Upload
buiminh
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DALAM
KASUS GUGAT CERAI DENGAN ALASAN KDRT
( Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP )
Oleh :
Rina Septiani
NIM : 105044101425
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430/2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG
PKDRT DALAM KASUS GUGAT CERAI DENGAN ALASAN KDRT ( Studi Analisis
Putusan Pegadilan Agama No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP ) telah diujikan dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 17 September 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah ( Pidana Islam ).
Jakarta, September 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H.A.Basiq Djalil, S.H. MA ( …..…… )
NIP. 1950 0306 1976 0310 01
2. Sekretaris : Kamarusdiana,S.Ag,M.Hum ( …….…. )
NIP. 1972 0224 1998 0310 03
3. Pembimbing : Dr. Afifi FAuzi Abbas, MA ( …..…… )
NIP. 1956 0906 1982 0310 04
4. Penguji I : Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM ( …..…… )
NIP. 1955 0505 1982 0310 12
5. Penguji II : Drs. Noryamin Aini, MA (…...…… )
NIP. 1963 0305 1991 0310 02
PENERAPAN UNDANG-UNDANG PKDRT DALAM KASUS GUGAT CERAI DENGAN
ALASAN KDRT
( Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP )
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh :
Rina Septiani
NIM : 105044101425
Pembimbing
Dr. Afifi Fauzi Abbas, MA.
NIP. 150 210 421
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Juni 2009
Rina Septiani
ABSTRAK
Banyaknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan terus meningkat dari tahun ke
tahun membuat LSM khususnya Komnas Perempuan prihatin dan mengusulkan RUU PKDRT
ke DPR. Setelah melalui beberapa tahap, akhirnya undang-undang PKDRT disahkan pada
Tanggal 22 September 2004, namun kekerasan tetap terus meningkat bahkan data di Komnas
Perempuan menyatakan bahwa Pengadilan Agama lebih banyak menangani kasus KDRT
dibandingkan lembaga lainnya. Ironisnya hakim Pengadilan Agama banyak yang belum
mengetahui atau menggunakan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT sebagai
rujukan atau pertimbangan dalam memutuskan perkara perceraian yang mengandung unsur
KDRT. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya wawasan hakim-hakim Pengadilan Agama
padahal Komnas Perempuan sudah mengadakan pelatihan bagi hakim Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan kasus percerain yang mengandung unsur KDRT.
Terlepas dari itu semua tidak semua hakim Pengadilan Agama tidak mengetahui dan
menggunakan undang-undang PKDRT. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah
mengetahui dan menggunakan undang-undang PKDRT walaupun undang-undang tersebut tidak
dijadikan sebagai dasar hukum melainkan hanya sebagai pemberitahuan. Hal tersebut dapat
dilihat pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP dalam perkara
ini ada unsur kekerasan baik fisik maupun psikis yang dilakukan suami dan dalam putusannya
hakim menggunakan undang-undang PKDRT sebatas pemberitahuan atau informasi bukan
sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara tersebut.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………………...vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………… 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………….. 6
D. Review Studi Terdahulu …………………………………………... 7
E. Metode Penelitian ……………………………….…………………. 9
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………... 12
Bab II TINJAUAN UMUM UU No. 23 TAHUN 2004 MENGENAI PKDRT.
A. Sejarah Pembentukan Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 Mengenai PKDRT
………………………………………………………….... 14
B. Dasar dan Tujuan Pembentukan UU PKDRT ……………………. 19
C. Pengertian Kekerasan …………………………………..……….... 19
D. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga …......………… 23
Bab III KASUS GUGAT CERAI DENGAN NO. PERKARA 078 / Pdt.G / 2007 / PAJP.
A. Duduk Perkara ………………………………………………….. 28
B. Temuan Fakta Di Persidangan………………………………….... 39
C. Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim ……………………… 44
D. Putusan Hakim……...…………………………………………… 56
Bab IV ANALISIS KASUS GUGAT CERAI DENGAN NO. PERKARA 078/Pdt.G/2007/PA.JP
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
A. Analisis Duduk Perkara …………………………………………… 58
B. Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara No.
078/Pdt.G/2007/PA.JP…………………. 62
C. Analisis Tentang Putusan Hakim…………………………………... 69
D. Penerapan UU PKDRT dalam Perkara No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat…………………………………... 74
Bab V PENUTUP
A. Kesimpulan...………………………………………………………. 78
B. Saran……………………………………………………………….. 78
DAFTAR PUSTAKA …….……………………………………………...…….. 80
LAMPIRAN …………………………………………………………………..... 83
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Allah menciptakan semua makhluk hidup di muka bumi ini selalu berpasangan-pasangan,
tak terkecuali manusia yang pada dasarnya mempunyai sifat zoon politicon, yaitu selalu mencari
manusia lainnya untuk hidup bersama, oleh karena itu manusia akan selalu berusaha untuk
mewujudkan suatu bentuk jalinan kehidupan bersama dalam masyarakat, keinginan untuk selalu
berkumpul dan berkomunikasi merupakan hukum agama yang tersirat, yang diatur dalam suatu
ikatan perjanjian yang suci dan kokoh untuk membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal,
masyarakat lebih mengenal perjanjian tersebut dengan istilah perkawinan.1
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, perkawinan adalah suatu ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Pada hakikatnya seorang yang
melakukan akad pernikahan saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu
menghargai dan menghormati satu dengan lainnya, sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-
cita yang diinginkan. Adapun tujuan perkawinan tersebut adalah untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.3
1 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Mazhab, ( Jakarta : PT.
Prima Heza Lestari ), h. 4.
2 A. Ghani Abdullah, Himpunan Per-Undang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, ( Jakarta : PT.
Intermasa,1991 ), Cet Ke-1 h. 187.
3 Abdurrahman, KHI di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 2004 ), Edisi Pertama h. 144.
Namun, tidak jarang tujuan yang dicita-citakan sebelum perkawinan tidak tercapai,
karena biasanya setelah perkawinan berlangsung barulah tampak sifat asli dari pasangannya,
suami yang dulunya baik dan penyabar, berubah menjadi pemarah dan ringan tangan, kesalahan-
kesalahan kecil yang dilakukan isteri menjadi alasan bagi suami untuk melampiaskan
kemarahannya.
Persoalan rumah tangga yang muncul dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang
datang dari dalam diri sendiri maupun dari orang lain. Biasanya penganiayaan suami terhadap
isteri dilandasi atas dasar ketergantungan ekonomi si isteri kepada suami sehingga dengan alasan
tersebut suami dapat merendahkan dan melakukan kekerasan terhadap isterinya.4
Saat permasalahan rumah tangga tidak dapat lagi diselesaikan dan saat amarah suami
semakin membutakan mata sehingga kekerasan terus dilakukan terhadap isterinya maka Islam
memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian. Hukum perkawinan di Indonesia telah
memberikan perlindungan bagi isteri atas penganiayaan yang dilakukan suami terhadap isteri.
Penganiayaan atau kekerasan serta kekejaman dapat dijadikan alasan untuk memutuskan tali
perkawinan sehingga ia akan bebas dari penganiayaan yang dialaminya.
Perlindungan tersebut terdapat dalam KHI pasal 116 point (d) dan PP No. 9 tahun 1975
pasal 19.
“Bahwa salah satu alasan perceraian adalah salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain”.
Tapi ternyata KHI dan PP No. 9 tahun 1975 tidak cukup memberikan keberaniaan
terhadap isteri untuk keluar dari belenggu suami yang menganiaya dan melakukan kekerasan
terhadap dirinya.
4 Fathul Djannah, dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, ( Yogyakarta : LKIS ), h. 2.
Fakta-fakta kekerasan dalam rumah tangga (domestik) yang ditemukan oleh beberapa
lembaga yang peduli terhadap perempuan menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar dari pada
jumlah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan lainnya, bahkan dikatakan bahwa
kekerasan terhadap perempuan hampir seusia dengan sejarah panjang peradaban umat manusia.5
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan semakin tahun semakin meningkat, temuan
pertama, angka KTP terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Ketika pertama kali
Komnas Perempuan melakukan kompilasi data KTP pada tahun 2001, tercatat kasus 3.160,
tahun 2002 meningkat menjadi 5.163, tahun 2003 menjadi 7.787, dan tahun 2004 lalu tercatat
13.968 kasus. Dari jumlah 13.968 ini, 4.310 kasus terjadi di dalam rumah, 2.160 kasus terjadi
dalam komunitas, 6.634 kasus terjadi di dalam rumah atau komunitas (data tak
memungkinkan penilaian yang jelas), 562 merupakan kasus trafiking, dan 302 kasus yang
pelakunya aparat negara.6
Semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun menimbulkan
keprihatinan sebagian masyarakat terutama kaum perempuan dan relawan lembaga swadaya
masyarakat, serta lembaga bantuan hukum yang tergerak hatinya untuk melakukan perlindungan
terhadap perempuan dengan mengajukan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga yang pada akhirnya melahirkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004
Tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) pada tanggal 22 September
2004.
Awalnya yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya pasrah menerima
keadaannya. Pada umumnya, kaum perempuan beranggapan kekerasan yang dilakukan suami
5 Jurnal Perempuan, Hukum itu Seksi ? edisi ke- 10 Februari – April 1999, h. 113.
6 Komnas Perempuan,, “ Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 Rumah, Pekarangan, dan Kebun,
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2005”, Komnas Perempuan, (Jakarta), 8 Maret 2005, h.
2.
terhadap dirinya merupakan hal yang lumrah dan biasa, tetapi setelah disahkannya Undang-
undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, isteri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga sudah mulai berani untuk melaporkan suaminya kepada pihak yang berwajib bahkan sang
isteripun berani untuk menggugat cerai suaminya, sebagaimana data yang tercatat pada jurnal
komnas perempuan pada tahun 2006 Pengadilan Agama menangani kasus-kasus KDRT dalam
porsi yang cukup besar, yaitu 8643 kasus.7
Kelahiran Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT seolah memberikan
semangat kepada isteri untuk meminta perlindungan kepada pihak yang berwajib dan membuat
para isteri berani untuk menggugat cerai suaminya terbukti dengan adanya kasus gugat cerai
karena kekerasan dalam rumah tangga yang masuk di Pengadilan Agama, khususnya di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Seperti kasus yang menimpa NMP yang menggugat cerai suaminya karena merasa rumah
tangganya sudah tidak dapat lagi dipertahankan dengan alasan sang suami selalu membuat
masalah kecil menjadi besar dan diakhiri dengan ucapan kasar serta pemukulan ( ringan tangan )
dan sang suami mempunyai tempramen sangat tinggi bahkan setiap hari timbul perselisihan dan
percekcokan terus menerus sehingga membuat psikis isterinya tertekan sampai akhirnya sang
iseri menggugat cerai suaminya.
Kasus di atas merupakan contoh penganiayaan atau kekerasan yang sering kali menimpa
isteri sehingga isteri berani untuk menggugat cerai suaminya, melihat fakta dan kenyataan di atas
penulis selaku mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum berusaha untuk meneliti kasus gugat
cerai dengan alasan KDRT khususnya kekerasan yang menimpa NMP serta apakah hakim
menggunakan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PDKRT dalam menyelesaikan
7 Jurnal Perempuan, Di Rumah, Pengungsian dan Peradilan : KTP dari wilayah ke wilayah, Jakarta : 7
Maret, 2007, h. 32
perkara tersebut. Untuk itu penulis ingin mengangkat ke dalam skripsi yang berjudul
PENERAPAN UNDANG-UNDANG PKDRT DALAM KASUS CERAI GUGAT DENGAN
ALASAN KDRT DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT ( STUDI ANALISIS
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 078/Pdt.G/2007/PAJP).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Seperti telah penulis uraikan dalam latar belakang masalah, agar dalam pembahasan
skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan di samping keterbatasan yang
penulis miliki maka penulis membatasi masalah Penerapan Undang-undang PKDRT dalam
Kasus Gugat Cerai dengan Alasan KDRT studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan
merujuk serta mengkaji putusan gugat cerai No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP, karenanya dalam karya
tulis ini, penulis mengambil judul mengenai Penerapan Undang-undang PKDRT dalam Kasus
Gugat Cerai Dengan Alasan KDRT di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ( Studi Analisis Putusan
No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP )
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka untuk mempermudah penyusunan skripsi
ini, penulis merumuskan masalah yang hendak diteliti sebagai berikut :
a) Apa pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara No.
078/Pdt.G/2007/PA.JP di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ?
b) Bagaimana Putusan Hakim dalam Perkara No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP ?
c) Apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dalam memutuskan Perkara No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP sudah tepat dan sejalan
dengan perundang-undangan yang berlaku dengan menggunakan undang-undang
PKDRT ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan undang-undang PKDRT, berdasarkan sejarah
pembentukannya
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara no.
078/Pdt.G/2007/PA.JP di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
c. Untuk mengetahui putusan hakim dalam perkara no. 078/Pdt.G/2007/PA.JP di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
d. Untuk mengetahui apakah pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara gugat cerai dengan no. perkara
078/Pdt.G/2007/PA.JP di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah tepat dan sejalan dengan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Manfaat teoritis adalah dapat menamah khazanah keilmuan dalam kasus gugat cerai dengan
alasan KDRT, sebagai pengembangan ilmu pengetahuan hukum islam dan positif tentang
kasus gugat cerai dengan alasan KDRT, khususnya dalam penyelesaian kasus gugat cerai
dengan no. perkara 078/Pdt.G/2007/PA.JP, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi
kalangan pelajar, mahasiswa, dan akademisi lainnya.
b. Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa,
akademisi lainnya dan terutama bagi para penegak hukum.
c. Manfaat Kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para
penegak hukum khususnya hakim, dalam menyelesaikan kasus gugat cerai dengan alasan
KDRT.
