Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Kerjasama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dengan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH UBB) Desember 2019
LAPORAN AKHIR
KAJIAN DAN EVALUASI
PANCASILA SEBAGAI KAIDAH PENUNTUN
UNTUK UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAH DAERAH
TIM PENYUSUN KETUA : DR. DERITA PRAPTI RAHAYU, S.H., M.H. ANGGOTA : YOKOTANI, S.H., M.H.
DARWANCE, S.H., M.H.
2
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pada Pembukaan UUD 1945 terdapat Pancasila (negara berketuhanan),
prinsip- prinsip dasar hak asasi manusia, keadilan (negara hukum), kedaulatan
rakyat (negara demokrasi), juga tugas dan kewajiban negara serta pemerintah
(semua lembaga-lembaga negara) untuk mewujudkan negara kesejahteraan yang
meliputi perlindungan tumpah darah Indonesia, menyejahterakan rakyat,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pada
hakikatnya, nilai- nilai Pancasila sebagaimana pernah dinyatakan di dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) No. XX/MPRS/1966
adalah pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum serta cita-cita moral luhur
yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia. Dilihat dari
kedudukannya, Pancasila merupakan sumber hukum yang paling tinggi yang
menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum kita. Aturan-aturan
hukum yang diterapkan dalam masyarakat harus mencerminkan kesadaran dan
rasa keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia.1
Pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD1945) dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentukrepublik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan adalah
dibentuknyaPemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk
pertama kalinya,kemudian pemerintah tersebut membentuk daerah sesuai
ketentuan peraturanperundang-undangan. Selanjutnya, pada Pasal 18 ayat (2) dan
ayat (5) UUD 1945dinyatakan bahwa pemerintahan daerah berwenang untuk
mengatur danmengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugaspembantuan, serta diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Pemberian
otonomiyang seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnyakesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, danperan serta masyarakat.2
1 Asep Warlan Yusuf, Hukum dan Keadilan, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun
2015 [ISSN 2460-1543] [e-ISSN 2442-9325], hlm. 4
2 Derita Prapti Rahayu, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 [ISSN
2460-1543] [e-ISSN 2442-9325], hlm. 444
3
Mahfud MD menegaskan bahwa larangan bagi munculnya hukum yang
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, merupakan rambu-rambu yang
diperkuat dengan adanya empat kaidah penuntun yaitu: (1) hukum nasional harus
dapat menjaga integrasi (keutuhan) baik ideologis maupun wilayah teritorial; (2)
hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti
harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui-
prosedur-prosedur dan mekanisme yang fair, transparan, dan accountable; (3)
hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial dalam arti harus
mampu memberikan proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam
berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun dari dalam negeri
sendiri; (4) hukum harus menjamin kebebasan beragama dengan penuh toleransi
yang berkeadaban di antara pemeluk-pemeluknya.3
Dalam konteks kelembagaan, menurut Kirdi Dipoyudo, yang termasuk
hukum di Negara kita tidak terlepas dari Pancasila sebagai dasar negara yang
mengandung nilai-nilai dasar dari kearifan lokal keIndonesiaan yang dijabarkan
ke dalam kelima sila. Oleh karena itu, setiap sila Pancasila mengandung nilai
sekaligus tujuan yang ingin dicapai bangsa ini kedepan. Kirdi Dipoyudo
menyatakan bahwa pembangunan sebagai pengamalan Pancasila4.
Pancasila harus menjadi kaidah penuntun bagi peraturan perundang-
undangan di Negara kita, yaitu dalam konteks Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Selanjutnya menggunakan istilah UU
Pemda).
3 Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, Hlm, 8, Periksa Juga Sukirno, Rekonstruksi Politik Hukum Pengakuan Negara Terhadap Hak Ulayat (Studi Pengakuan Dan Perlindungan Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Baduy Dari Hegemoni Negara, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Undip, Semarang, 2013, hlm. 124
4 Kirdi Dipoyudo, Pembangunan Sebagai Pengamalan Pancasila, Jurnal Analisa CSIS, tahun XV,
No. 8 Agustus 1996
4
1.2. Permasalahan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dirumuskan permasalahan apakah
substsansi dari UU Pemda sudah menerapkan Pancasila sebagai kaidah penuntun?
1.3. Maksud dan Tujuan
a. Untuk mengetahui dan menganalisis substsansi dari UU Pemda sudah
menerapkan Pancasila sebagai kaidah penuntun dalam setiap pasalnya
b. Mengkaji kesesuaian Undang-Undang UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dengan Pancasila
1.4. Metodologi
Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) sebagai Proses Sebagai sebuah proses,
Metode RIA mencakup beberapa langkah sebagai berikut:5
1. Identifikasi dan analisis masalah terkait kebijakan.
Masalah yang akan dipecahkan adalah masalah analisis Undang-Undang
No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah apakah sudah berdasarkan
Pancasila sebagai kaidah penuntun dalam nilai-nilai yang terkandung dalam UU
tersebut.
2. Penetapan tujuan.
Tujuan dibentuk UU ini adalah efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek
hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan.
5 Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas, Pengembangan Dan Implementasi Metode Regulatory
Impact Analysis(Ria) Untuk Menilai Kebijakan(Peraturan Dan Non Peraturan)Di Kementerian Ppn/Bappenas, Juli, 2011, hlm. 3-4
5
seluas-luasnya tentang opsi/pilihan apa saja yang tersedia.
4. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan, baik dari sisi legalitas maupun
biaya (cost) dan manfaat (benefit)-nya.
Setelah berbagai opsi/pilihan untuk memecahkan masalah teridentifikasi,
langkah berikutnya adalah melakukan seleksi terhadap berbagai pilihan tersebut.
Proses seleksi diawali dengan penilaian dari aspek legalitas, karena
setiap opsi/pilihan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku. Untuk pilihan-pilihan yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilakukan analisis
terhadap biaya (cost) dan manfaat (benefit) pada masing-masing pilihan.
Secara sederhana, “biaya” adalah hal-hal negatif atau merugikan suatu
pihak jika pilihan tersebut diambil, sedangkan “manfaat” adalah hal-hal
positif atau menguntungkan suatu pihak. Biaya atau manfaat dalam hal
ini tidak selalu diartikan “uang”. Oleh karena itu, dalam konteks identifikasi biaya
dan manfaat sebuah kebijakan, perlu dilakukan identifikasi tentang siapa saja yang
terkena dampak dan siapa saja yang mendapatkan manfaat akibat adanya suatu
pilihan kebijakan (termasuk kalau kebijakan yang diambil adalah tidak melakukan
apa-apa atau do nothing).
5. Pemilihan kebijakan terbaik.
Analisis Biaya-Manfaat kemudian dijadikan dasar untuk mengambil
keputusan tentang opsi/pilihan apa yang akan diambil. Opsi/pilihan yang diambil
adalah yang mempunyai manfaat bersih (net benefit), yaitu jumlah semua manfaat
dikurangi dengan jumlah semua biaya, terbesar.
6. Penyusunan strategi implementasi.
Langkah ini diambil berdasarkan kesadaran bahwa sebuah kebijakan tidak
bisa berjalan secara otomatis setelah kebijakan tersebut ditetapkan atau diambil.
Dengan demikian, pemerintah dan pihak lain yang terkait tidak hanya tahu
mengenai apa yang akan dilakukan, tetapi juga bagaimana akan melakukannya.
