menurunkan nilai-nilai moral dan
spiritual yang membuat manusia semakin pragmatik dan oportunistik. Nilai
manfaat dan keuntungan ekonomis menjadi yang utama dan mengalahkan nilai-
nilai yang penting untuk kemanusiaan (Sudarminta, 2000: 8).
Dari kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat sehubungan dengan ledakan
era milenium, tak dapat disangkal bahwa bangsa Indonesia memang telah mengalami
kemajuan. Hal yang perlu disadari adalah bahwa kemajuan ternyata dapat juga
membawa keterpurukan bagi manusia, baik secara fisik maupun rohani. Untuk itu
dibutuhkan sikap selektif dalam “menyaring” nilai-nilai yang muncul akibat
kemajuan tersebut.
64
B. Perwujudan Gagasan Santa Angela Merici tentang Pendidikan dalam
Karya Pendidikan Ursulin di Zaman ini
1. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Ursulin
Dalam Vita Consecrata (Hidup Bakti) mengenai pelayanan cinta kasih Paus
Yohanes Paulus II mengatakan:
Saya dengan sangat mengajak para anggota tarekat-tarekat yang bertujuan pendidikan, supaya setia terhadap karisma pendiri mereka dan tradisi-tradisi mereka, dengan menyadari bahwa sikap mengutamakan cinta kasih terhadap kaum miskin perlu secara khas diterapkan pada pemilihan upaya-upaya yang memungkinkan pembebasan rakyat dari bentuk kemiskinan yang amat berat itu, yakni tiadanya pendidikan budaya dan keagamaan (VC, art. 97).
Menanggapi pernyataan ini, Tarekat Ursulin telah menjalankan perutusan
Gereja melalui bidang pendidikan yang berpedoman pada visi, misi dan tujuan
pendidikan Ursulin yang sesuai dengan karisma pendiri.
Berdasarkan Konstitusi Ordo, art. 2 dan 5, Komisi Pendidikan Ursulin
menetapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan Ursulin sebagai berikut:
Visi pendidikan Ursulin adalah mewujudkan unit-unit karya pendidikan yang
menghargai setiap individu, bersifat non-diskriminatif, kreatif, memiliki keunggulan
yang bersifat menyeluruh, yaitu unggul di bidang intelektualitas, humanitas dan
religiusitas; menjawab kebutuhan masyarakat di bidang lapangan kerja dan jenjang
pendidikan lebih lanjut; mencintai kebaikan, keadilan, kebenaran dan kejujuran;
memiliki SDM yang professional, proses pendidikan yang handal dan fasilitas yang
lengkap.
65
Misi Pendidikan Ursulin adalah menyelenggarakan pendidikan umum untuk
generasi muda dari segala lapisan masyarakat, yaitu lapisan sosial-ekonomi tingkat
atas, tingkat menengah dan tingkat bawah di dalam komunitas pendidikan yang
mendasarkan diri pada nilai-nilai atau iman Katolik di beberapa keuskupan di
Indonesia.
Tujuan Pendidikan Ursulin adalah melalui pendidikan dalam hal
pengetahuan dan keterampilan, anak didik dibimbing untuk tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi utuh sebagai perwujudan cinta kasih ganda yaitu demi kemuliaan
Allah dan kebahagiaan manusia.
2. Pembentukan yang Diupayakan dalam Pendidikan Ursulin
Demi mencapai visi, misi dan tujuan pendidikan Ursulin, diupayakan
berbagai macam pembentukan melalui karya-karya pendidikan Ursulin antara lain:
a. Pembentukan Pribadi
Pendidikan Ursulin meletakkan dasar cinta kasih Kristiani sebagai wadah
bagi pembentukan kepribadian anak didik. Pembentukan pribadi ini diarahkan agar
anak didik tidak hanya memiliki pengetahuan, keterampilan atau IQ (Intelligence
Quotient), tetapi juga EQ (Emotional Quotient), antara lain yang diwujudkan dalam
sikap-sikap seperti: bisa mengendalikan emosi, mampu bekerja sama, pandai
membawa diri dan bisa memahami perasaan orang lain (Francesco, 2000: 147).
Dengan pembentukan pribadi, anak didik dipersiapkan untuk melatih hidup
mandiri dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan, dan diarahkan
untuk mengetahui bakat dan kemampuannya. Dalam kebersamaan, anak didik
66
diarahkan untuk mengatasi sifat egoisme dalam diri dan acuh tak acuh terhadap
sesama serta mampu menghormati orang lain yang dilandasi semangat kasih serta
menerima tanggung jawab (Francesco, 2000: 57).
Dalam pendidikan Ursulin, pendekatan pribadi merupakan aspek penting,
karena melalui pendekatan pribadi tujuan pendidikan akan lebih berhasil dan sesuai
kebutuhan anak didik. Dalam pembentukan ini, kerja sama anak didik dan guru
memegang peranan penting. Angela sendiri menegaskan bahwa: “Kenangkanlah
mereka masing-masing sedalam-dalamnya di hati dan pikiranmu, bukan hanya nama
mereka saja, melainkan latar belakang dan kepribadian mereka dan setiap hal
mengenai mereka” (Warisan 2, art.1). Pendekatan tersebut memberi kesempatan
kepada anak untuk berani mengungkapkan pendapat, bersikap jujur, kreatif dan
bersikap kritis. Dengan demikian, para pendidik dan pembimbing Ursulin berusaha
menciptakan situasi dan suasana sehingga anak didik menemukan motivasi baru
dalam menghadapi arus zaman ini (Marie de Saint Jean Martin, 1946: 58-74).
Pembentukan pribadi ini, tidak hanya tertuju pada anak didik. Dalam
pendidikan Ursulin, pembentukan pribadi pendidik juga merupakan hal yang penting.
Dalam hal ini pendidik diharapkan memiliki pribadi yang dewasa, memiliki wawasan
yang luas, bertanggung jawab, mampu menjadi teladan, memiliki kemauan dan
keterbukaan untuk selalu belajar dan memiliki sikap-sikap yang mendukung
terlaksananya pendidikan seperti kelembutan, keramahan, kegembiraan, ketegasan
dan disiplin yang tinggi. Ini membutuhkan suatu proses yang panjang, asal dari pihak
pendidik sendiri memiliki kemauan untuk terus menerus mengembangkan diri dan
kemampuan.
67
b. Pembinaan Iman
Dalam tradisi pendidikan Ursulin terdahulu, pengajaran agama merupakan
sarana untuk menuntun anak kepada iman akan Allah serta membina semangat
merasul (Marie de Saint Jean Martin, 1946: 60). Dalam perkembangan pendidikan
Ursulin selanjutnya, pembinaan iman anak tidak cukup hanya dilaksanakan melalui
pelajaran agama. Dalam hal ini, pembinaan iman juga dapat ditumbuhkan melalui
pelajaran-pelajaran lain, melalui suasana Kristiani yang diciptakan di sekolah dan
asrama, melalui program-program khusus seperti retret, rekoleksi bagi para pendidik
dan pembimbing, pengasuh maupun anak didik. Kegiatan konkret lainnya yang juga
mendukung pembinaan iman anak adalah kegiatan Perayaan Ekaristi, baik di
sekolah maupun di asrama, doa devosi Gereja seperti doa rosario, jalan salib dan
puasa. Khusus bagi yang beragama lain, penanaman semangat Kristiani ini
dilakukan melalui pelajaran budi pekerti (Konst. Ordo, art. 100).
Kegiatan-kegiatan seperti ini merupakan realisasi dari salah satu pesan St.
Angela yakni: “Kumpulkanlah juga mereka sewaktu-waktu di tempat yang kamu
anggap terbaik dan termudah untuk mendengar kotbah atau ceramah singkat, saling
membagi pengalaman rohani, saling memberi kegembiraan dan dorongan satu sama
lain, sebab ini sangat bermanfaat“ (Warisan 8, art. 1).
Melalui kegiatan-kegiatan ini, anak didorong untuk mengembangkan
imannya, menumbuhkan kepekaannya masing-masing terhadap kehadiran Tuhan
dalam dirinya dan orang lain serta dalam kehidupannya sehari-hari.
68
c. Pembentukan Keluarga
Pembentukan iman tidaklah lepas dari pembentukan keluarga, sebab ada
kesinambungan antara keduanya. Dalam rangka pembentukan keluarga, selain
menekankan unsur spiritual anak didik juga dibekali berbagai macam keterampilan
sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta relevansinya dengan kebutuhan
situasi masyarakat. Dalam pendidikan formal, aspek kekeluargaan juga nampak
dengan melibatkan semua orang dalam beberapa kegiatan sekolah, melalui
kehidupan bersama di sekolah, diskusi kelompok, dialog dan suasana persaudaraan
yang diciptakan dalam berbagai kegiatan. Namun pembentukan keluarga dalam
pendidikan Ursulin lebih menyolok dalam pendidikan nonformal, yaitu dalam
asrama-asrama dan panti asuhan yang dikelola oleh para Ursulin. Struktur organisasi
dalam asrama dan panti asuhan lebih mirip dengan yang dilakukan para anggota
persekutuan St. Ursula perdana. Dalam asrama dan panti asuhan, anak-anak dibagi
beberapa kelompok serta dibimbing oleh ibu pengasuhnya masing-masing. Di
samping ibu pengasuh masih ada satu suster yang merangkap sebagai ibu
pembimbing bagi semua kelompok. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam asrama
hampir sama dengan yang berlaku dalam pendidikan formal, misalnya
memperhatikan kehidupan rohani, menanamkan rasa tanggung jawab pada tugas dan
kewajiban dalam kehidupan bersama, dan belajar mandiri. Konkretnya doa bersama
secara rutin, melakukan tugas rumah tangga seperti: mencuci, memasak dan
menyetrika sendiri, memelihara barang umum dengan baik, jujur bila melakukan
pelanggaran atau merusak milik bersama. Di panti asuhan, anak-anak diajak untuk
belajar melayani anak yang belum bisa bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.
69
Berkaitan dengan bimbingan ini, ibu pengasuh dituntut untuk memiliki
kesabaran, kebijakan, keramahan, ketekunan, ketegasan, kedisiplinan, memiliki
pemahaman tentang perkembangan anak didik, pengetahuan tentang mental dan
kecenderungannya yang mempunyai pengaruh pada setiap anak, memahami watak
dan sifat-sifatnya, kekuatan dan kelemahannya, dan secara diam-diam mempelajari
latar belakangnya (Marie de Saint Jean Martin, 1946: 75).
St. Angela menegaskan bahwa, “Perhatikanlah bahwa seorang ibu meskipun
mempunyai seribu anak, masih sanggup memberikan tempat bagi setiap anak dalam
hatinya. Bahkan semakin meningkat jumlahnya, semakin besar pula cinta dan
perhatian seorang ibu bagi mereka secara pribadi (Prakata Nasehat, art. 3-4).
d. Pembentukan Tanggung Jawab Sosial
Pendidikan Ursulin menekankan pentingnya mendorong anak didik untuk
menyadari bahwa segala bakat yang dimiliki merupakan karunia Tuhan untuk
kebaikan bersama sebab secara kodrati manusia adalah makhluk sosial, yang di
panggil untuk hidup bersama sesamanya. Semangat pelayanan kepada sesama yang
ditanamkan dalam pendidikan Ursulin ditandai dengan semboyan “serviam” yang
artinya saya mau mengabdi kepada Allah dan sesama. Dengan demikian, dalam
pendidikan Ursulin diupayakan berbagai kegiatan yang bertujuan menanamkan
kesadaran/kepedulian sosial anak didik baik di dalam lingkungan sekolah, asrama
maupun di Gereja dan masyarakat (Marie de Saint Jean Martin, 1946: 99).
Melalui kegiatan-kegiatan sosial yang diupayakan, diharapkan kepekaan
sosial anak didik dapat tumbuh dan berkembang, karena mereka mengetahui dan
mengalami bahwa sebagian besar masyarakat hidup dalam keadaan prihatin. Harapan
70
selanjutnya ialah agar kelak mereka dapat berbuat sesuatu untuk meningkatkan
standar hidup masyarakatnya (Marie de Saint Jean Martin, 1946: 100).
Dalam waktu-waktu tertentu anak didik diberi kesempatan untuk terjun
langsung menyalurkan sumbangan mereka, baik ke panti asuhan, panti jompo,
maupun para korban bencana alam. Beberapa sekolah Ursulin mengutus anak-
anaknya untuk mengadakan live-in, mengunjungi para pelacur dan gelandangan,
dengan maksud untuk menggugah kepekaan sosial anak didik sehingga mereka
mengetahui dan mengalami bahwa sebagian besar masyarakat hidup dalam keadaan
yang memprihatinkan. Harapan selanjutnya agar kelak mereka dapat berbuat sesuatu
untuk meningkatkan standar hidup masyarakatnya dan memiliki kepedulian kepada
penderitaan orang lain (Francesco, 2002: 137).