D. Review Studi Terdahulu.
Setelah penulis telusuri pada perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, penulis
mendapatkan skripsi terdahulu yang hampir mendekati judul penulis. Skripsi pertama ditulis oleh
Farhan Hilaluddin Jurusan Peradilan Agama tahun 2008 mengenai Efektifitas Pelaksanaan
Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT ( Studi di wilayah kotamadya Jakarta
Selatan ). Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan Undang-undang no. 23 tahun 2004
tentang PKDRT oleh aparat penegak hukum di wilayah kotamadya Jakarta Selatan serta putusan
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menyelesaikan Kasus KDRT. Temuan penting
dalam skrispi ini adalah pelaksanaan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT sudah
berjalan efektif, skripsi ini menggunakan jenis penelitian empiris dan normatif melalui
pendekatan kualitatif.
Skripsi kedua ditulis oleh Mimi Maftuha jurusan Peradilan Agama tahun 2006 mengenai
Efektivitas Pelaksanaan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Sebagai Perlindungan Sosial Terhadap Perempuan ( Studi pada Kota
Bekasi Jawa Barat). Skripsi ini membahas tentang penaggulangan kekerasan dalam rumah
tangga oleh Kepolisian Resort Metro Bekasi, serta dijelaskan pula mengenai hakim Pengadilan
Negeri Bekasi yang baru menggunakan Undang-undang PKDRT sebagai rujukan dalam
mengambil keputusan dalam kasus KDRT padahal undang-undang tersebut sudah lama berlaku.
Temuan penting dalam skripsi ini adalah pelaksanaan undang-undang PKDRT belum efektif
secara maksimal, butuh kerjasama dari berbagai kalangan masyarakat baik pemerintah,
agamawan serta insan akademisi khususnya di wilayah Bekasi.
Skripsi ketiga ditulis oleh Halimatus Sa’adah jurusan Administrasi Keperdataan Islam
tahun 2008 mengenai Cerai Gugat Karena Penganiayaan Suami ( Studi Kasus di Pengadilan
Agama Tanggerang ). Skripsi ini membahas mengenai pengertian kekerasan dalam rumah tangga
dan cerai gugat karena penganiayaan suami di Pengadilan Agama Tanggerang, dari tahun 2003-
2007 yang berujung pada cerai gugat. Temuan penting dalam skripsi ini adalah alasan tertinggi
terjadinya penganiayaan dari tahun 2003-2007 yang berujung pada cerai gugat adalah karena
penelantaran ekonomi yang menempati urutan tertinggi sebanyak 26 kasus. Metode yang
digunakan dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum non doktrinal melalui observasi di
lapangan dan studi kepustakaan.
Ketiga skripsi tersebut berbeda dengan skripsi yang akan penulis bahas karena penulis
akan membahas mengenai Penerapan Undang-undang PKDRT dalam Kasus Gugat Cerai
Dengan Alasan KDRT ( Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP )
yang didalamnya akan membahas mengenai apa yang di maksud dengan Undang-undang
PKDRT, apa pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara no.
078/Pdt.G/2007/PA.JP, bagaimana putusan hakim dalam memutuskan perkara tersebut, apakah
pertimbangan hukum hakim dan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam
memutuskan perkara tersebut serta analisis penerapan undang-undang PKDRT dalam perkara
tersebut.
E. Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat normatif dan empiris, penelitian
normatif yaitu dengan mempelajari data berupa buku-buku dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dan penelitian empiris yang diperoleh
dari hasil lapangan.
2. Pendekatan Masalah.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Kualitatif berasal
dari konsep kualitas “mutu” atau bersifat mutu. Pendekatan kualitatif berarti upaya
menemukan kebenaran dalam wilayah-wilayah konsep mutu,8 yaitu dengan melakukan
analisa isi, menganalisis dengan cara menguraikan, dan mendeskripsikan isi dari putusan yang
penulis dapatkan. Kemudian menghubungkannya dengan masalah yang dianjurkan, sehingga
ditemukan kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini.
3. Sumber Data.
a. Data Primer
Didapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat berupa putusan cerai gugat
mengenai cerai gugat dengan alasan KDRT yang didalam putusannya mengandung
penerapan undang-undang PKDRT dengan nomor perkara 078/Pdt.G/2007/PA.JP. Penulis
memilih perkara tersebut karena hanya perkara tersebut merupakan perkara gugat cerai
yang mengandung unsur KDRT dan didalam putusannya hakim menggunakan Undang-
undang no. 23 tahun 2004 tentang PKDRT. Wawancara terhadap hakim, kemudian data
tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang
dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan
atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-
dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku ilmiah, Undang-undang,
8 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ( Jakarta : UIN Jakarta Press,
2006 ), cet. 1, h. 37.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan
masalah yang diajukan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
a. Menganalisis terhadap putusan cerai gugat dengan alasan KDRT yang didalam
putusannya mengandung undang-undang PKDRT pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat
dengan nomor putusan 078/Pdt.G/2007/PA.JP.
b. Interview atau wawancara, adalah suatu percakapan dengan tujuan.9
Interview yang sering disebut juga wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog
yang dilakukan oleh pewawancara ( interviewer ) untuk memudahkan informasi dari
terwawancara ( interviewee ).10
Dalam hal ini penulis mengadakan dialog langsung
dengan satu orang hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang menangani kasus gugat
cerai dengan alasan KDRT.
5. Analisis Data
Analisis data adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik transkip
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan
pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan temuannya kepada
orang lain.11
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa
kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan perkara
cerai gugat dengan alasan KDRT yang di dalam putusannya hakim mengandung undang-
9 Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, ( Malang :
Kalimasahada Press, 1994 ), cet 1, h.63.
10 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996 ), cet. X, h. 144.
11 Imron Arifin,Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, h. 77.
undang PKDRT yaitu putusan dengan nomor 078/Pdt.G/2007/PA.JP dan menghubungkan
dengan hasil interview pihak yang menyelesaikan perkara ini, dalam hal ini yaitu hakim
Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang obyektif, logis,
konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan.
Sistematika penulisan dalam skripsi yang penulis buat akan dibagi menjadi lima bab
yakni :
Bab I Pendahuluan yang memuat tentang latar belakang permasalahan, Pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II Menjelaskan tentang Tinjauan Umum Undang-undang No. 23 tahun 2004 Mengenai
PKDRT yang diantaranya menjelaskan mengenai Sejarah, dasar dan tujuan
Pembentukan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Mengenai PKDRT, Pengertian
Kekerasan, Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Bab III Menguraikan mengenai kasus cerai gugat dengan No. Perkara
078/Pdt.G/2007/PA.JP, yang diantaranya menjelaskan mengenai, duduk perkara,
pertimbangan hukum hakim, putusan hakim.
Bab IV Menjelaskan mengenai analisis kasus cerai gugat dengan No. Perkara
078/Pdt.G/2007/PA.JP di Pengadilan Agama Jakarta Pusat baik mengenai duduk
perkara, pertimbangan hukum hakim, putusan hakim serta penerapan Undang-
undang PKDRT dalam perkara No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP.
Bab V Bab terakhir yang memuat kesimpulan yang diperoleh dari teori kemudian dianalisa
dan diinterpretasikan pada bab ke empat, kesimpulan menggambarkan secara umum
tentang permasalahan yang dibahas, dalam bab ini juga mencakup saran-saran dari
peneliti atas permasalahan yang di teliti sehingga upaya mencapai tujuan dari
penelitian yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG No. 23 TAHUN 2004 MENGENAI PKDRT
A. Sejarah, Dasar dan Tujuan Pembentukan Undang-undang No. 23 Tahun 2004
Mengenai PKDRT.
Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah bagi kalangan
feminis di Indonesia. Setidaknya, satu dari sekian banyak agenda perjuangan mereka yang terkait
dengan isu perempuan, yakni upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat untuk
mengesahkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga atau dikenal dengan undang-undang PKDRT.
Kelahiran Undang-undang No. 23 Tahun 2004 ini dipelopori oleh sejumlah LSM / Ormas
Perempuan yang tergabung dalam Jangkar ( 1998-1999). LSM ini terdiri dari LBH APIK Jakarta
(Sebagai penggagas dan pembuat draft awal sejak tahun 1997), Rifka An-Nisa, Kalyanamitra,
Mitra Perempuan, Fatayat dan Muslimat NU, Gembala Baik, Savy Amira, SPeAK, LBH-Jakarta
dan Derapwarapsari. Selanjutnya ketika melebur menjadi jangka PKTP ( Jaringan Advokasi
Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan ) (2000-2004), anggota jaringan
semakin bertambah menjadi 92 LSM/Ormas Perempuan, lembaga-lembaga Profesional seperti
lembaga advokat juga turut terlibat dalam mengadvokasikan undang-undang PKDRT ini.12
Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Dan pada
12 Ratna Batara Munti, M.Si, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
“Sebuah Bentuk Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”. (LBH-APIK Jakarta ), 2005,
Edisi Ke-2, h. 3.
tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan Bersama ( SKB ) antara Menteri
Pemberdayaan Perempuan RI, Menteri Kesehatan RI dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan bersama dalam bentuk pengobatan dan perawatan
fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.13
Di tingkat daerah, Gubernur Provinsi Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan ( SK )
No. 751 tahun 2003 tentang pembentukan tim penanganan terpadu bagi perempuan dan anak
korban kekerasan. SK tersebut ditandatangani pada tanggal 10 Desember 2003. Ini pada intinya
membentuk tim penanganan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang
mempunyai cakupan kerja di bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta pendidikan
dan advokasi. Tim ini beranggotakan wakil-wakil dari lingkungan pemerintah, LSM dan
Lembaga Professional lainnya.
Di tingkat regional, Menteri Luar Negeri Negara-negara ASEAN menandatangani
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2004.
Deklarasi ini berisi dorongan kerjasama regional dalam mengumpulkan dan mendeseminasikan
data untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. Promosi pendekatan holistik dan
terintegrasi dalam mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, dorongan untuk melakukan
pengarusutamaan gender, dan membuat serta mengubah undang-undang domestik untuk
mencegah kekerasan terhadap perempuan.14
Adapun yang menjadi gagasan dan latar belakang pentingnya pembentukan sebuah
undang-undang PKDRT didasarkan atas pengalaman para perempuan korban kekerasan yang
13 Komnas Perempuan,, “ Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 Rumah, Pekarangan, dan Kebun,
Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2005”, Komnas Perempuan, (Jakarta), 8 Maret 2005, h.
17.
14 Ibid, h. 17.
terjadi di ranah domestik, rumah tangga ataupun keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga
semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan dari hari kehari, baik kekerasan dalam
bentuk fisik, psikologis, maupun kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk
kekerasan tersebut sudah menjurus dalam bentuk tindak pidana penganiayaan dan ancaman
kepada korban, yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, rasa ketakutan atau penderitaan psikis
berat bahkan kegilaan pada seseorang.
Berdasarkan catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan yang disampaikan
oleh Komnas Perempuan, tercatat angka kekerasan terhadap perempuan mulai dari tahun 2001
hingga 2004 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2001 tercatat 3.160 kasus
dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 5.163 kasus, tahun 2003 meningkat menjadi 7.787
kasus, dan tahun 2004 mengalami peningkatan hampir seratus persen menjadi 13.968 kasus, dari
jumlah 13.968 kasus ini, 4.310 kasus terjadi di dalam rumah tangga.15
Tahun 2002, RUU diajukan ke komisi VII DPR RI dan diseminarkan di DPR.
Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR lalu memutuskan membahas
RUU KDRT ke dalam bamus DPR. Puncaknya pada tanggal 13 Mei 2003, melalui sidang
paripurna di DPR, RUU Anti KDRT yang diusulkan kelompok perempuan secara resmi menjadi
RUU Inisiatif DPR.16
Meskipun bermula dari desakan aktivis perempuan, selanjutnya menjadi penting untuk
dipahmi oleh berbagai kalangan di negeri ini bahwa legislasi RUU Anti KDRT merupakan
keharusan bagi Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi
Internasional tentang perempuan, terutama setelah disetujuinya konvensi tentang Penghapusan
15 Ibid, h. 2.
16 Ratna Batara Munti, Suara Apik, h.5.
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tahun 1979, yang diratifikasi oleh Undang-
undang No. 7 Tahun 1984 dan bukan karena desakan aktivis perempuan.
Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini Indonesia harus melakukan :
1. Pembentuk hukum dan atau harmonisasi hukum sesuai kaidah hukum yang terdapat dalam
konvensi tersebut. Kewajiban ini dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang –
undangan atau membuat peraturan perundangan baru berdasarkan konvensi yang telah
diratifikasi.
2. Penegakan hukum mengenai hak- hak perempuan melalui pengadilan nasional dan lembaga
pemerintah lainnya.
Pembahasan RUU anti KDRT di DPR ( Pansus Komisi VII ) yang mulai pada tanggal 22
Agustus 2004 berlangsung cepat ( tidak sampai 1 bulan), namun cukup alot. Khususnya karena
penolakan beberapa anggota dewan terhadap terobosan hukum yang menjadi dasar munculnya
RUU, seperti ruang lingkup, bentuk/ jenis KDRT yang mencakup marital rape ( perkosaan dalam
perkawinan), hukum acara tentang pembuktian dan peran – peran aparat. Pemerintah juga
mempunyai versi tandingan mengenai draft RUU KDRT, namun draft tersebut dianggap
mengecewakan, bisa dikatakan hampir memangkas semua hal- hal krusial yang menjadi ruh dari
RUU tersebut. Alsannya karena semua usulan baru dalam RUU pada dasarnya sudah diatur
dalam KUHP/ KUHAP. Beberapa catatan dari RUU versi pemerintah, yang tidak responsive
antara lain :
1. Judul dan keseluruhan pengaturan undang-undang, terbatas hanya mengatur soal perlindungan
terhadap korban. Judul RUU sandingan pemerintah adalah RUU perlindungan korban KDRT.
2. Tidak mengakui dua bentuk kekerasan : kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual yang
terjadi dalam lingkup perkawinan ( diskualifikasi terhadap marital rape dan inses ).
3. Mengembalikan hampir semua terobosan hukum acara pada KUHAP, seperti “ satu saksi
adalah saksi “.
4. Tidak menerima ketentuan tentang kompensasi dan saksi alternative.17
Meskipun demikian, upaya loby ke pemerintah untuk memperbaiki draftnya terus
dilakukan secara intensif melalui forum pertemuan (Posko Informasi ) yang diselenggarakan di
rumah Menteri Pemberdayaan Perempuan. Pada akhirnya berjalan efektif dalam menjembatani
perbedaan pendapat antara kelompok perempuan dan pemerintah.