7. Partisipasi masyarakat di semua proses.
Semua tahapan tersebut di atas harus dilakukan dengan melibatkan
berbagai komponen yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung,
6
dengan kebijakan yang disusun. Komponen masyarakat yang mutlak harus
didengar suaranya adalah mereka yang akan menerima dampak adanya kebijakan
tersebut (key stakeholder). Dalam hal ini dengan melibatkan para dosen di
beberapa universitas di Indonesia dalam hal menyusun evaluasi UU Pemda.
BAB II. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana diamanatkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat menjadi UUD NRI 1945),
wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota,1 yang masing-masing sebagai
daerah otonomi. Sejarah tentang pemerintahan daerah di Indonesia sudah ada
sejak tahun 1948, hingga kini dalam perkembangannya di uraikan dalam UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan otonomi
daerah. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki
pemerintahan daerah yang melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah,
yakni Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya
disingkat dengan DPRD). Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah
baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga
eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah
baik di provinsi, maupun kabupaten/kota.6
Pancasila dikualifikasikan sebagai kaidah penuntun dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, hal tersebut dikarenakan dalam sila- sila Pancasila
dengan tegas menyebut tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari
hidup bermasyarakat yang didasarkan dari nilai-nilai dan falsafah hidup Pancasila,
yang menjadi dasar hidup masyarakat yang akhirnya bermuara pada keadilan.
Selain itu agar dapat membuktikan bahwa Pancasila sebagai landasan dalam
budaya hukum Nasional, maka sila-sila Pancasila harus dipandang sebagai suatu
sistem nilai, sehingga pada hakikatnya Pancasila merupakan satu kesatuan.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut :7
6 Yuri Sulistyo, Antikowati, & Rosita Indrayati, Pengawasan Pemerintah Terhadap Produk Hukum
Daerah (Peraturan Daerah) Melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, e-Journal Lentera Hukum, April 2014, I (1), hlm. 1
7 Kaelan, Op.Cit. hlm. 79-84
7
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai bahwa segala hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral
negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara,
hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi
warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah perwujudan nilai
kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral dan beragama, serta
adil dalam hubungan diri sendiri, sesama dan lingkungannya.
c. Sila Persatuan dan Kesatuan mengandung nilai bahwa negara Indonesia
merupakan persekutuan diantara keberagaman yang dilukiskan dalam
Bhinneka Tunggal Ika. Nilai-nilai nasionalisme harus tercermin dalam segala
aspek penyelenggaraan negara.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan mengandung nilai bahwa negara adalah dari,
oleh dan untuk rakyat. Nilai demokrasi mutlak diterapkan dalam kehidupan
bernegara, baik menyangkut aspek moralitas kenegaraan, aspek politik,
maupun aspek hukum dan perundang-undangan.
e. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung nilai yang
merupakan tujuan negara sebagai tujuan bersama. Nilai keadilan harus
terwujud dalam kehidupan bersama (keadilan sosial) yang bertujuan untuk
kesejahteraan seluruh warga negara.
Notonagoro mengistilahkan Pancasila sebagai sebuah karya agung pendiri
bangsa melalui The Founding Father yang merupakan hasil pemikiran elektis
inkorporsi. 8 Liek Wilardjo juga secara bernas menyatakan bahwa Pancasila
merupakan ciri khas bangsa Indonesia dan mempengaruhi kehidupan berbangsa
dan bernegara rakyat Indonesia yang bertujuan menciptakan masyarakat adil dan
makmur serta membentuk pranata sosial politis.9
Dhakidae menyatakan Pancasila menjadi sumber hukum, sumber
kebijakan politik, kebijakan sosial, kebijakan ekonomi dan sebagainya 10
8 Ibid, hlm. 291
9 Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata , Duta Wacana University Press, Yogyakarta, 1990, hlm. 131.
10 Ibrahim, Sengkarut Timah Dan Gagapnya Ideologi Pancasila, Imperium, Yogyakarta, 2913, hlm.
108
8
(termasuk wujud budaya hukum dalam penegakan hukum). Salah satu alasan
Pancasila sebagai landasan budaya hukum bangsa Indonesia yaitu Pancasila
menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social
enginering) sekaligus hukum sebagai cermim ras keadilan yang hidup dalam
masyarakat (living law).11
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan, Pancasila adalah segalanya bagi
bangsa Indonesia terutama dalam hal ini budaya hukum Pancasila, oleh karena itu
harus menjadikan nilai-nilai Pancasila dalam penegakan hukum yang melibatkan
budaya hukum bangsa.12
Dalam konteks UU Pemda, Pancasila juga harus menjadi kaidah penuntun,
karena UU Pemda merupakan representasi salah satu dampak positif
berkembangnya ide otonomi daerah. Penerapan sistem otonomi yang diamanatkan
UUD NRI 1945 berimplikasi pada terbaginya kekuasaan pemerintah pusat pada
pemerintah daerah, hal tersebut didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.
BAB III. Analisis
1. Analisis Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
Landasan filosofis, sosiologi dan yuridis terdapat dalam konsideran pada
Peraturan Perundang-undangan. Terkait UU Pemda bisa dijelaskan sebagai
berikut;
Menimbang:
a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam Undang-Undang;
b. bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
11 Kholis Roisah, Prismatika hukum sebagai dasar pembangunan hukum Indonesia berdasarkan
Pancasila (kajian terhadap hukum kekayaan intelektual), Jurnal masalah-masalah hukum, Jilid 41 no. 4, Oktober, 2012, hlm. 623
12 Derita Prapti Rahayu, Budaya Hukum Pancasila, Tafha Media, Yogyakarta, 2014, hlm. 51
9
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan
suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman
daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah.
Menurut Lampiran I UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, analisis filosofis, Sosiologis dan Yuridis bisa dijelaskan
sebagai berikut :
a. Analisis Filosofis
Analisis filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahawa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan, kaidah penuntun serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber pada Pancasila dan Pembukaan UUDNRI 1945.
b. Analisis Sosiologis
Analisis Sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
merupakan pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek, menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kebutuhan masyarakat dan negara.
