Unud 836 981902905 Tesis Pengaturan Ambang Batas Formal Agungsayoga

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ambang

Citation preview

  • TESIS

    PENGATURAN

    AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

    DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

    YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

    I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2013

  • TESIS

    PENGATURAN

    AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

    DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

    YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

    I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

    NIM : 1190561045

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2013

  • ii

    PENGATURAN

    AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

    DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

    YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

    Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

    Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

    NIM. 1190561045

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2013

  • iii

    TESIS INI TELAH DISETUJUI

    PADA TANGGAL .

    Pembimbing I Pembimbing II

    Prof. Dr. Ibrahim, R, SH., MH. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum.

    NIP. 19551128 198303 1 003 NIP. 19611224 198803 1 001

    Mengetahui,

    Ketua Program Studi

    Magister (S2) Ilmu Hukum

    Universitas Udayana

    Direktur Program Pascasarjana

    Universitas Udayana

    Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH, M.Hum, LL.M Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)

    NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

    UserTypewritten Text

    UserTypewritten Text

    UserTypewritten TextTTD

    UserTypewritten TextTTD

    UserTypewritten Text

    UserTypewritten TextTTD

    UserTypewritten TextTTD

  • iv

    TESIS INI TELAH DIUJI

    PADA 21 AGUSTUS 2013

    Panitia Penguji Tesis

    Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

    Nomor : 1544/UN14.4/HK/2013 Tanggal : 1 Agustus 2013

    Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH.

    Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.

    Anggota : 1. Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS.

    2. Dr. I Gede Yusa, SH., MH.

    3. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H.

  • v

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

    Yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya

    NIM : 1190561045

    Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda/12 Oktober 1990

    Alamat : Jl. Kertanegara IX/4, Br. Anyar-Anyar,

    Ubung Kaja, Denpasar-Bali, 80116

    Program Studi : Magister Ilmu Hukum (Hukum

    Pemerintahan)

    Judul Tesis : Pengaturan Ambang Batas Formal

    (Formal Threshold) Dalam Konteks

    Sistem Pemilihan Umum Yang

    Demokratis di Indonesia

    Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

    dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

    menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

    Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

    Denpasar, 21 Agustus 2013

    Hormat saya,

    I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya

  • vi

    UCAPAN TERIMA KASIH

    OM SWASTIASTU,

    Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

    Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkah dan anugrah-Nya, maka

    penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pengaturan Ambang Batas

    Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang

    Demokratis di Indonesia.

    Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih

    setulusnya atas semua bantuan, arahan, dan bimbingan kepada semua pihak:

    1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana.

    2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana

    Universitas Udayana.

    3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. Dekan Fakultas hukum

    Universitas Udayana.

    4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.LL.M, Ketua Program Studi

    Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

    5. Prof. Dr. Ibrahim R, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah banyak

    membimbing dan memberi masukan yang membangun dalam penyusunan

    tesis ini.

    6. Dr. I Dewa Gede Palguna,SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing II yang penuh

    kesabaran dalam membimbing dan memberi masukan ilmu pengetahuan

    yang berguna bagi penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

  • vii

    7. Dosen Penguji Tesis, Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH, selaku Ketua, Dr. I

    Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum selaku Sekretaris, Prof.Dr. I Made Pasek

    Diantha,SH.,MS., Dr. I Gede Yusa, SH., MH., dan Dr. Putu Gede Arya

    Sumerthayasa, S.H., M.H selaku Anggota, yang telah berkenan meluangkan

    waktunya untuk menguji, memberikan penilaian, dan masukan yang

    maksimal demi penyusunan tesis yang lebih baik.

    8. Guru-Guru Besar dan segenap Dosen Program Magister Ilmu Hukum

    Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan

    selama perkuliahan dan mendukung penyusunan tesis ini.

    9. Segenap Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas

    Udayana yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi.

    10. Keluarga penulis, Bapak I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH, Mamah Sri

    Sudarwati, dan Adik I Gusti Ayu Putri Astari Yogiswari yang tidak henti-

    hentinya memberikan penulis doa, semangat, dan cintanya selama penulisan

    tesis ini.

    11. Keluarga Besar Universitas Mahendradatta yang telah memberikan

    dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

    12. Sahabat dari penulis, Agus Pradana, S.Si., Pande Tunik,S.Sn., Ngurah

    Yudi,SE., dan teman-teman dari SONE Bali, Zumi, S.Kom., Ferdy, Octa,

    Agus, Buchel, Kiki, Lukman, Bli Kadek, Anga, Yerdi.

    13. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas

    Udayana yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis.

  • viii

    14. Segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

    membantu dalam penyelesaian tesis ini.

    Akhir kata, semoga buah karya intelektual ini dapat memberikan manfaat

    bagi seluruh umat manusia di dunia.

    OM SANTI, SANTI, SANTI, OM

    Denpasar, 21 Agustus 2013

    Penulis

  • ix

    ABSTRAK

    Tesis ini membahas tentang permasalahan pengaturan ambang batas

    formal dalam pemilihan umum dengan fokus pembahasan pada kerangka prinsip

    demokrasi konstitusional dan indikator yang dapat digunakan dalam legislasinya.

    Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan

    menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konseptual

    hukum, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filsafat.

    Sementara teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah teori

    negara hukum dan teori demokrasi

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan ambang batas formal

    pemilihan umum memenuhi prinsip demokrasi konstitusional berdasarkan empat

    aspek : kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR-RI; tujuan menstabilkan

    lembaga negara (legislatif dan eksekutif); tidak bertentangan dengan hak asasi

    manusia; konsistensi dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menguji

    konstitusionalitas materi ambang batas formal. Pengaturan ambang batas formal

    juga mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia, terutama pada prinsip

    demokrasi permusyawaratan/perwakilan Indonesia. Perbandingan hukum dengan

    negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak hanya

    mengatur perihal persentase, melainkan juga pengaturan yang bersifat mengurangi

    disproporsionalitas. Pengaturan yang lebih komprehensif terkait dengan hal

    tersebut perlu dilakukan ke depannya dalam undang-undang pemilihan umum

    Indonesia untuk menciptakan pengaturan yang berkeadilan dan pembentukan

    hukum yang berkelanjutan.

    Kata Kunci : ambang batas formal, sistem pemilu, demokrasi konstitusional,

    pembentukan hukum yang berkelanjutan

  • x

    ABSTRACT

    This thesis discusses the problems of formal threshold provision in the

    electoral system which is focused on constitutional democratic principles

    framework and indicators that can be used in the legislation. This research is a

    normative legal research that uses statute, analytical and conceptual, historical,

    comparative, and philosophical approach. Meanwhile, the theories that be used

    to analyze the problem are Rule of Law Theory (Rechtstaat) and Theory of

    Democracy.

    The result repeals that the formal threshold provision fulfils constitutional

    democratic principle based on four aspects : the legislation authority of DPR-RI ;

    the purpose to stabilizing the state institutions (legislative and executive); has no

    conflict to fundamental human rights; the consistency of ruling from of the

    Constitutional Court of The Republic of Indonesia that reviews formal threshold.

    Formal threshold also reflects the idea of the law of Indonesia, especially on

    Indonesian consensus/representative democracy principle. A legal comparison

    showed that the substance of formal threshold is not only about the percentages,

    but also the provision for reducing disproportionality. The provision of formal

    threshold should be more comprehensive in the future to ensure the legal justice

    and sustainable law making.

    Key Words : formal threshold, electoral system, constitutional democracy,

    sustainable law-making

  • xi

    RINGKASAN

    Tesis ini diberi judul Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di

    Indonesia. Adapun tesis ini disusun dalam lima bab dan menguraikan bagaimana pemenuhan prinsip demokrasi konstitusional dan indikator-indikator yang dapat

    digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pemilihan umum sebagai

    bentuk reformasi perundang-undangan pemilu yang demokratis di Indonesia.