Setelah melalui sidang pleno, RUU KDRT tersebut dilanjutkan ke sidang paripurna
melalui pendapat dari berbagai fraksi dalam rangka memutuskan apakah DPR menolak atau
mengesahkan RUU KDRT menjadi Undang-undang.
B. Dasar dan Tujuan dari disahkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT
1. Dasar dari Undang-undang
PKDRT adalah :
a. Penghormatan Terhadap HAM.
b. Keadilan dan kesetaraan gender.
c. Non Diskriminasi, dan
d. Perlindungan Korban.
2. Sedangkan tujuan UU PKDRT
ialah :
a. Mencegah segala bentuk KDRT.
17 Ibid, h.5.
b. Melindungi Korban KDRT.
c. Menindak Pelaku KDRT.
d. Memelihara keutuhan rumah
tangga yang harmonis dan sejahtera.18
C. Pengertian Kekerasan.
Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan dari violence, yang dalam bahasa latin
disebut violentia. Violence erat berkaitan dengan gabungan kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan
“latus” yang berasal dari ferre ( membawa ) yang kemudian berarti membawa kekuatan.19
R. audi seperti dikutip Galtung merumuskan “violence” sebagai serangan atau
penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, penghancuran, perusakan
yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat
menjadi milik seseorang.20
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan adalah perihal atau yang bersifat,
berciri keras, paksaan, atau dapat diartikan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain.21
18 Nursyahid, Lima Undang-undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia & Pengadilan Anak, (
Jakarta : BP. Panca Usaha, 2007), h. 34.
19 Johan Galtung, Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius),
1992, cet .1, h. 62.
20 Ibid, h. 63.
21 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta : Balai Pustaka), 2005, Edisi Ketiga, h.
550.
Menurut Kamus Bahasa Arab, kekerasan diambil dari akar kata ���– ���� – ا��� yang
berarti keras, bertindak, bengis dan kejam.22
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman
atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar / trauma atau perampasan hak.23
Adapun pengertian kekerasan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah kekerasan yang
terjadi dalam lingkup rumah tangga atau lebih dikenal dengan sebutan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Kekerasan ini sering kali tidak terungkap karena berada di wilayah ranah
domestik yang tidak boleh dicampuri oleh lingkaran luar. Namun, kekerasan ini sering terjadi di
lingkungan keluarga yang biasanya perempuan dan anak-anak adalah korbannya. Dalam
penulisan skripsi ini penulis memfokuskan kekerasan yang biasa dialami oleh kaum perempuan
(isteri). Oleh karena itu perlu kiranya penulis mendefinisikan tentang kekerasan terhadap
perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan baik di luar maupun di dalam rumah tangga telah
berlangsung sejak manusia menyalah artikan tujuan penciptaan ke dua jenis kelamin manusia itu
sendiri. Ketika manusia harus menggunakan otot untuk mempertahankan kehidupannya, maka
mulailah terbentuk citra kekuasaan, penguasa dan dikuasai, dipelihara sampai kepada masyarakat
modern, hanya dikemas dalam bungkus yang lebih bervariasi. Kekuasaan otot menjadi alat dari
berbagai kekuasaan lain yaitu uang, status sosial dan jabatan yang dikemas dengan norma-norma
dan nilai-nilai budaya bentukan manusia itu sendiri. Demikian intens pewarisan nilai-nilai dan
22 Ahmad Warson Munawwir, al – Munawir Kamus Arab – Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif,
1997 ), Cet XIV, h. 1119.
23 Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Pemetaan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
melalui kerangka alur kerja analisis gender dan anak sebagai data pembuka : laporan penelitian, Pemprop DKI
Jakarta dengan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, ( Jakarta : 2004), h. 21.
norma-norma tersebut sehingga bahkan perempuanpun tidak menyadari bahwa dirinya telah
selalu menjadi barang milik laki-laki.
Terdapat beberapa pengertian tentang kekerasan terhadap perempuan, antara lain
sebagaimana disampaikan oleh Sita Aripurnami yaitu pada dasarnya kekerasan terhadap
perempuan adalah segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh pihak pelaku kekerasan yang
memunculkan perasaan tidak nyaman dan bahkan rasa takut.24
Dalam deklarasi PBB mengenai hak-hak perempuan, secara eksplisit ditegaskan
kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut :
Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat, atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. ( pasal 1
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 1992).25
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan perempuan, mendefinisikan kekerasan terhadap
perempuan yaitu :
“Setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan, dan
mengabaikan hak asasi perempuan atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan (
dapat mengakibatkan) kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya, baik
secara fisik, psikis, maupun seksual. Termasuk didalamnya ancaman, paksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu,
berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara”.26
Sedangkan definisi kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-
undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu :
24 Sita Aripurnami, Kekerasan Terhadap Aspek-Aspek sosial Budaya dan pasal 5 Konvensi Perempuan
dalam buku Pemahaman Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahnnya, penyunting Achie
Sudiarti Luhulima, ( Bandung : PT. Alumni 2000 ), h. 116.
25 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, ed. Ismail Hasani, Referensi bagi Hakim
Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam rumah tangga, ( Komnas Perempuan : 2008), h. 20.
26 Kantor Meneg PP, 2000, Pengetahuan Praktis Tentang Perlindungan Terhadap Perempuan Korban
Kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
D. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu kekerasan fisik dan
kekerasan psikis. Kekerasan fisik merupakan kekerasan nyata yang dapat dilihat dan dapat
dirasakan oleh tubuh yang biasanya berupa penghilangan kemampuan normal tubuh bahkan bisa
sampai penghilangan nyawa seseorang. Sedangkan kekerasan psikis berupa kekerasan terhadap
jiwa atau rohani yang berakibat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.
Zaitunah subhan dalam bukunya yang berjudul Kekerasan Terhadap Perempuan,
membagi bentuk-bentuk kekerasan dalam dua kategori, yaitu kekerasan yang bersifat fisik dan
non fisik. Kekerasan fisik antara lain berupa pelecehan seksual seperti perabaan, colekan yang
tidak diinginkan, pemukulan, penganiayaan, serta pemerkosaan. Termasuk dalam kategori ini
adalah terror dan intimidasi, kawin paksa (kawin di bawah umur ), kawin dibawah tangan,
pelacuran paksa, stigma negative, eksploitasi tenaga kerja dan pemaksaan penggunaan alat
kontrasepsi.
Sedangkan kekerasan nonfisik antara lain berupa pelecehan seksual, seperti sapaan,
siulan, colekan, atau bentuk perhatian yang tidak diinginkan, direndahkan, dianggap selalu tidak
mampu, dan (istri yang) ditinggal suami tanpa kabar berita.27
Didalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, kekerasan dibagi dalam empat bentuk, yaitu : kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.
27 Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Yogyakarta : Pusaka Pesantren, 2004 ), h. 40.
1. Kekerasan Fisik.
“Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat” (Pasal 6).
Sesungguhnya kekerasan yang dialami seorang isteri memiliki dimensi yang tidak
tunggal. Seseorang yang menjadi korban kekerasan fisik, biasanya ia telah mengalami
kekerasan psikis sebelum dan sesudahnya. Tidak sedikit juga yang mengalami kekerasan dan
penelantaran ekonomi.28
Kekerasan fisik bisa muncul dalam berbagai bentuk dan rupa.
Berdasarkan pasal 6 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT sebagaimana
tersebut di atas, kekerasan fisik dapat dibagi menjadi dua kategori,29
yaitu :
a. Kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
membenturkan kebenda yang lain, bahkan sampai melakukan percobaan pembunuhan atau
melakukan pembunuhan dan semua perbuatan yang dapat mengakibatkan sakit yang
menimbulkan ketidakmampuan menjalankan kegiatan sehari-hari, pingsan, luka berat pada
tubuh korban, luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan kematian, kehilangan
salah satu panca indera, luka yang mengakibatkan cacat, dan kematian korban.
b. Kekerasan fisik ringan seperti menampar, menarik rambut, mendorong, dan perbuatan lain
yang mengakibatkan cidera ringan dan rasa sakit serta luka fisik yang tidak termasuk dalam
kategori berat
2. Kekerasan Psikis.
28 Faqihuddin, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama, h. 32.
29 DKI Jakarta, Pemetaan Permasalahan Kekerasan dalam rumah tangga, ( KDRT : Laporan Penelitian),
h. 30.
Kekerasan psikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang mengarah pada serangan
terhadap mental/psikis seseorang, bisa berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan
nada yang tinggi, penghinaan dan ancaman.30
Sedangkan di dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dijelaskan
bahwa
“Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan psikis berat pada seseorang”. (Pasal 7).
3. Kekerasan seksual
Di dalam pasal 8 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dijelaskan bahwa
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi, pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut, dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan / atau tujuan tertentu.
Kata pemaksaan hubungan seksual disini lebih diuraikan untuk menghindari penafsiran
bahwa pemaksaan hubungan seksual hanya dalam bentuk pemaksaan fisik semata ( harus
adanya unsur penolakan secara verbal atau tindakan ), tetapi pemaksaan juga dapat terjadi
dalam tataran psikis (dibawah tekanan sehingga tidak bisa melakukan penolakan dalam
bentuk apapun ).
4. Kekerasan Ekonomi.
Pasal 9 menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga atau
dapat diartikan sebagai kekerasan ekonomi terhadap rumah tangga, yaitu :
30 Faqihuddin, Referensi Bagi Hakim Pengadilan Agama, h. 32.
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, dia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang
untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah
kendali orang tersebut.
Dalam buku kekerasan terhadap isteri, bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga meliputi :
a. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang membatasi isteri untuk bekerja
didalam atau diluar rumah yang menghasilkan uang atau barang dan atau membiarkan
isteri bekerja untuk dieksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga, dalam arti
tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
b. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cidera, luka
atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian.
c. Kekerasan psikologis atau psikis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang
mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
dan rasa tidak berdaya serta rasa ketakutan pada isteri.
d. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual,
memaksa isteri baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual dan/atau
melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan dan di saat isteri tidak menghendaki,
melakukan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai isteri, maupun
menjauhkan atau tidak memenuhi kebutuhan seksual isteri.31
31 Fathul Djannah, et.al, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta : LKIS,2003), h. 14-15
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kekerasan terhadap
perempuan dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non fisik,
sedangkan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan menjadi empat,
yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis ( psikologis ), kekerasan seksual, dan penelantaran rumah
tangga (kekerasan ekonomi ).
BAB III
KASUS CERAI GUGAT DENGAN NO. PERKARA 078/Pdt.G/2007/PA.JP.
A. Duduk Perkara.
Berdasarkan keterangan para pihak dan saksi, dalam putusan no 078/Pdt.G/2007/PA.JP.
disebutkan bahwa Pengugat adalah NMP, umur 26 tahun, agama Islam, Pekerjaan P.N.S,
bertempat tinggal di Jalan KH.Mas Mansyur 25.A Blok 44-2-1 Rt.006 Rw.011, Kelurahan
Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat, dengan Tergugat DNA, umur 26
tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, bertempat tinggal di Jalan Rumah Susun Karet
Pasar Baru Barat (Karet Tengsin) Blok A305 Rt …… Rw ….., Kelurahan Karet Tengsin,
Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.32
Penggugat telah mengajukan gugatannya pada tanggal 12 Januari 2007 yang didaftarkan
di Kepaniteraan Pengadilan Agama di Jakarta Pusat dengan register nomor :
078/Pdt.G/2007/PA.JP yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut.
Pada tanggal 08 Januari 2004, NMP dan DNA melangsungkan perkawinan. Setelah
pernikahan tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal di rumah kediaman bersama
di rumah orang tua Penggugat di alamat Penggugat tersebut di atas. Selama pernikahan tersebut
Penggugat dengan Tergugat telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dan dikaruniai
1 orang anak bernama MMK, lahir tanggal 28 September 2004.
Adapun duduk perkaranya dijelaskan dalam putusan halaman 2 bahwa Kurang lebih
sejak bulan Januari tahun 2004 ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai
goyah, disebabkan karena:
32 Putusan Pengadilan Agama ( PA ) Jakarta Pusat tentang gugat cerai No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP, h. 1
a. Suaminya di dalam rumah tangga kalau ada masalah kecil selalu menjadi besar dan diakhiri
dengan ucapan kasar serta pemukulan ( ringan tangan ) dan tergugat bertempramen sangat
tinggi, bahkan setiap hari timbul perselisihan dan percekcokan terus menerus membuat
pshikis Penggugat tertekan.
b. Suami cemburu terhadap isteri padahal yang dicemburuinya hanya sebatas teman, akan tetapi
suaminya selalu tidak percaya bahkan suka mengeluarkan kata-kata yang tidak seronoh
seperti selingkuh/berzinah.
c. Sejak menikah sang suami kurang memperhatikan masalah kebutuhan dalam rumah tangga
seperti masalah keuangan yang diberikan hanya semaunya dan tidak pernah mencukupi
untuk keperluan sebulan.
d. Sang suami setelah menikah 2 hari pernah mengucapkan kata-kata cerai 3 kali dan juga
pernah mengembalikan Penggugat kepada orang tua dengan tujuan untuk menceraikan.
Selain hal tersebut diatas NMP dan DNA telah berpisah rumah sejak tanggal 9 Februari
2007 dimana DNA telah pergi ke rumah keluarganya dengan membawa anak serta pembantu
tanpa kompromi dan sejak awal Februari 2007 tidak memberikan nafkah batin sedangkan nafkah
lahir sudah tidak diberikan sejak bulan Januari 2007. Selama DNA pergi bekerja keluar negeri,
DNA hanya memberikan nafkah lahir sebanyak Rp. 750.000,- perbulan untuk keperluan
anaknya.
Sehubungan dengan hal itu, pada tanggal 12 Januari 2007 NMP mengajukan gugat cerai
terhadap DNA ke Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Penggugat dalam surat gugatan
mengajukan tuntutan ( petitum ) primair dan subsidar. Dalam tuntutan primair, dimohonkan agar
hakim mengambil keputusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menceraikan Penggugat dari Tergugat;
3. Menyatakan dan menetapkan anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat yang
bernama MMK, lahir tanggal 28 September 2004 berada dalam asuhan dan
pemeliharaan Penggugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut di atas sebesar Rp.
