Upload
others
View
24
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Upacara Kematian dan Budaya Berkabung di Kalangan
Masyarakat Cina Benteng Tangerang Kota
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana (S.Ag.)
Oleh:
Siti Syifa Fauziah
NIM: 11140321000024
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
v
ABSTRAK
SITI SYIFA FAUZIAH
“Upacara Kematian Dan Budaya Berkabung di Kalangan Masyarakat Cina
Benteng Tangerang Kota”
Sejauh ini masyarakat Cina Benteng telah mempertahankan tradisi upacara
kematian secara utuh terlihat bahwa daya hidup tradisi yang kuat, penulis
menganalisis isi upacara kematian masyarakat Cina Benteng termasuk prosesinya.
Dari mulai upacara pemberangkatan jenazah dan upacara pemakaman hingga sesi
lainnya. Setiap prosesi upacara kematian memiliki makna khusus umumnya untuk
menujukan rasa bakti dan hormat terhadap orang yang meninggal. Selain itu ada
budaya Berkabung yang menandakan bahwa keluarga tersebut sedang berduka.
Penelitian ini yang menggunakan metode penelitian lapangan (field
research) yang didukung oleh studi kepustakaan (library research) dengan
pendekatan kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
adalah pendekatan antropologi. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan teknik observasi dan wawancara.
Hasil dari penelitian. Walaupun upacara kematian masyarakat Cina
Benteng terjadi perubahan kecil, mereka tetap menjaga tradisi dari nenek moyang
terdahulu dan selalu melaksanakan upacara kematian agar arwah yang meninggal
tetap tenang dan saling mendokan
Kata Kunci: Masyarakat Cina Benteng, Kematian dan Berkabung.
vi
KATA PENGANTAR
Alhmdulilahirrabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan
sebagai rasa sukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat beserta
salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi kita yaitu Nabi besar Muhammad
SAW yang telah membimbing umat manusia untuk menuju kehidupan yang lebih
berperadaban dari zaman kegelapan sehingga zaman benderang.
Dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan bimbingan dan saran
dari berbagai pihak sehingga penyusun skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu
penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Kedua Orang tua tercinta, abah Misna dan Emak Ratifah Fauziah, beserta
adik-adikku Abdul Jalil, Ahmad Gozali, Siti Hopipah Fauziah. Keluarga
besar Bpk Olot Antun dan Abah Kolot Aping. Yang selalu memberikan
pelajaran tak terhingga sampai sekarang ini.
2. Bapak Prof. M. Ikhsan Tanggok, M.SI, sebagai dosen pembimbing yang
selalu meluangkan waktu serta tenaganya untuk memberikan arahan dalam
menulis skripsi ini sehingga penulis dapat membuka pikiran yang lebih
mendalam.
3. Bapak. Dr. Media Zainul Bahri, Ma. selaku kajur dan Ibu Dra. Halimah,
MA. selaku sekjur Fakultas Ushuluddin Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Keluarga Besar HMB Jakarta, para pengurus periode 2018-2019, senior,
dan adik-adik. Khususnya kepada: ka, MK Ulumuddin, abangda Deni
Iskandar, ka Adhiya Mudzaki, teh Fizma, teh Teti, teh Arimah, ka Awad,
Wulan, teh Iya Ahdiyati, Wilu, Chyntia, Imron, Fahmi, Khilda Fauziah,
Siti Mahfudzoh, Hamidah, Malisa, Ifat, Asiah dan yang lainnya yang tak
bisa di sebutkan satu persatunya. Teruslah menerapkan ASAS HMB (IPK,
Intelektualitas, Pluralitas, Kekeluargaan).
5. Teman-teman PA-A dan PA-B 2014 yang selalu setia di dalam kelas untuk
kebersamaannya selama 4 tahun, dan selalu memberikan suport kepada
teman-temannya.
6. Kepada engkong Oey Tjin Enk, selaku Ketua Badan Penasehat Marga
Huang (Oey) Tangerang. Terimakasih atas informasi dan telah bersedia
meluangkan waktunya untuk kelengkapan dan penyempurnaan skripsi.
7. Keluarga besar HMI Komfuf (Komisariat Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat). Kohati Komfuf, Kohati Cabang Ciputat. Selalu Ber-YAKUSA.
8. Kepada semua teman Organisasi HMJ-PA Periode 2016. Bang Saniman,
Ucup, Animatun dkk. Tim Call Center Anis & Sandi. Ka Herna, ka Meta
dkk. DEMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarat 2018 (bidang
keperempuanan). Laila, Fanny dkk. Teman KKN 137. Jabbar, Igo, Ery,
Sarah, Rita dkk. KPU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017. Agung,
Triyono, Ikhsan dkk. Bakti Pemuda Nusantara. Bihan, Vida, Silmi dkk.
RELASI (Relawan Demokrasi 2019) KPU Kabupaten Tangerang: Teh
Nining, Aan, Windi, Gusti. Teman-teman Link Of Victory. Dian Septiana,
viii
Tuty Alw, Ombah dkk. Semoga kita semua selalu diberikan kelancaran
dalam segala urusan.
9. Kepada semua pihak yang secara tidak langsung telah membantu, baik
moral maupun materi dalam penyusunan skripsi. Semoga mendapatkan
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai
kesempurnaan, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 9 Mei 2019.
Siti Syifa Fauziah
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 9
F. Metode Penelitian........................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan..................................................................................... 14
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT CINA
BENTENG TANGERANG KOTA
A. Pengertian Cina Benteng ............................................................................... 16
B. Asal Mula Masyarakat Cina Benteng ............................................................ 18
C. Kondisi Masyarakat Cina Benteng ................................................................ 20
x
BAB III PROSESI UPACARA KEMATIAN DI KALANGAN
MASYARAKAT CINA BENTENG
A. Pengertian Upacara Kematian ....................................................................... 26
B. Prosesi Upacara Kematian Yang Dilakukan Sampai Tiga Tahunan .............. 27
C. Tujuan Dan Manfaat ...................................................................................... 44
BAB IV UPAKARA KEMATIAN DAN TRADISI BERKABUNG DALAM
MASYARAKAT CINA BENTENG
A. Alat-alat Upakara .......................................................................................... 46
B. Makna Berkabung ......................................................................................... 55
C. Makna Simbolik dan Nilai Filosofis dalam Perosesi Kematian dan Budaya
Berkabung ..................................................................................................... 57
D. Pelaku Upacara .............................................................................................. 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 59
B. Kritik dan Saran ............................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbhineka tunggal ika yang
artinya adalah berbeda-beda tetap satu jua. Indonesia mempunyai beragam
kekayaan alam yang sangat luas. Negara Indonesia dalam hal ini banyak sekali
perbedaan seperti budaya, suku, ras dan agama.
Terdapat hal yang perlu diingat bahwa dari zaman ke zaman bangsa
Indonesia mengalami proses akulturasi pada waktu yang berhadapan dengan
kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia. Negara India beserta agama
Hindu Buddha, dan kebudayaan Eropa beserta konsep ke moderenisasi. Dua
kebudayaan tersebut terbukti bahwa bangsa Indonesia mampu menyaring dan
menyesuaikan unsur-unsur asing ke dalam tata kehidupannya. Sedemikian rupa
budaya yang berada di Indonesia sehingga terasa cocok dan tidak ada
keterpaksaan.1 Budaya dan tradisi Indonesia yang sangat kaya, adalah warisan
turun temurun dari nenek moyang yang harus dilestarikan. Hal ini tentunya tidak
bisa begitu saja dilupakan, karena sudah sering dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri. Contohnya seperti melaksanakan tradisi pernikahan, perkawinan, upacara
kematian dan sebagainya. Kebudayaan dan tradisi lokal di Indonesia yang sering
dilakukannya, itulah sebuah kebiasaan dari nenek moyang sejak dahulu.
1 Edi Sedyawati, Keindonesiaan Dalam Budaya (Jakarta: Penerbit Wedatama Widya
Sastra, 2007), h. 41.
BAB I
2
2
Bangsa Indonesia dalam kesejarahannya sangat berkaitan erat dengan
keberadaan kelompok Tionghoa, baik pada masa kerajaan, penjajahan, Orde
Lama, Orde Baru maupun pada masa Pasca Orde Baru. Kelompok Tionghoa telah
hidup membaur dengan masyarakat pribumi. Kelompok ini umumnya bekerja
sebagai petani, pedagang, tetapi banyak pula yang menikah dengan perempuan
pribumi.2
Di bawah pemerintahan Belanda yang paling tertua masyarakat Cina
adalah di Batavia, pendiri kota batavia J.P. Coen menangkap beberapa ratusan
orang Cina dari Banten ketika ia menyerang dan membawa mereka ke markas
besar VOC yang baru didirikan. Ibu kota Banten, Mataram dan berbagai kerajaan
kecil lain dengan cara yang sama dan di perkuat dengan menekankan emigrasi ke
tempat-tempat, kemudian tersebar ke seluruh Kota. Diantaranya adalah Kota
Tangerang, orang Tionghoa di Tangerang bekerja sebagai petani, pedagang dan
sebagian lainnya mendirikan pabrik gula kecil dan industri di sekeliling kota
Batavia. Tidak ada hukum dan peraturan yang melarang mereka untuk tinggal
terpisah jauh dari kawasan sendiri. Adapun banyak orang Cina yang tinggal
bersama di daerah pecinan, itu merupakan pilihan mereka sendiri.3
Komunitas Tionghoa di Tangerang, Banten, Eddy Prabowo Witanto
seorang pengamat Tionghoa peranakan yang mengajar Bahasa Indonesia di
Beijing, mengatakan bahwa kawasan Teluk Naga di pesisir Tangerang
memperoleh nama yang berasal dari kedatangan perahu Cina dengan hiasan naga
2 MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT. LkiS
Printing Cemerlang, 2012), h. 43-44. 3 Onghokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di
Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 137 & 139.
3
3
di bagian kepala kapal. Komunitas Tionghoa di Tangerang umumnya berprofesi
sebagai petani.4
Kehidupan manusia dalam beragama dan dalam praktiknya tidak saja
dipengaruhi oleh aturan dogma atau nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama
saja, tetapi juga nilai yang berlaku di masyarakat, yang kadang memiliki
kesamaan nilai dengan ajaran agama yang dianutnya dan itu mempengaruhi
kebudayaan masyarakat, dan terkadang juga bertentangan.5
Di masyarakat Cina Benteng keturunan Tionghoa menganut beberapa
agama, ada yang dianut oleh masyarakat Cina Benteng adalah Islam, Hindu,
Budha dan Konghucu. Bahkan di kawasan Pasar Lama ada rumah Ibadah yaitu
kelenteng Bon Tek Bio itu ditempatkan dalam Tiga agama yaitu Budha,
Konghucu, Tao.
Cina Benteng berawal dari adanya seorang laki-laki yang bermukim,
kemudian menikah dengan orang pribumi. Kawasan Pasar Lama menjadi tempat
tinggal orang-orang Cina Benteng, dari anak hingga cucu tinggal di kawasan
tersebut, sampai banyak pula yang berpindah ke daerah Balaraja, Cisoka,
Tigaraksa dan sebagainnya.
Dalam perpaduan dua etnis ini menghasilkan suatu tradisi yaitu
pernikahan yang disebut Chiou Thau. Tradisi ini juga di lakukan oleh warga
Tionghoa di Padang dan sekitarnya. Chiou Thau ini istilah umum bagi suatu
upacara pernikahan yang unik dan langka. Secara harfiah Chiou Thau ini berarti
“mendandani rambut” sebuah ritual pelintasan yang harus di laksanakan sebagai
4 Iwan Santoso, Peranakan Tionghoa Di Nusantara (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2012), h. 25&26. 5 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama (Jakarta: UIN Press, 2015),
h. 8
4
4
pemurnian dan inisiasi pemasukan masa dewasa. Upacara ini hanya dilakukan
satu kali seumur hidup sesaat menjelang pernikahan, ketika sudah janda atau duda
yang menikah lagi tidak diperkenankan melakukan ritual untuk yang kedua
kalinya. Ada tafsiran lain tentang yang belum melaksanakan Chiou Thau
dianggap masih kanak-kanak.6
Istilah Chiou Thau mewakili seluruh upacara pernikahan. Ketika orang
yang tidak menjalankan ritual Chiou Thau belum secara resmi menikah sehingga
anaknya tidak diakui (dianggap anak haram). Pernikahan ini memang memiliki
dasar kuat dari tradisi Tionghoa, upacara ini bercampur dengan tradisi-tradisi
lokal Cina Benteng.
Kemudian tidak hanya upacara pernikahan (Chio Thau) saja yang menarik,
adapula upacara yang bisa disebut sakral yaitu upacara kematian yang selalu
dilaksanakan oleh masyarakt Cina Benteng, diawali dari hari pertama meninggal
hingga upacara tiga tahunan, dalam upacara kematian ini ada beberapa tahapan
pertama: (1) upacara masuk peti. Seusai dimandikan dan disiapkan peti mati
dengan sebaik-baiknya, kemudian jenazah diangkat oleh anak dan menantu laki-
laki. Karna laki-laki yang akan melanjutkan keturunan dan tenaganya lebih kuat,7
lalu dimasukkan ke dalam peti dan ditutup oleh kain tipis berwarna putih. Pada
tujuh lubang jenazah diletakkan mutiara yang dibungkus kapas. Kemudian pihak
keluarga meletakkan mata uang logam di tangan almarhum lalu disawerkan (agar
keluarga yang ditinggalkan diberi rezeki yang lancar semasa hidupnya), ke pihak
6 www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama), h. 16-17. 7 Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi terkait kenapa harus laki-laki yang
menganggkat jenazah. Tanggal 08 Juli 2019.
5
5
keluarga yang ditinggalkan. (2) upacara tuguran (Mai Song). Upacara
dilaksanakan satu malam sebelum jenazah dimakamkan, upacara ini biasanya di
sediakan sesajian lengkap yang terdiri dari dua belas makanan yang diletakkan di
meja sembahyang. (3) upacara pemberangkatan jenazah. (4) upacara
penyempurnaan. Adalah upacara yang dipersiapkan setelah semua keluarga tiba di
tempat. Di atas liang yang sudah diletakan dua buah kayu secara melintang,
kemudian janazah diletakan di atas kayu. Di hadapan jenazah selain diletakan foto
alhmarhum dan hio lo, disiapkan juga sesajian seperti beberapa macam buah-
buahan, kue, teh dan beberapa lilin putih. (5) upacara setahunan (siau siang).
Adalah upacara melakukan sembahyang di rumah sesajian yang dihidangkan
sama dengan sesajian Mai Song. Bedanya makanan yang disajikan berwarna putih
sebagai tanda berkabung. (6) upacara tiga tahunan. Adalah upacara yang
dilakukan setelah masa berkabung, upacara ini melaksanakan sembahyang di
rumah, upacara ini dapat diganti dengan upacara seratus hari.8 Sebelum upacara
tersebut dilaksanakan ada upacara tiga harian dan tujuh harian hingga masa
berkabung selesai. Berkabung ini dilakukan pada saat meninggal dunia hingga
selesai upacara tiga tahunan, keluarga yang di tinggalkan harus memakai pakaian
berkabung. Pakaian ini terbuat dari kain blacu putih, ada juga yang menggantinya
dengan karung goni. Pakaian ini dikenakan dengan terbalik, anak laki-laki atau
menantu laki-laki mengenakan ikat kepala dan membawa teng-teng di bahu.
Sedangkan anak perempuan atau menantu perempuan mengenakan kerudung
dengan bahan yang sama.9
8 www.gramedia.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 42-61. 9 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 13.
6
6
Akulturasi tersebut menghasilkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan
kebudayaan aslinya. Adapun kesenian masyarakat Cina Benteng yang telah
berakulturasi dengan masyarakat pribumi, salah satunya adalah Gambang
Kromong dan tari Cokek. Gambang Kromong adalah musik pengiring pertunjukan
lenong. Dari instrumen musik dan jenis lagu-lagunya terasa kuat pengaruh
Tionghoa. Perlengkapan musik ini dari namanya saja menunjukkan membaurnya
unsur-unsur Tionghoa, Melayu, Sunda, dan Jawa. Kemudian tari Cokek adalah
tarian khas Tangerang yang diwarnai budaya etnik Tionghoa. Tarian ini diiringi
orkes Gambang Kromong ala Betawi dengan penari mengenakan kebaya yang
disebut cokek. Cokek merupakan tradisi lokal masyarakat Betawi dan Cina
Benteng. Tarian cokek mirip tarian sintren dari Cirebon atau sejenisnya.