c. Analisis Yuridis
Analisis Yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
10
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Pasca di undangkannya UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah
pada tanggal 2 Oktober 2014 dalam perspektif urusan, banyak mengamanahkan
kepada kabupaten untuk menyiapkan langkah-langkah untuk revisi peraturan
daerah tentang urusan. mengingat apa yang dilakukan akan menjadi pintu
masuknya program dan kegiatan di dalam SKPD yang selama ini diwadahi dalam
istilah yang lazim di pendengaran kita apa yang dinamakan APBD. Hal ini
didukung karena dalam lampiran UU 23 sudah mengatur detil urusan mana yang
dilakukan oleh pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Meskipun dipasalnya tidak di
perintahkan secara nyata daerah untuk menuangkan dalam regulasi tetapi banyak
keperluan yang mendorong sperti kepentingan penganggaran, perencanaan
maupun kegiatan -kegiatan yang berkaitan dengan aspek manajemen
pemerintahan lainnya.13
Pertimbangan yang menguatkan untuk segera cepat melangkah adalah
sesuai amanah UU 23 tahun 2014 yang diatur dalam pasal 21 adalah bahwa akan
segera di bentuk peraturan pemerintah yang mengatur substansi cara
melaksanakan urusan, tata cara penetapan Perda secara umum, daerah otonom
khusus, berciri kepulauan, Perangkat Daerah (berkaitan dengan pemetaan),
Personil, Perencanaan, Pendanaann, Monev, Pengalihan urusan pemerintahan,
Urusan pemerintahan sisa, sehingga tidak lagi merubah pembagian pada masing -
masing tingkatan baik di level pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan
kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada
negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan
13 Hening Nurcahya, Ap.Mm,Bagian Pemerintahan, Melangkah Untuk Uu 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Perpektif Membagi Urusan), Hlm.5
11
dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan
bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada
bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas
Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada
gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.14
Salah satu upaya mewujudkan tujuan negara adalah dengan merubah pola
pembangunan yang awalnya sentralistik ke desentralistik atau dikenal dengan era
otonomi daerah.15
Era otonomi daerah pada hakekatnya merupakan tatanan baru
bagi bangsa Indonesia saat ini untuk bisa menciptakan kesejahteraan masyarakat
setempat, 16
termasuk penyerahan beberapa kewenangan pusat kepada daerah
dalam bidang peraturan/regulasi daerah.17
Dari sisi historis, sebenarnya otonomi daerah Indonesia bukanlah hal yang
baru, bahkan mengalami perjalanan yang panjang. Ketika kerajaan-kerajaan di
nusantara masih Berjaya, raja merupakan pusat kekuasaan. Dalam era
pemerintahan monarki seperti ini tidak dikenal konsep desentralisasi sebagai
menjawantahan otonomi daerah. Konsep desentralisasi baru dikenal ketika
pemerintahan hindia belanda menginjakkan dan menancapkan kuku kolonialisme
di bumi Indonesia.18
Berbicara tentang otonomi daerah, tidak dapat dipidahkan dengan
perjalanan peraturan undang-undang yang pernah diterpkan di Indonesia peraturan
14 Ibid
15 Otonomi daerah menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16 Arief Hidayat&Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi
Daerah, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007, hlm.107
17
https://books.google.co.id/books/about/Dampak_otonomi_daerah_di_Indonesia.html?id=6sVVnQ EACAAJ&redir_esc=y
18 Ahmad yani, hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, cetakan kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 19
12
atau undang-undang yang pernah diterapkan sejak Indonesia era pemerintahan
kolonial belanda sampai Indonesia merdeka sekarang ini.19
Pada tanggal 23 juli 1903 undang-undang mengenal desentralisasi
pemerintah di hindia belanda, bernama de wet houdende decentralisatie van het
bestuur in nederlands indie, berhasil diterima dan di undang dalam staatsblad van
het koninkrijk der nenderlanden tahun 1903 nomor 219’’. Undang-undang tesebut
kemudian di undangkan di hindia belanda lewat indische staatsblad nomor 329,
yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan decentralisatie wet 1903.
Berdasarkan undang-undang desentralisasi (decentralisatie wet) pemerintah
hindia belanda dimungkinkan membentuk daerah otonom berikut dewan
perwakilan rakyat di daerah otonom tersebut, yaitu di luar otonom yang sudah ada
sebelumnya yaitu swapraja dan desa yang berdasarkan hukum adat.20
Indonesia dalam kurun sejarahnya telah lama mengalami politik yang
tersentralisalasi. Ini merupakan warisan dari struktur sentralisasi pemerintah dari
zaman penjajahan Belanda dan telah ada upaya berbagai waktu untuk
mendesentralisasi stukturnya, dimulai sejak disahlkannya Undang-Undang
Desentralisasi 1903 di Hindia Belanda. Undang-Undang ini bertujuan ganda yang
dampaknya saling bertentangan yaitu untuk mendesentralisasi pemerintahan di
daerah-daerah yang jauh dan sangat beragam sifatnya dan untuk mengembangkan
kontrol pemerintah atas wilayah-wilayah tersebut.21
Sementara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah tidak menganut pandangan yang dikotomis seperti itu.
Desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sama pentingnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tentunya detail dari kebijaksanaan yang
non dikotomis itu masih dapat disempurnakan lebih lanjut, sehingga aneka
19 Iswan, kaputra dan kk, dampak otonomi daerah di Indonesia, merangkai sejarah politik dan
pemerintahan Indonesia, cetakan pertama, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013, hlm.
102 20
Marbun, otonomi daerah 1945-2010, proses dan realita perkembangan otoda, sejak jaman colonial sampai saat ini, cetakan kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010, hlm. 30
21 Internasinal IDEA, Penilaian Demokratisasi di Indonesia, Stockholm, Sweden: Internasinal IDEA, 2000, hlm. 69
13
kontroversi yang dapat menghambat pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan
bertanggungjawab dapat dihilangkan.22
Ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah sebagai tonggak pemberian wewenang kepada daerah
untuk mengelola pemerintahan dan sumber daya alamnya, yang kemudian
disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah yang memberikan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.23
Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah, dalam pasal 239 dengan tegas
menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi
dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan
wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi
terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap
kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala
daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.
Saat ini telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang lebih memprioritaskan peningkatan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan
aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah,
potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan
global dalam kesatuan Negara Republik Indonesia.
Substansi UU Pemda saat ini adalah pengaturan tentang distribusi
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dilihat pada gambar di
bawah ini ;
22 Soewargono Prawirohardjo, Prinsip-Prinsip Pemerintah Umum Dalam Pelaksanaan Pemerintahan di
Daerah, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), 2009, hlm. 211
23 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
14
Gambar 324
Pembagian Urusan Pemerintahan Berdasar Undang-Undang Pemda
Gambar 425
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren
Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara menurut Undang-Undang
ini, Pemerintah daerah merupakan kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
24 Bagir Manan, Bahan Presentasi, Simposium Nasional Politik Hukum Pemerintahan Daerah
Menurut UU No. 23 Tahun 2014 Desentralisasi atau Re-sentralisasi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 08 Juni 2015, hlm. 2
25Ibid, hlm. 3
15
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom (Pasal 1 angka 3). Sedangkan Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 2).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penyerahan dan pelimpahan
kewenangan kepada Daerah dari waktu ke waktu selalu mengalami dinamika yang
secara langsung mempengaruhi hubungan pusat dan daerah, terkadang daerah
diposisikan sebagai wakil pemerintah pusat bukan institusi otonom sebagai
penyalur aspirasi masyarakat di daerah.
Kewenangan daerah tidak terlepas dari kesatuan kewenangan pemerintah
di pusat yang diatur secara tegas dalam hukum mengenai pendelegasian antara
pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah dalam melaksanakan
pemerintahan. Implikasi penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut tidak
melepaskan campur tangan secara intensif pemerintah pusat dalam mengawasi
pelaksanaan pemerintahan di daerah sebagai prinsip negara kesatuan. 26
Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah oleh Pemerintah
Pusat termasuk juga keputusan-keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah
sejak Otonomi Daerah diberlakukan pertama kali (UU No. 1 tahun 1945) sampai
saat ini (UU No. 23 tahun 2014). Dalam UU 23 ada dua kategori pengawasan
yaitu Pasal 377 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengawasan umum” adalah
pengawasan terhadap pembagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi, kelembagaan Daerah provinsi, kepegawaian pada Perangkat
Daerah provinsi, keuangan Daerah provinsi, pembangunan Daerah provinsi,
pelayanan
publik di Daerah provinsi, kerja sama Daerah provinsi, kebijakan Daerah provinsi,
Gubernur dan DPRD provinsi, dan bentuk pembinaan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2)
26 Sheldon S. Steinberg; David T. Austern. Government Ethics, and Managers; Penyelewengan Aparat
Pemerintah (terjemahan Suroso), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 18
16
Yang dimaksud dengan “pengawasan teknis” adalah pengawasan terhadap teknis
pelaksanaan substansi Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah
provinsi sesuai dengan kewenangan kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian masing-masing.
