Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
FAKULTAS HUKUM
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
Nomor: 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014
POTENSI PENERAPAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF YANG
TIDAK BERIMPITAN DENGAN GARIS BATAS LANDAS KONTINEN DALAM
PROSES DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DI SELAT
MALAKA BAGIAN UTARA
OLEH:
Ratri Kristina Arum
NPM: 2014200088
PEMBIMBING:
I Wayan Parthiana, S.H., M.H.
Penulisan Hukum
Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan
Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana
Program Studi Ilmu Hukum
2018
Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang
Ujian Penulisan Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan
Pembimbing
I Wayan Parthiana, S.H., M.H.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M.
PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK
Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang
setinggi-tingginya, maka Saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Ratri Kristina Arum
No. Pokok : 2014200088
Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan
pikiran, bahwa karya ilmiah / karya penulisan hukum yang berjudul:
POTENSI PENERAPAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN GARIS BATAS LANDAS
KONTINEN DALAM PROSES DELIMITASI ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF INDONESIA DI SELAT MALAKA BAGIAN UTARA
adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah / karya penulisan hukum yang
telah Saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan
akademik Saya pribadi, dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan atau
mengandung hasil dari tindakan-tindakan yang:
a. Secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-hak
atas kekayaan intelektual orang lain, dan atau
b. Dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai
integritas akademik dan itikad baik;
Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa Saya telah menyalahi dan atau
melanggar pernyataan Saya di atas, maka Saya sanggup untuk menerima akibat-
akibat dan atau sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan
Universitas Katolik Parahyangan dan atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pernyataan ini Saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan, tanpa paksaan
dalam bentuk apapun juga.
Bandung, 22 Mei 2018
Mahasiswa Penyusun Karya Ilmiah / Karya Penulisan Hukum
Ratri Kristina Arum
2014200088
Karya ini saya persembahkan untuk:
Keluarga, Almamater, dan Indonesia
i
ABSTRAK
Penentuan garis batas dalam proses delimitasi zona maritim merupakan masalah
yang acap kali dialami negara pantai, seperti Indonesia. Sebagai negara yang
berbatasan langsung dengan sepuluh negara, Indonesia belum menyelesaikan
garis-garis batas zona maritimnya. Salah satu garis batas zona maritim yang
belum ditentukan ialah garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara
Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara. Akibatnya,kedua negara
melakukan klaim-klaim sepihak atas ZEE di Selat Malaka tersebut. Klaim-klaim
ini menciptakan sebuah area yang disebut “grey area”. Hal tersebut berpotensi
menciptakan problematika baru seperti penangkapan nelayan yang melaut di
dalam “grey area” atas tuduhan praktik illegal fishing. KHL PBB 1982 sebagai
pranata hukum yang paling komprehensif dalam bidang hukum laut tidak secara
rinci mengatur proses delimitasi zona maritim. Dengan demikian, timbul
persoalan apakah garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas
landas kontinen dapat diterapkan dalam proses penentuan garis batas Indonesia-
Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara? Apabila garis tersebut dapat
diterapkan, maka apa implikasi dari penerapan garis batas ZEE yang tidak
berimpitan dengan garis batas landas kontinen tersebut.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penulisan hukum yang berjudul POTENSI PENERAPAN GARIS BATAS
ZONA EKONOMI EKSKLUSIF YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN
GARIS BATAS LANDAS KONTINEN DALAM PROSES DELIMITASI
ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DI SELAT MALAKA
BAGIAN UTARA ini tepat pada waktunya.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan
karena keterbatasan waktu, sumber, pengetahuan, dan pengalaman saya dalam
menyusun karya ilmiah. Namun berkat dorongan, semangat, bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan hukum ini dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dari lubuk
hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak I WAYAN PARTHIANA, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu dan telah memberikan pemikiran,
bimbingan, nasihat dan ilmu yang sangat berguna sehingga penulisan
hukum ini dapat diselesaikan dengan baik. Special thanks to Bapak
ADRIANUS ADITYO VITO RAMON, S.H., LL.M (adv). sebagai
pembimbing saya sejak pembuatan proposal hingga tahap penyelesaian
penulisan hukum ini. Terima kasih telah membimbing materi penulisan
hukum ini, memberikan pemikiran, nasihat, serta pengetahuan baru dalam
bidang hukum laut.
2. Bapak SORA LOKITA, S.H., MIL. selaku narasumber yang sangat ramah
dan informatif. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk
memberikan pengetahuan-pengetahuan baru kepada saya dalam proses
wawancara.
3. Kedua orang tua saya, Bapak DOMINIKUS YATINO dan Ibu ENDAH
PURWANINGSIH, yang selalu mendoakan, memberi perhatian,
iii
dukungan, dan kepercayaan sepenuhnya kepada saya. Terima kasih telah
membesarkan, menafkahi, serta mendidik saya dengan sabar dan penuh
kasih sayang.
4. Mas BAYU AJI KRIS SAPUTRO, S.H., yang selalu mendukung dan
menyemangati, serta memberikan bantuan kepada saya sejak awal
perkuliahan hingga dalam proses penulisan hukum ini. Terima kasih telah
menjadi saudara dan panutan yang luar biasa.