    BAB I sebagai bab pendahuluan memuat latar belakang yang menjelaskan

    isu hukum yang diangkat sebagai permasalahan yakni adanya konflik norma, baik

    secara formil maupun materiil. Pengaturan ambang batas formal memiliki

    ketidaksinkronan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana yang menjadi syarat

    formil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (vide Pasal 5 huruf

    a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),

    yaitu perihal tujuan menciptakan sistem multipartai sederhana yang nantinya akan

    menghasilkan sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini tujuan pengaturan

    ambang batas formal tidak jelas menjabarkan definisi sistem multipartai

    sederhana yang dimaksud serta relevansi antara sistem multipartai dan sistem

    presidensial. Kemudian secara materiil, konflik norma terjadi antara pengaturan

    ambang batas formal dengan peraturan perundang-undangan lain yang

    memberikan dasar perlindungan hak asasi manusia, khususnya perihal jaminan

    perlindungan atas suara sah dari pemilih. Selain itu perihal indikator yang tidak

    jelas dan kebutuhan untuk menciptakan desain hukum ambang batas formal yang

    baku menyebabkan permasalahan ini dianggap menarik dan penting untuk dikaji.

    Kemudian dalam Bab I juga menempatkan rumusan masalah, tujuan penelitian,

    manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, menjabarkan landasan teori sebagai

    sarana untuk menjawab permasalahan, serta menentukan metode penelitian yang

    digunakan dengan uraian berupa jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan

    hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

    BAB II menguraikan mengenai tinjauan umum berupa pemikiran tentang

    konsepsi demokrasi konstitusional sebagai uraian lebih lanjut perihal teori yang

    digunakan yakni teori negara hukum dan teori demokrasi. Selain itu dalam bab ini

    juga diuraikan tiga konsep dasar, yaitu sistem pemilihan umum (electoral system),

    lembaga perwakilan, dan partai politik, disertai dengan dasar hukum yang berlaku

    di Indonesia. Bab ini juga memberikan tinjauan umum perihal konsep dari

    ambang batas pemilu (electoral threshold).

    BAB III membahas mengenai pemenuhan pengaturan ambang batas formal

    pemilihan umum terhadap prinsip demokrasi konstitusional yang dikaji dalam

    empat konsentrasi, yakni perihal legislasi dari ambang batas formal, upaya

    penataan lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara, kesesuaian

    pengaturannya dengan norma hak asasi manusia, dan konsistensi pengujian

    undang-undang yang menguji ketentuan ambang batas formal pemilihan umum

    oleh Mahkamah Konstitusi.

  • xii

    BAB IV membahas mengenai indikator-indikator yang digunakan dalam

    penormaan ambang batas formal dengan cita hukum (recht idea) Indonesia

    sebagai landasan fundamental. Bab ini juga membahas perbandingan hukum

    dengan Jerman, Turki, Polandia, dan Denmark yang memberikan gambaran

    perbedaan substansil pengaturan ambang batas formal, terutama perihal

    ketentuan-ketentuan yang berfungsi untuk mengurangi disproporsionalitas. Selain

    itu dibahas pula perihal konsep tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan

    kemanfaatan) sebagai indikator pengaturan ambang batas formal yang

    berkelanjutan dengan dielaborasikan dengan prinsip justice as fairness dari John

    Rawls.

    BAB V merupakan bagian penutup yang memberikan simpulan terhadap pembahasan permasalahan yang diuraikan. Selain itu pada Bab ini juga disampaikan

    yang menjadi saran-saran terkait dengan pembentukan hukum ambang batas formal

    pemilihan umum yang lebih komprehensif di masa mendatang.

  • xiii

    DAFTAR ISI

    Halaman Sampul Dalam .................................................................................................... i

    Halaman Persyaratan Gelar Magister ............................................................................... ii

    Halaman Pengesahan Tesis .............................................................................................. iii

    Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ....................................................................... iv

    Surat Pernyataan Bebas Plagiat ....................................................................................... v

    Halaman Ucapan Terima Kasih ....................................................................................... vi

    Halaman Abstrak ............................................................................................................. ix

    Halaman Abstract ............................................................................................................. x

    Ringkasan ........................................................................................................................ xi

    Halaman Daftar Isi ......................................................................................................... xiii

    Halaman Daftar Tabel ................................................................................................... xvii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

    1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

    1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 9

    1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................................... 9

    1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10

    1.4.1. Tujuan Umum ............................................................................... 10

    1.4.2. Tujuan Khusus .............................................................................. 11

    1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 11

    1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 11

    1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................................. 12

  • xiv

    1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 12

    1.7. Landasan Teori .......................................................................................... 14

    1.7.1. Teori Negara Hukum .................................................................. 15

    1.7.2. Teori Demokrasi ......................................................................... 19

    1.8. Metode Penelitian .................................................................................... 23

    1.8.1. Jenis Penelitian.............................................................................. 23

    1.8.2. Jenis Pendekatan ........................................................................... 24

    1.8.3. Sumber Bahan Hukum ................................................................. 25

    1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................... 27

    1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................................... 28

    BAB II DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM ........... 30

    2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional ...................................................... 30

    2.2. Sistem Pemilihan Umum ....................................................................... 36

    2.2.1. Definisi Sistem Hukum ................................................................ 36

    2.2.2. Pemilihan Umum .......................................................................... 41

    2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum ..................................................... 44

    2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

    Republik Indonesia ...................................................................... 54

    2.3. Lembaga Perwakilan ............................................................................... 58

    2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan ................................................. 62

    2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia .................................................... 68

    2.4. Partai Politik ........................................................................................... 72

    2.4.1. Definisi Partai Politik ................................................................... 72

  • xv

    2.4.2. Fungsi Partai Politik ..................................................................... 73

    2.4.3. Sistem Partai Politik ..................................................................... 76

    2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia .................................................... 78

    2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold) .......... 81

    BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM

    DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA ................................. 85

    3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia ..................................... 85

    3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca

    Pengaturan Ambang Batas Formal ......................................................... 96

    3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ........... 96

    3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap

    Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia .............................. 108

    3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik ............................... 117

    3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis

    Ambang Batas Formal ................................................................ 118

    3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas

    Formal ......................................................................................... 123

    3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal ...................................... 127

    BAB IV INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL

    DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM

    INDONESIA ........................................................................................... 136

    4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan

    Ambang Batas Formal ......................................................................... 137

  • xvi

    4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia

    Dalam Pengaturan Ambang Batas Formal ................................ 139

    4.2. Indikator Proporsionalitas Pemilu ......................................................... 144

    4.2.1. Jerman ......................................................................................... 145

    4.2.2. Turki ........................................................................................... 147

    4.2.3. Polandia ....................................................................................... 149

    4.2.4. Denmark ..................................................................................... 151

    4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum sebagai Indikator Ambang Batas

    Formal yang Berkelanjutan .................................................................. 155

    BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 164

    5.1. Simpulan ............................................................................................... 164

    5.2. Saran ..................................................................................................... 165

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 166

  • xvii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 3.1. : Perolehan Suara dan Persentase Suara Partai Politik Peserta Pemilu

    2009 .............................................................................................................. 97

    Tabel 3.2. : Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan

    Rakyat Republik Indonesia Tahun 2009 .................................................... 100

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, undang-undang pemilihan umum

    mengalami regenerasi sebagai upaya pemulihan atas pengingkaran demokrasi

    yang terjadi selama masa tersebut. Demokratisasi yang diselenggarakan sejak

    tahun 1999 hingga sekarang menempatkan pengaturan ambang batas pemilu, atau

    lebih dikenal dengan istilah electoral threshold, dalam penyelenggaraan pemilihan

    anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bagian reformasi

    perundang-undangan pemilihan umum.

    Ambang batas pemilu atau electoral threshold adalah pengaturan tingkat

    minimal dukungan, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau

    jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu

    agar dapat menempatkan perwakilannya dalam lembaga perwakilan.1 Ambang

    batas yang diatur secara formal (formal threshold) diperlihatkan dengan adanya

    pencantuman sejumlah persentase tertentu secara langsung dan tegas dipaksakan.2

    Adapun bentuk pengaturan ambang batas formal diwujudkan dalam Pasal 208

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan

    Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) yang mengatur bahwa Partai

    1 Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan

    Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, hal 19.