Pasal 378 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengawasan umum” adalah pengawasan terhadap
pembagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota, kelembagaan Daerah kabupaten/kota, kepegawaian pada
Perangkat Daerah kabupaten/kota, keuangan Daerah kabupaten/kota,
pembangunan Daerah kabupaten/kota, pelayanan publik di Daerah kabupaten/kota,
kerja sama Daerah kabupaten/kota, kebijakan Daerah kabupaten/kota,
bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota, dan bentuk pembinaan lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan
“pengawasan teknis” adalah pengawasan terhadap teknis pelaksanaan substansi
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah kabupaten/kota.
Pasal 379
Ayat (2) Khusus untuk pengawasan yang terkait keuangan Daerah meliputi
kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan bimbingan teknis dalam
pengelolaan APBD provinsi yaitu sejak tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemantuan dan evaluasi atas pelaksanaan APBD (termasuk penyerapan APBD),
sampai dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi yang dilakukan
oleh inspektorat provinsi dapat bekerja sama dengan inspektorat jenderal
Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pengawasan.
Pasal 380
Ayat (2) Khusus untuk pengawasan yang terkait keuangan Daerah meliputi
kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan bimbingan teknis dalam
pengelolaan APBD kabupaten/kota yaitu sejak tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemantuan dan evaluasi atas pelaksanaan APBD (termasuk penyerapan APBD),
sampai dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota yang
dilakukan inspektorat kabupaten/kota dapat bekerja sama dengan Inspektorat
17
Jenderal Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pengawasan
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah maka pengawasan
harus disertai pembatasan-pembatasan.27
Makin ketat pengawasan makin kecil
otonomi daerah, sebaliknya makin longgar pengawasan makin besar otonomi
daerah. Bagaimanapun juga dalam sistem unitary, pemerintah daerah bukanlah
negara bagian yang mempunyai kedaulatan sendiri sebagaimana dalam sistem
federal, namun pemerintah daerah adalah subsistem pemerintahan pusat
(nasional). Oleh karena itu, bersifat dependent dan subordinate karenanya
pemerintah pusat mempunyai kewenangan melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pemerintah daerah agar pemerintah daerah tidak
menyimpang dari sistem pemerintahan nasional, tidak melakukan tindakan yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, dan tidak membuat kebijakan
yang meluncur pada pemisahan diri. Dengan adanya pembinaan dan pengawasan
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri sesuai dengan koridor konstitusi dan undang-undang
dalam sistem pemerintahan nasional dan dapat mencapai tujuan negara pada
tingkat daerah secara efektif dan efisien.
Pembatasan dalam pengawasan kewenangan daerah akan mencakup
pembatasan macam atau bentuk pengawasan. Dikatakan kontrol a-priori bilamana
pengawasan itu dilakukan sebelum mengeluarkan suatu keputusan atau ketetapan
pemerintah maupun. Disini tampak jelas unsur preventif kontrol tersebut tujuan
utamanya adalah mencegah atau menghindari terjadinya kekeliruan.28
Pada sisi lain terdapat pendapat yang mengatakan sistem pengawasan
terhadap pemerintah dalam konteks pengertian umun pengawasan masih tetap
relevan, alasannya;
Pertama, pada umumnya sasaran pengawasan terhadap pemerintah adalah
pemelliharaan dan penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan
dengan baik dan dapat pula membawa kekuasaan pemerintah sebagai
27 Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Daerah, UII Press,
2007, dalam King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian Peraturan Daerah Pasca Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, hlm. 46
28 Ibid
18
penyelenggara kesejahteraan masyarakat kepada pelaksanaan yang baik pula dan
tetap dalam batas kekuasaannya.
Kedua, tolak ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan
dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum meteriil maupun hukum formil
serta manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat
Ketiga, adanya pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur yang telah ditetapkan
Keempat, jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolak
ukur tersebut dilakukan tindakan pencegahan
Kelima, apabila dalam pencocokan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dari
tolak ukur. Kemudian koreksi melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap
akibat yang ditimbulkan dan mendisiplinkan pelaku kekeliruan.29
Perubahan sistem pengawasan dari Undang-Undang No. 23 tahun 2004 ke
Undang-Undang No. 32 tahun 2014, akan ditelurusi berdasarkan model
pengawasan terhadap produk hukum daerah yaitu :30
1. Executive preview, yaitu terhadap rancangan Peraturan Daerah yang
mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBN dan RUTR sebelum
disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh menteri
dalam negeri untuk raperda provinsi dan oleh Gubenur terhadap Raperda
Kabupaten/Kota
2. Executive review, yaitu apabila hasil evaluasi raperda tentang APBD dan
Rancangan Peraturan Gubenur/Peraturan Bupati/Walokota tentang
penjabaran APBD dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum
dan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak ditindaklanjuti
oleh Gubenur/Bupati/Walikota bersama DPRD dan
Gubenur/Bupati/Walikota tetap menetapkan Raperda tersebut menjadi
perda dan Peraturan Gubenur/Bupati/Walikota, Menteri Dalam Negeri
untuk Provinsi dan oleh Gubenur untuk Kabupaten/kota membatalkan
Perda dan Peraturan Gubenur/Bupati/Walikota tersebut.
29 Ibid, hlm. 47
30 Ni’matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum No Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009\
19
3. Pengawasan Preventif yaitu terhadap rancangan Peraturan Kepala Daerah
tentang APBD baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan
dari Menteri Dalam Negeri bagi Provinsi dan Gubenur bagi
Kabupaten/kota.
NO Undang-Undang No. 32 Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004 Tentang Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah Pemerintahan Daerah.
1. Executive Pasal 185 ayat 1, Pasal 245 ayat 1,
preview Rancangan Perda provinsi Rancangan Perda Provinsi
tentang APBD yang telah yang mengatur tentang
disetujui bersama dan RPJPD, RPJMD, APBD,
rancangan Peraturan perubahan APBD,
Gubernur tentang pertanggungjawaban
penjabaran pelaksanaan APBD, pajak
APBD sebelum ditetapkan daerah, retribusi daerah dan
oleh Gubernur paling tata ruang daerah harus
lambat 3 (tiga) hari mendapat evaluasi Menteri
disampaikan kepada sebelum ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri gubernur
untuk dievaluasi
Pasal 245 ayat 3,
Pasal 186 (1) Rancangan Perda
Rancangan Perda kabupaten/kota yang
kabupaten/kota tentang mengatur tentang RPJPD,
APBD yang telah disetujui RPJMD, APBD, perubahan
bersama dan rancangan APBD,
Peraturan Bupati/Walikota pertanggungjawaban
tentang Penjabaran APBD pelaksanaan APBD, pajak
sebelum ditetapkan oleh daerah, retribusi daerah, dan
Bupati/Walikota paling tata ruang daerah harus
lama 3 (tiga) hari mendapat evaluasi gubernur
20
disampaikan kepada sebagai wakil Pemerintah
Gubernur untuk dievaluasi. Pusat sebelum ditetapkan
oleh bupati/wali kota.