5. Ibu PROF. Dr. BERNADETTE M. WALUYO, S.H., M.H., CN., selaku
dosen wali yang telah banyak membantu kelancaran perkuliahan saya
dengan memberikan arahan dan saran dalam penyusunan rencana studi.
6. Jajaran Dekanat serta seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan yang telah memberikan ilmu dan dedikasinya.
7. Para pegawai tata usaha dan para pekarya yang telah membantu dan
mewujudkan proses belajar mengajar yang nyaman selama perkuliahan.
8. BERIL DANIEL SAHALA SINAMBELA, partner in everything. Terima
kasih atas segala doa, dukungan, semangat, bantuan dan khususnya waktu
yang telah diberikan kepada saya.
9. Sahabat-sahabat saya selama berkuliah di Fakultas Hukum, INDAH
PERMATASARI, S.H. (MEME), I DEWA AYU PRAHARVIATA J.,
GRISELDA STACEY GIRSANG, YOSEPHINE FRESCA HARTONO,
RAYMOND KOESWONDO, DHEANDY DWISAPTONO. Terima kasih
atas segala bantuan serta canda tawa yang mewarnai kehidupan
perkuliahan saya selama ini.
10. THERESIA CINDY KURNIAWAN, “my unbiological sister”.
11. VALENCIA SURYAATMAJA, GARRY RYAN HANDELSON,
GAVRIEL GEOVANTHIO, NADYA PURNAMA (BAPEW). Saya
bersyukur telah dipertemukan dengan kalian semua. Terima kasih telah
menjadi teman dan adik-adik yang sangat baik selama ini.
12. Kak ANTON, kak NIXON, kak CLARISSA, NIKO, DOM, dan seluruh
anggota PASKIBRA UNPAR yang telah memberikan bantuan, dorongan,
motivasi dan ‘rumah kedua’ bagi saya.
iv
13. PETRA, IRENE, NADHIRA, teman-teman seperjuangan hukum laut.
14. MARGARETHA (ACI), JOYFULL dan teman-teman angkatan 2014 yang
selama ini telah berjuang bersama.
15. HANA NOVIANA SANJAYA, sahabat sedari SMA.
16. Terakhir kepada seluruh teman-teman di kampus UNPAR dan kepada
pihak-pihak lain yang telah mendukung saya selama ini yang tidak dapat
saya sebutkan satu per satu.
Semoga Tuhan selalu melimpahkan kasih dan berkat-Nya kepada semua
pihak atas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan. Saya menyadari
bahwa dalam penulisan hukum ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, saya mengharapkan adanya masukan baik berupa
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata, saya berharap semoga
penulisan hukum ini dapat berguna dan memberikan nilai tambah serta wawasan
baru bagi semua pihak yang membacanya. Tuhan memberkati.
Bandung, 22 Mei 2018
Ratri Kristina Arum
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
I.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
I.2 Identifikasi Masalah ..................................................................... 12
I.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ..................................................... 12
I.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 13
I.5 Metode Penelitian......................................................................... 13
I.6 Sistematika Penulisan .................................................................. 14
BAB II METODE DELIMITASI ZONA MARITIM ................................. 17
II.1 Delimitasi Zona Maritim .............................................................. 17
II.2 Pengumpulan Data Hidrografi ..................................................... 20
II.3 Metode Delimitasi Zona Maritim ................................................ 20
II.3.1 Metode Sama Jarak (Equidistance Line) .......................... 20
II.3.2 Metode Enclaving ............................................................ 25
II.3.3 Metode Tegak Lurus (Perpendicular) .............................. 26
II.3.4 Metode Paralel dan Meridian ........................................... 27
II.3.5 Metode Garis Paralel ........................................................ 28
vi
II.3.6 Metode Batas Alami (Natural Boundary) ........................ 28
II.3.7 Pendekatan Dua Tahap (Two-stage Approach) ................ 29
II.3.8 Pendekatan Tiga Tahap (Three-stage Approach) ............. 29
II.4 Single Maritime Boundary ........................................................... 30
II.5 Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif yang Tidak
Berimpitan Dengan Garis Batas Landas Kontinen ...................... 31
BAB III ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA-MALAYSIA
DI SELAT MALAKA ....................................................................... 35
III.1 Zona Ekonomi Eksklusif dalam Hukum Laut
Internasional ................................................................................. 35
III.1.1 Hak-Hak Berdaulat dan Yurisdiksi Negara Pantai ........... 38
III.1.2 Hak, Kebebasan, dan Kewajiban Negara Lain ................. 42
III.1.3 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif ................................ 43
III.2 Zona Maritim di Selat Malaka .............................................. 47
III.2.1 Zona Maritim Negara-Negara di Selat Malaka ................ 47
III.2.2 Pengaturan Landas Kontinen tahun 1969 ......................... 49
III.3 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Malaysia di Selat
Malaka .......................................................................................... 52
III.3.1 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan
Klaim Malaysia ................................................................ 52
III.3.2 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan
Klaim Indonesia ............................................................... 53
III.3.3 Klaim Indonesia-Malaysia yang Saling Bertumpang
Tindih ............................................................................... 55
