169
UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Studi Kasus Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln) TESIS NOFITA DWI WAHYUNI 1106031740 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA JAKARTA JANUARI 2013 Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN

PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Studi Kasus

Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan

No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)

TESIS

NOFITA DWI WAHYUNI

1106031740

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCA SARJANA

JAKARTA

JANUARI 2013

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

i

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN

PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Studi Kasus

Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan

No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Hukum

NOFITA DWI WAHYUNI

1106031740

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCA SARJANA

PRAKTIK PERADILAN

JAKARTA

JANUARI 2013

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Nofita Dwi Wahyuni

NPM : 1106031740

Tanda Tangan :

Tanggal : 21 Januari 2013

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Nofita Dwi Wahyuni

NPM : 1106031740

Program Studi : Praktik Peradilan

Judul Tesis : Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan

Pengadilan sebagai Tujuan Pemindanaan

(Studi kasus terhadap perkara yang telah

diselesaikan secara adat, analisa putusan

no.21/Pid.B/2009/Pn. Srln dan

no.22/Pid.B/2009/Pn. Srln)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai

bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum

pada Program Studi Praktik Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Penguji : Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 21 Januari 2013

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

iv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT sehingga

hanya atas kehendak-NYA tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan untuk

memenuhi prasyarat dalam memperoleh gelar magister hukum pada program

pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Dalam tesis ini penulis mengemukakan mengenai penerapan restorative

justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan dengan studi kasus

terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, menganalisa putusan

no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln. Penulis berharap karya

ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi akademisi dan para penegak

hukum khususnya hakim dalam menerapkan restorative justice dalam putusan

pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan

dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyusun

tesis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr.Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., yang telah membimbing penulis dalam

penyusunan tesis ini dengan sabar. Bimbingan dan dukungan, ilmu yang

diberikan sangatlah besar artinya bagi penulis ditengah kesibukannya serta

seluruh staf pengajar program studi praktik peradilan Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta seluruh staf

sekretariat pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah

banyak membantu penulis sejak awal perkuliahan hingga selesainya

penyusunan tesis ini.

2. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Prof. Rehngena Purba, Prof

Adrianus Meliala, Hakim Lilik Mulyadi dan Hakim Syahrul Mahmud

sebagai narasumber yang telah memberikan informasi dan data dan

meluangkan waktunya untuk wawancara.

3. Hakim Enan Sugiharto, Jaksa Syafri Hadi, Jaksa Aji Sumbara, Penasihat

Hukum Abdul Hair dan Nelly Akbar dari LSM Warsi, sebagai narasumber

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

v

yang telah memberikan informasi dan data dengan wawancara melalui

telepon sehingga penulis mendapatkan gambaran tentang kasus dalam

perkara no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln.

4. Kelurga kecil penulis, suami tercinta Roy Riady dan anak-anak kami

Rofilah Chyntia Riady dan Chairunnisa Fairuz Riady. Keluarga besar

penulis di Bekasi dan Palembang: Ibu Sukini, Bapak Sumardi, Mama

Dahlia, Papa Effendi, kakak, adik dan kakak ipar serta keponakan tercinta,

terima kasih banyak atas dukungan dan doanya.

5. Teman-Teman seperjuangan di kelas Praktik Peradilan, yang juga rekan

kerja di Mahkamah Agung Republik Indonesia, khususnya Wini, Mba

Santi, Mba Harika dan Mba Ningrum.

6. Teman-teman tercinta: Adha, Irma, Bayu, Titi, Sali, Ami, Rita, Fara, Tejo,

Ersus, dan Tita, terima kasih banyak atas dukungan, bantuan dan doa-

doanya.

7. USAID dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, khususnya Pengadilan

Negeri Kutacane (tempat kerja penulis) yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis

ini untuk doa, dukungan dan bantuan sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, penulis mohon maaf sekiranya terdapat kesalahan ataupun

kekurangan dalam penyusunan tesis ini.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di

bawah ini:

Nama : Nofita Dwi Wahyuni

NPM : 1106031740

Program Studi : Praktik Peradilan

Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty-

free right) atas karya ilmiah penulis yang berjudul: PENERAPAN RESTORATIVE

JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN

PEMIDANAAN (Studi Kasus Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara

Adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalty

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base),

merawat, dan mempublikasikan tugas akhir penulis selama tetap mencantumkan

nama penulis sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 21 Januari 2013

Yang Menyatakan

(Nofita Dwi Wahyuni)

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

vii

ABSTRAK

Nama : Nofita Dwi Wahyuni

Program Studi : Praktik Peradilan

Judul : Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan Pengadilan

Sebagai Tujuan Pemidanaan (studi kasus terhadap

perkara yang telah diselesaikan secara adat, analisa

putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan

no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln)

Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan dalam Putusan Pengadilan

belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hakim dapat menerapkannya

dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tujuan sanksi

adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan, keharmonisan dan kerukunan

pihak yang berkonflik. Penerapan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan

dalam putusan pengadilan, menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan

masyarakat. Penelitian ini menganalisa putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan

No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, kedua putusan ini telah menerapkan restorative justice

sebagai tujuan pemidanaan. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan

deskriptif analitis sebagai sifatnya. Hasil penelitian perlunya menerapkan

restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Hakim

meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam menjatuhkan pemidanaan.

Kata kunci: Keadilan Restoratif, Tujuan Pemidanaan

ABSTRACT

Name : Nofita Dwi Wahyuni

Concentration : Justice of Practice

Title : The Application of Restorative Justice in The Court

Decision as The Aim of Punishment (case study of

circumstance that have been resolved customarily, decision

analysis no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln and

no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln)

Restorative justice as the aim of punishment in the cout have not been set

by the law. The Jusde could apply by exploring the value of living law in the

society. The aim of customary sanctions is to restore balance, harmony and

concord the conflicting parties. The application of restorative justice as the aim of

punishment in the court, resolving the conflict between the offender, victim and

society. This research analyzes the decision no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan

no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, both decisions have applied restorative justice as the

aim of punishment. This research is normative research with analytical description

as its character. The research result of the importance of applying restorative

justice in the court decision as the aim of punishment. Judge should increase their

knowledge and ability to impose punishment.

Keywords: Restorative Justice, The aim of punishment

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

viii

DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii

HALAMAN PENGANTAR ........................................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................

TUGAS AKHIR UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS ................................. vi

ABSTRAK ....................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... x

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2 Pernyataan Permasalahan ......................................................... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................... 8

1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 8

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................... 9

1.6 Kerangka Teori ........................................................................ 9

1.7 Kerangka Konsepsional ........................................................... 13

1.8 Metode Penelitian ..................................................................... 15

1.9 Sistematika Penulisan ............................................................... 16

BAB 2 EKSISTENSI RETORATIVE JUSTICE DI PENGADILAN .........

SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN ........................................... 18

2.1. Restorative Justice ...................................................................... 18

2.1.1. Sejarah Timbulnya .............................................................. 18

2.1.2. Definisi .............................................................................. 23

2.1.3. Tujuan ................................................................................. 26

2.2. Restorative Justice Sebagai Tujuan Pemidanaan ........................ 27

2.2.1. Pemidanaan .......................................................................... 27

2.2.2. Jenis Pemidanaan ................................................................. 28

2.2.3. Tujuan Pemidanaan ............................................................. 30

2.3. Eksistensi Restorative Justice Di Pengadilan ............................. 39

2.3.1. Putusan No.1600 K/Pid.B/2009 ........................................... 45

2.3.2. Putusan No. 2238 K/Pid.B/2009 ........................................... 46

2.3.3. Putusan No. 307 K/Pid.Sus/2010 .......................................... 48

2.3.4. The Cotworthy Case (New Zealand: 1998) ......................... 49

2.3.5. The Gladue Case (Kanada: 1999) ......................................... 54

BAB 3 RESTORATIVE JUSTICE DAN PENYELESAIAN PERKARA ...

PIDANA MELALUI ADAT ........................................................... 59

3.1. Hukum Adat .................................................................................. 59

3.1.1. Hukum Pidana Adat ................................................................ 62

3.1.2. Bentuk dan Tujuan Sanksi Adat .............................................. 66

3.1.2.1. Bentuk Sanksi Adat .................................................... 67

3.1.2.2. Tujuan Sanksi Adat ....................................................... 67

3.2. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Hukum Adat ...................... 69

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

ix

3.2.1. Eksistensi Lembaga Adat ..................................................... 76

3.2.2. Kelemahan Hukum Adat ...................................................... 82

3.3. Nilai Hukum Adat Dalam Restorative Justice ............................. 86

BAB 4 PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN .....

PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN ..................

(Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan ..........................

Putusan No.22/PID.B/2009/PN.Srln) ............................................... 94

4.1. Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln .................................. 94

4.1.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan ...................... 96

4.1.1.1. Kasus Posisi .................................................................. 96

4.1.1.2. Pertimbangan .................................................................. 97

4.1.1.3. Amar Putusan ................................................................. 98

4.1.2. Analisa Putusan ..................................................................... 98

4.2. Analisa Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln ............................... 115

4.2.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan ...................... 116

4.2.1.1. Kasus Posisi ................................................................... 116

4.2.1.2. Pertimbangan ................................................................. 117

4.2.1.3. Amar Putusan ................................................................. 118

4.2.2. Analisa Putusan ....................................................................... 118

4.3. Kesimpulan Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, ............

Putusan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue .................. 137

BAB 5. PENUTUP ...................................................................................... 144

5.1. Kesimpulan ................................................................................... 144

5.2. Saran .............................................................................................. 146

DAFTAR REFERENSI .................................................................................. 148

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Retributif Theory dan Utilatarian Theory .................. 31

Tabel 2.2. Perbedaan Traditional Justice (Retributive and Rehabilitative) ...

Dengan Restorative Justice ......................................................... 34

Tabel 4.1. Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah

Kasus Gladue................................................................................. 130

Tabel 4.2. Perbedaan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, ...........................

Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue ................. 137

Tabel 4.3. Kelebihan dan Kekurangan Putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln,.

Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue ................. 141

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rakernas Mahkamah Agung Tahun 2011 menghasilkan beberapa putusan

penting (landmark decision) dan menjadi yurisprudensi MA, salah satunya

Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan restorative

justice.1 Putusan tersebut menjadi menarik karena pada saat itu konsep restorative

justice belum diatur dalam perundang-undangan tetapi hakim dalam putusan

pengadilan telah menerapkannya. Hal lainnya, juga karena alasan mengapa hakim

menggunakan restorative justice khususnya ketika mempertimbangkan

menjatuhkan pemidanaan.

Restorative justice pada saat itu memang belum diatur dalam perundang-

undangan di Indonesia, namun Hakim menerapkannya dalam putusan tersebut, hal

ini dikarenakan Hakim tidak bisa menolak perkara yang harus diadilinya,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:2

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas,

mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga

yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib

1 Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2011,

(Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011), hal. 305-345. Hal tersebut juga dipertegas

dan dikuatkan dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

096/KMA/SK/VII/2011 tentang Tim Penerbitan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Mengenai Rumusan Kaidah Hukum Dalam Putusan Penting (Landmark Decision),

Tanggal 1 Juli 2011.

2 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 5076.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

2

Universitas Indonesia

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.” 3

Hal yang menarik dan menjadi pertanyaan apakah restorative justice ini

merupakan hal yang baru atau memang sudah ada dan berjalan dalam sistem

hukum di Indonesia? Jika melihat dalam peraturan perundang-undangan yang ada,

jelas dan tegas belum ada yang mengatur tentang restorative justice. Namun

melihat dari konsep restorative justice, tidak berbeda dengan penyelesaian

peristiwa pidana dalam masyarakat hukum adat. Ada dua pendekatan

penyelesaian peristiwa pidana yaitu aspek magis dan aspek material.4 Aspek

magis bertalian dengan upaya mengembalikan keseimbangan magis yang

terganggu akibat peristiwa pidana yang diselenggarakan dalam bentuk upacara-

upacara tertentu seperti menyediakan sesajen atau mengorbankan hewan sebagai

“tebusan”. Yang agak ekstrim adalah sanksi dalam bentuk mengeluarkan atau

mengusir pelanggar dari lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan.

Aspek material berkaitan dengan upaya merukunkan kembali hubungan

antara pelaku (keluarga pelaku) dan korban (keluarga korban). Ini pun dilakukan

dengan berbagai upacara perdamaian antara kedua pihak. Bentuk lain adalah

kewajiban pelaku (keluarga pelaku) melakukan sesuatu, seperti pernyataan

bersalah, meminta maaf, memberi kompensasi atau denda tertentu. Praktek hukum

adat sangat memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau

immaterial. Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi

tradisi masyarakat hukum adat kita.5 Jika melihat kepada hukum adat,

menandakan bahwa restorative justice sudah ada dan usianya sudah tua, seperti

yang ditulis Eva Achjani Zulfa:

“Bahwa banyak penulis menganggap restorative justice bukanlah konsep

yang baru. Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana

itu sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana,

pendekatan justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan

tindak pidana. Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu

3 Ibid.

4 Bagir Manan, Restorative Justice (suatu perkenalan), (Jakarta, Majalah Hukum Varia

Peradilan, Tahun ke XXI No. 247 Juni 2006), hal. 8.

5 Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

3

Universitas Indonesia

dinyatakan bagai usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan

sebagai pendekatan yang progresif.” 6

Menurut Eva Achjani Zulfa, “Restorative Justice” merupakan suatu model

pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian

perkara pidana.7 Restorative Justice diakui oleh dunia Internasional yaitu pada

tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif

Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip

mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.8 Menurut Artidjo

Alkotsar, Restorative justice telah diupayakan diterapkan di berbagai Negara di

dunia seperti di United Kingdom, Austria, Finladia, Jerman, Amerika Serikat,

Kanada, Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika dan Kolombia.9

Restorative justice dalam tataran peraturan perundang-undangan di

Indonesia, belum diatur secara tegas. Menurut Setyo Utomo, tentang pengaturan

tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan sanksi alternatif baru diatur dalam

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana terdapat konsep

restorative justice.10

Konsep restorative justice yang diatur dalam RKUHAP yang

dimaksud oleh Andi Hamzah, yaitu dilakukan oleh Penuntut Umum atas asas

opportunitas.11

Jika Andi Hamzah hanya berbicara sebatas kewenangan Penuntut

6 Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice Di Indonesia (Peluang dan Tantangan

Penerapannya), ditelusur melalui internet http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-

indonesia.html diakes pada tanggal 15 September 2012.

7 Ibid

. 8 United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal

matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), yang ditelusur

melalui internet

www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%2520crimina

l% diakses pada tanggal 15 September 2012

9 Artidjo Alkotsar, Urgensi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Di

Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam diskusi di Mahkamah Agung, Jakarta, tanggal 22

Juli 2010.

10

Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative

Justice, (Jakarta: Majalah Hukum Nasional Nomor 01 Tahun 2011, BPHN), hal. 137-162.

11

Andi Hamzah, Restorative Justice Dan Hukum Pidana Di Indonesia, makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim

Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

4

Universitas Indonesia

Umum, maka Surya Jaya berbicara dalam konteks sistem peradilan pidana,

restorative justice dapat diterapkan.12

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak yang telah disahkan oleh

DPR pada tanggal 3 Juli 2012 juga memuat konsep restorative justice.13

Undang-

undang tersebut telah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, Pasal 1 angka 6

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana anak tersebut menyebutkan

tentang restorative justice, yaitu: 14

”Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang

terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan.”

Restorative justice telah lama diterapkan dalam masyarakat Indonesia, contoh

seorang pelaku yang menabrak orang lain yang menimbulkan cidera atau

meninggal, tidak jarang serta merta berusaha memberi perhatian terhadap korban

(keluarga korban). Cara-cara tersebut dilakukan dengan mengambil

tanggungjawab pengobatan, memberi uang duka, meminta maaf, dll. Hal yang

disebutkan diatas bisa juga dikatakan sebagai bentuk penghukuman atau

pemidanaan terhadap pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Hal tersebut

sebagaimana yang diutarakan oleh Dinah Shelton yaitu:15

“thus, the essential of compensatory justice are:(1)the parties are treated

as equal;(2)there is damage inflicted by one party on another; (3) remedy

12

Surya Jaya, Keadilan Restoratif Tuntutan Dan Kebutuhan Dalam Sistem Peradilan

Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam

Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI

ke-59, Jakarta, 25 April 2012.

13

Tempo, Undang-Undang Peradilan Anak Disahkan,

http://www.tempo.co/read/news/2012/07/03/173414478/Undang-Undang-Peradilan-Anak-

Disahkan. Wakil ketua Komisi Hukum Aziz Syamsudin mengatakan undang-undang ini dibuat

guna mewujudkan peradilan yang menjamin perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan

hukum,”Kami ingin ada pendekatan restorative dalam penyelesaian secara adil yang melibatkan

pelaku, korban dan keluarga yang berkaitan dengan tindak pidana.” 14

Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332.

15

Dinah Shelton, Remedies In International Human Rights Law, (New York, Oxford

University Press, 1999), sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative Justice, (Jakarta,

Varia Peradilan ke XXII N.262, IKAHI, hal.9-10.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

5

Universitas Indonesia

seeks to restore the victim to the condition he or she was in before the

unjust activity occurred. Remedies thus are designed to place an

aggrieved party in the same position as he or she would have been had no

injury occurred. To achieved this end by holder the wrongdoer responsible

for providing the remedy served a morel need; on a practical level

collective insurance can as easily make the victim whole.”

Pemidanaan merupakan bagian penting dari hukum pidana yang justru

sering menjadi dambaan, sorotan dan sekaligus momok yang menakutkan bagi

sebagian besar masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat umumnya mengukur

sejauh mana keseriusan penegak hukum menerapkan keadilan lewat seberapa

besar dan seberapa pantas pemidanaan yang dijatuhkan. Pemidanaan juga harus

memperhatikan keadilan masyarakat, keadilan korban dan keadilan pelaku. Hal

senada juga diutarakan oleh Howard Zeir yaitu: 16

“The restorative justice movement originally began as an effort to rethink

the needs –which crime create, as wel as the roles implicit in crimes.

Restorative justice advocates –were concerned about needs that were not

being meet in the usual justice process. They also believed that preavailing

understanding of legitimate participants or stake holders in jusktice was

too restrictive. Restorative justice expands the circle of stake holders those

with a stake or standing in the event or the case beyond just the

government and the offender to include victims and community members

also.”

Dengan demikian pemidanaan menjadi suatu hal yang tidak ditakuti melainkan

sebagai salah satu solusi yang dirasakan adil oleh semua pihak dalam

penyelesaian masalah pidana.

Restorative Justice sebagai suatu bentuk perkembangan terakhir dari

berbagai pemikiran tentang hukum pidana dan pemidanaan, hingga saat ini masih

menjadi suatu konsep yang diperdebatkan.17

Pemidanaan pada dasarnya

merupakan gambaran dari sistem moral, nilai kemanusiaan dan pandangan

filosofis suatu masyarakat manusia pada suatu zaman, sehingga permasalahan

16 Howard Zehr, Restorative Justice, Good Books, Intercourse, PA, 2002. sebagaimana

dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative Justice, (Jakarta, Varia Peradilan ke XXII N.262,

IKAHI, hal.9

17

Eva Achjani Zulfa (a), Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Lubuk Agung, Bandung,

2011), hal. 3.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

6

Universitas Indonesia

mengenai sistem pemidanaan paling tidak harus meliputi tiga perspektif yaitu

filosofis, sosiologis dan kriminologis.18

Menurut John O Haley, restorative justice merupakan alternatif dari tujuan

pemidanaan yang ada dan menjawab kegagalan dari tujuan pemidanaan dengan

retribusi/penghukuman:19

”I would only add that as broadly defined an integrated approach to

restorative justice offers an alternative to the retributive models that far

more effectively and efficiently achieve each of the three principal aims of

criminal justice--victim reparation, offender correction, and crime

prevention.”

Sally S Simpson juga berpendapat sama seperti John O Haley, these penalties are

justified be the sentencing objectives of deterrence, proportionality, public

protection an restitution to victim.20

Dalam praktiknya bukanlah suatu hal yang mudah untuk memilih dan

memilah bentuk teori pemidanaan mana yang dipakai dalam saat ini.21

Terlebih

lagi telah disinggung tentang hubungan restorative justice dengan hukum adat,

menjadi menarik ketika adanya suatu perkara yang telah diselesaikan secara adat

yang juga disidangkan dan berakhir dengan putusan pengadilan. Putusan No.

21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln adalah dua

putusan dimana dalam perkara tersebut telah ada penyelesaian secara adat dan

diputus dengan putusan pengadilan.

Kedua Putusan tersebut mempunyai permasalahan yang cukup pelik karena

juga berhadapan dengan masyarakat adat yang meminta perkara tersebut

diselesaikan dengan membebaskan terdakwa karena telah adanya penyelesaian

secara adat. Sepenggal cerita dari suatu tulisan yang menceritakan tentang Putusan

18

Ibid.

19

John O Haley, Beyond Retribution An Integrated Approach To Restorative Justice,

(Washington: Washitong Jounal Of Law And Policy, 2011).

20

Sally S Simpson, Corporate Crime, Law and Social Control, (UK, Cambridge,

Cambridge University Press, 2002). sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative

Justice, (Jakarta, Varia Peradilan ke XXII N.262, IKAHI, hal.9

21

Ibid, hal. 47.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

7

Universitas Indonesia

No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, yaitu sebagai

berikut:22

Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif Pengadilan Negeri Sorolangun Jambi menjatuhkan vonis kepada Tumenggung

Celitai dan Mata Gunung selama tiga bulan dan 20 hari karena melanggar Pasal

351 Ayat (1) KUHP dan Pasal 170 KUHP. Jika dilihat sepintas tidak ada yang

istimewa dalam putusan tersebut, tetapi hal ini membawa akibat bagi eksistensi

hukum adat di tengah-tengah hukum positif kita. Hal ini ditengarai bahwa putusan

itu terkait dengan penyelesaian adat dimana keputusannya, para pihak yang

bertikai dihukum membayar denda adat berupa kain yang dianggap sebagai

pengganti kerugian rokhani. Dengan perhitungan satu orang tewas dihitung 500

kain. Kelompok Tumenggung Celitai membayar 1.000 kain kepada pihak Madjid,

sedangkan pihak Madjid membayar 500 kain kepada kelompokCelitai.

Kedua putusan tersebut menjadi menarik karena ada penyelesaian secara

adat dan berakhir dengan putusan pengadilan, dimana Hakim dalam hal ini

melalui putusan pengadilan mempertimbangkan penyelesaian adat tersebut dan

pemidanaan yang dijatuhkan. Hakim dihadapkan kepada hukum dan pemidanaan

yang bagaimana yang akan diterapkan yang tentu saja dengan pertimbangan

hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis.

1.2. Pernyataan Permasalahan

Putusan No. 1600/K/Pid/2009 yang menjadi landmark decision dalam

Rakernas MA RI Tahun 2011, menarik untuk dianalisa. Dalam pertimbangan

hukumnya mendasarkan kepada konsep restorative justice, yang secara substansi

hukum belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut menjadi

penting ditanyakan karena mengingat Indonesia menganut civil law system

dimana mendasarkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum yang

utama dalam penyelesaian perkara.

Hakim dalam hal ini telah mengambil keputusan yang tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Namun bukan berarti Hakim tidak mempunyai

22 Mahmud Sebayang, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat, (Jakarta,

Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009) yang ditelusur melalui internet http://www.prakarsa-

rakyat.org/artikel/opini/artikel_kirim.php?aid=33984 yang diakses pada tanggal 24 September

2012

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

8

Universitas Indonesia

kewenangan dalam menemukan atau menciptakan hukum melalui putusannya.

Ternyata juga bukan hanya putusan no. 1600/K/2009 yang menganut konsep

restorative justice. Hukum adat yang ada di Indonesia mempunyai cara-cara

penyelesaian yang berkonsep restorative justice.

Tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk penghukuman/balas dendam/

retributive justice dianggap gagal.23

Oleh karena itu berkembang pemikiran

tentang tujuan pemidanaan yang lainnya dan restorative justice dianggap dapat

menjawabnya. Perkara yang telah diselesaikan secara adat tetap diproses secara

hukum yang tertuang dalam putusan pengadilan, menjadi menarik karena

penyelesaian secara adat yang berkonsep restorative justice, sedangkan konsep

restorative justice itu sendiri belum ada pengaturannya. Oleh karena itu hal

tersebut menarik untuk diteliti tentang penerapan restorative justice dalam

putusan pengadilan termasuk di dalamnya atas dasar hukum apa Hakim

menerapkan restorative justice dan apa maksud tujuan diterapkannya konsep

restorative justice, khususnya terhadap perkara yang telah diselesaiakan secara

adat yaitu dengan menganalisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan no.

22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penulisan ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana eksistensi restorative justice di pengadilan? dan apakah

restorative justice dapat sebagai tujuan pemidanaan?

2. Bagaimana sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme

adat?dan apakah ada hubungannya restorative justice dengan nilai

hukum adat?

3. Bagaimana penerapan Restorative Justice dalam putusan Pengadilan

terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

23

John.O.Haley, Loc.Cit.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

9

Universitas Indonesia

1. Untuk mengetahui dan menganalisa eksistensi restorative justice dalam

praktek di Pengadilan dan untuk mengetahui dan menganalisa apakah

restorative justice dapat menjadi tujuan pemidanaan;

2. Untuk mengetahui dan menganalisa sistem penyelesaian perkara pidana

melalui mekanisme adat dan untuk mengetahui dan menganalisa hubungan

restorative justice dengan nilai hukum adat;

3. Untuk mengetahui dan menganaalisa penerapan restorative justice dalam

putusan pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat.

1.5. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan pembahasan terhadap

masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran

serta pemahaman dan pandangan tentang restorative justice bagi para mahasiswa,

staf pengajar, para praktisi hukum, khususnya praktisi hukum pidana. Penelitian

ini juga diharapkan akan menambah literatur yang jumlahnya masih sangat

terbatas. Pembahasan ini juga sebagai masukan bahwa restorative justice dapat

diterapkan dalam di pengadilan dengan produk hukumnya yaitu dalam putusan

pengadilan, khususnya terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat

meskipun secara tegas dalam peraturan perundang-undangan belum diatur akan

tetapi hakim dalam menemukan hukum dapat menyelesaikan konflik dengan

pemikiran bahwa tujuan pemidanaan yang ideal menerapkan restorative justice.

Lebih jauh lagi hal ini membantu pengadilan untuk menyelesaikan tumpukan

perkara di Mahkamah Agung, karena dengan restorative justice perkara selesai di

tingkat pertama.

1.6. Kerangka Teori

Indonesia sebagai Negara yang menganut civil law system, -seperti halnya

banyak dianut oleh sebagian Negara erofa continental- salah satu cirinya yaitu

Hakim berpikir deduktif dari bunyi Undang-undang menuju ke peristiwa khusus

dan akhirnya sampai pada putusan.24

Namun suatu hal yang disadari bahwa

24

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, 2010), hal.57.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

10

Universitas Indonesia

peraturan perundang-undangan itu tidak lengkap dan tidak jelas, tidak ada

peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas

sejelas-jelasnya.25

Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik atau kasus yang

harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicari hukumnya.

Penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau

aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan hukum umum kepada

hukum konkret.26

Hakim dihadapkan pada kondisi yang tidak bisa menolak perkara dengan

dalih tidak ada atau tidak jelas hukumnya. 27

Hakim dan hakim konstitusi

diwajibkan untuk mencari dan menemukan hukum tersebut, Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”28

Nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat mempunyai makna yang serupa

dengan pendapat Eugen Erlich yang terkenal dengan teorinya living law:29

“At the present as well as at any other time, the center of gravity of legal

development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial

decision, but in society itself.”

Pendapat Eugen Erlich pun mengkritik tentang sistem hukum yang lebih

mengagungkan hukum tertulis dan menggunakan hukum yang hidup di

25

Ibid., hal. 63.

26

Ibid., hal. 49.

27

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI

Nomor 5076. Pasal 10 ayat (1):” Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

28 Sudikno, Loc.Cit.

29

Eugen Erlich, Fundamental Principles Of The Sociology Of Law, terjemahan Walter

L.Moll, (Harvard University Press, 1936, vol. 5, 2000), hal. xx

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

11

Universitas Indonesia

masyarakat hanya sebagai dasar untuk mencari kebenaran dari interpretasi hukum

dan konstruksi hukum yang terkandung di dalamnya:30

“In our day, doubtless, the most important source of knowledge of the

living law is the modern legal document. Even today or these documents is

being studied very extensively, to with judicial decision, but not in the

sence we have in mind here. It is not being treated as evidence of the living

law, but as a work of juristic literature which is to be examined not as to

the truth of the legal relations described therein and as to the living law

that is to be extracted therefrom, but also to the correctness of the

statutory interpretation and of the juristic construction contained therein.”

Keberadaan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan berkembang dari

masyarakat, pun diakui oleh Eugen Erlich:

“Customary law on other hand, in the prevailing view is so unimportant

that no effort is being put forth to ascertain its content by scientific

method, much less to create methods for its investigation.”31

Eugen Erlich menambahkan, hukum itu tidak terbatas hanya pada peraturan

perundang-undangan ataupun putusan pengadilan tetapi terletak pada tatanan

masyarakat itu sendiri:32

“But the scientific significance of the living law is not confined to is

influence upon the norms for decision which the courts apply or upon the

content of statutes. The knowledge of the living law has an independent

value, and this consists in the fact that it constitutes the foundation of the

legal order of human society.”

Hukum adat dengan penyelesaian adat yang dilakukan dimana melibatkan

masyarakat adat, dan tentu saja pelaku dan korban tidak ada membedakan

penyelesaian untuk perkara perdata atau pidana, semunya bertujuan untuk

keharmonisan hubungan, memulihkan hubungan antara pelaku dan korban seperti

ke keadaan sebelum terjadinya tindak pidana. Praktek hukum adat sangat

memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau immaterial.

30

Ibid., hal. 493-494.

31

Ibid., hal. 486.

32

Ibid., hal. 502.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

12

Universitas Indonesia

Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi tradisi

masyarakat hukum adat kita.33

Jika Eugen erlich lebih melihat kepada hukum yang hidup dalam

masyarakat, maka John Rawls pun menegaskannya dengan gagasan keadilan

sebagai fairness, suatu teori keadilan yang menggeneralisasikan dan mengangkat

konsepsi tradisional tentang kontrak sosial ke level abstraksi yang lebih tinggi.34

Menurut John Rawls, subyek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat,

atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan

kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama

sosial.35

Prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan

dari kesepakatan, prinsip-prinsip ini akan mengatur persetujuan yang lebih lanjut,

mereka menentukan jenis kerja sama sosial yang bisa dimasuki dan bentuk-bentuk

pemerintah yang bisa didirikan, cara pandang terhadap prinsip keadilan ini yang

menurut John Rawls disebut keadilan sebagai fairness.36

Prinsip-prinsip keadilan dipilih dalam keadaan tanpa pengetahuan, hal ini

memastikan bahwa tak seorang pun diuntungkan atau dirugikan dalam pilihan

prinsip-prinsip dengan hasil peluang natural atau kontingensi situasi sosial.37

Keadilan sebagai fairness, mengungkapkan gagasan bahwa prinsip-prinsip

keadilan disepakati dalam situasi ideal yang lebih fair.38

Keadilan sebagai fairness,

seperti pandangan kontrak lainnya, terdiri dari dua bagian: 1. Intepretasi atas

situasi awal dan atas persoalan pilihan yang ada, dan 2. Seperangkat prinsip yang

akan disepakati.39

Dan adalah masuk akal dan bisa diterima jika tidak ada yang

33

Bagir Manan, Loc.Cit.,

34

John Rawls, A Theory of Justice, terjemahan Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011), hal.3.

35

Ibid., hal. 7-8.

36 Ibid., hal 12-13.

37

Ibid., hal.13. 38

Ibid., hal. 14. 39

Ibid., hal. 17.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

13

Universitas Indonesia

boleh diuntungkan dan dirugikan oleh takdir alam atau situasi-situasi sosial dalam

pemilihan prinsip.40

Dengan demikian menurut penulis, teori keadilan sebagai fainess yang

dimaksud oleh John Rawls-yang juga disebut sebagai teori kontrak-41

dimana

struktur dasar masyarakat sebagai subjek utama keadilan mempunyai kesepakatan

dalam memilih suatu prinsip dimana tidak ada pihak yang diuntungkan ataupun

dirugikan. Teori ini sejalan dengan konsep restorative justice, yang mana tujuan

utamanya adalah untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban dan

masyarakat dimana penyelesaiannya dengan adanya kesepakatan yang diambil

oleh pelaku, korban dan masyrakat sehingga tidak ada pihak yang diuntungkan

ataupun dirugikan dari peristiwa pidana tersebut.

1.7. Kerangka Konsepsional

Dalam kerangka konsepsional, penulis merumuskan konsep yang dipakai

dalam penelitian ini, sebagaimana yang dimaksud oleh Soerjono Soekanto:

“Didalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris,

dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang dipiris,

dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau

diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka

konsepsionil tersebut, sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang

dapat dijadikan pedoman operasionil di dalam proses pengumpulan,

pengolahan, analisa dan konstruksi data.”42

Kerangka konsepsional dalam hal penelitian ini adalah tentang konsep

restorative justice dalam sistem peradilan pidana, khususnya konsep restorative

justie yang dipakai sebagai dasar suatu putusan pengadilan. Konsep restorative

justice sebagai dasar suatu putusan pengadilan pada dasarnya berbeda dengan

konsep restorative justice pada umumnya. Sehingga konsep restorative justice

yang dipakai dalam pengertian ini adalah sebagaimana yang diungkapkan Dignan,

yaitu:

40

Ibid., hal.21.

41 Ibid., hal.18.

42

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia-Press,

2010), hal. 137.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

14

Universitas Indonesia

“Restorative justice ia a new framework for responding to wrongdoing and

conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,

legal, social work and and counseling professionals and community

groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the

person causing the harm, and the affected community.43

Sehingga restorative justive dalam putusan pengadilan adalah sebagai

framework bagi hakim dalam melihat bagaimana suatu perkara harus diputus

dengan mengacu kepada pemahaman putusan sebagai respon atas suatu masalah

yang terjadi dimasyarakat. Dalam kaitannya dengan putusan pengadilan, maka

putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah:44

“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang

ini.”

Dalam Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan, tujuan pemidanaan

menurut Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu: 45

(1) Pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

43 Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,

2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash

Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis

dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan

Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan

Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar

Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan

Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat

diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok

masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari

pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,

orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”

44

Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981, Lembaran Negara RI Tahun 1981 No.76, Tambahan Lembaran Negara No.3209.

45

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

15

Universitas Indonesia

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat; dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.

1.8. Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.46

Pendekatan hukum normatif digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis

norma-norma hukum yang berlaku, yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan nasional, maupun dalam berbagai putusan pengadilan yang menerapkan

restorative justice.

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mengungkapkan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai

objek penelitian dan juga penerapannya. Deskriptif analitis, merupakan metode

yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang

terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti

mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang

bersifat ideal, kemudian dianalisa berdasarkan teori hukum atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Teknik pencarian data digunakan untuk menjawab pertanyaan –yang pada

dasarnya terhadap dua putusan yaitu putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan

Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn- dalam penelitian ini adalah data sekunder

berupa hasil penelusuran dari literatur terkait dan data primer berupa hasil

wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan mewawancari dua orang hakim,

untuk melihat dari perspektif hakim tentang penerapan restorative justice dalam

putusan pengadilan sebagai suatu penemuan hukum. Selain itu juga akan

mewancarai seorang akademisi yang ahli kriminologi dan seorang akademisi dari

ahli hukum pidana, untuk melihat dari perspefktif akademisi tentang restorative

justice sebagai tujuan pemidanan, serta seorang akademisi yang ahli dalam

hukum adat yang juga seorang hakim agung, untuk memberikan gambaran

tentang mekanisme penyelesaian perkara pidana secara adat. Selain itu juga

46

Soejono Soekanto, Op.Cit., hal. 252.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

16

Universitas Indonesia

untuk mendapat gambaran tentang kasus yang akan dianalisa, wawancara juga

dilakukan terhadap salah seorang hakim, dua orang jaksa dan salah seorang

penasehat hukum terdakwa serta seorang aktivis dari sebuah Lembaga Swadaya

Masyarakat yang pemerhati perkara ini khususnya terhadap eksistensi suku anak

dalam.

Bahan utama adalah data sekunder yang kemudian ditunjang dengan data

primer. Data sekunder ini terdiri atas: 47

1. bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah

yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian ilmiah baru tentang fakta yang

diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide), mencakup: a). buku, b). kertas

kerja konperensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya, c). laporan

penelitian, d). laporan teknis, e). majalah, f). disertasi atau tesis, g). paten.

2. bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi

tentang bahan primer, mencakup: a). abstrak, b). indeks, c). bibliografi, d).

penerbitan pemerintah, e). bahan acuan lainnya, data pengetahuan ilmiah

yang baru atau mutakhir, dan

3. bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang (tersier) di luar bidang hukum,

misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat

dan sebagainya, yang oleh para peneliti hukum digunakan untuk

melengkapai ataupun menunjang data penelitiannya.

1.9. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari, yaitu:

BAB 1 berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, pernyataan permasalahan,

pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, kerangka teori, kerangka konsepsional, dan sistematika

penulisan.

BAB 2 akan menjelaskan tentang Eksisternsi restorative justice di Pengadilan

sebagai tujuan pemidanan yang terdiri dari sub bab tentang restorative

justice, meliputi sejarah timbulnya, definisi, serta tujuan dari restorative

47

Soejono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, sustu tinjauan singkat,

(Jakarta: Raja Grafindo, 1995),hal. 29-33.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

17

Universitas Indonesia

justice, kemudian sub bab lain menjelaskan tentang restorative justice

sebagai tujuan pemidanaan meliputi Pemidanaan, jenis pemidanaan,

tujuan pemidanaan dan sub bab terakhir tentang eksistensi restorative

justice di pengadilan, yang terbagi ke beberapa sub bab yang melihat

restoratative justice dalam putusan pengadilan yaitu putusan no.1600

K/Pid/2009, putusan no. 2238 K/Pid/2009, putusan no. 307

K/Pid.Sus/2010, Kasus Clotworthy (New Zealand,1998), kasus Gladue

(Kanada, 1999)

BAB 3 akan menguraikan tentang hubungan restorative justice dengan sistem

penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat yang terdiri dari sub

bab tentang hukum adat yang membahas tentang hukum pidana adat,

bentuk dan tujuan sanksi adat, sub bab tentang penyelesaian perkara

pidana melalui hukum adat yang terdiri dari eksistensi lembaga adat dan

kelemahan penyelesaian melalui hukum adat, sub bab terakhir membahas

tentang nilai hukum adat dalam restorative justice

BAB 4 akan menganalisa putusan yaitu tentang penerapan restorative justice

dalam putusan pengadilan (studi kasus terhadap perkara yang telah

diselesaikan secara adat, analisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan

putusan no. 22/Pid.B.2009.Pn.Srlgn terdiri dari sub bab penyelesaian

perkara secara adat, analisa no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn yang dibagi

menjadi kasus posisi, pertimbangan hukum dan amar putusan kemudian

analisanya dan sub bab analisa putusan no. 22/Pid.B.2009.Pn.Srlgn, yang

terbagi menjadi kasus posisi, pertimbangan hukum dan amar putusan

serta analisanya.