Hubungan interaksi yang terjadi pada masyarakat Cina Benteng dengan
masyarakat lokal di Tangerang tidak hanya terbentuk karena adanya proses
akulturasi kebudayaan, tetapi juga terjalin pada saat melaksanakan upacara
keagamaan.10
selama ini masih kental dilaksanakan hingga sekarang.
Manusia pasti akan kembali ke alam yang sesungguhnya yaitu alam
akhirat. Secara etimologis mati berarti padam, diam, dan tenang, artinya makhluk
yang tidak memiliki roh. Sedangkan kematian adalah terputusnya hubungan dan
terpisahnya roh dengan badan atau jasad. Bisa dimaknakan juga bergantinya
keadaan yang berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, setiap yang
bernyawa itu pasti akan mati. Tentunya semua makhluk hidup, termasuk manusia,
10
Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 58
7
7
merupakan kenyataan yang pasti, karna kenyataannya tidak ada manusia yang
hidup selamanya.11
Kematian tidak hanya dikubur lalu selesai begitu saja. Dalam kematian
ada yang dinamakan tradisi dan budaya yang selalu dilakukan oleh masyarakat
yang merasa ditinggalkan. Seperti dalam tradisi Cina Benteng ada tradisi yang
perlu diketahui ketika seseorang telah meninggalkan dunia untuk selamanya,
keluarga yang ditinggalkan melakukan tradisi seperti memecahkan semangka,
memakai kain putih untuk perempuan pakai kudungan putih sebagai tanda
berkabung, mengelilingi peti, menempelkan kertas berbentuk X di depan jendela.
Sekilas gambaran di atas dipaparkan bahwa tradisi yang dilakukan oleh
kawasan Cina Benteng sangat menarik dan luar biasa sekali. Upacara kematian
dan tradisi kesedihan (Berkabung) yang telah ditinggalkan dan tidak akan
kembali. Tentunya ada hal baru yang dapat diketahui sehingga ada rasa ingin tahu
lebih dalam mengenai tradisi tersebut. Saya sebagai Mahasiswa Jurusan Studi
Agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta ingin melakukan penelitian lebih mendalam mengenai
Upacara kematian dan budaya berkabung di Tangerang Kota. Untuk itu saya
mengambil penelitian ini dengan judul “Upacara Kematian dan Budaya
Berkabung di Kalangan Masyarakat Cina Benteng Tangerang Kota” topik ini
menarik untuk di teliti, selain mendapatkan pengetahuan baru, tentunya bagi yang
baca, berfikir bahwa ada tradisi yang unik yang perlu dijaga dan dilestarikan
sebagai budaya dan tradisi di kawasan tersebut.
B. Rumusan Masalah
11
Sudirman Tebba, Kiat Sukses Menjemput Maut (Tangerang: Pustaka irVan, 2006), h.
11 & 21.
8
8
Dilihat dari latar belakang di atas, sedikit menguraikan penjelasan dalam
skripsi ini dan dibatasi agar tidak meluas pembahasannya. Hanya mengenai
penelitian tentang Upacara Kematian Dan Budaya Berkabung di Kalangan
Masyarakat Cina Benteng. Dari itu penulis dapat merumuskan masalah terkait
skripsi ini yaitu:
1. Bagaimana prosesi upacara kematian yang dilakukan masyarakat Cina
Benteng?
2. Bagaimana Budaya Berkabung yang dilakukan oleh Masyarakat Cina
Benteng?
3. Apa Fungsi dan Makna Upacara Kematian?
C. Tujuan Penelitian
Peneliti memaparkan mengenai tujuan dan manfaat penelitian dalam skripsi ini
yaitu:
1. Menjelaskan tentang prosesi upacara kematian di kalangan masyarakat Cina
Benteng.
2. Menjelaskan budaya berkabung dalam upacara kematian di kawasan cina
benteng Tangerang Kota.
3. Mengetahui makna simbolik dalam upacara kematian.
D. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian haruslah memebrikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis. Secara teoritis adalah hasil dari penelitian ini yang
9
9
diharapkan dapat memberikan tambahan keilmuan guna mengembangkan kajian
antropologi agama dan mengembangkan kajian studi agama-agama.
Secara praktis, skripsi ini diharapkan bermanfaat untuk para pembaca masyarakat
khususnya masyarakat Cina Benteng, agar selalu menjaga tradisi dan budaya di
masyarakat pasar lama Tangerang Kota. Bagi penulis juga sangat berguna selain
menambah pengetahuan dan juga untuk mendapatkan gelar sarjana agama.
E. Tinjauan Pustaka
Sehubungan dengan tema yang peneliti ambil, peneliti harus bertanggung
jawab atas apa yang diteliti. Oleh karna itu, peneliti mengkaji dan menelusuri
karya ilmiah yang sudah pernah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan
tema skripsi, agar dapat menjadi referensi skripsi ini.
Adapun karya yang pertama buku dalam bentuk foto dengan tema “Cina
Benteng: sejarah dan kebudayaan kuliner” yang menjelaskan tentang sejarah,
budaya, kuliner dalam buku tersebut.
Kemudian yang ke dua buku dengan judul “Upacara Kematian Cina
Peranakan” karya Putri Astaria tahun 2013, buku ini menjelaskan tentang
perlengkapan upacara kematian beserta makna dalam simbol upacara.
Buku yang ke tiga sangat menjadi referensi dalam skripsi ini yang berjudul
“Akulturasi Budaya Cina Benteng” menjelaskan tentang kebudayaan yang berada
di kawasan Cina Benteng berawal dari sejarah, makna simbol, upacara, kesenian,
sosial, agama dan sistem kepercayaan dan masih banyak lagi yang di bahas dalam
buku ini.
Buku yang ke empat dengan judul “Mengenal Lebih Dekat “Agama
Khonghucu” di Indonesia”. Karya prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si. buku ini
10
10
sangat menjadi referensi untuk penulis karna menjelaskan tentang Agama
Khonghucu di Indonesia dan memaparkan dengan jelas penganut Agama
Khonghucu di Indoneisa seperti apa dan bagaimana.
Sejauh ini peneliti belum menemukan karya yang serupa mengenai tema
yang peneliti ambil dengan judul skripsi “Upacara Kematian dan Budaya
Berkabung di Kalangan Masyarakat Cina Benteng Tangerang Kota”
F. Metodologi Penelitian
Dalam melakukan penelitian, metode penelitian sangatlah penting. Dengan
adanya metode yang telah ditentukan maka akan memudahkan peneliti dalam
melakukan penelitian. Metode ini pada dasarnya memberikan cara untuk
digukanan agar mencapai suatu tujuan dalam penelitian.12
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, penelitian ini
dimulai dengan berfikir deduktif (bersifat deduksi artinya penyimpulan;
ringkasan; penarikan kesimpulan dari yang berbentuk umum ke bentuk khusus,
dimana kesimpulan itu dengan sendirinya muncul dari satu atau beberapa
premis) untuk menurunkan hipotesis, kemudian melakukan pengujian di
lapangan.13
Metode kualitatif peneliti mengumpulkan dan menganalisis data
berupa kata-kata dan perbuatan manusia, mendapatkan data secara langsung
dan tidak ada rekayasa.14
di samping menggunakan penelitian kualitiatif
penulis juga menggunakan penelitian kepustakaan ( study library), untuk itu
12
Hadari Nabawi, Metode Penelitian Bidang Sosail (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Perss, 1998), h. 61. 13 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2006), h. 91. 14
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h.
133-134.
11
11
peneliti perlu menggunakan penelitian kepustakaan agar lebih mengetahui
secara meluas dengan mendapatkan dari sebuah karya ilmiah, tesis, skripsi,
jurnal, website sebagai analisi pendukung.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode sosio-antropologis.
Pendekatan sosio-antropologis merupakan dua pendekatan yang berbeda tetapi
mempunyai hubungan yang sangat dekat yaitu sosiologis dan antropologis.15
Tetapi peneliti hanya menggambil dengan pendekatan Antropologi, Dengan
pendekatan ini untuk menyelidiki apa yang ada di dalam pikiran manusia dan juga
menyelidiki dalam budayanya.16
a. Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini adalah pendekatan mengenai penelitian asal-usul
manusia, pendekatan ini sebagai pencarian seperti fosil yang masih ada,
dan mengetahui apakah masyarakat yang paling tua dan masih bertahan,
masyarakat tersebut dinamakan masyarakat primitif.17
Beberapa ilmuan yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti
kebudayaan masyarakat primitif. Tylor misalnya ia adalah ilmuan yang
sebagian besar hidupnya dipakai untuk mengarahkan perhatian pada
orang-orang primitif. Tylor pada mulanya tidak tertarik pada soal agama.
Namun, keterlibatannya pada kehidupan kaum primitif mengharuskan
15
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama (yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004), h. 1. 16
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, h. 20. 17
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Study Agama. (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
2002), h, 15.
12
12
untuk memahami kepercayaan mereka tentang roh, Dewa-dewa, mitos,
dan asal-usul kepercayaan itu. Kemudian Tylor setelah bergulat dengan
kaum primitif, sampai pada kesimpulan bahwa agama adalah keyakinan
terhadap sesuatu yang spiritual.” Menurutnya semua agama besar dan
kecil, yang primitif maupun yang modern, selalu mendasarkan keyakinan
kepada roh-roh yang berpikir, berprilaku dan berprasaan seperti manusia.
karna itu, esensi setiap agama adalah animisme (anima: roh), yaitu
kepercayaaan terhadap sesuatu yang hidup, yang memiliki kekuatan, yang
berada di balik segala sesuatu. Kemudina menurut Tylor, animisme
mangalami perkembangan dan pertumbuhan. Orang-orang memikirkan
satu roh individual sebagai sesuatu yang kecil dan spesifik, menyatu
dengan pepohonan, sungai ataupun binatang-binatang yang mereka
temukan. Lalu kekuatan roh ini mulai berkembang. Adapun pandangan
teologis tentang macam-macan tingkatan roh dan kekuasaannya, maka
muncullah penyembahan terhadap banyak roh (politeisme). Kemudian
menurut Tylor, dengan perlahan namun pasti, setiap peradaban akan
menuju ke arah baru, tahap paling akhir dari animisme, yaitu percaya
kepada satu Tuhan (monoteisme), meskipun jalan yang ditempuh tidak
selalu sama. Kemudian dengan berbagai penjelasan Tylor ingin
menunjukan bahwa asal-usul kepercayaan agama (Tuhan) pada umat
manusia sejatinya berevolusi: dari animisme ke politeisme dan berakhir
pada monoteisme.18
Adapun menurut Tylor contoh yang paling tepat
untuk menguhubungkan rasio dengan evolusi sosial manusia yang disebut
18
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
h. 48-50
13
13
magis, magis ini selalu ditemukan di masyarakat primitif, magis adalah
simbol dari kecenderungan ide-ide yang dipahami sebagai sebuah bentuk
kongkrit. 19
Maka dari itu peneliti memakai metode pendekatan
Antropologi. Dalam upacara kematian ini tentunya banyak simbol-simbol
yang bermakna seperti sesajian yang dihidangkan di altar almarhum
berupa buah-buahan, kue-kue. Kemudian tanda X di jendela dan semua itu
ada makna tertentu.
4. Sumber Penelitian
Data Primer adalah data yang didapati dari sumber pertama, yang terkait
langsung dengan peneliti ini termasuk dalam sumber primer adalah wawancara,
observasi, dokumen, foto. Data Sekunder adalah data yang penulis peroleh dari
pihak lain atau data yang telah diolah lebilanjut oleh orang lain yang tidak
terkait langsung, seperti: artikel, jurnal, arsip. 20
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
untuk mendapatkan data yang mendalam dengan metode sebagai berikut:
a. Wawancara ( Interview)
Penulis akan melakukan wawancara yang lebih mendalam.
Wawancara mendalam ini untuk mendapatkan data yang akan diteliti
dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada
responden.21
Responden dalam penelitian ini adalah seorang tokoh
masyarakat sekaligus pemegang perpustakaan, dan seorang tokong yang
19 http://djauharul28.wordpress.com. 20
Sukandarrumidi, Metode Penelitian (Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
2002), h. 44 21
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2016), h. 137.
14
14
selalu mengurusi jenazah di rumah duka. Untuk mendapatkan data yang
valid.
b. Studi Kepustakaan
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dari studi
kepustakaan. Penulis mencari data dari beberapa sumber, baik berupa
buku, jurnal, arsip, yang dipublikasikan untuk memperbanyak teori juga
data-data untuk melengkapi referensi yang berhubungan dengan penelitian
ini.
c. Penelitian Lapangan
Penelitian ini adalah untuk memperoleh akses, dan mulai
melakukan observasi untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang
menjadi sumber data penelitian.22
Penulis terjun langsung ke lokasi di
Kota Tangerang kawasan pasar lama untuk mengetahui bagaimana prosesi
upacara dan budaya berkabung.
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis menyusun secara sistematis berdasarkan
pembahasan ke dalam lima bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub
bab antara lain sebagai berikut:
Bab pertama merupakan latar belakang masalah yang menginspirasi
penulis untuk mengkaji lebih mendalam, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
22
W. Lawrence Neuman, Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif (Jakarta: PT. Indeks, 2013), h. 57.
15
15
penelitian yang nantinya bermanfaat untuk khazanah ilmu pengetahuan,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tentang pengertian, asal mula, dan sejarah masyarakat
Cina Benteng Tangerang Kota, dilihat dari letak geografis, agama, pendidikan dan
kondisi sosial ekonomi.
Bab ketiga membahas mengenai prosesi upacara kematian dan tradisi
Berkabung di kawasan Cina Benteng Tangerang Kota. Berisi tentang pengertian,
upacara kematian sampai tiga tahunan beserta tujuan dan manfaatnya.
Bab keempat merupakan analisa dari hasil skripsi ini secara menyeluruh
mengenai upacara kematian dan tradisi berkabung. Membahas tentang alat-alat
upacara, makna berkabung, arti berkabung, pelaku upacara, makna simbolik dan
nilai-nilai filosofis, dalam prosesi upacara kematian dan tradisi berkabung,
melakukan tradisi ini sebagai tanda hormat terhadap leluhur.
Bab kelima merupakan akhir dari skripsi ini yang memuat kesimpulan,
saran-saran dan kata penutup.
16
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT CINA BENTENG
TANGERANG KOTA
A. Pengertian Cina Benteng
Nama Cina Benteng berasal dari “Benteng”, nama lama kota
Tangerang. Pada saat itu ada sebuah benteng di pinggir sungai Cisadane.
Benteng ini adalah salah satu benteng terpenting Belanda dan merupakan
Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina
Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah
berkembang menjadi tiga Kota/Kabupaten yaitu, Kota Tangerang,
Kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan.23
Di Kota Tangerang ada satu komunitas warga Tionghoa yang
disebut dengan “Cina Benteng”. Istilah Cina Benteng ini muncul tidak
terlepas dari berdirinya benteng Makasar yang membenteng dari
Pakulonan sampai ke Tangerang yang terletak di tepi Sungai Cisadane.
Benteng Makasar dibangun pada masa Kolonial Belanda dengan tujuan
sebagai garis pertahanan dari serangan orang-orang Banten ke Tangerang
yang hendak ke Batavia. Sebutan Cina ternyata berawal dari ucapan orang
Eropa, diambil dari nama Dinasti Qin.24
Adapun orang-orang luar menyeragamkan sebutan “Cina Benteng”
untuk etnis Tionghoa di Tangerang di kalangan masyarakat sendiri dikenal
dua istilah. “Benteng” dan “Udik”. Sebutan “Benteng” mengacu untuk
23
Cina Benteng: Sejarah dan Budaya Kuliner (Jakarta : ppsw), h. 1 24
Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 55.
