Upload
dinhanh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung
Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar pada Tikus
Putih Betina (Rattus Norvegicus) Galur Sprague Dawley
Secara In Vivo
SKRIPSI
MAHMUDAH
108102000072
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2013
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung
Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar pada Tikus
Putih Betina (Rattus Norvegicus) Galur Sprague Dawley
Secara In Vivo
SKRIPSI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
MAHMUDAH
108102000072
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2013
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Mahmudah
NIM : 108102000072
Tanda Tangan :
Tanggal : 5 Juli 2013
nn
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak
NAMA : Mahmudah
NIM : 108102000072
JUDUL : Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung Asiatikosida
sebagai Penutup Luka Bakar pada Tikus Putih Betina (Rattus
Norvegicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo
Telah dilakukan penelitian terhadap aktivitas penyembuhan luka bakar dari
senyawa asiatikosida yang dihantarkan melalui penutup luka berupa film
kitosan.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari aktivitas film kitosan
dan pengaruh konsentrasi asiatikosida terhadap penyembuhan luka bakar. Uji
eksperimen dilakukan pada tikus betina galur Sprague Dawley (2-3 bulan,
180-250 gram) yang dibagi enam kelompok (kontrol negatif, kontrol suspensi
asiatikosida, film kitosan yang mengandung asiatikosida 0% (FK), 10% (FA1),
20% (FA2), dan 30% (FA3)). Luka bakar derajat tiga dibuat dengan
menggunakan logam panas yang berdiameter 1 cm pada punggung tikus,
kemudian diuji sesuai masing-masing kelompok. Data penurunan luas area luka
diukur pada hari ke-3,7 dan 14 yang diuji secara statisik menggunakan ANOVA,
dan dilakukan uji histologi pada hari ke-7 dan 14 yang diamati secara deskriptif
berupa jumlah sel-sel radang, neuvaskularisasi dan ketebalan serabut kolagen.
Hasil statistik menunjukkan bahwa film FA2 dan FA3 memberikan persen
penurunan luas area luka yang lebih besar dan berbeda secara signifikan
(p < 0,05) dibandingkan kontrol negatif, dan tidak berbeda secara signifikan (p >
0,05) dibandingkan kontrol positif. Berdasarkan hasil histologi bahwa film FA3
memiliki sel-sel radang yang lebih sedikit dibandingkan kelompok lain dan juga
memiliki serabut kolagen yang lebih tebal dan padat dibandingkan film FA2 dan
FA1. Film FA2 memiliki serabut kolagen yang tebal dan jumlah neuvaskularisasi
yang lebih banyak dibandingkan film FA1. Dari hasil histologi tersebut
menunjukkan semakin tinggi konsentrasi asiatikosida maka aktivitas
penyembuhan luka bakar semakin baik. Kesimpulannya, formula film yang
mempunyai aktivitas penyembuhan luka bakar yang lebih baik adalah film yang
mengandung konsentrasi asiatikosida 20% dan 30%.
Kata kunci : luka bakar, penutup luka, penyembuhan luka, kitosan, asiatikosida
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstract
NAMA : Mahmudah
NIM : 108102000072
JUDUL : Study Activity of Chitosan Film Containing Asiaticoside as a
Burn Dressing on Female Rat of Sprague Daweley Strain (Rattus
Norvegicus) by In Vivo
Research has done on the burns healing activity of asiaticoside compounds that
are conducted through the wound dressing of the chitosan film. The purpose of
this research was for studying the activity of chitosan film and influence of
asiaticoside concentration on the burns healing. Study experimental was done on
female rat of Sprague Dawley Strain (2-3 month, 180-250 gram) that divided into
six groups (negative control, suspension asiaticoside control, chitosan film
containing asiaticoside 0% (FK), 10% (FA1), 20% (FA2), and 30% (FA3)).
A third degree burns were created by using hot metal with a diameter of 1 cm on
the rats back, then was tested according to each group. A wound area was
measured on the 3th
, 7th
and 14th
days that was tested statistically using ANOVA
and histology was done on 7th
and 14th
days that was observed by descriptive a
number of inflammatory cells, neuvaskularisation and collagen fibers.The result
of statistic showed that FA2 and FA3 films gave a percent of decrease wounds
area bigger and significantly different (p < 0,05) than the negative control, and
wasn’t significantly different (p < 0,05) than the positive control (p > 0,05). The
result of histology showed that FA3 film had inflammatory cells are less than
other groups and also had collagen fibers are thicker and denser than the FA2 and
FA1 films. FA2 film had collagen fibres that are thick and the number of
neuvaskularisasi more than FA1 film. The results of histology showed that the
higher the concentration asiaticoside so burns healing activity to be better. In
conclusion, the formula films that had burn healing activity be better were
chitosan films that containing asiaticoside concentration on 20% and 30%.
Keyword : burn, wound dressing, wound healing, chitosan, asiaticoside
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Saya mengucapkan puji dan syukur atas segala karunia dan nikmat yang
telah di berikan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Atas berkat dan rahmat-Nya, saya
dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Uji Aktivitas
Film Kitosan yang Mengandung Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar
terhadap Tikus Putih Betina (Rattus Norvegicus) Galur Sparague Dawley
Secara In Vivo. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita,
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sulit bagi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
(1) Ibu Yuni Anggraeni M.Farm., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Eka
Putri, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua yang telah memiliki andil besar
dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi saya ini, semoga segala
bantuan dan bimbingannya mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya.
(2) Ibu dr. Woro yang telah memberikan andil dalam proses penelitian
khususnya dalam bidang Histologi.
(3) Bapak Prof. (hc). dr. MK. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
(4) Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
(5) Ibu Zilhadia M.Si., Apt selaku dosen pembimbing akademik selama
pendidikan.
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(6) Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program
Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
(7) Kedua orang tua saya tercinta, ayahanda Khanafi dan Ibunda Sulastri, Pakde
saya Aminudin S.Pd beserta keluarga, Pakle Mustafid S.Pd beserta keluarga,
Mba Yuli dan Mas Hofir, Le Apip, De tersayang Firmansyah dan Om Tugi
beserta keluarga yang telah memberikan dukungan, do’a, dan kasih sayang
selama ini.
(8) Pemerintah Daerah Musi Banyuasin dan Tim Pengelola Beasiswa Santri
Jadi Dokter, khususnya (Alm) pak Syarifudin, pak Amri Siregar, pak
Faidhol dan pak Nuh yang telah memberikan dukungan moril dan materil
selama pendidikan. Ucapan beribu terimakasih, semoga ilmu yang saya
terima dapat bermanfaat.
(9) Sahabat-sahabatku seperjuangan dalam penelitian Dina Haryanti, Dwinur
Astria dan Sivia. Teman seperjalanan Dasyu Irmayanti, Aam amelia,
Zikriah, Hesti chuy, dan Mega kuadrat yang senantiasa selalu bersama
dalam suka maupun duka. Ade-adeku Misriana, Gianti dan Miza yang
memberikan warna selama ini.
(10) Teman-teman seperjuangan Beasiswa Santri Jadi Dokter Musi Banyuasin
angkatan 2008, Eva, Fani, Teguh, Syarah, Chou, Janah, Aniz dan Sherly.
(11) Teman-teman Matrikulasi angkatan 2008, khususnya teman farmasi, Imam,
Roni, Fe’i, Doni, Labib, Jidin, Ukon, dan Fafa yang sama-sama menempuh
ilmu dari awal perkuliahan. Rekan-rekan mahasiswa Farmasi angkatan
2008, khususnya kelas B atas dukungan, pertemanan dan kerjasamnya.
(12) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum sempurna. Oleh
karena itu, dengan kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga
berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa
farmasi, dan juga bagi masyarakat.
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Akhir kata, saya berharap Allah Subhana Wa Ta’ala berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Penulis, 5 Juli 2013
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syrarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Mahmudah
NIM : 108102000072
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya, dengan judul :
UJI AKTIVITAS FILM KITOSAN YANG MENGANDUNG
ASIATIKOSIDA SEBAGAI PENUTUP LUKA BAKAR PADA TIKUS
PUTIH BETINA (Rattus Norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY
SECARA IN VIVO
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 5 Juli 2013
Yang menyatakan,
( Mahmudah )
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PIMBIMBING ........................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN .. ..................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.2. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.3. Rumusan Masalah ..................................................................... 3
1.4. Hipotesa .................................................................................... 3
1.5. Tujuan Penelitian ...................................................................... 3
1.6. Manfaat Penelitian .................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4 2.1. Kulit .......................................................................................... 4
2.2. Luka .......................................................................................... 5
2.3. Luka Bakar ................................................................................ 5
2.3.1. Definisi ............................................................................. 5
2.3.2. Patofisiologi ..................................................................... 6
2.3.3. Klasifikasi Luka Bakar .................................................... 6
2.4. Penatalaksanaan Luka Bakar ..................................................... 8
2.4.1. Penyembuhan Luka .......................................................... 8
2.4.2. Infeksi ............................................................................... 9
2.4.3. Penanganan Luka ............................................................. 10
2.5. Asiatikosida ............................................................................... 12
2.6. Kitosan ...................................................................................... 13
2.6.1. Film Kitosan sebagai Penutup Luka............................... .. 14
2.7. Pemeriksaan Histopatologi ........................................................ 15
2.7.1. Pendahuluan ..................................................................... 15
2.7.2. Cara pengambilan Bahan dan Pewarnaan ........................ 15
2.7.3. Prinsip Teknik Pembuatan Preparat Histologi ................. 16
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 19
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... 19
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................ 19
3.2.1. Alat ................................................................................... 19
3.2.2. Bahan ............................................................................... 19
3.3. Hewan Percobaan ...................................................................... 20
3.4. Pembuatan Film Kitosan - Asiatikosida dan Evaluasinya ........ 21
3.4.1. Preparasi Pelarut .............................................................. 21
3.4.2. Preparasi Film Sambung Silang Kitosan - NaTPP ............ 21
3.4.3. Evaluasi Ketebalan Film .................................................. 21
3.5. Preparasi Larutan Asiatikosida ................................................. 22
3.6. Perlakuan Hewan Percobaan ..................................................... 22
3.6.1. Perlakuan pada Tikus ....................................................... 23
3.6.2. Perlukaan pada Tikus ....................................................... 23
3.6.3. Pemberian Obat Luka ....................................................... 23
3.7. Evaluasi Patologi Anatomi ........................................................ 24
3.8. Preparasi Uji Histologi .............................................................. 24
3.8.1. Pengambilan Sampel Kulit ................................................ 24
3.8.2. Pengamatan Histologi ....................................................... 26
3.9. Analisa Data .............................................................................. 26
BAB 4 PEMBAHASAN ............................................................................. 26
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 34
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 34
5.2. Saran ........................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 35
LAMPIRAN .................................................................................................... 39
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Histologi Kulit Normal................................................................. 5
Gambar 2.2. Derajat Luka Bakar..... ............................................................... .. 7
Gambar 2.3. Struktur Kimia Kitosan.............................................................. .. 12
Gambar 2.3. Struktur Kimia Asiatikosida..... ................................................. .. 14
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Jumlah Kelompok Hewan Uji ........................................................ 20
Tabel 3.2. Formula Film Kitosan .................................................................... 22
Tabel 3.3. Jenis Perlakuan dan Pemberian Tiap Kelompok ............................ 23
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Kerja .................................................................................... 40
Lampiran 2. Luas Area luka ............................................................................. 41
Lampiran 3. Persentase Penurunan Luas Area Luka pada Tikus ..................... 42
Lampiran 4. Histopatologi Jaringan Kulit Hari ke-7 ....................................... 44
Lampiran 5. Histopatologi Jaringan Kulit Hari ke-14 ..................................... 45
Lampiran 6. Foto Hasil Pembuatan Luka Bakar .............................................. 46
Lampiran 7. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-3.................. 49
Lampiran 8. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-7.................. 51
Lampiran 9. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-14................ 52
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Luka bakar merupakan salah satu trauma yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, bahkan sering kali merupakan kecelakaan massal (mass
disaster). Luka bakar yang terjadi dapat disebabkan adanya kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi sehingga
mengalami kerusakan jaringan kulit (Moenadjat, 2003).