BAB 5 merupakan penutup terdiri dari sub bab Kesimpulan dan Saran

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

18

BAB 2

EKSISTENSI RESTORATIVE JUSTICE DI PENGADILAN

SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN

2.1. Restorative Justice

Dalam pembahasan sub bab ini akan lebih banyak menguraikan tentang

restorative justice yang merupakan inti dari penelitian ini. Dalam

pembahasan sub bab ini akan dijelaskan dan dianalisa tentang restorative

justice, yang meliputi: sejarah timbulnya, definisi, dan tujuan dari

restorative justice.

2.1.1. Sejarah timbulnya

Sejarah timbulnya Restorative Justice, diketahui sebagai berikut:

“In many countries, dissatisfaction and frustration with the formal justice

system or a resurging interest in preserving and strengthening customary

law and traditional justice practices have led to calls for alternative

responses to crime and social disorder. Many of these alternatives provide

the parties involved, and often also surrounding community, an opportunity

to participate in resolving conflict and addressing its consequences.

Restorative justice programmes are based on the belief that parties to a

confict ought to be actively involved in resolving it and mitigating its

negative consequences.they ara also based, in some instances, on a will to

return to local decision-making and community building. These approaches

are also seen as means to encourage the peaceful expression of conflict, to

promote tolerance and inclusiveness, build respect for diversity and

promote responsible community practis.” 48

48 United Nations Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice

Programmes, (New York: United Nation, 2006), hal. 5. Yang ditelesur melalui internet

http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diunduh 21 november 2012.

Terjemahan bebas dari penulis yaitu:”Di banyak negara, ketidakpuasan dan frustrasi dengan sistem

peradilan formal atau kepentingan dalam melestarikan dan memperkuat hukum adat dan praktek

peradilan tradisional telah menyebabkan panggilan untuk respon alternatif untuk kejahatan dan

kekacauan sosial. Banyak alternatif ini menyediakan pihak yang terlibat, dan sering juga

masyarakat sekitar, kesempatan untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik dan menangani

konsekuensinya. Program keadilan restoratif didasarkan pada keyakinan bahwa pihak yang

berkonflik harus terlibat aktif dalam menyelesaikan dan mengurangi konsekuensi negatif.

Restorative justice juga didasarkan, dalam beberapa kasus, pada keinginan untuk kembali ke

pengambilan keputusan dan masyarakat setempat. Pendekatan-pendekatan ini juga dilihat sebagai

sarana untuk mendorong ekspresi damai konflik, untuk mempromosikan toleransi dan inklusivitas,

membangun penghargaan atas keragaman dan menerapkan praktik masyarakat yang bertanggung

jawab. "

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

19

Universitas Indonesia

Dengan demikian restorative justice timbul karena adanya ketidakpuasan

dengan sistem peradilan pidana yang telah ada, yang mana tidak melilbatkan

pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dengan pelaku.

Korban dan masyarakat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda

dengan restorative justice di mana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai

pihak untuk menyelesaikan konflik.

Di Indonesia perkara pidana diselesaikan melalui sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem dalam

suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.49

Tujuan sistem peradilan

pidana, yaitu:50

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatan.

Namun demikian jika dihubungkan dengan sejarah timbulnya restorative

justice, maka sistem peradilan pidana tidak berjalan sesuai dengan yang

diharapkan, karena gagal memberi ruang yang cukup pada kepentingan para calon

korban dan para calon terdakwa, dengan kata lain sistem peradilan pidana yang

konvensional sekarang ini di berbagai Negara di dunia kerap menimbulkan

ketidakpusan dan kekecewaan.51

Menurut Eva Achjani Zulfa: “paradigma yang dibangun dalam sistem

peradilan pidana saat ini menentukan bagaimana negara harus memainkan

peranannya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, negara memiliki otoritas

49

Mardjono Reksodiputro (a), Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak

Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,

kumpulan karangan buku ketiga (Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum

Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hal. 84.

50

Ibid.

51

Nicola Lacey, A Life of H.L.A Hart: The Nigthmare and The Noble Dream, (Oxpord:

Oxpord University Press, 2004), sebagaimana ditulis dalam buku Eriyantouw Wahid, Keadilan

Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Trisaksi,

2009), hal. 43.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

20

Universitas Indonesia

untuk mengatur warganegara melalui organ-organnya.”52

Masih menurut Eva,

bahwa dasar dari pandangan ini menempatkan Negara sebagai pemegang hak

menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan

hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana

yang terjadi dalam masyarakat.53

Namun demikian, penggunaan lembaga hukum

pidana sebagai alat penanganan konflik menempatkan dirinya sebagai mekanisme

terkahir yang dimana lembaga lain tidak dapat menjalankan fungsinya untuk

menangani konflik yang terjadi, dengan demikian hukum pidana bersifat ultimun

remidium.54

Eva Achjani Zulfa melanjutkannya pernyataannya yaitu implikasi dari

pemikiran tersebut adalah pendifinisian kejahatan sebagai suatu serangan terhadap

Negara berdasarkan aturan perundang-undangan yang dibuatnya sehingga

kejahatan merupakan konflik antara pelaku kejahatan dengan Negara.55

Hal ini

selaras dengan pernyataan Mardjono Reksodiputro, yaitu kejahatan diartikan

sebagai pelanggaran atas hukum pidana, dalam undang-undang pidana maupun

ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan lainnya,

dirumuskan perbuatan atau perilaku yang dilarang dan diancam dengan hukuman

(pidana).56

Menurut Mardjono Reksodiputro, kejahatan adalah salah satu bentuk

tingkah laku manusia, yang ditentukan oleh sikapnya (attitude) dalam menghadapi

suatu situasi tertentu.57

Definisi kejahatan amat sering sekali ditentukan oleh dan

52

Eva Achjani Zulfa (b), Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku

Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, (Jakarta: Kerjasama antara

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal.

27. 53

Ibid. 54

Ibid.

55 Ibid., hal, 28.

56

Mardjono Reksodiputro (b), Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada

kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi) dalam buku Bunga Rampai

Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana , kumpulan karangan buku kelima, (Jakarta: Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007),

hal. 1.

57

Mardjono Reksodiputro (c), Mencari Faktor-faktor Sebab Kejahatan (Suatu Uraian

Selayang Pandang) dalam buku Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

21

Universitas Indonesia

untuk kepentingan mereka yang”mengendalikan hukum”, yaitu kelompok tertentu

yang memegang kendali kuasa.58

Hukum pidana yang menjadi acuan menentukan suatu kejahatan, menurut

Mardjono Reksodiputro sebagai suatu reaksi terhadap perbuatan ataupun orang

yang telah melanggar norma-norma moral dan hukum dank arena itu telah

mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan

sosial.59

Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam ilmu hukum di FHUI,

Marjono Reksodiputro mengatakan, para pelaku kejahatan dianggap telah tidak

memperdulikan kesejahteraan umum, keamanan dan hak milik orang lain.60

Dengan demikian atas dasar perlindungan kepada warga negara-lah yang

berhadapan dengan pelaku kejahatan, dari sinilah muncul posisi korban sebagai

pihak yang pada dasarnya paling dirugikan terkait suatu tindak pidana kehilangan

perannya.61

Menurut Eva Achjani Zulfa, hilangnya peran korban dalam sistem peradilan

pidana didasarkan pada empat kelemahan yaitu:62

a. Tindak pidana lebih diartikan sebagai penyerangan terhadap otoritas

pemerintahan dibandingkan sebagai serangan kepada korban atau

masyarakat;

b. Korban hanya menjadi bagian dari sistem pembuktian dan bukan sebagai

pihak yang berkepentingan akan proses yang berlangsung;

c. Proses hanya difokuskan pada upaya penghukuman bagi pelaku dan

pencegahan kejahatan semata tanpa melihat upaya perbaikan atas

kerugian yang ditimbulkan dan mengembalikan keseimbangan dalam

masyarakat;

d. Dalam penyelesaiannya, fokus perhatian hanya diarahkan kepada proses

pembuktian atas kesalahan pelaku. Oleh karenanya, komunikasi hanya

berlangsung satu arah yaitu antara hakim dan pelaku sementara konsep

dialog utamanya yaitu antara pelaku dan korban sama sekali tidak ada.

buku kedua (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,

2007), hal.1.

58

Mardjono Reksodiputro (b), Op.Cit., hal. 37.

59

Ibid., hal. 1.

60

Ibid. Pidato pengukuhan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1993 dengan beberapa

bagian pada awal dan akhir telah dihapuskan.

61

Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.

62

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

22

Universitas Indonesia

Sejalan dengan pemikiran Eva Achjani Zulfa, Romany Sihite juga

mengatakan bahwa”selama ini, sistem peradilan pidana lebih beorrientasi pada

kepentingan pelaku ketimbang korban, sehingga banyak melakukan pengabaian

hak-hak dan perlindungan hukum terhadap korban selama korban berhadapan

dengan isntitusi penegak hukum.63

Gandjar L Bondan juga menambahkan, sebagai

berikut:64

“Tidak jarang korban bahkan tidak tahu perkembangan proses peradilan

pidana yang dialaminya, tidak memiliki akses untuk mengetahui

perkembangan kasusnya, korban tidak tahu proses pengadilan, pembacaan

putusan, dan pemidanaan yang dijatuhkan kepada pelaku. Lebih dari itu,

korban hamper tidak mendapat manfaat dalam proses peradilan pidana,

padahal merekalah korban dalam arti sesungguhnya, merekalah yang

menderita kerugian. Akhirnya, korban merasa tidak mendapat keadilan, atau

setidaknya tidak merasakan keadilan lewat putusan yang dijatuhkan hakim.”

Pengertian korban menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power 1985, yaitu:65

“Victims means person who, individually or collectively, have suffered

harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic

loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or

omissions that are in violation of criminal law operative within member

states, including those laws proscribing criminal abuse of power.”

Oleh karena itu menurut Eva Achjani Zulfa:

63

Romany Sihite, Kedudukan dan Hak-Hak Korban Dalam Tata Peradilan Pidana,

dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice, (Jakarta: Kerjasama

antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI,

2011), hal. 51.

64

Gandjar L Bondan, Karakteristik Korban Dari Setiap Tindak Pidana Yang Menjadi

Fokus AKtivitas Perlindungan Saksi Dan Korban (Korupsi, Terorisme, Narkotika, Pelanggaran

HAM Dan Tindak Pidana Lain Yang Ditentukan LPSK) Dan Kewenangan LPSK dalam Rangka

Pemberian Reparasi dan Kompensasi, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam

Restorative Justice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan

Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal. 77. 65

United Nations, Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and

Abuse of Power, A/Res/40/34/, (New York: United Nation, 1985). Terjemahan bebas dari penulis

yaitu:” korban adalah orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita

kerugian,termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau

penurunan substansial dari hak-hak asasi mereka, akibat dari tindakan atau kelalaian

yang melanggar hukum pidana yang berlaku di beberapa negara anggota, termasuk hukum -

hukum pidana penyalahgunaan kekuasaan.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

23

Universitas Indonesia

“Kehadiran Restorative justice pada dasarnya menjadi kunci pembuka

pemiran kembali tentang posisi korban dalam suatu penyelesaian perka

pidana. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan

menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice,

korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah Negara. Oleh

karenanya kejahatan menciptkan kewajiban untuk membenahi rusaknya

hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana.” 66

Hal ini juga selaras dengan Gandjar L Bondan, yang menurutnya restorative

justice secara teoritis dan praktis dapat dipakai dalam penyelesaian suatu tindak

pidana, Gandjar menjelaskan sebagai berikut:67

“Dalam kerangka filosofis, hadirnya pendekatan restorative justice dalam

hukum pidana bukan bertujuan untuk mengabolisi hukum pidana, atau

melebur hukum pidana dan hukum perdata, karena pendekatan restorative

justice yang mengutamakan jalur mediasi antara korban dan pelaku.

Pendekatan restorative justice justru mengembalikan fungsi hukum pidana

pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum remidium, suatu senjata

pamungkas bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat lagi digunakan

dalam menghadapi suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam tataran

praktis penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan

pendekatan restorative justice menawarkan alternative jawaban atas

sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana, misalnya

proses administrasi peradilan yang sulit, lama, dan mahal, penumpukan

perkara atau putusan pengadilan yang tidak menampung kepentingan

korban.”

Dengan demikian Restorative justice ada sebagai suatu jawaban atas

ketidakpuasan atau kegagalan sistem peradilan pidana.

2.1.2. Definisi

Restorative justice itu sendiri dimaknai berbagai macam, antara lain

sebagai berikut:

Menurut Howard Zehr:

”Restorative justice is touted as a long-overdue third model or a new”lens”

a way of hopping off the seesaw, of heading more consistently in a new

66 Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.

67

Gandjar L Bondan, Op.Cit., hal. 76.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

24

Universitas Indonesia

direction while enrolling both liberal politicanc who support the welfare

model and conservatives who support the justice model.” 68

Tony Marshall:69

“Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a

particular offence come together to resolve collectively how to deal with the

aftermath of the offence and its implications for the future.”

G Bazemore and Mark Umbreit: ”Restorative justice is about restoring victims,

restoring offenders, and restoring communities.”70

Eva Achjani Zulfa:71

“Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada

kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat

ini.”

Marlina:72

“Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran

hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku

(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-

sama berbicara.”

Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal

68

Howard Zehr, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and

Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victim Offender Ministeries Program The MCC,

U.S, Office of Criminal Justice vo.4 (Ontario: Canada Victim Offender Ministries Program, 1985)

sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation,

(New York: Oxford University Press, 2002), hal.10.

69

Tony Marshall, Restorative Justice on Trial in Britain.”in Restorative Justice on Trial:

Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International Research Perspectives, edited

by H.Messmer and H.U.Otto.Dordrecht, (Boston: Kluwer Academic Publishers, 1992,

sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation,

(New York: Oxford University Press, 2002), hal.11.

70 Bazemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program Summary:

Balanced and Restorative Justice Project, (Washington: US Departement of Justice, Office of

Juvenile and Delinquency Prevention, 1994), sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite,

Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press, 2002), hal.11.

71

Eva Achjani Zulfa (c), Keadilan Restoratif, (Jakarta: FHUI, 2009), hal. 3.

72

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia:Pengembangan konsep Diversi dan

Restorative Justice, cetakan pertama (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 180

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

25

Universitas Indonesia

Matters yang dihasilkan oleh United Nation, tahun 2000:73

1. restorative justice programme means any programme that uses restorative processes or aims to achieve restoratibe outcomes;

2. restorative outcome means an agrrement reached as the result of restorative of a restorative process. Examples of restorative outcomes include restitution, community service and any other programme or response designed to accomplish reparation of the victim and community, and reintegration of the victim and/or the offender.

3. Restorative process means any process in which the victim, the offender and/or any other individuals or community members affected by a crime actively participate together in the resolution of matters arising from the crime, often with the help of a fair and impartial third party. Examples of restorative process include mediation, conferencing and sentencing circles.

4. Parties means the victim, the offender and any other individuals or community members affected by a crime who may be involved in a restorative justice programme.

5. Facilitator" means a fair and impartial third party whose role is to facilitate the participation of victims and offenders in an encounter programme.

Dignan:

“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and

conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,

legal, social work and and counseling professionals and community

groups.8 Restorative justice is a valued-based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the

person causing the harm, and the affected community.” 74

73

United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in

criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000),

(www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%2520crimin

al% diakses pada tanggal 15 September 2012, terjemahan menurut penulis adalah sebagai berikut:

1. Program Restorative justice berarti setiap program yang menggunakan proses restorative

atau bertujuan untuk mencapai hasil restoratibe;

2. Hasil restorative berarti kesepakatan dicapai sebagai hasil dari restorasi dari proses

restorative. Contoh hasil restorative termasuk restitusi, pelayanan masyarakat dan program

lain atau respon yang dirancang untuk mencapai perbaikan dari korban dan masyarakat, dan

reintegrasi korban dan/atau pelaku.

3. Proses restorative berarti setiap proses di mana korban, pelaku dan /atau orang lain atau

anggota masyarakat yang terkena dampak kejahatan secara aktif berpartisipasi bersama

dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul dari kejahatan, seringkali dengan bantuan

pihak ketiga yang adil dan tidak memihak. Contoh dari proses restorative termasuk mediasi,

konferensi dan lingkaran hukuman.

4. Pihak berarti korban, pelaku, dan perorangan lainnya atau anggota masyarakat yang terkena

dampak kejahatan yang mungkin terlibat dalam program restorative justice.

5. Fasilitator "berarti pihak ketiga yang adil dan tidak memihak yang berperan untuk

memfasilitasi partisipasi korban dan pelaku dalam program pertemuan.

74 Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,

2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

26

Universitas Indonesia

2.1.3. Tujuan

Proses Restorative justice mempunyai tujuan sebagai berikut:75

“Process goal include the following:

1. Victims who agree to be involved in the process can do safely and come

out it satisfied;

2. Offenders understand how their action has affected the victim and other

people, assume responsibility for the consequences of their action and

commit to making reparation;

3. Flexible measures are agreed upon by the parties which emphasize

repairing the harm done and, wherever possible, also address the

reasons for the offence;

4. Offenders live up to their commitment to repair the harm done and

attempt to address the factors that led to their behavior; and

5. The victim and the offender both understand the dynamic that led to the

specific incident, gain a sense of closure and are reintegrated into the

community.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Chris Cunneen tentang

restorative justice yang ideal, yaitu:76

Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis

dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan

Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan

Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar

Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan

Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat

diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok

masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari

pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,

orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”

75

United Nation, Op.Cit., hal. 9. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: "Proses tujuan

meliputi:

1. Korban setuju untuk terlibat dalam proses yang dapat dilakukan dengan aman dan meghasilkan

kepuasan;

2. Pelanggar memahami bahwa perbuatan mereka telah mempengaruhi korban dan orang

lain, untuk kemudian bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka

dan berkomitmenuntuk membuat perbaikan/reparasi;

3. Langkah-langkah fleksibel yang disepakati oleh para pihak yang menekankan untuk

memperbaiki kerusakan dilakukan dan, sedapat mungkin, juga mencegah pelanggaran;

4. Pelanggar membuat komitmen mereka untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan

dan berusaha untuk mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan perilaku mereka, dan

5. Korban dan pelaku baik memahami dinamika yang mengarah ke insiden tertentu, memperoleh

hasil akhir dan reintegrasi/kembali bergabung ke dalam masyarakat. 76

Chris Cunneen and Carolyn Hoyle, Debating Restorative Justice, (United Kingdom: Hart

Publishing, 2010), hal. 132.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

27

Universitas Indonesia

“Certainly the ideal is that restorative justice will be beneficial for both

victims and offenders. Victims will experience empowerment, healing

and closure. They will given the opportunity to ask questions about the

offence and express their emotion. Offenders will confront the harm

they have caused, take responsibility for their actions, apologize, act to

repair the harm and as a result be accepted back into their

community.”

2.2. Restorative Justice Sebagai Tujuan Pemidanaan

Untuk mengetahui lebih dalam tentang restorative justice sebagai tujuan

pemidanaan, maka pembahasan sub bab ini akan dibagi menjadi pemidanaan,

jenis pemidanaan dan tujuan pemidanaan.

2.2.1. Pemidanaan

Menurut Prof Sudarto, menyatakan bahwa penghukuman berasal dari

kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menerapkan hukum atau

memtuskan tentang hukumnya. Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak

hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.

Selanjutnya Beliau mengatakan bahwa istilah penghukuman dapat dipersempit

artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim

dengan pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim.77

Menurut

Barda Nawawi Arief, syarat pemidanaan ada dua yang fundamental yaitu asas

legalitas dan asas kesalahan, dengan perkataan lain mengenai pemidanaan

berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak pidana dan

pertangungjawaban pidana.78

Andi Hamzah, mengatakan bahwa masalah penjatuhan pidana atau

pemidanaan ini sangat penting dalam hukum pidana dan peradilan pidana.79

Menurut Andi Hamzah”penjatuhan pidana atau pemidanaan merupakan

konkretisasi atau realisasi peraturan pidana dalam undang-undang yang

77

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cetakan kedua

(Bandung: Alumni, 1998), hal. 1.

78

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 88.

79

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi ke Reformasi,

cetakan pertama (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal.72.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

28

Universitas Indonesia

merupakan sesuatu yang abstrak.80

Andi Hamzah melanjutkan bahwa”hakim akan

mempunyai keleluasaan luar biasa dalam memilih berapa lama pidana penjara

yang akan dijatuhkan kepada terdakwa terntentu dalam kasus konkreto.”81

2.2.2 Jenis Pemidanaan

Pernyataan Andi Hamzah yang terakhir disebutkan kurang tepat, karena

penjatuhan hukuman atau pemidanaan terkesan hanya pidana penjara, padahal

jenis pemidanaan masih ada yang lainnya. Jenis pemidanaan atau pidana menurut

KUHP seperti dimaksud dalam Pasal 10 dibagi dalam dua jenis yaitu:82

a. Pidana pokok, yaitu:

1) Pidana mati;

2) Pidana penjara;

3) Pidana kurungan;

4) Pidana denda;

5) Pidana tutupan;

b. Pidana tambahan, yaitu:

1) Pencabutan hak-hak tertentu;

2) Perampasan barang-barang terentu;

3) Pengumuman putusan hakim;

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, disamping jenis sanksi yang

berupa pidana dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa

tindakan, misalnya:83

a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau

terganggu karena penyakit (lihat pasal 44 ayat (2) KUHP);

b. Tentang tindakan terhadap anak. Muladi masih mengacu kepada KUHP

karena pada waktu itu memang belum ada Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mencabut Pasal 45 KUHP,

bahkan sekarang telah ada penggantinya lagi yaitu Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.84

80 Ibid., hal.73.

81

Ibid.

82

R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap

Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1994 ), hal. 34.

83 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 45-46.

84

Point hurf b yang tentang tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, penulis

tidak menampilkannya karena sudah tidak relevan dengan undang-undang yang sekarang

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

29

Universitas Indonesia

c. Penempatan di tempat bekerja Negara (landwerkinrichting) bagi

penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian,

serta mengganggu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan,

bergelandangan atau perbuatan sosial (Stb. 1936 no. 160);

d. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (Pasal 8 UU No.7

Drt 1955) dapat berupa:

1) Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk

selama waktu tertentu (3tahun untuk kejahatan TPE dan 2 tahun

untuk pelanggaran TPE);

2) Pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu;

3) Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut

taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan;

4) Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan

apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk

memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si

terhukum sekedar hakim tidak menentukan lain;

Selain pidana dan tindakan yang diuraikan di atas, Hakim juga dapat

menjatuhkan pemidanaan berupa percobaan dan bersyarat, sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 14 a dan 14 c KUHP, yaitu:85

Pasal 14a

“Bila Hakim menjatuhkan pidana sementara paling lama satu tahun

atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti

denda, maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula

bahwa pidana itu tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian hari

ada putusan hakim yang menentukan lain karena terpidana

melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang

ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena

terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus

yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.”

Pasal 14c

“Dengan perintah yang dimaksud dalam Pasal 14a, kecuali bila

dijatuhkan pidana denda, hakim selain menetapkan syarat umum

bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dapat

menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu,

yang lebih pendek daripada masa percobaannya, ahrus mengganti

mengaturnya (ketentuan tersebut sudah dicabut). Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bentuk tindakan yang dapat

dilakukan, yang merupakan hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk:

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

c. Keikutsertaan dalam penddikan atau pelatihan ke Lembaga Pendidikan, Lembaga

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial atau Lembaga Kesejahteraan Sosial, atau

d. Pelayanan masyarakat;

85

R Soesilo, Op.Cit. hal 39 dan 41.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

30

Universitas Indonesia

segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana

tadi.”

2.2.3. Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan yang dimaksudkan adalah teori penjatuhan pidana

atau teori pemidanaan. Ada tiga golongan utama untuk membenarkan penjatuhan

pidana:86

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien);

2. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien);

3. Teori gabungan (vereningstheorien);

Ad.1. Teori absolut mengatakan bahwa setiap kejahatan harus berakibat

dijatuhkannya pidana kepada pelaku. Secara historis tujuan pemidanaan

dengan teori pembalasan (retributive theory) dipelopori oleh Immanuel

Kant, tuntutan keadilan yang sifatnya absolut terlihat jelas dalam bukunya

“Philosophy of law, sebagai berikut:87

“… pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana

untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu

sendiri maupun bagi masyarkat, tetapi dalam semua hal harus

dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan

suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat

sepakat untuk menghancurkan dirinya (membubarkan masyarakat)

pembunuh terkahir yang masih berada di dalam penjara harus

dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu

dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya

menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam

tidaj boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak

demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut

ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran

terhadap keadilan umum.”

Menurut teori pembalasan (retributive theory), alasan pembenar

dalam penjatuhan hukuman, hukuman semata-mata sebagai imbalan dari

perbuatan jahat, pandangan teori retributive sebagai tujuan hukuman yang

paling tua, hukuman hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan itu sendiri.

86

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi,

(Jakarta, Pradnya Paramita, 1986), hal. 17.

87

Immanuel Kant, Philosophy of Law, sebagaimana dikutip Muladi dan Barda Nawawi

Arief, Op.Cit., hal. 11.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

31

Universitas Indonesia

Dalam hal ini setiap individu manusia itu bertanggungjawab atas setiap apa

yang dilakukannya.88

Ad.2.Teori relatif atau tujuan mencari dasar hukum pidana dalam

menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana

untuk provensi terjadinya kejahatan. Menurut Muladi dan Barda Nawawi

Arief, teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari

keadilan, pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai

sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.89

Muladi dan Barda

Nawawi Arief menambahkan bahwa”pidana bukanlah sekedar untuk

melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu

yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut sebagai

teori tujuan (utilitarian theory).”90

Beda ciri pokok atau karakteristik antara retributive theory dan

teori utilarian yang dikemukakan secara terperinci oleh Karl O Christiansen

sebagai berikut:91

Tabel 2.1 Perbedaan Retributif Theory dan Utilitarian Theory

Retributif theory Utilitarian theory

a. Tujuan pidana adalah

semata-mata untuk

melakukan pembalasan;

a. Tujuan pidana adalah

pencegahan (prevention)

b. Pembalasan adalah tujuan

utama dan di dalamnya

tidak mengandung sarana-

sarana untuk tujuan lain

misalnya untuk

kesejahteraan masyarakat;

b. Pencegahan bukan tujuan

akhir tetapi hanya sebagai

saran untuk mencapai tujuan

yang lebih tinggi yaitu

kesejahteraan masyarakat

c. Kesalahan merupakan satu-

satunya syarat untuk adanya

pidana;

c.Hanya pelanggaran-

pelanggaran hukum yang

dapat dipersalahkan kepada si

88

Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, cetakan

pertama (Jakarta: Indhill CO, 2007), hal. 8-9.

89

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 16.

90

Ibid.

91

Ibid., hal 16-17.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

32

Universitas Indonesia

pelaku saja (misal karena

sengaja atau culpa) yang

memenuhi syarat untuk

adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan

dengan kesalahan si

pelanggar;

d.Pidana harus diterapkan

berdasar tujuannya sebagai

alat untuk pencegahan

kejahatan;

e. Pidana melihat ke belakang,

ia merupakan pencelaan

yang murni dan tujuannya

tidak untuk memperbaiki,

mendidik atau

memasyaraktkan kembali si

pelanggar.

e.Pidana melihat ke muka

(bersifat prospektif); pidana

dapat mengandung unsur

pelecehan, tetapi baik unsur

pencelaan maupun unsur

pembalasan tidak dapat

diterima apabila tidak

membantu pencegahan

kejahatan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat. Sumber: Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,(Bandung:

Alumni, 1998), hal.16-17.

Masih menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa Jeremy

Bentham melihat suatu prinsip etika baru mengenai kontrol sosial, yaitu

suatu metode pengecekan perbuatan manusia menurut prinsip etika yang

baru, prinsip itu disebut “utilitarianism”, Bentham mengemukakan bahwa

tujuan-tujuan dari pidana adalah:92

1) Mencegah semua pelanggaran (to prevent all offense);

2) Mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst

offences);

3) Menekankan kejahatan (to keep down mischief), dan

4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense)

Ad.3.Teori gabungan merupakan gabungan dari teori absolut dan relatif. Teori ini

dibagi lagi menjadi 3 yaitu:

i. Yang menitikberatkan kepada pembalasan;

ii. Yang menitikberatkan kepada pertahanan tata tertib masyarakat/prevensi

seimbang;

92

Ibid., hal. 31.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

33

Universitas Indonesia

iii. Yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib

masyarakat.

Menurut Andi Hamzah belum banyak sarjana yang membahasnya,

namun dalam Rancangan KUHP nasional telah diatur tentang tujuan

penjatuhan pidana, yaitu:93

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian

menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup

bermasyarakat;

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidanam

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat;

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Menjadi pertanyaan sekarang, termasuk kategori yang manakah

restorative justice? Menurut Kathleen Daly sebagai berikut:94

93

Ibid, 23-24 Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2012

yaitu:

(1) Pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. 94

Kathleen Daly, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative

Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor:

Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 36.

Terjemahan bebas dari penulis yaitu: ´"Ada beberapa perbedaan lebih jelas daripada nyata, antara

praktek peradilan tradisional dan restoratif ... keadilan restoratif, korban mengambil peran yang

lebih utama dalam proses penekanannya adalah pada memperbaiki kerusakan antara pelaku dan

korban, anggota masyarakat atau organisasi mengambil peran yang lebih aktif dalam proses

peradilan, bekerja sama dengan negara, dan proses melibatkan dialog dan negosiasi antara para

pihak alam sengketa ".

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

34

Universitas Indonesia

“there are differences, some more apparent than real, between

traditional and restorative justice practices…restorative justice,

victims are to take a more central role in the process the emphasis

is on repairing the harm between an offender and victim,

community members or organisations take a more active role in the

justice process, working with state organisations; and the process

involves dialogue and negotiation among the major parties with a

stake in the dispute.”

Kathleen Daly, menggambarkan perbedaanya sebagai berikut:95

Tabel 2.2 perbedaan traditional justice (retributive and rehabilitative)

dengan restorative justice

Traditional justice (retributive

and rehabilitative)

Restorative Justice

Victims are peripheral

to the process;

The focus is on

punishing or on treating

an offender;

The community is

represented by the state;

The process is

characterized by

adversial relationship

among the parties

Victims are central to the

process;

The focus is on repairing

the harm between an

offender and victim, and

perhaps also an offender

and a wider community;

Community members or

organisations take a more

active role;

The process is

characterized by dialogue

and negotiation among

the parties. Sumber: Kathleen Daly, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative

Justice.

Kathleen Daly kembali menegaskan perbedaan retributive theory dengan

restorative justice, yaitu:96

“I hasten to add that I am not arguing that justice and punishment

are the same or that justice is done when punishment is delivered.

My point is more subtle and in subjective sense, more complex than

95

Ibid. 96

Ibid., hal. 41. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: "Saya cepat-cepat menambahkan

bahwa saya tidak sependapat bahwa keadilan dan hukuman adalah hal yang sama ketika

keadilan atau hukuman itu dilakukan. Maksud saya adalah lebih halus dan dalam arti subjektif

lebih luas dari itu. Hal ini untuk mengatakan bahwa kemampuan korban untuk menjadi murah hati

dan pemaaf dan untuk pelanggar untuk "membuat perubahan" bagi korban-elemen yang

merupakan tujuan yang diinginkan dalam keadilan restoratif, proses hanya dapat terjadi selama

atau setelah proses ketika hukuman, didefinisikan secara luas terjadi. "

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

35

Universitas Indonesia

that. It is to say that the ability of victims to be generous and

forgiving and for offenders to”make amends” to victims-element

that are desirable objectives in a restorative justice process-can

only come about during or after a process when punishment,

broadly defined, occurs.”

Jika Kathlen Daly berpendapat bahwa teknis hukuman (pengertian hukuman

secara luas) itu dibicarakan bersama antara pelaku dan korban, Seumas

Miller dan John Blackler, berpendapat bahwa dalam restorative justice juga

terdapat jenis hukuman yang memberi malu kepada pelaku untuk kemudian

direkonsialisasi yaitu:

“Restorative justice is often contrasted with retributive justice, on

the grounds that the letter is held to be committed to punishment

for its own sake, the former to abandoning punishment in favour of

shame, reconciliation and forgiveness. We will argue that there is

an ineliminable role for principles of retributive justice, incluiding

punishment, in the concept of restorative justice. We will further

argue that the concept of shame is more closelsy related to

punishment than might have been thought. Consequently, shame

and punishment are not alternatives, but go hand in hand within an

acceptable restorative justice framework.” 97

Konsep hukuman memberi malu pertama kali diungkapkan oleh John

Braithwaite, 1989 dalam bukunya Crime, Shame and Reintregation. Inti dari

kontrol sosial menurut Braithwaite sebagai shaming, yang dia definisikan

sebagai”all process of expressing disapproval which have the intention or

effect of invoking remorse in the person being shamed and/or concemnation

97

Seumas Miller dan John Blackler, Restorative Justice: Retribution, Confession and

Shame, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor:

Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 88.

Terjemahan bebas dari penulis yaitu: “Keadilan restoratif sering berbanding terbalik dengan

keadilan retributif, dengan alasan bahwa dasar retributive itu diadakan untuk berkomitmen

kepada hukuman untuk kepentingan diri sendiri, kemudain meninggalkan hukuman yang

membuat malu, rekonsiliasi dan pengampunan. Kami akan berpendapat bahwa ada

peran ineliminable untuk prinsip-prinsip keadilan retributif, termasuk hukuman, dalam

konsep keadilan restoratif. Kami selanjutnya akan berpendapat bahwa konsep rasa malu yang

lebih dekat terkait dengan hukuman. Akibatnya, rasa malu dan hukuman bukan alternatif,

namun berjalan beriringan dalam kerangka keadilan restoratif dapat diterima.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

36

Universitas Indonesia

by others who become aware of the shaming.”98

Shaming ada dua macam,

yaitu:

a. Disintegrative Shaming, menurut Braithwaite ini mestigmatisasi dan

meniadakan, jadi menciptakan suatu”class of outclass”. Pelaku tidak

hanya dihukum untuk kesalahannya tetapi juga dicap sebagai penjahat

yang tidak bisa dimaafkan dan tidak berguna untuk diperbaiki bagi

keanggotaan dalam masyarakat. Akibatnya adalah terjadinya jurang yang

semakin jauh dalam kejahatan;pelaku ditolak dari pekerjaannya serta

kesempatannya yang sah lain untuk bergabung dengan masyarakat

konvensional dan sebagai konsekuensinya bergabung dengan orang-

orang terbuang lainnya dalam menciptakan dan berpatisipasi dalam sub

budaya-sub budaya kriminal.

b. Reintegrative Shaming. Dalam hal ini, satu tindakan illegal yang pada

awalnya menimbulkan ketidaksetujuan masyarakat tetapi kemudian

diikuti oleh upaya-upaya”to integrate the offender back into the

community of law-abiding or respectable citizens through words or

gestures of forgiveness or ceremonies to decertify the offender as

deviant.”99

Dalam reintegrative shaming mempunyai dua wajah yaitu:

i. Membuat kepastian bahwa ketidakpantasan/ketidaktepatan

perbuatan salah itu diketahui oleh si pelaku dan oleh semua orang

yang menyaksikan, dan

ii. Menampilkan satu kesempatan untuk memperbaiki (to restore)

pelaku bagi keanggotaannya dalam kelompok.

Kombinasi ini menurut Braithwaite menurunkan kejahatan

melalui penekanan control yang lebih besar terhadap para pelaku

98

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, cetakan kesebelas (Jakarta,

Rajagrafindo Persada, 2011), hal 102-103. Terjemahan yang diberikan dari buku ini yaitu”semua

proses mengekspresikan ketidaksetujuan yang memiliki kesengajaan atau pengaruh dari meminta

penyesalan mendalam pada diri orang yang mendapat malu/dan atau disalahkan pihak lain yang

tahu tentang itu.”

99

Terjemahan yang diberikan dari buku ini yaitu”untuk mengintegrasikan pelaku kembali

kepada masyarakat sebagai orang yang taat hukum atau warga yang terhormat melalui kata-kata

atau bahasa tubuh yang menunjukkan pemaafan atau pernyataan untuk tidak menandai pelaku

tersebut sebagai deviant.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

37

Universitas Indonesia

dan dengan tidak menggerakkan proses-proses krimogenik yang

diakibatkan oleh stigmatisasi dan pengusiran sosial. 100

John Braithwaite dan Philip Pettit, berpendapat sebagai berikut:101

“The reintegrative ideal, closely tied to this, is that whatever

process and treatment is involved, it should so far as possible

promote the prospect that the victim and the offender are each

reintegrated into society as recognized, respected members.

Restorative justice conferences offer the best prospect of achieving

a process, and an agreed outcome, that will communicate the

reason why the offence is objectionable. And they also promise the

best chance of reintegration. They are designed to maximize social

support for both offenders and victims, particularly through

selecting for attendance those supporterts enjoying the strongest

relationship of trust or love with them. The impact of restorative

justice conference will be particularly positive if reintegrative

shaming theory is correct and there is some evidence that

reintegrative shaming does reduce lawbreaking.”

Dengan demikian John Braitwaite dan Philip Petit dalam

kesimpulannya berpendapat bahwa restorative justice berfungsi sebagai

pencegahan terhadap kejahatan daripada penghukuman dari pengadilan

“The explanatory theory of domination and crime explains why restorative

justice may be more effective in preventing crime than punishment by

court.”102

100

Ibid., hal. 103-104.

101

John Braithwaite dan Philip Pettit, Republicanism and Restorative Justice: An

Explanatory and Normative Connection, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice

Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth

Publishing Company, 2000), hal. 159-160. Terjemahan bebas dari penulis yaitu:” reintegratif yang

ideal, terkait erat dengan hal ini, adalah bahwa apapun proses dan pelaksanan yang terlibat, harus

sejauh mungkin mempromosikan prospek bahwakorban dan pelaku masing-masing reintegrasi ke

dalam masyarakat seperti diakui, dihormati anggota. Pertemuan dalam keadilan restoratif

menawarkan prospek terbaik untuk mencapai proses, dan hasil yang disepakati, yang akan

menyampaikan dalam komunikasi tersebut sebagai alasan mengapa pelanggaran dilakukan.

Dan pertemuan itu juga menjanjikan kesempatan terbaik untuk reintegrasi. Pertemuan tersebut

dirancang untuk memaksimalkan dukungan sosial untuk kedua pihak yaitu pelaku dan korban

khususnya, kehadiran mereka mendukung untuk menikmati hubungan terkuat kepercayaan atau

cinta dengan mereka. Dampak pertemuan dalam restorative justice akan sangat positif dan

membenarkan tentang teori mempermalukan reintegratif dan ada beberapa bukti

bahwa mempermalukan reintegrative mengurangi pelanggaran hukum.” 102

Ibid., hal. 161. Terjemahan bebas dari penulis yaitu:”Penjelasan Teori dominasi dan

kejahatan menjelaskan mengapa keadilan restoratif mungkin lebih efektif dalam

mencegah kejahatan dari hukuman oleh pengadilan.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

38

Universitas Indonesia

Menurut Luhut MP Pangaribuan, bahwa restorative justice sebagai tujuan

pemidanaan, walaupun tidak secara tegas sebagi pencegahan/deterrence,

teori relatif tetapi jelas bukan sebagai pembalasan/teori absolut, yaitu:103

“Dalam perkembangannya, konsep penyelesaian suatu kasus

pidana tidak lagi penjara karena merupakan perwujudan dendam

dan sekaligus beban kepada negara tetapi lebih ke arah merestorasi

hubungan pelaku, korban dan masyarakat.”