    2 Kacung Marijan, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru.

    Kencana, Jakarta, hal. 72.

  • 2

    Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-

    kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam

    penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

    kabupaten/kota. Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus

    dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan

    pemilu di era reformasi.

    Pembatasan keterwakilan jumlah partai politik secara yuridis di dalam

    lembaga perwakilan melalui ambang batas formal menjadi salah satu konsentrasi

    pembangunan hukum pada masa reformasi dalam rangka visualisasi demokrasi

    yang lebih baik. Demokratisasi pemilihan umum pada hakikatnya menempatkan

    keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar penting bagi suatu negara

    modern, terlebih pada negara dengan masyarakat yang majemuk (plural society).3

    Namun seiring dengan pembelajaran proses berdemokrasi, timbul satu

    pemahaman bahwa sistem multipartai yang diterapkan dalam penyelenggaraan

    pemilihan umum dianggap menjadi salah satu kesalahan yang paling mendasar.

    Dewan Perwakilan Rakyat yang diisi dengan kepartaian majemuk dipersepsikan

    tidak dapat memaksimalkan fungsi eksekutif dan menjaga kestabilan sistem

    presidensial, terutama dalam hal konsensus pengambilan kebijakan.4 Dalam upaya

    menyikapi hal tersebut, arah pembentukan undang-undang terkait dengan sistem

    kepartaian diupayakan mampu menyeimbangkan antara unsur kemajemukan

    3 ibid. hal. 59-61.

    4 Radiman Salman, 2010, Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan Pembaharuan

    Parpol, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi

    Daerah dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk Sang Penggembala Prof. A. Mukthie

    Fadjar, SH., MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In Trans Publishing, Malang, hal.143.

  • 3

    partai politik dan stabilitas pemerintahan melalui pengaturan ambang batas formal

    pemilihan umum.

    Mekanisme konversi jumlah perolehan suara menjadi kursi mengalami

    regenerasi yang tidak sederhana, terutama sejak diberlakukannya persentase

    ambang batas formal yang dianggap memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam

    perancangan undang-undang pemilihan umum. Persentase ambang batas formal

    sebesar 3,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012

    diberlakukan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai upaya memperkuat lembaga

    perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana,

    yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensial.5 Upaya

    penciptaan sistem multipartai sederhana tersebut seakan bertentangan dengan

    Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

    Perundang-undangan yang menentukan bahwa dalam hal pembentukan peraturan

    perundang-undangan yang baik wajib memenuhi salah satu asas formal, yaitu asas

    kejelasan tujuan.6 Pengaturan ambang batas formal tidak menentukan batasan

    tujuan yang ingin dicapai secara jelas perihal sistem multipartai seperti apakah

    yang dimaksud dengan sederhana serta bagaimana relevansinya dengan sistem

    pemerintahan presidensial secara nyata dengan adanya pengaturan tersebut. Hal

    ini menimbulkan implikasi sumirnya tujuan pembentukan perundang-undangan

    yang baik dalam pengaturan ambang batas formal.

    5 Lihat Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 2012.

    6 Bahwa yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No.

    12 Tahun 2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai

    tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

  • 4

    Penyelenggaraan pemilu yang demokratis juga wajib menempatkan

    perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan

    dijamin keberadaannya secara tegas di dalam kerangka hukum. Fenomena

    pelaksanaan demokrasi yang tidak demokratis di era Orde Baru memberikan andil

    terjadinya perubahan substansil yang menghasilkan jaminan perlindungan hak

    asasi manusia secara konstitusional berdasarkan Pasal 28A-28J Undang Undang

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dibentuknya dua perundang-

    undangan organis, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

    Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

    International Covenant on Civil and Political Rights.7 Pengaturan ambang batas

    formal turut memperlihatkan adanya suatu problematik berupa konflik norma

    (conflict of norm), terutama dengan peraturan perundang-undangan yang

    memberikan jaminan perlindungan hak hukum, baik bagi warga negara dan partai

    politik.

    Pengaturan ambang batas formal menimbulkan konsekuensi yuridis

    terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian (sistem multipartai sederhana)

    dengan hilangnya sejumlah suara pada partai politik tertentu yang tidak memenuhi

    persentase yang ditentukan.8 Konsekuensi hilangnya suara tersebut menjadi

    bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 3 ayat

    (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian

    7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil

    and Political Rights merupakan hasil ratifikasi dari The International Covenant on Civil and

    Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 16

    Desember 1966.

    8 Janedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 33-34.

  • 5

    hukum, termasuk dalam hal ini perlindungan akan suara-suara pemilih yang

    diberikan secara sah kepada partai politik peserta pemilu.9 Hal tersebut juga

    sejalan dengan konsideran menimbang UU No. 8 Tahun 2012 yang

    mengamanatkan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara

    rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adanya suara yang

    hilang dengan diaturnya ambang batas formal menimbulkan inkonsistensi perihal

    bagaimana menterjemahkan jaminan perlindungan suara rakyat dalam sistem

    pemilu langsung yang demokratis sesuai dengan kerangka ketatanegaraan

    Indonesia. Pertentangan norma, baik dengan peraturan perundang-undangan lain

    maupun dengan konsideran UU No. 8 Tahun 2012 sebagai dasar validitas,

    menjadikan pengaturan ambang batas formal menarik untuk dikaji secara holistik

    di dalam kerangka hukum dan demokrasi bangsa Indonesia.

    Keberadaan ambang batas formal rentan mengalami resistensi dari warga

    negara, terutama pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Fenomena

    hukum tersebut setidaknya diperlihatkan dengan tingginya intensitas pengujian

    konstitusionalitas materi undang-undang pemilu kepada Mahkamah Konstitusi

    berkenaan dengan substansi ambang batas formal pemilihan umum. Meskipun

    Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menegaskan konstitusionalitas

    ambang batas dalam pemilihan umum (tanpa atau dengan disertai dissenting

    9 Rumusan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas

    pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

    hadapan hukum. Sementara rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa

    setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta

    mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

  • 6

    opinion10

    ), penulis menganggap pengaturan ambang batas formal ini masih

    menyisakan sejumlah permasalahan yang elementer sebagaimana telah dipaparkan

    sebelumnya, yaitu terkait dengan bagaimana legitimasi penghilangan suara

    pemilih dan tujuan penciptaan sistem multipartai sederhana yang riil.

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menegaskan

    justifikasi pengaturan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 sebagai

    legal policy (politik hukum) dari pembentuk undang-undang yang tidak dapat

    diganggu gugat oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang sejalan dengan prinsip-

    prinsip hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.11

    Justifikasi tersebut

    menurut penulis masih menyisakan permasalahan perihal seperti apakah

    penormaan persentase ambang batas formal yang dikatakan tidak bertentangan

    dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas sehingga Mahkamah

    Konstitusi tidak dapat menggangu gugatnya. Tolak ukur legitimasi ambang batas

    formal yang tidak bertentangan dengan ketiga aspek tersebut menjadi wajib untuk

    10 Perbedaan pendapat atau dissenting opinion terjadi dalam dua putusan Mahkamah

    Konstitusi yang menguji substansi ambang batas formal dalam undang-undang pemilu, yakni

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 perihal pengajuan ambang batas formal

    dalam dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, serta

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang pengujian ketentuan ambang batas

    formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

    11

    Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 79. Mahkamah

    Konstitusi memaparkan ratio decidendi ...bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

    lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai

    Politik baik berbentuk ET maupun PT. kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai

    politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem

    Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat

    pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya

    angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk

    menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak

    politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas

  • 7

    dijabarkan sebagai upaya menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang konsisten dan

    konstitusionalitas pengaturannya.

