Upload
bagusdevil21
View
154
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Tugas Mata Kuliah Politik Multikulturalisme“Studi Kasus Multikulturalisme di Indonesia”
Oleh : Galang Geraldy (070710134)Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Airlangga
2010
Studi Kasus :
1. Analisis persoalan keadilan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini di era globalisasi.
Bagaimana konteks globalisasi merubah cara pandang dalam melihat keadilan sosial dan
analisis satu kasus persoalan keadilan sosial di Indonesia menggunakan pendekatan Justice in
Globalizing, Nancy Fraser.
2. Uraikan tiga artikulasi politik multikulturalisme dan analisis tiga contoh kasus di Indonesia
menggunakan pendekatan tuntutan politik multikultural di Indonesia (Will Kymlicka; Politik
Multikulturalisme).
1.Persoalan Keadilan di Indonesia
Mengutip pendapat Thomas I Friedman, seorang wartawan senior The New York
Times, globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi idea atau ideologi, yaitu
kapitalisme. Dalam pengertian ini, termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yaitu
falsafah invididualisme, demokrasi dan HAM. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu "pasar bebas"
dengan seperangkat tata-nilai lain yang harus membuka kesepakatan terbukanya arus barang
dan jasa dari satu negara ke negara lain. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi
informasi. Dengan teknologi informasi akan terbuka batas-batas negara, sehingga negara
makin tanpa batas (borderless country).
Dengan kenyataan seperti itu, globalisasi tidak hanya membuka batas negara, tetapi
juga batas nilai ideologi, moral, warna kulit, agama, bahkan nilai kemanusiaan lainnya. Arus
barang dan jasa akan berjalan lebih cepat. Inilah yang menjanjikan lahirnya kemakmuran
bagi semua negara yang terlibat, meski ketimpangan akan tetap ada.
(blog;sulastomo;www.unisodem.org)
Globalisasi muncul secara konsisten tahun 1980-an, yang didalangi oleh tiga institusi
ekonomi internasional. Peran itu di lakoni dengan baik oleh IMF, WTO dan World Bank.
Noam Chomsky mengingatkan : ” Globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak rakyat
(masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat
bersifat oligarkis dan oligopolistis. Meskipun globalisasi saat ini merupakan sumber
permasalahan seperti kesenjangan keadilan, namun kita tidak bisa serta merta beralih ke jalur
yang kontradiktif, karena kehidupan globalisasi telah menjadi wahana bagi aktualisasi dunia.
Artinya bila kita berlari dari globalisasi justru akan semakin menenggelamkan eksistensi
negeri ini.
Secara garis besar persoalan keadilan di Indonesia pasca reformasi dan memasuki era
globalisasi berkutat pada kesenjangan distribusi dan pengakuan. Globalisasi yang membawa
efek liberalisasi ekonomi, sehingga kapitalistik begitu mempengaruhi sistem perekonomian
Indonesia. Globalisasi yang sarat dengan aliran pasar bebas, tentu tidak membawa etika
moralistik dalam mengembangkan perekonomian. Inilah titik episentrum ketika etika
moralistik jalur-jalur distribusi kekayaan alam, daerah-daerah vital eknomi dibelengggu oleh
kekuatan korporasi internasional. Keluarnya UU Migas no.21 tahun 2001, UU.Pendidikan,
UU Penanaman Modal Asing, UU Hak Milik Sewa tanah, UU Kepemilikan Modal dan lain-
lain jelas hanya mengalokasikan legitimasinya pada kepentingan kaum korporasi. Negara
tidak kuasa dalam membendung arus kapitalistik global sehingga sekiranya tepat apa yang
pernah dikemukakan oleh presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Beliau mengingatkan
tentang akan kemunculan penjajahan model baru, Necolim (Neocolonialisme-Imperialisme).
Betapa berbahanya model penjajahan ini, yang sentralistik pada pelumpuhan ekonomi
nasional secara sistemik. Sekiranya tepat pula apa yang tertuang dalam monograf Prof.
Amien Rais yang berjudul Selamatkan Indonesia. Adalah korporatokrasi yang terdiri dari
korporasi-korporasi, pemerintah, media, intelektual pragmatis, bank-bank internasional dan
lain-lain sebagai komponen yang bersatu padu mengenyampingkan keadilan sosial-ekonomi
guna memenuhi hasrat eksploitasi ekonomi.
Persoalan kedua, menyangkut politik pengakuan. Keadilan bagi kelompok-kelompok
minoritas yang termarginalkan oleh struktur dan kultur di Indonesia. Kalau kita ingin menarik
sebuah kasus, tengok saja diskriminasi terhadap kaum etnis Tionghoa ketika ingin mengurus
persoalan adminstrasi kependudukan, atau kelompok keyakinan agama lain, suku-suku lain
yang sifatnya bukan sebagai pelengkap namun sesuatu yang berbeda dan terpinggirkan.
Gesekan etnisitas juga dapat disimak dari kasus di Kalimantan, antara kelompok pendatang
dengan kelompok setempat yang notabenenya berbeda suku dan ras.
Kesadaran historis kebangsaan ini menegaskan kemajemukan sebagai sebuah
keniscayaan. Tak bisa disangkal lagi, kenyataan bahwa Indonesia dibentuk oleh realitas
kemajemukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa menolak kemajemukan berarti membiarkan
negeri ini hancur dengan sendirinya.
Meskipun pluralisme oleh sebagian elit agamawan dituduh sebagai biang pengeruhan
keyakinan, tetapi secara ontologis, pluralisme menjadi pendasaran etis bagi peneguhan sikap
keberagamaan yang lebih inklusif, terbuka dan toleran. Disekapnya makna pluralisme dalam
pendiskreditan pihak-pihak yang mengaku mewakili memiliki otoritas agama adalah
sebentuk kekerasan epistemik, kerancuan semantik bahkan sikap pembodohan.
Sentimen keagamaan seringkali dibangun oleh elit agamawan yang gencar
menerapkan politik representasi secara terus-menerus. Politik ini menegaskan sikap mewakili
rakyat, umat atau kelompok tertentu agar diakui legitimasinya sebagai pembela kelompok
subaltern. Dalam praktiknya, politik ini acapkali diselewengkan demi kepentingan politik
terselubung.
Karenanya, dibutuhkan ideal politik multikulturalisme untuk membongkar sekat-sekat
politik representasi yang cenderung mengkooptasi dan memanipulasi potensi sentimen
etnoreligius atas nama subaltern, yaitu kelompok yang jauh dari pusat kekuasaan.
Gesekan antara kelompok fundamentalisme dan liberal menyangkut agama,
menambah daftar panjang serangkaian tingginya intensitas konlik horizontal di Indonesia.
Demokrasi yang mensyaratkan kebebasan, justru menjadi ladang tumbuh-kembangnya
radikalisme agama. John V Voll sendiri mengakui bahwasanya demokratisasi yang
berlangsung bukan saja tidak secara otomatis menghilangkan radikalisme melainkan justru
menjadi inspirasi bangkitnya radikalisme, karena kebebasan berpendapat tersebut. Anggap
saja demokrasi melegitimasi ‘pertarungan’ antara dua kutub yang telah lama bersembunyi
dalam ketiak rezim otoriter orde baru. Begitu halnya juga dengan globalisasi, deregulasi
ekonomi-sosial, persinggungan budaya antar bangsa, menjadi sangat rancu sampai sebatas
apa sebuah budaya mengalami tekanan dan represif, ataukah itu sekedar kompetisi dalam
sebuah dunia model baru. Teringat pula pada teori Charles Darwin, bagaimana konsistensi
makhluk hidup terlihat pada sejauh mana mereka bertahan pada proses dan seleksi alam.