Penggabungan antara teori absolut dengan relatif, kemudian

dikembangkan oleh Muladi dengan menyebutnya dengan teori integratif,

menurutnya karena tujuannya bersifat integratif maka perangkat tujuan

pemidanaan adalah:104

1. Pencegahan umum dan khusus; salah satu tujuan utama pemidanaan

terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak

pidana tersebut dan juga orang lain yang mungkin punya maksud untuk

melakukan kejahatan-kejahatan semacam karenanya mencegah

kejahatan lebih lanjut;

2. Perlindungan masyarakat, sebagai tujuan pemidanaan mempunyai

dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan

tujuan pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai

kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar

masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana;

3. Memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan bertujuan untuk

menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam

perseorangan;

4. Pengimbalan/pengimbangan, Muladi mengutip pendapat Sudarto yang

mengatakan”dewasa ini tidak ada lagi penganut pembalasan, dalam arti

pidana merupakan keharusan belaka. Kalau masih ada penganut

pembalasan, itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan modern.

103

Luhut M P Pangaribuan, Lay Judges&Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai

Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama

dengan Papas Sinar Sinanti, 2009), hal. 257.

104

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga (Bandung, Alumni, 1984), hal. 81-

86.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

39

Universitas Indonesia

Dalam arti pembalasan modern inilah tujuan pemidanaan berupa

pengimbalan/pengimbangan perlu diperhatikan.”

Muladi menyatakan bahwa masalah pemidanaan menjadi sangat

kompleks sebagai akibat dari usaha untuk memperhatikan faktor-faktor yang

menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat

operasional dan fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan

multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan,

baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun

keharusan.105

M.Solehhudin mencoba mensimpulkan tentang teori integratif dari

Muladi tersebut, yang menurut penulis disinilah fungsi restorative justice

sebagai tujuan pemidanaan, yaitu:106

“Teori tujuan pemidanaan integratif tersebut berangkat dari asumsi

dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap

keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan

masyarakat yang menimbulkan kerusakan individual dan

masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki

kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.”

2.3. Eksistensi Restorative Justice Di Pengadilan

Dalam sub bab yang sebelumnya telah dijelaskan tentang restorative

justice, dan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan. Dalam sub bab ini akan

dijelaskan dan dianalisa tentang eksistensinya restorative justice di pengadilan.

Pemilihan judul sub bab ini terkait dengan penerapan restorative justice dalam

putusan pengadilan. Indonesia adalah negara civil law dimana peraturan

perundang-undangan menjadi yang utama daripada putusan pengadilan. Dengan

demikan dasar penerapan hukum yang utama adalah peraturan perundang-

undangan.

105

Muladi, Loc.Cit.

106

M. Solehhuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track

System&Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 51.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

40

Universitas Indonesia

Jika melihat dari peraturan perundang-undangan yang ada, hanya Undang-Undang

nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan

secara jelas dan tegas keberadaan restorative justice, yaitu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 jo Pasal 1 angka (7) jo Pasal 7, yaitu:107

Pasal 5

(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan

Keadilan Restoratif.

(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum; dan

c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan

selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah

menjalani pidana atau tindakan.

(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Pasal 1

Angka 7. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 7

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi;

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilaksanakan dalam hal

tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Namun demikian Undang-Undang ini hanya berlaku untu anak dan itupun

baru bisa diterapkan dua tahun dari diundangkannya Undang-Undang tersebut,

yang berarti baru berlaku pada 30 Juli 2014.108

Artinya sampai sekarang ini, dasar

hukum untuk menerapkan restorative justice di pengadilan khususnya dalam

putusan pengadilan, belum ada dasar hukumnya. Jika demikian apakah restorative

107

Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Loc.Cit. 108

Ibid., Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak

mengatakan bahwa”Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak

tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-

Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

41

Universitas Indonesia

justice tidak bisa diterapkan dalam putusan pengadilan jika belum ada dasar

hukum, peraturan perundang-undangan yang mengaturnya?

Restorative justice memang belum diatur dalam perundang-undangan di

Indonesia, namun Hakim jika ingin menerapkannya dalam putusannya, hal ini

dikarenakan Hakim tidak bisa menolak perkara yang harus diadilinya,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:109

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang

jelas, mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut

juga yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.” 110

Telah dijelaskan tentang restorative justice dan tujuan pemidanaan dalam

sub bab sebelumnya, maka restorative justice merupakan suatu konsep yang telah

diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Nilai musyawarah untuk mencapai

mufakat untuk menyelesaikan perkara yang ada dalam masyarakat Indonesia

bahkan telah menjadi nilai dari ideologi Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini juga

tidak berbeda dengan penyelesaian melalui hukum adat. Praktek hukum adat

sangat memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau

immaterial. Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi

tradisi masyarakat hukum adat kita.111

Pembahasan tentang penyelesaian adat

akan dibahas lebih mendalam di bab selanjutnya.

Jika melihat dari tujuan pemidanaan dan jenis pemidanaan yang diatur

dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012, maka pendekatan

109

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.

110

Ibid.

111

Bagir Manan, Loc.Cit.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

42

Universitas Indonesia

restorative justice telah diadopsi di dalamnya, pasal 54 telah mengatur yang

menjadi tujuan pemidanaan, yaitu: 112

(1) Pemidanaan bertujuan:

a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat; dan

d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.

Pasal 42 ayat (2) dan (3) RUU KUHAP tahun 2012 menyatakan:113

Pasal 42

(2) Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau

dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat

maupun tanpa syarat.

(3) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat dilaksanakan jika:

a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;

b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat tahun);

c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;

d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70

(tujuh puluh) tahun; dan/atau

e. kerugian sudah diganti.

Dalam penjelasannya dinyatakan sebagai berikut:114

Ayat (2) Kewenangan penuntut umum dalam ketentuan ayat ini disebut

juga dengan asas oportunitas yaitu kewenangan untuk menuntut

atau tidak menuntut perkara dan untuk penyelesaian perkara di

luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini

dipertanggungjawabkan kepada kepala Kejaksaan Tinggi setiap

bulan.

Ayat (3) Cukup jelas.

112

Rancangan KUHP tahun 2012.

113

Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 2012

114

Penjelasan Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 2012

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

43

Universitas Indonesia

Di dalam Naskah Akademik dari RUU KUHAP juga menegaskan tentang adanya

konsep restorative justice yaitu:

“Penyelesaian di luar pengadilan tercantum di dalam Pasal 42 ayat (2) dan

(3) Rancangan. Pasal 42 ayat (2) berbunyi: ”Penuntut umum juga

berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu

menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.” Pasal

42 ayat (3) menyebut syarat-syarat itu sbb :

(a) tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;

(b) tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling

lama 4 (empat) tahun;

(c) tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;

(d) umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh

puluh tahun; dan/atau

(e) kerugian sudah diganti.

Tindak pidana bersifat ringan, misalnya menipu (Pasal 378 KUHP) yang ancaman

pidananya maksimum empat tahun penjara sebesar 10 (sepuluh) juta rupiah untuk

membayar biaya rumah sakit, kemudian telah membayar kepada korban.

Dengan demikian, korban pun mendapat kembali uangnya, daripada penipu ini

masuk penjara dan uang tidak kembali. Penyelesaian seperti ini termasuk

peradilan restoratif (restorative justice), adanya perdamaian antara korban dan

pelaku. 115

Tentang jenis pidana dalam RKUHAP juga memperhatikan korban ,

yaitu Pasal 133 dan 134 RKUHAP:116

Pasal 133

(1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yang

menderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana

membayar ganti kerugian kepada korban yang besarnya

ditentukan dalam putusannya.

(2) Apabila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan

dilelang untuk membayar ganti kerugian kepada korban.

(3) Apabila terpidana berupaya menghindar untuk membayar

kompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak

mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak

mendapatkan pembebasan bersyarat.

(4) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat

khusus berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti

kerugian kepada korban.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan

dan pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 134

115

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun

2012.

116

Rancangan KUHAP tahun 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

44

Universitas Indonesia

Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya memperoleh

kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

Nilai yang hidup dari masyarakat berupa musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam menyelesaikan konflik, juga menganut pendekatan restorative

justice. Yang belakangan ini tepat kiranya memakai dasar hukum Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 117

Undang-Undang no.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak memang

belum berlaku, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahkan belum

disahkan/diundangkan, namun kesemuanya mengatur tentang pendekatan

restorative justice. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan yang belum

berlaku atau bahkan belum diundangkan, Hakim dapat menggunakan metode

penemuan hukum.

Menurut Soedikno Mertokusumo, “terhadap peraturan perundang-undangan

yang tidak jelas dan tidak lengkap, maka harus menemukan hukumnya. Metode

penemuan hukum melalui interpretasi atau metode penafsiran.118

Salah satu

metode interpretasi yang disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau

futuristis, yaitu penafsiran antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan

perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan

undang-undang.119

Dengan demikian melalui interpretasi antisipasif atau

futuristis, pendekatan restorative justice dapat diterapkan di pengadilan,

khususnya dalam putusan pengadilan.

Dalam menggunakan intepretasi ini tetap berpedoman bahwa hakim ketika

akan memberikan pemidanaan dalam putusannya mengacu kepada keadilan.

117

Ibid.

118

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,

20100, hal. 73.

119

Ibid., hal. 80.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

45

Universitas Indonesia

Keadilan yang seperti apa yang akan diberikan? restorative justice timbul karena

adanya kritik terhadap sistem peradilan pidana, yang tidak memberikan peran dan

keadilan yang dirasakan langsung oleh korban. Restorative justice memberikan

peran dan keadilan bukan hanya yang dirasakan untuk pelaku, tetapi korban

bahkan juga masyarakat. Keadilan dimana tidak ada pihak yang diuntungkan dan

dirugikan, sebagimana yang dimaksud dengan keadilan sebagai fairness oleh John

Rawls. 120

Berikut ini adalah beberapa contoh putusan pengadilan yang telah

menerapkan restorative justice, yaitu sebagai berikut:

2.3.1. Putusan no.1600 K/Pid.B/2009

Putusan ini merupakan salah satu landmark decision Mahkamah Agung

Republik Indonesia pada tahun 2011.121

Putusan ini secara jelas dan tegas dalam

pertimbangannya menggunakan restorative justice. Putusan nomor 1600

K/Pid/2009 menceritakan tentang Ny.Emawati(pelapor/korban) yang melaporkan

menantunya (delik aduan), Ny.Ismayawati dengan tuduhan penipuan dalam

keluarga/penggelapan dalam keluarga sebesar Rp 3.910.000.000,- (tiga milyar

Sembilan ratus sepuluh juta rupiah). Ny Emawati mencabut tuntutannya karena

telah memaafkan terdakwa dan mengingat dua anak terdakwa yang masih kecil-

kecil yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Permohonan pencabutan

tersebut dinyatakan di persidangan, setelah lewat waktu tiga bulan yang

merupakan batas waktu pencabutan delik aduan. Majelis Hakim mengabulkan

permohonan tersebut dan menyatakan penuntutan perkara tersebut tidak dapat

diterima.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya, berargumen salah satu tujuan

hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya

tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat

Pasal 75 KUHP, Majelis Hakim menilai pencabutan perkara bisa memulihkan

ketidakseimbangan yang terganggu. Majelis Hakim mengatakan perdamaian yang

120

John Rawls, Op.Cit., hal. 21.

121

Mahkamah Agung, Loc.Cit.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

46

Universitas Indonesia

terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus

diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.

Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa dalam ajaran restorative justice,

kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan

kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya

hubungan antar individu dalam masyarakat.122

Dalam pertimbangan tersebut, memang adanya kebesaran hati dari korban

yang mencabut aduannya, terlihat memang mempertimbangkan kembalinya

hubungan antara pelaku dan korban, namun sayangnya tidak menyinggung

tentang kerugian korban. Korban mengatakan telah memaafkan pelaku namun

tidak disebutkan bahwa tentang kerugian telah atau akan dibayarkan oleh pelaku.

Jumlah kerugian yang diderita korban pun tidak sedikit, sehingga seharusnya juga

dipertimbangkan untuk dibayarkan oleh pelaku.

2.3.2. Putusan no. 2238 K/Pid.B/2009

Andi Marjun alias Andi (pelaku) selaku teknisi dari usaha TV kabel milik

Arifin Terah (korban), pada bulan Agustus 2007 sampai dengan bulan Agustus

2008 melakukan penyambungan siaran TV kepada 121 rumah/pelanggan tanpa

sepengetahuan korban, biaya satu kali penyambungan sebesar Rp 300.000,- dan

iuran bulanan sebesar Rp 15.000,- per pelanggan. Uang penyambungan TV kabel

dan iuran bulanan yang seharusnya disetorkan kepada korban ternyata tidak

disetorkan melainkan dipakai sendiri oleh pelaku. Pelaku didakwa melanggar

Pasal 372 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 378 KUHP jo Pasal 64

ayat (1) KUHP.

Majelis kasasi berpendapat bahwa pelaku selaku teknisi TV kabel milik

korban yang diberi kewenangan untuk menarik biaya pemasangan sebesar Rp

300.000,- dan iuran bulanan sebesar Rp 15.000,- dari pelanggan, jadi uang

tersebut ada pada pelaku sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh korban,

bukan karena kejahatan, yang seharusnya uang biaya penyambungan TV kabel

122

Pertimbangan hukum Majelis Kasasi dalam Putusan Nomor 1600 K/ Pid.2009

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

47

Universitas Indonesia

sebanyak 64 rumah/orang kali Rp 250.000,-123

sejumlah Rp 16.000.000,- dan

iuran TV kabel sejak bulan September 2007 sampai dengan juli 2008 dari 64

pelanggan kali Rp 14.000,- (11 x 64x Rp 14.000,-) sejumlah Rp 9.856.000,-

seluruhnya berjumlah Rp 25.856.000,- diserahkan kepada korban sebagai pemilik

dari usaha tersebut, akan tetapi oleh terdakwa tidak diserahkan dan ternyata uang

tersebut digunakan untuk biaya pengobatan orang tua dan anaknya yang sedang

sakit.

Dalam pertimbangan hal yang meringankan, Majelis mengatakan bahwa

pelaku mengakui perbuatannya, hal itu mencerminkan masih ada sifat jujur pada

diri pelaku. Pelaku mempunyai itikad yang kuat untuk mengembalikan kerugian

yang diderita korban dan motif dari pelaku adalah keinginan untuk mengobati

sakit keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan dalam hal yang

memberatkan, Majelis mengatakan bahwa perbuatan pelaku menimbulkan

kerugian yang cukup besar bagi korbann.

Dalam putusannya pelaku dinyatakan bersalah melakukan penggelapan dan

dijatuhi pidana penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan

disamping itu apabila pelaku dalam tenggang waktu lima bulan sejak putusan

diberitahukan, tidak membayar lunas uang yang digelapkan sebesar Rp

25.856.000,- kepada korban.

Putusan ini memang memberikan keadilan kepada korban dalam bentuk

adanya ganti rugi, akan tetapi dalam putusan tersebut tidak dijelaskan adanya

permintaan maaf atau penerimaan maaf yang menandakan adanya suatu upaya

untuk mengembalikan hubungan atau memulihkan hubungan antara pelaku

dengan korban. Pembayaran ganti rugi memang mengembalikan kepada keadaan

semula dan memberikan peran dan keadilan kepada korban namun seyogyangya

juga harus dilihat kepada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Dengan

demikian tidak berarti yang penting telah dibayar kerugian korban, namun

hubungan tidak kembali, pendek kata misal pelaku tidak dipekerjakan lagi sebagai

123

Dalam pertimbangan tersebut juga terungkap fakta, bahwa setiap pemasangan TV

kabel, pelaku mendapatkan Rp 50.000,- dan untuk tiap iuran setiap bulannya pelaku juga

mendapatkan Rp 1.000,- dari setiap pelanggan.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

48

Universitas Indonesia

teknisi TV kabel oleh korban, karena korban masih merasa dendam, tidak suka

bahkan tidak percaya lagi kepada pelaku.

2.3.3. Putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010

A Syarif Zen bin Barzan Bakri (pelaku) menikah resmi dengan Masyati

(korban) pada tanggal 19 Februari 1978 dan dari pernikahan tersebut telah

memiliki lima orang anak. Sejak tanggal 27 Maret 2007 sampai dengan sekarang

(2009), telah meninggalkan rumah dan menelantarkan korban dan kelima anaknya

dengan tidak memberikan nafkah. Pelaku didakwa melanggar Pasal 49 huruf a jo

Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pelaku didakwa telah melakukan kekerasan

dalam rumah tangga dalam bentuk penelantaran.

Putusan pengadilan negeri menjatuhkan hukuman enam bulan penjara

kepada pelaku dan pengadilan tinggi juga menguatkan putusan tersebut. Majelis

kasasi menyatakan pelaku terbukti melakukan tindak pidana telah menelantarkan

orang lain yang merupakan istri sahnya dalam lingkup rumah tangga dan

menjatuhkan pidana kepada pelaku enam bulan penjara dengan masa percobaan

satu tahun dengan syarat khusus memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak

yang masih menjadi tanggungannya (korban) sebanyak Rp 1.000.000,- setiap

bulan.124

Majelis dalam hal ini hanya menganulir tentang pemidanaannya dengan

pertimbangan bahwa pemidanaan yang dijatuhkan oleh pengadilan tinggi tidak

memberikan manfaat.

Majelis berpendapat bahwa pelaku telah meninggalkan rumah sejak tahun

2007 dan tidak memberikan nafkah kepada korban dan para saksi (kelima

anaknya), pelaku selain menelantarkan korban dan saksi-saksi juga telah kawin

dengan wanita lain, agar dapat menjadi pelajaran dikemudian hari pelaku pantas

diberi hukuman pidana sebagai pelajaran, akan tetapi putusan judex facti perlu

diperbaiki karena tidak bermanfaat bagi dirinya maupun untuk korban, karena itu

124

Amar putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

49

Universitas Indonesia

diperbaiki dengan pidana percobaan dengan syarat menafkahi istri dan anak-

anaknya.125

Putusan ini memang memberikan keadilan kepada korban untuk

kedepannya, namun tidak memberikan penggantian kerugian yang telah dilakukan

oleh pelaku. Selama dua tahun pelaku telah menelantarkan korban seharusnya jika

Majelis berpendapat bahwa nafkah yang pantas diberikan adalah Rp 1.000.000,-

maka dikalikan 24 menjadi Rp 24.000.000,- jumlah yang harus dibayar pelaku

kepada korban atas perbuatan pelaku. Selain itu Majelis juga tidak

mempertimbangkan tentang hubungan antara pelaku dengan korban yang

seharusnya pemidanaan juga diupayakan kepada pemulihan hubungan antara

pelaku dengan korban, misal dengan adanya permintaan maaf dari pelaku dan

penerimaan maaf dari korban, sehingga tidak ada dendam dan kembali ke keadaan

seperti semula.

2.3.4. The Clotworthy Case, (New Zealand: 1998)

”Mr Clotworthy was convicted on place of guilty of two counts, wounding

with intent to cause grievous bodily harm, robbery being the motive, and

assaulting of his duty. the incident took place in a street in Auckland when

the offender demanded money from a passer-by, slashed him in the face and

stabbed him in the chest with a knife, severely injuring him. indeed, he was

lucky to survive. the victim had emergency surgery to repair a collapsed

lung and diaphragm. he required blood transfusions and was in intensive

care for some days. the attack brought on a resurgence of the victim's

epilepsy, as a result of which he could no resurgence drive a vehicle. the

offender was aged 27 and had been drinking. the sentencing judge thought

that the starting point for sentencing was a sentence in the order of 3-4

years. Conferencing had been organised by justice alternatives, a

restorative justice facilitator, with the victim, the offender and their support

persons. the victim was understanding and did not demand heavy

punishment but was interestesd in reparation. the offender, who was

otherwise a person of good character, was anxious to redeem himself. In the

result, a suspend of 2 years imprisonment was imposed. Reparation was

ordered in the sum of $15.000 of which $5.000 was to be an immediate

down payment. the purpose of this reparation was to fund plastic surgery

for the wounds suffered. in addition, Mr. Clotworthy was required to

undertake 200 hours community service. the crown applead on the ground

that a suspended sentece for 2 years was inadequate. the court of appeal

heard submissions from the victim who urged that imprisonment would

125

Pertimbangan hukum Majelis kasasi putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

50

Universitas Indonesia

achieve nothing for the offender or himself. the court of appeal made the

point that public interest in sentencing cannot be confined to victim and

offender stating. The public interest in consistency, integrity and the

criminal justice system and deterrence of others are factors of major

importance. The court considered that the sentencing judge's starting point

for the crime of violence was too low-it should have been 5-6 years, not 3-4

years. the offer of reparation did not justify suspension of the sentence and

the serving of a term of imprisonment meant that the offender could not

afford reparation at the level ordered. so reparation sentence imposed was

a term of 3 years imprisonment. that being a reduction from the norm 5-6

years. the court concluded by saying "we would not wish this judgment to be

seen as expressing any general opposition to the concept of restorative

justice (essentially the policies behind ss 11 and 12 of the criminal justice

act). those policies must, however, be balanced against other sentencing

policies, particularly in this case those inherent in s5, dealing with case of

serious violence. which aspect should predominate will depend on an

assessment of where the balance should lie in the individual case. even if the

balance is found, as in this case, to lie in favour of s5 policies, the

restorative aspects can have, as here, a significant impact on the length of

term of imprisonment which the court is directed to impose. they find their

place in the ultimate outcome in that way."126

126

The Hon.Sir Anthony Mason Ac Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society,

sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather

Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 4-6.

Terjemahan bebas dari penulis:” Tuan Clotworthy dihukum bersalah atas dua tuduhan, melukai

dengan maksud untuk menyebabkan luka berat, dengan motif perampokan, dan menyerang dari

tugasnya. Insiden itu terjadi di sebuah jalan di Auckland saat pelaku meminta uang dari seorang

pejalan kaki, memukul wajah korban dan menikamnya di bagian dada dengan pisau, sehingga

korban luka-luka. Beruntung korban masih bertahan hidup. korban menjalani operasi darurat untuk

memperbaiki paru-parunya dan diafragma. ia membutuhkan transfusi darah dan dalam perawatan

intensif selama beberapa hari. Serangan tersebut memicu epilepsy korban dan berakibat iatidak

bisa mengendarai kendaraan. pelaku berusia 27 dan telah minum. hakim menjatuhkan pidana

berpikir bahwa titik awal untuk pemidanaan adalah pemidanaan antara 3-4 tahun. Keadilan

alternatif melalui pendekatan keadilan restoratif menyelenggaran pertemuan melalui fasilator

dengan korban, pelaku dan masyarakat. korban tidak menuntut pemidanaan berat tapi

menginginkan dalam perbaikan. pelaku, dimana pelaku adalah seseorang yang berkarakter yang

baik, dan sangat ingin menebus kesalahannya. Hasilnya Pengadilan Negeri memidana pelaku 2

tahun penjara yang ditangguhkan (pidana percobaan) dan memerintahkan untuk membayar sebagai

biaya perbaikan dalam jumlah $ 15,000 dan $ 5,000 sebagai uang muka untuk mendanai operasi

plastik untuk luka yang diderita. Tuan Clotworthy diminta untuk melakukan 200 jam pelayanan

masyarakat. Pengadilan banding menyatakan bahwawa pemidanaan 2 tahun penjara yang

ditangguhkan itu tidak memadai. pengadilan banding mendengar masukan dari korban yang

mennganggap bahwa penjara tidak akan mencapai apa-apa untuk pelaku atau dirinya

sendiri. pengadilan banding membuat titik bahwa kepentingan umum dalam pemidanaan tidak

dapat terbatas pada korban dan pelaku menyatakan. Pengadilan banding berpendapat bahwa

demi menjaga konsistesi dan integritas dalam sistem peradilan pidana maka kepentingan

umum dan pencegahan merupakan faktor utama. Pengadilan menganggap bahwa hakim

memidana untuk kejahatan kekerasan terlalu rendah seharusnya 5-6 tahun, bukan 3-4 tahun.

Adanya reparasi tidak membenarkan penangguhan pemidanaan sedangkan menjalani pemidanaan

penjara berarti bahwa pelaku melakukan perbaikan, sehingga pemidanaan reparasi yang

dikenakan adalah 3 tahun penjara. Dan ini menjadi pengurangan pemidanaan dari 5-6

tahun.Pengadilan menyimpulkan dengan mengatakan

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

51

Universitas Indonesia

Menurut John Braithwaite, dalam kasus tersebut” the clotworthy case before

the court of appeal of new zealand has been more damaging than supportive to

the principles of restorative justice”127

Hal ini bisa dimengerti karena Pengadilan

banding Selandia Baru yang memidana tiga tahun penjara kepada pelaku dengan

tidak mempertimbangkan kepentingan korban -dengan dasar kepentingan umum

dan pencegahan kejahatan- dan diabaikannya. Padahal Pengadilan Negeri telah

memidana pelaku dengan hukuman percobaan dua tahun penjara dan memberikan

$15.000 kepada korban untuk biaya bedah plastik serta 200 jam pelayanan

masyarakat, telah memberikan peran dan keadilan kepada korban. Korban dan

pelaku menyadari bahwa pidana penjara tidak akan memberikan manfaat apa-apa

untuk mereka.

Hal yang menarik adalah baik Pengadilan Negeri dan Pengadilan banding

sama-sama menggunakan konsep restorative justice dalam pertimbangannya,

namun dengan penafsiran yang berbeda. Menurut Sir Anthony Mason, pengadilan

banding telah salah dalam menafsirkan kepentingan umum:

” For my part, i am in general agreement with the approach taken by the

court of appeal under the law as it stands. i do not think that it was

defensible, under our existing system of criminal justice, to uphold the

orders of the sentencing judge in a case involving such a serious offence

involving gross violence. indeed, in my view, the case was not an ideal

vehicle for the restorative justice approach. The court of appeal did,

however, give very considerable weight to the conferencing solutions. there

was a significant reduction in the term of imprisonment which otherwise

would have been awarded. the flaw in the conferencing solution and in the

sentencing judge's judgment was a failure to sufficiently recognise the

public interest element, an element which is embedded in the existing

law.”128

"Kami tidak ingin keputusan ini harus dilihat sebagai pernyataan oposisi umum untuk konsep

keadilan restoratif (dasarnya kebijakan belakang ss 11 dan 12 dari tindak peradilan pidana).

kebijakan tersebut harus, bagaimanapun, akan seimbang terhadap kebijakan pemidanaan

lainnya, khususnya dalam hal ini mereka yang melekat dalam s5, menangani kasus kekerasan

yang serius. yang harus mendominasi aspek akan tergantung pada penilaian di mana keseimbangan

harus terletak pada kasus individual. bahkan jika keseimbangan ditemukan, seperti dalam kasus

ini, mensalahartikan kebijakan s5, ada aspek restoratif disini dengan dampak yang signifikan pada

pemidanaan penjara yang oleh pengadilan diarahkan untuk memaksakan mereka menemukan

tempat mereka di hasil akhir dengan cara seperti itu."

127John Braithwaite, Op.Cit., hal. 147. terjemahan bebas dari penulis” kasus Clotworthy

oleh pengadilan banding selandia baru telah merusak prinsip-prinsip keadilan restoratif.”

128

Sir Anthony Mason, Loc.Cit., terjemahan bebas dari penulis” "Bagi saya, secara

umum dengan pendekatan yang diambil oleh pengadilan banding adalah kaku. Saya tidak

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

52

Universitas Indonesia

Hellen Bowen dan Terri Thomson juga berpendapat sama bahwa pengadilan

tinggi telah salah menafsirkan tentang kepentingan umum, yaitu:

“Justice Tipping for the Court of Appeal endorsed restorative justice

policies by affirming them as part of the balancing exercise in sentencing.

The other significant policy factor considered by the Court was that of

"public interest" in deterrence of others. This public interest was found to

outweigh the restorative justice elements. While the judgment is positive

affirmation of restorative justice, the Court‟s analysis of restorative justice

must be seen as superficial. By focusing narrowly on reparation, the Court

of Appeal failed to seize the opportunity to fully consider restorative justice

principles. It is acknowledged the grounds of the appeal identified

reparation as the essential aspect of this particular case. However, in order

to effectively consider restorative justice in the balancing exercise,

restorative justice must necessarily be considered in its entirety. Restorative

justice is a holistic process where each element plays an essential role in

achieving its policies. The Court of Appeal may have avoided an in depth

analysis of restorative justice principles because the term describes different

concepts of processes, programmes and philosophy leading to confusion

about the principles, goals and intentions of restorative justice. 129

berpikir bahwa itu dipertahankan, di bawah sistem peradilan pidana, untuk menegakkan

perintah hakim pemidanaan dalam kasus yang melibatkan suatu pelanggaran serius yang

melibatkan kekerasan. Dalam pandangan saya, kasus ini bukan merupakan alat yang ideal untuk

pendekatan keadilan restoratif. Pengadilan banding seharusnya memberi bobot yang sangat

besar untuk penyelesaian masalah. Ada penurunan yang signifikan dalam pemidanaan

penjara yang seharusnya telah diberikan. Ini adalah cacat dalam hal pertemuan yang dihasilkan

antara pelaku dan korban dan dalam penilaian hakim pemidanaan tersebut adalah kegagalan untuk

cukup mengenali unsur kepentingan umum, yang merupakan unsur yang tertanam dalam

hukum yang ada. "

129

Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court

of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume

3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354

dan www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada tanggal 7

Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis "Hakim Tipping untuk Pengadilan

Banding mendukung kebijakan keadilan restoratif dengan menegaskan mereka sebagai bagian

dari keseimbangan dalam pemidanaan hukuman. Faktor kebijakan lain yang

signifikan dipertimbangkan oleh Pengadilan tentang "kepentingan umum"

dalam pencegahan kejahatan. kepentingan umum disini lebih besar daripada unsur keadilan

restoratif. Sementara pemidanaan adalah penegasan positif dari keadilan

restoratif, analisis Pengadilan keadilan restoratif dilihat secara dangkal. Dengan berfokus secara

sempit pada reparasi, Pengadilan Banding gagal merebut kesempatan untuk sepenuhnya

mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Hal ini diakui alasan

banding yang diidentifikasi reparasi sebagai aspek penting dari kasus ini. Namun, agar dapat

secara efektif mempertimbangkan keadilan restoratif dalam keseimbangan, keadilan restoratif

tentu harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Keadilan restoratif adalah proses secara

keseluruhan dimana setiap elemen memainkan peran penting dalam mencapai kebijakan.

Pengadilan Tinggi mungkin telah menghindari analisis mendalam dari prinsip-prinsip keadilan

restoratif karena istilah menggambarkan konsep yang berbeda dari proses, program dan

filosofi yang menyebabkan kebingungan tentang, tujuan prinsip dan niat keadilan restoratif.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

53

Universitas Indonesia

Sementara itu Allison Morris dan Warren Young, berpendapat bahwa

kesalahan penafsiran pengadilan banding dalam melihat nilai restorative justice,

yaitu:

“first, the court amounting to little more than reparation. equally, if not

more, important for restorative processes and practices is the involvement

of decision how best to deal with the offending. in clotworthy, the victim and

offender had already agreed on an outcome which they saw as"right", the

court appeal rejected this. Second, arguably there were "special

circumstances"in the clotworthy case if one looked through a restorative

rather than a convensional lens. The court of appeal's sentencing outcome

was clearly against the express wishes of the victim and did not those

objectives identified as important by him. current legislation requires the

court to look only to the offence and the offender in assessing "special

circumstances", which means that only those factors conventionally used in

mitigation-such as youth, a previous good record or strong rehabilitative

prospects-are generally considered relevant. Third, the court of appeal

seemed to see the mitigation on the 'usual"sentence. Restorative justice,

however does not place a high value on those"rules" which determine

"usual" sentences. rather it seeks to subvert these and substitute others (at

the heart of this case, then, are two parallel justice processes and practices

which barely interconnected and which involved a fundamental clash of

values and interests).”130

Perbedaan penafsiran dalam menggunakan konsep restorative justice

berakibat perbedaan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim. Hakim Pengadilan

Negeri, mempertimbangkan hasil dari kesepakatan antara pelaku dan korban dan

130

Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of

Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to

Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company,

2000), hal. 12-13. Terjemahan bebas dari penulis: ” "Pertama, pengadilan banding sedikit

mempertimbangkan reparasi. Adalah penting bagi proses restoratif dan

praktek yaitu keterlibatan keputusan sebagai cara terbaik.Di Clotworthy, korban dan pelaku

sudah menyepakati hasil yang mereka lihat sebagai "benar", namun Penagdilan banding menolak

hal ini. Kedua, ada "keadaan khusus" dalam kasus Clotworthy jika melihat

melalui restoratif daripada lensa konvensional. Pengadilan banding memidana penjara adalah

jelas bertentangan dengan keinginan yang diungkapkan korban dan tujuan tersebut yang dianggap

tidak penting olehnya. undang-undang saat ini membutuhkan pengadilan untuk melihat hanya

untuk pelanggaran dan pelaku dalam menilai "keadaan khusus", yang berarti bahwa hanya faktor-

faktor tersebut secara konvensional digunakan dalam mitigasi-seperti dalam kasus anak, dianggap

relevan dan bagus untuk rehabilitatif. Ketiga, pengadilan banding tampaknya untuk

melihat mitigasi pada “pemidanaan biasa " untuk Restorative justice, namun tidak menempatkan

nilai tinggi pada mereka." Aturan "yang menentukan" pemidanaan biasa ". Melainkan berusaha

untuk menumbangkan ini dan menggantinya (inti dari kasus ini adalah

dua proses peradilan paralel (pengadilan negeri dan banding) dan praktek yang nyaris tidak saling

berhubungan dan yang melibatkan benturan mendasar dari nilai-nilai dan kepentingan). "

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

54

Universitas Indonesia

menginsyafi itu sebagai keadilan yang bisa diberikan untuk pelaku dan korban.

Sedangkan Pengadilan banding, mempertimbangkan kepentingan umum dan dasar

pencegahan kejahatan, sehingga menolak hasil yang disepakati oleh pelaku dan

korban. Dalam menerapkan restorative justice, perlu kiranya memahami nilai dan

tujuan yang terkandung didalamnya sehingga tidak salah menafsirkan

.

2.3.5. The Gladue Case, (Kanada: 1999)

Ms. Gladue, An aboriginal woman, was sentenced to three years

imprisonment on a plea of guilty to a charge of manslaughter, arising out of

the killing of her common law husband. the accused chased and stabbed

him after party. the accused, affected by drinking alcohol, believed he had

been enganged in sexual activity with her sister. he had also angered her by

making insulting and offensive remarks to her. she suffered from a

hyperthyroid condition which caused her to over-react in emotional

situations. She was a young mother and, apart from driving offences, had no

criminal record. While on bail, she received alcohol abuse counselling and

upgraded her education. The trial judge considered that, in the light of the

gravitiy of the crime, a suspended sentence would be inappropriate. He

noted that the accused and the victim were living in an urban area, off-

reserve and not"within the aboriginal community as such". There were, in

his view no special circumstances arising from the aboriginal status of the

accused and the victim which should be taken into consideration. An appeal

against was dismissed by the court of appeal and the supreme court. part

XXIII of the Canadian Criminal Code codifies the fundamental and

principles of sentencing and the relevant factors to be taken into account.

Section 718 (2) (e) requires sentencing judges to consider all available

sanctions other that imprisonment and to pay particular attention to the

circumstances of aboriginal offenders. The trial judge's notion that a non-

sentencing approach was limited to aboriginals living in aboriginal

communities was specifically rejected. The court pointed out that the

provision is remedial and is designed to ameliorate the serious over-

representation of aboriginal people in prisons and to encourage judges to

take a restorative approach to sentencing. In this respect, part XXIII has

placed a new emphasis upon the decreasing use of incarceration. in

discussing the application of part XXIII to aboriginal offenders, the court

noted that the term of imprisonment imposed on an aboriginal offenders

might, in some circumstances, be less than the term imposed upon a non-

aboriginal offender for the same offence, but went on to state that part XXIII

is not a means of automatically reducing the prison sentence of aboriginal

offenders and that it should not be assumed that an offender is receiving a

more lenient sentence because incarceration is not imposed. The court took

account of the fact that the accused was granted, subject to certain

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

55

Universitas Indonesia

conditions, day parole after she had served six months in a correctional

centre and was later granted full parole on the same conditions131

Dalam kasus tersebut Ny. Gladue seorang aborigin yang tinggal di

perkotaan, melakukan pembunuhan sehingga menurut pengadilan Negeri tidak

bisa mendapatkan penjatuhan hukuman khusus untuk orang aborigin sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf (e), seperti misalnya hukuman

percobaan atau tindakan tertentu, namun Pengadilan Banding dan Mahkamah

Agung Kanada menafsirkan berbeda, walaupun Ny.Gladue dan korban tinggal di

perkotaan, bukan di daerah urban (seperti pada umumnya orang aborigin tinggal),

namun tetap bisa mendapatkan ketentuan sebagaimana dalam Pasal 718 ayat (2)

huruf (e), karena dia tetap orang aborigin, dengan demikian hukuman tiga tahun

131

The Hon.Sir Anthony Mason Ac Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society,

sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather

Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 6-7.

Terjemahan bebas dari penulis:” seorang wanita Aborigin, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara

mengakui bersalah atas tuduhan pembunuhan, yang timbul dari pembunuhan suami (teman

hidupnya). terdakwa mengejar dan menikamnya setelah pesta. terdakwa, dipengaruhi oleh minum

alkohol, percaya bahwa korban telah berselingkuh dengan adiknya.Ia juga marah padanya dengan

membuat komentar menghina dan ofensif padanya. Pelaku menderita suatu kondisi hipertiroid

yang menyebabkan dia bereaksi berlebihan dalam situasi emosional. Dia adalah seorang ibu muda

dan, tidak punya catatan kriminal. Ia menjalani konseling atas penyalahgunaan alkohol.

Hakim pengadilan menganggap bahwa, dalam terang dari kejahatan, hukuman percobaan akan

tidak pantas. Dia mencatat bahwa terdakwa dan korban tinggal di daerah perkotaan, dan tidak

"dalam komunitas Aborigin seperti". Bahwa dalam pandangannya ada keadaan khusus yang

timbul dari status asli dari terdakwa dan korban yang harus dipertimbangkan.

