24
1 UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUANYA (Studi Kasus: Perceraian Dhani Ahmad Prasetyo dengan Maia Estianty dengan Nomor Putusan Perkara: 1514/Pdt.G/2007/PAJS) NASKAH RINGKAS ZASKIA RIDYANTI PUTRI 0906627625 FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK JANUARI 2013 Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

1

UNIVERSITAS INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN PEMELIHARAAN

ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUANYA

(Studi Kasus: Perceraian Dhani Ahmad Prasetyo dengan Maia Estianty

dengan Nomor Putusan Perkara: 1514/Pdt.G/2007/PAJS)

NASKAH RINGKAS

ZASKIA RIDYANTI PUTRI

0906627625

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM SARJANA REGULER

DEPOK

JANUARI 2013

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

2

ABSTRAK

Nama : Zaskia Ridyanti Putri

Program Studi : Program Kekhususan Hukum tentang Sesama Anggota

Masyarakat

Judul :Tinjauan Yuridis Terhadap Eksekusi Putusan Pemeliharaan Anak

Akibat Perceraian Orang Tuanya (Studi Kasus: Perceraian

Dhani Ahmad Prasetyo dengan Maia Estianty dengan Nomor

Putusan Perkara: 1514/Pdt.G/2007/PAJS).

Perceraian merupakan salah satu peristiwa dalam hidup yang tidak diinginkan

oleh siapapun. Selain berdampak kepada masing-masing pihak, anak seringkali

menjadi pihak yang terkena dampak dari perceraian. Salah satu dampak yang paling

sering terjadi, yang menimpa anak, adalah mengenai pelimpahan hak atas

pemeliharaan anak. Salah satunya kasus yang penulis angkat ke dalam skripsi

penulis. Dalam studi kasus dalam skripsi penulis, hak pemeliharaan atas anak jatuh ke

pihak istri namun sampai saat penulis menulis skripsi ini ketiga anak mantan

pasangan suami istri tersebut masih berada di tangan sang mantan suami. Pihak yang

memiliki hak asuh anak seolah tidak berdaya dalam mengupayakan sebuah upaya

hukum guna bersama anak-anaknya padahal sudah jelas hak atas pemeliharaan anak

jatuh ke tangan nya. Pada skripsi penulis, penulis meninjau aspek yuridis dari

eksekusi anak atas hak pemeliharaan atas anak yang timbul akibat perceraian.

Kata kunci: pemeliharaan anak, eksekusi, hak, perceraian.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

3

ABSTRACT

Name : Zaskia Ridyanti Putri

Study Program : Specific Program of Law about the Relationship between

Peer of Community Member

Title : The Law Review on the Execution of the Decision of Child

Custody Due to Parental Divorce (Case Study: Case Divorce

between Ahmad Dhani Prasetyo and Maia Estianty with

Number of Case Decision: 1514/Pdt.G/2007/PAJS).

Divorce is one of the events in life that is not wanted by anyone. In addition to

the impact of each party, children are more likely to be affected by divorce. One of

the effects, that most commonly affect the children, is the transfer of rights over child

care/custody. One of these cases the authors adopted into this thesis. In the case study

of this thesis, custody of the children fell into the wife but to date the author wrote

this essay, three sons of former spouse are still in the hands of her ex-husband. Parties

who have custody of children as helpless in pursuing a legal remedy to their children

when it was clear the rights for the maintenance of children falling into their hands. In

this thesis, the legal aspects of the execution of the child to the custody of the

children resulting from divorce is analyzed and reviewed.

Keywords: Child custody, execution, right, divorce.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

4

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Perkawinan merupakan

suatu ikatan yang sakral dimana di dalamnya terdapat kewajiban dan hak yang

dimiliki oleh masing-masing pihak, yaitu suami dan istri. Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengenal azas keseimbangan dalam perkawinan

dimana suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Azas

keseimbangan tersebut terurai dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini berbeda dengan apa yang di atur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dimana seorang istri tidak mempunyai kecapakan dimata

hukum. Perihal Perkawinan telah diatur menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan yang kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan

Pemerintah no. 9 Tahun 1975.

Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang pengaturan Hak Asuh Anak, penulis

mengangkat masalah perkawinan yaitu perceraian Dhani Ahmad Prasetyo dengan

Maia Estianty. Penulis membahas kasus tersebut menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai

pelaksana Undang-undang Perkawinan, dan Undang-Undang No. 23 tentang

Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pertada (KUH Perdata) sebagai akibat dari suatu perkawinan. Dhani Ahmad

Prasetyo adalah lelaki beragama Islam yang mempunyai pekerjaan sebagai

wiraswasta, dalam hal ini artis, yang merupakan pihak Tergugat dalam kasus

perceraian dengan mantan istrinya. Sedangkan Maia Estianty ialah seorang wanita

beragama Islam, yang memiliki pekerjaan yang sama dengan mantan suaminya, yang

dalam proses cerai ini merupakan pihak Penggugat. Mantan pasangan suami istri ini

menikah di Kantor Urusan Agama Tegalsari, Surabaya pada tanggal 26 Mei 1997,

1 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974, TLN No.

3019, pasal 1.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

5

setelah sebelumnya menikah secara Islam pada tanggal 17 November 19962. Kasus

perceraian yang menimpa mantan pasangan suami istri ini termasuk ke dalam kasus

yang menempuh proses yang cukup lama. Perkara ini terus berlanjut sampai ke

tingkat Mahkamah Agung akibat ketidakpuasan Ahmad Dhani terhadap putusan

pengadilan yang menjatuhkan Hak Asuh Anak-anaknya kepada Maia Estianty.

Sebelum menggugat cerai ke Pengadilan Agama, Maia dan Dhani terlibat perang

dingin. Mereka saling adu argumen di media dan saling tuduh. Maia menuding Dhani

memiliki hubungan khusus dengan Mulan. Sedangkan Dhani menuduh wanita asal

Surabaya itu berselingkuh dengan salah satu pemilik televisi swasta di Indonesia.

Merasa yakin rumah tangganya tak bisa diperbaiki, akhirnya Maia menggugat cerai

Ahmad Dhani ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 16 November 2007.

Perceraian pasangan ini juga diwarnai dengan aksi saling melapor ke polisi.

Maia melaporkan Dhani kepolisi dengan tuduhan melakukan kekerasan dalam rumah

tangga. Proses perceraian mereka juga berjalan alot karena pasangan ini saling tak

mau mengalah. Proses perceraian Ahmad Dhani dengan Maia Estianty yang

menyangkut harta gono gini juga mempersulit keadaan. Setelah meminta agar Maia

ikut menanggung hutang milyaran rupiah, Dhani melakukan somasi menuntut istrinya

itu membeberkan kekayaannya. Jika tidak bersedia, Maia dianggap menggelapkan

harta dan akan dilaporkan pidana. Menanggapi gugatan balik pihak Dhani, yang

meminta Maia agar ikut menanggung hutang bernilai puluhan milyar rupiah, pihak

Maia mempersilakan agar hal itu dibuktikan di Pengadilan. Persidangan mereka

merupakan persidangan yang paling lama hampir berjalan satu tahun lebih. Akhirnya,

Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan gugatan cerai yang diajukan

Maia pada 23 September 2008 dengan Nomor Putusan Perkara:

1514/Pdt.G/2007/PAJS. Dalam putusan perceraian Ahmad Dhani dan Maia Estianty

itu hakim juga memutuskan Hak Asuh Anak jatuh pada Maia dan Dhani wajib

memberikan nafkah untuk anak-anaknya sebesar Rp7.500.000/bulan bagi satu anak.

Bila memperhatikan amar putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan jelas

2 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

6

sudah bahwa Hak Asuh Anak jatuh kepada Maia Estianty dan Ahmad Dhani wajib

menafkahi anak mereka sebesar Rp7.500.000/bulan untuk satu orang anaknya. Meski

demikian, Maia tak bisa bersama ketiga anaknya. Hal ini merupakan suatu

kejanggalan yang terjadi dalam proses eksekusi Hak Asuh Anak tersebut. Dhani tak

memberikan izin Maia mendekati anak-anaknya padahal sudah jelas bahwa Hak Asuh

Anak jatuh ke tangan Maia Estianty. Mereka pun berseteru soal perebutan Hak Asuh

Anak. Untuk kasus ini, Maia dan Dhani melibatkan Komisi Perlindungan Anak

Indonesia3 dan juga Kak Seto dari Komisi Nasional Perlindungan Anak

4. Dhani

mengajukan banding. Tetapi, karena belum memenuhi syarat banding, maka

bandingnya dibatalkan. Tak berhenti di situ, Dhani mengajukan kasasi Pada tanggal

12 Januari 2011, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang

memenangkan Maia hasil dari kasasi yang diajukan oleh Ahmad Dhani. Hak

Asuh Anak berada di tangan Maia. Ahmad Dhani masih belum bisa menerima

dan sedang melakukan peninjauan kembali tentang keputusan MA tersebut.

Permasalahan hukum yang terdapat dalam kasus perceraian antara Ahmad

Dhani dan Maia Estianty ini membuat penulis tergerak untuk membahasnya sebagai

pokok bahasan dalam skripsi penulis. Penulis mengkhususkan pembahasan mengenai

hak asuh atas anak yang sampai saat ini masih jadi permasalahan diantara Ahmad

Dhani dan Maia Estianty. Berdasarkan hukum yang berlaku melalui putusan

pengadilan, jelas bahwa hak asuh ketiga anak Ahmad Dhani dan Maia Ahmad jatuh

kepada Maia Ahmad. Dengan begitu, Maia mempunyai hak untuk melakukan

eksekusi atas kepemilikan Hak Asuh Anak yaitu mengambil ketiga anaknya dari

Ahmad Dhani. Kemudian di lain pihak, Ahmad Dhani masih saja bisa tinggal dengan

ketiga anaknya walaupun ia tidak memiliki hak asuh atas ketiga anaknya. Hal tersebut

ia lakukan tanpa adanya alas hukum yang sah karena sampai tingkat Mahkamah

Agung pula, hak asuh atas anak masih jatuh ke tangan Maia Estianty. Berdasarkan hal

3 Lembaga Independen yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara yang dibentuk

berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan Pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002 4 Komisi Nasional Perlindungan Anak adalah sebuah wahana masyarakat yang independen yang dibuat

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang

Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

7

tersebut, timbullah pertanyaan bagaimanakah pengaturan mengenai eksekusi atas Hak

Asuh Anak akibat perceraian? Apabila pihak yang tidak memiliki Hak Asuh Anak

tidak mau menjalankan putusan apakah hal tersebut termasuk sebuah pelanggaran

hukum dan apa dasar hukumnya karena seperti yang kita ketahui tidak ada peraturan

di Indonesia yang mengatur eksekusi terhadap manusia? Hal apa yang dapat

dilakukan oleh pihak yang memiliki hak asuh atas anak akibat perceraian terhadap

pihak yang tidak memiliki hak asuh tersebut agar ia bisa mendapatkan anak-anaknya?

Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis merasa perlu untuk

membahas mengenai eksekusi atas Pemeliharaan Anak akibat perceraian dengan studi

kasus perceraian Dhani Ahmad Prasetyo dengan Maia Estianty dengan Nomor

Putusan Perkara 1514/Pdt.G/2007/PAJS.

Amar putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan jelas

mengatakan bahwa hak atas pemeliharaan anak atas ketiga anak Maia-Dhani jatuh

ketangan Maia Estianty, namun pada praktek eksekusinya ketiga anak Maia-Dhani

masih berada dibawah asuhan Ahmad Dhani yang artinya menyalahi putusan hakim.

Berdasarkan fakta tersebut terdapat beberapa pokok permasalahan yang perlu

diperhatikan lebih lanjut, yakni sebagai berikut:

a. Bagaimana proses eksekusi putusan hak asuh atas anak terhadap perceraian

orang tuanya berdasarkan aturan hukum yang berlaku?

b. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki hak

asuh atas anak terhadap pihak yang tidak memiliki hak tersebut apabila pihak

yang tidak memiliki hak asuh atas anak tidak mau menjalankan putusan

hakim?

c. Apakah tindakan hukum yang dapat dilakukan kepada pihak yang tidak

memiliki hak asuh atas anak atas tindakannya yang tidak melaksanakan

putusan hakim?

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

8

PEMBAHASAN

Dhani Ahmad Prasetyo, atau yang lebih dikenal dengan Ahmad Dhani, dan

Maia Esianty, atau yang lebih dikenal dengan Maia Ahmad telah melaksanakan akad

nikah menurut Hukum Islam dengan pada hari Minggu tanggal 17 November 1996

dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yaitu ayah penggugat (Maia Estianty) dan

saksi dari pihak tergugat (Dhani Ahmad Prasetyo) dan kemudian pernikahan tersebut

di catat oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tegalsari

Kota Surabaya, Propinsi Jawa Timur pada hari Senin tanggal 26 Mei 1997 M,

bertepatan dengan tanggal 19 Muhararam 1418 H, Pukul 09.00 WIB dan sesudah

pencatatan akad nikah tersebut tergugat telah membaca dan menandatangani taklik

talak yang bunyinya seperti tertulis pada buku Nikah sesuai dengan Duplikat Kutipan

Akta Nikah No. Km.11.09/PW.01/32/2002 tanggal 29 Agustus 2002 (Bukti P.1)5.

Diketahui bahwa dari awal rumah tangga pasangan ini sudah tidak terdapat

kecocokan, salah satunya karena Maia merasa suaminya, Ahmad Dhani, telah

berselingkuh dengan perempuan lain. Sehingga pada akhirnya, pasangan ini

memutuskan untuk bercerai. Sewaktu niat bercerai tersebut ingin diwujudkan oleh

penggugat (Maia Estianty) ternyata pada tanggal 1 Januari 1997 Penggugat

mendapatkan suatu fakta bahwa Penggugat hamil anak pertama, oleh karena itu

Penggugat dan Tergugat sepakat untuk meresmikan pernikahannya di Kantor Urusan

Agama Tegalsari, Surabaya pada tanggal, 26 Mei 1997, dan sejak tanggal tersebut

pernikahan Penggugat dan Tergugat resmi tercatat di Kantor Urusan Agama

Tegalsari, Surabaya.6 Dari Pernikahannya tersebut, Maia Estianty dan Ahmad Dhani

dikaruniai 3 (tiga) orang anak.

Selama menjalani kehidupan perkawinan, pasangan ini dapat dikatakan sering

mengalami percekcokan. Menurut hemat penulis, berdasarkan apa yang penulis teliti

dari Putusan Cerai dengan Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal-hal yang

menjadi alasan dari adanya percekcokan yang terjadi diantara kedua belah pihak

adalah karena adanya Wanita Idaman Lain (WIL) yang kehadirannya tidak bisa

5 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 2.

6 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 3.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

9

diterima oleh penggugat. Selain itu, tabiat tergugat, yang menurut penggugat, sudah

melewati batas kewajaran juga menjadi alasannya. Misalnya, melarang penggugat

untuk bekerja, mengeluarkan semua barang-barang penggugat dari kamarnya sendiri,

hingga berbuat dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada penggugat.

Namun di sisi lain, tergugat mempunyai alasan dalam melakukan tindakan-

tindakannya. Tergugat merasa, seorang istri semestinya tidak bekerja, melainkan

tinggal dirumah untuk mengurus anak-anak, apalagi tergugat merasa telah mampu

menafkahi keluarganya tanpa istrinya harus bekerja. Kemudian, alasan tergugat

mengeluarkan barang-barang milik penggugat dan berbuat dan mengeluarkan kata-

kata kasar adalah karena tergugat merasa penggugat sudah tidak lagi bisa menjadi

isteri yang taat kepada suaminya. Namun tergugat juga membenarkan bahwa ia

mempunyai niat untuk berpoligami, yang tentu saja, tidak disetujui oleh penggugat.

Percekcokan yang terjadi antara pihak penggugat dan pihak tergugat seakan tidak

dapat dibendung lagi, hal ini menyebabkan penggugat dan tergugat akhirnya bercerai.

Penggugat memasukkan gugatannya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada

tanggal 12 November 2007, dan terakhir diperbaiki dengan surat tertanggal 8 Januari

2008, dengan Nomor Register Perkara: 1514/Pdt.G/2007/PAJS tanggal 16 November

2007.

Dalam gugatannya, permasalahan yang disoroti oleh penulis adalah mengenai

pembagian Hak Atas Pemeliharaan Anak (Hadlanah). Dalam gugatannya, Maia

Estianty, selaku penggugat, meminta kepada pengadilan untuk menjatuhkan hak atas

pemeliharaan ketiga anaknya agar jatuh kepada dirinya. Berdasarkan dalil yang

terdapat di gugatan penggugat, seorang ibu di mata agama lebih diutamakan untuk

memegang hak pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadlanah) karena dialah yang

berhak untuk melakukan hadlanah dan menyusui, sebab seorang ibu lebih dapat

memahami dan mengerti bagaimana cara mendidik anak, juga karena ibu mempunyai

rasa kesabaran untuk melakukan pekerjaan mendidik dan mengurus anak yang hal

tersebut tidak memiliki seorang ayah.7 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 105 huruf

(a) Kompilasi Hukum Isalm tersebut, maka sangat berdasarkan dan beralasan apabila

7 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 13.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

10

hak hadlanah/pemeliharaan anak atas ketiga anak penggugat dan terguga berada

dalam pengasuhan penggugat.8

Selain meminta Hak Pemeliharan Atas Anak, penggugat juga mempuyai

pertimbangan lainnya, yaitu bahwa mengingat ketiga orang anak penggugat dan

tergugat tersebut masih membutuhkan biaya untuk hidup dan pendidikan, sehingga

dengan ini penggugat mengajukan perincian biaya-biaya hidup dan biaya-biaya

pendidikan perbulan yang dibutuhkan anak-anak dan harus ditanggung tergugat,

maka sangat berdasar hukum tergugat sebagai ayah dari kedua orang anaknya wajib

untuk memberikan nafkah hidup dan biaya pendidikan untuk masa depan dan

kepentingan anak-anak penggugat dan tergugat dengan masing-masing anak sebesar

US$ 1500 (seribu lima ratus dollar amerika) per bulan atau sesuai kebutuhan

maksimal anak tersebut perbulannya.9 Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan karena perceraian

ialah; pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi istri. Bahwa berdasarkan

ketentuan pasal tersebut di atas, maka wajar dan sangat berdasarkan hukum apabila

tergugat diwajibkan untuk memberikan biaya penghidupan bagi penggugat sebesar

US$ 2000 (dua ribu dollar amerika) per bulan yang harus dibayarkan paling lambat

tanggal 10 setiap bulan selama tergugat penggugat belum menikah lagi. Oleh karena

selama terjadinya problematika dalam rumah tangga antara penggugat dan tergugat

yang disebabkan karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara

penggugat dan tergugat, dan ternyata terungkap fakta bahwa tergugat memiliki

iktikad tidak baik untuk menghalang-halangi dan memisahkan penggugat untuk dapat

berkomunikasi dan bercengkrama dengan ketiga orang anak laki-laki penggugat dan

tergugat, maka penggugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan

mengadili perkara perdata gugatan berisi menetapkan penggugat selaku ibu kandung

tetap berhak untuk dapat berkunjung dan/atau bertemu setiap saat dengan anak-

anaknya di tempat kediaman dan/atau tempat tinggal penggugat, serta dapat

8 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 13-14.

9 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 14.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

11

membawa tinggal bersama (berlibur), bercengkrama, beristirahat, dan berekreasi baik

dengan ataupun tanpa pemberitahuan terlebih dahulu di antara penggugat dengan

tergugat, dan untuk hal tersebut di atas tergugat tidak akan menghalang-halangi

penggugat dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai seorang ibu kandung.

Hal tersebut diatur sesuai dengan pasal 24 ayat 2 huruf b PP Nomor 9 tahun 1975

tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan10

.

Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam putusan dalam

pokok perkara menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak pengasuhan dan

pemeliharaan anak penggugat dan tergugat, sampai anak-anak tersebut dewasa.

Pemeliharaan anak (hadlanah) pada dasarnya adalah tanggungjawab kedua orang tua

yang melahirkannya. Oleh karena itu anak harus memperoleh jaminan pemeliharaan

dari orang yang berhak dengan pola pengasuhan yang terbaik semata-mata untuk

kepentingan anak. Fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit perkawinan

yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar di tengah jalan karena

kemelut rumah tangga yang semakin rumit. Akibat dari putusnya perkawinan akibat

perceraian tersebut, sedikit banyak berakibat terhadap anak yang dilahirkan dari

perkawinan. Mereka harus menanggung derita dimana harus memilih salah satu

pihak, ibu atau bapaknya, untuk tempat ia tinggal. Memang dikenal adanya istilah

Join Custody dimana kedua belah pihak sama-sama merawat dan membesarkan anak-

anak mereka. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

akibat putusnya perkawinan kedua orang tua, tidak mengakibatkan berakhirnya

kekuasaan orang tua11

. Apabila sengketa pengasuhan (hadlanah) ini tidak dapat

diselesaikan secara damai melalui prosedur mediasi, maka pada akhirnya harus

ditempuh penyelesaian melalui jalur litigasi dengan putusan pengadilan.

Permasalahan yang kemudian timbul adalah, ketika putusan itu telah dijatuhkan oleh

pengadilan, lalu misalnya, pihak yang dikalahkan tidak mau menyerahkan anak

sebagai objek sengketa secara sukarela, maka biasanya akan ditempuh prosedur

eksekusi putusan.

10

Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 17. 11

Hal yang sama juga diatur di dalam Children Act Inggris tahun 1989, yang mulai berlaku tanggal 14

Oktober 1991.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

12

Belum adanya peraturan yang rigid dan diakui keabsahannya oleh negara

Indonesia yang mengatur permasalahan mengenai eksekusi atas hak asuh anak

membuat pengaturan tentang eksekusi hak asuh anak semakin bias. Tidak ada

peraturan yang rigid tersebut yang membuat masyarakat Indonesia saling mengaitkan

peraturan-peraturan yang ada. Misalnya saja apabila di dalam suatu putusan yang

berisikan mengenai hak asuh anak lalu kemudian pihak yang tidak mendapatkan hak

asuh tidak mau memberikan anaknya, maka salah satu peraturan yang dapat dijadikan

panutan untuk mengatur mengenai upaya-upaya yang dapat membuat seseorang di

eksekusi adalah Pasal 196 HIR “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai

untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang

memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua

pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan

keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta

memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan

oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.” Pasal 195 menjelaskan bahwa

pelaksanaan putusan di pengadilan tingkat pertama adalah atas perintah dan dengan

pimpinan ketua pengadilan yang dalam prakteknya dijalankan oleh panitera. Pasal

196 HIR pun tidak secara langsung mengatur mengenai eksekusi atas seseorang,

melainkan hanya memberikan opsi untuk bagaimana agar seseorang mau

menjalankan putusan pengadilan, salah satunya menjalankan putusan pengadilan

mengenai hak asuh anak. Pada azasnya putusan Hakim yang sudah mempunyai

kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Pengecualiannya adalah apabila

suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai

dengan pasal 181 ayat (1) HIR / pasal 191 ayat (1) RBg12

. Dengan kata lain, dalam

hal eksekusi berlaku azas umum, yaitu eksekusi baru dapat dijalankan kalau putusan

sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam arti bahwa putusan itu sudah tidak

ada upaya hukum banding dan kasasi13

. Tidak semua putusan yang mempunyai

12

Retnowulan Susantio, Ny.SH dan Iskandar Oeripkartawinata,SH. Hukum Acara Perdata Dalam

Teori dan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju 1995), hal. 130. 13

Abdul Manan, DR.DRS.SH.SIP, Mhum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan

Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana 2005), hal. 118.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

13

kekuatan hukum tetap harus dijalankan. Putusan yang dapat dijalankan adalah

putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberikan kekuatan

eksekutorial pada putusan pengadilan tertelak pada kepala putusan yang berbunyi

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu, putusan

yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau mengandung

amar condemnatoir. Sedangkan putusan pengadilan yang bersifat declaratoir dan

constitutif tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam

menjalankannya14

. Eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi daripada

kewajiban pihak yang kalah untuk memenuihi prestasi yang tercantum dalam putusan

pengadilan. Pihak yang menang dapat memohon kepada pengadilan yang memutus

perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa15

.

Dari ketentuan pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dapat dipahami bahwa ada perbedaan tanggung jawab pemeliharaan

yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih

menitikberatkan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban

suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan

Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya. Di samping itu,

pengajuan permohonan ke pengadilan yang berkaitan dengan pengasuhan anak juga

diatur dalam Pasal 31 ayat (1),(2), (3) dan (4) UU No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak. Jadi dengan adanya perceraian, hadlanah bagi anak yang belum

mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap

dipikulkan terhadap ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka

bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai

kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan

dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung

jawabnya, bekas istri yang kebetulan diberi beban untuk melaksanakan Pengadilan

Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadlanah

14

Ibid. 15

Sudikno, 1998, hal. 21.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

14

sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran

itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 330 KUHP menguatkan dalil yang disebutkan dalam pasal 196 HIR,

yaitu, “(1) Barang siapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari

kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan

penjagaan itu, dihukum penjara selama tujuh tahun. (2) Dijatuhkan hukuman penjara

selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu

daya, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan atau kalau orang yang belum

dewasa umurnya di bawah dua belas tahun“16

. Dengan adanya peraturan ini, pihak

yang memiliki hak asuh atas anak mendapatkan perlindungan hukum. Sebuah

gugatan di pengadilan mengenai suatu hak tidak lain dimaksudkan untuk memperoleh

keputusan yang dapat menjamin kepastian hukum. Dalam mengajukan gugatan hak

hadlanah di Pengadilan Agama sama dengan pengajuan gugatan tentang hak

keperdataan lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 142 dan 144 RBg. Gugatan

harus memenuihi syarat-syarat formal suatu gugatan yang meliputi identitas para

pihak, ada posita atau fundamentum petendi dan juga harus ada tuntutan atau petitum,

yang dalam tulisan ini tidak perlu dijelaskan secara rinci.

Eksekusi putusan hadlanah tidak diatur secara tegas dalam HIR - RBg., atau

peraturan perundangan lain yang berlaku khusus bagi Peradilan Agama. Belum

adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadlanah tidak

berarti bahwa putusan hadlanah itu tidak bisa dijalankan melainkan harus dapat

dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum. Menurut M.

Yahya Harahap, SH, dalam praktek Peradilan Agama dikenal dua macam eksekusi,

yaitu:

1. eksekusi riil atau nyata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200 ayat (11)

HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg dan pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan,

pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu.

16

R. Soesilo, KUHP dengan Penjelasan, Bogor : Politeia, 1981

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

15

2. eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop

sebagaimana tersebut dalam pasal 200 HIR dan pasal 215 R.Bg. Eksekusi

yang terakhir ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitur, atau

juga dilakukan dalam pembahagian harta bila pembahagian ini in natura tidak

disetujui oleh para pihak atau tidak mungkin dilakukan pembahagian in natura

dalam sengketa warisan atau harta bersama17

.

Sejalan dengan perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan di

Pengadilan Agama tidak hanya terbatas dalam bidang hukum benda. Dalam

prakteknya sampai saat ini, eksekusi putusan Pengadilan Agama juga telah merambah

dalam eksekusi putusan hak pemeliharaan atau penguasaan atas anak (hadlanah).

Eksekusi putusan hadlanah dapat digolongkan ke dalam jenis eksekusi bentuk

pertama (eksekusi riil: melakukan sesuatu). Namun demikian, eksekusi putusan

hadlanah seringkali mengalami kendala yang cukup signifikan karena objek

perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup rendah

bila dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaan. Hakim Pengadilan

Agama menghadapi kendala membuat putusan yang selaras dengan prinsip

kepentingan terbaik anak, khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang

digunakan dalam menyikapi masalah hak asuh ini. Umumnya putusan hakim tentang

hak asuh memuat dua legislasi: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang

(Nomor 23 Tahun 2002) Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah maternal

preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum mumayiz berada

di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil balig. Akil balig

merujuk pada dimensi fisik, yakni kematangan, antara lain, organ seksual yang

menjadi pembeda antara usia kanak-kanak dan usia pasca-kanak-kanak. Mumayiz

menyangkut kematangan psikologis anak (usia mental), yakni kemampuan anak

dalam membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan sejenisnya. Tuntutan bagi

hakim memahami psikologi perkembangan anak, yang jauh lebih pelik ketimbang

memahami kondisi akil balig, menjadi mutlak. Namun, karena tidak mudah, hakim

17

Yahya Harahap, Drs,SH.MH, Kedudukan Kewenangan Eksekusi Bidang Perdata¸(Jakarta: Pustaka

Kartini 1992), hal. 5.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

16

cenderung by default menjadikan ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak, di sini

anak sebatas ditimbang berdasarkan usia biologisnya. Menjadikan KHI sebagai

pedoman kerja, hakim semakin mudah menjatuhkan putusan hak asuh hanya ke salah

satu pihak (sole custody) yang bercerai, dan pihak tersebut biasanya adalah ibu.

Kontras dengan UUPA tidak menaruh preferensi (keberpihakan) kepada gender

tertentu. UUPA menyebut hak anak untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Dengan

demikian, apabila hakim benar-benar konsekuen menjadikan UUPA sebagai legislasi,

hakim sepatutnya lebih mantap membuat putusan bahwa anak tetap diasuh kedua

orang tuanya (joint/shared custody) dituangkan dalam putusan, karena KHI "lebih

memudahkan" hakim, UUPA pun menjadi instrumen normatif yang tidak aplikatif.

Hak asuh tetap jauh lebih banyak diputuskan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal,

yaitu dipegang oleh salah satu pihak yang bercerai. Apabila di analisis lebih lanjut,

menunjukkan bahwa eksekusi putusan hadlanah dipandang masih mengandung

kelemahan. Untuk itu, sekurangnya ada tiga hal harus dicermati dalam menyikapi hal

tersebut, yaitu:

1. tidak adanya peraturan yang terkompilasi mengenai eksekusi hak asuh

anak;

Permasalahnya adalah bahwa eksekusi putusan hadlanah itu bukan tidak ada

aturan hukumnya, namun belum ada aturan hukum yang terkompilasi yang

mengatur mengenai eksekusi atas pemeliharaan anak. Maka hal ini berarti

suatu kekosongan hukum acara yang harus ditemukan hukumnya melalui hak

deskresional hakim yang diberikan undang-undang. Pengadilan Agama

sebagai Law of Court terikat dengan asas pokok kekuasaan kehakiman bahwa:

“pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan

dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya (Ps. 16 ayat (1) UU No.4 Th. 2004). Oleh

karena itu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (Ps.28 ayat (1) UU

No.4 Th. 2004). Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

17

menggabungkan kedua idealisme pemikiran tersebut sehingga melahirkan

kemajuan di bidang hukum tanpa kehilangan tujuan luhur hukum itu sendiri,

yakni keadilan untuk seluruh umat manusia berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Oleh karena itu, eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman

yang ada maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusannya bersifat deklaratoir.

Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan eksekusi anak hanya bersifat

sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya paksa. Sedangkan para ahli

hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan

mengatakan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir ini

menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat

condemnatoir, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut

dapat dieksekusi. Pengadilan mempunyai upaya paksa dalam melaksanakan

putusan ini. Jadi, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orang tua yang

tidak berhak sebagai akibat putusan perceraian atau permohonan talak, maka

Pengadilan Agama dapat mengambil anak tersebut dengan upaya paksa dan

menyerahkan kepada salah satu orang tua yang berhak untuk mengasuhnya18

.

Terlepas dari pendapat pro dan kontra para praktisi hukum, apabila kita

cermati dengan seksama sebenarnya eksekusi putusan hadlanah sudah sejalan

dengan ketentuan pasal 319h KUHPerdata alinea dua yang mengatakan bahwa

jika pihak yang senyatanya menguasai anak-anak yang belum dewasa itu

menolak menyerahkan anak-anak itu, maka para pihak yang menurut

keputusan pengadilan harus menguasai anak tersebut, mereka boleh meminta

melalui Juru Sita dan menyuruh kepadanya melaksanakan keputusan ini.

2. Pertimbangan aspek psikologi untuk kebaikan si anak;

Mempertimbangkan aspek psikologi semata-mata untuk kepentingan terbaik

bagi anak dalam memutuskan hak asuh anak adalah mutlak adanya. Oleh

sebab itu Hakim dengan ketajaman intuisi dan rasa keadilan yang dimilikinya,

18

Abdul Manan, DR.DRS.SH.SIP, Mhum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan

Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana), hal. 436.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

18

dan setelah meneliti dan memeriksa dengan seksama semua fakta di

persidangan, akan berusaha dengan optimal untuk menentukan putusan yang

seadil-adilnya. Menurut hemat penulis, konsep pemikiran joint/shared

custody dalam amar putusan justru tidak aplikatif dan sulit diterapkan dalam

praktek.

3. Prosedur hukum eksekusi;

Untuk menjamin keabsahan eksekusi putusan hadlanah tersebut, maka

eksekusi itu harus melalui prosedur hukum yang berlaku dan harus pula

memenuhi syarat-syarat eksekusi. Apabila eksekusi tidak dilaksanakan sesuai

dengan prosedur dan peryaratan yang ditetapkan, maka eksekusi tidak sah dan

harus diulang.

PENUTUP

Kesimpulan

1. Menurut aturan hukum yang berlaku di Indonesia, belum ada aturan yang

jelas yang mengatur mengenai proses eksekusi putusan hak asuh anak akibat

perceraian. Indonesia masih menerapkan peraturan yang sporadis. Majelis

Hakim di Indonesia, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama,

menerapkan aturan-aturan hukum yang belum dapat dijadikan satu patokan

khusus. Majelis Hakim cenderung menerapkan KHI pada mereka yang

beragama Islam atau yang tunduk pada hukum Islam dan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan, peraturan-peraturan

tersebut pun merupakan peraturan yang lebih mengatur mengenai penjatuhan

atas hak asuh anak bukan proses eksekusi hak asuh anak itu sendiri. Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia

Tahun 1991 tidak menyebutkan secara explicit terhadap nomenklatur hak

asuh anak (Hadlanah). Akan tetapi secara substantive, hadlanah dalam arti hal

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

19

pemeliharaan / pengasuhan anak, atau disebut dengan istilah kuasa asuh

orang tua menurut undang-undang perlindungan anak, telah disebutkan

dengan tegas dan menjadi bagian dari hukum keluarga. Sejalan dengan

perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan di Pengadilan

Agama tidak hanya terbatas dalam bidang hukum benda. Dalam prakteknya

sampai saat ini, eksekusi putusan Pengadilan Agama juga telah merambah

dalam eksekusi putusan hak pemeliharaan atau penguasaan atas anak

(hadlanah). Eksekusi putusan hadlanah dapat digolongkan ke dalam jenis

eksekusi bentuk pertama (eksekusi riil : melakukan sesuatu). Namun

demikian, eksekusi putusan hadlanah seringkali mengalami kendala yang

cukup signifikan karena objek perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat

keberhasilannya terbilang cukup rendah bila dibandingkan dengan eksekusi di

bidang hukum kebendaan. Hakim Pengadilan Agama menghadapi kendala

membuat putusan yang selaras dengan prinsip kepentingan terbaik anak,

khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang digunakan dalam

menyikapi masalah hak asuh ini. Umumnya putusan hakim tentang hak asuh

memuat dua legislasi: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang

(Nomor 23 Tahun 2002) Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah

maternal preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum

mumayiz berada di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil

balig. Akil balig merujuk pada dimensi fisik, yakni kematangan, antara lain,

organ seksual yang menjadi pembeda antara usia kanak-kanak dan usia pasca-

kanak-kanak. Mumayiz menyangkut kematangan psikologis anak (usia

mental), yakni kemampuan anak dalam membedakan baik dan buruk, benar

dan salah, dan sejenisnya. Tuntutan bagi hakim memahami psikologi

perkembangan anak, yang jauh lebih pelik ketimbang memahami kondisi akil

balig, menjadi mutlak. Namun, karena tidak mudah, hakim cenderung by

default menjadikan ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak, di sini anak

sebatas ditimbang berdasarkan usia biologisnya. Menjadikan KHI sebagai

pedoman kerja, hakim semakin mudah menjatuhkan putusan hak asuh hanya

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

20

ke salah satu pihak (sole custody) yang bercerai, dan pihak tersebut biasanya

adalah ibu. Kontras dengan Undang-undang Perlindungan Anak tidak

menaruh preferensi (keberpihakan) kepada gender tertentu. Undang-undang

Perlindungan Anak menyebut hak anak untuk diasuh oleh kedua orang

tuanya. Dengan demikian, apabila hakim benar-benar konsekuen menjadikan

Undang-undang Perlindungan Anak sebagai legislasi, hakim sepatutnya lebih

mantap membuat putusan bahwa anak tetap diasuh kedua orang tuanya

(joint/shared custody) dituangkan dalam putusan, karena KHI "lebih

memudahkan" hakim, Undang-undang Perlindungan Anak pun menjadi

instrumen normatif yang tidak aplikatif. Hak asuh tetap jauh lebih banyak

diputuskan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal, yaitu dipegang oleh salah

satu pihak yang bercerai. Apabila di analisis lebih lanjut, menunjukkan bahwa

eksekusi putusan hadlanah dipandang masih mengandung kelemahan.

2. Belum adanya peraturan yang rigid dan diakui keabsahannya oleh negara

Indonesia yang mengatur permasalahan mengenai eksekusi atas hak asuh anak

membuat pengaturan tentang eksekusi hak asuh anak semakin bias. Tidak ada

peraturan yang rigid tersebut yang membuat masyarakat Indonesia saling

mengaitkan peraturan-peraturan yang ada. Misalnya saja apabila di dalam

suatu putusan yang berisikan mengenai hak asuh anak lalu kemudian pihak

yang tidak mendapatkan hak asuh tidak mau memberikan anaknya, maka

salah satu peraturan yang dapat dijadikan panutan untuk mengatur mengenai

upaya-upaya yang dapat membuat seseorang di eksekusi adalah Pasal 196

HIR “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi

keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan

permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua

pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat

menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang

dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di

dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan

hari.” Eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

21

pihak yang kalah untuk memenuihi prestasi yang tercantum dalam putusan

pengadilan (Law Enforcement). Pihak yang menang dapat memohon kepada

pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan

tersebut secara paksa19

. Para ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi

terhadap anak dapat dijalankan mengatakan bahwa perkembangan hukum

yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang

putusannya bersifat condemnatoir, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka

putusannya dapat dieksekusi atau apabila dalam amar putusan tersebut telah

ditentukan bahwa hak asuh anak ini dapat dieksekusi walaupun ada upaya

hukum banding maupun kasasi atau tidak. Apabila amar putusan menyatakan

dapat dieksekusi walaupun ada upaya hukum banding maupun kasasi, maka

putusan tersebut dapat langsung di eksekusi. Sehingga, apabila pihak yang

tidak memiliki hak asuh anak tidak mau menyerahkan anak-anak tersebut

kepada pihak yang memiliki hak asuh terhadap anak tersebut, maka

Pengadilan Agama dapat melakukan pengambilan anak tersebut dengan upaya

paksa20

.

3. Mahkamah Agung RI khususnya Hakim Agung yang tergabung dalam Tim E

telah mengambil suatu keputusan pada tanggal 6 Juli 1999 yang lalu bahwa

masalah penguasaan anak dalam pelaksanaan eksekusinya merupakan upaya

paksa dan dapat dijalankan, apabila ada yang menghalangi terhadap

pelaksanaan dikemukakan bahwa barang siapa dengan sengaja mencegah,

merintangi, atau mengagalkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah

seorang pegawai negeri dalam menjalankan suatu peraturan perundang-

undangan di hukum penjara selama-lamanya 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu

atau denda setinggi-tingginya Rp9000,. Apabila dikaitkan dengan eksekusi

anak, maka secara hukum harus ada putusan yang telah berkekuatan hukum

19

Sudikno, 1998, hal. 21. 20

Abdul Manan, DR.DRS.SH.SIP, Mhum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan

Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana), hal. 436.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

22

tetap lebih dahulu, sedangkan pelaksanaan eksekusinya dihalang-halangi.

Filosofinya menghalang-halangi terhadap pemeriksaan atau penyidikan berarti

sama saja dengan menghalang-halangi terhadap pelaksanaan hukum yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap21

. Pelaksanaan eksekusi terhadap

putusan hadhanah harus melalui prosedur hukum yang berlaku dan apabila

eksekusi tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan maka

eksekusi tidak sah dan harus diulang.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mempunyai beberapa saran terkait

dengan tinjauan yuridis mengenai peraturan eksekusi atas hak asuh anak akibat

perceraian di Indonesia, antara lain:

1. Perlunya di atur mengenai proses eksekusi atas manusia

terutama di bidang hukum perdata yang jelas agar tidak terjadi

kebingungan yang dialami masyarakat di bidang eksekusi

manusia. Diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

sebagai dasar hukum dalam perkara dalam studi kasus pada

karya ilmiah ini, tidak dapat dijadikan acuan untuk mengatur

eksekusi hak asuh atas anak karena KHI hanya dapat

diberlakukan kepada mereka yang beragama Islam atau mereka

yang menikah yang tunduk pada hukum Islam.

2. Perlu diberlakukan kejelasan mengenai batas usia dewasa

seorang anak dalam menentukan penjatuhan hak asuh kepada

salah satu pihak dan diatur lebih jelas mengenai alasan-alasan

penjatuhan hak asuh kepada salah satu pihak. Ketidak jelasan

mengenai batas kedewasaan yang ada, dimana dalam KHI

diberlakukan mumayyiz atau pada batas usia 12 tahun, yang

ternyata dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23

21

Ibid.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

23

Tahun 2002 adalah berbeda dimana usia dewasa seorang anak

adalah 18 tahun dan yang belum menikah. Ketidak jelasan

mengenai dasar pertimbangan dalam pemutusan perkara

mengenai hak asuh atas anak akibat perceraian, apakah

berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak, usia dewasa,

ataupun kesepakatan antara pihak suami dan pihak istri.

3. Perlu adanya sosialisasi lebih lanjut mengenai eksekusi atas

hak asuh anak dan perlu di berlakukan ketentuan uang paksa

atau dwangsom secara tegas kepada pihak yang tidak mau

menjalankan putusan hakim agar dapat memicu pihak tersebut

untuk taat kepada putusan hakim. Pada dasarnya telah terdapat

peraturan yang mengatur mengenai upaya paksa atas eksekusi

hak asuh anak, namun peraturan tersebut diatur secara limitatif

dan belum disosialisasikan dengan baik. Sehingga, agar

masyarakat mendapat pengetahuan yang cukup mengenai

eksekusi paksa terhadap hak asuh anak, sebaiknya dilakukan

sosialisasi yang lebih baik lagi terhadap peraturan tentang

eksekusi hak asuh anak.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …

24

DAFTAR REFERENSI

BUKU

Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta:

Pustaka Kartini, 1992.

Manan, Abdul Dr.Drs.S,H.SiP, M.hum. Penerapan Hukum Acara Perdata di

Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005.

Susantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata,SH. Hukum Acara Perdata

Dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV Mandar Maju, 1995.

Wahyono Darmabrata, dan Surini Ahlan Sjarief. Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

PERATURAN

Undang-Undang

Indonesia. Undang-undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun

1974, TLN No. 3019.

Indonesia. Undang-undang Administrasi Kependudukan, UU No. 23 Tahun 2006, LN

No. 23 Tahun 2006, TLN No. 4674.

Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN No. 23

Tahun 2002, TLN No. 3143.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh

Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek voor Indonesie].

Diterjemahkan oleh Subekti. Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.

Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012