Kulit pada luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis
maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak kulit
dengan sumber panas (Sabiston, 1995). Untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas dari perbaikan jaringan yang terluka perlu dikembangkan berbagai
upaya untuk mempercepat dan menyempurnakan proses penyembuhan luka
(Huttenlocher & Horwitz, 2007). Salah satu alternatif mengobati luka bakar yaitu
dengan memanfaatkan tanaman berkhasiat seperti pegagan (Centella asiatica L.
Urban) (Kim et al., 2009).
Kandungan utama senyawa aktif dari herba pegagan yang berperan dalam
penyembuhan luka bakar adalah senyawa asiatikosida (Kim et al., 2009;
Sikareepaisan et al., 2011). Selain itu, asiatikosida mempunyai khasiat dalam
menyembuhkan berbagai penyakit kulit, insufisiensi vena, TBC dan gangguan
mental (Jamil et al., 2007). Telah diteliti sebelumnya, aktifitas farmakologi
senyawa asiatikosida dalam proses penyembuhan luka bakar adalah dengan
meningkatkan sintesis kolagen tipe 1 yang dihasilkan fibroblas dan kekuatan tarik
(tensile strength) yang berperan untuk menautkan tepi luka dan memperkuat
jaringan luka (Shukla et al., 1999; Kwon et al., 2010; Sikareepaisan, et al., 2010).
Oleh karena itu, asiatikosida dapat digunakan untuk menyembuhkan luka bakar
yang terjadi terutama karena kerusakan jaringan ikat yang di dalamnya
mengandung sel fibroblas.
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada penelitian yang dilakukan oleh shukla et al., (1999) dalam
penyembuhan luka mekanik terhadap kelinci percobaan, yaitu dengan
menggunakan larutan asiatikosida 0,2% secara topikal dua kali sehari selama 7
hari dapat meningkatkan hidroksiprolin 56%, kekuatan tarik (tensile stength)
57%, meningkatkan kandungan kolagen, dan epitelisasi yang lebih baik. Selain
itu, penggunaan asiatikosida dapat meningkatkan oksidasi pada tahap awal
penyembuhan luka tipe eksisi yang diuji pada tikus (Suwantong et al., 2010).
Pemanfaatan asiatikosida dalam sediaan topikal seperti krim, gel, dan salep telah
dilakukan sebelumnya oleh Suratman et al., (1996) dalam menyembuhkan luka
bakar pada tikus, maka untuk mengembangkan penghantaran asiatikosida dalam
menyembuhkan luka bakar digunakan sistem penutup luka modern dalam bentuk
sediaan film.
Dalam dekade terakhir, pengembangan jenis penutup luka modern
meningkat karena konsep utama mempercepat penyembuhan luka adalah “moist
healing” yaitu kondisi kelembaban luka yang dipertahankan. Dengan demikian,
penutup luka yang dibutuhkan adalah mampu mengatur uap air dan gas yang
keluar dari luka, agar daerah sekitar luka menjadi lembab sehingga proses
penyembuhan luka bakar dapat berjalan dengan lebih cepat (Mutia, 2009). Untuk
mengembangkan penutup luka film digunakan polimer dari senyawa alam turunan
kitin yaitu kitosan yang telah diteliti sebelumnya mampu membentuk film dan
menghantarkan obat (Dutta et al., 2004).
Kitosan merupakan turunan kitin melalui reaksi deasetilasi yang disusun
dari glukosamin dan N-asetilglukosamin yang merupakan polimer yang bersifat
biokompatibel, non toksik, dan antimikroba (Dutta et al., 2000; Elmotasem et al.,
2007). Oleh karena itu, kitosan dalam bentuk film cocok sebagai penutup luka
karena tidak mengiritasi kulit, mudah diterapkan, tidak menimbulkan trauma saat
pergantian penutup luka, dan mencegah kontaminasi lingkungan luar.
Penggunaan film kitosan sebagai penutup luka harus disesuaikan dengan
jenis luka, karena pada penelitian sebelumnya menggunakan penutup luka film
kitosan yang mengandung asiatikosida kurang cocok dengan jenis luka terbuka
mekanik yang merupakan jenis luka kering (Anggraeni, 2012). Film kitosan
memiliki permeabilitas udara dan uap air yang cukup baik dan cukup absorbtif
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Khan et al., 2000; Sezer et al., 2007), sehingga film kitosan sebagai penutup luka
bertujuan dapat diaplikasikan pada luka bakar derajat tiga yang mampu menyerap
cairan eksudat dan menjaga kelembaban udara di daerah luka. Dengan adanya
asiatikosida di dalam penutup luka film kitosan diharapkan dapat mempercepat
proses penyembuhan luka bakar.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah sediaan film kitosan yang mengandung asiatikosida mempunyai
aktivitas mempercepat proses penyembuhan luka bakar?
2. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi asiatikosida terhadap aktivitas
proses penyembuhan luka bakar yang diuji pada kulit punggung tikus?
1.3. Hipotesa
Penggunaan film kitosan sebagai penutup luka yang mengandung
asiatikosida dapat meningkatkan proses penyembuhan luka bakar pada tikus.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas film kitosan sebagai
penutup luka bakar yang mengandung asiatikosida dan pengaruh variasi
konsentrasi asiatikosida terhadap proses penyembuhan luka bakar.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang farmasi dalam pengobatan luka bakar dengan
memanfaatkan asiatikosida dari herba pegagan dalam bentuk sediaan penutup luka
film kitosan dan dapat dilanjutkan ke uji klinis.
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kulit
Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutupi seluruh tubuh dan
melindungi tubuh dari berbagai trauma dan merupakan penahan terhadap bakteri,
virus dan jamur. Kehilangan dan penyimpanan panas diatur oleh vasodilatasi atau
sekresi kelenjar-kelenjar keringat dan tanpa adanya kulit, maka cairan tubuh yang
penting akan menguap dan elektrolit tubuh akan hilang dalam beberapa waktu
(Effendi, 1999).
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu :
lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan
lapisan subkutis (hypodermis). Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis
dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya
sel dan jaringan lemak. Tiga lapisan kulit utama, antara lain :
1. Lapisan epidermis yang terdiri atas : Stratum korneum (lapisan tanduk),
stratum lusidum (daerah sawar), stratum granulosum (lapisan
keratohialin/lapisan seperti butir), stratum spinosum (stratum malpighi)
atau disebut prikle cell layer (lapisan akanta), stratum germinativum
(lapisan sel basal).
2. Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermis. Lapisan ini terbentuk oleh lapisan elastik dan fibrosa
padat dengan elemen selular, kelenjar dan folikel rambut. Secara garis
besar dibagi menjadi dua bagian : pars papilare, pars retikulare.
3. Lapisan subkutis merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat,
besar, dengan inti terdesak kepinggir karena sitoplasma lemak yang
bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan
yang lainnya oleh trabekula yang fibrosa.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[Sumber : http://www.histology-world.com]
Gambar 2.1. Histologi kulit normal
Derajat keasaman (pH) kulit manusia berkisar antara 4,2 - 6,5. Keadaan
asam ini sebagian besar disebabkan oleh adanya zat bersifat asam seperti asam
amino dan asam lemak bebas misalnya asam laktat, yang merupakan sekresi dari
kelenjar sebaseus. Lapisan bersifat asam ini dikenal dengan istilah mantel asam
kulit yang dapat melindungi tubuh dari serangan bakteri dan zat kimia yang dapat
merusak jaringan (Anief, 1997).
Fungsi kulit antara lain : sebagai pelindung, absorbsi cairan mudah
menguap, ekskresi, pengindra (sensori), pengaturan suhu tubuh, pembentukan
pigmen, sawar radiasi UV, dan sawar listrik (Harahap, 2000).
2.2. Luka
Luka dapat digambarkan sebagai kerusakan pada kulit, akibat pengaruh
fisik dan termal, atau sebagai akibat dari kondisi medis atau fisiologis. Menurut
Asosiasi Penyembuhan Luka, Luka adalah hasil dari gangguan struktur dan fungsi
anatomi yang normal.
2.3. Luka Bakar
2.3.1. Definisi
Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutis terhadap trauma
suhu atau termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel.
Biasanya dapat pulih dengan penanganan konservatif. Luka bakar dengan
ketebalan penuh merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit
dan bisa membutuhkan eksisi dan cangkok kulit jika luas (Grace & Broley, 2006).
2.3.2. Patofisiologi
Luka bakar pada suhu tubuh terjadi baik karena konduksi panas langsung
atau radiasi elektromagnetik. Derajat luka bakar berhubungan dengan beberapa
faktor, termasuk konduksi jaringan yang terkena, waktu kontak dengan sumber
tenaga panas dan pigmentasi permukaan. Saraf dan pembuluh darah merupakan
struktur yang kurang tahan terhadap konduksi panas, sedangkan tulang paling
tahan.
Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 44˚C tanpa kerusakan bermakna.
Antara 44˚C dan 51˚C, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap
derajat kenaikan temperatur dan waktu penyinaran yang terbatas yang dapat
ditoleransi. Di atas 51˚C, protein terdenaturasi dan kecepatan kerusakan jaringan
sangat hebat. Temperatur di atas 70˚C menyebabkan kerusakan seluler yang
sangat cepat dan hanya periode penyinaran sangat singkat yang dapat ditahan.
Pada rentang panas yang lebih rendah, tubuh dapat mengeluarkan tenaga panas
dengan perubahan sirkulasi, tetapi pada rentang panas lebih tinggi, hal ini tidak
efektif (Sabiston, 1995).
2.3.3. Klasifikasi Luka Bakar
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya
pajanan. Luka bakar dibedakan atas beberapa jenis (Moenadjat, 2003), yaitu :
1. Luka bakar derajat I
Luka bakar derajat I kerusakan terbatas pada bagian superfisial epidermis,
kulit kering, hipermik memberikan efloresensi berupa eritema, tidak melepuh,
nyeri karena ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan
selama 5-7 hari. Contohnya luka bakar akibat sengatan matahari.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi seluruh ketebalan epidermis dan sebagian dermis,
berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh, dasar luka
berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit normal,
nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi.
[Sumber : http://www.histology-world.com]
Gambar 2.2. Derajat luka bakar
Luka bakar derajat II dibedakan menjadi dua : Derajat II dangkal
(superficial) yaitu kerusakan yang mengenai bagian superfisial dari dermis,
terjadinya lepuh yang merupakan karektristik luka bakar derajat dua dangkal,
apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat. Penyembuhan dalam
waktu 10-14 hari. Derajat II dalam (deep) yaitu kerusakan yang mengenai hampir
seluruh bagian dermis, apendises kulit, kelenjar keringat, kelenjar sebasea.
Penyembuhan terjadi dalam waktu > 2 minggu.
3. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam,
apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea rusak,
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kulit yang terbakar berwarna pucat atau lebih putih karena terbentuk eskar, tidak
timbul rasa nyeri. Penyembuhan lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan.
2.4. Penatalaksanaan Luka Bakar
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan luka
bakar yaitu : penyembuhan luka, infeksi dan penanganan luka (Effendi, 1999).
2.4.1. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan proses biologis tertentu terkait dengan
fenomena umum yaitu pertumbuhan dan regenerasi jaringan. Penyembuhan luka
berlangsung melalui serangkaian yang saling bergantung dan tumpang tindih di
mana berbagai seluler dan komponen matriks bertindak bersama-sama untuk
membangun kembali integritas jaringan yang rusak dan penggantian jaringan
yang hilang. Proses penyembuhan luka telah ditinjau sebelumnya oleh Schultz
yang terdiri dari lima tahap yang melibatkan biokimia kompleks dan proses
seluler (Boateng et al., 2007; Schultz GS, 1999).