C. Tantangan dan Peluang Pendidikan Ursulin di Zaman ini
Seiring dengan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan, adapun
tantangan harus dihadapi lembaga pendidikan Ursulin dan peluang-peluang yang bisa
digunakan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:
1. Tantangan
a. Situasi Persaingan dan Kerja sama Global
Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan komunikasi
membentuk manusia berada dalam situasi kompetitif. Mau atau tidak mau, sadar atau
tidak sadar, manusia tidak bisa menghindari situasi ini, karena untuk bisa maju dan
bertahan dalam arus zaman ini, orang harus bisa bersaing. Yang menjadi tantangan
adalah bagaimana pendidikan Ursulin dapat mempersiapkan generasi muda yang
71
nantinya mampu bersaing secara sehat dan dapat bekerja sama dengan
pihak/bangsa-bangsa lain. Untuk bisa bersaing, anak didik perlu dibekali dengan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan sistem nilai yang memang dibutuhkan untuk
masa depan (Sudarminta, 2000: 3).
Banyak kalangan pendidikan yang ingin agar sekolahnya lebih berkualitas
dari yang lain baik dalam kualitas output anak didik, tenaga pendidikan, sarana
pendidikan bahkan jumlah anak didik. Inilah tantangan pendidikan Ursulin,
bagaimana usaha agar persaingan ini, dilakukan secara sehat dan bisa bekerja sama
dengan baik entah di antara kalangan pendidikan Ursulin maupun dengan pihak lain.
Dan untuk bisa bersaing, salah satu unsur penting adalah harus memiliki SDM
(Sumber Daya Manusia) yang memadai.
b. SDM (Sumber Daya Manusia) yang Kurang Memadai
Sumber daya manusia yang kurang memadai merupakan tantangan lain yang
harus dihadapi. SDM yang memadai merupakan unsur penting untuk tercapainya
tujuan pendidikan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kemampuan
sumber daya manusia khususnya pendidik, sebagai tiang utama untuk sebuah
sekolah, baik dari kemampuan mengajar, membimbing, wawasan yang luas dan
kreativitasnya (Francesco, 2000: 56).
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang terus melaju dengan
cepat mengharuskan pendidik untuk memiliki kecakapan baru seperti komputer
dan internet. Zaman ini, adalah zaman media elektronik, maka cara yang relevan
untuk mendidik dan mengajar dengan menggunakan sarana media elektronik.
Pendidik diharapkan dapat menguasai dan mengolah media pendidikan (Buchori,
72
2000: 31). Pendidik yang berkualitas bukanlah dilihat dari prestasinya yang bagus
ketika kuliah tetapi harus keterampilan dan kemauan serta keterbukaan hati untuk
terus menerus belajar (Francesco, 2000: 69).
Selain situasi persaingan dan kerja sama global dan lemahnya SDM, yang
juga merupakan tantangan dalam pendidikan Ursulin zaman ini adalah bagaimana
menanamkan nilai-nilai hidup kepada anak didik berhadapan dengan kurikulum
pendidikan yang terlalu menekankan aspek intelektualitas.
c. Kurikulum
Salah satu keprihatinan sebagai akibat dari kemajuan sains dan teknologi
adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hidup
yang diwariskan leluhur seperti persaudaraan, komunikasi, solidaritas, kerja keras
dan kemandirian makin lama makin pudar. Menanggapi keprihatinan ini,
kebanyakan orang tua mengharapkan sekolah dapat membantu menanamkan nilai-
nilai hidup kepada anak didik. Namun, waktu yang digunakan untuk itu sangat
terbatas karena berhadapan dengan tuntutan kurikulum pendidikan dengan beban
materi yang padat dengan informasi dan hafalan tanpa memberikan kesempatan
kepada anak didik untuk belajar menggunakan penalaran dan berpikir secara kritis.
Keprihatinan ini harus diperhatikan dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini.
Meski demikian, komponen pendidikan Ursulin tetap berusaha semaksimal
mungkin untuk menanamkan nilai-nilai hidup pada anak didik yang diintegrasikan
dalam kegiatan-kegiatan sekolah maupun asrama baik dalam kegiatan kurikuler
maupun ekstrakurikuler. Sebab yang menjadi ciri khas pendidikan Katolik
khususnya Ursulin adalah adanya usaha menanamkan pendidikan nilai kepada anak
73
didik. Pendidikan nilai merupakan bagian integral kegiatan pendidikan, karena
pendidikan pada dasarnya melibatkan pembentukan sikap, watak, dan kepribadian
anak didik. Pendidikan tidak hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas
dan terampil, tetapi juga pribadi yang berbudi pekerti luhur (Sudarminta, 2000: 4).
2. Peluang
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, ada peluang-peluang yang dapat
dimanfaatkan oleh pendidikan Ursulin antara lain:
a. Pengakuan dan Kepercayaan dari Pemerintah dan Masyarakat.
Pengakuan dan kepercayaan dari pemerintah dan masyarakat terhadap
eksistensi lembaga pendidikan Ursulin untuk menyelenggarakan pendidikan
merupakan peluang yang besar untuk terus maju dan berkembang dalam dunia
pendidikan. Pengakuan dan kepercayaan ini merupakan suatu dorongan bagi
lembaga pendidikan Ursulin untuk terus belajar, mencari alternatif pendidikan
yang memungkinkan untuk terus berkembangnya kualitas dan kuantitas pendidikan
Ursulin. Menghadapi pengakuan dan kepercayaan ini merupakan peluang sekaligus
tantangan yang harus terus diperjuangkan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pengakuan dan kepercayaan ini.
b. Kemajuan Sains dan Teknologi
Terlepas dari pengaruh-pengaruh negatif yang menyangkut perubahan cara
hidup, cara berpikir dan terjadinya pergeseran nilai-nilai, kemajuan sains dan
teknologi ini merupakan peluang bagi pendidikan Ursulin untuk maju dalam
74
meningkatkan dan mempertahankan kualitas dan kuantitas pendidikan Ursulin. Hal
ini terbukti dengan tersedianya sarana dan prasarana fisik dalam proses
pembelajaran misalnya: komputer, laboratorium bahasa, laboratorium biologi dan
fisika, perpustakaan yang nyaman dan memadai, sarana olahraga, kesenian dan
keterampilan (Francesco, 2002: 56).
c. Sumber Daya Manusia Guru
Adanya kesempatan yang diberikan kepada para pendidik khususnya guru,
untuk menambah wawasan dan keterampilan dengan berusaha membiasakan guru
untuk membaca buku, surat kabar atau majalah lalu apa yang dibaca dibagikan
kepada guru-guru lain dalam suatu kesempatan yang sudah disiapkan sekolah.
Guru juga diberi kesempatan untuk belajar menggunakan dan menguasai
komputer, internet dan sarana elektronik lain yang mendukung terlaksanakan
proses pendidikan. Selain itu, pendidik juga diberi kesempatan untuk berdiskusi,
berdialog dan mau belajar dengan pihak lain (studi banding), mengikuti seminar-
seminar, kursus yang sesuai dengan bidang dan bakat disamping mendatangkan
pendidik yang memang handal dalam bidang tertentu (Francesco, 2000: 49).
d. Komunitas Peduli Pendidikan Ursulin (KPPU)
Komunitas Peduli Pendidikan Ursulin (KPPU) adalah para orang tua anak
didik, dari berbagai profesi, pekerjaan dan keahlian yang memiliki kepedulian
terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah Ursulin. Komunitas ini
dilibatkan dalam menetapkan rambu-rambu penggunaan buku sekolah yang tepat,
dan memberikan masukan perihal program-program sekolah yang diwujudkan
75
untuk meningkatkan kualitas pendidikan Ursulin. Demikian halnya perihal uang
sekolah yang dipungut, komunitas ini juga ikut memberikan masukan. Inilah
kesempatan untuk bisa bekerja sama dengan orang tua anak didik, bisa saling
mendukung, melengkapi dan berkesinambungan (Educare. No. 06/II/September
2005: 9).
e. Penanaman Nilai
Adanya usaha untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan lewat pelajaran
agama, budi pekerti maupun melalui pendidikan lain baik secara formal maupun
nonformal, misalnya: dengan kegiatan rekoleksi, retret, camping rohani, latihan
kepemimpinan, menganalisa suatu masalah, penyadaran gender. Adanya kegiatan-
kegiatan ekstrakurikuler dan sosial, seperti mengumpulkan dana, kunjungan panti
asuhan, panti jompo, bakti sosial dan program live-in (Francesco, 2002: 57). Nilai-
nilai kehidupan yang dimaksudkan antara lain nilai-nilai kedisiplinan, kemandirian,
tanggung jawab, kesederhanaan, pengampunan, kerendahan hati, kejujuran, kreatif,
kerja sama dan solidaritas (Francesco, 2002: 52).
Peluang-peluang ini diharapkan dapat menjawab tantangan zaman ini dalam
usaha mencapai tujuan pendidikan yakni pembentukan pribadi yang utuh, yang
mengacu pada penghargaan terhadap nilai-nilai hidup serta martabat manusiawi
menurut teladan Yesus Kristus.
76
BAB V
PERANAN KATEKESE DALAM USAHA MEWUJUDKAN TUJUAN
PENDIDIKAN URSULIN DI ZAMAN INI
A. Pengertian, Tujuan dan Model Katekese
1. Pengertian Katekese
Salah satu tugas yang terpenting bagi Gereja dan berdasarkan penugasan
Kristus kepada Para Rasul dan pengganti-penggantinya adalah untuk “mengajar
segala bangsa dan melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu” (Mat
28: 25). Gereja menjalankan tugas ini dalam pewartaan iman melalui katekese. Pada
pembahasan ini penulis memilih rumusan katekese sebagai proses pendidikan iman,
karena dirasa cocok dengan pembahasan pada bab IV.
Yohanes Paulus II dalam anjuran apostolisnya, Catechesi Tradendae art. 18
menjelaskan bahwa:
Pada pokoknya dapat dikatakan bahwa katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT, art. 18).
Katekese sebagai proses pendidikan iman adalah usaha yang dilakukan secara
terus menerus dengan penuh tanggung jawab, sabar sehingga mampu menghantar
umat untuk mengenal dirinya dan dewasa dalam iman dan kepribadian. Pendidikan
iman mengandung suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan
berkesinambungan yang mengarah pada kematangan iman umat (CT, art. 18).
Kematangan iman ini menggerakkan umat untuk melaksanakan Sabda yang diterima
77
melalui tindakan. Artinya dengan katekese, umat beriman dibantu untuk semakin
mampu mengungkapkan imannya dalam tindakan dan sikap hidup sehari-hari.
2. Tujuan Katekese
Katekese sebagai pendidikan iman merupakan salah satu bentuk pewartaan
Gereja yang bertujuan membantu orang beriman agar mereka makin mendalam dan
makin terlibat dalam dinamika hidup menggereja dan memasyarakat baik sebagai
pribadi maupun kelompok (Adisusanto, 2000: 1).
Yohanes Paulus II dalam anjuran apostolisnya, Catechesi Tradendae art. 20
menjelaskan bahwa:
Tujuan khas katekese adalah: berkat bantuan Allah mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dan dari hari ke hari memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan perihidup Kristen umat beriman, muda maupun tua. Kenyataan itu berarti: merangsang, pada taraf pengetahuan maupun penghayatan, pertumbuhan benih iman yang ditaburkan oleh Roh Kudus melalui pewartaan awal, dan yang dikurniakan secara efektif (CT, art. 20). Katekese pertama-tama diselenggarakan untuk membantu, menjaga iman
yang sudah dimiliki umat beriman, dengan harapan, iman tersebut dapat tumbuh dan
berkembang yang membuat umat semakin hidup, sadar dan aktif. Umat diajak untuk
mampu mewujudkan iman tersebut dalam sikap, kata dan tindakan. Dengan
demikian katekese dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang menghantar umat
kepada kematangan iman yang diwujudkan dalam tindakan nyata.
78
3. Model-Model Katekese
Katekese sebagai proses pendidikan iman mengacu pada adanya dialog
partisipatif antara pendidik dan anak didik, serta antara anak didik sendiri. Yang
perlu diperhatikan adalah cara penyampaian mengenai kebenaran-kebenaran yang
terkandung dalam iman dan kebenaran-kebenaran tersebut dapat ditangkap
maknanya oleh anak didik yang akhirnya mampu merasakan manfaatnya bagi
perkembangan iman mereka. Katekese akan dikatakan menarik, hidup dan tidak
membosankan apabila model-model yang digunakan dapat bervariasi. Adapun
model-model katekese yang dapat digunakan dalam pendidikan iman adalah: Model
Biblis, Model Pengalaman Hidup, Model Campuran dan Model Shared Christian
Praxis (SCP) (Sumarno, 2005: 11 - 25).
a. Model Pengalaman Hidup
Model Pengalaman Hidup lebih bertolak pada pengalaman hidup konkret
sehari-hari dan bagaimana seseorang bersikap terhadap suatu kenyataan yang
dihadapi sehari-hari. Dan bagaimana Kitab Suci atau Tradisi Gereja berbicara
mengenai kenyataan itu dan mengarahkan seseorang untuk bersikap menurut Kitab
Suci atau Tradisi Gereja. Kesadaran untuk bersikap itu kemudian menjadi pedoman
dalam hidup selanjutnya (Sumarno, 2005: 11).