5.000.000,-(lima juta rupiah) setiap bulannya kepada Penggugat;
5. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;
Kemudian apabila majelis hakim berpendapat lain, Penggugat dalam tuntutan subsidair
memohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono).
Atas gugatan tersebut, Tergugat mengajukan jawabannya secara tertulis sebagai berikut :
I. DALAM EKSEPSI
1. Bahwa Penggugat didalam mengajukan gugatan aquo terhadap Tergugat adalah
terlalu Premature, karena Penggugat adalah seorang Pegawai Negeri pada
Departemen Agama, sehingga apabila seorang Pegawai Negeri akan mengajukan
gugatan perceraian, maka harus terlebih dahulu mendapatkan ijin persetujuan dari
atasan Penggugat (Vide Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan & Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil & Peraturan Pemerintah No. 45
tahun 1990 tentang Izin Perkawinan & Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil );
2. Bahwa karena didalam gugatan aquo, Penggugat belum memperoleh Ijin dari atasan
Penggugat, maka sudah selayaknya Ketua Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara aquo berkenan untuk menyatakan gugatan yang diajukan oleh
Penggugat, tidak dapat diterima;
II. DALAM POKOK PERKARA.
1. Bahwa apa yang telah disampaikan oleh Tergugat didalam Eksepsi, maka mohon
juga dianggap telah termasuk didalam pokok perkara ini;
2. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat,
kecuali mengenai hal-hal yang secara tegas telah diakui kebenarannya oleh
Tergugat;
3. Bahwa memang benar pada tanggal 8 Januari 2004, telah dilangsungkan pernikahan
antara Penggugat dengan Tergugat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah
Abang Jakarta Pusat berdasarkan Akta Nikah No. 26/2/I/2004 tanggal 8 Januari
2004;
4. Bahwa benar dari hasil perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat telah
dikaruniai 1 ( satu ) orang anak laki-laki yaitu bernama MMK yang lahir pada
tanggal 28 September 2004;
5. Bahwa dalil Penggugat dalam point 2 yang menyatakan selama pernikahan
Penggugat dan Tergugat tersebut telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami
isteri namun pada point 3 (d) didalam dalil Penggugat menyatakan setelah 2 hari
menikah Tergugat pernah mengucapkan kata-kata cerai 3 kali, dan dalil penggugat
yang demikian adalah sangat kontradiktif, oleh karenanya tergugat mensomier
Penggugat untuk membuktikan dalilnya tersebut;
6. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil Penggugat dalam point 3 (a) yang
menyebutkan bahwa Tergugat didalam rumah tangga kalau ada masalah kecil selalu
menjadi masalah besar dan diakhiri dengan ucapan kasar serta pemukulan dan
Tergugat bertempramen sangat tinggi, serta setiap hari timbul perselisihan dan
percekcokan yang terus menerus merupakan suatu dalil Penggugat tidak berdasarkan
hukum untuk dipertimbangkan berdasarkan alasan hukum sebagai berikut :
6.1. Pada tahun pertama pernikahan justru tidak terlihat adanya pertengkaran di
antara Tergugat dan Penggugat, bahkan pada waktu itu telah disepakati oleh
Tergugat dengan Penggugat untuk merealisasikan pembelian rumah tinggal
yang pada nantinya akan ditempati oleh Tergugat dan Penggugat, maka untuk
mencapai maksud tersebut, maka Tergugat dengan persetujuan Penggugat
meninggalkan isteri untuk mencari pekerjaan di luar negeri dengan harapan
akan mendapatkan uang yang lebih besar;
6.2. Pada tahun kedua perkawinan saat Tergugat cuti yang pertama dari
pekerjaannya di luar negeri pada Januari 2005, itupun tidak terjadi percekcokan
seperti yang didalilkan oleh Penggugat bahkan mereka hidup secara harmonis
selama Tergugat menjalankan cuti dari pekerjaannya tersebut;
6.3. Pertengkaran yang besar terjadi antara Tergugat dan Penggugat ketika Tergugat
cuti liburan pada tanggal 11 Januari 2007, dimana Tergugat mendapatkan
informasi kalau Penggugat di duga telah berselingkuh dengan pria lainnya, serta
Penggugat sering pulang larut malam selama Tergugat berada di luar negeri
sehingga anak mereka, yang bernama MMK ditelantarkan oleh Penggugat. Oleh
karena itu, Tergugat pergi meninggalkan rumah, serta membawa MMK pada
tanggal 13 Februari 2007;
7. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil Penggugat dalam point 3 (b) yang
menyatakan Tergugat sangat cemburuan, dalil Penggugat tersebut adalah merupakan
dalil yang tidak berdasarkan hukum untuk dipertimbangkan, kalaupun Tergugat
cemburu terhadap Penggugat itu merupakan suatu hal yang sangat manusiawi dan itu
hal yang sangat wajar-wajar saja, itu menunjukkan suatu sikap dari Tergugat yang
mencintai dan menyayangi Penggugat;
8. Bahwa dalil Tergugat pada poin 3 ( c ) yang menyebutkan bahwa Tergugat sejak
menikah kurang memperhatikan masalah kebutuhan rumah tangga seperti masalah
keuangan yang diberikan hanya semaunya dan tidak pernah mencukupi untuk
keperluan sebulan adalah merupakan dalil yang mengada-ada dan tidak berdasarkan
hukum untuk dipertimbangkan karena Tergugat selalu mengirimkan uang pada
setiap bulannya, mengenai tidak mencukupi uang yang diberikan Tergugat kepada
Penggugat, itu berarti menunjukkan Penggugat tidak bisa mengelola keuangan
rumah tangga secara baik;
9. Bahwa dalil Tergugat pada point 3 ( e ) merupakan dalil yang tidak berdasarkan
hukum untuk dipertimbangkan yang menyebutkan Tergugat tidak memberikan
nafkah batin dan lahir, karena pada tanggal 11 Januari 2007 dimana saat Tergugat
kembali ke Indonesia untuk cuti liburan Tergugat menyerahkan sejumlah uang dan
membelikan sebuah handphone serta sejumlah perhiasan, dan bahkan Tergugat
masih memberikan nafkah bathin;
10. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil yang disampaikan Penggugat di point 3
( f ) menyebutkan bahwa Tergugat hanya memberikan uang sebanyak Rp. 750.000,-
( tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ) perbulannya adalah merupakan dalil yang tidak
benar dan mengada-ada, karena Tergugat pada setiap bulannya mengirimkan uang
kepada Penggugat lebih dari Rp. 750.000 ( tujuh ratus lima puluh ribu rupiah );
11. Bahwa Tergugat tidak sependapat dan menolak dengan tegas, dalil penggugat point
4, yang menyebutkan anak yang dilahirkan dari perkawinan antara Tergugat dengan
Penggugat yang bernama MMK yang lahir pada tanggal 28 September 2004, untuk
berada dibawah perwalian Penggugat, adalah merupakan permohonan yang tidak
berdasarkan hukum untuk dipertimbangkan. Karena Penggugat sebagai ibu dari anak
yang bernama MMK tidak pernah bertanggung jawab karena berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap bahwa Penggugat sering pulang hingga larut malam hingga
pengasuhan MMK hanya diserahkan kepada pembantu saja, serta Penggugat sering
pulang hingga larut malam dikarenakan Penggugat sering pergi dengan
selingkuhannya;
Dan berdasarkan hal-hal yang telah Tergugat uraikan, maka Tergugat memohon
kehadapan Yth. Bapak Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk tidak
mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Penggugat untuk diberikan hak perwalian atas
anak yang bernama MMK namun menyatakan perwalian atas anak yang bernama MMK berada
di bawah perwalian Tergugat sebagai ayahnya;
III. DALAM REKONPENSI
1. Bahwa apa yang telah diuraikan oleh Tergugat, didalam pokok perkara, maka
mohon juga dianggap telah termasuk didalam gugatan Rekonpensi ini;
2. Bahwa memang benar pada tanggal 8 Januari 2004, telah dilangsungkan
pernikahan antara Penggugat dengan Tergugat di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat berdasarkan Akta Nikah No. 26/26/I/2004
tanggal 8 Januari 2004;
3. Bahwa benar dari hasil perkawinan antara Penggugat dan telah dikaruniai 1 (satu)
orang anak laki-laki yaitu bernama MMK yang lahir pada tanggal 28 September
2004;
4. Bahwa karena sejak Penggugat telah bekerja di Departemen Agama maka sebagai
seorang ibu yang seharusnya memberikan waktunya bagi anaknya dalam
mendidik dan membesarkan anak dari hasil perkawinan antara, Penggugat dengan
Tergugat yang bernama MMK, Tergugat Rekonpensi tidak memiliki waktu lagi
dan sering pulang hingga larut malam dari tempat bekerjanya, ditambah lagi
Tergugat Rekonpensi telah melakukan selingkuh dengan pria lainnya;
5. Bahwa tindakan Tergugat Rekonpensi yang sering pulang larut malam itu dan
berselingkuh dengan pria lainnya yang berakibat tidak diperolehnya perhatian
sang anak dari hasil perkawinan Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi
oleh Tergugat Rekonpensi adalah merupakan bukti bahwa Tergugat Rekonpensi
tidak mempunyai tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membesarkan
anak yang bernama MMK yang masih berusia kurang dari 3 tahun;
6. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka adalah patut dan wajar
apabila Ketua Majelis Hakim untuk menyatakan anak yang bernama MMK yang
lahir di Jakarta pada tanggal 28 September 2008, berada di bawah perwalian
Penggugat Rekonpensi;
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan Tergugat didalam pokok perkara dan didalam
gugatan rekonpensi ini, maka dengan ini mohon kehadapan Yth. Bapak Ketua Majelis Hakim
yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini berkenan memutuskan sebagai berikut ;
I. DALAM EKSEPSI
Mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh Tergugat Konpensi untuk seluruhnya;
II. DALAM POKOK PERKARA
1. Menolak gugatan Penggugat Konpensi, sepanjang menyangkut pengasuhan
perawatan dan perwalian anak laki-laki yang bernama MMK yang lahir di
Jakarta 28 September 2004, untuk berada dibawah asuhan perawatan dan
perwalian Penggugat Konpensi.
2. Menghukum Penggugat Konpensi untuk membayar biaya perkara yang
timbul;
III. DALAM REKONPENSI
1. Mengabulkan gugatan Rekonpensi yang diajukan oleh Penggugat Rekonpensi
Tergugat Konpensi untuk seluruhnya;
2. Menetapkan anak laki-laki yang bernama MMK, yang lahir di Jakarta pada
tanggal 28 September 2004 dari hasil perkawinan antara Penggugat
Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi berada di bawah asuhan, perawatan,
dan perwalian Penggugat;
3. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara;
Apabila Pengadilan Agama Jakarta Pusat berpendapat lain mohon putusan yang seadil-
adilnya Ex Aequo Et Bono;
Berdasarkan uraian di atas maka penulis berkesimpulan bahwa pihak-pihak berperkara
adalah NMP selaku Penggugat, umur 26 tahun, agama Islam, Pekerjaan P.N.S, bertempat tinggal
di Jalan KH.Mas Mansyur 25.A Blok 44-2-1 Rt.006 Rw.011, Kelurahan Kebon Kacang,
Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat, dengan Tergugat DNA, umur 26 tahun, agama
Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, bertempat tinggal di Jalan Rumah Susun Karet Pasar Baru
Barat (Karet Tengsin) Blok A305 Rt …… Rw ….., Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah
Abang, Jakarta Pusat. Dalam duduk perkaranya Penggugat menggugat cerai Tergugat,
menginginkan hak pengasuhan anak jatuh ke tangan Penggugat dan Nafkah Anak sebesar Rp.
5.000.000,- ( lima juta rupiah ) setiap bulannya.
B. Temuan Fakta dipersidangan.
Di persidangan Penggugat mengajukan 16 bukti foto copy surat bermaterai dan didukung
oleh dua orang saksi. Ada 16 macam alat bukti foto copy surat bermaterai yang diajukan oleh
Penggugat, yaitu :
1. Buku kutipan Akta Nikah Nomor 26/26/I/2004 tanggal 8 Januari 2004 yang dikeluarkan
oleh Kantor Urusan Agama Kec. Tanah Abang Jakarta Pusat. (P-1);
2. Akta Kelahiran No.AL.500.0128730 tanggal 11 Februari 2005 atas nama Muhammad
Maulana Khoir. (P-2);
3. Surat Tugas No.Dj.II/Ser Dj II/2/Kp.07.5/476/06 tertanggal 8 Juni 2006; (P-3);
4. Surat Tugas Menjalankan Lembur tertanggal 20 September 2006; (P-4);
5. Surat Penggugat kepada Tergugat tertanggal 7 Maret 2005. (P-5);
6. Participation Certificate Female Teachers National Workshop on Letarcy Methods
Adequate for Girls and Women tanggal 24 s/d 29 Juli 2006; (P-6).
7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam o.Dj.II/Set.DjII/4/400/2006
(Perjalanan Dinas Luar Kota) (P-7);
8. Surat Perjalanan Dinas Luar Kota tertanggal 8 September 2006 di Yogyakarta tanggal 14
s/d 16 September 2006;(P-8);
9. Surat Perjalanan Dinas Luar Kota tertanggal 01 November 2006 tujuan Semarang tanggal
07 s/d 09 November 2006 (P-9);
10. Surat Tugas menjalankan lembur tertanggal 13 Desember 2006 dikuatkan dengan Surat
Keputusan Direktur jenderal pendidikan Islam No.Dj.II/set.DJ.II/314B/2006 tanggal 28
Agustus 2006;(P-10);
11. Surat Tugas Menjalankan Lembur tertanggal 1 Desember 2006 dikuatkan dengan surat
Keputusan Direktur jenderal Pendidikan Islam No.Dj.II/set.Dj.II/314B/2006 tanggal 28
Agustus 2006;(P-11);
12. Surat Perjalanan Dinas Luar Kota tertanggal 15 Januari 2007 Tujuan Puncak, Bogor.
Tanggal 18 s/d 22 Januari 2007; (P-12);
13. Pengiriman uang Tergugat kepada Penggugat (P-13);
14. Surat Pernyataan Tergugat kepada Penggugat untuk mengembalikan MMK kepada
Penggugat yang dikuatkan pernyataan para saksi-saksi atas nama Abdul Haris Mugni dan
Suparno; (P-14);
15. Surat Rekomendasi BFLN untuk TKI Cuti yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga
Kerja dan Tansmigrasi RI Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI Balai Pelayanan Penempatan Tenaga kerja Indonesia tertanggal 21 Februari 2006; (P-
16);
16. Asli Surat izin atasan Nomor : DJ.I/HK.03.4/340/2007 tanggal 9 April 2007 dari Direktur
Jenderal Pendidikan Islam; (P-16).