Hal ini digambarkan beberapa tahap dalam proses penyembuhan yaitu fase
hemostasis, inflamasi, migrasi, proliferasi dan maturasi (Boateng et al, 2007).
1. Hemostasis dan Inflamasi (Peradangan)
Perdarahan biasanya terjadi saat kulit terluka dan berfungsi untuk
mengeliminasi bakteri atau antigen dari luka. Selain itu, perdarahan mengaktifkan
hemostasis dengan mengeluarkan komponen eksudat cairan seperti faktor
pembekuan. Fibrinogen di dalam eksudat mengeluarkan mekanisme pembekuan
yang dihasilkan oleh koagulasi dalam eksudat (darah tanpa sel dan platelet) dan
bersama-sama dengan jaringan pembentukan fibrin menghasilkan gumpalan di
dalam luka yang menyebabkan perdarahan berhenti.
Gumpalan yang mengering membentuk keropeng dan memberikan kekuatan
terhadap cedera jaringan. Oleh karena itu, hemostasis memainkan peran sebagai
pelindung serta memberikan kontribusi sepenuhnya terhadap penyembuhan luka.
Fase inflamasi terjadi secara stimultan dengan hemostasis, berlangsung
beberapa menit dari cedera sampai 24 jam dan berlangsung selama sekitar 3 hari.
Hal ini melibatkan respon baik seluler dan vaskular. Pelepasan protein eksudat ke
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam luka menyebabkan vasodilatasi melalui pelepasan histamin dan serotonin,
memungkinkan fagosit memasuki luka dan menelan sel-sel mati (jaringan
nekrotik). Jaringan nekrotik yang sulit dicairkan oleh enzimatik untuk
menghasilkan massa berwarna kekuningan.
2. Migrasi
Fase migrasi melibatkan pergerakan sel epitel dan fibroblas pada area luka
untuk menggantikan jaringan yang rusak dan hilang. Sel-sel beregenerasi dan
berkembang secara cepat dalam luka membentuk keropeng yang kering (bekuan)
disertai dengan penebalan epitel.
3. Proliferasi
Fase proliferasi terjadi hampir secara stimultan hanya setelah fase migrasi
(hari ke 3 dan seterusnya) dan proliferasi sel basal yang berlangsung antara 2 dan
3 hari. Jaringan granulasi dibentuk oleh pertumbuhan kapiler dan pembuluh
limfatik di dalam luka, sedangkan sintesis kolagen oleh fibroblas yang
memberikan kekuatan dan bentuk pada kulit. Pada hari kelima, maksimum
pembentukan pembuluh darah dan jaringan granulasi telah terjadi. Penebalan
epitel lebih lanjut dibutuhkan sampai kolagen menjembatani luka. Proliferasi
fibroblas dan sintesis kolagen berlangsung sampai 2 minggu dimana pembuluh
darah dan edema berkurang.
4. Maturasi
Fase ini disebut fase renovasi karena melibatkan pembentukan jaringan ikat
selular dan kekuatan epitel baru yang menentukan sifat akhir dari bekas luka.
Jaringan granular seluler diubah ke massa asellular dari beberapa bulan sampai
sekitar 2 tahun.
2.4.2. Infeksi
Masalah utama yang seringkali dialami pasien luka bakar yaitu terjadinya
infeksi. Infeksi secara klinis dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan organisme
pada luka yang berhubungan dengan reaksi jaringan dan tergantung pada
banyaknya mikroorganisme patogen dan meningkatnya virulensi dan resistensi
(Effendi, 1999).
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.3. Penanganan Luka Bakar
Penanganan luka merupakan hal yang sangat penting dalam menangani
pasien luka bakar baik untuk mencegah infeksi maupun menghindari terjadinya
sindrom kompartemen karena adanya luka bakar circumferencial (Effendi, 1999).
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menangani luka bakar
sesuai dengan keadaan luka yang dialami, yaitu :
1. Membersihkan luka
Pengobatan luka bakar dimulai dengan membersihkan luka. Membersihkan
luka dengan hati-hati, menggunakan air dan menghilangkan kotoran atau bahan
lain yang menempel dapat meminimalkan terjadinya trauma pada luka yang
ditujukan untuk dilakukan debridemen. Membersihkan dengan menggosok secara
kuat atau keras tidak dianjurkan karena akan merusak area lepuh, sel epitel dan
pembuluh darah didalamnya.
Umumnya, zat antimikroba tidak diperlukan dan area luka bakar dicukur
atau dibersihkan untuk meminimalkan resiko terkontaminasi bakteri. Hal ini tidak
ditujukan untuk luka bakar ringan derajat satu dan pada kenyataannya mencukur
juga dapat menyebabkan trauma tambahan pada permukaan epitel yang lepuh
sehingga harus dihindari (Carrougher, 1998).
2. Debridemen
Prosedur debridemen yaitu dengan cara menghilangkan jaringan nekrosis
atau bahan lain yang menempel pada luka. Dasar pemikiran untuk dilakukan
debridemen adalah menggunakan krim antimikroba topikal yang dapat digunakan
untuk mencegah infeksi dan mengobati luka. Cara ini didukung oleh penelitian
laboratorium yang telah menentukan bahwa cairan blister (blister fluid) menekan
fungsi kekebalan tubuh yang mempengaruhi fungsi normal neutrofil dan limfosit
dan mengandung jumlah tinggi metabolit asam arakidonat yang meningkatkan
respon inflamasi.
Apabila lepuhan luka akan dihilangkan atau dibiarkan utuh, luka harus
dibersihkan sebelum penutupan luka. Seperti yang dikatakan sebelumnya, metode
terbaik dan paling murah untuk membersihkan luka adalah dengan air keran.
Setelah semua jaringan nekrotik dan bahan lain yang menempel dihilangkan,
penilaian luka harus dilakukan secara berulang. Jika adanya eskar pada luka bakar
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dibutuhkan agen antimikroba, akan tetapi setelah bebas dari eskar penggunaan
antimikroba topikal dapat dihentikan atau selanjutnya menggunakan salep
berbasis petrolatum. Akan tetapi, kebanyakan pasien menggunakan penutup luka
bersifat lembab untuk mengurangi rasa sakit.
3. Penutup luka dan antimikroba topikal
Tujuan dari penutup luka adalah melindungi, memberikan kenyamanan, dan
penyerapan drainase. Penggunaan penutup luka oklusif menjadi penyerap yang
baik. Beberapa dokter menganjurkan untuk menggunakan kasa atau penutup luka
bersifat nonadheren untuk mengurangi rasa sakit, akan tetapi kelemahannya
cenderung menahan protein yang beresiko terjadinya drainase pada luka setempat
sehingga tidak dianjurkan. Luka bakar yang dirawat dengan metode terbuka
dengan mengolesi zat antimikroba harus dicuci minimal sekali atau dua kali sehari
untuk mengilangkan krim dan salep. Setelah dibersihkan, lapisan kulit dioleskan
lagi dengan salep atau krim baru (Carrougher, 1998).
4. Penanganan alternatif luka bakar
Penutup luka sementara, baik jenis biosintesis (Biobrane) atau jenis sintetis
(Omiderm, Omikron) dapat digunakan sebagai alternatif untuk agen antimikroba
topikal. Penutup luka ini digunakan setelah luka dibersihkan dari semua kotoran
dan jaringan nekrotik. Jika adanya jaringan eskar maka sebaiknya tidak
digunakan. Luka yang bersih, berwarna merah muda, dermis dalam keadaan
lembab setelah debridemen merupakan penerapan yang ideal untuk penutup luka.
Kelebihan menggunakan penutup luka baik yang bersifat sintesis atau biosintesis
adalah berkurangnya rasa sakit dengan menutupnya ujung saraf pada lapisan
pelindung.
Setelah penerapan penutup luka baik bersifat sintetis atau biosintesis yang
sesuai dengan keadaan luka, sebaiknya dibiarkan tak terganggu kecuali terjadinya
infeksi dengan adanya bakteri. Penutup luka dapat diganti dengan menerapkan zat
antimikroba topikal. Sebagai tepi pemisah penutup luka biosintesis atau sintesis,
kelebihan pembatasan sebaiknya dijaga dengan cara dilapisi dengan bahan
penutup luka lain untuk memudahkan mengamati perkembangan penyembuhan
luka.
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penutup luka hidrokoloid merupakan alternatif lain dalam pengobatan luka
bakar derjat 1 (superficial). Penutup luka bersifat hidrokoloid (seperti : Duoderm,
Convatec) tidak mengutamakan manfaat antimikroba akan tetapi mengurangi rasa
sakit dan mengobati (Carrougher, 1998).
2.5. Asiatikosida
Asiatikosida (C48H78O19) merupakan senyawa golongan glikosida
triterpenoid, yang mengandung molekul gula yang terdiri dari satu molekul
ramnosa dan dua molekul glukosa. Aglikon triterpen dari asiatikosida ini disebut
asam asiatikat yang mempunyai gugus alkohol primer, glikol dan satu buah
karboksilat teresterifikasi dengan gugus gula (Pramono, 1992). Senyawa
asiatikosida bersifat polar karena adanya ikatan glikosida antara molekul gula
dengan gugus benzena dan mempunyai BM 959,12.
Asiatikosida merupakan salah satu senyawa aktif yang terkandung dalam
pegagan, di samping banyak senyawa-senyawa lain. Diantara kandungan ekstrak
pegagan, asiatikosida merupakan senyawa yang paling aktif dalam proses
pemyembuhan luka, luka bakar dan kelainan kulit lainnya karena dapat
meningkatkan sintesis kolagen (Sikareepaisan, 2011).
[Sumber : http://www.sigmaaldrich.com]
Gambar 2.3. Struktur kimia asiatikosida
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Permasalahan kulit pada prinsipnya berkaitan dengan penurunan tingkat
kolagen tipe 1 yang merupakan komponen utama dari kulit dermis. Asiatikosida
bersama dengan asam asiatik dan asam madekasat telah diujikan pada kolagen
fibroblas kulit manusia secara in vitro (Bonte F. et al., 1994). Dalam studi lain,
penyembuhan luka tertunda dengan mengevaluasi tikus diabetes yang diinduksi
streptozotosin. Akan tetapi, penggunaan topikal cairan asiatikosida 0,4% dapat
meningkatkan penyembuhan luka seperti meningkatkan hidroksiprolin, kekuatan
tarik (tensile strength), kandungan kolagen dan epitelisasi (Shukla et al., 1999).
Selain itu, penggunaan cairan asiatikosida secara topikal untuk
penyembuhan luka mekanik pada kelinci percobaan dengan larutan asiatikosida
0,2% dua kali sehari selama 7 hari juga dapat meningkatkan hidroksiprolin 56%,
kekuatan tarik 57%, sintesis kolagen dan epitelisasi yang lebih baik
(Shukla et al., 1999). Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino yang
berperan penting pada interaksi kolagen-trombosit. Interaksi ini merupakan tahap
pertama terjadinya proses penyembuhan yaitu proses hemostasis.
2.6. Kitosan
Kitosan merupakan polisakarida yang disusun dari glukosamin dan
N-asetilglukosamin yang diperoleh dari turunan kitin melalui reaksi deasetilasi,
yang diekstraksi dari serbuk cangkang crustaceae seperti udang dan kepiting yang
merupakan komponen terbesar dari kitosan. Kitosan adalah biopolimer alami
kedua yang berlimpah yang ditemukan di alam setelah selulosa
(Moe T. et al., 2008).
Derajat deasetilasi merupakan salah satu sifat kimia yang penting, yang
dapat mempengaruhi kegunaannya dalam berbagai aplikasi. Derajat deasetilasi
menyatakan banyaknya gugus amino bebas dalam polisakarida.
Kitosan merupakan serat seperti selulosa. Namun, tidak seperti serat
tanaman, kitosan memiliki sifat unik termasuk kemampuan untuk membentuk
film, mempunyai karakteristik struktural optik dan masih banyak lagi.