Alam yang akan menentukan hasil akhirnya. Maka sudah menjadi tanggungan negara
semacam Indonesia, yang mana tingkat pluralitasnya begitu tinggi, dari yang sifatnya
horizontal sampai vertikal. Agama memang menarik, masuk dalam skala konflik horizontal
yang mempertautkan kepentingan vertikal, sebagai misi suci agama. Hal inilah yang sulit
diatasi oleh negara, mengingat negara tidak bisa serta merta masuk begitu saja dalam ranah
vertikalisasi agama.
Kita semua sepakat, agama diturunkan ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan
ketenteraman. Tidak pernah ada cita-cita agama manapun yang ingin membuat anarkisme,
terorisme, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme dan perusakan. Sebelum adanya agama,
masyarakat dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, saling membunuh,
saling menjelekkan dan seterusnya. Kemudian agama datang untuk membawa cahaya
kedamaian bagi manusia di bumi ini. Agama, dengan demikian harus kita sepakati terlebih
dahulu, hadir untuk menciptakan ketenteraman, untuk saling menghormati dan memahami
satu sama lain. Ada banyak agama dan kepercayaan di bumi ini. Logisnya, antaragama dan
kepercayaan semestinya tumbuh sikap saling menghormati itu. Sayang sekali, gejala
demokrasi yang dipandang terlalu berlebihan sehingga lebih pada tindakan-tindakan euforia
semata tanpa memahami aspek substansial di dalamnya, setidaknya dalam sepuluh tahun
awal demokrasi di Indonesia, menyebabkan kebebasan yang kebablasan dari praktek-praktek
agama justru mengkontraproduktifkan nilai-nilai agama sebenarnya.
Suatu agama kerap memandang dirinya sebagai satu kebenaran tunggal dalam
memotret agama lain, demikian pula dengan agama yang lain. Antaragama jarang
menemukan titik temu atas realitas perbedaan yang sudah semestinya niscaya ini. Lalu
terjadilah konflik yang berdarah-darah, pembunuhan korban tak bersalah atas nama agama.
Sebagai pemeluk agama yang benar-benar memanifestasikan imannya untuk kedamaian di
dunia, kita benar-benar dibuat sedih. Jika konflik atas nama agama dibenarkan, hilanglah
nurani dan hakikat agama itu sendiri. Agama tak lagi menjadi payung perdamaian karena
sudah mengalami politisasi dan fanatisme.
Terlebih dengan gelombang globalisasi, munculnya transnasional agama. Intervensi
sosial-budaya luar menjadi tren globalisasi. Kemandirian dan kedaulatan negara, hanya
menyisakan sebuah keperkasaan dari segi geopolitik semata, sedang dari ekonomi sampai
politik pencampuran dengan aset-aset asing terkadang justru memperlemah identias
kebangsaan kita. Salah satunya tentu, budaya yang sifantnya muamalah dari timur tengah di
klaim sebagai budaya ubbhudiyah. Transnasional agama lambat laun jelas akan mengerosi
karakteristik nilai-nilai bangsa. Masdar Hilmy dalam bukunya Membaca agama: Islam
sebagai realitas terkosntruksi, menjelentrehkan dengan cantik teori-teori kemunculan
transnasional di Indonesia yakni travelling theory, teori hibriditas dan teori diaspora.
Gerakan Islam transnasional mengusung ideology tunggal ‘khilafah Islamiyah’ guna
memanifestasikan kembali romantika masa lalu kejayaan Islam di bawah naungan sistem
kekhalifahan. Ideologi ini hanya bisa berkembang ketika term negara-bangsa dapat di
selimuti dengan jubah khilafah Islamiyah, sehingga asas-asas sekularisme tergantikan oleh
paham-paham Islamisme. Untuk itu perkembangannya harus lintas negara, bukan hanya di
satu negara, karena esensinya gerakan ini menyatukan negara-negara muslim untuk berdiri
atas satu nama, Daulah Islamiyah.
Inilah potret betapa variasinya varian aliran agama di Indonesia, dalam skala internal
satu agama saja terpolarisasikan beragam perspektif. Pluralitas agama menjadi semacama
hakekat yang semestinya terjaga dengan elegan tanpa ada kesempatan untuk
mengaktualisasikan dengan cara-cara kekerasan. Aktualisasi dan eksistensialisasi adalah
wujud dari perjuangan politik pengakuan, politik yang berlindung dari induknya, yakni
politik multikuturalisme.
Dialog antaragama dan komunikasi antariman dengan demikian, akan menjadi sesuatu
yang amat berharga dalam rangka menyelesaikan konflik. Ia adalah suatu konsep di mana
penghargaan pada masing- masing keyakinan menjadi poin utama. Logisnya, menganggap
keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat
atau substansi agama. Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan
untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-klaim
kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas
pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.
Paradigma Keadilan sosial dalam konteks Globalisasi
Di dalam perdebatan filsafat politik kontemporer, politik selalu didefinisikan
setidaknya dengan dua kategori, yakni kategori redistribusi (redistribution), dan kategori
pengakuan (recognition). Kategori redistribusi berarti setiap orang menginginkan distribusi
kekayaan alam, dalam bentuk modal maupun sumber daya, secara adil dan merata. Sementara
kategori pengakuan berarti bahwa setiap orang ingin menciptakan masyarakat yang ‘ramah-
terhadap-perbedaan’ (difference-friendly-culture). Artinya masyarakat haruslah ditata,
sehingga kultur yang minoritas tidaklah harus berasimilasi dengan kultur mayoritas untuk
bisa mendapatkan pengakuan yang sepantasnya. Pihak-pihak yang menyetujui kategori
redistribusi menginginkan pembagian kekayaan yang adil merata bagi seluruh pihak.
Sementara pihak-pihak yang lebih menyetujui kategori pengakuan hendak memperjuangkan
pengakuan bagi partikularitas etnis, ras, orientasi seksual, dan gender mereka. Dua kutub ini
telah menjadi pusat perdebatan di dalam filsafat politik kontemporer.
Dewasa ini perdebatan di antara dua kutub tersebut semakin meningkat intensitasnya.
Dalam banyak kasus perjuangan untuk memperoleh pengakuan dari kultur minoritas
seringkali terpisah sama sekali dari perjuangan untuk mewujudkan pembagian kekayaan yang
merata. Misalnya tentang perjuangan feminisme. Bagi kaum feminis pembagian kekayaan
yang adil dan merata justru semakin memperkuat dominasi kaum laki-laki di dalam ruang
publik, yakni ketika bantuan dipandang sebagai sumbangan ataupun bantuan semata. Yang
dibutuhkan oleh kaum feminis adalah pengakuan akan perbedaan, dan bukan bantuan. Dalam
konteks akademis para pemikir feminis, yang melihat gender sebagai suatu kontruk sosial,
juga seringkali berdebat keras dengan para pemikir lainnya yang melihat gender sebagai
suatu bentuk identitas ontologis yang bersifat statis. Seluruh perdebatan ini sebenarnya
dapatlah dilihat sebagai munculnya suatu gejala baru, yakni terpisahnya politik kultural
(cultural politics) dari politik praktis (sosial politics), dan terpisahnya politik perbedaan
(politics of difference) dari politik kesetaraan (politics of equality).