Foto copy dari keenambelas surat itu sudah diperiksa keasliannya oleh Majelis Hakim.
Berdasarkan alat bukti tersebut dapat diketahui bahwa Penggugat terikat perkawinan yang sah
dengan Tergugat sesuai dengan akta nikah yang diterbitkan pada tanggal 08 Januari 2004 ( vide
bukti Pg. 1 ).
Keterangan dari dua orang saksi yang diajukan saling bersesuaian dan mendukung dalil-
dalil yang dikemukakan oleh Penggugat dalam surat gugatan. Kedua orang saksi itu orang tua
Penggugat. Saksi pertama adalah ibu kandung Penggugat dan saksi kedua adalah mertua
penggugat yang juga merupakan ibu tiri dari Tergugat. Fakta yang diperoleh dari keterangan
kedua orang saksi tersebut adalah :
- Setelah menikah Tergugat dan Penggugat tinggal dirumah ibunya Penggugat.
- Pengugat dan Tergugat telah dikarunia anak 1 ( satu ) orang dan sekarang dibawa
oleh Tergugat sejak tanggal 9 Februari dan sebelumnya anak tersebut bersama
Penggugat.
- Penggugat akan bercerai dengan Tergugat.
- Saksi sudah berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat tetapi tidak berhasil.
- Penggugat dan Tergugat sering bertengkar, Penggugat suka dipukul sama Tergugat,
Tergugat pernah mencekik Penggugat dan menendang Penggugat sampai Penggugat
tersungkur.
- Tergugat datang ke rumah saksi dengan membawa anaknya yang akan di bawa ke
Benhil karena pada waktu itu Tergugat ribut dengan Penggugat. Dan setahu saksi
masalahnya sepele, karena Tergugat cemburu kepada Penggugat yang waktu itu ada
telfon dari teman Penggugat kemudian Penggugat juga pernah bercerita kepada saksi
bahwa Tergugat mau memukul Penggugat dan kemudian membawa anaknya yang
waktu itu masih berumur sekitar 5 bulanan dan saat itu hujan besar;
Berkenaan dengan keterangan kedua orang saksi tersebut, Penggugat tidak berkeberatan
dan menambahkan bahwa anak yang dibawa oleh Tergugat masih berumur 2 tahun bukan 5
tahun;.
Selain dari pihak Penggugat, pihak Tergugat melalui kuasa hukumnya juga mengajukan
dua orang saksi untuk mendukung dalil dari pihak Tergugat, saksi pertama merupakan pembantu
atau bekerja di rumah Penggugat dan saksi kedua merupakan om Tergugat, fakta yang terungkap
dipersidangan dari kedua orang saksi tersebut adalah :
- Penggugat bekerja di Depag kalau berangkat kadang jam 9 kadang jam 10, dan kalau
pulang terkadang jam 9 malam, jam 10 pernah juga jam 12 malam, bahkan pernah
jam 1 ;
- Kalau Penggugat belum pulang anaknya terkadang dititipkam dengan orang tua
Penggugat atau sama pamannya
- Anak dititipkan dengan saksi, dan dijemput jam 20,21,22,23 malam terkadang jam
1.30 malam pada tahun 2005;
- Penggugat pulang kerja diantar temannya dan itu-itu saja;
- Nama anak Penggugat dan Tergugat adalah MMK;
- Saksi pernah bertanya kepada Penggugat kenapa pulang terlambat dijawab Penggugat
karena banyak pekerjaan; bahkan Penggugat pernah pulang jam 1 malam
- Penggugat sering pulang malam sejak Tergugat berangkat ke luar negeri awal
Februari 2005
- Tergugat pernah mengirim uang, saksi tahu karena sering berkomunikasi dari
Tergugat langsung
- Dalam sebulan dua kali Tergugat mengirim uang, uang yang dikirim 750 real
terkadang 1000 real;
Berkenaan dengan keterangan kedua orang saksi tersebut Penggugat memberikan
tanggapan, adapun tanggapan Penggugat atas keterangan saksi yang pertama adalah sebagai
berikut :
- Bahwa saksi yang merupakan pembantu yang bekerja di rumah Penggugat, selama
bekerja dengan Penggugat sering jarang masuk kerja dan saksi bekerja dengan
Penggugat tahun 2006 bukan tahun 2005;
- Bahwa Penggugat keberatan dengan saksi karena tidak mengetahui kehidupan
penggugat;
Atas tanggapan Penggugat tersebut Majelis Hakim memberikan pertanyaan kepada saksi,
kemudian saksi memberikan keterangan sebagai berikut:
- Bahwa saksi selama satu bulan tidak masuk bekerja 3 hari tetapi memang pada bulan
Desember saksi sering tidak masuk, karena itu saksi mengundurkan diri, dalam
seminggu 2 kali tidak masuk kerja;
Selanjutnya atas keterangan dari saksi kedua Penggugat memberikan tanggapan sebagai
berikut :
- Bahwa Penggugat keberatan dengan saksi, karena saksi tinggal tidak sesuai dengan
KTP, tetapi di rusun karet;
- Bahwa Tergugat berangkat ke Dubai bukan tahun 2005 tetapi 3 Maret 2006;
- Bahwa Penggugat sering membawa anak kerumah om nya untuk menghindari fitnah,
frekuensinya hari selasa saja seminggu sekali, kadang 2 minggu sekali;
- Bahwa mengenai keuangan, Tergugat hanya mengirim sekali sebulan 750 real bukan
dua kali sebulan;
- Bahwa Penggugat tetap perhatian dengan anak, dan waktu dengan Penggugat,
Penggugat selalu memberikan vitamin yang mahal;
Berkenaan dengan hal tersebut Penggugat dan Tergugat telah menyampaikan kesimpulan
secara tertulis, yang dalam kesimpulannya Penggugat menyatakan bahwa Penggugat
menginginkan bercerai dengan Tergugat.
C. Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim.
Alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan hukum bagi Majelis Hakim untuk
mengambil keputusan adalah sebagai berikut :
a. Bahwa berdasarkan bukti berupa asli surat izin atasan Nomor :
DJ.I/HK.03.4/340/2007 tanggal 9 April 2007 dari Direktur Jenderal Pendidikan
Islam; ( P-16 ) atas nama Penggugat, eksepsi Tergugat ditolak.
b. Bahwa berdasarkan bukti P-1 dihubungkan dengan bukti P-2 dan pengakuan
Penggugat terbukti Penggugat dan Tergugat terikat perkawinan sah yang menikah
pada tanggal 8 Januari 2004 di hadapan PPN Kecamatan Tanah Abang sebagaimana
ternyata dalam Bukti Kutipan Akta Nikah Nomor: 28/05/I/2001 oleh karenanya
keduanya mempunyai kualitas hukum untuk bertindak sebagai pihak-pihak dalam
perkara ini.
c. Bahwa upaya memberikan penasehatan kepada Penggugat agar rukun membina
rumah tangga kembali dengan Tergugat sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat 1 dan
4 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah di ubah oleh Undang-undang
No. 3 Tahun 2006 Jo pasal 31 ayat 1 dan 2 PP No 9 Tahun 1975 telah dilakukan,
tetapi Penggugat tetap pada gugatannya.
d. Bahwa dari keterangan keluarga atau orang yang dekat dengan Penggugat dan
keluarga atau orang yang dekat dengan Tergugat dihubungkan dengan keterangan
Penggugat dan kuasa hukum Tergugat maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
- Penggugat Konpensi dan Tergugat adalah isteri dan suami sah belum pernah
bercerai ;
- Bahwa dari Perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah dikaruniai seorang
anak bernama MMK (lahir tanggal 28 September 2004 );
- Pada saat rukun Penggugat dengan Tergugat pernah tinggal di rumah kontrakan;
- Penggugat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sedangkan Tergugat bekerja
sebagai TKI dan saat ini berada di Dubai, dan pengawasan dan pemeliharaan
seorang anak saat Penggugat dan Tergugat bekerja dibantu seorang pembantu
rumah tangga dan terkadang peran serta dari keluarga Penggugat maupun
keluarga Tergugat turut menjaga dan mengasuh anak tersebut ;
- Antara Penggugat dengan Tergugat adanya sikap saling menyalahkan yang
menimbulkan perselisihan dan pertengkaran yang berimbas hubungan antara dua
keluarga tidak baik; dan puncak ketidakharmonisan Penggugat dengan Tergugat
keduanya sudah tidak melakukan hubungan suami isteri dan Tergugat pergi ke
Dubai sebagai TKI;
- Penggugat tetap bertekad untuk berpisah dengan Tergugat; sedangkan Tergugat
juga menginginkan perceraian.
e. Bahwa ikatan perkawinan tidak hanya terbatas pada hubungan fisik dan materiil, tapi
sekaligus lebih menitik beratkan pada ikatan batin atau ikatan jiwa yang mendalam
yang terhunjam ke dalam sanubari sebagaimana ditekankan dalam surat Ar-ruum
ayat 21 yang berbunyi,
������ ������ ��� ���� ������ ����� ����� ����� !�"�� #☯���&'��
(�)*,�� �.�/� 0�1&2��34 56�7�8�� �!9�,�:�� ,;<2�*<�
=�☺��?�� @ <�34 A3B �C���D EF�� G� HI�*�4�/� ���JK�⌧���
MNOP } ٢١ :٣٠ /ا��وم {
Artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. ( Ar-ruum /
30 : 21 )
bahwa perkawinan adalah bukan tindakan iseng, melainkan guna mewujudkan
sakinah, mawaddah dan rahmah. Allah menciptakan bagi manusia pasangan jodoh (
suami-isteri ) dan perkawinan itu hendaklah membawa kesenangan dalam
kebersamaan ( sakinah ), bahkan lebih jauh Al-Qur’an mengibaratkan lekatnya
hubungan ikatan jiwa anatra suami isteri harus sampai pada pencapaian
keharmonisan, tak ubahnya seperti pakaian, seperti yang tersirat dalam surat Al-
Baqarah ayat 187, yang berbunyi.
<6�Q� ��!9�� �R��&S�� �I0�2�8T�0� V�WXJ�0� @A�Y34 ����[\0] 3^ @
_�7` a<0�9�� ����K� ��."���� a<0�9�� _�1K� � c�3��d e\0� ��!9f"�� gh�i jk*"0�.& ��
��!9] !�"�� cl0��W ����&S���d 0⌧���� ����h� ( c���m&�00�W
_�7`�n�o��� (�*��.��0��� 0�� ]��.5p e\0� ������ @ (�*7��i��
(�*��nr0��� @ast� �B<u�C;v� ����� �w&S� &x0� yz�S��.�0� c���
�w&S� &x0� �2�*{.�0� c��� |J�}⌧�&�0� ( ~g7g (�*?☺���
��0�S�8T�0� A�Y34 P6&2K�0� @ 5��� ��7`�n�o��C7 g."����
��*!����� A3B ���}�] �☺&�0� � �CW�� 2��� m\0� 5⌧�W
0�`*��J&4� � �C��⌧S⌧i ��3�u�9 e\0� ����� ���
<0<h��� g1f��7�� jk*!4�� MO�P } ٢ : ١٨٧/ ة ا����{
Artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-
isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena
itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,
Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa”. ( Al-Baqarah / 2 : 187 )
f. Bahwa menurut kaidah fiqhiyah memberikan petunjuk bahwa dalam menghadapi
kedua madhorot yang mungkin timbul, agar diambil yang lebih ringan sebagaimana
tercantum dalam kitab Al-Asybah wan Nadhoir yang selanjutnya pendapat tersebut
dijadikan pendapat hukum
�� ر ��� ا ذ ا �� ! ��' &%� ا $# و ر ن Artinya :
“Apabila terjadi dua mudhorot harus diambil mudhorot yang lebih ringan..”
g. Bahwa berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan tersebut di atas, harus dinyatakan
telah terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus dan Majelis berpendapat pertengkaran dalam suatu rumah
tidaklah selalu digambarkan adanya pertengkaran secara fisik maupun melalui kata-
kata yang terucap sebagaimana yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan
Tergugat melainkan dapat saja pertengkaran itu berupa adanya saling acuh / tidak
ada komunikasi dan mendiamkan satu sama lain yang menunjukkan tidak ada
harapan lagi keduanya akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga (onheelbaare
tweespalt) oleh karena Majelis Hakim berpendapat perkawinan Penggugat dan
Tergugat telah pecah (marriage breakdown) sesuai pasal 39 ayat (2) undang-undang
No. 1 Tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f)
KHI.
h. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim
berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan talak
1 (satu) bain shugro;
i. Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat dihubungkan pula dengan keterangan
saksi-saksi diperoleh fakta-fakta sebagai berikut :
- Bahwa berdasarkan bukti P-2 Kutipan Akta Kelahiran dari perkawinan Penggugat
dengan Tergugat telah dikaruniai seorang anak bernama MMK ( lahir tanggal 28
September 2004 );
- Bahwa anak yang bernama MMK ( lahir tanggal 28 September 2004 ) belum
mumayyiz;
- Bahwa anak tersebut telah dibawa oleh Tergugat dan sebelumnya dibawah asuhan
dan pemeliharaan Penggugat dan sekarang anak yang bernama MMK ( lahir tanggal
28 September 2004 ) tidak diketahui lagi keberadaannya dikarenakan disembunyikan
oleh Tergugat;
- Bahwa Tergugat saat ini menjadi TKI di Dubai;
- Bahwa Penggugat seorang karyawati Pegawai Negeri Sipil pada Depag R.I
sedangkan Tergugat karyawan swasta dan terakhir sebagai TKI di Dubai;
j. Bahwa Majelis Hakim berpendapat bahwa pada saat mereka menikah Penggugat
berstatus sebagai wanita karier bekerja pada Depag R.I dan sudah menjadi kondisi
logis bila seorang wanita bekerja perhatiannya terhadap anak sedikit berkurang,
namun dalam hal ini yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah
menggunakan jasa pengasuh anak dan keterlibatan keluarga lainnya baik dari
keluarga Penggugat maupun keluarga Tergugat untuk membantu menjaga dan
mengasuh anak mereka yang bernama MMK ( lahir tanggal 28 September 2004 ) dan
berdasarkan bukti P-2, P-3, P-4, P-7, P-8, P-9, P-10, P-11, dan P-12, yang bukti-bukti
tersebut menjelaskan Penggugat memang benar-benar lembur bekerja dan pulangnya
Penggugat sampai larut malam adalah beralasan dan dalam rangka menunjang karier
dan prestasi bekerja Penggugat dan tentunya untuk menunjang kebutuhan rumah
tangga Penggugat dan Tergugat; dan berdasarkan bukti P-15 terbukti Tergugat saat
ini sebagai TKI di Dubai;
k. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim
berpendapat anak Penggugat masih di bawah umur / kecil dilihat secara psikologis
maupun biologis anak yang masih kecil masih memerlukan belaian kasih sayang
ibunya dan biasanya lebih dekat dengan ibunya dan sesuai dengan ketentuan pasal
105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam anak yang bernama MMK ( lahir tanggal 28
September 2004 ) harus ditetapkan berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat
sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri;
l. Bahwa Majelis Hakim berpendapat untuk mencapai kemaslahatan anak, masing-
masing pihak perlu mengendalikan dirinya. Pihak yang dinyatakan tidak berhak
melakukan hadonah tidak perlu merasa dikalahkan bilamana putusan ini memang
untuk mendukung tegaknya kemaslahatan anak. Sebaliknya, pihak yang dinyatakan
berhak melakukan hadonah tidak pula merasa menang sehingga memandang putus
hubungan anak dengan pihak yang dinyatakan tidak berhak melakukan hadonah.
Janganlah sengketa anak seolah-olah sama dengan sengketa harta, dalam sengketa
harta pihak yang menang ia menjadi pemilik penuh dari harta tersebut dan pihak yang
kalah tidak berhak lagi atas harta tersebut hal ini berbeda dengan sengketa hadonah
dimana pihak yang melakukan hadonah sama sekali tidak menggambarkan bahwa
anak-anak yang menjadi miliknya. Hak hadonah hanya semata-mata menunjukkan
kepada hak yang sekaligus merupakan kewajiban untuk memelihara serta mendidik
anak-anak untuk mengantarkan mereka kepada masa depan yang cemerlang sesuai
yang dikehendaki dalam ketentuan pasal 3 Undang-undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan anak bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera semata-mata untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak tersebut;
m. Bahwa Majelis Hakim berpendapat, Tergugat selaku ayah kandungnya masih
memiliki ikatan batin dengan anaknya sampai kapanpun tidak pernah putus dan untuk
menjaga keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak, Tergugat
dapat berkunjung untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya dengan tidak
mengganggu waktu dan kegiatan anak-anak sesuai pasal 41 huruf (a) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974;
n. Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat dihubungkan dengan penggakuan kuasa
hukum Tergugat yang menyatakan bahwa anak di bawah / dikuasai oleh Tergugat dan
saat ini Tergugat berada di Dubai dan tidak mengetahui keberadaan anak yang
bernama MMK ( lahir tanggal 28 September 2004 ) oleh karena pihak Penggugat
telah ditetapkan sebagai pemegang hadlin ( pengasuh dan pemelihara anak )
dihubungakan dengan bukti P-14 bahwa Tergugat akan mengembalikan anak yang
bernama MMK ( lahir tanggal 28 September 2004 ) kepada Penggugat ternyata
sampai perkara tersebut diputuskan Tergugat belum juga menyerahkan anak tersebut;
o. Bahwa Majelis Hakim perlu mengetengahkan hal-hal sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Rumah
Tangga sebagai berikut :
Pasal 1
Angka (1) :
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga;
Pasal 2
Angka (1):
Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :
a. Suami, isteri dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,
yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau.
c. Orang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga;
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan Fisik.
b. Kekerasan Psikis.
c. Kekerasan Seksual.
d. Penelantaran Rumah Tangga.
Pasal 7
“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”;
Pasal 9
(1) “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”;
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000.-(Sembilan Juta Rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,-
(tiga juta rupiah);
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,-(lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2);
z. Bahwa dengan mengetengahkan hal tersebut di atas Majelis Hakim bukan mendramatisir
suasana seperti itu namun yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat
adalah memang demikian adanya yakni Penggugat sebagai seorang ibu yang melahirkan
anak tidak dapat bertemu / tidak dipertemukan dengan anaknya maka berdasarkan hal
tersebut di atas agar putusan tersebut mempunyai kepastian hukum, menghukum kepada
Tergugat atau pihak keluarga Tergugat yang menguasai anak yang bernama MMK (lahir
tanggal 28 September 2004) untuk menyerahkan kepada Penggugat;
aa. Bahwa mengenai tuntutan Penggugat berupa nafkah anak yang harus ditanggung oleh
Tergugat perbulan sebesar Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah), dan untuk kemaslahatan
anak meraih masa depan yang cemerlang perlu ditetapkan biaya pengasuhan dan
pemeliharaan anak;
bb. Bahwa Majelis Hakim berpendapat, setiap orang tua manapun menginginkan yang
terbaik bagi putra-putrinya begitu pula apa yang diinginkan oleh Penggugat, namun
demikian keinginan yang terbaik tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan dan
penghasilan Tergugat sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Talak ayat 7 :
����hS�� �7D C=�7�{ ���� ���.�7�{ ( ����� �?��7# �&S��� �7#&'? ����hSW��W \0_☺�� ����� e\0� @ 5� ������ e\0� 0� &��" ��34 \0�� 0�1����� @
6�7�}�2�{ e\0� ���7�� �n�_ �,n�_� M�P } ٧ : ە٦/ ق �() ا {
Artinya :
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang
yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (
At-Talak / 65 : 7 )
cc. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas sesuai pasal 41 huruf (b)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 105 huruf (c) KHI adalah dipandang patut
dan layak untuk nafkah dua orang anak sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah) perbulan mengingat Tergugat usia produktif dan biaya tersebut dipandang dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimal di Jakarta;
dd. Bahwa Majelis Hakim perlu mengetengahkan pasal 77 huruf (b) Undang-undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak yang menyebutkan bahwa “ setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tindakan “penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial dipidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda Rp. 100.000.000,-(seratus juta
rupiah)”, oleh karenanya Majelis Hakim memerintahkan kepada para pihak untuk
mentaati apa yang telah diputuskan dalam perkara ini;
ee. Bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka sesuai pasal 89 ayat (1)
Undang – undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah oleh Undang –
undang No. 3 Tahun 2006 semua biaya yang ditimbulkan oleh perkara ini dibebankan
kepada Penggugat mengingat dan memperhatikan segala ketentuan peraturan perundang
– undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini;
D. Putusan Hakim
Pertimbangan hukum di atas melandasi putusan majelis hakim yang amarnya sebagai
berikut :
DALAM EKSEPSI
1. Menolak eksepsi Tergugat Konpensi / Penggugat Rekonpensi
DALAM KONPENSI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Konpensi / Tergugat Rekonpensi sebagian ;
2. Menjatuhkan thalak satu bain shugro Tergugat Konpensi / Penggugat Rekonpensi ( DNA
bin AB ) kepada Penggugat Konpensi / Tergugat Rekonpensi ( NMP binti AR W.A ).
3. Menetapkan seorang anak bernama MMK ( lahir tanggal 28 September 2004) berada dalam
asuhan dan pemeliharaan Penggugat dengan tidak mengurangi hak Tergugat sebagai ayah
kandungnya.
4. Menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak kepada Tergugat untuk memberikan
kepada Penggugat setiap bulannya sebesar Rp. 750.000,- ( Tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah );-
5. Memerintahkan kepada panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk mengirimkan
salinan putusan ini kepada KUA kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat untuk mencatat
perceraian tersebut.
DALAM REKONPENSI
6. Menolak gugatan yang diajukan oleh Penggugat rekonpensi
DALAM KONPENSI DAN REKONPENSI
7. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara
ini sebesar Rp. 295.000,- ( dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah ),-
BAB IV
ANALISIS KASUS CERAI GUGAT DENGAN NO. PERKARA 078/Pdt.G/2007/PA.JP DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
A. Analisis Terhadap Duduk Perkara.
Dalam menganalisis duduk perkara, penulis mencoba menguraikan mengenai
kewenangan absolute dan relatif Pengadilan Agama yang menyangkut perkara no
078/Pdt.G/2007/PA.JP, dan menyimpulkan permasalahan yang timbul antara NMP ( Penggugat )
dengan DNA ( Tergugat ). Wewenang ( kompetensi ) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49
sampai dengan pasal 53 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sudah
diamandemen dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, wewenang
tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolute. Adapun yang dimaksud dengan
kompetensi absolut adalah kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan suatu perkara bagi Pengadilan yang menyangkut pokok perkara itu sendiri.
Sedangkan kompetensi relatif adalah kewenangan atau kuasa untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili
pihak atau para pihak pencari keadilan.
Kompetensi absolut Peradilan Agama dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, pada pasal 49 meliputi juga perkara-perkara di bidang ekonomi syariah, secara lengkap
bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama, meliputi perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.33
Kompetensi Relatif Pengadilan Agama, dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang nomor 7
tahun 1989 yang sudah di amandemen menjadi undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang
Pengadilan Agama dinyatakan.
“Bahwa Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya (kota) atau di ibukota
Kabupaten yang daerah hukumnya meliputi wilayah Pemerintah Kota atau Kabupaten”.
Berdasarkan wilayah hukum suatu Pengadilan Agama, maka tempat Penggugat /
pemohon mengajukan gugatan / permohonan cerai gugat yang diajukan ke Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya mengikuti tempat kediaman Pengggugat kecuali apabila Penggugat
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat ( suami ), maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
Tergugat, apabila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan perceraian
diajukan Penggugat kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kediaman Tergugat, apabila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
gugatan Penggugat diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.34
Berbicara mengenai kompetensi absolute dan relatif, maka menurut penulis dalam duduk
perkara 078/Pdt.G/2007/PA.JP sudah memenuhi kompetensi absolute maupun relatif Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, karena jika di lihat dari kompetensi absolutnya perkara no
078/Pdt.G/2007/PA.JP adalah perkara gugat cerai yang di dalam penjelasan pasal 49 Undang-
undang no. 3 tahun 2006 termasuk ke dalam perkawinan, selain memenuhi kompetensi absolute
33 Sulaikin lubis, Wismar’ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006 ), Cet ke-2, h.106.
34 Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama, (
Yogyakarta : UII Press, 2009 ), Cet-1, h.59.
perkara tersebut juga sudah memenuhi kompetensi relatifnya karena jika dilihat dari perkaranya,
perkara tersebut adalah perkara gugat cerai maka tempat Penggugat / pemohon mengajukan
gugatan / permohonan cerai gugat di ajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
mengikuti tempat kediaman Pengggugat, jika di lihat dari tempat tinggal NMP selaku Penggugat
yang bertempat tinggal di Jalan KH.Mas Mansyur 25.A Blok 44-2-1 Rt.006 Rw.011, Kelurahan
Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat, maka gugatan Penggugat sudah
benar sesuai dengan kompetensi relatifnya yaitu di ajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Selain membahas mengenai kompetensi absolute dan relatif, dalam analisis duduk
perkara ini penulis menyimpulkan permasalahan yang timbul antara NMP ( Penggugat ) dengan
DNA ( Tergugat ) sebagai berikut dalam hal atau dalil-dalil yang mendasari gugatan ( posita )
yaitu sifat Tergugat yang selalu membesar-besarkan masalah kecil, ringan tangan dan
bertempramen sangat tinggi sehingga menimbulkan perselisihan dan percekcokan terus menerus
yang membuat pshikis Penggugat tertekan selain itu Tergugat juga cemburuan sehingga
menimbulkan kata-kata yang tidak sepatutnya dikeluarkan seperti selingkuh/berzinah, dan juga
sikap Tergugat yang kurang memperhatikan masalah kebutuhan dalam rumah tangga baik dalam
hal nafkah lahir maupun nafkah batin.
Setelah penulis mengamati alur cerita dari duduk perkara serta mengikuti alur perkara
dan kasus hukum diatas berikut posita yang ada, dengan ini penulis mengamati beberapa hal
yang menarik untuk dianalisa dan diurai lebih lanjut dalam duduk perkaranya. Sikap suami yang
cenderung kasar membesar-besarkan masalah kecil, dan bertempramen sangat tinggi sehingga
menimbulkan perselisihan dan percekcokan terus menerus disebabkan fitrahnya untuk berkuasa,
sombong dan ingin menjadi pemimpin.35
Islam bersikap memerangi terhadap tindakan kasar dan semena-mena terhadap orang
lain, termasuk kepada isteri dan anak-anak. Islam memerintahkan untuk berlaku santun kepada
segala sesuatu sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi
�*���� ]Fh�i 0�!�W ⌧�S3�⌧� ��W��4&�0� (�*?�⌧�"V� ���� �C���*� MO3�P }ا ال�%$
} ���: �/ ن
Artinya ;
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu”.