17
17
kawasan Kota, sementara daerah luar kota disebut “Udik”. Orang Cina
juga mengidentifikasi diri sebagai “orang Cina”, sedangkan etnis Melayu
atau Sunda di sekitar mereka disebut “orang kampung”. Namun hubungan
antar etnis ini sangat baik. Istilah “orang kampung” sendiri dimaksudkan
sebagai orang yang punya kampung, sama sekali tidak mengandung
maksud peyoratif (unsur bahasa yang memberikan makna menghina,
merendahkan , yang digunakan untuk menyatakan penghinaan atau
ketidak sukaan seorang pembicara)25
. Sampai saat ini masyarakat Cina
Benteng telah membaur dengan warga lokal secara harmonis sehingga
memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat.26
Adapun Secara fisik
memang sulit membedakan antara Cina Benteng dan “orang kampung”,
tetapi upaya mempertahankan identitas budaya etnik masih tetap tampak.
Kemudian sebutan “orang Cina” atau “orang kampung” bersifat kultural
dibandingkan fisik. Lebel Cina Benteng mereka hanya sebagai identitas
kultur yang membedakan mereka dengan kelompok etnis Tionghoa
lainnya di Indonesia.27
Cina Benteng tidak seperti Cina peranakan pada
umumnya yang berkulit putih meletak, kebanyakan Cina peranakan di
Tangerang berkulit gelap. Matanya pun tidak sipit. Cina Benteng memang
selalu diidentifikasi dengan stereotip (penilaian terhadap seseorang hanya
berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat
25 http://kbbi.web.id, 8 juli 2019 jam 11.44. 26 Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 55. 27
Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 56
18
18
dikategorikan) orang Cina berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan
hidupnya pas-pasan atau malah miskin.28
Apabila diperhatikan lebih mendalam sebenarnya terdapat
perbedaan antar Cina Benteng dan Cina peranakan pada umumnya. Cina
Benteng bukan hanya peranakan dalam arti biologis, tetapi juga dalam
kebudayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa
Sunda dan Betawi, kebanyakan dari mereka tidak dapat berbahasa
Tionghoa. Adat istiadat mereka juga tidak 100% Tionghoa, tetapi mereka
telah mengambil adat istiadat penduduk peribumi. Cina Benteng
merupakan bagian dari kaum pribumi Tangerang karena di situlah
kampung halaman mereka.29
B. Asal Mula Masyarakat Cina Benteng
Dalam kitab sejarah sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang
(catatan dari parahyangan) disebut tentang kedatangan orang Tionghoa ke
daerah Tangerang. Kitab ini menceritakan mendaratnya rombongan Tjin
Tjie Lung (Halung) dimuara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama
Teluk Naga pada tahun 1407. Pada saat itu pusat pemerintahan ada di
sekitar pusat Kota Tangerang, yang diperintah oleh Sanghyang
Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan
Parahyang. Pada saat itu perahu rombongan Halung, Kemudian terdampar
dan mengalami kerusakan dan kehabisan perbekalan. Halung ini
membawa rombongan, diantaranya tujuh kepala keluarga dan sembilan
28
Wahidin Halim, Ziarah Budaya Kota Tangerang: Menuju Masyarakat Berperadaban
Akhlakul Karimah, (pendulum, 2005), h. 9. 29
Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 56.
19
19
orang gadis dan anak-anak kecil. Kemudian menghadap Sanghyang
Anggalarang untuk minta pertolongan. Gadis-gadis ini yang ikut dalam
rombongan cantik-cantik, kemudian para pegawai Anggalarang jatuh cinta
dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Kemudian rombongan
halung ini diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur sungai
Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga. Kedatangan orang
Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian
orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. VOC berhasil memadamkan
pemberontakan kemudian mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah
Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan permukiman bagi orang
Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal
dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan
sebagainya. Perkembangan ini kemudian berkembang menjadi pusat
perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini
terletak di sebelah timur sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.30
Pada masa dinasti Maulana Yusuf (1570-1580 M) eksistensi Cina
di Indonesia memang sangat menarik. Salah satunya adalah kajian etnis
Cina di Banten. Sejarah Banten Abad ke-16 M, ditemukannya fakta bahwa
saat itu banyak sekali berdatangan para pedagang asing dari luar
berkunjung melalui pelabuhan Banten. 31
Sejarah Cina Tangerang memang
sulit dipisahkan dengan kawasan pasar lama, kawasan ini yang berada di
tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana.
30
Agus Aris Munandar, I Made Supartha dkk,. Sejarah Kebudayaan Islam : Religi dan
Falsafah (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 171 31
Solahuddin Al-Ayubi, “Cina Benteng: Pembaruan Dalam Masyarakat Majemuk di
Banten”, Jurnal Kalam, volume 10, Nomor 2, (Desember 2016): h. 319.
20
20
Kemudian pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke
kawasan pasar baru dan sejak itu mulai menyebar kedaerah-daerah
lainnya. Struktural tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal
bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, dengan di kenal
sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula
(Cilangkap). Kemudian pada akhir tahun 1800-an sejumlah orang Cina
dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar
kedaerah-daerah lainnya. Pasar baru ini, dahulunya merupakan tempat
transaksi (sistem barter) barang orang-orang Cina yang datang lewat
sungai dengan penduduk lokal. Kemudian banyak orang Cina Tangerang
yang kurang mampu tinggal diluar Benteng Makasaar, mereka
terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung
Melayu. Sejak tahun 1700-an mereka berdiam di sana, dari situlah muncul
istilah “Cina Benteng.32
Dan sampai sekarang masyarakat Cina Benteng
masih ada dan tambah berkembang di kawasan pasar lama dan pasar baru.
C. Kondisi Masyarakat Cina Benteng
Semenjak dasawrasa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia
terjadi persaingan perdagangan. Di satu pihak, kompeni Belanda
mempunyai keinginan untuk melakukan monopoli perdagangan di wilayah
Kesultanan Banten. Namun dipihak lain, sultan Banten sendiri
mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara. Pada
tahun 1652, konflik yang terjadi masih sebatas konflik senjata secara
tertutup. Namun kemudian pada tahun 1659 konflik berubah menjadi
32
Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 5
21
21
perang terbuka. Dalam suasana tersebut, kawasan Tangerang menjadi
daerah pertahanan serta rebutan antara Banten dan Batavia. 33
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda penduduk Nusantara
dibagi menjadi tiga golongan menurut stratifikasi ras yang ada di
Nusantara, yaitu:
- Golongan Eropa menempati stratifikasi sosial tertinggi,
contohnya orang Belanda, Portugis, dan Inggris.
- Golongan Timur Asing, contohnya orang Tionghoa, Arab, dan
India.
- Golongan Bumiputra atau pribumi (Lohanda, 2001: 2)
Pembagian golongan tersebut sebenarnya refleksi politik divide et impera
pemerintahan Hindia Belanda. Dengan adanya pembagian tersebut
tentunya banyak prasangka prasangka rasialis dalam masyarakat pribumi.
Orang Tionghoa ditempatkan di posisi kedua. Di sisi lain pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, etnis Tionghoa juga diperlakukan secara
diskriminatif. Walaupun ada segelintir orang Tionghoa yang dijadikan
mesin pecetak uang oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Tetapi
kemudian kehidupan sosial masyarakat Cina Benteng yang makmur
mengalami perubahan ketika masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Bahkan mereka kemudian hidup dibawah garis kemiskinan. Orang-orang
Cina tentunya meras kehilangan ketika Belanda meninggalkan Tangerang
33
Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 54.
22
22
pada tahun 50-an.34
Pada saat perpindahan kekuasaan tersebut
mengakibatkan beberapa masyarakat menganggap bahwa etnis Tionghoa
adalah tangan kanan Belanda. Sampai terjadinya kerusuhan anti Cina di
mana pribumi melakukan penyerangan dan perampasan terhadap etnis
Tionghoa Tangerang tahun 1946. Banyak di antara mereka dahulunya
kaya kemudian menjadi miskin karna harta leluhur mereka telah dirampas.
Saat itulah hubungan Cina Benteng dengan pribumi mengalami
kemunduran paling ekstrim, karena pribumi sendiri menuduh masyarakat
Tionghoa berpihak ke Belanda. Kemudian dalam bidang pendidikan
masyarakat Cina Benteng saat itu tidak dapat menempuh pendidikan
formal ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka sebagian hanya bisa duduk di
bangku Sekolah Dasar (SD), selebihnya hampir tidak mengenyam
pendidikan. Pendidikan yang rendah mengakibatkan masyarakat Cina
Benteng hidup dalam kemiskinan dari generasi ke generasi. Oleh sebeb itu
masyarakat Cina Benteng lebih memilih untuk bekerja sebagai buruh tani,
tukang becak, nelayan dan sebagainya. 35
Kota Tangerang memiliki luas ±16.455 ha, dan letak geografis
106.36º- 106.42º BT dan 6.6º-6º LS . Kota Tangerang memiliki 13
Kecamatan dan 104 Kelurahan. Berikut jumlah penduduk di Kota
Tangerang :
Tabel 2.1: Jumlah Penduduk
No. Nama Laki-Laki Perempuan Jumlah
34 Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 56. 35
Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h 57.
23
23
1 Ciledug 60.871 59.102 119.973
2 Larangan 66.032 66.000 132.032
3 Karang Tengah 49.134 48.323 97.457
4 Cipondoh 90.025 88.957 178.982
5 Pinang 75.987 74.256 150.243
6 Tangerang 70.095 69.230 139.325
7 Karawaci 85.348 83. 576 168.924
8 Jatiuwung 49.376 47.176 96.552
9 Cibodas 68.369 67.259 135.628
10 Periuk 62. 547 60. 754 123.301
11 Batu Ceper 43.185 41.639 84.824
12 Neglasari 54.029 50.370 104.399
13 Benda 37.300 35.264 72.564
Kota Tangerang 1.604.204
Dan memiliki luas sekitar :
Tabel 2.2 Luas Daerah Kota Tangerang
No. Nama Luas
1 Ciledug 8.769 km²
2 Larangan 9.611 km²
3 Karang Tengah 10.474 km²
4 Cipondoh 1.791 km²
5 Pinang 2.159 km²
6 Tangerang 15. 785 km²
7 Karawaci 13.475 km²
8 Jatiuwung 14.406 km²
9 Cibodas 9.611 km²
10 Periuk 9.543 km²
11 Batu Ceper 11.583 km²
12 Neglasari 16.077 km²
13 Benda 5.919 km ²
Kota Tangerang merupakan kota yang sedang berkembang, oleh
karenanya Kota Tangerang memiliki Visi dan Misi. Visi nya adalah
“Terwujudnya Kota Tangerang yang maju, Mandiri, Dinamis, dan Sejahtera,
24
24
dengan Masyarakat yang berakhlakul Karimah”. dan salah satu misinya adalah
“Mewujudkan tata Pemerintahan yang baik, akuntabel, dan trasparan yang
didukung dengan struktur birokrasi yang berintegrasi, kompeten dan
professional.36
Masyarakat Kota Tangerang memiliki beragam keagamaan: Islam
(87,31%), Kristen Protestan ( 5,72%), Buddha (4,19%), Katolik (2,74%), Hindu
(0,18%), Konghucu (0,02%). 37
Mata pencaharian Cina Benteng Tangerang Kota
sebagian besar merupakan pedagang, akan tetapi ada pula yang menjadi nelayan
dan menjadi tukang becak.
Tabel: 2.3 Jumlah Penduduk Yang Beragama
No. Kecamatan Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghuchu
1. Ciledug 113,005 4,053 2,159 312 557 -
2. Larangan 127,919 4,688 2,272 252 421 4
3. Karang tengah 90,395 6,864 4,429 532 1,489 17
4. Cipondoh 152,708 13,675 6,749 281 7,847 41
5. Pinang 138,863 6,101 3,050 244 1,167 11
6. Tangerang 125,308 10,799 5,101 292 9,035 33
7. Karawaci 133,392 10,788 5,458 338 14,857 48
8. Jatiuwung 89,214 1,626 972 22 305 1
9. Cibodas 124,006 12,655 4,570 192 3,482 13
10. Periuk 100,684 9,587 4,767 173 6,905 15
11. Neglasari 82,961 5,238 1,343 83 14,483 81
12. Batu Ceper 74,739 4,401 2,222 49 3,459 11
36 https://studylibid.com/doc/453449/file---kota-tangerang. diakses pada tanggal 15 maret
2019 12:02 37
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tangerang. diakses pada tanggal 15 maret 2019
15:20
25
25
13. Benda 62,757 2,904 1,516 30 3,470 7338
Fenomena Cina Benteng adalah bukti nyata betapa harmonisnya
kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina
Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Tionghoa memiliki posisi
kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya
akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Fenomena Cina
Benteng adalah contoh dan bukti nyata peroses pembauran yang terjadi secara
alamiah. Realitasnya Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan
ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis
lainnyan. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Dalam masyarakat Cina Benteng ada sebuah kesenian yang
membuat masyarakat Cina benteng terjadi akulturasi budaya antara etnis
Tionghoa dan penduduk peribumi.39
38
http://www.tangerangkota.go.id. 39
Eius Thresnawaty S, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 58.
26
BAB III
PROSESI UPACARA KEMATIAN DI KALANGAN MASYARAKAT
CINA BENTENG
A. Pengertian Upacara Kematian.
Dalam ajaran Confucius atau Khonghucu upacara kematian dapat
diartikan sebagai proses pengurusan yang diikuti dengan berbagai upacara
penghormatan yang dilakukan oleh keluarga dan para umat Khonghucu
yang ikut dalam upacara tersebut.40
Disamping adanya suka ria dan
kesenangan ada duka cita atau kesedihan adalah sebuah hukum alam yang
tidak dapat dihindari. Kegemerlapan suka ria hanya dapat terlihat berkilau
berkat kesuraman duka cita. kemudian duka cita terkecil yang dapat
dialami adalah apabila ada anggota keluarga atau orang yang kita cintai
sakit.41
Duka terbesar dalam hidup yang menimpa sesorang adalah suatu
kematian. Tetapi etnis Cina Benteng (Tionghoa) menganggap peti jenazah
bukanlah suatu hal yang menakutkan. Mereka menganggap sesuatu yang
hidup akan menemui akhir dalam kematian, dan berkeyakinan bahwa
orang dilahirkan untuk mati.42
Kemudian ada sebagian orang Tionghoa pada zaman dulu sudah
mempersiapkan peti jenazah yang akan digunakan pada saat upacara
kematian, dan itu setiap tahun mereka melakukan pengecetan ulang dan
memoliturnya agar tidak rusak dan tidak di makan rayap. Hal ini mereka
40
Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 2 41
Marisa Gunawan, Dentingnya Duabelas Mangkok :Ekspedisi Budaya Tionghoa di
Bumi Banten. (Jakarta: Red & White Publishing, 2014), h. 45. 42
www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama), h. 39. Pukul 22:33 hari senin, tanggal 23 Desember 2018
27
27
lagukan sampai ajal menjemput dan mereka mempunyai sebutan untuk
peti tersebut yaitu “Siu Pan” yang berarti “Peti panjang umur”.43
Adapun
adat upacara kematian suku Tionghoa dilatar belakangi oleh kepercayaan
mereka bahwa dalam relasi seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-
kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun tidak
langsung, hal ini seperti, (1) adanya reinkarnasi bagi semua manusia yang
telah meninggal (Cut Sie), (2) adanya hukum karma bagi semua perbuatan
manusia, antara lain tidak mendapatkan keturunan (Ko Kut), (3) leluhur
yang telah meninggal (arwah leluhur) pada waktu-waktu tertentu dapat
diminta datang untuk dijamu (Ce’ng be’ng), (4) menghormati para leluhur
dan orang pandai (tuapekong), (5) kutukan para leluhur, melalui kuburan
dan batu nisan yang dirusak (bompay), (6) apa yang dilakukan semasa
hidup (di dunia) juga akan dialami di alam akhirat. Kehidupan sesudah
mati akan berlaku sama seperti kehidupan di dunia ini namun dalam
kualitas yang lebih baik.44
B. Prosesi Upacara Kematian Yang Dilakukan Sampai Tiga Tahunan
Dalam agama khonghucu di wilayah Cina Benteng, hal pertama yang
perlu dilakukan ketika terjadi suatu kematian adalah membeli sebuah alat
untuk menancapkan batang dupa yang biasa di sebut “Hio Long” yang
artinya perapian pembakaran dupa. Hio Loung ini diletakan diatas sebuah
meja yang berada disamping jenazah dekat dengan kakinya. Agar batang
dupa ini bisa menancap maka Hio Lou ini diisi dengan abu yang berasal
43 Marisa Gunawan, Dentingnya Duabelas Mangkok :Ekspedisi Budaya Tionghoa di
Bumi Banten. (Jakarta: Red & White Publishing, 2014), h. 47 44 http://web.budaya-tionghoa.net/budaya-tionghoa/adat-istiadat/1050-tradisi-
upacara-pemakaman-kmatian. Hari sabtu, tanggal 16 feb 2019 jam 15:37.