    Segenap permasalahan dan pertentangan norma tersebut pada akhirnya

    bermuara pada titik ketidakjelasan parameter hukum yang digunakan dalam

    menentukan pengaturan persentase ambang batas formal. Setidaknya terdapat tiga

    hal yang menjadi pertanyaan dasar, yakni berapa persen angka ambang batas yang

    akan diterapkan; bagaimana cara menentukannya; atau apakah peningkatan

    persentase sesungguhnya diperlukan atau tidak dalam setiap penyelenggaraan

    pemilihan umum? Penentuan persentase ambang batas yang terkesan rumit

    menjadi permasalahan yang sering mengakibatkan berlarutnya pembahasan

    undang-undang pemilu. Setidaknya kerumitan tersebut tampak secara nyata dari

    adanya diferensiasi pandangan antar fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat

    dalam menentukan jumlah persentase ambang batas serta perihal ruang lingkup

    keberlakuannya.12

    Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa penormaan ambang

    batas formal seakan tidak memiliki indikator-indikator yang jelas, sehingga rentan

    mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan pertentangan dengan norma-

    norma lainnya.

    12 9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu,

    http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-dpr-gagal-sepakati-ruu-

    pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012 dan Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih

    suara nasional 3,5 persen, partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD

    http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-untuk-dpr, diakses tanggal

    tanggal 17 Oktober 2012. Lihat pula Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    52/PUU-X/2012, hal. 98-99 yang membatalkan ketentuan ambang batas formal di daerah untuk

    penentuan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

  • 8

    Indikator-indikator secara teoritis hukum di dalam penciptaan suatu norma

    merupakan aspek yang wajib untuk dicermati oleh para yuris, termasuk dalam hal

    menentukan ambang batas formal guna melimitasi jumlah partai politik di Dewan

    Perwakilan Rakyat. Mahkamah Konstitusi sendiri di dalam putusannya menyadari

    bahwa perancangan perundangan-undangan pemilihan umum seakan tidak

    memiliki konsep yang jelas perihal bagaimana desain pemilihan umum Indonesia

    yang demokratis, sehingga kenyataan hukum yang terjadi adalah berkembanganya

    paradigma kebiasaan melakukan perubahan maupun pergantian undang-undang

    pemilu menjelang penyelenggaraannya.13

    Penciptaan suatu norma hukum yang

    tidak jelas indikatornya rentan melanggar hak asasi manusia serta bertentangan

    dengan konstitusi dan norma-norma hukum lainnya. Oleh karena itu, kejelasan

    dasar pemberlakuan ambang batas formal perolehan suara dalam penyelenggaraan

    pemilihan umum dan parameter hukum dalam menentukan persentase yang akan

    diterapkan menjadi penting untuk dikaji secara teoritis.

    Pengaturan ambang batas formal memberikan pengaruh signifikan dalam

    upaya penciptaan sistem pemilihan umum yang memenuhi nilai-nilai demokrasi

    bangsa Indonesia. Pengaturan ambang batas formal secara faktual masih

    menyisakan sejumlah permasalahan demokrasi yang mendasar, walaupun

    Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan berkekuatan hukum tetap

    terhadap pasal yang digugat. Adanya pertentangan dengan norma-norma hak

    politik, kejelasan tujuan penormaan, bagaimana menentukan persentase, serta

    konsekuensi-konsekuensi yuridis lain yang timbul secara sistemis menjadi hal

    13 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal 130-131.

  • 9

    yang penting untuk dibahas dalam kerangka teori-teori hukum dalam rangka

    menegakkan supremasi negara hukum dan demokrasi Indonesia. Berdasarkan hal

    tersebut, maka penulis berpendapat merupakan hal yang menarik dan urgen untuk

    mengkaji pengaturan ambang batas formal secara teoritis hukum.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan

    tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :

    (1) Apakah pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan

    prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Indonesia?

    (2) Apakah indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas

    formal pada undang-undang pemilu di Indonesia?

    1.3. Ruang lingkup Masalah

    Agar tetap fokus dengan rumusan masalah, maka perlu ditentukan batasan-

    batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan di dalam penelitian ini.

    Lingkup permasalahan pertama adalah perihal kajian pengaturan ambang batas

    formal dalam perspektif prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dengan fokus

    pada analisis ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, penataan lembaga

    dan hubungan antar lembaga negara, serta elaborasi prinsip dan peraturan tentang

    hak asasi politik. Selain itu, kajian Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji

    ambang batas formal juga termasuk dalam lingkup bahasan ini, terutama dari

    aspek konsistensi pertimbangan hukumnya.

  • 10

    Lingkup permasalahan kedua akan dibahas mengenai dasar pemberlakuan

    dan indikator yang dapat digunakan sebagai justifikasi dalam menentukan

    pengaturan dan persentase ambang batas formal yang ideal dalam pembangunan

    sistem pemilihan umum di Indonesia. Kajian dasar pemberlakuan berada pada

    lingkup aspek cita hukum Indonesia dengan menekankan pada aspek nilai

    demokrasi dan keadilan sosial. Sementara bahasan indikator ambang batas formal

    difokuskan pada aspek tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan utilitas hukum)

    serta perbandingan dengan peraturan-peraturan hukum negara lain.

    1.4 Tujuan Penelitian

    1.4.1. Tujuan Umum

    Tujuan umum disusunnya penelitian ini adalah dalam rangka memberikan

    sumbangsih pemikiran teoritis perihal pengaturan ambang batas formal sebagai

    politik hukum pembatasan keterwakilan partai politik dalam kelembagaan DPR-

    RI. Penelitian ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan

    ambang batas formal dalam perspektif teori hukum sebagai upaya penguatan

    perancangan perundang-undangan pemilihan umum. Selain itu, penelitian hukum

    ini juga dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji secara komprehensif perihal

    harmonisasi konseptual demokrasi konstitusional dalam pembangunan sistem

    pemilihan umum Indonesia.

  • 11

    1.4.2. Tujuan Khusus

    Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

    a. Dari aspek akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui justifikasi

    pembatasan keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dengan

    diaturnya ambang batas formal dalam perundang-undangan pemilihan

    umum berdasarkan kerangka demokrasi konstitusional Indonesia.

    b. Dari aspek praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar

    keberlakuan dan indikator secara teoritis hukum yang dapat digunakan

    dalam merumuskan undang-undang pemilihan umum, khususnya substansi

    ambang batas formal, dalam rangka penguatan sistem pemilihan umum di

    Indonesia.

    1.5 Manfaat Penelitian

    1.5.1. Manfaat Teoritis

    Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

    kontribusi pemikiran bagi pengaturan tentang pemilihan umum, terutama terkait

    dengan pengaturan ambang batas formal dalam konsepsi demokrasi Indonesia.

    Hasil dari penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai referensi bagi

    peneliti-peneliti hukum (legal researcher) berikutnya dan bagi segenap civitas

    akademika Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana untuk lebih mendalami

    perihal pengaturan ambang batas formal, serta pengembangan ilmu hukum pada

    umumnya.

  • 12

    1.5.2. Manfaat Praktis

    Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

    referensi teoritis hukum bagi perancang perundang-undangan (legislative drafter)

    dalam membentuk perundangan-undangan pemilu berikutnya, terutama terkait

    penentuan substansi ambang batas formal yang ideal. Bagi organisasi atau

    lembaga partai politik, penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan

    teoritis dalam mengontrol kebijakan hukum ambang batas formal yang diatur oleh

    pembentuk undang-undang di Indonesia. Sementara bagi masyarakat umum,

    penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membuka pemahaman konsepsi

    demokrasi Indonesia dan relevansi pengaturan ambang batas formal di Indonesia.

    1.6 Orisinalitas Penelitian

    Penelitian hukum ini merupakan hasil dari gagasan dan pemikian murni

    penulis dengan berdasar pada sudut pandang hukum bahwa pengaturan ambang

    batas formal di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang aktual. Dalam

    penelitian hukum ini, penulis bekerja secara mandiri dengan menggunakan bahan

    hukum yang dikumpulkan untuk dianalisis, baik berdasarkan peraturan

    perundangan maupun literatur hukum.

    Berdasarkan pra-penelitian yang telah dilakukan, sepanjang pengetahuan

    penulis tidak terdapat penulisan tesis atau karya ilmiah komprehensif lainnya yang

    memiliki topik serta bahasan serupa mengenai ambang batas formal. Namun

    dalam hal ini terdapat beberapa tesis yang memiliki ruang lingkup bahasan identik

    dengan topik yang diangkat oleh penulis, yaitu sebagai berikut :

  • 13

    (1) Tesis Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era

    Reformasi oleh Muhammad Aziz Hakim, dari Fakultas Hukum Program

    Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, pada tahun 2012.