Kitosan memiliki muatan ion positif yang mampu mengikat secara kimia dengan
muatan negatif seperti lemak, lipid dan asam empedu (Dutta et al., 2000).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kitosan merupakan polimer tidak beracun, biodegradabel, biokompatibel
dan dapat mengabsorbsi air. Selama beberapa tahun yang lalu, polimer kitin
terutama kitosan menjadi perhatian yang sangat meningkat sebagai salah satu
bahan polimer terbaru dalam aplikasi yang luas dalam bidang farmasi dan
industri biomedis untuk imobilisasi enzim dan pemurnian, makanan, kosmetik,
agrikultur dan lingkungan. Aktivitas antibakteri, antifungal dan antiviralnya
terutama berguna dalam bidang biomedis seperti penutup luka, jahitan bedah, dan
sebagai penunjang dalam operasi katarak dan pengobatan penyakit periodontal
(Dutta et al., 2000; Elmotasem et al., 2007).
[Sumber : Dutta P. K, Dutta J, Triphaty V. S, 2004]
Gambar 2.4. Struktur kimia kitosan (DA – Derajat asetilasi)
Penelitian sebelumnya menggunakan kitosan pada beberapa jenis hewan
menunjukkan bahwa kitosan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
hemostasis, menurunkan fibroblasis, memfasilitasi osteogenesis dan
meningkatkan regenerasi jaringan ( Moe T. et al., 2008).
2.6.1. Film Kitosan Sebagai Penutup Luka
Kemampuan kitosan membentuk film dapat digunakan secara luas dalam
formulasi sediaan film atau sebagai sistem penghantaran obat. Film kitosan
sebagai penutup luka harus memenuhi kriteria seperti tahan lama, tahan terhadap
tarikan, lentur, lembut, dan elastis agar mudah dipasang dan tidak mengakibatkan
trauma saat pasien sudah sembuh. Untuk pembentukan film kitosan, sama halnya
pembentukan mekanik film penting yaitu mempunyai karakteristik yang beralasan
seperti kemampuan terhadap tarikan (tensile properties), agar dapat melekat
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penuh dan tahan terhadap berbagai kulit dengan berbagai kontur
(Khan T. et al, 2000).
Penutup luka dari kitosan harus memiliki kemampuan adaptasi secara cepat
dan menyeragamkan dengan berbagai sifat luka untuk mencegah masuknya air
atau cairan lain. Kesegeraman kontur terhadap luka meminimalkan sakit,
kontaminasi dari lingkungan luar, dan mencegah masuknya bakteri dari luar
seperti halnya pada umumnya tujuan dari penutup luka.
Kitosan dapat dilarutkan dalam asam organik seperti asam laktat dan asam
asetat dan merupakan prioritas dalam membentuk film. Pelarut film kitosan yang
menggunakan asam laktat lebih baik daripada asam asetat karena lebih halus,
lembut, fleksibel, dan lebih bioadhesif sehingga secara efektif mampu mengikat
dan mengaglutinasi berbagai jenis sel mamalia. Selain itu, tidak beracun dan tidak
menyebabkan alergi pada kulit sehingga film kitosan dengan asam laktat lebih
cocok digunakan sebagai penutup luka atau perban untuk mempercepat
pengeringan dan penyembuhan luka (Khan T. et al, 2000).
2.7. Pemeriksaan Histologi
2.7.1. Pendahuluan
Pemeriksaan histologi tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan
pemeriksaan penunjang yang lainnya, dalam peranannya menyokong atau
menegakkan diagnosis. Bahkan tidak jarang diagnosis hanya dapat dipastikan
dengan pemeriksaan histologi (Sularsito, 2007).
2.7.2. Cara Pengambilan Bahan dan Pewarnaan
Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan
cara biopsi dengan pisau atau benda tajam yang steril, biasanya hanya pada lesi
peradangan yang batasnya tidak jelas atau pada kasus-kasus yang ditandai oleh
perubahan warna (vertiligo, melasma, dan lain-lain). Sedangkan pada tumor kulit,
penyakit infeksi, dan dermatosis kulit, kulit normal tidak perlu diikutsertakan.
Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi
primer yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder. Bila ada infeksi
sekunder, sebaiknya diobati terlebih dahulu (Sularsito, 2007).
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.7.3. Prinsip Teknik Pembuatan Preparat Histologi
1. Pengambilan Bahan
Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalan sajian histologis, maka bahan
yang harus diambil dari hewan yang sedang di anestesi atau segera setelah
hewan itu mati.
2. Metode Irisan
Metode Irisan adalah suatu metode pembuatan sediaan dengan jalan
membuat suatu irisan dengan tebal tertentu, sehingga dapat diamati dibawah
mikroskop. Ada dua macam metode irisan yang dapat digunakan yaitu metode
irisan dengan tangan dan metode irisan dengan mikrotom. Dalam metode irisan
dengan mikrotom, sediaan didapat dari jaringan yang pengirisannya
mempergunakan suatu alat yang disebut mikrotom. Keuntungan dari alat ini
adalah tebal irisan dapat diatur menurut tujuan dan kehendak peneliti
(Suntoro, 1983).
3. Fiksasi
Fiksasi adalah suatu usaha untuk mempertahankan jaringan maupun
elemen-elemen sel di dalam jaringan pada tempatnya, mempertahankan bentuk
maupun ukurannya kemudian juga mempunyai sifat mengeraskan jaringan
sehingga memudahkan pengirisan. Cairan fiksasi berperan sebagai pengawet,
mencegah perubahan autolisis dan perkembangan bakteri.
Cairan fiksasi yang digunakan dapat berupa larutan yang mengandung satu
macam zat saja seperti formalin 10%, merkuri klorida, dan sebagainya.
Sedangkan larutan yang mengandung lebih dari satu macam zat seperti larutan
Bouin yang mengandung asam pikrat, formalin dan asam asetat glasial.
4. Dehidrasi
Istilah dehidrasi berarti penarikan molekul air dari dalam jaringan. Proses
ini sangat penting terutama untuk jaringan-jaringan yang akan dibuat preparat
irisan.
Setiap sel dalam jaringan hidup mengandung air sejumlah kira – kira 85 %
dari sitoplasma. Di dalam jaringan terdapat air yang cukup banyak sehingga
harus dilakukan proses dehidrasi agar dapat bercampur dengan parafin. Apabila
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
proses dehidrasi tidak sempurna akan didapatkan irisan jaringan yang tidak
utuh sehingga tidak sesuai dengan jaringan yang akan diamati. Proses dehidrasi
dilakukan secara perlahan – lahan dengan menggunakan alkohol bertingkat,
dimulai dengan alkohol persentase rendah, misalnya alkohol 70%, 80%, 90%
dan 100% (alkohol absolut).
Waktu yang diperlukan untuk setiap tingkatan alkohol tergantung dari
besar kecilnya jaringan. Alkohol absolut mempunyai kemampuan
memperkeras jaringan, oleh karena itu jaringan tidak boleh ditinggalkan terlalu
lama di dalam alkohol absolut atau alkohol persentase tinggi lainnya.
Sebaiknya jangan di tinggalkan lebih dari 1 atau 2 jam untuk jaringan
berukuran biasa (2 – 4 mm).
5. Penjernihan (Clearing)
Proses ini membuat jaringan menjadi jernih dan transparan. Pada
pembuatan sediaan irisan jaringan dengan metode parafin, proses ini
merupakan perantara antara proses dehidrasi dan proses penanaman
(embedding).
Waktu yang dipergunakan untuk proses penjernihan tergantung dari tebal
jaringan dan zat penjernih yang di gunakan.
6. Penanaman rangkap (Embedding)
Metode ini sebenarnya hanya digunakan untuk materi-materi yang sukar,
bila ditanam dengan parafin saja. Biasanya materi -materi yang diperlukan
dengan metode ini adalah materi-materi yang kecil atau materi kecil yang akan
dibuat irisan seri, seperti arthropoda kecil (Suntoro, 1983).
7. Pewarnaan
Metode pewarnaan disesuaikan dengan tujuan mempelajari sel atau
jaringan khusus seperti jaringan ikat. Pewarna yang biasanya dipakai dikatakan
bersifat asam atau basa, tetapi sebenarnya mereka merupakan garam-garam
netral karena mempunyai radikal asam maupun radikal basa.
I. Pewarna inti yang paling umum adalah hematoksilin, yang sifat
memulasnya tergantung pada adanya hasil oksidasi dalam larutan sebelum
dipergunakan. Bila dipulas dengan zat ini, inti – inti tampak biru.
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
II. Pewarna anilin seperti azure A, biru toluidin, dan biru metilen digunakan
dalam menafsirkan proteoglikans (mukopolisakarida) yang terpulas secara
metakromatis. Apabila proteoglikans dipulas dengan salah satu zat warna
ini, akan mendapatkan warna yang berbeda dari warna asal pewarna.
Contoh : Musin, matriks tulang rawan dan granula sel mast.
III. Pewarna asam, seperti : eosin, asam pikrat, azo, biru tripan, merah tripan
dan lain sebagainya. Contoh : sitoplasma.
IV. Pewarna kombinasi asam-basa
a. Hematoksilin dan eosin (H dan E) yang paling umum digunakan untuk
memulas setiap struktur inti menjadi ungu tua atau biru, struktur
sitoplasma dan substansi intraseluler menjadi merah muda.
b. Metode trikrom seperti pulasan Mallory untuk jaringan ikat, pulasan
Mallory-Azan dapat membedakan struktur sitoplasma dari zat-zat
intraseluler. Untuk memulas serat-serat jaringan ikat menjadi biru terang,
inti menjadi merah atau jingga dan berbagai unsur sel menjadi biru, merah,
jingga, atau ungu.
c. Metode trikrom menggunakan pulasan Masson untuk memulas jaringan
ikat menjadi hijau, inti menjadi biru atau ungu, dan struktur sitoplasma
menjadi merah.
d. Metode trikrom menggunakan pewarna anilin merupakan metode untuk
kolagen lebih jelas dibanding lainnya (Leeson, 1996).
19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2012 sampai dengan
bulan Maret 2013 di Laboratorium Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif hidayatullah Jakarta yaitu : Laboratoirum Bioavaibility dan Bioequivalensi
(PBB) Program Studi Farmasi, Laboratorium Multiguna Program Studi
Pendidikan Dokter, Laboratorium Enviromental Health (HEN) Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Laboratorium Animal House Program Studi Pendidikan
Dokter dan Laboratorium Patologi dan Anatomi Universitas Indonesia.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam sediaan film kitosan yaitu : Timbangan
analitik, spuit, hot plate stirer (Wigen Hauser), pH meter (Horiba), oven (Eyela
NDO-400), sonikator (Bransonic 5510), buret, pengaduk magnetik, gelas kimia,
gelas ukur, labu ukur, spatula, dan pipet mikro (Wigen Hauser).
Untuk uji in vivo terhadap hewan tikus yaitu : Alat bedah, kandang tikus,
kertas, jarum suntik, kapas, toples, plat logam, sedangkan untuk pembuatan
sediaan histologi yaitu gelas objek dan gelas penutup, penangas air, mikrotom,
tissue processor dan mikroskop cahaya.
3.2.2. Bahan
Serbuk asiatikosida (Xi’an Guanyo Bio-tech, Cina), kitosan (PT. Biotech
Surindo), asam laktat (PT. Bratachem), natrium tripolifosfat (NaTPP) (PT. Wako,
Japan), natrium hidroksida (NaOH), gliserin (PT. Bratachem), sorbitol (PT.
Bratachem), dan silika gel digunakan untuk pembuatan film kitosan dan evaluasi.
Untuk fiksasi kulit dan uji in vivo dengan menggunakan etanol 96%, eter,
larutan buffer formalin 10%, larutan hematoksilin, larutan eosin, xylol, alkohol
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan konsentrasi bertingkat, parafin, alkohol 70%, xylazine 2%, dan ketamin
HCl 2%.
3.3. Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih betina (Rattus
novergicus L.) galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat
badan 180 - 250 gram. Hewan percobaan terdiri dari 6 kelompok perlakuan
dengan masing- masing tiap kelompok ditentukan dengan cara sebagai berikut.