vii
BAB IV PENENTUAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI
EKSKLUSIF YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN
GARIS BATAS LANDAS KONTINEN PADA PROSES
DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA-MALAYSIA DI SELAT MALAKA BAGIAN
UTARA ............................................................................................... 58
IV.1 Potensi Penerapan Metode Delimitasi dalam Penentuan
Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Malaysia di
Selat Malaka Bagian Utara .......................................................... 58
IV.1.1 Pengaruh Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen
tahun 1969 ........................................................................ 58
IV.1.2 Problematik Garis Pangkal ............................................... 60
IV.1.3 Opsi Penentuan Garis Batas ZEE antara Indonesia-
Malaysia di Selat Malaka ................................................. 66
IV.1.4 Single Maritime Boundary: Customary International
Law? .......................................................................................... 68
IV.2 Analisis Penentuan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif
yang Tidak Berimpitan Dengan Garis Batas Landas
Kontinen pada Proses Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia-Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara ...................... 72
IV.3 Konsekuensi Penentuan Garis Batas Zona Ekonomi
Eksklusif yang Tidak Berimpitan dengan Garis Batas
Landas Kontinen .......................................................................... 77
IV.3.1 Konsekuensi Pembagian Zona Maritim ........................... 77
IV.3.2 Konsekuensi Dalam Bidang Eksplorasi dan
Eksploitasi Sumber Daya Alam ....................................... 78
IV.3.3 Pengawasan dan Penegakan Hukum Terhadap
Praktik Illegal Fishing di Selat Malaka ............................ 80
viii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 84
V.1 Kesimpulan .................................................................................. 84
V.2 Saran ............................................................................................. 87
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Garis ekuidistan untuk negara-negara yang berhadapan ..................... 21
Gambar 2. Garis ekuidistan untuk negara-negara yang berdampingan ................ 22
Gambar 3. Garis ekuidistan yang disederhanakan dalam kasus Meksiko v.
Amerika Serikat.................................................................................. 24
Gambar 4. Garis Semi-Enclaved dalam kasus Italia v. Tunisia ............................ 26
Gambar 5. Garis Perpendicular ............................................................................ 27
Gambar 6. Landas Kontinen Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka dan Laut
Cina Selatan........................................................................................ 50
Gambar 7. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia di Selat Malaka ... 51
Gambar 8. Area Overlapping di Selat Malaka Bagian Utara................................ 56
Gambar 9. Garis Pangkal Malaysia dan Garis Batas Landas Kontinen di Selat
Malaka Bagian Utara .......................................................................... 65
Gambar 10. Ilustrasi Luas Zona Maritim Malaysia .............................................. 66
Gambar 11. the Bay of Bengal Case - Overlapping Area ..................................... 73
Gambar 12. Overlapping Area dalam Penentuan Garis Batas ZEE Indonesia-
Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara ............................................. 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (KHL PBB 1982) merupakan satu
Konvensi yang mengatur masalah kelautan secara utuh dan terpadu sebagai satu
kesatuan.1 KHL PBB 1982 dibentuk untuk menggantikan Konvensi Hukum Laut
Jenewa 1958 (KHL Jenewa 1958). Sebagai pranata hukum laut yang baru, KHL
PBB 1982 tetap mengatur pranata-pranata hukum laut yang sebelumnya telah
diatur di dalam KHL Jenewa 1958. Pranata hukum laut tersebut antara lain
Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Konvensi tentang Laut
Lepas, serta Konvensi tentang Landas Kontinen. Walaupun ketiga pranata hukum
laut tersebut masih tetap diatur dalam KHL PBB 1982, tetapi substansinya telah
banyak mengalami perubahan. Sedangkan Konvensi tentang Perikanan dan
Pengonservasian Sumber Daya Hayati Laut Lepas tidak secara eksplisit diatur
dalam KHL PBB 1982, namun isi pranata tersebut telah melebur menjadi satu di
dalamnya.
Selain mengatur pranata hukum laut yang telah diatur dalam KHL Jenewa
1958, KHL PBB 1982 juga mengatur pranata-pranata hukum laut yang baru
sesuai dengan perkembangan yang ada. Salah satu pranata hukum tersebut ialah
zona ekonomi eksklusif (ZEE). ZEE juga dikenal sebagai fishing zone2 atau zona
perikanan. Konsep ZEE ini sebenarnya sudah mulai tercermin dalam Proklamasi
Presiden Harry S. Truman pada tanggal 28 September 1945 khususnya proklamasi
yang pertama yakni tentang Perikanan.3 ZEE merupakan sebuah konsep yang
1 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, (Bandung: Yrama
Widya, 2014) , hal 22. 2 Mohd Hazmi Bin Mohd Rusli,at al. Erecting Malaysia’s Maritime Fence Over the Straits of
Malacca and Singapore, (Wollongong: Research Online University of Wollongong,2014). hal 3. 3 I Wayan Parthiana, Op.cit. hal 143.