Model yang menekankan pengalaman hidup ini menyadarkan peserta untuk
menyadari Kristus yang hadir dan dialami dalam peristiwa hidup sehari-hari.
Pengalaman akan kasih dan penyertaan Tuhan inilah yang mendorong peserta untuk
mewartakan pengalamannya kepada orang lain sehingga semakin banyak orang
mengalaminya (Sumarno, 2005: 11).
79
Kelebihan dari model pengalaman hidup ini adalah membantu peserta berani
mengungkapkan pengalaman hidup konkret, belajar untuk merefleksikan
pengalaman hidup konkret dalam terang iman, dan peserta semakin memahami dan
menghayati makna Sabda Allah dengan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-
hari. Sedangkan kekurangan dari model ini adalah terlalu berpusat pada pengalaman
hidup sehingga pengetahuan terabaikan, peserta kurang selektif dan kritis terhadap
pengalaman hidup sehari-hari karena tidak semua pengalaman hidup adalah
pengalaman iman, dan apabila pendamping kurang peka terhadap situasi maka arah
pembicaraan tidak jelas dan tujuannya pun kabur (Sumarno, 2005: 11 - 12).
b. Model Biblis
Model Biblis lebih berdasarkan pada pengertian, pemahaman dan penafsiran
teks Kitab Suci atau Tradisi Gereja. Berdasarkan Kitab Suci atau Tradisi Gereja para
peserta merenungkan nilai-nilai yang ada di dalamnya kemudian menghubungkannya
dengan pengalaman hidup sehari-hari dalam situasi dan budaya setempat di
masyarakat, Gereja maupun keluarga. Pengetahuan, pemahaman baru yang diperoleh
selanjutnya menjadi kekuatan dan semangat hidup yang baru dalam hidup sehari-hari
baik pribadi maupun bersama (Sumarno, 2005: 13).
Kekuatan Model Biblis ini adalah peserta diajak untuk selalu merefleksikan
pengalaman iman sehari-hari dalam terang Sabda Allah dan mengajak peserta untuk
berani mengungkapkan refleksi iman berdasarkan Sabda Allah dalam Kitab Suci atau
Tradisi Gereja. Peserta diajak untuk secara bebas saling tukar pengalaman iman dan
pengetahuan iman. Kelemahan dari model ini adalah dalam pelaksanaannya
mengandaikan semua peserta dapat menafsirkan Sabda Allah dalam Kitab Suci.
80
Proses katekese akan macet bila peserta tidak berani menafsirkan Kitab Suci dan
mensharingkan pengalamannya. Model ini akan berjalan bila peserta sudah terbiasa
sharing (Sumarno, 2005: 13).
c. Model Campuran: Biblis dan Pengalaman Hidup
Model campuran ini lebih bertolak dari hubungan antara Kitab Suci atau
Tradisi Gereja dengan pengalaman hidup konkret. Proses dimulai dengan pembacaan
Kitab Suci kemudian penyajian pengalaman hidup melalui media komunikasi atau
cerita. Kemudian dilanjutkan dengan pendalaman pengalaman hidup dengan
mengungkapkan kesan, melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam
pengalaman itu, mencari pesan pokok dari pengalaman dan mengkonfrontasikan
dalam hubungannya dengan teks Kitab Suci atau Tradisi Gereja (Sumarno, 2005:
14).
Model ini mempunyai kekuatan dalam mengajak peserta untuk mencari
secara obyektif apa yang sebetulnya terjadi dan menemukan pesan dari penyajian
pengalaman hidup. Peserta juga diajak untuk mengintegrasikan dengan pengalaman
hidupnya sehari-hari dan kemudian mengkonfrontasikannya dengan Kitab Suci atau
Tradisi Gereja. Sedangkan kelemahan dari model ini adalah tidak semua peserta
dapat mengungkapkan pengalaman imannya dalam hidup sehari-hari. Dalam
pelaksanaannya, mengandaikan peserta dengan mudah menafsirkan isi teks Kitab
Suci atau Tradisi Gereja, sehingga katekese dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Dalam kenyataan, masih banyak peserta yang belum bisa menafsirkan Kitab Suci
sebagaimana yang diharapkan (Sumarno, 2005: 14).
81
Katekese model campuran ini menjadi sarana dalam usaha mendidik dan
mengembangkan iman peserta karena membantu untuk mengintegrasikan Sabda
Tuhan dalam hidup umat dan umat diajak untuk selalu merefleksikan pengalaman
iman sehari-hari dalam terang Sabda Allah dalam Kitab Suci.
d. Model Shared Christian Praxis
Katekese model Shared Christian Praxis merupakan suatu alternatif katekese
umat model pengalaman hidup yang lebih menekankan proses berkatekese yang
bersifat dialogal dan partisipatif yang bermaksud mendorong peserta, berdasarkan
konfrontasi antara “tradisi” dan “visi” hidup mereka dengan “Tradisi” dan “Visi”
kristiani, agar baik secara pribadi maupun bersama, mampu mengadakan penegasan
dan mengambil keputusan demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam
kehidupan manusia yang terlibat dalam dunia. Model katekese ini bermula dari
pengalaman hidup peserta, yang direfleksi secara kritis dan dikonfrontasikan dengan
pengalaman iman dan visi kristiani supaya muncul sikap dan kesadaran baru yang
memberi motivasi pada keterlibatan baru (Sumarno, 2005: 15).
Model SCP ini memiliki kekuatan yang membantu memberdayakan
kemampuan, kesadaran dan kehendak peserta supaya senantiasa berusaha
membentuk dan memperkembangkan dirinya secara utuh. Selain itu model ini
membantu peserta untuk menemukan nilai-nilai baru yang cocok dengan konteks
yang layak untuk diwujudkan dalam hidup selanjutnya. Sedangkan kelemahan dari
model ini adalah membutuhkan proses yang cukup panjang untuk sampai pada
keterlibatan baru, membutuhkan keterlibatan secara penuh dari peserta dan
pendamping sendiri harus memiliki kepekaan untuk melihat kebutuhan peserta.
82
Setelah penulis mendalami dan mengkritisi masing-masing model, ternyata
masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan di dalamnya. Pada dasarnya
semua model katekese dapat dilaksanakan dalam pembinaan iman di sekolah-sekolah
Ursulin.
B. Peranan Katekese dalam Usaha Mewujudkan Tujuan Pendidikan Ursulin di
Zaman ini
Katekese sebagai pendidikan iman merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan tujuan pendidikan Ursulin di zaman ini. Adapun peranan-peranan
katekese dalam pendidikan Ursulin adalah sebagai berikut:
1. Katekese Membantu Perkembangan Pribadi Anak Didik
Katekese sebagai pendidikan iman, dalam proses pendidikan mengarahkan
anak didik untuk mencapai perkembangan iman baik secara pribadi maupun
kelompok. Katekese yang diselenggarakan ini diharapkan dapat membantu,
mendorong, dan memperkembangkan iman anak didik untuk mampu bertahan dan
sadar dalam mengarungi arus zaman ini (Adisusanto, 2000: 1).
Demikian juga dalam pendidikan Ursulin, katekese diharapkan mampu
mengarahkan anak didik dalam prosesnya senantiasa memperkembangkan imannya
sehingga mampu menjalin relasi dengan sesama dan terutama dengan Tuhan. Selain
itu, anak didik juga dapat diarahkan untuk menghayati iman dalam sikap dan tingkah
laku sehingga lebih bertanggung jawab, mandiri dan tangguh dalam menghadapi
tantangan zaman ini. Dalam proses pendidikan, anak didik diarahkan untuk mencapai
83
perkembangan sikap hidup yang baik dan berguna bagi hidup selanjutnya (Konst.
Ordo, art. 100). Suatu pendidikan akan mampu menghantar anak didik pada
kedewasaan apabila dalam proses pendidikan sudah terangkum segi-segi kognitif,
afektif, dan psikomotorik (Adisusanto, 2000: 10).
Peranan Katekese sebagai pendidikan iman mempunyai kedudukan yang
sama dengan pola pendidikan St. Angela Merici, yaitu, mulai dari pertobatan dan
mengarah pada perkembangan iman yang dewasa. Maka katekese harus mampu
mengusahakan pendampingan secara pribadi maupun kelompok untuk mencapai
tujuan tersebut.
2. Katekese Membantu Meningkatkan Relasi dengan Tuhan
Katekese sebagai proses pendidikan iman selalu mengarahkan anak didik
pada Kristus yang menjadi pusat hidup manusia. Dapat dikatakan bahwa jantung
katekese pada hakekatnya ialah pribadi Yesus Kristus. Teladan Yesus sebagai guru
hendaknya menjadi acuan bagi para pendidik dan anak didik untuk mampu
meneladani sikap serta nilai pendidikan iman yang diperjuangkan-Nya. Pendidik
dalam proses pendampingan hendaknya mampu memberi kesaksian hidup akan apa
yang diimaninya berdasarkan pada hidup imannya yang mendalam sehingga
Kerajaan Allah semakin nyata dan dialami oleh setiap orang yang dijumpai (CT, art.
18).
Dalam proses pendidikan Ursulin hendaknya mengarahkan anak didik untuk
semakin berkembang dalam imannya. Dengan demikian, mampu menjalin relasi
secara pribadi dengan Tuhan dan memungkinkan anak didik untuk menyadari dirinya
sebagai anak Allah yang dicintai. St. Angela juga menegaskan agar para pendidik
84
mendorong anak didik untuk senantiasa meletakkan harapan pada sukacita dan harta
surgawi. Yang terakhir mereka menyadarkan kekuatan pada Yesus Kristus satu-
satunya harta yang tidak akan pernah habis. Hal ini ditegaskan dalam nasehat St.
Angela bahwa para pendidik hendaklah memberi contoh, teladan yang tulus dan
saleh terutama dalam sikap lahiriah (Nasehat 6, art. 1).
3. Katekese Membantu Menumbuhkan Kepekaan Sosial
Katekese yang sungguh-sungguh berfungsi sebagai pewartaaan dan
pendidikan iman juga akan mampu melaksanakan peranannya dalam menumbuhkan
kepekaan sosial. Bila dilihat dari tujuannya katekese membantu orang beriman untuk
semakin sadar akan kewajibannya sebagai orang beriman. Dengan kata lain, katekese
yang dilaksanakan perlu membina orang beriman, terutama kaum awam agar
mereka aktif melibatkan diri dalam persoalan-persoalan sosial, politis, ekonomis,
demi perkembangan dan kemajuan masyarakat terutama mereka yang sangat
membutuhkan bantuan. Semua itu sesuai dengan dinamika iman yang bergerak,
berjalan dalam cakrawala pengharapan pemenuhan ekskatologis (Adisusanto, 2000:
12).
Dalam pendidikan Ursulin proses dan tujuan yang akan dicapai ialah bahwa
pada akhirnya anak didik semakin bebas secara jasmani maupun rohani untuk
menentukan jalan hidupnya dan dalam mengembangkan dirinya. Anak didik diberi
hak secara bebas dan bertanggung jawab yang dilandasi cinta yang mendalam untuk
menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh pendidik
hendaknya dilandasi adanya kesadaran yang direfleksikan dan dilakukan dengan
penuh pertimbangan, menghargai setiap pribadi sebagai pribadi yang bermartabat.
85
Dengan demikian anak didik mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri,
Tuhan, sesama dan alam, bahkan mampu mengolah, mengembangkan dan
melestarikannya (Konst. Ordo, art. 101).
4. Katekese Membantu Berkembangnya Komunitas Pendidikan
Katekese sejauh merupakan rangsangan dan pembinaan kedewasaan iman,
mengandaikan dan mengusahakan proses pengembangan dan kedewasaan manusiawi
pada umumnya. Artinya pentingnya seorang pendidik menyadari panggilannya
sebagai pendidik dalam arti seutuhnya (Adisusanto, 2000: 20).
Katekese dalam kaitannya dengan komunitas pendidikan membantu
komunitas pendidik untuk menyadari pentingnya komunikasi dan kerja sama antar
pendidik baik di keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Dengan adanya katekese,
komunitas pendidikan diharapkan dapat menyadari perannya dan bekerja sama
dengan saling menopang, mendukung dan melengkapi dalam usaha
memperkembangkan pribadi utuh anak didik (Adisusanto, 2000: 20).
