Upload
udin
View
225
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
URGENSI MEMPELAJARI BAHASA HUKUM INDONESIA SERTA SISTEMATIKA PENGGUNAANNYA
Citation preview
MAKALAH
“URGENSI MEMPELAJARI BAHASA HUKUM
INDONESIA SERTA SISTEMATIKA
PENGGUNAANNYA”
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia Hukum
Disusun Oleh :
Mohammad Syarifuddin Al Mubarok (14-23873)
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH)
SUNAN GIRI
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM STRATA SATU (S-1)
MALANG
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat yang
tidak pernah putus dan selalu diberikan kepada setiap hambanya. Makalah
sederhana ini merupakan salah satu tugas yang penulis buat guna memenuhi tugas
mata kuliah Bahasa Indonesia Hukum yang diampu oleh Dra. Erlianti, SH. MH
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih banyak kepada :
Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dorongan baik moril
maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini , Dosen Mata
kuliah Hukum serta rekan-rekan yang telah memberikan bantuan dan dorongan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Besar harapan penulis untuk dapat memahami penggunaan bahasa
indonesia hukum secara baik dan benar. Akhir, penulis menyadari tulisan ini
memiliki banyak kekurangan, karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca demi perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat
tulisan ini sebagai referensi.
Malang, 09 Februari 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
A. Pendahuluan..................................................................................... 1
B. Bahasa Hukum Indonesia ................................................................ 3
C. Urgensi Bahasa Hukum Indonesia Sebagai Bahasa Tulis Ilmiah.... 5
D. Pemakaian Ejaan dan Tanda Baca................................................... 7
E. Penutup............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA
iii
A. Pendahuluan
Bahasa memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan
umat manusia, dalam berkomunikasi sejak jaman dahulu hingga kini manusia
menggunakan bahasa. Hanya dengan bahasa dan melalui bahasa proses
pengenalan dan proses komunikasi dapat berlangsung. Bahasa Indonesia
pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Kongres Pemuda 28
Oktober 1928. Alasan yang mendukung pengikraran itu di antaranya adalah
bahasa Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad
sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Kedudukannya makin kuat
manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara
Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono, 2009). Meskipun sudah
menjadi bahasa negara, bagi hampir sebagian orang di Indonesia bahasa
Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya
dipelajari di bangku sekolah.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum, yang sangat menjunjung tinggi demokrasi, tentunya peraturan
undang-undang tidaklah asing untuk di dengar, bahkan di negara islam
sekalipun seperti Arab, juga berdasarkan hukum hanya saja hukum di negara
ini berasal dari hukum Islam. Sehingga penting sekali menguasai bahasa
hukum ITU SENDIRI, KHUSUSNYA BAHASA Indonesia yang menjadi
bahasa nasional kita.
Dalam pemakaiannya dalam masyarakat, muncul berbagai ragam
atau variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan
fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut dinamakan ragam bahasa
(Kridalaksana, 1984). Ragam bahasa dikelompokkan menjadi ragam bahasa
formal/resmi dan tidak formal/tidak resmi. Ragam bahasa yang oleh
penuturnya dianggap berprestise tinggi dan digunakan oleh kalangan terdidik
disebut ragam bahasa baku/formal.
iv
Hukum DM (Diterangkan-Menerangkan) adalah istilah yang mula-
mula dimunculkan oleh almarhum Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Hukum
DM itu sendiri memang merupakan salah satu sifat utama bahasa Indonesia
(BI). Sebuah frasa, terdiri atas unsur utama yang diikuti oleh unsur penjelas.
Ada juga bentuk susunan sebaliknya yaitu MD, tetapi jumlahnya agak
terbatas. Konstituen pembentuk frasa itu pun bermacam-macam, boleh nomina
(N), verba (V), adjektiva (Ad), pronomina (Pron), dan sebagainya. Kita lihat
contoh berikut ini:
NN : kandang kuda
NAdv : anak kemarin
NPron : anak saya
NfrPrep : rumah di bukit
Nad : rumah besar
VAdv : pergi lama
Npron : anak itu
NV : rumah makan
Perhatikanlah dengan baik kata pertama (yang diterangkan) maupun
kata kedua (yang menerangkan) dapat terdiri dari kelas kata apa saja: nomina,
verba, dan sebagainya. Juga bukan terdiri atas kata-kata sederhana (simple
word), namun dapat juga atas kata-kata turunan (complex words). Misalnya,
pertimbangkan hati nurani, ketenangan pikiran, kesederhanaan, dan
penampilan.