Nancy Fraser, seorang filsuf politik perempuan asal Amerika, lebih jauh melihat
bahwa keterpisahan ini semakin mengarah pada keterpisahan radikal, atau apa yang
disebutnya sebagai polarisasi (polarization). Para pemikir yang memihak pada politik
redistribusi, atau politik pembagian kekayaan secara adil dan merata, berpendapat bahwa
perjuangan untuk mendapatkan pengakuan adalah suatu bentuk ‘kesadaran palsu’ (false
consciousness) yang justru dapat menjadi halangan besar untuk menciptakan keadilan sosial.
Kontras dengan itu para pemikir yang pro dengan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan,
atau politik pengakuan, berpendapat bahwa politik redistribusi sama sekali tidak dapat
mengartikulasikan pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang yang berasal
dari kultur minoritas. Dalam konteks ini kita seolah pada dua pilihan, yakni memilih politik
redistribusi, atau memilih politik pengakuan.
Salah satu ancaman terhadap keadilan sosial dalam globalisasi adalah hasil dari suatu
ironi sejarah: pergeseran dari redistribusi atas pengakuan yang terjadi meskipun (atau karena)
percepatan globalisasi ekonomi. Dengan demikian, konflik identitas telah mencapai status
paradigmatik tepat pada saat ketika kapitalisme pimpinan Amerika agresif globalisasi secara
radikal memperburuk kesenjangan ekonomi. Akibatnya, giliran untuk pengakuan telah
dovetailed terlalu rapi dengan neoliberalisme hegemonik yang ingin tidak lebih dari untuk
menekan memori egalitarianisme sosialis. Dalam konteks ini, perjuangan untuk pengakuan
melayani kurang untuk melengkapi, menyulitkan, dan memperkaya redistribusi perjuangan
daripada meminggirkan, gerhana, dan menggantikan mereka.
Pemindahan mengancam kemampuan kita untuk membayangkan keadilan sosial
dalam dunia yang mengglobal. Untuk menghindari memotong visi kami emansipasi, dan
tanpa disadari berkolusi dengan neoliberalisme, kita perlu meninjau kembali konsep
keadilan. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah konsep yang luas dan luas, yang dapat
menampung setidaknya dua set keprihatinan.
Di satu sisi, seperti konsepsi harus mencakup keprihatinan tradisional teori keadilan
distributif, terutama kemiskinan, eksploitasi, ketimpangan, dan perbedaan kelas. Pada saat
yang sama, ia juga harus mencakup kekhawatiran baru-baru ini disorot dalam filsafat
pengakuan, terutama tidak hormat, imperialisme budaya, dan hirarki status. Menolak
formulasi sektarian yang melemparkan distribusi dan pengakuan sebagai pemahaman yang
saling bertentangan keadilan, seperti konsepsi harus mengakomodasi keduanya. Hasilnya
harus menjadi dua dimensi konsepsi keadilan. Hanya konsepsi semacam dapat memahami
besarnya penuh ketidakadilan dalam globalisasi.
Membutuhkan melihat keadilan sosial bifocally, secara bersamaan melalui dua lensa
yang berbeda.Dilihat melalui satu lensa, keadilan adalah masalah distribusi yang adil; dilihat
melalui yang lain, ini adalah masalah pengakuan timbal balik. lensa Masing-masing
membawa ke dalam fokus aspek penting dari keadilan sosial, tetapi tidak saja sudah
cukup. Pemahaman yang lengkap tersedia hanya ketika dua lensa ditumpangkan. Pada saat
itu, keadilan muncul sebagai sebuah konsep yang mencakup dua dimensi sosial pemesanan,
dimensi distribusi dan dimensi pengakuan.
Dari perspektif distributif, ketidakadilan muncul dalam kedok kesenjangan kelas-
seperti, berakar dalam struktur ekonomi masyarakat. Di sini, ketidakadilan klasik adalah
maldistribution, dipahami secara luas, untuk mencakup tidak ketimpangan pendapatan saja,
tetapi juga eksploitasi, perampasan, dan marginalisasi atau pengecualian dari pasar tenaga
kerja. Adalah redistribusi, juga dipahami secara luas, untuk mencakup tidak hanya transfer
pendapatan, tetapi juga reorganisasi pembagian kerja, mengubah struktur kepemilikan
properti, dan demokratisasi prosedur dimana keputusan investasi dilakukan.
Dari perspektif pengakuan, sebaliknya, ketidakadilan muncul dalam kedok
subordinasi status, berakar dalam hierarki dilembagakan nilai budaya.Ketidakadilan
paradigmatik di sini adalah misrecognition, yang juga harus dipahami secara luas, untuk
mencakup dominasi budaya, nonrecognition, dan tidak hormat. obat tersebut, sesuai, adalah
pengakuan, dipahami secara luas juga, sehingga tidak mencakup reformasi hanya bertujuan
upwardly menilai kembali identitas tidak dihormati dan produk budaya kelompok difitnah
tetapi juga upaya untuk mengenali, dan menaikkan harga, keragaman, di satu sisi, dan upaya
untuk mengubah tatanan simbolik, membongkar istilah yang mendasari diferensiasi status
yang ada, dan dengan demikian perubahan identitas sosial setiap orang, di sisi lain.
Dari perspektif distributif, kemudian, keadilan memerlukan politik redistribusi. Dari
perspektif pengakuan, sebaliknya, keadilan politik membutuhkan pengakuan. Ancaman
perpindahan muncul ketika dua perspektif tentang keadilan yang dipandang sebagai saling
bertentangan. Kemudian, klaim pengakuan menjadi dipisahkan dari klaim redistribusi,
akhirnya gerhana terakhir.
Ketika dua perspektif keadilan ditumpangkan, bagaimanapun, risiko perpindahan bisa
dijinakkan. Kemudian, keadilan muncul sebagai kategori dua dimensi, yang meliputi klaim
dari kedua jenis. Dari perspektif ini yg bertitik api dua, maka tidak perlu lagi memilih antara
pengakuan politik dan politik redistribusi. Apa yang diperlukan, sebaliknya, adalah sebuah
politik yang meliputi keduanya.
Percepatan globalisasi membuat seperti politik mungkin pada prinsipnya. Dalam
masyarakat ini, seperti yang kita lihat, identitas tidak lagi terikat secara eksklusif untuk
tenaga kerja, dan isu-isu budaya yang sangat dipolitisir. Namun ketimpangan ekonomi tetap
merajalela, sebagai ekonomi informasi baru global memicu proses-proses utama dari
rekomposisi kelas. Selain itu, populasi beragam saat ini pekerja simbolis, pekerja jasa,
pekerja manufaktur, paruh waktu dan pekerja sementara, dan mereka yang menderita
pengucilan sosial sangat sadar hierarki status ganda, termasuk gender, "ras", etnisitas,
seksualitas, dan agama. Dalam konteks ini, tidak ekonomisme reduktif atau culturalism
vulgar adalah layak. Sebaliknya, hanya perspektif yang memadai adalah mencakup satu yg
bertitik api dua baik pengakuan dan distribusi.