2. Executive Pasal 185 ayat 5, Pasal 268 ayat 4,
review Apabila hasil evaluasi Apabila hasil evaluasi tidak
tidak ditindaklanjuti oleh ditindaklanjuti oleh gubernur
Gubernur dan DPRD, dan dan DPRD serta gubernur
Gubernur tetap menetapkan
menetapkan rancangan rancangan Perda Provinsi
Perda tentang APBD dan tentang RPJPD menjadi
rancangan Peraturan Perda, Menteri membatalkan
Gubernur tentang Perda dimaksud.
penjabaran APBD menjadi
Perda dan Peraturan Pasal 269 ayat 4,
Gubernur, Menteri Dalam Dalam hal hasil evaluasi tidak
Negeri rnembatalkan Perda ditindaklanjuti oleh gubernur
dan Peraturan Gubernur dan DPRD dan gubernur
dimaksud sekaligus menetapkan rancangan Perda
menyatakan berlakunya Provinsi tentang RPJMD
pagu APBD tahun menjadi Perda, Menteri
sebelumnya. membatalkan Perda dimaksud
Pasal 186 ayat 5, Pasal 270 ayat 4,
Apabila hasil evaluasi Dalam hal hasil evaluasi tidak
tidak ditindaklanjuti oleh ditindaklanjuti oleh
Bupati/Walikota dan bupati/wali kota dan DPRD
DPRD, dan kabupaten/kota, dan
Bupati/Walikota tetap bupati/wali kota menetapkan
menetapkan rancangan rancangan Perda
Perda tentang APBD dan Kabupaten/Kota tentang
rancangan Peraturan RPJPD menjadi Perda,
Bupati/Walikota tentang gubernur sebagai wakil
21
penjabaran APBD menjadi Pemerintah Pusat
Perda dan Peraturan membatalkan Perda
Bupati/Walikota, Gubernur dimaksud.
membatalkan Perda dan
Peraturan Bupati/Walikota Pasal 271 ayat 4,
dimaksud sekaligus Dalam hal hasil evaluasi tidak
menyatakan berlakunya ditindaklanjuti oleh
pagu APBD tahun bupati/wali kota dan DPRD
sebelumnya. kabupaten/kota dan
bupati/wali kota menetapkan
rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang
RPJMD kabupaten/kota
menjadi
Perda, gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat
membatalkan Perda
dimaksud.
3. Pengawasan Pasal 185 ayat 5, Pasal 245 ayat 5,
Preventif Apabila Menteri Dalam Hasil evaluasi rancangan
Negeri menyatakan hasil Perda Provinsi dan rancangan
evaluasi rancangan Perda Perda Kabupaten/Kota
tentang APBD dan sebagaimana dimaksud pada
rancangan Peraturan ayat (1) dan ayat (3) jika
Gubernur tentang disetujui diikuti dengan
penjabaran APBD sudah pemberian nomor register.
sesuai dengan kepantingan.
Umum dan peraturan Pasal 243
Perundang-undangan yang (1) Rancangan Perda yang
lebih tinggi, Gubernur belum mendapatkan nomor
menetapkan rancangan register sebagaimana
dimaksud menjadi Perda dimaksud dalam Pasal 242
22
dan Peraturan Gubernur. ayat (5) belum dapat
ditetapkan kepala Daerah dan
Pasal 186 ayat 3, belum dapat diundangkan
Apabila Gubernur dalam lembaran daerah.
menyatakan hasil evaluasi
rancangan Perda tentang
APBD dan rancangan
Peraturan Bupati/Walikota
tentang Penjabaran APBD
sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan
peraturan perundang-
undangan yang lebih
tinggi, Bupati/Walikota
menetapkan rancangan
dimaksud menjadi Perda
dan Peraturan
Bupati/Walikota
Dari berbagai ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut dapat
dipahami bahwasannya pengawasan preventif yang diterapkan oleh Undang-
Undang 32 tahun 2004 dapat dirumuskan, Pengawasan preventif Khusus
dilakukan untuk Peraturan Daerah yang menyangkut pajak daerah, retribusi dan
tata ruang (RUTR). Berbeda dengan Undang-Undang 23 tahun 2014, jika ditinjau
dari model pengawasan preventif terhadap produk hukum daerah, tidak ada
perbedaan yang signifikan, hanya istilah saja yang berbeda yaitu penambahan
istilah pemberian nomer registrasi pada rancangan Perda Provinsi dan rancangan
Perda Kabupaten/Kota menurut Undang-Undang 23 tahun 2014.
Sedangkan hal tersebut menjadi sangat diketahui telah terjadi perubahan
yang signifikan dan cenderung bahkan sangat terindikasi kearah resentralisasi
pada hubungan kewenangan antrara Pemerintah Pusat dan Daerah, karena
23
bagaimanapun aplikasi dari hubungan tersebut adalah melalui produk hukum
daerah yaitu Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah atau Perda merupakan produk hukum yang dibentuk
oleh Pemerintahan Daerah yakni untuk Pemerintah Daerah Provinsi dibentuk oleh
Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi dan untuk Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD
Kabupaten/Kota. Perda sebagai produk hukum daerah merupakan bentuk hukum
yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.
Substansi dari perda tersebut haruslah merupakan penjabaran dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan
kekhususan masing-masing daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum. Dalam
masyarakat daerah, peraturan daerah dibentuk dengan tujuan mengatur
masyarakat daerah secara umum, agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang
diharapkan agar dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda yang dibentuk
sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan desentralisasi.31
KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH (PASAL 16, 17, 18 UU 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah)
PEMERINTAH PUSAT DAERAH
31 Derita Prapti Rahayu, Pengawasan Preventif Sebagai Kontrol Pusat Terhadap Daerah Di Era Reformasi, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 [Issn 2460-1543] [E-Issn 2442-9325], Hlm. 448
24
1. menetapkan NSPK, paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak peraturan
pemerintah mengenai pelaksanaan
urusan pemerintahan konkuren
diundangkan serta melaksanakan
pembinaan dan pengawasan;
2.membatalkan kebijakan Daerah
yang tidak berpedoman pada NSPK;
3.menetapkan Standar Pelayanan
Masyarakat.
1. menetapkan kebijakan Daerah
untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah berpedoman
pada NSPK; 2. dalam jangka waktu 2 (dua) tahun,
Pusat belum menetapkan NSPK,
Pemda melaksanakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah; 3. memprioritaskan pelaksanaan
Urusan Pemerintahan Wajib yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar
berpedoman pada Standar Pelayanan
Masyarakat.
Beberapa pengaturan mengenai hubungan kewenangan antara Pusat dan
Daerah antara lain indikasinya dipertegas pada beberapa Pasal berikut ini ;
1. Pada Undang-Undang No. 23 tahun 2014 ini Pasal 9 (4) menentukan Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah. Pasal 9 (3) Urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota.
2. Pasal 16 (1) Pada Undang-Undang No. 23 tahun 2014, Pemerintah Pusat
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan
25
yang menjadi kewenangan Daerah. (2) Norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
sebagai pedoman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan
Daerah.
3. Pasal 17 (2) Pada Undang-Undang No. 23 tahun 2014, Daerah dalam
menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam
rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah tidak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat membatalkan
kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Dalam Penjelasan Pasal 17 Pada Undang-Undang No. 23 tahun 2014, Yang
dimaksud dengan “kebijakan Daerah” adalah Perda, Perkada, dan keputusan
kepala daerah.
Sistem pengawasan juga menentukan kemandirian satuan otonomi. Untuk
menghindari agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem
pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata cara
pelaksanaannya. Karena itu hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan
umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian
daerah. Makin banyak dan intensif pengawasan makin sempit kemandirian makin
terbatas otonomi.