Konstituen menerangkan yang terdiri atas adverbia, frasa preposisi,
dan numeralia terletak mendahului konstituen utama yang diterangkannya.
Misalnya: belum dewasa, sudah pergi, di pasar, dari sekolah, lima anak, tiga
buah patung. Arti atau makna yang ditimbulkan oleh paduan kedua unsur frasa
itu dapat bermacam-macam seperti terlihat pada contoh-contoh berikut.
NV : rumah makan, kamar tidur (untuk tempat)
NAd : rumah baru, rumah sederhana (bersifat)
NN : padang pasir (yang tediri dari), buku bacaan (untuk di)
VAd : makan besar, tidur nyenyak (bersifat)
v
AdAd : biru muda, hitam manis (bersifat)
NumN : lima hari, seratus orang (menyatakan jumlah) dsb.
Melihat contoh-contoh di atas, bahwa dalam membentuk frasa, kita
pada umumnya menyusunnya seperti itu, yaitu pokok, yang utama, yang
diterangkan kita letakkan di depan, sedangkan keterangan atau penjelasannya
kita letakkan sesudah unsur pokok itu. Inilah yang ditonjolkan oleh istilah
Hukum DM itu.
Di sinilah kita lihat perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasa-
bahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang
tergolong dalam rumpun Indo-German seperti bahasa Belanda dan bahasa
Inggris. Dalam bahasa-bahasa itu susunannya adalah MD, yaitu konstituen
penjelasnya.
Misalnya, schoolbuilding (Inggris) `bangunan sekolah`,
gouverneurkantoor (Belanda) `kantor gubernur`. Ada pula yang menanyakan
apakah seorang wanita yang menjadi dokter disebut wanita dokter wanita?
Perhatikan: wanita dokter ialah `wanita yang menjadi dokter`, sedangkan
dokter wanita ialah `dokter yang keahliannya ialah penyakit-penyakit yang
diderita oleh wanita`; bandingkan dengan dokter anak, dokter kandungan,
wanita pencuri ialah `wanita yang suka mencuri`, sedangkan pencuri wanita
ialah `orang (laki-laki atau perempuan) yang mencuri wanita`; bandingkan
dengan wanita penipu dan penipu wanita.
B. Bahasa Hukum Indonesia
Ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum
disebut bahasa hukum Indonesia. Menurut Mahadi (1983:215), bahasa
hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang corak penggunaan bahasanya
khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa
hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II
tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun
kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota yang sama, Medan.
vi
Simposium tahun 1974 tersebut menghasilkan empat konstatasi berikut
(Mahadi dan Ahmad 1979 dalam Sudjiman 1999).
1. Bahasa Hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang
dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai
karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah
memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.
2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi,
serta gayanya.
3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum
yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk,
dan komposisi kalimat.
Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti
terdapat dalam konstatasi keempat di atas, yang tercermin dalam penulisan
dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah
membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-
undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu
banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada
hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan
dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur
bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini 1999:1—2). Di samping itu,
ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa Belanda daripada bahasa
asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman) karena bahasa Belanda wajib
dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum
sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan,
konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa
pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b)
dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai
sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen hukum
vii
sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia dalam
bidang hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39). Banyak istilah
asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum
konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit (lihat
Mahadi 1979).
Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa
kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam
kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah khusus
hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau samar-samar; (d)
menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa
Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam akta
notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan
terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen
hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat
perjanjian, akta notaris, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan,
sulit dipahami masyarakat awam.
Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan
karakteristik bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan
komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum
Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi, dan
gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau
orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya 2000:301).
Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum sendiri masih timbul
perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat Murniah 2007). Begitu
penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan pula oleh
Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum
yang berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen
HKI, surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan,
permohonan pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan
penerjemahan jenis barang/jasa, draf perjanjian.
Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja
masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani
viii
kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah 2007).
Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan kepada
masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan simposium 1974
waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum di
fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia di dalam penyusunan
rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata lain, dibutuhkan penulis
dokumen hukum yang memahami ketentuan perundang-undangan yang
menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki keterampilan dan
pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
C. Urgensi Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah
Bahasa hukum indonesia haruslah dipahami oleh semua kalangan,
dan secara khusus pada subjek hukum yang cakap hukum. Tujuannya bahasa
hukum indonesia sendiri pun sama yaitu memberi informasi yang tegas dan
jelas tentang suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar
masyarakat mematuhi hukum tersebut dan akan menciptakan suatu ketertiban
sosial, keamanan sosial dan keselarasan sosial sesuai yang diharapkan terlebih
lagi Bahasa Hukum Indonesia sangat penting dikuasai sebagai Bahasa Tulis
Ilmiah.
Tidak berbeda dengan bidang ilmu lainnya, bahasa hukum
Indonesia memiliki ciri-ciri bahasa keilmuan (Moeliono 1974 dalam
Natabaya 2000), yakni :
1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan
2. objektif dan menekan prasangka pribadi
3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang
diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran
4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi
5. membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya
berdasarkan konvensi
6. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai
ix
7. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang
dimiliki kata biasa.
Bahasa hukum Indonesia dalam surat-menyurat khususnya, menurut
Suryomurcito (2009), perlu memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah
yang tepat, kosakata yang beragam, kalimat yang singkat dan jelas, kalimat
yang mengandung satu pokok pikiran, dan tanda baca yang benar. Dengan
kata lain, supaya masyarakat lebih mudah memahaminya, disarankan untuk
menghindari kalimat yang bertele-tele, jangan mengulang-ulang, jangan
menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan yang digunakan di dalam
undang-undang, jangan salah menggunakan tanda baca, dan jangan salah
ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam bidang ilmu lainnya, dalam
dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar
yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan aturan
hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan yang
tersusun dalam kalimat yang efektif.
Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang
memperlihatkan bahwa proses penyampaian oleh penulis dan pembaca
berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud yang disampaikan oleh
penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang efektif dapat
dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan makna
antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur klausa dan
kesejajaran makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur dengan mengulang
bagian-bagian yang ditekankan; menunjukkan penghematan dalam kata.
Tulisan ini akan menyajikan pemakaian bahasa hukum di dalam surat
perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja (2006), dan surat perjanjian
pemberian pinjaman (2008). Dengan menganalisisnya secara kualitatif, yaitu
dengan memerikan gejala pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan
mengungkap penggunaan bahasa hukum yang sebenarnya.
D. Pemakaian Ejaan dan Tanda Baca
Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda
baca yang benar. Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan
x
penulis memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan dan mampu
menggunakannya secara tepat untuk menyatakan maksudnya. Kadang kala
pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna yang
disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di dalam
bahasa hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik koma.Terlepas
dari struktur kalimatnya, perhatikan contoh (1) berikut :(1) Bahwa Para
Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas
terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:
- Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang
asuransi jiwa;
Dalam kaidah bahasa Indonesia, tanda titik dua diganti titik satu
pada kalimat lengkap yang diikuti perincian berupa kalimat lengkap pula, dan
perincian diakhiri tanda titik (Utorodewo, Felicia N. dkk. 2004). Oleh karena
itu, pada kalimat pertama bukan titik dua yang mengakhiri kalimat, melainkan
titik satu karena perincian berikutnya, yaitu kalimat kedua, merupakan kalimat
yang sudah lengkap pula (mengandung unsur Subjek-Predikat-Pelengkap).
Di samping titik dua, penulisan di agaknya juga masih belum
diperhatikan oleh penulisnya. Di- ditulis menyambung jika kata yang
mengikutinya merupakan verba (kata kerja). Kata berimbuhan di- sebagai
awalan dapat diubah ke dalam bentuk kalimat aktif. Contoh: divonis-
memvonis. Jika tidak berdampingan dengan verba, di ditulis terpisah, misalnya
di pengadilan, di atas. Dengan demikian, kalimat kedua pada contoh (1)
dibidang diperbaiki menjadi di bidang.