Bagian dari kebingungan terletak pada ambiguitas tentang apa yang kita maksud
dengan globalisasi dan bagaimana kita berpikir tentang keadilan sosial. Tetapi lebih dari itu:
juga bahwa rasa keadilan sosial kita dipengaruhi oleh apa yang kita yakini adalah
mungkin. Dengan tidak adanya alternatif Kekaisaran AS, dan tidak adanya kapasitas politik
untuk menempatkan alternatif tersebut dalam agenda, mimpi kita dipangkas agar sesuai
dengan tempat tidur "realitas." Keadilan sosial dibuat kompatibel dengan globalisasi, bukan
dengan mengubah masyarakat.
Ini dari perspektif inilah saya ingin mempertimbangkan, dan menarik beberapa
kesimpulan dari, dua berlawanan alternatif rupanya yang mencoba untuk menemukan
beberapa kompatibilitas antara globalisasi dan keadilan sosial: satu berusaha kembali ke
demokrasi sosial kapitalisme "zaman keemasan", sementara yang lain menekankan
membangun ekonomi. "masyarakat berbasis" sosial. Tapi pertama, titik sejarah singkat
tentang globalisasi.
Dalam doktrin neoliberal, kompetisi menjadi nilai sentral. Kompetisi menjadi strategi
terbaik guna meraih profit maksimal sekaligus mendapat alokasi sumber daya secara optimal.
Prinsipnya, one person’s crisis is another person’s opportunity for enrichment. Dalam
hegemoni ekonomi pasar, perilaku yang didasarkan solidaritas berarti ketololan.
Globalisasi neoliberal sarat dengan hiperkompetisi langsung, bahkan antara orang-
orang yang tak pernah bertemu sekalipun. Mengikuti petuah Thomas Hobbes, every man is
enemy to every man. Kanibalisme hukum rimba berlaku secara brutal dan kejam. Siapa kuat,
dia menang. Sistem ekonomi pasar hanya mengambil yang terbaik dan meninggalkan
sisanya, menciptakan para pecundang ketimbang pemenang. Afrika adalah wajah kekalahan.
Alih-alih menciptakan kemakmuran, globalisasi justru menimbulkan ketimpangan
mendalam, baik intra maupun antarnegara. Globalisasi ekonomi tidak seketika membawa
dunia menuju kemakmuran dalam meraih standar hidup, pemenuhan hak asasi, dan akses
pasar, tetapi justru menciptakan kemiskinan global.
Menurut Laporan Tahunan UNDP 2006, 40 persen populasi penduduk termiskin di
dunia—2,5 miliar manusia hidup di bawah dua dollar AS per hari— setara dengan 5 persen
pendapatan global, sementara 10 persen populasi orang terkaya memiliki aset sekitar 54
persen pendapatan global.
Lebih dari 800 juta orang kelaparan dan kekurangan gizi, 1,1 miliar orang tidak
memiliki akses air minum, dan tiap jam sebanyak 1.200 anak-anak mati karena penyakit yang
mestinya bisa dicegah. Meski ekonomi global dan kemajuan teknologi tumbuh pesat, banyak
orang di negara berkembang tak dapat menikmati kue globalisasi.
The New York Times (28/6/ 2006) menyebutkan, setiap tahun lebih dari 800.000 anak
di Afrika mati karena malaria. Padahal, obat pencegah bisa didapat 55 sen per dosis, kelambu
penghadang nyamuk hanya satu dollar setahun dan pembasmi nyamuk hanya seharga 10
dollar AS per tahun untuk satu rumah tangga.
Kompetisi pasar global membutuhkan manusia dengan inisiatif, terlatih, melek
teknologi informasi, dan semangat wirausaha. Masyarakat miskin—terutama Afrika—jelas
tidak memiliki akses dan modal untuk belajar keahlian baru. Untuk makan saja susah, apalagi
menikmati bangku pendidikan.
Tentu begitu banyak potret polemik keadilan sosial di negara-negara berkembang
semacam Indonesia dalam menghadapi era globalisasi. Tapi di antara itu semua, mungkin
kasus yang begitu mencolok adalah terkait keadilan ekonomi. Salah satu studi yang menarik
sekaligus mencengangkan ketika Amien Rais dalam monografnya Selamatkan Indonesia-
Agenda Mendesak Bangsa, secara teoritis dan kontekstual menjelaskan betapa Indonesia
mengalami degradasi ekonomi yang sangat parah ketika menuruti salah satu tiang penyangga
globalisasi, yaitu Washington Consensus. Indonesia terjebak dalam korporatokrasi
internasional, sehingga belenggu ekonomi yang terjalin sangat sistematis dan koordinatif.
Pasar bebas adalah mesin utama dari Globalisasi yang saat ini sedang naik daun. Dan
untuk memahami Pasar Bebas ini, maka orang perlu memahami Neo-Liberalisme
(liberalisme baru). Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya,
terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret Thatcher. Semenjak
1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek
negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF
dan WTO. Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak
terjang badan-badan multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan domestik
di negara-negara maju; kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi
yang tidak berkesudahan; kita dapat memahami mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus
oleh IMF; kita dapat memahami mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami
mengapa BUMN didorong untuk diprivatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air,
BBM, dan pajak naik; kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan lain
masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahami mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt
Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang membingungkan dan
memperdayai publik.
Tuntutan keadilan
Globalisasi tak lepas dari anomali. Arus uang seharusnya bergerak dari negara kaya
ke negara miskin, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Globalisasi justru menjadi ajang
mentransfer kekayaan dari si miskin kepada yang kaya (George, 2006). Pada tahun 1980,
negara-negara Selatan memiliki stok utang sekitar 540 miliar dollar AS. Angka itu meningkat
hampir lima kali lipat menjadi 2.600 miliar dollar AS pada tahun 2004. Padahal, dalam kurun
waktu itu, mereka membayar utang 5.300 miliar dollar AS, hampir 10 kali lipat utang mereka
tahun 1980. Bahkan, kawasan Sahara Afrika, bagian termiskin di dunia, terus menyumbang
kreditor 28.000 dollar AS per menit.
Globalisasi neoliberal tidak lahir secara alami, tidak pula diciptakan oleh kekuatan
supranatural. Pasar bukan Tuhan dan bukan tugasnya untuk mengatur, apalagi mendikte
aturan kepada manusia. Pendewaan terhadap pasar harus dihentikan. Masyarakat dunia
berhak menentukan peran yang harus dimainkan oleh pasar, yakni sebagai pelayan dan bukan
sebagai majikan.
Globalisasi, menurut Stiglitz (2006), diyakini memiliki potensi besar jika ditata dan
dikontrol. Agar globalisasi berjalan lebih manusiawi, dibutuhkan lembaga yang kuat dan
transparan, seperangkat institusi yang dapat memandu kebijakan ekonomi, politik dan sosial
lebih adil, sekaligus memihak dunia yang miskin. Di bawah komando supremasi kapitalisme
global yang culas dan kejam, globalisasi yang manusiawi menjadi tuntutan zaman yang tak
terelakkan.
Kini saatnya memformulasikan kebijakan ekonomi yang berkeadilan sosial yang
memutus keterikatan dan ketergantungan kepada agenda globalisasi. WTO dan IMF telah
membatasi pilihan-pilihan kebijakan yang ada dan memaksakan kebijakan yang hanya sesuai
dengan agenda mereka. Pada masa lalu mereka memakai pendekatan “Economic Growth”
(pertumbuhan ekonomi) sebagai doktrin, dan sekarang mereka menambahkan “Kompetisi
Bebas” sebagai doktrin. Ini harus ditentang dan dicarikan alternatifnya. Ada banyak alternatif
yang tersedia sebenarnya, asalkan kita tidak “turut dan manut” saja terhadap pasar bebas /
globalisasi. Oleh karena itu berbagai kelompok nasional harus berembuk dan berdialog
bersama guna menetapkan pokok-pokok pandangan dan visi nasional yang non-Pasar Bebas.