    (2) Tesis Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial

    Indonesia oleh M. Ilham Habibie, dari Program Magister Ilmu Hukum

    Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2009.

    Perihal tesis pertama dengan judul Politik Hukum Sistem Pemilihan

    Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi, Muhammad Aziz Hakim mengkaji

    konfigurasi politik dan implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-

    undangan yang terkait dengan Pemilihan Umum pada era reformasi. Adapun

    Muhamad Azis Hakim menggunakan metode penelitian normatif sekaligus

    metode penelitian empiris dalam penelitiannya dengan mayoritas substansi

    membahas bagaimana politik hukum dari perundang-undangan pemilu pada masa

    reformasi serta pelaksanaannya, terutama pada fokus isu-isu yang mengandung

    hal kontroversi.14

    Kemudian untuk tesis kedua dengan judul Pengaruh Konstelasi Politik

    Terhadap Sistem Presidensial Indonesia, M. Ilham Habibie mengkaji hubungan

    konstelasi politik di DPR-RI terhadap sistem Presidensial Indonesia dengan

    terfokus pada masa pemerintahan tahun 2004-2009. Pembahasan juga dilakukan

    terhadap pengaruh pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berperan dalam

    mempengaruhi sistem presidensial Indonesia. M. Ilham Habibie juga mengkaji

    14 Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada

    Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas

    Indonesia, Jakarta, hal. 22-23.

  • 14

    penerapan sistem Presidensial yang ideal dalam sistem multipartai Indonesia

    dengan fokus perhatian pada aspek penyederhanaan partai, koalisi, dan pengaturan

    oposisi secara melembaga.15

    Orisinalitas yang ditekankan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah

    berada pada variabel terikatnya, yakni pengaturan ambang batas formal yang

    dikaji dari aspek mewujudkan sistem pemilihan umum yang demokratis di

    Indonesia. Penelitian hukum ini menekankan bagaimana legitimasi pengaturan

    ambang batas formal yang membatasi keterwakilan partai politik pada

    kelembagaan DPR-RI dalam kerangka demokrasi konstitusional. Selain itu

    penekanan yang menjadi unsur orisinalitas dalam penelitian hukum ini adalah

    pada aspek kajian parameter-parameter teori hukum yang menjadi dasar

    pemberlakuan ambang batas perolehan suara dalam penyelengggaraan pemilu di

    Indonesia, perbandingan aturan-aturan hukum di berbagai negara, serta bagaimana

    mewujudkan ambang batas formal yang berkelanjutan.

    1.7. Landasan Teori

    Di dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai landasan untuk

    mengkaji permasalahan perihal pengaturan ambang batas formal adalah teori

    negara hukum dan teori demokrasi.

    15 M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial

    Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,

    Semarang, hal 90-145.

  • 15

    1.7.1. Teori Negara Hukum

    Negara hukum memiliki beragam terminologi dengan masing-masing

    definisi serta karakteristik yang menjadi formulasi pembentuknya. Negara yang

    menganut sistem Common Law menggunakan istilah Rule of Law dengan arti

    bahwa pemerintah berdasarkan atas hukum bukan berdasar atas manusia

    (government based on rule of law, not rule of man), sementara negara yang

    menganut sistem Civil Law menganut konsep negara hukum dalam istilah

    Rechtsstaat (negara hukum).16

    Frederich Julius Stahl memaparkan empat prinsip yang terdapat dalam

    Rechtsstaat yakni sebagai berikut:

    1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. Negara didasarkan pada teori trias politica; 3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang

    (Wetmatig bestuur);

    4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige

    overheidsdaad.).17

    Sementara dalam konsep Rule of Law, Albert Venn Dicey menempatkan tiga

    unsur dalam negara hukum, yaitu :

    1. Supremasi hukum (supremacy of law), dimana tidak ada seorang pun yang

    dapat dihukum kecuali atas adanya pelanggaran hukum yang telah

    ditentukan aturan hukumnya (that no man is punishable or can be lawfully

    made to suffer in body or goods except for a distinct breach of law

    16 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama,

    Bandung, hal. 2.

    17

    Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

    UUD 1945, Kencana, Jakarta, hal. 61.

  • 16

    established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the

    land).18

    2. Persamaan hukum (legal equality) dengan karakteristik tidak ada

    seorangpun yang berada di atas hukum (no man is above the law) dan

    semua orang tunduk pada hukum yang sama apapun kelas dan kondisinya

    (whatever be his rank or condition is subject to the ordinary law of the

    realm).19

    3. Perlindungan atas hak-hak individu (rights of individuals). Dicey

    berpendapat bahwa tidak seperti di negara lain, di Inggris hak-hak individu

    tidak bersumber dari konstitusi yang dikodifikasikan. Perlindungan atas

    hak-hak individu timbul sebagai konsekuensi dari penegasan putusan-

    putusan pengadilan (the consequence of the rights of individuals, as

    defined and enforced by the courts) yang merupakan hasil induksi atau

    generalisasi dari prinsip-prinsip hukum privat yang memberikan

    perlindungan atas hak-hak orang secara pribadi 20

    Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa persamaan yang

    mengemuka di dalam konsepsi umum negara hukum, baik Rechtsstaat maupun

    Rule of Law, menempatkan posisi hukum yang berdaulat (supremacy of law) di

    dalam pemerintahan. Krabbe menterjemahkannya sebagai souvereiniteit van het

    recht, yang berarti bahwa baik yang memerintah maupun yang diperintah

    18 Albert Venn Dicey, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Eighth

    Edition), Macmillan and Co., Limited, London, hal. 183-184.

    19

    ibid, hal. 189.

    20

    Ibid, hal. 199.

  • 17

    keduanya tunduk pada hukum.21

    Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hukum

    berada pada kedudukannya yang tertinggi (supreme) dan tidak ada kekuasaan

    negara yang dapat bertindak sewenang-wenang di atas hukum. Pencegahaan

    kesewenang-wenangan negara dengan menempatkan kedaulatan hukum salah

    satunya ditujukan demi perlindungan kepentingan dan hak-hak asasi manusia

    (fundamental human right).

    Dalam perkembangannya, terdapat dua tipe negara hukum, yaitu tipe

    negara hukum formil dan tipe negara hukum materiil. Negara hukum formil atau

    Nachtwachter Staat merupakan bagian dari sejarah perkembangan paham

    liberalisme, dimana tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar tidak

    dilanggar (menjaga pelanggaran terhadap undang-undang) dan negara tidak boleh

    ikut terlibat secara aktif dalam hal urusan kemakmuran rakyat.22

    Keberlangsungan konsep negara hukum formil mengalami pergesaran menjadi

    negara hukum materiil sebagai upaya mengurangi ketimpangan sosial (social

    injustice), dimana tugas negara tidak hanya berada pada kerangka pelaksanaan

    undang-undang, melainkan secara aktif turut serta dalam menyelenggarakan

    upaya kesejahteraan umum (Welvaars Staat).23

    Perkembangan paradigma negara hukum pada akhirnya mengarah kepada

    konsep negara hukum modern yang demokratis dengan menempatkan negara

    21 Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78.

    22

    Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

    Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.156. Lihat

    pula Yohanes Usfunan, 1986, Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan Ayu

    Sarana Cerdas, Denpasar, hal. 18.

    23

    SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

    Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal. 44-45.

  • 18

    dalam fungsinya memberikan pelayanan demi kesejahteraan masyarakatnya

    (social service state). Lebih lanjut dipaparkan aspek yang harus dipenuhi dalam

    negara hukum modern berdasarkan International Commision of Jurist adalah

    sebagai berikut :

    1. Perlindungan konstitusional (constitutional proctection of human rights). Lebih lanjut dijabarkan bahwa selain menjamin hak-hak

    individual (substansil), konstitusi harus pula menentukan teknis-

    prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang

    dijamin;

    2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak (an independent and impartial judiciary);

    3. Pemilihan umum yang bebas (fair and free general elections); 4. Kebebasan menyatakan pendapat (recognition of the right to express

    an opinion);

    5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (freedom to organize, freedom to dissent);

    6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).24

    Berdasarkan keseluruhan pemaparan perihal teori negara hukum tersebut

    di atas, pemahaman yang dapat dibentuk adalah bahwa sistem kenegaraan pada

    dasarnya harus dibangun dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku, tersusun

    dalam peraturan perundang-undangan, dan yang berkeadilan demi kesejahteraan.