Contoh pemakaian tanda titik dua yang kurang tepat masih dapat
dilihat pada (2) berikut ini.
(2) Tanpa persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum
lunas DEBITUR tidak diperkenankan untuk:
a. Menerima Kredit dari Bank lain,
b.Mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.
Tanda baca titik dua seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang
masih merupakan bagian dari kalimat yang bukan memberi penjelasan.
Karena masih merupakan bagian dari kalimat, setelah titik dua tidak perlu
xi
diawali dengan huruf kapital layaknya awal kalimat. Juga kata lain di dalam
kalimat yang bukan awal kalimat atau nama orang/tempat, tidak perlu ditulis
huruf kapital; begitu pula kata-kata dari bahasa asing sebaiknya ditulis dengan
huruf miring. Berikut perbaikan contoh (2). (2a) Tanpa persetujuan tertulis
dari bank, selama kredit belum lunas, debitor tidak diperkenankan untuk
a. menerima kredit dari bank lain,
b. mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.
1. Pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata
Tidak seperti dalam bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak
di dalam bahasa Indonesia digunakan kata bermakna jamak, seperti
beberapa, para, semua, atau kata bilangan. Ketika bentuk jamak itu
digunakan, nomina yang yang menyertainya tidak lagi diulang katanya.
(3) a. Selalu mentaati dan melaksanakan semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk tetapi tidak terbatas kepada,
seluruh ketentuan-ketentuan yang berlaku serta sesuai standar
profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim sebagai Tenaga
Pemasaran di Indonesia.
(4) DEBITUR dengan ini berjanji dan mengikat diri untuk
mensahkan semua tindakan-tindakan hukum…
Dalam contoh (3), selain kesalahan ejaan mentaati, yang seharusnya
menaati, ditemukan seluruh ketentuan-ketentuan dan contoh (4) semua
tindakan-tindakan. Supaya lebih hemat penggunaan katanya, diperbaiki
masing-masing menjadi seluruh ketentuan dan semua tindakan.
2. Pemakaian kata yang bersinonim
Dalam surat perjanjian kredit ditemukan pemakaian kata yang
makna dan fungsinya sama, seperti adalah merupakan, seperti terlihat
pada contoh berikut.
(5)Daftar pembayaran berikut perubahan-perubahannya adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit ini.
xii
Sebaiknya, kalimat (5) diperbaiki dengan menggunakan salah satu di
antara kedua kata tersebut, yaitu adalah atau merupakan.
3. Pengaruh unsur bahasa Inggris
Pengaruh bahasa Inggris dalam bahasa hukum marak ditemukan. Hal
tersebut dapat disebabkan penulisnya seorang dwi/multibahasawan.
Pengaruh bahasa Inggris tampak dalam penggunaan kata which dan where,
yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana, yang mana. Kedua
kata terjemahan tersebut bukan berperilaku konjungsi seperti halnya which
dan where. Untuk itu, kata-kata tersebut sebaiknya tidak digunakan atau
diganti dengan kata lain (lihat 6a) untuk (6) atau meniadakan kata mana
dalam (7) dan menambahkan tersebut (7a).
(6) Para Pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini,
Pihak Pertama akan membuka rekening khusus pada Bank yang disepakati
bersama oleh Para Pihak, yang mana rekening tersebut akan digunakan
oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar
sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening Khusus”).
(7) Apabila DEBITUR terlambat membayar angsuran (pokok
dan/atau bunga) sesuai jadwal yang ditetapkan diatas, maka DEBITUR
dikenakan denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh belas persil) per hari atas
jumlah angsuran yang harus dibayar. Denda mana harus dibayar secara
sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.
(6a) Para pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini,
Pihak Pertama akan membuka rekening khusus pada bank yang disepakati
bersama oleh para pihak. Rekening tersebut akan digunakan oleh para
pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar sehubungan dengan
pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”). (7a) […] Denda tersebut
harus dibayar secara sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang
tertunggak.