Tabel 3.1. Jumlah kelompok hewan uji
No. Kelompok Jenis perlakuan luka
1 KN Tanpa pengobatan (kontrol negatif)
2 KP Diberi suspensi asiatikosida 0,2% (kontrol positif)
3 FK Diberi film kitosan tanpa asiatikosida
4 FA1 Diberi film kitosan dengan asiatikosida 10%
5 FA2 Diberi film kitosan dengan asiatikosida 20%
6 FA3 Diberi film kitosan dengan asiatikosida 30%
I. Prinsip Rumus Federer, yaitu
(n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (6-1) ≥ 15
(n-1) ≥ 3
n ≥ 4
Jadi jumlah minimum ulangan perlakuan yang diperlukan dalam setiap
kelompok adalah 4 kali pada hewan coba.
Pada percobaan ini menggunakan 3 kelompok (luka) dalam 1 tikus,
sedangkan untuk 6 kelompok yang digunakan untuk 1 ulangan perlakuan adalah 2
ekor tikus. Untuk evaluasi penurunan luas luka dalam 4 ulangan adalah 8 ekor dan
keterangan :
n : jumlah ulangan
t : jumlah kelompok perlakuan terhadap
binatang coba
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk evaluasi histologi dalam 2 ulangan adalah 4 ekor, sehingga jumlah tikus
yang digunakan sebanyak 12 ekor.
3.4. Pembuatan Film Kitosan - Asiatikosida dan Evaluasinya
3.4.1. Preparasi Pelarut
1. Larutan kitosan + 1%
Kitosan ditimbang 4 gram dengan menggunakan kaca arloji, kemudian
kitosan dimasukkan ke dalam gelas kimia yang berisi aquadest 300 ml,
ditambahkan larutan asam laktat 4% (4 ml asam laktat digenapkan hingga
100 ml aquadest) dan diaduk dengan pengaduk magnetik hingga larut.
Setelah itu, larutan kitosan disaring dengan bantuan vacum menggunakan
corong porselen yang dilapisi kain.
2. Larutan NaTPP 0,1%
Sebanyak 1 gram ditimbang dengan menggunakan kaca arloji, kemudian
dilarutkan dengan aquadest dalam gelas kimia. Setelah itu dimasukkan
dalam labu ukur 1 L dan digenapkan dengan aquadest sampai tanda batas.
3. Larutan NaOH 0,1 N
NaOH sebanyak 4 gram ditimbang dengan menggunakan kaca arloji,
kemudian dilarutkan dengan aquadest dalam gelas kimia. Setelah itu
dimasukkan dalam labu ukur 1 liter dan digenapkan dengan aquadest
hingga tanda batas.
3.4.2. Preparasi Film Sambung Silang Kitosan - TPP yang Mengandung
Asiatikosida
Sebanyak 25 ml larutan kitosan 1% dimasukkan ke dalam gelas kimia,
kemudian dilakukan pengadukan dengan menggunakan pengaduk magnetik dan
pengadukan ini terus dilakukan selama proses pembuatan film. Setelah itu
ditambahkan larutan NaTPP 0,1% kedalam larutan kitosan tersebut dengan
menggunakan buret hingga 30 ml, kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N ke dalam
campuran tersebut dan dilakukan pengecekan secara berulang sampai pH 5 (dicek
dengan pH meter). Setelah homogen sebagian larutan dipindahkan pada gelas
kimia yang berbeda dan ditambahkan serbuk asiatikosida sedikit demi sedikit
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada gelas kimia semula yang sedang diaduk menggunakan pengaduk magnetik
hingga homogen. Setelah itu masukkan plasticizer sorbitol dan gliserin (1 : 1)
sebanyak 187,5 µL sedikit demi sedikit ke dalam gelas kimia larutan campuran
kitosan – asiatikosida dengan menggunakan mikropipet. Setelah itu ditambahkan
sisa campuran larutan pada gelas kimia kedua sedikit demi sedikit ke dalam
larutan campuran yang mengandung asiatikosida dan diaduk hingga homogen.
Kemudian dilakukan sonikasi selama 10 menit agar gelembung-gelembung kecil
dalam larutan campuran dapat naik ke permukaan. Gelembung-gelembung kecil
yang terbentuk dihilangkan dengan menggunakan spatula. Setelah itu, tuangkan
larutan campuran ke dalam cetakan atau wadah yang permukaannya rata dan
keringkan pada temperatur 60˚C selama + 45 jam. Untuk menjaga kelembaban
tetap konstan, film yang terbentuk dilakukan penyimpanan selanjutnya dalam
wadah yang mengandung silika gel.
Tabel 3.2. Formula film kitosan
Keterangan : Nilai % (b/b) asiatikosida dihitung terhadap berat kitosan
3.5. Preparasi Suspensi Asiatikosida (Kontrol Positif)
Sebanyak 0,2 gram asiatikosida ditimbang, kemudian dilarutkan dengan
cairan steril NaCl dan digenapkan hingga volume 100 ml.
3.6. Perlakuan Hewan Percobaan
3.6.1 Perlakuan pada Tikus
Tikus diaklimatisasi selama 1 minggu sebelum percobaan dengan di
berikan pakan dan minuman ad libitum. Kemudian, setiap ekor tikus diberi tanda
pengenal agar tidak salah dalam perlakuan.
Kel.
Larutan
Kitosan
1%
Larutan
NaTPP
0,1%
Larutan
NaOH
0,1 N
Plasticizer Asiatikosida
Gliserin : Sorbitol
(1 : 1)
Konsentrasi Berat
FA1 25 ml 30 ml qs 187,5 µl 10% 25 mg
FA2 25 ml 30 ml qs 187,5 µl 20% 50 mg
FA3 25 ml 30 ml qs 187,5 µl 30% 75 mg
FK 25 ml 30 ml qs 187,5 µl - -
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.6.2. Perlukaan pada Tikus
Pembentukan luka bakar ini dilakukan dengan mencukur rambut bagian
punggung hewan yang sebelumnya dibius dengan 0,5 ml/100 gramBB tikus dosis
kombinasi Xylazine 2% dan Ketamin HCl 2% (1,5 : 10). Prosedur yang
dilakukan untuk membentuk luka bakar derajat tiga menggunakan plat logam
berdiameter 1 cm yang dipanaskan pada suhu 100˚C kemudian ditempelkan pada
punggung tikus selama 30 detik (Shuid et al., 2005). Luka ditunggu selama 10
menit lalu oleskan omiderm (debridemen enzimatis) dan ditunggu hingga 3 hari
(Dihitung sebagai hari ke-0), kemudian diberi perlakuan bahan uji sesuai
kelompoknya masing-masing.
3.6.3. Pemberian Obat Luka
Tabel 3.3. Jenis perlakuan dan pemberian tiap kelompok
No. Kelompok Jenis perlakuan luka Cara pemberian
1 KN Tanpa pengobatan
(kontrol negatif)
Tidak diberi obat
2 KP Diberi suspensi asiatikosida
0,2% (kontrol positif)
Diteteskan pada area
luka 2 kali sehari
3 FK Diberi film kitosan tanpa
asiatikosida
Tempelkan FK pada area
luka
4 FA1 Diberi film kitosan dengan
asiatikosida 10%
Tempelkan FA1 pada
area luka
5 FA2 Diberi film kitosan dengan
asiatikosida 20%
Tempelkan FA2 pada
area luka
6 FA3 Diberi film kitosan dengan
asiatikosida 30%
Tempelkan FA3 pada
area luka
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.7. Evaluasi Penurunan Luas Area Luka
Masing-masing tikus diamati setiap kelompok yang mengalami luka bakar
pada punggungnya dengan memperhatikan perubahan luas area luka pada hari
ke- 0, 3, 7 dan 14. Kemudian dihitung persentase penurunan luas area luka tikus
(Datta et al., 2009), berdasarkan rumus sebagai berikut :
W0 = berat kertas yang sesuai dengan gambar luas area luka
Wt = berat rata-rata kertas bentuk lingkaran berdiameter 1,5 cm
1,76625 = luas lingkaran diameter 1,5 cm
3.8. Preparasi dan Uji Histologi
3.8.1. Pengambilan Sampel Kulit (Biopsi)
Biopsi kulit dilakukan pada luka bakar yang mulai menutup di setiap
kelompok yang diambil pada hari ke-0, 7 dan 14 pasca perlukaan setelah tikus
dibuat kondisi euthanasi dengan menggunakan eter dosis berlebih. Kemudian kulit
area luka dipotong dengan menggunakan gunting tajam yang telah disterilkan
terlebih dahulu.
Kulit yang telah di potong dengan ukuran 1,5 cm x 1,5 cm di fiksasi
dengan menggunakan larutan BNF (Buffer Netral formalin) 10%. Kemudian
potongan sediaan kulit dimasukkan ke dalam kaset tissue dan didehidrasi dengan
cara merendam sediaan berturut – turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%,
alkohol absolut 1, alkohol absolut II, xylol 1, xylol II, parafin I, dan terakhir
parafin II.
% Penurunan Luas Luka hari ke – n = 100% – ( –
x 100%)
Luas area luka =
x L
=
x 1,76625
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 2 - 4 mikron.
Selanjutnya dilakukan pewarnaan umum Haematoksilin Eosin sebagai dasar
pemulasan dan untuk mengamati jaringan ikat.
3.8.2. Pengamatan Histologi
Pengamatan histologi dilakukan pada sampel kulit dari sayatan tiap
kelompok yang telah diambil pada hari ke-0, 7 dan 14 dengan mengamati
kandungan pada jaringan ikat berupa jumlah sel-sel radang, neovaskularisasi,
tebal serabut kolagen.
4.1. Analisa Data
Hasil pengamatan penurunan luas area luka diuji secara statistik
menggunakan ANOVA. Dan hasil pengamatan histologi berupa perubahan pada
jaringan ikat seperti seperti sel-sel radang, neuvaskularisasi dan serabut kolagen
diuji secara deskriptif.
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Persentase Penurunan Luas Luka
Tabel 4.2. Persen penurunan luas area luka
Kelompok Rata – rata penurunan luas area luka (%)
hari ke-
3 7 14
KN 19,77 42,73 80,37
KP 30,93 41,87 95,30
FK 34,40 47,29 86,92
FA1 17,46 40,87 90,92
FA2 21,64 41,15 95,00
FA3 26,07 56,15 98,31
Keterangan : KN : Kontrol negatif, KP : Kontrol positif, FK : Film tanpa asiatikosida,
FA1 : Film kitosan yang mengandung asiatikosida 10%, FA2 : Film kitosan
yang mengandung asiatikosida 20%, FA3 : Film kitosan yang mengandung
kitosan 30%
Gambar 4.2. Grafik penurunan luas area luka setiap kelompok
0
20
40
60
80
100
120
0 3 7 14
Per
sen p
enuru
nan
luas
are
a lu
ka
(%)
KN
KP
FK
FA1
FA2
FA3
Hari pengamatan
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.2. Pemeriksaan Histologi
Tabel 4.3. Hasil pengamatan histologi pada tikus
Keterangan :
- : tidak ada, + : sedikit, ++ : sedang, +++ : banyak/luas
Parameter Kelompok dan Hari pengamatan
KN KP FK FA1 FA2 FA3
0 7 14 0 7 14 0 7 14 0 7 14 0 7 14 0 7 14
Nekrosis +++ - - +++ - - +++ - - +++ - - +++ - - +++ - -
Jumlah sel-
sel radang
- +++ ++ - ++ + - ++ + - ++ + - ++ + - + +
Jumlah
neuvaskulari
sasi
- - ++ - +
+ - ++ + - + + - ++ + - +++ +
Tebal
serabut
kolagen
- - + - + ++ - + ++ - + ++ - ++ +++ - +++ +++
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Pembahasan
4.2.1. Hasil Penurunan Luas Area Luka
Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas film kitosan yang mengandung
asiatikosida konsentrasi 0% (FK), 10% (FA1), 20% (FA2) dan 30% (FA3) yang
digunakan sebagai penutup luka bakar derajat tiga kemudian dibandingkan
dengan kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP). Kemudian pengamatan
penurunan luas area luka dilakukan pada hari ke- 3, 7 dan 14.