2
telah mendapatkan dukungan secara internasional mulai sejak proses perundingan
pembentukan KHL PBB 1982. Dalam KHL PBB 1982, ZEE diatur pada Bab V.4
Secara umum ZEE dapat didefinisikan sebagai berikut:5
“Bagian perairan (laut) yang terletak di luar dari dan berbatasan dengan
laut teritorial selebar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal
darimana lebar laut teritorial diukur.”
Berdasarkan pengertian tersebut, ZEE bukan merupakan wilayah negara sehingga
negara tidak memiliki kedaulatan atasnya. Negara hanya memiliki hak berdaulat
yang terbatas pada perairannya saja. Dasar laut dan tanah dibawah perairan
tersebut bukan merupakan bagian dari ZEE.
Negara pantai memiliki hak-hak berdaulat atas perairan ZEE untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi, mengonservasi dan mengelola sumber daya
alam baik hayati maupun non-hayati. Negara pantai juga dapat melakukan
kegiatan lain yang mendukung kegiatan pengeksplorasian dan pengeksploitasian,
pengonservasian dan pengelolaan sumber daya alam. Hak-hak tersebut secara
khusus atau eksklusif diberikan kepada negara pantai.6 Selain hak eksklusif,
negara pantai juga memiliki yurisdiksi di ZEE. Yurisdiksi ini antara lain
berkenaan dengan:
- pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan;
- penelitian ilmiah kelautan;
- perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Negara pantai yang berhadapan dengan perairan laut lepas di luar laut
teritorialnya dapat mengajukan klaim atas ZEE, salah satunya ialah Negara
Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak
di kawasan Asia Tenggara. Klaim atas negara kepulauan telah dilakukan
Indonesia melalui Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara
Republik Indonesia tanggal 13 Desember 1957 yang dikenal dengan nama
4 Victor Prescott & Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World, (Leiden:
Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hal 19. 5 I Wayan Parthiana, Op.cit. hal 144.
6 Ibid. hal 147.
3
Deklarasi Djuanda.7 Deklarasi Djuanda menjadi dasar konsepi Wawasan
Nusantara. Konsepi Wawasan Nusantara tersebut telah diakui secara internasional
melalui KHL PBB 1982 dalam Bab IV tentang Negara Kepulauan (Archipelagic
States).
Indonesia memiliki zona maritim seluas 5,8 juta km² yang meliputi antara
lain laut teritorial seluas 0,3 juta km², perairan kepulauan seluas 2,8 juta km², serta
ZEE seluas 2,7 juta km².8 Berada di lokasi yang strategis, secara geografis
wilayah Indonesia terletak pada 6° LU (Lintang Utara) – 11° LS (Lintang Selatan)
dan 95° BT (Bujur Timur) – 141° BT (Bujur Timur), diapit oleh dua benua yakni
Benua Asia dan Benua Australia, serta diapit juga oleh dua samudera yakni
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.9 Sebagai negara yang diapit oleh dua
benua dan dua samudera, Indonesia memiliki zona maritim yang secara langsung
berbatasan dengan sepuluh negara. Negara-negara tersebut antara lain India,
Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia
dan Timor Leste.10
Dengan demikian, Indonesia dan negara-negara tetangganya
harus menetapkan garis-garis batas zona maritimnya masing-masing. Indonesia
telah membuat perjanjian garis batas zona maritimnya dengan seluruh negara
tetangga, kecuali negara Timor Leste dan Palau.11
Perjanjian garis batas zona
maritim tersebut antara lain:
1. Indonesia dan Malaysia
Persetujuan garis batas zona maritim antara Indonesia dan Malaysia
dituangkan ke dalam tiga buah perjanjian yakni dua perjanjian bilateral
antara Indonesia dan Malaysia, serta satu perjanjian trilateral antara
Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Perjanjian yang pertama adalah
perjanjian garis batas landas kontinen di kawasan Selat Malaka dan
7 Ibid. hal 277.
8 Arif Havas Oegroseno, “Indonesia’s Maritime Boundaries” dalam Indonesia Beyond the Water’s
Edge: Managing an Archipelagic State, (Singapore: ISEAS, 2009), hal 49. 9 Ruangguru, Letak Geografis dan Letak Astronomis Indonesia, https://blog.ruangguru.com/letak-
geografis-dan-letak-astronomis-indonesia, diakses pada 1 Desember 2017. 10
Arif Havas Oegroseno, Op.cit. hal 54. 11
Ibid.
4
kawasan Laut Cina Selatan yang ditandatangani padal tanggal 27 Oktober
1969 (Agreement between the Government of Malaysia and the
Government of Indonesia on the Delimitation of the Continental Shelves
between the Two Countries).
Perjanjian kedua mengenai garis batas laut teritorial di Selat Malaka
dituangkan ke dalam Treaty between the Republic of Indonesia and
Malaysia Relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the Two
Countries in the Strait of Malacca, ditandatangani pada 17 Maret 1970.