4. Pemakaian bahwa di depan Subjek
xiii
Konjungsi bahwa (dari bahasa Inggris whereas) merupakan
konjungsi yang banyak digunakan sebagai awal dari pernyataan hukum.
Akan tetapi, perlu diperhatikan tidak semua awal pernyataan dapat diawali
dengan bahwa. Perhatikan contoh (8) berikut.
(8) Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya
sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai
berikut:
Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur
yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi subjek, seperti Bahwa dia
tidak bersalah//telah dibuktikan (Sugono 2009:46-47). Kalimat itu dapat
dipermutasi menjadi Telah dibuktikan bahwa dia tidak bersalah. Bahwa
juga merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat pada kalimat
yang menggunakan adalah, merupakan, atau ialah, seperti Bahwa
percobaan itu gagal//merupakan risiko dia. Oleh karena itu, penggunaan
bahwa pada (8) sebaiknya ditiadakan sehingga dengan tegas kalimat itu
menampakkan Subjek, yaitu Para Pihak masing-masing dalam
kedudukannya sebagaimana tersebut di atas (lihat 8a).
(8a) Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana
tersebut di atas// terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut.
a. Pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar
Kesejajaran bentuk mengacu pada kesejajaran unsur-unsur di
dalam kalimat sehingga memudahkan pemahaman pengungkapan
pikiran (Alwi 2001). Bentuk kata yang sejajar lazim muncul pada
kalimat yang membutuhkan rincian/penjelasan; setiap rincian
menggunakan bentuk atau pola kata yang sama. Perhatikan contoh (9).
(9) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana:
1) Berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini.
2) Para Pihak setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri
Perjanjian ini.
3) Pihak Pertama sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan
kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan
xiv
pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan
oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
Pada awal setiap rincian terlihat bentuk atau pola yang tidak
sama. Rincian a tidak diawali dengan Subjek seperti halnya b dan c
yang mempunyai unsur Subjek: Para Pihak dan Pihak Pertama. Oleh
karena itu, rincian dalam a perlu ditambahkan Subjek. Selain itu, jika
masing-masing rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal itu berarti
kalimat pengantar ke rincian, yaitu Perjanjian ini akan berakhir secara
otomatis bilamana: juga harus merupakan kalimat yang lengkap. Agar
sempurna sebagai kalimat, perbaikan yang sesuai, misalnya sebagai
berikut. (9a) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana
terjadi kondisi-kondisi berikut.
a. Jangka waktu perjanjian ini// berakhir.
b. Para Pihak// setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri
perjanjian ini.
c. Pihak Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan
kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan
pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan
oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
b. Pemakaian kalimat yang panjang
Kalimat yang panjang sehingga sulit dipahami maknanya terjadi
karena ada beberapa gagasan di dalam satu kalimat yang ditumpuk-
tumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.
1) Selama Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan
tersebut harus dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya
kebakaran, kerusakan, kecurian atau bahaya lainnya yang
dianggap perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang disetujui
oleh BANK, untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang
dianggap baik oleh BANK, dengan ketentuan bahwa premi
asuransi dan biaya lain yang berkenaan dengan penutupan asuransi
tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam polis asuransi BANK
xv
ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk menerima segala
pembayaran berdasarkan asuransi itu (Banker’s Clause).
2) Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di
atas diurus oleh DEBITUR, maka DEBITUR wajib telah
mengajukan permohonan perpanjangan asuransi selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum tanggal
jatuh tempo polis asuransi, dan polis perpanjangan asuransi harus
telah diserahkan oleh DIBITUR kepada BANK selambat-
lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang
diperpanjang, demikian dengan ketentuan bahwa apabila pada
tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut, DEBITUR
tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi, maka
DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK, tanpa
BANK berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk
memperpanjang asuransi tersebut di atas biaya DEBITUR.
Kalimat 1. di atas berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan
yang dikemukakan di dalam kalimat itu, yaitu barang jaminan
dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran,
kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya pada maskapai asuransi
yang disetujui oleh bank, ketentuan pertanggungan adalah premi
asuransi dan biaya lain berkenaan dengan penutupan asuransi
dipikul oleh debitor; di dalam polis asuransi terdapat klausul
tentang hak bank untuk menerima segala pembayaran berdasarkan
asuransi itu.
Seperti kalimat 1 yang cukup panjang, kalimat 3 di atas
terdiri dari 91 kata. Dalam satu kalimat itu ada beberapa pokok
pikiran yang ingin disampaikan penulisnya, yaitu
(1) debitor wajib mengajukan permohonan perpanjangan asuransi
paling lambat satu bulan sebelum jatuh tempo polis asuransi;
(2) polis perpanjangan asuransi harus diserahkan debitor kepada
bank paling lambat pada tanggal jatuh tempo polis asuransi
yang diperpanjang;
xvi
(3) apabila pada tanggal jatuh tempo, debitor belum/tidak
menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor memberi
kuasa kepada bank untuk melakukan perpanjangan;
(4) bank diberi kuasa, tetapi tidak berkewajiban melaksanakannya;
(5) biaya perpanjang asuransi ditanggung oleh debitor.
Sebuah kalimat, kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas,
tidak akan menyulitkan untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada contoh
(10) menunjukkan ada kecenderungan untuk menghubungkan antargagasan
dengan konjungsi dan, padahal tidak semestinya setiap gagasan digabungkan
dengan dan. Berikut perbaikan yang disarankan untuk
1. Selama kredit tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut harus
dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran, kerusakan,
kecurian, atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh bank pada
maskapai yang disetujui oleh bank. Biaya premi asuransi dan lainnya yang
berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut dibebankan pada debitor.
Bank berhak menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu
(banker’s clause).
2. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas
diurus oleh debitor, debitor wajib telah mengajukan perpanjangan
asuransi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo
polis asuransi. Polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan kepada
bank selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang
diperpanjang. Apabila pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut
debitor tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi, debitor
memberi kuasa kepada bank, tetapi bank tidak berkewajiban untuk
melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi tersebut di atas dengan
biaya debitor.
c. Pemakaian Dalam Hal dan Maka
Sugono (2009:215) mengatakan bahwa di dalam kenyataan
penggunaan bahasa, terdapat sejumlah kalimat yang cukup berhasil
dalam penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi kaidah, kalimat-
kalimat itu tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat yang
xvii
dimaksud adalah kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsur-
unsurnya mana yang merupakan inti kalimat (induk kalimat) dan mana
yang anak kalimat (penjelas induk kalimat). Anak kalimat lazim
didahului oleh konjungsi dan induk kalimat tidak didahului oleh
konjungsi.
Dalam contoh (11) di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai
konjungsi, yang sebenarnya menyatakan suatu kondisi atau keadaan
yang belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip dengan jika,
apabila. Adanya konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak
kalimat tersebut diikuti dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai
anak kalimat karena diawali konjungsi maka. Oleh karena itu, kalimat
tidak dapat disebut kalimat majemuk bertingkat karena tidak ada
informasi yang diutamakan sebagai induk kalimat.
Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah bahasa
Indonesia. Perbaikan untuk (11) adalah dengan meniadakan salah satu
konjungsi, misalnya maka (11a). (11a) Dalam hal terjadi perbedaan
penafsiran antara versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang
berlaku adalah bahasa Indonesia.
E. Penutup
Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa
penulis dokumen hukum belum menguasai kaidah bahasa Indonesia. Bahasa
hukum Indonesia di dalam surat perjanjian yang diamati masih menunjukkan
kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan dalam penggunaan ejaan, tanda
baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum merupakan produk yang
diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan mana pun, bukan hanya orang
dari kalangan hukum, seharusnya penyusun dokumen hukum lebih
menyederhanakan penyampaian pesan atau maksud dari aturan atau
pernyataan di dalam pasal-pasalnya sehingga pembaca lebih mudah dan cepat
mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif perlu didukung oleh kaidah
xviii
ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis menyarankan agar ahli hukum
adalah juga pemerhati bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa Indonesia Hukum. Bandung: Pustaka.
Alwi, Hasan. 2001. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional. Http://www.legalitas.org/?q=node/67.
Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta.
xix