Usaha yang perlu dilakukan adalah perlu adanya kerja sama dan komunikasi
yang baik antara komunitas pendidikan. Pendidikan akan mencapai tujuannya
apabila adanya persatuan dan kerja sama antara orang tua, guru dan orang dewasa
lainnya dalam lingkungan masyarakat (Konst. Ordo art. 101). Untuk itu perlu
terciptanya persaudaraan dan persatuan, sehati dan sepikiran dalam mendidik anak
didik yang dipercayakan. St. Angela Merici amat menekankan kesatuan,
kebersamaan, dan keserasian dalam karya pendidikan karena Angela melihat bahwa
tugas bimbingan itu merupakan suatu tugas luhur dan tidak mudah. “Lihatlah betapa
pentingnya persatuan dan keserasian; maka dambakanlah, carilah, peluklah,
86
pertahankanlah hal itu sekuat tenaga, karena saya berkata kepadamu jika Anda
semua hidup bersatu hati Anda seperti benteng yang kuat, menara yang tak
tergoyahkan” (Nasehat terakhir, art. 10-15).
Katekese yang mengarah pada pengembangan semangat persaudaraan dan persatuan
diharapkan dapat membantu terciptanya paguyuban Kristiani yang didasari semangat
cinta dan persaudaraan, yang saling menghargai, membantu, mendukung,
melengkapi dan dapat bekerja sama dalam usaha mencapai tujuan bersama
(Adisusanto, 2000: 12).
5. Katekese Membantu Pendidik Mencapai Kedewasaan dalam Iman dan
Kepribadian
Katekese mengarahkan pendidik untuk terus menerus mengembangkan iman
dan kepribadian menuju kedewasaan dengan tetap terbuka pada nilai-nilai luhur dan
mampu mengadakan penegasan secara kritis (Adisusanto, 2000: 5).
Dalam karya pendidikan Ursulin, katekese diharapkan membantu para
pendidik untuk terus menerus mengembangkan imannya menuju kedewasaan. Iman
yang dewasa adalah iman yang menyadari tugasnya sebagai panggilan. Menurut St.
Angela Merici, pendidik utama dalam pendidikan adalah Allah sendiri, oleh karena
itu dalam melaksanakan tugas pendidikan, para pendidik harus sadar bahwa mereka
dipanggil sebagai pendidik. Kesadaran ini membantu pendidik untuk semakin
dewasa dalam iman dan mengandalkan Allah dalam setiap tugas yang diembannya.
St. Angela Merici dalam Prakata Nasehat, art. 18 mengatakan bahwa “Anda tentu
akan menyaksikan hal-hal yang mengagumkan bila anda mengarahkan segalanya
demi kemuliaan Allah dan kebahagiaan jiwa-jiwa (Prakata Nasehat, art. 18).
87
Iman yang dewasa menggerakkan pendidik untuk melayani, membimbing
dan melindungi anak didik yang dipercayakan sebagaimana seorang ibu yang
mencintai anak-anaknya. Dengan cinta keibuan seorang pendidik akan berusaha
mengenal setiap orang yang diserahkan ke dalam bimbingannya. Dia akan
menghadapi mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang, kelembutan,
keramahan, kesabaran dan kebijaksanaan.
C. Model Shared Christian Praxis adalah Model Katekese yang Cocok untuk
Mendalami dan Mewujudkan Gagasan Santa Angela Merici Tentang
Pendidikan dalam Karya Pendidikan Ursulin di Zaman ini
Mengingat peranan katekese di atas, maka model katekese Shared Christian
Praxis dapat diyakini sebagai model katekese yang sesuai untuk memahami dan
mendalami gagasan St. Angela tentang pendidikan dalam karya Pendidikan Ursulin
di zaman ini.
Model Shared Christian Praxis berawal dari kebutuhan para katekis untuk
menemukan suatu pendekatan berkatekese yang handal dan efektif. Sebagai suatu
pendekatan model ini lebih menekankan proses katekese yang dialogis partisipatif,
yang bertujuan untuk mendorong orang, berdasarkan konfrontasi antara “tradisi” dan
“visi” hidup mereka dengan “Tradisi” dan “Visi” Kristiani, agar baik secara pribadi
maupun bersama, mampu mengadakan penegasan dan mengambil keputusan demi
terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia.
Model ini bagi penulis dirasakan cocok untuk mendalami, merefleksikan dan
meningkatkan pemahaman pendidikan menurut St. Angela Merici dan mampu
merangkum seluruh tahap pengungkapan pengalaman faktual, visi Kristiani dan
88
praksis. Yang lebih ditekankan dalam model ini adalah adanya proses dialogis
partisipatif antara pendamping dan peserta, sehingga terjadi komunikasi yang
interaktif, yang memungkinkan para pendidik untuk semakin memahami cita-cita,
visi dan perjuangan St. Angela Merici dalam pendidikannya. Tahap-tahap yang ada
dalam metode SCP merupakan satu kesatuan yang berkesinambungan. Dengan
demikian akan semakin memacu pendamping dan peserta dalam menemukan nilai-
nilai yang diperjuangkan oleh St. Angela Merici dalam pendidikan.
Ada tiga komponen pokok yang terkandung dalam model Shared Christian Praxis
adalah sebagai berikut:
1. Shared
Shared berarti berbagi rasa, pengalaman, pengetahuan serta saling
mendengarkan pengalaman orang lain. Istilah shared menunjuk pada pengertian
adanya komunikasi timbal balik, sikap partisipatif aktif dan kritis semua peserta,
sikap terbuka yang berfungsi baik untuk kedalaman diri pribadi, kehadiran sesama,
maupun kehadiran rahmat Tuhan. Istilah ini menekankan adanya proses katekese
yang menggarisbawahi dialog, kebersamaan dan keterlibatan peserta yang tidak
hanya pasif menerima, dan pendamping yang memberi dan menguasai segalanya.
Masing-masing peserta dihormati dan diakui eksistensinya sebagai subyek yang
unik, otonom dan bertanggung jawab. Aspek dialog dimulai dari refleksi dan
pengolahan pengalaman pribadi yang selanjutnya akan menjadi pokok dialog antar
pribadi. Dialog ini mengandaikan kejujuran, keterbukaan, kepekaan dan
penghormatan antar pribadi atau peserta. Di samping itu dialog juga
89
menggarisbawahi hubungan dialektis antara praksis faktual para peserta dengan nilai
dan semangat Kristiani (Thomas H. Groome, 1997: 2)
2. Christian
Katekese dengan model Shared Christian Praxis mencoba mengusahakan
supaya kekayaan iman sepanjang sejarah dan visinya semakin terjangkau dan relevan
dengan kehidupan peserta di zaman sekarang. Dengan proses tersebut diharapkan
kekayaan iman Gereja sepanjang sejarah berkembang menjadi pengalaman iman
umat zaman sekarang. Kekayaan iman yang ditekankan dalam model ini meliputi
dua unsur pokok yaitu pengalaman hidup iman Kristiani sepanjang sejarah (tradisi)
dan visi.
Tradisi Kristiani mengungkapkan realitas iman jemaat Kristiani yang hidup
dan yang sungguh dihidupi. Ini merupakan tanggapan manusia terhadap pewahyuan
Allah yang terlaksana di tengah kehidupan manusia. Tradisi di sini tidak hanya
meliputi tradisi pengajaran Gereja saja, tetapi juga meliputi Kitab Suci, spiritualitas,
refleksi teologis, sakramen, liturgi, seni dan nyanyian, kepemimpinan, kehidupan
jemaat dan lain-lain. Tradisi Kristiani senantiasa mengundang adanya keterlibatan
sebagai sabda yang juga menyediakan perangkat nilai untuk pemupukan diri sebagai
orang Kristiani. Tradisi tersebut juga memberi inspirasi dan makna bagaimana hidup
menurut nilai-nilai yang ada.
Tradisi dan visi Kristiani merupakan dua sisi yang tak dapat dipisahkan, yang
masing-masing menyingkapkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang selalu dihidupi dan
terus diusahakan. Tradisi dan visi Kristiani perlu diinterpretasi berdasarkan
kepentingan, nilai dan budaya setempat yang faktual. Keduanya perlu dijadikan
90
sebagai sarana untuk berdialog, sehingga mampu menumbuhkan rasa memiliki,
semakin bersatu sebagai jemaat beriman dan saling meneguhkan. Dalam dialog
iman, pengalaman faktual dan visinya diintegrasikan ke dalam tradisi dan visi
Kristiani. Dengan demikian nilai-nilai tradisi dan visi kristiani sepanjang sejarah
menjadi umat beriman sekarang baik secara pribadi maupun kelompok (Thomas H.
Groome, 1997: 4-5 ).
3. Praxis
Praksis mengacu pada tindakan manusia yang bertujuan untuk transformasi
kehidupan dan yang mengandung kesatuan dialektis antara praktek dan teori, antara
refleksi kritis dan kesadaran historis. Sejajar dengan itu praksis mempunyai tiga
komponen yang saling berkaitan yaitu: aktivitas, refleksi dan kreativitas.
Aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal
dan sosial, hidup pribadi serta kegiatan publik yang semua mengarah untuk
mewujudkan diri sebagai subyek. Refleksi menekankan sikap kritis terhadap
tindakan historis personal dan sosial, serta terhadap Tradisi dan Visi iman Kristiani
sepanjang menganalisa dan memahami tempat dan peran mereka, memahami
keadaan masyarakat dan permasalahannya. Refleksi kritis memungkinkan mereka
untuk berjumpa dengan refleksi iman Kristiani sepanjang sejarah, bukan sebagai
rumusan kaku, tetapi sebagai sabda yang hidup dan dihidupi. Kreativitas merupakan
perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menggarisbawahi sifat ‘transenden’
manusia. Komponen ini menekankan dinamika praksis di masa depan yang
berkembang terus menuju praksis baru.
91
Ketiga komponen ini berfungsi membangkitkan perkembangan imaginasi,
meneguhkan kehendak dan mendorong praksis baru yang secara etis dan moral
sungguh bertanggungjawab (Thomas H. Groome, 1997: 6).
D. Program Katekese Sebagai Sarana Mendalami Gagasan Pendidikan St.
Angela Merici dalam Karya Pendidikan Ursulin di Zaman ini
Mengingat pendidikan Ursulin banyak yang bergerak dalam bentuk
pendidikan formal, maka program katekese ini lebih diarahkan untuk para pendidik
yang berkarya di sekolah-sekolah Ursulin khususnya guru-guru Yayasan Winaya
Bhakti Maria Asumpta. Untuk dapat memahami dan mewujudkan gagasan St.
Angela Merici tentang pendidikan, seorang pendidik Ursulin perlu memahami dan
mengenal pribadi St. Angela Merici dan gagasan-gagasannya tentang pendidikan
serta perlu mengetahui arah dan tujuan pendidikan yang diperjuangkan oleh St.
Angela Merici.
Dengan mengenal dan memahami pribadi St. Angela Merici dan gagasan-
gagasannya tentang pendidikan diharapkan dapat dijadikan inspirasi dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Pendidik juga diharapkan semakin
menghidupi semangat St. Angela Merici dan berusaha mewujudkan gagasan-gagasan
St. Angela Merici tentang pendidikan. Dengan pengenalan pribadi dan gagasan St.
Angela tentang pendidikan diharapkan dapat membantu para pendidik untuk sampai
pada kesadaran akan tugas yang harus diembannya sebagai suatu panggilan sebagai
pendidik. Kesadaran ini diharapkan dapat menggerakkan para pendidik untuk selalu
mengandalkan kekuatan dan bimbingan dari Tuhan.
92
1. Dasar Pemilihan Tema
Pengenalan pribadi St. Angela Merici dan pemahaman gagasan St. Angela
Merici mengenai pendidikan sangat penting bagi para pendidik di sekolah-sekolah
Ursulin dalam usaha mencapai kesatuan hati demi tercapainya tujuan pendidikan
Ursulin. Proses pengenalan dan pemahaman harus dilaksanakan secara terus
menerus, kontinyu, sehingga semangat St. Angela Merici sungguh dijiwai dan
diwujudkan para pendidik di zaman ini. Dengan demikian diharapkan para pendidik
semakin menyadari panggilannya sebagai seorang pendidik. Kesadaran akan
panggilannya mempengaruhi sikap dan cara yang dilakukan para pendidik untuk
dapat berkembang sebagai pribadi yang beriman dewasa, memiliki semangat dan
kemauan untuk terus belajar dan terbuka terhadap perubahan zaman, kreatif,
tanggung jawab dan peduli pada situasi sosial setempat serta memiliki semangat
“serviam” (saya mau mengabdi).