Perjanjian ketiga merupakan perjanjian trilateral antara Indonesia,
Malaysia dan Thailand mengenai landas kontinen di bagian utara Selat
Malaka.12
Perjanjian tersebut ditandatangani di Kuala Lumpur pada
tanggal 21 Desember 1971 dengan nama Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia, the Government of Malaysia,
and the Government of the Kingdom of Thailand Relating to the
Delimitation of the Continental Shelf Boundaries in the Northern Part of
the Straits of Malacca.
2. Indonesia dan Australia
Indonesia dan Australia telah membuat perjanjian garis batas landas
kontinen yang dituangkan ke dalam dua persetujuan. Kedua persetujuan
tersebut menggunakan istilah “daerah dasar laut tertentu” yang sebenarnya
berisi kesepakatan mengenai landas kontinen, kecuali untuk kawasan di
pantai utara antara Indonesia dan Papua Nugini yang sebagian mengatur
garis batas dasar laut teritorial masing-masing pihak.13
Perjanjian yang pertama yakni Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia tentang Penetapan
Batas-batas Dasar Laut Tertentu (Agreement between the Government of
the Republic of Indonesia and the Government of the Commonwealth of 12
Ibid. hal 55. 13
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional, (Bandung: Mandar
Maju, 2005). hal 112.
5
Australia Establishing Certain Seabed Boundaries) yang ditandatangani
pada 18 Mei 1971.
Perjanjian kedua yakni Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerinatah Commonwealth of Australia tentang Penetapan Garis
Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Arafuru dan Laut Timor (Agreement
between the Government of the Republic of Indonesia and the Government
of the Commonwealth of Australia Establishing Certain Seabed
Boundaries in the Area of the Timor and Arafura Sea) ditandatangani pada
9 Oktober 1972.14
Selain itu, Indonesia dan Australia telah membuat perjanjian garis batas
ZEE di Laut Arafuru menuju Samudera Hindia yang berada di bagian
selatan Pulau Jawa melalui perjanjian dengan nama Treaty between the
Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
Establishing an Exclusive Economic Zone Boundary and Certain Seabed
Boundaries, yang ditandatangani pada 14 Maret 1997.15
3. Indonesia dan Thailand
Zona maritim Indonesia dan Thailand terletak di bagian utara Selat Malaka
dan di Laut Andaman. Perjanjian garis batas landas kontinen antara
Indonesia dan Thailand dituangkan ke dalam perjanjian bilateral yakni
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara
Kedua Negara di Bagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman
(Agreement between the Republic of Indonesia and the Government of the
Kingdom Thailand relating to the Delimitation of a Continental Shelf
Boundary between the Two Countries in the Northern Part of the Straits of
14
Arif Havas Oegroseno, Op.cit. hal 56. 15
Maritime Boundary Delimitation Agreement and Other Material with Australia, www.un.org/
depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/STATEFILES/IDN.htm, diakses pada 9 Maret 2018,
pukul 04.44.
6
Malacca and in the Andaman Sea) yang ditandatangani pada tanggal 17
Oktober 1971.16
4. Indonesia dan Papua Nugini
Indonesia dan Papua Nugini telah membuat dua buah perjanjian garis
batas zona maritim. Perjanjian pertama yakni perjanjian garis batas
tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini yang ditandatangani oleh
Indonesia dan Australia pada tanggal 12 Februari 1973.
Perjanjian kedua antara Indonesia dan Papua Nugini tentang garis batas
maritim (yang mencakup garis batas laut teritorial, garis batas dasar laut
dan tanah di bawahnya di bawah laut teritorial, garis batas ZEE, dan garis
batas landas kontinen) di Samudera Pasifik yang ditandatangani pada 13
Desember 1980.
5. Indonesia dan Singapura
Indonesia dan Singapura telah membuat dua buah perjanjian yang
berkaitan dengan laut teritorial di Selat Singapura. Perjanjian yang
pertama yakni Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic
of Singapore Relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the
Two Countries in the Strait of Singapore yang ditandatangani pada tanggal
25 Mei 1973.
Perjanjian kedua yakni Treaty between the Republic of Indonesia and the
Republic of Singapore Relating to the Delimitation of the Territorial Seas
of the Two Countries in the Western Part of the Strait of Singapore yang
ditandatangani pada 10 Maret 2009.
6. Indonesia dan India
Zona maritim Indonesia dan India terletak di antara Pulau Sumatera dan
Pulau Nikobar (Laut Andaman).17
Dalam zona maritim tersebut, Indonesia
16
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam ..., Op.cit. hal 110. 17
Arif Havas Oegroseno, Op.cit. hal 54.
7
dan India membuat perjanjian garis batas landas kontinen, yaitu
Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Republik India tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara
Kedua Negara (Agreement between the Government of the Republic of
Indonesia and the Government of the Republic of India relating to the
Delimitation of the Continental Shelf between the Two Countries) yang
ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974.18
Kemudian pada
tanggal 14 Januari 1977 kedua negara menandatangani persetujuan tentang
perpanjangan garis batas landas kontinen 1974 antara kedua negara di Laut
Andaman dan Samudera Hindia.19
7. Indonesia dan Vietnam
Indonesia dan Vietnam telah membuat perjanjian garis batas landas
kontinen, yaitu Agreement between the Government of the Socialist
Republic of Vietnam and the Government of the Republic of Indonesia
Concerning the Delimitation of the Continental Shelf Boundary yang
ditandatangani pada 26 Juni 2003.