Sebaliknya,tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan
pengawasan. Kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari
satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga keseimbangan bandul antara
kecenderungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berlaku berlebihan.32
Untuk itu, pengawasan harus disertai pembatasan-pembatasan.
Pembatasan-pembatasan tersebut akan mencakup pembatasan macam atau bentuk
pengawasan, yang sekaligus mengandung pembatasan tata cara
32 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum Fakultas Hukum UII,2004, hlm. 39
26
menyelenggarakan pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang
melakukan pengawasan. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pengawasan
terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah termasuk Perda dan Keputusan
Kepala Daerah merupakan suatu akibat mutlak dari adanya negara kesatuan. Di
dalam negara kesatuan kita tidak mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar
dengan negara, tidak pula mungkin ada negara di dalam negara.33
UU Pemda 2014 yang memberikan nomenklatur urusan pemerintahan
dengan definisi: “Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.”¹⁴
Pendefinisian tersebut tentu menjadi peneguhan bahwa pelaksana urusan
pemerintahan adalah kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah.
Hal ini juga sejalan dengan UUDNRI 1945 yang memang hanya menyematkan
urusan pemerintahan pada dua lembaga tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka
konsekuensi yang seharusnya terjadi adalah tidak boleh ada pengaturan lain di
bawah konstusi yang mampu menyematkan urusanpemerintahan kepada lembaga
lain selain kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah.34
UU Pemda 2014 secara konsisten mendefinisikan desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dengan menggunakan frasa 'urusan
pemerintahan', yang berarti pembentuk undangundang menyadari betul bahwa
objek hubungan pusat dan daerah adalah urusan pemerintahan.
Definisi dekonsentrasi pada UU Pemda 2014 menjelaskan asal urusan
pemerintahan dan memperluas lingkup penerima pelimpahan urusan
pemerintahan. Definisi dekonsentrasi pada UU Pemda 2014 terlihat jelas asal
urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh daerah merupakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Bila merujuk pada UU
33 Ni’Matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara Pemerintah Dengan
Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, hlm. 5
34 Baca Juga Dian Agung Wicaksono, Transformasi Pengaturan Distribusi Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintahan Daerah, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 [ISSN 2460-1543] [e-ISSN 2442-9325], hlm. 468
27
Pemda 2014, maka urusan yang dimaksud adalah urusan pemerintahan absolut,¹⁷ urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Pemerintah pusat dengan ketiga urusan pemerintahan tersebut dapat melimpahkan sebagian kepada daerah, dimana sebagian urusan yang lain harus tetap diatur dan diurus oleh pemerintah pusat.
Selain itu, pendefinisian di atas juga memperluas pihak penerima limpahan
urusan pemerintahan, yaitu: (a) gubernur sebagai wakil pemerintah pusat; (b)
instansi vertikal di wilayah tertentu; dan/atau (c) gubernur dan bupati/wali kota
sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Hal ini tentu lebih luas
dari yang semula hanya: (a) gubernur sebagai wakil pemerintah; dan/atau (b)
instansi vertikal di wilayah tertentu. Dalam definisi baru ini berarti kabupaten/kota
saat ini dapat dilimpahi dekonsentrasi, walaupun dalam koridor urusan
pemerintahan umum.
Beberapa pengaturan mengenai hubungan kewenangan antara Pusat dan
Daerah antara lain indikasinya dipertegas pada beberapa Pasal berikut ini ;
1. Pada Undang-Undang No. 23 tahun 2014 ini Pasal 9 (4) menentukan Urusan
pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah. Pasal 9 (3) Urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota.
2. Pasal 16 (1) pada Undang-Undang No. 23 tahun 2014, Pemerintah Pusat
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. (2) Norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan urusan
28
pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan
yang menjadi kewenangan Daerah.
3. Pasal 17 (2) Pada Undang-Undang No. 23 tahun 2014, Daerah dalam
menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam
rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah tidak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat membatalkan
kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Dalam Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang No. 23 tahun 2014, Yang
dimaksud dengan “kebijakan Daerah” adalah Perda, Perkada, dan keputusan
kepala daerah.
Pada Penjelasan Umum UU Pemda 2014 disebutkan bahwa: Kemudian
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 dinyatakan bahwa pemerintahan daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu, melalui
otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhaƟkan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keisƟmewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak dapat dihindarkan
sekalipun urusan pemerintahan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten dan
kota tidak bersifat hierarkis, namun dalam perannya sebagai wakil pemerintah
pusat hubungan gubernur dengan pemerintah daerah kabupaten/kota bersifat
hierarkis.35
35
Otong Rosadi, Konsttusionalitas Pengaturan Pemerintahan Daerah di Indonesia: Suatu Eksperimen yang Tidak Kunjung Selesai, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015 [Issn 2460-1543] [E-Issn 2442-9325], hlm. 558
29
Terkait DPRD sebagaimana yang diatur di dalam pasal 106 ayat (1) dan
pasal 159 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, juga tidak merinci secara jelas hak mana yang terlebih dahulu harus
digunakan, baik di dalam norma pasal maupun di dalam penjelasannya.
Pasal 91 bahwa Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas:
a. Mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah kabupaten/kota;
b. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
c. Memberdayakan dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di
wilayahnya; d. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan
APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang
daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah;
e. Melakukan pengawasan terhadap perda kabupaten/kota; dan
f.Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturanperundangundangan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai wewenang:
a. Membatalkan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota;
b. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupaƟ/walikota terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah;
c. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi
pemerintahan
antardaerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi; Pasal lebih
lanjut mengatur betapa kuatnya wewenang gubernur sebagai wakil pemerintahan
pusat. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai peran dalam
pemberhentian antar waktu, penggantian antar waktu, dan pemberhentian
sementara (Pasal 193 - Pasal 200). Pasal 212 ayat (2) UU Pemda 2014 tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah berlaku setelah mendapat
persetujuan dari menteri bagi perangkat daerah provinsi dan dari gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat bagi perangkat daerah kabupaten/kota. Pada Pasal 214
ayat (1) disebutkan: “Apabila sekretaris daerah provinsi
30
berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris daerah provinsi
dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat atas persetujuan menteri.” Pada Ayat (2) berbunyi: “Apabila sekretaris
daerah kabupaten/kota berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris
daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh
bupati/walikota atas persetujuan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Berdasarkan Pasal 245 ayat (3), rancangan perda kabupaten/kota yang
mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata
ruang daerah harus mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota. Berdasarkan Pasal 245 ayat (4)
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam melakukan evaluasi Rancangan
Perda Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berkonsultasi
dengan menteri.
BAB IV. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang lebih memprioritaskan peningkatan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan
aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan
antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan
tantangan persaingan global dalam kesatuan Negara Republik Indonesia.
2. Rekomendasi
Pelaksanaan UUPemda dengan peraturan-peraturan di bawahnya
ditetapkan harus tetap berpedoman pada Pancasila sebagai penuntun agar
terpenuhi tujuan negara terutama pada kondisi-kondisi khusus di daerah.
31
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hlm, 8, Periksa Juga Sukirno, Rekonstruksi
Politik Hukum
Pengakuan Negara Terhadap Hak Ulayat (Studi Pengakuan Dan
Perlindungan Eksistensi
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Baduy Dari Hegemoni Negara,
Disertasi Program
Doktor Ilmu Hukum, Undip, Semarang, 2013, hlm. 124
Biro Hukum Kementerian PPN/Bappenas, Pengembangan Dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis(Ria) Untuk Menilai Kebijakan(Peraturan Dan Non Peraturan)Di Kementerian Ppn/Bappenas, Juli, 2011, hlm. 3-4
Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata , Duta Wacana University Press, Yogyakarta, 1990
Ibrahim, Sengkarut Timah Dan Gagapnya Ideologi Pancasila, Imperium,
Yogyakarta, 2913
Derita Prapti Rahayu, Budaya Hukum Pancasila, Tafha Media, Yogyakarta, 2014
Hening Nurcahya, Ap.Mm,Bagian Pemerintahan, Melangkah Untuk Uu 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Perpektif Membagi Urusan
Arief Hidayat&Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007,
Ahmad yani, hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, cetakan kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Iswan, kaputra dan kk, dampak otonomi daerah di Indonesia, merangkai sejarah politik dan pemerintahan Indonesia, cetakan pertama, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013, hlm. 102
Marbun, otonomi daerah 1945-2010, proses dan realita perkembangan otoda, sejak jaman colonial sampai saat ini, cetakan kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010
Internasinal IDEA, Penilaian Demokratisasi di Indonesia, Stockholm, Sweden:
Internasinal IDEA, 2000
32
Soewargono Prawirohardjo, Prinsip-Prinsip Pemerintah Umum Dalam Pelaksanaan Pemerintahan di Daerah, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), 2009
Bagir Manan, Bahan Presentasi, Simposium Nasional Politik Hukum
Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 23 Tahun 2014 Desentralisasi
atau Re-sentralisasi, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 08
Juni 2015
Sheldon S. Steinberg; David T. Austern. Government Ethics, and Managers; Penyelewengan Aparat Pemerintah (terjemahan Suroso), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Daerah, UII Press, 2007, dalam King Faisal Sulaiman, Dialektika Pengujian Peraturan Daerah Pasca Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014
1 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi
hukum Fakultas Hukum UII,2004, hlm. 39
https://books.google.co.id/books/about/Dampak_otonomi_daerah_di_Indonesia.ht ml?id=6sVVnQEACAAJ&redir_esc=y
Jurnal
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015 [ISSN 2460-1543] [e-ISSN 2442-9325]
Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009
Jurnal masalah-masalah hukum, Jilid 41 no. 4, Oktober, 2012
e-Journal Lentera Hukum, April 2014, I (1),
Jurnal Analisa CSIS, tahun XV, No. 8 Agustus 1996
33
BAGIAN II
No Materi UU Hasil Analisis dan Evaluasi Dikaitkan dengan
Indikator Nilai-Nilai Pancasila
1 BAB I Ketentuan Sebagai ketentuan umum sudah cukup mewakili
Umum, Pasal 1 butir pemahaman terkait hal-hal yang akan dibahas dalam
ke 1 sampai 50 UU ini.
2 BAB II Pembagian Diksi “dibagi atas” dalam Pasal ini secara konsep
Wilayah Negara , negara kesatuan, sudah sesuai dengan konsep negara
Pasal 2 ayat (1) dan kesatuan, yang membagi wilayah dari provinsi hingga
ayat (2) kelurahan dan/atau desa.
3 Pasal 3 ayat (1) dan Daerah-daerah yang merupakan bagian dari Negara
ayat (2) Kesatuan, memiliki Pemerintahan Daerah sendiri
( unsur penyelenggara pemerintahan daerah yaitu
Pemerintah Daerah dan DPRD, sesuai dengan Pasal 1
butir ke 3 dan 4).
4 Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) menempatkan Provinsi sebagai wakil
ayat (2) pemerintah pusat (kepanjangan tangan pemerintah
pusat) sehingga tindak tanduk PemProv harus sejalan
dengan Pemerintah Pusat. Secara prinsip, apabila
Daerah Provinsi adalah daerah kepanjangan dari
Pemerintah Pusat, namun yang perlus dicermati adalah
pengisian jabatan atas Gubernur. Gubernur sebagai
kepala daerah, pengisian jabatannya menggunakan
sistem pemilihan kepala daerah secara umum, padahal
konsep kerjanya hanya kepanjangan dari Pemerintah
Pusat. Sehingga terasa ambigu saja terkait dengan
konsep pengisian jabatan tersebut.
Pasal 4 ayat (2) menempatkan Bupati sebagai kepala
daerah di wilayah kabupaten/kota. Hal ini sudah sesuai
dengan konsep kedaerahan.
34
5 BAB II Kekuasaan Pasal 5 ayat (1) memposisikan Presiden sebagai kepala
Pemerintahan Pasal 5 pemerintahan yang sesuai dengan UUD NRI 1945.
ayat (1), (2), (3) dan Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) menjelaskan
ayat (4) tentang urusan pemerintahan dilakukan oleh Presiden
yang dibantu oleh menteri dalam urusan pemerintahan
tertentu. Untuk didaerah, urusan pemerintahan
dilakukan mendasakan pada asas dekonsentrasi,
desentralisasi, dan tugas pembantuan.
6 Pasal 6 Pasal 6 ini hanya penetapan kebijakan urusan
pemerintahan, hal ini sesuai dengan konsep
pemerintahan yang baik.
7 Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) menunjukan bahwa Pemerintah Pusat
ayat (2) memiliki wewenang unutk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan
pemerintah oleh daerah. Secara tidak langsung,
Pemerintah Pusat, memiliki kendali yang cukup besar
untuk mengawasi dan membina daerah yang tidak
“patuh” terhadap kebijakan pemerintah pusat. Hal ini
secara prinsip bisa mengurangi kreativitas daerah
dalam mengembangkan potensinya.
Pasal 7 ayat (2) Presiden sebagai penanggungjawab
terakhir atas penyelenggaraan urusan pemerintahan
sudah sesuai dengan konsep negara demokrasi.
8 Pasal 8 ayat (1), (2), Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah Pusat
dan (3) terhadap provinsi, Provinsi terhadap Kabupaten/Kota
yang dikoordinasikan oleh menteri, secara kasat mata
sudah sesuai dengan konsep pengawasan walaupun
dengan catatan bahwa pengawasan tersebut tidak boleh
membuat daerah menjadi tidak berkembang.
9 BAB IV Urusan Pasal 9 ini sudah memenuhi klasifikasi konsep asas-
Pemerintahan Pasal 9 asas umum pemerintahan yang baik dalam hal
ayat 1), (2), (3) (4) pembagian urusan pemerintahan yang dibagi menjadi
35
dan ayat (5) urusan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan
urusan pemerintahan umum.
10 Pasal 10 sampai Merupakan pembagian tugas atas urusa pemerintahan
dengan Pasal 25 absolut, konkuren, dan pemerintahan umum, sudah
secara gamblang dijelaskan. Menurut hemat penulis,
hal ini sudah termasuk dalam urusan daerah yang
memilki kewenangan masing-masing sehingga sudah
sesuai dengan pembagian kewenangan pusat dan
daerah.
11 Pasl 26 ayat (1), (2), Forkomida merupakan forum koordinasi pimpinan dari
(3) (4), (5) dan ayat pusat kedaerah untuk saling menunjang kelancaran
(6) pelaksanaan urusan pemerintahan umum. Hal ini sudah
sesuai dengan konsep pembagian urusan.