28
28
dari kremasi jasmani leluhur melainkan hanya abu dapur biasa.45
Adapun
mengenai Pemujaan terhadap arwah leluhur, arwah manusia itu hidup
terus, dengan memujanya maka diharapkan arwah leluhur itu akan
melindungi keturunannya dari malapetaka. Kemudian pemujaan terhadap
arwah leluhur semata-mata hanya merupakan peringatan terhadap leluhur,
mereka meyakini bahwa yang telah memberi hidup pada generasi masa
kini. Ada kata lain yaitu memelihara “meja abu” tersebut hanya untuk
mengenang orang tua yang sudah meninggal. 46
Adapun saat menghadapi tutup usia, sebagian anggota keluarga
menyiapkan dipan darurat dan sekelilingnya ditutupi kain tebal (lelengse).
Kemudian jenazah di baringkan di atas dipan yang sudah diberi alas tikar
dan bantal kertas perak (Gin Cua) setelah itu ditutupi dengan kain seluruh
tubuhnya. Adapun untuk perlengkapan ditaruh di meja kecil, diletakan di
depan atau di tengah dipan. Sebelum upacara dilakukan jenazah terlebih
dahulu dipandikan. Memandikan jenazah menggunakan kembang lima
rupa, arak putih dicampur dengan air bersih. Apabila seorang suami yang
meninggal, jenazah dimandikan oleh istrinya dan anak yang ditinggalkan
dengan membersihkan dari rambut sampai ujung kuku dengan cara
mengkerik kuku almarhum atau almarhumah.47
Kemudian bagi orang yang masih mempercayai adat istiadat
kepercayaan penghitungan hari pemakaman/kremasi, anggota keluarga
akan menghubungkan orang yang dipercaya bisa menghitung jam dan hari
45 www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 41. Pukul 19:32 hari minggu,
tanggal 24 Desember 2018 46 Kurniawan Halianto, Chio Thau: Pernikahan Adat Cina Benteng, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 49. 47 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 27
29
29
baik untuk keseluruhan prosesi pemakaman atau kremasi. Kemudian
keluarga mendiang pertama akan menentukan rumah duka tempat
mendiang yang akan disemayamkan sampai pada hari pemakaman atau
kremasi. Ada perubahan dari zaman ke zaman, dulu mendiang
disemayamkan di rumah masing-masing dan biasanya di ruang depan,
tepat di tengah pintu yang mengadap keluar, untuk sekarang kebanyakan
di semayamkan di rumah duka. Adapun untuk pemilihan rumah duka
tergantung dari pihak keluarga dan budget, ukuran, lokasi serta jenis
rumah duka. Untuk keseluruhan prosesi mulai dari penutupan peti hingga
pemakaman/kremasi biasa diurus oleh yayasan kematian, dan tergantung
dari pihak keluarga akan disesuai dengan ajarannya.48
Upacara kematian dalam masyarakat Cina keturunan di Indonesia,
yang menganut agama Khonghuchu dibagi kedalam beberapa proses
upacara yaitu:
a. Upacara Jib Bok (memasukan jenazah ke dalam peti)
Jib Bok ini berasal dari dialek Hokkin jib, artinya masuk,
sedangkan Bok artinya peti. Jadi Jib Bok adalah “masuk peti” atau
upacara memasukan jenazah ke dalam peti.49
Ketika seseorang
meninggal dunia semua keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-
anak, menantu, cucu dan saudara kandung berkumpul di sekitar mait.
Kemudian dimandikan oleh keluarga atau seseorang yang ditugaskan
oleh yayasan pengurus kematian yang biasa disebut Tho kong. Untuk
48 Kurniawan Halianto, Chio Thau: Pernikahan Adat Cina Benteng, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 50. 49
M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia
(Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan, 2005), h. 140.
30
30
memandikan dipersiapkan dua buah ember yang berisi air shampo
untuk memberishkan rambut jenazah dan air kembang untuk
membasuh muka. Kemudian seluruh bagian tubuhnya dibersihkan
menggunakan arak, arak dianggap sebagai air suci yang dapat
membersihkan tubuh. Jenazah dikenakan pakaian kematian yang
disebut shou yi. Pakaian kematian ini bisa merupakan pakaian
pengantin ataupun pakaian terbaik yang pernah dipakai.50
Dalam
pemakaian peti jenazah tidak di haruskan untuk yang mewah. Untuk
peti jenazah itu ada beberapa parian, ada yang dinamakan topang,
siupa dan peti gede. Untuk topang ini tidak berukuran, ia hanya sesuai
ukuran senti saja ketebalan kayunya. Untuk peti siupan dan peti gede
ada ukurannya, bisa dihitung dari mulai 22 sampai 28 paling besar
ukuran 28. Untuk ukuran peti 28 tidak masuk mobil ambulan.
Kemudian peti tidak disesuikan dengan jenazah, bagaimanapun
kondisi jenazah baik jenazah tersebut kecil, gemuk. Peti jenazah
disesuaikan dengan keadaan keluarga, sanggup membeli peti yang
bagaimana.51
Kemudian Tiba waktunya memasukan jenazah kedalam peti mati
yang sudah dipersiapkan, di bagian kepala jenazah diberi bantal kertas
perak dan ditaburi kertas perak (Gin Coa) pada bagian atas tubuh
jenazah sebanyak mungkin, untuk bekal almarhum (ah) yang biasa
dipakai dimasukan secukupnya, dan sisi pakaian almarhum (ah) yang
masih layak pakai boleh disumbangkan untuk orang yang kurang
50 www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 42. Pukul 15:50 hari minggu
tanggal 24 januari 2019 51 Hari, Tokong. Wawancara pribadi mengenai “peti jenazah.”
31
31
mampu atau bisa disimpan untuk kenangan keluarga. Sebelum peti
jenazah ditutup, maka pihak keluarga memutari peti jenazah sambil
menaburi minyak wangi (cologne). Kemudian sebelum melakukan
upacara Jib Bok dimulai jenazah harus dipasangkan mutiara di 4 indra
yaitu:
- Di kedua mata bermaknakan “memiliki mata jangan asal
melihat. Kalaupun melihat sesuatu harus dengan jelas dari
semua sudut, hal yang ada di depan mata harus
dipertimbangkan dengan seadil-adilnya dari kenyataan yang
ada”.
- Di kedua lubang telinga bermaknakan “memiliki telinga asal
jangan mendengar. Agar lebih bijaksana dengarlah segala
sesuatu dari bawah sampai atas pendapat dari yang lain.
- Di kedua lubang hidung bermaknakan “memiliki hidung jangan
asal mencium. Memberi penilaian harus yang bijaksana.
Hentikan segala kecurigaan sesama saudara sekandung yang
tidak mendasar, dan tiupan angin sebelah.
- Di mulut, bawah lidah bermaknakan “mempunyai mulut
jangan asal berbicara. Jangan mudah memarahi dan menghina.
Hentikan pembicaraan yang menggunakan emosi dan amarah.
Pembicaraan harus hati-hati dan waspada agar bisa meredakan
suasana. Hentikan segala hasutan dan intrik-intrik.
Dipasangnya 7 mutiara pada 4 indra almarhum (ah) telah
berjanji akan lebih sabar, lebih bijaksana, lebih toleransi, dan lebih
32
32
menyayangi sesama saudara sekandung. Setelah itu masing-masing
anak, menantu dan cucu meletakan mata uang logam di tengah
almarhum (ah), kemudian oleh To Kong dilempar atau disawer dan
diambil oleh anak, menantu dan cucu secara perebutan. Maknanya
adalah agar keluarga yang ditinggalkan diberi rezeki yang lancar
semasa hidupnya.52
maksud dari pemasangan mutiara ini adalah
merupakan pengganti pancaindera dipercaya akan menerangi dan
memperlancar mendiang ke dunia abadi. Adapun yang ditabuhkan
adalah meneteskan air mata ke dalam peti, ke atas tubuh mendinag
atau wajah mendiang. Maksud dari tetesan air mata akan menghambat
mendiaang, karena merasa yang ditinggalkan belum rela melepasnya
pergi.53
Inti dari sembahyang Jib Bok/masuk peti adalah pada saat
pemantekan empat paku yang dilakukan oleh To Khong. Upacara ini
dilakukan pada jam yang sama pada saat almarhum (ah) meninggal.
Pada saat memukul paku, To Khong mengucapkan kalimat dalam
dialek Hokkian sebagai berikut:
- Pukulan pertama : it tiam teng, cu sun toa cut teng “semoga
anak cucu memperoleh banyak berkah”
- Pukulan kedua : it Tian Cai, Cu Sun Toa Hoat Cai “semoga
anak cucu memperoleh kekayaan yang berlimpah”
52
Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 29. 53
Kurniawan Halianto, Chio Thau: Pernikahan Adat Cina Benteng, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 56.
33
33
- Pukulan ketiga : Sha tiam hok, su ban lian hok kwe “ semoga
anak cucu bagus peruntungannya”
- Paku keempat : Shi tiam kwei, cu sun su lian hu kwei “semoga
anak cucu dijauhkan dari bahaya dan dilindungi dari gangguan
maupun halangan”
- Paku kelima : Thiam chu teng, cu sun kwe song cuan “paku
buyut telah dipukulkan dan semoga buyut mendapat kelancaran
tanpa rintangan.
Kemudian jika almarhum (ah) telah memiliki buyut, baru bisa
dipasang paku kelima, paku ini lebih kecil dari paku yang
keempat.54
Setelah selesai upacar Jib Bok lalu diadakannya doa dengan
harapan agar meringankan dosa yang diperbuat oleh orang yang
meninggal itu.55
b. Upacara Mai Song (malam menjelang pemberangkatan jenazah)
Mai Song diambil dari dialek Hokkian, secara etimologi Mai ialah
“pintu” dan Song adalah “duka”. Dengan demikian Mai Song adalah
“pintu duka”. Dalam masyarakat keturunan Cina di Jawa Barat dan
umumnya di pulau Jawa, Mai Song diistilahkan dengan “upacara
malam pemberangkatan jenazah”. Di luar Jawa tidak kita temukan
istilah Mai Song dan istilah upacara malam pemberangkatan jenazah
54 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 30. 55
Kurniawan Halianto, Chio Thau: Pernikahan Adat Cina Benteng, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 57.
34
34
kadangkala disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing.56
Upacara Mai Song adalah upacara yang dilaksanakan satu malam
sebelum jenazah dimakamkan. Dalam upacara ini biasanya disediakan
sesajian lengkap yang terdiri dari dua belas macam makanan yang
diletakan di atas meja persembahyangan. Disediakannya sesajian
karena dilihat dari angka dua belas yang bila diuraikan 1+3 = 3 dan
bila diterjemahkan ke dalam Bahasa mandarin yaitu san bunyinya
sama dengan shan artinya gunung. Masyarakat Cina Benteng di
Tangerang menganggap gunung sebagai simbol tempat yang paling
tinggi dan paling besar. Oleh sebab itulah alasan penyajiannya.
Kemudian makanan yang disediakan bagaimana kemampuan keluarga
bisa sederhana ataupun mewah. Adapun pada saat upacara ini sesajian
yang harus dipersiapkan yaitu: 1. Buah pisang 2. Buah jeruk 3. Buah
delima 4. Buah belimbing 5. Buah jambu 6. Tebu 7. Manisan 8. Kue
kurp 9. Kue mangkok. 57
c. Upacara Sang Cong/Ki Beh (pemberangkatan jenazah)
Istilah Sang Cong berasal dari dialek Hokkian, Sang berarti
mengantar dan Cong berarti mengubur. Dengan demikian Sang Cong
adalah upacara mengantar jenazah ke tempat pemakaman. Upacara ini
tidak jauh dengan upacara Mai Song, upacara ini dilaksanakan di pagi
hari ketika jenazah akan diberangkatkan dari rumah duka, sedangkan
Mai Song dilakukan pada malam pemberangkatan jenazah. Ketika
56 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu di Indonesia”, h. 147-
148. 57
www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 47. Pukul 23:53 hari jumat
tanggal 25 januari 2019.
35
35
upacara ini akan dilaksanakan harus menunggu keluarga dekat dan
jauh sudah berkumpul semua.58
Sebelum pemberangkatan jenazah
tepatnya di pagi hari, terlebih dahulu diadakan pembacaan surat doa.
Pemberangkatan dipimpin oleh seorang rohaniawan. Adapun untuk
sesajian upacara Sang Cong sama seperti sesajian upacara Mai Song,
pada saat melaksanakan upacara terdapat kebiasaan yaitu anak laki-
laki almarhum selalu memegang tangteng. Tangteng itu sepotong kayu
atau bambu yang salah satu ujungnya ditutup sepotong kain belacu
putih dan dilapisi lagi dengan secarik kertas atau kain merah. Hal ini
menandakan jika yang meninggal laki-laki kayu atau bambu
disandarkan di bahu kiri, dan jika yang meninggal perempuan maka
disandarkan di bahu kanan. saat jenazah akan diberangkatkan, buah
semangka yang sebelumnya diletakan bersama sesajian yang lain di
atas meja persembahyangan dibanting sampai pecah. Ketika
pemberangkatan jenazah ke pemakaman, tata urutan dalam iring-
iringan yang pertama sepasang teng atau dang yaitu lentera yang
terbuat dari kertas atau kain dengan rangka kayu berwarna putih
dibawa oleh cucu lelaki pertama pada iringan terdepan, Teng ini
dibawa saat pemberangkatan hingga kepemakaman. Kemudian setelah
sesajian sudah dipersiapkan dengan lengkap. Jenazah siap
diberangkatkan, dalam pemberangkatan dan penguburan hal ini
memerlukan orang-orang yang kuat untuk membawa peti jenazah. Peti
58 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu di Indonesia”, h. 151.
36
36
tidak boleh diseret dengan sembarangan karna dikhawatirkan akan
berakibat buruk pada keluarga yang ditinggalkan.59
d. Upacara Jib Gong (pemakaman jenazah)
Jib Gong diambil dari dialek Hokkian. Secara etimologi kata Jib
berarti masuk dan Gong berarti lubang. Dengan demikian Jib Gong
berarti masuk lubang, bisa diartikan juga sebagai upacara
pemakaman.60
Ketika pemberangkatan jenazah kepemakaman, tata
urutan dalam iringan yang pertama adalah Teng atau Deng yaitu
lentera yang terbuat dari kain dengan rangka kayu berwarna putih
dibawa oleh cucu laki-laki. Selama perjalanan menuju pemakaman
salah satu keluarga melemparkan Gin Cua (uang kerta) satu pertasu
serta hio dan lilin merah di setiap perempatan jalan diiringi musik pat
in sampai di tempat pemakaman. Semua itu bertujuan untuk petunjuk
jalan pulang kerumah bagi almarhu/almarhumah. Teng dibawa sampai
kepemakaman sebagai alat penerangan agar perjalanan jenazah
kepemakaman lancar. Kedua orang yang membawa nampan yang di
atasnya diletakan foto almarhum/almarhumah dan Hio Lou berisi
sembahyang. Sebelum peti mati dimasukan keliang lahat, To
Khongterlebih dahulu keliang lahat untuk memeasang 4 keping uang
logam di titik kaki yang dipijak peti mati. Sambil mengucapkan :
- Thiam Tee Tian (langit bumi terbuat)
- Ji Kit Sie Liang (setiap hari/setiap waktu berbuat kebaikan)
59 www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 50-51. Pukul 16:23 hari jumat
tanggal 208 Maret 2019. 60
M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu di Indonesia”, h. 156-
157.
37
37
- Kim Sin An Kong (tubuh emas berbeda dalam lubang)
- Cun Su Hin Hong (demi kebaikan/keselamatan panjang umur
bagi anak dan cucu).