8. Indonesia dan Filipina
Indonesia dan Filipina pun telah membuat perjanjian garis batas ZEE di
Laut Sulawesi dengan nama Agreement between the Government of the
Republic of Indonesia and the Government of the Republic of the
Philippines concerning the Delimitation of the Exclusive Economic Zone
Boundary tahun 2014.
Dari sekian banyak perjanjian garis batas maritim yang telah dibuat, hanya
perjanjian antara Indonesia-Australia dan Indonesia-Papua Nugini saja yang
pengaturannya telah mencakup seluruh zona maritim yang dimiliki Indonesia-
Australia-Papua Nugini secara bersama-sama. Dengan demikian, masih terdapat
beberapa zona maritim Indonesia yang bersinggungan dengan zona maritim
18
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam ..., Op.cit. hal 116. 19
Ibid. hal 117.
8
negara tetangga yang masih harus dibatasi, salah satunya ialah ZEE antara
Indonesia dan Malaysia.
Salah satu permasalahan delimitasi ZEE antara Indonesia dan Malaysia
terletak di Selat Malaka bagian utara. Sebagai negara pantai yang saling berbagi
Selat Malaka, Indonesia dan Malaysia telah memiliki perjanjian garis batas landas
kontinen yang dibuat pada tahun 1969, salah satunya ialah garis batas landas
kontinen di Selat Malaka.20
Pembuatan perjanjian landas kontinen tahun 1969
Indonesia dan Malaysia mengacu pada Konvensi tentang Landas Kontinen 1958.
Dalam perjanjian tersebut, terdapat titik-titik serta koordinat yang gunakan
sebagai titik penentu untuk menciptakan sebuah garis batas. Titik-titik dan
koordinat tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) poin A dan terdiri dari 10 titik.
Titik-titik serta koordinat tersebut membentuk sebuah garis lurus yang
membatasi landas kontinen Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka. Garis batas
landas kontinen yang dimulai dari titik 1 hingga titik 10 tersebut berjarak 399 mil
laut.21
Penetapan garis batas landas kontinen tersebut menggunakan metode
equidistance principle yang bertujuan membagi Selat Malaka secara adil dan
seimbang. Penarikan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di
Selat Malaka diukur dengan menggunakan garis pangkal lurus. Hal tersebut
disetujui oleh Indonesia agar Malaysia memberikan dukungannya terhadap klaim
Indonesia atas negara kepulauan.22
Penarikan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di
Selat Malaka yang diukur berdasarkan garis pangkal lurus menimbulkan masalah
dalam hal penentuan ZEE diatasnya. Terlebih karena Indonesia dan Malaysia
telah setuju untuk terikat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Permasalahan
tersebut timbul akibat adanya perbedaan klaim yang diajukan masing-masing
20
Mohd Hazmi Bin Mohd Rusli,at al. Op. cit. hal 6. 21
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of
Malaysia relating to the Delimitation of the Continental Shelves between the Two Countries
(Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan
Garis Batas Landas Kontinen antara Kedua Negara), mulai berlaku tanggal 7 November 1969. 22
Vivian Louis Forbes, Indonesia’s Delimited Maritime Boundaries, (Berlin: Springer, 2014), hal
41.
9
negara atas ZEE. Hingga kini, Indonesia dan Malaysia masih melakukan
perundingan untuk menentukan garis batas ZEE tersebut.
Dalam sengketa garis batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat
Malaka bagian utara, para pihak mengajukan klaim yang berbeda. Malaysia
menginginkan garis batas ZEE ditentukan dengan satu garis pembatas saja yakni
garis yang sama yang digunakan dalam kesepakatan yang tertera pada perjanjian
garis batas landas kontinen yang dibuat oleh Indonesia dan Malaysia pada tahun
1969. Malaysia mengklaim penggunaan satu garis batas tersebut merupakan
bagian dari kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi. Di sisi lain, pihak
Indonesia menyatakan bahwa landas kontinen dan ZEE merupakan dua hal yang
berbeda dan diatur oleh pranata hukum laut masing-masing. Oleh karena itu,
Indonesia menginginkan pengaturan terhadap garis batas ZEE ditentukan secara
lain, yakni berbeda dari penetapan garis batas landas kontinen dengan menerapkan
garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen.
Pengaturan delimitasi ZEE diatur dalam Pasal 74 Konvensi Hukum Laut
PBB 1982. Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut PBB 1982 menyatakan:23
“The delimitation of the exclusive economic zone between States with
opposite or adjacent coasts shal be effected by agreement on the basis of
international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the
International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution”.
Dari penjabaran tersebut, prosedur delimitasi ZEE bagi negara pantai yang saling
berhadapan atau berdampingan harus dilaksanakan melalui perjanjian. Perjanjian
mengenai ZEE tersebut didasarkan pada kaidah hukum internasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dengan tujuan untuk
mencapai solusi yang adil. Sedangkan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
23
Article 74 (1) United Nations Convention on the Law of the Sea, opened for signature 10
December 1982, 1833 UNTS 3 (entered into force 16 November 1994).
10
hanya menjabarkan sumber-sumber hukum yang dapat digunakan apabila terjadi
sengketa, antara lain:24
a. konvensi-konvensi internasional, baik umum maupun khusus yang secara
jelas diakui oleh negara-negara peserta;
b. Kebiasaan internasional;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab.
d. Putusan pengadilan sebagaimana tunduk pada Pasal 59 Statuta Mahkamah
Internasional.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dijabarkan diatas, pengaturan
mengenai delimitasi ZEE tidak dijelaskan secara lebih lanjut. Pengaturan
delimitasi ZEE yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 tersebut
terbatas pada bentuk yakni harus dibuat dalam bentuk perjanjian antarnegara yang
didasarkan pada kaidah hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai solusi
yang adil. Konvensi tidak mengatur secara rinci prosedur, metode serta proses
delimitasi ZEE yang dapat dilakukan. Namun demikian, pada kenyataannya
terdapat sengketa delimitasi ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka
bagian utara dimana kedua negara tersebut belum memiliki perjanjian garis batas
ZEE. Sengketa tersebut juga menimbulkan pertentangan di antara kedua negara
dalam menerapkan garis batas yang akan digunakan.
Pertentangan tersebut dapat menimbulkan permasalahan khususnya
menyangkut kepastian hukum dan penegakan hukum. Kedua negara yang
bersengketa tidak memiliki kepastian terhadap batas-batas wilayah ZEE-nya. Hal
24
Article 38 (1) Statute of International Court of Justice:
The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are
submitted to it, shall apply:
a. International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly
recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most
highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination
of rule of law.
11
ini akan berimplikasi pada pelaksanaan hak-hak berdaulat kedua negara tersebut.
Penerapan satu garis batas yang sama antara landas kontinen dan ZEE
sebagaimana diusulkan oleh Malaysia dan penggunaan dua garis batas yang
berbeda antara kedua pranata hukum laut sebagaimana diusulkan oleh Indonesia
tentu saja akan menimbulkan akibat hukumnya masing-masing.
Permasalahan mengenai delimitasi zona maritim khususnya mengenai
ZEE antara Indonesia dan Malaysia bukan merupakan kasus pertama yang terjadi
di dunia. Permasalahan yang serupa pernah dialami oleh Bangladesh dan
Myanmar yang kemudian diputus berdasarkan putusan International Tribunal for
the Law of the Sea (ITLOS) nomor 16, pada tanggal 14 Maret 2012.25
Sengketa
tersebut berawal dari tidak adanya perjanjian garis batas khususnya berkenaan
dengan garis batas ZEE antara Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala.
Sedangkan pengaturan mengenai garis batas ZEE menurut Konvensi Hukum Laut
PBB tahun 1982 harus dituangkan ke dalam perjanjian antarnegara. Adanya
kepentingan yang dimiliki kedua negara dalam ZEE tersebut mendorong kedua
belah pihak untuk berunding dalam menentukan garis batas ZEE di Teluk
Benggala.
Dalam proses negosiasi, kedua negara mengajukan sistem penerapan garis
batas yang berbeda. Myanmar mengajukan penerapan equidistance line,
sedangkan Bangladesh mengajukan penggunaan equitable principle. Baik
penerapan equidistance line maupun equitable principle sama-sama akan
menimbulkan akibat hukum tertentu bagi kedua belah pihak. Pada akhirnya
sengketa tersebut dapat terselesaikan dengan dikeluarkannya putusan yang
memperbolehkan pemisahan dua pranata hukum yakni landas kontinen dan ZEE
di area sengketa tersebut.26
Sehingga pada wilayah landas kontinen Bangladesh
yang berimpitan dengan ZEE Myanmar tersebut, Myanmar dapat menikmati
25
Dispute Concerning Delimitation of the Maritime Boundary between Bangladesh and Myanmar
in the Bay of Bengal, Bangladesh v. Myanmar, 2012, ITLOS case number 16. 26
Khurshed Alam, Delimitation of Maritime Boundary between Bangladesh and Myanmar by the
ITLOS. The Northern University Journal of Law. Vol. 3. 2012. hal 14.
12
haknya terhadap kolom air di Teluk Benggala, sedangkan Bangladesh memiliki
hak terhadap dasar laut dan tanah dibawahnya.27
Berdasarkan paparan di atas, terdapat kemungkinan adanya kemiripan
antara sengketa garis batas ZEE Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian
utara dengan kasus Bangladesh v. Myanmar di Teluk Benggala. Berangkat dari
permasalahan tersebut, maka potensi penerapan garis batas ZEE Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka bagian utara akan dibahas dengan merujuk pada kasus
Bangladesh v. Myanmar sebagai acuan maupun merujuk ke dalam ketentuan-
ketentuan KHL PBB 1982. Dengan demikian, maka perlu dilakukan analisis lebih
lanjut yang dituangkan ke dalam sebuah penelitian hukum.