Menurut penulis seorang suami ataupun isteri harus saling menjaga rumah tangga mereka
masing-masing agar tidak terjadi gugat cerai seperti di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan
no. 078/Pdt.G/2007/PA.JP dan untuk menghindari kecemburuan dari pihak suami, seorang isteri
yang shalehah harus menjaga dirinya ketika suami tidak di rumah, dewasa dalam berfikir, dan
sangat terpercaya dan mengenai kebutuhan rumah tangga baik lahir maupun batin adalah
kewajiban seorang suami, karena ketika seseorang sudah berstatus sebagai suami maka ia tidak
boleh mementingkan dirinya sendiri, karena ini akan menanamkan kebencian di hati isteri dan
memutuskan tali cinta kasih antara suami isteri.
B. Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara No.
078/Pdt.G/2007/PA.JP.
35 Iman Sulaiman, Problematika Rumah Tangga & Kunci Penyelesaiannya. Penerjemah Nabil
Muhammad, ( Jakarta : Qisthi Press, 2005 ), Cet ketiga, h.171.
Berdasarkan asas-asas, peraturan hukum Islam, hukum acara, serta doktrin dapat
digunakan sebagai pisau analisis terhadap sumber dan pertimbangan hukum hakim Peradilan
Agama Jakarta Pusat dalam memutus perkara No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP. sebagaimana akan
penulis uraikan dibawah ini.
Menurut penulis Pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara gugat cerai
tersebut terdapat sedikit kekurangan dan kesalahan dalam pengambilan kaidah fiqhiyah yang
tercantum dalam kitab Al-Ashbah wan Nadhoir, menurut penulis kaidah fiqhiyah yang lebih
tepat digunakan terdapat dalam buku Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh yaitu qa’idah
furu yang kedua atau cabang kedua dari qa’idah fiqhiyyah yang keempat :
'304� �2 ال ب��/� ر ا0 ا را �/� Artinya :
“ Dlarar yang lebih besar dihilangkan dengan dlarar yang lebih ringan”.36
Qaidah tersebut menegaskan bahwa untuk menghilangkan suatu bahaya disyaratkan
harus tidak menimbulkan bahaya yang. Suatu bahaya dapat dihilangkan dengan menimbulkan
bahaya yang lain, jika kadar bahaya yang ditimbulkannya tidak seimbang dan tidak lebih besar
dari pada bahaya yang dihilangkan. Oleh karenanya, seorang yang hendak menghilangkan suatu
bahaya, harus memperhitungkan terlebih dahulu dampak yang akan ditimbulkannya.
Apabila dampaknya seimbang atau bahkan lebih besar dari pada bahaya yang hendak
dihilangkan, maka ia harus mengurungkan niatnya, namun apabila dampak yang ditimbulkan
lebih kecil daripada bahaya yang dihilangkan maka ia bebas meneruskan niatnya menurut
penulis Qaidah ini terkait dengan perkara gugat cerai, no perkara 078/Pdt.G/2007/PA.JP yaitu
apabila pihak isteri dan pihak suami disatukan pernikahannya, maka akan menimbulkan
36Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persfektif Fiqh, ( Jakarta : Radar Jaya Offset, 2004
), Cetakan Pertama, h.140.
mudhorot yang lebih besar dalam kehidupan pernikahan selanjutnya, yaitu rumah tangga yang
tidak dapat harmonis lagi, sedangkan bila pihak isteri dan suami dipisahkan dengan perceraian
kehidupan kedua belah pihak akan menjadi lebih baik.
Selain itu seharusnya hakim juga mempertimbangkan Pasal 39 ayat 2 Undang - undang
Perkawinan pada huruf d yaitu “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
terhadap pihak yang lain”,37
dan pelanggaran taklik talak poin ( 3 ) , karena di dalam gugatan
Penggugat menjelaskan bahwa Tergugat di dalam rumah tangga kalau ada masalah kecil selalu
menjadi besar dan diakhiri dengan ucapan kasar serta pemukulan dan dikuatkan dengan
keterangan dari ibu kandung Penggugat selaku saksi pernah melihat di depan rumahnya Tergugat
pernah mencekik Penggugat dan menendang sampai Penggugat Tersungkur sesuai dengan
alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf d Undang-
undang Perkawinan dan diulang lagi dalam pasal 19 Peraturan Pelaksana.
Selain menginginkan perceraian dengan suaminya di dalam gugatannya Penggugat juga
menginginkan pengasuhan anak jatuh ke tangannya, dan Majelis Hakim mengabulkan gugatan
Penggugat dengan menetapkan pengasuhan anak kepada Penggugat selaku ibunya, menurut
penulis keputusan tersebut sudah tepat dengan mempertimbangkan pasal 105 huruf (a) dan pasal
3 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002, mengingat anak dari hasil perkawinan antara Tergugat
dan Penggugat masih sangat kecil dan belum mumayyiz. Selain itu keterangan Majelis Hakim
yang menjelaskan bahwa Tergugat selaku ayahnya dapat berkunjung untuk memberikan kasih
sayang kepada anaknya dengan tidak mengganggu waktu dan kegiatan anak dengan
mempertimbangkan pasal 41 huruf ( a ) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi
37 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, ( Jakarta : Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001 ), h.140.
“Akibat Putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik bapak atau ibu tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya”.38
Adalah sudah tepat karena walaupun sudah bercerai, tanggung jawab atas pemeliharaan
anak tetap berada pada tangan kedua orang tuanya.
Anak yang bernama MMK tidak diketahui keberadaannya karena dibawa oleh Tergugat
sampai putusan tersebut diputus maka Majelis Hakim menguhukum kepada Tergugat ataupun
keluarga Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada Penggugat dengan
mempertimbangkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Pasal 1 angka 1 Pasal
2 angka 1, pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 49. Menurut penulis putusan Majelis Hakim untuk
menghukum kepada Penggugat dengan mempertimbangkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004
Pasal 1 angka 1 Pasal 2 angka 1, pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 49 sudah tepat karena seorang
ibu ketika dipisahkan dan tidak dapat bertemu dengan anaknya akan tersiksa dan hal tersebut
bisa mengganggu psikologi Penggugat sebagai seorang ibu sebagaimana di jelaskan dalam
Undang-undang No. 23 tahun 2004 pada pasal 5 poin b bahwa kekerasan tidak hanya ada
kekerasan fisik tapi kekerasan psikis juga diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang PKDRT.
Tuntutan lain dari Penggugat adalah berupa nafkah anak yang harus ditanggung oleh
Tergugat perbulan sebesar Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah ) dan Majelis Hakim hanya
mengabulkan setengah dari gugatan Tergugat yaitu biaya nafkah anak sebesar Rp. 750.000,- (
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ) perbulan. Berdasarkan hal tersebut penulis menyatakan
bahwa keputusan Majelis Hakim mengabulkan setengah dari gugatan Penggugat mengenai
38 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, h.141.
nafkah anak dengan pertimbangan surat At-Talak ayat 7 pasal Pasal 41 huruf (b) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, Pasal 105 KHI huruf (c) adalah hal yang tepat, karena jika Majelis Hakim
mengabulkan tuntutan dari Penggugat berupa nafkah anak sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah) menurut penulis terlalu berlebihan untuk ukuran satu orang anak dan memberatkan
Tenggugat apalagi Allah di dalam surat At-Talak ayat 7 menjelaskan bahwa “Hendaklah orang
yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya”.
Mengenai tuntutan Penggugat agar Putusan pengasuhan anak dapat dilaksanakan terlebih
dahulu dan permohanan putusan sela, Majelis Hakim berpendapat permohonan putusan sela
tidak sesuai dengan hukum acara gugatan Penggugat dan tentang putusannya dapat dilaksanakan
terlebih dahulu, mengenai hal tersebut penulis tidak sependapat dengan Majlis Hakim karena
menurut penulis keputusan Majelis hakim tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara di
Pengadilan Agama seharusnya apabila Penggugat menginginkan tuntutan pengasuhan anak dan
nafkah terhadap anak dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Penggugat harus membuat gugatan
provisi sesuai dengan hukum acara yang berlaku yaitu pasal 180 ayat 1 HIR dan Pasal 191 ayat 1
R.Bg, dan Majelis Hakim dapat memutuskan gugatan provisi tersebut dengan putusan sela
provisionil.
Dalam hal rekonpensi dari pihak Tergugat ditolak karena majelis hakim telah
menetapkan dalam konpensi bahwa seorang anak yang bernama MMK berada dalam asuhan dan
pemeliharaan Penggugat konpensi menurut penulis Majelis Hakim sudah melakukan hal yang
benar dengan mempertimbangkan kondisi anak yang masih kecil lebih dekat kepada ibunya dan
memerlukan belaian kasih sayang dari ibunya. Sesuai dengan pendapat para ulama bahwa
seorang ibu berhak menjadi pemeliharaan atas seorang anak lelaki sampai tujuh tahun dan anak
perempuan sampai usia puber.
Selain itu di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 105 huruf (a) juga dijelaskan
bahwa dalam hal terjadi perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
Mengenai Eksepasi yang diajukan Tergugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa ijin
atasan bagi seorang Pegawai Negeri Sipil bukan merupakan suatu syarat formal atau hukum
acara bagi pengadilan agama dan tidak menghalangi seorang Pegawai Negeri Sipil untuk
menyelesaikan perceraiannya, karena izin atasan langsung bisa diperoleh sebelum maupun
sesudah perkara didaftarkan.
Majelis hakim berpendapat bahwa adalah sangat bertentangan dengan asas kebebasan
hakim apabila pemeriksaan perkara perceraian harus diberhentikan hanya karena tidak ada izin
pejabat, hal itu merupakan campur tangan pihak extra judicial. Maka berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut diatas dihubungkan dengan bukti P-16 ( Asli Surat izin atasan Nomor :
DJ.I/HK.03.4/340/2007 tanggal 9 April 2007 dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam).
Penggugat telah memperoleh izin atasan yang bersangkutan, oleh karenanya Eksepsi Tergugat di
tolak.39
Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan keputusan Majelis hakim serta
pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim karena Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil pada
pasal 3 ayat 1 yang menjelaskan bahwa
“Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih
dahulu”.40
39 Putusan Putusan Pengadilan Agama ( PA ) Jakarta Pusat tentang gugat cerai No.
078/Pdt.G/2007/PA.JP, h.17.
40 Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Khusus Untuk Anggota ABRI Anggota POLRI
Pegawai Kejaksaan Pegawai Negeri Sipil, ( Jakarta : Sinar Grafika ), h.130.
Telah diubah oleh Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil dalam pasal 1 dijelaskan mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil yaitu :
Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin
atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat;
2. Bagi Pegawai Negeri sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi
pegawai negeri sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau
surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan
secara tertulis;
3. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk
mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasarinya.41
Maka berdasarkan hal tersebut seharusnya sebelum Penggugat mengajukan
gugatannya, Penggugat harus memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat
sesuai dengan pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil.
Mengenai putusan Majelis hakim yang membebankan biaya perkara kepada Penggugat
adalah hal yang sudah tepat karena dalam lingkup Peradilan Umum untuk berperkara pada
asasnya dikenakan biaya ( pasal 4 ayat 2, 5 ayat 2 UU 14/1970, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145
41
Badan Kepegawaian Negara, “ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Spil”, artikel ini diakses pada 1 Juni 2009 dari http://www.bkn.go.id/peraturan-pp-
isi.php?news_id=411.
ayat 4, 192-194 Rbg); biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan,
pemberitahuan para pihak serta biaya materai.42
Sedangkan dalam lingkup Peradilan Agama sesuai dengan pasal 54 yang berbunyai
“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dan lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Maka Pasal 89 ayat 1 ini yang bersifat khsusus yaitu “biaya perkara dalam bidang
perkawinan dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon”.43
C. Analisis Tentang Putusan Hakim.
Ada tiga pilar utama dalam hukum yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mengukur
suatu putusan hakim, yaitu :
a. Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan hukum;
b. Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai kegunaan hukum;
c. Apakah putusan tersebut mengandung nilai-nilai kepastian hukum;
Untuk itu dalam menganalisis putusan hakim Pengadilan Agama No.
078/Pdt.G/2007/PA.JP , penulis akan mengacu pada tiga tolak ukur di atas, sebagaimana penulis
uraikan di bawah ini
Secara hakiki sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 ( dua ) arti pokok, yakni dalam
arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materiil yang
menuntut agat setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat. Keadilan itu
42 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta), edisi
kelima, h.16.
43 Husni rahmi, Achmad Syafi’I, Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan dan Proses
Pembentukan Undang-undangnya ( Jakarta : Departemen Agama RI, 2001 ), h.154.
dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu,
termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk konteks keadilan itu, seperti tempat
maupun waktunya, namun secara umum ada unsur-unsur formal dari keadilan sesuai dengan
pembagian aliran keadilan Hans Kelsen dan John Rawls pada dasarnya terdiri dari :
- Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan
atas hak-hak yang dijamin oleh hukum ( unsur hak ).
- Perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu ( unsur
manfaat ).
Dengan unsur nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan
manfaat ditambah bahwa dalam disursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriyah,
tanpa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya, maka nilai keadilan disini mempunyai
aspek empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah apa yang dinilai adil, dalam
konteks hukum, harus dapat diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaat. Dengan
adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut
konteks yang empiris juga.44
Berdasarkan fakta yang ada dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat nomor
078/Pdt.G/2007/PA.JP, salah satu pertimbangan hakim adalah, bahwa Penggugat selama
persidangan telah menunjukkan sikap dan tekadnya untuk bercerai, hal mana berarti tidak mau
lagi mempertahankan perkawinannya, selain itu telah terjadi perselisihan dan pertengkaran
secara fisik yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat sehingga permohonan
Penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan talak satu bain shugro.
44 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jurnal Yudicial Kajian Kehormatan, keluhuran Martabat dan
Perilaku Hakim, h. 198.
Dilihat dari aspek keadilan hukum, putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dapat
dikatakan tidak memenuhi sisi keadilan hukum bagi Tergugat karena Majelis Hakim hanya
mempertimbangkan dan melihat sikap dan tekad dari Penggugat tanpa mempertimbangkan sikap
dan tekad dari Tergugat, apakah Tergugat masih mau mempertahankan keutuhan rumah
tangganya dengan bersedia merubah sikapnya atau tidak.