Luka bakar yang dihasilkan dengan menggunakan logam panas bersifat
gosong kehitaman sehingga perlu memakai debridemen enzimatis berupa
omiderm untuk mempercepat pemisahan jaringan nekrosis. Setelah dilakukan
debridemen, kulit yang terkena luka bakar dibersihkan dengan larutan NaCl yang
bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa zat debridemen dan jaringan nekrosis
kemudian diuji sesuai kelompok masing-masing.
Metode pembuatan luka bakar dengan logam panas mempunyai beberapa
kekurangan karena menghasilkan jaringan nekrosis tanpa mengalami
pengelupasan kulit sehingga perlu adanya zat debridemen. Dengan adanya
debridemen memerlukan waktu hingga 3 hari sebelum dilakukan uji setiap
kelompok. Selain itu, penggunaan logam panas yang diterapkan dalam satu
punggung tikus dengan tiga area luka menghasilkan pengerutan kulit yang
mempengaruhi jarak antar luka sehingga dapat mempersulit penerapan film
kitosan dan pengamatan masing-masing kelompok.
Berdasarkan pengamatan hari ke-3, nilai persen penurunan luas luka yang
paling besar adalah kelompok film tanpa asiatikosida (FK) yaitu 34,40% dan
kontrol positif yaitu 30,94%. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan
yang signifikan antara FA1 dengan kontrol positif dan FK, dimana nilai persen
penurunan luas luka FA1 adalah 12,46%. FA2 menunjukkan terdapat perbedaan
yang signifikan dengan FK (p < 0,05), dimana nilai persen penurunan luas luka
FA1 adalah 21,67%. Dan FA3 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dengan semua kelompok (P > 0,05), dimana nilai persen penurunan
luas luka FA3 adalah 26,07%.
Berdasarkan data tersebut bahwa penerapan film yang mengandung
asiatikosida 10%, 20% dan 30% belum menunjukkan aktivitas penyembuhan luka
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bakar yang lebih baik dibandingkan kontrol positif dan film tanpa asiatikosida
(FK) karena nilai persen penurunan luas luka film yang mengandung asiatikosida
lebih rendah dari FK dan kontrol positif. Film yang mengandung asiatikosida
belum berpengaruh secara signifikan dalam memperbaiki penyembuhan luka
bakar dibandingkan kontrol negatif, akan tetapi nilai persen penurunan luas luka
kontrol negatif lebih rendah yaitu 19,77% dari FA2 dan FA3..
Secara makroskopis pada hari ke-3, Jaringan luka menimbulkan gumpalan
kering atau keropeng yang bersifat eritema, bengkak dan rasa nyeri yang
menandakan masih terjadinya fase inflamasi atau peradangan dan berlangsung
dari hari pertama setelah terkena luka bakar (Martin P, 1997). Peran penting
dalam fase inflamasi adalah neutrofil yang bertugas memfagosit debris,
mikroorganisme, dan memberikan pertahanan terhadap infeksi yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar (Diegalmann, 2004). Pada kondisi
luka bakar yang menghasilkan eksudat dibutuhkan penutup luka yang mampu
menyerap cairan eksudat yang menyebabkan infeksi. Dalam hal ini, penutup luka
film tanpa asiatikosida memberikan aktivitas yang lebih baik dibandingkan
kelompok yang lain (p < 0,05) dan juga mempunyai persen penurunan luas area
luka yang paling besar yaitu 34,40%.
Berdasarkan pengamatan hari ke-7, nilai persen penurunan luas luka yang
paling besar adalah kelompok FA3 yaitu 56,15%. Hasil uji statistik menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara FA1, FA2 dan FA3 dengan
kelompok lain (p > 0,05), dan juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara semua kelompok (p > 0,05).
Berdasarkan data tersebut, kelompok yang diberi perlakuan dan
kelopmpok yang tidak diberi perlakuan belum memberikan aktivitas yang
berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan penyembuhan luka bakar.
Proses penyembuhan luka bakar pada hari ke-7 berlangsung lambat yang
memungkinkan masih terjadinya fase inflamasi atau peradangan sehingga perlu
didukung dengan data histologi. Secara prinsip fase inflamasi terjadi hingga hari
ke-3 untuk penyembuhan luka primer seperti luka terbuka (Boateng, 2007),
sedangkan penyembuhan luka sekunder seperti luka bakar berlangsung lebih lama
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dibandingkan dengan luka primer karena terjadi kerusakan yang lebih ekstensif
menghasilkan jaringan nekrotik dan eksudat jaringan (Chandrasoma, 2005).
Berdasarkan pengamatan hari ke-14, nilai persen penurunan luas luka yang
paling besar adalah kelompok FA3 yaitu 98,31%. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa FA1 tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok
(p > 0,05), dimana nilai persen penurunan luas luka FA1 adalah 90,92%. FA2 dan
FA3 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif (p
< 0,05), dimana nilai persen penurunan luas luka FA2 adalah 95% dan kontrol
negatif adalah 80,37%.
Dari hasil statistik menghasilkan bahwa FA2 yang mengandung
asiatikosida 20% dan FA3 yang mengandung asiatikosida 30% mengalami
perbaikan penyembuhan luka bakar dibandingkan kontrol negatif. Pada tabel
persen penurunan luas luka hari ke-14 rata-rata semua kelompok hampir
mengalami penyembuhan, akan tetapi nilai persen penurunan luas luka yang
paling besar adalah FA3 yang merupakan kelompok film dengan konsentrasi
asiatikosida yang paling tinggi yaitu 30%. Hal tersebut menunjukkan adanya
asiatikosida di dalam penutup luka film berpengaruh dalam meningkatkan
penyembuhan luka bakar derajat tiga.
Hasil fase akhir luka bakar derajat tiga biasanya terjadi pembentukan
jaringan parut berupa massa atau jaringan kulit berwarna putih, hal ini sesuai
dengan hasil pengamatan makroskopik pada penelitian ini.
4.2.2. Pengamatan Histologi
Pewarnaan jaringan menggunakan hematoksilin-eosin (HE) dalam
mengamati perubahan yang terjadi secara deskriptif seperti banyaknya sel-sel
radang, neuvaskularisasi, dan tebal serabut kolagen pada jaringan ikat di hari
ke- 0, 7 dan 14. Pengamatan histologi hari ke-0 dilakukan untuk meyakinkan
metode pembuatan luka bakar. Hasil histologi hari ke-0 menghasilkan terjadinya
koagulasi nekrosis pada lapisan dermis hingga jaringan subkutan, serta ditandai
dengan hilangnya lapisan epidermis lengkap dengan bagiannya. Hal tersebut
menandakan telah terjadinya cedera luka bakar derajat tiga (Hermans MHE,
2005).
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil pengamatan hari ke-7 didapatkan adanya perubahan secara histologi
dengan dipenuhi sel-sel radang pada semua kelompok. Penerapan film FA1, FA2
dan FA3 menunjukkan adanya jumlah sel-sel radang yang lebih sedikit
dibandingkan kontrol negatif yang memiliki jumlah sel-sel radang yang lebih
banyak atau luas, dan tidak berbeda jumlah sel-sel radangnya dibandingkan
kontrol positif. FA3 menunjukkan adanya perbedaan jumlah sel-sel radang yang
lebih sedikit dibandingkan FA1 dan FA2. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
sel-sel radang didalam jaringan luka pada semua kelompok masih terjadinya fase
inflamasi yaitu makrofag yang menggantikan peran neutrofil hingga hari ketiga
dalam membersihkan daerah luka dari benda asing dan bakteri (Diegalmann,
2004). Selain itu, adanya kandungan asiatikosida dalam sediaan film FA3
berpengaruh terhadap proses perbaikan penyembuhan luka bakar pada fase
inflamasi yang memiliki jumlah sel-sel radang lebih sedikit dibandingkan
kelompok lainnya.
Berdasarkan pengamatan hari ke-7, dalam jaringan ikat ditemukan dengan
adanya vaskularisasi yang terdiri atas kapiler yang baru terbentuk dan mengisi
daerah cedera pada saat debris nekrotik dihilangkan. Pada jaringan luka yang
diobati baikdengan penerapan film maupun dengan kontrol positif menunjukkan
adanya neuvaskularisasi (pembuluh darah baru) dibandingkan jaringan luka yang
tidak diobati (kontrol negatif) belum ditemukan adanya neuvaskularisasi,
pembentukan neuvaskularisasi ini dimulai pada hari ke-4 atau 5. FA1 yang
mengandung asiatikosida konsentrasi 10% menunjukkan lebih sedikit jumlah
neuvaskularisasinya dibandingkan FA2 yang mengandung asiatikosida
konsentrasi 20%, dan FA2 menunjukkan jumlah neuvaskularisasi lebih sedikit
dibandingkan dengan FA3 yang mengandung asiatikosida 30%. Berdasarkan
pengamatan tersebut bahwa FA1, FA2 dan FA3 menunjukkan adanya perbaikan
penyembuhan luka bakar dibandingkan kontrol negatif.
Hasil pengamatan hari ke-14, dalam jaringan ikat menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan dari hari ke-7 dengan ditemukannya sel-sel radang dan
pembuluh darah yang minimal terjadi pada semua kelompok. Hal tersebut
menunjukkan telah terjadinya migrasi dari proses inflamasi ke proses fibroblas
dengan mensintesis kolagen. Berdasarkan pembentukan serabut kolagen
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menunjukkan bahwa FA3 memiliki serabut kolagen yang lebih padat dan tebal
dibandingkan FA2 dan FA1, kemudian FA2 memiliki serabut kolagen yang lebih
padat dibandingkan dengan FA1. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
penerapan film FA1, FA2 dan FA3 berpengaruh pada pembentukan kolagen yang
tebal dan padat dibandingkan kontrol negatif dan kontrol positif yang
menunjukkan terbentuk kolagen yang longgar dan tipis. Berdasarkan
pembentukan apendesisnya seperti folikel rambut, kelenjar minyak dan kelenjar
keringat pada lapisan jaringan ikat didapatkan bahwa pemberian kontrol positif
menunjukkan terbentuk apendesis yang hampir sempurna seperti jaringan normal
dibandingkan kelompok lain. Namun, pembentukan serabut kolagen memiliki
pengaruh besar dalam perbaikan penyembuhan luka yang dibandingkan dengan
pembentukan apendesis.
Dari hasil pengamatan hari ke-7 dan 14, dalam jaringan ikat menunjukkan
adanya perubahan dalam pembentukan serabut kolagen yang menyebar dan tipis
menjadi serabut kolagen yang padat dan tebal. Dalam jaringan normal, kolagen
berfungsi memberikan kekuatan, integritas dan struktur kulit. Ketika jaringan
mengalami kerusakan, kolagen dibutuhkan untuk memperbaiki dan
mengembalikan fungsi dan struktur anatomis (Diegelmann, 2004). Kandungan
kolagen jaringan granulasi meningkat sejalan dengan waktu tanpa adanya
perlakuan (Chandrasoma, 2005), akan tetapi menurut Shukla et al., (1999) dengan
adanya kandungan asiatikosida dapat meningkatkan produk kolagen, kekuatan
tarik (tensile strength), hidroksiprolin dan epitelisasi yang berfungsi memberikan
kontraksi dan kekuatan regangan pada fase akhir yang membentuk jaringan parut
pada kulit.
Berdasarkan pengamatan hasil persen penurunan luas luka dan histologi
jaringan luka menunjukkan bahwa dengan adanya asiatikosida di dalam penutup
luka film kitosan dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Luka bakar
memerlukan penanganan khusus karena masalah utama yang dialami penderita
luka bakar adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme cairan eksudat
pada luka (Effendi, 1999), akan tetapi dari hasil pengamatan makroskopis tidak
ditemukan infeksi yang bermakna karena bantuan debridemen dan penutup luka
film kitosan yang mempunyai sifat antibakteri (Dutta, 2004).