    Bagi penulis, teori negara hukum dipandang relevan untuk mengkaji rumusan

    masalah pertama perihal legitimasi aturan ambang batas formal di dalam prinsip

    demokrasi konstitusional. Beberapa domain konsep seperti pemahaman supremasi

    hukum, pembatasan kekuasaan melalui trias politica, dan konsep negara hukum

    modern yang demokratis dipandang relevan untuk digunakan. Kajian teoritis

    ambang batas formal pada akhirnya bermuara pada aspek perlindungan hak-hak

    asasi manusia secara konstitusional.

    24 Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945

    Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Kencana, Jakarta, hal. 29.

  • 19

    1.7.2. Teori Demokrasi

    Pemahaman klasik perihal demokrasi tidak lepas dari aspek etimologinya

    yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos (rakyat) dan kratein/kratos

    (kekuasaan/berkuasa) yang berarti rakyat yang berkuasa atau government by the

    people.25

    Secara sederhana demokrasi dapat diterjemahkan sebagai suatu kondisi

    kenegaraan dimana dalam sistem pemerintahannya kekuasaan tertinggi berada

    pada kendali rakyat. Demokrasi secara singkat juga dapat diartikan sebagai

    pemerintahan rakyat.

    Hakikat demokrasi erat kaitannya dengan ajaran teori kedaulatan rakyat

    dimana esensi kekuasaan tertinggi terletak pada keberadaan dan kedudukan

    rakyat. Jean Jacques Rousseau memaparkan adanya suatu perjanjian masyarakat

    atau kontrak sosial dalam peletakkan kekuasaan suatu negara, dimana keadaan

    alami atau primitif dari manusia (seperti hak bagi yang terkuat, perbudakan, homo

    homini lupus) merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan keberadaannya.

    Oleh karena itu, manusia menyatukan kekuatan bersama yang ada, dimana

    kekuasaan yang ada untuk kepentingan bersama tersebut berada di bawah

    kehendak umum dalam sebuah pakta sosial dengan menerima setiap anggota

    sebagai bagian yang tidak terpisahkan.26

    Teori klasik dari J.J. Rousseau turut

    menjadi cikal bakal dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi modern perihal

    tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dimana rakyat dianggap sebagai

    25 Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka

    Utama, Jakarta, hal 105.

    26

    Jean-Jacques Rousseau, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik

    (Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat), Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, hal. 14-16.

  • 20

    subyek yang paling mengerti dan memahami bagaimana negara harus bertindak

    untuk mencapai tujuan yang dimaksud.27

    Dalam perkembangannya, teori kedaulatan rakyat sebagai benih

    kristalisasi demokrasi berintegrasi dengan teori kedaulatan hukum dalam

    membentuk supremasi kekuasaan. Terjadinya konvergensi antara teori

    keadaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum merupakan konsekuensi logis

    dimana prinsip demokrasi membutuhkan kerangka yuridis agar demokrasi dapat

    berjalan dalam kehidupan bernegara dan hukum dapat berdaulat atas nama rakyat

    untuk mencapai keadilan.28

    Korelasi yang terbangun adalah bahwa prinsip-prinsip

    negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan, sehingga

    lebih lanjut dikenal dengan negara hukum demokratis.29

    Koentjoro Poerbopranoto memaparkan bahwa adalah hal yang sulit untuk

    menjalankan demokrasi secara langsung dikarenakan adanya faktor-faktor seperti

    jumlah penduduk, luas daerah dan kompleksitas susunan masyarakat sehingga

    dibutuhkan adanya proses perwakilan dengan salah satu persoalan pokok adalah

    bagaimana cara melaksanakan perwakilan itu.30

    Sejalan dengan hal tersebut, John

    Stuart Mill menjelaskan tipe ideal dari pemerintahan yang sempurna adalah

    perwakilan (that the ideal type of a perfect government must be representative),

    meskipun ia berpendapat bahwa pemerintahan yang sepenuhnya dapat memenuhi

    27 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco Jakarta,

    Bandung, hal. 41.

    28

    Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 41.

    29

    Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,

    Jakarta, hal. 8.

    30

    Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung,

    hal. 33-34.

  • 21

    semua tuntutan adalah dimana apabila di dalam pemerintahan tersebut masyarakat

    secara keseluruhan dapat berpartisipasi bahkan dalam fungsinya yang terkecil

    (that the only government which can fully satisfy all the exigencies of the social

    state is one in which the whole people participate; that any participation, even in

    the smalles public function, is useful).31

    Proses keterlibatan masyarakat di dalam konsep demokrasi membutuhkan

    sistem perwakilan dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan. Lyman Tower

    Sargent memaparkan bahwa semua prinsip demokrasi berhubungan satu sama lain

    dan timbul dari prinsip demokrasi yang paling mendasar yaitu keterlibatan warga

    negara (the principles of democracy all relate to each other and all stem from the

    most fundamental democratic principle citizen involvement). Sistem pemilihan

    umum menjadi sarana perwujudan yang utama keterlibatan warga negara yang

    akhirnya bermuara pada aspek demokrasi perwakilan.32

    Lebih lanjut Lyman

    Tower Sargent memaparkan bahwa dewasa ini sistem pemilu menjadi jalan utama

    untuk pengekspresian keterlibatan warga negara, dan sistem perwakilan

    merupakan tujuan dan hasil dari sistem pemilu (today the electoral system is the

    major avenue for the expression of citizen involvement, and of course, the system

    of representation is the purpose and result of the electoral system).33

    31 John Stuart Mill, 1862, Consideration on Representative Government, Harper & Brothers

    Publisher, New York, hal. 80.

    32

    Lyman Tower Sargent, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition), The

    Dorsey Press, Chicago, hal.54.

    33

    ibid.

  • 22

    Demokrasi perwakilan yang diwujudkan melalui pemilihan umum

    menempatkan pemahaman adanya pemberian legitimasi pada sejumlah

    perwakilan yang representatif guna dapat mengambil kebijakan hukum atas nama

    masyarakat secara umum. Robert A. Dahl memaparkan bahwa dominasi elit

    dalam demokrasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari disebabkan

    ketidaksamaan politik, seperti sumber-sumber daya politik atau pengaruh

    terhadap kebijakan dan tingkah laku pemerintah negara, itu terdapat dalam

    tingkatan yang penting di semua masyarakat.34

    Dahl menterjemahkan sebagai

    demokrasi poliarki dengan prinsip egalitarianisme dimana negara dengan skala

    besar diatur oleh banyak pejabat berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk

    membuat kebijakan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan

    berkala.35

    Perkembangan demokrasi perwakilan mengaktualisasi kedaulatan

    seluruh masyarakat (umum) diserahkan kepada sejumlah elit yang dipilih melalui

    mekanisme pemilihan sebagai suatu kompetisi.

    Keseluruhan uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa kedaulatan rakyat

    dan kedaulatan hukum, pemilihan umum, serta perwakilan repesentatif menjadi

    unsur-unsur integral dalam teori demokrasi. Bagi penulis, teori demokrasi

    dipandang relevan untuk mengkaji dasar keberlakuan ambang batas formal. Teori

    demokrasi digunakan sebagai dasar untuk menganalisis nilai-nilai demokrasi yang

    terkandung dalam pengaturan ambang batas formal Indonesia. Selain itu, dalam

    34 Robert A. Dahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A. Rahman

    Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 99.

    35

    Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi

    Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 118-

    127. Lihat pula SP. Varma, 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta, hal. 214-215.

  • 23

    hal teori demokrasi perwakilan juga dianggap relevan digunakan untuk

    menganalisis indikator penentuan ambang batas formal perihal tingkat

    representatif dari lembaga perwakilan yang dibentuk pasca pengaturan ambang

    batas formal.

    1.8. Metode Penelitian

    1.8.1. Jenis Penelitian

    Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative

    legal research) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji hukum tertulis dari

    berbagai aspek, seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan

    komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi

    pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa

    hukum yang digunakan.36

    Penelitian hukum normatif pada umumnya mencakup :

    1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

    2. Penelitian terhadap sistematik hukum;

    3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

    4. Perbandingan hukum;

    5. Sejarah hukum.37

    Adapun penelitian hukum normatif pada penelitian ini menitikberatkan

    pada isu konflik norma sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang

    masalah, yaitu adanya ketidaksinkronan antara substansi ambang batas formal

    36 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

    Bandung, hal. 101.

    37

    Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

    Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14.

  • 24

    dengan peraturan perundangan-undangan lain yang sederajat, disharmonisasi

    dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi sebagai

    dasar pernormaan, serta konsideran UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi landasan

    validitas.

    1.8.2. Jenis Pendekatan

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini

    menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

    analisis dan konseptual hukum (analitical & conceptual approach), pendekatan

    sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)

    dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Adapun masing-masing

    pendekatan menenkankan pada fokus kajian yang berbeda yakni sebagai berikut :

    1. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai

    peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini,

    pendekatan perundang-undangan beranjak pada peraturan perundang-

    undangan yang memiliki korelasi dan koherensi perihal pemilihan umum

    khususnya yang memuat pengaturan ambang batas formal, serta materi

    terkait lainnya yang menjadi bagian kajian penelitian ini.

    2. Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan menelaah

    teori-teori hukum maupun pandangan dari para sarjana, yang kemudian

    dianalisis relevansinya terkait dengan permasalahan pengaturan ambang

    batas formal.

  • 25

    3. Pendekatan sejarah dilakukan dengan menilik dari sejarah penormaan

    hukum penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilihan umum sebelum

    maupun sesudah diberlakukannya pengaturan ambang batas formal.

    4. Pendekatan perbandingan merupakan elaborasi dari pendekatan

    perundangan-undangan dengan memperbandingkan dengan undang-

    undang yang berlaku di berbagai negara, khususnya yang mengatur

    ambang batas formal.

    5. Pendekatan filsafat beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis

    Pancasila dan UUD 1945, serta rasio hukum dari ketentuan-ketentuan

    tertentu dalam UUD 1945, khususnya tentang Demokrasi, Pemilihan

    Umum, dan Hak Asasi Manusia.

    1.8.3. Sumber Bahan Hukum

    Bahan hukum yang digunakan untuk memecahkan masalah sebagaimana

    yang telah dirumuskan dalam penelitian hukum ini adalah bersumber dari bahan

    hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

    Bahan hukum primer (primary law material) terdiri dari peraturan

    perundang-undangan dan yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang

    digunakan terkait dengan lingkup permasalahan adalah sebagai berikut :

    1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

    Golongan Karya;

    3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum; 4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

  • 26

    5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

    dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights;

    7) Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

    dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    8) Undang Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

    9) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

    10) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

    11) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

    Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    12) Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.

    13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas Pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

    Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

    Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    14) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan

    Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

    Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    Bahan hukum sekunder (secondary law material) yang digunakan dalam

    penelitian hukum umumnya adalah seperti buku-buku teks ilmu hukum dan jurnal

    ilmiah terpublikasi. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

    penelitian hukum normatif ini antara lain berupa : buku-buku, maupun literatur-

    literatur, termasuk literatur asing yang memuat teori-teori hukum, asas-asas, dan

    konsep hukum yang dipandang relevan dengan permasalahan yang diteliti untuk

    dikutip dan menjadi landasan pembenaran dalam menjawab permasalahan.

  • 27

    Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdapat pula

    bahan hukum tertier (tertiary law material) untuk menunjang bahan hukum

    primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Adapun bahan hukum tertier

    yang digunakan sebagai penunjang adalah kamus hukum, kamus besar bahasa

    Indonesia, kamus bahasa inggris, ensiklopedia, serta situs internet sebagai media

    online yang memuat berita terkait dengan permasalahan yang diteliti.

    1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

    Dalam penelitian hukum ini, bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan

    menggunakan teknik studi pustaka atau library research. Penelitian ini dilakukan

    dengan memeriksa pustaka atau literatur hukum yang memiliki relevansi dengan

    materi kajian dan telah terpublikasi, seperti peraturan perundang-undangan,

    putusan pengadilan, buku-buku ilmu hukum. Adapun literatur-literatur hukum

    yang dimaksud kemudian digunakan dalam hal menginventaris pandangan

    maupun doktrin hukum dari para sarjana hukum untuk dikritisi ataupun sebagai

    dasar pembenar dalam bahasan penelitian.

    Gorys Keraf memaparkan bahwa terdapat tiga golongan bahan bacaan

    dalam penelitian kepustakaan, yaitu sebagai berikut :

    1. buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan digarap. Tidak perlu dibuat catatan-

    catatan dari buku-buku semacam ini

    2. buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat, karena bahan-bahan yang diperlukan untuk karya tulis terdapat di situ, Dari

    bahan-bahan semacam inilah pengarang harus membuat kutipan-

    kutipan yang diperlukan.

  • 28

    3. bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk mengisi yang masih kurang untuk melengkapi karya tulis itu.

    38

    1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

    Bahan hukum diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik

    penafsiran atau interpretasi dan teknik argumentasi. Von Savigny sebagaimana

    dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa interpretasi

    merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam

    undang-undang.39

    Kegiatan interpretasi merupakan suatu upaya menemukan

    kebenaran yang utuh atas suatu pemikiran yang telah ada dengan berpijak pada

    satu bentuk perspektif dan memecahkan masalah yang belum terselesaikan.

    Pemahaman hukum secara teoritik terkait dengan permasalahan, dianalisis

    dengan interpretasi yang memiliki karakter hermeneutik hukum. Hermeneutik

    berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan atau

    menginterpretasikan.40

    Metode penafsiran dalam lingkaran hermeneutik

    berlangsung dalam hubungan bolak balik antara bagian dan keseluruhan, antara

    teks, konteks, dan kontekstualisasi, dalam rangka membentuk suatu pemahaman

    yang utuh atas suatu permasalahan.41

    Jimly Asshidiqie kemudian menyebutkan

    bahwa aspek yang menjadi pedoman dalam melakukan interpretasi hermeneutika

    hukum adalah keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.42

    38 Gorys Keraf, 1994, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa,, Penerbit Nusa

    Indah, Flores, hal. 166.

    39

    Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 106.

    40

    I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk Apa Ilmu

    Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita, Surabaya, hal. 175.

    41

    Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada,

    Jakarta, hal.247. Lihat pula dalam I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, op.cit, hal. 178.

    42

    ibid, hal. 247.

  • 29

    Teknik interpretasi dapat digolongkan seperti penafsiran gramatikal,

    historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Adapun bahan bahan

    hukum yang telah diolah melalui teknik interpretasi, akan dielaborasikan dengan

    teknik argumentasi. Teknik argumentasi merupakan teknik penilaian yang

    didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Penilaian yang

    dimaksud berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,

    sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap bahan-bahan hukum.43

    43 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

    Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal 61.

  • 30

    BAB II

    DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM

    2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional

    Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk

    perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai

    pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote,

    one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara

    kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang

    ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip-prinsip umum yang

    mencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan

    konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan

    cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak

    seluruh warga negaranya.44

    Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional

    (constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan

    kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang

    ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan

    bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara

    kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu

    44 Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia

    Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 184-185. Lebih lanjut dijelaskan

    bahwa demokrasi yang lebih mencerminkan kehendak mayoritas terkadang bertentangan dengan

    prinsip kedaulatan rakyat menurut UUD. UUD mempertegas keberadaan Pasal 1 ayat (3) dimana

    negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga demokrasi menjadi dibatasi oleh hukum dengan

    puncaknya pada UUD 1945 untuk mengatasi kelemahan dalam demokrasi tersebut.