I.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah yang akan diteliti
adalah sebagai berikut:
1. Apakah garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas landas
kontinen dalam proses delimitasi ZEE dapat diterapkan dalam sengketa garis
batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian utara?
2. Bagaimana implikasi dari penentuan garis batas ZEE yang tidak berimpitan
dengan garis batas landas kontinen dalam proses delimitasi ZEE Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka bagian utara?
I.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun maksud dan tujuan penelitian yang hendak dicapai penulis antara lain:
1. Untuk mengetahui dan memahami secara jelas apakah garis batas ZEE yang
tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen dalam proses delimitasi
27
Ibid.
13
ZEE dapat diterapkan dalam sengketa garis batas ZEE antara Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka bagian utara.
2. Untuk memahami secara lebih mendalam bagaimana implikasi dari penentuan
garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen
dalam proses delimitasi ZEE Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian
utara.
I.4 Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian dapat menghasilkan manfaat, baik dari segi teoritis
maupun praktis. Manfaat teoritis yang dapat diperoleh yakni membantu
pemahaman terhadap ilmu hukum pada umumnya dan hukum laut pada
khususnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengetahuan mengenai hukum laut. Dalam segi praktis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pemikiran bagi
pengajar hukum laut maupun praktisi. Serta memberikan pandangan dan masukan
kepada pemerintah dalam upaya menetapkan garis batas ZEE di Selat Malaka
bagian utara.
I.5 Metode Penelitian
Metode penelitian penting digunakan dalam melaksanakan suatu
penelitian agar penelitian tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Penelitian ini
akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode
ini menunjuk pada metode penelitian dengan menganalisis data dan
menghubungkannya dengan aturan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan.28
Dalam penelitian tersebut, teknik pengumpulan data yang
akan digunakan adalah studi kepustakaan, yakni menelaah sumber-sumber data
28
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, “Bahan Dasar yang Diteliti”, dalam buku Penelitian
Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal 23.
14
yang diperoleh yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data sekunder
diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari
sumber-sumber kepustakaan. Data sekunder yang akan digunakan terdiri dari:
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berisi kaidah hukum yang
mengikat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan
meliputi Konvensi dan pelbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, sserta sumber-sumber hukum lain
yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisa dalam penelitian.
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berisi kaidah hukum yang
tidak mengikat. Pada dasarnya bahan hukum sekunder digunakan untuk
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum
sekunder umumnya berupa doktrin, buku, dan jurnal hukum yang relevan dan
terkait dengan penelitian yang dilakukan.
Selain mempergunakan data sekunder yang telah disebutkan di atas, penulisan
hukum ini akan dilengkapi pula dengan data tambahan yang diperoleh dari
wawancara dengan narasumber Bapak Sora Lokita, selaku Kepala Bidang
Perundingan Batas Maritim dan Penyelesaian Sengketa, Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman Republik Indonesia.
I.6 Sistematika Penulisan
Bagian ini menjelaskan sistematika penulisan laporan secara utuh ke
dalam 5 (lima) bab, antara lain:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab I merupakan bab yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
maksud dan tujuan penelitian, metode penelitian yang akan digunakan, serta
sistematika penulisan.
15
BAB II: METODE DELIMITASI ZONA MARITIM
Bab II akan berisi penjelasan secara rinci mengenai macam-macam metode
delimitasi secara umum termasuk penerapan garis batas ZEE yang tidak
berimpitan dengan garis batas landas kontinen mengacu pada putusan ITLOS
dalam kasus delimitasi ZEE Bangladesh v. Myanmar di Teluk Benggala.
BAB III: ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA-MALAYSIA DI
SELAT MALAKA
Bab III akan menjelaskan secara detail mengenai ZEE secara umum beserta
pengaturannya dan ZEE Indonesia-Malaysia di Selat Malaka bagian utara
meliputi posisi dan letak zona maritim kedua negara, pengaturan-pengaturan yang
telah dibuat oleh kedua negara tersebut, serta potensi-potensi yang timbul dalam
penggunaan metode delimitasi pada proses delimitasi ZEE antara Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka bagian Utara.
BAB IV: PENENTUAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN GARIS BATAS LANDAS
KONTINEN PADA PROSES DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA-MALAYSIA DI SELAT MALAKA BAGIAN UTARA
Bab IV akan menjelaskan analisis mengenai potensi penentuan garis batas ZEE
yang tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen untuk menetapkan garis
batas ZEE Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian utara serta membahas
konsekuensi dari penerapan garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis
batas landas kontinen tersebut.
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
16
Bab ini merupakan bagian terakhir yang akan berisi suatu kesimpulan atas hasil
penelitian bersamaan dengan jawaban atas permasalahan yang akan diteliti. Selain
itu, penulis juga akan memberikan beberapa saran untuk menyelesaikan persoalan
hukum yang dibahas dalam penelitian.