2. Usulan Tema Katekese
Pendidikan menurut St. Angela Merici mengarahkan anak didik pada
perkembangan pribadi yang utuh baik spiritual, intelektual, kepribadian dan
kepedulian terhadap situasi sekitarnya. Dalam hal ini peran pendidik dalam
pendidikan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya tujuan pendidikan. St. Angela
Merici melalui nasehatnya mengharapkan agar para pendidik hendaknya menyadari
perannya sebagai panggilan. Anak didik adalah titipan Tuhan yang harus dijaga,
dibimbing, dihargai dan diarahkan untuk mencapai keutuhan pribadi sebagai citra
Allah. Untuk mencapai keutuhan pribadi anak didik hendaknya memiliki dasar iman
yang kuat, menyadari tugasnya sebagai panggilan dan mampu menjadi teladan bagi
93
anak-anak yang dipercayakan kepada mereka. Dengan semakin mengenal dan
memahami pribadi dan gagasan-gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan dapat
dijadikan sebagai salah satu langkah positif yang dapat dijadikan inspirasi bagi para
pendidik dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.
Oleh karena itu penulis mengusulkan tiga tema untuk lebih mengenal dan
memahami pribadi dan gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan dalam usaha
mencapai tujuan pendidikan yakni pendewasaan pribadi utuh anak didik. Penulis
membagi tema-tema tersebut menjadi beberapa sub tema yaitu:
Tema I: St. Angela Merici Pemerhati Pendidikan.
a. Pengenalan Pribadi St. Angela Merici.
b. Nilai-nilai yang diwariskan St. Angela Merici.
Tema II: Pendidikan St. Angela Merici adalah pendidikan yang berorentasi pada
perkembangan pribadi yang utuh.
a. Gagasan-gagasan St. Angela Merici tentang Pendidikan.
b. Penghargaan sebagai pribadi menghantar anak didik pada kedewasaan
iman, kepribadian dan sikap untuk lebih terlibat.
Tema III: Menghayati panggilan sebagai pendidik.
a. Dasar seorang pendidik.
b. Tuhan adalah pendidik utama.
3. Pedoman Pelaksanaan Program
Pelaksanaan program katekese direncanakan akan dilaksanakan tiga kali
dalam satu tahun, dengan tema-tema sebagai berikut:
94
Tema Pertama: St. Angela Merici pemerhati pendidikan akan dilaksanakan pada
minggu ke dua, bulan Mei 2007 dalam bentuk sarasehan sehari.
Tema ke dua : “Pendidikan St. Angela Merici adalah pendidikan yang berorentasi
pada perkembangan pribadi yang utuh” akan dilaksanakan pada
minggu ke dua, bulan Juni 2007 dalam bentuk sarasehan sehari.
Tema ke tiga :“Menghayati panggilan sebagai pendidik” akan dilaksanakan pada
minggu ke dua, bulan Oktober 2007 dalam bentuk sarasehan sehari.
Penulis berharap agar program ini dapat membantu para pendidik Ursulin
untuk semakin mengenal, mendalami dan mewujudkan gagasan St. Angela Merici
tentang pendidikan dan mampu menyadari peran mereka sebagai pendidik. Untuk
memaparkan gagasan St. Angela Merici ini akan dilaksanakan secara
berkesinambungan dan terprogram dalam satu tahun.
4. Susunan Acara
a. Pelaksanaan Pertemuan : Selama sehari (hari Minggu) di mulai pukul
07.30 – 14.30 WIB.
b. Bentuk kegiatan : Sarasehan.
c. Lama Pertemuan : 7 x 60 menit setiap tema.
d. Tempat Pertemuan : Aula St. Maria Asumpta Klaten.
e. Waktu Pertemuan : Dilaksanakan pada hari Minggu Pkl. 07.30 –
14.30 sesuai tanggal yang ditentukan.
95
5. Usulan Program Katekese bagi Pendidik Ursulin NO TEMA TUJUAN
TEMA
SUB TEMA TUJUAN SUB TEMA
MATERI METODE SARANA SUMBER BAHAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1. Angela Merici Pemerhati Pendidikan
Bersama peserta se-makin mengenal dan memahami St. Angela dan usaha-nya dalam meng-angkat harkat dan martabat kaum perempuan sehingga mampu meneladani semangat dan menghidupi nilai-nilai yang diper-juangkan St. Angela dalam pendidikan.
1. Pengenalan
Pribadi St. Angela Merici
Bersama peserta semakin mengenal dan memahami pribadi St. Angela Merici sehingga mampu meneladani dan menjiwainya dalam menjalankan tugas sebagai pendidik.
- Autobiografi
St. Angela Merici
-Angela Merici dan Misinya
- Sharing -Dinamika kelompok - Informasi - Diskusi kelompok - Refleksi
- OHP - LCD, Laptop - Transparansi - Kaset, tape recorder - Kitab Suci - Teks Lagu
- Mariani, Luciana. (2004). Againts the tide Angela Meric. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin.
2. Nilai-nilai yang diwariskan St. Angela Merici
Bersama peserta semakin mengetahui dan mendalami nilai-nilai yang diwaris-kan St. Angela Merici sehingga dapat dijadikan inspirasi dalam tugasnya sebagai
-Kontemplasi dan Aksi -Sarana
Pendidikan
- Sharing - Dinamika kelompok - Informasi - Refleksi Permainan
- OHP - LCD, Laptop - Transparansi - Kaset, tape recorder - Kitab Suci, Teks Lagu - Taplak meja, air, dan gelas
- Ursuline Unio Romana. (1998). Kata-Kata St. Angela Merici. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin.
96
pendidik.
2.
Pendidikan St. Angela Merici adalah pendi-dikan yang berorientasi pada perkem-bangan pribadi yang utuh.
Bersama peserta semakin menyadari pentingnya pemaha-man dan pengenalan pribadi dan gagasan St. Angela tentang pendidikan sehingga mampu memper-kembangkan anak didik menuju pribadi yang mandiri, tanggung jawab dan beriman dalam dan dapat mewujud-kannya dalam kehidupan sehari-hari.
1. Pengenalan
Gagasan St. Angela Merici tentang Pendidikan
Bersama peserta semakin mengenal dan memahami gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan sehingga dapat mewujudkannya dalam tugasnya sehari-hari sebagai pendidik.
- Tujuan pendidikan - Sikap yang harus dimiliki seorang Pendidik
- Sharing - Dinamika kelompok - Informasi Permainan - Nonton
- OHP - LCD, Laptop - Transparansi - Kaset, tape recorder - Kitab Suci, Teks Lagu - Balon, tali rafia - CD “School of life”
- Ursuline Unio Romana. (1998). Kata-Kata St. Angela Merici. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin. - Film “School of life”
2. Penghargaan sebagai pribadi menghantar anak didik pada kedewasaan iman, kepriba-dian dan sikap untuk lebih ter-libat
Bersama pe-serta semakin menyadari bahwa subyek pen-didikan adalah anak didik yang merupakan titipan Allah dan dibantu untuk semakin dewasa dalam iman, kepribadian dan semakin terlibat dalam
- Pandangan St. Angela Merici tentang anak didik - Tahap atau psikologi anak - Anak didik sebagai citra Allah - Refleksi sejauh mana menghantar anak pada
- Sharing - Dinamika kelompok - Informasi
- OHP - LCD, Laptop - Transparansi - Kaset, tape recorder - Kitab Suci, Teks Lagu
- Ursuline Unio Romana. (1998). Kata-Kata St. Angela Merici. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin. - LAI. (2006). Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: LAI.
97
gereja dan masyarakat.
keterlibatan
3.
Menghayati panggilan sebagai pendidik
Bersama peserta semakin menghayati panggilannya sebagai pendidik dan menyadari bahwa tugas yang diper-cayakan adalah bersumber dari Allah sendiri dan Allah adalah pendidik yang utama.
1.Dasar seorang pendidik
2.Tuhan adalah pendidik utama
Bersama peserta semakin menghayati panggilannya sebagai pendidik dan menyadari bahwa tugas yang dipercayakan adalah bersumber dari Allah sendiri Bersama peserta semakin menyadari bahwa Allah sendiri adalah Pendidik yang utama sehingga semakin mengandalkan Tuhan dalam tugas pelayanannya.
- Nasehat 8, Kata-Kata St. Angela Merici - Film “Dangerous Mind” - Ciri-ciri seorang gembala yang baik - Nilai-nilai yang diperjuangkan sebagai gembala
- Sharing - Dinamika kelompok - Informasi - Nonton - Sharing - Dinamika kelompok - Informasi Permainan
- OHP - LCD, Laptop - Transparansi - Kaset, tape
recorder - Kitab Suci, - Teks Lagu - VCD
“Dangerous Mind”
- OHP - LCD, Laptop - Transparansi - Kaset, tape
recorder - Kitab Suci, - Teks Lagu - Tali rafia,
balon
- Ursuline Unio Romana. (1998). Kata-Kata St. Angela Merici. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin. - Film “Dangerous Mind” - LAI. (2006). Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: LAI.
98
6. Contoh Katekese I
Tema : Santa Angela Merici Pemerhati Pendidikan.
Tujuan : Bersama peserta semakin mengenal dan memahami St.
Angela dan usahanya dalam mengangkat harkat dan martabat
kaum perempuan sehingga mampu meneladani semangat dan
menghidupi nilai-nilai yang diperjuangkan St. Angela dalam
pendidikan.
Peserta : Guru-Guru Yayasan Winaya Bakti Maria Asumpta
Klaten.
Metode : - Sharing
- Dinamika kelompok
- Informasi
- Permainan
- Tanya jawab
- Refleksi
Materi : - Autobiografi St. Angela Merici
- Nilai-Nilai yang Diwariskan St. Angela Merici
Sarana : - OHP
- LCD, Laptop
- Transparansi
- Kaset, tape recorder
- Kitab Suci, Teks Lagu
- Taplak, air, gelas
99
Waktu : Minggu, Pkl. 07.30 s/d Pkl. 14.30 WIB
Sumber Bahan : - Luciana Mariani. OSU. (2004). Againts the tide
Angela Merici. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin.
- Ursuline Unio Romana. (1998). Kata-Kata St. Angela
Merici. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin.
PEMIKIRAN DASAR
Zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan informasi ini
membawa serta perubahan bagi kehidupan manusia. Harapannya orang mampu
memaknai perubahan ini sebagai suatu kesempatan untuk maju dan berkembang.
Namun pada kenyataannya orang lebih tertarik dan terpengaruh oleh perubahan-
perubahan yang membentuk orang semakin individualistis dan egoistis. Orang akan
berbuat apa saja asalkan dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan dirinya.
Situasi St. Angela hidup tidak jauh berbeda dengan situasi kita dewasa ini,
seperti krisis multi dimensi, berbagai bentuk ketidakadilan, kekacauan dan kerusuhan
di mana-mana, dan sebagian orang kehilangan orientasi hidup. Semua situasi ini
merupakan faktor penyebab lahirnya berbagai bentuk penderitaan baik lahir maupun
batin. St. Angela Merici sebagai anak zaman mempunyai suatu bentuk kepedulian
terhadap situasi-situasi yang memperihatinkan ini. Keharmonisan keluarga,
kesalehan dan ketenangan yang dialami sewaktu Angela kecil telah membentuk
Angela tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan tidak mudah terjerumus dalam arus
kemerosotan moral. Berkat kekuatan ini Angela tergerak untuk melakukan sesuatu
dalam usaha memperbaiki situasi-situasi yang memprihatinkan. Selain pembentukan
100
dalam keluarga, Angela sendiri berusaha untuk selalu mengandalkan kekuatan Tuhan
dengan tekun dalam doa, puasa dan matiraga. Inilah kekuatan dasar Angela Merici
dalam usaha memulihkan kembali harkat dan martabat kaum lemah khususnya kaum
perempuan. Di zaman Angela hidup, kaum perempuan hanya memiliki dua pilihan
yakni: menikah dan aman dalam perlindungan suami atau hidup membiara dan aman
dalam tembok-tembok biara. Perempuan dianggap tidak mampu mandiri dan selalu
butuh perlindungan. Tetapi Angela yakin bahwa perempuan memiliki kemampuan
untuk berkembang dan meningkatkan diri, mampu membangun dunia yang bahagia
bagi sesama. Maka ia membuat suatu gebrakan baru dengan mendirikan persekutuan
sebagai alternatif ketiga: hidup selibat yang dibaktikan pada Tuhan dan sesama di
tengah masyarakat.
Dalam pendidikan, semangat yang selalu ditekankan oleh St. Angela Merici
pendiri Ordo Santa Ursula ini adalah memiliki iman dan penyerahan pada Tuhan,
sikap keibuan yang penuh dengan kelembutan, keramahan, kegembiraan, mampu
menjadi teladan, memiliki relasi yang dekat dengan anak didik dan memiliki
semangat pengabdian (Serviam). Kiranya dengan mengenal dan memahami pribadi
dan semangat St. Angela Merici para pendidik dapat lebih semangat dan bertanggung
jawab dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Pengembangan langkah:
1. Pembukaan
a. Doa Pembukaan
Allah Bapa Yang Maha Kasih, kami bersyukur dan berterima kasih atas
kasih setia dan kebaikan-Mu yang telah mengumpulkan kami di tempat ini.