Selain melihat kepada aspek keadilan hukum penulis juga akan menganalisis putusan
hakim dengan menggunakan aspek kegunaan hukum. Aspek kegunaan hukum adalah
terwujudnya ketertiban. Untuk mewujudkan ketertiban manusia memunculkan keharusan-
keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam kaidah.45
Dalam hal pengasuhan anak Penggugat menginginkan hak asuh anak jatuh ketangan
Penggugat atas permohonan tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan usia anak Penggugat
dan Tergugat yang masih dibawah umur, dilihat dari psikologis maupun biologis anak yang
masih kecil, masih memerlukan belaian kasih sayang ibunya dan biasanya lebih dekat dengan
ibunya dan sesuai dengan ketentuan pasal 105 huruf ( a ) Kompilasi Hukum Islam anak yang
bernama MMK ( lahir tanggal 28 September 2004 ) harus ditetapkan berada dalam asuhan dan
pemeliharaan Penggugat sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri, selain itu
Majelis Hakim juga berpendapat bahwa Tergugat selaku ayah kandungnya masih memiliki
ikatan batin dengan anaknya sampai kapanpun tidak pernah putus dan untuk menjaga
keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak, Tergugat dapat berkunjung
untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya dengan tidak mengganggu waktu dan kegiatan
anak sesuai pasal 41 huruf ( a ) Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
45 Ibid, h.200.
Berdasarkan Pertimbangan Tersebut Majelis Hakim menetapkan seorang anak yang
bernama MMK ( lahir tanggal 28 September 2004 ) berada dalam asuhan dan pemeliharaan
Penggugat dengan tidak mengurangi hak Tergugat sebagai ayah kandungnya. Menurut penulis
dari keputusan Majelis Hakim tersebut sudah memenuhi aspek kegunaan hukum karena
keputusan Majelis hakim dengan menetapkan seorang anak yang bernama MMK ( lahir tanggal
28 September 2004 ) berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat dengan tidak
mengurangi hak Tergugat sebagai ayah kandungnya sudah terwujud ketertiban hukum dan sudah
memenuhi ketentuan dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Selain itu, keputusan Majelis Hakim tersebut juga berguna bagi pemeliharaan dan pendidikan
anak, karena dalam hal penetapan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak setelah perceraian
baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, walaupun anak
berada dalam pengasuhan dan pemeliharan ibunya setelah putusnya perkawinan bapakpun masih
diperbolehkan berkunjung untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya dengan tidak
mengganggu waktu dan kegiatan anak.
Aspek terakhir dalam menganalisis putusan hakim dengan no. perkara
078/Pdt.G/2007/PA.JP adalah aspek kepastian hukum. Kepastian memiliki arti ketentuan,
ketetapan, sedangkan kepastian hukum memiliki arti perangkat hukum suatu Negara yang
mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.46
Berdasarkan fakta yang terungkap
dalam persidangan pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP
mengenai Tuntutan Penggugat berupa nafkah anak yang harus ditanggung oleh Tergugat
perbulan sebesar Rp. 5.000.000,- ( lima juta rupiah ), Majelis Hakim mempertimbangkan hal
tersebut dengan pertimbangan bahwa berdasarkan pasal 41 huruf ( b ) undang-undang No. 1
46 Ibid, h. 202.
Tahun 1974 jo pasal 105 huruf ( c ) KHI adalah dipandang patut dan layak untuk nafkah seorang
anak sebesar Rp.750.000,-( tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ) perbulan mengingat Tergugat
usia produktif dan biaya tersebut dipandang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal di
Jakarta.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Menghukum Tergugat untuk
memberikan nafkah anak kepada Penggugat setiap bulannya sebesar Rp. 750.000,- ( Tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah ).
Menurut penulis keputusan Majelis Hakim dalam hal nafkah anak telah memenuhi aspek
kepastian hukum karena sebagai perangkat hukum Majelis hakim telah mampu menjamin hak
Penggugat untuk mendapatkan nafkah bagi anaknya dan kewajiban bagi Tergugat untuk
memberikan nafkah anak sesuai dengan kemampuan Tergugat dalam usia produktif yang hidup
di Jakarta dan telah memenuhi asas legalitas, yaitu dengan menerapkan undang-undang no 1
tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dalam hal penetapan nafkah anak.
Berdasarkan analisis yang sudah penulis uraikan di atas penulis berkesimpulan bahwa
keputusan Majelis Hakim tidak memenuhi nilai-nilai keadilan hukum baik bagi Penggugat
maupun Tergugat tetapi terlepas dari aspek tersebut keputusan Majelis Hakim sudah memenuhi
nilai-nilai yang lainnya, seperti nilai-nilai kegunaan dan kepastian hukum.
D. Analisis Penerapan Undang-undang PKDRT dalam Perkara No. 078/Pdt.G/2007/PA.JP di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Ada Anggapan, bahwa konflik atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan
intern rumah tangga, sehingga harus diselesaikan di dalam keluarga, secara kekeluargaan, bukan
diselesaikan melalui Pengadilan, sehingga jika perempuan atau istri yang berani mengadu ke
aparat penegak hukum, oleh keluarga sering didesak untuk mencabut kembali perkaranya dan
menyelesaikan masalahnya melalui musyawarah keluarga. Usaha perempuan ( istri ) membuka
rahasia mengenai tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap dirinya, justru sering
menimbulkan kekerasan baru yang dilakukan suami terhadap dirinya, serta yang dilakukan oleh
anggota keluarga lainnya.
Tidak jarang seorang istri menerima pemukulan dari suaminya selama bertahun-tahun
karena orangtuanya melarang dia mengajukan kasusnya ke Pengadilan, disamping itu dalam
persepsi masyarakat, seseorang yang dipandang gagal menjaga harmoni dalam rumah tangga
akan menjadi ancaman terhadap harmoni rumah tangga lain dan pada gilirannya menjadi
ancaman terhadap masyarakatnya. Keengganan isteri mengadukan tindakan kekerasan suami
terhadap dirinya justru semakin memperpanjang deretan kekerasan yang dialaminya. Dengan
demikian, sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, berbagai kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri tidak
memperoleh penegakan hukum secara pasti, karena itu setelah hampir tujuh tahun lamanya
memperjuangkan hadirnya sebuah undang-undang yang mampu melindungi korban kekerasan
yang berlangsung di dalam rumah tangga, para aktivis kelompok perempuan dari 72 organisasi
perempuan ditanah air kini bisa bernafas lega. Pada 14 September 2004, RUU tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjurnya disingkat Undang-undang
Penghapusan KDRT akhirnya disetujui DPR RI dan pemerintah untuk disahkan sebagai undang-
undang.47
Setelah penulis melakukan penelitian di seluruh Pengadilan Agama di DKI Jakarta
ternyata penulis hanya menemukan satu kasus gugat cerai dengan alasan KDRT yang didalam
putusannya hakim menggunakan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT sebagai
47 La Jamaa, Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (
Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2008 ), cet-1, h. 37.
acuan salah satunya yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan No perkara
078/Pdt.G/2007/PA.JP. Menurut bapak Abduh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT bukan merupakan kompetensi absolut
Pengadilan Agama tetapi Undang-undang tersebut merupakan kompetensi absolute Pengadilan
Negeri, karena apabila Undang-undang tersebut dipakai di Pengadilan Agama bukan saja
menyalahi kompetensi absolute tetapi juga ada kendala pidana berupa pembuktian yang harus
dilakukan selain itu menurutnya Pengadilan Agama sudah memiliki Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan KHI yang di dalamnya juga telah mengatur mengenai alasan perceraian yang
mengandung unsur penganiyaan atau kekerasan.48
Tidak jauh berbeda dengan penuturan bapak
Abduh, bapak Edward, panitera Pengadilan Agama Jakarta Timur menyatakan hal serupa.49
Sedangkan menurut bapak Drs. H. Nuheri. SH. MH, hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat
sudah mengetahui dan menerapkan Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT sejak
disahkannya Undang-undang tersebut, tetapi memang dalam memutuskan perkara yang ada
unsur KDRTnya hakim lebih melihat kepada ketentuan yang ada di dalam kompilasi hukum
islam dan hanya menggunakan undang-undang PKDRT secara eksplisit, menurut bapak Nuheri
ada kendala pidana berupa pembuktian yang harus dilakukan kalau undang-undang PKDRT
dijadikan sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara yang ada unsur KDRTnya, selain itu
di dalam Pengadilan Agama sudah ada KHI yang mengatur mengenai alasan-alasan perceraian,
kebanyakan hakim hanya menggunakan dalil tersebut dalam memutuskan perkara gugat cerai
dengan alasan KDRT.
48 Bapak Abduh, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 29 Maret 2009.
49 Bapak Edward, Panitera Pengadilan Agama Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta, 2 April 2009.
Sebagian hakim Pengadilan Agama lebih spesifik melihat KDRT sebagai pelangggaran
taklik talak, padahal Komnas perempuan di dalam pelatihan hakim agama tentang KDRT telah
menghimbau supaya para hakim agama menggunakan Undang-undang No. 23 Tahun 2004
Tentang PKDRT, selain itu seluruh ketua Pengadilan Agama di Jakarta khususnya hakim ketua
Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan MA juga sudah memerintahkan para hakim yang
menangani kasus gugat cerai karena ada unsur KDRTnya menggunakan Undang-undang No. 23
tahun 2004 sebagai rujukannya.50
Salah satu contoh kasus gugat cerai yang mengandung unsur KDRT adalah kasus dengan
No perkara 078/Pdt.G/2007/PA.JP. Dalam kasus ini hakim menggunakan Undang-undang No.
23 Tahun 2004 Tentang PKDRT hanya sebagai informasi bahwa Tergugat telah melakukan
psikis terhadap Penggugat dengan membawa anak hasil perkawinan Tergugat dan Penggugat,
sehingga membuat Penggugat merasa tertekan karena tidak dapat bertemu dengan anaknya.
Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Undang-undang No. 23
Tahun 2004 tentang PKDRT sudah diterapkan sebagai salah satu pertimbangan dalam
memutuskan perkara gugat cerai dengan alasan KDRT.
50 H. Nuheri, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Wawancara Pribadi, Jakarta, 28 April 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-karim
Abdullah,A. Ghani. Himpunan Per-Undang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama. Jakarta
: PT. Intermasa, 1991.
Abdul Kodir, Faqihuddin dan Azizah Mukarnawati, Ummu. Referensi bagi Hakim Peradilan
Agama tentang Kekerasan dalam rumah tangga, Jakarta :Komnas Perempuan, 2008.
Abdurrahman. KHI di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo, 2004 .
Amandemen Undang-undang Peradilan Agama undang-undang RI No. 3 Tahun 2006. Jakarta :
Sinar Grafika.
Arifin, Imron. Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan. Malang :
Kalimasahada Press, 1994.
Aripurnami, Sita. “Kekerasan Terhadap Aspek-aspek Sosial Budaya dan pasal 5 Konvensi
Perempuan”. Dalam buku Pemahaman Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Alternatif Pemecahannya. penyunting Achie Sudiarti Luhulima. Bandung : PT. Alumni,
2000.
Badan Kepegawaian Negara, “ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin
Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Spil”, artikel ini diakses pada 1 Juni
2009 dari http://www.bkn.go.id/peraturan-pp-isi.php?news_id=411.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai Pustaka, 2005.
Djannah, Fathul. Dkk. Kekerasan Terhadap Isteri. Yogyakarta : LKIS.
Galtung, Johan. Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta : Kanisius,
1992.
Hilaluddin, Farhan. “ Efektifitas Pelaksanaan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT ( Studi di wilayah kotamadya Jakarta Selatan ).” Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta, 2008.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta :
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001.
Iman, Sulaiman. Problematika Rumah Tangga & Kunci Penyelesaiannya. Penerjemah Nabil
Muhammad. Jakarta : Qisthi Press, 2005.
Jurnal Perempuan, Hukum itu Seksi ? .edisi ke- 10 Februari – April, 1999.
Jurnal Perempuan, Di Rumah, Pengungsian dan Peradilan : KTP dari wilayah ke wilayah,
Jakarta : 7 Maret, 2007
Kantor Meneg PP. Pengetahuan Praktis Tentang Perlindungan Terhadap Perempuan Korban
Kekerasan. Jakarta : Meneg, 2000.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jurnal Yudicial Kajian Kehormatan, keluhuran marabat
dan Perilaku Hakim. Vol-I/No-03/Desember/2007.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Catatan Tentang Kekerasan Terhadap
Perempuan Di Rumah, Pengungsian dan Peradilan KTP dari Wilayah Ke Wilayah.
Jakarta, 7 Maret 2007.
Komnas Perempuan. Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan, 2004.
Maftuha, Mimi. “Efektivitas Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Perlindungan Sosial terhadap Perempuan (
Studi pada Kota Bekasi Jawa Barat).” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta, 2006.
Munti, Ratna Batara. Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga “Sebuah
bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum nasional”. LBH-APIK
Jakarta 2005.
Nursyahid. 5 Undang-undang Republik Indonesia. Jakarta : BP. Panca Usaha, 2007.
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Pemetaan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) melalui kerangka alur kerja analisis gender dan anak sebagai data pembuka :
laporan penelitian, Pemprop DKI Jakarta dengan Lembaga Penelitian Universitas
Padjajaran. Jakarta, 2004.
Putusan Pengadilan Agama ( PA ) Jakarta Pusat tentang gugat cerai No.
078/Pdt.G/2007/PA.JP
Sa’adah, Halimatus.” Cerai Gugat Karena Penganiayaan Suami (Studi Kasus di PA
Tanggerang)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidatullah Jakarta, 2008.
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986 .
Subhan , Zaitunah. Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta : Pusaka Pesantren, 2004.
Sudirman Abbas, Ahmad. Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Mazhab. Jakarta :
PT. Prima Heza Lestari.
Suharsimi, Arikunto. Prosedur Penelitian, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996.
Suma, Amin. Hukum Keluarga Islam Modern. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
Warson Munawwir, Ahmad. al – Munawir Kamus Arab – Indonesia. Surabaya : Pustaka
Progressif, 1997.
Wawancara Pribadi dengan Abduh. Jakarta, 29 Maret 2009.
Wawancara Pribadi dengan Nuheri. Jakarta, 28 April 2009.
Wawancara Pribadi dengan Edward. Jakarta, 2 April 2009.
LAMPIRAN