12 BAB V Kewenangan Dalam pasal 27 ayat (2) huruf a, menyatakan baha
Daerah Provinsi Pemerintah Provinsi berhak menglola SDA di laut
Dilaut Dan Daerah dengan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
Provinsi Yang Berciri pengelolaan kekayaan laur di luar mnyak dan gas
Kepulauan, dari Pasal bumi, secara tekstual hal ini bisa berakibat terkait
27 ayat (1), (2), (3) eksploitasi tambang di wilayah laut, walaupun secara
(4), dan (5) perizinan masih dipegang oleh pemerintah pusat, hal
ini bisa terjadi sengketa kewenangan antara
pemerintah daerah provinsi dengan daerah
kabupten/kota atas potensi ekplorasi dan eksploitasi.
13 Pasal 28 sampai menurut hemat penulis, diperlukan pemantapan atas
dengan Pasal 30 pembagian kewenangan daerah wilayah provinsi
dengan wilayah daerah kabupaten/kota agar tidak
saling klaim ataupun saling “saling berwenang” atas
suatu wilayah laut tersebut melalui atau dituangkan
dalam suatu peraturan pemerintah.
14 BAB VI Penataan Pelaksanaan asas desentralisasi terkait dengan
Daerah, Pasal 31 pemekaran dan penggabungan. Secara prinisip,
sampai dengan Pasal penggabungan ataupun pemekaran, merupakan hak
36
48 dari wilayah atau daerah tersebut untuk
mengembangan diri, khusus terhadap pemekaran
wilayah, terkadang proses pemekaran tersebut tidak
diimbangi dengan proses tata kelola wilayah,
pemerintahan dan SDA, SDM, demografi dan unsur
lain sehingga pemekaran tersebut hanya digunakan
untuk ajang untuk ”meraup pundi” oleh para elite
politik yang tidak bertanggungjawab. Menurut hemat
penulis, pemekaran daerah seharusnya tetap
di”moratorium” sampai keadaan ataupun situasi di
Indonesia lebih baik dalam segala bidanf dan apabila
daerah otonomi baru bisa bersaing dengan baik apabila
terjadi pemekaran wilayah, sehingga tidak membebani
wilayah induknya.
15 Pasal 49 tentang Pembentukan dan penataan daerah, secara umum di
Pembentukan Daerah Indonesia semustinya masih dihentikan dahulu,
ssampai Pasal 56 walaupun secara prinisp dalam pasal 49 diperbolehkan,
namun terkadang persiapan daerah untuk menjadi
daerah bentukan baru, tidak cukup memadai, oleh
karenanya lebih cocok untuk masa sekarang dengan
adanya moratorium terhadap pembentukan daerah
baru.
16 BAB VII Secara tertulis bahwa penyelenggara pemerintahan
Penyelenggara (provinsi dan kabupaten/kota) adalah pemerintah
Pemerintahan Daerah, daerah (kepala daerah) dan DPRD dibantu perangkat
Pasal 57 dan Pasal 58 daerah. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan
pemerintahan daerah tidak bisa dibebankan kepada
pemerintah daerah saja, DPRD selaku perwakilan dari
masyarakat melalui pemilihan legislatif, musti ikut
bertanggungjawab atas pelaksanaan pemerintahan
daerah.
17 Pasal 59 sampai Pasal 59 sampai dengan Pasal 93 terkait dengan
37
dengan Pasal 93 Kepala Daerah, mulai dari tugas pokok dan fungsi,
terkait Kepala Daerah pemilihan kepala daerah, laporan pertanggungjawaban,
tindakan penyidikan terhadap kepala daerah, dan
pemberhentian kepala daerah. Dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kepala daerah ini, terdapat hal yang
menarik yang dapat dievaluasi lebih lanjut, hal ini
terkait dengan Pasal 90 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa tindakan penyidikan bagi gubernur/wakil
gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari
Presiden, kemudian untuk kepala daerah/wakil kepala
daerah memerlukan perstujuan dari menteri. Walaupun
dalam PAsal 90 ayat (2) tidak diberikan persetujuan
tertulis oleh presiden atau menteri tekait kepala daerah
yang melakukan kejahatan bisa lanjut penyidikan dan
penahanan. Hal ini menurut saya menjadi sumir,
karena apabila harus menunggu persetujuan tertulis
dari presiden atau menteri selama 30 hari, hal ini
menjadi sangat lama karena tindakan penyidikan harus
dilakukan terhadap pelaku karena perbuatannya
tersebut bukan pada jabatan tersebut. menurut hemat
saya, untuk tindakan yang dilakukan oleh penyidik,
seharusnya surat persetujuan tersebut paling lama 7 x
24 jam sejak kepala daerah/wakil kepala daerah
terindikasi melakukan kejahatan tersebut.
18 DPRD Provinsi dan Dalam mengenai DPRD Provinsi dan DPRD
DPRD Daerah, dari Kabupaten/Kota, secara umum sama bahkan diatur
Pasal 94 sampai lebih lannjut dalam UU MD3 Nomor 13 Tahun 2019
dengan Pasal 207 tentang Perubahan Ketiga atas UU 17 tahun 2014
tentang MD3. Hal yang menarik adalah, terdapat
berbagai aturan yang berkaitan dengan DPRD sebagai
unsur dari pemerintahan daerah. Secara umum, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah masuk
38
dalam ranah eksekutif, namun menjadi bias pada saat
DPRD ini masuk dalam peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan lembaga legislatif
(DPR RI, DPD RI dan MPR RI). Secara khusus,
DPRD seharusnya tidak masuk dalam UU MD3 ini,
karena secara kelembagaan, DPRD ini merupakan
lembaga eksekutif yang bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh sebab
itu, apabila DPRD masih masuk dalam ranah legislatif,
maka secara kasat mata, DPRD memiliki “dua kaki”,
yaitu secara kelembagaan adalah unsur penyelenggara
pemerintahan daerah (diakui melalui UU Pemda
tersebut) namun secara fungsi adalah sebagai lembaga
legislatif (diakui melalui UU MD3 tersebut). Hal ini
yang menjadi kajian lebih lanjut dalam memposiskan
DPRD dalam sistem pemerintahan daerah.
19 Pasal 401 s.d Pasal Mengatur tentang ketentuan peralihan, tidak ada 402 persoalan dengan nilai-nilai Pancasila.
20 Pasal 403 s.d Pasal Bagian ini mengatur tentang ketentuan penutup. 411 Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, pada umumnya ketentuan
penutup memuat ketentuan mengenai penunjukan
organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
peraturan perundang-undangan, nama singkat
peraturan perundang-undangan, status peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, dan saat mulai
berlaku peraturan perundang-undangan. Khusus pada
bagian status peraturan perundang-undangan yang
sudah ada, dari ketentuan pada bagian ini dapat
disimpulkan sebetulnya undang-undang ini terlalu
banyak menyinggung bahkan menghapus ketentuan
yang ada di peraturan perundang-undangan yang lain.
Hal ini baik demi terciptanya kepastian hukum, tidak
ada dua pengaturan berbeda mengatur hal yang sama.
Di lain sisi, hal ini akan menjadikan peraturan
perundang-undangan menjadi terkesan tambal sulam
dan akan cenderung membingungkan masyarakat,
sementara masyarakat dikenakan asas fictie hukum
39
(dianggap mengetahui hukum). Padahal, salah satu nila ke-5 Pancasila adalah kegiatan perekonomian yang efektif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan untuk mencipakan kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, khusus pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian yang seringkalai ditambal sulam termasuk oleh undang-undang ini, tujuan itu rasanya akan sulit dapat dicapai secara efektif dan efisien.