Kemudian Banding dan diadili oleh pengadilan banding dan Mahkamah Agung.Bagian XXIII

Kodifikasi Dasar KUHP Kanada dan prinsip-prinsip hukuman dan faktor-faktor yang relevan

untuk dipertimbangkan. Bagian 718 ayat (2) huruf (e) mewajibkan hakim dalam memberikan

hukuman untuk mempertimbangkan semua sanksi lain yang tersedia bahwa penjara dan

memberikan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli (aborigin). Gagasan hakim pengadilan

bahwa pendekatan non-hukuman terbatas pada penduduk asli yang tinggal di komunitas Aborigin

secara khusus ditolak. Pengadilan menunjukkan bahwa penyisihan tersebut perbaikan dan

dirancang untuk memperbaiki representasi over-serius orang Aborigin di penjara dan untuk

mendorong hakim untuk mengambil pendekatan restoratif untuk pemidanaan. Dalam hal ini,

bagian XXIII telah menempatkan penekanan baru pada penurunan penggunaan penahanan.

dalam membahas penerapan XXIII sebagian pelaku aborigin, pengadilan mencatat bahwa

hukuman penjara yang dikenakan pada pelanggar aborigin mungkin, dalam beberapa keadaan,

istilah tersebut juga dikenakan pada pelanggar non-aborigin untuk pelanggaran yang sama, tetapi

melanjutkan menyatakan bahwa bagian XXIII bukanlah sarana otomatis mengurangi hukuman

penjara pelanggar Aborigin dan bahwa hal itu tidak boleh diasumsikan bahwa pelaku menerima

hukuman lebih ringan karena tidak dikenakan penahanan. Pengadilan mempertimbangkan fakta

bahwa terdakwa diberikan, sesuai dengan kondisi tertentu, yaitu pembebasan bersyarat setelah

enam bulan di pemasyarakatan dan kemudian diberikan pembebasan bersyarat penuh pada kondisi

yangsama.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

56

Universitas Indonesia

yang dijatuhkan, Ny Gladue mendapatkan pembebasan bersyarat setelah enam

bulan di pemasyarakatan.

Pertimbangan Mahkamah Agung memang terkesan memberikan

keistimewaan terhadap pelaku yang seorang aborigin. Hal ini dapat dimengerti

dari pendapat Yang Mulia M.E Turpel Lapond, hakim di propinsi Saskatoon,

Saskatchewan, daerah dimana banyak aborigin tinggal, yaitu:132

” However, it must be recognized that circumstances of aboriginal offenders differ

from those of the majority because many aboriginal people are victims of systemic

and direct discrimination, many suffer the legacy of dislocation, and many are

substantially affected by poor social and economic conditions.”

Hakim Yang Mulia Sir Anthony Mason juga berpendapat sama bahwa pelaku

sebagai aborigin yang tinggal di perkotaan tetap mendapatkan perlakuan yang

sama sebagai aborigin yang tinggal di daerah urban: 133

” the gladue case, a landmark decision of the supreme court Canada. …to

ensure that all admitted offenders have access to restorative justice, even if

it appears that indigenous people and youthhful offenders are more likely to

resort to it, or more likely to benefit from it. Equality of treatment is a

central objective of our existing system of criminal justice.”

M.E Turpel Lapond, berpendapat bahwa penerapan restorative justice dalam

pemidanaan sebagai suatu nilai yang normatif :

132 Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal

Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of

R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at

the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September

1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,

1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet

www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7

Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis” Namun, harus diakui

bahwa keadaan pelaku aborigin berbeda dari mayoritas penduduk asli karena merupakan korban

diskriminasi sistemik dan langsung, yang banyak menderita akibat dislokasi, dan banyak

yang secara substansial dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi yang buruk.”

133 Ibid., hal. 2. Terjemahan bebas dari penulis” kasus gladue, merupakan landmark

decision dari Mahkamah Agung Kanada…untuk memastikan bahwa semua pelaku memiliki

akses terhadap keadilan restoratif, bahkan jika tampak bahwa masyarakat adat dan

pelaku youthhful lebih cenderung untuk menggunakan itu, atau lebih mungkin memperoleh

manfaat darinya. kesetaraan perlakuan merupakan tujuan utama dari sistem peradilan pidana.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

57

Universitas Indonesia

“The Gladue decision is an important watershed in Canadian Criminal

Law. The interpretation of section 718 (2) (e) of the criminal code by the

supreme court of Canad that this provision, the court clearly endorsed the

notion of restorative justice and a sentencing regime which is to pay fidely

to”healing” as normative value.” 134

Menurut Lapond adalah penting untuk mempertimbangkan sejarah dan

budaya dari pelaku dalam memberikan pemidanaan guna mendapatkan suatu

keadilan yaitu:135

“Perhaps this is no more than the history of the common law with its

dialectic of stability and change. Nevertheless, reasoning which weigh both

structural considerations ans specific contexts, is vital to criminal justice. It

is a from of reasoning which does not always sit well with the judiciary, as

ingrained as we are particularlizing decision-making. Nevertheless, Gladue

is a reminder that highly particularized decisions, without regard for

broader structural and historical factors, might lead to injustice.”

Kasus Gladue memang memperhatikan keadaan terdakwa dengan melihat

kepada sejarah, karakter dan budayanya sehingga menempatkannya juga sebagai

korban yang juga perlu mendapatkan keadilan. Namun hal itu menampikkan

korban dalam arti yang sebenarnya, korban yang menderita kerugian yang dalam

hal ini keluarga dari teman hidup lelakinya tersebut. Tidak dijelaskan dan

dipertimbangkan bagaimana sikap keluarga korban terhadap pelaku, apakah sudah

memaafkan?karena masalah pembunuhan merupakan kejahatan yang serius. Hal

ini penting karena untuk melihat bagaimana penyembuhan atau pemulihan

terhadap Gladue dapat dilaksanakan jika dari korban masih dendam.

134 Her Honour, M.E Turpel Lapond, Op.Cit. Terjemahan bebas dari penulis”

Keputusan Gladue merupakan hal yang penting dalam Hukum Pidana Kanada. Penafsiran

pasal 718 (2) (e) dari Hukum Pidana Kanada oleh Mahkamah Agung Kanada bahwa

pengadilan jelas mendukung gagasan keadilan restoratif dan pemidanaan yang bertujuan

untuk "penyembuhan" sebagai nilai normatif . "

135Ibid., terjemahan dari penulis” "Mungkin ini adalah tidak lebih dari sejarah Common

Law yaitu adanya perubahan stabilitas dialektisnya Namun, penalaran yang mempertimbangkan

baik pertimbangan konteks struktural tertentu, sangat penting untuk peradilan pidana. Ini

adalah dari penalaran yang tidak selalu bisa berdampingan dengan pengadilan, seperti yang selama

ini yaitu pengambilan keputusan secara particular. Namun demikian, Gladue adalah pedoman

pengambilan keputusan secara particular bahwa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor struktural

dan sejarah yang lebih luas, dapat mengakibatkan ketidakadilan. "

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

58

Universitas Indonesia

Hal yang dapat dipelajari dari kasus Clotworthy dan Gladue, menurut Sir

Anthony Mason berpendapat bahwa restorative justice merupakan tantangan bagi

pengadilan untuk digunakan sebagai tujuan pemidanaan, yaitu:

“Perhaps a stronger objection to restorative justice is the discretionary

element inherent in a decision to send a defendant down the restorative

justice route rather than deal with the defendant as a matter of routine

sentencing, if one route is an alternative to the other. The strength of

objection may be reduced if the concept of restorative justice integrated in

the general sentencing principles applied by the courts. That, it seems to me,

is the challenge for the future and it appears that the courts in Canada and

New Zealand are beginning to take up the challenge.” 136

136 Sir Anthony Mason, Op.Cit., terjemahan bebas dari penulis” " Mungkin hal yang

terberat untuk menerapkan keadilan restoratif adalah unsur diskresi yang melekat

dalam keputusan untuk memidana terdakwa daripada berurusan dengan terdakwa dalam hal

pemidanaan yang rutin selalu dilakukan, dan ini dapat menjadi alternatif lainnya. Masalah berat

terseubut dapat dikurangi jika konsep keadilan restoratif terintegrasi dalam penerapan prinsip-

prinsip umum pemidanaan oleh pengadilan. Dan menurut saya, ini adalah tantangan untuk masa

depan dan tampaknya pengadilan di Kanada dan Selandia Baru mulai menerima tantangan. "

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

59

BAB 3

RESTORATIVE JUSTICE DAN PENYELESAIAN

PERKARA PIDANA MELALUI ADAT

3.1. Hukum Adat

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law, dimana

peraturan perundang-undangan merupakan sumber hukum yang utama. Hal

demikian membuat seorang ahli hukum yang sudah terbiasa untuk mempelajari

dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang terhimpun dalam suatu

kodifikasi, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Atas dasar

latar belakang pendidikan dan pengalamannya tersebut dia kemudian percaya

bahwa hukum harus dipisahkan secara tegas dan mutlak dari kesusilaan, adat

istiadat, hal-hal yang gaib, serta gejala-gejala sosial lainnya. Oleh karena itu

menurut Soerjono Soekanto, maka pada umumnya ahli hukum hanya mengetahui

bahwa peraturan perundang-undangan maupun keputusan-keputusan hukum

mempunyai latar belakang sejarahnya, akan tetapi pada umumnya dia tidak

mempertimbangkan bahwa sejarah dan tradisi dapat dan selalui hidup dalam

masyarakat, dahulu maupun pada waktu sekarang.137

Yang dimaksud dengan hukum adat adalah sebagai berikut:

1. Menurut Soeripto, hukum adat adalah semua aturan-aturan/peraturan-

peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala segi kehidupan

orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat

dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat

hukum oleh karena ada kesadaran dan perasaan keadilan umum, bahwa

aturan-aturan/peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para

petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya pemaksa atau

ancaman hukum(sanksi).138

137

Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta:

Academica, 1979), hal. 1.

138

Soeripto, Hukum Adat dan Pancasila Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman, hal. 24, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok

Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

60

Universitas Indonesia

2. Menurut Surojo Wignjodipuro, hukum adat adalah suatu kompleks norma-

norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu

berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam

kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis,

senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat

hukum (sanksi).139

3. Menurut Hardjito Notopuro, hukum adat adalah hukum tak tertulis, hukum

kebiasaan dengan ciri-ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan

rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan

masyarakat dan bersifat kekeluargaan.140

4. Menurut Soepomo, hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak

tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatutory law), hukum yang hidup

sebagai konvensi di Badan-Badan Hukum Negara (Parlemen, Dewan

Propinsi dsb), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang

dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa-

desa (customary law).141

5. Menurut Bushar Muhammad, hukum adat itu terutama hukum yang

mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain,

baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan

yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan

dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang

merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas

pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para

penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa

139

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni,

1975), hal.5, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum

Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49.

140

Hardjito Notopuro, Tentang Hukum Adat Pengertian Dan Pembatasan Dalam Hukum

Nasional, (Majalah Hukum Nasional No.4 Tahun 1969), hal. 49, sebagaimana ditulis dalam

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49.

141

Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, hal.30, sebagaimana ditulis

dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978),

hal.48-49.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

61

Universitas Indonesia

memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan

lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.142

Soekanto dan Soerjono Soekanto menyimpulkan bahwa dari pengertian-

pengertian tersebut adanya satu kesatuan pandangan mengenai hukum adat yaitu

hukum yang hidup dalam masyarkat (living law). 143

Hukum adat sebagai “the

living law” adalah merupakan pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum

itu berproses dan sekaligus juga adalah merupakan hasil dari pada proses

kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar daripada hukum tersebut.144

Hal ini juga didukung karena melihat kepada pendapat Sopomo bahwa”hukum

adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum

yang nyata dari rakyat.”145

Surojo Wignjodipuro juga berpendapat sama

yaitu”hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup, yang

keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu

berlaku.”146

Dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada

tanggal 15-17 Januari 1975 yang diselenggarakan berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 17 Desember 1974

No.Y.S.8/82/23, diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “hukum adat

adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-

undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.”147

Pengertian ini menjadi rancu dan tidak konsisten ketika dinyatakan sebagai

142 Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), hal. 30,

sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat,

(Bandung: Alumni, 1978), hal.50.

143

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni,

1978), hal.50-51 144

Ibid. 145

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan ke-14 (Jakarta: Pradnya Paramita,

1996), hal. 5

146

Surojo Wignjodipuro, Op.Cit., hal.81, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.51.

147

Ibid, hal.149-150.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

62

Universitas Indonesia

hukum yang tidak tertulis tetapi dalam bentuk perundang-undangan republik

Indonesia, karena bentuk perundang-undangan republik Indonesia adalah identik

dalam bentuk tertulis.

Tentang keadaan tertulis hukum adat, Soerjono Soekanto membuat

menjadi lebih jelas dengan memberikan pendapatnya sebagai berikut:148

“Hukum yang tidak tertulis itulah yang dinamakan hukum adat, yang

merupakan sinonim dari hukum kebiasaan. kalau dijumpai hal-hal yang

ditulis, maka itu merupakan hukum adat yang tercatat (=”beschreven

adatrecht”) dan hukum adat yang didokumentasikan

(“gedocumenteerd adatrecht”). Hukum adat yang tercatat antara lain

dijumpai dalam buku-buku yang ditulis oleh para sarjana hukum adat

terkemuka, seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, Holleman, Soepomo,

Hazairin, Soekanto, dan seterusnya. Hukum adat yang

didokumentasikan, antara lain dapat dijumpai pada awig-awig di Bali.”

Lilik Mulyadi menyatukan pengertian hukum adat tersebut, yaitu:149

“Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis

dan praktik dikenal dengan istilah”hukum yang hidup dalam

masyarakat,””living law”,”nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum

kebiasaan”, dan lain sebagainya.”

3.1.1.Hukum Pidana Adat

Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat

pidana150

cikal bakal sebenarnya dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana

adat dan hukum perdata adat. Menurut I Made Widnyana yang dimaksudkan

dengan hukum pidana adat yaitu:151

“Hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh

masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi

148

Soerjono Soekanto, Loc.Cit. 149

Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori,

Praktik dan Prosedurnya, makalah yang dilampirkan dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan

Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma,

Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan

Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 367.

150

H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal.76,

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di

Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta:

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 39.

151

I MadeWidnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993), hal.3

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

63

Universitas Indonesia

berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang

dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap

mengganggu keseimbangan kosmis masyarakt, oleh sebab itu, bagi si

pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh

masyarakat melalui pengurus adatnya.”

Dengan demikian menurut I Made Widnyana, pengertian tersebut mengandung

tiga hal pokok yaitu:152

“Pertama, rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan ditaati

masyarakat adat bersangkutan;

Kedua, pelanggaran terhadap peraturan tata tertib tersebut dapat

menimbulkan kegoncangan karena dianggap mengganggu

keseimbangan kosmis. Perbuatan melanggar peraturan tata tertib ini

dapat disebut sebagai delik adat;

Ketiga, pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai

sanksi oleh masyarakat yang bersangkutan.”

Tidak jauh berbeda dengan I Made Widnyana, Lilik Mulyadi berpendapat bahwa

hukum pidana adat adalah sebagai berikut:153

“Perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang

hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan

ketentraman dan keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Oleh

karena itu, untuk memulihkan ketenteraman dan keseimbangan

tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk mengembalikan

ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk

meniadakan atau menetralisir suatu keadaaan sial akibat suatu

pelanggaran adat.”

I Made Widnyana menjelaskan bahwa hukum pidana adat mempunyai sifat-

sifat sebagai berikut:154

a. Menyeluruh dan Menyatukan

152

Ibid.

153

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat

Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian

Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 41.

154

Ibid. lihat juga Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung:

Mandar Maju, 2003) hal.232. Lihat juga Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam

Kajian Kepustakaan), (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 346, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum

dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas,

Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan

Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 50-51.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

64

Universitas Indonesia

Karena dijiwai oleh sifat kosmis, yang mana satu sama lain saling karena

berhubungan, hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang

bersifat perdata.

b. Ketentuan yang terbuka

Hal ini disebabkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi

sehingga tidak bersifat pasti, sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk

segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.

c. Membeda-bedakan permasalahan;

Apabila terjadi peristiwa pelanggaran, maka yang dilihat bukan semata-

mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar

belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian maka

dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda;

d. Peradilan dengan permintaan

Menyelesaiakan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya

permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang

dirugikan atau diperlakukan tidak adil.

e. Tindakan Reaksi atau koreksi

Tindakan reaksi ini tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi

dapat juga dikenakan kepada kerabatnya/keluarganya bahkan mungkin

juga dibebankan pada masyarkat yang bersangkutan untuk

mengembalikan keseimbangan yang terganggu.

Senada dengan I Made Widnyana, maka menurut Hilman Hadikusuma juga

menggunakan istilah hukum pidana adat yaitu”hukum yang hidup (living law) dan

akan terus hidup selama-lama ada manusia, budaya, ia tidak akan dapat dihapus

dengan perundang-undangan. Andaikata dihapus, maka hukum pidana akan

kehilangan sumber kekayaannnya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat

hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada perundang-undangan.155

155 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Jakarta: Rajawali, 1961), hal. 307,

sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum

Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan

Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40-

41.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

65

Universitas Indonesia

Jika I Made Widnyana, Hilman Hadikusuma dan Lilik Mulyadi memakai

kata hukum pidana adat, maka tokoh yang lain yang menggunakan delik adat atau

tindak pidana adat yaitu:

1. Ter Haar BZN berasumsi bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delict)

ialah setiap gangguan segi satu (eenzijding) terhadap keseimbangan dan

setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil

dan imateriil orang seorang atau dari orang-orang banyak yang

merupakan suatu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu

menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan

oleh hukum adat, karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus

dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran berupa

barang-barang atau uang).156

2. Menurut Van Vollenhoven, delik adat sebagai perbuatan yang tidak

diperbolehkan.157

3. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, tindak pidana adat adalah perbuatan

itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan

masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan

hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila norma-

norma kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat

dilanggar.158

156

Ter Haar BZN, Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hal. 255.,

sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum

Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan

Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40.

157 Soerojo Wignodipuro, Op.Cit., hal.226, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan

Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas,

Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan

Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40.

158

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 33. sebagaimana ditulis

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di

Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta:

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

66

Universitas Indonesia

Sifat hukum pidana inilah (baik yang dikemukakan oleh I Made Widnyana

dan Hilman Hadikusuma) yang tidak ada dalam hukum pidana khususnya dalam

sistem peradilan pidana, dimana tidak melibatkan korban dalam arti sebenarnya -

bukan negara- sehingga kerugian yang dialami korban dapat digantikan oleh

pelaku ataupun mungkin hanya dengan ucapan maaf dan upacara adat, yang mana

semua merupakan bentuk dari sanksi adat. Reaksi adat yang dimaksudkan pun

mempunyai suatu tujuan yang tidak dijumpai dalam sistem peradilan pidana

Indonesia, khususnya dalam peraturan perundang-undangannya.

3.1.2 Bentuk dan Tujuan Sanksi Adat

Dalam tiap-tiap pelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang

bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan

hukum. Tindakan atau upaya (pertahanan adat) (adat reaksi) yang diperlukan

mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai

pelunasan hutang, atau sebagai ganti kerugian.159

Dengan istilah yang berbeda,

Emile Durkheim mengatakan bahwa “reaksi sosial yang berupa penghukuman

atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk

mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah

sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.”160

Lesquillier di dalam desertasinya Het Adat Delictenrecht in de Magische

Wereldbeschouwing mengemukakan bahwa”reaksi adat ini merupakan tindakan-

tindakan yang bermaksud mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu dan

meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu

pelanggaran adat.”161

I Made Widnyana menggunakan istilah sanksi adat untuk

persamaan dari reaksi adat, yaitu”sanksi adat atau disebut pula reaksi adat ataupun

koreksi adat adalah merupakan bentuk atau tindakan ataupun usaha-usaha untuk

159

Soepomo, Op.Cit., hal. 113.

160

Emile Durkheim, Causal and Functional Analysis, (Sociological Theory), (New York:

Mac Milan Press, 1976), hal. 502, sebagaimana ditulis dalam I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 8.

(garis bawah diberikan oleh penulis).

161

I Made Widnyana, Op.Cit., hal.8. (garis bawah diberikan oleh penulis).

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

67

Universitas Indonesia

mengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang

bersifat magis akibat adanya ganguan yang merupakan pelanggaran adat.”162

3.1.2.1. Bentuk sanksi adat

Di dalam “Pandecten van het Adatrecht”, bagian X yang mengumpulkan

bahan-bahan hukum adat delik (adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun

1936, memuat daftar nama delik adat dan menyebut berjenis-jenis reaksi adat

terhadap delik-delik itu berbagai-bagai lingkaran hukum adat di Indonesia.

Tindakan-tindakan sebagai reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat

di berbagai lingkaran hukum, tersebut adalah misalnya:163

a. Pengganti kerugiaan immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan

nikah gadis yang telah dicemarkan;

b. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang

sakti sebagai pengganti kerugian rokhani;

c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran

gaib;

d. Penutup malu, permintaan maaf;

e. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;

f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum;

Suatu perbuatan mungkin melanggar beberapa norma hukum sekaligus, sehingga

untuk memulihkan perimbangan hukum harus diambil beberapa tindakan koreksi,

misalnya pengganti kerugian dan selamatan untuk membersihkan masyarkat dan

sebagainya.

3.1.2.2.Tujuan sanksi adat

Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang

penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan

(Evenwicht, harmonie) antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan

manusia seluruhnya dan orang seorang antara persekutuan dan teman

162

Ibid.

163

Bagi Sumatra Selatan lihat juga Lublink Weddik, Ada Delictenrecht in de rapat

marga-rechtspraak van Palembang, 1939, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal. 113.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

68

Universitas Indonesia

masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut

merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-

tindakan yang perlu guna memulihkan kembali.164

Menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan

sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan

dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk

mengembalikan keseimbangan tersebut.165

Apabila terjadi pelanggaran, maka si

pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih

desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan

kekuatan magis yang dirasakan terganggu.166

Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi

(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran

hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini

meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”167

Pendapat

Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena

Purba, yaitu” tujuan dari pemidanaan dalam hukum adat adalah terjadinya

harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika

dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut,

sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf maka terjadi kerukunan

antara dua komunitas tersebut.”168

Tujuan pemidanaan atau sanksi adat ini tidak ada dalam KUHP dan

penerapannya dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam putusan

pengadilan pengadilan atau hakim. Pemidanaan dijatuhkan semata-mata hanya

karena terdakwa terbukti bersalah dan besar ringannya pemidanaan tersebut masih

digantungkan dengan dasar peringan dan pemberat dari terdakwa. Tidak ada

164

Soepomo, Op.Cit., hal.112.

165

I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.

166

Ibid.

167

Soepomo, Op.Cit., hal. 113. 168

Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh

Prof Rehngena berada di Medan.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

69

Universitas Indonesia

upaya untuk mengembalikan keseimbangan, keharmonisan ataupun kerukunan,

karena memang korban kurang mendapatkan tempat dan porsinya karena telah

digantikan oleh negara.

3.2. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Sistem Hukum Adat

Tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang yang melanggar hukum,

sebagai salah satu dasar yang terdapat pada sistem hukum criminal barat, rupa-

rupanya tidak ada pada sistem hukum adat tradisional. Sebagai diuraikan oleh Van

Vollenhoven, maka ada perbedaan pokok aliran antara sistem hukum pidana dari

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sistem hukum adat delik,

misalnya:169

1. Suatu pokok dasar kitab hukum criminal tersebut bahwa yang dapat

dipidana (strafbaar) hanya seorang manusia saja. Persekutuan hukum

Indonesia, misalnya desa (nagari, huta dsb) atau persekutuan famili (di

Minangkabau) tidak mempunyai pertanggungjawaban kriminal terhadap

delik yang diperbuat oleh seornag warganya. Alam pikiran Indonesia

adalah berlainan, di beberapa daerah di kepulauan Indonesia misalnya di

tanah gayo, di daerah-daerah Batak, di Pulau Nias, di Minangkabau,

Sumatera Selatan, Kalimantan (antara suku-suku bangsa Dayak),

Gorontalo, Ambon, Bali, Lombok dan Timor seringkali terjadi bahwa

kampung di penjahat atau kampung tempat terjadinya suatu pembunuhan

atau pencurian terhadap orang asing, diwajibkan membanyar denda atau

kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh atau yang

kecurian. Begitupun famili si penjahat diharuskan menanggung hukuman

yang dijatuhkan oleh salah seorang warganya.170

2. Pokok prinsip yang kedua dari KUHP adalah bahwa seseorang hanya

dapat dipidana apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja (opzet)

ataupun dalam kekhilafan (culpa), dengan kata lain jika ia mempunyai

169

Van Vollenhoven, Adat-recht II, Bab XI (“Adatstrafrecht Can Inlonesier”), hal.745,

sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal. 113-114.

170

Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.695-720, sebagaimana ditulis dalam Soepomo,

Op.Cit., hal.114.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

70

Universitas Indonesia

kesalahan. Van Vollenhoven menulis, bahwa lebih banyak adanya

kejadian-kejadian di dalam lapangan hukum adat yang tidak memerlukan

pembuktian tentang adanya sengaja atau kekhilafan daripada yang

dimaksud KUHP. Di dalam hukum adat ada beberapa pelanggaran

hukum yang hanya dapat dilakukan dengan sengaja, misalnya perbuatan

incest atau pencurian. Ada pula beberapa delik seperti, pembunuhan atau

melukai orang, yang dihukum lebih berat, jikalau perbuatan itu dilakukan

dengan sengaja.

Ada delik-delik adat lain, yang mewajibkan para petugas hukum untuk

memberi hukuman (mengadakan koreksi, reaksi) dengan tidak

memerlukan pembuktian apakah orang yang dihukum itu mempunyai

kesalahan, misalnya delik yang menganggu perimbangan batin

masyarakat, umpamanya seorang perempuan melahirkan anak di sawah

orang lain (di daerah Batak) atau di rumah orang lain (di daerah Dayak).

Juga aturan adat tanggung menanggung di Sumatra dan daerah-daerah

lain, menurut aturan ini masyarakat kampong atau persekutuan famili

harus menanggung perbuatan-perbuatan orang warganya yang melanggar

hukum, tidak memperdulikan, apakah persekutuan mempunyai kesalahan

atau tidak atas perbuatan itu.

3.Pokok dasar yang ketiga dari KUHP adalah bahwa tiap-tiap delik

menentang negara, sehingga tiap-tiap delik itu menjadi urusan negara,

bukan urusan perseorangan pribadi yang terkena. Menurut sistem hukum

adat, ada delik-delik yang terutama menjadi urusan orang yang terkena,

seringkali juga menjadi urusan golongan famili orang yang terkena dan

juga mengenai kepentingan desanya.

Terhadap delik-delik yang terutama hanya melukai kepentingan golongan

famili atau kepentingan seseorang dengan tidak membahayakan

keimbangan hukum persekutuan desa pada umumnya, maka petugas

hukum (kepala adat, hakim) hanya akan bertindak jikalau diminta oleh

pihak yang terkena itu. Dalam hal demikian seringkali pihak yang terkena

diberi kesempatan untuk berdamai, (rukunan) dengan pihak yang

melakukan delik. Dalam hal demikian uang”denda” atau pembayaran

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

71

Universitas Indonesia

kerugian dari pihak yang melakukan delik tidak masuk ”kas negeri”

melainkan diberikan kepada pihak yang terkena.

4. Menurut pokok dasar KUHP orang hanya dapat dipidana (dihukum)

apabila ia dapat bertanggungjawab (toere-keningsvatbaar). Dalam buku-

buku perpustakaan tentang hukum adat terdapat pemberitaan dari daerah

Minangkabau, bahwa di daerah itu upaya pertahanan dari masyarakat

terhadap orang gila yang membunuh orang adalah sama dengan upaya

pertahanan terhadap orang normal, yang melakukan pembunuhan.171

Dengan kata lain, sakit gila itu tidak mempengaruhi berat atau ringannya

upaya perlawanan yang harus dilakukan terhadap delik yang diperbuat

oleh orang gila. Di Bali, bahwa orang gila dan anak yang belum cukup

umur delapan tahun, tidak boleh dihukum, kecuali apabila ia melakukan

delik yang masuk golongan “sadtatayi” (pembakaran, meracun orang,

amok, penghinaan seorang raja, hekserij dan pemerkosaan)172

. Anak-anak

di Bali yang jika berdiri belum lima kaki tingginya ataupun anak-anak

yang belum memotong gigi, atau belum bekerja di sawah, tidak dianggap

bertanggung jawab. Perbuatan yang berakibat menghilangkan kedudukan

kasta (kastaverlies) pada anaka-anak yang belum cukup umur baru

merupakan delik, jika anak itu tiga kali berbuat demikian.173

Vergouwen

menulis bahwa seorang bapak harus menanggung segala akibat perbuatan-

perbuatan hukum dari anak-anaknya (yang belum cukup umur);

5. Pokok kelima dari KUHP ialah tidak membeda-bedakan orang (geen

aanzien des persoons). Dalam sistem hukum adat, besar kecilnya

kepentingan orang sebagai individu adalah tergantung dari pada

kedudukan (fungsinya) di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat Bugis

dan Makasar, yang bersifat masyarakat bertingkat-tingkat

(standenmaatschap-pij), seorang dari tingkat ataasn lebih penting dari

171

Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.660, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit.,

hal.116. 172

Sad tataji meliputi kejahatan-kejahatan yang dianggap paling berat.

173

Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.681, lihat juga V.E Korn, Het Adatrecht Van Bali, 2

druk, hal. 543, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal.116.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

72

Universitas Indonesia

orang tingkat bawahan. Di Bali, orang-orang Triwangsa adalah lebih

penting daripada orang rakyat jelata. Makin tinggi kedudukan orang

seseorang di dalam masyarkat, makin berat hukuman yang akan dijatuhkan

kepada orang yang membuat delik itu. Raja atau kepala adat adalah orang

yang paling tinggi kedudukannya di dalam masyarakat yang bersangkutan.

6. Pokok dasar keenam dari KUHP ialah bahwa orang dilarang bertindak

sendiri untuk menegakkan hukum yang dilanggar (verbod van

eigenrchting). Larangan ini berhubung dengan prinsip, bahwa segala delik

adalah urusan negara, bukan urusan perseorangan. Di dalam sistem hukum

adat terdapat keadaaan yang mengizinkan orang yang terkena untuk

bertindak sebagai hakim sendiri misalnya apabila seorang melarikan gadis,

atau berzinah (overspel) atau mencuri dan perbuatan itu diketahui seketika

(op heterdaad betrapt) sedang orangnya dapat tertangkap, maka pihak

yang terkena, pada waktu mendapat delik itu, menurut paham adat boleh

bertindak untuk menegakkan hukum.

Di Tanah Batak pada zaman dahulu seringkali terjadi, bahwa pihak yang

terkena mengungkung orang yang bersalah dengan kayu (mambeongkon)

sampai ia atau golongan keluarganya membayar denda yang diwajibkan

oleh adat. Di Minangkabau terkenal dengan adat tarikh yaitu pihak yang

terkena berhak mengambil sesuatu barang pihak yang bersalah atau barang

famili pihak yang bersalah memenuhi hukumannya.

7. Pokok dasar yang ketujuh dari KUHP ialah tidak membedakan barang

yang satu dengan barang yang lain, sehingga pada dasarnya mencuri

setangkai bunga adalah sama beratnya dengan mencuri sebuah permata

yang mahal. Menurut aliran tradisional Indonesia, mencuri, menggelapkan

atau merusak barang asal dari nenek moyang adalah lebih berat dari pada

mencuri, menggelapkan atau merusak barang duniawi biasa.

8. Pokok dasar kedelapan dari KUHP mengenai soal membantu perbuatan

delik (medeplichtigheid), membujuk (uitlokking) dan ikut berbuat

(mededaderschap). Menurut sistem hukum adat, siapa saja yang turut

menentang peraturan hukum, diharuskan turut memenuhi usaha yang

diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

73

Universitas Indonesia

(rechtsherstel). Pepatah Batak berbunyi”dosdo setiop sige dohot stangko

tuak.”, artinya”orang yang memegang tangga sama saja dengan orang

yang mecuri nira.” Dengan kata lain, semua orang yang ikut serta

membuat delik, harus ikut bertanggung jawab.

9. Pokok dasar kesembilan dari KUHP mengenai percobaan yang dapat

dipidana (strafbare poging). Suatu perbuata percobaan yang tidak berarti,

tidak dapat dipidana. Sistem hukum adat tidak menghukum seseorang

karena mencoba melakukan suatu delik. Dalam sistem hukum adat, suatu

upaya adat (adatreaksi) akan diselenggarakan jikalau perimbangan hukum

diganggu, sehingga perlu untuk memulihkan kembali perimbangan hukum.

Apabila tidak terjadi pengacauan masyarakat, tidak terjadi penghinaan atau

perusakan, apabila tidak ada perubahan apa-apa di dalam keadaan

masyarakat atau di dalam keadaan suatu golongan famili, atau di dalam

keadaan orang seorang, maka tidak ada alasan suatupun bagi para petugas

hukum untuk bertindak, oleh karena perimbangan hukum tidak terganggu.

Apabila seseorang yang bermaksud akan membunuh orang lain,

menembak orang itu, akan tetapi orang yang ditembak itu hanya mendapat

luka-luka, maka orang yang menembak itu tidak akan dihukum karena

mencoba membunuh, melainkan ia dihukum karena melukai orang. Jika

tembakan itu tidak mengenai, maka tidak ada percobaan membunuh atau

percobaan melukai melainkan hnaya perbuatan melepaskan tembakan

kepada seseorang, yang mungkin melanggar delik ketenteraman umum.

10. Pokok dasar kesepuluh dari KUHP adalah orang yang hanya dapat

dipidana karena perbuatannya yang terakhir, tidak boleh karena

perbuatannya dulu-dulu, kecuali jikakalau ia menjalankan pengulangan

kejahatan (recidive). Menurut aliran pikiran tradisional, dalam mengadili

perbuatan melanggar hukum hakim harus memperhatikan juga, apakah

yang melanggar hukum itu sungguh menyesal (berouw) atas perbuatannya.

Pun hakim harus memperhatikan apakah orang itu masuk golongan orang

yang terkenal sebagai penjahat.174

174

Van Vollenhoven, Adatrecht II, hal. 749, sebagaimana ditulis dalam Soepomo,

Op.Cit., hal.119.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

74

Universitas Indonesia

Penyesalan hati akan meringankan hukuman.175

Sebaliknya orang yang

terkenal sebagai penjahat, apabila ia berbuat salah, boleh dihukum seberat-

beratnya, misalnya ia dapat dibuang dari persekutuan masyarakatnya.

Perbedaan sistem hukum adat dengan KUHP ini cukup memberi gambaran

tentang bagaimana penyelesaian perkara pidana melalui sistem hukum adat.

Selain itu contoh tentang penyelesaian perkara pidana melalui sistem hukum adat

yaitu:

1. Seperti dikatakan oleh Daud Azhari, banyak sengketa di Lombok

diselesaikan oleh Desa Adat, dimana kompetensi mengadili sengketa di

bidang pengairan berada di Rembug Subak, sedangkan sengketa di luar

masalah pengairan, baik perkara yang berdimensi perdata adat maupun

delik adat (pidana adat) berada di tangan Kerama Desa. Konflik yang

berdimensi pidana meliputi tawuran dan pembunuhan secara massal,

perbuatan perzinahan atau kesusilaan dan moral.176

2. Berdasarkan MoU antara Masyarakat Adat Aceh, Gubernur NAD dan

Kapolda NAD,177

disepakati bahwa yang menjadi kewenangan peradilan

adat, khususnya tentang delik adat yaitu: kekerasan dalam rumah tangga

yang bukan kategori penganiayaan berat, perselisihan antar dan dalam

keluarga, pencurian (bukan untuk pencurian yang berat seperti kerbau,

kendaraan bermotor, dll) dan kecelakaan lalu lintas yang ringan (bukan

yang mengakibatkan mati). Sanksi adat berupa: nasehat, peringatan, minta

maaf di depan umum, ganti rugi, diusir dari Gampong, pencabutan gelar

175 Suatu pepatah Batak berbunyi”Gala-gala sitellu, telluk mardagul-dagul, molo sala

pembahenanku luhat huapulapul” artinya:”Jikalau saya berbuat salah, saya akan memperbaiki

kesalahan saya.”

176

Daud Azhari, Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, yang ditelusur

melalalui internet www.scribid.com/daud-azhari-9865 sebagaimana ditulis dalam ringkasan

desertasi M.Hatta Ali, Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan

Keadilan Restoratif Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, (Bandung: Program Studi

Doktor Ilmu Hukum Unpad, 2011), hal. 11.

177

UNDP, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan

Akuntabel, penelitian Proyek Keadilan Aceh UNDP dengan Masyarakat Adat Aceh (MAA) dan

Pemerintah NAD, ditelursur melalui internet http://ind.adatjustice.org/wp-

content/uploads/publikasi/Buku%20Pedoman%20Peradilan.pdf diakses pada tanggal 20 Desember

2012

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

75

Universitas Indonesia

adat, dikucilkan dalam pergaulan dan diboikot. Perangkat peradilan

adat/hakim perdamaian di tingkat:

1. Gampong, terdiri atas:

a. Keuchik, sebagai Ketua;

b. Sekretaris Gampong, sebagai Panitera;

c. Imeum Meunasah, sebagai Anggota;

d. Tuha Peuet, sebagai Anggota

e. Ulama, tokoh adat/cendekiawan lainnya di Gampong yang

bersangkutan (ahli di bidangnya), selain Tuha Peuet Gampong

sesuai dengan kebutuhan;

2. Mukim terdiri atas:

a. Imeum Mukim, sebagai Ketua;

b. Sekretaris Mukim, sebagai Panitera;

c. Tuha Peuet Mukim, sebagai Anggota;

d. Ulama, tokoh adat/cendekiawan lainnya, selain Tuha Peuet Mukim

sesuai dengan kebutuhan.

3. Masyarakat Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sebagian besar hidup

dalam naungan hukum adat. Kabupaten ini dihuni tiga suku besar, yaitu

Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Siapa pun yang melanggar ketentuan

hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut pokara adat.

Konflik di masyarakat ditangani melalui putusan adat. Putusan diambil

oleh para tokoh adat mengacu hukum adat yang berlaku.178

Sengketa

diselesaikan lewat peradilan adat yang dipimpin oleh seorang timanggong

(temenggung). Pada umumnya timanggong hanya menyelesaikan kasus

pelanggaran berat, misalnya penganiayaan berat dan pembunuhan.

Sedangkan kasus-kasus sengketa ringan bisa diselesaikan sendiri oleh

kepala kampong (kampung atau desa). Kampong merupakan sistem yang

178 Elly Burhaini Faizal, Liputan Peradilan Adat Di Sanggau Kalimantan Barat, Suara

Pembaruan, edisi 15 September 2003, sebagaimana dimuat dalam Pekumpulan untuk Pebaharuan

Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) yang ditelusur melalui internet

http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Suara-Pembaruan-15_17-Des-03-Catatan-Dari-

Peradilan-Adat-Sanggau.pdf diakses pada tanggal 19 Desember 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

76

Universitas Indonesia

sudah lama ada.179

Di kalangan masyarakat Melayu, peradilan adat juga

dikenal. Peradilan ini dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut penggawa.

Masyarakat etnis Melayu di Sanggau identik dengan masyarakat muslim.

Hukum adat yang mereka anut bersumber pada kitab suci Al Quran.

Kewenangan memutuskan suatau perkara ada di tangan pemangku adat.180

Demikian sedikit penggambaran penyelesaian perkara pidana melalui

sistem hukum adat, baik yang secara umum maupun khusus di daerah-

daerah tertentu.