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Proses penyembuhan luka bakar derajat tiga dari penelitian ini termasuk
mengalami penyembuhan yang cepat dibandingkan luka bakar yang mengalami
infeksi berat karena dilakukan penanganan khusus seperti menggunakan
debridemen enzimatis berupa omiderm, kondisi pembuatan luka bakar yang
meminimalkan kontaminasi pada awal cedera dan penerapan penutup luka film.
Penutup luka yang baik adalah mampu melekat dan tahan pada kondisi berbagai
luka, tidak menimbulkan trauma saat pergantian dan menjaga kelembaban, hal ini
sangat penting bagi sifat mekanik film kitosan mempunyai kemampuan kekuatan
tarikan (tensile porperties).
Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa pada kondisi awal cedera luka
bakar hingga hari ketiga, penutup luka film yang mengandung asiatikosida
maupun tanpa asiatikosida memberikan fungsi yang baik dengan menjaga
kelembaban kondisi luka yang dapat menempel dan menyerap cairan eksudat
tanpa menimbulkan trauma. Dalam hal ini, menurut Bhumkar (2006) peran
sambung silang film kitosan dengan natrium tripolifosfat memberikan
peningkatan sifat mekanik berupa kemampuan kekuatan tarikan dan efisiensi
pelepasan asiatikosida dalam penutup luka, dan memberikan kelembaban karena
kitosan memiliki sejumlah besar ikatan hidrogen (Moe T. et al., 2008). Akan
tetapi, setelah hari ketiga film kitosan tidak menempel secara maksimal karena
kondisi luka yang kering sehingga film kitosan belum memberikan efek yang
maksimal sebagai penutup luka dalam menjaga kelembaban hingga akhir proses
penyembuhan.
34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Hasil statistik menunjukkan film kitosan yang mengandung asiatikosida
20% dan 30% yaitu kelompok FA2 dan FA3 memiliki aktivitas
penyembuhan luka yang lebih baik dan berbeda secara signifikan
(p < 0,05) terhadap kontrol negatif, dan tidak berbeda secara signifikan
(p > 0,05) terhadap kontrol positif.
2. Hasil histologi menunjukkan semakin tinggi konsentrasi asiatikosida maka
aktivitas penyembuhan luka bakar semakin baik.
3. Formula film kitosan yang mengandung asiatikosida tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan formula lainnya yaitu, FA1 terhadap FA2
dan FA3 (p > 0,05), FA2 terhadap FA3 (p > 0,05).
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan uji aktifitas film secara in vitro untuk memastikan
penggunaannya sebagai penutup luka bakar dan perlu cari metode
pembuatan luka bakar yang mudah penanganannya dan praktis terhadap
hewan percobaan.
2. Perlu dilakukan uji secara kuantitatif untuk meyakinkan hasil mikroskopis
seperti menghitung jumlah sel-sel radang, tebal serabut kolagen dan
jumlah neuvaskularisasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Ashok, K. & VIKAS, R. 2010. Cross-linked Chitosan Films: Effect of Cross-
linking Density on Swelling Parameters. Department of Pharmaceutical
Sciences and Drug Research, Punjabi University. Vol. 23 (4) : 443-448
Anggraeni, Y. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang Kitosan-
Tripolifosfat yang Mengandung Asiatikosida Sebagai Pembalut Bioaktif
Untuk Luka. Tesis. Program Magister Ilmu Kefarmasian Universitas
Indonesia, Depok
Bonte F. et al., 1994. Influence of asiatic acid, madecassic acid and asiaticoside
on human collagen I synthesis. Planta Med. 60, pag. 133-135.
Boateng, J.S., Kerr, H.M., Howard, N.E.S., and Gillian, M.E. 2007. Wound
Healing Dressings and Drug Delivery Systems: A Review. Journal of
Pharmaceutical Sciences, Vol. 97, Page: 2892-2923.
Carrougher GJ. 1998. Burn Care and Therapy. University of Washington Burn
Center, Seattle. Hal : 443 – 446
Datta, H.S., Mitra, S.K., & Patwardhan, B. 2009. Wound healing activity of
topical application forms based on ayurveda. eCAM. September 21, 2011.
http://www.iaim.edu.in/pdf/eCAM-Hema-WH-09.pdf
Dhanikula, A. & Panchagnula, R. 2004. Development and Characterization of
Biodegradable Chitosan Films for Local Delivery of Paclitaxel. The
AAPS Journal Vol. 6 (3) : 1-12
Diegelmann, R. F. et al. 2004. Wound Healing: An Overview of Acute, Fibrotic
and Delayed Healing. Frontiers in Bioscience, 9 : 283-289
Dutta P K, Dutta J, Triphaty V S. 2004. Chitin and Chitosan : Chemistry and
Applications. Journal of scientific & Industrial Research, Vol 63, 20-31
Effendi C. 1999. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta : EGC
Eldin, M. S. et al. 2008. Chitosan Modified Membranes for Wound Dressing
Applications : Preparation, Characterization and Bio-Evaluation. Vol 22
(3) : 158-168
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Elmotasem. 2008. Chitosan–Alginate Blend Films for The Transdermal Delivery
of Meloxicam. Asian Journal of Pharmaceutical Sciences, 3 (1): 12-29
Gupta, Bhuvanesh. 2010. Textile-Based Smart Wound Dressings. Indian Journal
of Fibre & Textile Research, Vol. 35, Pages: 175-176
http://www.sigmaaldrich.com
Jamil S, Nizami Q, Salam M. 2007. Centella asiatica (Linn.) Urban o’A Review.
Natural Product Radiance, Vol 6 (2), pp. 158-170
Jain P K, Agrawal R K, 2008. High Performance Liquid Crhomatographic
Analysis of Asiaticoside in Centella asiatica (L.) Urban. Chiang Mai J.
Sci. 35(3) : 521 - 525
Junqueira, L. 2007. Histologi Dasar : Teks dan atlas; alih bahasa. ed. 10. Jakarta
: EGC
Khan T, Peh K, Ch’ng H. 2000. Mechanical strength and Biological Evaluations
of Chitosan film for Wound Dressing. J Pharm Pharmaceut Sci, 3 : 303-
311
Kwon M. et al. 2012. Enhancement of the Skin-Protective Activities of Centella
asiatica L. Urban by a Nano-encapsulation Process. Journal of
Biotechnology, 157 : 100-106
Kim W. et al. 2009. Extraction of Bioactive Components from Centella asiatica
using Subcritical Water. The Journal of Supercritical Fluids, 48 : 211–216
Khan, T.A., Kok, K.P., Hung, S.C. 2000. Mechanical, Bioadhesive Strength and
Biological Evaluation of Chitosan Films for Wound Dressing. Journal
Pharmacy Pharmaceutical Science 3 (3), Page: 303-304.
Lou, Ching-Wen. 2008. Process Technology and Properties Evaluation of a
Chitosan-coated Tencel/cotton Nonwoven Fabric as a Wound Dressing.
Fibers and Polymers, Vol.9 No.3, Page: 286-292.
Leeson C, Leeson R, Paparo A. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC
Lee J. et al., 2006. Asiaticoside Induces Human Collagen I Synthesis through
TGF beta receptor I k inase-independent Smad Signaling. Planta Med. 72
(4), pag. 324-328.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Meena K,Mohan A V, Sharath B, Somayaji S N, Bairy K L, 2011. Effect of
Topical Phenytoin on Burn Wound Healing in Rats. Indian of Journal
Experimental Biology. Vol 49, pp. 56-69
Moe T, Khaing T, Han T, & Mon H. 2008. Effects of Chitosan Films on Wound
Healing and Evaluation of Their Properties. 1-4
Moenadjat, Y. 2009. Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana. Jakarta: Balai
penerbit FKUI.
Mutia, Theresia. 2009. Peranan Serat Alam Untuk Bahan Baku Tekstil Medis
Pembalut Luka (Wound Dressing). Balai Besar Tekstil, Bandung. Arena
Tekstil, Vol. 24 No. 2 Hal: 81, 82, 87
Pierce F. et al. 1995. Pharmacologic enhancement of wound healing. Vol. 46:
467-481
Pranoto, Yudi. 2007. Kajian Sifat Fisik-Mekanik dan Mikrostruktur Edible Film
Alginat dan Kitosan dengan Penambahan Gliserol. Seminar Nasional
PATPI Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Suwantong et al. 2008. Electrospun cellulose acetate fiber mats containing
asiaticoside or Centella asiatica crude extract and the release
characteristics of asiaticoside. Polymer 49, 4239–4247
Suwantong, O., Uracha, R., Pitt, S. 2010. In Vitro Biological Evaluation of
Electrospun Cellulose Acetate Fiber Mats Containing Asiaticoside or
Curcumin. Journal of Biomedical Materials Research Vol. 94 A, Issue 4,
Page: 1216-1217
Syamsuhidayat, R. & Jong, W.D. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Shuid A N, Anwar M S, Yusof A, 2005. The Effect of Carica papaya Linn. Latex
on the Healing of Burn Wounds in Rats. Jurnal Sains Kesehatan Malaysia.
3 (2) : 39 – 47
Shukla, A., Rasik, A. M., Jain, G. K., Shankar, R., Kulshrestha, D. K., & Dhawan,
B. N. (1999). In vitro and in vivo wound healing activity of asiaticoside
isolated from Centella asiatica. Journal of Ethnopharmacology, 65, 1–11.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Suratman, Sumiwi S, Gozali D, 1996. Pengaruh Ekstrak Antanan Dalam Bentuk
Salep, Krim dan Jelly Terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Cermin Dunia
Kedokteran No. 108. Jakarta. 31-36.
Sikareepaisan, P., Suksamrarn, A., & Supaphol, P. 2011. Preparation and
Characterization of Asiaticoside-loaded Alginate Films and Their
Potential for Use as Effectual Wound Dressings, 83, 1457-1469
Sezer et al. 2007. Chitosan Film Containing Fucoidan as a Wound Dressing for
Dermal Burn Healing: Preparation and In Vitro/In Vivo Evaluation.
AAPS PharmSciTech : 8 (2)
Shuid et al. 2007. The Effects of Carica papaya Linn. Latex on the Healing of
Burn Wounds in Rats. Jurnal Sains Kesihatan Malaysia, Vol. 3 (2) : 39-47
Sularsito SA. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Histopatologi Kulit.
Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Suntoro S. 1983. Metode Pewarnaan : Histologi dan Histokimia. Jakarta : Penerbit
Bhratara karya aksara
Talukder S I. 2007. Histopathology Techniques: Tissue Processing and Staining.