Setelah memasang uang logam selesai, To Kong keluar dari liang
lahat, dan peti mati mulai diturunkan. Setelah posisi peti mati duduk
dengan benar, baru peti mati mulai ditutup oleh tanah, sembahyang pun di
mulai. 61
Etnis Cina Benteng di Tangerang dalam menetapkan apakah
jenazah dikuburkan atau dikremasi berdasarkan beberapa pertimbangan,
biasanya karna faktor ekonomi keluarga. Pada dasarnya keduanya sama-
sama mengandung niat baik dalam menunjukan laku bakti anak terhadap
orang tua. Mayoritas masyarakat Kota Tangerang dan sekitarnya hampir
semua masih melaksanakan upacara pemakaman dengan menguburkan
jenazah, karna masih kental dengan adat tradisi mereka. Apabila jenazah
dikuburkan ada beberapa manfaatnya yaitu untuk mengingat bahwa
keluarga yang ditinggalkan masih mempunyai hubungan dengan
almarhum dan sebagai sarana komunikasi antar famili dan mempererat tali
persaudaraan.62
e. Upacara Malam Tiga Harian dan tujuh harian
Upacara sembahyang malam Tiga dan Tujuh hari terhitung dari
hari penguburan. Pada saat sembahyang biasanya disediakan rumah-
rumahan dari kertas lengkap dengan berbagai perlengkapan. Seperti
pelayan, mobil, peti, uang atau lain sebagainnya. Dan semua itu terbuat
61 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 45. 62
www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 54-55. Pukul 00:08 hari sabtu
tanggal 09 Maret 2019.
38
38
dari bambu dan kertas yang beraneka warna. Sembahyang Tujuh Hari
disebut juga sembahyang “Balik To” yang berarti meja (To) dibalik
sebagai tanda bahwa upacara pengurusan kematian itu selesai sudah.
Kemudian selesai sembahyang maka rumah-rumahan dari kertas itu
dibakar bersama-sama dengan segala atributnya. Pada saat rumah-
rumahan dibakar, biasanya di jaga agar rumah-rumahan itu tidak
roboh, tidak miring, melainkan amruk sewajarnya. Upacara ini
dilakukan tidak hanya malam tujuh hari tetapi pada malam 8 hari yang
dilakukan pada 02.00 pagi. Setelah selesai pembakaran abu dari sisa
pembakaran dikubur depan kuburan almarhum/almarhumah.63
f. Upacara Peng Tuh atau Ki Hok (membalik meja)
Ki Hok diambil dari bahasa Hokkian yang terdiri dari dua kata
“Ki” dan “Hok”. Ki Hok juga disebut Peng Tuh. Secara etimologi “Ki”
berarti “harapan suci melalui doa” dan “Hok” adalah “rahmat”. Kata
“Hok” dan harapan ini mencakup lima rahmat, yaitu:
- Agar keluarga yang ditinggal memperoleh usia yang panjang
- Agar keluarga yang ditinggal memperoleh kesehatan lahir dan
bati.
- Agar keluarga yang ditinggal memperoleh rizki yang banyak
dan kedudukan yang mulai.
- Bersuka cita dalam kebajikan.
- Pasrah kalau memang Thian menghendakinya. 64
63 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 49. 64
M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu di Indonesia”, h. 161-
162.
39
39
Upacara balik meja atau balik Toa Ha yang artinya balik baju,
misalnya perempuan pakai baju, pakai kerudung terbalik dan anak
laki-laki memakai baju terbalik itu sampai malam ke tujuh setelah itu
baru dibalik kembali seperti semula. Pakaian terbalik ini dimulai hari
pertama hingga hari ke 7, jika baju tersebut tidak terbalik maka tidak
melaksanakan upacara balik meja. Pakain terbalik ini bagaimana pihak
keluarga, jika ingin terbalik maka semuanya harus terbalik, tidak
hanya setengah-setengah. Meja yang diputar itu meja yang bisa
dicopot daun mejanya.65
Upacara ini masih dilaksanakan sampai sekarang, jenazah
almarhum disemayamkan di rumah sendiri atau di rumah duka, maka
keluarga mengadakan sembahyang menggeser peti mati. Biasanya
sembahyang ini diselenggarakan pada malam hari. Peti mati ini semula
berada di tengah ruangan rumah, sekarang digeser ke tembok ruangan.
Pemidahan peti jenazah ini dianggap sangat penting, agar kedudukan
peti sejajar dengan rumah. Kemudian pada zaman dahulu saat mau
menguburkan jenazah, orang Tionghoa sengaja mencari orang ahli
Hong Sui. Orang tersebut yang akan memilih dan menujukan serta
menetapkan letak kuburan. Hal tersebut dilakukan karna orang
Tionghoa mempunyai keyakinan, jika kuburan leluhurnya letaknya
tidak tepat akan berpengaruh pada orang-orang yang ditinggalkan.
Jenazah ketika itu biasanya disemayamkan selama seminggu dirumah
atau dirumah duka. Tetapi sekarang sudah berbeda, sudah banyak
65 Hari, Tokong. Wawancara pribadi mengenai “Upacara Balik Meja”.
40
40
perubahan karna tergantung dari kemampuan orang yang ditinggalkan.
Sikap tersebut untuk menunggu sanak keluarga yang tinggal jauh
seperti di luar Kota atau di luar negri. 66
g. Upacara Siau Siang (1 tahun)
Istilah Siau Siang diambil dari dialek Hokkian. Secara etimologi
Siau adalah kecil sedangkan Siang adalah keberkahan. Yang
dimaksud dengan keberkahan apabila upacara ini dilakukan sesuai
dengan ajaran Khonghucu Itu tidak boleh berlebih-lebihan saat
melakukan upacara. Pada umumnya upacara ini di kalangan
masyarakat Cina yang menganut agama Khonghucu diartikan sebagai
upacara berkabung selama satu tahun dihitung dari saat penguburan
jenazah.67
Di akhir masa berkabung satu tahun diadakan Upacara Setahunan
dengan melakukan sembahyang di rumah. Upacara ini juga dapat
diganti dengan Upacara Empat Puluh Sembilan Hari. Sesajian yang
dihidangkan dalam upacara ini sama dengan sesajian pada saat upacara
Mai Song, yang membedakan dalam makanan yang disajikan berwarna
putih sebagai tanda berkabung, kemudian pada upacara ini dapat
dipersembahkan rumah-rumahan yang terbuat dari kertas dan bambu,
perabot serta pembantu-pembantunya, persembahan ini dibakar pada
upacara setahunan. Rumah-rumahan dan perlengkapan lainnya,
kendaraan, uang-uangan kertas ini adalah sebagai pembantu dan uang-
66 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 35. 67 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu di Indonesia”, h. 164.
41
41
uangan kertas yang nantinya di bakar, maksudnya sebagai bekal
almarhum atau almarhumah di alam baka.68
h. Upacara Tai Siang (3 tahunan)
Tai Siang diambil dari dialek Hokkian, yang secara etimologi Tai
adalah besar sedangkan Siang adalah keberkahan. Upacara ini di
kalangan orang Cina keturunan diartikan sebagai upacara sembahyang
tiga tahunan.69
Di akhir masa berkabung tiga tahunan atau dua tahunan
diadakannya upacara tiga tahunan dengan melaksanakan sembahyang
di rumah. Upacara ini bisa diganti dengan upacara seratus hari.
Upacara ini dihitung dari saat meninggal dunia. Semua perlengkapan
upacara ini berganti menjadi warna merah, mulai dari surat doa, pita,
sesajian makanannya. Warna merah ini sebagai tanda bahwa selesai
berkabung. Pada saat upacara ini pula semua keluarga dari kalangan
anak, menantu, cucu memakai baju putih sebagai tanda berkabung,
dapat melepaskan dan memakai berwarna merah atau warna lain yang
melambangkan kebahagiaan. ini biasa disebut dengan istilah “melepas
putih”. Kemudian dimulai hari ini sampai seterusnya jika sembahyang
menggunakan Hio bergagang merah, menandakan bahwa masa
berkabung telah selesai.70
i. Upacara Ngo Tai
68 www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 47. Pukul 14:54 hari minggu
tanggal 27 januari 2019. 69 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu di Indonesia”, h. 167. 70
www.gramedia.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 47. Pukul 18:07 hari minggu
tanggal 27 januari 2019.
42
42
Upacara ini biasa disebut lima generasi. Artinya
almarhum/almarhumah sudah mempunyai buyut, biasanya berkisar
umur 80 tahun keatas. Upacara ini dilakukan setelah upacara Cut Soa
selesai. Generasi kelima dinaikan keatas peti mati dengan memakai
baju merah (keturunan dari laki-laki) atau baju kuning (keturunan dari
dari perempuan) dengan membawa tas kecil yang terbuat dari kain dan
warna sesuai dengan baju yang menggantung di leher. Kemudian
sebelum peti mati diberangkatkan kepemakaman, anggota keluarga
dari almarhum/almarhumah yang lainnya seperti anak, menantu dan
cucu mengitari peti mati sebanyak 6 kali di ikuti dengan memberikan
wisit (uang kepada buyut) dan di iringi dengan musik Pat In (8 alat
musik). Dengan maksud agar keturunan dari almarhum/almarhumah
tidak ada perselisihan dan saling berbagi dan tolong menolong. 71
j. Upacara Ki Beh
Upacara ini dilaksanakan di pagi hari sekitar jam 06:00 sebelum
pemberangkatan jenazah, dan upacara ini selesai pada saat jenazah
akan dimakamkan. keluarga yang ditinggalkan biasanya mengadakan
upacara pada saat jenazah almarhum/almarhumah akan dibawa atau
diberangkatkan kepenguburan untuk disemayamkan. Kemudian
didepan peti mati almarhum/almarhumah telah disediakan meja
sembahyang yang sudah lengkap dengan berbagai sajian yang sama
dengan upacara Mai Song. Yang membedakan hanya pada Sam Sheng
yang letaknya menghadap keluar rumah pada bagian kepala, yang
71 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 41.
43
43
menandakan peti jenazah siap diberangkatkan atau dikebumikan atau
di kremasi.72
Menurut Oey Tjin Eng upacara Ki Beh ini adalah upacara
sebelum pemberangkatan jenazah, sebab kenapa orang yang meninggal
setelah upacara Jib Bok ada yang namanya Houb Pui. Houb Pui ini
adalah anak mempersembahkan nasi kepada orang tua, sebelum
matahari terbit pagi-pagi dan waktu sore hari sebelum matahari
terpendam. Hal itu melambangkan bahwa anak bakti kepada orang tua.
Karna waktu kecil ibu menyusui anaknya di waktu yang tidak
ditentukan tengah malam jam 2 atau 3 pagi seorang ibu bangun, hal ini
dikarnakan bakti anak kepada orang tua.73
k. Upacara Ceng Beng,
Yaitu upacara yang masyarakat Cina Benteng sering melakukan
upacara-upacara Ceng Beng yakni melakukan ziarah dan
membersihkan makam para leluhur. Ceng Beng berartikan bersih dan
terang. Pada saat perayaan Ceng Beng, mereka dianjurkan untuk
memebersihkan makam leluhur. Upacara ini biasa disebut juga dengan
the-coa. Perayaan Ceng Beng diperingati masyarakat Cina Benteng,
setiap tanggal 5 April, atau dalam penanggalan Cina adalah tanggal 3
Sha-gwee (bulan tiga Imlek). Pada saat itu mereka melakukan ziarah
ke makam orang tua atau leluhurnya, sekaligus membersihkan makam.
Ketika ingin melakukan ziarah keluarga tidak pernah lupa untuk
membawa makanan yang kesukaan Almarhum di masa hidupnya.
Adapun setelah membersihkan makam langsung dilanjutkan dengan
72 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 37. 73 Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai “upacar Ki-Beh”.
44
44
sembahyang hio. Selesai sembahyang keluarga menikmati hidangan
sebagai penghormatan kepada almarhum.74
kemudian yang perlu
diingat bahwa upacara Ceng Beng pun berawal persembahyangan
dilakukan di rumah sesudah diberikan oleh Chailun di Tiongkok. Pada
tahun 105 Sesudah Masehi baru ada kertas, dan sembahyang Ceng
Beng dilakukan di kuburan. Sembahyang Ceng Beng ini
menyampaikan harapan.75
l. Sembahyang Coki.
Sembahyang ini dilakukan setelah beberapa tahun orang tua
meninggal, setahun kemudian memperingati ini dinamakan
sembahyang Coki. Setelah tiga tahunan selesai ke empat tahun
memperingati, hal tersebut dinamakan sembahyang Coki yang artinya
sembahyang untuk leluhur.76
C. Tujuan Dan Manfaat
Dari semua pelaksanaan upacara, dimulai dari peninggalan hingga
tiga tahun upacar kematian ini selalu dilaksanakan, hal ini tentu ada
tujuan dan makna tersendiri bagi masyarakat yang melaksanakan upacara
tersebut, menurut Oey Tjin Eng, tujuan dan manfaat dalam melaksanakan
upacara kematian ini adalah laku bakti anak terhadap orang tua. Karna di
masa kecil tengah malem ibu menyusui tidak mengenal waktu, mau jam 2
jam 3 pagi sang ibu bangun dan mengurusi hingga dewasa.77
Adapun hal
lain adalah untuk menyampaikan doa kepada yang meninggal dunia
74 Euis Thresnawaty s, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 62. 75
Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai “Upacara CengBeng”. 76 Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai “Upacara Coki”. 77 Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai “manfaat dan tujuan upacara kematian.”
45
45
supaya arwahnya kembali ke alam baqa dengan tenang. Dan begitupun
sebaliknya keluarga yang ditinggalkan mendapatkan kehidupan yang lebih
baik dari masa-masa yang sesudahnya.78
78 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu di Indonesia”, h. 164.
46
BAB IV
UPAKARA KEMATIAN DAN TRADISI BERKABUNG DALAM
MASYARAKAT CINA BENTENG
A. Alat-alat Upakara
1. Peti mati
Peti mati adalah tempat peristirahatan terakhir untuk jenazah
almarhum/almarhumah yang akan dikebumikan dan biasa disimbolkan
sebagai hadiah terakhir dari anak almarhum/almarhumah. Kemudian di
atas peti ada pita berwarna merah, kuning, putih. Arti pita berbentuk
kembang di atas peti hanya sebagai simbol yang menunjukan
kedudukan dalam keluarga, contohnya pita berjumlah 5 yang artinya
almarhum/almarhumah sudah memiliki 5 generasi atau sudah memiliki
buyut.
2. Hio Lou
Hio Lou ini adalah perapian pembakaran dupa yang terbuat dari tima,
nampak seperti mempunyai dua buah telinga, sedangkan depannya
terukir kata Hsi (bahagia). Apabila almarhum/almarhumah dikubur
maka abu yang ada dalam Hio Lou berasal dari 5 marga (She)
3. Baju Toa Ha
Pakaian berkabung yang terbuat dari kain blacu putih. Ada juga
yang menggantinya dengan karung goni. Kemudian pakaian ini
dikenakan dengan terbalik, bagian luar menjadi bagian dalam
seblaiknya. Adapun anak laki-laki mengenakan ikat kepala dan
membawa tang-teng di bahu, maksudnya anak laki-laki akan
47
47
bertanggung jawab atas keluarganya. Sedangkan anak perempuan atau
menantu perempuan mengenakan krudung dengan bahan yang sama.
Kemudian anak perempuan pun boleh membawa tang-tang asal
almarhum/almarhumah tidak memiliki anak laki-laki.
4. Tang Teng
Tang Teng adalah tongkat penerus generasi, juga sebagai ahli waris
marga (she) tanda dari keturunan. Tang teng terbuat dari sebatang kayu
bulat yang berdiameter 2 Cm panjang 70 Cm. Kemudian bagian ujung
diberi sekeping uang logam dan ditutupi oleh selembar kain merah
berukuran persegi dengan panjang sisi 12 Cm, kemudian diikat benang
merah pada ujung kayu, jumlah Tang Teng sama dengan jumlah anak
laki-laki almarhum. Apabila yang meninggal ayah, tang teng terbuat
dari kayu yang memiliki ruas (bambu), maksudnya kasih sayang ayah
beruas-ruas kepada anak. Apabila yang meninggal ibu, yang teng
terbuat dari kayu yang tidak memiliki ruang. Maksdunya kasih ibu
tidak ada batasnya kepada anak.
5. Memecahkan buah semangka (banting semangka)
Tradisi banting semangka ini dilakukan di depan mobil jenazah
saat mobil mau diberangkatkan. Tradisi ini mengacu pada kisah
legendaris tentang Kaisar Lie Sie Bin dari dinasti Tang yang pernah
mengalami mati suri, rohnya ditarik ke neraka. Dalam kisah tersebut
ada satu nyonya muda yang siap bunuh diri karena sedang terhimpit
permasalahan dalam hidupnya. Setelah nyonya tersebut meninggal
karna minum racun dibisikkanlah pesan untuk mengingat bahwa harus
48
48
membawa titipan Si Kua (Semangka) tersebut untuk Giam Lo Ong.
Semangka itupun diletakan di tangan jenazah namun akhirnya
semangka tersebut terjatuh dan pecah. Itulah yang akhirnya menjadi
Legenda Banting Semangka. Dari kisah tersebut, maka setiap ada
orang yang meninggal, saat jenazahnya akan diberangkatkan maka
dilakukan upacara banting semangka terlebih dahulu.79
Buah
semangka dibanting sampai pecah, terdapat makna yaitu buah
semangka ini sebagai bekal almarhum di alam baka, selain itu juga
buah semangka ini dibanting akan terlihat biji-bijinya, yang berarti
banyak anak dan cucu, diharapkan keturunannya akan berkembang dan
memperoleh berkah serta rezki yang berlimpah.80
Kemudian semangka
sebagai lambang dunia ini, memang dunia ini manis bisa
menghilangkan dahaga bagi yang mengerti dan tahu batasnya. Adapun
bagi yang tidak tahu ia menderita sakit dan merana, sebab didunia ini
orang yang baik hanya sedikit, sedangkan yang jahat lebih banyak. 81
6. Teng atau dang
Teng atau dang yaitu lentera terbuat dari kertas atau kain dengan
rangka kayu berwarna putih dibawa oleh cucu lelaki pertama pada
iringan terdepan, teng ini sebagai alat penerangan agar perjalanan
kepemakaman lancar. Kemudian yang kedua orang yang membawa
nampan diatasnya diletakan foto almarhum dan Hio Lo hal ini
bermaksud almarhum mempercayakan anak perempuannya kepada
79 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 42-43 80 www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 50-51. Pukul 16:23 hari jumat
tanggal 208 Maret 2019. 81 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 18.
49
49
sang menantu. Jika tidak ada, bisa digantikan oleh cucu atau
keponakan laki-laki dan dibelakangnya pembawa bunga. Kemudian
yang ketiga jenazah dengan diikuti oleh pihak keluarga almarhum dari
mulai anak laki-laki, anak perempuan, menantu, cucu dan kerabat
dekatnya, dan teman-teman almarhum dengan iringan kendaraan
pribadi dan bus.82
Teng ini alat penerangan sama halnya dengan
lampion, yang membedakan hanya warnanya. Jumlah generasi
almarhum/almarhumah dapat melihat dari jumlah renda dan hiasan
yang menggantung pada teng berwarna putih, semakin banyak renda
berarti semakin banyak generasi yang dimiliki. Sedangkan pada teng
berwarna kuning khusus bagi almarhum/almarhumah yang sudah
memiliki 5 generasi atau buyut.
7. Garis X
Pintu, jendela, dan kaca ditempel kertas putih berukuran lebar 5 Cm
dan panjang 30 Cm. Apabila yang meninggal itu ibu, kertas putih di
tempel kanan atas, kiri bawah. Apabila yang meninggal ayah, kertas
putih ditempel kiri atas kanan bawah. Bila keduanya telah tiada, kertas
putih di tempel 2 menyilang.83
8. Gin Cua
Kertas persegi yang tengahnya terdapat warna perak/emas, pada saat
kematian berguna untuk kelancaran jalan atau bekal menuju akherat.
82 www.grameda.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, h. 50-51. Pukul 16:23 hari jumat
tanggal 208 Maret 2019. 83 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 12-14
50
50
Kemudian menunjukan tanda bakti anak kepada orang tua dengan
mengirimkan uang.
9. Rumah kaca
Rumah kaca ini adalah kepercayaan dengan adanya kehidupan setelah
meninggal. Maka keluarga yang ditinggalkan mengirimkan sebuah
rumah kertas lengkap dengan perlengkapan rumah tangga dan dua
boneka kertas berbentuk manusia yang siap membantu (Letong dan
Lehawa).
10. Sam Seng Babi
Seorang laki-laki didalamnya menjalani kehidupan hendaknya hati
lurus dan pikiran bersih, seperti seekor babi bila berlari selalu lurus
kedepan, tanpa menengok ke kiri dan kekanan.
11. Sam Can (Daging Babi 3 Lapis)
Di haruskan untuk mengingat bahwa di pundak seseorang laki-laki ada
3 kewajiban yang pokok yaitu:
a. Jadilah seorang laki-laki yang mampu melindungi anak dan istri
b. Jadilah seorang laki-laki yang mampu membahagiakan anak dan
istri.
c. Jadilah seorang laki-laki yang mampu menafkahi anak dan istri.
12. Sam Seng Ikan Bandeng
Hal ini bahwa melambangkan kehidupan seorang wanita. Ikan
bandeng ini hidup di muara yang berlumpur didasarnya tempat
pertemuan antara air sungai dan air laut. Ikan bandeng tidak bisa hidup
berkelana, melainkan hidup muara. Maksudnya untuk mengingatkan
51
51
anak perempuan agar hidup tidak liar (keluyuran). Maka dikatakan
bahwa wanita berjalan di atas lumpur, kemanapun ia pergi senantiasa
meninggalkan bekasnya (jejak). Untuk laki-laki jangan terlalu asik
mempermainkan wanita, biarpun kelihatannya jinak dan lemah, namun
bila sudah tersedak tulang ikan bandeng baru merasakan sakitnya.
13. Sam Seng Ayam
Seekor ayam mampu terbang melintas pagar batasnya, begitupun
seorang anak, kemampuan dan pengetahuannya dapat melampaui
orang tuanya. Ayam mematuk makanan sebutir demi sebutir dengan
mengais-ngais sampah menggunakan kakinya tanpa kenal lelah dan
malu dalam seharian bekerja, oleh karna itu hidup jangan serakah.
Adapun darah beku, dalam badan telah mengalir darah dari leluhur
jangan mempermalukan orang tua dengan tingkah dan perbuatan yang
mencemarkan nama baik orang tua. Kemudian usus, hati dan ampela,
seorang anak yang memiliki kepuasan, rasa sukur dan rasa berterima
kasih.84
14. Tebu
Hendaknya membina kehidupan seperti tebu, tidak sombong, tidak
pamer, mudah tumbuh, mudah menyesuaikan. Hidup serumpun
berdampingan, akur saling mengerti, bisa bergotong royong sesama
saudara sekandung. Harus diingat pohon tebu tidak bercabang, ia
berdiri sendiri di atas kaki sendiri.
15. Nanas
84 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 15-17
52
52
Buah nanas ini merupakan lambang keberuntungan. Menjalani
kehidupan dengan mengandalkan keberuntungan tentu akan menemui
kekecewaan. Apabila keberuntungan di ikuti dengan kecerdikan, tentu
membawa dalam ke suksesan.
16. Jeruk Bali
Jeruk ini merupakan lambang dari keluarga yang di lihat dari isi
buah jeruk bali yang beruas-ruas yang melambangkan setiap anak
memiliki pikiran yang berbeda tetapi tetap menjadi satu keluarga yang
dilambangkan dari kulit jeruk bali tersebut. Kemudian kulit jeruk in
melambangkan orang tua.
17. Teh Liau
Teh Liau ini terdiri dari Tang Kwe, Gula Batu, dan Ang Co. Dalam
pergaulan, sumber kebaikan atau bahaya bersumber dari mulut
(ucapan).
18. Kue Kosang-kosang
Kue ini melambangkan banyak cucu banyak keturunan.
19. Kue Bun Tau (Laki-laki)
Kue ini persembahan dari laki-laki yang menggambarkan jumlah
keturunan laki-laki dari almarhum/almarhumah
20. Kue Bun Tau (Perempuan)
Kue ini persembahan dari anak perempuan yang menggambarkan
jumlah keturunan perempuan dari almarhum/almarhumah.
21. Bibit, kelapa dan rotan
53
53
Lima macam bibit-bibitan atau biji-bijian palawijaya yang
dicampur dengan mata uang logam. Biji-bijian tersebut terdiri dari
gabah, kedelai kuning, kacang hijau, kacang merah dan kedelai hitam.
Kalau sudah mengenal bibitnya, tentu bisa berkelana juga dengan
pohon dan akarnya. Kalau sudah mengenal pohon dan akarnya,
kembali lah dan berpegangan eratlah pada bibitnya. Maka sampai akhir
hayat, tidak akan menemui kesulitan. “ dimaksudkan: jadi anak yang
serba bisa, ulet dan sabar dalam mencari peruntungan. Kemudian
kelapa banyak kegunaannya, begitu juga manusia harus bisa segalanya.
Air kelapa diminum oleh seluruh keluarga dengan makna semoga
selalu hidup rukun harmonis. Kemudian rotan melambangkan hidup
harus ulet dan tidak gampang menyerah (patah semangat).
22. Pat in
Delapan alat musik yang terdiri dari tiga jenis yaitu, gesek, tiup,
dan pukul. Seperti kemor, gendeng, kempul, slukat, terompet, tehyan,
suling dan skong. Maksud dari tiha jenis yang berbeda mencerminkan
dari tiga kehidupan, darat, air dan udara. Ketiganya saling
berkesinambunga.
23. Kol
Setipisnya kol, maksudnya adalah hati nurani manusia jauh lebih
tipis.
24. Ma Co (Kue yang digoreng, Bagian Luar ditaburi Wijen)
54
54
Jangan terlena dengan bujuk rayu yang memikat dan sangat
menggiurkan, kenyataan semua kosong belaka. Cerita yang manis
tentu berakhir pahit.
25. Tahu
Mendaki gunung sulit, minta tolong orang jauh lebih sulit.
26. Tokong
Tokong ini adalah orang yang bekerja seharian membantu
mengurus dan memimpin upacara pemakaman dan kematian. Mulai
dari memandikan jenazah sampai malam tujuh hari.
27. Kwa Cai dengan akarnya (Cai Kong, Sawi)
Kwa Cai itu pahit, miskin itu lebih pahit. Seorang anak ditegur dan
dimarahi memang terasa pahit walaupun pahit pahit tetapi dapat
menyembuhkan dari kesalahan dan kebodohan, apabila dibandikngkan
dengan hidup miskin, akan jauh lebih pahit.
28. Jamur Bok Ji
Jamur bok ji hitam, hati manusia jauh lebih hitam. Kehidupan di
hutan itu kejam, hati manusai jauh lebih kejam.
29. Soun Putih direbus Air Panas
Memang menjalani kehidupan itu banyak menghadapi kesulitan,
halangan, dan kekusutan, hanya dengan kesabaran dan keiklasan yang
bisa melewati dengan mudah.
30. Kim Can (Bunga Sedap Malam)
Nilai dasar seorang sahabat. Kembang mekar sahabat kumpul,
kembnag layu sahabat kabur.
55
55
31. Nasi dan 5 Lauk Pauk
Yang kita makan setiap hari, tidak didapat dengan mudah,
melainkan harus kerja keras dan peras keringat sepanjang hari baru
bisa diperoleh. Jangan di sia-siakan jerih payah beliau, jadilah orang
yang berguna. Seperti pepatah mengatakan “perut baru di isi, tau sudah
keluar”
32. Pisang Raja Bulu dengan 5 Macam Buah-Buahan
Dimaksud untuk mengutamakan keluarga di atas segala
kepentingan, dapat melahirkan keluarga yang rukun, keluarga rukun
menciptakan kebahagiaan. Keluarga yang bahagia dapat melahirkan
semangat, dengan semangat yang tinggi dapat melahirkan
kemakmuran.
33. Enam macam kue jajanan (yang Manis dan Ceria warnanya, jangan
yang mengandung ketan)
Lambang pergaulan. Dalam pergaula, penampilan, dan
pembicaraan, terutama dengan tetangga, hendaknya ceria, baik sopan
santun, tetapi ingat jangan lengket, bila tidak ingin kecewa. 85
B. Makna Berkabung
Dalam kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “Ka-bung”
adalah kain putih yang diikatkan dikepala sebagai tanda duka cita. Adapun
“ber-ka-bung” ada dua definisi yang pertam, memakai kabung (sebagai
tanda berduka cita karna ada keluarga yang meninggal), yang ke dua
berduka cita karna keluarga, kerabat dan sebagainya meninggal. Yang
85 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 18-24
56
56
terakhir yaitu “per-ka-bung-an” ada dua arti yang pertama bermaknakan
pakaian (kabung dan sebagainya) yang dipakai dalam berkabung, yang
kedua yaitu keadaan berkabung (berduka cita).86
Semua manusia pada saat di tinggalkan oleh orang-oarang terdekat
pasti merasakan kehilangan dan kesedihan. Dalam tradisi Cina Benteng
Tangerang Kota, ketika ada yang meninggal salah satu keluarga, seluruh
anggota keluarga inti wajib menggunakan baju Toa Ha (baju berkabung
yang terbuat dari kain belacu) yang dikenakan secara terbalik, bagian luar
di dalam, bagian dalam diluar.87
Berkabung ini diharuskan untuk memakai kain Putih, tidak
berwarna lain seperti warna merah, Kuning Hijau dan lain sebagainya.
Bermaksudkan untuk terlihat bahwa keluarga sedang berduka. Adapun
untuk cara pemakaiannya kain berkabung itu, jika untuk laki-laki diikatkan
di kepala, jika perempuan dipakai seperti kerudung. Simbol lainnya adalah
jika yang meninggal perempuan gelang tangannya dipakaikan di sebelah
kanan dan diikatkan rambutnya sebelah kanan, jika yang meninggal laki-
laki, untuk pemaiakannya sebelah kiri semua. Inilah perbedaan tradisi
Cina Benteng dengan yang lainnya.88
Kemudian upacara perkabungan yang layak bukan secara mewah
dan berlebihan, tetapi secara sederhana dan khidmat. Penyebutan untuk
penghormatan kepada orang tua yaitu “Hau” (Hshiao) yang bagi mereka
harus disertai sikap hormat pada orang-orang yang lebih tua sebagai
pernyataan kekasih. Adapun sikap hormat ini berlangsung setiap hari
86
http://kbbi.web.id jam 11:58 kamis, tanggal 21 maret 2019 87 Putri Astaria, Upacara Kematian Cina Peranakan (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 31. 88 Hari, Tokong. Wawancara pribadi mengenai “Budaya Berkabung.”
57
57
kepada mereka yang masih hidupdan setelah meninggal dilakukan dengan
cara yang berbeda.89
Lamanya berkabung bagi warga Cina Benteng cukup
lama kurang lebih satu tahu. Selama berkabung tidak diperbolehkan
memakai perhiasan dan pakaian berwarna, mereka hanya menggunakan
pakaian warna hitam atau putih, tidak boleh mengadiri pesta atau
mengadakan pesta.90
C. Makna Simbolik dan Nilai Filosofis Dalam Peroses Kematian dan Budaya
Berkabung
Dalam prosesi upacara, dari mulai peninggalan hingga selesai
pemakaman banyak sekali sesajian yang di sediakan. Maksud hal tersebut
adalah bermaknakan dan bernilai filosofis bahwa laku bakti anak kepada
orang tua, kesedihan akan datang ketika seorang yang kita sayang, cintai,
hormati, meninggalkan untuk selamanya. Adapun kecintaan anak terhadap
orang tua itu apa, dan yang paling penting terlaksana cita-cita orang tua.91
Dalam tradisi Tionghoa, hubungan anak dan orang tua sangat menuntut agar
anak-anaknya senantiasa menghormati orang tua. Bahkan kepada orangtua
yang sudah meninggal, maksudnya menghormati kepada orang tua yang sudha
meninggal itu adalah wujud bakti seorang anak terhadap orang tuanya yakin
dengan mengadakan upacara yang layak dan berkabung selama beberapa
waktu.92
89 Kurniawan Halianto, Chio Thau: pelaku Pernikahan Adat Cina Benteng, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 49 90 Euis Thresnawaty s, “Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang”, Jurnal Patanjala, vol. 7, no. 49-64 (1 Maret 2015): h. 60. 91
Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai “manfaat dan tujuan upacara kematian.” 92
Kurniawan Halianto, Chio Thau: Pernikahan Adat Cina Benteng, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 49.
58
58
Keluarga Tionghoa sangat mementingkan seorang anak, terutama anak
laki-laki. Bagi mereka anak bukan hanya untuk melanjutkan marga (She) dan
membawa berkat (Hoki), yang paling utama untuk menggantikan sang ayah
merawat abu leluhur. Bagi anak laki-laki yang tidak mengurus “abu leluhur”,
disebut “Put Hao” (tidak berbakti), bahkan yang lebih dahsyat lagi keluarga
yang tidak memiliki anak laki-laki juga termasuk sebagai Put Hau.
Disebabkan ada keluarga yang terpaksa mengadopsi anak laik-laki, hanya
untuk memenuhi syarat, bahkan ada lagi yang lebih dahsyat, seorang suami
diizinkan menikah lagi demi untuk mendapatkan anak laki-laki. 93
D. Pelaku Upacara
Dalam Kematian Masyarakat Cina Benteng, ada beberapa tahapan-
tahapan Upacara yang sudah dibahas di atas, adapun pelaku upacara kematian
ini adalah Tokong. Kata Tokong ini adalah sebutan masyarakat Cina Benteng
yang mengurus jenazah dari mulai persembahyangan, memandikan hingga
menguburkan. Tokong sebenarnya tidak satu tetapi bisa dikatakan banyak.94
Menurut pak hari sebagia Tokong, pelaku Upacara itu bisa siapa saja dan dari
vihara mana saja bisa mengikuti. Maksudnya adalah untuk memberikan doa
kepada almarhum/almarhumah, tidak beda jauh dengan Muslim seperti Ustad,
Haji dari manapun bisa mengikuti dalam upacara kematian tersebut.
Begitupun dalam agama Khonghucu bisa dari manapun yang mengunjungi,
ada dari Serpong, Jakarta, luar Kota, luar daerah untuk mengikuti dan
mendokan almarhum/almarhumah.95
93 Kurniawan Halianto, Chio Thau: Pernikahan Adat Cina Benteng, (Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 50. 94 Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai “upacara kematian.” 95 Hari, Tokong. Wawancara pribadi mengenai “Siapa Pelaku Upacara.”
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pelaksanaan upacara Kematian yang dilakukan oleh mayarakat
Cina Benteng merupakan sebuah tradisi turun temurun yang diwarisi oleh
nenek moyang terdahulu dan masih dilaksanakan hingga saat ini.
Masyarakat Cina Benteng melaksanakan upacara kematian sampai tiga
tahunan. Dari mulai meninggal, 3 hari , 7 hari, 49 hari, 1 tahunan dan 3
tahunan, di dalamnnya terdapat prosesi-prosesi upacara kematian, seperti
upacara Jib Bok (memasukan jenazah kedalam peti), upacara Mai Song
(malam menjelang pemberangkatan), upacara Sang Cong
(pemberangkatan jenazah), upacara Jib Gong (pemakaman jenazah),
upacara Peng Tuh/Ki Hok (membalik meja), upacara Siau Siang (1
tahunan), upacara Tai Siang (3 tahunan). adapun untuk sesajian ada
beberapa pariasi, ada yang memakai 70 mangkuk ada juga yang memakai
seadanya, hal ini di karnakan bagaimana keadaan ekonomi keluarga, tidak
memaksakan harus 70 persajian.
Ditengah-tengah melakukan upacara kematian masyarakat Cina
Benteng melakukan sebuah tradisi yaitu budaya berkabung. Budaya ini di
lakukaan sampai 7 hari atau sampai acara selesai, adapun keluarga yang
ditinggalkan harus memakai kain belacu yang berwarna putih, bagi yang
memakai kain berwarna biru yaitu cucu dan sanak saudara. peletakannya
bagi laki-laki dan perempuan. Budaya berkabung ini dilaksanakan agara
60
60
masyarakat tahu bahwa keluarga sedang berdukan. Masyarakat Cina
Benteng mempunyai penandaan tersendiri jika kedua orang tuanya sudah
tidak ada di setiap rumah. Bisa dilihat dari kertas yang berwarna putih
yang ditempel di jendela depan rumah berbentuk X, adapun
penempelannya, jika yang meninggal ibu, kertas tersebut ditempel dari
sebelah kanan atas kiri bawah, jika yang meninggal ayah, kertas tersebut
ditempel sebelah kiri atas kanan bawah. Bila di jendela tersebut berbentuk
X menandakan bahwa keduanya telah tiada.
Melakukan upacara ini berfungsi untuk mendoakan agar arwahnya
tenang. dan bermaknakan laku bakti anak kepada orang tua, bagaiman
orang tua yang telah mengurus dari lahir hingga dewasa, manusia
hendaknya berlaku bakti. Tiga tahun pahit getir menyusui dan penuh
upaya merawat dengan segenap usaha, membesarkan hingga menjadi
manusia adalah gambaran peta ketergantungan yang tak terpungkiri.
Adapun sesajian yang disediakan adalah bentuk nyata persembahan untuk
menghadiahkan dan mendokan almarhum/almarhumah di alam kubur,
begitupun sebaliknya almarhum/almarhumah mendokan keluarganya yang
ditinggalkan untuk menjadi lebih baik lagi dalam semua hal, mislanya
menambah rizki dan mempunyai banyak keturunan.
B. Saran
Masyarakat Cina Benteng ini bisa dikatakan masyarakat yang luar
biasa. Berada ditengah-tengah masyarakat yang berbeda dari segi agama,
budaya dan lain sebagainnya. Masyarakat Cina Benteng walaupun zaman
61
61
sekarang dimana semua akan selalu berkembang, sebaiknya selalu
mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi. Menjalani hubungan yang
baik dengan menerima perbedaan dan sikap toleransi. Karena adanya
perbedaan baik dari segi keberagamaan, budaya, dan pemahaman itu
adalah sebuah rahmat, apabila perbedaan itu dimaknai sebagai sebuah
dinamika kehidupan maka hal tersebut bukanlah permusuhan. Dengan
adanya perbedaan pasti akan terciptanya dialektika dan bertambahnya
pengetahuan dan pengalaman. Contohnya seperti bunga “Jika bunga itu
hanya satu warna akan terlihat biasa saja. Tetapi jika bunga itu banyak dan
berbeda-beda maka keindahan itu akan terlihat dan terpancar adanya.
Jadikanlah perbedaan itu untuk mempererat hubungan persaudaraan,
sahabat, serta menjalankan nilai-nilai budaya leluhur yang baik, dan ini
merupakan sebuah keharusan.
Kemudian penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh
karna itu diharapkan ada peneliti yang dapat meneliti lebih secara
mendalam tentang segala aspek yang berkenaan dengan budaya,
keberagamaan, sosial, dan lain sebagainya.
62
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Astaria, Putri. Upacara Kematian Cina Peranakan, Jakarta: Gramedia, 2013.
Aris, Munandar Agus, dkk,. Sejarah Kebudayaan Islam:Regional dan Falsafah,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Al-Ayubi, Solahuddin. Cina Benteng: Pembaruan Dalam Masyarakat Majemuk
di Banten. Kalam, Volume 10, Nomor 2 (Desember 2016).
Abdullah Taufik dan Karim, M. Rusli, Metodologi Penelitian Agama,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Study Agama, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta,
2002.
Cina Benteng: sejarah dan Budaya Kuliner, Jakarta: PPSW,
Gunawan, Marisa. Dentingnya Dua Belas Mangkok: Ekspedisi Budaya Tionghoa
di Bumi Banten, Jakarta: Red & Publishing, 2014.
Halianto, Kurniawan. Chiou Thau Pernikahan Adat Cina Benteng, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016.
Halim Wahidin, Ziarah Budaya Kota Tangerang: Menuju Masyarakat
Berperadaban Akhlakul Karimah, Pendulum, 2005.
Hari, Tokong. Wawancara pribadi mengenai Budaya Berkabung. Tanggal 30
Januari 2019.
Hari, Tokong. Wawancara pribadi mengenai Siapa Pelaku Upacara. Tanggal 30
Januari 2019.
http://web.budaya-tionghoa.net/budaya-tionghoa/adat-istiadat/1050-tradisi-
upacara-pemakaman-kmatian. 16 Februari 2019.
http://kbbi.web.id
http://www.tangerangkota.go.id
http://djauharul28.wordpress.com
Ibad, MN. dan AF, Akhmad Fikri. Bapak Tionghoa Indonesia, Yogyakarta: PT.
LkiS Printing Cemerlang, 2012.
Nabawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosail, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Perss, 1998.
63
63
Onghokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina
di Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 2008.
Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai Manfaat Dan Tujuan Upacara
Kematian. Tanggal 30 Januari 2019.
Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi mengenai pelaku upacara kematian. Tanggal
30 Januari 2019.
Oey Tjin Eng, Wawancara peribadi terkait kenapa harus laki-laki yang
menganggkat jenazah. Tanggal 08 Juli 2019.
Sedyawati, Edi. Keindonesiaan Dalam Budaya, Jakarta: Penerbit Wedatama
Widya Sastra, 2007.
Sukandarrumidi, Metode Penelitian, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press,
2002
Santoso, Iwan. Peranakan Tionghoa Di Nusantara, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2012.
S Eius Thresnawaty. Sejarah Sosial Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota
Tangerang, Patanjala Vol. 7 No. 1 Maret 2015
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2016.
Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia,
Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan, 2005.
Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, Jakarta: UIN Jakarta
Perss, 2006.
Tumanggro Rusmin. dan Ridho Kholis. Antropologi Agama, Jakarta: UIN Press,
2015.
Tebba, Sudirman. Kiat Sukses Menjemput Maut, Tangerang: Pustaka irVan, 2006.
www.gramedia.com, Akulturasi Budaya Cina Benteng, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2006.
64
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
1. Surat Masuk
65
65
66
66
67
67
68
68
69
69
70
70
71
71
72
72
2. Surat Keluar
73
73
Lampiran II
74
74
75
75
wawancara dengan kong Oey Tjin Eng
p: bagaimana upacara Kematian dari zaman nenek moyang hingga saat ini?
J: Kemudian tahun 35 SM, lahir cang tao ling, waktu agama Budha umurnya 31
tahun. Cang tao ling mengembangkan taoisme, maka begitu agama buddah
masuk, tao sudah berkembang konghuchu agama negara muncul yaitu ru tau se,
“ru” Konghucu (ruciau) taucenya “cang taoling” yang potong lidah segala
macam di tusuk-tusuk “se” sakya muni. Agama budha ini terpengaruh oleh
budaya Tionghoa, misalnya contoh persembahyangan cing ming, cie pan
(sembahyang leluhur untuk mengingat leluhur) dimasa cie pan itu sepandang laya
sampe bulan 8 tanggal 15 inget yang tidak disembahyangan ulambana kemudian
taoisme disebut ciokoh. Yang dua ini Ciau pue dan ulambana adanya abad ke 7
waktu agama budaha berkembang di tiongkok, sebab budaya tiongkong berbeda
dengan budaya thailan, budaya tiongkok itu budayanya mahayana, percaya
dengan seni-seni, kalau di thailan tidak. Sebab tidak ada sejarahnya begitu. Waktu
klenteng bon tek bio pengaruhnya agama budha itu tidak ada, kalau kelenteng asal
usulnya begitu konghuchu meninggal diabad 477 SM dibuatlah oleh Raja lu ay
kung Raja muda yaitu klenteng konghucu namanya kung nyou, pada sejak itu baru
muncul klenteng-klenteng konghucu, karna agama budha sering ke tiongkok maka
muncul tri darma, kemudian dibawa oleh perantau ke kawasan Pasar Lama.
Harus inget ceng beng pun, tadinya sembahyangnya di rumah sesudah di
berikan kertas oleh chai lun di Tiongkok. Tahun 105 sesudah masehi baru ada
kertas, sembahyang ceng beng itu di kuburan. Sembahyang ceng beng ini
Menyampaikan harapan. Ada sembahyang Coki, mislanya hari ini orang tua kita
meninggal setahun kemudian kita peringatan nama Coki. Tiga tahun sudah selesai
tahun keempat kita peringati namanya sembahyang Coki memperingati leluhur
kita. Sembahyang Ki beh untuk pemberangkatan jenazah. Sebab begini kenapa
orang meninggal setelah Jib Bok ada namanya houb pui, anak mempersebahkan
nasi kepada orang tua, sebelum matahari terbit pagi-pagi dan waktu sore-sore
sebelum matahari terbenam, itu melambangkan bahwa anak bakti kepada orang
tua. Karna waktu kamu kecil kamu tengah malem nete sama ibu jam 2 jam 3 ibu
kamu bangun, karna bakti anak terhadap orang tua.
P: Asal mula masyarakat Cina Benteng.?
J: Waktu 1407 terdampar di teluk naga satu rombongan perahu di bawah
pimpinan Chilung atau Halung, ini namanya perahu Jung yang muat 100 orang
lebih didalamnya berisi orang-orang gadis, kemudian teluk naga itu ada penguasa
namanya Sang Hiyang Anggalarang dia berasal dari Kerajaan Pajajaran. Ada
gadis cantik-cantik oleh anggalarang, sudah hilang orang Tionghoanya, kemudian
laki-laki Tionghoa menikah dengan penduduk setempat. Hasil pernikah laki-laki
76
76
ini dengan penduduk setempat muncul peranakan Tionghoa , kemudian mereka
berkembang di teluk naga mereka tinggal di desa pangkalan, desan ini dinamakan
tanglang atau tenden, orang dinasti tang. Disebut wilayah berkembang mereka
membuka lahan dari sana kemarin (dari pasar lama, pasar baru, serpong)
kemudian ada tiga klenten tua Bon Tek Bio (1684), Bon San Bio (1689), dan bon
han bio (1694). Dan perlu ditambahkan juga menurut Tompires kalau kita baca
bukunya sumaoriental 1513 sudah ada pengurus orang Tionghoa, jadi pasarlama
itu sudah ada. Dan perlu ditambahkan juga bahwa ada musyafir dari cirebon ke
banten tinggal di tangerang namanya tumenggungpariwijaya 1615, dan orang ini
menyebarkan agama islam di tangerang dan juga mendirikan masjid di Kali Pasir
1700.
P: Kenapa di sebut Cina Bentang?
J: Benteng di buat 1683 oleh belanda, tujuannya adalah ini sungai, ini kosan
banten, ini kosan belanda, mereka mau buat benteng , klw pada saat kong kecil,
bantaran sungai ini banyak banter untuk menembahk ke sebrang, benter ini tuh
untuk melihat perang, di sana ada benteng belanda yang biasa disebut benteng
makasar, karana yang buat orang-orang makasar. paling disebut Cina Benteng itu
dari benteng makasar sampai kebabakan saja. Orang miasalnya dari pintu air mau
ke mari mereka menyebutkan tempat itu biasa disebut Cina Benteng, dari seon
kemari disebut Cina Benteng, sekarang secara umum sudah menjadi kaprah, yang
memang sekarang banyak penduduk orang Tionghoa seluruh sampai 1780
pembantaian orang tionghoa di jakarta, seribu orang dibantai oleh belanda, orang-
orang tionghoa melarikan diri ke Pondok Aren, Pondok Pinang, Pondok Cabe,
Pondok Jagung dan Tegal Pasir atau Kali Pasir dekat kelenteng, kemudian yang
ke jawa itu melarikan diri yang dipimpin oleh kapital Sopanciang atau kapital
sepanjang, mengawal peralihan melawan belanda kemudian orang Tionghoa
bersama orang jawa, 1740-1743 kalah karna persenjataan ada dalam bukunya
yaitu geger pecinan, sekarang punya sejarahnya di taman mini perjuangan orang
Tiongkok melawan belanda, dan orang-orang ini pun karna bentengnya di jakarta
benteng pasar ikan mereka berikut cina benteng, betul juga tidak salah kalau
mereka tinggal dalam benteng karna mereka adalah Cina Benteng. Maka ada dua
persi ada Cina Benteng dari sini dan ada Cina Benteng dari sana. Kalau melihat di
Pondok Aren, Pondok Pinang, Pondok Cabe, banyak orang Tiongkok.
P: Tujuan dan Manfaat Upacara Kematian?
J: Adalah laku bakti anak terhadap orang tua. Nah kan kita makan nasi sampai 7
hari, sebelum di angkat sampai di rumahpun begitu.
P: Kodisi masyarakat Cina Benteng saat sekarang?
J: Banyak perbedaannya, karna orang Cina pun banyak yang susah.
P: Makna berkabung? dan kenapa orang Tionghoa berkabung selama tiga
tahun?
77
77
J: kita mengenal segala sesuatu sesudah tiga tahun, apakah kita tidak wajib orang
tua mendidik kita selama tiga tahun, apa kita rugi kalau berkabung selama tiga
tahun, padahal tidak selama tiga tahun penuh paling lama 27 bulan. Ini tuh laku
bakti anak kepada orang tua kepada leluhur.
P: Kenapa pakaian berkabung berwarna putih?
J: Karena orang susah dahulu itu bajunya dibalik pake Toahak, Toahak itu dari
kain kasar yaitu kain Belacu. Nah bagaimana membedakan laki-laki atau
perempuan yang meninggal itu bisa dilihat dari gelang. Jika dari kanan itu
perempuan yang meninggal, jika di kiri yang meninggal laki-laki. Menandakan
rumah yang sudah meninggal orangtuanya terlihat dari jendela ada garis kertas
berwarna putih. Kalau orangtua perempuan yang meninggal dari kanan atas ke
kiri bawah, kalau orangtua laki-laki yang meninggal dari kiri atas ke kanan
bawah, jika keduanya sudah meninggal kertas berbentuk X di depan jendela
rumah.
P: Makna simbolik dan nilai filosofis dalam prosesi upacara kematian?
J: Laku bakti anak kepada orang tua, yang pasti sedih ketika ditinggal orangtua
kita meninggal. Yang kita cintai, yang kita hormati, Cuma yang penting itu yang
kita cintai terhadap orang tua itu apa? belom terlaksana anak berkewajiban
melaksanakan cita-cita orang tua itu apa.
P: Mengapa saat berkabung bajunya berwarna putih tidak berwarna lain? Tidak boleh memakai warna lain, karna sedang merasa duka, mangkannya
bajunya terbalik
P: Makna berkabung itu sendiri apa?
J: Masih dalam rasa duka.
P: Adakah sejarahnya kenapa harus berwarna putih?
J: masa orang meninggal memakai baju merah. Simbolis orang Tionghoa putih itu
melambangkan kedukaan, kemudian merah itu menandakan kebahagiaan dan
menolak bala, kenapa kelenteng merah? Karna waktu jaman dahulu binatang nian
selalu makan orang terus, kemudian ada anak kecil pakai baju merah lalu dia takut
ia kabur. 105 dahulu tak ada yang namanya Pangcho ditemukan kertas oleh
chailun 105 ia adalah penemu kertas. Kalau berumur di atas 80 itu memakai lilin
merah, padasaat meninggal memakai baju merah atau kuning itu cicitnya. Ngotai
itu saat yang meninggal punya cicit memakai baju kuning atau merah yang naik di
atas peti.
P: Siapa pelaku upacara?
J: Tokong adalah yang mengurusi persembahyangan sampai kekuburannya.
Totekong itu malaikat bumi
P: di masyarakat Cina Benteng mayoritas apa?
78
78
J: Dimakamkan atau dikremasi? Tergantung, kalau kita lihat sejarahnya zaman
dahulu masih dikasih makan burung kalau di tibet, namanya niau cang, lingcang
di buang di hutan, suecang dibuang ke sungai atau laut, huicang di kremasi baru
tecang dikebumikan. Tapi untuk sekarang orang banyak di kremasikan karna
lahan susah dan mahal.
P: Selain tokong pelaku upacara siapa lagi?
J: Itu memang tugas Tokong dari pemandian hinggal masuk peti. Intinya jasad
atau jenazah di kembali ke pada bumi.
P: kenapa yang mengangkat jenazah harus laki-laki?
J: Karena laki-laki yang melanjutkan keturunan dan tenaganya lebih kuat.
79
79
80
80
Wawancara Dengan Pak Hari (seorang Tokong)
P: rumah duka ini untuk beragama apa saja?
J: Rumah duka untuk agama Konghuchu, Budis, Matrea, Mahayana, teravada,
itu ada sejenis umat agama, bukan hanya satu tradisi aja banyak bermacam-
macam tradisi, makannya Setiap jenazah disembahyangkan di rumah duka
maupun di rumah itu keluarga harus berkumpul disamping almarhum atau
almarhumah. Untuk mengeramasi dan membersihkan badannya dan kuku-
kukunya dikerok selesai anak mantu cucunya setelah itu dimasuki ke dalam peti.
Setelah masuk peti disembahyangkan secara tradisi Konghuchu, sembahyang Cib
Guih atau sembahyang kawin itu acara penutupan peti, seleasi acara Cib Guih
baru sembahyang Jib Bok, itu disebut sembahyang konghuchu. Bermacam-macam
persembahyangan dan banyak persembahyangannya, sajiannya sampe 2 atau 3
meja. Terawada dengan Mahayana Cuma 1 meja isinya hanya buah-buahan saja. 3
meja itu kewajiban konghuchu ada 3 jenis ekor yang disebut samseng yaitu ayam,
babi, bandeng. Ada juga yang disebut kata ngoseng 5 jenis ekor yaitu kepala babi,
ayam, bebek, kepiting, bandeng. dia sajiannya sampai 70 persajian kalau
konghuchu, terawada dan bugis secukupnya persajian saja hanya untuk almarhum
saja seperti buah-buahan. 70 persajian ini tetap 3 meja pada hari peninggalan pas
persembahyangan keluarga.
P: Pelaku upacara siapa saja?
J: Siapa saja bebas dari vihara mana saja bisa mengikuti. Tidak beda di muslim
ustad dan haji dimanapun boleh mengikuti, disini juga sama mau dari vihara mana
pun juga bisa membacakan doa di sini, ada yang dari serpong, dari Jakartapun
bisa kesini, dari serang juga bisa ke sini, bukan karna dibataskan untuk benteng
saja bukan, khusus di luar daerah.
P: Saat berkabung menggunakan pakaian putih untuk keluarganya?
J: itu selesai penutupan peti baru memakai baju putih semua sama kerudung
diikat ke kepala trus untuk perempuan memakai kerudung untuk lelaki memakai
taoupe, kalau di muslim laki-laki memakai peci.
P: Penutupan peti ada waktunya.?
J: Penutupan peti jenazah itu meninggal pada jam 3 sore misalnya itu disesuaikan
dengan waktu ia meninggal jadi dengan sieh 24 jam ia meninggal baru tutup peti,
misalnya meninggal jam 12 malam maka jam 12 malam lagi baru penutupan peti.
Sebelum penutupan peti waktu itu untuk menunggu keluarga yang belum
berkumpul sambil menyiapkan persembahyangan, begitu sembahyang keluarga
semuanya baru peti ditutup, kemudian sembahyang lagi keluarga yang dinamakan
sembahyang Jib Bok.
P: Upacara Maisong?
81
81
J: menjelang pemberangkatan almarhum atau almarhumah itu yang disebutkan
kata puncaknya pemberangkatan ia di esok hari. Malam kesempurnaanya itu yang
disebut Mai Song.
P: Upacara ini hanya dilakukan pada malam hari saja?
J: pas malam pemebrangkatan esok pagi hari.
P: Setelah penutupan peti apakah langsung di makamkan?
J: Ada yang di inapkan 3 malam 4 hari, semua rata-rata 3 malam 4 hari, ada juga
yang 6 malam 7 hari karna masih menunggu anaknya. Tetap peti itu tetap di tutup,
karna peti itu ada kacanya untuk anak melihat jenazah tersebut, pada saat
dimakamkan peti itu tidak dibuka kembali langsung dikuburkan.
P: Upacara samcong untuk pemberangkatan?
J: Itu untuk sembahyang kibeh disebut samcong sembahyang pemberangkatan
almarhum ketempat peristirahatan yang nyenyak ditempat yang baru yaitu tempat
kesempurnaannya yang berada diman atau berada netepe atau dikremasi kan kita
tidak tahu, banyak pemakaman banyak tempat dikremasi.
P: Lebih banyak dikremasi atau dimakankan?
J: lebih banyak dikremasi, karna orang simpel ngambilnya, kalau di makam
itukan di ada acara 3 hari, 7 hari tengah malam ke kuburan anak cucu makntu ikut
hadir. Kalau untuk kremasi hanya malam itu saja persembahyangan ketemu
kembali nanti pas 7 harinya.
P: Kalau untuk kremasi, berarti sudah tidak sesembahan lagi atau bagaimana?
J: Kalau sudah selesai acara kremasi, Tetap ada upacara 3 hari 7 hari ada 49 hari
atau pakai 100 hari bagaimana maunya.
P: Terkadang 100 hari dipakai tidak pak?
J: Kebanyakan 49 hari untuk 100 hari itu jarang orang pakai.
P: Apa nama upacara 49 hari?
J: Upacara persembahyangan malam ke 49 hari dikremasi atau dimakamkan. Ada
juga yang disebut malam ke 8 yaitu Cok Pe Jit, yang disebut Cok Pek Jit itu kalau
usianya yang 80 ke atas, jika belum sampai umur 80 ke atas tidak ada yang
memakai Upacara Cok Pek Jit. yang sudah 4 keturunan atau 5 keturuann yang
biasa disebut Cok Pek Jit.
P: Upacara 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun. Upacara tersebut yang berkumpul siapa
saja?
J: Menggundang keluarga, tetangga, anak mantu dan cucu berkumpul dan juga
menyambut tamu. Tidak berbeda dengan islam, semua namanya upacara untuk
orang yang meninggal itu sama, Cuma tradisinya yang berbeda, cara
berdoanyapun berbeda, muslim kristen maupun katolik berbeda, caranya berbeda -
82
82
beda agama hindu, budha, konghuchu berbeda-beda. Semua punya adat masing-
masing.
P: Melaksanakan upacara tersebut dan mengundang tetangga dan kerabat
dekat untuk apa?
J: Mendokan dan Sembahyang untuk almarhum, buat anak mantu cucu yang
ditinggalnya serta mendokan dari orang vihara itu disebut 1 tahun dan juga malam
3 tahun.
P: Upacara peng tuh?
J: Itu disebut balik meja atau balik Toa Ha artinya balik baju. Misalnya
perempuan pakai baju tebalik pakai kerudung terbalik, anak laki pakai baju
terbalik itu sampai malam ke tujuh baru dibalik, seperti semula bajunya. Kapan
tradisi tersebut dilakukan? Pas malam ke 7 hari dimakamkan baru balik baju, itu
disebut balik Toa. Yang pakai daun meja, yang harus pakai baju berwarna putih
bermaknakan berkabung. Dari hari pertama sampai hari ke 7 bajunya kebalik, jika
bajuknya tidak terbalik tidak akan melaksanakan upacara balik meja, jika terbalik
upacara tersebut dilaksanakan, hal tersebut dinamakan balik to.
P: Jika bajunya terbalik itu dipakai sengaja atau bagaimana?
J: Karna memang sudah ajarannya dari konghucu, hal tersebut juga mau tebalik
atau tidak tergantung bagaimana maunya keluarga, jika terbalik, harus terbalik
semua. Jika hanya sebagian saja yang terbalik, lebih baik jangan, sebab
membalikkan meja itu tiga kali putaran ke kiri tiga kali putaran ke kanan, meja
yang diputar adalah meja yang bisa dicopot daun mejanya,seperti meja sewaan,
meja apapun itu bebas, meja bulat juga tidak apa-apa.
P: Untuk yang berkabung, harus memakai baju berwarna putih, kenapa tidak
warna lain?
J: Agar terlihat bahwa keluarga sedang berduka, bedanya anak perempuan dengan
anak laki-laki, kalau untuk laki-laki ikat kepala kalau untuk perempuan pakai
kerudung, ada gelang tangan, jika yang meninggal perempuan gelang tangnnya di
kanan dan ikat rambutnyapun di kanan, jik yang meninggal laki-laki peletaknnya
di kiri semua. Hal tersbeut yang membedanya tardisi Cina Benteng.
P: Makna simbolik dan Nilai Filosofis dari prosesi upacara kematian, seperti
simbolik?
J: Semangka diartikan manusia itu ciptaan Tuhan dan kembali kepada Tuhan
yang maha suci, dan pada saat pemberangkatan buah semangka tersebut
dipecahkan dan akhir berjalan menuju tempat yang ia jalani
P: Pada saat upacara kematian banyak sekali lilin yang berwarna merah?
J: Kalau lilin itu hanya sekedar wisit yaitu yang melayat sekedar tamu yang
membawa kendaraan mobil diberikan lilin merah sepasang jika berkendaraan
83
83
motor tidak. Kadang ada yang memeakai lilin merah dan anduk hal tersebut
bagaimana keinginan keluarga.
P: Bapak sebagai tokong hanya mengurusi di rumah duka atau setelah pun
mengikuti?
J: Di luaran saja, Hanya di rumah duka sampai pemakaman atau mengkramasi
setelah itu sudah tidak mengikuti kembali karna tugas sudah selesai, jika ada yang
dikerjakan di rumah duka barulah kembali bertugas.
P: Untuk upacara-upacara bapak sebagai tokong mengikuti?
J: Mengikuti, karna sesama tokong itu harus kerjasama, agar bisa menyesuaikan
upacara-upacara yang kita adakan di ruang duka jadi tidak ada perbedaan.
P: Tugas tokong?
J: Dari mulai pertama meninggal, kemudian memandikan, masuk peti sampai
dimakamkan, semua itu banyak preosei yang dilakukan sampai akhir.
P: Peti tersebut ada ukurannya atau tidak
J: Kalau topang tidak ada ukuran, ia hanya ukuran sesuai senti saja ketebalan
kayunya. kalau peti siupan atau peti gede ada ukurannya, dari mulai 22 sampai 28,
paling besar berukuran 28. Peti yang berukuran 28 tidak masuk kedalam ambulan.
P: Peti jenazah itu di ukur sesuai ukuran badan atau bagaimana?
J: Peti tersebut tergantung keluarganya, tidak sesuai dengan jenazahnya, jenazah
mau kecil, gemuk, kurus, besar bagaimana kemampuan keluarga membeli peti
mau bagaimana, perti apa, semampunya, dan sekuatnya dana keluarga yang ia
sanggupi untuk membeli peti almarhum atau almarhumah.
P: Dalam tradisi Cina setelah meninggal ada tradisi ziarah tidak?
J: Untuk tradisi ziarah dilakukan setiap tahun, membersihkan pemakaman hal ini
biasa di sebut Ceng Beng atau Tao Coa, menaburkan kertas di atas pemakaman,
sebelum menaburkan kertas bersihkan rumput-rumputnya. Hal ini tugas keluarga
karna makam tersebut rumah orang Tuanya. Boleh membayar orang lain untuk
membersihkan tapi harus di bayar, lebih bagus keluarga sendiri yang
membersihkan jadi rezekinya untuk keluarga yang ditinggalkan berkah makmur,
usahanya juga lancar tidka disia-siakan.
P: Makna berkabung?
J: tergantung dari pihak keluarga, keinginannya bagaiman. Sesuai acara yang dia
minta, jika ingin memakai cara Konghuchu silahkan, memakai acara Budhis atau
terawada silahkan, tinggal ikuti apa mau keluarga.
P: Dalam berkabung apakah memberikan sesajen atau bagaimana?
J: Hal ini hanya saat persembahyangan saja baru diberikan persajian, seperti
masakan: nasi, kue, buah yang disebut persajian.
84
84
P: Hukum persajian itu bagaiman apakah wajib?
J: Wajib. Jika persajian makan nasi disebutnya Hapue (pagi dan sore). Untuk
Budhis dan terawada tidak ada acara Hapue. Hanya buah-buahan saja nasipun
tidak ada
P: Untuk sesajen hari pertama dan selanjutnya bagaimana?
J: ganti baru saat malam ke tiga hari dan diganti kembali malam ke tujuh hari.
Setiap malam persembahyangan di ganti,
P: Untuk sesajian lama dikemanakan setelah tak di pakai?
J: Di buang, seperti kue dan sayuran, sesajian buah-buahan tergantung
keluargamau di kemanakan, diambil oleh keluarga silahkan, dikasihkan seyang
lain juga silahkan.
P: Bagaimana jika ornag yang tidak mampu? Apakah tetap sampai 70
persajian?
J: Tidak, secukupnya, semampunya keadaan dia bagaimana.
85
85