101
Hadirlah bersama kami dalam pertemuan ini, agar melalui pengenalan dan
pemahaman akan semangat St. Angela Merici dapat memberi semangat dan
inspirasi baru agar kami dapat semakin bersemangat dan lebih kreatif dalam
menjalankan tugas sebagai pendidik. Demi Kristus Tuhan kami. Amin
b. Lagu Pembuka: Teks “Bunda Angela Doakan Kami” (Terlampir)
c. Pengantar
Bapak/ibu guru yang terkasih, selamat datang, selamat pagi dan terima kasih
atas kesediaannya untuk hadir bersama-sama di tempat ini. Kita semua yang hadir di
sini saya percaya sudah mengenal St. Angela Merici dan nilai-nilai yang dihidupinya.
Kalaupun belum mendalam pengenalannya akan St. Angela Merici sekurang-
kurangnya pernah mendengar nama St. Angela Merici. St. Angela Merici adalah
seorang tokoh reformasi yang memiliki perhatian dan kepedulian pada pendidikan
bagi kaum lemah khususnya bagi kaum perempuan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa St. Angela Merici adalah ibu
sekaligus pelindung bagi karya pendidikan Ursulin maka sebagai pendidik yang
bergabung dalam karya pendidikan Ursulin diharapkan juga mengenal siapa St.
Angela Merici dan nilai-nilai St. Angela Merici tentang pendidikan.
2. Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Peserta
a. Peserta diajak untuk menyimak cerita bergambar tentang kisah St. Angela
Merici (Terlampir)
b. Menceritakan kembali secara singkat kisah St. Angela Merici.
102
c. Inti sari kisah St. Angela Merici tersebut adalah:
Angela Merici pendiri Ordo Santa Ursula lahir tahun 1474 di Desenzano,
Italia putri dari Giovanni Merici dan Caterina Biancosi. Pendidikan yang diterima
dalam keluarga, teladan dan nasehat yang diberikan orang tuanya sangat
mempengaruhi penghayatan hidup rohani dan perkembangan pribadi Angela. Ketika
masih remaja, Angela terpaksa menjadi yatim piatu dan harus kehilangan adiknya
yang tercinta karena diserang wabah. Ia akhirnya tinggal bersama pamannya yang
kaya raya di Salo. Meski segala kebutuhan terpenuhi dan memiliki banyak pembantu,
Angela tetap berusaha membina hidup sederhana, tekun, rajin mengerjakan pekerjaan
rumah yang biasa dilakukannya sewaktu masih di Desenzano. Agar bisa menerima
komuni kudus setiap hari dan dapat meningkatkan hidup sederhana, tekun dalam doa,
puasa dan matiraga, Angela bergabung menjadi anggota ordo ke tiga Fransiskan.
Sebagai anggota ordo ke tiga, misi pertama yang diemban Angela adalah
pergi ke Brescia untuk menghibur Catherine Patengola yang berduka karena
kehilangan suami dan kedua anaknya akibat diserang wabah. Di Brescia, Angela juga
bergabung dengan Perhimpunan Del Divino Amore yang memiliki keprihatinan pada
orang kecil dengan menampung para korban wabah, anak-anak yatim piatu, para
pelacur yang berminat untuk memperbaiki hidupnya. Kehadiran Angela sangat
berpengaruh bagi gadis-gadis karena kehadirannya diwarnai kasih keibuan yang
lembut, ramah, penuh perhatian sehingga mereka merasa dihargai sebagai pribadi.
Gadis-gadis itu akhirnya menggabungkan diri dalam karya amal, seperti menolong
orang sakit, menampung anak yatim piatu, membantu orang yang telah terjerumus
oleh ajaran sesat dengan pelajaran agama. Berkat teladan Angela, akhirnya mereka
103
pun menjadi awam yang sungguh-sungguh menyadari panggilannya sebagai
pengikut Kristus.
Angela juga mulai menghimpun gadis-gadis pada waktu-waktu tertentu untuk
berdoa bersama. Ia membekali mereka dengan ajaran iman sebagai kegiatan utama,
berbagai macam keterampilan, membaca dan menulis. Akhirnya, Angela
membentuk persekutuan pada tanggal 25 November 1535 dengan nama Persekutuan
Santa Ursula yang sekarang dikenal dengan nama Ordo Santa Ursula dengan jumlah
anggotanya 28 orang. Lima tahun setelah membentuk persekutuan ini, pada tanggal
27 Januari 1540, di tempat kediamannya dekat Gereja St. Afra, Angela
menghembuskan nafasnya terakhir, dan dibaringkan di Gereja St. Afra, hingga kini
jenazahnya sama sekali tidak ada tanda-tanda kerusakan. Dan pada tanggal 24 Mei
1807 melalui bulla “Aeterni Patres Sapientia”, Paus Pius VII menyatakan Angela
menjadi “Santa” di Basilika Vatikan.
d. Pengungkapan Pengalaman: Peserta diajak untuk mendalami kisah St. Angela
Merici tersebut dengan tuntunan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa saja yang dilakukan St. Angela Merici dalam usaha mengangkat harkat dan
martabat kaum perempuan di zamannya?
2. Ceritakanlah pengalaman bapak/ibu dalam menghadapi kesulitan dalam
menjalankan tugas sebagai pendidik!
e. Suatu contoh rangkuman
Dalam kisah tadi, St. Angela Merici berusaha membantu mengangkat hak
kaum perempuan dan dengan keberanian ia membuat suatu gebrakan baru dengan
memilih alternatif ke tiga dengan cara mendirikan persekutuan. Ia memberi tempat
104
kepada kaum perempuan yang ingin hidup selibat dengan mengabdikan diri pada
Tuhan tetapi tetap tinggal di keluarga masing-masing. Gadis-gadis yang
dikumpulkan dididik, diajarkan iman melalui pelajaran agama, membaca, menulis
dan menjahit.
Begitu pun dengan pengalaman kita sehari-hari sebagai seorang pendidik.
Kita tentu mengalami situasi sulit ketika kita harus berhadapan dengan anak-anak
zaman ini. Banyak hal yang tidak bisa kita pahami, yang dilakukan dan dialami oleh
anak-anak didik kita. Dunia yang diwarnai kecanggihan teknologi dan informasi
sebagian besar anak didik sudah banyak terpengaruh oleh budaya lain sehingga nilai-
nilai luhur budaya kita pun makin lama makin memudar. Inilah kesulitan dan
tantangan kita sebagai pendidik dalam mendidik anak-anak kita di zaman ini. Apa
yang harus kita lakukan, hanya dengan kelembutan, keramahan, perhatian,
pendampingan, keteladanan kita yang sanggup membantu anak-anak kita di zaman
ini, agar tidak mudah terpengaruh dalam arus zaman.
3. Langkah II: Mendalami Pengalaman Hidup Peserta
a. Peserta diajak untuk merefleksikan sharing pengalaman atau kisah St. Angela di
atas dengan dibantu pertanyaan berikut:
1. Mengapa St. Angela Merici berani membentuk suatu persekutuan sebagai
alternatif ke tiga bagi kaum perempuan?
2. Cara apa sajakah yang bapak/ibu gunakan ketika menghadapi kesulitan-kesulitan
dalam menjalankan tugas sebagai pendidik?
105
b. Dari jawaban yang telah diungkapkan oleh peserta, pendamping memberikan
rangkuman singkat.
c. Suatu contoh rangkuman
Karena keprihatian dan kepedulian St. Angela Merici kepada situasi kaum
perempuan di zamannya Angela berani melawan arus, yang tentu saja Angela harus
mengalami resiko dan tantangan dari berbagai pihak baik dari kaum religius maupun
pemerintah yang sudah mapan dengan aturan hidup seperti ke dua pilihan hidup yang
sudah dihidupi. Angela tidak mau terus mempertahankan kemapanan aturan itu.
Dengan dasar iman yang kuat ia berani melawan arus. St. Angela Merici memiliki
relasi yang dalam dengan Tuhan yang memampukan Angela membuat gebrakan baru
dan memberi semangat dan keberanian untuk bertindak sesuai rencana dan kehendak
Tuhan.
Begitu pun dengan kesulitan yang kita hadapi saat ini, kita tidak mungkin
pasrah pada situasi perubahan yang kian hari kian memporakporandakan nilai iman
dan moral manusia. Kita juga harus berjuang mengatasi situasi ini dengan berusaha
menanamkan nilai-nilai kepada anak didik, dan dengan keyakinan yang dalam akan
kekuatan dan penyertaan Tuhan kita berusaha untuk memberikan teladan dan
membimbing mereka menjadi pribadi yang dewasa. Selain itu, sebagai pribadi, kita
juga harus terbuka terhadap setiap perubahan di zaman ini, dan berani meninggalkan
kemapanan yang selama ini kita anggap baik. Segala kecanggihan teknologi
komunikasi dan informasi tidak dianggap sebagai ancaman melainkan merupakan
kesempatan untuk bisa maju dan berkembang. Kita diajak untuk selalu terbuka dan
memiliki kemauan untuk terus belajar dan berusaha kreatif dalam menanggapi
kebutuhan anak didik di zaman ini.
106
4. Langkah III: Menggali Pengalaman Iman Kristiani
a. Peserta diajak untuk merenungkan semangat yang dihidupi St. Angela Merici.
Renungan ini diawali dengan permainan “Bagaimana Melayani”.
1. Peserta diajak untuk membentuk kelompok dengan jumlah anggota 6 orang.
2. Caranya: Setiap kelompok harus membawa segelas air ke tempat yang
ditentukan dengan menggunakan taplak meja.
3. Di akhir permainan, peserta diajak untuk merefleksikan nilai-nilai yang diperoleh
dari permainan tadi secara umum.
b. Salah seorang peserta dimohon bantuannya untuk membacakan kata-kata St.
Angela (Terlampir).
c. Peserta diberi waktu untuk hening sejenak sambil secara pribadi merenungkan dan
menanggapi kata-kata St. Angela Merici dengan bantuan pertanyaan sebagai
berikut:
1. Nilai-nilai manakah yang menunjuk pada semangat St. Angela Merici?
2. Sikap-sikap mana yang ingin ditanamkan St. Angela Merici bagi para pendidik?
d. Pendamping memberikan interpretasi dari kata-kata St. Angela Merici
Allah telah memanggil kita sebagai pendidik. Karena itu patutlah kita
bersyukur dan yakin bahwa Allah akan membantu kita dalam segala hal. Dalam
pelayanan perlu dilandasi semangat cinta kasih, karena cinta akan memampukan kita
untuk bersikap lembut, bahkan keras sesuai dengan waktu dan tempat yang tepat.
Dalam menghadapi anak yang lemah, takut dan mudah kecil hati, hiburlah mereka.
Demikian pula bila berhadapan dengan anak yang terlalu bebas hati nuraninya,
tegurlah dia dengan cinta bahkan sikap tegas bila diperlukan. Berilah harapan dan
107
semangat untuk berani mengungkapkan potensi dan mengakui dirinya berharga.
Sebagai pendidik, jadilah contoh dan teladan bagi mereka, agar mereka dapat
menjalankan apa yang kita lakukan dan katakan khusus dalam hal kesederhanaan,
sopan santun, kegembiraan, kelembutan dan semangat pengabdian. Kita juga
diharapkan dapat mengenal, memahami kebutuhan setiap anak didik yang
dipercayakan kepada kita. Tugas ini akan terasa ringan dan menjadi anugerah apabila
kita mengandalkan Tuhan.
5. Langkah IV. Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Konkret Peserta a. Pengantar
Bapak/ibu guru yang terkasih… dalam pembicaraan-pembicaraan tadi kita
sudah mengenal St. Angela Merici dan merenungkan sikap atau cara seperti apa yang
harus kita lakukan sebagai seorang pendidik. Kita hendaknya berusaha agar
semangat yang ditanamkan Angela Merici ini kita hidupi dan wujudkan dalam tugas
kita sehari-hari.
b. Sebagai bahan refleksi agar kita dapat semakin menyadari dan menghayati tugas
kita sebagai pendidik bagi anak didik yang dipercayakan pada kita, kita akan
melihat situasi konkret dunia sekitar kita dalam menjalankan tugas kita sebagai
pendidik, dengan mencoba merenungkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah gunanya kita mengenal dan memahami semangat St. Angela Merici dalam
kaitannya dengan tugas kita menjadi pendidik?
108
2. Sikap-sikap mana yang bisa kita perjuangkan agar dapat meneladani dan
menghidupi semangat St. Angela Merici dalam mendidik anak didik yang
dipercayakan kepada kita?