3.2.1. Eksistensi Lembaga Adat

Untuk mengetahui eksistensi lembaga adat, perlu juga sebelumnya

mengetahui legaliatas dari hukum adat. Hal ini karena dengan lembaga adat yang

menyelesaikan sengketa adat merupakan bagian dari hukum adat. Eksistensi

keberlakuan hukum pidana adat bertitik tolak dari Undang-Undang Darurat

Nomor 1 Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 No.9) yang diundangkan

pada tanggal 14 Januari 1951, yaitu:181

1. Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa”pada saat berangsur-angsur

akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:

a. Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrecht-spraak) dalam Negara

Sumatra Timur dahulu, keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan

Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali Pengadilan Agama jika

Peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagin dari

pengadilan Swapraja;

b. Segala pengadilan adat (inheemse rechtspraak in rechtstreeks

bestuurd gebied) kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu

menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari

Peradilan Adat;

179

Ibid.

180

Ibid. 181

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 71-72. Lihat juga Soepomo, Op.Cit.,

hal.153. lihat juga Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.68-70. Lihat juga Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.

372.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

77

Universitas Indonesia

2,Pasal 5 ayat (3) sub b yang menyatakan:

“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil

pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula daerah swapraja dan

orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk

kaula-kaula dan orang-orang itu dengan pengertian:

- Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana akan tetapi tiada bandingannya dalam

KUHP, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih

dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu dengan

hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak

diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud

dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum, dan;

- Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran

Hakim melampaui padanya denda hukuman kurungan atau denda

yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan

hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian

bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras dengan

zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan;

- Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUHP,

maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan

hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan itu.

Lilik Mulyadi menggambarkan secara jelas Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-

Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, bahwa ada tiga konklusi dasar,

yaitu:182

1. Bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingannya atau padanan

dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana

adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan

ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus

rupiah (setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana

termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu satu hari untuk

182 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.373.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

78

Universitas Indonesia

pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan

ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi untuk tindak pidana adat yang

berat ancaman pidana paling lama sepuluh tahun, sebagai pengganti

dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa;

2. Tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman

pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP

seperti misalnya tindak pidana adat drati kerama di Bali atau

Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak

pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP;

3. Sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan

pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa,

mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup

(living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya

dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam

KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai ketentuan KUHP;

Selain dari Undang-Undang Darurat tersebut, menurut Soepomo

berdasarkan Pasal 26 ayat(1) Ordonnantie inheemsche rechtspraak,

Staatsblad 1932 no.80) maka hukum adat delik formal masih berlaku.183

Menurut Pasal 27 ayat (1) Ordonansi tersebut, hakim pengadilan adat

berwenang di samping upaya-upaya adat atau sebagai pengganti upaya-

upaya adat, menjatuhkan hukuman pidana yang disebut dalam Pasal 10a

KUHP.184

Pasal 26 ayat (3) ordonnansi tersebut, bahwa siapa pun tidak

boleh dihukum (dipidana) terhadap perbuatan yang pada waktu perbuatan

itu dilakukannya, tidak diancam dengan pidana oleh hukum adat atau oleh

peraturan perundang-undangan.185

Di daerah-daerah yang notabene juga mempunyai hukum adat dan

lembaga adat yang berbeda dengan daerah lainnya, sehingga eksistensinya

183

Soepomo, Loc.Cit.

184

Ibid.

185 Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

79

Universitas Indonesia

dan legalitasnya diatur secara masing-masing. Di aceh, misalnya dasar

hukum peradilan adat di Aceh, yaitu:186

1. Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, menegaskan bahwa”Daerah

diberikan kewenangan untuk menhidupkan adat sesuai dengan syariat

Islam.”

2. Bab XIII tentang Lembaga Adat Undang-Undang No.11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh mengatakan bahwa”penyelesaian masalah

sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat

(Pasal 98 ayat (2). Lembaga-lembaga adat tersebut yaitu:

- Tuha Peuet;

- Majelis Adat Aceh;

- Imeum Mukim;

- Imeum Chiek;

- Imeum Meunasah;

- Tuha Lapan;

- Syahbanda;

- Haria Peukan;

- Peutuwa Seuneubok;

- Pawang Glee;

- Panglima Laot;

- Keujruen Blang;

- Keuchik;

3. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan

Kehidupan Adat, menegaskan bahwa”Lembaga Adat sebagai alat

kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.”

Tugas lembaga adat adalah:

- menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan (Pasal 5);

- menjadi hakim perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat

penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus (Pasal 6 dan 10)

186 UNDP, Op.Cit.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

80

Universitas Indonesia

4. Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam propinsi

Nangroe Aceh Darussalam memberikan kepada Mukim untuk:

- Memutuskan dan atau menetapkan hukum;

- Memelihara dan mengembangkan adat;

- Menyelenggarakan perdamaian adat;

- Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap

perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat;

- Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian

lainnya menurut adat;

- Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat

istiadat;

5. Qanun no.5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi

Naggroe Aceh Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban

Gampong adalah:

- Menyelesaikan sengketa adat;

- Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan istiadat;

- Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya

perbuatan maksiat dalam masyarakat;

Di daerah lain juga diatur seperti berikut:

1. Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No.1 Tahun 2008 tentang

Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga

Adat Banggai, yaitu:” Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 mempunyai tugas :187

a.Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat adat kepada

Pemerintah;

b. Menyelesaikan permasalahan adat istiadat dan kebiasaan – kebiasaan

masyarakat di wilayahnya;

c. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat serta

187

Pemerintah Kabupaten Banggai, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian,

Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai, Peraturan Daerah Kabupaten Banggai

Nomor 1 Tahun 2008, yang ditelusur melalui internet http://www.palu.bpk.go.id/wp-

content/uploads/2010/03/Perda-Banggai-No.1-Tahun-2008-tentang-Pemberdayaan-

PELESTARIAN-LEMBAGA-ADAT-BANGGAI.pdf diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

81

Universitas Indonesia

kebiasaan-kebiasaan masyarakat;

d. Menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis dan ojektif antara

masyarakat, perangkat adat dengan aparat Pemerintah Daerah.”

2. Pasal 12 Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 2 Tahun 2007

tentang Lembaga Adat Marga, yaitu:” Pemangku Adat Marga

mempunyai wewenang :188

a. Menyelenggarakan rapat dan musyawarah Lembaga Adat Marga;

b. Menyelesaikan urusan adat istiadat masyarakat di wilayah kerjanya;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan adat istiadat;

d.Menghimpun dan mendata adat istiadat masyarakat yang hidup,

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum adat;

e.Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam

pemberdayaan adat istiadat;

f. Memberikan gelar adat sebagai penghormatan kepada seseorang;

g. Memberikan sanksi adat kepada seseorang yang melanggar ketentuan

hukum adat;

h. Mewakili untuk bertindak atas nama lembaga adat baik diluar maupun

didalam pengadilan;

i. Mengatur tatakrama pergaulan bujang gadis;

j. Menyusun Peraturan Adat Marga sesuai dengan adat istiadat setempat;.

k.Membina hubungan kemitraan, pengkoordinasian dengan Kecamatan

dan pemerintahan desa dan atau kelurahan;

l.Melaksanakan kerjasama antar Lembaga Adat Marga atau Lembaga

Adat lainnya.”

3. Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara No,12 Tahun 2004

tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan

Lembaga Adat, yaitu:189

”(1) Lembaga Adat berwenang mengangkat dan

188

Pemerintah Kabupaten Muara Enin, Peraturan tentang Lembaga Adat Marga,

Peraturan Daerah Nomor Tahun 2007, yang ditelusur melalui internet

http://palembang.bpk.go.id/web/files/2010/08/Perda-No.2-Thn-2007-ttg-Lembaga-Adat.pdf yang

diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.

189

Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian

dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

82

Universitas Indonesia

menentukan Datu, Pemangku Adat, Ketua Adat atau sebutan nama

lainnya sesuai dengan kondisi sosial budaya dan adat istiadat. (2)

Lembaga Adat berwenang membuat dan menetapkan peraturan-peraturan

atau ketentuan-ketentuan tentang adat istiadat yang tidak bertentangan

dengan perundang-undangan. (3) Sebagai Lembaga Adat berwenang

menyelesaikan perselisihan sengketa adat, berdasarkan kesepakatan

melalui musyawarah adat. (4) Keputusan musyawarah adat dalam

menangani dan menyelesaikan sengketa adat menjadi bahan dan

petunjuk bagi lembaga peradilan.”

Uraian ini cukup memberikan penjelasan dan penegasan bahwa

hukum adat dan lembaga adat, eksistensinya masih tetap ada dan

diakui untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat hukum

adat tersebut. Masih banyak lagi peraturan daerah lainnya, yang kurang

lebih sama memberikan penjelasan dan penegasan tentang eksistensi

dari hukum adat dan lembaga adat tersebut.

3.2.2. Kelemahan Penyelesaian Melalui Hukum Adat

Ada sebagian pihak yang memandang hukum adat sebagai hukum yang

sudah ketinggalan zaman yang harus segera ditinggalkan dan diganti dengan

peraturan-peraturan hukum yang lebih modern. Aliran ini berpendapat bahwa

hukum adat tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hukum dimana kini, lebih-

lebih lagi untuk masa mendatang sesuai dengan perkembangan dunia modern

ditambah dengan tuntutan dari globalisasi, dimana kejahatan tidak mengenal batas

ruang, terjadi di lintas negara. Hal ini secara tidak langsung menyatakan

kelemahan hukum adat itu sendiri, yang antara lain sebagai berikut:190

a. Hukum adat adalah hukum dari rakyat yang masih primitif sehingga

tidak seyogyanya untuk dijadikan dasar dan diberlakukan kepada

mereka atau masyarakat yang sudah maju yang pada umumnya hanya

kita jumpai pada masyarakat pedesaan yang hidupnya jauh dari kota

No.12 Tahun 2004, yang ditelusur melalui internet http://www.wg-

tenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Perda_Kab.LuwuUtara_12_2004.pdf yang diakses pada

tanggal 20 Oktober 2012.

190

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 104.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

83

Universitas Indonesia

besar. Hukum adat tumbuh dan berkembang di desa, sedangkan di kota

banyak ditinggalkan;

b. Hukum adat yang bersendikan atas tradisi banyak menghambat

perkembangan kemajuan masyarakat karena hukum adat dengan segala

sifat kekolotannya sukar untuk menerima proses pembaharuan dan

menerima hal-hal yang banyak diperlukan dalam kehidupan modern dan

tidak cocok dengan keadaan modern;

c. Hukum adat yang sifatnya tidak tertulis adalah kurang memberikan

jaminan kepastian hukum bilamana dibandingkan dengan ketentuan-

ketentuan hukum yang tertulis, karena sulit untuk diketahui kaidah-

kaidahnya.

Soerjono Soekanto secara terpisah juga berpendapat tentang alasan keberatan

tentang mengenai pentingnya kedudukan dan peranan hukum adat dalam

pembaharuan hukum, yang menurut penulis inipun merupakan kelemahan dari

hukum adat, yaitu:191

1. Hukum adat didasarkan pada sistem sosial-budaya masyarakat

sederhana, sehingga sukar untuk diperlakukan terhadap masyarakat

madya dan modern;

2. Hukum adat berproses secara tradisionil, hal ini menimbulkan

kecenderungan yang kuat untuk menganggap hukum adat sebagai

lembaga konservatif yang cenderung mempertahankan status quo;

3. Hukum adat berorientasi pada masa lampau, sedangkan orientasi dalam

proses pembangunan harus sebanyak mungkin diarahkan ke masa

depan;

4. Sifat tidak tertulis dari hukum adat, menyebabkan tidak terjaminnya

kepastian hukum dan timbulnya keragu-raguan akan isinya hukum adat;

5. Berkurangnya wibawa pemuka-pemuka adat sebagai pemimpin

informal, padahal proses hukum adat tergantung pada mereka.

Mengenai berkurangnya wibawa pemuka-pemuka adat sebagai pemimpin

informal adalah menarik jika kita melihat dari hasil laporan Elly Buraini Faizal

191

Soerjono Soekanto, op.Cit., hal.53.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

84

Universitas Indonesia

yang melihat peradilan adat di Sanggau, Kalimantan Barat. Menurut laporan Elly

Buraini Faizal yaitu:192

“Komersialisasi hukum adat mencoreng wajah praktik peradilan adat di

Sanggau beberapa waktu belakangan ini. Istilah keren yang dipakai

adalah "premanisme adat". Tudingan miring itu merujuk kepada

berkembangnya praktik "pemerasan" yang menimpa orang-orang

pelaku pelanggaran hukum adat. Tuntutan yang diajukan kepada si

pelaku pelanggaran khususnya kasus pati nyawa (pembunuhan) tersebut

jumlahnya sangat besar, bahkan melebihi hukuman yang dijatuhkan

peradilan formal. Tak jarang tuntutan agar si pelaku membayar sanksi

adat dalam jumlah besar itu diwarnai paksaan serta ancaman. Para

timanggong (temenggung) serta tetua adat Sanggau yang ditemui

Pembaruan rata-rata membenarkan adanya praktik itu. Namun mereka

berpendapat, pelaku komersialisasi hukum adat adalah para preman

adat, dan bukan fungsionaris adat yang sesungguhnya.”

Laporan tersebut berakibat bahwa adanya oknum yang melakukan

pemerasan dengan dalih sanksi adat menggunakan dasar pemuka adat, maka

menurunnya wibawa pemuka-pemuka adat. Tentang sanksi adat yang jumlahnya

besar juga dapat dilihat dari kasus bentrokan suku anak dalam, yang terjadi di

Sarolangun. Bentrokan yang terjadi antara kelompok Celitai dan kelompok Abu

Majid, mengakibatkan ada tiga korban yang meninggal, dua orang dari kelompok

Abu Majid dan satu orang dari kelompok Celitai. Dari hasil keputusan adat,

disepakati sanksi adat berupa kelompok Celitai membayar 1000 kain kepada

kelompok Abu Majid dan kelompok Abu Majid membayar 500 kain kepada

kelompok Celitai.193

Menarik untuk diketahui hasil tulisan dari Kornelis Kewa tentang sanksi

adat di papua. Menurutnya, bagi warga pendatang, penyelesaian perkara melalui

pengadilan jauh lebih menguntungkan dari pada secara hukum adat masyarakat

lokal. Dalam kasus hak ulayat misalnya, warga pendatang lebih suka

menyelesaikan di pengadilan.sementara warga lokal ingin menyelesaikan secara

adat.194

Menurut Yance Pattiran, hakim PN.Nabire, keuntungan yang diperoleh

192

Elly Buraeni Faizal, Loc.Cit.

193

Disarikan dari laporan Mahmud Sebayang, Loc.Cit.

194

Kornelis Kewa, Hukum Adat Mendominasi Hukum Positif di Papua, 30 April 2004,

diakses melalui internet http://www.huma.or.id sebagaimana ditulis M.Hatta Ali, Asas Peradilan

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

85

Universitas Indonesia

masyarakat yang berperkara melalui hukum adat jauh lebih besar dibandingkan

dengan hukum formal. Tuntutan hukum adat mencapai milyaran rupiah, ditambah

ternak babi dan berbagai jenis perhiasan. Keuntungan seperti itu tidak dijatuhkan

di Pengadilan Negeri.195

Rehngena Purba melihat kepada kelemahan dari penerapan hukum adat

yaitu:196

“Di beberapa daerah pedalaman, hukum adat masih digunakan, namun di

daerah yang masyarakatnya sudah heterogen dan pengadilan hakimnya

bukan putra daerah seperti kata Subekti yang mengetahui hukum adat

adalah putra daerah itu sendiri karena jika hakim bukan putra daerah

tersebut, maka hakim tidak meresapi living law itu, jadi tidak meresapi

hukum daerah itu dan apa kata pasal-pasal dari undang-undang tersebut

langsung dia terapkan saja, jadi seperti corong undang-undang saja.”

Kelemahan hukum adat untuk diterapkan dalam masyrakat yang heterogen

juga diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro. Menurut Mardjono Reksodiputro:

“Hukum adat hanya bisa dilakukan di daerah pedusunan atau perdesaan,

dimana terjadi disharmonisasi karena adanya gelombang harmonisasi.

Ibaratnya air yang tenang dilempar batu, maka terjadi gelombang atau

disharmonisasi yang melebar ke masyarakat. Tetapi jika di kota tidak

ada penyelesaian dengan hukum adat, ibaratnya batu itu dilempar ke

tanah, sehingga urusan hanya diselesaikan oleh dua pihak tersebut

saja.” 197

Menurut Adrianus Meliala, berdasarkan hasil penelitian tentang metode

penyelesaian hukum adat terhadap masalah kenakalan anak-anak di 17 daerah

adat, didapati hasil bahwa:

1. Masyarakat tidak mengetahui hukum adat mana yang dipegang;

2. Hukum adat tidak mengenal anak sebagai subyek hukum adat; 198

Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan Keadilan Restoratif Dalam

Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, Disertasi (resume), Bandung: Universitas Padjadjaran,

2011, hal. 47.

195

Ibid. 196

Wawancara dengan Prof Rehngena Purba melalui telepon pada tanggal 14 Desember

2012.

197

Wawancara secara langsung di kampus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Salemba-Jakarta, pada tanggal 13 November 2012.

198

Wawancara secara langsung di gedung Nusantara I kampus FISIP UI, Depok pada

tanggal 2 November 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

86

Universitas Indonesia

Syahrul Mahmud hakim yang bertugas di Bandung mengatakan

bahwa”hukum adat adalah hukum yang masih hidup dan dipakai, namun untuk di

masyarakat yang heterogen hukum adat sudah luntur, beda halnya jika di

masyarkat yang masih kental hukum adatnya seperti suku Dayak di Tenggarong

yang membebankan untuk membayar sanksi adat berupa babi.”199

Lilik Mulyadi lain lagi berpendapat, menurutnya”hukum adat antara ada dan

tidak, jika melihat dari Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang Darurat No.1

Tahun 1951 dan peradilan desa yang sudah dihapuskan dengan Undang-Undang

No.14 Tahun 1970, namun demikian prakteknya Mahkamah Agung melalui

putusannya dan menjadi Yurisprudensi dengan menggunakan hukum adat.”200

3.3. Nilai Hukum Adat dalam Restorative Justice

Sebelum mengetahui nilai restorative justice dalam penyelesaian melalui

hukum adat, ada baiknya mengetahui dahulu asas-asas dari hukum adat tersebut.

Menurut J.J.H Bruggink, maka asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri

yang sebagian termasuk dalam sistem hukum, tetapi sebagian lainnya tetap berada

di luarnya sehingga asas-asas hukum itu berada baik di dalam sistem hukum

maupun di belakangnya.201

Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati,

menyebutkan asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum merupakan disiplin

199 Wawancara melalui telepon (karena narasumber berada di Bandung) pada tanggal 12

November 2012.

200

Wawancara secara langsung di Pengadilan Ngeri Jakarta Utara pada tanggal 31

Oktober 2012. Yurisprudensi yang dimaksud Lilik Mulyadi sebagaimana yang telah ditulisnya

dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Op.Cit. hal.98-105.

Yurisprudensi yang dimaksud yaitu:1.Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984

tanggal 23 Februari 1985, yang memberikan kualifikasi tentang perzinahan menurut hukum adat

namun untuk sanksi bukan sanksi adat melainkan pidana penjara.2. Putusan Mahkamah Agung RI

No.1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang pada pokoknya menyatakan tuntutan Penuntut

Umum tidak dapat diterima karena terdakwa yang melakukan perbuatan asusila telah membayar

sanksi adat berupa seekor kerbau dan satu piece kain kaci yang menurut Pasal 5 ayat (3) sub b

Undang-Undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 hukuman adat telah sepadan dengan kesalahan

terhukum.

201

J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arif Sidharta, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1996), hal. 122, sebagaimana ditulis dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan

Litbang Kumdil MARI, Op.Cit. hal.44.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

87

Universitas Indonesia

tengah yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene

rechtsleer).202

Roeslan Saleh selanjutnya menegaskan bahwa:203

“…tiap kali aparat hukum membentuk hukum, asas ini selalu dan terus

menerus mendesak masuk ke dalam kesadaran hukum dari

pembentuk.sejauh dia mempunyai sifat-sifat konstitutif dia tidak dapat

dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak dapat dikesampingkannya.

Jika hal itu dilakukannyam maka terjadilah yang disebut non-hukum atau

kelihatannya saja dianggap sebagai hukum.”

Dengan demikian menurut Lilik Mulyadi, dapat dianalisis bahwa asas-asas

hukum mengandung unsur-unsur, yakni:

a. Sarat dengan kandungan nilai, filsafat dan semangatnya sendiri;

b. Tidak tampak sebagai aturan (rule) yang konkrit, tetapi sebagi kaidah

di belakang peraturan. 204

Berkaitan dengan itu, Koesno mengemukakan pendekatan hukum adat

dalam menyelesaikan konflik adat berdasarkan tiga asas yakni asas rukun, asas

patut dan asas laras, diuraikan sebagi berikut:205

a. Asas rukun

Asas kerukunan merupakan suatu asas kerja yang menjadi pedoman dalam

menyelesaikan konflik adat. Penerapan asas rukun dalam penyelesaikan

konflik adat dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan

seperti keadaan semula, status dan kehormatannya serta terwujudnya

hubungan yang harmonis sesama krama desa. Dengan demikian asas

rukun tidak menekankan menang kalah pada salah satu pihak, melainkan

202

Phliipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gajah

Mada University Press, 2005), hal.9, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan

Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit.

203

Roeslan Saleh, Ibid, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan

Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit.

204 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit. lihat juga

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, (Bandung: Alumni, 2012),

hal.401.

205

I Nyoman Sirtha, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, (Denpasar: Udayana

University Press, 2008), hal. 78, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan

Litbang Kumdil MARI, hal. 45.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

88

Universitas Indonesia

terwujudnya kembali keseimbangan yang terganggu, sehingga para pihak

yang bertikai bersatu kembali dalam ikatan desa adat.

b. Asas patut

Patut adalah pengertian yang menunjuk kepada alam kesusuliaan dan akal

sehat yang ditujukan pada penilaian atas sesuatu kejadian sebagai

perbuatan manusia maupun keadaan. Patut berisi unsur-unsur yang berasal

dari alam susila, yaitu nilai-nilai baik atau buruk. Patut juga mengandung

unsur-unsur akal sehat, yaitu perhitungan-perhitungan yang menurut

hukum adat dapat diterima. Pendekatan asas patut dimaksudkan agar

penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama baik pihak masing-masing,

sehingga tidak ada yang merasa diturunkan atau direndahkan status dan

kehormatannya selaku krama desa.

c. Asas laras

Ajaran keselaran mengandung ajaran untuk memperhatikan kenyataan dan

perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam menjadi

tradisi secara turun temurun. Oleh karena itu, pengalaman dan

pengetahuan tentang adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat, merupakan bahan-bahan untuk merumuskan secara konkrit

suatu jawaban dalam menyelesaikan konflik adat. Penggunaan pendekatan

asas keselarasan dilakukan dengan memperhatikan tempat, waktu dan

keadaan (desa, kala, patra), sehingga dapat diterima oleh para pihak dalam

masyarakat.

Tiga asas ini pun sama seperti yang disebutkan Rehngena Purba, yaitu

”Salah satu tujuan hukum adat, terjadinya keseimbangan dan harmonis, tidak

adanya perbedaan privat dengan publik dengan asas kerukunan, kepatutan dan

keselarasan.”206

Rehngena Purba menambahkan lagi bahwa”Jika kita mengenal

suatu asas musyawarah untuk mufakat, maka Musyawarah ajaran menyelesaikan

dan mufakat itu ajaran memutus.”207

206

Wawancara melaui telepon pada tanggal 14 Desember 2012.

207

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

89

Universitas Indonesia

Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Koesno dan

Rehngena Purba, dalam peradilan adat aceh misalnya terdapat asas-asas sebagai

berikut:208

1. Terpercaya atau amanah (acceptability)

Peradilan adat dapat dipercai oleh masyarakat

2. Tanggung jawab/akuntabilitas (accountability)

Prinsip ini menggarisbawahi pertanggungjawaban dari para pelaksana

peradilan adat dalam menyelesaikan perkara tidak hanya ditujukan

kepada para pihak, masyarakat dan Negara tetapi juga kepada ALLAH

SWT.

3. Kesetaraan di depan hukum/non-diskriminasi (equality before the

law/non discrimination)

Peradilan adat tidak boleh membeda-bedakan jenis kelamin, status

sosial ataupun umur. Semua orang mempunyai kedudukan dan hak

yang sama di hadapan adat.

4. Cepat, mudah dan murah (accessibility to all citizens)

Setiap putusan peradilan Gampong harus dapat dijangkau oleh

masyarakat baik yang menyangkut dengan biaya, waktu dan

prosedurnya.

5. Ikhlas dan sukarela (voluntary nature)

Keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan

perkaranya melalui peradilan adat.

6. Penyelesaian damai/kerukunan (peaceful resolution)

Dalam bahasa Aceh, azas ini dikenal dengan ucapan”Uleue bak mate

ranteng ek patah” tujuan dari peradilan adat adalah untuk menciptakan

keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat.

7. Musyawarah/mufakat (consensus)

Keputusan yang dibuat dalam peradilan adat berdasarkan hasil

musyawarah mufakat yang berlandaskan hukum dari pelaksana

peradilan adat.

8. Keterbukaan untuk umum (transparency)

208

UNDP, Loc.Cit.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

90

Universitas Indonesia

Semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik yang

menyangkut pautkan penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi,

persidangan maupun pengambilan serta pembacaan putusan harus

dijalankan secara terbuka.

9. Jujur dan kompetensi (competence/authority)

Seorang pemimpin adat tidak boleh mengambil keuntungan dalam

bentuk apapun baik material maupun non material dari penanganan

perkara.

10. Keberagaman (pluralism)

Peradilan adat menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri

dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat

adat tertentu.

11. Praduga tak bersalah (presumption of innocence)

Hukum adat tidak membenarkan adanya tindakan main hakim sendiri.

12. Berkeadilan (proportional justice)

Putusan pengadilan adat harus bersifat adil dan diterapkan berpedoman

sesuai dengan berdasarkan parahnya perkara dan keadaan ekonomi

para pihak.

Setelah diuraikan apa yang menjadi asas-asas hukum adat, sesuai dengan

penelitian ini yang membahas tentang restorative justice. Hukum adat sebagai

living law, hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat

mempunyai nilai-nilai yang luhur karena ini merupakan asli dari Indonesia. Dalam

penerapan restorative justice bukan diartikan menggunakan hukum adat,

melainkan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai

yang ternyata sejalan dengan konsep restorative justice.

Dalam penelitian ini telah dibatasi melihat restorative justice sebagai tujuan

pemidanaan, dengan demikian untuk dapat melihat nilai restorative justice dalam

hukum adat, maka dapat dilihat dari tujuan sanksi adat dan asas-asas hukum adat

itu sendiri. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan sanksi adat adalah sebagai

berikut:

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

91

Universitas Indonesia

1. Menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan

sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan

dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk

mengembalikan keseimbangan tersebut.209

Apabila terjadi pelanggaran, maka

si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara

bersih desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan

keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu.210

2. Menurut Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi

(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran

hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini

meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”211

3. Pendapat Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang

dikatakan Rehngena Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat

adalah terjadinya harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada

konflik. Karena jika dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di

masyarakat tersebut, sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf

maka terjadi kerukunan antara dua komunitas tersebut.”212

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai hukum adat yang sejalan

dengan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan yaitu mengembalikan

keseimbangan, memulihkan perimbangan hukum, harmonisasi dengan

berdasarkan asas-asas hukum adat kerukunan, kepatutan dan keselarasan serta

musyawarah untuk mufakat. Nilai-nilai yang terkandung ini tidak lain adalah nilai

yang ada pada masyarakat Indonesia, nilai yang melekat pada Pancasila sebagai

ideologi bangsa Indonesia. Oleh karena itu tepat kiranya jika Mardjono

Reksodiputro berpendapat bahwa restorative justice adalah”sebenarnya suatu

209 I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.

210

Ibid.

211

Soepomo, Op.Cit., hal. 113. 212

Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh

Prof Rehngena berada di Medan.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

92

Universitas Indonesia

konsep yang merupakan ideologi dan bisa juga dianggap sebagai suatu strategi.

Ideology seperti misalnya pancasila yang merupakan suatu cita-cita dengan

kelima sila. Sebagai suatu strategi, ideologi itu harus diubah menjadi cara hidup

kita”213

Sejalan juga dengan penyelesaian melalui hukum adat dimana korban

bahkan masyarakat terlibat langsung dalam penyelesaian konflik maka Mardjono

Reksodiputro berpendapat bahwa”konsep restorative justice sebagai ideologi

bukan hanya merupakan urusan dari negara yang merasa dilanggar tetapi juga

urusan antara pelaku dengan korban. Korban diajak bicara untuk menyelesaikan.

Korban bukan hanya korban secara langsung tetapi juga masyarakat. Pertama-

tama yaitu keluarga baik keluarga korban dan pelaku dan kemudian masyarakat

korban dan masyarakat pelaku.”214

M.Hatta Ali dalam desertasinya juga

menyatakan bahwa:215

”konsep keadilan restorative sebenarnya paralalel dengan jenis sanksi

dalam hukum adat yaitu memulihkan keseimbangan adat dan sanksi

diputuskan melalui permusyawaratan adat yang melibatkan pelaku,

korban, masyarakat dan tetua adat. Konteks modern keadilan restoratif

dapat dilakukan dengan berbagai bentuk/model tetapi intinya adalah

bagaimana sanksi pidana itu memenuhi rasa keadilan bagi pelaku, korban

dan kepentingan umum (masyarakat) tetap terjaga.”

Sebenarnya yang diutarakan oleh Mardjono Reksodiputro dan M.Hatta Ali

tersebut merupakan restorative justice sebagai strategi yaitu yang tidak lain adalah

bentuk mekanisme penyelesaian restorative justice. Namun dapat diartikan bahwa

yang dimaksud dengan restorative justice sebagai ideologi menurut Mardjono

Reksodiputro adalah sesuatu yang dicita-citakan dalam kaitannya dengan sistem

peradilan pidana yaitu merupakan tujuan pemidanaan. Karena tujuan pemidanaan

merupakan suatu yang dicita-citakan (seharusnya/idealnya) oleh pelaku, korban,

masyarakat dan Negara dalam menyelesaikan suatu perkara pidana karena

diharapkan keadilan juga dirasakan sebagai fainess, tidak ada pihak yang

213

Wawancara secara langsung di kampus Pascasarjana Hukum UI, Salemba-Jakarta

pada tanggal 13 November 2012.

214

Ibid. 215

M.Hatta Ali, Op.Cit., hal. 26.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

93

Universitas Indonesia

dirugikan dan diuntungkan dari pelaku, korban, masyarakat dan Negara sehingga

kerukunan dan keharmonisan tetap terjadi seperti sebelum terjadinya tindak

pidana.

Menurut Mardjono Reksodiputro, karena restorative justice merupakan

suatu ideologi, suatu hal yang dicita-citakan, maka sulit untuk menerapkannya.216

Begitu pula dengan Adrianus Meliala, walaupun ketika berbicara restorative

justice dalam konteks sebagai suatu bentuk penyelesaian perkara pidana, tetapi

senada dengan Mardjono Reksodiputro, untuk di Indonesia, adalah kecil

kemungkinan untuk menerapkan restorative justice.217

Namun menurut penulis,

kecil ataupun sulit bukan berarti tidak mungkin atau tidak bisa diterapkan. Hakim

mempunyai kebebasan dalam memutus menurut peraturan perundang-undangan,

bahkan jika tidak ada, Hakim dapat melakukan penemuan hukum.

216

Wawancara Mardjono Reksodiputro secara langsung di kampus Pascasarjana Hukum

UI, Salemba-Jakarta pada tanggal 13 November 2012. Dalam sidang ujian tesis, menurut

Mardjono Reksodiputro, tetap akan sulit untuk menerapkannya ketika kewajiban adat (sanksi adat)

telah ditetapkan bahkan dalam putusan pengadilan, namun tidak dilaksanakan, sehingga tujuan

pemidanaan dari restorative justice tidak tercapai. Namun menurut penulis, tentang perkara yang

sudah ada penyelesaian adat namun mengacu kepadai Pasal 100 jo Pasal 2 Rancangan KUHP

tahun 2012, yaitu:

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya

hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana

walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan

prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Pasal 100

(1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hakim dapat

menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat.

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang

diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1).

(3) Kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan

dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat atau

kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani

oleh terpidana.

(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti

kerugian. Dengan demikian Pasal 100 ayat (3) RKUHP Tahun 2012 menjawab pertanyaan tersebut.

217

Wawancara secara langsung di Gedung Nusantara I, kampus FISIP UI, Depok pada

tanggal 2 November 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

94

BAB 4

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM

PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN

(Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln Dan

No.22/Pid.B/2009/PN.Srln)

4.1. Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln

Dalam pembahasan ini telah dibatasi tentang pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusannya, khususnya putusan yang mengandung

pemidanaan. Bahkan telah pula dibatasi untuk melihat kepada penerapan

restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Hakim

sebagai pemutus suatu perkara menentukan nasib bahkan hidup mati seseorang

sehingga adanya ungkapan “pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan”. Proses

peradilan memang bertujuan memberikan keadilan atau hak (equity) dengan

mempersamakan semua orang di muka hukum (equality before the law).218

Sering kita mendengar adanya kekecewaan atau ketidakpuasan baik dari

terdakwa, korban bahkan masyarakat terhadap putusan pengadilan. Putusan

pengadilan dianggap tidak mencerminkan keadilan yang diharapkan menuai

banyak protes. Menurut Mardjono Reksodiputro” kritik dan kekurang percayaan

terhadap pengadilan pada intinya mengandung tuduhan terjadinya ketidakadilan

(injustice)…”219

Menarik untuk dianalisa dimana kesalahan dalam putusan

pengadilan tersebut khususnya terhadap putusan pemidanaan?apakah yang

menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan?apakah

telah mempertimbangkan keadilan untuk terdakwa, korban bahkan masyarakat?

Menurut Mardjono Reksodiputro, “…hukuman (pidana) yang lama dan

atau keras bukan pula obat mujarab yang dicari untuk memerangi kejahatan.”220

Padahal seharusnya ini tidak terjadi jika melihat kepada tujuan dari sistem

218

Mardjono Reksodiputro (a), Op.Cit., hal.89.

219

Ibid. 220

Mardjono Reksodiputro (c), hal. 122.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

95

peradilan pidana. Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa tujuan sistem

peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut:221

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakt puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

c. Mengusahkan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

menggulangi lagi kejahatannya;

Kenyataan sekarang ini penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana

dapat dikatakan tidak efektif lagi. Banyak tindak pidana yang terjadi kemudian

dijatuhkan putusan pidana namun tidak menjadikan terdakwa jera sehingga ia

melakukan tindak pidana lagi. Di samping itu korbannya juga tidak mendapatkan

penggantian, keseimbangan tidak dapat terpulihkan dan rasa aman pada

masyarakat menjadi terganggu. Dalam situasi seperti ini dapatlah dikatakan

bahwa tujuan pemidanaan tidak tercapai. Tujuan pemidanaan disini yang

dimaksud pengembalian keseimbangan, keharmonisan dan kerukunan dalam

masyarakat. Tujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam tujuan sanksi adat

dimana disini selaras dengan restorative justice.

Putusan No.21/Pid.B.2009/Pn.Srln menjatuhkan pemidanaan terhadap

terdakwa yang merupakan kelompok suku anak dalam dimana dalam kasus

tersebut juga telah ada penyelesaian adat. Kasus ini menarik dianalisa mengingat

terjadi pada suku anak dalam yang masih kental dengan adat istiadatnya dan

hukum adatnya. Berdasarkan uraian dari penasehat hukum terdakwa diketahui

bahwa orang rimba atau suku anak dalam yang ada di Propinsi Jambi sekitar

1.300 orang yang masih hidup di tepi-tepi aliran sungai Taman Nasional Bukit

Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektare itu mereka tinggal terpisah-pisah

di tiga kabupaten Batanghari, Sarolangun dan Tebo. Di desa Pematang Kabau,

Kecamatan Air Hitam tempat bermukimnya salah satu kelompok suku anak dalam

yang dipimpin oleh seorang temenggung.

Suku anak dalam dengan hukum adatnya hampir tidak pernah mengenal

hukum nasional, mereka hidup nomaden walaupun ada beberapa kelompok yang

221

Mardjono Reksodiputro, buku ketiga, Op.Cit, hal. 84-85.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

96

telah menetap dan hidup di pedesaan. Semua perkara konflik yang terjadi selalu

diselesaikan melalui hukum adat yang diyakini dan ditaati. Sanksi adat yang

bertujuan untuk mengembalikan keharmonisan, kerukunan, memulihkan keadaan,

wajib sifatnya untuk dilaksanakan. Jika tidak, maka ketidakseimbangan tetap

terjadi, ketidakrukunan, dan tidak memulihkan keadaan, bahkan berakibat buruk

karena korban masih merasa dirugikan. Dan inilah yang terjadi pada kelompok

Celitai dan kelompok Abu Majid di suku anak dalam.

4.1.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan

4.1.1.1.Kasus Posisi

Kasus ini menceritakan tentang bentrokan antara dua kelompok suku anak dalam

yang terjadi di Sarolangun. Kasus ini berawal masalah pinjam meminjam mesin

pemotong kayu (chainsaw). Kelompok Abu Majid meminjam mesin chainsaw

dari kelompok Celitai. Namun saat dikembalikan mesin tersebut sudah dirusak.

Kemudian diadakan penyelesaian adat, dimana kelompok Celitai meminta 120

helai kain, namun kelompok Abu Majid hanya menyanggupi membayar 60 helai

kain. Utusan dari kelompok Celitai yang menerima pembayaran sanksi adat

tersebut ternyata kelompok Majid hanya membayar 20 helai kain dengan kondisi

kain yang sudah bolong-bolong. Hal ini membuat kelompok Celitai marah dan

bermaksud untuk menanyakan tentang sanksi adat tersebut kepada kelompok

Majid. Perjalanan dari tempat kelompok Celitai ke kelompok Abu Majid dengan

jalan kaki selama dua hari, menginap di hutan. Dalam perjalanan (hampir sampai

ke tempat kelomok Abu Majid) Mata Gunung bin Pengemat (terdakwa dalam

kasus ini) sebagai panglima perang dari kelompok Celitai jalan lebih dulu dengan

rombongan ketika Tumenggung Celitai berhenti sejenak di warung untuk

memberli rokok. Sesampai di ujung jalan doho singosari desa pematang kabau

kecamatan air hitam, Mata Gunung bin Pengemat tidak dapat menahan emosinya

yang semula melerai anak buahnya yang bersitegang dengan kelompok Abu

Majid. Mata Gunung bin Pengemat dan Merempas (status DPO) dari kelompok

Celitai menghadapi Melenting Laman bin Bebintang, terdengar suara tembakan

rakitan. Celitai pun menyusul ke tempat kejadian karena mendengar suara

tembakan dan mendapati telah terjadi bentrokan. Bentrokan pun tidak terelakkan

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

97

pada tanggal 12 Desember 2008 tersebut dan mengakibatkan meninggalnya tiga

orang korban. Dua orang korban dari pihak Abu Majid yaitu Melintang Laman bin

Bebintang dan Besilang, sedangkan satu orang dari pihak Celitai yaitu Nunai.

Akhirnya Mata Gunung bin Pengemat dan Merempas (status daftar pencarian

orang) diproses secara hukum dan dilakukan upaya paksa penahanan dengan

didakwa melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP atau Pasal 354 ayat (2) KUHP

jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP. Mata Gunung bin Pengemat dituntut enam bulan penjara karena

terbukti melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.

4.1.1.2.Pertimbangan hukum

Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa Mata Gunung bin Pengemat

terbukti bersalah karena semua unsur dari Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP telah

terpenuhi. Pembelaan penasehat hukum yang mendalilkan kepada Pasal 49 ayat

(2) KUHP tidak terbukti, sehingga tidak ada dasar penghapus pidana dalam kasus

ini. Selanjutnya Majelis Hakim berpendapat “bahwa karena dalam diri terdakwa

tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf atas perbuatan terdakwa

maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.”222

Dalam pertimbangnnya, Majelis Hakim berpendapat ”Menimbang, bahwa

selanjutnya untuk menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan terdakwa,

maka perlu dipertimbangkan juga bahwa berdasarkan keterangan saksi dan

keterangan terdakwa serta berdasarkan surat perdamaian yang telah dilakukan

oleh kelompok terdakwa suku anak dalam pimpinan temenggung Celitai dengan

kelompok korban suku anak dalam pimpinan temenggung Madjid.” 223

Kemudian

terhadap pemidanaan yang akan dijatuhkan, Majelis berpendapat:

“Menimbang, bahwa majelis hakim bukanlah”algojo/eksekutor”, karena

tugas hakim bukanlah hanya menghukum tetapi mengadili atau memberi

keadilan bagi para pencari keadilan. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-

fakta hukum sebagaimana diuraikan diatas haruslah menjadi pertimbangan

tersendiri bagi Majelis Hakim untuk mempertimbangkan berat ringannya

hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Menimbang, bahwa

222

Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, hal. 26-27.

223

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

98

berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas

yang telah Majelis uraikan, maka pidana yang dijatuhkan dibawah ini adalah

yang bijaksana dan telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.”224

Selain pertimbangan hukum tersebut, sebelum menjatukan putusan Majelis Hakim

juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang

meringankan yaitu:225

“Hal-hal yang memberatkan:

- Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan korban Melenting Laman

Bin Pengemat meninggal dunia.

Hal-hal yang meringankan:

- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;

- Terdakwa bersikap sopan dipersidangan;

- Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak

mengulanginya lagi;

- Terdakwa tulang punggung keluarga;”

4.1.1.3.Amar Putusan

Dalam pertimbangan yang berkaitan dengan pemidanaan tersebut maka

dengan mengingat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya, Majelis Hakim mengadili sebagai berikut:226

“1. Menyatakan terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat telah terbukti secara

sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”Dimuka

umum melakukan kekerasan yang mengakibatkan orang lain mati.”; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat oleh

karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 20 (dua puluh)

hari;

3.Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan oleh terdakwa

dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;

5. Menghukum pula terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

2.500 (dua ribu lima ratus rupiah);”

4.1.2. Analisa Putusan

Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim selama tiga bulan 20 hari

untuk perkara yang mengakibatkan orang lain mati adalah terbilang sangat rendah,

224

Ibid. 225

Ibid.

226

Ibid., hal. 28.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

99

mengingat ancaman pidana untuk Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, maksimal 12

tahun penjara. Menjadi suatu analisa disini adalah apakah yang menjadi tujuan

pemidanaan dan pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Menurut

Muladi”tujuan pemidanaan adalah yang justru mengikat atau menjalin setiap

tahap pemidanaan menjadi suatu mata rantai dalam suatu kebulatan sistem yang

rasional.”227

Dengan demikian menurut Solehhudin,”apapun jenis dan bentuk

sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus

menjadi patokan.”228

Menururt Norval Morris tentang tujuan pemidanaan yaitu:229

“My premise throught is that penal purposes are properly retributive,

deterrent, and incapacitative. Attempts to add reformative puposes to

that mixture-as an objective of the sanction as distinguished from a

collateral aspiration-yield neither clemency, justice, nor as presently

administered social utility.”

Gerry A Ferguson juga pernah menyatakan sebagai berikut:230

“Generally, the courts refer to four or fives purposes in imposing

sentences: deterrence, retribution or „just deserts‟, rehabilitation,

incapacitation or public protection and compensation to victims.”

Demikian juga Petter J.P Tak, mengatakan bahwa: “The aims of sentencing are

now considered to be retribution, special or general deterrence, reformation,

protection of society and reparation.” 231

227

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro,

1995), hal. 2.

228

Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 119.

229

Norval Morris, The Future Imprisonment, Michigan law Review (Chicago: University

of Chicago Press, 1974), hal. 1161, sebagimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum

Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2003), hal. 130.

230

Gerry A Ferguson, Criminal Liability and Sentencing of Coorporation, makalah

diskusi hukum pidana dan kriminologi, (Surabaya: Universitas Erlangga, 1993), hal. 28,

sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track

System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 231

Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan hukum,

(Surabaya; UBHARA, Oktober 1997), sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

100

Di Indonesia, keadaannya memang berbeda sama sekali, rumusan

tentang tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif belum pernah ada. Jadi

pembahasan mengenai apa, kenapa dan bentuk apa pemidanaan itu, selama ini

lebih banyak bersifat teoritis. Namun demikian dalam Rancangan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diatur tentang tujuan pemidanaan. Dalam

Pasal 54 RKUHP, yaitu:232

”(1) Pemidanaan bertujuan:

a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat; dan

d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia. “

Memang ini baru sebatas sebuah rancangan yang tidak mempunyai kekuatan

mengikat, tetapi sebagai suatu karya ilmiah yang diperoleh melalui penelitian dan

ada dasar ilmiah yang dapat dipertimbangkan. Menurut Soedikno Mertokusumo,

“terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap,

maka harus menemukan hukumnya. Metode penemuan hukum melalui

interpretasi atau metode penafsiran.233

Salah satu metode interpretasi yang

disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau futuristis, yaitu penafsiran

antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang

belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan undang-undang.234

Dengan

demikian melalui interpretasi antisipasif atau futuristis, pendekatan restorative

justice dapat diterapkan di pengadilan, khususnya dalam putusan pengadilan.

Namun jika dasar itu belum kuat adanya, kiranya dapat menjadi suatu

solusi jika melihat kepada kenyataan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara

Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2003), hal. 130.

232

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.

233

Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.

234

Ibid., hal. 80.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

101

yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-

undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:235

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas,

mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga

yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.” 236

Dalam kaitannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, Hakim dapat melihat

kepada hukum adat. Hukum adat merupakan living law, hukum yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui adat,

juga ada pemberian sanksi adat (pemidanaan). Tujuan sanksi adat menurut I Made

Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk

mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi

adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan

tersebut.237

Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk

melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci),

yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang

dirasakan terganggu.238

Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi

(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran

hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini

235

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.

236

Ibid.

237 I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.

238

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

102

meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”239

Pendapat

Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena

Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat adalah terjadinya

harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika

dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut,

sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf sehingga terjadi

kerukunan antara dua komunitas tersebut.”240

Senyatanya tujuan sanksi adat ini sejalan dengan tujuan pemidanaan

khususnya dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c RKUHP ”menyelesaikan konflik yang

ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan

rasa damai dalam masyarakat.”241

Tujuan pemidanaan ini juga seperti yang

dimaksudkan oleh restorative justice, dan tergambar dari keadilan yang ingin

dicapai dari restorative justice seperti yang dimaksudkan oleh Dignan yaitu:

“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and

conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,

legal, social work and and counseling professionals and community

groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the

person causing the harm, and the affected community.242

Menyelesaikan konflik yang dimaksudkan oleh Dignan merupakan respon

terhadap pelanggaran dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan

239

Soepomo, Op.Cit., hal. 113.

240

Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh

Prof Rehngena berada di Medan.

241

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.

242

Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,

2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash

Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis

dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan

Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan

Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar

Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal.18, terjemahan bebas dari

penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang

secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta

kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon

dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,

orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

103

pengaruhnya dalam masyarakat. Dalam hukum adat, jelas ini terakomodir dalam

tujuan sanksi adat tersebut. Dengan demikian Hakim dapat mengambil nilai yang

hidup ini, nilai yang terkandung dalam tujuan sanksi adat, yang juga bisa

digunakan dalam tujuan pemidanaan di putusan.

Pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa bukan

sebagai”algojo/eksekutor” bukan hanya menghukum tetapi mengadili yaitu

memberikan keadilan bagi pencari keadilan mengisyaratkan suatu tujuan

pemidanaan yang diinginkan oleh Majelis Hakim. Tujuan pemidanaan disini jelas

bukan yang bersifat retributive/penghukuman/balas dendam/teori absolut. Dan

jika memperhatikan salah satu dasar peringan adalah terdakwa menyesali

perbuatannya dan tidak akan mengulanginya lagi, maka nampaknya Hakim

menggunakan tujuan pemidanaan dengan teori relatif.

Menurut teori relatif memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan

absolut dari keadian. Pembalasan itu sendiri tidak mempuyai nilai, tetapi hanya

sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.243

Pidana bukanlah

sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan keapda orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang

bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan

(utilitarian theory).244

Jadi dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah

terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena

ornag membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan

melakukan kejahatan). Dengan demikian jika melihat dari hal yang meringankan,

agar terdakwa tidak mengulanginya lagi, maka ini merupakan tujuan pemidanaan

sebagai pencegahan atau teori relative.

Akan tetapi jika melihat pertimbangan Majelis Hakim dari adanya

keterangan saksi, keterangan terdakwa dan adanya surat perdamaian antara

kelompok terdakwa (Celitai) dengan kelompok korban (Madjid), berarti Majelis

melihat keadaan yang telah pulih, harmonis kembali. Pernyataan saksi Majid bin

Gemerbak (Tumenggung Majid) yaitu ”bahwa benar saat ini telah terjadi

243 Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hal. 16

244

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

104

perdamaian antara kelompok yang bertikai yakni kelompok suku anak dalam

Temenggung Majid dengan kelompok Temenggung Celitai sehingga tidak ada

lagi permasalahan di antara kedua suku.”245

Berdasarkan wawancara dengan salah seorang Hakim dari Majelis Hakim

ini -Enan Sugiharto- juga mengatakan bahwa”di persidangan ketika saksi

memberikan keterangan, dengan perintah Ketua Majelis maka terdakwa meminta

maaf kepada saksi dan saksi pun menerimanya. Majelis menilai bahwa saling

memaafkan di persidangan, menandakan bahwa memang sudah tidak ada masalah

lagi.”246

Salah seorang Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini yaitu Aji

Sumbara juga menyatakan hal yang sama”antara terdakwa dan saksi korban sudah

saling memaafkan di persidangan, sehingga dilihat tidak ada masalah, tidak

terlihat dendam diantara mereka.”247

Baik Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Aji Sumbara secara terpisah,

menyatakan bahwa “selama persidangan berlangsung tidak ada ancaman, paksaan

dan tekanan. Bahwa memang ada masyarakat suku anak dalam kelompok Celitai

yang menginap di Pengadilan dengan membuat tenda di halaman persidangan,

bukan merupakan suatu ancaman. Ancaman juga tidak ada dari korban yang

menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya atau sebaliknya tuntutan dari

terdakwa agar korban juga diproses hukum mengingat dari kelompok korban

Celitai ada satu orang yang meninggal, juga tidak pernah diutarakan.”248

Penasehat Hukum terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat, Abdul Hair juga

mengatakan bahwa terdakwa dari kelompok Celitai dengan korban dari kelompok

Majid telah saling memaafkan di persidangan, dari sejak pemeriksaan, tuntutan

bahkan putusan tidak pernah ada tuntutan dari korban, agar terdakwa dihukum

seberat-beratnya, begitu juga dari terdakwa tidak ada menuntut kepada korban

245

Keterangan saksi Majid bin Gemerbak dalam putusan no.21/pid.B/2009/PN.Srln,

hal.12.

246

Wawancara dengan Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.

247

Wawancara dengan Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.

248

Wawancara dengan Enan Sugiharto dan Aji Sumbara melalui telepon secara terpisah

pada tanggal 22 Desember 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

105

agar diproses secara hukum. Sejak putusan sampai dengan sekarang antara kedua

kelompok suku anak dalam tersebut tidak terjadi bentrokan.249

Mengenai penyelesaian adat, baik Hakim, Jaksa maupun Penasihat Hukum

tidak terlalu banyak mengetahui, informasi dapat diperoleh melalui Nelly Akbar

sebagai pendamping/advokasi terhadap suku anak dalam dari Lembaga Swadaya

Masyarakat Warsi. Menurut Nelly proses penyelesaian adat bukanlah hal yang

mudah, begitu Warsi mengetahui ada bentrokan dua kelompok suku anak dalam,

Warsi langung memberikan advokasi, karena pemberdayaan suku anak dalam

salah program kerja LSM ini. Kendala penyelesaian adat dari kelompok Majid

(korban) yang tidak mau menyelesaiakan secara adat tetapi memilih proses hukum

nasional. Hal ini dapat dimengerti oleh Warsi, karena kelompok Majid telah

tinggal menetap di pedesaan, sehingga telah banyak mengerti tentang hukum

nasional. Namun melalui pembicaraan dengan melibatkan kelompok suku anak

dalam lainnya, akhirnya kelompok Majid mau untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut secara adat.250

Menurut Nelly setelah disepakati sanksi adat dan belum

semuanya dibayarkan pada saat putusan pengadilan dibacakan, mengingat jumlah

yang sangat banyak, namun hal tersebut tidak mengurangi kesepakatan untuk

melaksankan sanksi adat dan keyakinan bahwa kerukunan telah tercapai.251

Hal tersebut menjawab pertanyaan ketika pada saat tuntutan dan putusan

dibacakan, tidak ada kerusuhan dan sampai sekarang pun tidak ada bentrokan

yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dan Majid.252

Sikap Hakim

yang melihat bahwa tidak ada masalah lagi antara terdakwa dengan korban pada

saat saling memaafkan di persidangan, mendasari untuk menerima bahwa

memang telah terjadi perdamaian diantara mereka. Mengenai sanksi adat yang

dijatuhkan Hakim Enan Sugiharto mengakui bahwa memang terungkap di

persidangan, dan tidak dibantah oleh terdakwa dan korban namun karena tidak

adanya pembuktian tentang telah dibayarkannya sanksi adat tersebut, sehingga

249

Wawancara dengan Penasihat hukum terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat, Abdul

hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober 2012.

250

Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi pada tanggal 13 Oktober 2012.

251

Ibid.

252 Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

106

Majelis tidak mempertimbangkannya tetapi cukup melihat dari adanya perdamain

yang telah terjadi.253

Dengan demikian majelis hakim telah mempertimbangkan perdamaian

sebagai dasar terjadinya kerukunan antara pelaku, korban dan karena dalam

penyelesaian adat tersebut melibatkan anggota kelompok dari Celitai dan Majid,

maka ini mewakili masyarakat di dua kelompok yang berkonflik, dan inilah yang

dimaksudkan oleh Dignan. Menurut Dignan, Restorative justice sebagai kerangka

kerja baru yang dalam hal ini yaitu sistem peradilan pidana khususnya dalam

putusan pengadilan, untuk menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan nilai

sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada

orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan

pengaruhnya terhadap masyarakat.254

Menarik jika dibandingkan dengan kasus di Kanada, yang menjadi

landmark decision yaitu Gladue case, karena adanya persamaan yaitu anggota

suku atau kelompok hukum adat juga, dimana terdakwa merupakan orang

aborigin.Kasus Gladue menjadi landmark decision karena dari putusan tersebut,

legislatif menambahkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf e,

dimana orang aborigin juga harus diperhatikan mengingat keadaan mereka yang

terpinggir. Hellen Bowen dan Teri Thompson memnguraikan dengan jelas tentang

ketentuan Pasal 718 yang tidak lain merupakan tujuan pemidanaan di Kanada,

yaitu:255

253 Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

254

Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,

2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash

Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis

dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan

Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan

Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar

Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal. 18. 255 Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court

of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume

3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354

dan lihat juga melalui www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada

tanggal 7 Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis ”Bagian 718 berisi tujuan mendukung

tujuan mendasar dari pemidanaan. Beberapa menyatakan kembali dari hukuman dasar

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

107

“Section 718 contains objectives supporting the fundamental purpose of

sentencing.59

Some of these restate of basic sentencing aims while others

focus on restorative goals. s718. The fundamental purpose of sentencing is

to contribute, along with crime prevention initiatives, to respect for the

law and the maintenance of a just, peaceful and safe society by imposing

just sanctions that have one or more of the following objectives:

a. to denounce unlawful conduct;

b. to deter the offender and other persons from committing offences;

c. to separate offenders from society, where necessary;

d. to assist in rehabilitating offenders;

e. to provide reparation for harm done to victims or to the

community and

f. to promote a sense of responsibility in offenders, and

acknowledgement of the harm done to victims and to the

community. [Emphasis added.]”

Menurut Helen Bowen dan Teri Thompson pertimbangan Mahkamah Agung

Kanada terhadap kasus Gladue memperhatikan restorative justice sebagai tujuan

pemidanan, dan menambahkan tiga unsur (d, e dan f) yaitu:256

“The restorative aspects of the above sentencing aims have been

interpreted recently by the Canadian Supreme Court in R v Gladue, where

they held: [W]hat is new, though, are paras. (e) and (f), which along with

para. (d) focus upon the restorative goals of repairing the harms suffered

by individual victims and by the community as a whole, promoting a sense

of responsibility and an acknowledgement of the harm caused on the part

of the offender, and attempting to rehabilitate or heal the offender.…In our

view, Parliament‟s choice to include (e) and (f) alongside the traditional

bertujuan sementara yang lain fokus pada tujuan restoratif. S718. Tujuan mendasar dari

hukuman adalah untuk memberikan kontribusi, bersama dengan inisiatif pencegahan

kejahatan, untuk menghormati hukum dan pemeliharaan masyarakat yang adil, damai dan aman

dengan memberlakukan sanksi baru yang memiliki satu atau lebih dari tujuan-tujuan berikut:

a. untuk mengecam tindakan melawan hukum; b. untuk mencegah pelaku dan orang

lain dari melakukan pelanggaran; c. untuk memisahkan pelaku dari masyarakat, di

mana diperlukan; d. untuk membantu pelaku rehabilitasi; e. untuk memberikan reparasi

bagi kerugian yang ditanggung korban atau masyarakat dan f. untuk

mempromosikan rasa tanggung jawab dalam pelanggar, dan pengakuan darikerugian yang

ditanggung para korban dan masyarakat. [Penekanan ditambahkan.] " 256

Ibid, terjemahan bebas dari penulis “"Aspek-aspek restoratif dari tujuan hukuman atas

telah ditafsirkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung Kanada di R v Gladue, di mana mereka

mengatakan: “Pemikiran yang baru, yaitu paragraf (e) dan (f), yang bersama dengan paragraf

(d) yang fokus pada tujuan restoratif memperbaiki bahaya yang diderita oleh korban individu

dan masyarakat secara keseluruhan, mendukung rasa tanggung jawab dan pengakuan atas

kerugian yang disebabkanoleh pelaku, dan mencoba untuk merehabilitasi atau menyembuhkan

pelaku .... Dalam pandangan kami, pilihan DPR untuk memasukkan (e) dan (f) di

samping tujuan hukuman tradisional harus dipahami sebagai membuktikanniat

untuk memperluas parameter analisis hukuman untuk semua pelanggar. Prinsip menahan

diri dinyatakan dalam s. 718,2 (e) tentu akan diinformasikan dengan orientasi kembali.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

108

sentencing goals must be understood as evidencing an intention to expand

the parameters of the sentencing analysis for all offenders. The principle

of restraint expressed in s. 718.2(e) will necessarily be informed by this re-

orientation.

Sedangkan Pasal 718 ayat (2) Kanada berbicara tentang pedoman pemidanaan

yang menjadi petunjuk teknis dalam menjatuhkan pemidanaan juga diperbaharui

sebagai dampak logis dari diperbaharuinya (penambahan) pedoman pemidanaan.

Menurut Hellen Bowen dan Teri Thompson yaitu:257

Tabel 4.1 Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah Kasus

Gladue

Sebelum kasus Gladue Sesudah kasus Gladue

[s.] 718.2.(e) provides the

necessary flexibility and authority

for sentencing judges to resort to

the restorative model of justice in

sentencing aboriginal offenders and

to reduce the imposition of jail

sentences where to do so would not

sacrifice the traditional goals of

sentencing.

s718.2(e). s 718.2 A court that

imposes a sentence shall also take

into consideration the following

principles: … (e) all available

sanctions other than imprisonment

that are reasonable in the

circumstances should be considered

for all offenders, with particular

attention to the circumstances of

aboriginal offenders.”

Dari tabel tersebut terlihat bahwa dalam ketentuan sebelumnya, jika pelaku orang

aborigin mendapatkan pengurangan pidana penjara sedangkan dalam ketentuan

sesudah kasus Gladue, hakim harus mempertimbangkan semua sanksi yang

tersedia dengan memperhatikan keadaan dari pelaku orang aborigin. Dalam kasus

Gladue, mendapatkan pembebasan bersyarat dan keluar dari lembaga

pemasyarakatan setelah enam bulan dipenjara.

Menarik mambaca tulisan dari Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond

tentang kritik terhadap putusan ini yang terkesan memberikan kemudahan kepada

257

Ibid, table dibuat oleh penulis untuk memudahkan membandingkan, terjemahan bebas

dari penulis, sebelum kasus Gladue, “menyediakan fleksibilitas yang diperlukan dan kewenangan

bagi hakim dalam menjatukan hukuman untuk menggunakan model keadilan restoratif dalam

menghukum pelaku Aborigin dan untuk mengurangi pengenaan hukuman penjara di mana

untuk melakukannya tidak akan mengorbankan tujuan tradisional hukuman. Sedangkan sesudah

kasus Gladue” semua sanksi tersedia selain penjara yang wajar dalam situasi harus

dipertimbangkan untuk semua pelaku, dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

109

orang aborigin karena dalih diskriminasi yang terjadi, namun justru menjadi

diskriminasi yang terbalik terhadap orang yang bukan aborigin, yaitu:258

“The potential impact of the Gladue decision on the judiciary is arguably

profound. The Supreme Court of Canada has clarified that Parliament‟s

decision to add section 718.2(e) to the Criminal Code means that one

must, as a matter of criminal law, recognize that Aboriginal people

experience incarceration differently than others. While some might suggest

that an Aboriginal person who receives the same sentence as a non-

Aboriginal person is being treated equally, this has been rejected as

fallacious reasoning by the Supreme Court of Canada. Sometimes treating

different people the same results in inequality. Justices Cory and

Iacobucci considered the argument that this treatment of Aboriginal

peoples is “reverse discrimination” against non-Aboriginal people.20

They concluded that section 718.2(e) is not unfair to non- Aboriginal

people, it simply requires judges to treat Aboriginal people fairly by taking

into account their difference.”

Oleh karena itu menurut Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond berpendapat

bahwa putusan kasus Gladue, mempedomani hakim dalam memutus dimana

pelaku orang aborigin, yaitu:259

258

Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal

Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of

R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at

the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September

1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,

1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet

www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7

Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis ”Dampak

potensial dari keputusan Gladue di pengadilan ini bisa dibilang mendalam.Mahkamah Agung

Kanada telah menjelaskan bahwa keputusan DPR untuk menambahkan pasal 718, 2 (e) ke

KUHP berarti bahwa seseorang harus mengakui bahwa dalam masalah pidana untuk orang

Aborigin mempunyai penahanan pengalaman yang berbeda dari yang lain. Sementara

beberapaorang berpendapat mungkin mengatakan bahwa orang Aborigin diperlakukan sama

karena yang menerima pemidanaan yang sama sebagai orang non-Aborigin, penalaran yang keliru

ini telah ditolak Mahkamah Agung Kanada. Kadang-kadang memperlakukan orang yang berbeda

dengan hasil yang sama dalam ketidaksetaraan. Hakim Cory dan Iacobucci

menganggap argument bahwa pengobatan masyarakat Aborigin adalah

"diskriminasi terbalik" terhadap orang non-Aborigin. Mereka menyimpulkan bahwa

bagian 718, 2 (e) tidak adil untuk non-Aborigin orang, itu hanya karena hakim cukup dengan

memperhatikan perbedaan mereka, maka dapat mengobati mereka " 259

Ibid., terjemahan bebas dari penulis: "Keputusan

ini akan mempengaruhi peradilan dalam setidaknya tiga cara mendasar.Pertama, hakim akan perlu

dididik mengenai masyarakat Aborigin di Kanada, termasuksejarah masyarakat Aborigin ',

budaya, dan pengalaman diskriminasi. Kedua, hakim akan perlu menghabiskan lebih banyak

waktu pada sebelum menjatuhkan proses hukuman untuk memastikan bahwa semua

informasi yang diperlukan pengadilan untuk mengevaluasi pendekatan yang lebih restoratif

untuk terdakwa dan masyarakat. Ketiga, independensi peradilan akan sangat penting

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

110

“This decision will affect the judiciary in at least three fundamental ways.

First, judges will need to be educated regarding Aboriginal peoples in

Canada, including Aboriginal peoples‟ history, culture, and experiences of

discrimination. Second, judges will need to spend more time on the

sentencing process to ensure that all information is before the court which

is required to evaluate a more restorative approach to the defendant and

the community. Third, judicial independence will be vital in discharging

this function as individual judges and the judiciary may be subjected to

considerable criticism and public attack for.”

Jika Hellen Bowen dan Teri Thompson, melihat kepada dampak putusan Gladue

terhadap kebijakan legislatif adanya penambahan di tujuan pemidanaan dan

perubahan ketentuan di pedoman pemidanaan maka Yang Mulia Hakim M.E

Turpel Lapond melihat kepada hal-hal yang akan mendasari hakim menjatuhkan

putusan terhadap pelaku orang aborigin. Department of justice Canada

memandang putusan Gladue case sejalan dengan keadilan yang dianut oleh

Aborigin, yaitu:260

“There is a strong relationship between restorative justice and Aboriginal

justice. Both philosophies emphasize healing, forgiveness, and active

community involvement, and restorative models have drawn heavily upon

Aboriginal methods of resolving disputes. Aboriginal concepts of

restorative justice tend to be strongly focussed on the community, with an

emphasis on collective well-being rather than individual rights. They

stress the need to heal relationships between clans or family groupings as

well as between the offender and the victim, so that balance may be

restored to the community as a whole. Aboriginal communities attempt to

look at all of the factors leading to an incident, in order to understand the

offender as a person and to uncover the causes of their behavior.”

Department of Justice of Canada, melihat putusan Gladue Case, sebagai berikut:

dalam melaksanakan fungsi ini sebagai hakim individu dan lembaga

peradilan dapat mengalami kritik dan serangan publik. "

260

Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation Paper,

Mei 2000, ditelusur melalui internet http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses pada

tanggal 7 Desember 2012, terjemahan bebas dari penulis: “Keadilan Aborigin dan keadilan

restoratif ada hubungan kuat diantaranya. Kedua filsafat menekankan penyembuhan,

pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat, dan model restoratif telah ditarik berat pada

metode Aborigin penyelesaian sengketa. Konsep Keadilan dan keadilan restoratif cenderung

sangat difokuskan pada masyarakat, dengan penekanan pada hak-hak kesejahteraan kolektif

bukan individu. Mereka menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan

atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat

dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Aborigin mencoba untuk

melihat semua faktor yang menyebabkan sebuah insiden, untuk memahami pelaku sebagai pribadi

dan untuk mengungkap penyebab perilaku mereka.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

111

“In its recent decision in Gladue v. the Queen, the Supreme Court of

Canada endorsed the concept of restorative justice and the use of

community-based alternatives to imprisonment. The Court was asked to

consider the meaning of paragraph 718.2(e) of theCriminal Code , which

stated that judges are to consider all reasonable alternatives to

incarceration for all offenders, but "with particular attention to the

circumstances of Aboriginal offenders." The Court ruled that this passage

imposes a duty upon judges to recognize factors that particularly affect

Aboriginal people, such as poverty, substance abuse, and lack of

education or employment opportunities, and to consider the role these

factors may play in bringing the Aboriginal offender before the courts. In

determining a sentence, judges must consider the types of sanctions that

might be appropriate for an offender given his or her Aboriginal heritage.

This decision should take into account whether there is community support

for the offender and community programs that provide alternatives to

incarceration. The Court recognized that restorative justice approaches

may differ from one Aboriginal community to another, but that they tend to

be community-based. The Gladue decision highlights the importance of

using restorative processes in sentencing Aboriginal offenders.” 261

Department of Justice Canada selain melihat kepada konsep keadilan Aborigin

yang selaras dengan restorative justice yaitu menekankan penyembuhan,

pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Keadilan Aborigin dan

restorative justice sama-sama menekankan perlunya untuk menyembuhkan

hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban,

sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara

keseluruhan. Selain itu Department of Justice Canada juga melihat bahwa Hakim

harus mempertimbangkan keadaan terhadap pelaku aborigin, yang melihat dari

261

Ibid., terjemahan bebas dari penulis: “Dalam keputusan baru-baru ini di Gladue v

Ratu, Mahkamah Agung Kanada telah mendukung konsep keadilan restoratif dan penggunaan

berbasis masyarakat alternatif penjara. Pengadilan diminta untuk mempertimbangkan makna ayat

718,2 (e) Kode theCriminal, yang menyatakan bahwa hakim harus mempertimbangkan semua

alternatif yang masuk akal untuk penahanan untuk semua pelaku, namun "dengan perhatian khusus

pada keadaan pelanggar Aborigin." Pengadilan memutuskan bahwa bagian ini membebankan

kewajiban kepada hakim untuk mengenali faktor-faktor yang sangat mempengaruhi orang-orang

Aborigin, seperti kemiskinan, penyalahgunaan zat, dan kurangnya pendidikan atau kesempatan

kerja, dan untuk mempertimbangkan peran faktor-faktor ini sebelum Pengadilan menjatuhkan

pemidanaan kepada pelaku Aborigin. Dalam menentukan hukuman, hakim harus

mempertimbangkan jenis sanksi yang mungkin cocok untuk pelaku Aborigin. Keputusan ini harus

mempertimbangkan apakah ada dukungan masyarakat untuk program pelaku dan masyarakat yang

memberikan alternatif untuk penahanan. Pengadilan mengakui bahwa pendekatan keadilan

restoratif mungkin berbeda dari satu komunitas Aborigin yang lain, tetapi mereka cenderung

berbasis masyarakat. Keputusan Gladue menyoroti pentingnya menggunakan proses restoratif

dalam menghukum pelaku Aborigin.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

112

segi sejarah, sosial, ekonomi kurang menguntungkan, dengan demikian dapat

menentukan sanksi yang tepat dan wajar.

Dalam kasus Gladue, selain melihat kepada tujuan pemidanaan juga

kepada pedoman pemidanaan, karena kedua hal ini saling berkaitan dan pada

akhirnya menentukan pemidanaan apa yang akan diberikan. Di Indonesia telah

dijelaskan bahwa untuk tujuan pemidanaan belum diatur dan baru tahap

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu juga dengan pedoman

pemidanaan. Pedoman pemidanaan diatur dalam Pasal 55 RKUHP yaitu:262

Pasal 55

(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan melakukan pidana;

c. Sikap batin pembuat tindak pidana;

d. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncakan atau tidak

direncanakan;

e. Cara melakukan tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. Riwayat hidup, keadaaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak

pidana;

h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

j. Pemaaf dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu

dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar

pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan

dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan.

Dalam kasus Mata Gunung Bin Pengemat, Majelis Hakim

mempertimbangkan perdamaian yang terjadi antara kelompok suku anak dalam

Celitai dengan kelompok suku anak dalam Majid. Bahkan hakim Enan Sugiharto

dan Jaksa Penuntut Umum, Aji Sumbara mengatakan bahwa antara kelompok

suku Celitai/terdakwa dengan kelompok suku sikap saling memaafkan di

persidangan dan tidak terlihat ada masalah, dendam.263

Namun demikian ternyata,

majelis hakim juga mempertimbangkan riwayat hidup, keadaan sosial dan

262

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.

263

Wawancara melalui telepon secara terpisah dengan Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa

Aji Sumbara,

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

113

keadaan ekonomi terdakwa. Menurut Hakim Enan Sugiharto, keadann sosial dan

ekonomi terdakwa memang kurang beruntung jika dibandingkan dengan

kelompok korban.264

Hal ini juga diakui oleh Jaksa Aji Sumbara.265

Ini tidak

mengherankan jika berdasarkan keterangan Nelly Akbar kelompok suku anak

dalam Celitai masih hidup secara nomaden dibandingkan dengan kelompok suku

anak dalam Majid yang sudah tinggal menetap di pedesaan.266

Menurtut Nelly

Akbar pencaharian sebagian besar dari kelompok suku anak dalam Celitai adalah

berburu, menjual hewan buruan seperti misalnya babi hutan ataupun menjual

pinang.267

Kondisi pada saat persidangan, anggota kelompok suku anak dalam Celitai

tinggal di depan halaman pengadilan dengan mendirikan tenda-tenda. Mereka

memang terbiasa dengan itu, namun yang membuat miris istri Celitai (terdakwa

dengan berkas terpisah) baru melahirkan dan bayinya kerap diletakkan di lantai

kantor pengadilan negeri Sarolangun.268

Mereka yang tinggal di tenda kantor

pengadilan banyak juga wanita dan anak-anak, mereka menuntut pemimpin

mereka dibebaskan atau mereka juga ikut bersama ditahan.269

Ini tidak

mempengaruhi Majelis Hakim karena tidak ada bentuk ancaman secara fisik,

namun demikian Majelis memandang dengan kondisi terdakwa Mata Gunung Bin

Pengemat yang sudah ditahan (memperhatikan sosial ekonominya) dan keadaan

anggota kelompok yang menginap di pengadilan serta telah adanya perdamaian

264

Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

265

Wawancara dengan Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

266

Wawancara dengan Nelly Akbar, aktivis dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal

13 Oktober 2012. 267

Ibid.

268

Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

269

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

114

dengan korban sehingga tidak ada masalah lagi, maka Majelis berpikir tidak ada

gunanya untuk memutuskan lebih lama lagi di tahanan.270

Atas pertimbangan tersebut, bahkan sesaat sebelum putusan Majelis Hakim

mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan rutan menjadi penahanan kota.

Hal ini menurut Hakim Enan Sugiharto, pastinya di luar dugaan dari Jaksa

Penuntut Umum dan Penasihat Hukum. Majelis memperhitungkan waktu tiga

bulan dua puluh hari sebagai waktu lamanya terdakwa Mata Gunung bin

Pengemat ditahan termasuk di dalamnya waktu tujuh hari untuk berpikir-pikir

atau untuk melakukan upaya hukum.271

Menurut Hakim Enan Sugiharto,

pengalihan penahanan kota ini “memaksa” jaksa penuntut umum dan penasihat

hukum untuk menerima putusan dan tidak melakukan upaya hukum, mengingat

susahnya menghadirkan terdakwa yang hidup secara nomaden di hutan.272

Hal ini diakui Jaksa Aji Sumbara yang membuatnya untuk melaksanakan

penetapan hakim tersebut dan walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir,

namun karena berpikir memang sudah ada perdamain, adanya permaafan atau

lebih tepatnya saling memaafkan antara kelompok Celitai dengan kelompok Majid

sehingga tidak ada masalah lagi diantara kedua kelompok tersebut, maka

menerima putusan tersebut.273

Melakukan upaya hukum sepertinya juga akan

menjadi hal yang tidak bermanfaat, sehingga Jaksa Aji Sumbara pun selain

melaksanakan penetapan pengalihan penahanan juga melaksanakan eksekusi

putusan, mengingat kesulitan untuk bertemu dengan terdakwa yang hidupnya

nomaden di hutan.274

Penasihat Hukum terdakwa juga tidak melakukan upaya hukum, walaupun

di persidangan menyatakan pikir-pikir. Menurutnya, tidak ada manfaatnya jika

melakukan upaya hukum, karena melihat kerukunan telah terjadi antara kelompok

270

Ibid. 271

Ibid.

272

Ibid.

273

Wawancara dengan Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

274

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

115

Celitai dan kelompok Majid. Dan terpenting melihat kliennya dikeluarkan dari

tahanan yang disambut dengan kesenangan dari anggota kelompok Celitai yang

menginap di pengadilan, sudah cukup dianggap selesai kasus ini.275

4.2. Analisa Putusan No.22/Pid.B/2009/PN.Srln

Kasus dalam perkara ini adalah merupakan kejadian yang sama dengan

perkara dalam putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln. Terdakwa dalam perkara ini

adalah Celitai yang merupakan pimpinan/Temenggung dari kelompok Suku Anak

Dalam Celitai. Berkas ini dibuat terpisah semata-mata karena melihat kepada

dugaan kejadian hukum, tindak pidana yang berbeda dengan Mata Gunung Bin

Pengemat.276

Selain karena perbedaan tindak pidana yang dilakukan juga, karena

ada perbedaan waktu yang walaupun hanya kisaran menit tapi membuat perkara

ini tidak dapat disatukan.277

Namun demikian pada saat persidangan dilakukan secara bersamaan, hal ini

dengan pertimbangan terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat tidak mau dipisahkan

dari Temenggung Celitai. Jaksa Syafri Hadi, mengakui bahwa betapa besarnya

wibawa dan kharisma dari seorang Temenggung terhadap anak buahnya.278

Apa

yang dikatakan oleh Temenggung, diikuti oleh anak buahnya, begitu yang

dilakukan Temenggung untuk menenangkan anak buahnya.279

Sikap tenang

Temenggung Celitai Bin Netar, emosi yang stabil jika dibandingkan terdakwa

Mata Gunung Bin Pengemat yang tidak bisa menahan emosi, hanya Temenggung

Celitai Bin Netar yang mampu memerintahkan Mata Gunung untuk diam ataupun

bicara ketika menjawab pertanyaan di persidangan.280

Atas pertimbangan tersebut,

275

Wawancara dengan Penasihat Hukum, Abdul Hair melalui telepon pada tanggal 22

Desember 2012.

276

Wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November

2012.

277 Ibid., terdakwa Celitai datang kemudian sesaat setelah terdengar suara tembakan. Ia

terpisah dari rombongan kelompok suku anak dalam lainnya pada saat membeli rokok di warung.

278

Ibid.

279

Ibid.

280

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

116

maka pemeriksaan di persidangan antara terdakwa Mata Gunung Bin pengemat

dan Celitai digabungkan, walaupun berkas perkara dan materi dakwaan yang

berbeda.281

4.2.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan

4.2.1.1.Kasus Posisi

Kasus ini menceritakan tentang bentrokan antara dua kelompok suku anak dalam

yang terjadi di Sarolangun. Kasus ini berawal masalah pinjam meminjam mesin

pemotong kayu (chainsaw). Kelompok Abu Majid meminjam mesin chainsaw

dari kelompok Celitai. Namun saat dikembalikan mesin tersebut sudah dirusak.

Kemudian diadakan penyelesaian adat, dimana kelompok Celitai meminta 120

helai kain, namun kelompok Abu Majid hanya menyanggupi membayar 60 helai

kain. Utusan dari kelompok Celitai yang menerima pembayaran sanksi adat

tersebut ternyata kelompok Majid hanya membayar 20 helai kain dengan kondisi

kain yang sudah bolong-bolong. Hal ini membuat kelompok Celitai marah dan

bermaksud untuk menanyakan tentang sanksi adat tersebut kepada kelompok

Majid. Perjalanan dari tempat kelompok Celitai ke kelompok Majid dengan jalan

kaki selama dua hari, menginap di hutan. Dalam perjalanan (hampir sampai ke

tempat kelompok Majid) terdakwa Celitai Bin Netar berhenti sejenak di warung

untuk memberli rokok sementara itu tanpa diketahui oleh terdakwa Celitai Bin

Netar, terdakwa Mata Gunung beserta rombongan kelompok Celitai tetap

melanjutkan perjalanan. Terdakwa Celitai Bin Netar tersadar terdengar suara

tembakan rakitan. Celitai pun menyusul ke tempat kejadian karena mendengar

suara tembakan dan mendapati telah terjadi bentrokan. Terdakwa Celitai Bin

Netar merebut senjata api rakitan milik saksi (korban) Bepayung, terdakwa Celitai

Bin Netar kemudian memukulkan senjata api tersebut kepada saksi Bepayung Bin

Besinjai sebanyak satu kali yang mengenai bagin lengan sebelah kanan sebelah

atas yang menyebabkan luka gores dan memar. Bentrokan pun tidak terelakkan

pada tanggal 12 Desember 2008 tersebut dan mengakibatkan meninggalnya tiga

orang korban. Dua orang korban dari pihak kelompok Majid yaitu Melintang

281 Ibid., ini juga diakui oleh Jaksa Aji Sumbara yang wawancara dilakukan melalui

telepon pada tanggal 22 Desember 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

117

Laman bin Bebintang dan Besilang, sedangkan satu orang dari pihak Celitai yaitu

Nunai. Akhirnya Celitai Bin Netar diproses secara hukum dan dilakukan upaya

paksa penahanan dengan didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP; Celitai

Bin Netar dituntut lima bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 351 ayat

(1) KUHP.

4.2.1.2. Pertimbangan Hukum

Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi

semua unsur dari Pasal 351 ayat (1) KUHP, karena terdakwa terbukti secara sah

dan menyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan dan pada diri terdakwa

tidak ada alasan yang dapat menghapuskan atau menghilangkan

pertanggungjawaban pidana, maka terhadap terdakwa Celitai Bin Netar

dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan, dan oleh karenanya

terdakwa Celitai Bin Netar harus dijatuhi pidana.282

Selanjutnya, Majelis Hakim

mempertimbangkan sebagai berikut:283

“bahwa mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap diri terdakwa,

Majelis berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman dalam sistem

pemidanaan di Indonesia bukan ditujukan sebagai sarana pembalasan akan

tetapi sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran supaya terdakwa dapat

menyadari kesalahan yang telah dilakukanya, serta dapat merubah tingkah

lakunya dalam bermasyarakat sehingga keberadaannya dalam masyarakat

merupakan keberadaan yang dapat mendukung fungsi-fungsi kehidupan

sosial, dan keberadaan terdakwa dalam masyarakat adalah sebagai

pemimpin kelompok atau tumenggung, maka terdakwa harus dapat dan bisa

dijadikan contoh tauladan.”

Majelis Hakim juga berpendapat bahwa ”hukuman yang akan dijatuhkan

terhadap terdakwa dalam amar putusan ini adalah setimpal dengan kesalahan yang

telah dilakukan oleh terdakwa. Dan selanjutnya Majelis sependapat dengan

pembelaan yang disampaikan terdakwa pada akhirnya tujuan dari proses

penanganan perkara terhadap terdakwa tercapai kemanfaatan, keadilan, kepatutan

282

Pertimbangan hukum dalam Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln, hal. 44.

283

Ibid., hal. 44-45.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

118

dan kepastian hukum.”284

Majelis juga mempertimbangkan hal-hal yang

memberatkan dan meringankan sebelum menjatuhkan putusan, yaitu:285

“Hal-hal yang memberatkan:

- Terdakwa adalah Tumenggung atau pimpinan kelompok yang

seharusnya menjadi contoh dan tauladan di lingkungannya.

Hal-hal yang meringankan:

- Terdakwa bersikap sopan, menghormati dan tidak mempersulit jalannya

persidangan;

- Terdakwa mempunyai tangggungan dan juga sebagai tulang punggung

keluarga, serta keberadaannya dalam kelompok sangat dinantikan;

- Dan diantara kelompok terdakwa dengan kelompok korban telah

disepakati perdamaian.”

4.2.1.3.Amar Putusan

Majelis Hakim dengan mengingat Pasal 351 ayat (1) KUHP, Undang-

Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta peraturan-peraturan lain yang

bersangkutan, mengadili sebagai berikut:286

“1.Menyatakan bahwa terdakwa Celitai Bin Netar telah terbukti secara sah

dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan”;

2.Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3

(tiga) bulan 20 (dua puluh) hari;

3.Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4.Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5.Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).”

4.2.2. Analisa Putusan

Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim selama tiga bulan 20 hari untuk

perkara penganiayaan adalah terbilang rendah, mengingat ancaman pidana untuk

Pasal 351 ayat (1) KUHP, maksimal dua tahun delapan bulan penjara. Menjadi

suatu analisa disini adalah apakah yang menjadi tujuan pemidanaan dan pidana

yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Menurut Muladi ”tujuan pemidanaan adalah

yang justru mengikat atau menjalin setiap tahap pemidanaan menjadi suatu mata

284 Ibid., hal.45.

285

Ibid., hal.46. 286

Amar putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn, hal. 46-47.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

119

rantai dalam suatu kebulatan sistem yang rasional.”287

Dengan demikian menurut

Solehhudin,”apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan

ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan.”288

Menururt Norval Morris tentang tujuan pemidanaan yaitu:289

“My premise throught is that penal purposes are properly retributive,

deterrent, and incapacitative. Attempts to add reformative puposes to

that mixture-as an objective of the sanction as distinguished from a

collateral aspiration-yield neither clemency, justice, nor as presently

administered social utility.”

Gerry A Ferguson juga pernah menyatakan sebagai berikut:290

“Generally, the courts refer to four or fives purposes in imposing

sentences: deterrence, retribution or „just deserts‟, rehabilitation,

incapacitation or public protection and compensation to victims.”

Demikian juga Petter J.P Tak, mengatakan bahwa: “The aims of sentencing are

now considered to be retribution, special or general deterrence, reformation,

protection of society and reparation.” 291

Di Indonesia, keadaannya memang berbeda sama sekali, rumusan tentang

tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif belum pernah ada. Jadi

pembahasan mengenai apa, kenapa dan bentuk apa pemidanaan itu, selama ini

lebih banyak bersifat teoritis. Namun demikian dalam Rancangan Kitab Undang-

287

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro,

1995), hal. 2.

288

Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 119.

289

Norval Morris, The Future Imprisonment, Michigan law Review (Chicago: University

of Chicago Press, 1974), hal. 1161, sebagimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum

Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2003), hal. 130.

290

Gerry A Ferguson, Criminal Liability and Sentencing of Coorporation, makalah

diskusi hukum pidana dan kriminologi, (Surabaya: Universitas Erlangga, 1993), hal. 28,

sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track

System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 291

Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan hukum,

(Surabaya; UBHARA, Oktober 1997), sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam

Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2003), hal. 130.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

120

Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diatur tentang tujuan pemidanaan. Dalam

Pasal 54 RKUHP, yaitu:292

”(1) Pemidanaan bertujuan:

a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat; dan

d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia. “

Memang ini baru sebatas sebuah rancangan yang tidak mempunyai kekuatan

mengikat, tetapi sebagai suatu karya ilmiah yang diperoleh melalui penelitian dan

ada dasar ilmiah yang dapat dipertimbangkan. Menurut Soedikno Mertokusumo,

“terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap,

maka harus menemukan hukumnya. Metode penemuan hukum melalui

interpretasi atau metode penafsiran.293

Salah satu metode interpretasi yang

disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau futuristis, yaitu penafsiran

antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang

belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan undang-undang.294

Dengan

demikian melalui interpretasi antisipasif atau futuristis, pendekatan restorative

justice dapat diterapkan di pengadilan, khususnya dalam putusan pengadilan.

Namun jika dasar itu belum kuat adanya, kiranya dapat menjadi suatu

solusi jika melihat kepada kenyataan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara

yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-

undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

292

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.

293

Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.

294

Ibid., hal. 80.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

121

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

295

Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas,

mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga

yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.” 296

Dalam kaitannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, Hakim dapat melihat

kepada hukum adat. Hukum adat merupakan living law, hukum yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui adat,

juga ada pemberian sanksi adat (pemidanaan). Tujuan sanksi adat menurut I Made

Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk

mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi

adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan

tersebut.297

Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk

melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci),

yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang

dirasakan terganggu.298

Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi

(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran

hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini

meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”299

Pendapat

Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena

Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat adalah terjadinya

295

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.

296

Ibid.

297 I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.

298

Ibid.

299

Soepomo, Op.Cit., hal. 113.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

122

harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika

dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut,

sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf maka terjadi kerukunan

antara dua komunitas tersebut.”300

Senyatanya tujuan sanksi adat ini sejalan dengan tujuan pemidanaan

khususnya dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c RKUHP ”menyelesaikan konflik yang

ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan

rasa damai dalam masyarakat.”301

Tujuan pemidanaan ini juga seperti yang

dimaksudkan oleh restorative justice, dan tergambar dari keadilan yang ingin

dicapai dari restorative justice seperti yang dimaksudkan oleh Dignan yaitu:

“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and

conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,

legal, social work and and counseling professionals and community

groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the

person causing the harm, and the affected community.302

Menyelesaikan konflik yang dimaksudkan oleh Dignan merupakan respon

terhadap pelanggaran dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan

pengaruhnya dalam masyarakat. Dalam hukum adat, jelas ini terakomodir dalam

tujuan sanksi adat tersebut. Dengan demikian Hakim dapat mengambil nilai yang

hidup ini, nilai yang terkandung dalam tujuan sanksi adat, yang juga bisa

digunakan dalam tujuan pemidanaan di putusan.

300

Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh

Prof Rehngena berada di Medan.

301

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.

302

Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,

2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash

Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis

dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan

Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan

Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar

Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal.18, terjemahan bebas dari

penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang

secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta

kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon

dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,

orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

123

Pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa:

“mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap diri terdakwa, Majelis

berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman dalam sistem pemidanaan di

Indonesia bukan ditujukan sebagai sarana pembalasan akan tetapi sebagai

sarana pendidikan dan pembelajaran supaya terdakwa dapat menyadari

kesalahan yang telah dilakukanya, serta dapat merubah tingkah lakunya

dalam bermasyarakat sehingga keberadaannya dalam masyarakat

merupakan keberadaan yang dapat mendukung fungsi-fungsi kehidupan

sosial, dan keberadaan terdakwa dalam masyarakat adalah sebagai

pemimpin kelompok atau tumenggung, maka terdakwa harus dapat dan bisa

dijadikan contoh tauladan.”

mengisyaratkan suatu tujuan pemidanaan yang diinginkan oleh Majelis Hakim.

Tujuan pemidanaan disini jelas bukan yang bersifat

retributive/penghukuman/balas dendam/teori absolut, karena jelas Majelis

menyatakan tujuan pemidanaan bukan sebagai sarana pembalasan akan tetapi

sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran.

Tentang tujuan pemidanaan sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran

dalam teori tujuan pemidanaan, adalah sama dengan yang dimaksudkan dengan

teori relatif. Teori relatif disebut juga sebagai teori tujuan (utilitarian theory),

karena menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan

pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu

pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat.303

Ada tiga bentuk teori tujuan

yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk membedakannya sari sudut

pandang praktis, tapi bagi seorang utilataris, faktor terpenting adalah bahwa suatu

pemidanaan dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat

secara preventif (penebalan kata oleh penulis), apapun artinya penjeraan dan

penangkalan, reformasi dan rehabilitasi atau pendidikan moral (penebalan kata

oleh penulis).304

Namun demikian, kepedulian teoretis menuntut usaha untuk lebih

mendalami utilitarian theory menurut tiga belahan interpretasi tersebut, yaitu:305

303

M.Solehhudin, Op.Cit., hal. 43.

304

Ibid. 305

Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1997), hal. 33, sebagaimana dikutip M.Solehhudin, Op.Cit., hal.43-45.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 135: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

124

1. Tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan penangkalan.

Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari

kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai

penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan

menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Oleh

Karena itu, pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan

perilaku si terpidana maupun warga masyarakat. Pengaruh ini dianggap

bisa sangat berdaya-hasil bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu

dengan menakut-nakuti orang, atau menurut perkataan Philip

Bean”maksud di balik penjeraan ialah mengancam orang-orang lain untuk

kelak tidak melakukan kejahatan.”

2. Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan mengganggap pula

pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada

si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu

penyakit sosial yang disintegrative dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca

pula sebagai simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal

yang membtuhkan terapi psikiatris, conselling, latihan-latihan spiritual,

dan sebagainya. Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah

pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang

terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitasnya secara wajar.

Dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan sebagai efek preventif dalam

proses rehabilitasi ini terutama terpusat pada si terpidana.

3. Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan

ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses

reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan

terpidana adalah salah, tak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa

terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat.

Karena itu, dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk

menyadari dan mengakui kesalahan yang telah dituduhkan atasnya.

Penjara atau lembaga pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat

pendidikan moral, yaitu tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual

diadakan serta ’penebusan dosa’ terjadi. Para terpidana perlu diberikan

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 136: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

125

pengajaran moral dan agama agar keyakinan dan pandangannya

diperbaharui, kecenderungan-kecenderungan jahatnya dikendalikan dan

hidupnya disegarkan. Semuanya itu berdasar atas tesis bahwa setiap

bentuk kejahatan melawan hukum merupakan ekspresi ketidakpedulian

sosial pada orang lain.

Berdasarkan uraian diatas maka tujuan pemidanaan yang dimaksudkan Majelis

Hakim sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran adalah seperti yang

dimaksudkan pada nomor tiga dari teori relatif atau utilitarian theory. Menurut

Majelis Hakim sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran ini mengingat fungsi

terdakwa sebagai pemimpin kelompok yang seharusnya memberikan contoh

tauladan.

Menurut Hakim Enan Sugiharto kelompok suku anak dalam sering

melakukan pelanggaran hukum namun tidak pernah ada yang diproses mengingat

mereka selalu menyelesaikan dengan hukum adatnya.306

Dan ini kali pertama ada

anggota suku anak dalam bahkan pemimpin kelompok suku anak dalam yang

diproses secara hukum, bahkan ditahan.307

Majelis berpendapat bahwa dengan

memberikan pendidikan dan pembelajaran melalui proses hukum ini, agar

terdakwa sebagai pemimpin kelompok suku anak dalam menyadari kesalahannya

yang telah melanggar aturan hukum dan seharusnya memberikan contoh tauladan

yang baik.308

Hal ini pun diakui oleh Jaksa Syafri Hadi bahwa masyarkat suku anak

dalam sering melakukan pelanggaran hukum, seperti menebang kayu di hutan,

berkelahi sesama anggota kelompok suku anak dalam, dsb.309

Menurut penulis,

jika dihubungkan dengan keterangan Jaksa Syafri Hadi, tentang peran Celitai

sebagai pemimpin kelompok sangat besar dimana kata-katanya ditaati oleh

anggota kelompoknya, maka tidak heran jika Majelis Hakim berpendapat bahwa

terdakwa Celitai bin Netar sebagai pemimpin kelompok untuk memberikan

306

Wawancara melalui telepon dengan Hakim Enan Sugiharto pada tanggal 22 Desember

2012. 307

Ibid.

308

Ibid.

309

Wawancara dengan jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November

2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 137: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

126

contoh tauladan, maka dimaksudkan pemidanaan sebagai pendidikan dan

pembelajaran agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Namun jika memperhatikan salah satu dasar peringan adalah diantara

kelompok terdakwa dengan kelompok korban telah disepakati perdamaian,

berarti Majelis melihat keadaan yang telah pulih, harmonis kembali. Menurut

Hakim Enan Sugiharto juga mengatakan bahwa”di persidangan ketika saksi

memberikan keterangan, dengan perintah Ketua Majelis maka terdakwa meminta

maaf kepada saksi dan saksi pun menerimanya. Majelis menilai bahwa saling

memaafkan di persidangan, menandakan bahwa memang sudah tidak ada masalah

lagi.”310

Hal ini pun diakui oleh Jaksa Syafri Hadi dan menyatakan hal yang

sama” antara terdakwa dan saksi korban sudah saling memaafkan di persidangan,

sehingga dilihat tidak ada masalah, tidak terlihat dendam diantara mereka, saya

melihat bahwa perbuatan saling memaafkan tersebut terlihat tulus, tidak ada

karena paksaan bahkan mereka saling berpelukan”311

Baik Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Syafri Hadi secara terpisah,

menyatakan bahwa “selama persidangan berlangsung tidak ada ancaman, paksaan

dan tekanan. Bahwa memang ada masyarakat suku anak dalam kelompok Celitai

yang menginap di Pengadilan dengan membuat tenda di halaman persidangan,

bukan merupakan suatu ancaman. Ancaman juga tidak ada dari korban yang

menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya atau sebaliknya tuntutan dari

terdakwa agar korban juga diproses hukum mengingat dari kelompok korban

Celitai ada satu orang yang meninggal, juga tidak pernah diutarakan.”312

Penasehat Hukum terdakwa Celitai Bin Netar, Abdul Hair juga mengatakan

bahwa terdakwa dari kelompok Celitai dengan korban dari kelompok Majid telah

saling memaafkan di persidangan, dari sejak pemeriksaan, tuntutan bahkan

putusan tidak pernah ada tuntutan dari korban, agar terdakwa dihukum seberat-

beratnya, begitu juga dari terdakwa tidak ada menuntut kepada korban agar

310

Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012. 311

Wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November

2012.

312

Wawancara dengan hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22

Desember 2012 dan wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14

Novemner 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 138: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

127

diproses secara hukum. Sejak putusan sampai dengan sekarang antara kedua

kelompok suku anak dalam tersebut tidak terjadi bentrokan.313

Mengenai penyelesaian adat, baik Hakim, Jaksa maupun Penasihat Hukum

tidak terlalu banyak mengetahui, informasi dapat diperoleh melalui Nelly Akbar

sebagai pendamping/advokasi terhadap suku anak dalam dari Lembaga Swadaya

Masyarakat Warsi. Menurut Nelly proses penyelesaian adat bukanlah hal yang

mudah, begitu Warsi mengetahui ada bentrokan dua kelompok suku anak dalam,

Warsi langung memberikan advokasi, karena pemberdayaan suku anak dalam

salah program kerja LSM ini. Kendala penyelesaian adat dari kelompok Majid

(korban) yang tidak mau menyelesaiakan secara adat tetapi memilih proses hukum

nasional. Hal ini dapat dimengerti oleh Warsi, karena kelompok Majid telah

tinggal menetap di pedesaan, sehingga telah banyak mengerti tentang hukum

nasional. Namun melalui pembicaraan dengan melibatkan kelompok suku anak

dalam lainnya, akhirnya kelompok Majid mau untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut secara adat.314

Menurut Nelly telah disepakati sanksi adat dan belum

semuanya dibayarkan pada saat putusan pengadilan dibacakan, mengingat jumlah

yang sangat banyak, namun hal tersebut tidak mengurangi kesepakatan untuk

melaksankan sanksi adat dan keyakinan bahwa kerukunan telah tercapai.315

Hal tersebut menjawab pertanyaan ketika pada saat tuntutan dan putusan

dibacakan, tidak ada kerusuhan dan sampai sekarang pun tidak ada bentrokan

yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dan Majid.316

Sikap Hakim

yang melihat bahwa tidak ada masalah lagi antara terdakwa dengan korban pada

saat saling memaafkan di persidangan, mendasari untuk menerima bahwa

memang telah terjadi perdamaian diantara mereka. Mengenai sanksi adat yang

dijatuhkan Hakim Enan Sugiharto mengakui bahwa memang terungkap di

persidangan, dan tidak dibantah oleh terdakwa dan korban namun karena tidak

313

Wawancara dengan Penasihat hukum terdakwa Celitai Bin Netar, Abdul hair melalui

telepon pada tanggal 12 Oktober 2012.

314

Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal 13

Oktober 2012.

315

Ibid.

316 Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 139: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

128

adanya pembuktian tentang telah dibayarkannya sanksi adat tersebut, sehingga

Majelis tidak mempertimbangkannya tetapi cukup melihat dari adanya perdamain

yang telah terjadi.317

Sikap majelis hakim yang telah mempertimbangkan perdamaian sebagai

dasar terjadinya kerukunan antara pelaku, korban dan karena dalam penyelesaian

adat tersebut melibatkan anggota kelompok dari Celitai dan Majid, maka ini

mewakili masyarakat di dua kelompok yang berkonflik, dan inilah yang

dimaksudkan oleh Dignan. Menurut Dignan, Restorative justice sebagai kerangka

kerja baru yang dalam hal ini yaitu sistem peradilan pidana khususnya dalam

putusan pengadilan, untuk menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan nilai

sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada

orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan

pengaruhnya terhadap masyarakat.318

Menarik jika dibandingkan dengan kasus di Kanada, yang menjadi

landmark decision yaitu Gladue case, karena adanya persamaan yaitu anggota

suku atau kelompok hukum adat juga, dimana terdakwa merupakan orang

aborigin. Kasus Gladue menjadi landmark decision karena dari putusan tersebut,

legislatif menambahkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf e,

dimana orang aborigin juga harus diperhatikan mengingat keadaan mereka yang

terpinggir. Hellen Bowen dan Terri Thompson memnguraikan dengan jelas

tentang ketentuan Pasal 718 yang tidak lain merupakan tujuan pemidanaan di

Kanada, yaitu:319

317 Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

318

Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,

2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash

Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis

dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan

Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan

Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar

Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal. 18. 319 Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court

of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume

3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354

dan lihat juga melalui www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 140: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

129

“Section 718 contains objectives supporting the fundamental purpose of

sentencing.59

Some of these restate of basic sentencing aims while others

focus on restorative goals. s718. The fundamental purpose of sentencing is

to contribute, along with crime prevention initiatives, to respect for the

law and the maintenance of a just, peaceful and safe society by imposing

just sanctions that have one or more of the following objectives:

a. to denounce unlawful conduct;

b. to deter the offender and other persons from committing offences;

c. to separate offenders from society, where necessary;

d. to assist in rehabilitating offenders;

e. to provide reparation for harm done to victims or to the

community and

f. to promote a sense of responsibility in offenders, and

acknowledgement of the harm done to victims and to the

community. [Emphasis added.]”

Menurut Helen Bowen dan Terri Thompson pertimbangan Mahkamah Agung

Kanada terhadap kasus Gladue memperhatikan restorative justice sebagai tujuan

pemidanan, dan menambahkan tiga unsur (d, e dan f) yaitu:320

“The restorative aspects of the above sentencing aims have been

interpreted recently by the Canadian Supreme Court in R v Gladue, where

they held: [W]hat is new, though, are paras. (e) and (f), which along with

para. (d) focus upon the restorative goals of repairing the harms suffered

by individual victims and by the community as a whole, promoting a sense

of responsibility and an acknowledgement of the harm caused on the part

of the offender, and attempting to rehabilitate or heal the offender.…In our

tanggal 7 Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis ”Bagian 718 berisi tujuan mendukung

tujuan mendasar dari pemidanaan. Beberapa menyatakan kembali dari hukuman dasar

bertujuan sementara yang lain fokus pada tujuan restoratif. S718. Tujuan mendasar dari

hukuman adalah untuk memberikan kontribusi, bersama dengan inisiatif pencegahan

kejahatan, untuk menghormati hukum dan pemeliharaan masyarakat yang adil, damai dan aman

dengan memberlakukan sanksi baru yang memiliki satu atau lebih dari tujuan-tujuan berikut:

a. untuk mengecam tindakan melawan hukum; b. untuk mencegah pelaku dan orang

lain dari melakukan pelanggaran; c. untuk memisahkan pelaku dari masyarakat, di

mana diperlukan; d. untuk membantu pelaku rehabilitasi; e. untuk memberikan reparasi

bagi kerugian yang ditanggung korban atau masyarakat dan f. untuk

mempromosikan rasa tanggung jawab dalam pelanggar, dan pengakuan darikerugian yang

ditanggung para korban dan masyarakat. [Penekanan ditambahkan.] " 320

Ibid, terjemahan bebas dari penulis “"Aspek-aspek restoratif dari tujuan hukuman atas

telah ditafsirkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung Kanada di R v Gladue, di mana mereka

mengatakan: “Pemikiran yang baru, yaitu paragraf (e) dan (f), yang bersama dengan paragraf

(d) yang fokus pada tujuan restoratif memperbaiki bahaya yang diderita oleh korban individu

dan masyarakat secara keseluruhan, mendukung rasa tanggung jawab dan pengakuan atas

kerugian yang disebabkanoleh pelaku, dan mencoba untuk merehabilitasi atau menyembuhkan

pelaku .... Dalam pandangan kami, pilihan DPR untuk memasukkan (e) dan (f) di

samping tujuan hukuman tradisional harus dipahami sebagai membuktikanniat

untuk memperluas parameter analisis hukuman untuk semua pelanggar. Prinsip menahan

diri dinyatakan dalam s. 718,2 (e) tentu akan diinformasikan dengan orientasi kembali.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 141: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

130

view, Parliament‟s choice to include (e) and (f) alongside the traditional

sentencing goals must be understood as evidencing an intention to expand

the parameters of the sentencing analysis for all offenders. The principle

of restraint expressed in s. 718.2(e) will necessarily be informed by this re-

orientation.

Sedangkan Pasal 718 ayat (2) KUHPidana Kanada berbicara tentang pedoman

pemidanaan yang menjadi petunjuk teknis dalam menjatuhkan pemidanaan juga

diperbaharui sebagai dampak logis dari diperbaharuinya (penambahan) pedoman

pemidanaan. Menurut Hellen Bowen dan Teri Thompson yaitu:321

Tabel 4.1 Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah Kasus

Gladue

Sebelum kasus Gladue Sesudah kasus Gladue

[s.] 718.2.(e) provides the

necessary flexibility and authority

for sentencing judges to resort to

the restorative model of justice in

sentencing aboriginal offenders and

to reduce the imposition of jail

sentences where to do so would not

sacrifice the traditional goals of

sentencing.

s718.2(e). s 718.2 A court that

imposes a sentence shall also take

into consideration the following

principles: … (e) all available

sanctions other than imprisonment

that are reasonable in the

circumstances should be considered

for all offenders, with particular

attention to the circumstances of

aboriginal offenders.”

Dari tabel tersebut terlihat bahwa dalam ketentuan sebelumnya, jika pelaku orang

aborigin mendapatkan pengurangan pidana penjara sedangkan dalam ketentuan

sesudah kasus Gladue, hakim harus mempertimbangkan semua sanksi yang

tersedia dengan memperhatikan keadaan dari pelaku orang aborigin. Dalam kasus

Gladue, mendapatkan pembebasan bersyarat dan keluar dari lembaga

pemasyarakatan setelah enam bulan di penjara.

Menarik mambaca tulisan dari Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond

tentang kritik terhadap putusan ini yang terkesan memberikan kemudahan kepada

321

Ibid, table dibuat oleh penulis untuk memudahkan membandingkan, terjemahan bebas

dari penulis, sebelum kasus Gladue, “menyediakan fleksibilitas yang diperlukan dan kewenangan

bagi hakim dalam menjatukan hukuman untuk menggunakan model keadilan restoratif dalam

menghukum pelaku Aborigin dan untuk mengurangi pengenaan hukuman penjara di mana

untuk melakukannya tidak akan mengorbankan tujuan tradisional hukuman. Sedangkan sesudah

kasus Gladue” semua sanksi tersedia selain penjara yang wajar dalam situasi harus

dipertimbangkan untuk semua pelaku, dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 142: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

131

orang aborigin karena dalih diskriminasi yang terjadi, namun justru menjadi

diskriminasi yang terbalik terhadap orang yang bukan aborigin, yaitu:322

“The potential impact of the Gladue decision on the judiciary is arguably

profound. The Supreme Court of Canada has clarified that Parliament‟s

decision to add section 718.2(e) to the Criminal Code means that one

must, as a matter of criminal law, recognize that Aboriginal people

experience incarceration differently than others. While some might suggest

that an Aboriginal person who receives the same sentence as a non-

Aboriginal person is being treated equally, this has been rejected as

fallacious reasoning by the Supreme Court of Canada. Sometimes treating

different people the same results in inequality. Justices Cory and

Iacobucci considered the argument that this treatment of Aboriginal

peoples is “reverse discrimination” against non-Aboriginal people.20

They concluded that section 718.2(e) is not unfair to non- Aboriginal

people, it simply requires judges to treat Aboriginal people fairly by taking

into account their difference.”

Oleh karena itu menurut Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond berpendapat

bahwa putusan kasus Gladue, mempedomani hakim dalam memutus dimana

pelaku orang aborigin, yaitu:323

322

Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal

Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of

R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at

the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September

1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,

1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet

www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7

Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis ”Dampak

potensial dari keputusan Gladue di pengadilan ini bisa dibilang mendalam.Mahkamah Agung

Kanada telah menjelaskan bahwa keputusan DPR untuk menambahkan pasal 718, 2 (e) ke

KUHP berarti bahwa seseorang harus mengakui bahwa dalam masalah pidana untuk orang

Aborigin mempunyai penahanan pengalaman yang berbeda dari yang lain. Sementara

beberapaorang berpendapat mungkin mengatakan bahwa orang Aborigin diperlakukan sama

karena yang menerima pemidanaan yang sama sebagai orang non-Aborigin, penalaran yang keliru

ini telah ditolak Mahkamah Agung Kanada. Kadang-kadang memperlakukan orang yang berbeda

dengan hasil yang sama dalam ketidaksetaraan. Hakim Cory dan Iacobucci

menganggap argument bahwa pengobatan masyarakat Aborigin adalah

"diskriminasi terbalik" terhadap orang non-Aborigin. Mereka menyimpulkan bahwa

bagian 718, 2 (e) tidak adil untuk non-Aborigin orang, itu hanya karena hakim cukup dengan

memperhatikan perbedaan mereka, maka dapat mengobati mereka " 323

Ibid, terjemahan bebas dari penulis: "Keputusan

ini akan mempengaruhi peradilan dalam setidaknya tiga cara mendasar.Pertama, hakim akan perlu

dididik mengenai masyarakat Aborigin di Kanada, termasuksejarah masyarakat Aborigin ',

budaya, dan pengalaman diskriminasi. Kedua, hakim akan perlu menghabiskan lebih banyak

waktu pada sebelum menjatuhkan proses hukuman untuk memastikan bahwa semua

informasi yang diperlukan pengadilan untuk mengevaluasi pendekatan yang lebih restoratif

untuk terdakwa dan masyarakat. Ketiga, independensi peradilan akan sangat penting

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 143: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

132

“This decision will affect the judiciary in at least three fundamental ways.

First, judges will need to be educated regarding Aboriginal peoples in

Canada, including Aboriginal peoples‟ history, culture, and experiences of

discrimination. Second, judges will need to spend more time on the

sentencing process to ensure that all information is before the court which

is required to evaluate a more restorative approach to the defendant and

the community. Third, judicial independence will be vital in discharging

this function as individual judges and the judiciary may be subjected to

considerable criticism and public attack for.”

Jika Hellen Bowen dan Terri Thompson, melihat kepada dampak putusan Gladue

terhadap kebijakan legislatif adanya penambahan di tujuan pemidanaan dan

perubahan ketentuan di pedoman pemidanaan maka Yang Mulia Hakim M.E

Turpel Lapond melihat kepada hal-hal yang akan mendasari hakim menjatuhkan

putusan terhadap pelaku orang aborigin. Department of justice Canada

memandang putusan Gladue case sejalan dengan keadilan yang dianut oleh

Aborigin, yaitu:324

“There is a strong relationship between restorative justice and Aboriginal

justice. Both philosophies emphasize healing, forgiveness, and active

community involvement, and restorative models have drawn heavily upon

Aboriginal methods of resolving disputes. Aboriginal concepts of

restorative justice tend to be strongly focussed on the community, with an

emphasis on collective well-being rather than individual rights. They

stress the need to heal relationships between clans or family groupings as

well as between the offender and the victim, so that balance may be

restored to the community as a whole. Aboriginal communities attempt to

look at all of the factors leading to an incident, in order to understand the

offender as a person and to uncover the causes of their behavior.”

dalam melaksanakan fungsi ini sebagai hakim individu dan lembaga

peradilan dapat mengalami kritik dan serangan publik. "

324

Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation Paper,

Mei 2000, ditelusur melalui internet http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses pada

tanggal 7 Desember 2012, terjemahan bebas dari penulis: “Keadilan Aborigin dan keadilan

restoratif ada hubungan kuat diantaranya. Kedua filsafat menekankan penyembuhan,

pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat, dan model restoratif telah ditarik berat pada

metode Aborigin penyelesaian sengketa. Konsep Keadilan dan keadilan restoratif cenderung

sangat difokuskan pada masyarakat, dengan penekanan pada hak-hak kesejahteraan kolektif

bukan individu. Mereka menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan

atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat

dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Aborigin mencoba untuk

melihat semua faktor yang menyebabkan sebuah insiden, untuk memahami pelaku sebagai pribadi

dan untuk mengungkap penyebab perilaku mereka.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 144: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

133

Department of Justice of Canada, melihat putusan Gladue Case, sebagai berikut:

“In its recent decision in Gladue v. the Queen, the Supreme Court of

Canada endorsed the concept of restorative justice and the use of

community-based alternatives to imprisonment. The Court was asked to

consider the meaning of paragraph 718.2(e) of theCriminal Code , which

stated that judges are to consider all reasonable alternatives to

incarceration for all offenders, but "with particular attention to the

circumstances of Aboriginal offenders." The Court ruled that this passage

imposes a duty upon judges to recognize factors that particularly affect

Aboriginal people, such as poverty, substance abuse, and lack of

education or employment opportunities, and to consider the role these

factors may play in bringing the Aboriginal offender before the courts. In

determining a sentence, judges must consider the types of sanctions that

might be appropriate for an offender given his or her Aboriginal heritage.

This decision should take into account whether there is community support

for the offender and community programs that provide alternatives to

incarceration. The Court recognized that restorative justice approaches

may differ from one Aboriginal community to another, but that they tend to

be community-based. The Gladue decision highlights the importance of

using restorative processes in sentencing Aboriginal offenders.” 325

Department of Justice Canada selain melihat kepada konsep keadilan Aborigin

yang selaras dengan restorative justice yaitu menekankan penyembuhan,

pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Keadilan Aborigin dan

restorative justice sama-sama menekankan perlunya untuk menyembuhkan

hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban,

sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara

keseluruhan. Selain itu Department of Justice Canada juga melihat bahwa Hakim

harus mempertimbangkan keadaan terhadap pelaku aborigin, yang melihat dari

325

Ibid., terjemahan bebas dari penulis: “Dalam keputusan baru-baru ini di Gladue v

Ratu, Mahkamah Agung Kanada telah mendukung konsep keadilan restoratif dan penggunaan

berbasis masyarakat alternatif penjara. Pengadilan diminta untuk mempertimbangkan makna ayat

718,2 (e) Kode theCriminal, yang menyatakan bahwa hakim harus mempertimbangkan semua

alternatif yang masuk akal untuk penahanan untuk semua pelaku, namun "dengan perhatian khusus

pada keadaan pelanggar Aborigin." Pengadilan memutuskan bahwa bagian ini membebankan

kewajiban kepada hakim untuk mengenali faktor-faktor yang sangat mempengaruhi orang-orang

Aborigin, seperti kemiskinan, penyalahgunaan zat, dan kurangnya pendidikan atau kesempatan

kerja, dan untuk mempertimbangkan peran faktor-faktor ini sebelum Pengadilan menjatuhkan

pemidanaan kepada pelaku Aborigin. Dalam menentukan hukuman, hakim harus

mempertimbangkan jenis sanksi yang mungkin cocok untuk pelaku Aborigin. Keputusan ini harus

mempertimbangkan apakah ada dukungan masyarakat untuk program pelaku dan masyarakat yang

memberikan alternatif untuk penahanan. Pengadilan mengakui bahwa pendekatan keadilan

restoratif mungkin berbeda dari satu komunitas Aborigin yang lain, tetapi mereka cenderung

berbasis masyarakat. Keputusan Gladue menyoroti pentingnya menggunakan proses restoratif

dalam menghukum pelaku Aborigin.”

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 145: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

134

segi sejarah, sosial, ekonomi kurang menguntungkan, dengan demikian dapat

menentukan sanksi yang tepat dan wajar.

Dalam kasus Gladue, selain melihat kepada tujuan pemidanaan juga

kepada pedoman pemidanaan, karena kedua hal ini saling berkaitan dan pada

akhirnya menentukan pemidanaan apa yang akan diberikan. Di Indonesia telah

dijelaskan bahwa untuk tujuan pemidanaan belum diatur dan baru tahap

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu juga dengan pedoman

pemidanaan. Pedoman pemidanaan diatur dalam Pasal 55 RKUHP yaitu:326

Pasal 55

(3) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:

l. Kesalahan pembuat tindak pidana;

m. Motif dan tujuan melakukan pidana;

n. Sikap batin pembuat tindak pidana;

o. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncakan atau tidak

direncanakan;

p. Cara melakukan tindak pidana;

q. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

r. Riwayat hidup, keadaaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak

pidana;

s. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

t. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

u. Pemaaf dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

v. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

(4) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu

dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar

pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan

dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan.

Dalam kasus Celitai Bin Netar, Majelis Hakim mempertimbangkan

perdamaian yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dengan

kelompok suku anak dalam Majid. Bahkan hakim Enan Sugiharto dan Jaksa

Penuntut Umum, Syafri Hadi mengatakan bahwa antara kelompok suku

Celitai/terdakwa dengan kelompok suku sikap saling memaafkan di persidangan

dan tidak terlihat ada masalah, dendam.327

Namun demikian ternyata, majelis

hakim juga mempertimbangkan riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan

326

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.

327

Wawancara melalui telepon dengan Hakim Enan Sugiharto pada tanggal 22 Desember

2012 dan wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 146: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

135

ekonomi terdakwa. Menurut Hakim Enan Sugiharto, keadann sosial dan ekonomi

terdakwa memang kurang beruntung jika dibandingkan dengan kelompok

korban.328

Hal ini juga diakui oleh Jaksa Syafri Hadi.329

Ini tidak mengherankan

jika berdasarkan keterangan Nelly Akbar kelompok suku anak dalam Celitai

masih hidup secara nomaden dibandingkan dengan kelompok suku anak dalam

Majid yang sudah tinggal menetap di pedesaan.330

Menurtut Nelly Akbar

pencaharian sebagian besar dari kelompok suku anak dalam Celitai adalah

berburu, menjual hewan buruan seperti misalnya babi hutan ataupun menjual

pinang.331

Kondisi pada saat persidangan, anggota kelompok suku anak dalam Celitai

tinggal di depan halaman pengadilan dengan mendirikan tenda-tenda. Mereka

memang terbiasa dengan itu, namun yang membuat miris istri Celitai baru

melahirkan dan bayinya kerap diletakkan di lantai kantor pengadilan negeri

Sarolangun.332

Mereka yang tinggal di tenda kantor pengadilan banyak juga

wanita dan anak-anak, mereka menuntut pemimpin mereka dibebaskan atau

mereka juga ikut bersama ditahan.333

Ini tidak mempengaruhi Majelis Hakim

karena tidak ada bentuk ancaman secara fisik, namun demikian Majelis

memandang dengan kondisi terdakwa Celitai Bin Netar yang sudah ditahan

(memperhatikan sosial ekonominya) dan keadaan anggota kelompok yang

menginap di pengadilan serta telah adanya perdamaian dengan korban sehingga

tidak ada masalah lagi, maka Majelis berpikir tidak ada gunanya untuk

memutuskan lebih lama lagi di tahanan.334

328

Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

329

Wawancara dengan Jaksa Syafri hadi secara langsung pada tanggal 22 Desember

2012.

330

Wawancara dengan Nelly Akbar, aktivis dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal

13 Oktober 2012. 331

Ibid.

332

Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012. 333

Ibid. 334

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 147: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

136

Atas pertimbangan tersebut, bahkan sesaat sebelum putusan Majelis Hakim

mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan rutan menjadi penahanan kota.

Hal ini menurut Hakim Enan Sugiharto, pastinya di luar dugaan dari Jaksa

Penuntut Umum dan Penasihat Hukum. Majelis memperhitungkan waktu tiga

bulan dua puluh hari sebagai waktu lamanya terdakwa Celitai Bin Netar ditahan

termasuk di dalamnya waktu tujuh hari berpikir-pikir untuk melakukan upaya

hukum.335

Menurut Hakim Enan Sugiharto, pengalihan penahanan kota ini

“memaksa” jaksa penuntut umum dan penasihat hukum untuk menerima putusan

dan tidak melakukan upaya hukum, mengingat susahnya menghadirkan terdakwa

yang hidup secara nomaden di hutan.336

Hal ini diakui Jaksa Syafri hadi yang membuatnya untuk melaksanakan

penetapan hakim tersebut dan walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir,

namun karena berpikir memang sudah ada perdamain, adanya permaafan atau

lebih tepatnya saling memaafkan antara kelompok Celitai dengan kelompok Majid

sehingga tidak ada masalah lagi diantara kedua kelompok tersebut, maka

menerima putusan tersebut.337

Melakukan upaya hukum sepertinya juga akan

menjadi hal yang tidak bermanfaat, sehingga Jaksa Syafri Hadi pun selain

melaksanakan penetapan pengalihan penahanan juga melaksanakan eksekusi

putusan, mengingat kesulitan untuk bertemu dengan terdakwa yang hidupnya

nomaden di hutan.338

Penasihat Hukum terdakwa juga tidak melakukan upaya hukum, walaupun

di persidangan menyatakan pikir-pikir. Menurutnya, tidak ada manfaatnya jika

melakukan upaya hukum, karena melihat kerukunan telah terjadi antara kelompok

Celitai dan kelompok Majid. Dan terpenting melihat kliennya dikeluarkan dari

335

Ibid.

336

Ibid.

337

Wawancara dengan Jaksa Syafri hadi secara langsung pada tanggal 14 November

2012.

338

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 148: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

137

tahanan yang disambut dengan kesenangan dari anggota kelompok Celitai yang

menginap di pengadilan, sudah cukup dianggap selesai kasus ini.339

4.3. Kesimpulan analisa putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln dan

No.22/Pid.B/2009/PN.Srln serta kasus Gladue

Sebelum memberikan pembahasan kesimpulan, untuk memudahkan maka dibuat

dalam tabel, sebagai berikut:

Tabel 4.2 Perbedaan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, Putusan

No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue

Putusan Tujuan Pemidanaan Pedoman Pemidanaan Pemidanaan

Putusan

no.21/Pid.B.20

09/Pn.Srln

Adanya surat

perdamaian antara

kelompok terdakwa

dengan kelompok

korban

Terdakwa berjanji

tidak akan mengulangi

lagi

Pidana

penjara yang

sama dgn

masa

penahanan

ditambah

tujuh hari

waktu pikir-

pikir

Putusan

no.22/Pid.B.20

09/Pn.Srln

Sebagai pendidikan

dan pembelajaran

kepada terdakwa yang

sebagai pemimpin

kelompok untuk

memberikan contoh

taulan

Adanya perdamaian

antara kelompok

terdakwa dengan

kelompok korban

Pidana

penjara yang

sama dgn

masa

penahanan

ditambah

tujuh hari

waktu pikir-

pikir Kasus Gladue d. to assist

in rehabilitating offenders;

e. to provide reparation for harm done to victims or to the community and

f. to promote a sense of responsibility in offenders, and acknowledgement of the harm done to victims and to the community.

s718.2(e). s 718.2 A court that imposes a sentence shall also take into consideration the following principles: … (e) all available sanctions other than imprisonment that are reasonable in the circumstances should be considered for all offenders, with particular attention to the circumstances of aboriginal offenders.”

Pembebasan bersyarat setelah enam bulan di penjara

339

Wawancara dengan Penasihat Hukum, Abdul Hair melalui telepon pada tanggal 12

Oktober 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 149: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

138

Dalam memberikan kesimpulan antara ketiga putusan pengadilan tersebut,

penulis membuat barometernya tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan

pemidanaan. Hal tersebut didasarkan pertimbangan dari pembahasan penulisan ini

yang melihat penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai

tujuan pemidanaan. Pembahasan tentang pedoman pemidanaan dan pemidanaan

merupakan hal yang saling berkaitan dengan tujuan pemidanaan, sehingga dengan

sendirinya tidak dapat dipisahkan.

Adalah tidak adil sebenarnya untuk membandingkan putusan

no.21/pid.B/2009/pn.srln dan no.22/pid.B/2009/pn.srln dengan putusan yang

menjadi landmark decision Canada, yaitu kasus Gladue, karena di Indonesia

belum ada pengaturan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Ini

menjadi kesimpulan yang sangat pesimis rasanya walaupun realistis. Mengenai

tujuan pemidanaan walaupun belum diatur, tetapi literatur yang membahas

tentang tujuan pemidanaan bisa dilihat dan dibaca dari teori-teori pemidanaan. Hal

tersebut pun sudah juga dipelajari di dunia pendidikan, sehingga hakim tidak bisa

ini dijadikan dasar pembenarnya. Belum lagi jika ingin mengkaji dari nilai-nilai

yang hidup di dalam masyarakat, telah diuraikan juga tentang tujuan sanksi adat.

Pengertian tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan tidak ditemui

secara eksplisit, namun menguraikan bentuk-bentuknya memberikan pengertian

yang implisit. Jika melihat dari terminologi kata tujuan dan pedoman, maka dapat

diketahui bahwa “tujuan berarti maksud, sasaran.340

Sedangkan Pedoman berarti

sebagai berikut:341

“alat untuk menunjukkan, mengetahui arah atau mata angin, bentuknya

seperti jam berjarum besi berani; buku petunjuk: sesuatu yang menjadi dasar

penganan, ukuran dan sebagainya; buku petunjuk yang menerangkan cara

mengerjakan cara menjalankan atau mengerjakan sesuatu; pimpinan atau

pengurus perkumpulan.”

Jika melihat dari pengertian pedoman tersebut berarti yang tepat dalam

pembahasan ini adalah buku petunjuk yang menerangkan cara mengerjakan cara

340

Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kesebelas

(Semarang: Widya Karya, 2011), hal.590.

341

Ibid., hal. 364.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 150: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

139

menjalankan atau mengerjakan sesuatu. Dengan demikian hubungan antara

pedoman pemidanaan dengan tujuan pemidanaan adalah, pedoman pemidanaan

merupakan cara untuk mencapai sasaran atau tujuan pemidanaan.

Jika Pasal 54 RJUHP yang menguraikan tentang tujuan pemidanaan dan

Pasal 55 RKUHP yang menguraikan tentang pedoman pemidanaan yang hanya

menguraikan bentuknya saja, sedangkan di dalam penjelasannya dapat

disimpulkan pengertiannya, yaitu mengatakan sebagai berikut:342

Pasal 54

“Ayat (1) pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan,

peranan hakim penting sekali mengkonkritkan sanksi pidana yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan

menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu.

Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan,

yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, dan resosialisasi,

pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk

menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.

Ayat (2)Meskipun pidana pada dasarnya merupakan nestapa, namun

pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

merendahkan martabat manusia.

Pasal 55

Ayat (1)Ketentuan ini membuat pedoman pemidanaan yang sangat

membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat

ringannya pidana yang akan dijatuhkan.

Dengan mempertimbangkan hal-hal yang dirinci dalam pedoman

pemidanaan tersebut diharapkan pidana yang dijatuhkan bersifat

proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun

terpidana. Rincian dalam ketentuan ini tidak bersifat limitative

artinya hakim dapat menambahkam pertimbangan lain selain yang

tercantum pada ayat (1) ini.

Unsur “berencana” sebagaimana ditemukan dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yang lama, tidak dimasukkan dalam

rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal buku

kedua. Tidak dimuatnya unsur ini bukan berarti unsur berencana

tersebut ditiadakan, tetapi lebih bijaksana jika dijelaskan dalam

penjelasan ayat (1) ini. Berdasarkan hal ini, maka dalam

menjatuhkan pidana hakim harus memperhatikan unsu berencana,

kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan dilakukannya,

cara melakukan tindak pidana, dan sikap batin pembuat tindak

pidana.

Ayat (2) ketentuan pada ayat ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon

yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf

pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang

342

Penjelasan Pasal 54 RKUHP tahun 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 151: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

140

sifatnya ringan (tidak serius). Pemberian maaf ini dicantumkan

dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa

terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Berdasarkan penjelasan Pasal 54 RKUHP, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan

pemidanaan bersifat abstrak, yang harus ditentukan lebih dulu untuk

menghasilkan pemidanaan yang merupakan suatu proses (mengkonkretkan tujuan

pemidanaan). Hal ini selaras dengan yang dikatakan Barda Nawawi dalam pokok-

pokok pemikiran tentang pidana dan pemidanaan yaitu:343

“Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya hanya

merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama

merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasikan

tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok

yaitu”perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu

pelaku tindak pidana.”

Sue Tirus Reid menggunakan konsep filsafat pemidanaan dalam arti yang sama

dengan tujuan pemidanaan.344

Dalam satu hal dinyatakan sebagai filsafat

pemidanaan, tetapi pada elaborasi berikutnya dikatakan sebagai tujuan

pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya sebagai berikut:

“four basic punishment philophies are used to justify sentencing:

rehabilitation, incapacitation, deterrence, and retribution.345

Dalam penjelasannya kemudian Sue Tirus Reid, mengatakan:346

“Four basic objective are generally recognized: deterrence, rehabilitation,

incapacitation and retribution.”

Dengan demikian tujuan pemidanaan yang disamakan dengan filsafat pemidanaan

bersifat abstrak yang merupakan tahap awal yang harus ditentukan lebih dahulu

untuk dapat menghasilkan pemidanaan yang bersifat konkret.

343

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua edisi

revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 88.

344

M.Solehhudin, Op.Cit., hal. 129.

345

Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedure and Issues, (New York: West Publishing

Company, 1987), hal.347, sebagaiman dikutip M.Solehhudin, Ibid.

346

Ibid.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 152: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

141

Jika memperhatikan penjelasan Pasal 55 maka pedoman pemidanaan

diartikan sebagai pertimbangan dalam menentukan berat ringannya pidana yang

akan dijatuhkan. Tentang hal yang menjadi keadaan yang memberatkan dan

meringankan terdakwa, telah diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,347

sebagai hal yang

harus termuat dalam surat putusan pemidanaan. Namun ketentuan tersebut tidak

memperinci tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa,

melainkan hanya memerintahkan agar hal tersebut terdapat dalam putusan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat digambarkan bahwa pedoman

pemidanaan yang merupakan petunjuk untuk menjelaskan cara menghasilkan

pemidanaan dengan melihat kepada sasaran/maksud, tujuan pemidanaan. Tahap

bekerjanya jika pemidanaan merupakan suatu proses maka tahap awal

menentukan tujuan pemidanaan dengan menggunakan alat pedoman pemidanaan

dan menghasilkan pemidanaan. Setelah mengetahui hubungan dan cara kerja

antara tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan pemidanaan maka kita dapat

membuat kesimpulan tentang ketiga putusan tersebut dengan melihat dari

kelebihan dan kekurangannya, yang lebih mudahnya dibuat dalam tabel sebagai

berikut:

Tabel 4.3 Kelebihan dan Kekurangan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln,

Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue

Putusan Kelebihan Kekurangan

Putusan

no.21/pid.B/2009/pn.srln

-Pemidanaannya sudah tepat, karena dengan kondisi ditahan, tidak mungkin untuk pemidanaan percobaan baik dengan syarat khusus ataupun tidak. - Putusan yang mendasarkan adanya permaafan dari korban, sudah tidak ada masalah lagi, membuat perkara korban yang seharusnya menjadi terdakwa, tidak diproses hukum, karena

-Menempatkan tujuan pemidanaan dalam pedoman pemidanaan (bagian hal yang meringankan terdakwa) dan menempatkan pedoman pemidanaan dalam tujuan pemidanaan. -Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan tidak secara tegas dikatakan, namun mengakui bahwa antara terdakwa dengan korban

347

Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76,

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 153: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

142

dianggap kasus tersebut sudah selesai, dengan telah terjadinya keharmonisan antara kedua kelompok tersebut.

sudah rukun, tidak ada masalah.

Putusan

no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln

- Pemidanaan sudah tepat, karena dengan kondisi ditahan, tidak mungkin untuk pemidanaan percobaan baik dengan syarat khusus ataupun tidak. - Menempatkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan pada tempatnya. - Putusan yang mendasarkan adanya permaafan dari korban, sudah tidak ada masalah lagi, membuat perkara korban yang seharusnya menjadi terdakwa, tidak diproses hukum, karena dianggap kasus tersebut sudah selesai, dengan telah terjadinya keharmonisan antara kedua kelompok tersebut.

Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan tidak secara tegas dikatakan, namun mengakui bahwa antara terdakwa dengan korban sudah rukun, tidak ada masalah.

Kasus Gladue -menyebutkan dengan jelas dan tegas tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. - bahkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan dari putusan ini merubah/memperbaharui ketentuan yang sudah ada (hal tersebut dimungkinkan mengingat sistem common law, dimana putusan hakim merupakan sumber hukum, sesuai dengan asas judge made law).

Penerapan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan lebih melihat kepada keadaan pelaku (pelaku orang aborigin), tidak terlihat kepentingan korban.

Dalam putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn, Majelis Hakim telah salah

menerapkan apa yang dimaksud dengan tujuan pemidanaan dengan pedoman

pemidanaan, karena meletakkan tujuan pemidanaan di bagian hal-hal yang

meringankan, yang merupakan bentuk dari pedoman pemidanaan. Dengan

demikian walaupun tidak secara tegas dan jelas putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 154: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

143

dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln telah menerapkan restorative justice sebagai tujuan

pemidanaan. Walaupun kedua putusan ini tidak menjadi landmark decision,

namun kiranya dapat memenuhi apa yang dimaksudkan oleh Muladi dari putusan

hakim yaitu:

”Selain mengadili dan memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang

berperkara dan memberikan penilain bagi pihak-pihak yang berperkara, ada

fungsi-fungsi lain yang harus tercermin dalam putusan hakim tersebut

meliputi: fungsi pendidikan hukum bagi masyarakat, fungsi pembaharuan

hukum melalui proses penemuan hukum dan penyelesaian konflik secara

luas.”348

Sesuai dengan juga yang dimaksudkan Dignan, maka kedua putusan ini telah

menyelesaikan konflik antara korban, pelaku dan masyarakat. Dengan demikian

tujuan restorative justice dari kedua putusan ini telah diterapkan dan keadilan juga

dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan dimana tidak ada pihak

yang diuntungkan dan dirugikan, keadilan sebagai fairness.

Dengan demikian kedua putusan ini tidak juga buruk jika dibandingkan

dengan kasus Gladue, walaupun merupakan landmark decision di Kanada, namun

Majelis Hakim tidak terlihat mempertimbangkan kepentingan korban, tetapi lebih

menitikberatkan kepada pelaku khususnya keadaan dari pelaku yang merupakan

orang aborigin. Padahal dalam kasus tersebut, akibat perbuatan Gladue telah

mengakibatkan matinya orang dan ini bukan hal yang mudah dimaafkan bagi

keluarga korban, sehingga seharusnya Majelis Hakim Kanada juga

mempertimbangkannya.

348

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995),

hal. 16, sebagaiman dikutip Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan

Dalam Perkara Pidana, cetakan pertama (Bandung: Alumni, 2005), hal. 312.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 155: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Putusan Pengadilan dengan kata-kata irah-irah”Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengisyaratkan tanggung jawab Hakim

dalam mewujudkan keadilan. Keadilan yang diharapkan dapat dirasakan oleh

pelaku, korban dan masyarakat dalam perkara pidana. Sistem peradilan pidana

belum menempatkan korban sebagai subyek yang perlu mendapatkan tempat

dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan. Posisi korban masih terbatas

sebagai orang yang melaporkan atau mengadukan suatu tindak pidana dan sebagai

pembuktian dengan memberikan keterangannya di persidangan. Sistem peradilan

pidana yang demikian memberikan ketidakpuasan dan kekecewaan yang hampir

terjadi di seluruh Negara. Dan karenanya PBB mengusung konsep restorative

justice sebagai solusinya.

Dalam penelitian ini sampai kepada suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Indonesia belum mengatur konsep restorative justice (kecuali dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Pada tahun sebelum diberlakukannya Undang-Undang tersebut, penulis

mencatat setidaknya ada lima putusan yang menerapkan restorative justice

sebagai tujuan pemidanaan. Putusan tersebut antara lain: Putusan No.1600

K/Pid.B/2009, Putusan No. 2238 K/Pid.B/2009 dan Putusan No. 307

K/Pid.B/2010, sedangkan dua putusan yang menjadi analisa dalam penelitian

ini yaitu Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan

No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln adalah putusan yang diputus di tingkat pertama.

Penelitian ini memang tidak mencari berapa banyak putusan pengadilan yang

menerapkan restorative justice namun menegaskan bahwa walaupun belum ada

pengaturannya, Hakim dapat menerapkannya dalam putusannya. Hal ini

didasarkan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara karena hukum yang tidak

ada atau tidak jelas. Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai yang hidup, -

living law- di dalam masyarakat untuk menemukan hukum tersebut. Hal ini

dapat disimpulkan bahwa restorative justice telah diakui

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 156: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

145

Universitas Indonesia

keberadaannya/eksistensinya dalam putusan pengadilan sebagai tujuan

pemidanaan.

2. Adanya nilai-nilai hukum adat dalam Restorative justice.

Restorative justice yang bertujuan menyelesaikan konflik antara korban, pelaku

dan masyarakat, adalah sama dengan tujuan sanksi adat yaitu mengembalikan

keseimbangan, keharmonisan, kerukunan antara pihak yang berkonflik.

Dengan sistem penyelesaian dalam hukum adat yang tidak membedakan

pidana dengan perdata, sehingga korban dan masyarakat ikut berpartisipasi

untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dan hukum adat ini adalah jelas

merupakan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Penyelesaian konflik

dengan mempertimbangkan kepentingan dari pelaku, korban dan masyarakat

maka keadilan pun dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan

yang dimana tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan, keadilan sebagai

fairness.

3. Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan telah diterapkan dalam putusan

pengadilan.

Putusan No.21/Pid.B/2009/pn.Srln dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln telah

menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, walaupun tidak

disebutkan secara tegas dan jelas. Dalam kedua putusan tersebut yang

merupakan suatu kejadian yang sama (bentrokan dua kelompok suku anak

dalam) namun karena berdasarkan fakta hukum pembuktian, maka berkas

dipisahkan, telah berhasil menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan

masyarakat. Majelis Hakim telah melihat dan mempertimbangkan permaafaan

yang terjadi antara kelompok Celitai/terdakwa dengan kelompok Majid/korban.

Majelis Hakim melihat bahwa sudah tidak ada permasalahan diantara mereka,

karena tidak adanya tuntutan dari kedua kelompok (kedua kelompok sama-

sama menjadi korban). Penyelesaian adat yang telah terjadi diantara kedua

kelompok, membantu Majelis untuk menyelesaikan konflik tersebut dan

berkeyakinan bahwa sudah tidak ada masalah lagi antara kedua kelompok

tersebut.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 157: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

146

Universitas Indonesia

5.2. Saran

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai

berikut:

1. Pengaturan Restorative Justice dalam peraturan perundang-undangan.

Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan memang tidak disebutkan

secara tegas dalam Pasal 54 RKUHP tahun 2012. Namun di huruf c-nya

dimana mengatakan bahwa tujuan pemidanaan menyelesaikan konflik

yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat adalah identik dengan yang

dimaksudkan dengan restorative justice. Pengaturan restorative justice

sebagai tujuan pemidanaan dalam KUHP menjadi hal yang penting, karena

dengan legalitas yang ada diharapkan Hakim menerapkan restorative

justice dalam putusan pengadilan. Jika telah ada pengaturannya, maka

tidak ada keraguan lagi bagi Hakim untuk menerapkan restorative justice

dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan.

2. Hakim menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Walaupun belum ada pengaturan restorative justice dalam peraturan

perundang-undangan khususnya dalam KUHP, Hakim dianjurkan untuk

meningkatkan pengetahuannya. Dalam menerapkan Restorative justice

dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan, Hakim harus lebih

banyak mempelajari lagi tentang Tujuan pemidanaan, pedoman

pemidanaan dan pemidanaan, walaupun hal ini belum juga diatur namun

Hakim dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat

memahami dan meresapinya, sehingga dapat menerapkannya. Hal ini juga

telah dijelaskan dalam kesimpulan, bahwa nilai-nilai hukum adat selaras

dengan restorative justice, khususnya tentang tujuan dari sanksi adat.

3. Mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung

Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan dapat menyelesaikan

konflik antara korban, pelaku dan masyarakat, sehingga keadilan dirasakan

oleh para pihak tersebut. Oleh karena itu jika restorative justice diterapkan

dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan, maka para pihak

yang bersengketa telah merasakan keadilan dan tidak melakukan upaya

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 158: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

147

Universitas Indonesia

hukum. Dengan demikian perkara cukup selesai di tingkat pengadilan

negeri, tanpa harus membebani Mahkamah Agung dengan menambah

penumpukan perkara karena adanya upaya hukum. Hal ini juga sesuai

dengan cetak biru Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang

pembaharuan Mahkamah Agung tahun 2010-2035, yaitu pembatasan

perkara untuk kasasi. Restorative justice dapat menjadi pembatasan

perkara untuk kasasi, karena tidak adanya upaya hukum yang dilakukan

oleh para pihak mengingat telah mendapatkan manfaat keadilan dari

putusan pengadilan.

4. Mengembalikan kepercayaan dan kewibawaan pengadilan

Pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan konflik antara para pihak

yang bersengketa, dalam perkara pidana antara pelaku, korban dan

masyarakat. Dengan menerapkan restorative justice, maka para pihak yang

bersengketa yaitu korban, pelaku dan masyarakat dipertimbangkan

keberadaannya sehingga juga mendapatkan keadilan dari penyelesaian

konflik tersebut. Hal ini dapat membuat masyarakat percaya bahwa

Pengadilan dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dengan memberikan

keadilan dan putusan sebagai wadahnya.

5. Persamaan konsep restorative justice sebagai tujuan pemidanaan antara

penegak hukum.

Walaupun dalam penelitian ini memang dibatasi tentang restorative justice

dalam putusan pengadilan, dimana Hakim sebagai penentunya, namun

demikian adalah menjadi lebih mudah dan tercapainya restorative justice

sebagai tujuan pemidanaan jika antara penegak hukum juga mempunyai

ideologi yang sama. Ideologi tentang tujuan pemidanaan yang

menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat, sehingga

keadilan dirasakan manfaatnya oleh pelaku, korban dan masyarakat. Ini

yang dimaksudkan restorative justice sebagai ideologi, hal yang dicita-

citakan dalam menjatuhkan pemidanaan, sebagai tujuan pemidanaan.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 159: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

148

Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Buku

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua

edisi revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

_______________, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan,

cetakan ketiga, Semarang: Pustaka Magister Semarang, 2010.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika,

2011.

Anwar, Yesmil, dan Adang, Kriminologi, cetakan kesatu, Bandung, Refika Aditama,

2010.

Bazemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program

Summary: Balanced and Restorative Justice Project, Washington: US

Departement of Justice, Office of Juvenile and Delinquency Prevention,

1994.

Braithwaite, John, Restorative Justice & Responsive Regulation, New York:

Oxpord University Press, 2002.

Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arif Sidharta, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1996.

Cunneen, Chris and Carolyn Hoyle, Debating Restorative Justice, United

Kingdom: Hart Publishing, 2010.

Dewi, DS dan Fatahillah A Syukur, Mediasi Penal:Penerapan Restorative Justice

di Pengadilan Anak di Indonesia, cetakan pertama, Depok: Indie

Publishing, 2011.

Durkheim, Emile, Causal and Functional Analysis, (Sociological Theory), New

York: Mac Milan Press, 1976.

Erlich, Eugen, Fundamental Principles Of The Sociology Of Law, terjemahan

Walter L.Moll, Harvard University Press, 1936, vol. 5, 2000.

Farid, H.A.Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Haar, Ter, Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Jakarta: Rajawali, 1961.Pengantar

Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 160: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

149

Universitas Indonesia

_________, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003.

Hadjon, Phliipus M dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2005.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi ke

Reformasi, cetakan pertama, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.

Hiariej, Eddy O.S., Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,

Jakarta: Erlangga, 2009.

Jaya, Nyoman Serikat Putra, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan

Hukum Pidana Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Lamintang, P AF dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta:

Sinar Grafika, 2010.

Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun

2011, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011.

Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah

Tangga), cetakan pertama, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010.

Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia:Pengembangan konsep Diversi

dan Restorative Justice, cetakan pertama, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, 2010.

Muhammad, Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2006.

Muhammad, Bushar, Pengantar Hukum Adat, Jakarta: Balai Pustaka, 1961.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Bandung, Alumni, 1984.

_______, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Universitas

Diponegoro, 1995.

_______ dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cetakan

kedua Bandung: Alumni, 1998.

Mulyadi, Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus,

Bandung: Alumni, 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 161: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

150

Universitas Indonesia

Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam

Perkara Pidana, cetakan pertama Bandung: Alumni, 2005.

Morris, Norval, The Future Imprisonment, Michigan law Review Chicago:

University of Chicago Press, 1974.

Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1997.

Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana,

cetakan pertama Jakarta: Indhill CO, 2007.

Pangaribuan, Luhut M P, Lay Judges&Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis

Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia bekerjasama dengan Papas Sinar Sinanti, 2009.

Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cetakan

pertama, Bandung: Refika Aditama, 2006.

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana

Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan

Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan

Badan Litbang Kumdil MARI, 2010.

Rawls, John, A Theory of Justice, terjemahan Teori Keadilan, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011.

Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,

kumpulan karangan buku ketiga Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan

Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007.

__________, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana ,

kumpulan karangan buku kelima, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan

Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007.

__________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan

buku kedua Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi

Universitas Indonesia, 2007.

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,

cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, cetakan kedua, Jakarta:

Rajagrafindo Persada, 2012.

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, cetakan kesebelas, Jakarta,

Rajagrafindo Persada, 2011.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 162: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

151

Universitas Indonesia

Shelton, Dinah, Remedies In International Human Rights Law, New York, Oxford

University Press, 1999.

Simpson, Sally S, Corporate Crime, Law and Social Control, UK, Cambridge,

Cambridge University Press, 2002.

Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan: Kumpulan Catatan Hukum

Dan Pengadilan Di Indonesia, Jakarta: Gema Insani, 1995.

Sirtha, I Nyoman, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Denpasar: Udayana

University Press, 2008.

Siswosoebroto, Koesriani, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi, Jakarta, Universitas

Trisakti, 2009

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Bandung: Alumni,

1978.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia-

Press, 2010.

_____________, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Jakarta:

Academika, 1979.

_____________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan

singkat, Jakarta: Raja Grafindo, 1995.

Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, Bandung: Alumni, 1978.

____________, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan ke-14, Jakarta: Pradnya

Paramita, 1996.

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1994.

Solehhuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track

System&Implementasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Soeripto, Hukum Adat dan Pancasila Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman, Bandung: Alumni, 1978.

Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan

kesebelas, Semarang: Widya Karya, 2011.

Strang, Heather Strang dan John Braitwaite,, Restorative Justice Philosophy to

Practice, ed. Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 163: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

152

Universitas Indonesia

Syukur, Fatahillah A, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, cetakan pertama, Bandung:

Mandar Maju, 2011.

Vollenhoven, C Van, Penemuan Hukum Adat, cetakan kedua, Jakarta: Djambatan,

1987.

Wahid, Eriyantouw, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam

Hukum Pidana, Jakarta: Universitas Trisaksi, 2009.

Wahyudi, Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem

Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, cetakan pertama, Yogyakarta: Genta

Publishing, 2011.

Walgrave, Lode, Repositioning Restorative Justice, ed, USA: Wilan Publishing,

2003.

Waluyo, Bambang, Pidanda dan Pemidanaan, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar

Grafika, 2008.

Widyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco, 1993.

Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung: Alumni,

1975.

Zehr, Howard, Restorative Justice, Good Books, Intercourse, PA, 2002.

Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung,

Bandung, 2011.

_________________, Keadilan Restoratif, Jakarta: FHUI, 2009.

Artikel

Bondan, Gandjar L, Karakteristik Korban Dari Setiap Tindak Pidana Yang

Menjadi Fokus AKtivitas Perlindungan Saksi Dan Korban (Korupsi,

Terorisme, Narkotika, Pelanggaran HAM Dan Tindak Pidana Lain Yang

Ditentukan LPSK) Dan Kewenangan LPSK dalam Rangka Pemberian

Reparasi dan Kompensasi, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban

dalam Restorative Justice, Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan

Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.

Braithwaite, Jhon dan Philip Pettit, Republicanism and Restorative Justice: An

Explanatory and Normative Connection, sebagaimana dirangkum dalam

buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan

John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 164: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

153

Universitas Indonesia

Daly, Kathleen, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative

Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy

to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth

Publishing Company, 2000.

John O Haley, Beyond Retribution An Integrated Approach To Restorative

Justice, Washington: Washitong Jounal Of Law And Policy, 2011..

Manan, Bagir, Restorative Justice (suatu perkenalan), Jakarta, Majalah Hukum

Varia Peradilan, Tahun ke XXI No. 247 Juni 2006.

Marshall, Tony, Restorative Justice on Trial in Britain.”in Restorative Justice on

Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International

Research Perspectives, edited by H.Messmer and H.U.Otto.Dordrecht,

Boston: Kluwer Academic Publishers, 1992.

Mason, The Hon.Sir Anthony Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society,

sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to

Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth,

2000.

Miller, Seumas dan John Blackler, Restorative Justice: Retribution, Confession

and Shame, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice

Philosophy to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris:

Dartmouth Publishing Company, 2000.

Morris, Allison dan Warren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of

Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice

Philosophy to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris:

Dartmouth Publishing Company, 2000.

Mulyadi, Lilik, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas,

Teori, Praktik dan Prosedurnya, makalah yang dilampirkan dalam

Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum

Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan

Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan

Badan Litbang Kumdil MARI, 2010.

Notopuro, Hardjito, Tentang Hukum Adat Pengertian Dan Pembatasan Dalam

Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional No.4 Tahun 1969.

Sihite, Romany, Kedudukan dan Hak-Hak Korban Dalam Tata Peradilan Pidana,

dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice,

Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan

Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 165: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

154

Universitas Indonesia

Utomo, Setyo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis

Restorative Justice, Jakarta: Majalah Hukum Nasional Nomor 01 Tahun

2011, BPHN.

Zehr, Howard, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on

Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victim Offender

Ministeries Program The MCC, U.S, Office of Criminal Justice vo.4

Ontario: Canada Victim Offender Ministries Program, 1985.

Zulfa, Eva Achjani, Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku

Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, Jakarta:

Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan

Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Ali, M.Hatta, Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan

Keadilan Restoratif Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, Bandung,

Desertasi Doktor Universitas Padjajaran, 2011.

Effendy, Marwan, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks

Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam

Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012.

Qurniawan, Ari, Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia, (Tesis Universitas Andalas, Padang, 2010). Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif Di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan

Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Jakarta,

Desertasi Doktor Universitas Indonesia, 2009.

Makalah

Atmasasmita, Romli, Cita Keadilan Restoratif Dalam Pembaharuan Hukum

Pidana Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran

Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan

Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.

Alkotsar, Artidjor, Urgensi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Medik

Di Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam diskusi di Mahkamah

Agung, Jakarta, tanggal 22 Juli 2010.

Hamzah, Andi, Restorative Justice Dan Hukum Pidana Di Indonesia, makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan

Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah

IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 166: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

155

Universitas Indonesia

Jaya, Surya, Keadilan Restoratif Tuntutan Dan Kebutuhan Dalam Sistem

Peradilan Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar

Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim

Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta,

25 April 2012.

Kartayasa, Mansyur, Restorative Justice Dan Prospeknya Dalam Kebijakan

Legislasi, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim

Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang

Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.

Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan

Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah

IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.

Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan

hukum, Surabaya; UBHARA, Oktober 1997.

Sapardjaja, Komariah Emong, Keadilan Restoratif Dalam Putusan Mahkamah

Agung, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam

Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung,

dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.

Soponyono, Eko, Keberpihakan Hukum Pidana Yang Beorientasi Pada Korban,

makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Dscussion (FGD),

Pengkajian Hukum tentang Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan

Prinsip Restorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Kemenkumham RI, Jakarta 29 Mei 2012.

Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan

Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157,

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5332.

Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara RI Tahun 1981 No.76, Tambahan

Lembaran Negara No.3209.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana

Tahun 2009.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 167: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

156

Universitas Indonesia

Pemerintah Kabupaten Banggai, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian,

Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai, Peraturan Daerah

Kabupaten Banggai Nomor 1 Tahun 2008, http://www.palu.bpk.go.id/wp-

content/uploads/2010/03/Perda-Banggai-No.1-Tahun-2008-tentang-

Pemberdayaan-PELESTARIAN-LEMBAGA-ADAT-BANGGAI.pdf

diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.

Pemerintah Kabupaten Muara Enim, Peraturan tentang Lembaga Adat Marga,

Peraturan Daerah Nomor Tahun 2007,

http://palembang.bpk.go.id/web/files/2010/08/Perda-No.2-Thn-2007-ttg-

Lembaga-Adat.pdf yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.

Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Peraturan tentang Pemberdayaan,

Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, Peraturan

Daerah Kabupaten Luwu Utara No.12 Tahun 2004, http://www.wg-

tenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Perda_Kab.LuwuUtara_12_2004.pdf

yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.

United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in

criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at

35 (2000),

www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%252

0justice%2520criminal% diakses pada tanggal 15 September 2012

United Nations Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice

Programmes, New York: United Nation, 2006,

http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diakses

pada tanggal 21 november 2012.

United Nations, Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime

and Abuse of Power, A/Res/40/34/, New York: United Nation, 1985.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 1600 K/Pid.B/2009

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 2238 K/Pid.B/2009

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 237 K/Pid.Sus/2010

Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun no. 21/Pid.B/2009/Pn.Srln

Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln

Clotworthy Case, New Zealand: 1998

Gladue Case, Kanada: 1999

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 168: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

157

Universitas Indonesia

Wawancara

Wawancara Prof Mardjono Reksodiputro secara langsung di kampus Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba-Jakarta, pada tanggal 13

November 2012.

Wawancara Prof Adrianus Meliala, secara langsung di gedung Nusantara I

kampus FISIP UI, Depok pada tanggal 2 November 2012.

Wawancara Hakim Syahrul Mahmud melalui telepon pada tanggal 12 November

2012.

Wawancara Hakim Lilik Mulyadi secara langsung di Pengadilan Ngeri Jakarta

Utara pada tanggal 31 Oktober 2012.

Wawancara Prof Rehngena Purba melalui telepon pada tanggal 14 Desember

2012.

Wawancara Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember

2012.

Wawancara Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.

Wawancara Penasihat hukum Abdul hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober

2012.

Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi pada tanggal 13 Oktober 2012.

Wawancara Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November 2012.

Internet

Azhari, Daud, Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok,

www.scribid.com/daud-azhari-9865 diakses pada tanggal 20 Desember

2012.

Bowen, Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New

Zealand Court of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of

South Pacific Law: article 4 of volume 3, 1999,

www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354 dan

www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada

tanggal 7 Desember 2012.

Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation

Paper, Mei 2000, http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses

pada tanggal 7 Desember 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013

Page 169: UNIVERSITAS INDONESIA PENERAPAN RESTORATIVE …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-T32519-Nofita Dwi Wahyuni.pdf · Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan

158

Universitas Indonesia

Faizal, Elly Burhaini, Liputan Peradilan Adat Di Sanggau Kalimantan Barat,

http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Suara-Pembaruan-15_17-

Des-03-Catatan-Dari-Peradilan-Adat-Sanggau.pdf diakses pada tanggal 19

Desember 2012.

Kewa, Kornelis, Hukum Adat Mendominasi Hukum Positif di Papua, 30 April

2004, http://www.huma.or.id diakese pada tanggal 20 Desember 2012.

Kusumaningrum, Santi, Penggunaan Diversi Untuk Anak yang Berhadapan Dengan

Hukum (dikembangkan dari laporan yang disusun Chris Graveson) http://ajrc-

aceh.org/wp-content/upload/2009/05/diversion-guidelines_adopted-from-chris-

report.pdf pada tanggal 21 november 2012.

Lapond, M.E Turpel, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal Concepts of

Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural

Implications of R. v. Gladue, Makalah berikut diberikan pada Konferensi

CIAJ: "Changing Punishment at the turn of The Century”, di Saskatoon,

Saskatchewan pada tanggal 26-29 September 1999. Makalah ini akan

diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,

1999 jurnal Criminal Law, ditelusur elalui internet

www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang

diakes pada tanggal 7 Desember 2012.

Sebayang, Mahmud, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat,

Jakarta, Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009 http://www.prakarsa-

rakyat.org/artikel/opini/artikel_kirim.php?aid=33984 yang diakses pada

tanggal 24 September 2012

Tempo, Undang-Undang Peradilan Anak Disahkan,

http://www.tempo.co/read/news/2012/07/03/173414478/Undang-Undang-

Peradilan-Anak- Disahkan. diakses pada tanggal 15 September 2012.

UNDP, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan

Akuntabel, penelitian Proyek Keadilan Aceh UNDP dengan Masyarakat

Adat Aceh (MAA) dan Pemerintah NAD, http://ind.adatjustice.org/wp-

content/uploads/publikasi/Buku%20Pedoman%20Peradilan.pdf diakses

pada tanggal 20 Desember 2012

Zulfa, Eva Achjani, Restorative Justice Di Indonesia (Peluang dan Tantangan

Penerapannya), http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-

indonesia.html diakes pada tanggal 15 September 2012.

Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013