Banyak alternatif yang mungkin dilakukan (There Are Many Alternatives), yaitu:
1) Sistem ekonomi jangan berprinsip pasar bebas (liberalisme ekonomi). Haruslah
mencontoh berbagai pengalaman negara lain, termasuk AS, Jerman dan Jepang, yang
dalam sejarahnya juga memakai ekonomi merkantilis dan proteksionis ketimbang
pasar bebas di masa awal pembangunannya. Indonesia masih dalam tahap-tahap awal
perkembangannya, dan karenanya perlu menerapkan ekonomi yang proteksionis dan
kerakyatan.
2) Sistem ekonomi haruslah mendahulukan pasar domestik dan menaruh di belakang
orientasi pada pasar ekspor. Sistem ekonomi dikembangkan untuk memperkuat
produksi domestik untuk pasar dalam negeri, sehingga memperkuat perekonomian
rakyat; dan bukan untuk melayani kepentingan TNC dan konglomerat atas pasar
eksport.
3) Pertanian dijadikan prioritas utama perekonomian, karena di sinilah hidup
mayoritas rakyat. Karena itu alokasi untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan
perikanan) harus lebih besar dari yang lain-lainnya. Pertanian harus dirubah melalui
agrarian reform, sehingga terjadi distribusi tanah dan sumberdaya yang merata.
Selain itu diadakan berbagai kemudahan dan fasilitas serta perlindungan bagi petani
untuk memperkuat sektor pertanian.
4) Industrialisasi berdasarkan pada bahan baku setempat, sehingga tidak tergantung
impor dari luar. Ini berarti di satu pihak memperkuat sektor pertanian, sektor kelautan
dan lain-lainnya; serta memperkuat sektor industri itu sendiri serta industri-industri
kecil yang terkait dengannya.
5) Diadakan perekonomian yang berorientasi kepada kesejahteraan, yaitu negara
menjalankan berbagai peran penyelenggaraan barang publik (public goods) dan
prasarana publik (public facilities), seperti air, listrik, transportasi, kesehatan,
pendidikan dan lainnya. Segala sesuatu yang bersifat publik haruslah bersifat gratis.
6) Tidak tergantung kepada badan-badan multilateral, dan ikut serta merubah badan
badan tersebut agar menjadi badan yang terutama melayani kepentingan negara
negara Dunia Ketiga
7) Penghapusan sebagian besar hutang karena alasan-alasan etika, moral, dan
ekonomi yang layak.
8) Melepaskan diri dari rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang bebas
(free-floatexchange rate); dan sebagai gantinya menetapkan kontrol modal (capital
control) dan nilai tukar tetap (fixed exchange).
9) Menyokong diadakannya Tobin Tax terhadap arus keluar masuk modal swasta
yang saat ini merupakan ‘hot money’ dan volatilitasnya sangat tinggi.
10) Menolak paham Neo-liberal dan mencari alternatif ilmu ekonomi yang lebih
mencerminkankepentingan rakyat dan nasional, seperti dengan neo-protectionism,
neo-keynesianism, welfare state, ekonomi kerakyatan dan lain-lainnya.
11) Demokrasi yang diarahkan bagi penguatan aspirasi rakyat dan organisasi rakyat;
kebebasan berpikir, berbicara, berorganisasi; dan pemenuhan HAM sepenuhnya.
12) Kerjasama Dunia Ketiga untuk bersama-sama menghadapi kepentingan negara
negara maju (G-7, OECD), untuk di dapat resolusi yang layak bagi Dunia Ketiga,
seperti memperkuat kembali hasil yang telah dicapai UNCTAD lewat GSP
(Generalized System of Preference) dan pengurangan hutang.
c. Problematika Keadilan Sosial di Indonesia dalam konteks Globalisasi
Ada empat pertanyaan filosofis yang mendasar yang dihadapi oleh setiap pemikir
yang hendak mengkombinasikan politik pengakuan di satu sisi, dan politik redistribusi di sisi
lain. Yang pertama apakah pengakuan adalah soal keadilan, atau masalah realisasi diri (self-
realization) sepenuhnya di dalam masyarakat? Kedua apakah pandangan keadilan distributif,
yang menjadi dasar pemikiran politik redistribusi, mengandung subtansi konseptual yang
sepenuhnya berbeda dengan pandangan politik pengakuan, sehingga semua upaya
rekonsiliasi konseptual di antara keduanya menjadi tidak mungkin? Ketiga apakah keadilan
justru membutuhkan semacam pengakuan tentang hal-hal khusus yang hanya dimiliki oleh
suatu kelompok tertentu? Dan keempat bagaimana kita dapat membedakan klaim-klaim
pengakuan dari suatu kelompok, dan kemudian menentukan pengakuan mana yang tepat, dan
pengakuan mana yang tidak tepat?
Jawaban atas pertanyaan ini sungguh tergantung bagaimana pemahaman seseorang
terhadap konsep politik pengakuan. Menurut Fraser konsep keadilan yang ada sekarang ini
harus diperluas, sehingga mampu menampung kompleksitas politik pengakuan. Walaupun
begitu keadilan haruslah tetap berada di ranah moralitas ala Kantian yang bersifat universal,
dan tidak terjatuh ke dalam sittlichkeit yang cenderung bersifat partikular. Marilah kita mulai
dengan pertanyaan pertama, apakah politik pengakuan ini soal keadilan, yang berarti soal
moralitas, atau soal realisasi diri untuk mencapai kehidupan yang baik, yang berarti masalah
etika? Di dalam filsafat politik klasik pengakuan (recognition) biasanya dikaitkan dengan
masalah etika, yakni masalah tentang bagaimana mencapai hidup yang baik. Ini jugalah yang
menjadi pandangan dari Charles Taylor dan Axel Honneth, dua teoritikus tentang politik
pengakuan yang paling berpengaruh sekarang ini. Bagi mereka berdua subyektifitas yang
seutuhnya baru bisa dicapai, jika setiap orang dikenali dan diakui sepenuhnya sebagai subyek
dalam keberlainan maupun kesamaannya. Menolak mengakui orang lain sebagai subyek
berarti juga memangkasnya dari kondisi-kondisi kemungkinan yang membuat ia mampu
berkembang seutuhnya sebagai manusia.
Dengan memandang politik pengakuan dalam kerangka keadilan, kita mendapatkan
beberapa keuntungan penting. Pertama jika pengakuan adalah masalah keadilan, maka kita
bisa menempatkan politik pengakuan sebagai norma moral yang mengikat dan wajib ditaati
sebagai bagian dari tata masyarakat yang adil. Di dalam kondisi semacam ini tidak ada satu
pemahaman tunggal tentang bagaimana dan apa itu hidup yang baik. Tidak ada satu kriteria
tunggal yang bersifat universal untuk menentukan apa yang dimaksud sebagai ‘hidup yang
baik’. Semua bentuk upaya untuk menjadikan satu konsepsi tunggal tentang hidup yang baik
sebagai universal adalah sebuah tindakan sektarian-separatis. Klaim semacam ini tidak
pernah dapat menjadi suatu norma moral yang mengikat semua pihak, terutama pihak-pihak
yang berasal dari horison nilai yang berbeda.
Nah menurut Fraser, politik pengakuan model status sosial yang ditawarkannya
bersifat deontologis dan tidak sektarian. Dalam konteks ini ia sangat dipengaruhi dengan
pandangan modernitas tentang subyek, yakni sebagai subyek yang bebas, di mana setiap
individu maupun kelompok dapat mendefinisikan sendiri apa yang baik menurut mereka,
mengejar tujuan-tujuan pribadi mereka sejauh tidak melanggar kebebasan orang lain. Dengan
kata lain politik pengakuan model status sosial tidak mengacu pada satu konsepsi partikular
tentang hidup yang baik, melainkan kepada keadilan yang dapat dan harus diterima oleh
orang yang berasal dari horison nilai yang berbeda-beda. Yang menjadi alasan mengapa
‘tidak adanya pengakuan’ tidak pernah bisa dibenarkan secara moral adalah, karena sikap itu
menyangkal kapasitas individu atau kelompok untuk berpartisipasi secara penuh di dalam
interaksi sosial. “Politik pengakuan model status sosial,” demikian Fraser, “dapat
membenarkan klaim-klaim bagi pengakuan sesuatu yang mengikat secara normatif bagi
semua yang setuju untuk tinggal di dalam kosa kata adil mereka dalam konteks interaksi di
bawah kondisi-kondisi pluralisme nilai.”
Keuntungan kedua adalah bahwa dengan memahami semua bentuk ‘tidak adanya
pengakuan’ sebagai suatu bentuk subordinasi sosial, maka yang menjadi pokok persoalan
yang harus dianalisis adalah relasi-relasi sosial, dan bukan lagi merupakan masalah
psikologis individual semata. Pada titik ini jika kita diperlakukan tidak adil tidak hanya
berarti kita dipandang sebagai orang ‘sakit’, direndahkan, atau dianggap tidak bernilai,
melainkan juga dianggap sebagai orang yang tidak memiliki status penuh di dalam interaksi
sosial, serta tidak memiliki hak untuk berpartisipasi secara maksimal di dalam kehidupan
sosial. Jika hal ini terjadi maka menurut Fraser, keadilan dan kesamaan juga tidak akan
pernah terwujud.
Kasus-kasus semacam diskriminasi kelompok-kelompok minoritas, seperti
ahmadiyah, kelompok gay serta kesetaraan gender dalam bentuk degradasi politik pengakuan
dalam konteks multikultualisme. Politik pengakuan model status sosial juga bisa menghindari
psikologisme, yakni ketika ‘tidak adanya pengakuan’ dipandang sebagai kesalahan atau
distorsi dari kesadaran subyektif-psikologis semata. Fraser menekankan bahwa apa yang ia
maksud sebagai ‘tidak adanya pengakuan’ adalah suatu kondisi, di mana keberadaan
seseorang ataupun suatu kelompok tidak diakui sepenuhnya di dalam interaksi sosial. Kondisi
semacam itu tidak ada hubungannya dengan struktur kesadaran subyek, melainkan lebih
berada di level relasi-relasi sosial. Dengan semua alasan ini maka pengakuan paling tepat
dipandang sebagai persoalan keadilan dan moralitas, serta bukan masalah mengenai hidup
yang baik saja, atau masalah etika. Cara praktisnya adalah dengan menempatkan soal
pengakuan (recognition) dalam konteks status sosial.
2. Artikulasi politik multikulturalisme
Parekh (2008), mendefinisikan multikulturalisme sebagai keanekaragaman
atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural, namun juga multikulturalisme tidak
melulu mengenai perbedaan, ia bisa berbentuk satu kumpulan tentang keyakinan dan
praktekpraktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri
mereka sendiri dan dunianya.
Selain itu Parekh, menegaskan bahwa multikultural bukan lah persoalan suatu pilihan
atau selera individu tertentu, tetapi multikultural merupakan persoalan keanekaragaman atau
perbedaan berdasarkan historis kultural. Diasumsikan manusia ketika dilahirkan, sejak saat
itu akan melekat dan tertanam budaya dalam jangka waktu lama oleh keluarga, masyarakat
dan lingkungannya, yang akhirnya menjadikannya memiliki karakteristik yang berbeda
dengan manusia lainnya yang berada di masyarakat dan lingkungan yang berbeda pula.
Manusia dapat dikategorikan dalam berbagai kelompok. Pengelompokkan atas dasar
jenis kelamin secara konvensional dikenali dengan kategori wanita dan pria. Dari segi adat-
istiadat dan bahasa dikenal dengan berbagai kelompok suku bangsa, seperti suku bangsa
Jawa, Sunda, Arab, dan Rusia. Lalu berdasarkan ciri fisik biologis manusia dikelompokkan
menjadi beberapa ras, seperti Mongoloid, Eropa, Melayu dan Melanesia
Parekh menyadari sepenuhnya bahwa filsafat politik Barat belum mampu (baca:
mempunyai sumber daya yang terbatas) menyelesaikan persoalan multikultural yang ruwet.
Hal ini mungkin karena realitas masyarakat Barat tidak terlalu kompleks jika dibandingkan
realitas masyarakat yang ada di Timur. Guru besar untuk perkuliahan Teori Politik di
Universitas of Hull ini menjelaskan multikulturalisme dengan cara pandang Filsafat Politik
Timur.
Dengan filsafat politik ala Timur ini, perbincangan multikultural menjadi lebih
bermakna karena didasarkan atas realitas masyarakat yang majemuk. Karya Parekh yang
dalam waktu singkat menjadi bacaan klasik saat pertama dipublikasikan ini, menurut
Azyumardi Azra, merupakan panduan akademis dan teoritis yang sangat penting untuk
penguatan multikulturalisme.
Dalam karyanya Multiculturalism: Consumerist or Transformational?, Bill Martin
mengemukakan gagasannya bahwa semua isu yang berkaitan dengan perkembangan
multikulturalisme tumbuh dalam sebuah pertanyaan tentang perbedaan dalam cara melihat,
sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf dan teoritikus sosial. Argumentasi dia kira-kira
demikian: jika multikulturalisme merupakan agenda sosial maupun politik, maka ia harus
lebih dari sekedar iklan di bawah penglihatan berbagai kelompok yang berbeda-beda.
Karenanya, semua yang melihatnya harus mendekatinya dengan satu maksud yang sama,
membawa mereka bersama-sama pada peluang bagi kemanusiaan.
Martin, melihat dorongan tradisionalis yang berpusat pada tradisi Afrika-sentris dan
tradisi Barat. Catatan penting dari Martin mengemukakan bahwa istilah multikulturalisme
harus dikonsumsi, dan kita harus menjadi seorang yang konsumeris terhadap paham tersebut
dan menjadikannya sebagai jaringan kerja. Hanya dengan itu, kita akan menjadikannya
sebagai bagian dari transformasi budaya kita. Kata dia, sementara ini ada isu tentang kelas,
ras, etnisitas, dan berbagai divergensi lainnya. Kita semua memang mengakui hal itu, dan
dalam kepedulian kita, kita harus melihat bahwa hal itu dapat mendorong konflik sosial-
politik yang perlu dicegah. Masyarakat harus secara kolektif dalam visi perubahan sosial
bekerja ke arah tipe baru multikulturalisme; salah satunya melalui transformasi.
Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal
munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam
bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation”. Sentimen ideologis yang selama ini
dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.
Wacana etnisitas dan identitas lokal dijadikan sebagai alat politik untuk melakukan tawar-
menawar dengan pemerintah pusat agar daerah memperoleh otonomi yang lebih luas untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Bahkan, tidak hanya tuntutan otonomi luas, sejumlah daerah pun “menekan”
pemerintah pusat akan memisahkan diri dari NKRI bila tidak dipenuhi tuntutannya. Sebagai
kompromi terhadap tuntutan pemisahan diri tersebut, dibuatlah UU Otonomi Khusus untuk
Nangroe Aceh Darusallam dan Papua, dengan pengaturan khusus untuk mengakomodasi
tuntutan pengakuan identitas lokal di kedua daerah tersebut. Aceh dengan identitas ke-Islam-
annya, dan Papua dengan identitas adatnya.
Selain itu, di sejumlah daerah pun berkembang kontroversi tentang wacana peraturan
daerah berdasarkan Syariat Islam. Daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya beragama
non-Muslim pun sempat memunculkan wacana sejenis. Bali, misalnya, memunculkan isu
Ajeg Bali yang intinya ingin mengembalikan nilai-nilai adat dan budaya Bali sebagai dasar
dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Isu agama dan etnisitas mudah sekali
dipolitisasi untuk memicu konflik di masyarakat. Sejumlah daerah, seperti Poso, Kupang,
Sambas, Palangkaraya, Lombok, dan Ambon menjadi contoh rentannya masyarakat
menghadapi politisasi identitas etnis dan agama.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi
pekerjaan yang cukup berat untuk membangun wawasan kebangsaan. Secara historis,
Indonesia sebagai suatu entitas kebangsaan merupakan hal yang baru terbentuk ketika
merdeka, sementara jauh sebelumnya, telah terdapat berbagai entitas etnisitas dengan
identitasnya masing-masing, yang memiliki status dan kedaulatan sendiri. Nasionalisme
Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan sebagai antitesis terhadap dominasi
kolonialisme Belanda oleh sekelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas
masing-masing yang terpisah (Purwanto, 2001: 244). Setelah Indonesia merdeka, salahsatu
tugas utama dari negara adalah menciptakan fondasi nasional bagi dirinya sendiri, namun
sangat rentan terhadap gejolak identitas.
Adanya campur tangan negara yang sangat besar dalam proses pembentukan identitas
kebangsaan pada negara yang baru itu mengakibatkan nasionalisme yang berkembang adalah
nasionalisme negara dan bukan nasionalisme popular yang berakar kuat pada masyarakat
Indonesia. Pertentangan antara identitas etnis dan identitas nasional ini menjadi inti dari
persoalan penguatan wawasan kebangsaan. Menguatnya identitas etnis merefleksikan
surutnya loyalitas suatu kelompok etnis terhadap kesepakatan ikatan yang lebih besar (negara
bangsa). Hal ini akan mengarah pada persoalan yang lebih krusial karena dapat melemahkan
kohesi nasional atau soliditas nasional. Kohesi nasional merupakan hasil dari interaksi
berbagai faktor, sehingga kemampuan untuk memperkuat kohesi nasional ditentukan oleh
kapasitas dalam menangani komplikasi berbagai persoalan kebangsaan secara serius dan
komprehensif. Di sinilah wacana mengenai penguatan wawasan kebangsaan perlu
diorientasikan pada pemaknaan ulang nasionalisme dan relevansinya dengan berbagai
kecenderungan yang berkembang saat ini, seperti demokratisasi dan otonomi daerah,
sehingga dapat dirumuskan pendekatan-pendekatan alternatif untuk memperkuat wawasan
kebangsaan dengan tetap mengakomodasi beragam identitas masyarakat yang ada di
Indonesia.
Studi Kasus Multikulturalisme dalam pendekatan politik multikuturalisme
Indonesia layaknya laboratorium sosial-politik bagi perkembangan beberapa gejala
sosial kontemporer. Berbagai kasus horizontal menyeruak dipermukaan pasca reformasi
menandakan bahwa dinamika demokratisasi selalu menghadirkan kelompok-kelompok yang
tak sejalan baik antar masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara maupun
masyarakat dengan negara. Persoalan multikulturalisme, terkait heterogenitas yang begitu
tinggi adalah salah satu faktor ancaman disintegrasi bangsa. Maka tak salah bila Bhineka
Tunggal Ika menjadi semacam falsafah dasar bagi pembangunan etos ke-Indonesian yang
unggul.
Multikulturalisme perlu memilah-milah bentuk keragaman "kultur" yang diwadahi
dalam negara. Will Kymlicka (1995) membedakan dua kategori keragaman yaitu negara
multibangsa dan negara polietnis. Negara multibangsa lahir dari koeksistensi beberapa
bangsa yang semula berdiri sendiri-sendiri dalam batas-batas teritorial masing-masing.
Koeksistensi itu mungkin terjadi lewat invasi dan penjajahan, mungkin terjadi secara
sukarela. Dalam negara multibangsa, unit politik yang relevan adalah bangsa atau suku
bangsa, dan biasanya menuntut otonomi atau pemerintahan sendiri demi mempertahankan
keunikannya berhadapan dengan kultur mayoritas.
Keragaman dalam negara polietnis muncul dari gelombang migrasi secara individual
maupun berkelompok. Mereka bergabung secara longgar dalam suatu asosiasi atau
perkumpulan yang disebut "kelompok etnis." Kelompok-kelompok etnis itu umumnya
menghendaki diterima sebagai bagian masyarakat luas sambil tetap diakui keunikan etnisnya.
Lain dari suku bangsa, kelompok etnis tidak menuntut otonomi politik, tetapi sekadar
modifikasi lembaga-lembaga publik dan hukum dalam masyarakat agar dapat
mengakomodasi keunikannya.
Kedua bentuk keragaman kultur ini dapat terjadi di satu negara, dan Indonesia
tampaknya merupakan salah satunya. Otonomi Aceh dan Papua dapat dikategorikan sebagai
tuntutan dalam rangka negara multibangsa, sedangkan pengakuan terhadap etnis Tionghoa
dan penghapusan diskriminasi merupakan tuntutan dalam rangka negara polietnis.
Identifikasi seperti ini menghindari tumpang tindih dalam kategorisasi persoalan, dan
menyelamatkan istilah multikulturalisme dari bahaya menjadi slogan. Meski demikian, ada
potensi kebingungan di mana kita hendak menempatkan agama. Apakah komunitas agama
hendak dijadikan unit politik yang berhak mengajukan klaim yang sama sahnya dengan suku
bangsa atau kelompok etnis atau tidak dihitung sama sekali?
Kerangka kedua merupakan turunan kerangka pertama, akomodasi kepentingan. Bila
diperas dalam fakta kerasnya, isu terpenting multikulturalisme sebenarnya terletak pada
manajemen kepentingan. Aneka kelompok dalam masyarakat apakah itu suku bangsa atau
kelompok etnis, mengajukan klaim agar unit politik yang lebih besar seperti negara
melakukan sesuatu demi kelangsungan hidup kelompok-kelompok itu. Klaim-klaim itu
membungkus kepentingan yang biasanya lebih dasariah. Masalahnya kini, ada pada definisi
arti "kepentingan."
Ada dua jenis kepentingan yang relevan, kepentingan umum dan kepentingan khusus
(Amy Gutman, 1994). Kepentingan umum adalah aneka kebutuhan yang pemenuhannya
sama untuk tiap orang, tanpa peduli identitas kulturalnya. Yang termasuk di dalamnya adalah
kebutuhan akan fasilitas kesehatan, perumahan, pendidikan, kebebasan berbicara, berkumpul
dan berserikat. Mengenai kebutuhan umum ini, semua warganegara harus mendapat
perlakuan sama. Siapa pun berhak menuntut bila kepentingan ini tidak terpenuhi.
Kepentingan khusus, menyangkut aneka kebutuhan yang pemenuhannya terkait
aspek-aspek khusus kehidupan (survival) kelompok bersangkutan. Orang Aceh, misalnya,
karena sejarah penjajahan berbeda, ingin tetap mempertahankan kesatuan identitasnya
sebagai orang Aceh meski ada dalam kerangka negara Indonesia. Kesatuan identitas itu
dipelihara lewat privilese seperti pengadilan adat dan peran khusus ulama dalam struktur
politik lokal.
Bila dalam hal pemenuhan kepentingan umum yang hendak dicapai adalah
kesetaraan, dalam hal pemenuhan kepentingan khusus, yang terjadi justru sebaliknya yaitu
keistimewaan, pengecualian, atau privilese. Karena itu, kepentingan khusus berpeluang
melahirkan polemik dan konflik. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat ditantang untuk
senantiasa merumuskan kembali paham keadilan dan kesetaraan. Kapankah suatu privilese
dianggap sah dan tidak menyalahi prinsip kesetaraan? Apalagi, dalam kasus Aceh misalnya,
selalu ada kekhawatiran dari pemerintah pusat mengenai pemberontakan.
Bhikhu Parekh (2000) mengajukan prinsip, kesetaraan seharusnya didasarkan bukan
pada uniformitas manusia, tetapi pada kait mengait antara uniformitas dan perbedaan.
Termasuk dalam kesetaraan adalah kesetaraan dalam hal kebebasan dan kesempatan untuk
berbeda. Memperlakukan orang secara setara menuntut kita untuk memerhatikan baik
kesamaan maupun perbedaan antarindividu atau kelompok.
Kerangka ketiga menyangkut ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme
berfungsi. Saya percaya, tidak ada yang bisa menjamin multikulturalisme selain demokrasi,
dan banyak gagasan yang berkembang menambah kualitas khusus mengenai karakter liberal
dari demokrasi (Rawls [1993], Taylor [1994], Kymlicka [1995], Parekh [2000]). Demokrasi
liberal memungkinkan tiap orang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan mengejar
pemenuhan identitas tanpa khawatir menjadi sasaran penindasan.
Amy Chua (2003) khawatir, demokrasi dan pasar bebas niscaya memenangkan
mayoritas sambil mengeksploitasi minoritas yang kuat secara ekonomi. Bila ini yang terjadi,
yang digagalkan adalah prinsip kebebasan mengekspresikan diri karena minoritas di bawah
dominasi mayoritas tidak lagi punya kebebasan untuk mewujudkan identitas khususnya.
Dalam hal ini, demokrasi harus dijaga ketat sebagai mekanisme yang mempertahankan
kebebasan berekspresi, sehingga tidak mengurangi hak tiap individu dan kelompok
mewujudkan kekhususannya.
Kerangka keempat dan terakhir menyangkut telos atau puncak tujuan
multikulturalisme. Multikulturalisme pantas diperjuangkan karena di balik itu ada tujuan
mewujudkan hidup bersama yang sedekat mungkin pada kepenuhan "hidup baik." Setiap
orang ingin hidup baik, terpenuhi segala kebutuhan material dan spiritualnya, dan berhak
untuk hidup baik.
Menurut R.W. Hefner, perkembangan multikulturalisme di Indonesia, Malaysia, dan
Singapura mengalami semacam transisi cultural dari masa colonial ke pasca-kolonial.
Adanya transisi cultural itu, mengindikasikan bahwa perkembangan pluralitas dalam
masyarakat di tiga Negara tersebut sangat pesat. Di samping itu, intervensi kekuasaan
(Negara) terhadap kewarganegaraan turut mempengaruhi lahirnya isu-isu etnisitas dan
etnoreligius. Kekuasaan Lee Kuan Yew (Singapura), Mahatir Muhammad (Malaysia), dan
Suharto (Indonesia), melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius berbeda-beda.
Dalam sejarah kolonialnya, Singapura, Malaysia, dan Indonesia merupakan bagian
dari semenanjung Malaya. Meskipun begitu, situasi cultural dan politik Singapura berbeda
jauh dari Negara tetangganya. Jika Malaysia dan Indonesia didominasi oleh “pribumi” dan
muslim, masyarakat yang mendominasi Singapura adalah orang-orang keturunan Cina.
Dengan demikian, Isu etnisitas dan etnoreligius lebih banyak berkembang di Indonesia dan
Malaysia, daripada di Singapura. Secara de facto, Kasus-kasus pembantaian etnis cina yang
pernah terjadi di akhir pemerintahan Suharto, menjadi bukti betapa kuatnya etnisitas dan
etnoreligius di Indonesia.
Sebagaimana dikhawatirkan oleh Geertz, proses transisi cultural dari masa kolonial ke
pasca-kolonial, di satu sisi, telah memunculkan persaingan-persaingan yang menghancurkan
sivilitas, tetapi di lain sisi, proses itu juga meyakinkan semakin banyak orang tentang arti
penting mambangun politik sipil dan kewarganegaraan inklusif.
Di Indonesia, secara de jure, kesadaran membangun kewarganegaraan inklusif dan
politik sipil sudah ada sejak dibangunnya bangsa ini. Akan tetapi, secara de facto, kesadaran
tersebut belum tertanam dalam jiwa bangsa. Berbeda dengan Malaysia, di Negara ini, isu
etnisitas dan etnoreligius lebih kecil. Sebagaimana yang disebutkan Hefner dalam bunga
rampai ini, hubungan melayu-cina (pribumi-pendatang) di Malaysia lebih mapan daripada di
Indonesia.
Di semua hal tersebut, kita melihat perbedaan yang mendasar antara Malaysia dengan
Indonesia mengenai masalah pluralisme pasca-kolonial. Memang gagasan membeda-bedakan
kewarganegaraan mengikuti garis etnis, khususnya dalam hubungan “pribumi” versus “cina”,
dibahas panjang lebar pada pendirian negara Indonesia. Namun pada realitasnya, Indonesia
belum menjadi negara multikultur seperti yang diharapkan.
Daftar Pustaka
Alo Liliweri, Prof. Dr. Prasangka & Konflik. Yogyakarta: LkiS.2005
Search google: Membumikan Pluralisme dan Multikulturalisme. Oleh Nanum Sofia.
Membumikan Wawasan Multikultural di Indonesia. Oleh Beni Susetyo
Mempertimbangkan Politik Multikultural. Oleh M. Nurkhoiron.
(Resensi buku) )POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas
Kebangsaan.
Menuju Pandangan Integratif di dalam Wacana Multikulturalisme Catatan
Singkat atas Filsafat Politik Nancy Fraser. Oleh Reza A.A. Watimena.
Politik Multikulturalisme: Strategi Memperkuat Wawasan Kebangsaan. Oleh
Dede Mariana dan Caroline Paskarina
Stiglitz: Globalisasi Harus Adil. Oleh: Ninuk Mardiana Pambudy dan Maria
Hartiningsih
Kerangka Multikulturalisme. Oleh: B Hari Juliawan.