Sebagai bahan renungan dalam rangka konfrontasi ini dapat diberi rangkuman
singkat dari hasil-hasil renungan pribadi mereka misalnya sebagai berikut:
c. Suatu contoh arah rangkuman penerapan pada situasi
St. Angela Merici adalah seorang pejuang hak asasi manusia. Dengan
keberanian dan tekad yang kuat Ia berani melawan arus agar dapat mengangkat
harkat dan martabat manusia. Kepekaan dan kepedulian akan penderitaan orang lain,
digerakkan oleh kekuatan Allah sendiri yang tinggal di dalam dirinya. Apapun yang
dilakukan dan dialami semuanya diserahkan kepada Yesus sebagai satu-satunya
harapan dan kekuatan “Langkah anda yang pertama senantiasa kembali ke Yesus
Kristus”. Dengan mengenal dan memahami semangat dan pribadi St. Angela Merici,
dapat menjadi tokoh teladan dan inspirasi bagi kita sebagai pendidik. Sebagai
seorang pendidik hendaklah selalu mengandalkan Tuhan dalam menjalankan tugas
sehari-hari. Sikap hidup yang ditekankan oleh St. Angela Merici hendaklah menjadi
pegangan dalam usaha mengembangkan pribadi anak didik. Kedekatannya dengan
Tuhan, nasehat, keteladanan, kelembutan senantiasa kita hidupi dalam menjalankan
tugas kita sebagai pendidik.
109
6. Langkah V: Mengusahakan Suatu Aksi Konkret
a. Pengantar
Bapak/ibu guru yang terkasih … setelah kita bersama-sama menggali
pengalaman kita sebagai seorang pendidik dan mengenal pribadi dan semangat St.
Angela Merici marilah kita memikirkan hal konkret apa yang bisa kita lakukan.
Berkat kedekatan relasi dengan Tuhan, Angela tergerak untuk melakukan sesuatu
dalam usaha memperbaiki situasi-situasi yang memprihatinkan. Selain pembentukan
dalam keluarga, Angela sendiri berusaha untuk selalu mengandalkan kekuatan Tuhan
dengan tekun dalam doa, puasa dan matiraga. Inilah kekuatan dasar Angela Merici
dalam usaha memulihkan kembali harkat dan martabat kaum lemah khususnya kaum
perempuan. Angela yakin bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk
berkembang dan meningkatkan diri, mampu membangun dunia yang bahagia bagi
sesama. Ia membuat suatu gebrakan baru dengan mendirikan persekutuan sebagai
alternatif ke tiga: hidup selibat yang dibaktikan pada Tuhan dan sesama di tengah
masyarakat.
Semangat yang selalu ditekankan oleh St. Angela Merici pendiri Ordo Santa
Ursula ini adalah memiliki iman yang mendalam, sikap keibuan yang penuh dengan
kelembutan, keramahan, kegembiraan, keteladanan dan memberi semangat dan
harapan pada anak. Semoga dengan mengenal dan memahami pribadi dan semangat
St. Angela Merici para pendidik dapat memiliki semangat baru dan bertanggung
jawab dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
110
b. Memikirkan niat-niat bentuk keterlibatan kita yang baru (pribadi, kelompok atau
bersama) untuk lebih meningkatkan pendampingan kita khususnya dalam usaha
untuk mengembangkan pribadi yang utuh anak didik. Berikut ini adalah
pertanyaan penuntun untuk membantu peserta untuk membuat niat-niat.
1. Niat apa yang hendak kita lakukan untuk semakin menghidupi dan menjiwai
semangat St. Angela Merici?
2. Hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan dalam mewujudkan niat-niat tersebut?
7. Penutup
a. Kesempatan doa umat spontan yang diawali oleh pendamping sesuai dengan
kebutuhan para peserta. Disusul doa spontan oleh para peserta yang lain. Akhir doa
umat ditutup dengan doa Bapa Kami dan disusul dengan doa penutup.
b. Doa Penutup
Allah Bapa Kami yang Maha Bijaksana, kami bersyukur atas kesempatan ini,
di mana kami boleh saling mensharingkan pengalaman. Semoga sharing pengalaman
ini memperkaya satu sama lain dan memberi semangat baru dalam melaksanakan
tugas kami sebagai pendidik. Bantulah kami agar kami mampu meneladani St.
Angela Merici dan menghidupi semangatnya dalam tugas yang Kau percayakan
kepada kami. Bantulah kami agar selalu mengandalkan Engkau sebagai Pendidik
Utama kami. Doa ini kami panjatkan kepada-Mu dengan perantaraan Kristus Tuhan
kami. Amin.
c. Lagu Penutup : Teks “Langkah Anda Pertama Kembali ke Yesus Kristus”
(Terlampir)
111
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu seseorang untuk
menangkap nilai-nilai hidup manusia dan menciptakan kader-kader manusia yang
mau membangun dunia dan mengarahkan seseorang untuk bersikap kritis terhadap
situasi yang dialaminya sehingga mampu menyesuaikan diri dengan arus dan
pengaruh yang ada.
St. Angela Merici hidup pada abad 15-16 (1474–1540) di Desenzano, Salo
dan Brescia – Italia. Lahir dari sebuah keluarga yang saleh, dan telah menjadi tokoh
besar dalam sejarah karena memiliki keberanian dan kepedulian dalam hal
pendidikan bagi kaum perempuan. Masa hidup Angela Merici ditandai dengan
kemerosotan moral, ketidakadilan namun berkat persatuannya dengan Tuhan telah
membuat Angela Merici tumbuh menjadi pribadi yang beriman dewasa, sederhana,
rendah hati, bijaksana, sabar, lemah lembut dan peka terhadap sesama.
Keharmonisan keluarga, kesalehan dan ketenangan yang dialami sewaktu Angela
kecil telah membentuk Angela tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan tidak mudah
terpengaruh dalam arus zaman itu. Pendidikan yang diterima dalam keluarga, teladan
dan nasehat yang diberikan orang tuanya sangat mempengaruhi penghayatan hidup
rohani dan perkembangan pribadi Angela Merici. Seluruh pengalaman hidupnya
dituangkan dalam Regula, Nasehat dan Warisan yang menjadi pedoman hidup bagi
para pengikutnya hingga kini. St. Angela sendiri tidak pernah mengenyam
112
pendidikan formal namun visinya yang tajam tentang pendidikan telah menembus
sekian lapisan zaman hingga millenium III ini.
Bagi Angela, pendidikan harus diawali adanya kesadaran manusia bahwa
manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna (Kej 1: 27). Pendidik dalam seluruh
aktivitasnya berhadapan langsung dengan anak didik, maka anak didik dikatakan
sebagai subyek pendidikan. Orientasi seluruh proses pendidikan adalah menghantar
anak menjadi pribadi utuh yang berkembang dalam iman, kepribadian dan sikap
yang selalu peduli pada sesama. Semua yang dilakukan berdasarkan pada
penghargaannya pada setiap pribadi agar mereka mengalami kasih dan kehadiran
Allah lewat sesama yang dijumpai. Perkembangan iman yang mendalam dan
pribadi yang mantap menjadi prioritas pendidikan Angela Merici bagi anak didik
sehingga mampu menjalin relasi secara pribadi dan mendalam dengan Tuhan.
Pendidik dalam melaksanakan tugas panggilannya harus memiliki iman dan
penyerahan diri pada Tuhan. Hal tersebut ditegaskan Angela Merici, karena dengan
iman, seluruh tugas yang diemban akan dapat berjalan dengan baik sesuai rencana
Tuhan. Dalam mendukung proses pendidikan menurut St. Angela Merici, pendidik
perlu memahami dan menyadari perannya. Pertama-tama pendidik harus sadar
bahwa pendidik yang utama adalah Tuhan sedangkan mereka hanyalah utusan Tuhan
untuk mendidik anak didik yang dipercayakan kepada mereka. Kesadaran ini,
memampukan pendidik untuk menyadari bahwa segala keberhasilan yang diperoleh
bukanlah semata-mata jerih payah mereka sendiri tetapi karena peran serta Tuhan.
Dengan iman dan kesadaran akan tugasnya ini, pendidik juga harus mampu menjadi
teladan iman, karena iman yang dimiliki harus diteruskan kepada anak didik agar
anak didik mampu melihat dan meneladani sikap-sikap yang berguna bagi hidupnya.
113
Sebagai “cermin”, pendidik harus mampu memupuk semangat cinta kasih yang
diwarnai kebenaran, kejujuran, dan mampu membentuk sikap dan rasa tanggung
jawab kepada anak didik. Dasar dari semuanya adalah cinta, karena dengan cinta
akan memampukan pendidik untuk memahami dan menghargai setiap anak didik
dengan segala kelemahan dan keunikan mereka, bersikap lembut, ramah, gembira
dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya.
Untuk mencapai perkembangan pribadi utuh anak didik, perlu dibentuk
pribadi yang dewasa dalam iman, berwawasan luas, berani mengungkapkan
pendapat, bersikap jujur, kreatif, kritis, mandiri dan bertanggung jawab. Anak perlu
diarahkan untuk mengembangkan imannya, menumbuhkan kepekaan terhadap
kehadiran Tuhan dalam dirinya dan orang lain. Pengalaman iman yang dimiliki harus
diwujudkan dalam tindakan dengan membantu anak didik untuk menanamkan
kesadaran/kepedulian sosial baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Sebagai orang beriman yang sadar akan tugas panggilannya, anak didik
dibantu menjadi pribadi yang mau terlibat untuk memajukan kepentingan
masyarakat dunia dan berdayaguna melayani pengembangan Kerajaan Allah.
Seiring dengan perkembangan zaman yang diwarnai dengan perubahan-
perubahan baik cara berpikir dan bertindak manusia, gagasan-gagasan ini menjadi
pedoman dasar dan utama dalam usaha untuk mencapai tujuan pendidikan menuju
perkembangan pribadi utuh anak didik. Ursulin dalam karya pendidikannya tetap
konsisten mengembangkan sayapnya bergerak di bidang pendidikan, karena
pendidikan merupakan salah satu cara untuk membantu generasi muda menghadapi
dan mengatasi tantangan-tantangan yang terjadi di zaman ini.
114
Kesimpulannya adalah bahwa meski zaman dan situasi berbeda seiring
dengan berbagai perubahan baik cara berpikir, cara hidup maupun cara menyajikan
pendidikan, gagasan St. Angela Merici tetap relevan dan bermakna bagi dunia
pendidikan di zaman ini. Gagasan-gagasan ini mencakup seluruh pengelola
pendidikan baik dalam keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Sadar akan makna
nilai-nilai yang mendalam dari gagasan St. Angela Merici maka para pengelola
pendidikan Ursulin di zaman ini terus berusaha untuk mewujudkan dan
menghidupinya dalam usaha memanusiakan manusia yang berkembang dalam aspek
kepribadian, spiritual, intelektual dan kepedulian pada sesama. Zaman ini menuntut
setiap pendidik baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat memiliki suatu
kecerdasan tersendiri dalam pembinaan nurani. Ia harus mampu memilih dengan
bijaksana kiat-kiat yang paling sesuai dalam pembinaan nurani generasi di zaman
ini. Gagasan-gagasan St. Angela Merici tentang tujuan pendidikan, peran dan sikap
pendidik seperti keramahan, kelembutan, ketegasan masih tetap inspiratif bagi para
pendidik di zaman ini. Visi pendidikannya tentang pembentukan manusia beriman,
manusia bermoral dan manusia berbudi luhur masih dijadikan arah pendidikan
Ursulin di zaman ini.
Salah satu upaya untuk membantu para pendidik Ursulin memahami,
menghidupi dan mewujudkan gagasan-gagasan St. Angela Merici tentang pendidikan
adalah melalui katekese. Katekese sebagai pendidikan iman berupaya agar
membantu para pendidik untuk mendalami peran dan tugas panggilannya masing-
masing dengan mendialogkan pengalaman hidup yang dialami sehari-hari dengan
terang Sabda Allah dan tradisi-tradisi Kristiani.
115
Untuk lebih meningkatkan usaha untuk mencapai tujuan pendidikan, di
bawah ini penulis ingin memberikan saran-saran yang mendukung karya pendidikan
Ursulin Indonesia di zaman ini.
B. Saran
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Ursulin di zaman ini
beberapa saran yang diusulkan adalah:
1. Keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan pilar pendidikan bagi seorang anak
didik, karena itu perlu terciptanya kerja sama agar proses pendidikan seorang
anak bisa saling mendukung, melengkapi dan berkesinambungan. Dalam hal ini
ada usaha bersama untuk mencari dan menemukan kiat-kiat baru dalam cara
mendidik.
2. Sebagai pendidik yang berkarya dalam pendidikan Ursulin sebaiknya mengenal,
memahami, mendalami dan menghidupi dengan baik, gagasan-gagasan St.
Angela Merici tentang pendidikan, sehingga dapat dijadikan teladan dan inspirasi
dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
3. Disarankan agar dalam lembaga pendidikan Ursulin, setiap yayasan membuat
suatu program pembekalan atau penyegaran yang bertema tentang St. Angela
Merici bagi para pendidik agar para pendidik yang sudah lama berkarya maupun
yang baru berkarya dalam pelayanan tetap memperhatikan tujuan pendidikan
menurut St. Angela Merici serta mampu menghidupi dan mewujudkan gagasan-
gagasan St. Angela tentang pendidikan.
4. Para pendidik Ursulin diharapkan untuk terus meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia dengan memiliki kemampuan dan keterampilan mengajar dan
116
mendidik, mendampingi, dan menjalin relasi untuk dekat dengan anak didik serta
memperluas wawasan dalam hal mendidik. Untuk itu disarankan agar para
pendidik diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan, seminar, kursus-kursus
sehingga wawasan dan keterampilan mengajar dan mendidik terus diasah. Dalam
pendidikan formal dan nonformal, untuk dapat menghadapi situasi persaingan,
lembaga perlu mengutus para pendidik untuk mengadakan studi banding sekolah
lain yang ada di luar negeri maupun di dalam negeri dan memperdalam bahasa
asing seperti Bahasa Inggris.
5. Pendidik dalam hal ini guru yang oleh hasil uji kompetensi kurang kompeten
menjadi seorang pendidik hendaknya diarahkan untuk studi lanjut guna
meningkatkan kompetensinya sebagai pendidik yang handal sesuai bidangnya.
6. Untuk yayasan disarankan terus meningkatkan sarana prasarana yang memadai,
suasana yang mendukung proses pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman dan
berani untuk bersaing secara sehat dan menjalin kerja sama dengan pihak lain.
7. Berhadapan dengan kurikulum yang baku dan kurang menekankan nilai-nilai,
perlu dikembangkan adanya hidden curriculum, kurikulum tersembunyi yang
tidak secara eksplisit dicantumkan dalam kurikulum formal tetapi punya dampak
dan pengaruh yang besar pada anak didik seperti, kegiatan ekstrakurikuler,
latihan kepemimpinan, kesadaran gender, live-in, dll.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat membantu lembaga
pendidikan Ursulin untuk dapat meningkatkan upaya mewujudkan gagasan St.
Angela Merici dalam karya pendidikan Ursulin di zaman ini, sehingga dapat
menghantar anak didik untuk mencapai perkembangan yang utuh.
117
DAFTAR PUSTAKA
Adisusanto, F.X. S.J. (2000). Katekese Sebagai Pendidikan Iman. Seri Puskat 372. Ambroise, Yvon. (1987). Pendidikan Non Formal: Latar Belakang dan Filsafatnya
dalam Pendidikan Non Formal sebagai Pendidikan orang dewasa. Seri forum LPPS no. 10. Jakarta: Sarasehan Pengembangan Masyarakat. hal. 7-17.
Aprilianto. (2006). Membina Kepribadian Anak yang Positif dan Kuat. Dalam Majalah Educare. No. 04/III/Juli. hal. 46-48.
Banawiratma, J.B. S.J. (1991). Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. (2000). Perspektif Etika. Yogyakarta: Kanisius. Brotosiswojo, Suprapto. B. (2000). Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
serta Globalisasi. Dalam buku Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. (Sindhunata. Ed.). Yogyakarta: Kanisius. hal. 91-101.
Buchory, Mochtar. (2000). Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia. Dalam buku Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. (Sindhunata. Ed.). Yogyakarta: Kanisius. hal. 17-34.
________. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius. Darminta, J. S.J. (2006). Praksis Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Kanisius. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Driyakara. (1980). Driyakarkara Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Drost, J. S.J. (2001) Ignatian Pedagogy a Practical Approach, Yogyakarta. Endro, S. Eklas. (2006). Bentuk Pembelajaran untuk Peduli pada Sesama, Dalam
Majalah Educare. No.04/III/Juli. hal. 30-31. Francesco. O.S.U. (2002). Fikir. Jakarta. Freire, Paulo. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. (LP3ES) Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi dan Sosial. Hasil Pertemuan Pendidikan Ursulin Asia Pasifik. 3-7 April 2006. Bandung. Heryatno, W.W. F.X. S.J. Drs. M.Ed. (1997). Shared Christian Praxis: Suatu Model
Berkatekese: saduran bebas dari Thomas H. Groome, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry; New York: Harper Collins. Seri LPKP No. 05. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat.
Iswarahadi, Y.I. S.J. (2003). Beriman dengan Bermedia, Yogyakarta: Kanisius. Jhon de Santo. (2006). Upaya Memahami Perkembangan Anak. Dalam Majalah
Educare. No.04/III/Juli. hal. 49-50. Kewuel, H. Kristoforus. (2006). Potret Pendidikan Kita, Cermin Tiga Wajah. Dalam
Majalah Educare. No. 03/III/Juni. hal. 19-20. Komisi Pendidikan Ursulin. (2005). Statistik Karya Pendidikan Ursulin Indonesia,
Jakarta. Konsili Vatikan II. (1993). Gracissimum Educationis (GE). Jakarta: Obor. ______. Perfectae Caritatis (PC). Jakarta: Obor.
118
Ledochowska, Teresa. (1967). Angela Merici and the Company of St. Ursula. Rome.
Mangunwijaya, Y.B. (1998). Beberapa Gagasan Tentang SD bagi 20 Juta Anak dari Keluarga Kurang Mampu. Dalam buku Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius. hal. 16-27.
Mardiatmadja, B. S. Dr. (1989). Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Mariani, Luciana. O.S.U. (2004). Againts the tide Angela Merici. Bandung: Pusat
Biarawati Ursulin. Marie de Saint Jean Martin. (1946). Ursuline Method of Education. Rahway. Martasudjita, Pr. Dehumanisasi – Dampak Globalisasi. Dalam Majalah Fenomena.
Edisi IX/2001. Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta. hal. 2-3. Sasmita, Maria Dolorosa. (1980). Sekelumit Santa Angela. Bandung: Pusat
Biarawati Ursulin. Seto. (2000). Pendidikan dan Masalah Perkembangan Anak. Dalam buku Membuka
Masa Depan Anak-Anak Kita, (Sindhunata. Ed.). Yogyakarta: Kanisius. hal. 85-92.
Seynaeve, Marie. (1982). St. Angela dan Para Ursulin Pertama. Rome. Soedjati, J. Djiwandono. (2000). Globalisasi dan Pendidikan Nilai. Dalam buku
Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. (Sindhunata. Ed.). Yogyakarta: Kanisius. hal. 103-115.
Sudarminta, J. (2000). Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga. Dalam buku Transformasi Pendidikan. (A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih. Eds.). Yogyakarta: Kanisius. hal. 3-8.
Sumargi, Agnes Maria. (2005). Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak. Dalam Majalah Gracia. No. 06/Thn I/April-Mei. hal. 11, 48-49.
Sumarno, S.J. (2005). Diktat Kuliah Praktek Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama Katolik Paroki.
Suparno, P. S.J. (1999). Pendidikan Dasar yang Lebih Demokratis. Dalam buku Pendidikan Dasar Yang Demokratis. (Paul Suparno. S.J. Eds.). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. hal. 32-46.
Sutarjo, Adisusilo J.R.. (2000). Pendidikan nilai dalam Ilmu-lmu Sosial – Humaniora. Dalam buku Transformasi Pendidikan. (A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih. Eds.). Yogyakarta: Kanisius. hal. 71-91.
Suwarso, Drs. (1982). Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru.
Tanlain, Wens. M.Pd. Drs. Dkk. (1996). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Tilaar, H.A.R. (2005). Manifesto Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Kanisius. Ursuline Unio Romana. (1998). Kata-Kata St. Angela: Regula, Nasehat, Warisan.
Bandung: Pusat Biarawati Ursulin.
________. (1984). Konstitusi Ordo Santa Ursula Unio Romana. Bandung: Pusat Biarawati Ursulin.
Waidl, A. (2000). Pendidikan yang Memahami Manusia. Dalam buku Transformasi Pendidikan. (A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih. Eds.). Yogyakarta: Kanisius. hal. 22-23.
Widyatmoko, Kukuh. SH. M.Pd. (2006). Problem Sekolahku, Rumahku. Dalam Majalah Educare. No. 13/III/Juni. hal. 7-17.
119
Yohanes, Paulus II. (1992). Cathechesi Tradendae. Anjuran kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini. (Penerjemah: Hardawiryana. S.J) Jakarta: Dokpen KWI (Dokumen asli diterbitkan 16 Oktober 1979).
______. Vita Consetrata (VC). Anjuran apostolis tentang hidup bakti. (Penerjemah: Hardawiryana. S.J). Jakarta: Dokpen KWI. (Dokumen asli diterbitkan 25 Maret 1996).
(1)
LAMBANG DAN ARTI SERVIAM
1. Warna dasar hijau: Menyatakan PENGHARAPAN cita-cita yang luhur.
2. Gugusan bintang Beruang Kecil/Ursa Minor: a. Lambang nama Santa Ursula pelindung Ordo Santa Ursula
dan sekolah-sekolah Ursulin URSULA: kata yang menyatakan kesayangan, diturunkan dari kata URSUS.
b. Cita-cita yang luhur setinggi bintang di langit. Demi cinta kepada bangsa dan negara, tidak puas dengan usaha yang asal saja dan hasil yang setengah-setengah.
3. Salib: a. Lambang Pendidikan Ursulin berdasarkan ajaran Kristiani. b. Lambang PENGORBANAN.
Berakit-rakit ke hulu, Berenang-renang ke tepian, Bersakit-sakit dahulu, Bersenang-senang kemudian.
c. Lambang KEMENANGAN. Sesudah berkorban dan mengabdi, kita dapat mengharapkan mahkota yang abadi.
d. Lambang BERKAT. 4. Serviam:
Semboyan kita yang artinya SAYA MENGABDI (Latin) Semangat Serviam tidak hanya mementingkan pengajaran, melainkan juga pembentukan pribadi yang luhur (Pancasilais).
SERVIAM S ayangilah sesamamu E ratkanlah hubungan antara Tuhan dan pribadimu R ajinlah belajar supaya menjadi seorang yang berguna V ide! Lihatlah lencanamu I ngatlah tugasmu sebagai makhluk, anak dan pelajar A wasilah pergaulanmu M ajukanlah NUSA dan BANGSAmu
(4)
(5)
KATA-KATA ST. ANGELA
“Selayaknya Anda berterima kasih sedalam-dalamnya karena Ia telah
memberkati Anda masing-masing dengan rahmat yang begitu khusus” (Prakata Regula art. 5)
Jangan sampai tugas ini menjadi suatu beban, tetapi sebaliknya, berterima kasihlah kepada Allah dengan sepenuh hati, karena Dia telah berkenan memilih Anda untuk membaktikan seluruh diri Anda, untuk memelihara dan menjaga harta milik-Nya (Prakata Nasehat art. 12). Yakinlah, percayalah sebulat-bulatnya bahwa Allah akan membantu Anda dalam segala hal (Prakata Nasehat art. 3)
Kenangkanlah mereka masing-masing sedalam-dalamnya di hati dan pikiran Anda, bukan hanya nama mereka, melainkan latar belakang dan kepribadian mereka, dan setiap hal mengenai mereka. Itu tidak sukar apabila Anda meliputi mereka dengan cinta yang sejati. Perhatikanlah bahwa seorang ibu meskipun mempunyai seribu anak masih sanggup memberikan tempat bagi setiap anak dalam hatinya, karena demikianlah kerjanya cinta sejati (Wasiat 2 art. 1-6). Maka camkanlah penghargaan yang harus Anda berikan kepada mereka, semakin Anda menghargai mereka, semakin Anda mencintai mereka; semakin Anda mencintai mereka semakin besar pula kesanggupan Anda untuk melayani mereka dan melindungi mereka (Prakata Nasehat art. 9-11)
Dengan kelembutan dan keramahan akan lebih berhasil dari pada dengan celaan ataupun kata-kata keras (Nasehat 2 art. 3). Saya tidak mengatakan bahwa kadang-kadang Anda tidak bersikap tegas, bahkan bersikap ketat dalam beberapa hal, pada tempat dan saatnya, itu semua tergantung pada pentingnya masalah, keadaan dan kebutuhan pribadi yang bersangkutan. Dalam hal itu pun seharusnya kita hanya digerakkan oleh kasih sayang dan cinta akan sesama (Warisan 3 art. 13-15)
Bagi Anda hiduplah sedemikian rupa, hingga Anda menjadi contoh bagi mereka; apa yang Anda ingin mereka lakukan, lakukanlah sendiri itu lebih dahulu. Bagaimana Anda dapat mengajarkan dan menganjurkan suatu kebajikan kecuali kalau Anda sendiri memiliki kebajikan itu atau setidak-tidaknya bersama-sama mereka mulai menjalankannya. Maka berusahalah memimpin dan mendorong mereka dengan contoh Anda sendiri sehingga mereka hidup baik (Nasehat 6 art. 1-6)
Bertindaklah, majulah, percayalah, berusahalah, yakinlah, berserulah kepada-Nya dengan segenap hati Anda. Anda tentu akan menyaksikan hal-hal yang mengagumkan bila Anda mengarahkan segalanya demi kemuliaan Allah dan kebahagiaan jiwa-jiwa (Prakata Nasehat art. 17-18)
Langkah Anda yang pertama senantiasa kembali ke kaki Yesus Kristus (Warisan Terakhir art. 3)