  • 31

    dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam

    pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society).45

    Demokrasi konstitusional pada hakikatnya sangat diperlukan bila dibandingkan

    dengan rezim totaliter atau otoriter yang telah tergantikan keberadaan pada paruh

    kedua Abad Keduapuluh (constitutional democracy is virtually indispensable

    when contrasted with the totalitarian or authoritarian regimes that it replaced in

    the second half of the twentieth century).46

    Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede

    Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi

    konstitusional sebagai berikut :

    1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis

    2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah 3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana, dan

    menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah

    4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan

    berkumpul.47

    Undang-undang dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas, yang anggotanya

    dipilih dengan cara-cara yang demokratis, dengan tujuan agar masyarakat dapat

    turut serta mengontrol jalannya fungsi negara dan menghindarkan terjadinya

    praktek penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau kesewenang-

    45 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

    hal. 58.

    46

    Michel Rosenfeld, 2001, The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional

    Democracy, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of

    Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://www-

    bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18 Maret 2013, hal. 1310.

    47

    I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian

    Kenegaraan), Setara Press, Malang, hal. 92-93.

  • 32

    wenangan (wilikeur). Jaminan akan hal tersebut dapat terwujud apabila setiap

    lembaga peradilan, terlebih pada lembaga peradilan yang berwenang untuk

    mengontrol setiap keputusan dan produk hukum yang dibuat oleh negara, dapat

    berfungsi secara bebas dan mandiri.

    Sementara konsepsi demokrasi konstitusional dari Adnan Buyung

    Nasution yang dibangun dari pemikiran Herbert Feith ditandai dengan adanya

    enam ciri, yaitu :

    1. warga sipil memainkan peranan dominan; 2. partai politik memegang peranan yang sangat penting; 3. para pesaing politik menuju kekuasaan memperlihatkan rasa hormat

    kepada rules of game, yang berhubungan rapat dengan konstitusi

    yang berlaku;

    4. kebanyakan anggota elite politik sedikit-banyak mempunyai rasa komitmen terhadap lambang yang bertalian dengan demokrasi

    konstitusional;

    5. kebebasan sipil jarang dilanggar; 6. pemerintah jarang menggunakan paksaan (coercion).48

    Lebih lanjut Adnan Buyung Nasution memaparkan dua ciri yang menjadi prinsip

    umum di dalam suatu negara konstitusional (constitutional state) adalah adanya

    pengakuan dan jaminan hak-hak warga negara, serta pembatasan dan pengaturan

    kekuasaan negara secara hukum.49

    Adapun kedua unsur tersebut mengarahkan

    konsep negara konstitusional yang dimaksud kepada konsep negara konstitusional

    yang demokratis.

    48 Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional,

    Kompas, Jakarta, hal. 70-71. Dijelaskan bahwa Herbert Feith merumuskan enam ciri tersebut

    sebagai tanda masa tumbuhnya sistem demokrasi konstitusional pada dunia perpolitikan di

    Indonesia.

    49

    Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta,

    hal. 35.

  • 33

    Demokrasi konstitusional terwujud salah satunya dari adanya

    perlindungan hak asasi secara individual dan kebebasan (liberty) sehingga konsep

    ini sering dipersepsikan dengan prinsip demokrasi liberal.50

    Pentingnya

    perlindungan hak asasi manusia dalam konsepsi demokrasi konstitusional

    merupakan wujud konsekuensi dari tipologi negara hukum modern yang

    melindungi kepentingan dasar warga negaranya. Hak asasi manusia adalah hak

    yang bersifat mendasar (grounded) dan berhubungan erat dengan jati diri manusia

    secara universal.51

    Hak asasi dimiliki oleh warga negara secara dasariah dan yang

    patut dilaksanakan pemerintah secara konstitusional.52

    Hukum memberikan

    jaminan perlindungan hak asasi, dalam arti hak hukum (legal right), kepada

    seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum yang secara sah tercantum

    dalam hukum yang berlaku.53

    Pengaturan hak-hak asasi secara konstitusional

    ditujukan dalam rangka formalisasi hak-hak tersebut yang mengatur bagaimana

    tentang perlindungan hak, termasuk pembatasan hak-hak tersebut secara hukum.

    Pembatasan kekuasaan negara melalui supremasi hukum sebagaimana

    yang menjadi unsur demokrasi konstitusional merupakan konkretisasi dari prinsip

    konstitusionalisme. Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich

    sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalahan institutionalized system of

    effective, regularized restraints upon governmental action. Persoalan yang

    diangap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai

    50 I Dewa Gede Atmadja, Ilmu ..., op.cit, hal. 92.

    51

    Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 47.

    52

    Ramly Hutabarat, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di

    Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25.

    53

    Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 48-49.

  • 34

    pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham

    konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu

    membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam

    hal ini melalui konstitusi.54

    Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua

    pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut

    dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power), dan

    adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.55

    Perihal cara

    yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham

    konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan,

    dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias

    Politica), yaitu:

    a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);

    b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);

    c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang).56

    Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat, bahwa

    terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme, yaitu :

    a. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara;

    b. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan

    pemerintahan;

    c. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur

    ketatanegaraan tersebut.57

    54 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara..., op.cit, hal.93

    55

    I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia

    Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang, hal. 18-19.

    56

    Ismail Sunny, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hal. 2.

  • 35

    Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi

    konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam

    penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara

    konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional, yaitu :

    1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek

    pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum, serta perihal pembatasan

    kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat

    menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan

    dan check and balances).

    2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara

    demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat, serta perwujudan

    dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi.

    3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi dan

    nomokrasi guna menegakkan supremasi konstritusi melalui pengujian

    konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan.58

    Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi

    konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka

    pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila

    kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak

    secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib

    dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

    Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka

    57 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, op.cit. hal. 19.

    58

    Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional..., op.cit, hal. 13-14.

  • 36

    memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap hak-

    haknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana

    hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang-undang dasar

    merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang

    demokratis.

    2.2. Sistem Pemilihan Umum

    2.2.1. Definisi Sistem Hukum

    Secara etimologis, sistem berasal dari Bahasa Inggris yaitu system yang

    berarti sistem, susunan, jaringan, dan cara.59

    Kamus Besar Bahasa Indonesia

    mendefinisikan sistem sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling

    berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas ; susunan yang teratur dari

    pandangan, teori, asas.60

    Sistem sebagai suatu kesatuan terbentuk dari beberapa

    unsur atau elemen dimana antara satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan

    secara fungsional, berpola, konsisten, dan diterapkan pada hal yang bersifat

    immaterial maupun material.61

    Sistem menandakan adanya suatu kombinasi

    teratur di antara bagian dan keseluruhan dengan diiringi adanya hubungan dan

    koneksi sehingga menyebabkan dapat berfungsi.

    59 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English

    Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta, hal. 575.

    60

    Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa

    (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1320.

    61

    Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar), Penerbit

    Sinar Baru, Bandung, hal. 7.

  • 37

    Kamus Blacks Law memberikan definisi system sebagai orderly

    combination or arrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole;

    especially such combination according to some rational principle; any methodic

    arrangement of parts.62

    Terminologi sistem yang dipadankan dengan hukum

    memberikan konsekuensi terhadap definisi dari hukum itu sendiri. Ludwig von

    Bertalanffy mendefinisikan sistem di dalam hukum sebagai ...complexes of

    elements in interaction, to which certain law can be applied (sistem adalah

    himpunan unsur atau elemen yang saling mempengaruhi, dimana hukum tertentu

    menjadi berlaku).63

    Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa sistem hukum

    merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi, terstruktur, yang terdiri dari unsur-

    unsur atau bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan

    mengadakan kerja sama untuk kepentingan tujuan kesatuan.64

    Keseluruhan

    definisi tersebut menyiratkan bahwa konsekuensi logis yang terbentuk dalam

    sistem hukum menempatkan tiga aspek yang menjadi cirinya, yakni adanya unsur

    hukum, interaksi hukum, dan tujuan hukum.

    Bruggink yang mengutip teori dari Kees Schuit menggolongkan u