Department of Pathology Mymensingh Medical College Mymensingh,
Bangladesh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alur Kerja Penelitian
Penyiapan Alat dan Bahan
Preparasi Pelarut Kitosan 1%, NaTPP
0,1%, dan NaOH 0,1N
Pembuatan Film Kitosan-NaTPP
yang Mengandung Asiatikosida
Tikus Betina Galur Sparague
Dawley
Aklimatisasi Tikus selama 1
Minggu
Menimbang, Preparasi Larutan
Perlukaan dan Perlakuan Hari ke-0
Pengamatan Luka hari ke-3
Pengamatan dan Biopsi Jaringan Hari ke-7
Pengamatan dan Biopsi Jaringan Hari ke-14
a. Evaluasi Penurunan Luas Area luka
b. Uji Histologi
a. Evaluasi Penurunan Luas Area luka
b. Uji Histologi
a. Evaluasi Penurunan Luas Area luka
b. Uji Histologi
Analisa Data Menggunakan ANOVA
Evaluasi Penurunan Luas Area luka
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Luas Area Luka
NO. Kelompok
Hari
pengukuran
Luas luka (cm²)
1 2 3 4 Rata-rata
1 KN 0 1,33 1,42 1,03 1,42 1,30
3 1,12 1,15 0,78 1,15 1,05
7 0,78 0,78 0,59 0,83 0,74
14 0,4 0,38 0,16 0,09 0,26
2 KP 0 1,03 1,30 1,21 1,30 1,21
3 0,67 0,83 0,83 1,03 0,84
7 0,76 0,62 0,62 0,78 0,70
14 0,10 0,11 0,00 0,00 0,05
3 FK 0 1,04 1,21 1,04 1,34 1,16
3 0,61 0,83 0,61 1,04 0,77
7 0,66 0,36 0,66 0,74 0,60
14 0,26 0,17 0,14 0,00 0,14
4 FA1 0 1,36 1,29 1,33 1,30 1,32
3 1,13 1,13 1,12 0,98 1,09
7 0,66 0,74 0,98 0,75 0,78
14 0,27 0,09 0,13 0,00 0,12
5 FA2 0 1,34 1,33 1,34 1,36 1,34
3 1,05 0,86 1,05 1,25 1,05
7 0,86 0,79 0,86 0,66 0,79
14 0,09 0,13 0,05 0,00 0,07
6 FA3 0 1,50 1,30 1,30 1,29 1,35
3 1,00 0,98 1,00 1,00 1,00
7 0,47 0,74 0,66 0,47 0,59
14 0,10 0,00 0,00 0,00 0,03
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Persen Penurunan Luas Area Luka
NO. Kelompok
Hari
Pengukuran
Penurunan luas area luka (%)
Rata-rata
1 2 3 4
1 KN 3 15,84 19,44 24,36 19,44 19,77
7 41,58 45,37 42,31 41,67 42,73
14 70,00 73,33 84,62 93,52 80,37
2 KP 3 34,62 36,36 31,52 21,21 30,93
7 25,64 52,53 48,91 40,40 41,87
14 90,00 91,21 100,00 100,00 95,30
3 FK 3 41,77 31,52 41,77 22,55 34,40
7 36,71 70,65 36,71 45,10 47,29
14 75,32 85,65 86,71 100,00 86,92
4 FA1 3 16,50 12,24 15,84 25,25 17,46
7 51,46 42,86 26,73 42,42 40,87
14 80,19 93,37 90,10 100,00 90,92
5 FA2 3 21,57 35,64 21,57 7,77 21,64
7 36,27 40,59 36,27 51,46 41,15
14 93,33 90,10 96,57 100,00 95,00
6 FA3 3 33,33 25,25 23,23 22,45 26,07
7 68,42 43,43 49,49 63,27 56,15
14 93,25 100,00 100,00 100,00 98,31
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Contoh perhitungan luas area luka pada kelompok KN hari ke 0 dan 3 sampel 1
Rata-rata berat kertas diameter 1,5 cm =
= 13,4 mg
Luas luka hari ke 0 =
x 1,76625 cm
2
= 1,33 cm2
Luas luka hari ke 3 =
x 1,76625 cm
2
= 1,12 cm
2
Rumus penurunan luas luka :
Contoh perhitungan penurunan luas luka hari ke 3 sampel 1 :
% Penurunan Luas Luka hari ke 3 = 100% – (
x 100%)
= 100% – ( 0,842 x 100%)
= 15,8%
% Penurunan Luas Luka hari ke – n = 100% – (
x 100%)
Luas area luka =
x 1,76625 cm
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Histologi Jaringan Kulit Hari ke-7
KEL. Kontrol Negatif Kontrol Positif Film Tanpa Asiatikosida (FK)
GA
MB
AR
KET a. Terdapat bula (rongga)
b. Dipenuhi sel – sel radang
c. Folikel belum terbentuk
a. Folikel rambut belum terbentuk
b. Sel – sel radang lebih banyak
c. Ditemukan adanya neuvaskularisasi
a. Sel radang lebih banyak
b. Ditemukan neuvaskularisasi lebih banyak
KEL. FA1 FA2 FA3
GA
MB
AR
KET a. Dipenuhi sel – sel radang
b. Folikel mulai terbentuk tetapi belum sempurna
a. Batas antar lapisan luka bakar terlihat jelas
yang dipenuhi sel – sel radang
b. Folikel belum terbentuk
c. Neuvaskularisasi lebih bnyak dibanding FA1
a. Neuvaskularisasi yang terbentuk lebih banyak
dan besar
b. Folikel belum terbentuk sempurna
c. Sel-sel radang minimal
a
c
b
b c
a
a
b
b
a
a b
c
a
b
c
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Histologi Jaringan Kulit Hari ke-14
KEL. Kontrol Negatif Kontrol Positif Film Tanpa Asiatikosida (FK)
GA
MB
AR
KET a. Jaringan ikat kolagen longgar dan tipis
b. Folikel rambut belum terbentuk sempurna
a. Jaringan ikat kolagen tebal
b. Terbentuk folikel rambut hampir sempurna
c. Sel-sel radang masih ditemukan
a. Sel radang minimal
b. Folikel terbentuk belum sempurna
c. Serabut kolagen longgar dan tipis
KEL. FA1 FA2 FA3
GA
MB
AR
KET a. Apendesis terbentuk hampir sempurna
b. Sel radang minimal
c. serabut kolagen tebal dan longgar
a. Kolagen lebih tebal dari FA1
b. Sel radang minimal dan terbentuk folikel
a. Folikel rambut terbentuk hampir sempurna
b. Kolagen tebal dan padat
a
b
a
c
b
a
a
b
c
c
a b
b a
b
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Foto Hasil Pembuatan Luka Bakar
Gambar Keterangan
Pembuatan Luka bakar menggunakan
logam panas
Hasil luka bakar yang gosong
kehitaman
Pemberian Omiderm sebagai
debridemen hingga kulit yang terkena
luka bakar memisah
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil debridemen yang dibersihkan menggunakan NaCl pada hari ke-0
Diameter luka bakar pada hari ke-3
Diameter luka bakar pada hari ke-7
FA1
FA2 FA3
FA2
FA1
FA3
KN
KP
FK
KN
KP
FK
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Diameter luka bakar hari ke-14
FA3 FA2
FA1
FK
P
KP
KN
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-3
Tests of Normality
Kelomp
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
L.Luka(Hari3) 1 .310 4 . .916 4 .515
2 .308 4 . .823 4 .149
3 .286 4 . .864 4 .276
4 .287 4 . .931 4 .598
5 .250 4 . .945 4 .683
6 .310 4 . .833 4 .177
Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi normal
Test of Homogenity of Variances
L.Luka(Hari3)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.826 5 18 .547
Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi homogen
ANOVA
L.Luka(Hari3)
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 908.333 5 181.667 3.332 .026
Within Groups 981.500 18 54.528
Total 1889.833 23
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
L.Luka(Hari3)
LSD
(I)
Kelompo
k
(J)
Kelompo
k
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 2 -11.50000* 5.22148 .041 -22.4699 -.5301
3 -15.25000* 5.22148 .009 -26.2199 -4.2801
4 2.00000 5.22148 .706 -8.9699 12.9699
5 -2.50000 5.22148 .638 -13.4699 8.4699
6 -6.25000 5.22148 .247 -17.2199 4.7199
2 1 11.50000* 5.22148 .041 .5301 22.4699
3 -3.75000 5.22148 .482 -14.7199 7.2199
4 13.50000* 5.22148 .019 2.5301 24.4699
5 9.00000 5.22148 .102 -1.9699 19.9699
6 5.25000 5.22148 .328 -5.7199 16.2199
3 1 15.25000* 5.22148 .009 4.2801 26.2199
2 3.75000 5.22148 .482 -7.2199 14.7199
4 17.25000* 5.22148 .004 6.2801 28.2199
5 12.75000* 5.22148 .025 1.7801 23.7199
6 9.00000 5.22148 .102 -1.9699 19.9699
4 1 -2.00000 5.22148 .706 -12.9699 8.9699
2 -13.50000* 5.22148 .019 -24.4699 -2.5301
3 -17.25000* 5.22148 .004 -28.2199 -6.2801
5 -4.50000 5.22148 .400 -15.4699 6.4699
6 -8.25000 5.22148 .132 -19.2199 2.7199
5 1 2.50000 5.22148 .638 -8.4699 13.4699
2 -9.00000 5.22148 .102 -19.9699 1.9699
3 -12.75000* 5.22148 .025 -23.7199 -1.7801
4 4.50000 5.22148 .400 -6.4699 15.4699
6 -3.75000 5.22148 .482 -14.7199 7.2199
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6 1 6.25000 5.22148 .247 -4.7199 17.2199
2 -5.25000 5.22148 .328 -16.2199 5.7199
3 -9.00000 5.22148 .102 -19.9699 1.9699
4 8.25000 5.22148 .132 -2.7199 19.2199
5 3.75000 5.22148 .482 -7.2199 14.7199
Keterangan: Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna
Lampiran 9. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-7
Tests of Normalityb
Kelompo
k
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
L.Luka(Hari7) 1 .385 3 . .750 3 .000
2 .221 4 . .935 4 .625
3 .312 4 . .783 4 .075
4 .300 4 . .923 4 .554
5 .260 4 . .827 4 .161
6 .232 4 . .927 4 .575
Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi normal
Test of Homogeneity of Variances
L.Luka(Hari7)
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.566a 5 17 .223
Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi homogen
ANOVA
L.Luka(Hari7)
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 680.458 6 113.410 .928 .500
Within Groups 2076.500 17 122.147
Total 2756.958 23
Keterangan: Signifikansi > 0,05 data tidak berbeda secara bermakna
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-14
Tests of Normality
Kelompo
k
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
L.Luka(Hari14) 1 .251 4 . .927 4 .574
2 .306 4 . .772 4 .061
3 .250 4 . .958 4 .769
4 .214 4 . .981 4 .910
5 .175 4 . .980 4 .900
6 .441 4 . .630 4 .001
Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi normal
Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi homogen
ANOVA
L.Luka(Hari14)
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 851.375 5 170.275 2.850 .046
Within Groups 1075.250 18 59.736
Total 1926.625 23
Keterangan: Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna
Test of Homogeneity of Variances
luasluka14
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.323 5 18 .299
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
L.Luka(Hari14)
LSD
(I)
Kelompo
k
(J)
Kelompo
k
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 2 -14.75000* 5.46517 .015 -26.2319 -3.2681
3 -6.50000 5.46517 .250 -17.9819 4.9819
4 -10.25000 5.46517 .077 -21.7319 1.2319
5 -14.50000* 5.46517 .016 -25.9819 -3.0181
6 -17.75000* 5.46517 .004 -29.2319 -6.2681
2 1 14.75000* 5.46517 .015 3.2681 26.2319
3 8.25000 5.46517 .149 -3.2319 19.7319
4 4.50000 5.46517 .421 -6.9819 15.9819
5 .25000 5.46517 .964 -11.2319 11.7319
6 -3.00000 5.46517 .590 -14.4819 8.4819
3 1 6.50000 5.46517 .250 -4.9819 17.9819
2 -8.25000 5.46517 .149 -19.7319 3.2319
4 -3.75000 5.46517 .501 -15.2319 7.7319
5 -8.00000 5.46517 .160 -19.4819 3.4819
6 -11.25000 5.46517 .054 -22.7319 .2319
4 1 10.25000 5.46517 .077 -1.2319 21.7319
2 -4.50000 5.46517 .421 -15.9819 6.9819
3 3.75000 5.46517 .501 -7.7319 15.2319
5 -4.25000 5.46517 .447 -15.7319 7.2319
6 -7.50000 5.46517 .187 -18.9819 3.9819
5 1 14.50000* 5.46517 .016 3.0181 25.9819
2 -.25000 5.46517 .964 -11.7319 11.2319
3 8.00000 5.46517 .160 -3.4819 19.4819
4 4.25000 5.46517 .447 -7.2319 15.7319
6 -3.25000 5.46517 .559 -14.7319 8.2319
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6 1 17.75000* 5.46517 .004 6.2681 29.2319
2 3.00000 5.46517 .590 -8.4819 14.4819
3 11.25000 5.46517 .054 -.2319 22.7319
4 7.50000 5.46517 .187 -3.9819 18.9819
5 3.25000 5.46517 .559 -8.2319 14.7319
Keterangan: Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna